ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS NIKEL(II) DENGAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAASETAT (EDTA) Nur Chamimmah Lailis I dan Irmina Kris Murwani* Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya *Email:
[email protected]
Abstrak : Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA melalui reaksi larutan Ni2+ dan H4EDTA. pH optimum sintesis Ni-EDTA diperoleh pada pH 10. Penentuan rumus senyawa kompleks dilakukan dengan metode variasi kontinu sehingga diperoleh perbandingan logam Ni dan EDTA adalah 1 : 1. Padatan kompleks Ni-EDTA berwarna biru, mempunyai serapan panjang gelombang maksimum sebesar 584 nm dan serapan khas vibrasi logam-ligan dengan spektroskopi -1 infra merah pada bilangan gelombang 347 cm .
Kata kunci : Senyawa kompleks, Nikel (II) EDTA, sintesis, karakterisasi 1.
Pendahuluan
Senyawa koordinasi adalah salah satu senyawa yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Senyawa ini terbentuk karena adanya ikatan antara ligan yang berperan sebagai donor pasangan elektron (basa lewis) dengan ion pusat (logam) yang berperan sebagai akseptor pasangan elektron (asam lewis). Kajian dan penelitian tentang sintesis senyawa koordinasi juga semakin beragam. Salah satunya adalah penelitian tentang senyawa kompleks sebagai katalis. Dari beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa senyawa kompleks nikel telah terbukti dapat digunakan pada proses katalitik dalam beberapa reaksi organik seperti reaksi karbonilasi etanol menjadi asam propionat yang menggunakan katalis senyawa kompleks [Ni(isoquinoline)4]Cl2 (Ubale, 1997) dan reaksi hidrogenasi yang mengkonversi glukosa menjadi sorbitol dengan katalis senyawa kompleks [Ni(EDTA)3(NO3)2] berpendukung silika (SiO2) (Schimpf, 2007). Senyawa kompleks yang bisa dijadikan sebagai katalis harus memiliki sifat yang stabil. Salah satu senyawa kompleks yang sangat stabil adalah senyawa kompleks yang membentuk khelat. Salah satu senyawa kompleks yang memiliki tingkat kestabilan cukup tinggi adalah senyawa kompleks Nikel(II)-EDTA yang memiliki Kstab = 18.62 (Underwood, 2002). Pada penelitian ini disintesis dan dikarakterisasi senyawa kompleks nikel(II)-EDTA yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai katalis. 2.
Metodologi Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang memiliki kemurnian pro analisis (p.a) meliputi nikel(II) triklorida heksahidrat NiCl2.6H2O, H4EDTA (Titriplex II), NH4OH dan akuades. Selanjutnya akan dilakukan karakterisasi dengan UV-VIS, FTIR, dan XRD. Tahapan dalam sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA adalah penentuan panjang gelombang maksimum, pengaruh pH pada pembentukan senyawa kompleks dan penentuan rumus senyawa kompleks dengan metode variasi kontinu. Sintesis senyawa kompleks dilakukan dengan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS mereaksikan larutan H4EDTA (titriplex II) dan NiCl. Larutan campuran tersebut dipanaskan sampai tepat jenuh kemudian didiamkan selama beberapa hari hingga terbentuk padatan kristal. Kristal yang terbentuk disaring dan diletakkan pada cawan porselen lalu di oven 90° hingga cukup kering. 3. Hasil dan Pembahasan 2Penentuan Panjang Gelombang Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)] Hasil reaksi NiCl2 dan EDTA diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 400-780 nm. Dari hasil analisis diperoleh bahwa panjang gelombang maksimum 2senyawa kompleks [Ni(EDTA)] adalah 584 nm. Jika dibandingkan dengan panjang gelombang maksimum NiCl2 yaitu sebesar 658 nm, maka terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih pendek seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pergeseran ini dipengaruhi oleh ligan EDTA 2yang merupakan ligan dengan medan kuat (Sukardjo, 1992). Senyawa kompleks [Ni(EDTA)] memiliki warna biru, sehingga senyawa kompleks tersebut menyerap panjang gelombang pada daerah kuning (580-595) nm (Underwood, 2002).
Gambar 1. Panjang Gelombang Maksimum Senyawa NiCl2 ( 2dan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)] ( ) 2-
)
Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)] Pembentukan senyawa kompleks sangat dipengaruhi oleh pH. Pengamatan pengaruh pH pada pembentukan kompleks terlihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa 2senyawa kompleks [Ni(EDTA)] mulai terbentuk pada pH 5 sedangkan pH optimum terdapat pada pH 10, karena pada pH tersebut absorbansi senyawa kompleks menunjukkan nilai paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa akibat perubahan pH larutan, konsentrasi senyawa kompleks yang terbentuk juga mengalami perubahan.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 2. Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]
2-
Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode Variasi Kontinu Rumus senyawa kompleks nikel-EDTA ditentukan melalui metode variasi kontinu. Hasil menunjukkan bahwa perbandingan mol antara Ni2+ dan ligan EDTA adalah 1 : 1. Hasil penentuan rumus senyawa kompleks dapat diamati pada Gambar 3. Pada gambar tersebut titik potong terdapat pada perbandingan fraksi mol EDTA 0,5. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa satu mol ligan EDTA dapat berikatan dengan satu mol nikel(II) sehingga dihasilkan perbandingan mol 2nikel(II) : EDTA adalah 1 : 1 dan membentuk senyawa koordinasi [Ni(EDTA)] (Bhat, dkk. 1965).
Gambar 3. Penentuan Stoikiometri Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]
2-
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Berdasarkan hasil penentuan rumus stoikiometri tersebut maka dapat diperkirakan bahwa 2senyawa kompleks [Ni(EDTA)] mempunyai struktur oktahedral seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]
2-
Karakterisasi Senyawa Kompleks dengan Spektrofotometer Inframerah 2Karakterisasi senyawa kompleks [Ni(EDTA)] dilakukan pada bilangan gelombang 300-4000 -1 cm . Pada karakterisasi ini dibandingkan spektra antara senyawa kompleks yang terbentuk 2[Ni(EDTA)] dan ligan EDTA seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Spektra inframerah EDTA (
2-
) dan [Ni(EDTA)] (
)
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Spektra EDTA (Gambar 5) diperoleh dengan menganalisis padatan H4EDTA (titriplex II). -1 Pada gambar diatas terlihat bahwa terdapat serapan O-H pada daerah 3400 cm tidak terlalu tajam karena EDTA yang dianalisis bukan garam EDTA yang memiliki air hidrat. Sedangkan serapan N-H -1 -1 terlihat sangat tajam pada daerah 3100 cm . Gugus fungsi C=O terlihat pada 1697 cm sedangkan -1 vibrasi COO yang berasal dari ester pada 1396 cm sedangkan frekuensi vibrasi C-C untuk alkana -1 muncul pada serapan 1200-800 cm . 2Pada spektra [Ni(EDTA)] diatas, dapat dilihat bahwa terdapat serapan melebar O-H muncul -1 2pada daerah 3410 cm yang mengindikasikan bahwa senyawa koordinasi [Ni(EDTA)] -1 mengandung air kristal. Sedangkan serapan N-H muncul pada daerah 3200 cm . Serapan C=O -1 -1 muncul pada 1600 cm sedangkan vibrasi C-O yang berasal dari ester pada 1396 cm . Vibrasi CO yang berasal dari ester menunjukkan serapan yang sangat tajam dibandingkan dengan serapan pada ligan bebasnya, hal ini karena vibrasi dari C-O pada senyawa ini terikat pada logam Ni sehingga intensitasnya meningkat. Frekuensi vibrasi C-C untuk alkana muncul pada serapan 1200-1 800 cm . Serapan vibrasi ikatan antara logam Ni dengan ligan terlihat pada bilangan gelombang -1 300-600 cm , vibrasi ikatan Ni-N terlihat pada bilangan gelombang 347 nm. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi ikatan logam dengan gugus N dari ligan akan muncul -1 pada bilangan gelombang 300-390 cm . Sedangkan vibrasi Ni-O dari ligan EDTA muncul pada -1 bilangan gelombang 470 cm . Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi -1 logam dengan gugus O dari ligan akan muncul pada bilangan gelombang 600-400 cm (Nakamoto, 1978). Identifikasi Senyawa Kompleks dengan Difraktometer Sinar-X 2Padatan senyawa kompleks [Ni(EDTA)] hasil sintesis dianalisis XRD untuk mengetahui komponen penyusunnya. Difraktogram hasil analisis disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Difraktogram Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]
2-
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 4.
Kesimpulan Senyawa kompleks nikel(II)-EDTA telah berhasil disintesis dengan perbandingan mol ligan dan atom pusat = 1:1. pH maksimum pembentukan senyawa kompleks adalah pH 10. Berdasarkan hasil penentuan rumus molekul senyawa kompleks dan analisis FTIR yang membuktikan adanya 2vibrasi logam nikel ke ligan EDTA, maka [Ni(EDTA)] diperkirakan mempunyai struktur oktahedral.
Daftar Pustaka Bhat, R.T., Radhamma, D. & Shankar, J., (1965), “ Studies on EDTA Complexes : Mixed Complexes of Copper (II), Nickel (II) and Cobalt (II) Versenates with Pyridine, Hydrazine, Hydroxylamine, Ethylenediamine and Propylenediamine “, Journal Inorganic Nuclear Chemistry, Vol. 27, hal. 2641-2651. Nakamoto K., 1978, Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compound, Third Edition., John Wiley and Sons Inc, New York. Schimpf, S., Louis, C & Claus, P., (2007), “ Ni/SiO2 catalysts prepared with ethylenediamine nickel precursors : Influence of the pretreatment on the catalytic properties in glucose hydrogenation “, Applied Catalysis A: General , Vol. 318, hal. 45–53. Sukardjo., 1992, Kimia Koordinasi, Edisi Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Ubale, R.S., Kelkar, A.A. & Chaudari, R.V. (1997), “Carbonylation of ethanol using Ni-isoquinoline complex catalyst: Activity and selectivity studies”, Journal of Molecular Catalysis A : Chemical, Vol.118, hal. 9-19. Underwood, A. L. & Day, R.A, (2002), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ESTERIFIKASI ASAM LEMAK BEBAS DARI LIMBAH MINYAK SAWIT MENTAH DENGAN METANOL DAN KATALIS KAOLINIT TERIMPREGNASI AlCl3 Harlia, Thamrin Usman, Nelly Wahyuni, Winda Rahmalia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura Jl. A Yani Pontianak, 78124 Email:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan sintesis metil ester dengan metode esterifikasi terhadap asam lemak bebas limbah minyak sawit mentah menggunakan katalis kaolinit terimpregnasi AlCl3. Variabel yang dikaji pada proses esterifikasi adalah waktu reaksi dan konsentrasi katalis AlCl3. Hasil penelitian menunjukkan waktu reaksi dan konsentrasi katalis optimum masing-masing 1 jam dan 4 % dengan persentase konversi produk mencapai 79,86 %. Metil ester yang dihasilkan telah dianalisa sifat 0 fisika yang meliputi indeks bias 1,454, kerapatan 0,880 g/mL (25 C) dan viskositas 6,975 cSt 0 (25 C). Kata kunci: kaolinit, AlCl3, esterifikasi, metil ester, limbah minyak sawit mentah
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
PENGGUNAAN ISATIN SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN ASAM * Harmami dan Adrian Gunawan Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Phone : 08883077956, e-mail:
[email protected]
Abstrak Penggunaan isatin sebagai inhibitor korosi baja SS 304 dalam media asam dipelajari dengan menggunakan metode pengurangan massa, polarisasi potensiodinamik, serta analisis Scanning Electron Microscopy (SEM). Dari data pengurangan massa maupun data polarisasi menunjukkan nilai efisiensi inhibisi ( % EI ) sebanding dengan konsentrasi inhibitor yang ditambahkan dan berbanding terbalik dengan kenaikan temperatur. Data konstanta Tafel menunjukkan bahwa Isatin dapat bertindak sebagai inhibitor katodik dan anodik (tipe inhibitor campuran). Analisa SEM menunjukkan perbedaan tekstur permukaan spesimen yang direndam pada media asam tanpa dan dengan penambahan Isatin 12.5 mM, dimana tanpa penambahan inhibitor, tekstur permukaan lebih banyak berlubang dan kasar. Proses adsorpsi inhibitor pada permukaan logam diduga diawali dengan adsorpsi fisika dan kemudian dilanjutkan dengan adsorpsi kimia. Adsorpsi kimia dimungkinkan karena luas pelingkupan permukaan logam meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor. Kata kunci: Inhibitor, Isatin , baja tahan karat 304, dan efisiensi inhibisi.. 1.
Pendahuluan Stainless Steel (SS) 304 merupakan baja nirkarat yang paling banyak diproduksi dibandingkan baja nirkarat yang lainnya dan banyak digunakan baik untuk peralatan rumah tangga maupun untuk keperluan industri karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan tipe 316 maupun tipe yang lain. Baja tipe 304 disebut sebagai baja tahan tahan karat karena dapat membentuk lapisan oksida logam pasif pada permukaannya. Namun demikian dalam lingkungan asam yang korosif , lapisan tahan karat tersebut tidak dapat terbentuk dan logam akan mengalami korosi. Dalam penggunaannya, baja 304 sering mengalami proses cuci asam, sehingga dalam proses tersebut, baja 304 pasti akan mengalami korosi. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi laju korosi dalam suatu proses cuci asam, antara lain dengan penggunaan inhibitor, yakni suatu zat yang ditambahkan dalam jumlah kecil dalam larutan cuci asam untuk menghambat laju korosi (Thretwey, 1991). Inhibitor korosi dapat berasal dari bahan anorganik (kromat, dikromat, oksalat, dll) atau organik (berbagai jenis minyak dan ekstrak bahan alam). Inhibitor dari bahan anorganik saat ini sudah mulai ditinggalkan karena sifatnya yang tidak ramah lingkungan dan bisa menjadi katalis korosi apabila konsentrasinya tidak tepat (Surya, 2004) Inhibitor korosi dari bahan organik lebih dipilih karena memiliki afinitas yang cukup tinggi pada logam, nilai effisiensi yang tinggi, serta ramah lingkungan. Effektivitas senyawa organik
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS sebagai inhibitor sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (O, N, P, dan S), gugus polar, ikatan π, serta pasangan elektron bebas yang menjadi sarana bagi inhibitor untuk melakukan chemisorpsi / berikatan dengan logam secara koordinasi (Spinelli dkk, 2009). Isatin (1) adalah senyawa turunan indole dengan 2 gugus karbonil di nomor 2 dan 3. Gugus karbonil yang berada di nomor 3 (karbonil golongan keton) sangat reaktif. Sedangkan karbonil pada nomor 2 memiliki sifat seperti amida.
Gambar 1. Struktur Isatin (1) Penggunaan Isatin sebagai inhibitor laju korosi baja 304 dikaji dalam larutan asam khususnya larutan 1M HCL dan dikaji pula pengaruh temperatur.larutan tersebut terhadap efisiensi inhibisinya. 2. Metodologi Alat dan Bahan Alat Botol timbang, neraca analitis, gelas beker, alumunium foil, plastik, kertas gosok, labu ukur, buret, erlenmeyer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah termostat, potensiostat, dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Bahan Isatin, Asam Klorida Pekat (37%), SS 304, Aquabidest, Aseton, Natrium Hidroksida, dan Asam Oksalat Prosedur Kerja Pembuatan Spesimen Baja SS 304 3
Baja SS 304 dipotong dengan dimensi 3 x 3 x 0.1 cm yang digunakan dalam pengukuran dengan menggunakan metode pengurangan berat dan analisis dengan SEM, sedangkan untuk pengukuran dengan metode polarisasi, baja yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 1,4 cm, tebal 0.1 cm. Baja terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok grade 500 dan 1000 berturut-turut, kemudian dicuci dengan aquadest dilanjutkan dengan aseton, dan dibilas lagi dengan aquades serta dikeringkan. Pembuatan Media Korosi Media korosi yang digunakan adalah larutan HCl 1M tanpa inhibitor, larutan HCl 1M dengan penambahan inhibitor (isatin) dengan variasi konsentrasi 2.5 mM – 12.5 mM
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Metode Pengurangan Massa Spesimen ditimbang dengan neraca analitis kemudian direndam dalam larutan 1M HCL tanpa dan dengan penambahan inhibitor masing-masing selama 3 jam pada variasi temperatur o o o o o larutan, 35 C, 40 C, 45 C, 50 C, 55 C. Masing-masing perlakuan dilakukan pengukuran tiga kali ulangan. Effisiensi inhibisi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : Wo-Wi ×100 % Wo Dimana Wo pengurangan massa spesimen pada media korosi tanpa inhibitor, dan Wi adalah pengurangan massa spesimen pada media korosi dengan inhibitor. %IE=
Metode Polarisasi Potensiodinamik Metode ini dilakukan untuk mengetahui nilai berbagai parameter korosi (arus korosi, potensial korosi, konstanta Tafel katodik dan anodik). Instrumen yang digunakan adalah Potensiostat type PGS 201 T dengan sel 3 elektroda. Elektroda acuan adalah tipe calomel (SCE), elektroda bantu berupa platina dan elektroda kerja adalah spesimen baja berbentuk silinder. Elektroda kerja, elektroda bantu, dan elektroda pembanding di rangkai menjadi suatu sel dengan larutan elektrolit berupa media korosi tanpa inhibitor atau media korosi dengan inhibitor. Sel kemudian dihubungkan dengan potensiostat dan komputer untuk membaca data yang diperoleh. Metode polarisasi dilakukan pada suhu kamar. Efisiensi inhibisi (IE) dihitung menggunakan Persamaaan : Io-Ii ×100 % Io dimana Io merupakan densitas arus korosi pada media korosi tanpa inhibitor dan Ii pada media korosi dengan inhibitor. %IE=
Analisa SEM Spesimen hasil metode pengurangan berat, dianalisa permukaannya dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dengan perbesaran 10.000 kali. Spesimen yang digunakan adalah hasil rendaman pada media korosi tanpa inhibitor dan media korosi dengan inhibitor yang memiliki nilai %IE maksimum yaitu dengan penambahan Isatin 12.5 mM Penentuan nilai Energi Aktivasi (Ea) Nilai pengurangan berat pada media korosi tanpa dan dengan inhibitor pada berbagai temperatur dialurkan sebagai fungsi 1000/T. Nilai Ea diketahui dari slope. 3. Hasil dan Diskusi Metode Pengurangan Massa Pengurangan massa merupakan metode selain elektrokimia yang dapat digunakan untuk menentukan laju korosi dan effisiensi inhibisi. Metode ini sederhana dan praktis dilakukan, akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk perendaman (Spinelli dkk, 2009). Pengurangan massa tersebut terjadi karena logam terdestruksi dan larut menjadi keadaan teroksidasinya yang diakibatkan oleh adanya reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya. Metode ini dilakukan pada temperatur yang bervariasi, yakni mulai dari temperatur Kamar, O 35°C, 40°C, 45°C, 50°C, dan 55 C. Untuk temperatur kamar tidak membutuhkan instrumen
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS tambahan. Sedangkan untuk temperatur lain digunakan instrumen berupa termostat yang dapat menjaga temperatur dengan konstan. Grafik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi isatin dengan efisiensi inhibitor (%EI), dapat dilihat pada gambar 2. Metode pengurangan massa menunjukkan effisiensi maksimum yang berhasil dicapai adalah sebesar 73.90% pada isatin 12.5 mM di suhu kamar, sedangkan nilai minimum sebesar 42.0% pada isatin 2.5 mM dan suhu 55°C. Metode ini menunjukkan fakta bahwa saat konsentrasi isatin meningkat (pada temperatur yang sama) maka jumlah massa yang berkurang akan semakin kecil (laju korosi berkurang) sehingga effisiensi inhibisinya (%EI) akan meningkat. Hal tersebut karena semakin luas permukaan spesimen yang dilingkupi oleh inhibitor akibat dari peristiwa + adsorpsi inhibitor di permukaan baja dan juga semakin berkurangnya serangan ion H dan Cl pada baja akibat bereaksi dengan isatin. Penelitian lain yang dilakukan Quraishi dkk pada 2008 menunjukkan pola sama dengan yang terjadi pada penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan inhibitor N-(Piperidinomethyl)-3[(pyridylidene)amino]isatin (PPI) (sebuah turunan isatin) untuk menginhibisi korosi dari baja lunak pada media HCl, ternyata memiliki nilai %EI yang semakin besar saat konsentrasi PPI meningkat. Nilai %EI maksimum yang dicapai adalah 94%, yaitu pada saat konsentrasi isatin 300 ppm. Saat PPI yang ditambahkan melebihi 300 ppm, tidak terjadi perubahan yang signifikan dari nila%EI. Efektivitas dari PPI ditentukan oleh keberadaan ikatan rengkap dan elektron bebas yang terdapat dalam PPI. Peningkatan temperatur dari media ternyata meningkatkan jumlah pengurangan massa yang mengakibatkan nilai %EI turun. Hal ini dikarenakan peningkatan difusi ion – ion dalam media dan meningkatkan jumlah oksigen terlarut, sehingga reaksi parsial elektrokimia akan semakin cepat dan proses pelarutan logam juga meningkat. Pada media korosi dengan inhibitor yang mengandung inhibitor, kenaikan temperatur akan mengakibatkan proses desorpsi dari inhibitor jika adsorpsinya merupakan fisisorpsi (Harmami dkk, 2006). Grafik yang menunjukkan hubungan antara temperatur dengan %EI pada berbagai konsentrasi isatin dapat dilihat pada gambar 3
% Effisiensi Inhibisi
80,00 Kamar
70,00
35°C
60,00
40°C 50,00
45°C
40,00
50°C 0 2,5 5 7,5 10 12,5
55°C
Konsentrasi Isatin (mM) Gambar 2. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Isatin dengan %EI pada Berbagai Temperatur Media
ISBN 978-602-98130-0-5
% Effisiensi Inhibisi
SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 80,00 75,00 70,00 65,00 60,00 55,00 50,00 45,00 40,00
2.5 5 7.5 10 12.5 30 35 40 45 50 55 Temperatur (°C)
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Temperatur Media dengan Nilai %EI pada Berbagai Konsentrasi Isatin Hal yang berbeda terjadi saat PPI digunakan sebagai inhibitor korosi pada berbagai variasi temperatur. PPI akan menghasilkan nilai %EI yang meningkat pada saat temperatur media meningkat. Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya perbedaan jenis adsorpsi yang terjadi pada PPI dan isatin. Fisisorpsi terjadi pada molekul isatin sedangkan PPI mengalami kemisorpsi yang didahului oleh fisisorpsi. Pada peristiwa kemisorpsi dibutuhkan energi yang cukup tinggi yakni untuk membentuk ikatan antara adsorbat dan adsorben, sehingga pada saat temperaturnya meningkat maka pembentukan ikatan akan lebih mudah dan cepat terjadi. Luas permukaan yang terlingkupi nantinya juga akan bertambah saat temperatur naik dan mengakibatkan semakin tingginya nilai %EI pada penggunaan PPI. Perbedaaan jenis adsorpsi dan nilai %EI pada isatin dan PPI dikarenakan perbedaan struktur diantara kedua inhibitor tersebut. PPI adalah turunan isatin dengan molekul yang lebih besar dibandingkan isatin sehingga luas pelingkupannya pada logam akan lebih besar dibanding isatin pada konsentrasi sama, sehingga nilai %EI PPI akan lebih besar dibandingkan isatin. Perbandingan struktur PPI dan isatin, ditampilkan pada gambar 4. PPI memiliki lebih banyak heteroatom (4 atom N dan 1 atom O), molekul isatin memiliki 2 atom O dan 1 atom N, sehingga memungkinkan PPI lebih mudah melakukan ikatan koordinasi (kemisorpsi) dengan logam melalui PEB yang ada di heteroatom tersebut. Isatin sendiri dengan jumlah PEB yang lebih sedikit akan lebih sulit melakukan kemisorpsi dengan logam, sehingga hanya terjadi fisisorpsi. Keberadaan heteroatom pada PPI tersebut juga akan mengakibatkan lebih banyaknya ion + H yang tertangkap oleh PPI dibandingkan pada isatin. Karena dua hal yang disebutkan tersebut maka nilai %EImax pada PPI yang mencapai 94% menjadi lebih tinggi dibandingkan %EImax pada isatin yang hanya mencapai 73.90%.
(a)
(b)
Gambar 4. Perbandingan Struktur antara (a) PPI dan (b) Isatin
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Perhitungan Energi Aktivasi (Ea) Perhitungan nilai energi aktivasi (Ea) menggunakan data dari metode pengurangan massa. Nilai logaritma natural (ln) jumlah pengurangan massa (∆w) pada larutan dengan konsentrasi isatin yang sama dialirkan pada fungsi 1000/T. Gambar 5 menampilkan hasil pengaluran data tersebut.
-2,5 3
3,1
3,2
3,3
3,4
0 mM
-3
ln Δw
2.5 mM -3,5 5 mM -4
7.5 mM
-4,5
10 mM 12.5 mM
-5
1000/T (K-1 )
Gambar 5. Grafik Hubungan antara ln ∆W vs 1000/T Berdasar persamaan Arhennius nilai slope yang diperoleh dari persamaan garis tersebut adalah nilai dari –Ea/R. Nilai Ea diperoleh dengan mengalikan nilai slope dengan konstanta gas ideal (R) sebesar 8.314 J/mol. Grafik yang menyatakan hubungan antara energi aktivasi (Ea) dan konsentrasi inhibitor yang digunakan dapat dilihat pada gambar 6.
Energi Aktivasi (Kj/mol)
14 12 10
R² = 0,9344
8 6 4 2 0 0
2,5
5
7,5
10
12,5
Konsentrasi Isatin (mM) Gambar 6. Grafik Hubungan Energi Aktivasi (Ea) dan Konsentrasi Isatin Nilai Ea maksimum diperoleh sebesar 12.22 kJ/mol dan Ea minimum sebesar 6.79 kJ/mol. Terjadi sedikit penurunan nilai Ea pada saat konsentrasi isatin mencapai 12.5 mM, nilai Ea seharusnya lebih besar dari 12.22 kJ/mol tetapi faktanya hanya mencapai 12.14 kJ/mol. Hal tersebut dimungkinkan karena pengaruh kelarutan isatin pada 12.5 mM yang tidak sempurna meski
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS telah dilakukan pengadukan dan pemanasan selama 15 menit, akan tetapi hal tersebut tidak terlalu berpengaruh pada kinerja isatin sebagai inhibitor korosi. Berdasar data dapat diketahui bahwa energi aktivasi dalam media korosi dengan inhibitor lebih besar dibanding dalam media korosi tanpa inhibitor, dan nilai energi aktivasi cenderung naik saat konsentrasi isatin meningkat. Energi aktivasi yang semakin besar juga identik dengan nilai %EI yang semakin besar. Hal ini dikarenakan secara termodinamik, nilai Ea yang besar akan mengakibatkan korosi lebih lambat dan sulit terjadi, sehingga laju korosi dalam media yang sudah ditambahkan inhibitor akan mengalami penurunan dan nilai %EI akan meningkat. Pada penelitian lain juga ditemukan inhibisi korosi yang menghasilkan nilai Ea meningkat pada saat inhibitor ditambahkan, seperti yang dilaporkan oleh Xianghong dkk pada 2009 saat menggunakan 6-benzylaminopurine sebagai inhibitor korosi. Nilai Ea pada media tanpa inhibitor mencapai 51.86 kJ/mol, sedangkan nilai Ea pada media dengan inhibitor masksimum (300 mg/L) mencapai 120.25 kJ/mol. Peningkatan energi aktivasi ini terjadi karena energi yang dibutuhkan oleh + H untuk mengkorosi baja meningkat karena terganggu oleh hadirnya inhibitor dan mengakibatkan laju korosi menurun. Pada penelitian Spinelli dkk pada 2009 yang menggunakan asam kaffeat sebagai inhibitor korosi pada baja lunak dalam asam sulfat, ditemukan fenomena nilai Ea pada media tanpa inhibitor yang lebih besar dibanding pada media dengan inhibitor, dimana hal tersebut dihubungkan dengan terjadinya peristiwa kemisorpsi dari asam kaffeat pada permukaan baja. Nilai Ea yang sama pada media tanpa dan dengan inhibitor juga dapat terjadi, oleh karena itu tipe inhibitor korosi diklasifikasikan menjadi 3 golongan : i. %EI turun dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor > Ea tanpa inhibitor. Menandakan adanya fisisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam, dan kerja katodik dari inhibitor. ii. %EI naik dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor < Ea tanpa inhibitor. Menandakan adanya kemisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam iii. %EI tidak berubah saat temperatur berubah, maka Ea dengan inhibitor = Ea tanpa inhibitor (Xianghong dkk, 2009) Isatin pada penelitian ini termasuk golongan (i), sehingga dapat dikatakan bahwa Isatin merupakan inhibitor yang teradsorp secara fisika pada permukaan logam. Metode Polarisasi Potensiodinamik Nilai arus korosi (Icorr) dan potensial korosi (Ecorr) pada proses korosi baja SS 304 dalam media korosi dapat diketahui dengan menggunakan metode polarisasasi potensiodinamik. Instrumen untuk metode ini adalah potensiostat PGZ 201 T dengan sistem 3 elektroda yang terdapat di PTAPB – BATAN Jogjakarta. Baja SS 304 dengan ketebalan 1 cm dipotong berbentuk silinder dengan diameter 1.4 cm, spesimen terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok, untuk membersihkan kerak, kotoran dan lapisan oksida yang terdapat di permukaan baja, kemudian dicuci dengan aquabidest, aseton, dan dibilas dengan aquabidest. Spesimen kemudian dikeringkan. Spesimen di uji polarisasi potensiodinamik dengan sistem 3 elektroda, spesimen sebagai elektroda kerja (WE), platina sebagai elektroda bantu (AE), dan SCE sebagai elektroda reference (RE), sedangkan untuk elektrolit digunakan larutan HCl tanpa inhibitor dan dengan inhibitor. Media korosi pada metode ini diencerkan 10 kali dari media korosi pada metode pengurangan massa. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan instrumen potensiostat tersebut. Metode Polarisasi potensiodinamik dijalankan dengan scan rate 20 mV/s pada range -2500 mV sampai 1000 mV. Icorr maksimum diperoleh pada media korosi tanpa inhibitor dengan nilai sebesar 101.9 µA, sedangkan nilai minimum diperoleh pada saat konsentrasi Isatin 1.25 mM sebesar 46.99 µA. Dapat disimpulkan bahwa inhibisinya akan cenderung meningkat pada saat konsentrasi Isatin semakin
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS meningkat sampai konsentrasi 12.5 mM, dengan nilai % EI minimum sebesar 26.4 % dan maksimum sebesar 53.88 % Hasil dari polarisasi ditampilkan dalam gambar 7, 8, dan 9 sebagai berikut :
Gambar 7. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M (1) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 0.25 mM (2)
Gambar 8. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1M dengan Isatin 0.5mM (3) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 0.75mM (4)
Gambar 9. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M dengan Isatin 1.0 mM (5) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 1.25 mM (6)
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Nilai berbagai parameter korosi (Icorr, Ecorr, βa, βc, dan % EI) pada berbagai kondisi yang dihasilkan dari metode ini disampaikan dalam tabel 1. Tabel 1. Nilai Berbagai Parameter Korosi Baja SS 304 pada Media HCl 0.1 M dengan Hadirnya Isatin pada T kamar [Inhibitor]
Ecorr
icorr
βa
-βc
% EI
0 mM
-862.2
101.9
563.7
273.8
-
0.25 mM
-904.8
74.58
591.4
240.7
26.8106
0.5 mM
-904.5
74.29
563.3
197.6
26.48675
0.75 mM
-783.6
61.16
291.1
172
39.98037
1mM
-853.1
57.53
338.9
173.8
43.54269
1.25 mM
-836.9
46.99
226.3
136.3
53.88616
Densitas Arus Korosi
Hubungan antara % icorr dengan konsentrasi Isatin dapat dilihat pada gambar 10. 150 100 50
R² = 0,9023
0 0
0,25
0,5
0,75
1
1,25
Konsentrasi Isatin (mM) Gambar 10 Grafik Hubungan icorr dengan Konsentrasi Isatin. Nilai potensial korosi (Ecorr) yang naik turun dimungkinkan oleh adanya proses adsorpsi Isatin di permukaan baja SS 304 saat polarisasi tidak stabil. Akan tetapi inhibisi korosi tetap berlangsung, hal itu terbukti dari nilai Icorr yang terus menurun saat ditambahkan Isatin. Nilai konstanta tafel anodik pada tabel 1 diatas menunjukkan perubahan yang tak teratur, hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi Isatin di permukaan spesimen lemah dan mudah lepas yang merupakan ciri dari adsorpsi secara fisika. Fisisorpsi ini terjadi akibat adanya interaksi elektrostatik antara inhibitor dengan permukaan logam. Sedangkan nilai konstanta tafel katodik, menunjukkan nilai penurunan yang teratur dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor, hal tersebut menunjukkan + bahwa isatin bekerja cukup baik di sisi katodik, yaitu dengan mengurangi laju reduksi ion H menjadi H2 Pada penelitian Isatin yang lain, oleh Quartarone dkk (2003), terdapat peristiwa kemisorpsi antara isatin dengan Cu yang di buktikan oleh spektrofotometri uv-vis. Nilai βc pada penelitian Quartarone ini menunjukkan bahwa Isatin juga bekerja dengan baik pada sisi katoda dengan + menghambat laju reduksi H menjadi H2. Hal diatas menunjukkan bahwa Isatin adalah tipe inhibitor campuran.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Mekanisme Inhibisi Korosi Inhibitor korosi dapat bekerja menghambat korosi dengan berbagai jalan dan persitiwa adsorpsi inhibitor pada permukaan logam merupakan satu mekanisme untuk inhibitor korosi type anodik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa inhibitor organik disukai sebagai inhibitor, karena perilakunya yang memiliki afinitas tinggi pada logam dan ramah lingkungan. Afinitas senyawa organik sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (N, O, P, S), PEB, dan ikatan rangkap (Spinelli dkk, 2009). Jenis adsorpsi yang terjadi, apakah fisisorpsi, kemisorpsi, ataupun kemisorpsi yang didahului fisisorpsi sangat tergantung pada struktur inhibitor itu sendiri, jenis logam dan keadaan media (pH, Temperatur, dan jumlah inhibitor). Molekul isatin dapat teradsorp secara kimia pada permukaan logam yang ditunjukkan dengan pembentukan kompleks Cu-Isatin dalam media H2SO4 0.5 M yang dibuktikan dengan spektrofotometri uv-vis. Isatin berperan sebagai basa lewis yang mendonorkan PEB, sedangkan logam sebagai asam lewis akan menangkap PEB tersebut, sehingga terbentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks tersebut akan menutup sebagian permukaan logam dan menghambat pelarutan dari logam. Proses kemisorpsi seperti ini membutuhkan energi yang cukup tinggi dan waktu kontak yang lama. Pola kemisorpsi yang terjadi dapat diuji dengan cara fitting terhadap berbagai persamaan isothermal adsorpsi (Quartarone dkk, 2003) Fisisorpsi terjadi apabila hanya ada interaksi dipol-dipol antara inhibitor dan logam, adsorpsi model ini lemah dan mudah lepas. Fisisorpsi akan terjadi apabila struktur inhibitor tidak memungkinkan untuk mendonorkan pasangan elektron bebas (PEB) nya pada logam. Fisisorpsi inhibitor di permukaan logam ditemukan pula pada penelitian Harmami dkk (2003) yang menggunakan 4-metil imidazole untuk inhibitor korosi baja 316L. Fisisorpsinya diketahui dari nilai energi bebas Gibbs (∆G) yang rendah, dan nilai energi aktivasi korosi saat ditambahkan inhibitor korosi menjadi lebih besar. “Fitting” membuktikan bahwa inhibitor tersebut mengikuti pola Freundlich. Proses fisisorpsi tersebut bisa diikuti dengan kemisorpsi, hal itu dapat dilihat dengan meningkatnya fraksi pelingkupan permukaan logam seiring dengan peningkatan konsentrasi inhibitornya. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa isatin pada awalnya teradsorp secara fisika pada permukaan logam, hal ini diketahui dari nilai βa yang berubah tidak beraturan. Nilai βa tersebut menunjukkan kalau adsorpsi isatin di permukaan logam lemah dan mudah lepas, sama seperti ciri dari fisisorpsi. Nilai energi aktivasi pada media korosi dengan inhibitor yang lebih besar dibandingkan pada media korosi tanpa inhibitor juga menunjukkan adanya fisisorpsi seperti pada penelitian Behpour dkk pada tahun 2009. Ditinjau berdasarkan struktur, isatin memang kurang mampu untuk mendonorkan PEB pada logam, hal ini terkait dengan terbatasnya PEB yang dimiliki dan adanya delokalisasi elektron pada isatin yang melibatkan PEB dari atom N dan O sehingga mempersulit donor PEB oleh isatin pada logam. Keberadaan fisisorpsi sebenarnya kurang menguntungkan untuk proses inhibisi korosi, karena ikatan antara inhibitor dan logam yang lemah dan mudah lepas yang memungkinkan peristiwa korosi masih bisa terjadi, akan tetapi pada penelitian ini diketahui bahwa isatin juga + berperan pada sisi katodik dengan menghambat laju reduksi dari H melalui pembentukan senyawa + isatin yang terprotonasi (H-Isatin) yang kemudian dapat membentuk garam klorida Isatin (H+ —. + isatin) Cl Sulitnya H dan Cl untuk bereaksi dengan logam pada hadrinya isatin akan mengakibatkan nilai Ea meningkat, hal ini terbukti pada penelitian ini, dimana nilai Ea pada media korosi dengan inhibitor lebih besar dibanding Ea pada media korosi tanpa inhibitor.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) Spesimen SS 304 hasil pengurangan massa pada media korosi tanpa inhibitor (HCl 1M tanpa Isatin) dan media korosi dengan inhibitor yang menghasilkan nilai effisiensi maksimum (HCl 1M + Isatin 12.5 mM) dianalisa dengan menggunakan SEM pada perbesaran 5.000 kali. Tujuan dari analisa ini adalah untuk mengetahui kerusakan akibat korosi yang terjadi pada permukaan baja setelah direndam dalam media korosi. Hasil dari analisa SEM pada 2 spesimen tersebut ditampilkan pada gambar 11 a dan b. Dari hasil analisa SEM tersebut menunjukkan bahwa pada permukaan baja yang direndam dalam media HCl 1M tanpa isatin mengalami kerusakan yang lebih dibandingkan baja yang direndam dalam HCl dan Isatin 12.5 mM. Terlihat lebih banyak cacat di permukaan akibat serangan + H dan Cl pada gambar a dibanding gambar b. Cacat logam tersebut terjadi karena adanya bagian logam yang teroksidasi dan larut akibat peristiwa korosi. Pada gambar b yang menunjukkan cacat yang lebih sedikit dibandingkan gambar a menunjukkan bahwa korosi telah terhambat oleh kehadiran isatin. Hal tersebut menunjukkan bahwa isatin bertindak sebagai inhibitor korosi.
(a)
(b)
Gambar 11. Hasil SEM spesimen SS 304 pada larutan HCl 1M tanpa Isatin (a) dan dengan Isatin 12.5 mM (b) (perbesaran 5000x) 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa isatin dapat digunakan sebagai inhibitor korosi untuk baja SS 304 dalam larutan HCl.. Dari data hasil pengukuran dengan menggunakan metode pengurangan dan polarisasi potensiodinamik menunjukkan bahwa nilai efisiensi inhibisi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi isatin dengan nilai efisiensi sebesar 73.90% pada konsentrasi isatin 12,5 mM. Efisiensi inhibisi tersebut akan turun seiring dengan peningkatan temperatur media. Nilai energi aktivasi yang meningkat menunjukkan terjadinya inhibisi korosi, serta data parameter korosi menunjukkan bahwa isatin adalah tipe inhbitor campuran, yang bekerja pada sisi anodik dan katodik. Proses adorpsi inhibitor pada permukaan logam diawali dengan adsorpsi fisika dan dilanjutkan dengan adsorpsi kimia. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Babarsari Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk menggunakan alat potensiostat. 2. LPPM ITS yang telah mengijinkan untuk penggunaan SEM
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Daftar Pustaka Behpour, M, S.M. Ghoreishi, N. Soltani, M. Salavati-Niasari (2009), “The inhibitive effect of some bis-N,S-bidentate Schiff bases on corrosion behaviour of 304 stainless steel in hydrochloric acid solution” Corrosion Science 51 : 1073 – 1082 Da Silva, Joaquim F. M, Simon J. Garden and Angelo C. Pinto (2001) “The Chemistry of Isatins: a Review from 1975 to 1999” J. Braz. Chem. Soc., Vol. 12, No. 3 : 273-324, Harmami, Hendro Juwono, Agus W., Yusuf P., M.Yusuf dan Nurhayati* (2003), “study of 4-methyl imidazole as corrosion inhibitor of 316L austenitic steel in acidic media” Majalah IPTEK 17 : 35 – 39 Hasnan, Ahmad, S., (2006),”Mengenal Baja”, (http://www.oke.or.id/) Honeycombe, R.W.K., (1995),“Steels Microstructure and Properties”, Second Edition, Edward Arnold, London Indocor, (1999), Pelatihan Ahli Korosi Muda, Indocor, Bandung Jones, D.A (1996),”Principles and preventation of corrosion”, Second Edition, Prentice Hall, Inc., United States of America Migahed, M.A, dkk (2005), “Effectiveness of some non ionic surfactants as corrosion inhibitors for carbon steel pipelines in oil fields” Electrochimica acta 50 : 4683 – 4689. Mulyono, (2006), “Kamus Kimia”, Bumi Aksara, Jakarta Oxtoby, David W, (2001), “ Kimia Modern, Edisi Keempat Jilid 1”, Erlangga, Jakarta Quartarone, G, T. Bellomi, A. Zingales (2003), “Inhibition of Copper Corrosion by Isatin in Aerated 0.5 M H2SO4” Corrosion Science 45 : 715 – 733 Quraishi, M.A, Ishtiaque A, Ashish K S, Sudhish K S, B. Lal, Vakil Singhb (2008), “N(Piperidinomethyl) -3 [(pyridylidene)amino] isatin: A new and effective acid corrosion inhibitor for mild steel” Materials Chemistry and Physics 112 : 1035 - 1039 Spinelli, A , FS. De Souza (2009), ”Caffeic acid as a green corrosion inhibitor for mild steel” Corrosion Science 51 : 642 – 649 Surya, Indra, D., (2004),“Kimia Dari Inhibitor Korosi”, UNSUD, Sumatra Utara Thretwey, Kenneth R dan John Camberlein, (1991), “Korosi untuk Mahasiswa Sains dan Rekayasa” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Xianghong Li, Shuduan Deng, Hui Fu, Guannan Muc (2009), “Inhibition effect of 6-benzyl aminopurine on the corrosion of cold rolled steel in H2SO4 solution” Corrosion Science 51 : 620 – 634
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
VALIDASI METODE PENGUKURAN LOGAM DALAM LIMBAH ELEKTROPLATING DENGAN METODE AAS (ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETER) Yatim Lailun Ni’mah, Irmina Kris Murwani dan Ita Ulfin Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Abstrak Telah dilakukan validasi metode F-AAS (Flame – Atomic Absorption Spectrophotometric) untuk penentuan kandungan logam Mn, Cu, Zn, dan Fe dalam limbah elektroplating. Parameter validasi meliputi sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas LOD, LOQ. Hasil Validasi metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji linearitas memberikan nilai 2 R masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi untuk logam tersebut berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan sensitivitasnya berturut-turut -3 -3 0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah 5,48x10 ; 4,08x10 ; 0,067 dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 0,0559. Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm. 1.
Pendahuluan Di laboratorium Lingkungan ITS yang terdapat di Research Center memiliki beberapa peralatan / instrument yang dapat digunakan untuk menentukan pengukuran kualitas dan kuantitas parameter untuk lingkungan. Diantara instrument yang ada yaitu Spektrofotometer Serapan Atom (Atomic Absorption Spectrophotometer). Instrument tersebut dapat digunakan untuk pengukuran analisa beberapa logam. Sebelum di lakukan untuk pengukuran sampel, maka sebelumnya instrument tersebut perlu di lakukan validasi metode agar data hasil pengukuran yang diperoleh memiliki nilai yang ukurat. Jika pada pengukuran diperoleh data dengan penyimpangan yang terlalu besar, maka kesalahan pengukuran tidak dapat diterima, jadi hasil analisis tersebut tidak valid. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai validasi metode penentuan beberapa konsentrasi logam yang sering diukur dengan instrumen tersebut. Pengukuran konsentrasi logam dengan AAS perlu divalidasi agar data yang diperoleh lebih presisi dan akurat. Pada penelitian ini dilakukan optimasi dalam pengukuran logam menggunakan AAS dengan beberapa parameter validasi yaitu sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas dan rentang, LOD dan LOQ. Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Kecermatan (Accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung pada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tingi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan metode (RSD). Vander Wielen, dkk menyatakan bahwa selisih kadar pada
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS berbagai penentuan (Xd) harus 5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur dilakukan. Keseksamaan (Precision) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel – sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pad kondisi yang berbeda. Biasanya analiosis dilakkan pada laboratorium – laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut dana analis ayang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel – sampel yang diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : a. Hasil analisis adalah X1, X2, X3,…..Xn, maka simpangan bakunya adalah :
SD =
( ∑( X − X ) 2 n −1
b. Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah : RSD = SD/X
KV =
SD x100% X
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau -1 bergantunga pada arah garis. Sedangakan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan. Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuntitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko dan formula dibawah ini dapat digunakan untuk perhitungan,
Q=
k.S b SI
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi Sb = simpangan baku respon analitik dari blanko SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a + bx) Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x). Batas deteksi (LOD) Karena k = 3 atau 10, simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka : LOD =
3Sy / x SI
LOQ =
10 Sy / x SI
Batas kuantitasi (LOQ)
Metode AAS memiliki prinsip kerja pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini memiliki cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik dari atom–atom logam. Metode AAS sering digunakan untuk analisis logam karena ketelitiannya sampai tingkat yang sangat kecil, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan. Kemungkinan untuk menentukan konsentrasi semua unsur sampai pada ppm. Sebelum pengukuran tidak selalu memisahkan unsur yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi penentuan logam (Tembaga, Seng , Besi dan Mangan) dari sampel limbah elektroplating dengan Spektofotometer Serapan Atom. 2. Metode Penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah Satu unit alat Spektrofotometer Serapan Atom, Mikropipet, pipet volume, pipet tetes, gelas ukur, beker gelas, neraca analitik, dan labu ukur. Sedangkan bahan yang digunakan adalah padatan Seng (II) nitrat Zn(NO3)2.9H2O, padatan tembaga (II) nitrat trihidrat Cu(NO3)2.3H2O, HCl, Larutan standar Cu, Zn, Fe dam Mn digunakan sebagai larutan standar kalibrasi, kertas saring whatman, HNO3 65%, NaOH, aquades, aqua DM dan sampel limbah industri elektroplating. Prosedur Kerja Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Fe, Cu, Mn dan Zn Larutan induk Fe, Cu dan Mn 1000 ppm masing-masing dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan tembaga dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 5; 10; dan 20 mL kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan tembaga dengan konsentrasi 0; 1; 5; 10; dan 20 ppm. Larutan Fe dianalisa dengan AAS pada λ 249,3 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,045 ppm, range kerja 2,5 – 10 ppm dan batas deteksi 0,006 ppm. Larutan Mn dianalisa dengan AAS pada λ 279,5 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,021 ppm, range kerja 1 – 4 ppm dan batas deteksi
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 0,002 ppm, lalu masing – masing dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan(C). Sedangkan pembuatan kurva kalibrasi Zn dilakukan dengan cara : larutan induk seng 1000 ppm dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 2; 3; dan 4 mL kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan konsentrasi 0; 1; 2; 3 dan 4 ppm. Selanjutnya dianalisa dengan SSA pada λ 357,9 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), lalu dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan(C). Pengukuran konsentrasi Fe, dan Mn dalam sampel limbah industri Sampel berupa air limbah di ambil 1 mL kemudian ditambah HNO3 1 % 3 tetes, dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL kemudian diencerkan sampai tanda batas. Sampel diukur kadar Cu, Fe dan Mn dengan menggunakan SSA. 3. Hasil dan Pembahasan Persiapan instrumen diawali dengan pemeriksaan lampu yang terpasang pada alat AAS dan dicatat pada nomor berapa lampu tembaga, besi mangan dan seng terpasang. Sebelum alat AAS digunakan untuk mengukur sampel, semua kondisi harus dicek dalam keadaan benar, misalnya gas dan udara sudah mengalir, cooling water pada burner sudah nyala, air pada drill pot tidak boleh kosong, penampung buangan sudah terpasang, panjang gelombang sudah sesuai untuk logam yang diukur, dll. Analisa yang dilakukan yaitu pembuatan kurva kalibrasi dari logam tembaga, besi, mangan dan seng serta uji linieritas untuk masing-masing logam tersebut serta uji yang lain (presisi, akurasi, selektivitas, LOD dan LOQ). Hasil yang sudah didapatkan dari penelitian ini yaitu berupa data hasil uji linieritas, uji presisi, selektifitas, LOD dan LOQ untuk logam mangan, seng, besi dan tembaga. Kurva kalibrasi dibuat dengan mengukur absorbansi dari larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya dengan menggunakan AAS pada λ maksimum tertentu untuk masingmasing logam. Kemudian dengan mengalurkan nilai absorbansi terhadap konsentrasi dari larutan standart dan berdasarkan hukum Lambert Beer akan diperoleh suatu persamaan garis lurus melalui regresi linier. Persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi ini yang digunakan untuk menghitung konsentrasi logam dalam cuplikan. Uji Linieritas Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Tembaga, Besi dan Mangan Kurva kalibrasi logam tembaga (Cu) dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam tembaga dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada λ 324,7 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam tembaga ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 0,7 y = 0,0309x + 0,0021 R² = 0,9999
Absorbansi
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Tembaga (ppm) Gambar 1. Kurva kalibrasi larutan standar tembaga Kurva kalibrasi logam besi dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam besi dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada λ 248,3 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam besi ditunjukkan pada Gambar 2. 0,1 y = 0,0044x + 0,0002 R² = 0,9999
Absorbansi
0,08 0,06 0,04 0,02 0 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Besi (ppm) Gambar 2. Kurva kalibrasi larutan standar besi Kurva kalibrasi logam mangan dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam mangan dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20, ppm yang diukur dengan SSA pada λ 279,5 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam mangan ditunjukkan pada Gambar 3.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Absorbansi
0,2 y = 0,0089x - 0,0007 R² = 0,9996
0,15 0,1 0,05 0 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Mangan (ppm) Gambar 3. Kurva kalibrasi larutan standar mangan Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi 2 (R ) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan absorbansinya. 2 Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R mendekati +1. sedangkan nilai nol menyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan Gambar 1, 2 dan 3 didapatkan 2 2 nilai R untuk Logam Cu, Fe dan Mn adalah 0.999. Harga R yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati garis lerengnya.
Absorbansi
Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Seng Kurva kalibrasi logam seng dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam seng dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, ppm yang diukur dengan SSA pada λ 213,9 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam mangsengan ditunjukkan pada Gambar 4. 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
y = 0,0184x + 0,0018 R² = 0,996
0
1
2
3
4
Konsentrasi Seng (ppm) Gambar 4. Kurva kalibrasi larutan standar seng
5
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi 2 (R ) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi 2 larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R mendekati +1. Sedangkan nilai nolmenyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan 2 2 Gambar 4. didapatkan nilai R = 0.996. Harga R yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati garis lerengnya. Uji Presisi Alat AAS Uji presisi ini mengacu kepada kesepakatan di dalam satu kelompok hasil eksperimen. Kesepakatan ini tidak berdampak apa pun terhadap hubungannya dengan nilai yang sebenarnya. Uji presisi ini meliputi SD (standar deviasi), RSD dan CV, dimana masing-masing uji tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
(∑( X − X ) 2 n −1 SD RSD = x100% X
SD =
CV = RSD x 100% Uji presisi ini diambil dari salah satu data uji linieritas yang tepat berada pada garis linier, sehingga untuk tiap-tiap logam berbeda-beda konsentrasi yang digunakan. Untuk logam Zn, titik yang tepat berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 1 ppm. Sedangkan untuk logam Mn, Fe dan Cu, titik yang berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 5 ppm. Data untuk masing – masing logam ada pada Tabel 1 - 4 Tabel 1. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Mn Absorbansi No
Konsentrasi
1
2
3
4
5
6
Rata-rata
1
Blanko
0.0001
0.0001
0.0001
0.0001
0.0002
0.0001
0.000117
2
1
0.0088
0.0088
0.0088
0.0088
0.0087
0.0088
0.008783
3
5
0.0442
0.044
0.044
0.0441
0.044
0.0437
0.044
4
10
0.0849
0.0851
0.0852
0.085
0.0849
0.0846
0.08495
5
20
0.1767
0.1757
0.1763
0.1766
0.1761
0.177
0.1764
Tabel 2. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Cu Absorbansi No
Konsentrasi
1
2
3
4
5
6
Rata-rata
1
Blanko
0.0001
0.0001
0.0002
0.0001
0.0002
0.0002
0.00015
2
1
0.0307
0.0306
0.0307
0.0307
0.0306
0.0306
0.03065
3
5
0.16
0.1596
0.1596
0.1594
0.1585
0.1593
0.1594
4
10
0.3171
0.3178
0.3154
0.3152
0.3156
0.3157
0.316133
5
20
0.6161
0.6165
0.6138
0.6147
0.6163
0.6148
0.615367
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 3. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Fe Absorbansi No
Konsentrasi
1
2
3
4
5
6
Rata-rata
1
Blanko
0.0002
0.0002
0.0004
0.0004
0.0002
0.0003
0.000283
2
1
0.0043
0.0044
0.0042
0.0044
0.0044
0.0043
0.004333
3
5
0.023
0.0228
0.0228
0.0228
0.0229
0.023
0.022883
4
10
0.0442
0.0442
0.0441
0.0441
0.0442
0.0441
0.04415
5
20
0.0874
0.0873
0.0873
0.0875
0.0871
0.0871
0.087283
Tabel 4. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Zn Absorbansi No
Konsentrasi
1
2
3
4
5
6
Rata-rata
1
Blanko
0.0003
0.0004
0.0004
0.0003
0.0004
0.0006
0.0004
2
1
0.0202
0.0202
0.0202
0.0204
0.0203
0.0203
0.020267
3
2
0.0411
0.041
0.041
0.041
0.0411
0.0412
0.041067
4
3
0.0588
0.0591
0.0588
0.0587
0.0587
0.0588
0.058817
5
4
0.0734
0.0735
0.0735
0.0733
0.0732
0.0735
0.0734
Data pada Tabel 1 – 4 adalah berbagai konsentrasi standar logam Mn, Cu, Fe dan Zn yang diukur sebanyak enam kali. Konsentrasi yang digunakan untuk menghitung uji presisi alat adalah pada data dicetak tebal. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai SD untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn -3 -3 berturut – turut adalah 0,0112; 9,1 x10 ; 0.0224; dan 3.01 x 10 . Nilai RSD untuk logam Mn, Cu, -3 -3 Fe dan Zn berturut – turut adalah 2,03 x10 ; 1,73 x 10 3; 0.00392 2.82 x 10 . Sedangkan Nilai CV untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,203 % ; 0,173 % 0,392 % dan 0,282 %. Nilai CV (%) untuk presisi single operator dan rekomendasi range untuk metode AAS st langsung dan ekstraksi logam, std method 21 ed AWWA, APHA 3111B) adalah 2,9. CV (%) baik bila memenuhi syarat yaitu CV (%) percobaan ≤ CV (%) metode standart. Semua data diatas (logam Mn, Fe, Cu dan Zn) menunjukkan nilai CV (%) ≤ 2,9.s Uji Sensitivitas Alat AAS Kepekaan (S) adalah konsentrasi analit yang memberikan nilai absorbansi = 0,0044 ekivalent dengan 1 % T (transmitansi). Kepekaan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : S = 0,0044 (C1/A1) Dimana: C1 : Konsentrasi analit dalam larutan kalibrasi A1 : Absorbansi rata-rata larutan kalibrasi C1 Data untuk perhitungan uji sensitivitas untuk tiap logam terdapat pada Tabel 4.5 – 4.8. Dari hasil perhitungan nilai sensitivitas untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,4993 ; 0,1379 ; 0,9624 dan 0,217. Uji sensitivitas alat memenuhi syarat bila sensitivitas percobaan ≤ 1,25 sensitivitas alat.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Limit Deteksi. Larutan blanko yang digunakan adalah larutan blanko yang yang telah dispike menjadi larutan yang mengandung konsentrasi logam sebesar 0,001mg/L. Data untuk tiap logam terdapat pada Tabel 4.5 -4.8 yang ada tulisan blanko. Limit deteksi ada 2, yaitu LOD (batas deteksi) dan LOQ (batas kuantitasi). LOD dan LOQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : LOD =
3Sy / x SI
dan
LOQ =
10 Sy / x SI
Dimana : Sy/x = simpangan baku respon analitik dari blanko SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a + bx) Dari hasil perhitungan didapatkan nilai LOD dan LOQ untuk logam Mn, Fe, Cu dan Zn berturut -3 – turut adalah 0,0168 dan 0,0559 mg/L ; 0,067 dan 0,2235 mg/L; 5,48 x 10 dan 0,0183 mg/L; -3 4,08 x 10 dan 0,0136 mg/L. Hasil uji presisi, sensitivitas, batas deteksi dan batas kuantitasi, secara ringkas disajikan dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9. Rangkuman Data Uji Validasi Metode AAS Untuk Semua Logam Uji Mn RSD
2.03 x 10
-3
Fe
Cu
Zn
0.00392
1.73 x 10
2.82 x 10 0.282
-3
CV
0.203
0.3919
0.173
S
0.4993
0.9624
0.1379
-3
0.217 -3
-3
LOD
0.0168
0.067
5.48 x 10
4.08 x 10
LOQ
0.0559
0.2235
0.0183
0.0136
Hasil pengukuran kadar logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam limbah Elektroplating Nilai absorbansi yang didapat dari pengukuran dengan AAS untuk keempat logam (Fe, Mn, Cu dan Zn) yang di ukur dimasukkan kedalam persamaan regresi linier sehingga didapatkan konsentrasi logam tersebut dalam limbah elektroplating. Nilai konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm. 4.Kesimpulan Hasil Validasi metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji 2 linearitas memberikan nilai R masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi untuk logam tersebut berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan sensitivitasnya berturut-turut 0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah -3 -3 5,48x10 ; 4,08x10 ; 0,067 dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 0,0559. Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Ucapan Terimakasih Dengan tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pemberi dana dari Program Penelitian Produktif Tahun Anggaran 2010, Jurusan Kimia FMIPA dan Laboratorium Research Center ITS. Daftar Pustaka ASTM E 66386 (Reapproved 1991), Standard Practice For Flame AtomicAbsorption Analysis, 1991. ASTM E 181296,Optimation of Flame Atomic Absorption Spectrometric Equipment, 1996. ASTM E1024 and E1330, 1992 Harmita, (2004), “Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya”, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 1, No. 3, hal. 117-135. Khopkar, S. M., (1984), “Konsep Dasar Kimia Analitik”, Analytical Chemistry Laboratories, Department of Chemistry, Indian Institute of Technology, Bombay. Samin, (2006), “Jaminan Mutu Metode FAAS dan UVVIS untuk Penentuan Unsur – Unsur dalam Air Tangki Reaktor” Sminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, BATAN Yogyakarta. Ebdon L., (1982), “An Introduction to Atomic Absorption Spectroscopy”, Heyden and Son, London Underwood A. L., (1994), “Analisis kimia Kuantitatif “, Erlangga, Jakarta Vogel, (1990), “Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro”, Bagian 1, Edisi kelima, PT Kalman media pustaka, Jakarta
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
STUDI KOMPARATIF KURVA BREAK THROUGH PEMISAHAN ION Cu2+ DAN Ni2+ DARI LARUTAN DENGAN PELET KOMPOSIT CANGKANG KUPANG – KHITOSAN TERIKATSILANG DALAM UP FLOW FIXED BED COLUMN** Eko Santoso*, Hendro Juwono, Diah Dwi Jayanti, dan Rulina Rachmawati Laboratorium Kimia Fisika dan Polimer, Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Abstrak 2+
2+
Ion Cu dan Ni secara independen telah dipisahkan dari larutan pada pH optimum dengan pelet komposit cangkang kupang – khitosan terikatsilang dalam up flow fixed bed column. Pelet komposit dibuat dengan variasi komposisi, masing-masing mengandung 93,75%, 95,24%, dan 96,15%(w/w) cangkang kupang. Proses ikatsilang khitosan dilakukan menggunakan gluteraldehid sebagai agen pengikatsilang. Proses pemisahan ion logam dilakukan dengan mengalirkan larutan yang mengadung ion logam ke dalam kolom yang berisi pelet kompsit dengan ukuran bed tertentu (fixed bed column) dengan variasi laju 1,5 mL/menit, 2,0 mL/menit, dan 2,5 mL/menit. Hasil menunjukkan bahwa pada seluruh variasi laju alir, ion 2* 2+ Ni lebih cepat mengalami break through dibandingkan ion Cu . Waktu break through kedua logam semakin menurun dengan meningkatnya laju alir larutan dan dengan meningkatnya kadar cangkang kupang dalam pelet komposit. Fakta ini menunjukkan bahwa agen aktif pemisahan ion logam dalam komposit didominasi oleh khitosan. Secara kinetik, ion Cu2+ 2+ bersifat lebih reaktif terikat pada pelet komposit dibandingkan dengan ion Ni dan reaktifitas kedua logam terikat pada pelet komposit menurun dengan menigkatnya laju alir larutan ke dalam kolom. 2+
2+
Kata kunci : komposit, cangkang kupang, khitosan, ion Cu , ion Ni , dan break through. 1.
Pendahuluan Air limbah dari perindustrian dan pertambangan merupakan sumber utama polutan logam berat. Logam berat dapat membahayakaan bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi batas ambang yang diijinkan. Meskipun konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan logam berat tetap memiliki potensi yang berbahaya untuk jangka waktu yang panjang karena logam berat telah diketahui bersifat akumulatif dalam sistem biologis. Oleh karena itu, saat ini lembagalembaga pemerintahan juga memberikan perhatian yang serius dan membuat aturan yang ketat terhadap pengolahan air limbah industri sebelum dibuang ke perairan terbuka [Quek et al., 1998]. Berbagai macam teknologi pemisahan logam-logam berat dan beracun dari air limbah telah dikembangkan, seperti metoda pengendapan kimia, oksidasi-reduksi, filtrasi mekanik, penukar ion, pemisahan membrane, dan adsorpsi dengan karbon. Namun, berbagai teknologi tersebut mempunyai beberapa kendala, yakni disamping biayanya mahal seringkali juga membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus. Oleh karena itu, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari metoda atau teknologi alternatif untuk memisahkan logam-logam berat dan beracun dari air limbah yang lebih baik dengan biaya yang lebih ekonomis. Salah satu usaha untuk mengatasi persoalan polutan logam berat dalam air limbah yang sekarang banyak diteliti adalah mencari biosorben alami yang melimpah dan murah [Babel and Kurniawan, 2003]. Teknik adsorpsi mempunyai keunggulan dibandingkan teknik pengendapan karena teknik adsorpsi mampu memisahkan logam berat dalam air limbah meskipun konsentrasi logam berat dalam air limbah sangat rendah hingga kurang dari 1,00 ppm. Sedangkan teknik
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS pengendapan membutuhkan konsentrasi logam berat yang cukup tinggi dan senantiasa masih menyisakan logam berat dengan konsentrasi tertentu yang tidak mungkin dihilangkan dengan teknik pengendapan [Schmul et al, 2001]. Biosorben yang melimpah dan murah dapat menjadikan proses pengolahan air limbah menjadi murah karena setelah proses adsorpsi tak perlu dilakukan regenerasi sebagaimana penggunaan karbon aktif dan resin sintetik yang mahal, mengingat proses regenerasi juga membutuhkan biaya [Ozcan and Ozcan, 2005]. Kupang beras atau kupang putih (Tellina sp) merupakan binatang moluska dari jenis kerangkerang bercangkang ganda (bivalve) yang sudah tidak asing bagi masyarakat. Bagi masyarakat Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya, Sidoarjo dan sekitarnya, binatang ini sudah tidak asing lagi karena daging binatang ini biasa dimasak dan dimakan bersama lontong, yang terkenal dengan nama "Lontong Kupang". Ketika daging binatang ini dimasak maka cangkang atau kulit luar binatang biasanya hanya dibuang sebagai limbah. Meskipun tidak ada data kuantitatif yang tertulis, jumlah limbah cangkang kupang yang dihasilkan pasti sangat besar karena "Lontong Kupang" adalah makanan yang setiap hari dijual di warung makanan. Dalam situs pemprov jatim diungkapkan bahwa Sidoarjo mampu memproduksi kupang 10 ton per hari [d-infokom-jatim, 2007]. Mengingat jumlah kupang yang dihasilkan per hari sangat besar tentu jumlah limbah cangkang kupang yang dihasilkan juga sangat besar. Namun demikian, pemanfaatan limbah cangkang kupang beras ini belum tampak kecuali hanya untuk pengeras jalan yang berlumpur di daerah perkampungan bekas persawahan. Pada tahun 2008, peneliti dan dibantu seorang mahasiswa telah melakukan kajian pendahuluan tentang pemanfaatan serbuk cangkang kupang sebagai bisorben bagi logam tembaga dalam air limbah dan hasilnya menunjukkan bahwa serbuk cangkang kupang cukup layak sebagai bisorben bagi logam tembaga karena kapsitas adsorpsi lebih tinggi dibandingkan beberapa biosorben lain seperti serbuk gergaji (sawdusk), tongkol jagung, abu terbang (fly ash), clipnotilolite zeolite, dan charbazite zeolite. Namun kapasitas adsorpsi serbuk cangkang kupang terhadap logam tembaga masih lebih rendah dibandingkan dengan karbon aktif dan khitosan. [Santoso, 2008]. Pada tahun 2009, peneliti telah melanjutkan penelitiannya dimana serbuk cangkang kupang dibuat komposit bisorben dengan menggunakan khitosan terikatsilang sebagai polimer pengikat serbuk cangkang kupang dan digunakan sebagai biosorben untuk menghilangkan ion logam dalam larutan dengan metoda “batch”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya khitosan yang berfungsi sebagai pengikat serbuk cangkang kupang dalam komposit dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi (kemampuan mengikat) logam berat yang lebih baik dibandingkan serbuk cangkang kupang murni [Santoso, dkk., 2009]. 2+ 2+ Pada penelitian ini , telah dikaji secara komparatif adsorpsi ion logam Cu dan ion Ni oleh pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang dengan metoda “up flow fixed bed column”. 2. Metodologi Preparasi adsorben dilakukan dengan melarutkan 1,0 gram khitosan dengan larutan asam asetat 2% sebanyak 100 ml dan diaduk sampai larut sambil dipananskan. Khitosan yang sudah larut diangkat dari hotplate dan dibiarkan di ruangan terbuka hingga temperaturnya turun sama dengan suhu kamar. Kemudian, larutan khitosan diambil sebanyak 20 ml, dituangkan ke dalam beker gelas dan di tambahkan erbuk cangkang kupang sebanyak 3,0 gram. Campuran serbuk cangkang kupang dan larutan khitosan diaduk menggunakan stirer magnetik, kemudian diambil dengan pipet tetes dan diteteskan ke dalam larutan NaOH 2N. Pelet komposit serbuk cangkang kupang khitosan yang terbentuk dipisahkan dari larutan NaOH 2N dengan kertas saring, kemudian direndam dalam larutan glurtaraldehid 0,2 % selama 24 jam sehingga terbentuk pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang. Kemudian, pelet komposit yang telah terikatsilang dipisahkan dari larutan gluteraldehid 2% dengan kertas saring, dicuci dengan akuades hingga pH netral dan dikeringkan dengan oven. Pelet ini disebut pelet biosorben A (PB-A). Perlakuan ini diulangi dengan penambahan serbuk kupang sebanyak 4 gram untuk memperoleh pelet biosorben B (PB-B) dan dengan penambahan serbuk cangkang kupang sebanyak 5 gram untuk memperoleh pelet biosorben C (PB-C).
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Larutan mengandung ion logam 100 ppm dialirkan secara kontimu kedalam kolom yang berisi pelet sejumlah tertentu biosorben dengan laju alir bervariasi, yaitu 1,5 mL/menit, 2,0 mL/menit, dan 2,5 mL/menit. pH larutan ion logam yang akan dialiirkan ke dalam kolom diatur pada nilai tertentu yang menghasilkan adosprsi maksimum [Santoso, dkk., 2009]. 20 mL pertama dari cairan efluen yang keluar dari kolom, dianggap waktu proses pengolahan ke nol (t=0), diukur kadar logamnya dengan spektroskopi serapan atom (SSA) dan diukur nilai pHnya.. 20 mL kedua dari efluen dukur kadar logam dan pHnya pada 15 jam berikutnya, dianggap t=15 dari proses pengolahan. Pengukuran kadar logam dan pH dari efluen selanjutnya dilakukan setiap 15 jam. Seluruh proses ini dilakukan pada suhu kamar.
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Cu Ni 100
200 t (jam) Gambar 1
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
300
400
Cu Ni
0
100
200 t (jam) Gambar 3
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
300
400
Cu Ni
0
Ct/Co
0
Ct/Co
Ct/Co
Hasil dan Pembahasan Kadar logam dalam efluen yang diukur pada waktu tertentu di sebut Ct dan kadar logam dalam larutan awal 100 ppm disebut Co. Perbandingan antara Ct/Co diplot versus waktu proses t menghasilkan sebuah kurva yang disebut sebagai kurva “break through” atau kurva “penerobosan”. 2+ 2+ Kurva “break through” dari proses pemisahan ion logam Cu dan ion Ni pada berbagai laju alir dan komposisi ditunjukkan pada Gambar 1 sampai Gambar 3 untuk pemisahan menggunakan bisorsen PB-A dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan, pada Gambar 4 sampai Gambar 6 untuk pemisahan menggunakan biosorben PB-B dengan laju alir1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan, dan pada Gambar 7 sampai Gambar 9 untuk pemisahan menggunakan biosorben PB-C dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan.
Ct/Co
3.
100
200 t (jam) Gambar 2
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
300
400
Cu Ni 0
100
200 t (jam) Gambar 4
300
400
ISBN 978-602-98130-0-5
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Cu Ni
0
100
t (jam) Gambar 5
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
200
Cu Ni 0
100
200
300
t (jam) Gambar 7
Ct/Co
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Cu Ni
0
300
100
200
300
t (jam) Gambar 6
Ct/Co
Ct/Co
Ct/Co
Ct/Co
SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Cu
0
50
100 t (jam) Gambar 8
150
200
Cu Ni
0
50
100 150 200 t (jam) Gambar 9 Pada Gambar 1 sampai Gambar 9 tampak bahwa pola kurva “break through” proses 2+ 2+. pemisahan ion logam Cu berbeda dengan dengan ion logam Ni Pada seluruh variasi laju alir dan komposisi pelet biosorben, tampak bahwa pada laju alir dan komposisi tertentu dari pelet 2+ biosorben maka nilai waktu “break through” (tB) dan waktu “exhausted” (tE) dari ion logam Cu lebih 2+ 2+ besar dari ion logam Ni . Hal ini menunjukkan bahwa ion logam Cu lebih sulit menerobos halangan kolom biosorben dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menjenuhkan kolom dibandingkan dengan ion logam Ni2+. Artinjya, interaksi antara gugus aktif (gugus amina) dari 2+ khitosan dalam biosorben dengan ion logam Cu adalah lebih kuat dibandingkan dengan ion 2+ 2+ logam Ni . Fakta ini dapat dikaitkan dengan ukuran ion dimana ukuran jari-jari ion Ni adalah 0,69 2+ 2+ angstrom dan jari-jari ion Cu adalah 0,73 angstrom [Lide, 1989]. Jadi, ukuran ion Ni adalah lebih 2+ 2+ kecil dibandingkangkan dengan ukuran ion Cu . Boleh jadi, ion logam Cu mempunyai ukuran diameter yang tepat dengan rongga yang disediakan oleh ligan pengikatnya, jika usulan ikatan antara ion logam dengan gugus aktif dalam khitosan ditunjukkan pada Gambar 10 [Schmuhl, 2001; Kalyani et al, 2005; Verbych et al, 2005]. Ukuran rongga yang disediakan oleh ligan untuk ion logam adalah sudah tertentu dan bersifat kaku karena terletak di dalam biosorben padat yang 2+ bersifat kaku. Oleh karena itu, jika ukuran ion Ni terlalu kecil untuk menempati rongga tersebut
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 2+
maka ikatan menjadi agak longgar dan lemah, sehingga ion Ni mudah lepas dan menerobos rongga tersebut bersama aliran larutan melewati kolom. Pada laju alir 2,0 mL/menit dan 2,5 2+ mL/menit, ion Ni pada waktu nol menit sudah terdeteksi dalam efluen. Artinya, pada tetesan efluen yang pertama sudah mampu menerobos halangan kolom biosorben. Jadi pada laju alir 2,0 2+ dan 2,5 mL/menit, waktu “break through” ion Ni adalah nol. Nilai waktu “break through” (tB) hanya terdeteksi (lebih besar dari nol) pada laju alir 1,5 mL/menit dan kemungkinan akan lebih besar lagi ketika laju alir diturunkan kurang dari 1,5 mL/menit. Untuk ion logam Cu2+, pada semua variasi laju alir dan komposisi biosorben masih mempunyai waktu “break through” yang tertentu.
Gambar 10 2+ Perubahan pH efuen selama proses pemisahan ion logam Cu oleh kolom bisosorben dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit ditunjukkan pada Gambar 11 sampai dengan Gambar 2+ 13 secara berurutan dan untuk pemisahan ion logam Ni dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit ditunjukkan pada Gambar 14 sampai Gambar 16 secara berurutan.
10
8 pH-efluen
10
pH-efluen
12 8 6 PB-A PB-B PB-C
4 2
6 4
PB-A PB-B PB-C
2
0
0 0
100
200 t (jam) Gambar 11
300
400
0
100
10
8
8 6 PB-A PB-B PB-C
4 2 0 0
50
100 150 200 250 300 t (jam) Gambar 13
pH-efluen
10
pH-efluen
12
200 300 t (jam) Gambar 12
400
6 PB-A PB-B PB-C
4 2 0 0
50 100 150 200 250 300 350 t (jam) Gambar 14
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
8
8 pH-efluen
10
pH-efluen
10
6 PB-A PB-B PB-C
4 2
6 PB-A PB-B PB-C
4 2 0
0 0
50
100
150 200 t (jam) Gambar 15
250
0
300
2+
50
100 150 t (jam) Gambar 16
200
250
2+
pH awal dari larutan yang mengandung ion Cu dan ion Ni masing-masing sebelum masuk kolom biosorben adalan diatur 4 karena pada pH 4 kemampuan biosorben mengikat kedua ion logam mencapai nilai maksimum [Santoso, dkk., 2009]. Dari Gambar 11 sampai 16 tampak bahwa pH 2+ efluen yang dihasilkan dari proses pemisahan ion logam Cu berkisar pada pH 6 dan pH efluen 2+ hasil pemisahan ion logam Ni berkisar pada pH 7. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses pemisahan kedua ion logam telah terjadi reaksi kimiawi yang mengubah nilai pH dari pH 4 (pH awal larutan ion logam sebelum masuk kolom biosorben) menjadi 6 atau 7 (pH efluen yang keluar dari kolom biosorben). Reaksi tersebut kemungkinan adalah ada 2 macam, yaitu reaksi antara gugus aktif dalam khitosan dengan ion logam yang merupakan reaksi pertukaran ion dan menghasilkan + + ion H dan reaksi antara ion H dengan CaCO3 dalam cangkang kupang menghasilkan H2O dan gas CO2 yang menghasilkan pH netral. Reaksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : 2+ + Khitosan (s) + M (aq) Khitosan-M (s) + 2H (aq) + 2+ 2H (aq) + CaCO3 (s) Ca (aq) + H2O (l) + CO2 (g) Efluen dengan pH netral adalah adalah salah satu persyaratan agar efluen hasil pengolahan limbah cair dapat dibuang ke perairan bebas atau untuk dimanfaatkan kembali [Ahuja, 2009]. Hasil pengolahan data kurva “break through” pada Gambar 1 sampai Gambar 9 dengan model kinetika Thomas [Planas, 2002] menghasilkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada ion logam Cu2+ dan ion Ni2+, yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai kapasitas adsorpsi (Q0) pelet biosorben pada ion logam dengan pendekatan model kinetika Thomas. 2+ 2* Laju Q0-ion Ni Qo-ion Cu Jenis Biosorben (mL/mnt) (mg/g) (mg/g) PB-A (93,75%-serbuk cangkang 1,5 390,30 642,92 kupang) 2,0 177,27 649,96 2,5 162,28 689,66 PB-B (95,24%-serbuk cangkang 1,5 337,96 451,30 kupang) 2,0 144.93 584,08 2,5 135.49 624,57 PB-C (96,15%-serbuk cangkang 1,5 247,86 325,74 kupang) 2,0 127.73 352,92 2,5 118.58 443,95 Pada semua variasi komposisi dan laju alir, pelet biosorben mempunyai nilai kapasitas adsorpsi pada ion Cu2+ lebih besar dibandingkan pada ion Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa 2+ 2+ reaksitifitas ion Cu pada pelet biosorben adalah lebih besar dibandingkan ion Ni . Kenaikan kadar serbuk cangkang kupang menurunkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada kedua jenis ion logam.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 4.
Kesimpulan Gugus aktif dalam khitosan mempunyai peranan penting dalam menetukan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada kedua jenis ion logam karena semakin besar kadar khitosan dalam pelet biosorben semakin besar nilai kapasitas dan waktu “break through”. Waktu “break throug” dan 2+ nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada ion Cu adalah lebih besar dibandingkan pada ion 2+ 2+ 2+ Ni . Dengan demikian reaktifitas ion Cu adalah lebih besar dibandingkan ion Ni . Ucapan Terimakasih Peneliti mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak atas terselesaikannya penelitisn ini, khususnya Program Hibah PHKI yang telah memberikan dana. Daftar Pustaka Babel, S. and Kurniawan, T.A., 2003, “Low-cost adsorbent for heavy metals uptake from contaminated water : a review”, J. Hazardous Mat., B97, 219-2433. Kalyani et al, 2005, “Removal of copper and nickel from aqeous solutions using chitosan coated on perlite as biosorbent”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1483–1495. Lide, D.R., ed., 1989, “CRC Handbook of Chemistry and Physics, 89th Edition (Internet Version 2009), CRC Press/Taylor and Francis, Boca Raton, FL. Ozcan, A. and Ozcan, A.S., 2005, “Adsorption of Acid Red 57 from aqueous solutions onto surfactant – modified spiolite”, J. Hazardous Mat., B125, pp. 252-259. Planas, M.R., 2002, “Development of technique based on natural polymers for the recovery precious metals”, Tesi Doctoral, Departament d’Enginyeria Quimica, Universitat Politecnica de Catalunya. Quek, SY., Wase, DAJ., and Forster, CF., 1998, “The use of sago waste for the sorption of lead and copper”, Water SA, Vol. 24, No. 3, pp. 251-256. Santoso, E., 2008, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) sebagai biosorben logam tembaga dalam air limbah sintetik dengan sistem adsorpsi dinamik pada kolom katil tetap (fixed bed colomn), Laporan Penelitian Produktif, Institut Tekonologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Santoso, E, dan Isti’anah, S., 2009, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) sebagai biosorben untuk mengolah air limbah yang mengandung ion tembaga (II)”, Jurnal Purifikasi, Vol. 10, No.1, hal. 39-48. Santoso, E., Juwono, H., Habibi, M., Dwi PW, V., Asih. E., Saputra, F.W., 2009, “Pemanfaatan limbah cangkang kupang untuk pembuatan komposit cangkang kupang – khitosan terikatsilang sebagai biosorben murah bagi logam berat dari air limbah”, Laporan Penelitian Hibah PHKI Tema B, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Schmuhl, R., Krieg, H.M., and Keizer, K., 2001, “Adsorption of Cu(II) and Cr(VI) ions by Chitosan : Kinetics and Equilibrium Studies”, Water SA, Vol. 27, No. 1, pp. 79–86. Verbych, S., Bryk, M., and Chornokur, G., 2005, “Removal of Copper(II) from Aqueous Solutions by Chitosan Adsorption”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1749–1759.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS KATALIS Sn BERPENDUKUNG ZEOLIT NaY DARI SEKAM PADI UNTUK REAKSI DENITRIFIKASI DENGAN HASIL AMMONIUM Netty Kartika Sari dan Irmina Kris Murwani* Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya *Email:
[email protected]
Abstrak Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Penelitian ini diawali dengan sintesis zeolit NaY. Kemudian dilakukan loading logam Sn pada zeolit NaY. Katalis yang dihasilkan adalah zeolit NaY dan katalis logam tunggal Sn berpendukung NaY. Katalis yang diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui strukturnya. Katalis tersebut diuji katalitik melalui reaksi denitrifikasi dengan cara mereaksikan nitrat dengan katalis dibawah kondisi aliran gas hidrogen. Produk berupa amonium dianalisis dengan spektroskopi UV-Vis. Kata Kunci : Denitrifikasi, katalis Sn, zeolit NaY 1. Pendahuluan Konsentrasi nitrat di dalam tanah, khususnya di dalam air tanah dan air permukaan, selama beberapa tahun ini semakin bertambah di seluruh dunia. Senyawa ini menyebabkan eutrofikasi laut dan sungai. Konsentrasi nitrat pada air minum sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat menimbulkan methemoglobinemia atau sindrom bayi biru yaitu penyakit yang menyerang darah anak-anak karena kapasitas pembawa oksigen pada darah diinterferensi oleh nitrat (EPA, 1995). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa senyawa N-nitroso berpotensi karsinogenik, yang dihasilkan reaksi nitrat dengan amina atau amida (Canter, 1997). Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Logam Sn berperan sebagai logam promotor diharapkan dapat meningkatkan selektivitas katalis dalam reduksi. 2. Metodologi Preparasi SiO2 Pada penelitian ini akan diperoleh SiO2 dari sekam padi melalui beberapa tahap. Mulao mula sekam padi dioven pada suhu 600 C selama 4 jam. Dari proses pengovenan akan dihasilkan abu berwarna putih. Selanjutnya abu dicuci dengan HCl 1M secara berulangkali dan dibilas dengan akuades lalu disaring menggunakan corong buchner. Setelah didapatkan residu dan filtrat, residu kemudian dikeringkan. Preparasi, Aktivasi dan Karakterisasi Zeolit NaY Katalis zeolit NaY dibuat dari bahan dasar SiO2, natrium aluminat, natrium hidroksida dan akuades. Mula-mula natrium hidroksida dicampur dengan akuades membentuk larutan NaOH. Selanjutnya larutan NaOH tersebut dibagi menjadi dua bagian. Larutan NaOH pertama ditambahkan natrium aluminat membentuk campuran A, sedangkan larutan NaOH kedua ditambahkan SiO2 membentuk campuran B. Masing-masing campuran diaduk 2 jam, kemudian kedua campuran digabungkan dengan tetap diaduk membentuk campuran A-B. Campuran
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS A-B dimasukan ke dalam 38tirrer dan dioven pada suhu 100°C selama 6 jam, kemudian disaring hingga didapatkan residu dan filtrat. Selanjutnya residu dicuci dengan akuades hingga o netral dan dioven pada temperatur 100 C selama 24 jam. NaY yang terbentuk kemudian dikarakterisasi strukturnya menggunakan difraktometer sinar-X dan FT-IR. Preparasi Katalis Sn Berpendukung NaY Katalis Sn berpendukung diperoleh dengan metoda presipitasi. Awalnya padatan pendukung dimasukkan dalam larutan SnCl2⋅2H2O (Sn=1,25%). Kemudian ditambahkan larutan NH4OH 1N hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan disaring dan dicuci dengan akuades. Kemudian padatan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 450°C selama 4 jam. Aktivasi katalis o melalui kalsinasi 450 C dengan dialiri gas H2 selama 2 jam (Prϋsse dan Vorlop, 2001). Uji Katalisis pada Reaksi Denitrifikasi Hasil preparasi katalis diuji sifat katalisisnya dengan cara melihat aktivitasnya dalam reaksi denitrifikasi. Katalis dimasukkan dalam 38tirrer labu leher tiga dan dijenuhkan dengan H2 selama 1 jam. Kalium nitrat dimasukkan dalam labu leher tiga dan distirer selama 15 menit pada suhu ruang sambil dialiri H2 dengan laju alir 60 mL/menit. Produk yang berupa gas dianalisis menggunakan Kromatografi Gas dengan detektor TCD dan produk yang berupa larutan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis.
Gambar 1. Eksperimen set up, skema penggambaran reaktor untuk reaksi denitrifikasi. (1). Gas inlet, (2) Pemanas, (3) Gas keluar, (4) Termometer, (5) Labu leher tiga, (6) Magnetik stirrer 3. Hasil dan Pembahasan Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan XRD
Gambar 2. Difraktogram Zeolit NaY (merah) dan Sn/NaY (biru)
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Difraktogram Sn/NaY terlihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2. Terlihat difraktogram yang mirip antara Sn/NaY dan zeolit NaY. Terdapat sedikit perbedaan jika difraktogram Sn/NaY dibandingkan dengan zeolit NaY, terdapat puncak – puncak baru yang merupakan puncak-puncak khas Sn yaitu pada daerah 2θ = 44,91 dan 55,34 (tanda ) sesuai dengan database PDF 862265. Puncak-puncak khas zeolit NaY juga masih jelas terlihat dalam difraktogram Sn/NaY, yaitu berada pada daerah 2θ = 6,10, 12, 15, 23, 26 dan 31°. Adanya puncak-punc ak khas dari bahanbahan awal penyusun padatan Sn/NaY menunjukkan bahwa proses presipitasi menurunkan kristalinitas pendukung karena adanya logam Sn yang terdispersi pada permukaan pendukung, namun struktur utama tetap ada (Huang dkk., 2008). Jika membandingkan pola difraksi Sn/NaY dengan Sn murni, terlihat adanya puncakpuncak karakteristik dari logam Sn, namun intensitas puncak khas logam Sn pada difraktogram Sn/NaY terlihat jauh lebih rendah dari pada difraktogram Sn murni. Sehingga beberapa puncak khas Sn pada 2θ = 30,64; 32,02; 43,88 tidak tampak pada difraktogram Sn/NaY. Hal ini kemungkinan disebabkan loading Sn yang kecil (1,25% berat Sn dari total berat katalis). Fenomena ini dapat pula dikarenakan proses penambahan basa yang terlalu cepat, sebab proses pengendapan yang terlalu cepat dapat menghasilkan padatan yang amorf (Perego dan Villa, 1997).
T-O-
T-
O-
H-OH
Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan FT-IR Pada spektra FT-IR Sn/NaY tetap didominasi ikatan-ikatan dari pendukung, yaitu pada -1 daerah 3400 cm menunjukkan daerah vibrasi ulur O-H. Sedangkan vibrasi tekuk H-O-H muncul -1 pada 1650 cm (Nakamoto, 1978; Cordoba dkk., 1996; Figueiredo dkk., 2006; Wang dkk., 2003). -1 Puncak serapan pada daerah 1139 cm menunjukkan adanya vibrasi ulur T-O dimana T adalah Si -1 atau Al (Wang dkk. 2003 dan Thammavong, 2003) dan puncak pada daerah 950 cm adalah puncak vibrasi dari T-O (Cordoba dkk., 1996 dan Wang dkk., 2003 ). Puncak pada daerah 506 dan -1 432 cm merupakan vibrasi tekuk O-T-O (Nakamoto, 1976 dan Wang dkk., 2003). Adapun Rios -1 -1 dkk. (2007) juga menambahkan bahwa puncak pada daerah 699 cm dan 610 cm merupakan vibrasi ulur TO4. Sedangkan ikatan Sn-O tidak nampak, hal ini dikarenakan loading Sn yang terlalu kecil. Jika dilihat dari intensitas spektra FT-IR pada Gambar 3. ternyata intensitas Sn/NaY lebih rendah dibandingkan dengan zeolit NaY, hal ini dikarenakan adanya logam Sn yang terdispersi merata pada permukaan pendukung (Kalevaru dkk., 2009).
Gambar 3. Spektra FTIR Zeolit NaY dan Sn/NaY
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Uji Katalisis Katalis Sn/NaY diuji kemampuan katalisisnya pada reaksi denitrifikasi dengan produk katalisisnya adalah ammonium. Pembentukan ammonium pada reaksi denitrifikasi sesuai dengan yang dilaporkan Cholier-Brym (2002). Konsentrasi ammonium diukur dengan metoda UV-Vis pada panjang gelombang 460 nm menggunakan reagen Nessler. Konsentrasi yang didapatkan adalah 1,33 ppm. Hasil ammonium yang sedikit menurut penelitian Chen dkk. (2003) adalah dikarenakan + ammonium (NH4 ) merupakan produk samping dari reaksi denitrifikasi. NO3 + H2 → NO2- + H2O (reaksi 1) + (reaksi 2) NO2 → NO → NH4 Adapun tahap-tahap reaksi reduksi yang terjadi dalam (reaksi 2) adalah : 2NO2 + H2 → 2NO + 2OH (reaksi 2a) + NO + 3H2 → NH4 + H2O (reaksi 2b) 4. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa katalis Sn/NaY dapat mendenitrifikasi nitrat dan menghasilkan produk berupa ammonium dengan konsentrasi 1,33 ppm. Daftar Pustaka Canter, L.W. (1997), “Nitrates in Groundwater”, CRC Press, Boca Raton, Florida. Chen, Ying-Xue, Zhang, Y. dan Guang-Hao, C. (2003), “Approriate Conditions or Maximizing Catalytic Reduction Efficiency of Nitrate into Nitrogen Gas in Groundwater”, Water Research, Vol. 37, hal. 2489-2495. Chollier-Brym, M.J., Gavagnin, R., Strukul, G., Marella, M., Tomaselli, M. dan Ruiz, P. (2002) New insight in the Solid State Characteristics, in the Possible Intermediates and on the Reactivity of Pd–Cu and Pd–Sn Catalysts Used in Denitratation of Drinking Water, Catalysis Today, Vol. 75, hal. 49-55. Cordoba, G., Arroyo, R., Fierro, J. L. G. dan Viniegra, M. (1996), “Study of Xerogel–Glass Transition of CuO/SiO2”, Journal of Solid State Chemistry, Vol. 123, hal. 93 – 99. EPA. (1995), “National Primary Drinking Water Regulations Office of Groungwater and Drinking Water”, Washington D.C, United States. Figueiredo, H., Neves, I. C., Quintelas, C., Tavares, T., Taralunga, M., Mijoin, J. dan Magnoux, P. (2006), “Oxidation Catalysts Prepared from Biosorbents Supported on Zeolite”, Applied Catalysis B : Environmental, Vol. 66, hal. 274 – 280. Huang, S., Zhang, C. dan He, H. (2008), “Complete Oxidation of o-xylene over Pd/Al2O3 Catalyst at Low Temperature”, Catalysis Today, Vol 139, Hal. 15-23. Kalevaru, V. N., Raju, B. D., Rao, V. V. dan Martin, A. (2009), “ Preparation, Characterization and Catalytic Evaluation of MgF2 Supported V2O5 Catalyst for Ammoximation of 3-picoline”, Applied Catalysis A: GeneraI, Vol. 352, hal. 223-233. Nakamoto, K., (1978), Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds, 5th Edition, John Wiley & Sons, USA. Perego, C. dan Villa P. (1997). “Catalyst Preparation Methods”. Catalysis Today, Vol. 34, hal. 281305. Prϋsse, U. dan Vorlop, D. (2001), ”Supported Bimetalic Palladium Catalysts for Water-Phase Nitrate Reduction“, Journal of Molecular Catalysis, Vol. 173, hal. 313-328.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Rios, C., Williams, C. dan Maple, M. J. (2007), “Synthesis oz Zeolites and Zeotypes by Hidrothermal Transformation of Kaolinite and Metakaolinite”, BISTUA, Vol. 5, No. 1, hal. 1526. Thammavong, S. (2003), “Studies of Synthesis, Kinetics and Particle Size of Zeolite X from Narathiwat Kaolin”, Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Science in Chemistry Suranaree University of Technology. Wang, Z., Liu, Q., Yu, J., Wu, T. dan Wang, G. (2003), “Surface Structure and Catalytic Behavior of Silica-Supported Copper Catalysts Prepared by Impregnation and Sol-Gel Methods”, Applied Catalysis A: General, Vol. 239, hal. 87 – 94.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
KOMPLEKS BESI (II) DENGAN LIGAN 2-FENIL-ETIL AMIN Fahimah Martak Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Corresponding author Phone : 081572535690 e-mail:
[email protected]
Abstrak Kompleks besi(II) dengan ligan 2-fenil etil amin telah disintesis dan dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, Elemental analisis, SSA, difraksi sinar-X powder dan magnetometer. II -1 Kompleks ini memiliki formula [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5. Puncak pada 451,34 cm terjadi karena vibrasi ulur Fe dengan N amin pada ligan 2-fenil-etil amin. Berdasarkan pola difraksi sinar-X, II kompleks polimer [Fe4 (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memiliki kelompok ruang P6(3). Data suseptibilitas magnetik terhadap temperatur menunjukkan bahwa kompleks memiliki interaksi feromagnetik, ini dibuktikan dengan adanya meningkatnya magnetisasi pada medan rendah dan cenderung saturasi II pada medan lebih tinggi dengan nilai 5 µB pada 50 kOe. Kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memberikan interaksi feromagnetik pada temperatur rendah yaitu 32 K. Kata kunci: kompleks besi(II), kompleks polimer, interaksi feromagnetik dan fenil-etil amin. 1. Pendahuluan Sejak penemuan magnet molekul tunggal sepuluh tahun yang lalu, sintesis dan karakterisasi fisik senyawa magnetik berdasarkan molekular menjadi salah satu bidang paling aktif diteliti. Senyawa magnetik berdasarkan molekular dapat diperoleh dari interaksi ion-ion logam transisi deret pertama dengan konfigurasi elektron d1-d9. Interaksi magnetik berdasarkan molekular juga dihasilkan dari interaksi antar ligan, seperti ditunjukkan pada kompleks binuklir dengan ligan etilen diamin dengan ligan oksalat. Senyawa kompleks dapat menunjukkan sifat feromagnet. Sifat feromagnet ini timbul dari akibat interaksi antar elektron tidak berpasangan pada ion-ion logam. Interaksi feromagnet pada senyawa kompleks umumnya ditunjukkan pada temperatur rendah (Garcia, et al., 2002). Oleh karena itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah upaya apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan temperatur terjadinya interaksi feromagnetik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah merancang kompleks polimer yang dapat terjadi interaksi coulomb dan ikatan hidrogen sehingga menaikkan temperatur Curie Weiss (TCW) senyawa. TCW adalah temperatur dimana mulai terjadi perubahan sifat bahan dari paramagnetik menjadi feromagnetik. Temperatur Curie Weiss pada bahan merupakan indikasi bahwa senyawa memiliki interaksi feromagnetik. Interaksi feromagnetik dapat diidentifikasi melalui pengukuran nilai suseptibilitas magnetik dengan variasi temperatur. Nilai suseptibilitas magnetik senyawa feromagnetik meningkat tajam dibawah temperatur Curie. Interaksi ini dapat dihasilkan dengan pemilihan ligan yang tepat. Studi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan menggunakan ligan oksalat (Martak, 2010). Namun, senyawa kompleks polimer yang dihasilkan menunjukkan interaksi feromagnetik pada temperatur dibawah 15 K. Oleh sebab itu pada penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan ligan fenil etil amin. Gugus amin pada ligan tersebut dapat diubah menjadi ammonium, diharapkan atom hidrogen yang terikat pada ammonium dapat berikatan hidrogen pada ligan yang terkoordinasi pada ion logam sehingga interaksi inter dan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS intramolekular senyawa kompleks meningkat. Sruktur senyawa 2-fenil etil amin ditunjukkan pada Gambar 1.
NH2
Gambar 1. Struktur ligan 2-fenil etil amin Penggunaan ligan 2-fenil etil amin sebagai pembentuk kompleks polimer dikaji secara struktural dan dikaji pula sifat magnetik dari kompleks tersebut.
2. Metodologi Penelitian Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari : FeCl3.4H2O, 2-fenil etil amin, asam klorida, methanol, ethanol, dimetil sulfoksida, asam nitrat, kalium klorida, dietil eter, alumunium fosfat, serbuk Fe, aquadest dan gas nitrogen. Semua bahan tersebut memiliki kualitas p.a. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi seperangkat alat-alat gelas, rotary evaporator, spektrometer serapan atom (SSA) Shimadzu AA8801S dan GBC 902 Double Beam, analisis mikrounsur C, H, N, S Model Fison EA 1108, neraca kerentanan magnet (MSB = Magnetic Susceptibility Balance) Sherwood Scientific Ltd., Spektrophotomer Infra Red Perkin Elmer Spektrum GX, dan Difraktometer sinar-x Bruker Smart Apex CCD dengan sumber Molibdenum Kα (λ=0,71073 Å) digunakan untuk analisis kristalografi kristal tunggal. Prosedur Sintesis Sintesis FeCl2.4H2O Sejumlah 5,24 gram FeCl3 dilarutkan dalam 20 ml etanol, setelah itu larutan FeCl3 ditambah 2,63 gram serbuk Fe sambil dipanaskan sampai 70 °C. Campuran panas ini ditambah 4 ml HCl pekat. Terbentuk dua lapisan, larutan atas bening dan dibagian bawah terbentuk endapan hitam. Larutan bening yang dihasilkan ditambahkan pada dietil eter dalam wadah tertutup yang telah didinginkan. Kristal putih kehijauan terbentuk dengan segera. Kristal disaring dengan kaca masir G-4 sambil dialiri gas N2. Kristal kering putih kehijauan dikeringkan dalam vakum. Sintesis kompleks [Fe(2-fenil-etil ammonium)x]Cl2+x Sejumlah 0,212 gram (1,5 mmol) garam 2-fenil etil amin ditambahkan asam klorida untuk merubah menjadi garam ammonium. Mangan asetat tetrahidrat (0,124 gram, 0,5 mmol) dilarutkan dalam 20 mL metanol. Kedalam larutan tersebut ditambahkan pada larutan 2-fenil etil amin yang telah diberi asam. Campuran ini diaduk hingga dihasilkan endapan. Endapan yang terbentuk disaring. Larutan yang diperoleh dibiarkan beberapa hari dalam desikator yang telah diberi gas nitrogen. Kristal yang terbentuk dari penguapan pelarut pada temperatur ruang disaring, selanjutnya dianalisis formula dan strukturnya. 3.
Hasil dan DiskusiI
Senyawa kompleks Fe(II)-2-fenil-etil-amin disintesis dengan menggunakan metoda yang telah dilakukan oleh Eimer, dkk (2008). Senyawa memiliki tampilan berupa kristal berwarna hijau. Ligan 2-fenil-etil amin mengalami pelepasan ion hidrogen menjadi gugus amonium. Pasangan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS elektron bebas atom Nitrogen dari gugus amonium tersebut berperan sebagai donor elektron pada ion logam besi(II). Foto senyawa kompleks ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Foto kristal kompleks Fe(II)-2-fenil-etil-amin Kompleks ini pada temperatur ruang bersifat paramagnetik dengan nilai momen magnetik sebesar 5,2 BM. Nilai momen magnetik ini sesuai nilai momen magnetik spin tinggi yang berasal dari sumbangan spin untuk besi(II). Kompleks ini tidak larut dalam pelarut air maupun organik (aseton, dietil eter, metanol, etanol, dimetilformamida dan asetonitril). Kristal ini larut dalam dimetil sulfoksida. Kompleks Fe(II)-2-fenil-etil-amin merupakan kompleks bermuatan +5, ini dibuktikan dari analisis elemental C, H dan N yang menunjukkan tiga ligan 2-fenil-etil-amin terikat pada ion logam besi(II). Hasil penentuan kadar Fe dengan SSA dan hasil C, H, N terangkum pada Tabel 1. Tabel 1 Kadar unsur-unsur penyusun senyawa kompleks [tris(2-fenil-etil-amin)besi(II)] pentaklorida Fe(II)-2-fenil-etil-amin
Hasil Eksperimen Teoritik
Kadar unsur-unsur penyusunnya (%) Fe
C
H
N
9,75
48,85
5,28
7,27
(9,53)
(48,52)
(5,09)
(7,08)
Untuk mendukung fomula senyawa, dilakukan analisis lebih lanjut secara spektrofotometri. Spektroskopi inframerah menunjukkan adanya gugus C=C pada benzena pada 1598,99 cm-1. -1 Frekwensi vibrasi ulur C=C dari etil tampak pada bilangan gelombang 1132,21 cm . Puncak serapan pada 3429,43 mengindikasikan adanya vibrasi ulur N-H dari gugus amin. Sedangkan vibrasi tekuk antara karbon dengan nitrogen pada gugus amin umumnya tampak pada bilangan -1 gelombang antara 1650-1580 cm . Vibrasi tekuk N-H amin pada kompleks ini ditunjukkan pada -1 -1 1658,85 cm . Puncak serapan pada bilangan gelombang 1157,29 cm menunjukkan adanya -1 vibrasi ulur =C-N. Kehadiran pita pada bilangan gelombang 400-500 cm mengindikasikan adanya -1 ikatan logam dengan nitrogen. Puncak pada 451,34 cm terjadi karena vibrasi ulur Fe dengan N amin pada ligan 2-fenil-etil amin. Spektrum inframerah senyawa kompleks ini disajikan pada Gambar 3.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
II
Gambar 3 Spektrum inframerah kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5. Untuk menguji bahwa senyawa kompleks yang disintesis telah terbentuk, dapat dilakukan II analisis dengan difraksi sinar-X powder. Difraktogram sinar-X kompleks polimer [Fe (2-fenil-etilamin)3]Cl5 ditunjukkan pada Gambar 4.
II
Gambar 4. Difraksi sinar-X kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 II
Hasil analisa difraksi sinar-X senyawa kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 terdapat kesesuaian dengan pola difraksi sinar-X senyawa kompleks besi(II) amin 1,2,4-trizol yang dilaporkan (Nuttal,1999). Pola difraksi sinar-X senyawa kompleks tersebut dibandingkan kompleks
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS besi(II) amin trizol. Dari kedua pola difraksi tersebut terdapat perbedaan pada sudut 2θ 12,23; 0 12,98 dan 13,01 . Hal ini dipengaruhi oleh adanya etil yang terikat pada ligan tersebut. Perbedaan panjang rantai pada ligan mempengaruhi jarak pemisahan antar kation logam. Perbedaan jarak II antar ion logam berakibat pada perbedaan pola difraksi sinar-X kompleks [Fe (2-fenil-etilII amin)3]Cl5. Puncak difraktogram karakteristik pada kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 dan II kompleks [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2 ditunjukkan Tabel 2. II
Tabel 2. Data difraktogram karakteristik kompleks hasil sintesis [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 terhadap II kompleks [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2 Kompleks Polimer
Kompleks Binuklir
II
II
[Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5
[Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2 2θ
11,97
11,89; 12,23
−
12,98; 13,01
14,71; 17,13
14,79; 16,86
18,8; 19,99
18,43; 19,51
21,30; 22,13
21,07; 22,08
24,09
23,95 II
Berdasarkan pola difraksi sinar-X, kompleks polimer [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memiliki kelompok ruang P6(3). Pola difraksi sinar–X kompleks tersebut sama dengan difraktogram II II [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2, dapat disimpulkan bahwa struktur kompleks polimer [Fe (2-fenil-etilII amin)3]Cl5 memiliki kemiripan terhadap struktur kompleks polimer [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2. II Struktur kompleks polimer [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2 ditunjukkan pada Gambar 5.
II
Gambar 5 Struktur kompleks polimer [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2 (Verdaguer, 2001) II
Sifat kemagnetan kompleks polimer [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 dapat diamati dengan menganalisis kurva dari nilai suseptibilitas magnetik senyawa terhadap temperatur. Dari pengukuran nilai suseptibilitas magnetik, diperoleh nilai momen magnetik senyawa kompleks II polimer pada temperatur ruang adalah 5,51 BM. Nilai momen magnetik pada kompleks [Fe (2II fenil-etil-amin)3]Cl5 lebih kecil dibandingkan kompleks polimer [Fe (amin-1,2,4-triazol)3]Cl2 sebesar 5,84 BM yang telah dilaporkan (Mathoniere, 1996). Hal ini membuktikan bahwa dengan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS meningkatnya jarak antar ion logam pada kompleks dapat menurunkan interaksi magnetik senyawa. Nilai momen magnetik senyawa secara teoritik berkaitan dengan keadaan spin ion-ion logamnya. Sumbangan spin ditentukan dari penjumlahan maksimum spin-spin ion logam yang II II , diperoleh dari jumlah elektron yang tidak berpasangan pada ion logam Fe dan Fe , dimana II ST=SFe + SFe dengan SFe=2. Senyawa kompleks polimer [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 yang dihasilkan bersifat spin tinggi. Hal ini mengindikasi bahwa kompleks polimer tersebut bersifat paramagnetic pada temperatur ruang. II Kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memberikan interaksi feromagnetik pada temperatur rendah yaitu 32 K. Momen magnetik komplek binuklir dengan interaksi feromagnetik secara teoritik 1/2 ditentukan dengan persamaan µ=g(ST(ST+1)) (g=2,00023). Berdasarkan persamaan tersebut II diperoleh momen efektif polimer [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 adalah sebesar 5,27 BM. Nilai pada temperatur ruang sesuai untuk pusat magnetic terisolasi, dengan spin local SFe = 2. Dalam II kompleks [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5, nilai χT hampir konstan hingga temperatur 30 K dan menunjukkan peningkatan setelah pendinginan. Sifat ini konsisten dengan interaksi feromagnetik II II Fe -Fe .
Gambar 6. Ketergantungan χM terhadap temperatur kompleks II [Fe (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 Magnetisasi terhadap medan pada 2 K memperkuat interaksi feromagnetik pada senyawa. Ini ditunjukkan meningkatnya magnetisasi pada medan rendah dan cenderung saturasi pada medan lebih tinggi dengan nilai 5 µB pada 50 kOe. Nilai ini lebih rendah daripada yang diharapkan untuk arah pararel dari dua interaksi spin (nilai perhitungan 6 µB). Sumbangan ion besiII yang dihasilkan lebih rendah, ini karena efek anisotropi. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kompleks Fe(II)-2fenil-etil amin adalah kompleks polimerik. Kompleks memiliki spin tinggi pada temperatur ruang. Dari data hasil pengukuran dengan magnetometer menunjukkan bahwa kompleks memiliki interaksi ferromagnetik yang ditunjukkan nilai konstanta Weiss positif, adanya saturasi pada medan lebih II tinggi. Kompleks [Fe4 (2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memberikan interaksi feromagnetik pada temperatur rendah yaitu 32 K.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada : 1. Kimia Anorganik, Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia, untuk analisi elemental senyawa kompleks 2. LPPM ITS yang telah memberikan dana penelitian SPI-ITS tahun 2010 dengan no kontrak: 0535/12.7/PM/2010 tanggal 1 Mei 2010. Daftar Pustaka Albertsson, J. and A. Oskarsson, (1977), Compounds with intermediate spin. I. The crystal structure of tris(N,N-dimethyldithiocarbamato)iron(III) at 150 and 295 K, Acta. Cryst. B. 33, 1871-1877. Charles Shipman, J., et al., (1981), Antiviral Activity of 2-Acetylpyridine Thiosemicarbazones Against Herpes Simplex Virus, Ant. Agents. Chemo.. 19, 682-685. Darken, M.C.a.J., (1971), Metal complexes of thio-b-diketones, Coord. Chem. Rev.,7, 29. Dietzsch, W., et al., (1990), Mosbauer spectra of tris(diorganothioselenocarbamato)- and tris diorganodiselenocarbamato)iron(III) complexes, Inorg. Chim. Act.. 169, 157-160. Ewald, A.H. and E. Sinn, (1968), Magnetically anomalous thio complexes of iron(III) and nickel(II), Aust. J. Chem.. 21, 927-938. Filippo, D.D., et al., (1977), On the anomalous magnetic properties of tris(diselenocarbamato)iron(III) compounds, J. Chem. Soc., Dalton Trans. 1566-1571. Gupta, N.S., et al., (1991), Magnetic and Moessbauer characterization of the discontinuous high 6 2 spin ( A1) low-spin ( T2) transition in solid bis(pyridoxal-4-phenylthiosemicarbazonato) iron(III) chloride, Inorg. Chim. Act.. 184, 13-21. Gutlich, P. and H.A. Goodwin, Spin Crossover an Overall Perspective, in Topics in Current Chemistry, Volume: Spin crossover in Transition Metal Compounds, P. Gutlich and H.A. Goodwin, Editors. 2004, Springer-Verlag: Berlin. p. 4. Hayami, S., et al., (2000), First Observation of Light-Induced Excited Spin State Trapping for an Iron(III) Complex, J. Am. Chem. Soc.. 122, 7126-7127. Hauser, A., Ligand Field Theoretical Considerations, in Topics in Current Chemistry, Volume: Spin Crossover in Transition Metal Compounds, P. Gutlich and H.A. Goodwin, Editors. 2004, Springer-Verlag: Berlin. p. 49-50. Juhasz, G., Hayami, S. Sato, O., Maeda, Y. (2002), Photo-induced spin transition for iron(III) compounds with π-π interactions, Chemical Physics Letter, 364, 164-170. Kondo, M. and K. Yoshizawa, (2003), A theoretical study of spin orbit coupling in an Fe(II) spincrossover complex. Mechanism of the LIESST effect, Chem. Phys. Lett.. 372, 519-523. Koningsbruggen, P.J.v., Y. Maeda, and H. Oshio, Iron(III) Spin Crossover Compounds, in Topics in Current Chemistry, Volume: Spin Crossover in Transition Metal Compounds, P. Gutlich and H.A. Goodwin, Editors. 2004, Springer-Verlag: Berlin. p. 317-318. Kunze, K.R., D.L. Perry, and L.J. Wilson, (1977), Synthesis and variable-temperature magnetochemical and Moessbauer spectroscopy studies of tris(monothiocarbamato)iron(III) complexes. A new 2T .dblarw. 6A spin-equilibrium system containing the FeS3O3 core, Inorg. Chem.. 16, 594-599. Letard, J.-F., et al., (2005), A Guideline to the Design of Molecular-Based Materials with Long-Lived Photomagnetic Lifetimes, Chem. Eur. J.. 11, 4582-4589. McGarvey, J.J. and I. Lawthers, (1982), Photochemically-induced Perturbation of the 'A + 5T ll Equilibrium in Fe Complexes by Pulsed Laser Irradiation in the Metal-to-ligand Charge-transfer Absorption Band, J. Chem. Soc., Chem. Commun.. 906-907.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 6
Mohan, M., et al., (1989), Magnetic and Spectroscopic Characterization of the High-Spin ( A1) <=> 2 Low-Spin ( T2) Transition in an Iron(III) Complex of Pyridoxal Thiosemicarbazone, Inorg. Chem.. 28, 96-99. Padhy S. and G.B. Kauffman, (1985), Transition metal complexes of semicarbazones and thiosemicarbazones, Coord. Chem. Rev.. 63, 127-160. Petty, R.H., et al., (1978), Bis(N-methylethylenediaminesalicylaldiminato)iron(III) complexes. Magnetic, Moessbauer, and intersystem crossing rate studies in the solid and solution states for a new (S = 1/2) .dblarw. (S = 5/2) spin-equilibrium case, Inorg. Chem.. 17, 1064-1071. Thompson, A.L., et al., (2005), Structural studies of thermal- and light- induced transitions in iron(II) spin-crossover complexes, Chimie. 8, 1365-1373. Timken, M.D., et al., (1986), Dynamics of spin-state interconversion and cooperativity for ferric spincrossover complexes in the solid state. 5. Variable-temperature spectroscopic, magnetic, and single-crystal x-ray structural characterizations of the spin-state and order-disorder transformations of a Schiff base complex, J. Am. Chem. Soc.. 108, 395-402. s West, D.X., et al., (1994), Copper(II) complexes of 6-methyl-2-formylpyridine 4N- ubstituted thiosemicarbazones, Trans. Met. Chem.. 19, 195-200.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL ZnO SEBAGAI SUPPORT KATALIS Cicik Herlina Yulianti, Ratna Ediati, Didik Prasetyoko* Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Laboratorium Kimia Anorganik, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Tekndiologi Sepuluh November, Surabaya *Email :
[email protected] Telp : 031-5943353
Abstrak Transesterifikasi minyak nabati dan alkohol menjadi biodiesel sering dilakukan dengan katalis homogen basa. Kelemahan proses ini antara lain adanya kesulitan untuk memisahkan produk reaksi. Katalis heterogen CaO yang diimpregkan pada support ZnO terbukti dapat mempermudah pemisahan produk dan katalis serta memberikan yield yang tinggi pada reaksi transesterifikasi minyak biji matahari (konversi >90%). Untuk meningkatkan unjuk kerja katalis, luas permukaan persatuan berat katalis diperbesar dengan memperkecil ukuran katalis. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis nanopartikel ZnO sebagai support katalis. Nanopartikel ZnO diperoleh dengan menyiapkan zinc oksalat dalam pelarut air menggunakan zinc asetat dan asam oksalat sebagai prekursor. Dalam penelitian ini, nanopartikel ZnO diperoleh melalui dekomposisi termal o zinc oksalat pada 450 C di udara selama 90 menit. Nanopartikel ZnO hasil sintesis dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FT-IR. Hasil karakterisasi dengan XRD menunjukkan bahwa nanopartikel ZnO memiliki struktur kristal wurtzite heksagonal dan ukuran kristal ZnO dapat diperoleh sebesar 20,6 - 27 nm. Kata kunci : nanopartikel, sintesis, ZnO Abstract Transesterification of vegetable oil and alcohol producing biodiesel was much carried out using homogeneous basic catalyst. These proces had disanvantages: difficulty separation the product and catalyst. The heterogen catalyst CaO supported on ZnO as transesterification catalyst has proven to be easily separate the product and catalyst and given high yield in transesterification of sun flower oil (conversion > 90%) . To improve the catalytic performance, the surface area per mas of catalyst must be increased by decreasing the size of particle. The aim of the research were to obtain ZnO nanoparticles as support catalyst. Zinc oxide nanoparticles for catalyst support was synthesized by prepared zinc oxalate in aqueous solvents using zinc acetate and oxalic acid as precursors. During this study, zinc oxide nanoparticles was obtained by thermal decomposition of o zinc oxalate at 450 C in air for 90 minute. The zinc oxide nanoparticles have been characterized by XRD and FT-IR. X-ray diffraction demonstrates that the zinc oxide nanoparticles have a hexagonal wurtzite crystal structure and the crystallite sizes were obtained to be 20,65 nm. Key words : nanoparticles, synthesis, ZnO 1. Pendahuluan Biodiesel sangat potensial dikembangkan dalam rangka pengembangan bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui. Biodiesel memiliki kemanfaatan yang tinggi karena bisa digunakan secara langsung untuk mengganti minyak petrosolar pada mesin diesel. Cara memperoleh biodiesel bisa dengan reaksi esterifikasi dari free fatty acids (FFAs) dengan alkohol melalui katalis asam atau transesterifikasi dari trigliserida dengan alkohol melalui katalis basa. Metode paling umum untuk memperoleh biodiesel adalah melalui proses transesterifikasi dengan menggunakan katalis homogen basa kuat seperti NaOH dan KOH. Akan tetapi,
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS penggunaan katalis homogen akan menambah langkah proses dan mengalami kesulitan untuk memisahkan produk reaksi (Alonso dkk, 2008) Penggunaan katalis heterogen merupakan suatu alternatif karena katalis heterogen mudah dipisahkan dari campuran reaksi dengan filtrasi serta dapat digunakan kembali (direcovery) (Alonso dkk, 2008). Salah satu jenis katalis heterogen yang banyak digunakan dalam reaksi transesterifikasi adalah katalis berpendukung (bersupport). ZnO adalah suatu material yang di gunakan secara luas sebagai support katalis, karena memiliki struktur wurtzite yang stabil, dapat o digunakan kembali, ramah lingkungan, memiliki temperatur leleh tinggi (975 C) dan murah (AlbaRubio dkk, 2010). impregnasi ZnO dengan CaO pada reaksi transesterifikasi minyak biji matahari memberikan hasil alkil ester yang sama dengan CaO yang dihasilkan dari dekomposisi CaCO3 o pada suhu 700 C, (konversi > 90%) tapi keuntungan menggunakan katalis CaO yang dimpregkan pada ZnO adalah tidak melarutnya fase aktif CaO pada media reaksi karena adanya interaksi yang kuat antara sisi aktif dan support yang artinya kontribusi fase homogen dapat dihilangkan (AlbaRubio dkk, 2009). Karakteristik ZnO sebagai pendukung katalis sangat tergantung pada ukuran partikel dan metode penyiapannya. Semakin besar luas permukaan per satuan masa katalis maka efektivitas katalis semakin baik. Memperbesar luas permukaan per satuan masa katalis dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran padatan katalis misalnya dengan membuat support katalis berukuran nanopartikel. Pada penelitian sebelumnya, Yan S., dkk (2010), telah berhasil membuat ZnO modifikasi nanopartikel dengan metode hidrolisis urea untuk reaksi transesterifikasi. Kanade K.G., dkk (2006), telah berhasil membuat ZnO nano size dari precursor zinc asetat dengan asam oksalat dengan solven air, methanol, dan etilen glikol dengan hasil ukuran partikel berturut-turut 22-25 nm untuk pelarut air dan 14-17 nm untuk pelarut organik. ZnO telah diteliti sebagai salah satu support katalis yang baik untuk reaksi transesterifikasi. Untuk meningkatkan aktivitas dan effektivitas support katalis maka pada penelitian ini nanopartikel ZnO disintesis dengan metode Kanade K.G., dkk (2006) menggunakan precursor zinc asetat dan asam oksalat dengan pelarut air. Fase kristal zinc oksalat dan zinc oksida hasil sintesis ditentukan dengan diffraksi X-Ray (XRD) dengan mencocokkan posisi dan intensitas puncak XRD dengan data JCPDS no. 25-1029 untuk zinc oksalat dan JCPDS no. 80-0075 untuk zinc oksida. 2. Metodologi Support nanopartikel ZnO disintesis dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh Kanade K.G., dkk (2006), yaitu dengan membuat dua larutan asam oksalat dan zinc asetat sebagai prekursor dengan perbandingan molar 1 : 1. Zinc oksalat didapatkan dengan penambahan sedikit demi sedikit larutan asam oksalat ke dalam zinc asetat sambil melakukan pengadukan dengan kecepatan konstan sebesar 160 rpm selama 12 jam pada temperatur ruang. Endapan putih yang didapatkan kemudian disaring dan dicuci dengan air deionisasi dan aseton untuk menghilangkan o pengotor, lalu dikeringkan pada 120 C. ZnO diperoleh setelah kalsinasi di udara dari zinc oksalat o o pada 450 C selama 90 menit (kecepatan pemanasan 2 C per menit). ZnO yang telah dikalsinasi kemudian diambil dan dikarakterisasi. Karakterisasi partikel menggunakan diffraksi X-Ray (XRD) dan FT-IR. 3. Hasil dan Pembahasan Analisa XRD dari Zinc oksalat (ZnC2O4.2H2O) Serbuk nanopartikel ZnO disiapkan dengan menggunakan zinc asetat dan asam oksalat dalam pelarut air. Skema reaksinya dapat ditunjukkan sebagai berikut: Zn(CH3COO)2.2H2O + H2C2O4.2H2O ZnC2O4.2H2O + 2CH3COOH + 2H2O
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 1 : diffraktogram X-ray dari zinc oksalat yang disiapkan dalam pelarut air. Pola diffraktogram X-ray di atas memiliki kesamaan dengan data yang dilaporkan untuk fase o monoklinik dari zinc oksalat [JCPDS no. 25-1029]. Puncak karakteristiknya terletak di 2θ ( ) 18.7 dengan menampilkan intensitas relatif 100% yang menandakan pembentukan ZnC2O4.2H2O . 1. Analisa XRD dari ZnO
ZnO komersial
ZnO sintesis
Gambar 2 : Diffraktogram X-ray dari ZnO sintesis dan ZnO komersial o
Pola XRD dari ZnO sintesis di atas menunjukkan puncak tinggi di 2θ ( ): 31.80, 34.45, 36.28, 47.56 dan 56.61 yang dapat dikategorikan dalam struktur wurtzite dari kristal ZnO (fase hexagonal, space group P63mc) (JCPDS no. 80-0075).
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Pada gambar di atas dapat dilihat ZnO komersial lebih kristalin dari pada ZnO sintesis, sebagai mana ditunjukkan dengan sinyal diffraksinya yang lebih tinggi. Ukuran kristal dapat dihitung o dari pola XRD dengan menggunakan rumus Scherrer untuk 3 puncak XRD tertinggi di 2θ ( ): 31.80, 34.45, dan 36.28. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diperoleh ukuran partikel ZnO sintesis sebesar 20,6 – 27 nm dan untuk ZnO komersial sebesar 110-135 nm. Hasil ini seperti yang diharapkan sebagai konsekuensi metode sintesis yang digunakan untuk support ZnO, karena adanya gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi oksalat sehingga menghasilkan ukuran partikel yang lebih rendah yang mengarah pada derajat kristalinitas yang lebih rendah pula (Alba-Rubio dkk, 2010). 2. Analisa FT-IR dari support ZnO
486,08 3433,4
Gambar 3: Spektra FT-IR dari support ZnO Analisa FT-IR yang dilakukan bertujuan untuk mengkonfirmasi pembentukan support ZnO dan mengidentifikasi setiap species yang teradsorb pada permukaan kristal. Gambar 3 -1 menunjukkan spektra FT-IR untuk support ZnO. Pita pada 486,08 cm menunjukkan vibrasi -1 -1 streching dari Zn-O (υZn−O). Pita kuat lainnya teramati antara 1350 cm hingga 1600 cm menunjukkan spesies asetat yang teradsorb di dalam permukaan ZnO. Puncak lebar yang terpusat -1 pada 3433,4 cm berhubungan dengan gugus -OH dari H2O, menunjukkan keberadaan air yang terabsorb di atas permukaan ZnO (Adrian G. Parra Palomino, 2006). 4. Kesimpulan 1. Bedasarkan hasil analisa XRD dan FT-IR yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa support nanopartikel ZnO telah berhasil disintesis dari dekomposisi thermal zinc oksalat yang disiapkan melalui zinc asetat dan asam oksalat sebagai prekursornya. 2. Perhitungan dengan menggunakan rumus Scherrer dapat ditentukan ukuran partikel ZnO sintesis adalah sebesar 20,6 - 27 nm.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Daftar Pustaka Alba-Rubio, Ana C., Jose Santamaria-Gonzalez, Josefa M., (2010), “Heterogeneous Transesterification Processes by Using CaO Supported On Zinc Oxide as Basic Catalysts”, Catalysis Today, Vol 149, hal 281-287 Alonso, D.M, R. Mariscal, M. Lo´ pez G, and P. Maireles T, (2008), “Biodiesel Preparasion Using Li/CaO Catalysts: Activation Process and Homogeneous Contribution”, Catalysis Today, Vol. 30, hal. 1-5. Kanade K.G., Kale B.B., Aiyer R.C., Das B.K., (2006), “Effect Of Solvents On The Synthesis Of Nano-Size Zinc Oxide And Its Properties”, Materials Research Bulletin, Vol. 41, hal. 590–600 Palomino A. G.P., 2006, “Room-Temperature Synthesis and Characterization of Highly Monodisperse Transition Metal-Doped ZnO Nanocrystals”, Physics, University Of Puerto Rico, Physics, Puerto Rico Yan S., Mohan S., DiMaggio C., Kim M., Simon Ng K.Y., Salley S.O., “Long Term Activity Of Modified ZnO Nanoparticles For Transesterification”, Fuel, Vol. 89, hal. 2844–2852
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ADSORPSI AMMONIUM (NH4+) PADA ZEOLIT BERKARBON DAN ZEOLIT A YANG DISINTESIS DARI ABU DASAR BATUBARA PT. IPMOMI PAITON DENGAN METODE BATCH Nurul Widiastuti, Nurlailis Handayani, Didik Prasetyoko Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Pada penelitian ini, telah berhasil disintesis zeolit A dari abu dasar batubara melalui metode peleburan, sedangkan zeolit berkarbon disintesis dengan metode hidrotermal langsung. Penelitian ini terfokus pada efektifitas penghilangan ion amonium yang diadsorp dari limbah sintetik amonium dengan menggunakan adsorben zeolit A dan zeolit berkarbon yang disintesis dari abu dasar. Studi adsorpsi ini mencakup variasi waktu, konsentrasi, pH serta mempelajari kinetika adsorpsi dan isotherm adsorpsinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit A mampu mengadsorpi amonium hingga 0,9391 mg/g dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 5 selama 240 menit. Sedangkan zeolit berkarbon mampu mengadsorpi amonium hingga 0,9789 mg/g dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 6 selama 480 menit. Kinetika adsorpsinya mengikuti model dua semu untuk semua adsorben. Isotherm adsorpsinya yang terbaik untuk zeolit berkarbon mengikuti model Freundlich, sedangkan zeolit A yaitu mengikuti model Temkin. Kata kunci: Zeolit A, Zeolit berkarbon, Adsorpsi ammonium, Kinetik, Isotherm 1.
Pendahuluan Ammonium adalah bentuk ion dari ammonia yang dalam perairan merupakan pencemar utama yang berkontribusi terhadap terjadinya eutrofikasi pada danau dan sungai, pengurangan konsumsi oksigen dan keracunan pada ikan dalam perairan (Wang, 2008). Bahkan menurut Sawyer (1994), ammonia bebas didalam air dengan konsentrasi diatas 0,2 mg/l dapat menyebabkan kematian pada beberapa jenis ikan. Untuk faktor keamanan, menurut baku mutu yang berlaku di Indonesia (PP No. 82 tahun 2001), bahwa batas maksimum kandungan ammonia dalam badan air kelas I adalah 0,5 mg/l. Sedangkan menurut KEPMEN LH No. 122 tahun 2004 tentang beban maksimum pencemaran limbah kegiatan industri khususnya adalah industri pupuk adalah 0,75 kg/ton untuk industri pupuk urea; 1,5 kg/ton untuk industri pupuk nitrogen lain dan 0,3 kg/ton untuk industri ammonia. Berbagai metode telah banyak dilakukan untuk menghilangkan ammonium ini antara lain melalui proses biologi seperti nitrifikasi/denitrifikasi yang mana ammonium dirubah secara biologi menjadi nitrit, nitrat dan akhirnya menjadi gas nitrogen. Cara lain yaitu dengan proses kimia-fisik seperti stripping, adsorbsi dan pertukaran ion (Metcalf dan Winkler, 1998). Proses adsorpsi merupakan cara yang sangat mudah dan biaya yang relatif rendah untuk menghilangkan ammonium didalam limbah. Disisi lain, adanya limbah pembakaran batu bara berupa abu dasar yang menumpuk dengan kandungan terbesar yaitu oksida-oksida silikon, alumunium, besi dan kalsium. Komponen kimia dari abu dasar sebagian besar berfasa amorf, yaitu sekitar 66 sampai 88% berat. Sementara itu, fasa kristalin utama adalah silika (SiO2) dan Alumina (Al2O3). Dengan komposisi kandungan tersebut, abu dasar memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan zeolit yang banyak digunakan sebagai penyaring molekul (molecular sieve), penukar kation serta katalis.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Sintesis zeolit dari beberapa bahan abu yang mengandung Si dan Al telah banyak dilakukan sebelumnya (Hollman dkk, 1999, Hui dan Chao, 2006, Molina dan Poole, 2004, Chandrasekar dkk, 2006). Penelitian terdahulu telah dilakukan oleh Yanti (2009) dan Londar (2009) mempelajari beberapa metode dan variabel yang mempelajari kondisi optimum untuk sintesis zeolit A dan zeolit berkarbon dari abu dasar dengan metode peleburan yang diikuti oleh hidrotermal dan metode hidrotermal langsung. Hasil dari penelitian Yanti (2009), menyebutkan kondisi optimum untuk sintesis zeolit A dengan metode peleburan diikuti hidrotermal adalah dilakukan pada suhu o 100 C selama 12 jam. Sedangkan untuk sintesis zeolit berkarbon kondisi optimum yang dilaporkan Londar (2009) adalah dilakukan hidrotermal pada suhu 160oC selama 24 jam. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kapasitas adsorpsi Zeolit A dan Zeolite A berkarbon yang dibuat dari abu dasar berdasarkan kondisi yang telah dilaporkanoleh Yanti (2009) dan Londar (2009) untuk mengadsorp ammonium. 2. Metodologi Abu dasar batubara yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PT. IPMOMI Paiton Probolinggo. Struktur kristal dan mineralogi dari abu dasar telah dianalisa pada penelitian sebelumnya yang menggunakan abu dasar yang sama dengan X-ray Diffraction (XRD) dan komposisi kimia dianalisa menggunakan analisa X-ray Fluoroscene (XRF) (Yanti, 2009). Abu dasar tersebut digunakan sebagai bahan dasar sintesis Zeolit A dan Zeolit A berkarbon yang dibuat pada kondisi optimum yang telah dilaporkan oleh Yanti (2009) dan Londar (2009). Zeolit yang dihasilkan selanjutnya diuji kapasitas adsorpsinya terhadap ammoium dalam sistem batch. Studi Adsorpsi Pada studi adsorpsi, pertama ditentukan waktu setimbang dengan kondisi konsentrasi ammonium 10 mg/L sebanyak 50 mL dengan adsorben 0,5 g pada suhu ruang diaduk dengan kecepatan konstan pada variasi waktu tertentu. Setelah diperoleh waktu setimbang, kemudian dilakukan variasi konsentrasi awal ammonium dan pH. + Konsentrasi ammonium (NH4 ) yang tidak teradsorp diukur dengan alat Spektrofotometer UV-vis pada λ = 630 nm dengan menggunakan metode phenate (APHA, 1995). Banyaknya kontaminan yang diserap dari larutan dinyatakan sebagai kapasitas penghilangan ammonium tiap unit berat dari zeolit (q) yaitu: − (1) =
dengan, Co adalah konsentrasi awal ammonium (mg/L), Ce konsentrasi kesetimbangan ammonium (mg/L), V adalah jumlah volume (L) dan m adalah massa zeolit (g). Efisiensi penghilangan ammonium dari larutan dihitung dari: C − C (2) E isiensi penghilangan% = × 100% C Analisa data kinetik dan isoterm adsorpsi Lima model kinetik digunakan dalam mengamati proses adsorpsi kontaminan kedalam adsorben yaitu orde satu semu, orde dua semu, Bangham, model difusi intra-partikel dan Elovich. Pertama, orde satu semu adalah persamaan yang biasa digunakan untuk menggambarkan adsorpsi dan ditentukan dengan persamaan berikut: = !" − # (3)
dengan qt (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang diserap pada waktu t (min), qe (mg/g) adalah -1 kapasitas adsorpsi kesetimbangan (mg/g), dan kf (min ) adalah konstanta laju model orde satu -1 semu(min ). Persamaan dapat diintegrasi dengan memakai kondisi-kondisi batas qt = 0 pada t = 0 dan qt=qt pada t=t, persamaan menjadi: ln − # = $% − !& ' (4) Model orde dua semu dapat dinyatakan dalam bentuk :
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
= !( − # ) (5) dimana ks adalah konstanta laju model orde dua semu (dalam g/(mg min)). Setelah integrasi dan penggunaan kindisi-kondisi batas qt=0 pada t =0 dan qt=qt pada t=t, persamaan linier dapat diperoleh sebagai berikut : # & & = -+ ' (6) #
*+ ,
,
Laju penyerapan awal, h (mg/g min) sedangkan t t → 0 dapat didefinisikan sebagai berikut : ℎ = !( ) (7) Laju adsorpsi awal (h), kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) dan konstanta orde dua semu ks dapat ditentukan secara eksperimen dari slope dan intersep plot dari t/qt versus t. Persamaan Bangham digunakan untuk mempelajari tahap waktu terjadinya sistem adsorpsi dan persamaannya digambarkan sebagai berikut: 2 * (8) log log 1 3 6 = $78 1 9 6 + > log ' 23 4 5
),;<;=
dengan Co adalah konsentrasi awal adsorbat dalam larutan (mg/L), V adalah volume larutan (mL), m adalah berat adsorben per liter larutan (g/L), qt (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang tertinggal pada waktu t, dan α (<1) dan ko adalah tetap/konstan. Studi difusi intra partikel juga digunakan dalam studi kinetik ini. Rumus model intra-partikel dinyatakan sebagai berikut: & # = !? ' @) + (9) dimana kid adalah konstanta laju difusi intra-partikel. Sebuah plot qt versus t1/2 akan didapatkan garis lurus dengan slope kid dan intersep C ketika mekanisme adsorpsi mengikuti proses difusi intra-partikel. Nilai intersep menandakan tentang ketebalan dari batas lapisan, yaitu luas intersep terbesar adalah efek batas lapisan. Persamaan Elovich berasumsi bahwa permukaan padat sesungguhnya adalah sepenuhnya heterogen. Persamaan Elovich dapat dinyatakan sebagai: = >A 4B (10) # Integrasi persamaan diatas dan penggunaan kondisi awal qt = 0 pada t = 0 dan qt=qt, akan kita peroleh model Elovich: # = 1⁄C$%>C + 1⁄C ln ' (11) dimana α adalah laju adsorpsi awal (mg/(g min)) dan parameter β berhubungan dengan luas perrmukaan yang tertutup dan energi aktivasi (g/mg). Sedangkan pada isoterm adsorpsi terkarakterisasi oleh nilai konstanta tertentu yang menggambarkan karakteristik permukaan, afinitas dari adsorben dan kapasitas adsorpsi dari adsorben. Untuk menggambarkan kesetimbangan adsorpsi, persamaan isoterm yang bermacammacam telah digunakan seperti Langmuir, Freundlich dan model Tempkin. Parameter Langmuir ditentukan dengan rumus berikut G2 = 9EF , (12) &HG2,
qmax (mg/L) dan K (L/mg) adalah kapasitas monolayer yang dicapai pada konsentrasi tinggi dan konstanta kesetimbangan, berturut-turut. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q menunjukkan jumlah yang diserap pada kesetimbangan (mg/g). 2,
=
& G9EF
+
& 9EF
(13)
Parameter Freundlich ditentukan dengan rumus K
= IJ L (14) KF dan 1/n menunjukkan faktor kapasitas Freundlich dan parameter intensitas Freundlich, berturutturut. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q menunjukkan jumlah yang diserap pada kesetimbangan (mg/g). & log = $78IJ + $78 (15) M Model isoterm Tempkin menjelaskan tentang interaksi antara adsorben dengan adsorbatnya. Model ini menganggap adsorpsi pada semua molekul pada permukaan akan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS menurun linier dengan jumlah interaksi antara adsorbat dan adsorben dan adsorpsinya dikarakterisasi dengan energi sampai energinya maksimun. Parameter Tempkin ditentukan dengan rumus NO = P ln I# (16) Model liniernya yaitu (17) A Q& $%I# . Q& $% dimana NO Q& (18) P A adalah plot dari qe versus ln Ce yang digunakan untuk menentukan konstanta isoterm Kt dan B1. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q mewakili jumlah kesetimbangan adsorpsi (mg/g). Kt adalah konstanta kesetimbangan (L/mol) yang cocok digunakan untuk energi ikatan maksimum dan konstanta B1 berhubungan dengan bagian adsorpsi (Widiastuti dkk, 2009). 3. Hasil dan diskusi Penentuan waktu kontak optimum Variasi waktu dilakukan untuk menentukan waktu setimbang yang merupakan kondisi + + maksimum adsorben untuk menyerap ammonium (NH4 ). Efek waktu kontak ammonium (NH4 ) dengan zeolit berkarbon dan zeolit A ditunjukkan oleh Gambar 1. yang menunjukkan penghilangan + ionammonium (NH4 ) oleh zeolit A dan zeolit berkarbon yang cukup cepat mulai 15 menit pertama kemudian lajunya meningkat secara signifikan pada menit-menit berikutnya, hingga tercapai laju yang konstan pada 240 menit untuk zeolit A dan 480 menit untuk zeolit berkarbon. Hal ini terjadi karena banyak sisi adsorben yang kosong sehingga kecenderungan larutan untuk terserap ke adsorben semakin tinggi dengan bertambahnya waktu kontak hingga tercapai waktu kesetimbangan (Karadag, 2006). Selama waktu kesetimbangan tersebut, amonium berhasil teradsorp pada zeolit A dan zeolit berkarbon berturut-turut sebesar 0,9391 mg/g dan 0,9789 mg/g. Mekanisme penghilangan amonium menggunakan zeolit termasuk reaksi pertukaran ion dimana zeolit mempunyai muatan negatif akibat adanya perbedaan muatan antara Si4+ dengan 3+ Al . Muatan negatif ini muncul karena atom Al yang bervalensi 3 harus mengikat 4 atom oksigen yang lebih elektronegatif dalam kerangka zeolit. Dengan adanya muatan negatif ini maka zeolit mampu mengikat kation dengan ikatan yang lemah seperti kation Na dan Ca. Karena lemahnya ikatan inilah maka zeolit bersifat sebagai penukar kation yaitu kation Na atau Ca akan tergantikan + posisinya dengan ion amonium (NH4 ). Adsorpsi kation amonium ini terjadi pada permukaan dengan gugus hidroksil pada zeolit dan kombinasi muatan positif dari kation amonium dan muatan negatif pada permukaan zeolit (Gates, 1992).
Gambar 1. Hubungan waktu kontak (menit) dengan qe (mg/g). Kondisi proses: jumlah adsorben 0 0,5 gram, volume 50 ml, konsentrasi awal 10 mg/l, T=32 C dan pH 6,5
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Berdasarkan data kapasitas adsorpsi pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa zeolit berkarbon memiliki kapasitas adsorpsi sedikit lebih besar daripada zeolit A. Hal ini dimungkinkan karena adanya karbon pada Zeolit A berkarbon yang dapat mengadsorp ammonium. Selain itu, bila dilihat dari data luas permukaan, zeolit berkarbon memiliki luas permukaan lebih besar dibandingkan zeolit A karena keberadaan karbon dalam zeolit berkarbon tersebut. Hal ini didukung dengan data luas permukaan zeolit A oleh Yanti, 2009 yang melaporkan bahwa luas permukaan zeolit A sebesar 2,47 m2/g, sedangkan Londar, 2009 melaporkan bahwa luas permukaan zeolit 2 berkarbon sebesar 105,99 m /g. Penentuan konsentrasi awal larutan ammonium optimum Variasi konsentrasi awal ini dilakukan untuk menentukan adsorpsi isoterm dan kapasitas adsorpsi zeolit yang digunakan sebagai adsorben. Hasil pada Gambar 2 menunjukkan bahwa penyerapan ion amonium meningkat dengan meningkatnya konsentrasi awal ion amonium, + kemudian konstan setelah tercapai kesetimbangan. Efisiensi penghilangan amonium (NH4 ) oleh + zeolit A dan zeolit berkarbon meningkat dengan meningkatnya konsentrasi awal amonium (NH4 ). Hasil ini seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Lebedynetz, dkk (2004); Inglezakis, dkk (2005) dan Sprinsky, dkk (2005) yang mengatakan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi awal + amonium (NH4 ) akan memberikan daya dorong yang lebih besar pada sisi – sisi adsorben. + Hasilnya amonium (NH4 ) berpindah (migrasi) dari permukaan luar ke dalam pori-pori zeolit A dan + zeolit berkarbon yang berukuran mikro. Ion amonium (NH4 ) mampu bertukar kation tidak hanya pada permukaan luar zeolit tapi juga pada permukaan dalam zeolit. Kesetimbangan tercapai ketika + semua pertukaran ion amonium (NH4 ) dan kation pada permukaan luar dan dalam zeolit telah + tercapai. Dalam Gambar 2 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan amonium (NH4 ), maka + + lebih banyak amonium (NH4 ) yang tertukar atau terserap. Hasil penyerapan ion amonium (NH4 ) pada zeolit A dan zeolit berkarbon berturut-turut sebesar 3,2868 mg/g dan 2,9236 mg/g pada konsentrasi awal 35 mg/l.
Gambar 2. Hubungan konsentrasi awal dengan qe (mg/g) dengan konsentrasi awal (Co) = 5-50 mg/l. Kondisi proses: jumlah adsorben 0,5 gram, volume 50 ml, waktu kontak: 240 0 menit(4 jam) untuk zeolit A dan 480 menit (8 jam) untuk zeolit berkarbon, T=32 C dan pH 6,5 Penentuan pH optimum Variasi pH ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pH yang optimum untuk penyerapan + ammonium (NH4 ). Gambar 3 menunjukkan pengaruh pH terhadap kinerja zeolit A dan zeolit berkarbon pada pH 4-9. Effisiensi penghilangan ammonium (NH4+) dengan menggunakan zeolit A dari pH 4 sampai 5 effisiensi penghilangan cenderung naik, kemudian turun mulai pH 6 sampai 9, sehingga puncak pH dengan efisiensi penghilangan terbesar juga terjadi pada pH 5 sebesar 55,78%. Pada zeolit berkarbon, dari pH 4 sampai 6 effisiensi penghilangan cenderung naik, kemudian turun mulai pH 7 sampai 9, sehingga puncak pH dengan efisiensi penghilangan terbesar juga terjadi pada pH 6 sebesar 72,63%. Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 .
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
+
Gambar 3. Pengaruh pH larutan ammonium (NH4 ) dengan % ammonium yang teradsorp, waktu kontak 4 jam untuk adsorben zeolit A dan 8 jam untuk adsorben zeolit berkarbon. 0 Kondisi proses: jumlah adsorbent 0,5 gram, volume 50 ml, T=32 C dan konsentrasi 10 mg/l. Penelitian yang dilakukan oleh Thornton (2007) dan Emerson (2006), juga menunjukkan + hasil yang sama bahwa adsorpsi ion ammonium (NH4 ) menggunakan zeolit dimana kondisi pH yang optimum tercapai saat pH < 8. Peningkatan adsorpsi secara cepat ini berhubungan dengan pembentukan hidrokso yang berbeda dengan saat terjadi kenaikan pH larutan. Ammonia berada + didalam air dalam dua bentuk yaitu berupa ion ammonium (NH4 ) atau non-ion ammonium (NH3), yang sesuai dengan persamaan berikut (Weatherley,2004): + − NH4 + OH ⇔ NH3 + H2O (19) + + NH3 + H3O ⇔ NH4 + H2O (20) Keseimbangan ammonium dalam larutan sangat dipengaruhi oleh pH (Hedstrom,2001). Hal ini menunjukkan bahwa hanya dalam bentuk ionnya, ammonium dapat dihilangkan dari larutan dengan pertukaran ion. Pada pH = 8 dan dibawahnya, kebanyakan ammonium berada dalam bentuk ionnya. Oleh karena itu sangat mungkin berasumsi bahwa kondisi-kondisi ini sangat baik untuk proses penghilangan ion ammonium (Thornton, 2007). Diatas pH 8 kesetimbangan bergeser dengan cepat ke arah ammonium dalam bentuk bukan ionnya (NH3) dan dengan meningkatnya pH maka kurang baik untuk proses penghilangan ammonium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pH dibawah 8 akan meningkatkan jumlah ion hidrogen dalam larutan, sehingga menyediakan cukup banyak rongga - rongga untuk kompetisi terjadinya pertukaran (Koon, et.al., 1975, Hankins, et.al., 2004, Hedstrom, et.al., 2001). Berdasarkan Gambar 3. diatas, hal ini dapat dijelaskan dengan Gambar 4. dibawah ini yang menunjukkan perilaku ammonia dalam larutan yaitu bahwa ammonia pada pH 5 sampai 7 + berbentuk ion ammonium (NH4 ), yang merupakan spesies utama yang dapat membuat terjadinya pertukaran ion dengan kation-kation yang berada dalam zeolit. Oleh karena itu, pada kondisi ini effisiensi penghilangan ammonium tinggi. Tetapi pada pH 10 keatas dimana NH3 merupakan spesies dominannya, effisiensi penghilangan ammonium rendah. Hal ini berhubungan dengan kemampuan pertukaran ion dalam bentuk utama NH3 ini sangat rendah.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 4. Diagram perilaku ammonia dalam larutan (Widiastuti, 2009) Kinetika adsorpsi Dari data hasil variasi waktu maka dapat ditentukan data model kinetika adsorpsinya. Data kinetika dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 5. Nilai parameter adsorpsi kinetik dari lima model dirangkum dalam Tabel 1. Dari data Gambar 5. dan + Tabel 1. dapat diketahui bahwa adsorpsi ammonium (NH4 ) menggunakan zeolit A serta zeolit berkarbon mengikuti model orde dua semu. Hal ini dapat disimpulkan jenis modelnya sesuai 2 dengan nilai R yang mendekati satu, dimana nilai R ini merupakan nilai koefisien korelasi dari grafik. Nilai R semakin mendekati satu memiliki data yang linier. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Lecheng Lei, dkk (2008). Tabel 1. Ringkasan dari perhitungan kinetika adsorpsi
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Isoterm adsorpsi Dari data hasil variasi konsentrasi maka dapat ditentukan data model isoterm adsorpsinya. Hal ini untuk mengetahui model isoterm dan untuk mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi. Setelah mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi maka dapat diketahui ikatan yang terjadi. Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah adsorben yang digunakan dapat diregenerasi ulang atau tidak. Data isoterm dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 6. (a), (b), dan (c). Nilai parameter adsorpsi isoterm dari tiga model dirangkum dalam Tabel 2. 2 Jika dilihat dari data koefisien korelasi maka dari semua grafik tersebut nilai R mendekati + angka satu sehingga dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ammonium (NH4 ) menggunakan zeolit A mengikuti model Freundlich. Adsorpsi Freundlich merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya interaksi secara fisik yang terjadi antara adsorbat ( zat yang diserap ) dengan permukaan adsorben (zat yang menyerap ). Ketika permukaan adsorben sudah tertutupi adsorbat, adsorbat tidak hanya terserap pada lapisan atas/tunggal pada permukaan adsorben, tetapi juga pada lapisan kedua dan seterusnya hingga menghasilkan lapisan multi (multilayer). Hal ini karena lemahnya interaksi secara fisik yang terjadi, sehingga jika terjadi peningkatan suhu dan konsentrasi adsorpsi adsorbat pada adsorben juga akan meningkat dengan membentuk lapisan pertama, kedua dan seterusnya menghasilkan lapisan multilayer. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adsorpsi ammonium + (NH4 ) menggunakan zeolit A termasuk jenis adsorpsi fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Khartikeyan, 2004). Gaya antar molekul adalah gaya tarik antara molekul-molekul fluida dengan permukaan padat, sedangkan gaya intermolekular adalah gaya tarik antar molekul-molekul fluida itu sendiri.
(a)
(b)
(c)
(d)
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
(e) Gambar 5. Analisa beberapa model kinetik, (a.) Model orde satu semu, (b.) Model orde dua semu, (c.) Model difusi intrapartikel (d.) Model elovich dan (e) Model bangham, Kondisi proses: jumlah adsorbent 0,5 gram, konsentrasi awal 10 mg/L, volume 50 ml, suhu 25°C , pH = 6,5 dan waktu kontak 4 jam untuk adsorben zeolit A dan 8 jam untuk adsorben zeolit berkarbon.
(a)
(b)
(c) Gambar 6. Kurva adsorpsi isotherm (a) Langmuir, (b) Freundlich dan (c) Temkin. Kondisi proses: jumlah adsorben 0,5 gram, volume 50 ml, t = 8 jam untuk zeolit A dan 4 jam untuk 0 zeolit karbon, T=32 C dan pH 6,5
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Tabel 2. Ringkasan dari perhitungan isoterm adsorpsi
Hasil model Freundlich ini sesuai dengan penelitian Qi Du, dkk (2005) yaitu adsorpsi + ammonium (NH4 ) menggunakan zeolit. Gambar 6 (c) merupakan gambar kurva isotherm model 2 Tempkin. Jika dilihat dari data koefisien korelasi maka dari grafik tersebut nilai R mendekati angka + satu sehingga dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ammonium (NH4 ) menggunakan zeolit A mengikuti model Tempkin. Nilai parameter adsorpsi isotherm dari tiga model dirangkum dalam Tabel 2. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa zeolit A hasil sintesis dari abu dasar mampu mengadsorpi ammonium hingga 93,91% dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 5 selama 240 menit. Sedangkan zeolit berkarbon yang juga disintesis dari abud asar mampu mengadsorpi ammonium hingga 97,89% dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 6 selama 480 menit. Ammonium dalam bentuk ion dapat dihilangkan dari larutan dengan pertukaran ion pada pH = 8 dan dibawahnya, karena kebanyakan ammonium pada pH tersebut berada dalam bentuk ionnya. Adsorpsi dengan menggunakan zeolit A serta zeolit berkarbon mengikuti model adsorpsi kinetik orde dua semu. Sedangkan untuk adsorbsi isotherm untuk zeolit A mengikuti model adsorpsi isotherm Temkin, dan zeolit A berkarbon mengikuti model adsorpsi isotherm Freundlich. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi atas dukungan dana melalui program penelitian Hibah Pasca Sarjana dengan kontrak No. : 0536/I2.7/PM/2010. Daftar Pustaka A. Hedstrom, (2001), “Ion exchange of ammonium in zeolites: a literature review”, J. Environ. Eng. Hal.673–681
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS APHA, (1995) , Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, nineteenth ed., American Public Health Association, Washington, DC, USA, 1995 Barrer, R.M. (1982), “Hydrothermal Chemistry of Zeolites”, Academic Press Inc, London. D. Karadag, Y. Koc, M. Turan, A. Armagan, (2006), “Removal of ammonium ion from aqueous solution using naturalTurkish clinoptilolite”, J. Hazard. Mater. B136, hal. 604–609. Gates, Bruce C. (1992), “Catalytic Chemistry”, John Wiley and Sons Inc., New York Hassett D.J. and Eylands K.E. (1999). "Mercury Capture on Coal Combustion Fly Ash" Fuel 78: 243-248. H.J.Koon,W.J. Kaufmann, Ammonia removal from municipalwastewaters by ion exchange, J. WPCF 47 (3) (1975) 448–465. Hollman G G, Steenbruggen G, Janssen-Jurkovicova M, (1999), “A two-step process for the synthesis of zeolites from coal fly ash”, Fuel, Vol. 78(10), P. 1225–1230. Hui, K.S. dan Chao, C.Y.H. (2006), “Effects of step-change of synthesis temperature on synthesisof zeolite 4A from coal fly ash”, Microporous and Mesoporous Materials, vol 88 hal. 145–151. Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M., (2004), Adsorption Dynamics and equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan. Indian J. Chem. Sci.,116, 2, pp. 119-127 K.R. Emmerson, R.C. Russo, R.E. Luna, R.V. Thurston, (1981), “Aqueous ammonia equilibrium calculation: effect of pH and temperature”, Can. J. Fish Aquat. Sci. 32, hal 2379. Londar, (2009), “Sintesis zeolit karbon dari abu dasar PT. IPMOMI Paiton dengan menggunakan metode hidrotermal langsung“, Senaki IV, Jurusan Kimia FMIPA ITS, Surabaya Metcalf and Winkler, M.A, (1998), Wastewater Engineering—Treatment and Reuse, 4th ed., McGraw-Hill, New York vol. 2, Editorial McGraw Hill M. Lebedynets, M. Sprynskyy, I. Sakhnyuk, R. Zbytniewski, R. Golembiewski, B. Buszewski, (2004), “Adsorption of ammonium ions onto a natural zeolite: Transcarpathian clinoptilolite”, Adsorption Science Technology 22, hal. 731–741. Molina, A. dan Poole, C. (2004) “A Comparative Study Using Two Methods To Produce Zeolites from Fly Ash”, Minerals Engineering, 17, p. 167–173 + N.P. Hankins, S. Pliankarom, N. Hilal, R(2004) , “Removal of NH4 ion from NH4Cl solution using + clinoptilolite: an equilibrium ion exchange study on the removal of NH4 ion from aqueous effluent using clinoptilolite”, Separation. Science Technology. 39 (15), hal. 3639–3663. M. Sprynskyy, M. Lebedynets, A.P. Terzyk, P. Kowalczyk, J. Namiesnik, B. Buszewski, (2005), “Ammonium Sorption from aqueous solutions by the natural zeolite transcarpathian clinoptilolite studied under dynamic conditions”, Colloid Interface Sci. 284, hal. 408–415. Querol, X., Moreno, N., Umana, J.C., Alastuey, A., Hernandez, E., Soler, A.L., Plana, F.,(2002), “Synthesis of Zeolites From Coal Fly Ash:An Overview”, International Journal of Coal Geology 50, hal. 413-423. Sawyer, Clair N., McCarty, Perry L., dan Parkin, Gene, (1994), Chemistry for Environmental th Engineering, 4 edition, Mc Graw- Hill Inc, New York Thornton, A., et al. (2007), “Ammonium removal from solution using ion exchange on to Mesolite, an equilibrium study”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 147, hal. 883–889. V.J. Inglezakis, (2005), “The concept of capacity in zeolite ion-exchange systems”, J. Colloid Interface Science. 281, hal 68–79. Wang, C.F., Li, J.S., Wang, L.J. dan Sun, X.Y. (2008), “Influence of NaOH Concentrations on Synthesis of Pure-form Zeolite A from Fly Ash Using Two-Stage Method”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 155, hal. 58–64. Yanti, Yuli (2009), “ Sintesis zeolit A dan Zeolit Karbon Aktif dari Abu Dasar PLTU Paiton denga Metode Peleburan” Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ADSORPSI ION LOGAM Zn (II) PADA ABU DASAR LIMBAH PLTU DENGAN METODE KOLOM Sartika Dwi Purwandari1, Nurul Widiastuti2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Pada penelitian ini, abu dasar limbah PLTU digunakan sebagai adsorben untuk adsorpsi larutan Zn(II) dengan metode kolom dengan paramater yang diteliti yaitu pengaruh laju alir. Perhitungan kapasitas adsorpsi ditentukan dengan menggunakan model Thomas, di mana kapasitas adsorpsi maksimum dicapai pada laju alir yang paling kecil (1,5 ml/menit) dan massa adsorben 1 gram dengan nilai qmaks 537,25 mg/g. Kata kunci : adsorpsi, abu dasar, larutan Zn(II), metode kolom 1.
Pendahuluan
Industri pelapisan logam atau yang lebih dikenal dengan electroplating merupakan salah satu industri yang menghasilkan air limbah yang mengandung logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Logam berat yang terkandung dalam limbah industri pelapisan logam antara lain Cu, Zn, Cr, Cd, Ni dan Pb. Toksisitas dari kandungan logam berat tersebut bervariasi, menurut paris Commision (PARCOM) untuk konsentrrasi maksimum tiap mg/l yaitu 0,5 untuk Cr total, Cu, Ni dan Zn, sedangkan untuk Cr (IV) yaitu 0,1 dan 0,2 mg/l untuk Cd (Leinonen, 1999). Untuk itu diperlukan penanganan yang serius dalam penanggulangan limbah tersebut agar tidak berbahaya bagi lingkungan.. Beberapa metode yang telah digunakan untuk mengurangi kadar logam berat yang terkandung dalam limbah yaitu penukar ion (Shin Juang, dkk., 2005), penyerapan dengan karbon aktif (Kobya, dkk., 2005) dan pengendapan secara elektrolisis (Adhoum, dkk., 2004). Namun, cara ini dirasa kurang efektif karena membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Upaya alternatif yang saat ini sedang dilakukan untuk menangani proses pengolahan limbah yaitu dilakukan proses adsorpsi dengan menggunakan adsorben yang efektif. Selain itu, dalam hal pemilihan adsorben dapat juga digunakan limbah sebagai media pengadsorpnya seperti cangkang kepiting (Vijayaraghavan, dkk., 2004), abu pembakaran batubara (Wahyuni, 2010), serutan kayu (Sciban, dkk., 2006) dan lain-lain. Penggunaan batu bara sebagai sumber bahan bakar untuk pembangkit listrik menghasilkan residu sebagai sisa hasil pembakaran. Sebagai contoh, PLTU Paiton yang membutuhkan batu bara 165 ton/ jam atau sekitar 4000 ton/hari akan menghasilkan residu sebanyak 38.219 ton per tahun (Megawati dan Henny, 2000). Apabila residu hasil pembakaran tersebut tidak dimanfaatkan atau digunakan maka residu bertumpuk sehingga dapat menyebabkan pencemaran. Residu yang dihasilkan dari pembakaran batu bara ini berupa 80% abu layang (fly ash) dan 20% abu dasar (bottom ash). Untuk dapat memanfaatkan abu layang dan abu dasar sebagai bahan dasar pembuat sesuatu haruslah diketahui komponen yang terkandung di dalamnya. Komponen utama yang ada pada abu layang dan abu dasar yaitu silika (SiO2), alumina(Al2O3) dan besi oksida (Fe2O3) dan sisanya adalah karbon, kalsium magnesium dan belerang. Perbedaan kandungan antara abu layang dan abu dasar yang sangat mendasar adalah kandungan Si dan Al. Abu layang memiliki kandungan Si dan Al yang lebih banyak dari pada abu dasar. Menurut Kula (2000) Si dan Al yang terkandung dalam abu layang dan abu dasar yaitu sebesar 56,13% dan 18,49% untuk abu layang
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS dan 50,98% dan 14,996% untuk abu dasar. Berdasarkan data di atas, maka abu layang telah banyak dimanfaatkan dalam pembuatan geopolimer, zeolit maupun adsorben. Pemanfaatan limbah abu dasar sendiri masih kurang sehingga perlu diteliti kemungkinan pemanfaatan abu dasar. Penelitian sebelumnya, telah memanfaatkan abu dasar sebagai abu adsorben untuk mengadsorp logam berat (Ayala dkk., 1998), polutan organik (Aksu dan Yener, 2001), dan zat warna (Sari, 2010). Penelitian ini menfokuskan pada pemanfaatan abu dasar sebagai adsorben logam berat. Pemanfaatan abu dasar sebagai adsorben untuk menyerap ion Zn(II) telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Wahyuni, 2010). Penelitian tersebut dilakukan dalam sistem batch dengan melakukan beberapa variasi kondisi adsorpsi seperti variasi waktu, konsentrasi, dan suhu. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian diatas yaitu menguji kinerja abu dasar sebagai adsorben untuk ion Zn(II) dalam sistem kolom. 2. Eksperimental Bahan Abu dasar batu bara diperoleh dari PLTU IPMOMI, Paiton Probolinggo. Sebelum digunakan sebagai adsorben, abu dasar dihilangkan kandungan airnya, kemudian digerus dan diayak pada ukuran tertentu. Karakterisasi Abu Dasar Komposisi dari abu dasar ditentukan dengan menggunakan X-ray fluorescence spectrometer dan struktur kristal dari abu dasar ditentukan dengan menggunakan X-Ray Diffraction, Permukaan dari abu dasar sebelum dan sesudah adsorpsi diamati dengan menggunakan SEM. Metode Kolom Pengukuran untuk adsorpsi larutan Zn(II) pada abu dasar dilakukan dengan metode kolom. Kolom disiapkan dengan diameter 1 cm, panjang 20 cm dan pada bagian atas dihubungkan dengan pompa untuk menyedot influen. Adsorben diletakkan pada kolom dengan massa 1 gram dan divariasikan laju alirnya sebesar 1,5;3 dan 4,5 ml/menit. Sampel dikumpulkan setiap selang waktu 12 jam. Influen dikondisikan dalam suasana asam yaitu pH 6.
Kolom
Adsorben
Selang
Pompa
Gambar 1. Skema alat kerja kolom 3.
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik dari adsorben Sifat fisika-kimia dari abu dasar dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa komponen utama abu dasar yaitu besi, silika dan alumina. Bahan inilah yang berperan dalam proses adsorbsi logam berat. Tabel 1. Data XRF abu dasar PT IPMOMI Paiton
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Komposisi Al2O3 SiO2 Fe2O3 CaO lainnya
Kadar % 6,40 32,3 38,2 19,2 3,29
Pada penelitian kami sebelumnya, abu dasar telah dikarakterisasi menggunakan XRD untuk menentukan kandungan fasa mineralnya seperti terlihat pada Gambar 1. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa komponen mineral abu dasar yang utama adalah mineral kuarsa (SiO2), mulit (3Al2O3.2SiO2), hematit (Fe2O3) dan kalsit (CaCO3). Komponen kimia lainnya pada abu dasar ada dalam jumlah yang cukup besar adalah sisa karbon.
Gambar 2. Difraktogram Sinar-X Abu Dasar Batubara PT. IPMOMI Paiton (Q = Kuarsa, M = Mulit, Hm = Hematit ; Ks= kalsit) (Yanti,2009). Studi Adsorpsi Pengaruh Laju alir Pengaruh laju alir terhadap adsorpsi larutan Zn(II) ini dilakukan pada konsentrasi awal larutan 500 ppm dengan massa adsorben 1 gram pada pH 6 laju alir divariasikan antara 1,5;3 dan 4,5 ml/menit . Larutan yang telah melalui kolom (effluen) ditampung dalam bak penampung dan konsentrasinya dianalisa menggunakan spektrofotometer Serapan Atom (SSA) setiap selang waktu 12 jam agar range titik penerobosan (breakthrough) tidak berdekatan dan nampak. Operasi kolom ini dihentikan ketika konsentrasi ion logam Zn(II) pada keluaran (effluen) sama dengan konsentrsi ion logam Zn(II) awal (influen). Kondisi ini menunjukkan bahwa adsorben telah jenuh. Tabel 2. Nilai kapasitas adsorpsi, tetapan laju Thomas, waktu jenuh, dan waktu breakthrough pada variasi laju alir yang dihitung berdasarkan model Thomas. Laju alir (mL/menit) 1,5
Massa (g) 1,0131
KTh (L/g jam) -5 4,2 . 10
3
1,0041
5,8 . 10
-5
4,5
1,0007
2.42 . 10
-4
qo (mg/g) 537,25
tb (jam)
te (jam)
12,095
230,911
352,348
3,931
162,383
199,571
1.479
39,455
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Terlihat pada Tabel 2 bahwa semakin meningkatnya laju alir, maka kapasitas adsorpsi dari abu dasar semakin menurun yang disertai dengan peningkatan tetapan laju Thomas. Nilai kapasitas adsorpsi ion Zn(II) pada abu dasar dengan laju alir 1,5; 3; dan 4,5 mL/menit berturut-turut adalah 537,25 mg/g, 352,348 mg/g, dan 199,571 mg/g. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya laju alir, maka waktu kontak antara larutan pada influen dengan adsorben semakin berkurang sehingga menyebabkan interaksi adsorben dengan adsorbat sedikit, jadi adsorben kurang maksimal dalam penyerapannya(Kalavathy, 2010). Hasil variasi laju alir ditampilkan juga dalam kurva breakthrough pada Gambar 4 yang dihitung berdasarkan model Thomas. Kurva breakthrough ini diperoleh dari hasil percobaan adsorpsi dalam sistem kolom, dimana konsentrasi effluent diamati tiap 12 jam hingga mencapai konsentrasi mendekati influen. Pada saat inilah menunjukkan Ct/Co yang konstan pada kurva breakthrough. Hasil variasi laju alir ditampilkan sebagai kurva breakthrough yang menggambarkan hubungan antara Ct/Co dan t, dimana Ct adalah konsentrasi ion Zn(II) effluen dan Co adalah konsentrasi ion Zn(II) influen. Sedangkan t adalah waktu adsorpsi. 1,2 1 Ct/Co
0,8 0,6
laju alir 1,5 ml/menit
0,4
laju alir 4,5 ml/menit
0,2
laju alir 3 ml/ menit
0 0
50
100
150
200
250
Waktu (jam) Gambar 3. Kurva breakthrough dengan variasi laju alir 1,5; 3; dan 4 mL/menit dengan fitting data berdasarkan model Thomas pada pH 6 Perhitungan dengan model Thomas Metode Thomas merupakan salah metode yang secara umum digunakan dalam pengoperasian dengan metode kolom. Model Thomas mengasumsikan bahwa adsorpsi-desorpsi mengikuti model kinetika Langmuir. Persamaan model Thomas untuk adsorpsi kolom yaitu: 2#
2
&
&HST
UVW XYZ3F[\ 3],^^ _
( 1)
di mana KTh merupakan konstanta Thomas (L/g jam); qo adalah kapasitas adsorpsi maksimum per berat adsorben (mg/g); x adalah massa adsorben dalam kolom (g); Veff adalah volume effluent (L); Co adalah konsentrasi influen (mg/L), t adalah waktu (jam). Persamaan 1 dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga didapat kurva breakthrough dan dapat dihitung nilai kapasitas adsorpsinya. Bentuk linier dari model Thomas adalah sebagai berikut: ln C O −1 = K Th q o X − K Th C o V (2) eff C Q Q t Koefisien kinetika KTh dan kapasitas adsorpsi kolom qo dapat ditentukan dari plot ln [(Co/Ct)-1] versus Veff (atau t) pada laju alir tertentu( Aksu, Gonen, 2004). Morfologi abu dasar
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA Morfologi abu dasar ditunjukkan pada Gambar 4 (a). Terlihat lihat bahwa adanya partikel yang berbentuk bola merupakan aluminosilikat. Gambar 4 (a) merupakan gambar morfologi abu dasar sebelum proses adsorpsi dan Gambar 4 (b) merupakan morfologi abu dasar setelah adsorpsi dengan laju alir 4,5 ml/menit. Pada Gambar 4 (b) abu dasar telah tertutupi oleh partikel dari Zn sehingga bentuk dari abu dasar sudah tidak beraturan.
(a) (b) Gambar 4. Morfologi abu dasar (a) sebelum proses adsorpsi (b) sesudah proses adsorpsi 4.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa abu dasar mempunyai kemampuan yang efektif sebagai adsorben. Adsorpsi larutan Zn(II) pada abu dasar ini menggunakan parameter yang diteliti yaitu laju alir dengan mangkonstankan parameter yang lainnya (konsentrasi awal larutan 500 mg/L; pH 6 dan massa adsorben 1 g), g) semakin bertambahnya laju alir yang digunakan maka semakin menurun kapasitas adsorpsinya. Kapasitas adsorpsi maksimum (537,25 mg/g) dicapai ketika laju alir adsorben diatur pada laju alir yang terkecil (1,5 ml/menit). Daftar Pustaka Adhoum, N., Moseer, L., Bellakhal, L., Eddine Belgaied, J., (2004), “ Treatment of Electroplating Wastewater Containing Cu2+, Zn2+ and Cr (VI) by Electrocoagulation,” Journal of Hazardous Materials,, B112, p. 207-213 207 Aksu, Z. dan Gonen, H., (2004), “Biosorption of Phenol by Immobilized Activated Sludge in A Continuous Packed Bed: Prediction of Breakthrough Curves”, Process Biochem, Biochem 39: 599– 613 Kalavathy, Helen., Karthik, B., Miranda, L.R., (2010), “ Removal and recovery recover of Ni and Zn from aqueous solution using activated carbon from Hevea brasiliensis : batch and column studies”, 78, p. 291 291-302 Kobya, M., Demirbas, E., Senturk, E., Ince, M., (2005),” Adsorption of Heavy Metal Ions from Aqueous Solutions by Activated Carbon Carbon Prepared from Apricot Stone”, Bioresource Technology,, 96, p. 1518-1521 1518 Kula, A. Olgun, (2000), ”Effects of Colemanite Waste, Cool Bottom ash and Fly ash on The Properties of Cement”, Journal of cement and concrete research,, p.491-494 p.491 Leinonnen, H., (1999), “Removal of Harmful Metals from Metal Plating Waste Waters Using Selective Ion Exchangers”, Academic Disertation,University of Helsinki Faculty of Science Department of Chemistry Laboratory of Radiochemistry, Report Series in Radiochemistry p: 10 Megawati egawati T. dan Henny, C.F.S., (2000), “ Penggunaan Bottom Ash Sebagai Material Dalam CLSM (Controlled Low Strength Material)”, Tugas Akhir Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, nomr 995--S, Universitas Kristen Petra, Surabaya
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Sciban, Marina, Bogdanca, (2006), “Adsorption of Heavy Metals From electroplating wastewater by Wood Sawdust”, Journal of Bioresource Technology, P.402-409 Shin Juang, Ruey., Chien Kao, Hsiang., Yi Liu, Fong., (2005),” Ion Exchange Recovery of Ni (II) from Simulted Electroplating Waste Solutions Containing Anionic Ligands”, Journal of Hazardous Materials, B128, p. 53-59 Shingchen, Shiao, (2007), “Chromate reduction by waste iron from electroplating wastewater using plug flow reactor”, Journal of Hazardous Materials, P. 1092-1097 Vijayaraghavan, K., Jegan, J., Palanivelu, K., Velan, M., “ Removal of Nickel (II) Ions from Aqueous Solution Using Crab Shell Particles in a Packed Bed Up-Flow Column”, Journal of Hazardous Materials, B113, p. 223-230 Yanti, Yuli, (2009), “Sintesis Zeolit A dan Zeolit Karbon dari Abu Dasar Batu Bara PLTU PT IPMOMI Paiton dengan Metode Reaksi Fusi”, Jurusan KIMIA FMIPA, ITS, Surabaya
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI KATALIS Al-MCM-41, FeAl-MCM-41, serta Fe-MCM-41 Dedi Navia Sandi (1) dan Endang Purwanti S (2) (1) Alumni Jurusan Kimia FMIPA ITS (2) Dosen Jurusan Kimia FMIPA ITS, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak Katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41, dan Fe-MCM-41 telah disintesis dengan metode hidrotermal dalam penelitian ini. Proses hidrotermal dilakukan dalam botol polipropilena pada suhu o 100 C selama 144 jam. Katalis hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR, serta diuji keasamannya dengan menggunakan FTIR-piridin. Hasil karakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR menunjukkan bahwa katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 mempunyai struktur yang sama dengan material mesopori MCM-41, hal ini ditandai puncak-puncak o o o o karakteristik difraktogram pada 2θ sekitar 1,5-2,5 ; 3,5-4,5 ; 4,5-5,0 dan 6,0-6,5 . Sedangkan pada spektra FTIR muncul 5 puncak spesifik dari MCM-41 yaitu puncak pada bilangan gelombang 466-1 462; 796-802; 960-968; 1080-1091 dan 1226-1238 cm . Hasil uji keasaman dengan FTIR-piridin menunjukkan bahwa sisi asam Lewis dan sisi asam Bronsted dipengaruhi oleh logam Al dan Fe yang disubstitusikan. Peningkatan sisi asam katalis sesuai dengan meningkatnya kandungan logam. Kata Kunci : Katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41, Fe-MCM-41, XRD, FTIR, FTIR-Piridin 1.
Pendahuluan
MCM-41 merupakan padatan mesopori yang memiliki struktur teratur dengan rongga (channel) seragam, membentuk susunan heksagonal, luas permukaan spesifik yang besar (1000 2 -1 m .g ) serta stabilitas termal yang baik (Beck dkk, 1992). Sebagai katalis heterogen, MCM-41 memiliki pori-pori luas/besar yang dapat digunakan sebagai katalis untuk reaksi organik. Akan tetapi, katalis MCM-41 murni tidak memiliki keasaman yang cukup untuk digunakan secara langsung sebagai katalis. MCM-41 mengandung material silika murni yang hanya memiliki kandungan sisi asam Lewis lemah dan tidak memiliki sisi asam Bronsted, sehingga sulit untuk dimanfaatkan secara langsung sebagai katalis dan adsorben (Kim dkk, 1995; Enlud dkk, 1998). Karena itu perlu menambahkan logam atau bukan logam pada MCM-41 untuk menciptakan sisi asam yang diharapkan. Adanya logam Al dalam struktur MCM-41 dapat meningkatkan sifat keasamannya yaitu sisi asam Bronsted (Endud dkk, 1998). Sisi asam Lewis ini akan meningkat, jika dalam struktur Al-MCM-41 dimasukkan dimasukkan logam transisi. Sejumlah logam transisi seperti Zn (Lu dkk, 2002) dan Ti, V, Cr, Fe, Co, Ni, Mn, Cu, La dan Ru (Gomes dkk, 2005; Chaliha dan Battacharyya, 2007) telah berhasil dimodifikasi dalam framework silika MCM-41. Pengikatan atom bervalensi tiga (Al, Fe atau Ga) ke dalam struktur MCM-41 menciptakan sisi asam Bronsted dan dapat menghasilkan material dengan variasi keasaman, sehingga akan memiliki perbedaan sifat katalisis dan adsorpsi (Vinu dkk, 2004). Beberapa atom Fe kemungkinan akan membentuk oksida besi yang terdapat dalam pori. Substitusi atom Fe kedalam struktur MCM-41 berpengaruh terhadap sifat redoks dan aktivitasnya dalam reaksi alkilasi dan oksidasi. Akan tetapi, permasalahan yang timbul adalah kurangnya stabilitas Fe-MCM-41 selama kalsinasi karena lemahnya ikatan Fe-O-Si (Vinu dkk, 2004). Sehingga diperlukan substitusi atom Al dan atom Fe ke dalam struktur MCM-41, selain dihasilkan Fe-AlMCM-41 yang mempunyai stabilitas termal yang baik, juga didapatkan katalis yang mempunyai sisi asam Bronsted dan sisi asam Lewis.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Berdasarkan analisa TPD (Temperature Programmed Desorption) piridin, sisi asam kuat dan menengah yang dihasilkan bergantung pada perbandingan nSi/(nFe+nAl) dan meningkatnya kandungan logam bervalensi tiga (Fe dan Al) dalam struktur MCM-41 (Vinu dkk, 2004). Hal ini perlu diketahui bahwa jumlah sisi asam kuat meningkat dengan meningkatnya kandungan logam. Aplikasi katalis Fe-Al-MCM-41 dalam reaksi katalisis tert-butylation fenol menunjukkan bahwa peningkatan kandungan logam dalam struktur MCM-41, diikuti oleh peningkatan aktivitas katalis yang dihasilkan. Aktivitas katalis menurun dengan urutan sebagai berikut: Fe-Al-MCM-41(20) > FeAl-MCM-41(50) > Fe-Al-MCM-41(80) dan hal ini sebanding dengan jumlah sisi asam yang dikandung (Vinu dkk, 2004). Pada penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh logam Fe dan Al terhadap struktur dan sifat keasaman dari katalis dengan berbagi variasi komposisi. 2. Metode Penelitian Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: gelas beker, gelas piala, gelas ukur, labu ukur, botol polipropilen, kertas saring, pengaduk magnetik (stirrer), corong Buchner, oven, furnace, alat X-Ray Diffraction (XRD), spektrofotometer Fourier-Transform Infrared (FTIR) dan spektrofotometer FTIR-Piridin. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Natrium metasilikat (Na2SiO3.5H2O), Cetiltrimetilammonium Bromida (CTAB, Merck), aqua DM, etanol, Besi (III) Klorida (FeCl3.6H2O, Merck), Aluminium sulfat (Al2(SO4)3.18H2O), dan asam sulfat (H2SO4). Prosedur Penelitian Katalis Fe-Al-MCM-41 disintesis dengan menggunakan metode hidrotermal. Katalis Fe-AlMCM-41 disintesis dengan variasi perbandingan Si/(Fe+Al) sebesar 15 dan 25. Katalis Fe-Al-MCM41 dibandingkan dengan katalis Al-MCM-41 dengan perbandingan Si/Al sebesar 40, sehingga pada katalis Fe-Al-MCM-41 dengan variasi perbandingan Si/(Fe+Al) sebesar 15 dan 25, perbandingan Si/Al dibuat tetap 40. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan logam Fe dalam struktur Al-MCM-41 (40). Selain itu, juga dilakukan sintesis katalis Fe-Al-MCM-41 dengan perbandingan Si/(Fe+Al) sebesar 25 dan perbandingan Si/Al dibuat tetap 60, katalis ini dibandingkan dengan katalis Fe-MCM-41 (Si/Fe = 100). Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh logam Al terhadap struktur dan tingkat keasaman yang dihasilkan dari katalis Fe-AlMCM-41 (25) dengan (Si/Al = 60). Untuk mensintesis Fe-Al-MCM-41 dengan perbandingan Si/(Fe+Al) sebesar 15, maka 21,2045 gram (0,1 mol) natrium metasilikat dilarutkan dalam 50 gram aqua DM dan di stirrer selama 15 menit dengan kecepatan 250 rpm. Setelah itu, CTAB sebanyak 9,1115 gram (0,025 mol) dilarutkan kedalam aqua DM sebanyak 50 gram dan ditambahkan sedikit demi sedikit sambil distirer selama 15 menit dengan kecepatan 250 rpm. Larutan aluminium sulfat 0,5125 gram (0,0013 mol) dilarutkan dalam 20 gram aqua DM dan0,4596 gram (0,0017 mol) besi klorida (dilarutkan dalam 20 gram aqua DM) ditambahkan kedalam larutan sedikit demi sedikit. Campuran diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik selama 30 menit dengan kecepatan 300 rpm sampai menjadi homogen. Untuk mengurangi pH menjadi 11 ditambahkan asam sulfat pekat sebanyak 8,5 mL setetes demi setetes sehingga pH turun menjadi 11 dengan diaduk pengaduk magnetik. Suspensi yang terbentuk diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit untuk menghasilkan suspensi dengan komposisi 0,1 SiO2/0,0017 Fe2O3/ 0,0035 Al2O3/ 0,025 CTAB/10 H2O. o Suspensi dituangkan kedalam botol polipropilen dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 144 jam. Setelah didinginkan pada temperatur ruangan, campuran disaring dengan corong Buchner dan residu yang berupa gel dicuci dengan aqua DM sebanyak 200 mL dan etanol untuk o menurunkan pH menjadi netral. Gel yang dihasilkan kemudian dikalsisnasi pada suhu 550 C selama 6 jam. Hasil kalsinasi dikarakterisasi dengan X-Ray Diffraction (XRD), FTIR, dan FTIRPiridin.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Langkah dan perlakuan yang sama dapat dilakukan untuk mensintesis katalis Fe-Al-MCM41 (25), Al-MCM-41 (40), Fe-MCM-41 (100), dan Fe-Al-MCM-41 (25) (Si/Al = 60) dengan variasi komposisi mol gel yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1 Komposisi gel dengan perbandingan mol 0,1 SiO2/ x Fe2O3/ dari katalis Katalis SiO2 Fe2O3 Al2O3 Al-MCM-41 (Si/Al = 40) 0,1 0,0013 Fe-Al-MCM-41 0,1 0,0017 0,0013 (Si/Fe+Al = 15) Fe-Al-MCM-41 0,1 0,001 0,0013 (Si/Fe+Al = 25) Fe-MCM-41 (Si/Fe = 0,1 0,001 100) Fe-Al-MCM-41 0,1 0,001 0,000871 (Si/Fe+Al = 25) dengan (Si/Al = 60) konstan
y Al2O3/ 0,025 CTAB/10 H2O CTAB 0,025 0,025
H2O 10 10
0,025
10
0,025
10
0,025
10
Karakterisasi Katalis Analisis dengan XRD o Katalis Fe-Al-MCM-41 yang sudah dikalsinasi pada suhu 540 C selama 6 jam dianalisis dengan XRD merk Phillip X’pert radiasi Cu Kα1 (λ=1,54056 Å). Sampel hasil sintesis dihaluskan dan ditempatkan dalam holder, kemudian dimasukkan pada alat XRD. Sampel di scan dengan sudut o o o (2θ) 1,5 -10 dengan penghitungan 0,02 setiap 5 detik. Analisis dengan FTIR Cuplikan hasil sintesis katalis Fe-Al-MCM-41 yang berbentuk serbuk dicampurkan dengan KBr pada perbandingan katalis dan KBr sebesar 1:100. Cuplikan dan KBr dihaluskan dengan mortar agate, lalu diambil beberapa mg dan ditempatkan dalam pellet holder untuk dimampatkan menjadi pellet KBr. Pellet ditempatkan pada holder dan dimasukkan pada alat FTIR untuk dianalisis -1 pada daerah bilangan gelombang 4000-400 cm . Analisis dengan FTIR Piridin Katalis sebanyak 10-15 mg dipress dalam self supporting wafer diameter 13 mm dan o diaktifkan dibawah keadaan vakum pada suhu 200 C selama 3 jam dialiri gas nitrogen. Setelah itu didinginkan dengan keadaan tabung tertutup tanpa dialiri gas nitrogen sampai pada suhu ruang. o Pada saat mencapai suhu ruang (30 C) ditetesi dengan piridin selama 5 menit dan didesorp o dengan aliran nitrogen pada suhu 150 C. Setelah selesai didesorp tabung ditutup dan didinginkan sampai pada suhu ruang. Pada saat suhu ruang, sampel diambil dan dianalisis dengan IR. Spektra -1 direkam pada bilangan gelombang 1700-1400 cm . 3. Hasil dan Diskusi Sintesis Katalis Al-MCM-41; Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 Proses hidrotermal pada sintesis katalis Al-MCM-41; Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 o dilakukan dalam botol polipropilena. Proses ini dilakukan pada suhu 100 C selama 144 jam karena o pembentukan material mesoporous lebih optimum dilakukan pada suhu 100 C selama 144 jam o (Aini, 2009). Menurut Yahdi, (2009), perlakuan hidrotermal pada suhu 100 C selama 6 hari (144 jam) merupakan proses kristalisasi sehingga diharapkan keteraturan struktur mesopori Al-MCM-41 o dapat ditingkatkan. Selanjutnya proses kalsinasi dilakukan pada suhu 550 C untuk menghilangkan templat sehingga diperoleh hasil akhir berupa serbuk putih.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Sintesis Katalis Al-MCM-41 Larutan CTAB distirer selama 15 menit pada 250 rpm. Setelah itu ditambahkan larutan natrium metasilikat dan larutan aluminium sulfat sedikit demi sedikit dan distirer dengan kecepatan 300 rpm selama 30 menit. Campuran yang semula campuran heterogen berubah menjadi campuran homogen yang putih bening. Untuk mengurangi pH menjadi 11, campuran tersebut ditambah larutan H2SO4 36 N sebanyak 8,5 mL setetes demi setetes dan distirer selama 30 menit pada 300 rpm. Campuran berubah menjadi putih keruh. Penambahan asam sulfat pada campuran homogen mengubah mengubah kondisi larutan menjadi keruh. Pada pH 11, campuran yang semula keruh berubah menjadi gel. Gejala ini mengindikasikan pembentukan inti partikel (nukleasi) (Perego dan Villa, 1997). Campuran yang mulai membentuk gel tersebut distirer pada kecepatan 450 rpm selama 30 menit sampai terbentuk suspensi. Surfaktan CTAB bertindak sebagai templat pengarah susunan heksagonal MCM-41 dengan cara membentuk misel. Peningkatan konsentrasi tempalat akan menyebabkan misel berubah bentuk dari spheris menjadi tabung. Peningkatan misel yang berbetuk seperti tabung menjadi struktur Kristal cair yang merupakan struktur MCM-41 (Zhao dkk., 1996). Reaksi pembentukan struktur MCM-41 terjadi melalui pertukaran ion antara surfaktan Br dengan anion silica dalam larutan aqueous. Campuran yang berbentuk suspensi tersebut dituangkan kedalam o botol polipropilena dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 144 jam. Hasil yang diperoleh setelah proses hidrotermal berupa gel berwarna putih dan filtrat putih bening melalui proses penyaringan menggunakan corong Buchner. Sebelum disaring, campuran didinginkan pada suhu ruang. Endapan yang berbentuk gel tersebut dicuci dengan aqua DM sampai pH 7. Aqua DM yang dibutuhkan sebanyak 360 mL. Proses pencucian ini dilakukan untuk o menghilangkan sebagian surfaktan dan pengotor lainnya. Material dikeringkan pada suhu 100 C selama 12 jam untuk mengurangi sisa pelarut air dari pori-pori padatan. Selanjutnya padatan o o tersebut dikalsinasi pada suhu 550 C selama 6 jam. Pada suhu 540 C molekul-moekul organik yang berasal dari templat CTAB dapat dihilangkan dari struktur padatan melalui kalsinasi selama 6 jam. Hasil sintesis berupa padatan berwarna putih. Hasil sintesis tersebut dikarakterisasi dengan menggunakan XRD, FTIR dan FTIR-piridin untuk menguji keasamannya. Sintesis Katalis Fe-Al-MCM-41 Larutan CTAB distirer selama 15 menit untuk membentuk misel-misel. Larutan natrium metasilikat ditambahkan dengan penetesan dan pengadukan konstan selama 30 menit untuk menyempurnakan penyebaran silikon ke semua bagian misel. Penambahan larutan Al2SO4 dan larutan FeCl3 ke dalam campuran dilakukan dengan penetesan dan pengadukan konstan selama 1 3+ 3+ jam pada kecepatan 300 rpm. Hal ini dilakukan untuk penyempurnaan dispersi ion Al dan Fe dalam kerangka MCM-41. Warna campuran berubah dari putih keruh menjadi kekuning-kuningan. Akan tetapi, semakin lama campuran distirer, warna kuning tersebut semakin berkurang. Selanjutnya dilakukan penurunan pH dengan cara penambahan asam sulfat sampai pH 11. Jumlah asam sulfat yang dibutuhkan dapat dilihat pada tabel 4.1. Penambahan asam sulfat mengubah campuran menjadi suspensi yang dilanjutkan pengadukan selama 1 jam. Suspensi ini merupakan komposit anorganik-organik, dimana komposit ini terbentuk karena adanya interaksi elektrostatik + antara muatan positif surfaktan (C16H33(CH3)3 Br ) dengan muatan negatif spesi silikat dalam larutan (Taguchi dan Schuth., 2005). Campuran yang dihasilkan berbentuk suspensi, campuran o tersebut dimasukkan dalam botol polipropilen dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 144 jam. Produk yang dihasilkan selanjutnya dicuci dengan aqua DM sampai pH material tersebut netral (pH = 7). Jumlah aqua DM yang dibutuhkan dapat dilihat pada tabel 3.1. Kemudian sampel o tersebut dikeringkan pada suhu 100 C selama 24 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan o sisa reaktan dan air yang terikat secara fisis. Sedangkan kalsinasi pada suhu 550 C selama 6 jam dimaksudkan untuk menghilangkan templat yang digunakan. Hasil sintesis berupa padatan berwarna putih kekuning-kuningan yang selanjutnya dikarakterisasi dengan XRD, FTIR, dan diuji keasamannya dengan FTIR-Piridin.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 3.1 Volume aqua DM dan H2SO4 yang diperlukan dalam sintesis Fe-Al-MCM-41 Fe-AlMCM-41 Aqua DM H2SO4
Si/(Fe+Al)=15 (Si/Al=40) 300 mL 8,5 mL
Si/(Fe+Al)=25 (Si/Al=40) 300 mL 9 mL
Si/(Fe+Al)=25 (Si/Al=60) 300 mL 15 mL
Sintesis Katalis Fe-MCM-41 (Si/Fe=100) Larutan CTAB yang digunakan sebagai templat diaduk selama 30 menit dengan kecepatan 250 rpm. Larutan natrium metasilikat ditambahkan dengan cara penetesan dan pengadukan konstan. Hal ini dilakukan untuk penyebaran silikon ke semua bagian misel. Selanjutnya ditambah larutan FeCl3 dengan cara penetesan dan pengadukan konstan selama 15 menit dengan 3+ kecepatan 300 rpm agar ion Fe terdispersi secara sempurna dalam kerangka MCM-41. Warna larutan yang semula bening menjadi keruh kekuning-kuningan, semakin lama proses pengadukan, 3+ warna kuning mulai memudar. Hal ini menunjukkan ion Fe terdispersi kedalam struktur MCM-41. Untuk penurunan pH menjadi 11, ditambahkan asam sulfat sebanyak 18,5 mL dalam kondisi campuran diaduk selama 1 jam dengan kecepatan 300 rpm. Penambahan asam sulfat menyebabkan campuran berubah menjadi suspensi. Suspensi yang terbentuk dimasukkan dalam botol polipropilena yang dipanaskan pada suhu 100 oC selama 144 jam. Selanjutnya produk yang dihasilkan disaring dengan corong Buchner, dimana diperoleh filtrat berwarna bening dan residu berwarna kekuning-kuningan. Kemudian residu tersebut dicuci dengan aqua DM sampai pH netral. Volume aqua DM yang o dibutuhkan sebanyak 325 mL. Residu tersebut dikeringkan selama 12 jam pada suhu 100 C. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sisa reaktan dan air yang terikat secara fisis. Proses o kalsinasi dilakukan pada suhu 550 C selama 6 jam dengan tujuan untuk menghilangkan templat organik yang tersisa, sehingga diperoleh padatan kekuning-kuningan. Karakterisasi Katalis Padatan katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 hasil sintesis dikarakterisasi dengan XRD, FTIR, SEM, dan uji keasamannya dengan menggunakan FTIR-piridin.
Intensitas (a.u)
Hasil Karakterisasi Menggunakan XRD Pola difraktogram katalis Fe-Al-MCM-41(15), Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=40, Fe-AlMCM-41(25) dengan Si/Al=60, Al-MCM-41(40), dan Fe-MCM-41(100) dapat dilihat pada gambar o 3.1. Puncak tajam pada rentang 2θ = 1,5-2,5 merupakan puncak karakteristik pertama yang mengindikasikan terbentuknya MCM-41 (Selvaraj dkk., 2005).
(e) (d) (c) (b) (a) 2
4
6
8
10
ο
2θ ( )
Gambar 1. Difraktogram katalis: (a) Fe-Al-MCM-41(15), (b) Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=60, (c) Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=40, (d) Al-MCM-41(40) dan (e) Fe-MCM-41(100).
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
o
Difraktogram katalis Al-MCM-41(40) menunjukkan puncak pada rentang 2θ sekitar 1,5-2,5 , o o 3,5-4,5 , 4,5-5,0 dan 6,0-6,5 . Puncak-puncak tersebut merupakan puncak-puncak karakteristik dari struktur MCM-41, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Beck dkk., (1992) bahwa puncak o karakteristik dari difraksi heksagonal MCM-41 terdiri dari puncak kuat pada 2θ = 1,8-2,4 yang o merupakan refleksi bidang [100] dan 4 puncak pada 2θ antara 3,0-8,0 yaitu antara 2θ = 3,5-4,12o, o o o 2θ = 4,31-4,85 , 2θ = 5,64-6,00 dan 2θ = 6,7 merupakan refleksi bidang [110], [200], [210], dan [300]. Hal ini menunjukkan bahwa katalis Al-MCM-41(40) mempunyai struktur yang sesuai dengan struktur MCM-41. Savidha dkk., (2004) melaporkan bahwa munculnya puncak-puncak tersebut menunjukkan terbentuknya regularitas struktur hekasgonal dari MCM-41. o Fenomena munculnya puncak tambahan pada 2θ sekitar 6,7 setelah kalsinasi merupakan refleksi dari derajat keteraturan struktur yang meningkat secara dramatis dengan hilangnya molekul surfaktan (CTAB) (Muhamed, 2005). Difraktogram Fe-MCM-41(100) menunjukkan pergeseran dan o peningkatan intensitas puncak pada 2θ = 1,5-3,5 , serta puncak dengan intensitas rendah pada 2θ o o = 3,5-4,12 , 2θ = 4,31-4,85 . Perbandingan mol Si/Fe = 100 menunjukkan bahwa jumlah atom Fe yang disubstitusikan sangat sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah atom Si yang digunakan o untuk membentuk struktur MCM-41, sehingga intensitas puncak pada 2θ = 1,5-3,5 sangat tinggi. o Substitusi atom Fe menyebabkan pergeseran puncak pada 2θ = 1,5-3,5 dan penurunan puncak o o pada 2θ = 3,5-4,12 , 2θ = 4,31-4,85 . Difraktogram katalis Fe-Al-MCM-41(25) dengan perbandingan Si/Al sebesar 40, o menunjukkan puncak kuat pada rentang 2θ = 1,5-2,5 dan puncak dengan intensitas kecil pada 2θ o o o = 3,5-4,5 dan 2θ = 4,5-5,0 . Tingginya puncak pada 2θ sekitar 1,5-2,5 merupakan puncak o karakteristik dari MCM-41, sedangkan rendahnya intensitas puncak pada 2θ = 3,5-4,5 dan 2θ = o 4,5-5,0 menunjukkan banyaknya logam Al dan Fe yang menggantikan posisi Si dalam framework MCM-41. Hal yang sama nampak pada difraktogram Fe-Al-MCM-41(25) dengan perbandingan o Si/Al=60, dimana puncak pada rentang 2θ antara 1,5-2,5 muncul dengan intensitas cukup kuat o o sedangkan puncak pada 2θ = 3,5-4,5 dan 2θ = 4,5-5,0 muncul dengan intensitas sangat rendah. Substitusi Fe pada Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=60 lebih kecil dibandingkan dengan Fe-Alo o MCM-41(25) dengan Si/Al=40, sehingga puncak pada 2θ = 3,5-4,5 dan 2θ = 4,5-5,0 dari Fe-AlMCM-41(25) dengan Si/Al=60 relatif lebih rendah. Selain itu pada difraktogram Fe-Al-MCM-41(25) o dengan Si/Al=60 terjadi pelebaran puncak pada 2θ = 1,5-2,5 , hal ini disebabkan karena banyaknya substitusi Al dengan perbandingan Si/Al=60, dimana jari-jari ion Al3+ lebih kecil dibandingkan jari-jari 3+ ion Fe , sehingga kerusakan regularitas struktur MCM-41 relatif besar. Selain itu penambahan logam Fe pada Fe-Al-MCM-41 tidak terlalu berpengaruh terhadap kerusakan struktur MCM-41, hal ini dikarenakan lemahnya ikatan Fe-O-Si setelah kalsinasi (Vinu dkk., 2004). Difraktogram Fe-Al-MCM-41(15) menunjukkan pergeseran puncak dengan intensitas tinggi o o o pada 2θ sekitar 1,5-2,5 dan tidak tampaknya puncak pada 2θ sekitar 3,5-4,5 , 4,5-5,0 dan 6,0o 6,5 menunjukkan bahwa besarnya kandungan Fe dan Al untuk mensubstitusi Si dalam framework MCM-41 berpengaruh terhadap regularitas struktur MCM-41 itu sendiri. Semakin kecil perbandingan Si/(Fe+Al) maka jumlah Fe dan Al yang digunakan untuk mensubstitusi Si semakin banyak, sehingga terjadi kerusakan struktur dari Fe-Al-MCM-41 yang terbentuk. Savidha dkk., (2004) melaporkan bahwa berkurangnya intensitas puncak dan terjadinya pergeseran puncak pada bidang refleksi [100] mengindikasikan berkurangnya simetri dari struktur heksagonal MCM-41 akibat terbentuknya ikatan Fe atau Zn dalam struktur tersebut. Yahdi, (2009) melaporkan bahwa penurunan intensitas diikuti dengan pergeseran 2θ kearah yang lebih besar. Semakin kecil perbandingan mol Si/(Fe+Al) menunjukkan penurunan ketebalan dinding sel karena meningkatnya kandungan logam Fe dan Al (Vinu dkk., 2004). Pengikatan kation logam Fe3+ dan Al3+ yang 4+ mempunyai jari-jari ion yang lebih besar dibandingkan jari-jari ion Si menyebabkan pembesaran 3+ 3+ 4+ jarak ikatan M-O. Jari-jari ion Fe dan Al yaitu 74 pm dan 53 pm, sedangkan Si sebesar 40 pm. Penurunan intensitas, pelebaran dan pergeseran puncak difraktogram menurut Chen dkk., (1993) karena substitusi isomorphous dari heteroatom (dalam hal ini atom Al dan Fe) kedalam o
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS framework Moleculer Sieve MCM-41 yang mengakibatkan perubahan sudut ikatan T-O-T dari Al dan Fe dalam framework sehingga terjadi distorsi (penyimpangan) pada keteraturan struktur MCM41. Meningkatnya jumlah loading Fe dan Al mengakibatkan regularitas struktur Fe-Al-MCM-41 menurun (bertambah amorf) karena kemungkinan terjadi kerusakan parsial pada strukturnya, karena Si-O-Al dan Si-O-Fe terasosiasi tidak stabil. Hasil Karakterisasi Menggunakan FTIR Spektra FTIR katalis MCM-41 menurut Gu dkk, (1999) memiliki empat puncak spesifik yaitu -1 -1 pada bilangan gelombang 465, 797, 961, dan 1088 cm . Bilangan gelombang 961 cm menunjukkan puncak gugus Si-O-Si yang diperkirakan merupakan puncak karakteristik MCM41(Gu dkk., 1999). Hasil analisis FTIR terhadap katalis Fe-MCM-41(100), Al-MCM-41(40), Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=40, Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=60 dan Fe-Al-MCM-41(15) menunjukkan pola serapan yang hampir sama. Semua katalis tersebut menunjukkan 5 puncak spesifik dari kerangka MCM-41 seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.2. Perbandingan puncak serapan FTIR katalis hasil sintesis dapat dilihat pada tabel 3.2. -1 Puncak pada bilangan gelombang sekitar 453-467cm menunjukkan vibrasi tekuk Si-O-Si -1 dari kerangka SiO4. Puncak pada bilangan gelombang sekitar 796-802 cm merupakan vibrasi ulur -1 simetri Si-O-Si, puncak pada bilangan gelombang sekitar 960-968 cm menunjukkan vibrasi ulur simetri Si-OH. -1 Puncak pada bilangan gelombang 1080-1091 cm sebagai puncak anti simetris pita vibrasi -1 Si-O-Si. Puncak pada daerah sekitar 1234-1238 cm merupakan vibrasi ulur asimetri eksternal dari Si-O. Choi dkk, (2006) melaporkan bahwa puncak pada bilangan gelombang sekitar 660 dan 960 -1 cm menunjukkan adanya spesies Si-O-Fe.
(a) (b)
(c) (d) (e)
1400
1200
1000
800
600
400
-1
Bilangan gelombang (cm )
Gambar 2. Spektra FTIR katalis: (a) Fe-MCM-41(100), (b) Al-MCM-41(40), (c) Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=40, (d) Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=60 dan (e) Fe-Al-MCM-41(15). Apabila dibandingkan dengan spektra MCM-41 murni hasil penelitian Gu dkk, (1999), -1 puncak pada spektra Fe-Al-MCM-41(15) meningkat dari bilangan gelombang 797 cm menjadi -1 802,4 cm . Hal ini disebabkan karena kandungan Fe dan Al yang lebih besar dibandingkan Fe-AlMCM-41(25), Al-MCM-41(40) maupun Fe-MCM-41(100). Hal yang sama terjadi pada bilangan -1 gelombang gugus Si-O-Si yang meningkat dari 961 (Gu dkk., 1999) menjadi 964-968 cm , kecuali -1 untuk Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al=60 yang menunjukkan puncak pada 960,58 cm . Kandungan Si dalam struktur Fe-Al-MCM-41(25) dengan perbandingan Si/Al=60 cukup banyak, sehingga tidak terlalu berpengaruh pada vibrasi ulur simetri Si-OH. Peningkatan bilangan gelombang yang lebih besar mengindikasikan adanya logam-logam yang telah bergabung dalam 4+ framework silika MCM-41 (Selvaraj dkk., 2005). Telah diketahui bahwa jari-jari ion Si (40 pm)
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 3+
3+
lebih kecil dibandingkan jari-jari ion Al (53 pm) maupun Fe (74 pm). Masuknya Fe dan Al yang mempunyai ukuran lebih besar menyebabkan pita akan bergeser ke arah bilangan gelombang yang lebih tinggi. Tabel 3.2 Perbandingan puncak serapan FTIR katalis hasil sintesis -1 Katalis Bilangan geolmbang (cm ) Fe-MCM-41(100) 466,79 798,56 968,3 1091,75 1234,48 Al-MCM-41(40) 462,93 796,44 964,44 1084,05 1238,34 Fe-Al-MCM-41(25) 459,07 796,56 964,44 1084,03 1234,4 (Si/Al=40) Fe-Al-MCM-41(25) 459,07 796,56 960,58 1080,17 1226,77 (Si/Al=60) Fe-Al-MCM-41(15) 462,93 802,4 964,44 1084,03 1234,4 Hasil Karakterisasi Menggunakan FTIR-Piridin Untuk menentukan jenis sisi asam dari katalis, yaitu sisi asam Bronsted dan asam Lewis, maka dilakukan analisis spektroskopi FTIR dengan piridin sebagai molekul probe (penyidiknya). o Adsorpsi piridin dilakukan pada suhu 150 C dibawah kondisi vakum. Sebelum adsorpsi piridin, o katalis diprotonasi dengan dehidrasi dalam kondisi aliran gas N2 pada suhu 400 C selama 3 jam. -1 Keasaman katalis dikarakterisasi dengan spektroskopi FTIR pada daerah 1700-1400 cm (Yahdi, 2009). Berdasarkan gambar 3.3, spektra FTIR piridin menunjukkan beberapa puncak antara lain -1 puncak pada bilangan gelombang 1447, 1496, 1546, 1620 dan 1649 cm . Semua sampel memiliki -1 puncak pada bilangan gelombang 1447 dan 1620 cm , dimana puncak tersebut mengindikasikan adanya sisi asam Lewis. Savidha dan Pandurangan, (2004) melaporkan bahwa puncak rendah -1 -1 disekitar 1455 cm dan puncak tinggi disekitar 1620 cm mengindikasikan piridin teradsorp dalam sisi asam Lewis.
L
Absorbansi (a.u)
B
L
B L+B
(a) (b) (c) (d) (e)
1700
1650
1600
1550
1500
1450
1400
-1
Bilangan Gelombang (cm )
Gambar 3 Spektra FTIR adsorpsi piridin: (a) Fe-Al-MCM-41(25) dengan Si/Al = 40, (b) Fe-Al-MCM41(25) dengan Si/Al = 60, (c) Fe-Al-MCM-41(15) dengan Si/Al = 40, (d) Fe-MCM41(100) dan (e) Al-MCM-41(40) -1
Puncak rendah pada bilangan gelombang 1447 cm disebabkan karena katalis Al-MCM41(40) tidak mengandung cukup sisi asam Lewis. Katalis Fe-Al-MCM-41(25) pada Si/Al = 40 dan Fe-Al-MCM-41(25) pada Si/Al = 60 mempunyai puncak paling tinggi diantara lainnya, karena
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS kandungan Fe dan Al dalam MCM-41 memberikan kontribusi terhadap sisi asam Lewis. Menurut Savidha, (2004) Al dan Fe berkontribusi terhadap keseluruhan sisi keasaman dari Al-MCM-41. Intensitas puncak yang menunjukkan sisi asam Lewis maupun sisi asam Bronsted berhubungan dengan kandungan Zn maupun Fe dalam framework Al-MCM-41 (Savidha dkk., 3+ 2004). Jentys dkk., (1999) melaporkan bahwa keasaman material yang mengandung ion Al 3+ secara langsung bergantung pada jumlah ion Al dalam senyawa tersebut. Penggabungan kation 3+ Al ke dalam struktur silika MCM-41 yang terkoordinasi secara tetrahedral menghasilkan sisi asam Bronsted (Kang dkk., 2005). -1 -1 Puncak rendah pada bilangan gelombang 1546 cm dan puncak tinggi pada 1649 cm menunjukkan piridin teradsorp pada sisi asam Bronsted. Aini, (2009) melaporkan bahwa puncak -1 pada bilangan gelombang 1638 dan 1545 cm merupakan ciri-ciri regangan ion piridium + (C5H5NH ), dimana piridin berikatan dengan proton. Kehadiran puncak regangan piridinium membuktikan bahwa adanya kumpulan hidroksil yang bersifat asam Bronsted. Fe-MCM-41 -1 mempunyai puncak sangat kecil pada bilangan gelombang 1546 cm , hal ini disebabkan oleh tidak adanya kandungan Al dalam Fe-MCM-41. -1 Puncak pada bilangan gelombang 1496 cm merupakan pita adsorpsi gabungan sisi asam Lewis dan sisi asam Bronsted. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Selvaraj (2005) bahwa pita adsorpsi pada bilangan gelombang 1496 cm-1 menunjukkan piridin yang terikat pada sisi asam -1 Lewis dan sisi asam Bronsted. Intensitas puncak pada bilangan gelombang 1496 cm tertinggi berturut-turut: Fe-Al-MCM-41(15) > Fe-Al-MCM-41(25) pada Si/Al=40 > Fe-Al-MCM-41(25) pada Si/Al=60 > Al-MCM-41(40) > Fe-MCM-41(100). Hal ini berhubungan dengan kandungan Fe dan Al yang dapat berkontribusi terhadap sisi asam secara keseluruhan, baik sisi asam Lewis maupun sisi asam Bronsted. Secara umum, adanya Fe dapat meningkatkan sisi asam Lewis, sedangkan kekuatan sisi 3+ asam Bronsted disebabkan oleh adanya ion Al dalam framework Al-MCM-41. Pengikatan Fe pada koordinasi tetrahedral dalam struktur Al-MCM-41 menambah sisi asam secara keseluruhan, hal ini δδ+ disebabkan terbentuknya polarisasi yang kuat antara Si-O …Fe . Selain itu juga terdapat Si-O…Al yang juga dapat berperan terhadap distribusi sisi keasaman (Savidha dkk., 2004). 4.
Kesimpulan Katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 telah berhasil disintesis dengan o metode hidrotermal dalam botol propilena pada suhu 100 C selama 144 jam. Proses kalsinasi o dilakukan pada suhu 550 C selama 6 jam. Berdasarkan hasil analisa XRD, difraktogram dari katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 terbentuk sesuai dengan difraktogram MCM41. Peningkatan kandungan logam Fe dan Al untuk mensubstitusi atom Si menyebabkan pergeseran dan penurunan intensitas puncak. Hasil analisa FTIR menunjukkan bahwa spektra dari katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 mempunyai 5 puncak spesifik dari MCM-41 yaitu puncak pada bilangan gelombang 466-462; 796-802; 960-968; 1080-1091 dan 1226-1238 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa katalis tersebut mempunyai struktur yang sama dengan MCM-41. Hasil analisa FTIR-Piridin dari katalis Al-MCM-41, Fe-Al-MCM-41 dan Fe-MCM-41 menunjukkan bahwa katalis hasil sintesis memiliki sisi asam Bronsted dan sisi asam Lewis. Sisi asam Bronsted dipengaruhi oleh kandungan logam Al, sedangkan sisi asam Lewis dipengaruhi oleh kandungan logam Fe. Peningkatan sisi asam katalis sesuai dengan meningkatnya kandungan logam. Ucapan Terima Kasih: 1. Dra. Ratna Ediati, MS, Ph.D selaku rekan penelitian MCM-41. 2. Lukman Atmaja, Ph.D selaku ketua Jurusan Kimia FMIPA ITS 3. Seluruh panitia SENAKI XII 2010 Kimia FMIPA ITS
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Daftar Pustaka Aini, Dinur. Rohmah., (2009), “Aktivitas Katalis Zn-Al-MCM-41 Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal”, Tesis, Master of Science (Kimia), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Beck, J.S., Artuli, J.C., Rowth, W.J., Leonowiez, M.E., Kresge, C.T., Schmitt, K.D., Chu, T.W., Olson, D.H., Sheppard., E.W., Mc Cullen, S.B., Higgins, J.B., dan Sclenker, J.L, (1992), “A New Family of Mesoporous Moleculer Sieves Prepared with Liquid Crystal Templates”, American Journal of Chemical Society, Vol.114, hal. 10834-10843. Bhattachrrya, KG, Anup K, Taklukdar, Parashmani, D., dan Sivasanker, S, (2001), “Acetylation of Phenol with Al-MCM-41”, Catalysis Communication, Vol.2, hal. 105-111. Chen, L.Y, Jaenicke, S., dan Chuah, G.K. (1993), “Thermal and Hydrotermal Stability of Framework-substituted MCM-41 Mesoporous Materials”, Microporous Materials, Vol.12, hal. 323-330. Choi, Jung-Sik., Yoon. Sang-Soon., Jang. Soo-Hyun., Ahn. Wha-Seung., (2006), “Phenol hydroxylation using Fe-MCM-41 catalysts”, Catalyst Today, Vol.111, hal. 280-287. Endud, S., Hadi dan Halimaton Hamdan. (1998), “Probing The Active Sites of Aluminated Mesoporous Moleculer Sieve MCM-41 By Secondary Synthesis In The conversion of Cycloheksanol”, Mesoporous Moleculer Sieve, Vol. 117, hal 453-459. Gomes, H.T., Selvam, P., Dapurkar, S.E., Figuiredo, J.L, dan Faria, J.L, (2005), “Transition Metal (Cu, Cr and V) modified MCM-41 for the Catalytic Wet Air Oxidation of aniline”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol.86, hal. 287-294. Gu, G., Ong, P.P., dan Chu, C, (1999), “Thermal Stability of Mesoporous Silica Moleculer Sieve”, Journal of Physic and Chemistry of Solid, vol. 60, hal 943-947. Kang, F., Wang, Q., Xiang, S., (2005), “Synthesis of mesoporous Al-MCM-41 materials using metakaolin as aluminium source”, Material Letters, Vol. 59, hal. 1426-1429. Kim, J.M, Kwak. Ja Hun, Jun. Shinae dan Ryoo, R. (1995), “Ion Exchange and Thermal Stability of MCM-41”, Journal of Physical Chemistry, Vol.99, hal 16742-16747. Muhamed, B.A, (2005), “Synthesis, Characterization, and Activity of Al-MCM-41 Catalyst for Hydroxyalkylation of Epoxides” Tesis, Master of Science (Chemistry), Faculty of Science Universiti Teknologi Malaysia. Perego, C dan Perluigi Villa. (1997), ”Catalyst Preparation Methods”, Catalysis Today, Vol. 34, hal. 281-305. Savidha, R., dan Pandurangan, A. (2004), “Vapour Phase Isopropylation of Phenol Over Zinc and Iron containing Al-MCM-41 Moleculer Sieves”, Applied Catalysis A, Vol. 262, hal 1-11. Selvaraj, M., dan Lee. T.G., (2005), “t-Butylation of toluene with t-butyl alcohol over mesoporous Zn-Al-MCM-41 moleculer sieves”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 85, hal 5974. Vinu, A dan Nandhini, Usha K. (2004), “Mesoporous FeAlMCM-41: an Improved Catalyst for the Vapor Phase tert-butylation of phenol”, Applied Catalysis, Vol. 265, hal 1-10. Yahdi, (2009), “Sintesis dan Karakterisasi Katalis H-Al-MCM-41 dengan variasi Rasio Si/Al serta Aktivitasnya pada Reaksi Siklisasi Sitronelal”, Tesis, Master of Science (Kimia), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Zhao, X., Lu, M., Miller, dan Graeme, J. (1996), “Advanced in Mesoporous Moleculer Sieve MCM41”,Industrial Engineering Chemical Research, Vol.35, hal 2075-2090.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS Zr-Al-MCM-41 DENGAN METODE HIDROTERMAL SERTA KARAKTERISASINYA Ratna Ediati 1) , Faurista Agustin Lestari 2) Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya e-mail:
[email protected],
[email protected] /
[email protected]
Abstrak Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis Al-MCM-41, Zr -MCM-41, dan Zr-Al-MCM-41 dengan metode hidrotermal., kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD, FT-IR, dan FT-IR piridin. Difraktogram XRD dari Zr-Al-MCM-41 ditandai dengan munculnya puncak-puncak karakteristik pada 2θ sekitar 2,42-2,56; 4,06-4,25 dan 4,75-4,78, sedangkan spektra FT-IRnya memiliki pola yang serupa dengan MCM-41. Hasil pengukuran keasaman dengan FT-IR piridin menunjukkan bahwa Al-MCM-41 mempunyai sisi asam Lewis dan gabungan sisi asam Lewis dan Brønsted. Sedangkan Zr-Al-MCM-41 mempunyai sisi asam Brønsted, disamping kedua sisi asam tersebut. Zr-Al-MCM-41 dengan rasio Si/(Zr+Al)=25 mempunyai keasaman paling tinggi. Semakin banyak ion zirkonium yang ditambahkan, maka keasaman padatan yang terbentuk semakin besar. 1.
Pendahuluan
Mobil Corporation (1992) telah menemukan kelompok M41S dari silikat/aluminat mesopori. MCM-41 merupakan salah satu material mesopori anggota M41S yang mempunyai struktur heksagonal dan pori yang seragam dengan diameter 15-100 Ǻ (Beck et al., 1992; Kresge et al., 1992). MCM-41 mempunyai keasaman rendah tetapi kelebihannya adalah mempunyai struktur teratur, ukuran pori besar dan seragam, stabilitas termal tinggi, dan luas permukaan yang besar telah digunakan secara luas sebagai katalis ataupun media adsorpsi (Zhao et al.,1996). MCM-41 merupakan katalis heterogen dengan struktur yang teratur dan mempunyai ukuran pori yang sesuai untuk digunakan pada reaksi organik. Akan tetapi, MCM-41 murni tidak dapat digunakan langsung sebagai katalis, sehingga perlu ditambahkan logam atau bukan logam untuk menciptakan sisi asam (Bhattacharryya, 2001). Selain itu, Carrot et al.,(2006) melaporkan bahwa meningkatnya kandungan logam akan menurunkan kualitas pori, seperti menurunnnya keteraturan struktur disertai dengan menurunnya luas permukaan dan volume pori. Kualitas struktur pori dan keasamannya memegang peranan penting dalam reaksi katalitik. Bîrjega et al., (2002) meneliti MCM-41 yang ditambah ion logam Al. Sintesis MCM-41 ini dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis surfaktan, waktu, suhu sintesis hidrotermal, serta pengkondisian pH. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi diameter pori, ketebalan dinding, dan struktur dari senyawa akhir (Blin et al.,2000). Ukuran pori MCM-41 dapat diatur melalui pemilihan surfaktan, penambahan senyawa organik dan pengubahan parameter reaksi. Reaksi gel yang mengandung konsentrasi surfaktan tinggi akan menyebabkan terjadinya kesetimbangan antara misel dengan molekul monomerik (Zhao et al.,1996). Sintesis katalis mesoporus dengan sifat redoks juga dapat dilakukan dengan menggunakan logam-logam transisi seperti Ti, V, Zr, dan Cr dalam ikatan silika dan silika-alumina (Beck et al., 1992; Corma et al., 1994; Reddy et al., 1994). Diantara logam-logam transisi tersebut, logam zirkonium merupakan oksida logam transisi yang tidak bersifat asam lemah dan basa lemah, tetapi sebagai redoks. Zirkonium banyak digunakan dalam proses katalitik pada katalis, sebagai pendukung, dan juga sebagai promotor (Tanabe et al.,1994; Teterycz et al.,2003). Zirkonium juga
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS merupakan salah satu logam yang penting karena kemungkinan adanya polarisasi yang kuat 22+ antara ikatan SiO ....Zr (Beck et al., 1992; Corma et al., 1994; Reddy et al., 1994). Selain itu, zirkonium mempunyai luas permukaan yang rendah (biasanya 50 m2g-1) (Nawrocki, J. et al., 1993). Eswaramoorthi et al., (2004) membandingkan struktur Al-MCM-41 (Si/Al = 50) dengan ZrAl-MCM-41 (Si/Zr = 200,100, dan 50). Berdasarkan hasil karakterisasi yang telah dilakukan didapatkan bahwa Al-MCM-41 dan Zr-Al-MCM-41 (Si/Zr = 200,100, dan 50), dengan rasio Si/Al = 50 adalah tetap, mempunyai nilai d-spacing 44.0, 45.3, 46.0, dan 47.2. Hal ini menandakan bahwa ion logam zirkonium yang ditambahkan telah masuk dalam kerangka Al-MCM-41, sehingga Zr-AlMCM-41 ini dapat diaplikasikan sebagai katalis hidroisomerisasi dan hidrokraking. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan sintesis Zr-Al-MCM-41 dengan menggunakan metode hidrotermal dengan variasi rasio Si/(Al+Zr)=25 dan 40 serta Si/Al=40 dan untuk membandingkan pengaruh zirkonium terhadap kerangka MCM-41 dilakukan sintesis Zr-MCM-41, dimana jumlah Al adalah tetap. Adapun sumber silika yang digunakan adalah natrium metasilikat anhidrat (silika murni). 2. Metode Penelitian Peralatan dan Bahan Peralatan Peralatan yang digunakan untuk sintesis katalis dalam percobaan ini adalah beker glass, beker plastik, pengaduk magnetik, botol polipropilen 500 mL, pipet tetes, kertas saring, neraca analitik, oven listrik, muffle furnace, hot plate, corong Buchner, pompa vakum, krusibel, difraksi sinar-X (XRD,JEOL), spektrofotometer FT-IR (BUCK-500). Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah natrium metasilikat pentahidrat (Na2SiO3.5H2O, LIPI), Cetiltrimetilamonium bromida (CTABr, Merck), aqua DM, etanol, Zirconium(IV) oxide cloride octahydrate (ZrOCl2.8H2O, Merck), Aluminiumsulfat kristal (Al2(SO4)3.18H2O, Merck), Asam sulfat 98%, dan kertas pH universal (MN). Prosedur Kerja Katalis Al-MCM-41 dengan rasio Si/Al=60 disintesis pada perbandingan gel 0,1SiO2 : 0,0009Al2O3 : 0,025CTABr : 10 H2O. Mula-mula CTABr 0,025 mol dilarutkan dalam aqua DM sebanyak 50 ml, ditambahkan Na2SiO3.5H2O 0,1 mol yang telah dilarutkan dalam 50 ml aqua DM, lalu ditambahkan Al2(SO4)3.18H2O 0,0009 mol yang telah dilarutkan dalam 20 ml aqua DM. Larutan campuran diaduk selama 30 menit menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 350 rpm. Selanjutnya, ditambahkan asam sulfat secara terus-menerus hingga pH 10-11, dan terbentuk suspensi. Setelah itu, distrirer lagi 30 menit, lalu dipindahkan ke botol polipropilen 500 mL, dan dioven pada suhu 100°C selama 6 hari. Selanjutnya d idinginkan pada suhu ruang dan disaring. Residu dicuci dengan aqua DM hingga pH netral, dikeringkan pada suhu 100 C selama 12 jam, dan dikalsinasi pada suhu 550 C selama 6 jam. Sintesis Zr-MCM-41 dilakukan dengan cara yang sama seperti pada Al-MCM-41. Ion logam yang ditambahkan dalam MCM-41 diganti dengan ion Zr dari Zirconium(IV) oxide cloride octahydrate (ZrOCl2.8H2O). Rasio Zr-MCM-41 adalah Si/Zr=25. Perbandingan mol gel yang digunakan adalah 0,1SiO2 : 0,001ZrO2 : 0,025CTABr : 10H2O Begitu pula dengan sintesis Zr-Al-MCM-41, perlakuan yang dilakukan sama halnya seperti Al-MCM-41 dan Zr-MCM-41, ion logam yang ditambahkan dalam sintesis ini adalah ion Al dan ion Zr. Variasi rasio pada sintesis Zr-Al-MCM-41 adalah Si/(Zr+Al)=25 dan Si/(Zr+Al)=40. Perbandingan mol gel yang digunakan adalah 0,1SiO2 : 0,0009Al2O3 : XZrO2 : 0,025CTABr : 10 H2O, dimana nilai X adalah 0,001 dan 0,0008.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Padatan putih hasil sintesis dikarakterisasi dengan XRD, FT-IR, dan keasaman dengan metode adsorpsi piridin (FT-IR piridin). 3. Hasil dan Diskusi Sintesis Al-MCM-41, Zr-MCM-41, dan Al-MCM-41 Penelitian ini diawali dengan melarutkan CTABr dalam aqua DM. CTABr merupakan surfaktan yang bertindak sebagai templat pengarah (prekursor) susunan heksagonal MCM-41 dengan cara membetuk misel. Setelah itu, ditambahkan larutan Na2SiO3.5H2O yang merupakan sebagai sumber silikat. Penambahan Al2(SO4)3.18H2O ke dalam campuran reaksi dan tetap diaduk 3+ supaya terjadi pembentukan gel dan penyempurnaan dispersi dari ion Al dalam kerangka MCM41, kemudian pH larutan diturunkan dengan ditambahkan H2SO4 tetes demi tetes hingga pH 10,8. H2SO4 ini digunakan sebagai agen pengendap untuk mengubah campuran reaksi menjadi suspensi. Perlakuan hidrotermal pada suhu 100 C selama 6 hari (144 jam), merupakan proses kristalisasi sehingga diharapkan keteraturan struktur mesoporinya dapat ditingkatkan, seperti yang disampaikan oleh Eimer,et, al.,(2003) dan setelah dioven akan terbentuk endapan putih (Parego,1997). Endapan yang berada dalam botol polipropilen (PP) didinginkan pada suhu ruang. Waktu pendiaman yang lebih lama dilakukan dengan harapan derajat kristalinitas dari struktur Al-MCM-41 yang terbentuk meningkat (Park et, al.,1997). Pencucian produk sintesis dengan aquadest dan etanol yang dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu 100 C bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan surfaktan. Selanjutnya, dilakukan kalsinasi pada suhu 550 C selama 6 jam. Pada tahap kalsinasi diharapkan terjadi proses-proses seperti hilangnya air kristal, berubahnya tekstur kristal, muncul fasa aktif, serta sifat mekanik yang makin stabil (Perego, 1997). Hasil kalsinasi berupa serbuk putih Al-MCM-41. Poh et al., (2005) menjelaskan bahwa masuknya logam Al dalam framework MCM-41 akan meningkatkan sisi asam Lewis, selanjutnya akan dikarakterisasi dengan XRD, FT-IR, dan FT-IR piridin. Hasil Karakterisasi Hasil Karakterisasi dengan XRD Karakterisasi dengan metode difraksi sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui pola difraktogram struktur dari katalis Al-MCM-41, Zr-Al-MCM-41dan Zr-MCM-41 hasil sintesis dengan metode hidrotermal. Berdasarkan penelitian sebelumnya, MCM-41 mempunyai pola difraksi sinar-X dengan puncak karakterisasi di daerah 2θ yang sangat rendah, yaitu antara 2 – 10° dan tidak ditemukan adanya puncak lain pada sudut lebih dari 10° (Gu et al., 1999). Gambar 3.1 (a) Adanya puncak tajam pada 2θ = 2,44° dan puncak kecil yang terlihat di 2 θ = 4,06° serta 2 θ = 4,56° menunjukkan adanya kemiripan pola difraktogram padatan Al-MCM-41 hasil sintesis dengan pola difraktogram Al-MCM-41 yang telah dilaporkan oleh Ajaikumar dan Pandurangan pada tahun 2008. Puncak-puncak tersebut merupakan puncak-puncak karakteristik dari struktur MCM-41, sesuai yang dilaporkan oleh Beck et al., (1992) bahwa puncak karakteristik dari difraksi heksagonal MCM-41 terdiri dari puncak kuat pada 2θ = 1,8-2,4° yang merupakan refleksi bidang (100) se rta 4 puncak pada 2θ antara 3,0-8,0° yaitu 2 θ = 3,5-4,12°; 2 θ = 4,31-4,85°, 2 θ = 5,64-6,00° dan 2 θ = 6,7° yang berturut-turut merupakan refleksi bidang (110), (200), (210) dan (300). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keteraturan struktur MCM-41 sudah terbentuk pada padatan Al-MCM-41 hasil sintesis.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
1
Intensitas (CPS)
2 3
4 (a) (b) (c)
2
4
6
8
10
2θ (°)
Gambar 1 Difraktogram (a) Al-MCM-41 (60); (b) Zr-Al-MCM-41 (40); (c) Zr-Al-MCM-41 (25) Tabel 1 Perbandingan Difraktogram Zr-Al-MCM-41 Hasil Sintesis dengan Zr-Al-MCM-41 (Hasil Sintesis). Zr-Al-MCM-41 Al-MCM-41 (60) Puncak
Si/(Zr+Al)=40
Si/(Zr+Al)=25
2θ (°)
d (Ǻ)
2θ (°)
d (Ǻ)
2θ (°)
d (Ǻ)
1
2,44
36,15
2,42
36,43
2,53
34,83
2
4,06
21,74
4,22
20,89
4,25
20,77
3
4,56
19,36
4,74
18,62
4,78
18,47
4
6,08
14,51
5,92
14,91
5,96
14,81
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai 2θ difraktogram Zr-Al-MCM-41 (40) adalah 2,42° yang diikuti dua puncak tambahan pada 2θ = 4,22 dan 4,74°. Sedangkan pada Zr-Al-MCM-41 (25) adanya puncak dengan sudut 2θ = 2,53° serta adanya puncak tambahan pada sudut 4, 25 dan 4,78°. Pengamatan ini menunjukkan bahwa penambahan ion zirkonium ke dalam Al-MCM-41 menurunkan keteraturan struktur karakteristik MCM-41 dari Zr-Al-MCM-41 yang terbentuk. Semakin banyak ion zirkonium yang ditambahkan, padatan Zr-Al-MCM-41 yang terbentuk tidak lagi menunjukkan keteraturan struktur MCM-41 dan bertambah amorf. Kerusakan dari struktur Zr-AlMCM-41 (25) tersebut kemungkinan terjadi karena Si-O-Zr terasosiasi tidak stabil akibat pengaruh 4+ 3+ 4+ 4+ jari-jari ion Zr dan Al yang mempunyai ukuran yang lebih besar dari ion Si . Ion Zr yang 3+ 4+ memiliki jari-jari 59 pm dan ion Al yang memiliki jari-jari 53 pm mensubstitusi ion Si yang memiliki ukuran lebih kecil (jari-jari ionnya = 40 pm), menyebabkan terjadinya kerusakan struktur Zr-Al-MCM-41 yang terbentuk (Muhamed, 2005).
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Intensitas (CPS)
Pola difraktogram dari Zr-MCM-41 hasil sintesis dengan rasio Si/Zr = 25 dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan data XRD tersebut diketahui bahwa pola difraktogram Zr-MCM-41 (Si/Zr = 25) hanya memiliki satu puncak, yaitu pada sudut 2θ = 2,56° yang menunjukkan bahwa keteraturan struktur MCM-41 tidak terbentuk pada Zr-MCM-41 hasil sintesis. Menurut Muhamed (2005), ion 4+ logam Zr yang masuk ke dalam struktur SiO2 akan membentuk kerangka Zr-MCM-41. Karena 4+ 4+ ukuran jari-jari ion Zr (59 pm) lebih besar dari pada jari-jari ion Si (40 pm), menyebabkan 4+ terjadinya penurunan nilai parameter kisi. Oleh karena itu, jumlah ion Zr yang masuk dalam struktur MCM-41 dapat mempengaruhi regularitas struktur Zr-MCM-41. Semakin banyak jumlah ion Zr4+ yang ditambahkan, regularitas struktur Zr-MCM-41 semakin berkurang.
2
4
6
8
10
2θ (°) Gambar.2 Difraktogram Zr-MCM-41 (25)
Hasil Karakterisasi dengan FT-IR FT-IR digunakan untuk membantu mendapatkan informasi dalam memperkirakan struktur molekul katalis Al-MCM-41, Zr-MCM-41, dan Zr-Al-MCM-41 hasil sintesis, yang dapat dilihat pada Gambar 3. Seperti dapat dilihat, jika dibandingkan dengan Al-MCM-41 dan Zr-MCM-41 hasil sintesis, puncak-puncak serapan karakteristik katalis Zr-Al-MCM-41 teramati pada bilangan gelombang yang hampir sama. Nilai masing-masing puncak serapan FT-IR dari seluruh katalis hasil sintesis yang direkam pada daerah bilangan gelombang 400-4000 cm-1 ditabulasikan pada Tabel 3.2 Berdasarkan spektra IR pada Gambar 3 tersebut diketahui bahwa puncak lebar yang -1 muncul pada bilangan gelombang 3421,83 cm merupakan daerah serapan gugus OH dari air. Serapan vibrasi ulur simetri dan asimetri Si-O-Si terlihat pada bilangan gelombang 798,56 dan -1. 1238,34 cm Puncak karakteristik dari gugus Si-O dimana O berikatan dengan H muncul pada bilangan gelombang 964,44 yang menunjukkan bahwa struktur MCM-41 telah terbentuk pada katalis Zr-Al-MCM-41 dengan variasi rasio Si/(Zr+Al) = 40 dan 25. Sedangkan serapan vibrasi tekuk -1 dari gugus Si-O muncul pada bilangan gelombang 455,22 cm . Munculnya puncak serapan pada -1 bilangan gelombang disekitar 964,44 dan 455,22 cm untuk katalis Zr-Al-MCM-41 dengan variasi rasio Si/(Zr+Al) = 40 dan 25 yang mengindikasikan bahwa struktur kerangka Al-MCM-41 tidak berubah dengan adanya ion zirkonium. Kecenderunan yang sama juga dilaporkan oleh Qomariyah, (2009) untuk katalis Ni-Al-MCM-41. Penambahan ion Ni ke dalam Al-MCM-41 mengindikasikan bahwa struktur framework Al-MCM-41 tidak berubah.
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA
3 1
2
4
5
(d)
(c)
(b) (a)
4000
3000
2000
1000
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gambar 3 Spektra FT-IR IR (a) Al-MCM-41 Al (60), (b) Zr-MCM-41 (25), (c) Zr-Al Al-MCM-41 (25), (d) Zr-AlMCM-41 (40) Tabel 2 Identifikasi puncak puncak-puncak serapan FT-IR katalis hasil sintesis Bilangan Gelombang -1 (cm )
Bilangan Gelombang -1 (cm )
Al-MCM-41 41 (Hasil Sintesis)
Zr-MCM-41 (Hasil Sintesis)
Si/(Zr+Al) = 25
Si/(Zr+Al) = 40
1
3421,12
3421,83
3421,83
3421,83
2
1226,77
1222,91
1238,34
1238,34
3
798,56
802,41
798,56
798,56
4
960,58
964,44
964,44
968,3
5
459,07
462,93
455,22
459,07
Puncak
Bilangan Gelombang -1 (cm ) Zr-Al-MCM MCM-41 Hasil Sintesis
Hasil Karakterisasi dengan FT FT-IR Piridin Masuknya ion logam zirkonium dalam katalis Al Al-MCM-41 41 akan dapat meningkatkan keasaman katalis. Pada penelitian Eswaramoorthi et al,, (2004) dikatakan bahwa katalis ini dapat digunakan nakan pada hidroisomerisasi ataupun hydrocracking.. Adanya ion logam pada struktur Al-MCMAl 41 akan menjadi sisi asam Lewis dan berperan sebagai sisi aktif pada proses katalis. Penelitian yang telah dilakukan Selvaraj et al., ., (2005) juga menjelaskan bahwa adanya ada ion logam akan meningkatkan jumlah sisi asam.
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA -1
Puncak yang muncul pada bilangan gelombang 1446 cm mengindikasikan adanya adsorpsi piridin pada sisi asam Lewis, dimana piridin menggunakan pasangan elektron bebas untuk berikatan dengan orbital kosong sampel. sampel. Sedangkan puncak yang muncul pada bilangan -1 gelombang 1550 cm mengindikasikan adanya adsorpsi piridin pada sisi asam Brønsted. Hal ini + merupakan karakter vibrasi untuk ion piridinium (C5H5NH ), dimana piridin berikatan dengan proton dari gugus OH sampel ampel yang bersifat asam Brønsted (Prasetyoko,2000). Puncak Vibrasi piridinium membuktikan adanya gugus OH bersifat asam Brønsted. Puncak yang muncul disekitar 1492 cm-1 menunjukkan adanya gabungan dari kedua sisi asam Lewis dan Brønsted.
B L (d)
(c)
(b)
(a)
1600
1580
1560
1540
1520
1500
1480
1460
1440
1420
1400
-1
Bilangan Gelombang cm
IR piridin (a) Al Al-MCM-41 (60), (b) Zr-MCM-41 41 (25), (c) Zr-Al-MCM-41 Zr (25), Gambar 3.4 Spektra FT-IR (d) Zr-Al-MCM MCM-41 (40) Intensitas puncak meningkat dengan meningkatnya kandungan Zr, yang merupakan indikasi bahwa keasaman katalis s meningkat sebanding dengan kandungan zirkonium. Hal ini kemungkinan
+ dikarenakan adanya polarisasi ikatan dari Si Si–O ----Zr dalam Zr-Al-MCM-41, Zr sehingga kemungkinan yang terjadi adalah terbentuknya ikatan Si–O---Zr Si dan Si–O O (Eswaramoorthi et al.,
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 2004). Bila keasamannya dibandingkan dengan Eswaramoorthi, (2004), tingkat keasaman yang dimiliki Eswaramoorthi lebih tinggi dibanding dengan hasil sintesis, hal ini dikarenakan adanya pengaruh ion logam Al yang masuk dalam MCM-41 lebih banyak dibanding ion logam Al yang digunakan dalam sintesis. Poh et al, (2006) mengatakatan bahwa penambahan ion logam Al dapat mempengaruhi tingkat keasaman sisi Brønsted. 4.
Kesimpulan Padatan Al-MCM-41, Zr-MCM-41, dan Zr-Al-MCM-41 telah berhasil disintesis dengan metode hidrotermal. Hasil karakterisasi menggunakan XRD menunjukkan adanya puncak-puncak difraktogram pada sudut 2θ kurang dari 10°. Katalis Al-MCM-41 (60) memiliki s truktur yang mirip dengan padatan MCM-41 serta memiliki kristalinitas lebih tinggi dibanding Zr-MCM-41, Zr-Al-MCM41 (40) dan Zr-Al-MCM-41 (25). Penambahan ion zirkonium dalam proses sintesis menyebabkan perubahan struktur Al-MCM-41 yang ditandai dengan penurunan intensitas puncak-puncak difraktogramnya. Meskipun demikian, spektra FT-IR dari semua padatan hasil sintesis menunjukkan pola spektra yang sama dengan MCM-41. Sedangkan hasil karakterisasi menggunakan FT-IR piridin menunjukkan bahwa Zr-Al-MCM-41 (25) memiliki keasaman paling tinggi dibandingkan dengan ketiga padatan yang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin banyak ion zirkonium yang ditambahkan, maka keasaman padatan yang terbentuk semakin besar. Daftar Pustaka Ajaikumar, S., Pandurangan, A., (2008), “Reaction of Benzaldehyde with Various Aliphatic Glycols in the Presence of Hydrophobic Al-MCM-41: A Convenient Synthesis of Cyclic Acetals”, Journal of Molecular Catalysts A: Chemical, Vol. 290, Hal. 35-43 Beck, J.S., Vartuli, J.C.,Roth, W.J., Leonowiez, M.E.,Kresge, C.T., Schmitt, K.D., Chu, G.T.W., Olson, D.H., Sheppard, E.W., McCullen, S.B., Higgins dan J.B., Schlenker, J.L., (1992), “A New Family of Mesoporous Molecular Sieves Prepared With Liquid Crystal Template”, American Journal of Chemical Society, Vol. 114, Hal. 10834-10843. Birjega, R., Nenu, C., Ganea, R., Pop, Gr., Şerban, S., Blaseo, T., (2002), “Synthesis and Characterization of Bimetallic Ga,Al-MCM-41 and Fe,Al-MCM-41”, Studies on Surface Science and Catalysis, Vol. 142, Hal. 1331-1338. Blin, J, L., Harrier, G., Otjacqueus, C., Bao-Lian So, (2000), “New Way to Synthesize: MCM-41 and MCM-48 Material with Toilered Pore Size”, Studies on Surface Science and Catalysis, Vol. 129, Hal. 57-66. Corma, A., Nawaro, M, T., Perez-Pariente, Sanches, S., (1994), “Preparation and Properties of Ticontaining MCM-41”, Studies on Surface Science and Catalysis, Vol.84, hal. 69-75. Eswaramoorthi, I., Sundaramurthi, V., Lingappan, N., (2004), “Hydroisomerisation of C6–C7 nalkane over Pt Loaded Zirkonium Containing Al-MCM-41 Molecular Sieves” Microporous and Mesoporous Material, Vol. 71, Hal. 109-111. Nawrocki, J., Ziolek, M., Kasprzyk, B., Nowak, I., (2002), “A Possible Use of Modified Mesoporous Molecular Sieves in Water Treatment Process”, Studies on Surface Science and Catalysis, Vol.141, Hal. 591-598. Poh, Eng Ng., Nur, H., Nazlan, M., Muhid, M., Hamdan, H., (2006), “Sulphated Al-MCM-41: Mesoporous Solid Brønsted Acid Catalysts for Dibenzoylation of Biphenyl”, Catalysis Today, Vol. 114, Hal. 257-262. Reddy, M, K., Wei Boli, Song C., (1998), “Mesoporous Molecular Sieves MCM-41 Supported Co-Mo Catalyst for Hydrosulfurization of Petroleum Residu”, Catalysis Today, Vol. 43, Hal. 261272.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Selvaraj, M., Lee, G, T., (2005), “t-Butylation of Toluena with t-butyl Alcohol Over Mesoporous ZnAl-MCM-41 Molecular Sieves”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 85, Hal. 59-79. Tanabe, M., Hokim, J., Nivea, (1997), “Characterizatoin and Catalytic Activity of the Al-MCM-41 Prepared by Methode of Gel Equalibrium Adjustment”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 10, Hal. 85-93. Zhao, Xiu., Lu, Max., dan Graeme J., (2006), “Advanced in Mesoporous Molecular Sieve MCM-41”, Industrial Engineering Chemical. Research, Vol. 35, Hal. 2075-2090.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ANALISA SIFAT KIMIA GELATIN KULIT IKAN PATIN (Pangasius) MELALUI VARIASI JENIS LARUTAN ASAM Yuniarto, Fahimah Martak*, Lukman Atmaja* Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak Gelatin adalah biopolymer protein yang diperoleh dari jaringan kolagen hewan yang terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat Pada peneltian ini telah diisolasi gelatin dari kulit ikan Patin (Pangasius) yang divariasikan pada tipe A dengan variasi jenis larutan asam dengan konsentrasi, waktu perendaman dan waktu ekstraksi masing – masing larutan sama. Gelatin dari kulit ikan Patin (Pangasius) direndam pada larutan asam Klorida 5 % ( GLK ), asam phospat 5 % (GLP) dan asam sitrat 5 % (GLS) dengan waktu perendaman masing – masing ± 12 jam dan lama ekstraksi masing – masing larutan asam 3 jam. Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil gelatin dengan rendemen gelatin 8,11 %, 1,88 %, dan 2,66 % untuk nilai rendeman GLK, GLS dan GLP. Struktur gelatin secara umum di analisa dengan FTIR menunjukkan adanya serapan gugus karbon C-H, hidroksil (OH), gugus karbonil (C=O), gugus C-H aromatik dan gugus amina (N – H) yang kesemua gugus fungsi tersebut hamper sama dengan gelatin komersial. Nilai berat molekul rata – rata gelatin pada GLK, GLS dan GLP memiliki nilai secara berurutan 1.609.137 gr/mol, 35.788 gr/mol dan 455.294 gr/mol. Dari hasil analisa tersebut total berat gelatin dan hasil analisa FTIR gelatin terbaik pada variasi Asam Phospat dengan konsentrasi 5 %. Kata kunci : Gelatin, Ikan Patin, kulit, Berat Gelatin, Analisa FTIR. 1. Pendahuluan Gelatin adalah biopolymer protein yang diperoleh dari jaringan kolagen hewan yang terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat. Dalam industri makanan, gelatin digunakan pada permen (sebagai penyedia elastisitas dan stabilisator), mentega dan keju (sebagai penyebab bentuk cream), susu (sebagai stabilisator), roti dan kue (sebagai emulsifier dan stabilisator) dan makanan – makanan berdaging (sebagai water-binding) (Johnston-Banks,1990; Scheriber dan Gareis,2007). Gelatin juga digunakan sebagai bahan untuk membuat zat pelapis makanan dan lapis tipis (film) pembungkus bahan – bahan makanan yang berfungsi sebagai pelindung dari proses pengeringan dan oksidasi. Pemanfaatan gelatin pada umumnya diambil dari pemanfatan kulit atau tulang hewan mamalia yaitu Babi dan Sapi. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran segi religius umat Islam dan umat Yahudi. Umat islam diharamkan untuk mengkonsumsi produk dari Babi dan umat Yahudi terdapat anjuran untuk mengkonsumsi produk dari Sapi. Selain dari faktor religious juga terdapat kekhawatiran pada faktor kesehatan. Jika pemanfaatan dari tulang atau kulit Sapi dikhawatirkan adanya virus sapi gila (Mad Cow Disease) yang nantinya virus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan konsumen (Intan, 2009). Struktur gelatin tersusun atas asam amino dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin, 2005). Berikut struktur molekul gelatin dari tulang atau kulit sapi.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 1. Struktur molekul gelatin Sebagai alternatif untuk menggantikan gelatin dari hewan mamalia (Babi dan Sapi), maka sebagai potensi menggunakan pemanfaatan ikan Patin sebagai sumber gelatin. Gelatin dari ikan Patin memiliki rendemen 15,38 % (Peranginangin,2005), sedangkan ikan Nila 11,19 %, ikan Tuna 9,43 % (Junianto,dkk,2006) dan ikan Pari 6,10 % (Suviana,2002). Rendeman gelatin ikan Patin lebih tinggi daripada ikan Nila, Tuna, Pari. Peneltian terdahulu mengenai gelatin dengan sumber kulit ikan Patin (Melly Dianti,2006) yang divariasikan pada larutan asam sitrat dengan konsentrasi 1,5 % menyebutkan memiliki nilai rendemen gelatin 15,26 – 20,68 %; viskositas 4 – 5,8 cP; kekuatan gelnya 118,69 – 170,62 bloom. Sedangkan pada penelitian lainnya dengan menggunakan sumber kulit ikan Patin (Peranginangin,2005) menyebutkan ekstraksi gelatin kulit ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) yang divariasikan asam sitrat dengan pH 3 memberikan hasil nilai rendemen 9,36 %; (Cek abstrak jurnal) viskositas 10,1 cP; kekuatan gel 202,55 bloom. Penelitian Melly dan Peranginangin hanya sampai pada kajian sifat fisika – kimia, yang meliputi nilai rendemen, nilai kekuatan bloom, viskositas dan belum membahas kajian sifat kimia yang meliputi gugus fungsi molekul gelatin, berat molekul gelatin dan membandingkan dengan gelatin komersial yang telah beredar di masyarakat umum yang sebagaian besar berasal dari gelatin Babi dan Sapi. Penelitian ini mengkaji karakteristik sifat kimia yang meliputi gugus fungsi molekul gelatin, berat molekul gelatin gelatin kulit ikan Patin dengan variasi konsentrasi asam sitrat (C3H5O(COOH)3) 5 %, asam klorida (HCl) 5 % dan asam phospat (H3PO4) 5 % yang dibandingkan dengan gelatin komersial. 2. Metodologi Penelitian Alat dan bahan Alat - alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, alat-alat gelas, waterbath, pemanas, termometer, kertas pH indikator universal dari Merck, kain katun (cheesecloth), pengaduk, pisau, gelas ukur, labu ukur, gelas beker, pipet volum, kaca arloji, cawan petri, spectrometer FTIR M - 500,dan viskometer Ostwald. Bahan Penelitian a. Kulit ikan Patin b. Larutan HCl 5 % c. Larutan (C3H5O(COOH)3) 5 % d. Larutan H3PO4 5 % Eksperimen Penelitian ini menggunakan tipe A yaitu perendaman kulit ikan patin dengan variasi 3 jenis larutan asam yaitu larutan HCl ( Asam Klorida) 5 %, Larutan H3PO4 (Asam Phospat) 5 % dan larutan (C3H5O(COOH)3) (Asam sitrat) 5 %. Adapun prosedur penelitian sebagai berikut :
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 1. Persiapan Bahan Baku Ikan Patin segar diambil kulitnya kemudian dibersihkan dari daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak. Kemudian kulit dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Berat kulit ikan Patin yang akan dianalisis ± 60 gram 2. Preparasi Gelatin a. Degresing 0 0 Kulit Ikan Patin dicuci dengan air panas pada suhu 60 – 70 C sampai 2 – 3 menit dan selanjutnya ditiriskan selama 3 menit. Tahap selanjutnya kulit tersebut dipotong – potong kecil dengan ukuran ± 2 – 3 cm. b. Demineralisasi Kulit direndam dalam larutan asam, yaitu (C3H5O(COOH)3) 5 %, HCl 5 %, dan H3PO4 5 %. Perendaman dilakukan selama 12 jam. Kulit yang telah direndam kemudian ditimbang dan dicuci air mengalir hingga pH menjadi netral (6-7). c. Ekstraksi Kulit Ikan Patin dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambahkan aquadest dengan perbandingan kulit dan aquadest adalah 1 : 3. Kemudian kulit tersebut diekstraksi dalam 0 0 waterbath pada suhu 80 - 90 C selama 3 jam. Ekstrak disaring dengan kain katun berlapis empat untuk menghilangkan kotoran, kemudian filtrat yang diperoleh diukur. d. Pembentukan Gel 0 0 Filtrat dimasukkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4 C - 10 C selama 10 – 12 jam hingga membentuk gel. e. Pembentukan Gelatin Gel dimasukkan kedalam tempat loyang oven yang dilapisi plastik mika untuk memudahkan o pengambilan lapisan tipis gelatin. Gel dioven pada suhu 60 C selama 24 jam hingga terbentuk lapisan gelatin. Lapisan tipis gelatin yang diperoleh ditimbang dengan neraca analitis. 3
Hasil Dan Pembahasan
1. Persiapan Bahan Baku Ikan Patin segar diambil kulitnya kemudian dibersihkan dari daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak. Kemudian kulit dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Di usahakan jangan sampai daging, sisik atau bagian lemak masih menempel pada bagian kulit yang akan diproses. Karena akan mempengaruhi terhadap hasil ekstraksi dan hasil analisa gelatin yang diperoleh. Untuk menghilangkan bagian daging, sisik atau bagian lemak bisa dilakukan dengan menyeset dengan menggunakan pisau chater kecil. Berat kulit ikan Patin yang akan dianalisis ± 60 gram, hal ini dimaksudkan agar diperoleh gelatin dengan massa yang cukup banyak. 2. Preparasi Gelatin a. Tahap Perendaman Kulit ikan patin yang telah dicuci direndam dengan air hangat selama 2 – 3 menit pada 0 0 suhu 60 C - 70 C dengan tujuan untuk menghilangkan daging, sisik atau lemak yang masih tertinggal pada kulit ikan Patin. Kemudian kulit ikan Patin ditiriskan 3 menit. Kulit ikan Patin dipotong – potong menjadi bagian kecil dengan ukuran 2 – 3 cm. hal ini dimaksudkan untuk memperluas permukaan kulit sehingga proses interaksi molekul – molekul kolagen dengan larutan asam dapat optimal. Jika kulit tidak dipotong – potong kecil, maka interaksi ikatan molekul – molekul kolagen sangat sedikit karena ikatannya yang kuat. Kemudian kulit ikan Patin direndam pada variasi larutan asam dengan konsentrasi yang sama yaitu larutan asam klorida 5 % (GLK), larutan asam phospat 5 % (GLP) dan asam sitrat 5 % (GLS). Waktu perendaman pada larutan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS asam selama 12 jam. Perendaman dilakukan dalam satu larutan asam kuat dan 2 larutan asam lemah. Tujuan dilakukan perendaman adalah untuk mengkonversi kolagen yaitu dengan adanya + interaksi ion H dari larutan asam dengan kolagen yang terdapat pada kulit ikan Patin. Sebagian ikatan hydrogen dalam tropokolagen serta ikatan hidrogen dalam tropokolagen serta ikatan silang yang menghubungkan tropokolagen satu dengan tropokolagen lainnya dihidrolisis menghasilkan rantai tropokolagen yang mulai kehilangan struktur trpel heliknya. Proses perendaman juga membantu terjadinya penggembungan (swelling) yang dapat membuang material lemak dan protein non – kolagen pada kulit yang tidak diharapkan (Zhou 2007). Ketika jaringan yang mengandung kolagen diperlakukan secara asam dan diikuti dengan pemanasan dalam air, maka struktur fibril kolagen akan dipecah secara irreversible. Proses waktu perendaman harus tepat 12 jam, karena jika lebih dari 12 jam maka terjadi konversi kolagen yang berlebihan sehingga kolagen dari kulit ikan Patin akan larut dalam larutan asam sehingga menyebabkan penurunan nilai rendeman gelatin (Utama, 1997). Nilai rendeman dapat juga sebagai acuan terhadap efekfitas perlakuan dalam penelitian sehingga diharapkan nilai rendeman gelatin yang dihasilkan tinggi. Perubahan jumlah bobot berat kulit dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Perubahan berat kulit sebelum dan sesudah perendaman. Variasi asam Bobot kulit sebelum Bobot kulit setelah DP (%) perendaman perendaman HCl 5 % 60,1532 gr 136,2457 gr 126,49 H3PO4 5 % 60,1552 gr 86,1923 gr 43,28 As.sitrat 5 % 58, 3457 gr 81,5232 gr 39,72 Pada variasi larutan asam klorida perubahan bobot kulit setelah perendaman sangat + besar dibandingkan dengan pada asam phospat ataupun asam sitrat. Hal ini dikarenakan H pada asam kuat mampu mengkonversi kolagen pada jaringan kulit dalam waktu 12 jam dan kolagen tidak banyak yang larut dalam larutan asam. Sedangkan pada asam phospat maupun asam sitrat, + H pada asam telah mengkonversi berlebih kolagen pada jaringan kulit sehingga sebagian kolagen telah larut dalam larutan asam. Hal ini akan mempengaruhi terhadap hasil nilai rendeman gelatin. Nilai rendeman pada GLK lebih besar daripada GLP ataupun GLS. Nilai rendeman GLK 8,11 %, GLP 2,66 % sedangkan GLS 1,88 %. Proses Konversi Kolagen manjadi Gelatin. Setelah kulit direndam dalam larutan asam selama 12 jam kemudian di cuci dengan air mengalir hingga pH netral mencapai 6 – 7. Pada pH tersebut, kondisi kulit setelah direndam tidak lagi bersifat asam. Setelah dicuci dengan air mengalir, kemudian kulit diekstraksi kedalam waterbath selama 3 jam dengan perbandingan kulit dengan 0 0 aguadest 1: 3.Ekstraksi dilakukan dengan pemanasan pada suhu 80 C - 90 C. Hal ini dilakukan untuk merusak ikatan – ikatan silang antara ikatan hidrogen antar molekul tropokolagen dimana pada tahap perendaman belum terurai sempurna oleh asam. Selian itu tahap ekstraksi dilakukan dengan tujuan untuk merusak sempurna ikatan hydrogen dengan rantai – α dalam tropokolagen. Pada tahap ekstraksi ini diharapkan ikatan silang antara ikatan hydrogen dengan ikatan rantai – α terdenaturasi oleh H2O (gambar 2)
Gambar 2.Interaksi molekul air dengan ikatan hidrogen dan ikatan kovalen
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Pada tahap ekstraksi menyebabkan molekul triple-helix kehilangan stabilitas kemudian terurai menjadi 3 rantai-α. Denaturasi kolagen menyebabkan rantai triple helik secara sempurna bertransformasi menjadi rantai tunggal gelatin. Ranai tunggal dari gelatin dapat larut dalam air (gambar 3)
Gambar 3. Denaturasi tropokolagen menjadi gelatin Hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kain berlapis dua sebanyak dua kali penyaringan. Hal ini dilakukan agar didapatkan hasil pemisahan filtrat yang baik. Kemudian hasil filtrat dimasukkan kedalam lemari pendingin bersuhu 40C - 50C selama ± 10 jam sehingga terbentuk gel gelatin. Pada saat proses pendinginan rantai polipeptida gelatin yang secara acak dapat membentuk kembali struktur triple-helik. Polipeptida pada asam amino, prolin dan hidroksiprolin merupakan bagian yang penting dalam pembentukan junction zones Gel gelatin yang terbentuk dimasukkan kedalam Loyang oven yang dibawahnya diberi alas plastik. Hal ini bertujuan Untuk memudahkan pengambilan lembaran lapis tipis gelatin yang terbentuk. Sehingga lapis tipis gelatin yang terbentuk tidak patah. Kemudian oven di atur suhu 0 70 C selama 24 jam. Tujuan oven ini untuk pengeringan sehingga dihasilkan gelatin bentuk 0 0 lapisan tipis padatan gelatin. Pengaturan suhu berkisar antara 60 C - 70 C untuk mencegah terjadinya denaturasi rantai polipeptida pada lapis tipis gelatin yang diperoleh. Gelatin yang semula pada fase gel akan mencair akibat pemanasan oleh suhu oven. Lapisan tipis gelatin yang terbentuk kemudian didinginkan di dalam desikator dan diukur massa konstan gelatinnya untuk mendapatkan nilai kadar air gelatin yang diperoleh. Nilai kadar air ?
Gambar 4. Spektra Gelatin Ikan Patin
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 3. Analisa Gugus fungsi FTIR Sampel lapis tipis gelatin harus tersimpan dalam desikator karena gelatin mudah lembab dan mudah larut dalam air. Sehingga dikhawatirkan berpengaruh terhadap analisa berikutnya. Sampel gelatin di ambil dari dalam desikator kemudian dianalisa dengan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam gelatin. Spektra FTIR gelatin pada variasi asam dapat dilihat pada gambar 5. Gelatin pada umunya berasal dari protein secara umum mempunyai struktur gugus fungsi karbon- hidrogen (C - H), gugus hidroksil (OH ), gugus karbonil (C=O) dan gugus Amina (NH). Pada gambar 5 GLK menunjukkan vibrasi stretching OH pada bilangan gelombang -1 -1 3435 cm . Vibrasi stretching OH mempunyai rentang pita bilangan gelombang 3100 cm – 3500 -1 cm . Pada gelatin masih terdapat gugus O-H yangdimungkinkan berasal dari O-H senyawa air pada saat ekstraksi yang pelarutnya aquadest. Puncak CH aromatik muncul dengan puncak yang -1 -1 kecil yang terdapat pada rentang 3100 – 3000 cm yaitu pada sekitar 3050 cm .Bending dan -1 streching C-H terdapat pada bilangan gelombang 2925 cm Rentang bilangan gelombang bending dan stretching CH mulai 2800 – 3000 cm 1. Streching gugus karbonil (C = O) terdapat -1 pada bilangan gelombang 1650 cm Secara umum bilangan gelombang gugus karbonil mulai -1 1670 – 1640 cm .Bending OH terdapat pada bilangan gelombang 1457 cm-1.Rentang bilangan -1 gelombang untuk bending OH pada 1500 – 1300 cm . Sedangkan puncak gugus amina (NH) tidak ditemukan karena tertutupi dengan gugus OH. Pada gambar 5 GLS gugus fungsi yang ditemukan tidak jauh beda dengan spectra GLK. -1 Vibrasi stretching gugus fungsi OH ditemukan pada bilangan gelombang 3455 cm . Puncak CH aromatik muncul dengan puncak yang kecil yang terdapat pada rentang 3100 – 3000 cm -1 1 kemudian bending dan stretching CH terdapat pada bilangan gelombang 2926, 2854 cm . -1 Stretching gugus karbonil (C = O) terdapat pada bilangan gelombang 1650 cm dan bending OH -1 terdapat pada bilangan gelombang 1458 cm pada GLS puncak starching NH juga tidak muncul. Puncak stretching NH terdapat pada rentang 3000 - 3700 cm-1.
Gambar 5. Spektra FTIR Gelatin komersial Pada gambar 5 GLP yang divariasikan dengan asam phospat. Vibrasi streching gugus -1 OH terdapat pada bilangan gelombang 3444 cm , Pada GLP puncak CH aromatik muncul -1 dengan puncak yang kecil yang terdapat pada rentang 3100 – 3000 cm . Bending dan stretching -1 gugus CH terdapat pada 2926 cm , kemudian streching gugus karbonil (C = O) terdapat pada -1 -1 bilangan gelombang 1648 cm dan bending OH terdapat pada bilangan gelombang 1458 cm . Dari hasil spectra FTIR secara umum pada GLK, GLS dan GLP menunjukkan bilangan gelombang gugus fungsi pada gelatin. Gugus fungsi-gugus fungsi O-H, C-H, C=O, N-H dan C-H aromatis merupakan spektra yang terdapat pada gelatin ikan dan sapi komersial (Norziah, 2008). Jika kita bandingkan Spektra gugus fungsi pada gelatin komersial maka tidak akan jauh beda. Spektra
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FTIR gelatin komersal dapat dilihat pada gambar 5 diatas. Dari hasil spektra FTIR gelatin komersial yang beredar di masyarakat berasal dari hewan mamalia sapi. Serapan gugus fungsi yang ditemukan hampir sama dengan gelatin kulit ikan patin baik pada GLK, GLS maupun GLP. Sehingga dapat disimpulkan serapan gugusfungsi FTIR pada GLK, GLS, dan GLP meruapakan serapan gugus fungsi pada gelatin. 4. Analisis Berat Molekul Analisa berat molekul relatif rata- rata gelatin dapat ditentukan dengan analisa viskositas larutan gelatin dengan menggunakan viscometer Ostwald pada suhu kamar. Pengukuran berat molekul relative rata – rata digunakan untuk mengetahui karakteristik fisik gelatin kulit ikan Patinyang sebelumnya belum diketahui. Pengukuran viskositas pada alat viscometer Ostwald dilakukan dengan menentukan waktu larutan yang mengalir diantara dua tanda kalibrasi. Penentuan besarnya viskositas larutan gelatin ini, digunakan sebuah pelarut berupa air (aquades). Pelarut ini digunakan karena dapat melarutkan gelatin pada temperatur ruang dan nilai tetapan Mark-Houwink-Sakurada-nya (K dan α) telah diketahui sesuai dengan handbook data polimer. Konsentrasi larutan gelatin dibuat bervariasi yaitu; 0,03; 0,035; 0,04; 0,045; dan 0,05 gram. Waktu alir larutan gelatin dalam viskometer diukur dan diperoleh bahwa waktu alir semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi gelatin dalam larutan. Peningkatan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gelatin dalam larutan maka molekul-molekul gelatin yang bergesekan akan semakin banyak pula sehingga viskositas larutan meningkat dan waktu alirnya juga meningkat. Berikut Tabel waktu alir larutan gelatin pada berbagai larutan asam Tabel 2. Waktu laju alir larutan gelatin pada berbagai larutan asam Larutan Asam Konsentrasi Waktu Asam Klorida 0,030 7,18 0,035 8,08 0,040 8,22 0,045 9,22 0,050 9,92 AsamPhospat 0,030 6,79 0,035 7,08 0,040 7,23 0,045 7,45 0,050 7,73 Asam sitrat 0,030 6,54 0,035 6,67 0,040 6,79 0,045 6,98 0,050 7,11 Dari waktu laju alir dapat di gambarkan grafik linear pada sumbu x dan sumbu y, dinama sebagai sumbu x nilai variasi konsentrasi dan sebagai sumbu y nilai viskositas yang tereduksi (ƞsp/C). berikut grafik (ƞsp/C) dengan konsentrasi untuk berbagai variasi larutan asam.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
yy = 330,04x - 5,9802 20
R² = 0,9161
10
y
0
Linear (y) 0
0,02
0,04
0,06
Gambar 6.a Pada variasi larutan asam klorida
y y = 108,41x - 1,6926 R² = 0,9502
4 2
y Linear (y)
0 0
0,02
0,04
0,06
Gambar 6.b. Pada variasi larutan asam phospat 0,1 y = 4,441x - 0,1335 R² = 0,9942 0,05
y
0 -0,05
0
0,02
0,04
0,06
y Linear (y)
Gambar 6.c. Pada variasi larutan asam sitrat. Dari grafik tersebut dapat dicari massa molekul relative rata – rata gelatin, dimana nilai α yang digunakan untuk menghitung massa molekul relative rata – rata menggunakan nilai α gelatin momersial yang berasa dari sapi. Kemudian nilai K juga menggunakan nilai K pada gelatin sapi sebesar 1,66 x 10-5. Dimasukkan kedalam persamaan [ƞ] = K.Mvα. Untuk gelatin variasi asam klorida mempunyai nilai viskositas tereduksi sebesar 5,980 sehingga pada gelatin ini mempunyai massa molekul relative rata –rata sebesar 1.609.137 gr/mol, sedangkan pada variasi asam phospat mempunyai nilai viskositas tereduksi sebesar 1,692 dan mempunyai massa molekul relative rata – rata sebesar 455.294 gr/mol. Kemudian pada variasi asam phospat memiliki nilai viskositas tereduksi sebesar 0,133 dan nilai massa molekul relatif rata – rata sebesar 35.788 gr/mol. Menurut pernyataan Fatimah (1996) berat molekul gelatin berkisar antara 15.000 – 5 250.000 g/mol sedangkan menurut Rose (1987) berat molekul rata – rata bisa mencapai > 5x10 gr/mol. Dari nilai berat molekul yang didapat menunjukkan pada GLK memiliki nilai berat molekul yang sangat besar dbandingkan dengan GLS dan GLP. Hal ini dapat dilihat pada serapan gugus FTIR yang menunjukkan serapan GLK pada bilangan gelombang 1700 -1400 cm-1 yang identik serapan gugus karbonil dan gugus hidroksil. Pada daerah tersebut terdapat 3 puncak peak dan dari 3 peak terdapat 2 peak yang cukup tajam sehingga mempengaruhi nilai berat molekul rata – rata gelatin.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
STUDI SPEKTROSKOPI UV-VIS DAN INFRAMERAH SENYAWA KOMPLEKS INTI GANDA Cu-EDTA Sus Indrayanah, Irmina Kris Murwani Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak Senyawa kompleks inti ganda Cu-EDTA telah berhasil disintesis melalui reaksi antara tembaga sulfat dan etilendiamintetraasetat (EDTA). Dari metode variasi kontinu didapatkan rumus molekul senyawa kompleks dengan perbandingan Cu dan EDTA sebesar 3 : 2. Pembentukan senyawa kompleks Cu-EDTA optimum pada pH 2.7. Kristal hasil sintesis dikarakterisasi dengan spektroskopi UV-Vis dan inframerah. Senyawa kompleks inti ganda Cu-EDTA memiliki panjang gelombang maksimum sebesar 740 nm dan serapan khas yang menunjukkan vibrasi logam-ligan -1 muncul pada bilangan gelombang di bawah 500 cm . Kata kunci : Tembaga (II), etilendiamintetraasetat (EDTA), spektra Cu-EDTA 1. Pendahuluan Senyawa koordinasi merupakan salah satu senyawa yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Senyawa ini terbentuk karena adanya ikatan antara ligan yang berperan sebagai donor pasangan elektron (basa Lewis) dengan ion pusat (logam) yang berperan sebagai akseptor pasangan elektron (asam Lewis). Penelitian tentang sintesis senyawa koordinasi juga semakin beragam. Salah satunya adalah penelitian tentang senyawa kompleks sebagai katalis. Dari beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa senyawa kompleks tembaga memiliki peranan penting pada proses katalitik, yaitu sebagai active site katalis. Senyawa kompleks tembaga, (HLCu2Cl3)Cl · H2O merupakan katalis asam Lewis yang baik digunakan dalam reaksi siklopropanasi olefin dengan tingkat selektivitas yang tinggi. Katalis ini juga sangat kuat dan produk yang dihasilkan tidak mengalami penurunan meskipun katalis telah digunakan sebanyak tiga kali reaksi (Youssef et al., 2009). Zeolit NaY yang diimpregnasi dengan kompleks tembaga, Cu(Phen)(PPh3)Br digunakan sebagai katalis asam Lewis pada reaksi aminasi arilhalida yang menunjukkkan aktivitas dan selektivitas yang tinggi serta sangat stabil dan tidak terjadi leaching (Patil et al., 2010). Senyawa kompleks yang bisa dijadikan sebagai katalis harus memiliki sifat stabil. Salah satu senyawa kompleks yang sangat stabil adalah senyawa kompleks yang membentuk khelat. Salah satu senyawa kompleks yang memiliki tingkat kestabilan tinggi adalah senyawa kompleks Cu-EDTA yang memiliki Kstab = 18.8 (Underwood, 2002). Oleh karena itu pada penelitian ini disintesis senyawa kompleks Cu-EDTA dari tembaga (II) sulfat sebagai ion pusat dan etilendiamintetraasetat (EDTA) sebagai ligan, kemudian hasil sintesis akan dikarakterisasi dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis dan inframerah. 2. Metode Penelitian Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang memiliki kemurnian pro analisis (p.a) meliputi CuSO4, EDTA, NH4OH, dan akua DM. Selanjutnya dilakukan karakterisasi dengan UV-VIS dan Inframerah. Tahapan dalam sintesis senyawa kompleks Cu-EDTA adalah penentuan panjang gelombang maksimum, pengaruh pH pada pembentukan senyawa kompleks dan penentuan rumus
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS senyawa kompleks dengan metode variasi kontinu. Dari hasil tersebut, disintesis senyawa kompleks dengan melarutkan CuSO4 ke dalam 10 ml akua DM kemudian ditambahkan dengan larutan EDTA dan diaduk. Larutan dibiarkan hingga terbentuk kristal. 3.
Hasil dan Pembahasan
Penentuan Panjang Gelombang Senyawa Kompleks Cu-EDTA Pada penelitian ini dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum senyawa kompleks 2+ dengan larutan EDTA kemudian diukur panjang dengan mencampurkan larutan Cu gelombangnya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600-900 nm. Spektra absorpsi kompleks Cu-EDTA ditunjukkan pada Gambar 1. Senyawa CuSO4 memiliki absorpsi maksimum pada daerah 810 nm, dan pada kondisi yang sama kompleks Cu-EDTA mengabsorps pada panjang gelombang 740 nm. Pergeseran absorpsi maksimum antara CuSO4 dengan Cu-EDTA menunjukkan bahwa telah terjadi pembentukan kompleks antara Cu dengan EDTA.
Gambar 1. Panjang Gelombang Maksimum CuSO4 dan Senyawa Kompleks Cu-EDTA Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks Cu-EDTA Pada penelitian ini telah dilakukan pembentukan senyawa kompleks pada pH yang bervariasi, yaitu dari pH 2.5 sampai pH 7. Hasil pembentukan senyawa kompleks berdasarkan pengaruh pH tertera pada gambar 2. Hasil terbaik pada pembentukan kompleks Cu-EDTA yang stabil diperoleh pada pH optimum 2.7. Karena pada pH 2.7 dihasilkan kristal dengan larutan bening yang menunjukkan terbentuknya kompleks Cu-EDTA murni.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 2. Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks Cu-EDTA Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode Variasi Kontinu Rumus senyawa kompleks Cu-EDTA ditentukan dengan menggunakan metode variasi kontinu. Dari metode variasi kontinu didapatkan kurva seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Dari kurva tersebut tampak bahwa perbandingan rasio molar antara tembaga (II) dengan EDTA dalam senyawa kompleks Cu-EDTA adalah 3 : 2. Hal ini menunjukkan terbentuknya senyawa kompleks inti ganda Cu-EDTA. Pembentukan kompleks inti ganda tembaga (II) dengan EDTA menjelaskan bahwa hanya 0.6 EDTA yang dibutuhkan oleh ion tembaga (II).
Gambar 3. Kurva Variasi Kontinu Senyawa Kompleks Cu-EDTA
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Identifikasi Senyawa Kompleks dengan Spektroskopi Inframerah Analisis inframerah senyawa kompleks dilakukan pada bilangan gelombang 300 – 4000 -1 cm untuk mengetahui gugus fungsi senyawa kompleks dan interaksi yang terjadi antara logam dan ligan. Spektra senyawa kompleks inti ganda ditunjukkan pada Gambar 4. Dari spektra Cu1 EDTA dapat diketahui adanya serapan C – N dan adanya H2O pada daerah 3380 cm . Sedangkan -1 stretching –CH2– muncul pada bilangan gelombang 2950 cm . Serapan gugus karboksil (C=O) dari EDTA yang terikat dengan Cu dan membentuk senyawa heksadentat pada Cu-EDTA ditunjukkan -1 pada puncak tunggal di daerah 1600 cm . Selain itu pada kompleks Cu-EDTA juga terlihat serapan -1 pada daerah 1390 - 1320 cm yang disebabkan karena adanya karboksil yang terkoordinasi pada -1 kompleks. Serapan pada 1440 cm juga mengindikasikan adanya –CH2COO yang terikat dengan -1 Cu-EDTA. Vibrasi –COO juga terjadi pada daerah 1009 – 916 cm , namun ini merupakan interpretasi yang sulit karena dimungkinkan H2O juga terikat pada daerah itu. Serapan pada 853 -1 cm merupakan vibrasi dari –COO yang disebabkan karena karboksil yang terkoordinasi, -1 sedangkan pada derah 825 cm merupakan karboksil yang tidak terkoordinasi pada kompleks. Dari -1 spektra tersebut juga muncul vibrasi C – N yang tidak terkoordinasi pada daerah 1113 cm . -1 Sedangkan pada 1200 – 800 cm merupakan vibrasi C – C untuk alkana (Citron, I.,1961). -1 Serapan vibrasi ikatan antara ligan dengan logam Cu terlihat pada daerah 400 cm . Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi ikatan logam dengan gugus N dari ligan -1 akan muncul pada daerah 300 – 400 cm . Sedangkan vibrasi Cu – O muncul pada bilangan -1 gelombang 470 cm . Hal ini sesuai dengan literatur bahwa vibrasi logam dengan gugus O dari -1 ligan akan muncul pada bilangan gelombang 420 – 600 cm ( Nakamoto, 1978 ). Bila spektra antara Cu-EDTA dengan CuSO4 dibandingkan, akan terlihat bahwa tidak ada tambahan vibrasi -1 -1 muncul pada daerah 1110 cm dan 625 cm pada spektra Cu-EDTA yang menandakan tidak 2adanya gugus SO4 (Gyliene at al., 2004 ).
Gambar 4. Spektra inframerah EDTA, Cu-EDTA, dan CuSO4
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Berdasarkan data – data tersebut, struktur senyawa kompleks inti ganda Cu-EDTA dapat diusulkan sebagai berikut :
Gambar 5. Struktur Kompleks Cu-EDTA
Kesimpulan Senyawa kompleks inti ganda Cu-EDTA telah berhasil disintesis dengan perbandingan mol logam dan ligan 3 : 2. Pembentukan senyawa kompleks dicapai pada pH optimum 2.7. Hasil analisis inframerah mampu membuktikan adanya vibrasi antara Cu dengan EDTA yang didukung dengan hasil analisis UV-Vis dengan panjang gelombang maksimum sebesar 740 nm. Daftar Pustaka Citron, Irvin, 1961, “Infrared Studi Of Copper-EDTA Complex And Its Reaction With Various Amino Compounds”, analytica Chimica Acta, Vol. 26, hal. 446-457. Gyliene,O., Alkaite,J., Nivinskiene, O. 2004, “Recovery of EDTA from Complex Solution Using Cu(II) as Precipitant and Cu(II) Subsequent Removal by Electrolysis”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 116, hal. 119-124. Nakamoto K., 1978, Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compound, Third Edition., John Wiley and Sons Inc, New York. Patil, M.N., Gupte, P.S., Chaudhari, V., 2010, “ Heterogenized Copper Catalysts for the Amination of Arylhalide : Synthesis, Characterization and Catalytic Applications”, Applied Catalysis, Vol. 373, hal. 73-81. Underwood, A. L. & Day, R.A, 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta. Youssef, S.N., Eman, E.Z., Ahmed,M.A.,Caselli, A., Cenini, S., 2009, ” Synthesis and Characterization of some Transition Metal Complexes with a Novel Schiff Base Ligand and their use as Catalysts for Olefin Cyclopropanation”, Journal of Molecular Catalysis, Vol. 308, hal. 159-168.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI AURIVILLIUS LAPIS DUA: PbBi2Nb2O9, BaBi2Ta2O9 Laili Dwi Insyani dan Afifah Rosyidah* Jurusan Kimia,Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Arif Rahman Hakim, Surabaya, 60111 *Corresponding author. Tel/Fax : 031-5943353/031-5928314; Email:
[email protected]
Abstrak Oksida Aurivillius lapis dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 dalam bentuk serbuk polikristalin telah berhasil disintesis melalui metode reaksi kimia keadaan padat dari bahan-bahan oksida yang mempunyai kemurnian tinggi mencapai 99,99% yaitu , BaCO3, Bi2O3, PbO, dan Ta2O5. Karakterisasi serbuk polikristalin yang diperoleh dilakukan dengan teknik difraksi sinar-X (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dilengkapi dengan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX) dan X-Ray Fluorescence (XRF). Data difraksi sinar-X, SEM dan XRF dari serbuk polikristalin BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 memperlihatkan bahwa senyawa ini murni dengan kristalinitas yang tinggi dan tidak terdapat adanya pengotor, sedangkan morfologi oksida Aurivillius lapis dua yang dihasilkan dari SEM menunjukkan tingkat kristalinitas yang sangat baik dengan struktur butiran yang cukup baik. Kata Kunci : Aurivillius BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9, reaksi kimia keadaan padat 1. Pendahuluan Oksida Aurivilius adalah material oksida dengan struktur berlapis yang mempunyai rumus 2+ 2umum M2An-1BnO3n+3 yang terdiri dari lapis bismut [M2O2] dan lapis perovskit [An-1BnO3n+1] . Oksida Aurivillius mempunyai banyak jenis yang berbeda-beda tergantung pada jumlah lapisan perovskitnya dan subtituen kation yang digunakan untuk lapisan bismut atau perovskit. Pada umumnya struktur Aurivillius disusun oleh kation A yang memiliki jari-jari ~ 1Å dan kation B yang memiliki jari-jari ~ 0,6Å. Logam A pada lapisan perovskit merupakan kation yang berukuran besar, bermuatan +1, +2, atau +3, diantaranya adalah logam alkali, alkali tanah, unsur tanah jarang atau campurannya yang mempunyai koordinasi dodekahedral, sedangkan logam B merupakan unsur transisi yang berukuran lebih kecil dari kation A dengan koordinasi oktahedral dan n adalah bilangan bulat yang menunjukkan jumlah oktahedral pada lapisan perovskit (1 ≤ n ≤8). Adanya pasangan elektron bebas pada Bi (III) memungkinkan munculnya berbagai sifat fisika dan kimia. Potensi aplikasi oksida ini untuk ferroelectric random access memories (FRAM), semikonduktor untuk industri elektronik bahkan penemuan terbaru digunakan sebagai bahan superkonduktor, katalis dalam industri petrokimia, keramik di bidang kesehatan dan rekayasa, biosensor dari sifat listrik, magnetik, optik bahan serta sifat mekanik yang dapat diaplikasikan telah mendorong penelitian yang intensif. Penelitian ini mengkaji tentang struktur detail material Aurivilllius lapis dua yaitu PbBi2Nb2O9 dan BaBi2Ta2O9 dengan menggunakan metode reaksi kimia keadaan padat. Aurivillius lapis dua ini disubstitusi kation A yang pada lapis perovskite (A = Pb, Ba) serta perbedaan pada kation B pada lapisan perovskit (B = Nb, Ta). Hal ini dapat menyebabkan perbedaan sifat fisik dan sifat kimia serta perbedaan struktur pada setiap oksida Aurivillius, yang berpengaruh terhadap kualitas material oksida Aurivillius tersebut dalam penggunaan untuk aplikasi selanjutnya. Oksida Aurivillius ini kemudian dikarakterisasi menggunakan XRF (X-Ray
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Fluorescence) untuk menganalisa unsur logam yang dikandung sampel, sedangkan SEM untuk mengetahui bentuk morfologinya dan XRD (X-Ray Diffraction) untuk mengetahui fasa yang terbentuk serta untuk penentuan struktur awal. 2. Metodologi Alat dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah peralatan-peralatan gelas, mortar dan pestel agate, krus alumina yang inert terhadap pereaksi serta tahan terhadap temperatur yang tinggi, neraca analitis, furnace suhu tinggi, difraktometer sinar-X (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-Ray Fluorescence (XRF). Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Nb2O5, BaCO3, Bi2O3, PbO, dan Ta2O5 yang memiliki kemurnian 99,99% (Sigma-Aldrich), aseton serta aquades. Prosedur Kerja Sintesis dan Karakterisasi Material Oksida Aurivillius Sintesis oksida Aurivillius lapis dua PbBi2Nb2O9 dan BaBi2Ta2O9 dilakukan dengan cara semua material disiapkan dengan reaksi kimia keadaan padat pada jumlah stoikiometrik yaitu Nb2O5, BaCO3, Bi2O3, PbO, dan Ta2O5 (Sigma-Aldrich, 99,99%). Oksida-oksida penyusun Aurivillius yang akan disintesis tersebut dimasukkan dalam mortar dan dihomogenkan dengan penggerusan serta penambahan aseton, untuk selanjutnya dibuat pelet. Pelet dimasukkan dalam o krus alumina dan dipanaskan pada kondisi reaksi 12 jam pada temperatur 400 C, dan selanjutnya 0 12 jam pada temperatur 900 C. Antara dua pemanasan dilakukan penggerusan ulang untuk membentuk permukaan baru dan pemanasan akhir dilakukan selama 24 jam pada temperatur o 1100 C. Perlakuan ini dilakukan karena diperkirakan reaksi telah berlangsung secara sempurna yaitu jika sudah ada perubahan yang menandakan terjadinya suatu reaksi. Tanda-tanda itu antara lain berubahnya warna sampel dan tekstur (mengeras dan kasar) dari sampel. Perlakuan ini sama untuk kedua oksida Aurivillius lapis dua yaitu PbBi2Nb2O9 dan BaBi2Ta2O9. Karakterisasi bahan dilakukan dengan menggunakan difraksi sinar-X serbuk untuk mengetahui fasa yang terbentuk serta untuk penentuan struktur awal. Dari difraktogram yang dihasilkan dapat diketahui apakah senyawa target telah terbentuk atau belum. Sejumlah 0,6 gram sampel diletakkan pada sel difraksi (sampel holder) lalu disinari dengan sinar Cu-Kα (1,54056Å). Data difraksi diambil pada rentang sudut 2θ antara 10° sampai dengan 90° dalam interval kenaik an sudut sebesar 0,05° per tahap. Difraktogram yang di peroleh berupa grafik hubungan antara sudut difraksi 2θ dan intensitas. (Hunter, dkk., 1997). Morfologi permukaan sampel-sampel hasil sintesis dianalisis menggunakan SEM yang mampu memberikan perbesaran sampai ~15.000x dengan resolusi sampai 40 Å. Pada penelitian ini, analisis SEM dipakai sebagai informasi pendukung untuk menunjukkan morfologi permukaan dan distribusi partikel dari sampel hasil analisis. X-Ray Fluoresence (XRF) digunakan untuk menganalisis komposisi kimia beserta konsentrasi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu sampel dengan menggunakan spektrometri. Penggunaan XRF untuk sampel ini menggunakan energi maksimum yaitu 30 keV. 3. Hasil dan Pembahasan Sintesis Aurivillius Lapis Dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 Aurivillius lapis dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 telah berhasil disintesis dengan metode reaksi kimia keadaan padat. Sintesis senyawa Aurivillius lapis dua ini dilakukan dari bahan-bahan oksida yang mempunyai kemurnian tinggi dengan menggunakan perbandingan stokiometris yang diinginkan, bahan-bahan tersebut dihomogenkan dan kemudian dilakukan penggerusan yang disertai dengan bantuan pembasah pelarut berupa penambahan aseton yang mudah menguap.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Langkah berikutnya adalah pemanasan secara bertahap pada temperatur yang telah ditentukan, setelah sebelumnya dibiarkan kering dan kemudian dilakukan pengepresan campuran menjadi pelet yang bertujuan untuk memaksimalkan kontak antar partikel dan untuk meminimalkan kontak dengan krusibel. Kenaikan temperatur reaksi dilakukan secara bertahap yaitu dari 400 °C selama 12 jam kemudian 900°C selama 12 jam dan 1100°C selama 24 j am. Antara dua pemanasan dilakukan penggerusan ulang untuk membentuk permukaan baru dan mempercepat terbentuknya produk. Penggerusan ulang ini dilakukan karena sebagian produk telah terbentuk pada tahap awal pemanasan yang akan menganggu permukaan bidang sentuh reaktan sehingga memperlambat terjadinya difusi kation masing-masing reaktan dan reaksi akan berlangsung tidak sempurna. Oleh karena itu, perlakuan tambahan yaitu penggerusan ulang tersebut sangat diperlukan. Oksida Aurivillius yang dihasilkan berupa serbuk polikristalin untuk BaBi2Ta2O9 serbuk berwarna krem sedangkan untuk PbBi2Nb2O9 serbuk berwarna kuning. Karakterisasi Aurivillius Lapis Dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 Pada penelitian ini, hasil sintesis Aurivillius lapis dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 dikarakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-Ray Fluorescence (XRF). Karakterisasi Aurivillius Lapis Dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 dengan Difraksi Sinar-X serbuk (XRD) Karakterisasi serbuk Aurivillius yang diperoleh dilakukan dengan mengggunakan difraksi sinar-X serbuk untuk mengetahui fasa yang terbentuk serta untuk penentuan struktur awal. Hasil analisis dengan difraksi sinar-X yaitu sampel memiliki intensitas puncak yang cukup tinggi (Gambar 1) pada 2θ = 32,07949°; 29,41088° dan 27,75130°. Puncak-punca k ini hampir mirip dengan puncak-puncak difraktogram Aurivillius lapis dua BaBi2Ta2O9 yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Costa pada tahun 2004. Intensitas puncak menunjukkan kristalinitas dari sampel, yaitu semakin tinggi intensitasnya maka kristalinitas dari sampel tersebut juga akan semakin tinggi. Pola difraktogram yang dihasilkan menunjukkan sampel tersebut mempunyai kristalinitas yang tinggi dan tidak ditemukan fase kristalin yang lain atau tidak ditemukan adanya puncak-puncak fasa pengotor.
Gambar 1. Pola difraktogram dari serbuk polikristalin hasil sintesis BaBi2Ta2O9 Pola difraktogram untuk PbBi2Nb2O9 menunjukkan bahwa sampel memiliki intensitas puncak yang cukup tinggi (Gambar 2) pada 2θ = 28,88236° ; 55,86333° dan 35,18535°. Puncakpuncak ini hampir mirip dengan puncak-puncak difraktogram Aurivillius lapis dua PbBi2Nb2O9 yang telah dilakukan pada penelitian sebelummnya oleh Jinhong Bi pada tahun 2008. Pada difraktogram
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS yang dihasilkan menunjukkan sampel tersebut mempunyai kristalinitas yang tinggi dan tidak ditemukan fase kristalin yang lain atau tidak ditemukan adanya puncak-puncak fasa pengotor.
Gambar 2. Pola difraktogram dari serbuk polikristalin hasil sintesis PbBi2Nb2O9 Karakterisasi Aurivillius Lapis Dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) Morfologi oksida Aurivillius lapis dua yang dihasilkan menunjukkan tingkat kristalinitas yang sangat baik dengan struktur butiran yang cukup baik seperti terlihat sangat jelas pada Gambar 3. Dari skala hasil pengukuran SEM, tampak bahwa setiap butiran mempunyai ukuran 2 µm.
(a) (b) Gambar 3. Pengamatan morfologi dari serbuk polikristalin hasil sintesis (a) PbBi2Nb2O9 dan (b) BaBi2Ta2O9
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Karakterisasi Aurivillius Lapis Dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 dengan X-Ray Fluorescence (XRF) X-Ray Fluoresence (XRF) digunakan untuk menganalisis komposisi kimia beserta konsentrasi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu sampel dengan menggunakan spektrometri. Penggunaan XRF untuk sampel ini menggunakan energi maksimum yaitu 30 keV. Hasil spektra yang diperoleh dari karakterisasi dengan XRF yaitu pada sampel PbBi2Nb2O9 mengandung Pb dengan konsentrasi sebesar 22,5%, untuk Bi sebesar 53,0% dan untuk Nb sebesar 22,5%. Sedangkan untuk sampel BaBi2Ta2O9 mengandung konsentrasi Ba sebesar 19,4%, untuk Ta sebesar 64,1% dan untuk Bi sebesar 16,5%. Hasil spektra tersebut tidak menunjukkan adanya pengotor.
Gambar 4. Pengamatan hasil karakterisasi XRF dari serbuk polikristalin hasil sintesis BaBi2Ta2O9
Gambar 5. Pengamatan hasil karakterisasi XRF dari serbuk polikristalin hasil sintesis PbBi2Nb2O9
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 4.
Kesimpulan
Senyawa Aurivillius lapis dua BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 berhasil disintesis dengan metode reaksi kimia keadaan padat dengan pemanasan 400°C s elama 12 jam, 900°C selama 12 jam dan 1100°C selama 24 jam. Data difraksi sinar-X, SEM da n XRF dari serbuk polikristalin BaBi2Ta2O9 dan PbBi2Nb2O9 memperlihatkan bahwa senyawa ini murni dengan kristalinitas yang tinggi dan tidak terdapat adanya pengotor sedangkan morfologi oksida Aurivillius lapis dua yang dihasilkan dari SEM menunjukkan tingkat kristalinitas yang sangat baik dengan struktur butiran yang cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA Aurivillius, B. dan Kemi A., (1949), “ Mixed Bismuth Oxides with Layer Lattices : I, The Structure Type of CaBi2Nb2O9”, Arkiv Kemi Band, 1, 463-480 Aurivillius, B. dan Kemi A., (1949), “ Mixed Bismuth Oxides with Layer Lattices : II, The Structure Type of Bi4Ti3O12”, Arkiv Kemi Band, 1, 499-512 Hunter, B.A. dan Howard, C.J. (1997) : http://www.rietica.org, v. 1.7.7; Lucas Heights Research Laboratories Ismunandar, Hunter, B.A. dan Kennedy, B.J., (1998), “Cation Disorder in the Ferroelectric Aurivillius Phase PbBi2Nb2O9 : an Anamolous Dispersion X-ray Diffraction Study, Solid State Ion., 112, 281-289 Ismunandar, (2004), “Padatan Oksida Logam : Struktur, Sintesis dan Sifat-Sifatnya”, Departemen Kimia FMIPA ITB, Bandung Jinhong, Bi, Ling Wu, Zhaohui Li, Xuxu Wang, dan Xianzhi Fu, (2008), “A Citrate Complex Process to Prepare Nanocrystalline PbBi2Nb2O9 at a Low Temperature”, Material Letters, 62, 155158
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI AURIVILLIUS LAPIS 2: PbBi2Nb2O9, BaBi2Nb2O9 DENGAN METODA REAKSI KIMIA PADAT Eva Agustina dan Afifah Rosyidah* Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Jl. Arif Rahman Hakim, Surabaya, 60111 *Corresponding author. Tel/Fax : 031-5943353/031-5928314; Email:
[email protected]
Abstrak Kelompok oksida Aurivillius dengan rumus umum [Bi2O2][An-1BnO3n+1] terdiri atas lapisan 2+ 2bismut [Bi2O2] dan lapisan seperti perovskit [An-1BnO3n+1] . Oksida Aurivillius ini dapat diaplikasikan untuk ferroelectric random access memories (FRAM), semikonduktor, katalis, keramik, superkonduktor dan lain-lain. Struktur oksida Aurivillius ini dapat dimodifikasi dengan subtitusi kation, baik dalam lapisan bismut maupun perovskit sehingga mengakibatkan perubahan sifat fisikokimia. Penelitian ini untuk mempelajari struktur dari dua jenis Aurivillius lapis dua ABi2Nb2O9 (A= Ba, Pb). Kedua oksida ini merupakan senyawa isostruktur. Kedua oksida Aurivillius ini disintesis menggunakan metode reaksi kimia padat. Oksida Aurivillius hasil sintesis dikarakterisasi dengan X-Ray Diffraction (XRD). Data difraktogram yang dihasilkan diketahui bahwa oksida Aurivillius hasil sintesis merupakan oksida Aurivillius lapis 2 karena memiliki puncak pada 2θ tertentu sesuai standar. Intensitas puncak pada difraktogram dan hasil morfologi permukaan dengan SEM menunjukkan bahwa BaBi2Nb2O9 lebih kristalin dibandingkan dengan PbBi2Nb2O9. Data XRF menunjukkan komposisi unsur-unsur yang ada dalam sampel. Persen massa untuk BaBi2Nb2O9 adalah Ba 30,02%, Bi 7,82%, Nb 32,40%, O 29,76% dan untuk PbBi2Nb2O9 adalah Pb 1,64%, Bi 3,66%, Nb 1,54%, O 93,15%. Ion Pb memiliki jari-jari yang lebih kecil dari pada ion Ba sehingga menyebabkan adanya perbedaan struktur yang dapat berpengaruh pada sifat fisikokimia dari kedua jenis oksida Aurivillius. Kata kunci : Oksida Aurivillius, Fasa Aurivillius BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9, Reaksi Kimia Padat. 1.
Pendahuluan
Aurivillius adalah nama yang diberikan kepada oksida logam dengan rumus umum [Bi2O2]2+ 22+ [An-1BnO3n+1] . Oksida Aurivillius disusun oleh struktur [Bi2O2] dan lapisan perovskit. Kation A adalah unsur mono-, di-, atau trivalent yang mempunyai koordinasi dodekahedral, misalnya logam alkali, alkali tanah, unsur tanah jarang atau campurannya. Sedangkan kation B biasanya adalah suatu unsur transisi, dalam strukturnya kation B berkoordinasi oktahedral, n adalah bilangan bilangan bulat (1≤n≤8) yang menyatakan jumlah oktahedral dalam lapisan perovskit. Adanya pasangan elektron bebas pada Bi (III) memungkinkan munculnya berbagai sifat fisika dan kimia. Selain itu adanya subtitusi kation A maupun B yang memiliki jari-jari yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya defek pada oksida Aurivillius. Oksida Aurivillius mempunyai variabilitas yang besar dalam stokiometri kation logam, hal ini berpotensi untuk kontrol sistematik dari sifat fisika dan elektronik. Kation A ditempati dengan Ca, 4+ 5+ 5+ 6+ Sr, Ba, Pb, Bi, Na atau campuran, untuk oktahedral B ditempati kation Ti , Nb , Ta , W atau 6+ Mo . Subtitusi pada kation A dan B dalam lapisan perovskit cenderung lebih mudah dilakukan 3+ 2+ dari pada subtitusi kation pada Bi dalam lapis [Bi2O2] karena dapat merusak struktur 2+ (Subbarano, 1959, 1960, 1961, 1962; Newnham, 1971, 1973). Lapisan [Bi2O2] terbentuk dari 3+ jaringan anion oksigen segiempat datar yang mana kation Bi berada diatas dan dibawah bidang
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS secara bergantian dan dapat digambarkan sebagai tutup piramida BiO4 bujur sangkar. Kondisi 3+ koordinasi asimetris dan kation Bi disebabkan oleh aktivitas stereokimia pasangan elektron bebas pada orbital 6s2. Keadaan terdistorsi inilah yang dipercayai menghalangi subtitusi kation ke 2+ dalam lapisan [Bi2O2] . Adanya perbedaan jumlah lapisan pada Aurivillius dan subtituen kation pada lapisan bismut atau perovskit menyebabkan perbedaan struktur, sifat fisik maupun kimia yang dapat berpengaruh terhadap kualitas marerial dalam aplikasi selanjutnya. Untuk memperoleh hasil deskripsi yang tepat tentang struktur kristal, morfologi serta komposisi unsur-unsur Aurivillius BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 maka dilakukan penelitian ini. Pada penelitian dilakukan sintesis dan karakterisasi Aurivillius lapis dua ABi2Nb2O9 (A=Pb, Ba). Metode yang digunakan untuk sintesis senyawa ini adalah metode reaksi kimia padat, karena metode ini dapat digunakan untuk sintesis oksida Aurivillius dalam bentuk kristal tunggal atau polikristalin selain itu meskipun memerlukan temperatur reaksi yang tinggi tetapi operasinya mudah dan oksida material awal yang digunakan mudah didapat dari pada menggunakan metode sintesis lain seperti sol gel dan polimerisasi gel (Bencan,dkk., 2004). Dalam penelitian ini akan dilakukan dua sintesis Aurivillius lapis dua, perbedaannya yaitu pada lapisan perovskit dengan membedakan substitusi kation A yang isovalen sedangkan kation Bnya dibuat sama. Kation B diisi dengan Nb5+ d0 merupakan off-center pergeseran pada oktahedral (Lufaso,dkk., 2007). Sedangkan untuk senyawa satu kation A diisi dengan Pb memiliki jari-jari 1,29 Å dan senyawa dua diisi dengan Ba memiliki jari-jari 1,46Å . Adanya perbedaan jari-jari ionik dari Pb dan Ba menyebabkan perubahan kemiringan dan distorsi disekitar oktahedral NbO6 tetapi masih dalam batas toleransi terbentuknya struktur perovskit yang nantinya diharapkan memiliki sifat-sifat listrik dan magnet. Hasil sintesis ini dikarakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) untuk mengetahui struktur kristal, SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mengtahui morfologinya, dan XRF untuk analisa kadar unsur-unsur logam. Dari hasil karakterisasi kedua oksida Aurivillius ini kemudian dibandingan untuk mengetahui oksida mana yang lebih terdistorsi sehingga akan berpengaruh kesifat fisikokimia oksida ini. Untuk mengetahui oksida Aurivillius lapis dua BaBi2Nb2O9dan PbBi2Nb2O9 berhasil atau tidak, dilakukan perbandingan dengan hasil karakterisasi dari Aurivillius lapis dua Bi3TiNbO9 yang telah berhasil disintesis sebelumnya. Perbandingan ini bertujuan untuk melihat apakah Aurivillius BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 memiliki karakteristik sama dengan Aurivillius lapis dua Bi3TiNbO9, karena BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 isostruktural dengan Bi3TiNbO9 yaitu sama-sama Aurivillius lapis dua, hanya terjadi perbedaan subtituen kation A dan B yang masih dalam batas toleransi terbentuknya oksida Aurivillius. Senyawa Aurivillius yang memilki lapis sama memiliki pola difraksi yang hampir sama. Afifah, R., dkk., (2008) telah melakukan simulasi sintesis Bi3TiNbO9 dan melakukan sintesis dengan metode reaksi kimia padat serta berhasil mendapatkan produk sesuai apa yang diharapkan yaitu tidak ada fasa pengotor dan memiliki struktur kristal yang sesuai dengan struktur kristalografi Aurivillius lapis dua. 2. Metodologi Alat dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah peralatan-peralatan gelas, mortar dan pestel agat, furnace suhu tinggi, krusibel alumina, X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Elektron Microscopy (SEM) dan X-Ray Flouroscent (XRF). Bahan Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Bi2O3, PbO, BaCO3, Nb2O5 dengan kemurnia tinggi 99,999% dan aseton. Prosedur Kerja Sintesis oksida aurivillius lapis 2 dilakukan dengan menggunakan metode reaksi kimia padat pada tekanan atmosfer. Sintesis senyawa Aurivillius dilakukan dari bahan-bahan oksida
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS dengan kemurnian tinggi 99,999%. Aurivillius BaBi2NbO9 dibuat dengan mencampurkan pereaksipereksi Bi2O3, PbO, BaCO3 dan Aurivillius PbBi2NbO9 dibuat dengan mencampurkan pereaksipereksi Bi2O3, PbO, Nb2O5 dengan stokiometri yang tepat pada Tabel 3.1, kemudian dimasukkan dalam mortar dan dihomogenkan dengan penggerusan dengan penambahan aseton, dibiarkan kering, untuk selanjutnya dipelet. Pelet dimasukkan dalam krus alumina dan dipanaskan. Pemanasan dilakukan pada temperatur 400°C selama 12 jam dan selanjutnya temperatur pemanasan dinaikkan 900°C selama 12 jam dan pemanasan terakhir pada suhu 1100°C. Antara tiga pemanasan dilakukan penggerusan ulang untuk membentuk permukaan baru. Karakterisasi bahan dilakukan menggunakan difraksi sinar X serbuk untuk mengetahui fase yang terbentuk serta untuk penentuan struktur awal. Sejumlah 0,6 gram diletakkan pada sel difraksi (sampel holder) lalu disinari dengan Cu-kα. Data difraksi diambil pada sudut 2θ dalam interval 5° sampai 90°. Difraktogram yang diperoleh berupa grafik hubungan antara sudut difraksi 2θ dengan intensitas. Morfologi permukaan sampel-sampel hasil sintesis dianalisis menggunakan SEM yang mampu memberikan pembesaran sampai ~10.000x dengan resulusi sampai 40Å. Pada penelitian ini, analisis SEM dipakai sebagai informasi pendukung untk memperlihatkan morfologi permukaan dan distribusi partikel dari sampel hasil sintesis. Komposisi unsur-unsur yang ada dalam sampel hasil sintesis dianalisa dengan X-Ray Flouroscent (XRF). Sampel dimasukkan dalam holder dan siap dianalisis.
No 1 2
Tabel 1 Komposisi reaktan untuk menghasilkan senyawa target 5 gram Senyawa target Reaktan-reaktan (gram) Bi2O3 Nb2O5 PbO BaBi2Nb2O9 2,6096 1,4896 PbBi2Nb2O9 2,4232 1,3832 1,1596
BaCO3 1,1032
3. Hasil dan Pembahasan Sintesis Oksida Aurivillius Senyawa Aurivillius BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 berhasil disintesis dengan metode reaksi kimia padat. Melalui perbandingan stokiometris, bahan–bahan pereaksi dengan kemurnian tinggi digabungkan dan dilakukan penggerusan. Penggerusan pada oksida logam akan menghasilkan distribusi homogen dari campuran oksida reaktan dimana partikel oksida yang satu akan dikelilingi oleh partikel oksida yang lain. Kemudian dibentuk pelet supaya kontak antar partikel meningkat dan kontak dengan krusibel seminim mungkin. Langkah berikutnya adalah pemanasan secara bertahap pada temperatur tertentu. Wadah yang digunakan untuk pemanasan adalah krusibel alumina karena merupakan bahan inert dan tahan sampai temperatur 1950°C. Reaktan-reaktan yang digunakan merupakan logam oksida yang rata-rata memiliki titik leleh tinggi. Salah satu reaktan yang digunakan merupakan senyawa karbonat, sehingga pada awal pemanasan ditetapkan temperatur reaksi 400°C karena pada temperatur di atas 400°C senyawa karbonat mengalami dekomposisi, sedangkan titik leleh reaktan-reaktan pembentuk senyawa target harus lebih tinggi dari 400°C. Berdasarkan aturan Tamman, pemanasan awal dilakukan pada temeperatur 2/3 dari titik leleh reaktan terendah. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penguapan rektan yang memiliki titik leleh terendah. Apabila pemanasan langsung dilakukan pada temperatur yang sama atau lebih tinggi dari titik leleh reaktan terendah, maka terjadi penguapan reaktan sehingga terjadi perubahan perbandingan stokiometris reaktan, akhirnya pada akhir reaksi tidak terbentuk produk yang diinginkan. Kenaikan temperatur reaksi dilakukan secara bertahap mulai dari 400°C selama 12 jam, 900°C selama 12 jam dan 1100°C selama 2 jam dan setiap tahap pemanasan diselinggi penggerusan sehingga mempercepat terbentuknya produk. Pada taha awal pemanasan, sabagian produk sudah mulai terbentuk. Terbentuknya sebagian produk ini akan mengganggu permukaan bidang sentuh rektan sehingga memperlambat terjadinya difusi kation masing-masing reaktan dan reaksi berlangsung tidak sempurna. Sehingga diperlukan perlakuan tambahan yaitu penggerusan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS pada selang tahap pemanasan. Aurivillius yang dihasilkan untuk BaBi2Nb2O9 berwarna putih sedangakan PbBi2Nb2O9 berwarna kuning kehijauan. Karakerisasi Difraksi Sinar-X Sebagai model awal, digunakan Bi3TiNbO9 yang memiliki struktur ortorombik dan grup ruang A21am dengan parameter sel a = 5,4248(2) (Å); b = 5,3864(2) (Å); c= 25,0392(9) (Å) dan V = 3 731,67(7) (Å ) yang telah ditentukan oleh Nalini, dkk (Nalini, dkk., 2003) untuk mengetahui apakah oksida Aurivillius merupakan oksida Aurivillius lapis 2. Hasil karakterisasi dengan difraksi sinar-X menunjukkan pola difraktogram senyawa oksida Aurivillius hasil sintesis mirip dengan Bi3TiNbO9. Pengukuran difraksi sinar-X menghasilkan pola difraksi yang menggambarkan kekristalan suatu bahan. Adanya kristal ditunjukkan dengan puncak-puncak difraksi. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Difraktogram oksida Aurivillius lapis 2 BaBi2Nb2O9
Gambar 2. Difraktogram oksida Aurivillius lapis 2 PbBi2Nb2O9 Munculnya puncak pada 2θ: 14,097 , 23,448 ,29,279 , 32,890 , 33,122 , 35,729 , 47,373 , 49,345 , 49,511 , 56,819 , 56,919 dan 60,724 merupakan indikasi bahwa senyawa yang dihasilkan adalah fasa Aurivillius lapis 2 sesuai standar Bi3TiNbO9. Jadi BaBi2Nb2O9 dan + PbBi2Nb2O9 merupakan oksida Aurivillius lapis 2 yang memiliki lapis bimut [Bi2O2] dan lapis perovskit [BaNb2O7] untuk BaBi2Nb2O9 dan [PbNb2O7] untuk PbBi2Nb2O9. Untuk mengetahui perbedaan intensitas pada 2θ tertentu maka dibandingkan difraktogram BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 dapat dilihat pada Gambar 2.
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA
Gambar 3. Difraktogram oksida Aurivillius lapis 2 BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 Dari penggabungan difraktogram dapat diketahui bahwa oksida Aurivillius lapis 2 hasil sintesis memiliki puncak-p puncak pada 2θ yang sama, tetapi memiliki intensitas yang berbeda hal ini menunjukkan kristalinitas dari oksida Aurivillius yang dihasilkan. BaBi2Nb2O9 memiliki tingkat kristalinitas yang tinggi dari pada PbBi2Nb2O9 dapat dilihat dari intensitas puncak hasil hasi difraktogram dari kedua senyawa tersebut. Pada 2θ 2 oksida Aurivillius BaBi2Nb2O9 memiliki intensitas puncak yang lebih tinggi dari pada PbBi2Nb2O9. Kekristalinitasan suatu material bisa disebabkan oleh temperatur reaksi. Pada awal pemanasan pada temperatur temperatu 400 C, BaCO3 terdekomposisi karena ada senyawa karbonat sehingga mudah untuk berdifusi ke antar muka senyawa-senawa senyawa lain. Sedangkan PbO merupakan logam oksida yang memerlukan temperatur lebih tinggi untuk mulai berdifusi ke antar muka senyawa lain. Oksida da Aurivillius dengan menggunakan jari-jari jari jari Shanon untuk BaBi2Nb2O9 memiliki faktor toleransi (t) 1,04 dan PbBi2Nb2O9 faktor toleransinya adalah 0,89. Jadi oksida Aurivillius BaBi2Nb2O9 memiliki struktur perovskit sedangkan PbBi2Nb2O9 memiliki struktur perovskit per yang sedikit terdistorsi. Scanning Elektron Microscopy (SEM) Hasil karakterisasi SEM berfungsi untuk mengetahui morfologi permukaan dari sampel. Morfologi oksida Aurivillius yang dihasilkan menunjukkan tingkat kritalinitas yang baik dengan struktur butiran yang cukup baik seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Morfologi permukaan oksida Aurivillius (a) BaBi2Nb2O9 (b) PbBi2Nb2O9
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Dari hasil karakterisasi SEM dapat diketahui bahwa oksida Aurivillis BaBi2Nb2O9 memiliki bentuk permukaan yang lebih teratur dan halus dari pada PbBi2Nb2O9, hal ini mengindikasikan bahwa BaBi2Nb2O9 memiliki kristalinitas yang lebih tinggi dari pada PbBi2Nb2O9. X-Ray Flouroscent (XRF) Hasil karakterisasi XRF menunjukan komposisi unsur-unsur yang terdapat dalam oksida Aurivillius. Energi yang digunakan untuk analisa oksida ini adalah 30 keV. Spektra komposisi unsur dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Spekta oksida Aurivillius BaBi2Nb2O9
Gambar 6. Spektra oksida Aurivillius PbBi2Nb2O9 Komposisi unsur (%) dalam senyawa berdasarkan pengukuran data XRF diperoleh persen massa untuk BaBi2Nb2O9 adalah Ba 30,02%, Bi 7,82%, Nb 32,40%, O 29,76% dan untuk PbBi2Nb2O9 adalah Pb 1,64%, Bi 3,66%, Nb 1,54%, O 93,15%. 4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah oksida Aurivillius lapis 2 BaBi2Nb2O9 dan PbBi2Nb2O9 berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Oksida Aurivillius yang dihasilkan untuk BaBi2Nb2O9 bewarna putih dan PbBi2Nb2O9 bewarna kuning kehijauan. Dari difraktogram yang dihasilkan diketahui bahwa oksida Aurivillius hasil sintesis merupakan oksida
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Aurivillius lapis 2. Intensitas puncak pada difraktogram dan hasil morfologi permukaan dengan SEM menunjukkan bahwa BaBi2Nb2O9 lebih kristalinitas dibandingkan dengan PbBi2Nb2O9. Data XRF diperoleh komposisi unsur-unsur yang ada dalam sampel. Dari data XRF diperoleh persen massa untuk BaBi2Nb2O9 adalah Ba 30,02%, Bi 7,82%, Nb 32,40%, O 29,76% dan untuk PbBi2Nb2O9 adalah Pb 1,64%, Bi 3,66%, Nb 1,54%, O 93,15%. Ion Pb memiliki jari-jari yang lebih kecil dari pada ion Ba sehingga menyebabkan adanya perbedaan struktur yang dapat berpengaruh pada sifat fisikokimia dari kedua jenis oksida Aurivillius. Daftar Pustaka Benca, A., Boullay, P., Merculo, J.P., (2004) : Characterisation of BaBi2Nb2O9 Powders and Thin Films Prepared by a Solution Synthesis Technique, J. Solid State Chem., 6, 547–551 Ismunandar, dkk., (2004), “Padatan Oksida Logam : Struktur, Sintesis dan Sifat-Sifatnya”, Departemen Kimia FMIPA ITB, Bandung Lufasoa, M.W., Schulzeb, W.A., Mistureb, S.T., Vanderahc, T.A., (2007) : Crystal structure, magnetic, and dielectric properties of Aurivillius-type Bi3Fe0.5Nb1.5O9, J. Solid State Chemistry, 180, 2655–2660 Nalini, G., Subbanna, G.N. dan Row, T.N.G. (2003) : Studies on n = 2 Aurivillius Phases: Structure of the Series Bi3-xLaxTiNbO9 (0 < x < 1), Mater. Chem. Phys., 82, 663–671 Newnham, R.E., Wolfe, R.E. dan Dorrian, J.F. (1971) : Structural Basis of Ferroelectricity in the Bismuth Titanate Family, Mater. Res. Bull., 6, 1029–1040 Newnham, R.E., Wolfe, R.W., Horsey, R.S., Diaz-Colon, F.A. dan Kay, M.I. (1973) : Crystal Structure of (Sr,Ba)Bi2Ta2O9, Mater. Res. Bull., 8, 1183–1196 Shrivastava, V., Jha, A.K. dan Mendiratta, R.G. (2005) : Structural Distortion and Phase Transition Studies of Aurivillius type Sr1-xPbxBi2Nb2O9 Ferroelectric Ceramics, J. Solid State Comm., 133, 125–129 Smart, L., and Moore, E., (2005), “Solid State Chemistry : An Introduction”, Chapman & Hall University and Professional Division, London Subbarao, E.C. (1961) : Ferroelectricity in Mixed Bismuth Oxides with Layer-Type Structure, J. Chem. Phys. 34, 695–696 Subbarao, E.C. (1962) : Ferroelectric of PbBi2Nb2O9, SrBi2Nb2O9, BaBi2Nb2O9, J. Am. Ceram. Soc., 45, 564 Subbarao, E.C. (1962) : Crystal Chemistry of Mixed Bismuth Oxides with Layer- Type Structure, J. Am. Ceram. Soc., 45, 166–169 Subbarao, E.C. (1962) : A Family of Ferrolectric Bismuth Compounds, J. Phys. Chem. Solids, 23, 665–676
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT FERROELEKTRIK AURIVILLIUS LAPIS 2: Bi3TiNbO9 Afifah Rosyidah Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Jl. Arif Rahman Hakim, Surabaya, 60111 Corresponding author. Tel/Fax : 031-5943353/031-5928314; Email:
[email protected]
Abstrak Kelompok oksida Aurivillius merupakan salah satu material yang dipelajari secara luas untuk waktu yang telah cukup lama, karena potensi aplikasi yang dimiliki, yaitu sifat feroelektrik. 2+ Rumus umum oksida ini adalah [Bi2O2][An-1BnO3n+1], yang terdiri atas lapisan [Bi2O2] dan lapisan 23+ 14 10 2 seperti perovskit [An-1BnO3n+1] . Konfigurasi elektron Bi adalah [Xe] 4f 5d 6s dan adanya 2 pasangan elektron bebas 6s ini memungkinkan munculnya berbagai sifat fisika dan kimia. Elektron bebas ini dipercaya mempunyai peran penting dalam mengontrol fluktuasi valensi dan penstabilan non-stoikiometri. Selain itu, beragamnya kation A dan B pada lapis perovskit memungkinkan terjadinya banyak modifikasi. Dalam rangka usaha rekayasa bahan, diperlukan elusidasi hubungan antara struktur dan sifat bahan. Pada penelitian ini, dilakukan kajian sistematis oksida Aurivillius lapis 2 Bi3TiNbO9 serta pengaruhnya terhadap feroelektrik. Bi3TiNbO9 telah berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Pola difraktogram yang dihasilkan tidak ditemukan adanya puncak-puncak fasa pengotor. Penentuan sifat feroelektrik dilakukan dengan teknik keramik. Pola histerisis pengukuran feroelektrik pada senyawa Aurivillius lapis 2 Bi3TiNbO9 hasil sintesis menunjukkan pola yang teratur. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan medan dipol yang searah dan sejajar mengikuti arah polarisasi tegangan listrik luar. Hasil perhitungan terhadap parameter polarisasi menunjukkan adanya polarisasi. Kondisi ini sangat mendukung terjadinya sifat feroelektrik. Hal ini sangat sesuai dengan hasil pengukuran yang menunjukkan adanya peningkatan Pr, terutama hasil pengukuran kontribusi polarisasi ke arah sumbu x. Kata kunci: Bi3TiNbO9; Reaksi kimia padat; Sifat feroelektrik 1. Pendahuluan Kelompok oksida Aurivillius dengan rumus umum [Bi2O2][An-1BnO3n+1] terdiri atas lembar 2+ 2[Bi2O2] dan lapisan seperti perovskit [An-1BnO3n+1] . Potensi aplikasi oksida ini untuk ferroelectric random access memories (FeRAM) telah mendorong penelitian yang intensif. Kajian tentang struktur detail material ini pada suhu kamar dan transisinya pada suhu tinggi telah dilakukan oleh 2+ peneliti sebelumnya. Substitusi kation telah pula dilakukan pada Bi baik di lapis [Bi2O2] maupun di lapis perovskit. Substitusi ini menimbulkan defek pada oksida Aurivillius dan dapat mengakibatkan perubahan sifat fisikokimia. (Huiling dkk, 2008). Bahan dengan struktur Aurivillius memiliki potensi yang besar untuk dapat dijadikan sebagai bahan feroelektrik (Smolenskii, 1959, 1962). Struktur Aurivillius, yang memiliki formula 2+ Bi2An-1BnO3n+3, n = 2, 3, 4 …., merupakan kombinasi antara struktur berbasis [Bi2O2] dengan 2struktur yang berbasis perovskit [An-1BnO3n+3] , [Aurivillius, 1949]. Posisi A dapat diisi oleh kation + + 2+ 2+ 2+ 2+ 3+ 3+ yang berukuran besar seperti Na , K , Ca , Sr , Ba , Pb , Bi atau Ln dimana Ln adalah unsur-unsur tanah jarang dan pada posisi B dalam struktur perovskit dapat diisi oleh kation 3+ 3+ 4+ 5+ 6+ berukuran kecil seperti Fe , Cr , Ti , Nb atau W . Susunan struktur yang terdiri dari beberapa lapisan ini menyebabkan struktur Aurivillius memiliki fleksibilitas untuk disubstitusi atau didoping dengan kation lain untuk menghasilkan suatu sifat tertentu.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Untuk membuat bahan yang bersifat feroelektrik, penambahan atau penggantian beberapa lapisan perovskit yang berbasis kation Ti dengan kation lain yang dapat memberikan sifat feroelekrik tertentu. Calon untuk kation tersebut adalah Pb, Ba, Ca dan Ta yang dalam struktur perovskit murni dapat bersifat feroelektrik. (Ismunandar dkk, 1998, Macquart dkk, 2001; Meng-Qiu dkk, 2005; Millan dkk, 1993, 1999; Gaikwad dkk, 2004, 2005; Karthik dkk, 2006; Debasis dkk, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari oksida Aurivillius lapis 2 Bi3TiNbO9 dan 2+ mendapatkan kestabilan oksida Aurivillius, baik pada lapis perosvkit maupun pada lapis [Bi2O2] sehingga diperoleh oksida-oksida Aurivillius yang mempunyai sifat feroelektrik. 2.
Eksperimen
Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Aurivillius Sintesis senyawa Aurivillius Bi3TiNbO9 dilakukan dari bahan-bahan oksida dengan kemurnian tinggi. Pereaksi-pereaksi: Bi2O3, TiO2 dan Nb2O5. Semua bahan tersebut memiliki kemurnian 99,999% Aldrich; sesuai komposisi sintesis, dimasukkan dalam mortar dan dihomogenkan dengan penggerusan serta penambahan aseton, dibiarkan kering, untuk selanjutnya o dibuat pelet. Pelet dimasukkan dalam krus alumina dan dipanaskan pada temperatur 400 C o selama 24 jam dan selanjutnya temperatur pemanasan dinaikkan 100 C lebih tinggi dari pemanasan sebelumnya. Antara dua pemanasan dilakukan penggerusan ulang untuk membentuk o o permukaan baru dan pemanasan lanjutan dilakukan pada temperatur 900 C, 1000 C, masingo masing selama 24 jam dan 1100 C selama 48 jam. Karakterisasi bahan dilakukan mengunakan difraksi sinar-X serbuk untuk mengetahui fasa yang terbentuk serta untuk penentuan struktur awal. Sejumlah sampel diletakkan pada sel difraksi (sampel holder) lalu disinari dengan sinar Cu-Kα. Data difraksi diambil pada sudut 2θ dalam interval o o 10 sampai dengan 80 . Difraktogram yang diperoleh berupa grafik hubungan antara sudut difraksi 2θ dan intensitas. Penentuan struktur kristal dari data difraksi serbuk ini melibatkan perekaman data difraksi serbuk sinar-X beresolusi tinggi. Data kemudian dianalisis dengan program RIETICA (Hunter, dkk.,1997). Morfologi permukaan sampel hasil sintesis dianalisis menggunakan SEM dan EDX digunakan untuk menentukan secara kualitatif komposisi unsur yang ada dalam spesimen. Pengukuran Sifat Feroelektrik Pada awal perlakuan, sampel hasil sintesis senyawa Aurivillius dibuat dalam bentuk pelet 2 dengan luas penampang sekitar 1,5 cm dan ketebalan sekitar 1 mm. Tahap berikutnya adalah o pemanasan yang dilakukan sekitar ¾ di bawah temperatur sintesis (800 C) selama 24 jam sehingga terbentuk keramik. Selanjutnya dilakukan pembuatan kontak yaitu menempelkan keramik tersebut dengan beberapa tetes pasta perak. Semua permukaan keramik harus kontak dengan elektroda sehingga pengukuran terjadi pada semua bagian keramik. Bagian atas dan bawah keramik juga ditetesi dengan pasta perak sehingga terbentuk suatu kapasitor. Berikutnya dilakukan o pemanasan pada temperatur 300 C selama 20 menit dan didinginkan. Karakterisasi sifat feroelektrik dilakukan dengan instrumen RT 66A Ferroelectric System-Radiant Technology. Data diambil pada tegangan maksimum (Vmax) 10 volt pada kapasitor pembobot 0,05 µF.
3. Hasil dan Pembahasan Sintesis dan Karakterisasi Struktur Pada penelitian ini oksida Aurivillius lapis 2: Bi3TiNbO9 telah berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Oksida Aurivillius yang dihasilkan berwarna putih pucat. Hasil analisis difraksi sinar-X menunjukkan pola difraktogram yang mirip dengan Bi3TiNbO9 ICSD #: 066551 untuk lapis 2 basis data PDF. Pada difraktogram yang dihasilkan tidak ditemukan adanya puncakpuncak fasa pengotor. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan parameter sel satuan dan struktur produk yang disintesis, maka dilakukan penghalusan struktur menggunakan metode Rietveld dengan program
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Rietica. Sebagai model awal, digunakan Bi3TiNbO9 yang memiliki struktur ortorombik dan grup ruang A21am dengan parameter sel a = 5,4248(2) (Å); b = 5,3864(2) (Å); c = 25,0392(9) (Å) dan 3 V = 731,67(7) (Å ) dan telah ditentukan oleh Nalini, dkk. (Nalini, dkk., 2003). Hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica terhadap 3500 data difraksi pada o o rentang sudut difraksi 2θ = 10 – 80 menunjukkan kesesuaian antara data percobaan dan perhitungan yang sangat baik sehingga dinyatakan bahwa oksida Aurivillius yang disintesis mengkristal dalam sistem kristal ortorombik, Z = 4, grup ruang A21am untuk lapis 2: Bi3TiNbO9. o o o o o o o Munculnya puncak pada 2θ: 14,097 , 23,448 , 29,279 , 32,890 , 33,122 , 35,729 , 47,373 , o o o o o 49,345 , 49,511 , 56,517 , 56,819 dan 60,724 merupakan indikasi bahwa senyawa yang dihasilkan adalah fasa Aurivillius lapis 2 sesuai standar Bi3TiNbO9 ICSD #: 066551. Hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica terhadap data difraksi menunjukkan kesesuaian antara data percobaan dan perhitungan yang sangat baik yang mana titik-titik difraksi berimpit dengan garis kalkulasi seperti ditunjukkan dengan plot Rietveld pada Gambar.1.
Gambar .1 Plot Rietveld Bi3TiNbO9 hasil pengukuran menggunakan difraksi sinar-X; data percobaan (x), perhitungan (garis tegas) dan selisih (grafik di bawah garis pendekpendek) yang diindeks pada grup ruang yang terkait. Secara keseluruhan, hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica menghasilkan derajat kesesuaian antara data observasi dan kalkulasi mencapai taraf kepercayaan di atas 90 %. Keadaan ini ditunjukkan oleh nilai kesalahan relatif, Rp yang rendah yaitu berkisar 7,75 %. Demikian pula halnya parameter yang lain seperti nilai Rwp dan nilai RBragg yang rendah serta nilai paramater sel hasil ekstraksi yang sangat logis dengan parameter sel kristal senyawa acuan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel .1 Parameter sel satuan Bi3TiNbO9 ditentukan menggunakan metode Rietveld. #
Parameter
Bi3TiNbO9*)
Bi3TiNbO9 )
Grup ruang a (Å) b (Å) c (Å) 3 V (Å )
A21am 5,4248(2) 5,3864(2) 25,0392(9) 731,67(7)
A21am 5,4253(3) 5,3871(4) 25,0445 (6) 731,80(5)
2(a − b) (a + b)
7,07x 10-3
Rp 11,79 7,75 Rwp 17,29 5,38 Rexp 5,42 RBragg 8,35 4,19 GOF 1,05 2 2 1/2 Rp = 100∑|yobs-ycal|/|yobs| ; Rwp = 100{∑wi(yoi-yci) /∑wi(yoi) } ; R Bragg = 100∑|Io-Ic|/|Io|; GOF = Rwp/Rexp *) Nalini, dkk. (2003) # ) hasil sintesis Bentuk morfologi senyawa yang dihasilkan menunjukkan tingkat kristalinitas ortorombik yang sangat baik dengan penampakan material secara umum serta struktur butiran yang cukup baik seperti terlihat sangat jelas pada Gambar 2. Setiap butiran mempunyai ukuran antara 1 hingga 5 µm. Data EDX yang diperoleh, memperlihatkan unsur-unsur apa saja yang terdapat pada Aurivillius yang disintesis. Secara umum terlihat bahwa pada sintesis senyawa Bi3TiNbO9 ini tidak terbentuk adanya pengotor, meski pada analisis EDX ini hanya terjadi pada daerah yang sangat kecil dari sejumlah sampel.
Gambar .2 Pengamatan morfologi Bi3TiNbO9 pada pembesaran 5000 x. Terbentuk agregat partikel dengan ukuran 1 hingga 5 µm.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Plot polarisasi terhadap medan listrik luar memperlihatkan suatu loop histerisis, yang menunjukkan karakter material feroelektrik. Pada saat sampel Bi3TiNbO9 tanpa perlakuan, pertambahan medan listrik menyebabkan meningkatnya polarisasi hingga mencapai kejenuhan, polarisari spontan, Ps. Setelah medan listrik ditiadakan, polarisasi akan menurun, akan tetapi polarisasi remanen, Pr tetap tertahan. Senyawa yang disintesis tidak dapat didepolarisasi secara sempurna sampai besar suatu medan luar bernilai negatif. Medan listrik luar yang dibutuhkan untuk mereduksi polarisasi ke nilai nol dinyatakan sebagai medan koersif, Ec. Hasil pengukuran sifat feroelektrik polarisasi remanen, Pr terhadap medan koersif, Ec senyawa Aurivillius yang disintesis disajikan dalam Gambar 3. Pola histerisis pengukuran feroelektrik pada senyawa oksida Aurivillius lapis 2 Bi3TiNbO9 menunjukkan pola yang teratur. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan medan dipol yang searah dan sejajar mengikuti arah polarisasi tegangan listrik luar. 2 Hasil pengukuran menunjukkan nilai Pr sebesar 5,9 µC/cm dan Ec 39 kV/cm.
Gambar 3. Pola histerisis pengukuran feroelektrik Bi3TiNbO9. Hasil perhitungan terhadap parameter polarisasi, menunjukkan adanya polarisasi. Kondisi ini sangat mendukung terjadinya peningkatan sifat feroelektrik. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran yang menunjukkan adanya peningkatan Pr, terutama hasil pengukuran kontribusi polarisasi ke arah sumbu x, seperti dinyatakan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Kontribusi polarisasi Bi3TiNbO9 pada arah sumbu x
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Data yang ada menunjukkan bahwa polarisasi berorientasi pada bidang paralel terhadap 2+ lapis [Bi2O2] yakni bidang a-b pada struktur ortorombik. Newnham dkk. (1971) menyatakan bahwa lapis perovskit pada material lapis bismut berstruktur feroelektrik (bismuth layer-structured ferroelectric, BLSF) berorientasi “zigzag” sepanjang sumbu c untuk lapis genap dengan adanya simetri cermin. Ini sesuai dengan hasil yang diperoleh untuk Bi3TiNbO9 oksida Aurivillius lapis 2. 4. Kesimpulan Aurivillius merupakan kelompok oksida dengan rumus umum [Bi2O2][An-1BnO3n+1] terdiri atas lembar [Bi2O2]2+ dan lapisan seperti perovskit [An-1BnO3n+1]2-. Potensi aplikasi oksida ini adalah untuk ferroelectric random access memories (FeRAM). Substitusi kation dapat dilakukan baik pada 2+ lapis [Bi2O2] maupun di lapis perovskit. Substitusi tersebut menimbulkan dapat mengakibatkan perubahan sifat fisikokimia. Pada penelitian ini oksida Aurivillius lapis 2: Bi3TiNbO9 telah berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Oksida Aurivillius yang dihasilkan berwarna putih pucat. Pola difraktogram yang dihasilkan tidak menunjukkan adanya puncak-puncak fasa pengotor. Analisis yang dilakukan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dilengkapi dengan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX), secara umum memperlihatkan bahwa pada sintesis senyawa ini tidak terbentuk adanya pengotor. Meski pada analisis EDX ini terjadi pada daerah yang sangat kecil dari sejumlah sampel. Secara keseluruhan, hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica menghasilkan derajat kesesuaian antara data observasi dan kalkulasi mencapai taraf kepercayaan di atas 90 %. Penentuan sifat feroelektrik senyawa oksida Aurivillius hasil sintesis dilakukan mengunakan metode keramik. Pola histerisis pengukuran feroelektrik pada senyawa oksida Aurivillius lapis 2 Bi3TiNbO9 menunjukkan pola yang teratur. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan medan dipol yang searah dan sejajar mengikuti arah polarisasi tegangan listrik luar. Hasil perhitungan terhadap parameter polarisasi akibat pergeseran posisi menunjukkan adanya polarisasi. Kondisi ini sangat mendukung terjadinya sifat feroelektrik. Hal ini sangat sesuai dengan hasil pengukuran yang menunjukkan adanya peningkatan Pr, terutama hasil pengukuran kontribusi polarisasi ke arah sumbu x.
Daftar Pustaka Aurivillius, B. dan Kemi A. (1949) : Mixed Bismuth Oxides with Layer Lattices: I, The Structure Type of CaBi2Nb2O9, Arkiv Kemi Band, 1, 463–480. de Araujo, C.A.P., Cuchlaro, J.D., McMillan, L.D., Scott, M. dan Scott, J.F. (1995) : Fatigue-free Ferroelectric Capacitors with Platinum Electrodes, Nature (Lond.), 374, 627–629. Debasis,D., Ghorai K.T., Panchanan, P., (2007), Studies of dielectric characteristics of BaBi2Nb2O9 ferroelectrics prepared by chemical precursor decomposition method, Solid State Sciences, 9, 1, 57-64. Gaikwad, S.P., Samuel, V., Pasricha,R., Ravi,V., (2004), Preparation of nanocrystalline ferroelectric BaBi2Nb2O9 by citrate gel method, Materials Letters, 58, 29, 3729-3731. Gaikwad, S.P., Potdar, H.S., Samuel, V., Ravi,V., (2005), Co-precipitation method for the preparation of fine ferroelectric BaBi2Nb2O9, Ceramics International, 31, 3, 379-381. Gaikwad, S.P., Pasricha,R., Ravi,V., (2005), Preparation of nanocrystalline ferroelectric CaBi2Ta2O9 by the urea method, Ceramics International, 31, 6, 773-775. Huiling Du, Ying Li, Huilu Li, Xiang Shi, Cui Liu, (2008), Relaxor behavior of bismuth layerstructured ferroelectric ceramic with m=2, Solid State Communications, 148, 7-8, 357-360. Hunter, B.A. dan Howard, C.J. (1997) : http://www.rietica.org, v. 1.7.7; Lucas Heights Research Laboratories. Karthik,C., Varma, K.B.R., (2006), Dielectric and AC conductivity behavior of BaBi2Nb2O9 ceramics, Journal of Physics and Chemistry of Solids, 67, 12, 2437-2441 Macquart, R., Kennedy, B.J., Shimakawa, Y., (2001), Cation Disorder in the Ferroelectric Oxides ABi2Ta2O9, A = Ca, Sr, Ba, Journal of Solid State Chemistry, 160, 1, 174-177.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Meng-Qiu, C, Zhen, Y, Ming-Sheng, Z, (2005), Electronic structures and ferroelectric properties of ABi2Ta2O9 (A=Ca, Sr, and Ba), Solid State Communications, 133, 10, 663-666. 2+ Millán, P. , Castro, A. dan Torrance, J.B. (1993) : The First Doping of Lead into the Bismuth Oxide Layers of the Aurivillius Oxides, Mater. Res. Bull., 28, 117–122. Millán, P. dan Castro, A. (1999) : Thallium Substitution in the Bismuth–Oxygen Layer of Aurivillius Phases, Mater. Res. Bull., 34, 25–34. Nalini, G., Subbanna, G.N. dan Row, T.N.G. (2003) : Studies on n = 2 Aurivillius Phases: Structure of the Series Bi3-xLaxTiNbO9 (0 < x < 1), Mater. Chem. Phys., 82, 663–671. Newnham, R.E., Wolfe, R.E. dan Dorrian, J.F. (1971) : Structural Basis of Ferroelectricity in the Bismuth Titanate Family, Mater. Res. Bull., 6, 1029–1040. Park, B.H., Kang, B.S., Bu, S.D., Noh, T.W., Lee, J. dan Jo, W. (1999) : Lanthanum-Substituted Bismuth Titanate for Use in Non-Volatile Memories, Nature, 401, 682–684. Rietveld, H.M. (1967) : Line Profiles of Neutron Powder-Diffraction Peaks for Structure Refinement, Acta Cryst., 22, 151–152. Rietveld, H.M. (1969) : A Profile Refinement Method for Nuclear and Magnetic Structures, J. Appl. Cryst., 2, 65–71. Smolenskii, G.A., Isupov, V.A. dan Agranovskaya, A.I. (1959) : A New Group of Ferroelectrics (with Layered Structure), Sov. Phys. Solid State (Engl. Transl.), 1, 149–150. Smolenskii, G.A., Isupov, V.A. dan Agranovskaya, A.I. (1962) : Ferroelectric of the OxygenOctahedral Type with Layered Structure, Sov. Phys. Solid State (Engl. Transl.), 3, 651–655. Subbarao, E.C. (1961) : Ferroelectricity in Mixed Bismuth Oxides with Layer-Type Structure, J. Chem. Phys. 34, 695–696. Subbarao, E.C. (1962) : A Family of Ferrolectric Bismuth Compounds, J. Phys. Chem. Solids, 23, 665–676. Thompson, J.G., Rae, A.D., Withers, R.L. dan Craig, D.C. (1991) : Revised Structure of Bi3TiNbO9, Acta Crys. B, 47, 174–180. Withers, R.L., Thompson, J.G. dan Rae, A.D. (1991) : The Crystal Chemistry Underlying Ferroelectricity in Bi4Ti3O12, Bi3TiNbO9, Bi2WO6, J. Solid State Chem., 94, 404–417 Wolfe, R.W., Newnham, R.E., Smith, D.K.jr. dan Kay, M.I. (1971) : Crystal Structure of Bi3TiNbO9, Ferroelectrics, 3, 1–7. Xiang, P.H., Kinemuchi, Y., Watari, K., Cao, F. dan Dong, X.L. (2006) : Fabrication of Textured Bi3NbTiO9 Ceramics, J. Am. Ceram. Soc., 89, 684–687. Yan, H., Zhang, H., Zhang, Z., Ubic, R. dan Reece, M.J (2005) : B-site Donor and Acceptor Doped Aurivillius Phase Bi3NbTiO9 Ceramics, J. Eur. Ceram. Soc., 118, 125–132.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI KATALIS Cu/TS-1 Nuni Widiarti, Didik Prasetyoko* Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Laboratorium Kimia Anorganik, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya *Email :
[email protected] Telp : 031-5943353
Abstrak Telah dilakukan sintesis katalis TS-1 dan Cu/TS-1 dengan metode hidrotermal dan impregnasi dengan berbagai prosentase massa loading Cu pada katalis TS-1. Variasi loading Cu pada katalis TS-1 akan berpengaruh terhadap karakteristik dan aktivitas katalitik TS-1 pada reaksi hidroksilasi benzena secara langsung menjadi fenol. TS-1 hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR, sedangkan karakterisasi terhadap Cu/TS-1 dilakukan menggunakan XRD. Hasil analisis dengan XRD menunjukkan adanya CuO kristalin muncul pada 2θ = 35 – 38 yang semakin kuat intensitasnya dengan kenaikan loading Cu. Kata Kunci : TS-1, Cu/TS-1, karakterisasi 1. Pendahuluan Titanium silikalit (TS-1) merupakan katalis heterogen golongan zeolit berstruktur MFI. TS1mempunyai sifat aktif dan selektif sebagai katalis dalam beberapa reaksi senyawa aromatik, sehingga dikembangkan untuk digunakan sebagai katalis oksidasi berbagai senyawa organik seperti epoksidasi olefin, oksidasi aromatik, oksidasi alkana menjadi alkohol dan keton, hidroksilasi fenol, hidroksilasi benzena dengan H2O2 sebagai oksidan.(Huan Xin Gau dkk, 1999). Bengoa dkk, 1998 telah menggunakan TS-1 untuk mengkatalisis reaksi hidroksilasi benzene dengan H2O2, dari penelitian tersebut TS-1 mempunyai selektifitas tinggi yaitu 74% dan waktu reaksi 4 jam. Gao dan Xu 2006 penggunaan TS-1 pada reaksi hidroksilasi benzene menghasilkan produks hingga 97 %. Namun disamping banyak keunggulan yang dimiliki, penggunaan TS-1 sebagai katalis juga masih mempunyai kelemahan yaitu reaksinya berjalan lambat (Bhaumik dkk, 1998). Beberapa penelitian dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas katalitik TS-1, dengan mempercepat waktu reaksinya. Peningkatan laju reaksi katalitik TS-1 pada produksi fenol telah dikembangkan dengan menambahkan oksida logam yang bersifat asam terutama yang memberikan sisi asam Brönsted. Oksida logam yang bersifat asam dapat ditemukan pada oksida logam dari unsur transisi. Oksida logam juga merupakan katalis heterogen yang mempunyai aktivitas dan selektivitas yang rendah dalam memilih produks yang diinginkan dalam reaksi hidroksilasi senyawa aromatic.( Sun dkk, 2000) Logam Cu merupakan logam transisi dengan nomor atom 29 dan nomor massa 63,5. Logam Cu dapat bereaksi dengan oksigen (O2) membentuk oksida logam CuO dan Cu2O. Untuk keperluan sebagai katalis digunakan Cu dan oksida logam CuO. Beberapa katalis Cu yang dikembangkan untuk hidroksilasi benzena seperti Cu/Al2O3 (Konzaki, dkk 2001), Cu/HMCM-41 (Okamura dkk,1998), CuO–Al2O3 (Miyahara dkk, 2001). Pharida, 2007 menggunakan CuO yang disupport oleh MCM-41 dengan perbandingan rasio katalis 4% menghasilkan konversi 21 % dan selektivitas 94 %, waktu reaksi 70 menit pada suhu kamar. Dengan adanya CuO yang terimpreg pada MCM-41 dan katalis lain dapat meningkatkan aktivitas katalitik dari masing-masing katalis. Demikian pula penambahan CuO pada TS-1 diharapkan dapat pula meningkatkan aktivitas katalitik TS-1 terhadap reaksi hidroksilasi langsung benzena menjadi fenol. Pada paper ini akan dipelajari prosedur, karakterisasi dan pengaruh loading Cu terhadap karakteristik TS-1.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
2. Metodologi Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gelas beker dari plastik 250 mL, hotplate magnetic stirrer, tabung reaksi, pipet tetes, gelas ukur, batang pengaduk, oven, neraca analitis, termometer, reaktor autoklaf stainless steel, dan instrumen X-Ray Diffraction Phillips Expert, FTIR Instruments Spectrum Bahan Bahan-bahan yang diperlukan untuk penenlitian adalah tetraetil ortosilikat (TEOS, Merck, 98 %), tetrabutil ortotitanat (TBOT, Merck, 99 %), tetrapropilamonium hidroksida (TPAOH, Merck, 40 % dalam air), air Destilasi, 2-propanol, aquabidestilasi, dan Tembaga Nitrat trihidrat (Merk) Eksperimen TS-1 disintesis menurut prosedur yang didapat dari patent (Tarramasso, dkk, 1983) dengan mengganti TEOT sebagai sumber titanium dengan Tetrabutil ortotitanat (TBOT). Gel untuk membuat TS-1 (1% mol titanium), tetraetil ortosilikat, TEOS (66,86 g, Merck, 98%) yang mengandung 0,3145 mol silika diletakkan dalam beker dan diaduk, tetrabutil ortotitanat, TBOT (1,1 g, Merck, 98%) yang mengandung 0,0032 mol titanium dalam 2-propanol (10 mL) ditambahkan dengan cepat ke dalam TEOS. Beker ditutup dengan aluminium foil 38 untuk mencegah terjadinya hidrolisis. Campuran diaduk selama 30 menit pada suhu ruang. Kemudian campuran didinginkan sampai temperatur 0°C. Tetrapropilamonium hidroksid a, TPAOH (Merck, 40% TPAOH dalam air), yang digunakan sebagai templat, juga didinginkan sampai temperatur 0°C. Setelah beberapa menit, 60 g TPAOH yang mengandung 0,1287 mol TPAOH ditambahkan perlahan-lahan pada campuran TEOS dan TBOT. Penambahan TPAOH harus menunggu beberapa menit dari penambahan sebelumnya, untuk mencegah terjadinya presipitasi. Campuran tetap diaduk dan didinginkan selama proses berjalan. Laju penambahan ditingkatkan setelah penambahan 10 mL larutan TPAOH. Ketika penambahan selesai, campuran dipanaskan pada temperatur antara 8090°C selama 4 jam. Air destilasi ditambahkan untuk menaikkan volume campuran hingga 127 mL. Campuran dimasukkan dalam 300 mL reaktor dan dipanaskan pada temperatur 175°C dalam keadaan diam selama 4 hari. Setelah proses pendinginan, zat disentrifugasi dan dicuci dengan air destilasi sampai pH =7 (netral). Padatan yang diperoleh, dikeringkan pada temperatur 100°C selama satu malam. Katalis Cu/TS-1 disiapkan berdasarkan prosedur (Pharida KM, 2007) dengan prosentase 0; 2; 4; 6; 8 disiapkan dengan metode impregnasi, yaitu dengan memasukkan Padatan Titanium Silikalit (TS-1) kedalam larutan Cu(NO3)2.3H2O yang diperoleh dengan melarutkan padatan tembaga nitrat kedalam air demineral. Campuran TS-1 dan Cu-nitrat diaduk dengan magnetic stirrer pada suhu kamar selama 3 jam, kemudian campuran diuapkan untuk menghilangkan kadar o airnya. Padatan yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu ± 100 C selama 24 jam dan o dikalsinasi dengan suhu 550 C selama 5 jam sebagaimana kalsinasi untuk TS-1. Karakterisasi TS1 dan CuO/TS-1. 3. Hasil dan Pembahasan Karakterisasi XRD digunakan untuk mencari informasi mengenai derajat kemurnian, kristalisasi dan kisi kristal (Kwayke-Awuah, 2008). Puncak-puncak difragtogram X-ray direkam menggunakan PW o Philips menggunakan filter Ni sumber sinar Cu Kα dengan range 2θ= 5 – 40 . Pola difraksi sinar-X untuk TS-1 dan CuO/TS-1 dapat dilihat pada gambar 1.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 1 : Difragtogram X-Ray (a)TS-1, (b)CuO/TS-1 loading 1 %, (c)CuO/TS-1 loading 2%, (d) CuO/TS-1 loading 4 % dan (e) CuO/TS-1 loading 8 % Pola difraksi sinar X dari TS-1, dan X CuO/TS-1 mempunyai pola difraksi yang serupa. Semua sampel mempunyai puncak yang tinggi pada 2θ = 7,92; 8,82; 23,09; 23,29; 23,68; dan 23,92. Puncak 2θ = 7,92 dan 8,82 menunjukkan tipe struktur MFI yang disebabkan oleh + penggunaan templet TPA ( Treacy dkk; 2001) pada TS-1 sedangkan puncak difraksi pada 2θ = 23,09; 23,29; 23,68; dan 23,92 menunjukkan bentuk simetri orthorombik (Treacy dkk; 2001) . Adanya CuO kristalin yang terimpreg pada TS-1 tidak mengubah struktur mikropori TS-1, puncak o difraksi CuO kristalin ditunjukkan oleh puncak difraksi pada 2θ = 35 dan 38,6 yang tidak terlihat pada penambahan Cu kurang dari 4 % dan mempunyai intensitas semakin kuat seiring dengan penambahan jumlah Cu yang ditambahkan. Dengan adanya CuO yang terimpreg pada TS-1 akan mengurangi kristalinitas TS-1 itu sendiri, hal ini terlihat dari menurunnya intesitas puncak difragtogram pada 2θ karakteristik dari TS-1 . Penurunan puncak ini dapat disebabkan karena dengan semakin besarnya kandungan oksida logam CuO pada katalis TS-1 maka oksida logam CuO akan lebih terdispersi pada permukaan katalis TS-1 dan menutupi permukaan katalis TS-1, sehingga menngurangi kristalinitas dari TS-1 itu sendiri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pharida dkk (2007) yang menyatakan bahwa kritalinitas puncak MCM-41 menurun dengan meningkatnya kandungan CuO, puncak-puncak CuO juga terlihat semakin tinggi dengan o meningkatnya jumlah loading Cu pada MCM-41 yang ditunjukkan pada 2θ 35 dan 38 . Berkurangnya intensitas puncak difraksi (kristalinitas) dari TS-1 setelah ditambahkan CuO menunjukkan bahwa CuO telah berada dalam permukaan katalis TS-1. FTIR merupakan spektroskopi yang digunakan untuk mengidentifikasi material berdasarkan gugus fungsi, struktur molekulnya. Analisa dengan metode ini didasarkan pada fakta bahwa molekul memiliki frekuensi spesifik yang dihubungkan dengan vibrasi internal dari atom gugus fungsi. Spektrum Inframerah muncul ketika diletakkan dalam berkas radiasi IR, sampel mengabsorpsi radiasi pada frekuensi yang sesuai dengan frekuensi vibrasional molecular dan meneruskan seluruh frekuensi yang lain.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
2 0
Transmitransi
-2 -4 -6 -8 -10 -12 -14 -16 -18 4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
Bilangan Gelombang Gambar 2 : Transmitran analisisFT IR TS-1 Pada gambar tersebut TS-1 mempunyai pita absorbsi pada daerah bilangan gelombang -1 -1 -1 -1 -1 1230 cm , 1100 cm , 800 cm , 500 cm dan 400 cm . Pita-pita tersebut merupakan vibrasi yang berbeda dari struktur tetrahedral yang menjadi ciri khas dari zeolit MFI. Pita absorbsi pada daerah 1100 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi asimetris dari Si-O-Si, sedangkan vibrasi simetrisnya -1 terletak pada 800 cm . Pita absorbsi yang muncul pada bilangan gelombang sekitar 1230 dan 547 -1 cm merupakan karakteristik struktur tetrahedral dalam framework zeolit dengan tipe MFI (Drago -1 dkk, 1998). Pita absorbsi yang muncul pada bilangan gelombang sekitar 970 cm merupakan karakteristik TS-1, dimana pita absorbsi pada daerah bilangan gelombang ini mengondikasikan adanya atom titanium dalam struktur katalis TS-1 (Bengoa dkk, 1998). Menurut Gang Li dkk (2000), -1 pita absorbsi pada daerah bilangan gelombang sekitar 970 cm merupakan mode vibrasi regang IV dari gugus Si-O dari unit [SiO4] yang terikat pada atom Ti dengan koordinasi tetrahedral dalam framework TS-1. Sedangkan menurut menurut Astorino dkk (1995), Thangaraj dkk (1991), Bengoa dkk (1998), dan Bocutti dkk (1989), pita absorbsi pada daerah bilangan gelombang sekitar 970 cm-1 merupakan mode vibrasi regang asimetri dari jembatan Si-O-Ti. Dilihat dari berbagai sudut pandang manapun dapat disimpulkan bahwa pita absorbsi pada daerah bilangan gelombang -1 sekitar 970 cm merupakan bukti telah bergabungnya titanium dalam struktur katalis TS-1. 4. Kesimpulan Berdasarkan data karakterisasi dapat disimpulkan 1. TS-1 hasil sintesis sesuai dengan karakteristik Zeolit MFI. 2. Adanya CuO terimpreg pada TS-1 mengurangi kristalinitas katalis TS-1, yang ditandai dengan berkurangnya intesitas hasil difraksi sinar X
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Daftar Pustaka Astorino, E., Peri, J.B., Willey, R.J., dan Busca, G. (1995), “Spectroscopic Caracterization of Silicalite-1 and Titanium Silicalite-1”, Journal of Catalysis, 157, 482-500. Bengoa, J.F., Gallegos, N. G., Marchetti, S. G., Alvarez, A. M., Cagnoli, M. V., Yeramian, A. A., (1998), ‘Influence of Structural Properties and Operation Conditions on Benzena Catalytic Oxidation with H2O2”, Microporous and mesoporous Materials, Vol. 24, hal. 163-172. Bhaumik, A., Mukherjee, P., Kumar, R., (1998)., “Triphase Catalysis over Titanium-Silicate Molecular Sieves under Solvent-free Conditions”, Journal of Catalysis, Vol. 178, hal. 101107. Drago, R. S.,Dias, S. C. , McGilvray, J. M., Mateus, A. L. M. L. (1998), “Acidity and Hydrophobicity of TS-1”, Journal of Physical Chemistry, Vol. 102, hal. 1508-1514. Gao, X., Xu, J., (2006), “A new application of clay-supported vanadium oxide Catalyst to Selective Hydroxylation of Benzena To Phenol”, Applied ClayScience, Vol. 33, hal. 1-6. Kwayke-Awuah, B. (2008) Production of Silver-Loaded Zeolites and Investigation of Their Antimicrobial Activity, Tesis : University of Wolverhampton. Miyahara, T., Kanzaki, H., Hamada, R., Kuroiwa, S., Nishiyama, S., Tsuruya, S., (2001), ”Liquidphase Oxidation of Benzena to Phenol by CuO-Al2O3 Catalysts Prepared by Co-precipitation Methode, Journal of Molecular Catalysis A : Chemical, Vol. 176, hal. 141-150. Parida, K. M., Rath, D., (2007), “Structural Properties and Catalytic Oxidation of Benzene to Phenol over CuO-Impregnated Mesoporous Silika”, Applied Catalysis A: General, Vol. 321, hal. 101108. Sun, J., Meng, X., Shi, Y., Wang, R., Feng, S., Jiang, D., Xu, R., Xiao, F. (2000), ”A Novel Catalyst of Cu-Bi-V-O Complex in Phenol Hydroxylation with Hydrogen Peroxide”, Journal of Catalyst, Vol. 193, hal. 199-206. Taramasso, M., Perego, G., Notari, B. (1983), Preparation of Porous Crystalline Synthetic Material Comprised of Silicon and titanium Oxides, U.S. Patent, No. 4,410,501. Thangaraj, A., Kumar, R., Mirajkar, S. P., Ratnasamy, P., (1991)., “ Catalytic Properties of Crystalline Titanium Silicalites: I. Synthesis and Characterization of Titanium-Rich Zeolites with MFI Structure”, Journal of Catalysis, Vol. 130, hal. 1-8. Treacy, M. M. J., Higgins, J. B. and von Balloms, R. (2001), Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolite, 4th edition, Amsterdam: Elsevier.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
PENENTUAN KANDUNGAN KOMPOSISI KIMIA DALAM SUATU BAHAN MENGGUNAKAN INSTRUMEN X-RAY FLUOROSENCE (XRF) MINIPAL-4 N. F. Said1,*, I. Meilani1 dan H. Fansuri1,2 1 2
Laboratorium Studi Energi dan Rekayasa LPPM-ITS Surabaya Jurusan Kimia FMIPA ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 *Email:
[email protected]
Abstrak Instrumentasi X-Ray Fluorosence merupakan suatu alat yang digunakan untuk menentukan komposisi kimia suatu bahan baik padatan maupun cairan. Pengukuran menggunakan alat ini bersifat non-destruktif atau bersifat tidak merusak bahan. Unsur-unsur mulai dari Natrium hingga Uranium dapat diukur secara simultan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Bahan yang dapat diukur menggunakan instrumen ini yaitu serbuk, padatan lempengan, bentuk pellet atau tablet, bentuk manik-manik ataupun bentuk cair. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kandungan komposisi kimia dari batuan alam, mineral-mineral alam, biji salak dan oli. Pengukuran komposisi kimia untuk oli menggunakan standar yaitu standar sulfur dalam minyak, sedangkan untuk bahan batuan alam, mineral-mineral alam, lumpur dan biji salak, diukur tanpa menggunakan standar (standarless). Dalam pengujian ini dilakukan variasi beberapa parameter yang mempengaruhi yaitu energi, filter, waktu dan medium. Penggunaan energi yang lebih besar akan berpengaruh pada lebih banyak unsur yang terbaca. Sedangkan penggunaan filter bertujuan untuk mengurangi gangguan efek matriks sehingga akan didapatkan data yang yang lebih akurat. Penggunaan waktu yang lebih lama akan dihasilkan data yang lebih bagus, sedangkan penggunaan medium gas Helium digunakan untuk pengukuran unsur dengan nomor atom ringan dan medium udara untuk pengukuran unsur dengan nomor atom besar. Kata kunci : X-Ray Fluorosence (XRF), Batuan mineral, komposisi kimia 1. Pendahuluan Kemajuan teknologi dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam berbagai bidang termasuk teknologi dalam bidang pendidikan. Teknologi terbaru ini sangat bermanfaat dalam membantu penelitian yang ada. Teknologi-teknologi terbaru ini antara lain Scanning Electron Microscope (SEM), Inductively Coupled Plasma (ICP), X-Ray Diffraction (XRD), Gas Chromatography, X-Ray Fluorosence (XRF) dan lain-lain. Diantara teknologi-teknologi yang ada tersebut, salah satunya yang sangat bermanfaat adalah instrumen X-Ray Fluorosence (XRF). Instrumen X-Ray Fluorosence merupakan suatu alat yang digunakan untuk menentukan komposisi kimia suatu bahan baik padatan maupun cairan. Pengukuran menggunakan alat ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain pengukurannya bersifat non-destruktif atau bersifat tidak merusak bahan, tidak memerlukan preparasi yang rumit, ekonomis, sederhana dan cepat untuk penentuan komposisi kimia dari berbagai jenis bahan dibandingkan dengan alat lainnya serta dapat digunakan untuk membaca unsur dari Natrium hingga Uranium secara simultan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Sumantry, 2002). Pada saat pengukuran menggunakan X-Ray Fluorosence (XRF), terdapat faktor-faktor penting yang berpengaruh seperti waktu, energi dan filter. Pada penelitian ini akan dilakukan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS pengukuran suatu bahan dari batuan alam, mineral-mineral alam, biji salak dan oli. Pengukuran komposisi kimia untuk oli menggunakan standar yaitu standar sulfur dalam minyak, sedangkan untuk bahan batuan alam, mineral-mineral alam, lumpur dan biji salak diukur tanpa menggunakan standar (standarless). 2. Tinjauan Pustaka Seperti metode spektrofotometri lainnya, analisis spektrofotometri XRF (X-Ray Fluorescence) dilakukan dengan mengaplikasikan sumber sinar terhadap sampel, selanjutnya akan terjadi interaksi sinar dengan sampel yang menjadi dasar dari analisis suatu materi. Pada spektrofotometri XRF, yang menjadi sumber sinar adalah sinar-X. Saat sinar-X mengenai materi maka akan terjadi bermacam interaksi seperti, absorpsi, florosensi maupun hamburan, tergantung sinar datang yang mengenai materi. Spektrofotometri XRF memanfaatkan sinar-X yang berfluorosensi. Jika suatu elektron ditembakkan pada atom dan tepat mengenai elektron, maka electron akan tereksitasi. Akibatnya terjadi kekosongan pada posisi elektron yang tereksitasi. Keadaan ini bersifat tidak stabil. Untuk mengatasi ketidakstabilan tersebut, elektron yang berasal dari kulit yang lebih luar akan turun mengisi kekosongan. Saat elektron turun kedua (sekunder) turun ke kulit yang lebih dalam maka elektron akan memancarkan sinar-X seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1 (Schlotz, 2006). Terdapat beberapa pancaran sinar-X dilihat dari posisi awal dan akhir elektron, yaitu: a. Sinar-X Kα, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit L ke kulit K. b. Sinar-X Kβ, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit M ke kulit K. c. Sinar-X Lα, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit M ke kulit L. d. Sinar-X Mα, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit N ke kulit M.
Gambar 1. Skema perpindahan elektron saat diradiasi oleh sinar-X sampai mengalami fluorosensi. Setiap atom memiliki panjang gelombang sinar-X yang khas, baik itu jenis panjang gelombangnya maupun nilai panjangnya. Karena itulah, XRF dapat digunakan untuk menganalisis secara kualitatif unsur-unsur yang terdapat dalam suatu materi. Teknik pengukuran menggunakan XRF Beberapa hal perlu diperhatikan untuk keperluan praktik dalam pengukuran spektrofotometri XRF. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah dalam teknik penyiapan sampel. Biasanya, hanya sejumlah kecil sampel dari material yang dianalisis. Sampel harus mewakili dari keseluruhan material, dan harus diperlakukan secara hati-hati. Sensitifitas spektrofotometer yang tinggi dapat mengganggu hasil analisis sampel disebabkan oleh adanya bekas sidik jari. Karena sampel yang dianalisis adalah bagian permukaan maka sampel harus sehomogen mungkin dan mewakili dari keseluruhan sampel.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Sebagian besar spektrofotometer XRF memiliki tempat sampel berbentuk silinder dangan jari-jari antara 5 sampai dengan 50 mm. Jenis sampel yang dapat dianalisis pada pengukuran spektrofotometri XRF adalah sampel yang disiapkan dalam bentuk padat, serbuk, manik (gelas), cair, dan material dalam filter. Pada penelitian ini, jenis sampel yang dapat disiapkan adalah dalam keadaan padat, serbuk dan manik. Padatan hanya memerlukan sedikit penyiapan sampel. Pada beberapa kasus diperlukan pembersihan dan penggosokan permukaan. Misalnya pada logam yang permukaannya mudah teroksidasi, diperlukan penggosokan untuk menghilangkan bagian yang berkarat. Sampel berupa serbuk dapat ditempatkan pada film pendukung dan diukur secara langsung. Teknik yang lainnya adalah mengepres bubuk tersebut dengan tekanan tinggi (20.000 kg) untuk dijadikan tablet. Material tambahan kadang ditambahkan untuk memperbaiki kualitas tablet. Sampel yang sudah jadi tablet tersebut kemudian diukur dan dianalisis. Jika material tambahan disertakan, harus dimasukkan ke dalam perhitungan karena tidak masuk pada sampel awal. Serbuk bersama dengan zat tambahan yang dinamakan flux juga dapat dilelehkan (1000o 1200 C) di dalam sampel gelas dinamakan manik. Sampel ini homogen dan dapat diukur secara langsung. Karena pada saat proses pelelehan, sebagian dari sampel dapat menguap menjadi H2O atau CO2 sedangkan unsur S, Hg, dan Cd juga dapat hilang pada saat sampel dipanaskan. Hilangnya beberapa elemen ini dinamakan Loss On Ignition (LOI) (Hanif, 1998). 3. Metodologi Alat Dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi mortar penghalus, ayakan 120 mesh, tempat cup sampel XRF (P1) dan alat perata XRF. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir paras Probolinggo, pasir laut Pamekasan, zeolit A, lumpur, biji salak dan oli. Prosedur Kerja Semua bahan dihaluskan menggunakan mortar dan diayak menggunakan ayakan 120 mesh. Kemudian dimasukkan ke dalam cup P1 XRF dan diratakan menggunakan alat perata XRF. Sampel siap dianalisis. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran untuk sampel biji salak seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil kandungan kimia dari biji salak menggunakan XRF Standarless Unsur Konsentrasi (%) Si 1,5 P 1,9 S 4,72 Cl 10,9 K 24,8 Mn 0,24 Fe 21,4 Cu 1,6 Zn 7,02 Br 26 Kondisi pengukuran biji salak yaitu tanpa standar (standarless), energi 14 Kv, tanpa filter, medium udara dan waktu 60 detik. Gambar spektra ditunjukkan pada Gambar 3.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 3. Spektra pengukuran biji salak menggunakan XRF Standarless Pengukuran selanjutnya yaitu sampel pasir paras Probolinggo. Pada pengukuran sampel ini akan divariasi energi yang digunakan yaitu 14 kV dan 30 kV. Hasil analisis menggunakan XRF seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil kandungan kimia dari pasir paras Probolinggo menggunakan XRF Standarless Unsur (%) Unsur Energi 14 Kv Energi 30 Kv Al 7,9 8,2 Si 28,9 27 K 4,73 5,41 Ca 11,3 12,8 Ti 2,68 2,99 V 0,064 0,05 Mn 0,66 0,69 Fe 42,3 40,21 Cu 0,15 0,23 Ba 0,71 0,74 Eu 0,68 0,48 Rb 0,096 Sr 0,42 Zr 0,25 Re 0,08 Dari data di atas terlihat bahwa dengan menggunakan energi yang lebih besar maka unsur yang terukur lebih banyak daripada menggunakan energi yang lebih kecil. Hal ini berarti ketika mengukur kandungan kimia menggunakan XRF, semakin besar energi yang digunakan akan semakin banyak unsur yang terbaca dan semakin akurat pembacaannya. Dalam pengukuran menggunakan XRF, energi minimum yang bisa digunakan yaitu 4 kV dan energi maksimum yang bisa digunakan yaitu 30 kV. Pengukuran selanjutnya yaitu ingin mengetahui efek dari variasi penggunaan filter. Pengukuran akan dilakukan dengan sampel Zeolit A sintesis. Secara teori, zeolit A terkandung unsur Si, Al dan Na, sehingga penggunaan filter mengacu pada ketiga unsur tersebut. Sesuai dalam tabel periodik khusus pengukuran menggunakan XRF, maka filter yang digunakan adalah filter Kapton (PANalytical, 2007). Hasil analisis tertera pada Tabel 3. Dari data di Tabel 3 terlihat bahwa dengan menggunakan filter maka pembacaan komposisi kimia lebih baik daripada tanpa filter. Pada besar unsur Kalsium dan Kalium lebih besar nilainya ketika menggunakan filter, hal ini dikarenakan ketika pengukuran menggunakan XRF dan memakai filter bertujuan untuk mengurangi gangguan efek matriks. Gangguan efek matriks yaitu ketika
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS terdapat dua unsur atau lebih yang mempunyai energi yang hampir sama, maka pembacaannya akan lebih teliti dan akurat ketika menggunakan filter (PANalytical, 2007). Tabel 3. Hasil kandungan kimia dari Zeolit A sintesis menggunakan XRF Standarless Unsur (%) Unsur Tanpa filter Filter Kapton Al 30,8 30 Si 63,6 63,6 K 0,96 1,4 Ca 2,14 2,27 P 1,8 2,1 Mn 0,12 0,15 Fe 0,45 0,44 Cu 0,18 0,18 Na Dari data di atas terlihat bahwa dengan menggunakan filter maka pembacaan komposisi kimia lebih baik daripada tanpa filter. Pada besar unsur Kalsium dan Kalium lebih besar nilainya ketika menggunakan filter, hal ini dikarenakan ketika pengukuran menggunakan XRF dan memakai filter bertujuan untuk mengurangi gangguan efek matriks. Gangguan efek matriks yaitu ketika terdapat dua unsur atau lebih yang mempunyai energi yang hampir sama, maka pembacaannya akan lebih teliti dan akurat ketika menggunakan filter (PANalytical, 2007). Pengukuran selanjutnya yaitu ingin mengetahui efek dari variasi penggunaan waktu. Pengukuran akan dilakukan pada sampel pasir laut Pamekasan. Hasil analisis tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil kandungan kimia dari pasir laut Pamekasan menggunakan XRF Standarless Unsur (%) Unsur 60 detik 120 detik 180 detik Al 0,6 0,47 0,55 Si 1,5 1,4 1,48 S 0,3 0,3 0,31 Ca 96,24 96,44 96,27 Ti 0,1 0,11 0,11 Mn 0,098 0,097 0,1 Fe 1,09 1,10 1,07 Ba 0,09 0,09 0,08 Cu 0,04 Dari data di Tabel 4 terlihat bahwa dengan menggunakan waktu pengukuran yang lebih lama maka pembacaan komposisi kimia lebih baik daripada waktu pengukuran yang sedikit. Pada pengukuran selama 60 detik dan 120 detik tidak teridentifikasi unsur tembaga, tetapi ketika diukur menggunakan waktu 180 detik maka teridentifikasi tembaga walaupun konsentrasinya sangat kecil. Hal ini berarti semakin lama waktu pengukuran menggunakan XRF maka akan didapatkan data yang lebih akurat. Pada pengukuran menggunakan XRF ini waktu minimumnya adalah 10 detik dan waktu maksimumnya adalah 300 detik (PANalytical, 2007). Pengukuran selanjutnya yaitu ingin mengetahui efek dari penggunaan medium udara dan gas Helium. Pengukuran akan dilakukan pada sampel fly ash atau abu terbang. Hasil analisis tertera pada Tabel 5. Dari data pada Tabel 5 terlihat bahwa dengan menggunakan medium gas Helium maka unsur Natrium terbaca. Hal ini sesuai dengan penggunaannya yaitu medium gas Helium digunakan untuk mengukur unsur-unsur dengan nomor atom ringan seperti Natrium dan Kalium, sedangkan medium udara digunakan untuk mengukur unsur-unsur dengan nomor atom besar (PANalytical, 2007).
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 5. Hasil kandungan kimia dari fly ash menggunakan XRF Standarless Unsur (%) Unsur Udara Gas Helium Al 7,8 7,7 Si 18,7 18,8 P 0,53 0,53 S 1,1 1,2 K 2,29 2,19 Ca 25,0 24,0 Ti 1,50 2,50 V 0,066 0,063 Cr 0,04 0,04 Mn 0,35 0,36 Fe 36,2 34,56 Cu 0,093 0,082 Zn 0,12 0,22 Ba 0,72 0,72 Pb 5,5 4,3 Na 2,3 Pengukuran selanjutnya yaitu sampel oli dengan menggunakan larutan standar Sulfur dalam minyak. Padapengukuran menggunakan standar ini perlu dibuatkan aplikasi terlebih dahulu yang berisi tentang kurva kalibrasi agar didapatkan data yang lebih akurat. Kurva kalibrasi Sulfur dalam minyak seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kurva kalibrasi Sulfur dalam minyak menggunakan XRF
Sampel oli jenis HSD dan MFO dianalisis kadar Sulfurnya menggunakan XRF dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 6. Hasil pengukuran oli menggunakan XRF dengan standar Sulfur dalam minyak Nama oli HSD MFO
Kadar Sulfur % ppm 0,21 2110,85 2,67 26803,46
Pengukuran menggunakan XRF dengan standar dapat dilakukan dalam berbagai satuan konsentrasi yaitu %, ppm dan ppb. Pengukuran menggunakan standar lebih akurat hasilnya daripada pengukuran tanpa menggunakan standar. 5. Kesimpulan Dari hasil dan diskusi yang dipaparkan dalam pembahasan diatas, maka pada pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu Penggunaan energi yang lebih besar pada saat mengukur menggunakan XRF akan berpengaruh pada lebih banyak unsur yang terbaca. Sedangkan penggunaan filter bertujuan untuk mengurangi gangguan efek matriks sehingga akan didapatkan data yang yang lebih akurat. Penggunaan waktu yang lebih lama akan dihasilkan data yang lebih bagus, sedangkan penggunaan medium gas Helium digunakan untuk pengukuran unsur dengan nomor atom ringan dan medium udara untuk pengukuran unsur dengan nomor atom besar. Pengukuran menggunakan standar akan didapatkan data yang lebih akurat dibandingkan tanpa menggunakan standar. Ucapan Terimakasih Penelitian ini dibiayai oleh dana SPI ITS sesuai dengan surat penugasan dalam rangka pelaksanaan penelitian unggulan tahun anggaran 2010 No. 0535/I2.7/PM/2010 tgl 1 Mei 2010. Daftar Pustaka Hanif, M. I. (1998), “X-Ray Fluorescence (XRF) Spectroscopic studies of elements in refractory materials: Soils, Alloys, and Nuclear Wastes”, thesis of Doctor of Philosophy Program, University of Punjab, Pakistan PANalytical, (2007), “User’s Guide Minipal4”, PANalytical B.V, 7602 EA, Almelo, Belanda Schlotz, R. dan Uhlig, S. (2006) ”Introduction to X ray Fluorerescence(XRF)”, Bruker AXS GmbH, Jerman Barat Sumantry, Teddy, (2002), “Pembuatan sumber eksitasi Am-241 untuk pemberdayaan instrument XRay Fluorescent”, Hasil penelitian P2PLR, Pusat pengembangan pengelolaan limbah radioaktif
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
PENENTUAN KANDUNGAN MINERAL BATUBARA YANG BERASAL DARI KALIMANTAN DENGAN VARIASI BENTUK SERBUK DAN PELLET MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI X-RAY FLUOROSENCE (XRF) MINIPAL-4 N. F. Said 1,*, Y. Kusumawati2, I. Meilani1, E. Agustiani 3, H. Fansuri1,2 1
Laboratorium Studi Energi dan Rekayasa LPPM-ITS Surabaya Jurusan Kimia FMIPA ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Studi D3 Teknik Kimia FTI ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 *Email:
[email protected] 2
3
Abstrak Kandungan mineral dalam batubara penting untuk diketahui selain penentuan kandungan unsur utama yaitu C, H, O, N. Penentuan kandungan mineral dalam batubara penting dilakukan karena mineral dapat mempengaruhi kemampuan pembakaran batubara. Mineral juga dapat memberikan efek yang tidak diinginkan pada saat penyimpanan batubara. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kandungan mineral dalam sampel batubara yang berasal dari berbagai daerah di Kalimantan dengan menggunakan metode Spektrofotometri X-Ray Fluorosensi (XRF) standarless. Dalam pengukurannya akan divariasi bentuk batubara yaitu serbuk dengan ukuran 120 mesh dan bentuk pellet batubara sesuai standar pengukuran menggunakan Spektrofotometri X-Ray Fluorosensi (XRF) standarless. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa komposisi kimia yang paling dominan terkandung dalam batubara adalah Silikon dan Besi. Batubara dengan kalori rendah (4331,67 J) mengandung Silikon sebesar 25,36 % untuk bentuk serbuk dan 24,89% untuk bentuk pellet, sedangkan kandungan Besi sebesar 23,10% untuk bentuk serbuk dan 23,88% untuk bentuk pellet. Batubara dengan kalori sedang (5781,67 J) mengandung Bromin sebesar 55,48 % untuk bentuk serbuk dan 64,72% untuk bentuk pellet, sedangkan kandungan Besi sebesar 14,78% untuk bentuk serbuk dan 10,94% untuk bentuk pellet. Batubara dengan kalori tinggi (6247,67 J) mengandung Silikon sebesar 22,48% untuk bentuk serbuk dan 21,36% untuk bentuk pellet, sedangkan kandungan Besi sebesar 20,51% untuk bentuk serbuk dan 21,70% untuk bentuk pellet. Mineral lain yang teridentifikasi adalah Aluminium, Sulfur, Kalsium, Titanium, Kalium dan Mangan. Kata kunci : Batubara, Kadar mineral, X-Ray Fluorosensi (XRF)
1. Pendahuluan Batubara merupakan batuan sedimen organik yang mengandung karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan Sulfur dengan beragam nilai sesuai jenisnya (Speight, 2005; ASTM D-121). Batubara saat ini merupakan bahan bakar yang diandalkan oleh pemerintah sebagai sumber energi utama dalam pembangkitan energi listrik. Program listrik 10000 MW, misalnya, hampir semua dibangun dengan menggunakan batubara sebagai sumber energinya. Dalam penggunaannya, perlu diketahui kualitas batubara yang digunakan agar dapat dicapai efisiensi penggunaan batubara yang optimal. Parameter utama yang dijadikan kualitas batubara meliputi kelembaban dan kemampuan pembakaran. Kemampuan pembakaran batubara dapat dianalisis dari kandungan di dalamnya, terutama karbon (Speight, 2005). Selain Karbon, kandungan mineral dalam batubara penting juga diketahui. Mineral dalam batubara dapat merupakan unsur yang berikatan dengan unsur utama batu bara (C, H, O. N), misalnya Kalsium dan Magnesium yang merupakan unsur pendamping dari senyawa CaCO3 dan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS MgCO3. Selain itu, terdapat juga mineral yang tidak berikatan dengan unsur utama batubara (Speight, 2005). Mineral dapat menjadi sumber abrasi yang tidak diinginkan, stickines, korosi atau polusi pada saat penanganan dan atau penggunaan batubara (Ward, 2002). Penentuan kadar mineral dapat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan atom (speight, 2005), scanning dan transmission electrkon microscopy (Allen dan VanderSande, 1984), difraksi sinar-X (Ward dkk, 2001) atau Spektroskopi XRF (X-Ray Fluorosensi) (Fernandez dkk; 2001). Metode pengukuran flourosensi sinar-X memiliki kelebihan diantara metode lainnya dalam hal tidak memerlukan pelarut dan kecepatan waktu analisis. Pengukuran batubara menggunakan spektroskopi XRF dapat dilakukan dengan bentuk serbuk, pellet dan manik-manik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengukuran kandungan mineral terhadap sampel batubara yang telah dikumpulkan dari berbagai daerah di Kalimantan dengan menggunakan metode pengukuran spektroskopi XRF dengan variasi bentuk serbuk dan pellet. 2. Tinjauan Pustaka Seperti halnya dengan metode spektrofotometri lainnya, analisis spektrofotometri XRF (XRay Fluorescence) dilakukan dengan mengaplikasikan sumber sinar terhadap sampel, selanjutnya akan terjadi interaksi sinar dengan sampel yang menjadi dasar dari analisis suatu materi. Pada spektrofotometri XRF, yang menjadi sumber sinar adalah sinar-X. Saat sinar-X mengenai materi maka akan terjadi bermacam interaksi seperti, absorpsi, florosensi maupun hamburan, tergantung sinar datang yang mengenai materi. Spektrofotometri XRF memanfaatkan sinar-X yang berfluorosensi. Jika suatu elektron ditembakkan pada atom dan tepat mengenai elektron, maka elektron akan tereksitasi. Akibatnya terjadi kekosongan pada posisi elektron yang tereksitasi. Keadaan ini bersifat tidak stabil. Untuk mengatasi ketidakstabilan tersebut, elektron yang berasal dari kulit yang lebih luar akan turun mengisi kekosongan. Saat elektron turun kedua (sekunder) turun ke kulit yang lebih dalam maka elektron akan memancarkan sinar-X sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Skema perpindahan elektron saat diradiasi oleh sinar-X sampai mengalami fluorosensi. Terdapat beberapa pancaran sinar-X dilihat dari posisi awal dan akhir elektron, yaitu: a. Sinar-X Kα, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit L ke kulit K. b. Sinar-X Kβ, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit M ke kulit K. c. Sinar-X Lα, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit M ke kulit L. d. Sinar-X Mα, jika sinar-X dipancarkan pada saat elektron berpindah dari kulit N ke kulit M. Setiap atom memiliki panjang gelombang sinar-X yang khas, baik itu jenis panjang gelombangnya maupun nilai panjangnya. Karena itulah, XRF dapat digunakan untuk menganalisis secara kualitatif unsur-unsur yang terdapat dalam suatu materi.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Beberapa hal perlu diperhatikan untuk keperluan praktik dalam pengukuran spektrofotometri XRF. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah dalam teknik penyiapan sampel. Biasanya, hanya sejumlah kecil sampel dari material yang dianalisis. Sampel harus mewakili dari keseluruhan material, dan harus diperlakukan secara hati-hati. Sensitifitas spektrofotometer yang tinggi dapat mengganggu hasil analisis sampel disebabkan oleh adanya bekas sidik jari. Karena sampel yang dianalisis adalah bagian permukaan maka sampel harus sehomogen mungkin dan mewakili dari keseluruhan sampel. Sebagian besar spektrofotometer XRF memiliki tempat sampel berbentuk silinder dangan jari-jari antara 5 sampai dengan 50 mm. Jenis sampel yang dapat dianalisis pada pengukuran spektrofotometri XRF adalah sampel yang disiapkan dalam bentuk padat, serbuk, manik (gelas), cair, dan material dalam filter. Pada penelitian ini, jenis sampel yang dapat disiapkan adalah dalam keadaan padat (pellet) dan serbuk. Padatan hanya memerlukan sedikit penyiapan sampel. Pada beberapa kasus diperlukan pembersihan dan penggosokan permukaan. Misalnya pada logam yang permukaannya mudah teroksidasi, diperlukan penggosokan untuk menghilangkan bagian yang berkarat. Sampel berupa serbuk dapat ditempatkan pada film pendukung dan diukur secara langsung. Teknik yang lainnya adalah mengepres bubuk tersebut dengan tekanan tinggi (20.000 kg) untuk dijadikan tablet. Material tambahan kadang ditambahkan untuk memperbaiki kualitas tablet. Sampel yang sudah jadi tablet tersebut kemudian diukur dan dianalisis. Jika material tambahan disertakan, harus dimasukkan ke dalam perhitungan karena tidak masuk pada sampel awal. 3.
Metodologi
Alat Dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi peralatan gelas, cup XRF, alat perata XRF, mortar, ayakan 120 mesh dan 200 mesh, cetakan tablet pellet dan alat press. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi batubara dari berbagai daerah di Kalimantan, larutan Mowiol dan aqua demineralisasi. Prosedur Kerja Bentuk Serbuk Preparasi cuplikan serbuk sampel untuk analisis menggunakan XRF adalah sebagai berikut (Freiburg, 1986): 1. Sampel batubara dihaluskan berupa serbuk halus dengan ukuran 120 mesh sebanyak 20 gram. 2. Sampel serbuk dimasukkan dalam tempat sampel XRF dan diratakan dengan alat perata XRF agar pendistribusiannya homogen dan selanjutnya dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan XRF. Bentuk Pellet Batubara ditimbang sebanyak 30 gram kemudian dihaluskan dan diayak dengan ukuran 200 mesh (kurang lebih 75 micron). Untuk pembuatan pellet ini diperlukan agen pengikat. Agen pengikat yang digunakan adalah larutan Mowiol. Pembuatan larutan Mowiol dilakukan dengan cara menambahkan 2 g serbuk Mowiol ke dalam 100ml aqua demin sambil dipanaskan dan diaduk selama 15-20 menit. Kemudian didinginkan dan disimpan dalam botol polietilen. Agen pengikat ini siap digunakan dengan masa kadaluarsa adalah 2 tahun.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Pembuatan pellet batubara dilakukan dengan cara menambahkan agen pengikat dengan serbuk batubara. Untuk 30 gram sampel batubara digunakan 12 tetes larutan Mowiol. Selanjutnya, dihaluskan dengan menggunakan mortar sampai tidak ada gumpalan. Lalu dimasukkan ke dalam mesin press dengan tekanan 12 ton selama 5 menit. Mesin tekan MiniPress digunakan untuk menekan sampel powder (Ahadnejad, M. dkk, 2008). Apabila pellet yang terbentuk kurang terikat kuat antar sampel maka agen pengikat mowiol dapat ditambahkan lagi (sampel yang mengandung quartz atau banyak mengandung quartz bisa membutuhkan sampai 50 tetes/10g). Untuk sampel yang mengandung mowiol dalam jumlah tinggi, sampel harus dikeringkan sebelum pengukuran dengan XRF (Schlotz dan Uhlig, 2006). Pellet yang terbentuk siap digunakan untuk analisis menggunakan XRF. 4.
Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran kandungan mineral batubara dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 3 dan Tabel 5 dengan menggunakan instrumen X-Ray Fluorosence (XRF) dengan kondisi energi 14 Kv, medium udara, waktu 60 detik dan tanpa filter. Tabel 1. Hasil analisis kandungan mineral pada batubara kalori rendah (4331,67 J) menggunakan XRF Konsentrasi (%) Unsur Bentuk serbuk Bentuk pellet Al 13 13 Si 32,6 32 P 1,2 1,3 S 3,77 3,73 K 6,56 6,25 Ca 7,76 7,78 Ti 3,55 3,43 V 0,13 0,13 Mn 0,2 0,27 Fe 29,7 30,7 Cu 0,36 0,31 Ba 1,17 1,1 Dari data diatas, kemudian dilakukan pengolahan tentang interpretasi data. Dengan nilai kadar abu batubara sebesar 22,22 %, maka kandungan mineralnya sebesar 77,22% seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil interpretasi data kandungan mineral pada batubara kalori rendah (4331,67 J) Unsur Al Si P S K Ca Ti V Mn Fe Cu Ba
Konsentrasi (%) Bentuk serbuk Bentuk pellet 10,11 10,11 25,36 24,89 0,93 1,01 2,93 2,90 5,10 4,86 6,04 6,05 2,76 2,67 0,10 0,10 0,16 0,21 23,10 23,88 0,28 0,24 0,91 0,86
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 3. Hasil analisis kandungan mineral pada batubara kalori sedang (5781,67 J) menggunakan XRF
Unsur Al Si P S K Ca Ti Mn Fe Cu Br Ba
Konsentrasi (%) Bentuk Bentuk pellet serbuk 4 3 4,7 4,7 1,3 1,1 6,54 5,17 0,49 0,32 9,34 7,29 0,91 0,66 0,36 0,18 15 11,1 0,29 0,26 56,31 65,68 0,76 0,54
Dari data diatas, kemudian dilakukan pengolahan tentang interpretasi data. Dengan nilai kadar abu batubara sebesar 1,47%, maka kandungan mineralnya sebesar 98,53% seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil interpretasi data kandungan mineral pada batubara kalori sedang (5781,67 J)
Unsur Al Si P S K Ca Ti Mn Fe Cu Br Ba
Konsentrasi (%) Bentuk Bentuk pellet serbuk 3,94 2,96 4,63 4,63 1,28 1,08 6,44 5,09 0,48 0,32 9,20 7,18 0,90 0,65 0,35 0,18 14,78 10,94 0,29 0,26 55,48 64,72 0,75 0,53
Sedangkan untuk batubara dengan nilai kalori tinggi, hasil analisis kandungan mineral terdapat pada Tabel 5 dan hasil interpretasi data kandungan mineral-nya terdapat pada Tabel 6.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 5. Hasil analisis kandungan mineral pada batubara kalori tinggi (6247,67 J) menggunakan XRF
Unsur Al Si P S K Ca Ti V Mn Fe Cu
Konsentrasi (%) Bentuk Bentuk pellet serbuk 15 14 26,3 25 1,4 1,6 10,4 10,7 1,2 1,2 5,5 5,69 14,7 14,7 0,5 0,55 0,3 0,38 24 25,39 0,7 0,79
Dari data diatas, kemudian dilakukan pengolahan tentang interpretasi data. Dengan nilai kadar abu batubara sebesar 14,54323 %, maka kandungan mineralnya sebesar 85,46 % seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil interpretasi data kandungan mineral pada batubara kalori tinggi (6247,67 J)
Unsur Al Si P S K Ca Ti V Mn Fe Cu
Konsentrasi (%) Bentuk Bentuk pellet serbuk 12,82 11,96 22,48 21,36 1,20 1,37 8,89 9,14 1,03 1,03 4,70 4,86 12,56 12,56 0,43 0,47 0,26 0,32 20,51 21,70 0,60 0,68
Dari keseluruhan data di atas dapat diketahui bahwa unsur yang paling dominan dalam batubara adalah Silikon dan Besi. Unsur-unsur Besi, Aluminium, Sulfur, Kalsium, Titanium, Kalium dan Mangan yang teridentifikasi dalam sampel batubara merupakan penyusun dari mineral-mineral yang umumnya ditemukan dalam batubara seperti senyawa Silikon termasuk didalamnya kuarsa (SiO2), senyawa penyusun tanah liat seperti kaolin (Al2Si2O5(OH)4), ilit (K1.5Al4(Si6.5Al1.5)O20(OH)4), smectit (Na0.33(Al1.67Mg0.33)Si4O10(OH)2), feldspar (KAlSi3O8); senyawa karbonat seperti kalsit (CaCO3) atau dolomit (CaMg(CO3)2); senyawa sulfida seperti pirit (FeS2) atau galena (PbS), senyawa sulfat seperti gipsum (CaSO4) dan persenyawaan lainnya (Ward, 2002). Mengetahui kandungan mineral dalam batubara sangat penting, karena jenis mineral yang terdapat dalam batubara akan mempengaruhi karakteristik pembakaran batubara (Wigley, 1997). Selain itu dengan mengetahui kandungan mineral kita dapat dengan tepat melakukan penanganan terhadap material atau penanganan terhadap berbagai perlatan yang digunakan. Misalnya, Kandungan Fe dalam sampel batubara yang diamati cukup tinggi dibandingkan kandungan logam
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS lainnya. Ini dapat dijadikan sebagai suatu rambu-rambu agar kita lebih waspada terhadap proses perkaratan peralatan penyimpanan atau pipa pembakaran. 5.
Kesimpulan
Dari hasil dan diskusi yang dipaparkan dalam pembahasan diatas, maka pada pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu bahwa Besi dan Silikon merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam sampel batubara. Mineral lain yang teridentifikasi adalah Aluminium, Sulfur, Kalsium, Titanium, Kalium dan Mangan. Ucapan Terimakasih Penelitian ini dibiayai oleh dana SPI ITS sesuai dengan surat penugasan dalam rangka pelaksanaan penelitian unggulan tahun anggaran 2010 No. 0535/I2.7/PM/2010 tgl 1 Mei 2010 Daftar Pustaka Ahadnejad, V. dkk, (2008), “Setting in House XRF Reference Material for Minerals ; A Case Study: Biotite Minerals of Malayer Granitoid Rocks(Western Iran)”, Journal of Apllied Sciences 8(23): 4369-4375 Allen, R. M.; VanderSande, J. B., (1984), “Analysis of sub-micron mineral matter in coal via scanning transmission electron microscopy. Fuel”, vol 63, hal 24-29. Freiburg, C dan Reichert, W. (1986), “The Spot XRF Sequential Analysis”, The Rigoku Journal Vol. 3 No.2 Schlotz, R. dan Uhlig, S. (2006) ”Introduction to X ray Fluorerescence(XRF)”, Bruker AXS GmbH, Jerman Barat Speight, J. G. (2005), “ Handbook of Coal Analysis”, John Wiley & Sons: New Jersey. Suarez-Fernandez, G. P et all. (2001), “ Analysis of major, minor and trace elements in coal by radioisotope X-ray fluorescence spectromletry”. Fuel , vol 80, hal 255-261. Ward, C. R. et all. (2001), “Quantification of mineral matter in the Argonne Premium Coals using interactive Rietveld-based X-ray diffraction”. International Journal of Coal Geology, vol 46, hal 67-82. Ward, C. R. (2002), “Analysis and significance of mineral matter in coal seams”, International Journal of Coal Geology, vol 50, hal 135-168. Wigley, F; Williamson, J; Gibb W. H, (1997), “The distribution of mineral matter in pulverized coal particles in relation to burnout behavior”. Fuel, vol 76, hal 1283-1288.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ANALISIS SIFAT KIMIA, FISIK, DAN TERMAL GELATIN DARI EKSTRAKSI KULIT IKAN PARI (Himantura gerrardi) MELALUI VARIASI JENIS LARUTAN ASAM Niniet Martianingsih*, Lukman Atmaja1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Pada penelitian ini, telah diisolasi gelatin dari kulit ikan pari (Himantura gerrardi) dengan proses asam melalui variasi jenis larutan asam pada konsentrasi dan waktu perendaman yang sama untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik kimia, fisik dan termal gelatin yang dihasilkan. Kulit ikan direndam dalam tiga larutan asam yaitu, HCl 4% (GC), CH3COOH 4% (GA), dan H3PO4 4% (GP), kemudian diekstraksi dan dikeringkan untuk memperoleh gelatin. Proses konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh perbedaan laju hidrolisis kolagen karena + konsentrasi ion H yang berbeda pada setiap larutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GP memiliki randemen dan massa molekul relatif terbesar dengan kadar air yang paling kecil yaitu 8,4%, 292.238 gram/ mol dan 14,16%. Analisis FTIR dari setiap gelatin yang dihasilkan menunjukkan gugus- gugus fungsi O-H, C-H, C=O, N-H dan C-H aromatis yang sama dengan gelatin komersial. Analisis termal DSC/TGA titik denaturasi (Td) pada gelatin GC, GA, dan GP 0 0 0 0 0 0 adalah 44,83 C dan 187,93 C, 48,39 C dan 188,33 C, 48,33 C dan 188,71 C, sedangkan presentasi pengurangan berat totalnya adalah 26,77%, 32,31%, dan 25,62%. Gelatin terbaik yang diperoleh pada penelitian ini adalah gelatin GP. Kata kunci: gelatin, ikan pari, kulit, massa molekul relatif, termal
Abstract Fish skins gelatin of rayfish (Himantura gerrardi) have been isolated by acid process with variation of acid solution types at the same concentration and pretreatment time to analyse its influence to chemical, physical, and thermal characteristic of yielded gelatin. Fish skins were pretreated in HCl 4% (GC), CH3COOH 4% (GA), and H3PO4 4% (GP) independently, then extracted and dried to obtain gelatin. Conversion of collagen to gelatin process are normally influenced by + different collagen hydrolysis rate. The different is caused by H concentration in the solution. Result of this research shows that GP has the biggest relative molecule mass and randemen with the smallest water content, that is 8,4%, 292.238 gram/mole and 14,16%. FTIR analysis of each resulted gelatin shows O-H, C-H, C=O, N-H dan C-H aromatic groups which are exactly same with that the comercial gelatin. The denaturation point (Td) of GC, GA, and GP gelatin from DSC/TGA analysis are 44,830C and 187,930C, 48,390C and 188,330C, 48,330C and 188,710C, while their total reduction weight are 26,77%, 32,31%, and 25,62%, respectively. The best gelatin from this research is gelatin GP. Keywords: gelatin, ray fish, relatif molecule mass, skin, thermal 1. Pendahuluan Gelatin merupakan protein konversi bersifat larut air yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang bersifat tidak larut air. Tulang sapi, kulit sapi, dan kulit babi adalah bahan yang biasa digunakan untuk memperoleh gelatin (Sobral, 2001). Permintaan gelatin telah meningkat selama bertahun-tahun. Laporan terkini mengindikasikan produksi gelatin dunia mendekati angka 326.000
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS ton per tahun, dimana gelatin dari kulit babi sebesar 46%, dari kulit sapi sebesar 29,4%, dari tulang sapi sebesar 23,1%, dan dari sumber lain sebesar 1,5% (Karim, 2009). Sedangkan kebutuhan dalam negeri, Indonesia mengimpor lebih dari 6.200 ton gelatin (tahun 2003) atau senilai US$ 6.962.237 dari berbagai negara (Perancis, Jepang, India, Brazil, Jerman, Cina, Argentina, dan Australia) dengan harga jual di pasar dalam negeri mencapai Rp 60.000 hingga Rp 70.000 setiap kilogramnya (Wahyuni, 2009). Penggunaan gelatin cukup luas dalam berbagai aplikasi, tapi terdapat beberapa kendala bagi para konsumen untuk mengonsumsi produk-produk tersebut. Kendala tersebut diantaranya ialah kepercayaan yang dianut oleh konsumen, dimana umat Hindu dilarang untuk mengonsumsi sapi, serta umat Islam dan Yahudi dilarang untuk mengonsumsi segala produk yang berasal dari babi. Selain itu, terdapat pula kekhawatiran akan kontaminasi Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dalam gelatin sapi meski telah terdapat pernyataan dari Scientific Steering Committeee of The European Union bahwa resiko tersebut mendekati nol (Schrieber, 2007). Pemanfaatan gelatin dari mamalia masih banyak menemui kendala. Oleh karena itu, dicari alternatif untuk mengatasi kendala tersebut karena mengingat pula kebutuhan gelatin dalam negeri yang cukup besar. Kulit ikan dapat dimanfaatkan sebagai sumber gelatin alternatif dan telah banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian terkini (Gudmundsson, 1997). Pemanfaatan kulit ikan juga sejalan dengan usaha pengurangan limbah industri pada pengolahan ikan, dimana menurut Gómez-Guillén (2002), 30% dari limbah industri pengolahan ikan berasal dari kulit dan tulang ikan. Salah satu bahan kulit ikan yang berpotensi digunakan ialah kulit ikan pari, karena ikan pari merupakan salah satu jenis ikan tropis yang banyak dan dapat ditemukan sepanjang tahun di perairan Indonesia. Produksi ikan pari yang dijual di tempat pelelangan ikan (TPI) di seluruh Indonesia mencapai jumlah 1.434 ton pada tahun 1999 (BPS, 1999). Proses asam umumnya lebih sesuai untuk kulit ikan, seperti yang telah diungkapkan oleh Karim dan Bhat (2008). Namun, jenis larutan asam yang digunakan dapat sangat bervariasi, baik larutan asam organik maupun anorganik. Sopian (2002), telah melakukan penelitian terhadap gelatin ikan dengan beberapa jenis larutan asam pada variasi konsentrasi dan waktu, kemudian diikuti dengan ekstraksi dalam air hangat dan pengeringan untuk memperoleh gelatin dalam bentuk kering. Hasil yang didapat adalah gelatin dengan rendemen terbanyak diperoleh melalui perendaman dalam asam fosfat. Variasi konsentrasi serta waktu terbaik yang dapat digunakan ialah konsentrasi 4% selama 12 jam. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan pula larutan asam H3PO4 4%. Variasi jenis larutan asam akan dilakukan pada penelitian ini, sehingga selain H3PO4 4% digunakan pula larutan asam HCl 4% dan CH3COOH 4% dengan waktu perendaman yang sama untuk diamati pengaruhnya terhadap karakteristik kimia, fisik, serta termal gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan pari. Gelatin yang dihasilkan akan dianalisis menggunakan spektroskopi infra merah, dan analisis termal menggunakan alat DSC (Differential Scanning Calorimetry) serta TGA (Themogravimetric Analysis), sedangkan massa molekul relatif rata-rata gelatin akan diukur menggunakan viskometer Ostwald. 2.
Metode Penelitian
Alat dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, alat-alat gelas, waterbath, pemanas, termometer, kertas pH indikator universal dari Merck, kain katun (cheesecloth), pengaduk, pisau, gelas ukur, labu ukur, gelas beker, pipet volum, spektrometer, Differential Scanning Calorimetry (DSC), Thermogravimetric Analysis (TGA), dan viskometer Ostwald. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam peneitian ini adalah kulit ikan pari, HCl 4%, H3PO4 4%, CH3COOH 4%, aquades, aqua DM.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Prosedur Kerja Persiapan Bahan Baku Ikan segar diambil kulitnya dan dibersihkan dari daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak yang masih menempel. Kulit kemudian dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Kulit bersih dimasukkan dalam kantong plastik dan ditutup rapat, kemudian disimpan dalam lemari pendingin untuk preparasi dan analisis gelatin berikutnya. Preparasi Gelatin Kulit yang telah disimpan dalam lemari pendingin dicuci dengan air mengalir. Kulit 0 kemudian direndam dengan air panas 60-70 C selama 1-2 menit. Kulit lalu ditiriskan dan dipotong kecil-kecil kemudian dicuci dengan air mengalir. Kulit ditimbang ± 30 gram kemudian direndam dalam larutan asam, yaitu H3PO4 4%, HCl 4%, dan CH3COOH 4%. Perendaman dilakukan selama 12 jam. Kulit yang telah direndam lalu ditimbang dan dicuci dengan air mengalir hinga pH menjadi 0 netral (6-7). Kulit diekstrasi dalam waterbath pada suhu 60-70 C selama 2 jam dengan perbandingan kulit : air = 1:2. Ekstrak disaring dengan kain katun berlapis empat untuk menghilangkan kotoran, kemudian diukur filtrat yang diperoleh. Filtrat kemudian dimasukkan dalam o lemari pendingin hingga membentuk gel. Gel lalu dioven dengan suhu 60 C selama 24 jam hingga terbentuk lapisan gelatin. Lapisan tipis gelatin yang diperoleh dimasukkan desikator sampai uap panasnya hilang kemudian ditimbang dan dikecilkan ukurannya untuk disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. Total Rendemen Kulit segar yang telah disimpan dalam lemari pendingin dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir. Kulit lalu ditiriskan dan ditimbang bobotnya (± 30 gram). Besarnya rendemen dapat dihitung dengan metode AOAC: Rendemen (%) = bobot kering gelatin x 100% bobot bahan segar Kadar Air Cawan dioven dengan suhu 1050C selama 2 jam untuk menghasilkan cawan yang kering dan bebas air. Serbuk gelatin kemudian ditimbang ± 1 gram dan ditaruh dalam cawan yang telah dioven dan diketahui massanya. Cawan + sampel dimasukkan dalam oven lalu dipanaskan pada 0 105 C selama 2 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang berkali-kali hingga beratnya konstan. Kadar air diperoleh dengan menggunakan metode AOAC (1995): I`a`b `cb =
Q−d g 100% QAb`' e` fA$
Keterangan: A = berat cawan + sampel akhir (gram) B = berat cawan + sampel awal (gram) Analisis FTIR Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi-gugus fungsi khas dari gelatin yang telah dipreparasi. Sampel gelatin yang digunakan ialah serbuk gelatin yang diperoleh melalui variasi proses perendaman yaitu, perendaman dengan HCl, H3PO4 dan CH3OOH 4%. Spektra FTIR diperoleh dari kepingan yang berisi 2 mg sampel dalam 100 mg kalium bromida (KBr). Sampel -1 dibaca dari range 4000 -500 cm .
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Pengukuran Massa Molekul Relatif Rata-Rata Gelatin Serbuk gelatin ditimbang sebanyak 0,03 gram dan dilarutkan dalam 10 ml pelarut air (aquades) pada suhu kamar. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam viskometer Ostwald. Waktu alir larutan dan pelarut diukur dengan menggunakan stopwatch sebanyak lima kali. Data waktu alir digunakan untuk menghitung viskositas relatif, viskositas tereduksi dan viskositas intrinsik. Perlakuan diatas diulangi untuk variasi bobot gelatin 0,035; 0,04; 0,045; dan 0,05 gram. Analisis Termal dengan DSC/TGA Analisis termal dilakukan dengan menggunakan alat DSC/TGA untuk mengetahui karakteristik termal gelatin yang dihasilkan. Sampel sebanyak 5 -10 mg ditempatkan dalam wadah 0 0 aluminium lalu ditutup. Sampel kemudian dianalisis pada range 20 C hingga 300 C dengan laju 0 pemanasan 10 C/menit. 3.
Hasil dan Diskusi
Persiapan Bahan Baku Ikan pari diambil kulitnya dan dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak yang masih menempel untuk diolah pada tahap selanjutnya. Kulit ikan kemudian dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan dimasukkan dalam kantong plastik yang ditutup rapat untuk disimpan dalam freezer lemari pendingin. Penyimpanan dalam lemari pendingin ini berfungsi untuk menjaga kesegaran dan kualitas kulit sampai digunakan untuk perlakuan selanjutnya. Waktu maksimum penyimpanan ikan dalam lemari pendingin adalah kurang dari dua bulan (Yang, 2007). Tahap Perendaman Proses perendaman bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi bentuk yang sesuai untuk ektraksi, yaitu dengan adanya interaksi ion H+ dari larutan asam dengan kolagen. Sebagian ikatan hidrogen dalam tropokolagen serta ikatan-ikatan silang yang menghubungkan tropokolagen satu dengan tropokolagen lainnya dihidrolisis menghasilkan rantai-rantai tropokolagen yang mulai kehilangan struktur tripel heliknya Proses perendaman juga mengakibatkan terjadinya penggembungan (swelling) yang dapat membuang material-material yang tidak diinginkan, seperti lemak dan protein non-kolagen pada kulit dengan kehilangan kolagen yang minimum (Zhou, 2005). Saat jaringan yang mengandung kolagen diperlakukan secara asam dan diikuti dengan pemanasan dalam air, maka struktur fibril kolagen akan dipecah secara irreversible. Oleh karena itu, tahapan perendaman harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya), agar tidak terjadi kelarutan kolagen dalam larutan dan menyebabkan penurunan rendemen yang dihasilkan (Utama, 1997). Nilai rendemen dapat menjadi indikator untuk mengetahui efektif tidaknya metode yang diterapkan pada suatu penelitian, khususnya tentang optimalitasnya dalam menghasilkan suatu produk. Semakin tinggi nilai rendemen berarti perlakuan yang diterapkan pada penelitian tersebut semakin efektif. Perubahan jumlah bobot ditunjukkan dalam persen derajat penggembungan (DP), seperti tampak pada Tabel 1. Tabel 1.Perubahan Bobot Kulit Ikan Pari Sebelum dan Sesudah Perendaman dalam Larutan Asam Larutan Asam Bobot Bobot DP (%) kulit awal kulit akhir (gram) (gram) HCl 4% 28,5999 171,5994 500 CH3COOH 4% 28,7528 172, 5168 500 H3PO4 4% 28,9854 173,9854 500,25
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA Proses Konversii Kolagen Menjadi Gelatin Kulit ikan yang telah direndam dicuci dengan air mengalir hingga mencapai pH netral (6-7), (6 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen komponen komponen protein nonnon kolagen pada kulit sehingga mudah terkoagulasi dan dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1977). 0 Ekstraksi dilakukan pada suhu 60 C dalam sistem water bath,, dimana pebandingan kulit dengan gan air adalah 1:2. Pemanasan perlu dilakukan karena gelatin umumnya akan melarut dalam air hangat (T≥ 40C) (Ross (Ross-Murphy, Murphy, 1991). Ekstraksi dengan air hangat akan melanjutkan perusakan ikatan-ikatan ikatan silang, serta untuk merusak ikatan hidrogen yang menjadi faktor f penstabil struktur kolagen.
Gambar 1. Transisi Rantai Helik–Gulungan Gulungan pada Kolagen Ikatan-ikatan ikatan hidrogen yang dirusak dan ikatan-ikatan ikatan ikatan kovalen yang dipecah akan mendestabilkan tripel helik melalui transisi helik-ke-gulungan helik dan menghasilkan menghasil konversi gelatin yang larut air (Djabourov, 1993). Tropokolagen yang diekstraksi mengalami reaksi hidrolisis yang sama dengan reaksi hidrolisis tropokolagen yang terjadi saat perendaman dalam larutan asam. Reaksi hidrolisis tersebut diilustrasikan pada Gambar 2 dan 3, dimana ikatan hidrogen dan ikatan silang kovalen rantai-rantai rantai tropokolagen diputus sehingga menghasilkan tropokolagen tripel helik yang berubah menjadi rantai-rantai rantai α dapat larut dalam air atau disebut gelatin. Gelatin yang diperoleh dari dari ekstraksi disaring dengan kain katun untuk dipisahkan dari kulit 0 dan memperoleh filtrat yang jernih. Filtrat kemudian didinginkan dalam lemari pendingin (15 C) untuk memadatkan struktur gel gelatin. Pendinginan akan membentuk gel yang thermoreversibel. 0 Proses roses pendinginan dilakukan pada temperatur 15 C, yaitu di bawah temperatur leleh (Tm) gelatin ikan pari, dimana berdasar penelitian sebelumnya menyebutkan gelatin ikan pari memiliki titik leleh 0 0 antara 22 – 33,5 C (Sopian, 2002). O
O H
C
rantai polipeptida
N H
O
rantai polipetida C
H O
C
N H
O H N
C
O H H N
Gambar 2. Reaksi Pemutusan Ikatan Hidrogen Tropokolagen
H
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA H2N H2N
COO OH
H2N
H2N
COOH
COOH
H2N
COOH
COOH (CH ( 2)2
(CH2)2
(CH2)2
CH2 CH
H
H
N
CH
H2N
COO OH
H
C
O
CH
COOH
CH2 OH
CH
(CH2)2
H2N
COOH
CH2 OH
(CH2)2
H2N
HC H O Alisin + H2N
NH2
CH2 OH
(CH2)2
H2N
O
NH
CH
(CH2)2
CH2
OH
CH2 OH
CH2 C
CH NH
CH2
(CH2)2 CH2
CH2
O
(CH2)2
COOH
CH2 (CH2)2
COOH H2N Hidroksilisin H
Gambar 3. Reaksi Hidrolisis Ikatan Silang Kovalen Tropokolagen Pendinginan mengakibatkan transisi struktur gulungan yang acak menjadi struktur helik yang baru dan akan memperkuat kekuatan gel gelatin yang dihasilkan. Struktur helik yang baru terbentuk tersebut tidak sama dengan struktur asli kolagen, karena terbatasnya jumlah tripel helik yang terbentuk kembali.
Pembentukkan kembali tripel helik hel mengakibatkan adanya junction zones yang penting dalam pembentukkan gel gelatin. Junction zones distabilkan oleh ikatan hidrogen, dan saling terinterkoneksi satu sama lain melalui rantai rantai-rantai rantai peptida yang fleksibel (De Wolf, 2003). Penelitian ini, rendemen demen serbuk gelatin yang diperoleh ialah 5,27% untuk GC, 5,48 % untuk GA, dan 8,4 % untuk GP.
Gambar 5. Gelatin dengan perendaman dalam (a) HCl 4% (GC), (b) CH3COOH 4% (GA), (c) H3PO4 4% (GP)
Gambar 6. Spektra Infra Merah Gelatin pada (a) GC, (b) GA, dan (c) GP
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 0
Serbuk gelatin kemudian dioven selama 2 jam pada temperatur 105 C untuk dihitung kadar airnya. Temperatur tersebut digunakan untuk menguapkan kandungan air pada gelatin. Kadar air yang diperoleh untuk gelatin GC, GA, dan GP masing-masing adalah 14,25%, 14,35%, dan 14,16%. Menurut batas standar mutu gelatin SNI, kadar air maksimum gelatin yang diperbolehkan adalah 16%. Berdasar data total rendemen dan kadar air, maka gelatin serbuk terbaik adalah gelatin yang diperoleh melalui proses perendaman dalam larutan asam fosfat 4% selama 12 jam karena memiliki total rendemen terbesar dengan kadar air yang paling sedikit. Analisis FTIR Analisis FTIR berguna untuk membuktikan apakah senyawa yang diperoleh dari penelitian ini adalah gelatin. Penelitian ini dimulai dengan preparasi sampel gelatin. Gelatin yang diperoleh dikecilkan terlebih dahulu permukaannya hingga menjadi bentuk bubuk, agar dapat dianalisis dengan alat FTIR. Gelatin seperti umumnya protein memilki struktur yang terdiri dari karbon, hidrogen, gugus hiroksil (OH), gugus karbonil (C=O), dan gugus amina (NH). Spektra infra merah (Gambar6a) diatas menunjukkan adanya vibrasi stretching gugus fungsi OH pada bilangan gelombang sekitar -1 3100-3500 cm . Bilangan gelombang 1448,8 menunjukkan adanya bending OH yang terdapat -1 pada daerah 1500-1300 cm . Adanya gugus OH dmungkinkan karena masih adanya senyawa OH dari air yang digunakan untuk mengekstraksi gelatin. Bending dan streching CH ditunjukkan pada -1 -1 daerah 3000-2800 cm ditunjukkan oleh bilangan gelombang 2928,4cm . Puncak CH aromatik -1 -1 pada daerah 3100-3000 cm ditunjukkan oleh bilangan gelombang 3047,4 cm . Streching C=O -1 ditunjukkan oleh bilangan gelombang 1647,2 cm yang daerah bilangan gelombangnya ialah 1670-1 1640 cm . Sedangkan puncak N-H streching tidak ditemukan karena tertutupi oleh puncak OH. Spektra infra merah gelatin (Gambar 6b) menunjukkan vibrasi streching OH pada bilangan -1 -1 gelombang 3441,2 cm . Bending OH ditunjukkan oleh bilangan gelombang 1448,1 cm . Streching -1 dan bending CH ditunjukkan oleh bilangan gelombang 2928,5 cm . Puncak CH aromatik -1 ditunjukkan oleh bilangan gelombang 3048 cm . Puncak C=O streching ditunjukkan oleh bilangan -1 gelombang 1650 cm . Puncak NH streching tidak tampak karena tertutupi oleh puncak OH. Spektra infra merah (Gambar 6c) menunjukkan vibrasi streching OH pada bilangan gelombang 3437,8 cm-1. Bending OH ditunjukkan oleh bilangan gelombang 1401,5 cm-1. Streching -1 dan bending CH ditunjukkan oleh bilangan gelombang 2926,9 cm . Puncak CH aromatik -1 ditunjukkan oleh bilangan gelombang 3047,9cm . Puncak C=O streching ditunjukkan oleh bilangan -1 gelombang 1648,7 cm . Puncak NH streching tidak tampak karena tertutupi oleh puncak OH. Gugus fungsi-gugus fungsi O-H, C-H, C=O, N-H dan C-H aromatis merupakan spektra yang terdapat pada gelatin ikan dan sapi komersial (Norziah, 2008). Spektra senyawa yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan gugus fungsi-gugus fungsi yang sama dengan kedua gelatin komersial tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa senyawa yang diperoleh dari penelitian ini adalah gelatin. Menurut Prystupa dan Donald (1996), puncak serapan pada bilangan gelombang 1645– -1 1657 cm menunjukkan adanya gulungan acak rantai-α. Hal ini menunjukkan tripel helik yang telah terkonversi menjadi struktur rantai-α atau disebut gelatin. Gelatin GP menunjukkan adanya konversi kolagen menjadi gelatin yang lebih banyak dibanding kedua gelatin lainnya, GC dan GA. Pengukuran Massa Molekul Relatif Rata-Rata Gelatin Massa molekul relatif rata-rata gelatin dapat ditentukan dengan menggunakan analisis viskositas larutan gelatin pada viskometer Ostwald dalam suhu kamar. Pengukuran massa molekul relatif rata-rata gelatin dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik gelatin, yaitu massa molekul relatif rata-rata gelatin yang sebelumnya tidak diketahui. Manfaat mengetahui massa molekul relatif rata-rata gelatin ialah dapat diperkirakan banyaknya unit ulang dalam rantai gelatin. Pengukuran viskositas pada viskometer Ostwald dilakukan dengan menentukan waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah volume larutan untuk mengalir diantara dua tanda kalibrasi. Penentuan besarnya viskositas larutan gelatin ini, digunakan sebuah pelarut berupa air (aquades). Pelarut ini digunakan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS karena dapat melarutkan gelatin pada temperatur ruang dan nilai tetapan Mark-Houwink-Sakuradanya (K dan α) telah diketahui sesuai dengan handbook data polimer. Konsentrasi larutan gelatin dibuat bervariasi yaitu 0,03; 0,035; 0,04; 0,045; dan 0,05 gram. Waktu alir larutan gelatin dalam viskometer diukur dan diperoleh bahwa waktu alir semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi gelatin dalam larutan. Peningkatan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gelatin dalam larutan maka molekul-molekul gelatin yang bergesekan akan semakin banyak pula sehingga viskositas larutan meningkat dan waktu alirnya juga meningkat. Waktu alir larutan gelatin dibandingkan terhadap waktu alir pelarut untuk mendapatkan nilai viskositas spesifik (η sp ). Nilai viskositas tereduksi (η sp /c) dialurkan terhadap konsentrasi (c) untuk
memperoleh nilai viskositas intrinsik, [η ], yang merupakan intersep grafik. Massa molekul relatif rata-rata viskositas gelatin ditentukan dari viskositas intrinsik menggunakan persamaan MarkHouwink-Sakurada: α [ η ] = K . Mv -5
dimana K sebesar 1,66. 10 dan α sebesar 0,885 untuk polimer gelatin dalam pelarut air pada temperatur ruang. Konstanta K dan α yang digunakan ialah dari konstanta gelatin pada kulit anak sapi. Hal ini dilkukan karena harga K dan α gelatin dari kulit ikan tidak ditemukan. 12 y = 24,74x - 1,141 R² = 0,992
10 ηsp/c
8 y = 16,10x - 0,855 R² = 0,994
6
y = 15,84x - 1,096 R² = 0,997
4 2 0 0
0,2
0,4
0,6
c (gram/dL)
Gambar 7. Grafik η sp / c Vs
=GC,
=GA,
=GP)
Perkiraan massa molekul relatif rata-rata gelatin yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 210.927 gram/ mol pada GC, 279.248 gram/ mol pada GA, dan 292.238 gram/ mol pada GP. Data perkiraan massa molekul gelatin yang diperoleh pada penelitian ini sifatnya hanya sebagai data pembanding terhadap massa gelatin dari penelitian sebelumnya, karena harga K dan α yang digunakan bukanlah harga untuk gelatin ikan. Analisis Termal Gelatin Analisis termal DSC digunakan untuk mengetahui fase- fase transisi pada polimer. Analisis ini menggunakan dua wadah sampel dan pembanding yang identik dan umumnya terbuat dari alumunium. Sampel yang digunakan berupa serbuk gelatin sebanyak ± 5 miligram yang diletakkan pada wadah sampel dan wadah pembandingnya dibiarkan kosong. Gambar 4 hingga 6 menunjukkan kurva thermogram yang dihasilkan oleh pemanasan gelatin dari temperatur 200 0 0 hingga 300 C dengan laju pemanasan 10 C/menit. Berdasar kurva yang diperoleh, gelatin dengan perendaman dalam larutan HCl 4% (Gambar 0 0 8) memiliki puncak eksotermis denaturasi pada 44,83 C dan 187,93 C yang dihubungkan dengan panas (q) dengan yang dilepaskan sampel. Aliran panas (W/g) setara dengan perubahan entalpi (J/s) yang diterima atau dilepas oleh sampel (gelatin). Aliran panas pada gelatin GC adalah
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS sebesar 0,6 W/g dan 0,61 W/g. Pada perendaman dalam larutan asam CH3COOH 4% (Gambar 9), 0 0 gelatin menunjukkan puncak eksotermis denaturasi pada 48,39 C dan 188,33 C yang dihubungkan dengan aliran panas (q) dengan yang dilepaskan sampel sebesar 0,77 W/g dan 0,76 W/g. Sedangkan, gelatin dari larutan perendaman asam H3PO4 4% (Gambar 10), menunjukkan 0 0 puncak eksotermis denaturasi pada 48,33 C dan 188,71 C yang dihubungkan dengan aliran panas (q) yang dilepaskan sampel sebesar 0,5 W/g dan 0,44 W/g. Temperatur denaturasi dari ketiga gelatin menunjukkan bahwa gelatin GC adalah gelatin yang paling labil terhadap pemanasan, sedangkan gelatin GA dan GP lebih stabil terhadap pemanasan dengan temperatur denaturasi yang hampir sama. Hal ini dapat dikarenakan gelatin GP dan GA yang terekstrak lebih banyak daripada gelatin GC seperti yang ditunjukkan pada lebar puncak serapan FTIR (Gambar 4.7). Sehingga, gelatin GP dan GA keduanya terdenaturasi pada temperatur yang lebih tinggi. Sampel gelatin juga dianalisis dengan analisis thermoravimetri (TGA), dimana bobot sampel diukur secara kontinyu ketika suhu sampel dinaikkan. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisotermal yang mencatat data sebagai thermogram bobot versus temperatur. Gambar 4.9 menunjukkan persen pengurangan bobot serbuk gelatin dari perendaman bahan baku dengan larutan HCl 4% terhadap temperatur. Bobot awal gelatin pada 200C adalah 5,5040 mg. Setelah 0 0 dianalisis, bobot gelatin berkurang menjadi 85,33% pada 205,17 C dan pada 296,55 C menjadi 73,23% dari bobot awalnya, atau telah terjadi pengurangan bobot total sebanyak 26,77% (1,4734 mg) dari bobot awalnya. Sampel gelatin juga dianalisis dengan analisis thermoravimetri (TGA), dimana bobot sampel diukur secara kontinyu ketika suhu sampel dinaikkan. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisotermal yang mencatat data sebagai thermogram bobot versus temperatur. Gambar 9 menunjukkan persen pengurangan bobot serbuk gelatin dari perendaman bahan 0 baku dengan larutan HCl 4% terhadap temperatur. Bobot awal gelatin pada 20 C adalah 5,5040 0 mg. Setelah dianalisis, bobot gelatin berkurang menjadi 85,33% pada 205,17 C dan pada 296,550C menjadi 73,23% dari bobot awalnya, atau telah terjadi pengurangan bobot total sebanyak 26,77% (1,4734 mg) dari bobot awalnya.
Gambar 9. Gelatin dengan Larutan Asam HCl 4% Gambar 10 dan 11 menunjukkan persen pengurangan bobot gelatin dari perendaman bahan baku dengan larutan asam CH3COOH 4% dan asam H3PO4 4% .Gambar 10 menunjukkan bobot 0 0 gelatin sebanyak 4,5840 mg berkurang 16,15% pada 224,19 C, lalu pada 295,16 C terjadi pengurangan sebesar 16,16% dari bobot awalnya. Sehingga, gelatin dengan larutan perendaman CH3COOH 4% mengalami pengurangan bobot total sebesar 32,31% atau 1,4811 mg.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 10. Gelatin dengan Larutan Asam CH3COOH 4% Gambar 11 menunjukkan pengurangan bobot gelatin dari bobot awal 6,7770 mg sebesar 0 0 10,94% pada 211,67 C dan 14,68% pada 295,2 C. Sehingga, gelatin dengan larutan perendaman H3PO4 4% mengalami pengurangan bobot total sebesar 25,62% atau 1,7363 mg. Pengurangan bobot yang pertama menunjukkan pengurangan jumlah air yang terdapat pada gelatin, sedangkan pengurangan bobot kedua menunjukkan terjadinya proses degradasi gelatin selama peningkatan temperatur.
Gambar 11. Gelatin dengan Larutan Asam H3PO4 4% Berdasar hasil analisis yang telah dilakukan terhadap gelatin GC, GA, dan GP pada penelitian ini, data utama yang digunakan sebagai acuan gelatin terbaik ialah melalui analisis FTIR karena analisis FTIR menunjukkan puncak serapan masing-masing gugus fungsi gelatin yang sesuai dengan gelatin komersial yang ada di pasaran (Gambar 2.8). Serapan FTIR gelatin terbaik ditunjukkan oleh serapan pada gelatin GP (Gambar 4.7). Data lain yang mendukung analisis FTIR adalah analisis total rendemen, kadar air, perhitungan massa molekul relatif rata-rata gelatin, serta analisis termal DSC/TGA. Analisis total rendemen dan kadar air terbaik ditunjukkan oleh gelatin GP, karena gelatin GP memiliki total rendemen terbesar (8,4 %) dengan kadar air paling kecil (14,16%). Massa molekul relatif yang ditentukan menggunakan viskometer Ostwald merupakan data tambahan yang tidak dapat digunakan sebagai acuan gelatin terbaik, karena harga konstanta Mark-Houwink-Sakurada yang digunakan bukanlah konstanta untuk gelatin ikan. Namun, dari analisis tersebut dihasilkan gelatin dengan massa molekul raltif rata-rata terbesar ialah gelatin GP (292.238 gram/mol). Analisis termal dengan DSC menunjukkan gelatin GP cukup stabil terhadap pemanasan dan memiliki temperatur denaturasi (Td) yang cukup tinggi. Analisis termal TGA menunjukkan gelatin terbaik yang diperoleh pada penelitian ini adalah gelatin GP, dimana total persen pengurangan bobot pertamanya adalah yang paling kecil (10,94%) dibandingkan dengan
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS dua gelatin lainnya. Pengurangan bobot ini berkaitan dengan massa air yang terdapat pada gelatin. Sehingga, kurva TGA didukung dengan jumlah kadar air yang telah dihitung menunjukkan gelatin GP memiliki kadar air yang paling kecil. Oleh karena itu, berdasar keseluruhan analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa gelatin terbaik yang diperoleh dalam penelitian ini ialah gelatin dengan perendaman dalam larutan asam H3PO4 4%. 4.
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Rendemen dan kadar air gelatin yang diperoleh dari perendaman bahan baku dalam larutan asam HCl, CH3COOH, dan H3PO4 4% masing-masing adalah 5,27% dan 14,25%, 5,48 % dan 14,35%, 8,4 % dan 14,16%. 2. Analisis FTIR menunjukkan gugus-gugus fungsi O-H, C-H, C=O, N-H dan C-H aromatis yang sama dengan gelatin komersial. 3. Perkiraan massa molekul relatif rata-rata gelatin gelatin yang diperoleh melalui perendaman dengan larutan asam HCl 4%, CH3COOH 4%, H3PO4 4% adalah 210.927 gram/ mol, 279.248 gram/ mol dan 292.238 gram/ mol. 4. Titik denaturasi (Td) gelatin melalui perendaman dengan larutan asam HCl 4%, CH3COOH 4%, 0 0 0 0 0 0 H3PO4 4% ialah 44,83 C dan 187,93 C, 48,39 C dan 188,33 C, 48,33 C dan 188,71 C. 5. Total persen pengurangan bobot pada gelatin melalui perendaman dengan larutan asam HCl 4%, CH3COOH 4%, H3PO4 4% ialah 26,77%, 32,31%, dan 25,62%. 6. Gelatin terbaik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah gelatin dengan lautan perendaman H3PO4 4%. Daftar Pustaka AOAC.1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analtical Chemist. Washington. Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik Produksi Ikan di Tempat Pelelangan Ikan. Jakarta. De Wolf, F. A. 2003. “Collagen and Gelatin In Progress In Biotechnology”. Elsevier Science, 23: 133–218. Djabourov, M., Lechaire, J., dan Gaill, F. 1993. “Structure and Rheology of Gelatin and Collagen Gels”. Biorheology, 30: 191–205. Gómez-Guillén, M. C., Turnay, J., Fernandez-Diaz, M. D., lmo, N., Lizarbe, M. A. dan Montero, P. 2002. “Structural and Physical Properties of Gelatin Extracted from Different Marine Species: A Comparative Study”. Food Hydrocolloid, 16: 25-34. Gudmundsson, M. dan Hafsteinssen, H. 1997. “Gelatin from Cod Skin as Affected by Chemical Treatments”. Journal of Food Science, 621: 37-39. 47. Hinterwaldner, R. 1997. Raw Material in Ward, AG dan Courts, A. (Ed.). The Science and Technology of Gelatin. New York: Academic Press. Karim, A. A. dan Bhat, R. 2008. “Fish Gelatin: Properties. Challenges, and Prospects As An Alternative To Mammalian Gelatins”. Food hydrocolloids, 23: 563-576,656. Karim, A. A. dan Bhat, R. 2009. “Review Fish Gelatin: Properties. Challenges. And Prospects As An Alternative To Mammalian Gelatins”. Trends in Food Science and Technology, 19: 644656. Lehninger, L. A. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Diterjemahkan oleh Maggy Thenawijaya. Jakarta: Erlangga. Norziah, M.H., Al-Hassan, A., Khairulnizam, A. B., Mordi, M. N., dan Norita, M. 2009. “Characterization of Fish Gelatin from Surimi Processing Waste: Termal Analysis and Effect of Transglutaminase on Gel Properties”. Food Hydrocolloid, 23: 1610-1616.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Ross-Murphy, S. B. 1991. “Structure and Rheology of Gelatine Gels: Recent Progress”. Polymer, 3312: 2622-2627. Samsudin, S. A. 2006. “Chemical Resistance Evaluation of Poystyrene/Polypropylene Blends Compositions and SEBS Content”. Malaysian Polymer Journal 1, 1: 11-24. Sobral, P. J. A., dan Habitante, A. M. Q. B. 2001. “Phase Transitions of Pigskin Gelatin”. Food Hydrocolloids, 15: 377–382. Sopian, I. 2002. “Analisis Sifat Fisik. Kimia dan Fungsional Gelatin yang Diekstrak dari Kulit dan Tulang Ikan Pari”. Bogor: Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Utama, H. 1997. “Gelatin yang Bikin Heboh”. Jurnal Halal LPPOM-MUI, No.18: 10-12. Wahyuni, Mita dan Peranginangin, Rosmawat. 2009. Perbaikan Daya Saing Industri Pengolahan Perikanan Melalui Pemanfaatan Limbah Non Ekonomis Ikan Menjadi Gelatin, (www.ikanmania.wordpress.com). Yang, H., Wang, Y., Jiang, M., Oh, J., Herring, J., dan Zhou, P. 2007. “2-Step Optimization of The Extraction and Subsequent Physical Properties of Channel Catfish (Ictalurus punctatus) Skin Gelatin”. Journal Of Food Science, (72) 4. Zhou, P. dan Regenstein, J. M. 2005. “Effects of Alkaline and Acid Pretreatments on Alaska Pollock Skin Gelatin Extraction”. Journal of Food Science, 70(6): C392–C396.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ADSORPSI ION LOGAM Cu(II) PADA ZEOLIT A YANG DISINTESIS DARI ABU DASAR BATUBARA PT IPMOMI PAITON DENGAN METODE BATCH Nurul Faradilah Said*, Nurul Widiastuti1, Hamzah Fansuri1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan abu dasar batubara dengan merubahnya menjadi zeolit A yang digunakan sebagai adsorben ion logam Cu(II). Selain itu juga dipelajari kemampuan abu dasar dalam mengadsorp ion logam Cu(II). Dalam pengujian ini dilakukan variasi beberapa parameter yang mempengaruhi, yaitu waktu, konsentrasi, pH dan suhu. Penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A maupun abu dasar ini dilakukan pada waktu setimbang yang sama yaitu 6 jam. Kapasitas penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A dan abu dasar akan naik dengan meningkatnya konsentrasi logam yang diserap dan dengan menurunnya suhu proses adsorpsi. Pada penentuan pH optimum diperoleh kondisi optimum penyerapan yaitu pH 8 untuk zeolit A dan pH 9 untuk abu dasar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit A mampu mengadsorpsi ion logam Cu(II) hingga 8.335 mg/g dengan konsentrasi awal larutan ion logam Cu(II) 50 mg/l pada pH 8 selama 360 menit dan jumlah adsorben 0,5 gram, sedangkan abu dasar mampu mengadsorpsi ion logam Cu(II) hingga 9.047 mg/g dengan konsentrasi ion logam Cu(II) 50 mg/l pada pH 9 selama 360 menit dan jumlah adsorben 0,5 gram. Hasil pengolahan data untuk kinetika dan isoterm adsorpsi menunjukkan bahwa kinetika adsorpsi ion logam Cu(II) pada zeolit A dan pada abu dasar mengikuti model orde dua semu, sedangkan adsorpsi isoterm adsorpsi pada zeolit A dan abu dasar mengikuti model Freundlich. Kata kunci : Penghilangan ion logam Cu(II), Zeolit A, Abu dasar batubara, Adsorpsi, Kinetik, Isoterm Abstrack This research aims to utilise coal bottom ash by converting to zeolite A used as an adsorbent for Cu(II). The zeolite was then tested for adsorption of Cu(II). Bottom ash also was tested for adsorption of Cu(II). Parameters such as time, concentration, pH and temperature were varied. Adsorption of Cu(II) using both zeolite A and bottom ash have been done at the same equilibrium time, 6 h. Capacity of adsorption of Cu(II) increased when metal adsorbed concentration increasing and temperature of adsorption on decreasing. Optimum pH of adsorption was found pH 8 for zeolite A and pH 9 for bottom ash. Results showed that the synthesized zeolite has ability to adsorp Cu(II) up to 83,35% at concentration 50 mg/l , pH 8 for 360 minute, and bottom ash has ability to adsorp Cu(II) up to 90,47% at concentration 50 mg/l, pH 9 for 360 minute. This research also studied kinetics adsorption of Cu(II) and adsorption isotherm. Results showed that the adsorption kinetics is best approximated by the pseudo-second-order model for zeolite A and for bottom ash, and Freundlich model provides the best fit for the equilibrium data for zeolite A and bottom ash. Keyword: Adsorption of Cu(II) ions metal, Zeolite A, coal bottom ash, Adsorption, Kinetic, Isotherm
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 1.
Pendahuluan
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun, Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah satu diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama ini terus meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun 1976 untuk menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga listrik oleh PLTU dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti industri baja dan semen (Supriatna,2003). Akan tetapi, penggunaan batubara ini menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan antara lain, pelepasan polutan gas seperti CO2, NOX, CO, SO2, hidrokarbon dan abu yang relatif besar. Ada dua jenis limbah abu pada proses pembakaran batubara, yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Abu layang adalah abu yang dihasilkan dari transformasi, pelelehan atau gasifikasi dari material anorganik yang terkandung dalam batubara (Molina dan Poole,2004). Sedangkan abu dasar adalah abu yang terbentuk dibawah tungku proses pembakarannya. Abu dasar batubara merupakan bahan buangan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga yang mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dan lebih berat dari pada abu layang. Pada satu proses pembakaran batubara dihasilkan abu layang sekitar 80% dan abu dasar sekitar 20% (Supriatna, 2003). Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, limbah abu layang yang dihasilkan dalam satu industri listrik mencapai 52,2 ton/hari dan limbah abu dasar mencapai 5,8 ton/hari. Kedua limbah ini biasanya hanya dibuang dilahan terbuka tanpa ada pemanfaatan lebih lanjut. Limbah abu ini dapat menimbulkan masalah lingkungan seperti polusi tanah dan air tanah. Jika abu layang dan abu dasar ini langsung dibuang ke lingkungan, maka lambat laun akan terbentuk gas metana (CH4) yang sewaktu-waktu dapat terbakar atau meledak dengan sendirinya (self burning dan self exploding). Selain itu jika limbah abu dibuang ditempat terbuka akan sangat berbahaya dan mempunyai dampak yang sangat merugikan terhadap kesehatan. Abu dari pembakaran batubara ini secara umum mengandung silikon dioksida (SiO2) dalam bentuk amorf dan kristalin. Debu silica ini jika masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Bila penyakit silicosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung (Eko, 2008). Selain itu, abu tersebut mengandung logam berat seperti nikel, vanadium, arsenic, cadmium, chromium, molybdenum, seng, selenium, uranium, radium dan lainnya. Unsur-unsur ini memang ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil, namun dengan melimpahnya jumlah abu yang dihasilkan, unsur-unsur tersebut akan mencapai batas yang cukup membahayakan. Unsur beracun menyebabkan penyakit kulit, gangguan pencernaan, paru- paru dan penyakit kanker otak. Abu layang dan abu dasar juga mengandung debu-debu alumia (Al2O3) dan oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4 ). Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain timbulnya hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian maupun efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu dipermukaan bumi dengan segala efek sampingannya yang disebabkan oleh gas-gas hasil pembakaran batubara. Hujan asam ini dapat menyebabkan korosif pada bangunan/gedung , tanah menjadi tandus dan gatal-gatal jika terkena kulit, sedangkan gasnya sendiri dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pernafasan (Eko, 2008). Karena abu layang dan abu dasar mengandung logam-logam yang berbahaya serta memiliki kandungan Si dan Al yang sangat membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan, maka abu layang maupun abu dasar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya dalam PP 85/1999. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara pengolahan atau pemanfaatan abu tersebut menjadi bahan yang tidak berbahaya dan bermanfaat. Abu dasar ini dapat dirubah menjadi zeolit. Zeolit mempunyai beragam kegunaan seperti katalis, adsorben logam berat, penukar kation, serta penyaring molekul (Smart, 1993). Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, abu layang telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar sintesis zeolit dan abu dasar masih sangat jarang dipakai sebagai bahan dasar untuk
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS sintesis zeolit. Rendahnya minat peneliti untuk memanfaatkan abu dasar dengan mengubahnya menjadi zeolit kemungkinan disebabkan oleh rendahnya kandungan SiO2 dan Al2O3 serta sisa karbon tak terbakar dalam abu dasar. Dengan dirubah menjadi zeolit maka kandungan Si dan Al dalam abu dasar tidak berbahaya lagi karena Si dan Al berubah menjadi alumino silikat dengan 4– 5– kerangka struktur tiga dimensi yang tersusun atas tetrahedral (SiO4) dan (AlO4) dalam kerangka zeolit. Selain itu zeolit sangat bermanfaat karena dapat digunakan sebagai katalis, pupuk maupun sebagai penyerap logam berat dalam limbah industri. Jenis zeolit telah berhasil disintesis dari abu layang batubara, diantaranya zeolit X dan A (Molina dan Poole, 2004), Na-P1 (Moreno dkk., 2001), zeolit A (Chang, dkk 2000; Moreno dkk., 2001), zeolit K-H (Mimura dkk., 2001), Phillipsite dan Hidrokso-sodalite (Fukui dkk., 2006), Analcime dan Chabazite (Querol dkk., 2002; Elliot dan Zhang, 2004), Cancrinite, Gismodine, dan Gmelinite (Elliot dan Zhang, 2004). Sintesis zeolit dari bahan dasar abu batubara dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu (i) secara ekstraksi, (ii) hidrotermal secara langsung dan (iii) peleburan diikuti dengan kristalisasi hidrotermal. Pada metode ekstraksi, silika dan alumina yang terkandung dalam abu diekstrak hingga larut dalam air. Kemudian ekstrak silika dan alumina tersebut digunakan sebagai bahan dasar untuk sintesis zeolit (Querol, 2002). Pada metode hidrotermal secara langsung, abu dicampur dengan larutan basa alkali disertai pengadukan pada suhu tertentu. Perlakuan ini bertujuan melarutkan Si dan Al yang terkandung dalam abu (Chang dan Shih (2000) . Sedangkan metode yang ketiga yaitu metode peleburan diikuti dengan kristalisasi hidrotermal yaitu abu ditambahkan dengan basa NaOH untuk merubah silika dan alumina dalam abu membentuk produk garam silikat dan aluminat. Dari ketiga metode tersebut, metode yang menghasilkan zeolit dengan nilai KTK tertinggi adalah metode terakhir yaitu metode peleburan diikuti dengan kristalisasi hidrotermal, sehingga metode ini akan digunakan selanjutnya dalam penelitian ini. Disisi lain, dalam era yang semakin modern ini, pertumbuhan dalam bidang industri sangatlah pesat. Namun, tumbuh pesatnya industri ini juga berarti makin banyak limbah yang dikeluarkan dan mengakibatkan permasalahan yang kompleks bagi lingkungan. Limbah yang sangat berbahaya dan memiliki daya racun tinggi umumnya berasal dari buangan industri, terutama industri kimia, termasuk industri pelapisan logam. Salah satu diantaranya adalah limbah logam berat yang tergolong limbah B3 yang sangat membahayakan lingkungan sekitarnya karena bersifat toksik bagi hewan dan manusia. Salah satu contoh industri yang banyak menghasilkan logam berat adalah industri pelapisan logam. Menurut penelitian Sirianuntapiboon (2008), kandungan logam yang terdapat dalam limbah + pelapisan logam yaitu Cu 27 mg/l, NO2 0,03 mg/l; NH4 4,4 mg/l dengan range pH 12,5. Sciban M (2006) juga melaporkan tentang kandungan logam berat dalam limbah pelapisan logam antara lain Cu 18,9 mg/l; Zn 76,3 mg/l; Cd 8,52 mg/l dan range pH 7,89. Heidmann (2008) dan Sze,K.F (1996) juga melaporkan kandungan logam Cu dalam limbah pelapisan logam mencapai masing-masing 250 mg/l dan 30 mg/l. Dari data tersebut terlihat bahwa logam Cu(II) hampir selalu terkandung didalam limbah industri pelapisan logam dan konsentrasi logam Cu(II) yang terkandung dalam limbah industri pelapisan logam cukup tinggi. Disisi lain logam Cu(II) berbahaya bagi kesehatan manusia maupun bagi lingkungan. Logam Cu(II) ini bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan di atas 0,1 mg/l, sedangkan konsentrasi yang aman bagi air minum manusia tidak lebih dari 1 mg/l. Oleh karena itu, logam Cu(II) menjadi masalah dan harus dihilangkan pada setiap limbah yang ada baik dari limbah pelapisan logam maupun dari limbah industri lainnya. Pada penelitian ini, abu dasar dirubah menjadi zeolit yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan adsorben untuk menyerap logam Cu(II). Dengan dirubah menjadi zeolit maka abu dasar tidak berbahaya lagi karena kandungan Si dan Al sudah berikatan membentuk struktur zeolit. Selain itu zeolit sangat bermanfaat karena dapat digunakan sebagai katalis, pupuk maupun sebagai penyerap logam berat dalam limbah industri. Kemampuan penyerapan zeolit terhadap logam tembaga akan dibandingkan dengan menggunakan abu dasar murni.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 2. Metodologi Alat Dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi peralatan yang digunakan untuk pembuatan zeolit dari abu dasar seperti krusibel stainles steel, reaktor hidrotermal (autoclave stainless steel), muffle furnace, pengaduk magnetik, neraca analitis dan beberapa alat gelas. Peralatan instrumen untuk karakterisasi bahan adsorben dan hasil sintesis meliputi XRD, ICP-AES dan SEM, serta peralatan untuk pengujian kapasitas adsorpsi meliputi peralatan gelas, hot plate stirer, termometer, pH meter, stopwatch, kertas saring dan spektroskopi serapan atom (AAS). Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan yang digunakan untuk pembuatan zeolit dari abu dasar seperti abu dasar batubara dari PT. IPMOMI di Probolinggo Jawa Timur, pelet NaOH, aqua DM dan serbuk NaAlO2. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengujian kapasitas adsorpsi meliputi Cu(NO3)2.3H2O, aqua DM, H2SO4, HCl, HNO3 dan HNO3 encer (1:499). Prosedur Kerja Penyiapan Adsorben Abu Dasar Abu dasar dalam cawan porselen dipanaskan pada suhu 105ºC dalam oven listrik selama 12 jam, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya abu dasar dihaluskan dan diayak dengan ukuran 20 mesh kemudian digunakan sebagai adsorben. Sintesis Zeolit A dari Abu Dasar Pada penelitian ini, zeolit A disintesis dari abu dasar menggunakan metode peleburan diikuti kristalisasi hidrotermal (Yanti, 2009). Pertama, dilakukan penghilangan kandungan air dalam abu dasar. Abu dasar batubara ditaruh didalam cawan porselen dan dipanaskan pada suhu 105ºC dalam oven listrik selama 12 jam dan didinginkan dalam desikator. Abu dasar dihaluskan dan diayak dengan ukuran 60 mesh. Kemudian abu dasar dicampur dengan NaOH halus dengan perbandingan massa NaOH/abu dasar = 1,2 ke dalam stainles steel krusibel hingga rata dan didiamkan selama 30 menit. Campuran kemudian dipanaskan pada suhu 750ºC selama 1 jam dalam muffle furnace. Setelah peleburan, campuran didinginkan, digerus dan dibuat suspensi dengan penambahan 12 air deionisasi mL/g, campuran hasil peleburan diikuti oleh pengadukan dengan laju sekitar 600 rpm dan pemeraman (aging) selama 2 jam dalam botol polietilen pada suhu kamar. Selanjutnya campuran yang telah diperam tersebut disaring dan diambil supernatannya sebagai larutan sumber Si dan Al. Kandungan Si, Al dan Na terlarut pada supernatan tersebut dianalisa dengan ICP-AES. Residu dicuci dengan aquades sampai pH 9. Supernatan yang telah diketahui kandungan Si, Al dan Na-nya selanjutnya dibuat slurry berkomposisi molar relatif 3,165 Na2O : Al2O3 : 1,926 SiO2 : 128 H2O dengan penambahan larutan NaAl O-NaOH sebagai sumber Al untuk mengatur rasio molar Si/Al yang sesuai untuk sintesis 2
zeolit A. Campuran (slurry) dan residu dimasukkan dalam autoklaf stainless steel yang tertutup rapat untuk kristalisasi hidrotermal pada suhu 100°C selama 12 jam. Setelah perlakuan hidrotermal, padatan hasil kristalisasi dipisahkan dari filtratnya, dicuci dengan air destilat sampai pH 9-10 dan dikeringkan pada suhu 105°C selama 24 jam kemudian ditimbang. Zeolit A hasil sintesis dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD). Selanjutnya zeolit hasil sintesis ini digunakan sebagai adsorben untuk logam Cu(II). Studi Adsorpsi 2+ Pembuatan Larutan Stok Ion Cu 1000 mg/l Senyawa Cu(NO3)2.3H2O ditimbang sebanyak 3,8120 gram dan dimasukkan ke dalam beker gelas, ditambahkan aqua DM sebanyak 100 ml dan diaduk. Kemudian larutan ini
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS dipindahkan ke dalam labu ukur 1000 ml dan diencerkan sampai tanda batas menggunakan aqua 2+ DM dan diperoleh larutan Cu 1000 mg/l. Penentuan Waktu Setimbang Untuk menentukan waktu setimbang dilakukan prosedur percobaan sebagai berikut. Pertama, erlenmeyer disiapkan beberapa buah dan dimasukkan 100 ml larutan ion logam Cu(II) dengan konsentrasi 50 mg/l. Kedalam masing-masing larutan dimasukkan adsorben abu dasar sebanyak 0,5 g. Larutan diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm dengan waktu yang 0 divariasi dari 45menit hingga dicapai waktu setimbang dan pada suhu ruang (27 C). Larutan disaring sampai jernih. Filtrat dibuat menjadi pH 3 dengan penambahan HNO3 2% agar tidak terjadi pengendapan. Konsentrasi ion logam Cu(II) yang tidak teradsorp diukur dengan alat Spektroskopi Serapan Atom menggunakan metode pengukuran secara langsung (ASTM D 1688). Percobaan ini dilakukan juga dengan adsorben zeolit A hasil sintesis dari abu dasar. Variasi Konsentrasi Awal Adsorben sebanyak 0,5g ditambahkan kedalam larutan ion logam Cu(II) sebanyak 100ml dengan konsentrasi yang divariasi (1,5 mg/l; 5mg/l; 10mg/l; 15mg/l; 20mg/l, 25mg/l; 30mg/l; 35mg/l; 40mg/l; 45mg/l dan 50mg/l). Larutan diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm selama 6 jam 0 pada suhu ruang (27 C). Larutan disaring sampai jernih. Filtrat dibuat menjadi pH 3 dengan penambahan HNO3 2% agar tidak terjadi pengendapan. Konsentrasi ion logam Cu(II) yang tidak teradsorp diukur dengan alat Spektroskopi Serapan Atom menggunakan metode pengukuran secara langsung (ASTM D 1688). Percobaan ini dilakukan juga dengan adsorben zeolit A hasil sintesis dari abu dasar. Penentuan pH Optimum Untuk menentukan pH optimum larutan terhadap proses adsorpsi ion logam Cu(II), maka percobaan dilakukan dengan menambahkan adsorben sebanyak 0,5 g ke dalam 100 ml larutan ion logam Cu(II) dengan konsentrasi 50 mg/l. pH awal larutan divariasi dengan range pH 4-10 dan dilakukan pengadukan. Pengaturan pH ini dengan penambahan HNO3 2% dan NaOH 1 M. Larutan diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm selama 6 jam pada suhu ruang (27oC). Larutan disaring sampai jernih. Filtrat dibuat menjadi pH 3 dengan penambahan HNO3 2% agar tidak terjadi pengendapan. Kemudian konsentrasi ion logam Cu(II) yang tidak teradsorp diukur dengan alat Spektroskopi Serapan Atom menggunakan metode pengukuran secara langsung (ASTM D 1688). Percobaan ini dilakukan juga dengan adsorben zeolit A hasil sintesis dari abu dasar. Variasi Suhu o o Pada penelitian ini suhu divariasikan pada 35 C dan 45 C untuk adsorpsi ion logam Cu(II). Percobaan dilakukan dengan menambahkan adsorben sebanyak 0,5 gr kedalam larutan ion logam Cu(II) sebanyak 100ml dengan konsentrasi (1,5 mg/l; 5mg/l; 10mg/l; 15mg/l; 20mg/l, 25mg/l; 30mg/l; 35mg/l; 40mg/l; 45mg/l dan 50mg/l). Larutan diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 0 rpm selama 6 jam pada suhu ruang (27 C). Larutan disaring sampai jernih. Filtrat dibuat menjadi pH 3 dengan penambahan HNO3 2% agar tidak terjadi pengendapan. Konsentrasi ion logam Cu(II) yang tidak teradsorp diukur dengan alat Spektroskopi Serapan Atom menggunakan metode pengukuran secara langsung (ASTM D 1688). Percobaan ini dilakukan juga dengan adsorben zeolit A hasil sintesis dari abu dasar. Analisis Morfologi dengan SEM Abu dasar dan zeolit A sesudah digunakan proses adsorpsi dikeringkan terlebih dahulu pada suhu ruang kemudian mikrograf diambil dengan SEM JSM-6360 LA, dimana sampel dilapisi dengan lapisan tipis gold paladium menggunakan mesin ion sputter pada voltase 20 kv.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengolahan Data Kapasitas dan Efisiensi Penghilangan Banyaknya kontaminan yang diserap dari larutan dinyatakan sebagai kapasitas penghilangan ion logam Cu(II) tiap unit berat dari zeolit A atau abu dasar yaitu ( C o − C e )V q = m (1) Dimana, Co adalah konsentrasi awal logam Cu(II) (mg/L), Ce konsentrasi kesetimbangan logam Cu(II) (mg/L), V adalah jumlah volume (L) dan m adalah massa zeolit atau abu dasar (g). Efisiensi penghilangan logam Cu(II) dari larutan secara berturut-turut kemudian dihitung dari: EfisiensiP enghilanga n
(% ) =
(C o
− Ce ) x100 % Co
(2)
Analisa Data Kinetik Lima model kinetik digunakan dalam mengamati proses adsorpsi kontaminan kedalam adsorben yaitu orde 1 semu, orde dua semu, Bangham, model difusi intra-partikel dan Elovich. Data diproses dan dicocokkan dengan persamaan kinetik. Pertama, orde satu semu adalah persamaan yang biasa digunakan untuk menggambarkan adsorpsi dan ditentukan dengan persamaan berikut:
dq t = k f (q e − q t ) dt
(3) qt (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang diserap pada waktu t (min), qe (mg/g) adalah kapasitas -1 -1 adsorpsi kesetimbangan (mg/g), dan kf (min ) adalah konstanta laju model orde satu semu(min ). Persamaan dapat diintegrasi dengan memakai kondisi-kondisi batas qt = 0 pada t = 0 dan qt=qt pada t=t, persamaan menjadi:
ln( q e − q t ) = ln q e − k 1 t
(4)
Model orde dua semu dapat dinyatakan dalam bentuk
dq t = k s (q e − q t ) 2 dt
(5) dimana ks adalah konstanta laju model orde dua semu (dalam g/(mg min)). Setelah integrasi dan penggunaan kondisi-kondisi batas qt=0 pada t =0 dan qt=qt pada t=t, persamaan linier dapat diperoleh sebagai berikut
t 1 1 = + t 2 qt qe ksqe
(6) Laju penyerapan awal, h (mg/g min) sedangkan t t → 0 dapat didefinisikan sebagai berikut
h = ksqe
2
(7) Laju adsorpsi awal (h), kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) dan konstanta orde dua semu ks dapat ditentukan secara eksperimen dari slope dan intersep plot dari t/qt versus t. Persamaan Bangham digunakan untuk mempelajari tahap waktu terjadinya sistem adsorpsi dan persamaannya digambarkan sebagai berikut Co kom log log = log + α log t C − q m 2 . 303 V t o (8) Co adalah konsentrasi awal adsorbat dalam larutan (mg/L), V adalah volume larutan (mL), m adalah berat adsorben per liter larutan (g/L), qt (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang tertinggal pada waktu t, dan α (<1) dan ko adalah tetap/konstan. Studi difusi intra partikel juga digunakan dalam studi kinetik ini. Rumus model intra-partikel dinyatakan sebagai berikut
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
q t = k id t 1 / 2 + C
(9) 1/2 dimana kid adalah konstanta laju difusi intra-partikel. Sebuah plot qt versus t akan didapatkan garis lurus dengan slope kid dan intersep C ketika mekanisme adsorpsi mengikuti proses difusi intra-partikel. Nilai intersep menandakan tentang ketebalan dari batas lapisan, yaitu luas intersep terbesar adalah efek batas lapisan. Persamaan Elovich berasumsi bahwa permukaan padat sesungguhnya adalah sepenuhnya heterogen. Persamaan Elovich dapat dinyatakan sebagai
dq dt
t
= αe
− βqt
(10) Integrasi persamaan diatas dan penggunaan kondisi awal qt = 0 pada t = 0 dan qt=qt, akan kita peroleh model Elovich
q t = (1 / β ) ln( αβ ) + (1 / β ) ln t
(11)
α adalah laju adsorpsi awal (mg/(g min)) dan parameter β berhubungan dengan luas perrmukaan yang tertutup dan energi aktivasi(g/mg). Analisa Data Isoterm Isoterm adsorpsi terkarakterisasi oleh nilai konstanta tertentu yang menggambarkan karakteristik permukaan, afinitas dari adsorben dan kapasitas adsorpsi dari adsorben. Untuk menggambarkan kesetimbangan adsorpsi, persamaan isoterm yang bermacam-macam telah digunakan seperti Langmuir, Freundlich dan model Tempkin. Model isoterm adsorpsi Langmuir mengasumsikan bahwa penyerapan mengambil pada tempat spesifik yang homogen dalam adsorben dan distribusi yang seragam dari tempat adsorpsi energetik. Akibatnya, sekali molekul adsorbat menempati tempat, tidak ada lagi penyerapan yang dapat terjadi pada tempat tersebut. Oleh karena itu, model Langmuir valid untuk adsorpsi monolayer pada permukaan dengan jumlah terbatas pada tempat yang sama. Parameter Langmuir ditentukan dengan rumus berikut
q =
q max KC e 1 + KC e
(12) qmax (mg/L) dan K (L/mg) adalah kapasitas monolayer yang dicapai pada konsentrasi tinggi dan konstanta kesetimbangan, berturut-turut. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q menunjukkan jumlah yang diserap pada kesetimbangan (mg/g).
Ce 1 1 = + Ce q Kq max q max
(13) Selanjutnya model Freundlich menganggap permukaan heterogen dengan distribusi panas adsorpsi yang tidak seragam pada permukaan. Parameter Freundlich ditentukan dengan rumus 1
q = K FCen
(14) KF dan 1/n menunjukkan faktor kapasitas Freundlich dan parameter intensitas Freundlich, berturutturut. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q menunjukkan jumlah yang diserap pada kesetimbangan (mg/g). 1 log q = log K F + log C e n (15) Model isoterm Tempkin menjelaskan tentang interaksi antara adsorben dengan adsorbatnya. Model ini menganggap adsorpsi pada semua molekul pada permukaan akan menurun linier dengan jumlah interaksi antara adsorbat dan adsorben dan adsorpsinya dikarakterisasi dengan energi sampai energinya maksimun. Parameter Tempkin ditentukan dengan rumus RT qe = ln( K t C e ) b (16) Model liniernya yaitu
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
q e = B 1 ln K
+ B 1 ln C e
(17) RT B1 = b dimana (18) A adalah plot dari qe versus ln Ce yang digunakan untuk menentukan konstanta isotherm Kt dan B1. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q mewakili jumlah kesetimbangan adsorpsi (mg/g). Kt adalah konstanta kesetimbangan (L/mol) yang cocok digunakan untuk energi ikatan maksimum dan konstanta B1 berhubungan dengan bagian adsorpsi (Widiastuti,2009). 3.
t
Hasil Dan Pembahasan
Sintesis Zeolit A dari Abu Dasar Tahap Peleburan Prinsip metode peleburan ini adalah mereaksikan bahan dasar dengan basa alkali. Pada penelitian ini basa alkali yang digunakan adalah NaOH. Pada metode ini, abu dasar direaksikan 0 dengan NaOH dan dilebur pada suhu yang tinggi yaitu 750 C dalam stainles steel krusibel selama 1 jam. Hal ini bertujuan untuk merubah silika dan alumina dalam abu membentuk produk garam silikat dan aluminat. Garam yang terbentuk ini mempunyai sifat mudah larut dalam air. Dengan melarutnya garam-garam tersebut dalam air, maka akan diperoleh Si dan Al terlarutnya sebagai bahan untuk sintesis zeolit. Menurut Ojha dkk (2004), reaksi yang terjadi selama proses peleburan antara komponen abu layang SiO2 dan Al2O3 dengan NaOH adalah sebagai berikut; 2NaOH(s) + Al2O3(s) 2NaAlO2(s) + H2O(g) 2NaOH(s) + SiO2(s) Na2SiO3(s) + H2O(g) 10NaOH(s) + 2SiO2.3Al2O3(s) 2Na2SiO3(s) + 6NaAlO2(s) + 2O(g)
Hasil yang didapatkan dari peleburan ini adalah produk yang disebut massa peleburan. Massa peleburan yang didapatkan pada penelitian ini berupa padatan berwarna cokelat keabuabuan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. (a). Abu Dasar Murni, (b). Abu Dasar Setelah Proses Peleburan dan (c). Zeolit A Perubahan warna ini menunjukkan bahwa komponen abu dasar dengan NaOH telah mengalami reaksi peleburan dan telah berubah menjadi garam alkali. Mekanisme peleburan antara NaOH dengan abu dasar hampir sama dengan yang terjadi pada peleburan antara NaOH dengan abu layang seperti yang dipaparkan oleh Irani (2009) sesuai Gambar 2, Gambar 2 (a) menunjukkan tahap penyerangan awal terhadap permukaan abu layang . Penyerangan alkali terhadap abu layang ini yaitu dengan merusak rantai silika dan alumina pada permukaan abu layang. Peningkatan konsentrasi larutan alkali yang menyerang abu ini menyebabkan kerusakan rantai silika dan alumina semakin meningkat sehingga perluasan lubang pada permukaan semakin besar (Irani,2009). Gambar 2 (b) menunjukkan bahwa penyerangan alkali terhadap abu menyebabkan partikel- partikel yang terdapat didalam abu keluar sedangkan larutan alkali akan masuk ke dalam
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA abu layang kemudian gugus gugus-gugus gugus yang aktif yang terdapat didalam silika dan alumina akan bereaksi dengan larutan NaOH membentuk produk produk-produk produk silika dan aluminat. Produk reaksi yang dihasilkan akan memenuhi lapisan abu layang baik didalam maupun diluar permukaannya, hingga hampir semua partikel abu layang yang terkonsumsi itu bereaksi dengan NaOH seperti yang terlihat pada Gambar 2 (c) Gambar 2 (c) menunjukkan mekanisme yang terlibat dalam tahap ini adalah tahap pelarutan dimana alkali akan menembus dan kontak dengan partikel-partikel partikel yang terdapat didalam lapisan abu layang, seperti Gambar 2 (d).
Gambar 2. Diagram modifikasi abu layang oleh larutan alkali (Irani,2009). Gambar (d) merupakan salah satu akibat dari produk reaksi yang terb terbentuk yang berupa endapan pejal akan menutupi permukaan abu layang. Endapan seperti kerak ini menyebabkan permukaan abu layang menjadi kasar seperti yang Gambar (e). Gambar 2 (e) menunjukkan proses yang terjadi sepenuhnya seragam atau sama melainkan bervariasi, bervariasi, tergantung dari distribusi ukuran partikel dan kondisi reaksi kimia seperti pH. Perbedaan morfologi dari abu layang hasil modifikasi meliputi morfologi partikel abu layang yang tidak bereaksi, partikel abu layang yang terserang larutan alkali, produk produ reaksi dan lain- lain (Irani, 2009). Menurut Irani (2009), abu yang sudah dilebur dengan NaOH strukturnya akan berbentuk kasar. Hal ini sesuai pada Gambar 3 tentang morfologi abu dasar sesudah dilebur dengan NaOH
Gambar 3 Abu dasar (a). murni dan (b). setelah peleburan dengan NaOH (Yanti,2009). Pelarutan Si dan Al Pelarutan Si dan Al dilakukan pada massa peleburan yang telah didapatkan. Proses pelarutan massa peleburan campuran NaOH dengan abu dasar dan aqua DM ditunjukkan pada persamaan reaksi yang berikut; Na2SiO3(s) + H2O(l )
Na2SiO3(aq)
NaAlO2(s) + 2H2O(l)
NaAl(OH)4(aq)
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Campuran hasil pelarutan Si dan Al kemudian difiltrasi menggunakan kertas saring whatman dan corong buchner dengan bantuan pompa vakum. Filtrat yang telah terpisah dari endapannya diambil sebagian untuk dianalisis konsentrasi Si, Al dan Na terlarutnya menggunakan metode Atomic Emission Spectrometry (ICP AES). Data ini nantinya akan digunakan untuk mengatur komposisi molar antara Si dan Al sebesar 1,926 untuk didapatkan zeolit A. Hasil analisis menggunakan ICP AES ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 1. Data konsentrasi Si, Al dan Na terlarut Konsentrasi Filtrat (ppm) No Si Al Na 1 5835,4 271,0 25053,3 Proses Kritalisasi Hidrotermal Gel untuk kristalisasi zeolit A dipreparasi dari filtrat hasil pelarutan Si dan Al yang telah diketahui komposisi mol Si, Al dan Na nya dan dicampur dengan larutan NaAlO2-NaOH sebagai sumber Al tambahannya. Preparasi gel untuk sintesis zeolit A pada penelitian ini diatur pada rasio molar gel SiO2/Al2O3 1,926 dimana rasio molar 1,926 merupakan kondisi yang sesuai untuk sintesis zeolit A, sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Robson (2001). Untuk pembuatan gel, larutan natrium aluminat (NaAlO2) ditambahkan pada ekstrak leburan abu. Gel yang telah dipreparasi selanjutnya dikristalisasi menjadi kristal aluminosilikat (zeolit A) secara hidrotermal dalam autoklaf stainles steel. Kristalisasi ini juga menggunakan endapan hasil pelarutan Si dan Al agar didapatkan zeolit dalam jumlah yang banyak. Kristalisasi pada penelitian ini dilakukan pada 100°C selama 12 jam (Yanti,2009). Oleh Ojha dkk. (2004), proses kristalisasi yang berlangsung dapat ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut. NaOH(aq)+NaAl(OH)4(aq)+Na2SiO3(aq)Suhu Kamar o [Nax(AlO2)y (SiO2)z.NaOH.H2O](gel)Suhu 373,3 C Nap[(AlO2)p(SiO2)q]. h H2O (Kristal dalam suspensi) Zeolit hasil sintesis pada penelitian ini dianalisa menggunakan XRD seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil ini menunjukkan hasil yang sama dengan peneliitan Yanti (2009). Hampir semua puncak-puncak yang muncul pada pola XRD merupakan puncak-puncak karakteristik zeolit A, walaupun ada puncak zeolit Hidroksi-sodalit yang muncul pada 2θ = 13,9, Zeolit A ini juga dianalisis menggunakan SEM untuk megetahui gambar morfologinya dan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Difraktogram sinar-X dari Zeolit A hasil sintesis dari abu dasar batubara PT IPMOMI Paiton dengan data PDF no 39-0222
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA
A
Gambar 5. Mikrograf SEM hasil sintesis zeolit A dengan perbesaran 1.000x dan 10.000x (suhu 100 ºC selama 12 jam hidrotermal) hidroterm (Yanti,2009). Selanjutnya adalah tahap pengujian zeolit hasil sintesis terhadap kemampuan adsorpsi ion logam ogam Cu(II). Kemampuan zeolit A untuk mengadsorpsi ion logam Cu(II) ini dibandingkan dengan abu dasar. Hal ini bertujuan untuk melihat kapasitas adsorpsi menggunakan abu dasar murni apakah hasilnya lebih baik daripada menggunakan zeolit A. Untuk melihat kapasitas k adsorpsinya maka penelitian ini dilakukan beberapa variasi yaitu variasi waktu, konsentrasi awal, pH dan suhu. Penentuan Waktu Setimbang Variasi waktu kontak dilakukan untuk menentukan waktu setimbang dari adsorpsi. Waktu setimbang ini merupakan n kondisi maksimum adsorben untuk menyerap ion logam Cu(II). Hasil variasi waktu kontak antara ion logam Cu(II) dan adsorben, yaitu zeolit A dan abu dasar ditunjukkan pada Gambar 6. Kapasitas penyerapan adsorben meningkat tajam pada menit menit--menit awal dan setelah mencapai waktu kesetimbangan akan mencapai keadaan konstan. H Hal al ini karena pada awalnya banyak sisi adsorben yang kosong, kosong sehingga kecendurangan larutan untuk terserap ke adsorben semakin tinggi. Dengan engan bertambahnya waktu kontak kontak,, jumlah adsorbat yang ya terserap pada permukaan adsorben semakin meningkat hingga tercapai titik setimbang. Pada saat mencapai titik kesetimbangan, permukaan adsorben telah penuh tertutupi oleh logam yang diserap dan adsorben mengalami titik jenuh sehingga adsorben tidak dapat dapat menyerap logam lagi. 8 7 qt (mg/g)
6 5 4
abu dasar
zeolit
3 2 1 0 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
waktu (menit)
Gambar 6.. Hubungan waktu kontak (menit) dengan kapasitas adsorpsi (q qt) (mg/g) dengan jumlah 0 adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, konsentrasi awal 50 mg/l, suhu 27 C dan pH 6 Dari grafik diatas terlihat bahwa kapasitas penyerapan penyerap ion logam Cu(II) Cu oleh Zeolit A hasilnya tidak terlalu jauh berbeda dengan menggunakan abu dasar,, hal ini dikarenakan dalam abu dasar terdapat beberapa komponen seperti silika, alumina, alumina kalsium dan besi yang berperan juga dalam proses adsorpsi (Lim Lim et al, 1997). Sook shim et al (2003) juga membenarkan bahwa abu dasar dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam dalam larutan karena dalam abu dasar terkandung beberapa komponen dalam bentuk oksida yang relatif besar. Bentuk oksida ini antara lain SiO2, Al2O3, CaO dan Fe2O3. Jumlah komponen ini mencapai 90,79% dalam abu
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS dasar yang digunakan dalam penelitian ini dengan komponen yang terbesar yaitu Fe2O3 sebanyak 33,59%; SiO2 sebanyak 24,1%; CaO sebanyak 26,3% dan Al2O3 sebanyak 6,8% (Yanti, 2009). Banyaknya komponen inilah yang menyebabkan abu dasar dapat menyerap ion logam Cu(II) secara maksimal dan hampir mendekati kapasitas penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A. Mekanisme penghilangan logam menggunakan abu dasar termasuk dalam jenis adsorpsi dan reaksi pengendapan (Sook Shim et al, 2003). Secara umum, antara adsorpsi dan proses pengendapan melibatkan antara ikatan logam dengan permukaan fasa padat. Hal ini sangat sulit membedakan antara adsorpsi logam dan pengendapan logam. Lim et al (1997) menjelaskan bahwa logam berat dapat teradsorpsi kuat dalam permukaan abu dasar mengikuti persamaan sebagai berikut: +
Fe-OH + M2+ + H2O Fe-O-MOH + 2H
Berbeda halnya dengan abu dasar, mekanisme penghilangan logam menggunakan zeolit termasuk reaksi pertukaran ion. Zeolit mempunyai pori dan berongga serta memiliki ikatan yang lemah dengan kation lain, sehingga jika zeolit ini dikontakkan dengan logam maka bisa terjadi pertukaran ion. Zeolit ini dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam dalam 4+ larutan karena zeolit mempunyai muatan negatif akibat adanya perbedaan muatan antara Si 3+ dengan Al . Muatan negatif ini muncul karena atom Al yang bervalensi 3 harus mengikat 4 atom oksigen yang lebih elektronegatif dalam kerangka zeolit. Dengan adanya muatan negatif ini maka zeolit mampu mengikat kation dengan ikatan yang lemah seperti kation Na dan Ca. Karena lemahnya ikatan inilah maka zeolit bersifat sebagai penukar kation yaitu kation Na atau Ca akan tergantikan posisinya dengan ion logam Cu(II). Adsorpsi kation logam berat terjadi pada permukaan dengan grup hidroksil pada zeolit dan kombinasi muatan positif dari kation logam dan muatan negatif pada permukaan zeolit (Qiu,2008). Variasi Konsentrasi Awal Variasi konsentrasi awal ini dilakukan untuk mengetahui pola penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A dan abu dasar. Hasil dari penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. 3.5 3 qe (mg/g)
2.5 2 1.5 1 0.5
abu dasar
zeolit
0 -0.5 0
10
20
30
40
50
60
Co (mg/l)
Gambar 7. Hubungan konsentrasi awal (mg/l) dengan kapasitas adsorpsi, qe (mg/g) dengan 0 jumlah adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam, suhu 35 C dan pH 6 Kemampuan penyerapan ion logam Cu(II) meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion logam Cu(II). Hal ini karena meningkatnya konsentrasi awal ion logam Cu(II) akan memberikan daya dorong yang lebih besar, sehingga ion logam Cu(II) akan berpindah (migrasi) dari permukaan luar ke dalam pori-pori zeolit A yang berukuran mikro. Ion logam Cu(II) mampu bertukar kation tidak hanya pada permukaan luar zeolit tapi juga pada permukaan dalam zeolit. Kesetimbangan tercapai ketika semua pertukaran ion logam Cu(II) dan kation pada perrmukaan luar dan dalam zeolit A telah tercapai.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Hal yang terjadi pada zeolit juga terjadi dalam adsorben abu dasar. Semakin besar konsentrasi awal ion logam Cu(II) maka jumlah logam yang teradsorp juga semakin besar. Ini disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi yang diberikan akan memberikan daya dorong yang lebih besar terhadap logam untuk teradsorp dan pindah ke permukaan abu dasar. Variasi pH Variasi pH ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pH yang optimum untuk penyerapan ion logam Cu(II). Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8 menunjukkan pengaruh pH terhadap kapasitas penyerapan ion logam Cu(II). Dari Gambar 8 dapat diketahui bahwa penyerapan ion logam Cu(II) maksimal pada abu dasar terjadi pada pH 9 dengan persen teradsorp mencapai 90,47% dan pada zeolit A terjadi pada pH 8 hingga mencapai 83,35%. Secara umum besarnya logam yang teradsorp akan naik pada pH lebih besar dari 6. Pada pH yang rendah dan bersifat + + asam akan menyebabkan konsentrasi ion H akan naik dan akan terjadi kompetisi antara ion H dan ion logam untuk bertukar tempat dengan kation lain pada adsorben zeolit (Chunfeng,2009). + Adanya kompetisi antara ion H dengan ion logam ini dapat menyebabkan rusaknya struktur zeolit karena adanya kompetisi pertukaran ion sehingga menyebabkan penurunan kapasitas adsorpsi terhadap ion logam (Chunfeng,2009). 10 9 qe (mg/g)
8 7 6 5 4
abu dasar
zeolit
3 2 2
4
6
8
10
12
pH
Gambar 8. Hubungan pH dengan kapasitas adsorpsi, qe (mg/g) dengan jumlah adsorben 0,5 0 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam, suhu 27 C dan konsentrasi awal 50 mg/l Sedangkan pada pH yang tinggi dapat menyebabkan semakin banyaknya logam hidroksida yang mengendap dan mengurangi ion logam dari larutan (Chunfeng,2009). Pada pH yang tinggi + ini, kompetisi ion H sebagai kompetitor ion logam akan menurun karena larutan bersifat basa. + Dengan menurunnya ion H ini maka ion logam dapat teradsorp secara maksimal (Wang, 2008). Peneliti lain juga melaporkan bahwa penyerapan ion logam Cu(II) naik seiring dengan naiknya pH. + Hal ini dikarenakan pada pH rendah menyebabkan meningkatnya konsentrasi ion H sehingga + terjadi kompetisi antara ion logam Cu(II) dengan ion H yang terikat pada abu dasar maupun zeolit (Hui et al, 2005). Berbeda halnya yang terjadi pada abu dasar, pada pH tinggi menyebabkan permukaan abu bermuatan negatif dan meningkatkan persen penghilangan logam. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3 yang memberikan alkalinitas dan menaikkan sistem pH. Sedangkan pada pH rendah menyebabkan permukaan abu bermuatan positif dan membentuk logam hidroksil. Variasi Suhu Variasi suhu ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap penyerapan ion logam Cu(II). Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu operasi maka semakin sedikit ion logam Cu(II) yang terserap oleh zeolit A dan abu dasar. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu operasi maka semakin tinggi pergerakan ion sehingga jumlah ion Cu(II) yang terserap oleh zeolit dan abu dasar semakin berkurang (Kundari, 2008).
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chunfeng (2009) yaitu pada adsorpsi fisik, adsorpsi semakin kecil dengan meningkatnya suhu. Hal ini dikarenakan dengan kenaikan suhu menyebabkan desorpsi semakin besar.
A
B Gambar 9. pengaruh konsentrasi konse awal dengan qe (mg/g) dalam keadaan suhu yang berbeda-beda. berbeda (a). Adsorben abu dasar, (b). Adsorben zeolit. Kondisi proses: jumlah adsorbent 0,5 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam dan pH 6. Kinetika Adsorpsi Dari data hasil variasi waktu maka dapat ditentukan ditentukan data model kinetika adsorpsinya. Hal ini akan sangat bermanfaat apabila adsorpsi ini diaplikasikan untuk sistem kolom dalam skala industri. Data kinetika dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 10. Nilaii parameter adsorpsi kinetik dari lima model dirangkum dalam Tabel 2. Dari data Gambar 10 dan Tabel 2 dapat diketahui bahwa adsorpsi ion logam Cu(II) menggunakan abu dasar dan zeolit A mengikuti model orde satu semu. Hal ini dapat disimpulkan jenis modelnya modeln sesuai dengan nilai R2 yang mendekati satu, dimana nilai R ini merupakan nilai koefisien korelasi dari grafik. Nilai R semakin mendekati satu memiliki data yang linier. Isoterm Adsorpsi Dari data hasil variasi konsentrasi maka dapat ditentukan data mo model del isoterm adsorpsinya. Hal ini untuk mengetahui model isoterm dan untuk mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi. Setelah mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi maka dapat diketahui ikatan yang terjadi. Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah a adsorben dsorben yang digunakan dapat diregenerasi ulang atau tidak. Data isoterm dalam penelitian ini dianalisis dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 11. Nilai parameter adsorpsi isoterm dari tiga model dirangkum dalam Tabel 3. Tabel 2.Ringkasan 2 dari ari perhitungan kinetika adsorpsi Orde satu semu 2 qe Adsorben kf (min R 1 ) (mg/g) Abu dasar 0,003 1,39 0,501 Zeolit A 0,009 2,927 0,887 Orde dua semu
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Adsorben
2
qe (mg/g)
R
Ks(g/(m g min)
Abu dasar
h (mg/g min) 0.2914
6,949
Zeolit A
0.298
7,3529
0.99 5 0.99 7
0.00603 4 0.00551 6
Adsorben Abu dasar Zeolit A Adsorben Abu dasar Zeolit A Adsorben Abu dasar Zeolit A
Bangham ko (mL/(g/L)) α 7,2498 0,159 5,947 0,215 Elovich α (mg/(g β min)) (g/mg) 70,974 1.773 9,452 1,285 Difusi intra partikel C Kid 5,020 0,048 5,024 0,070
2
R 0,623 0,784 R
2
0.630 0.785 2
R 0,45 0,623
Tabel 3. Ringkasan dari perhitungan isoterm adsorpsi Model isotherm Parameter Langmuir Adsorben Abu dasar Zeolit A
Suhu 350C
Adsorben
Suhu 0 25 C 0 35 C 0 45 C 0 25 C 0 35 C 0 45 C
Abu dasar Zeolit A
Adsorben Abu dasar Zeolit A
0
35 C
Suhu 0 35 C 0
35 C
K
R
2
0.1093
0,2424
0.1093 Freundlich K 0,049 0,0489 0,042 0,149 0,0799 0,029 Tempkin K
0.2424 1/n 1,4205 1,0419 0,8371 1,192 1,0845 1,3371
R 0,943 0,9353 0,945 0,947 0,955 0,939
B
R
0.8978
0.4537
0.7441
1.6588
0.5847
0.7452
2
2
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA
Gambar 12 Foto SEM (a) Abu dasar murni (Yanti, 2009) (b) Abu dasar setelah menyerap ion logam Cu(II)
a
b
c abu dasar
zeolit
Linear (abu dasar)
Linear (zeolit)
Gambar 11.. Kurva adsorpsi isoterm (a). Model Langmuir, (b). model Freundlich dan (c). model 0 Tempkin dengan suhu 35 C, dengan jumlah adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam dan pH 6
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA
a b
c
d
e Gambar 10. Analisa beberapa eberapa model kinetik, (a.) Model orde satu semu, (b.) Model orde dua semu, (c.) Model Bangham, (d.) difusi intra partikel dan (e) Model Elovich, Kondisi proses: jumlah adsorben 0,5 gram, konsentrasi awal 50mg/L, volume 100 ml, suhu 27°C , t= 6 jam dan pH 6 Dari data Gambar 11 dan Tabel 3 dapat diketahui bahwa adsorpsi ion logam Cu(II) menggunakan abu dasar maupun menggunakan zeolit A mengikuti model Freundlich. Hal ini dapat 2 disimpulkan jenis modelnya sesuai dengan nilai R yang mendekati satu, dimana nilai ni R ini merupakan nilai koefisien korelasi dari grafik. Nilai R semakin mendekati satu memiliki data yang linier. Hal ini berarti bahwa adsorpsi ion logam Cu(II) menggunakan abu dasar dan zeolit A termasuk jenis adsorpsi fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila ila gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian n permukaan lain dari adsorben (Khartikeyan, 2004).
ISBN 978-602-98130-0-5 978 SEMINAR NASIONAL KIMIA KIMI Surabaya, 23 2 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS FMIPA Ketika permukaan adsorben sudah tertutupi adsorbat, adsorbat tidak hanya terserap pada lapisan atas/tunggal pada permukaan adsorben adsorben,, tetapi juga pada lapisan kedua dan seterusnya hingga menghasilkan lapisan isan multi ((multilayer). Hal ini karena lemahnya ikatan fisika yang terjadi , sehingga jika terjadi peningkatan suhu dan konsentrasi adsorpsi adsorbat pada adsorben juga akan meningkat dengan membentuk lapisan pertama, kedua dan seterusnya menghasilkan lapisan lap multilayer seperti yang terlihat pada Gambar 12 dan Gambar 14. Gaya antar molekul adalah gaya tarik antara molekul-molekul molekul fluida dengan permukaan padat, sedangkan gaya intermolekular adalah gaya tarik antar molekul molekul-molekul fluida itu sendiri. Adsorpsii ini berlangsung cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer), ( dan dapat bereaksi balik (reversible reversible), karena energi yang dibutuhkan relatif rendah. Energi aktivasi untuk terjadinya adsorpsi fisika biasanya adalah tidak lebih dari 1 kkal/gr-mol, mol, sehingga sehingga gaya yang terjadi pada adsorpsi fisika termasuk lemah. Adsorpsi fisika dapat berlangsung di bawah temperatur kritis adsorbat yang relatif rendah sehingga panas adsorpsi yang dilepaskan juga rendah yaitu sekitar 5-10 5 kkal/gr-mol mol gas, lebih rendah dari panas adsorpsi kimia.
(a)
(c)
(b) (d) Gambar 14 Foto SEM (a) dan (b) zeolit A hasil sintesis (Yanti, 2009) serta (c) dan (d) Zeolit A setelah menyerap ion logam Cu(II)\ Cu(II) Dari gambar dan data model Freundlich dapat diketahui bahwa ion logam Cu(II) yang terikat pada permukaan zeolit A maupun abu dasar berikatan secara lemah karena adanya gaya Van Der Waals, ikatan ini sangat lemah sehingga bersifat reversible dan jika memutuskan me ikatan ini membutuhkan energi yang sangat rendah. Adsorben (abu dasar dan zeolit A) dapat diregenerasi ulang lagi karena sangat mudah memutuskan ikatan yang terjadi antara logam dengan adsorben. Dari gambar juga diketahui bahwa zeolit A maupun abu dasar yang sudah digunakan untuk menyerap logam permukaannya bersifat heterogen. Hal ini sesuai dengan asumsi Freundlich yaitu pada adsorpsi fisika akan terbentuk monolayer sehingga lapisan dipermukaan bersifat heterogen. Dengan mudahnya adsorben zeolit A dan abu dasar diregenerasi ulang akan memiliki kelebihan tersendiri dari segi ekonomi dan juga dari segi lingkungan karena akan mengurangi limbah adsorben hasil penyerapan logam.
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 4.
Kesimpulan Dari hasil dan diskusi yang dipaparkan dalam pembahasan diatas, maka pada pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu zeolit A yang disintesis dari abu dasar memiliki kapasitas adsorpsi terhadap ion logam Cu(II) hingga 8.335 mg/g dengan konsentrasi awal larutan ion logam Cu(II) 50 mg/l pada pH 8 selama 360 menit dan jumlah adsorben 0,5 gram. Hal yang menarik adalah abu dasar mampu mengadsorp ion logam Cu(II) hingga 9.047 mg/g dengan konsentrasi ion logam Cu(II) 50 mg/l pada pH 9 selama 360 menit dan jumlah adsorben 0,5 gram. Penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A maupun abu dasar ini dilakukan pada waktu setimbang yang sama yaitu selama 6 jam. Kapasitas penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A dan abu dasar akan naik dengan meningkatnya konsentrasi logam yang diserap dan dengan menurunnya suhu proses adsorpsi. Pada penentuan pH optimum diperoleh kondisi optimum penyerapan yaitu pH 8 untuk zeolit A dan pH 9 untuk abu dasar. Hasil pengolahan data untuk kinetika dan isoterm adsorpsi menunjukkan bahwa kinetika adsorpsi ion Cu(II) pada zeolit A dan abu dasar mengikuti model orde dua semu, sedangkan adsorpsi isoterm pada zeolit A dan abu dasar mengikuti model Freundlich.
Daftar Pustaka Chang , H.L. dan Shih, W.H., (2000) , “Synthesis of Zeolites A and X from Fly Ashes and Their IonExchange Behavior with Cobalt Ions” Ind. Eng. Chem. Res., 39, 4185-4191 Chunfeng, Wang, (2009), “Evaluation of Zeolites Synthesized from Fly Ash Potential Adsorbents for Wastewater Containing Heavy Metals”, Journal of Environmental Sciences, P.127-136 Eko, Aris,(2008),”Dampak Penggunaan Energi Batubara (PLTU), www.one.indoskripsi.com Elliot, A.D., Zhang, D.K., (2004), “Controlled Release Zeolite Fertilizers : A Value Added Product Produced from Fly Ash”, Curtin University of Technology,Australia Fukui, K., Nishimoto, T., Takiguchi, M., dan Yoshida H., (2006), “Effects of NaOH Concentration on Zeolite Synthesis from Fly Ash with a Hydrothermal Treatment Method”, Dept. Chemical Engineering,,Hiroshima University Heidmann, Ilona, Wolfgang Calmano, (2008),” Removal of Zn(II), Cu(II), Ni(II), Ag(I) and Cr(VI) present in aqueous solutions by aluminium electrocoagulation”, Journal of Hazardous Materials, P.934-941 Hui, K.S., Chao, C.Y.H., (2005), “Pure, Singgle Phase, Hight Crystalline, Chamfered-Edge Zeolit 4A Synthesized from Coal Fly Ash for Use a Builder in Detergent”, J. Hazardous Material B 137, 401-409 Irani, Khosna, (2009),” Modifikasi permukaan abu layang menggunakan NaOH dan aplikasinya untuk Geopolimer: Sifat fisik dan mekanik”, Tesis S2 Kimia FMIPA ITS, Surabaya Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M., (2004), Adsorption Dynamics and equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan. Indian J. Chem. Sci.,116, 2, pp. 119-127. Kementrian Lingkungan Hidup, (2006), ”Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya dan Beracun”, www.Lingkunganhidup.com Kundari, Noor Anis, Slamet W, (2008),”Tinjauan kesetimbangan adsorpsi tembaga dalam limbah pencuci PCB dengan zeolit”, Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir, Yogyakarta Lim, T.Y, Tay, J.H,Teh, C.I, (1997), “Sorption and speciation of heavy metals from incinerator fly ash in a marine clay”, Environmental Engineering 123, p.1108-1115 Mimura, H., Yokota, K., Akiba, K., dan Onodera, Y., (2001) “Alkali Hydrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion”, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38 (9), 766-772 Molina, A. dan Poole, C, (2004) “A Comparative Study Using Two Methods To Produce Zeolites from Fly Ash”, Minerals Engineering, 17, p. 167–173 Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M.,J., (2001), “Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash”, J. Env. Eng., hal. 994-1002
ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555564. Peraturan Pemerintah, (1999), Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang : Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, Presiden Republik Indonesia, Jakarta Qiu, Wei, (2008),”Removal of lead, copper, nickel, cobalt, and zinc from water by a cancrinite- type zeolite synthesized from fly ash”, Journal of Chemical Engineering Querol, X., Moreno, N., Umaña, J.C., Alastuey, A., Hernández, E., López-Soler, A., Plana, F, (2002) “Synthesis of Zeolites from Coal Fly Ash: An Overview” International Journal of Coal Geology, 50, p. 413–423. Sciban, Marina, Bogdanka, (2006), “Adsorption of Heavy Metals From Electroplating wastewater by Wood Sawdust”, Journal of Bioresource Technology, P.402-409 Sirianuntapiboon,Suntud, Kanidta Chairattanawan , Methinee Rarunroeng (2008),” Biological removal of cyanide compounds from electroplating wastewater (EPWW) by sequencing batch reactor (SBR) system”, Journal of Hazardous Materials, P.526-534 Smart, L., and Moore, E., (1993), Solid State Chemistry : An Introduction, Chapman & Hall University and Professional Division, London, p.183-208. Sook Shim, Young, et al, (2003), “The adsorption characteristics of heavy metals by various particle sized of MSWI bottom ash”, Journal of waste management, P.851-857 Supriatna, Uus, (2003), “Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)”, www.PTIndoramaSyntetics.com 2+ Sze,K.F, Y.J. Lu, P.K. Wong ,(1996),” Removal and recovery of copper ion (Cu ) from electroplating effluent by a bioreactor containing magnetite-immobilized cells of Pseudomonas putida 5X”, Journal of resources, conservation recycling, P.175-193 Wang, C.F., Li, J.S., wang, L.J., Sun, X.Y., (2008) “Influence of NaOH concentrations on synthesis of pure-form zeolite A from fly ash using two-stage method”, Journal of Hazardous Materials, 155, 58–64 Widiastuti, N., Wu, H.,Ang, M. & Zhang, D.-k, (2009),”Removal of ammonium from greywater using natural zeolite”, Desalination Yanti, Yuli (2009), “ Sintesis zeolit A dan Zeolit Karbon Aktif dari Abu Dasar PLTU Paiton denga Metode Peleburan” Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya