SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014
RPI 4 Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email :
[email protected] web : www.puskonser.or.id
RINGKASAN Indonesia memiliki potensi ekosistem mangrove dan hutan pantai yang tersebar pada lebih dari 17.000 pulau dengan garis pantai sepanjang ±80.000 km. Ekosistem ini terletak antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi siklus harian pasang-surut air laut. Pada ekosistem ini dapat dijumpai komunitas vegetasi yang menjadi penyusunnya, antara lain a) formasi pescaprae dengan keberadaan tumbuhan Ipomoea pescaprae, Spinifex littorius, Euphorbia atoto, Crinum asiaticum, dan Pandanus tectorius; dan b) formasi baringtonia dengan keberadaan tumbuhan Baringtonia asiatica, Terminalia catapa, Callophylum inophylum, dan Hibiscus tiliaceus. Apabila tanah di daerah pasang-surut berlumpur maka kawasan ini ditumbuhi mangrove (ekosistem mangrove) dengan vegetasi dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa, Xylocarpus, Lumnitzera, Aegiceras, dan Heritiera. Keberadaan komunitas vegetasi tersebut sebagian lengkap dan sebagian lagi hanya terdiri atas beberapa jenis, tergantung lokasi dan karakteristik habitatnya. Masing-masing ekosistem mangrove dan hutan pantai memiliki sifat dan ciri yang unik. Karakteristik yang terbangun dari ekosistem ini memberikan fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat besar artinya bagi kehidupan dan penghidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sebagai bagian sistem penyangga kehidupan, ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan ikanikan di perairan, penyaring intrusi air laut ke daratan, dan penjerap kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, habitat satwa liar dan tempat singgah burung migran; serta penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami. Sementara itu, fungsi ekonomis yang beragam menjadikan ekosistem ini menjadi tumpuan kehiduapan dan pendapatan masyarakat, antara lain penyedia kayu, obatobatan, bahan pangan, dan lahan pengembangan tambak/silvofishery. Bahkan, Keberadaan dan potensi produksi atau manfaat ekosistem pantai dan pesisir sering menjadi menjadi titik permulaan pengembangan wilayah suatu daerah. Saat ini, keberadaan ekosistem mangrove dan hutan pantai justeru semakin tertekan dan mengalami kerusakan. Berbagai perubahan yang mengarah negatif
Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ek osistem Pantai | v
tidak hanya dipengaruhi faktor alam seperti gelombang dan arus, pasang-surut, sedimentasi dan abrasi; melainkan pula dipengaruhi faktor manusia [sebagai dampak eksploitasi, kesalahan pengelolaan, dan pembangunan fisik suatu kawasan]. Beberapa kegiatan yang menjadi faktor perusak ekosistem mangrove dan pantai antara lain pembukaan dan konversi lahan, penebangan yang tidak terkendali, dan pencemaran lingkungan (berasal dari pemukiman, industri, pertambangan dan pertanian/perikanan).
Dampaknya tidak hanya berkurang luasan ekosistem ini,
tetapi juga menurunnya kualitas dan produktivitas bioekologis.
Tentunya,
masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada produktivitas ekosistem ini akan dirugikan. Laju kehilangan dan kerusakan ekosistem mangrove dan pantai tidak sebanding dengan proses dan upaya rehabilitasinya. Beberapa tapak bahkan sudah berubah bentuk atau berkurang kemampuannya untuk dikembalikan lagi ke fungsi semula. Upaya rehabilitasi ekosistem manrove dan pantai pun membutuhkan jenis, teknologi rehabilitasi dan pengelolaan yang lebih intensif.
Kondisi seperti ini
tentunya membutuhkan input pengetahuan dan teknologi dari berbagai disiplin ilmu dan aspek pengelolaan. Oleh sebab itu, data dan informasi ilmiah menjadi acuan untuk implementasi pengelolaan ekosistem mangrove dan hutan pantai secara tepat dan benar. Beberapa penelitian yang tergabung dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang membahas topik Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai telah dilakukan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan mencari solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan di lapangan. Rangkaian hasil penelitian dan kajian selama tahun 2010–2014 telah dikelompokkan dan disintesis sehingga menjadi petunjuk teknis pengelolaan ekosistem mangrove dan pantai, yakni a) informasi ilmiah terkait karakteristik dan proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, b) teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai berikut kelembagaannya, dan c) model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai dalam koridor kelestarian ekosistem tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam sintesis ini berdasarkan aspek substantif bioekologi, nilai penting dan manfaatnya; serta berdasarkan karakteristik dan tipologi kawasan (tapak umum dan tapak khusus). Uraian sintesis hasil penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan vi | S i n t e s i s R P I
Mangrove dan Ekosistem Pantai meliputi informasi peran mangrove dan ekosistem pantai (kondisi biodiversitas, jenis mangrove dan peran penjerapan polutan, serta peran dalam penjeratan sedimen terlarut); teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus (delta terdegradasi, areal terabrasi dan/atau pulau-pulau kecil); potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai (distribusi dan perubahan tutupannya, serta potensi sumber pangan dan jasa lingkungan); manfaat sosial ekonomi konservasi mangrove dan ekosistem pantai (valuasi nilai ekonomi dan model kemitraan pemanfaatan mangrove); dan model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. Hal-hal pokok hasil sintesis menunjukan bahwa tekanan dan ancaman yang merubah, mengurangi dan mendegradasi hutan mangrove dan ekosistem pantai semakin hari semakin parah. Keberadaannya saat ini semakin terkikis dan membutuhkan pengelolaan yang intensif. Pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai antarwilayah dan antartapak berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, pengelolaan ini harus didasarkan pada status kawasan, keberadaan dan sebarannya, potensi bioekologi, pemanfaatan, dan permasalahan yang terdapat pada ekosistem ini. Terdapatnya keterlibatan masyarakat dalam konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan hutan pantai pada beberapa wilayah di Indonesia menjadi faktor penting (utama) yang membutuhkan penguatan persepsi, motivasi, pengetahuan teknis, dan kerja sama dengan parapihak terkait. Selain itu, kebijakan dan kelembagaan menjadi faktor pendukung keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove dan hutan pantai. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove dan pantai bagi kehidupan dan penghidupan. Berdasarkan hal-hal tersebut, sintesis RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai ini dapat dijadikan acuan dalam menggali potensi dan permasalahan pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai di Indonesia lebih lanjut. Hasil sintesis ini juga dapat menjadi dasar bagi pembuatan plot penelitian dan pengembangan dalam pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai sesuai tapak, potensi dan tujuan pengelolaannya. Tentunya, pembangunan plot penelitian dan pengembangan ini harus melibatkan semua pihak terkait dalam bentuk kemitraan (kolaborasi) dan pembentukan kelembagaan yang efektif. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | vii
KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014 (Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai. Sampai akhir 2014, RPI tersebut telah menyelesaikan 66 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan penyediaan teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dengan sasaran tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi, informasi proses ekologis dan model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan oleh Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut disintesis untuk melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting berdasarkan output yang sudah direncanakan dalam RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif. Sintesis akhir RPI pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai yang berkelanjutan. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk metode penanaman untuk kondisi tapak ekstrim, metode penanaman pada pulau-pulau kecil, informasi teknis peran mangrove dalam menyerap polutan perairan, informasi teknis nilai dan manfaat mangrove dan ekosistem pantai, dan model allometrik mangrove. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai secara berkelanjutan.
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ……………………………..…………………..
iii
RINGKASAN ………………………………………………………………
v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………..…………..
ix
DAFTAR TABEL ….……………………………………………………….
x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
xvi
I.
PENDAHULUAN ..…………………………………………………….
1
1.1 Latar Belakang
1
……………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah
………………………………………………..
6
1.3 Tujuan dan Sasaran
……………………………………………….
7
1.4 Sistematika ………………………………………………………..
7
II. METODOLOGI
……………………………………………………….
2.1 Pendekatan dan Ruang Lingkup
………………………………….
2.2 Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana
9 9
………..………..
11
2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………..………………….
12
III. SINTESIS HASIL PENELITIAN ……………….…………………….
15
3.1 Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan
………………………………
15
3.2 Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai Pada Tapak Khusus ……………………………………………………..
127
3.3 Status Potensi dan Nilai Manfaat Mangrove dan Ekosistem Pantai ..
172
3.4 Manfaat Sosial Ekonomi Konservasi Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai …………………………………………………..
259
3.5 Model Kelembagaan Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Pantai
……………………………………………..
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
284
……………………………..
297
……………………………………………………….
297
4.2 Rekomendasi ………………………………………………………
298
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
299
4.1 Kesimpulan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | ix
DAFTAR TABEL Tabel 2.2.1
Komponen penelitian dan organisasi pelaksana RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai tahun 2010–2014 ..……………………………….……….………..
11
Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 ..………………………….……….………..
13
Tabel 3.1.1
Daftar klasifikasi derajat pencemaran ..…………….………..
22
Tabel 3.1.2
Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai …………………..
23
Tabel 3.1.3
Sifat fisika dan kimia tanah di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai ……………………………………..
26
Tabel 3.1.4
Potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN. Rawa Aopa Watumohai ……
29
Tabel 3.1.5
Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ………………….
42
Tabel 3.1.6
Kondisi Perairan Taman Nasional Kepulauan Togean
…….
44
Tabel 3.1.7
Kondisi sifat fisik kimia habitat mangrove di Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun 2012 ………………………..
44
Tabel 3.1.8
Jenis, rata-rata tinggi dan diameter serta kerapatan Bakau di Lokasi Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun 2012
45
Tabel 3.1.9
Daftar nama jenis plankton di area mangrove dan jumlah sel plankton yang ditemui pada setiap plot pengamatan di Taman Nasional Laut kepulauan Togean, tahun 2012 ………………
47
Tabel 3.1.10 Indeks keanekaragaman dan Indeks kemerataan plankton pada setiap plot ………………………………………………
48
Tabel 3.1.11 Daftar nama jenis benthos di area mangrove dan jumlah benthos yang ditemui pada setiap plot pengamatan ……….
49
Tabel 3.1.12 Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan benthos pada setiap plot ……………………………………………………
49
Tabel 3.1.13 Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah hutan mangrove di TNL Togean tahun 2012 ……………………………………
51
Tabel 3.1.14 Hasil Analisis sifat kimia air pada perairan hutan mangrove di TNL Togean, tahun 2012 …………………………………
52
Tabel 3.1.15 Komposisi jenis mangrove di beberapa kawasan lain di Kalimantan Timur …………………………………………..
56
Tabel 3.1.16 Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat semai …………………………………………..
57
Tabel 2.3.1
x | Sintesis RPI
Tabel 3.1.17 Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pancang ………………………………………..
58
Tabel 3.1.18 Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pohon …………………………………………..
58
Tabel 3.1.19 Daftar jenis burung di lokasi penelitian
……………………
62
Tabel 3.1.20 Jenis, jumlah, dan perkiraan populasi mamalia kecil di lokasi penelitian …………………………………………………….
66
Tabel 3.1.21 Genus dan spesies bakteri yang dijumpai di lokasi penelitian
71
Tabel 3.1.22 Karakter morfologi isolat bakteri yang diamati …………….
72
Tabel 3.1.23 Karakter biokimia isolat bakteri yang diamati
……………..
73
Tabel 3.1.24 Karakter fisiologi isolat bakteri yang diamati ………………
74
Tabel 3.1.25 Kisaran karakter bakteri yang dijumpai berdasarkan aktivitas enzim …………………………………………………………
78
Tabel 3.1.26 Penyebaran bakteri berdasarkan lokasi pengambilan sampel ..
83
Tabel 3.1.27 Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) …………………………………………………………
88
Tabel 3.1.28 Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) ……………………………………………………….
89
Tabel 3.1.29 Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) …………………………………………………
90
Tabel 3.1.30 Kandungan zat pencemar dalam bagian tumbuhan mangrove pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) …………
92
Tabel 3.1.31 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) …
94
Tabel 3.1.32 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) ……..
94
Tabel 3.1.33 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) ………………………………………………………..
95
Tabel 3.1.34 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) …..
95
Tabel 3.1.35 Kelimpahan plankton dan benthos dalam tambak di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) ……………………….
97
Tabel 3.1.36 Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) ………………………………………
98
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | xi
Tabel 3.1.37 Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur) …………
99
Tabel 3.1.38 Jumlah sedimen yang mengendap di Laguna Segara Anakan
105
Tabel 3.1.39 Kadar sedimen terlarut (gr/liter) pada beberapa lokasi di Segara Anakan ……………………………………………….
106
Tabel 3.1.40 Degradasi luas hutan mangrove di DAS Segara Anakan
…..
110
Tabel 3.1.41 INP jenis-jenis mangrove pada masing-masing lokasi ……..
110
Tabel 3.1.42 Tingkat penurunan sedimen pada tegakan mangrove ……….
114
Tabel 3.1.43 Tingkat penurunan amplitudo gelombang dan kedalaman air
114
Tabel 3.1.44 Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Gagak/dominansi Api-api (Avicennia sp.) …………………..
116
Tabel 3.1.45 Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Klaces dominansi Bakau (Rhizhopora spp.) ….…………………….
116
Tabel 3.1.46 Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Alang/dominansi Bogem (Sonneratia alba) …………………
116
Tabel 3.1.47 Hasil analisa laboratorium mikrobiologi tambak di Bipolo, Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur) ………………..
118
Tabel 3.1.48 Kriteria kualitas air tambak dan hasil analisis kualitas air tambak Bipolo ………………………………………………
119
Tabel 3.1.49 Hasil analisis kimia dan fisik tanah pada lokasi tambak …….
123
Tabel 3.2.1
Prediksi waktu yang diperlukan hingga buah mangrove matang dari berbagai tahapan fenologinya ………………….
128
Tabel 3.2.2
Spesifikasi tujuh jenis bibit mangrove siap tanam ………….
130
Tabel 3.2.3
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam pengadaan bibit melalui persemaian seluas 1 hektar ………………………….
130
Tabel 3.2.4
Sifat tanah dan pemilihan jenis mangrove yang cocok ……..
131
Tabel 3.2.5
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam kegiatan penanaman mangrove melalui anakan (seedling) dalam setiap hektar …………………………………………………………
133
Tabel 3.2.6
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam penanaman benih mangrove secara langsung dalam setiap hektar …………….
133
Tabel 3.2.7
Jenis hama yang menulari mangrove dan saran penanggulangannya ............................................................................
134
Tabel 3.2.8
Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru ………………………………………..
137
xii | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.2.9
Perbandingan jumlah tanaman mangrove perplot yang hidup dan ditanam per plot di Pulau Weh, Aceh …………………..
139
Tabel 3.2.10 Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh …………………………………………….
139
Tabel 3.2.11 Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Lamnga, Aceh ………………………………………………..
140
Tabel 3.2.12 Data awal lingkungan dan sifat kimia tanah penanaman di kawasan pesisir Selayar ………………………………………
145
Tabel 3.2.13 Persen hidup tanaman umur 1 bulan …………………………
147
Tabel 3.2.14 Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman setelah penanaman I dan penanaman II ……………………………..
148
Tabel 3.2.15 Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung sampai umur 9 bulan setelah tanam pada uji jarak tanam dan komposisi jenis di Kab. Kep. Selayar ….
152
Tabel 3.2.16 Hasil analisis uji mutu kompos ………………………………
153
Tabel 3.2.17 Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan ………….
154
Tabel 3.2.18 Data pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman umur 1 bulan setelah penanaman pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam …………………………………………………
156
Tabel 3.2.19 Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar ………..
157
Tabel 3.2.20 Hasil uji lanjut DUNCAN pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar ………..
157
Tabel 3.2.21 Rerata pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam sampai dengan umur periode pengukuran ……………………………………
158
Tabel 3.2.22 Karakteristik lokasi penelitian ……………………………….
161
Tabel 3.2.23 Kandungan kimia tanah mangrove di lokasi penelitian
........
162
Tabel 3.2.24 Hasil analisa indeks nilai penting dan perkiraan jumlah benih di Pulau Talise (Minahasa Utara, Sulawesi Utara) ………….
162
Tabel 3.2.25 Pengaruh faktor perlakuan terhadap karakter tanaman mangrove setelah umur 6 bulan di persemaian ....................
165
Tabel 3.2.26 Rata-rata pertambahan tinggi tanaman setelah 6 bulan
.........
166
Tabel 3.2.27 Hasil analis keragaman menggunakan metode unvariate SPSS 16 for Windows pada tinggi tanaman persemaian umur 6 bulan ...................................................................................
166
Tabel 3.2.28 Hasil penelitian uji coba 6 jenis tanaman mangrove di 4 lokasi pada umur 4 bulan tanam .............................................
169
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | xiii
Tabel 3.3.1
Luas hutan mangrove, pertambakan dan penggarap tambak di KPH Purwakarta …………………………………………….
174
Tabel 3.3.2
Kandungan zat makanan jenis R. mucronata, S. alba, dan A. Marina ....................................................................................
176
Tabel 3.3.3
Lokasi dan fungsi kawasan mangrove serta jenis kegiatan perlebahan yang dilakukan masyarakat .................................
178
Tabel 3.3.4
Jumlah pemungut madu dan jumlah sarang Apis dorsata yang ditemukan di musim pemanenan madu .................................
179
Tabel 3.3.5
Jumlah rata-rata produksi madu per koloni lebah hutan ........
181
Tabel 3.3.6
Jenis-jenis tumbuhan sumber pakan lebah madu di mangrove
183
Tabel 3.3.7
Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di Desa Dabong ………………………………………………………
184
Tabel 3.3.8
Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di TNAP ….
184
Tabel 3.3.9
Kadar air (basah) (%) pada beberapa komponen nipah …….
202
Tabel 3.3.10 Deskriptif statistik biomassa nipah (Kg) …………………….
204
Tabel 3.3.11 Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah tua ………
206
Tabel 3.3.12 Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah muda ……
208
Tabel 3.3.13 Rekapitulasi hasil fitting model biomassa pelepah mati …….
210
Tabel 3.3.14 Perhitungan hasil fitting model biomassa rumpun nipah ……
212
Tabel 3.3.15 Deskripsi statistik nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah ………………………………………………………….
213
Tabel 3.3.16 Kondisi tegakan pada plot pengamatan ……………………..
215
Tabel 3.3.17 Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1972, 1990, 2000 dan 2010 di Kubu Raya (Kalimantan Barat) ……………………..
217
Tabel 3.3.18 Perubahan tutupan hutan mangrove primer (tahun 1972) menjadi beberapa jenis penutupan lahan (tahun 1990) ……...
221
Tabel 3.3.19 Perubahan tutupan hutan mangrove primer (tahun 1990) menjadi beberapa jenis penutupan lahan (tahun 2000) ……..
222
Tabel 3.3.20 Perubahan tutupan hutan mangrove primer (tahun 2000) menjadi beberapa jenis penutupan lahan (tahun 2010) ……..
223
Tabel 3.3.21 Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1990, 2000 dan 2010 ..
242
Tabel 3.3.22 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian tahun 1990–2000 …
249
Tabel 3.3.23 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian tahun 2000–2010 …
251
2
Tabel 3.3.24 Jumlah suku dan jumlah pohon dalam plot 4.000 m di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat ………………………..
255
Tabel 3.3.25 Jenis tumbuhan yang regenerasinya lengkap di hutan pantai Pasir Putih …………………………………………………..
256
xiv | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.3.26 Jenis tumbuhan yang regenerasinya lengkap di hutan pantai Karang Ranjang ……………………………………………..
256
Tabel 3.4.1
Matriks analisis SWOT ……………………………………..
263
Tabel 3.5.1
Tingkat kepentingan stakeholder ………….………………..
285
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.1
Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan evaluasi, telaah dan sintesis terhadap rencana dan hasil ..………….………..
9
Gambar 2.1.2
Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan keterkaitan antara sasaran dan luaran, serta hasil kegiatan yang telah dilaksanakan ..…………………………………….………..
10
Gambar 3.1.1
Indeks Keragaman Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 ..…...
35
Gambar 3.1.2
Indeks Perataan Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 ..….….………..
36
Gambar 3.1.3
Indeks Keragaman Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 ..………….………..
37
Gambar 3.1.4
Indeks Perataan Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 ......................................
38
Gambar 3.1.5
Indeks Keragaman Burung di hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, tahun 2011 ……………………………
39
Gambar 3.1.6
Indeks Perataan Jenis Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 ……………………
40
Gambar 3.1.7
Penampilan bakau yang tumbuh dipinggir laut
…………
45
Gambar 3.1.8
Indeks keanekaragaman (H’) plankton di Lokasi Penelitian
48
Gambar 3.1.9
Komposisi genus benthos pada hutan mangrove di TNL Togean ……………………………………………………
50
Gambar 3.1.10
Kondisi hutan bakau yang sudah mulai dibuka (kiri) dan kondisi hutan bakau yang sudah berubah menjadi tambak (kanan) ……………………………………………………
54
Gambar 3.1.11
Ilustrasi zonasi vegetasi mangrove ………………………
60
Gambar 3.1.12
Histogram hubungan kelas diameter dengan jumlah individu mangrove ……………………………………….
61
Gambar 3.1.13
Grafik Kelimpahan Jenis Burung ………………………..
64
Gambar 3.1.14
Peta lokasi penelitian …………………………………….
70
Gambar 3.1.15
Kondisi mangrove pada beberapa stasiun pengambilan sampel: a) STA 1, b) STA 2, c) STA 3, d) STA 4 ………
86
Gambar 3.1.16
Pengambilan material sampel penelitian terkait fungsi penjerapan polutan oleh mangrove (jenis dan bagian tumbuhan mangrove, air dan substrat, serta biota perairan)
100
Gambar 3.1.17
Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan
………..
104
Gambar 3.1.18
Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan ……………
104
xvi | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.1.19
Kadar sedimen terlarut pada lokasi dari muara Sungai Citanduy danSungai Cibereum sampai Ujung Alang ……
107
Gambar 3.2.1
Penanaman A. marina pada empat tingkat penggenangan air laut di Pemalang; pada awal penanaman (kiri); tinggi mencapai sekitar 6 m pada usia 2,5 tahun (kanan) ………..
132
Gambar 3.2.2
Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru ……………………………………
138
Gambar 3.2.3
Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh ……………………………
140
Gambar 3.2.4
Penanaman cemara laut di Gampong Baru, Aceh ……….
141
Gambar 3.2.5
Penanaman mangrove di Lamnga, Aceh …………………
141
Gambar 3.2.6
Pengukuran tanaman mangrove dan plot penelitian di P. Weh, Aceh ………………………………………………..
141
Gambar 3.2.7
Kondisi lokasi penanaman pada musim kemarau ………..
148
Gambar 3.2.8
Beberapa tanaman nyamplung umur 9 bulan pada uji komposisi jenis dan jarak tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus ……………………………………….
150
Gambar 3.2.9
Tanaman nyamplung yang mengalami daun terbakar dan kematian akibat musim kemarau …………………………
150
Gambar 3.2.10
Tanaman ketapang yang daunnya habis dimakan sapi
….
151
Gambar 3.2.11
Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam ……………………………………………………..
160
Tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus ………………………………………………………
160
Lokasi sumber benih mangrove Blok Wawunian (a) dan pemanenan buah R. mucronata oleh Kelompok Tani SUAKE (b) ………………………………………………..
163
Dua propagul dengan tingkat kematangan berbeda (a. Propagul masak dan berkualitas baik; b. Propagul belum masak dan kurang berkualitas) dan pengukuran dimensi (c) .......................................................................................
163
Gambar 3.2.15
Grafik pertumbuhan semai (A s/d N masak pohon dan AA s/d NN masak jatuh) ...........................................................
167
Gambar 3.2.16
Rata-rata laju pertumbuhan tinggi tanaman persemain .....
168
Gambar 3.2.17
Foto-foto tanaman yang rusak oleh berbagai faktor dan beberapa hama pengerusak tanaman .................................
171
Gambar 3.2.12
Gambar 3.2.13
Gambar 3.2.14
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | xvii
Gambar 3.3.1
Lebah madu menghisap madu dari bunga teruntum merah (Lumnitzera littorea) (a); teruntum putih (Lumnitzera racemosa) (b); krangkong (Ludwigia ascendens) (c); dan gletang warak (Clerodendron maraecloset) (d) ………….
185
Bunga perepat (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) (a) dan buta-buta (Excoecaria agalloca) (b); jenis-jenis mangrove tersebut termasuk sumber nektar yang utama bagi lebah madu …………………………….
185
Gambar 3.3.3
Kerapatan pohon mangrove (n/ha) ……………………….
187
Gambar 3.3.4
Persentase kerapatan pohon bakau dan tumu dari tepi sungai menuju ke daratan …………………………………
188
Gambar 3.3.5
Luas bidang dasar pohon mangrove (m2/ha) …………….
188
Gambar 3.3.6
Kerapatan pohon mangrove pada tiap kelas diameter ……
189
Gambar 3.3.7
Aboveground Biomass (AGB) tegakan pohon mangrove pada plot pengamatan …………………………………….
189
Gambar 3.3.8
Aboveground Biomass (AGB) masing-masing jenis pohon mangrove pada plot pengamatan ………………………..
190
Gambar 3.3.9
Persentase biomassa pada masing-masing kelas diameter di plot pengamatan ………………………………………..
191
Gambar 3.3.10
Boxplot Aboveground biomass (AGB) nipah dan tegakan mangrove …………………………………………………
191
Gambar 3.3.11
Sebaran biomassa di Hutan Mangrove Kubu Raya berdasarkan tingkat kerapatan pada tahun 2005 …………
192
Gambar 3.3.12
Nipah bercampur dengan (a) Xylocarpus sp. dan (b) Bruguiera sp ………………………………………………
194
Gambar 3.3.13
Nipah (a) besar, (b) kecil …………………………………
195
Gambar 3.3.14
Komponen-komponen nipah ……………………………..
196
Gambar 3.3.15
Akar serabut nipah (a), Batang nipah (b) …………………
196
Gambar 3.3.16
Bunga nipah (a dan b) dan buah nipah (c) ………………..
197
Gambar 3.3.17
Kegiatan pengukuran parameter-parameter penduga ……
198
Gambar 3.3.18
Grafik distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen pelepah tua yang hidup …………………………………..
201
Gambar 3.3.19
Distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen (a) pelepah bawah, (b) pelepah atas, (c) daun dan (d) pelepah mati terhadap urutan tumbuh pelepah (order) ……………
203
Gambar 3.3.20
Grafik distribusi nilai biomassa pada komponen nipah ….
204
Gambar 3.3.21
Scatter plot biomassa pelepah tua dengan variabel penduga …………….………………………………………...
205
Gambar 3.3.2
xviii | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.22
Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada pelepah tua …………………………….
207
Gambar 3.3.23
Scatter plot biomassa pelepah muda dengan variabel penduga ………..……………………………………………..
208
Gambar 3.3.24
Scatter plot biomassa pelepah mati dengan variabel penduga ……………………………………………………….
209
Gambar 3.3.25
Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada model pelepah mati …………………….
210
Gambar 3.3.26
Grafik plot antara nilai variabel independen dengan biomassa rumpun nipah …………………………………..
211
Gambar 3.3.27
Plot Regresi model penduga biomassa rumpun nipah
213
Gambar 3.3.28
Distribusi nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah
214
Gambar 3.3.29
Uji perbandingan mean (uji t) fraksi karbon (%) pada komponen nipah …………………………………………..
214
Gambar 3.3.30
Grafik potensi aboveground biomass (AGB) pada plot pengamatan ……………………………………………….
215
Gambar 3.3.31
Perubahan luas hutan mangrove primer (1972-2010) ……
218
Gambar 3.3.32
Perubahan luas hutan mangrove sekunder (1972-2010) …
218
Gambar 3.3.33
Kondisi penutupan lahan wilayah kajian tahun 1972–2010
219
Gambar 3.3.34
Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode 1972– 1990 ……………………………………………………….
224
Gambar 3.3.35
Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode 1990– 2000 ……………………………………………………….
225
Gambar 3.3.36
Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode 2000– 2010 ……………………………………………………….
226
Gambar 3.3.37
Perubahan luas hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan data INCAS 2000–2012 di kawasan hutan mangrove Kubu Raya …………………………………….
228
Gambar 3.3.38
Perubahan tutupan hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS 2000–2012 ….
228
Gambar 3.3.39
Perubahan non hutan menjadi hutan mangrove berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS 2000–2012 ….
229
Gambar 3.3.40
Grafik luas perubahan nonhutan menjadi hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS 2000–2012 ………………………………………………..
230
Perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan Plonologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan ………………………………….
231
Gambar 3.3.41
…..
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | xix
Gambar 3.3.42
Luas tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan ……….………………………………………
231
Gambar 3.3.43
Matrik perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya
232
Gambar 3.3.44
Hutan mangrove Kubu Raya berdasarkan fungsi kawasan
233
Gambar 3.3.45
Grafik luas perubahan hutan mangrove menjadi nonhutan (deforestasi) ……………………………………………….
234
Gambar 3.3.46
Luas deforestasi pada masing-masing fungsi kawasan ….
234
Gambar 3.3.47
Identifikasi nipah dengan citra satelit resolusi tinggi (Image © digital globe tanggal peliputan 13/8/2013) ……
237
Gambar 3.3.48
Identifikasi nipah dengan menggunakan citra satelit resolusi menengah (Landsat peliputan tanggal 10/4/2013)
237
Gambar 3.3.49
Sebaran nipah di Kubu Raya …………………………….
238
Gambar 3.3.50
Emisi Karbondioksida akibat deforestasi ………………..
240
Gambar 3.3.51
Penambahan simpanan karbon (ton CO2-eq) …………….
241
Gambar 3.3.52
Emisi netto karbon dioksida (ton CO2-eq) ……………….
241
Gambar 3.3.53
Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun 1990 ………………………………………………..
243
Gambar 3.3.54
Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun 1990 ….
244
Gambar 3.3.55
Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun 1990 ……………………………………….
244
Gambar 3.3.56
Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun 2000 ………………………………………………..
245
Gambar 3.3.57
Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun 2000 ….
246
Gambar 3.3.58
Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun 2000 ………………………………………
246
Gambar 3.3.59
Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun 2010 ………………………………………………..
247
Gambar 3.3.60
Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun 2010 ….
247
Gambar 3.3.61
Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun 2010 ……………………………………….
248
Gambar 3.3.62
Perubahan tutupan mangrove di Bekasi dan Kerawang periode 1990–2000 ……………………………………….
249
Gambar 3.3.63
Perubahan tutupan mangrove di Subang periode 1990– 2000 ………………………………………………………
250
Gambar 3.3.64
Perubahan tutupan mangrove di Subang, Indramayu dan Cirebon periode 1990–2000 ……………………………..
250
xx | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.65
Perubahan tutupan mangrove di Bekasi dan Kerawang periode 2000–2010 ……………………………………….
251
Gambar 3.3.66
Perubahan tutupan mangrove di Subang periode 2000– 2010 ………………………………………………………
252
Gambar 3.3.67
Perubahan tutupan mangrove di Subang, Indramayu dan Cirebon periode 2000–2010 ……………………………..
252
Gambar 3.3.68
Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jawa Barat ………………………………………………..
253
Gambar 3.3.69
Lokasi penelitian hutan pantai di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat …………………………………
254
Gambar 3.3.70
Kondisi tegakan di hutan pantai di Pasir Putih (a) dan Karang Ranjang (b), TWA Pananjung Pangandaran (Jawa Barat) ……………………….……………………………
255
Gambar 3.3.71
Distribusi pohon berdasarkan kelas diameter di hutan pantai TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat ………
257
Gambar 3.3.72
Tanaman A. marina yang meranggas daunnya (a) karena serangan ulat (b) …………………………………………
258
Gambar 3.3.73
Ulat Streblote sp. (a) yang menyerang tanaman R. apiculata dan A. marina serta ngengatnya (b) …………..
258
Gambar 3.4.1
Jumlah kunjungan wisatawan ke Berau empat tahun terakhir ……………………………………………………
262
Gambar 3.4.2
Salah satu contoh rangka rumah/pondok kerja di muara sungai ……………………………………………………..
267
Gambar 3.4.3
Kayu bakar yang berasal dari hutan mangrove .................
268
Gambar 3.4.4
Pemakaian kayu mangrove untuk togo ..............................
269
Gambar 3.4.5
Pemakaian kayu mangrove untuk ajir (atas) dan lanrang (bawah) ..............................................................................
270
Gambar 3.4.6
Salah satu contoh pemakaian daun nipah untuk atap dan dinding rumah di muara sungai .........................................
271
Gambar 3.5.1
Pelaksana penyuluhan kepada responden ……..…………
289
Gambar 3.5.2
Frekuensi penyuluhan kepada responden ………………..
289
Gambar 3.5.3
Mitra yang terlibat aktif dalam pengelolaan hutan mangrove di desa sampel ………………………………..
290
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | xxi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar dari Barat hingga Timur dengan garis pantai sepanjang ±80.000 km. Kondisi pesisir dan pantai setiap pulau tersebut memiliki perbedaan yang dipengaruhi oleh kondisi geologi, geomorfologi dan hidrologi sehingga membentuk berbagai tipe ekosistem pantai (Dwi, 2010). Ekosistem ini terletak antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi siklus harian pasang-surut air laut. Secara umum, ekosistem di daerah pantai dan pesisir terdiri atas ekosistem mangrove dan ekosistem [hutan] pantai. Komunitas vegetasi yang terdapat di eksosistem pantai [berturut-turut dari daerah pasang-surut ke arah darat] terdiri atas a) formasi pescaprae dengan keberadaan tumbuhan Ipomoea pescaprae, Spinifex littorius, Euphorbia atoto, Crinum asiaticum, dan Pandanus tectorius; dan b) formasi baringtonia dengan keberadaan tumbuhan Baringtonia asiatica, Terminalia catapa, Callophylum inophylum, dan Hibiscus tiliaceus. Apabila tanah di daerah pasang-surut berlumpur maka kawasan ini ditumbuhi mangrove (ekosistem mangrove) dengan vegetasi dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa, Xylocarpus, Lumnitzera, Aegiceras, dan Heritiera. Keberadaan ekosistem mangrove dan pantai yang merupakan interaksi/ peralihan antara ekosistem darat dan laut menjadikan ekosistem ini memiliki sifat dan ciri yang unik, serta mengandung produksi biologi dan jasa lingkungan lainnya yang besar. Sebagai contoh, ekosistem mangrove [sebagai tipe ekosistem yang banyak dibahas dalam berbagai penelitian] memiliki fungsi ekonomis sebagai penyedia kayu, obat-obatan, bahan pangan, dan lahan pengembangan tambak/ silvofishery. Selain itu, ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan ikan-ikan di perairan, penyaring intrusi air laut ke daratan, dan penjerap kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, habitat satwa liar dan tempat singgah burung migran; serta penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ek osistem Pantai | 1
lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya hutan pantai dan hutan mangrove bagi perlindungan pantai. Wilayah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove dengan kondisi baik dilaporkan cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Keberadaan dan potensi produksi atau manfaat ekosistem pantai dan pesisir sering menjadi menjadi titik permulaan pengembangan wilayah suatu daerah. Banyak kota-kota tua di dunia, termasuk di Indonesia, umumnya berkembang dan berawal dari wilayah pantai. Wilayah ini juga berkembang pesat menjadi kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, wisata, perikanan, pertanian, olah raga air, dan kegiatan reklamasi atau sebaliknya, pengerukan dasar perairan untuk tujuan komersial. Perkembangan pemukiman, infrastruktur dan kegiatan ekonomi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem pantai. Akibatnya, ekosistem pantai cenderung mendapat tekanan besar. Hal ini dapat menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kelestarian lingkungan karena rusaknya hutan pantai dan hutan mangrove. Pengembangan kawasan pertambangan juga sering terjadi di daerah pantai dan pesisir karena potensi kondisi geologi tertentu (Sampurno, 2010). Priyambodo (2011) mengungkapkan bahwa hampir seluruh gumuk-gumuk pasir telah mengalami kerusakan akibat aktivitas penambangan pasir yang berlebihan di sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa. Kerusakan areal gumuk pasir dan vegetasi penutup dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dan kapasitas ekosistem pantai. Jika kerusakan tersebut terus berlanjut dalam jangka panjang; peningkatan intrusi air laut ke areal pertanian dan pemukiman, serta peningkatan kerentanan areal pemukiman terhadap kemungkinan bahaya tsunami dikhawatirkan dapat terjadi. Apalagi, kondisi wilayah pantai yang terdiri atas endapan pasir dengan bentuk lahan yang selalu berubah dapat menyebabkan proses penutupan vegetasi secara alami berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu, tutupan vegetasi yang sangat minimal dapat dilihat pada hamparan gumuk pasir dengan areal endapan pasir di belakangnya. Perubahan ekosistem pantai juga dipengaruhi faktor alam seperti gelombang dan arus, pasang-surut, sedimentasi dan abrasi sehingga merubah garis pantai dan
2 | Sintesis RPI
kondisi sungai yang bermuara di perairan tersebut. Kurdi (2010) menyatakan bahwa dengan asumsi kemunduran garis pantai sekitar 50 m maka Indonesia akan kehilangan lahan seluas 400.000 ha. Fenomena ini menunjukkan bahwa kawasan yang hilang akibat mundurnya garis pantai yang cukup besar dapat menyebabkan pula jumlah masyarakat yang dirugikan, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari aktivitas pantai. Apalagi, sekitar 50–60% penduduk Indonesia diperkirakan tinggal di kawasan pantai. Pengamatan pada tahun 2001 di kawasan pantai Bali menunjukkan bahwa 20% dari 430 km panjang pantai yang ada di Bali mengalami kerusakan. Hal yang sama juga terjadi di kawasan Pontianak, Bengkayang, dan Sambas dengan kerusakan pantai telah mencapai 14 km; sementara perbaikan baru dilakukan sepanjang 5,1 km.
Kerusakan ini belum
termasuk yang terjadi di beberapa kawasan pantai di Jawa, antara lain di Teluk Jakarta, Pantai Eretan, Pantai Mauk, dan beberapa kawasan di Sumatera dan Sulawesi. Kerusakan ekosistem pantai dan pesisir terjadi pula terhadap ekosistem mangrove, bahkan, keberadaan mangrove di Indonesia saat ini benar-benar telah pada posisi yang sangat mengkhawatirkan. Kehidupan modern dan kemudahan aksesibilitas pemasaran hasil produksi dari ekosistem mangrove, serta pemanfaatan yang berlebihan tanpa memerhatikan kaidah konservasi telah mengakibatkan penurunan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia diyakini masih memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha; namun hasil interpretasi citra landsat (1992) menunjukkan luas hutan mangrove yang tersisa sekitar 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994). Luasan pada kawasan hutan tersebut semakin menyusut menjadi hanya 3,7 juta ha yang mana sekitar 1,6 juta ha (43,2%) dalam kondisi rusak parah (Ditjen RRL, 1999). Sementara itu, hutan mangrove Indonesia di luar kawasan diperkirakan sekitar 5,5 juta ha, tetapi sekitar 4,8 juta ha (87,3%) dalam keadaan rusak parah. Kecepatan kerusakan kawasan mangrove selama 16 tahun diperkirakan mencapai lebih dari 134.000 ha/tahun. Pengamanan potensi dan fungsi pesisir sebenarnya sudah dilakukan di beberapa daerah dengan menetapkan kawasan laut, hutan mangrove atau hutan pantai sebagai zona penyangga yang dikelola secara terpadu untuk peningkatan Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ek osistem Pantai | 3
ekonomi masyarakat pantai. Namun demikian, masih banyak dijumpai sempadan pantai yang tidak memiliki jalur hijau (green belt) mangrove sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yaitu 130 x rata-rata tinggi air pasang purnama (tidal range). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan ini sering terabaikan hampir di seluruh hutan mangrove yang ada. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh keberadaan ekosistem mangrove terhadap produksi perikanan tambak dan kualitas lingkungan. Pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, tetapi hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Direktorat Bina Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) telah menggambarkan hubungan hasil ikan tangkapan (Y) dan luas hutan mangrove (X) sebagai Y = 0,06 + 0,15X. Sementara itu, Sukresno dan Anwar (1999) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan penurunan salinitas tanah seiring jauhnya jarak dari garis pantai, yaitu dari 50 mhs di garis pantai, 2–10 mhs pada jarak 0,1 km, hingga <0,2 mhs pada jarak >1 km (kecuali pada wilayah yang mangrovenya rusak dapat mencapai >2 mhs pada jarak >1 km). Demikian pula, kondisi air sumur pada jarak 1 km masih tergolong baik untuk wilayah dengan kondisi mangrove yang masih tergolong baik, sedangkan pada wilayah dengan mangrove yang tipis sudah terintrusi pada jarak 1 km. Jumlah per liter phytoplankton dan zooplankton sebagai sumber pakan ikan juga cenderung meningkat dengan semakin luas dan bertambahnya usia tanaman mangrove (Marsono et al., 1995; Anwar dan Sumarna, 1987). Selain itu, hasil penelitian Gunawan et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan logam berat berbahaya seperti Merkuri (Hg) pada tanah di tambak terbuka sebanyak 16 kali jika dibandingkan pada tanah hutan mangrove, dan sebanyak 14 kali dibandingkan dengan tambak yang bermangrove. Kandungan Hg di dalam tubuh ikan/udang pada tambak tanpa mangrove juga cenderung lebih tinggi daripada tambak yang bermangrove (Gunawan dan Anwar, 2008). Upaya untuk merehabilitasi wilayah pantai (hutan pantai) memang telah diujicobakan. Salah satu upaya ini adalah Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan 4 | Sintesis RPI
Lahan (GNRHL) tahun 2007 yang dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dapat menghijaukan kawasan Pantai Petanahan seluas 360 ha dengan tanaman cemara udang. Rehabilitasi tersebut dilakukan melalui teknologi block press; yakni memasukkan bibit cemara ke dalam tanah liat yang sudah dicampur dengan pupuk organik yang dipress, kemudian ditanam di tanah berpasir [teknologi ini memungkinkan tanaman masih dapat tumbuh di pasir pantai yang panasnya mencapai 70oC]. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai juga dilakukan dengan penanaman jenis mangrove dan sudah dimulai sejak tahun 90-an. Berdasarkan data, penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan tahun 1995–2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), kemudian tahun 2003– 2007 telah mencapai 70.185 ha (Departemen Kehutanan 2008) tetapi tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Kekurangberhasilan rehabilitasi mangrove tersebut antara lain akibat keterlibatan masyarakat masih minim. Bahkan, terdapatnya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mangrove pernah dilaporkan akibat perbedaan kepentingan. Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau hutan mangrove dan hutan pantai dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai maka sangat diperlukan upayaupaya untuk melindungi dan melestarikannya. Oleh sebab itu, suatu sistem pengelolaan yang memerhatikan prinsip kesinambungan fungsi, terpeliharanya jaringan kehidupan, tumbuhnya kesadaran dan kesamaan persepsi berbagai pihak terhadap arti penting keberadaan ekosistem mangrove dan pantai perlu dikaji dan diterapkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser), Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) kehutanan berkewajiban memberikan solusi dan rekomendasi ilmiah dalam upaya merehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai melalui rangkaian kegian penelitian yang dilakukannya. Program litbang terkait yang diselenggarakan oleh Puskonser adalah Program Pengelolaan Hutan Alam dengan salah satu Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang membahas topik Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai. RPI ini bertujuan untuk memperoleh teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Rangkaian hasil penelitian dan Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ek osistem Pantai | 5
kajian selama tahun 2010–2014 ini selanjutnya dibuat sintesis agar dapat memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan dalam implementasi pemulihan ekosistem mangrove, serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Beberapa hasil penelitian pendukung lainnya juga disertakan terkait teknik rehabilitasi hutan mangrove; antara lain teknik persemaian dan penanaman mangrove, kajian silvofishery, dan kelembagaan rehabilitasi hutan mangrove. 1.2 Rumusan Masalah Pesatnya laju degradasi ekosistem mangrove dan pantai di Indonesia saat ini dan berkembangnya pemanfaatan sumber daya alam tersebut memerlukan upaya peningkatan pengelolaan ekosistem mangrove lebih serius. Informasi ilmiah dan teknologi yang dapat diimplementasikan dalam upaya konservasi dan rehabilitasi yang lebih detil dan komprehensif, serta penerapan kebijakan pengelolan ekosistem mangrove yang dapat meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pelaksanaannya perlu disusun lebih lanjut. Pada bahasan sintesis ini, terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dan disiapkan dalam menyusun petunjuk teknis pengelolaan ekosistem mangrove dan pantai, yakni a) informasi ilmiah terkait karakteristik dan proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, b) teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai berikut kelembagaannya, dan c) model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai dalam koridor kelestarian ekosistem tersebut. Pengalaman dalam upaya rehabilitasi mangrove selama ini menunjukkan masih rendahnya persentase keberhasilan rehabilitasi, terutama pada tapak-tapak khusus yang membutuhkan penyempurnaan teknik penanamannya. Keterlibatan masyarakat dalam konservasi dan rehabilitasi sangat minim mengingat belum meratanya pengetahuan mereka terhadap fungsi dan manfaat ekosistem mangrove dan pantai bagi lingkungan, serta peningkatan kehidupannya. Masyarakat juga belum memahami dan mendapatkan kejelasan hak dalam penggunaan atau pemanfaatan lahan bagi kegiatan penggarapan di dalam ekosistem mangrove yang dikaitkan dengan rehabilitasi dan pengelolaannya. Pada banyak kasus, tanah timbul (sedimentasi) di sekitar wilayah mangrove acapkali menimbulkan permasalahan 6 | Sintesis RPI
sosial dan hukum yang di kemudian hari berpotensi menjadi sumber konflik penguasaan dan pengelolaan lahan. Hal ini tentunya menjadi aspek penting dalam penetapan kebijakan konservasi wilayah pantai dan pesisir, termasuk daerah delta dan muara sungai. Selain itu; aspek bioekologi, produksi, jasa lingkungan, dan sosial-ekonomi, dan kelembagaan merupakan beberapa faktor yang saling terkait satu dengan lainnya terhadap keberadaan, kualitas dan kuantitas, serta keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove dan pantai bagi kehidupan. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penyusunan Sintesis RPI ini bertujuan untuk menyediakan informasi, teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Sementara itu, sasaran sintesis RPI adalah: a) Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai; b) Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai; c) Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. 1.4 Sistematika Sintesis RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Puskonser dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan selama tahun 2010–2014. Dalam sintesis RPI ini, penyesuaian dan penyempurnaan hierarki substantif telah dilakukan dengan mengacu pada rencana dan pelaksanaan kegiatan penelitian, serta hasil yang telah dicapai sehingga memudahkan proses penyusunan sintesis dan pencapaian tujuan dan sasaran yang diharapkan. Berdasarkan hal-hal tersebut, sintesis RPI ini disusun dengan sistematika sebagai berikut.
Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ek osistem Pantai | 7
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan dan Sasaran 1.4 Sistematika
II. METODOLOGI 2.1 Pendekatan dan Ruang Lingkup 2.2 Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana 2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian III. SINTESIS HASIL PENELITIAN 3.1 Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan 3.1.1 Kondisi Biofisik Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 3.1.2 Peran Ekosistem Mangrove dalam Penjerapan Polutan Perairan 3.1.3 Peran Ekosistem Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut 3.2 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus 3.3 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai 3.4 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai 3.5 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan 4.2 Rekomendasi
8 | Sintesis RPI
II. METODOLOGI 2.1 Pendekatan dan Ruang Lingkup Penyusunan sintesis RPI dilakukan melalui pendekatan berdasarkan tujuan, sasaran dan luaran RPI sesuai rencana dan kegiatan penelitian yang telah dilakukan [penelitian atau kajian sebagai kegiatan untuk mencapai luaran]. Bentuk kegiatan mencakup kajian, valuasi dan ujicoba yang berkaitan dengan ekosistem mangrove dan pantai. Selanjutnya, rencana yang telah disusun dan hasil kegiatan penelitian yang telah dicapai dilakukan evaluasi, telaah dan sintesis dalam bentuk satu kesatuan hierarki substantif sehingga terdapat keterkaitan antara tujuan, sasaran, dan luaran RPI (Gambar 2.1.1 dan Gambar 2.1.2). Dengan demikian, sistematika usulan RPI [dalam hal ini urutan sasaran, luaran dan kegiatan] telah mengalami penyempurnaan di dalam sintesis ini.
Gambar 2.1.1 Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan evaluasi, telaah dan sintesis terhadap rencana dan hasil
Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ek osistem Pantai | 9
Gambar 2.1.2 Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan keterkaitan antara sasaran dan luaran, serta hasil kegiatan yang telah dilaksanakan
Selain itu, penyusunan sintesis ini juga menggunakan pendekatan berdasarkan aspek substantif bio-ekologi, nilai penting dan manfaatnya; serta berdasarkan karakteristik dan tipologi kawasan (tapak umum dan tapak khusus).
Namun
demikian, pendekatan berdasarkan tipologi kawasan pada sintesis ini akan lebih banyak membahas ekosistem mangrove. Sebaliknya, pembahasan ekosistem hutan pantai hanya bersifat melengkapi, mengingat selama tahun 2010–2014, kegiatan penelitian yang dilakukan lebih banyak terhadap ekosistem mangrove. Ruang lingkup sintesis RPI yang mengacu pada kedua pendekatan tersebut meliputi informasi peran mangrove dan ekosistem pantai (kondisi biodiversitas dan mikroorganime yang terdapat pada ekosistem mangrove, jenis mangrove dan peran penjerapan polutan, serta peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut); teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus (jenis dan tahapan penanaman mangrove pada delta terdegradasi, areal terabrasi dan/atau pulau-pulau kecil); potensi dan nilai manfaat mangrove dan 10 | S i n t e s i s R P I
ekosistem pantai (potensi sumber pangan dan jasa lingkungan, serta distribusi dan perubahan tutupannya); manfaat sosial ekonomi konservasi mangrove dan ekosistem pantai (valuasi nilai ekonomi dan model kemitraan pemanfaatan mangrove); dan model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai (bentuk dan sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove). 2.2 Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana Bahan penyusunan sintesis RPI berasal dari kegiatan penelitian/kajian sebagaimana rencana yang telah disusun sebelumnya. Komponen penelitian dan organisasi pelaksana dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 terdapat pada Tabel 2.2.1. Penelitian dikoordinasikan oleh seorang Koordinator, dibantu oleh Tim Pembantu Teknis Koordinator dan Tim Sekretariat yang semuanya berada pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR/Puskonser) di Bogor. Sementara itu, beberapa Peneliti merupakan Pelaksana kegiatan penelitian, baik dari Puskonser maupun dari delapan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan (Balai Penelitian Kehutanan [BPK] Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Kupang, BPK Manado, BPK Makassar, BPK Manokwari, Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam [BPTK-SDA] Samboja, dan Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai [BPTK-PDAS] Solo).
Tabel 2.2.1 Komponen penelitian dan organisasi pelaksana RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai tahun 2010–2014 Sasaran
Luaran dan Kegiatan
Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai.
4.1 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus. 4.1.1 Teknik penanaman pada delta terdegradasi. 4.1.2 Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil.
Institusi
BPTK-SDA Samboja BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Manado, BPK Makassar
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 11
Sasaran
Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai.
Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai.
Luaran dan Kegiatan
Institusi
4.2 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.2.1 Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai.
P3KR
4.3 Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan. 4.3.1 Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove. 4.3.2 Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. 4.3.3 Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.4 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai. 4.4.1 Kajian potensi sumber pangan jenisjenis mangrove. 4.4.2 Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.4.3 Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove. 4.5 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.5.1 Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.5.2 Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove.
P3KR BPTK-PDAS Solo BPK Makassar, BPK Manokwari
P3KR P3KR, BPTKSDA Samboja P3KR
P3KR, BPK Makassar P3KR, BPK Kupang
Keterangan: P3KR (Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi/Puskonser); BPK (Balai Penelitian Kehutanan); BPTK-SDA (Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam); BPTK-PDAS (Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai)
2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian Periode waktu dan lokasi penelitian dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 terdapat pada Tabel 2.3.1 dan Tabel 2.3.2.
12 | S i n t e s i s R P I
Tabel 2.3.1 Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 Luaran
Kegiatan Litbang
4.1 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus.
4.1.1 Teknik penanaman pada delta terdegradasi. 4.1.2 Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil.
4.2 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.3 Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan.
4.2.1 Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.3.1 Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove. 4.3.2 Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. 4.3.3 Kajian keragaman satwa dan mikro-organisme hutan mangrove dan ekosistem pantai.
4.4 Status potensi 4.4.1 Kajian potensi sumber dan nilai manfaat pangan jenis-jenis mangrove dan mangrove. ekosistem pantai. 4.4.2 Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.4.3 Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove.
Kode Tahun Kegiatan Kegiatan dan 2010 2011 2012 2013 2014 Institusi 4.1.1.16
x
x
x
x
x
4.1.2.7 4.1.2.9 4.1.2.17
x -
x -
x x x
x x x
x x x
4.1.2.18
x
x
x
-
-
4.2.1.1
-
-
x
x
x
4.3.1.1
x
x
-
-
-
4.3.2.12
-
x
x
x
x
4.3.3.18
x
x
x
-
-
4.3.3.19
-
-
x
x
x
4.4.1.1
x
x
-
-
-
4.4.2.1 4.4.2.7 4.4.2.16
x
x
x x
x x x
x x -
4.4.3.1
-
-
x
x
x
-
-
-
x
x
x
x
x
-
-
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
4.5 Manfaat sosial 4.5.1 Kajian valuasi ekonomi 4.5.1.1 ekonomi konservasi hutan konservasi hutan mangrove dan 4.5.1.18 mangrove dan ekosistem pantai. ekosistem pantai. 4.5.2 Kajian model kemitraan 4.5.2.1 pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan 4.5.2.14 mangrove.
Keterangan: Digit terakhir 1: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi; 7: Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli; 9: BPK Palembang; 12: Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTK-PDAS) Solo; 14: BPK Kupang; 16: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTK-SDA) Samboja; 17: BPK Manado; 18: BPK Makassar; dan 19: BPK Manokwari.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 13
Tabel 2.3.2 Lokasi pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 Kegiatan Litbang 4.1.1 Teknik penanaman pada delta terdegradasi. 4.1.2 Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil.
Lokasi Penelitian Delta Mahakam (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur) Pulau Weh (Aceh Besar, Aceh); Pulau Selayar (Selayar, Sulawesi Selatan); Pulau Talise dan Pulau Gangga (Minahasa Utara, Sulawesi Utara)
4.2.1 Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.3.1 Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis- Ciasem (Purwakarta, Jawa Barat); Cilacap jenis mangrove. (Jawa Tengah); TN Alas Purwo, (Banyuwangi, Jawa Timur); Sayung (Demak, Jawa Tengah); Suwung (Denpasar, Bali) Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah) 4.3.2 Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. 4.3.3 Kajian keragaman satwa dan mikro-organisme TN Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi hutan mangrove dan ekosistem pantai. Tenggara); TN Kepulauan Togean (Tojo Una-una, Sulawesi Tengah); Tanjung BatuPulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); Pulau Numfor (Papua) 4.4.1 Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur); mangrove. Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah); Kubu Raya (Kalimantan Barat); Tembilahan (Riau); Ciasem-Pamanukan (Purwakarta, Jawa Barat) 4.4.2 Kajian potensi jasa lingkungan hutan Kubu Raya (Kalimantan Barat) mangrove dan ekosistem pantai. 4.4.3 Kajian distribusi dan perubahan tutupan Kubu Raya (Kalimantan Barat); Pantai Utara mangrove. Jawa Barat; TWA Pananjung Pangandaran (Ciamis, Jawa Barat); Sukadana (Lampung Timur, Lampung) 4.5.1 Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.5.2 Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove.
14 | S i n t e s i s R P I
Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur);
III. SINTESIS HASIL PENELITIAN Penelitian dan kajian yang telah dilaksanakan dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 telah mendapatkan data dan informasi, serta bahan rekomendasi terkait teknologi pengelolaan mangrove dan kelembagaannya.
Beberapa hasil penelitian dan kajian tersebut memberikan
gambaran tentang informasi biologis mangrove, terutama pada tapak-tapak khusus yang mengalami tekanan dan gangguan, baik secara alami maupun akibat dari dampak aktivitas manusia.
Namun demikian, hasil penelitian tidak dapat
merangkum secara keseluruhan ekosistem mangrove dan hutan pantai di Indonesia karena terbatasnya sumber daya dalam penelitian dan kajian ini. Oleh sebab itu, sintesis ini hanya dilakukan terhadap hasil kegiatan yang dilaksanakan pada lokus atau areal yang dianggap dapat mewakili kondisi dan permasalahan dalam pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai di sebagian daerah di Indonesia.
3.1
Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan
3.1.1 Kondisi Biofisik Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Penelitian atau kajian terkait biofisik (biodiversitas dan lingkungan) dilaksanakan pada kawasan hutan mangrove dan pantai di TN Rawa Aopa Watumohai, TN Kepulauan Togean, Tanjung Batu-Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur) dan Pulau Numfor (Papua). Mengingat mangrove merupakan suatu ekosistem dan sintesis ini ingin memberikan gambaran potensi dan peran mangrove; bahasan dilakukan terhadap jenis flora (terutama jenis mangrove), fauna, mikroorganisme dan komponen biofisik lainnya (air dan substrat).
Selain itu,
bahasan sintesis pada bagian ini akan diulas berdasarkan komponen biodiversitas dan lingkungannya, serta lokus kegiatan pada kawasan hutan mangrove dan hutan pantai sebagaimana hasil kegiatan dalam RPI.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 15
3.1.1.1 Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di TN Rawa Aopa Watumohai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN RAW) adalah salah satu taman nasional tertua di Indonesia. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 1990 berdasarkan SK Menhut No. 756/Kpts-II/1990 dengan luas 105.194 ha. Secara administrasi, kawasan ini terletak pada empat kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara (Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana). Secara geografis terletak antara 121°44’–122°44’ Bujur Timur dan 4°22’–4°39’ Lintang Selatan. Ekosistem mangrove TN RAW terdapat di sepanjang Pantai Lanowulu hingga Langkowala bagian selatan kawasan TN RAW dengan luasan ±6000 ha. Panjangnya sekitar 24 km mulai dari Sungai Roraya hingga Sungai Langkowala, dengan ketebalan mencapai 2–7 km dari garis pantai hingga batas tepi mangrove daratan. Mangrove di kawasan TN RAW memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Jenis vegetasi mangrove yang ada dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu mangrove mayor (Rhizophora, Bruguiera, Soneratia, Nypa dan lain-lain), mangrove minor (Xylocarpus sp, Aegiceras sp dan lain-lain), asosiasi mangrove (Hibiscus sp, Pandanus sp dan lain-lain). a.
Analisis Kualitas Air Eksosistem mangrove mempunyai berbagai macam manfaat. Salah satu
manfaatnya adalah perananya dalam meningkatkan kualitas air. Air laut merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainya. Dengan semakin meningkat kualitas air laut maka produktifitas ikan, udang dan biota laut lainya aka semakin meningkat. Untuk mengetahui kesehatan air di habitat mangrove sebagai acuan digunakan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan. Analisis terhadap sifat fisik dan kimia air laut perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas air laut di lokasi penelitian. Beberapa sifat fisik air laut yang diteliti diantaranya adalah temperatur/suhu, salinitas, kekeruhan dan TSS (Total Suspended Solids). Temperatur air laut berkisar antara -2°C sampai 30°C. Temperatur yang rendah terdapat pada laut-laut di sekitar kutub dan pada dasar laut dalam. Sedangkan temperatur air laut yang tinggi terdapat pada laut-laut daerah arid. Pada 16 | S i n t e s i s R P I
kedalaman sekitar 1 meter, temperatur air laut cenderung lebih tinggi dari pada temperatur pada permukaan air laut, hal ini disebabkan karena beberapa sebab antara lain di bagian permukaan terjadi pemancaran panas kembali ke atmosfer, terjadi konveksi dengan udara bila udara tersebut merupakan massa dingin dan adanya proses pengupan di permukaan yang memerlukan panas. Secara umum, temperatur rata-rata air laut di lokasi penelitian secara alami berkisar antara 26°C sampai 31°C. Suhu rata-rata air laut secara umum yang terbaik berkisar antara 26°C sampai 30°C. Suhu air pada kisaran ini sangat baik dalam menunjang proses dekomposisi yang akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Perkins (1974) menyatakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25°C sampai 32°C. Fluktuasi temperatur banyak dipengaruhi oleh absorbsi sinar matahari, kecepatan arus, kedalaman air dan kemiringan tempat. Perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi, metabolisme, nafsu makan, reproduksi biota laut serta berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesis fitoplankton dan tanaman air. Kekeruhan air menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organic maupun anorganik yang berupa plankton atau mikroorganisme lain (Ansori, 2008). Untuk mengetahui tingkat kekeruhan diukur dengan menggunakan Nephelometric. Satuan kekeruhan adalah NTU (Nephelometrikc Turbidity Unit). Nilai ambang batas untuk kekeruhan air laut adalah 30 NTU, sedangkan tingkat kekeruhan air yang paling baik adalah 5 NTU. Nilai kekeruhan air di lokasi penelitian berkisar antara 2 sampai 25 NTU, sedangkan nilai rata-ratanya adalah 8,27 NTU. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas air pada ekosistem mangrove secara keseluruhan berada di bawah ambang batas. Salinitas merupakan bilangan yang menunjukkan berapa gram garamgaraman yang larut dalam air laut tiap-tiap kilogram (gr/kg) biasanya dinyatakan dalam persen (%) atau per mil (°/∞). Seluruh barang padat yang larut dalam air laut disebut garam-garaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya salinitas air laut, yaitu: P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 17
1.
Penguapan; penguapan semakin besar maka salinitas semakin tinggi, sebaliknya semakin kecil penguapan maka salinitasnya semakin rendah.
2.
Curah hujan; curah hujan semakin besar maka salinitas semakin rendah, kebalikannya semakin kecil curah hujan maka salinitasnya semakin tinggi.
3.
Air sungai; semakin besar suplai air sungai yang bermuara ke laut, maka salinitas air laut semakin rendah.
4.
Letak dan ukuran laut; laut-laut yang tidak berhubungan dengan laut lepas dan terdapat di daerah arid maka salinitasnya tinggi.
5.
Arus laut; laut-laut yang dipengaruhi oleh arus panas maka salinitasnya akan lebih tinggi dari pada laut-laut yang dipengaruhi oleh arus dingin.
6.
Angin dan kelembaban udara; angin dan kelelembaban udara berhubungan dengan penguapan dan penguapan berhubungan dengan besar kecilnya salinitas.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, besaran salinitas berkisar antara 5°/∞. sampai dengan 30°/∞ dengan rata-rata keseluruhan 16,21°/∞. Nilai salinitas yang rendah diambil pada titik terjauh dari pasang surut, sedangkan nilai salinitas yang tinggi diambil pada titik terdepan yang berbatasan langsung dengan laut. Tidak ada aturan baku tentang nilai ambang batas salinitas, nilai salinitas berfluktuatif secara alami. Total Padatan Tersuspensi atau yang dikenal dengan Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Kadar zat tersuspensi erat sekali hubungannya dengan kekeruhan karena kekeruhan pada air disebabkan adanya zat-zat tersuspensi yang ada dalam air tersebut. Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Bahan-bahan organik yang merupakan zat tersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, 18 | S i n t e s i s R P I
lemak, protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, algae, dan sebagainya. Bahan-bahan organik ini selain berasal dari sumber-sumber alamiah juga berasal dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan industri, pertanian, pertambangan atau kegiatan rumah tangga. Kekeruhan memang disebabkan karena adanya zat tersuspensi dalam air, namun karena zat-zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat yang bentuk dan berat jenisnya berbeda-beda maka kekeruhan tidak selalu sebanding dengan kadar zat tersuspensi. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan besaran TSS berkisar antara 5 ppm sampai dengan 39 ppm dengan rata-rata keseluruhan 13,7 ppm. Nilai ambang batas TSS berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan adalah 80 ppm, dengan demikian secara umum dari keseluruhan lokasi mempunyai TSS yang jauh dari ambang batas. Beberapa sifat kimia air laut yang diamati pada penelitian ini adalah derajat keasaman (pH), Amoniak (NH3), Nitrat (NO3), Nitrit (NO2), Dissolved Oxigen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Carbon Dioxide (CO2) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran dari konsentrasi ion hidrogen positif yang menunjukkan suasana air (Hariadi, 1992 dalam Kembarawati dan Lilia, 2008). Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH=7 adalah netral, pH<7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH>7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jka pH rendah. Pada perairan dengan tingkat pH yang tinggi dapat menyebabkan amonium yang tidak bersifat toksik dapat tidak terionisasi dan berubah bersifat toksik. Amonia yang tak terionisasi ini akan mudah terserap dalam tubuh organisme aquatik. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan kertas lakmus besaran Nilai pH air berkisar antara 7 sampai dengan 8 dengan rata-rata nilai pengukuran pada semua lokasi sebesar 7,3. Hasil pengukuran pH air di laboratorium berkisar antara 7,24 sampai dengan 8,30 dengan rata-rata secara keseluruhan lokasi 7,96. Dalam kriteria penilaian termasuk dalam kelas netral sampai dengan agak alkalis. Tingkat keasaman yang bersifat alkalis ini sangat P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 19
mendukung untuk proses dekomposisi pada suatu perairan. Nilai ambang batas pH yang baik untuk kehidupan organisme laut berkisar antara 6,5–8,5. Jadi kondisi pH di lapangan masih relatif bagus bagi perkembangan organisme laut. Amonia adalah gas berbau tajam yang tidak berwarna dengan titik didih 35°C. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4+ pada pH rendah dan disebut dengan amonium. Amonia yang terdapat dalam air permukaan berasal dari oksidasi zat organis secara mikrobiologi dan dapat pula berasal dari air seni dan kotoran. Kadar amonia dinyatakan dalam mg/l. Kadar amonia yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran. Konsentrasi amonia yang tinggi pada perairan dapat menyebabkan kematian pada ikan. Pengaruh pH terhadap toksisitas amonia sangat besar, pada kondisi pH rendah akan bersifat racun bila jumlah amonia banyak, sedangkan pada pH tinggi, hanya dengan jumlah amonia yang rendah pun sudah akan bersifat racun. Kadar Amoniak (NH3) di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0,01 ppm, masih berada dibawah ambang batas normal yaitu kurang dari sama dengan 1 ppm. Analisis kandungan amoniak penting dilakukan karena merupakan parameter kunci layak tidaknya perairan untuk kehidupan biota laut. Nitrit (NO2) merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi dengan bilangan oksidasi +3 (Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000). Nitrit merupaka salah satu parameter kunci dalam penentuan kualitas air. Nitrit biasanya merupakan bentuk transisi antara amoniak dan nitrat dan segera berubah menjadi bentuk yang lebih stabil yakni nitrat. Nitrit banyak dijumpai pada instalasi pengolahan air limbah, air sungai dan drainase. Nitrit juga bersifat racun karena dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen, disamping itu nitrit juga membentuk nitrosamin (RRN-NO) pada air buangan tertentu dan dapat menimbulkan kanker (Alaert dan Santika, 1984). Nitrat (NO3-) merupakan bentuk nitrogen yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, namun pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan eutofikasi dan merangsang pertumbuhan ganggang secara tidak terbatas (blooming) bersama-sama dengan zat hara lainnya seperti fosfat, sehingga perairan dapat kekurangan oksigen dan menyebabkan kematian pada ikan (Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000). Kandungan Nitrat (NO3) di semua lokasi penelitian yang terbesar 0,05 ppm dan kandungan Nitrit (NO2) di semua lokasi penelitian yang 20 | S i n t e s i s R P I
terbesar 0,087 ppm. Berdasarkan standar baku mutu seharusnya yang paling ideal kandungan Nitrit (NO2) untuk kehidupan biota air adalah nihil. Menurut Kembarawati dan Lilia (2008), kadar nitrat yang baik untuk perairan berkisar antara 2–5 ppm dan maksimum 10 ppm. Pada kondisi tersebut sangat baik untuk mendukung pertumbuhan plankton di perairan. Disolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesis dan absorbs atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah oksigen terlarut maka kualitas air semaik baik. Satuan DO biasanya dinyatakan dalam mg/l (ppm). Hasil pengukuran DO air di laboratorium rata-rata 4,4 ppm. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan ambang batas minimal untuk DO adalah lebih dari sama dengan 4 ppm dan yang paling ideal adalah 6 ppm, sehingga kondisi perairan mangrove masih dibawah ambang batas. Adanya oksigen bebas dalam air sangat diperlukan oleh biota air dalam menunjang kehidupannya. Misalnya pada ikan dapat hidup dengan normal dengan kandungan oksigen bebas lebih besar dari 3 ppm. Biochemical Oksigen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencerna) yang terdapat di dalam air secara biologi. Hasil pengukuran BOD menunjukkan nilai BOD rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,6 ppm. Dalam klasifikasi derajat pencemaran semua lokasi penelitian termasuk dalam golongan tidak tercemar (BOD<3). Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO 2 yang terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO 2 bebas 12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian. Hasil pengukuran karbon dioksida (CO 2)
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 21
di laboratorium rata-rata sebesar 3,92 ppm. Pada kondisi tersebut ikan dan biota laut lainnya dapat hidup dengan normal. Chemical Oxygen Demand (COD) menyatakan besarnya kandungan oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia di perairan. Hasil pengukuran COD air di laboratorium rata-rata 39,97 ppm. Berdasarkan standar baku mutu kualitas air untuk perikanan, nilai COD maksimal yang diperbolehkan adalah 40 ppm, sedangkan ilai COD yang diinginkan adalah 40 ppm. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai bahan organik di perairan. Tingginya nilai COD juga menunjukkan tebalnya lapisan bahan organik yang ada di perairan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut di perairan yang dibutuhkan oleh organisme untuk respirasi. Menurut Lee (1978), klasifikasi derajat pencemaran perairan ditentukan oleh parameter indeks diversitas, DO, BOD, SS dan NH3. Daftar klasifikasi derajat pencemaran ditunjukkan pada Tabel 3.1.1.
Tabel 3.1.1 Daftar klasifikasi derajat pencemaran No
Derajat Pencemaran
DO (ppm)
BOD (ppm)
TSS (ppm)
NH3 (ppm)
Indeks Diversitas
1 2
Tidak Ringan
>6,5 4,5-6,5
<3,0 3,0-4,9
<20 20-49
<0,5 0,5-0,9
>2,0 2,0-1,6
3 4
Sedang Berat
2,0-4,4 <2,0
5,0-15 >15
50-100 >100
1,0-3,0 >3,0
1,5-1,0 <1,0
Merujuk pada klasifikasi tersebut, hasil pengukuran DO air di laboratorium menunjukkan nilai rata-rata sebesar 4,4 ppm dan termasuk dalam kelas tercemar ringan. Berdasarkan besarnya nilai BOD, hasil pengukuran BOD menunjukkan nilai BOD rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,7 ppm termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Berdasarkan besarnya nilai TSS, hasil pengukuran TSS rata-rata 13,7 ppm termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Berdasarkan besarnya nilai kadar Amoniak (NH3) hasil pengukuran di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0.01 ppm, termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Tabel 3.1.2 di bawah ini adalah hasil pengukuran parameter fisik dan kimia air di lokasi penelitian.
22 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.1.2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai No
b.
Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
I
Fisik:
1 2 3 II 1
Salinitas Kekeruhan Total Suspended Solids (TSS) Kimia: pH
ppt NTU ppm
16.21 8.27 13.7
▬
7.96
2
Amoniak (NH3)
ppm
0.01
3
Nitrat (NO3)
ppm
0.03
4
Nitrit (NO2)
ppm
0.04
5 6
Dissolved Oxigen (DO) Biochemical Oxygen Demand (BOD)
ppm ppm
4.36 2.65
7
Carbon Dioxide (CO2)
ppm
3.92
8
Chemical Oxygen Demand (COD)
ppm
39.97
Analisis Substrat Tanah Tanaman membutuhkan makanan untuk hidup, makanan untuk tanaman
disebut unsur hara. Dalam hidupnya, tanaman paling sedikit membutuhkan 16 macam unsur, 3 unsur (oksigen, hidrogen dan karbondioksida) diperoleh dari udara (gratis, tanpa perlu mengusahakanya), sementara 13 lainya diserap tanamam melalui tanah. Ke-13 unsur ini dibagi menjadi 2, yaitu: unsur hara makro (dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak), dan unsur hara mikro (dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit). Unsur hara makro meliputi Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S), sementara unsure hara mikro meliputi Besi (Fe), Mangan (Mn), Boron (B), Molibdenum (Mo), Tembaga (Cu), Seng (Zn) dan Klor (Cl). Pembahasan terhadap analisis fisik dan kimia tanah penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah. Hal ini dilakukan untuk mengetahu perlakuan yang akan diambil untuk memperbaiki kulaitas tanah agar dapat bermanfaat secara optimal. Pada parameter pH tanah menunjukkan bahwa nilai pH tanahnya masuk dalam kategori masam dengan nilai antara 4,5 sampai 5,5. Nilai pH yang masam pada umumnya disebabkan karena adanya seresah dari vegetasi mangrove yang merupakan sumber bahan organik yang akan dirombak oleh mikroorganisme tanah. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 23
Perombakan bahan organik ini akan menghasilkan asam-asam organik yang akan menurunkan pH tanah. Tingkat pH yang paling optimal adalah netral dengan nilai 6.6 sampai 7,5. Pada kondisi pH netral mudah bagi tanaman untuk menyerap unsur hara. Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. (Stevenson, 1964). Fungsi bahan organik di dalam tanah sangat banyak, baik terhadap sifat fisik, kimia maupun biologi tanah, antara lain : berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ketersediaan hara. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. Fungsi lain dari bahan organik adalah membentuk agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. Meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah. Mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah. Mensuplai energi bagi organisme tanah. Meningkatkan organisme saprofit dan menekan organisme parasit bagi tanaman. Bahan organik tanah biasanya terdiri atas unsur C dan N. Hasil analisis terhadap kandungan unsur C di lokasi penelitian sebesar 5,36% (sangat tinggi) dan unsur N sebesar 0,14% (rendah). Kadar N diperoleh dari pengikatan N bebas dari udara oleh mikroorganisme dan air hujan serta bahan organik dari sisa-sisa bahan organik. Unsur N banyak dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya. Unsur N berguna untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman dan pembentukan protein. Unsur N bisa lebih ditingkatkan dengan penambahan bahan organik tanah. Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada lokasi penelitian berada pada harkat tinggi yaitu 28.17 cmol (+) kg-1. Nilai KTK akan semakin meningkat seiring 24 | S i n t e s i s R P I
dengan meningkatnya bahan organik tanah. Keberadaan vegetasi mangrove banyak memberikan bahan organik melului proses dekomposisi seresah. Nilai KTK tanah yang tinggi menunjukkan tingginya kemampuan tanah untuk menjerap dan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Dari hasil analisis terhadap substrat tanah yang diambil dari dasar perairan menunjukkan bahwa pada parameter kimia kandungan unsur Phospor (P), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Kalium (K) termasuk dalam harkat sangat rendah. Unsur Phospor merupakan salah satu unsur hara esensial dan berperan sangat penting dalam transver energi sebagai bagian dari adenosin tripospat, penyusunan beberapa protein, koenzim, asam nukleat, dan substrat metabolisme. Unsur Phospor tersedia dalam tanah bisa berasal dari bahan organik, pemupukan maupun dari mineral dalam tanah. Unsur Phospor tersedia banyak dibutuhkan tanaman untuk pembentukan bunga, buah, biji, perkembangan akar dan untuk memperkuat batang agar tidak mudah roboh. Unsur kalsium berfungsi untuk menyusun klorofil, kalsium juga dibutuhkan enzim untuk metabolis karbohidrat, serta mempergiat sel meristem. Tanda kekurangan Kalsium adalah terjadinya disintegrasi padau jung-ujung tanaman (ujung batang, akar, dan buah) sehingga ujungnya menjadi mengering atau mati, tunas daun yang masih muda akan tumbuh abnormal. Unsur Magnesium berfungsi
untuk
transportasi
fosfat,
mengaktifkan
enzim
tansposporilase,
menciptakan warna hijau pada daun, membentuk karbohidrat, lemak/minyak. Tanda-tanda kekurangan magnesium yaitu menguningnya daun yang dimulai dariujung da bagian bawah daun. Unsur Kalium merupakan salah satu unsur hara esensial dan berperan sangat penting dalam pengaturan mekanisme fotosintesis, translokasi karbohidrat dan sintesa protein. Ketersediaan unsur K dalam tanah bisa diperoleh dari mineral-mineral primer dalam tanah. Unsur K hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air. Pada pengamatan terhadap tekstur tanah menunjukkan bahwa kondisi tekstur tanah di lokasi penelitian didominasi oleh partikel pasir tetapi persentase perbandingannya tidak terlalu besar. Secara umum kelas tekstur tanah di lokasi penelitian termasuk dalam kelas lempung (loam). Keberadaan vegetasi mangrove sedikit banyak berpengaruh terhadap pembentukan klas tekstur tanah. Pada daerah dengan tingkat ketebalan mangrove yang tinggi cenderung mempunyai klas tekstur P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 25
berlempung, hal ini kemungkinan disebabkan adanya dekomposisi seresah yang ikut menentukan klas teksurnya dan juga karena pengikatan (penjerapan) partikel oleh akar vegetasi mangrove sehingga lama-kelamaan partikel tersebut akan mengendap dan membentuk lumpur. Hasil anaslisi sifat fisika dan kimia tanah di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai disajikan pada Tabel 3.1.3.
Tabel 3.1.3. Sifat fisika dan kimia tanah di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 B 1 2 3 4
Parameter Kimia: pH H20 pH KCl C Organik N Total C/N Ratio P tersedia KTK Ca Mg K Tekstur: Liat Debu Pasir Klas Tekstur
Satuan
Hasil Pengukuran
▬ ▬ % % ▬ Ppm (cmol (+)kg -1 (cmol (+)kg -1 (cmol (+)kg -1 (cmol (+)kg -1 % % %
5.31 4.47 5.36 0.14 50.57 0.02 28.17 0.15 0.21 0.07
Harkat Masam Masam Sangat Tinggi Rendah Sangat Tinggi Sangat Rendah Tinggi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah
13.29 37.57 49.14 Loam (lempung)
Keterangan: Sampel dianalisis di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
c.
Analisis Vegetasi Mangrove Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan
bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Kehadiran vegetasi pada suatu lanskap akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu wilayah memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.
26 | S i n t e s i s R P I
Komposisi vegetasi pada suatu tipe hutan sangat penting diketahui. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati di hutan mangrove merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Hutan mangrove merupakan laboratorium hidup yang menyimpan berbagai rahasia alam yang masih perlu dipelajari. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan hutan hutan mangrove TN RAW sangat perlu dilakukan demi pemenuhan kebutuhan hidup di masa depan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tingkat keanekaragaman hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan, semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas. Dari hasil pengolahan data analisis vegetasi hutan mangrove di TN RAW menunjukkan untuk tingkat semai tercatat sebanyak 9 jenis, pancang sebanyak 9 jenis, tiang sebanyak 9 jenis dan pohon sebanyak 10 jenis. Analisis vegetasi merupakan suatu gambaran tentang keadaan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang didalamnya akan dipelajari mengenai komposisi jenis dan struktur masyarakat tumbuh-tumbuhan yang menyusun suatu formasi hutan (Syafiuddin, 1990). Analisis vegetasi secara kuantitatif dapat ditinjau dari beberapa parameter sebagai data dasar seperti kerapatan dan kerapatan relatif, frekuensi dan frekuensi relatif, dominansi dan dominansi relatif dan Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks nilai penting (INP) merupakan penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dari suatu jenis vegetasi yang dinyatakan dalam persen. Untuk tingkat tumbuhan bawah dan semai, nilai INP didapatkan dari hasil penjumlahan dominansi relatif dan frekuensi relatif. Dengan mengetahui besarnya nilai INP maka akan dapat diketahui besar kecilnya peranan suatu spesies dalam sebuah komunitas, semakin tinggi nilai INP suatu spesies maka semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam sebuah komunitas. Jenis-jenis dengan INP yang tinggi selanjutnya biasa disebut dengan jenis yang dominan.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 27
Nilai kerapatan setiap jenis pada tingkat pohon menunjukkan variasi yang berbeda-beda. Jumlah pohon dari 10 spesies yang ditemukan adalah 251 pohon. Nilai kerapatan tertinggi sebesar 42,629% adalah Ceriop tagal. Nilai kerapatan terendah yaitu 1,594% ditemukan pada jenis Bruguiera sexangula dan Sonneratia alba. Jenis lain yang mempunyai nilai kerapatan yang tinggi adalah Xylocarpus granatum, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Perbedaan nilai kerapatan masing-masing jenis disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan reproduks, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu, sehingga nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut di lokasi penelitian. Nilai kerapatan belum dapat menggambarkan distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai frekuensi tertinggi ditemukan pada jenis Ceriop tagal sebesar 30,189% artinya dari total 26 plot yang diamati di lokasi penelitian sekitar 30% atau sebanyak 8 plot diantaranya terdapat jenis ini. Jenis Ceriop tagal merupakan jenis dengan nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi, ini artinya jenis ini merupakan jenis yang rapat dan tersebar luas pada hampir seluruh lokasi penelitian. Jenis lain yang mempunyai nilai frekuensi yang tinggi adalah jenis Xylocarpus granatum, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Menurut Greig-Smith (1983) nilai frekwensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya. Nilai distribusi hanya dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot. Nilai dominasi masing-masing spesies juga berbeda. Nilai dominasi yang tertinggi adalah jenis Ceriop tagal dengan nilai dominasi 27,990%, sedangkan yang terendah adalah jenis Lumnitcera litoralis dengan nilai dominasi 0,906%. Jenis lain yang mempunyai nilai dominasi yang tinggi adalah Xylocarpus granatum, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Nilai dominasi masing-masing jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai domnasi ditentkan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang.
28 | S i n t e s i s R P I
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan, frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya sehingga nilainya juga bervariasi. Hasil analisis data vegetasi menunjukkan nilai INP yang tinggi untuk tingkat semai secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (84,088%), Rhizopora apiculata (28,313%), Lumnitsera litoralis (24,863%), Rhizophora mucronata (12,295%) dan Xylocarpus granatum (12,295%). Nilai INP yang tinggi untuk tingkat pancang secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (142,058%), Xylocarpus molucensis (41,309%), Xylocarpus granatum (28,966%), Avicennia marinna (23,697%) dan Rhizopora stilosa (15,341%). Nilai INP yang tinggi untuk tingkat tiang secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (148,909%), Rhizophora mucronata (28,071%), Rhizopora apiculata (24,830%), Xylocarpus granatum (21,491%) dan Lumnitsera litoralis (20,130%). Nilai INP yang tinggi untuk tingkat pohon secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (100,808%), Rhizopora apiculata
(53,292%), Xylocarpus granatum (50,220%), Rhizophora
mucronata (40,183%) dan Xylocarpus molucensis (12,804%). Tingkat keanekaragaman hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore, 1990). Tabel 3.1.4 berikut ini adalah gambaran umum secara kuantitatif hasil pengolahan data potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai Tabel 3.1.4. Potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN. Rawa Aopa Watumohai No
Parameter
1
Jumlah Individu
2 3 4 5 6
Jumlah Jenis Indeks kekayaan jenis (d) Indeks diversitas (H') Indeks dominasi ( C ) Indeks kemerataan (E)
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
188
172
139
251
9 1,528 1,495 0,332 0,681
9 1,554 1,504 0,361 0,685
9 1,621 1,632 0,314 0,743
10 1,629 1,695 0,252 0,736
Indeks kekayaan jenis merupakan salah satu metode pengukuran kekayaan spesies yang menggambarkan jumlah spesies dalam suatu komunitas. Dari hasil P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 29
analisis data kuantitatif diperoleh suatu gambaran bahwa di wilayah hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks kekayaan jenis tertinggi ditemukan pada tingkat pohon (1,629); selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat tiang dengan nilai indeks kekayaan jenis 1,621, tingkat pancang 1,554 dan terendah pada tingkat semai (1,528). Dengan data ini menunjukkan bahwa pada tingkatan pertumbuan pohon variasi jenisnya tertinggi dibandingkan dengan tingkatan pertumbuhan yang lain. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran indeks kekayaan jenis kurang dari 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Pada pengukuran nilai indeks diversitas Shannon-Wiener (H’) di kawasan hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks diversitas yang tertinggi ditemukan pada tingkat pohon (1,695), selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat tiang dengan nilai indeks keragaman jenis 1,632, tingkat pancang 1,504 dan terendah pada tingkat semai (1,495). Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu H’<1 menunjukkan tingkat keanekaragaman yang rendah, H’=1-3 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong sedang dan H’>3 menunjukkan tingkat keanekaragamannya tergolong tinggi. Dari kriteria diatas menunjukkan bahwa di tingkat keanekaragaman vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN RAW pada semua tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang sedang. Indeks dominasi simpson (C) digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Pada pengukuran nilai indeks dominasi di kawasan hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks dominasi yang tertinggi ditemukan pada tingkat pancang sebesar 0,361 selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat semai dengan nilai indeks dominasi jenis 0,332, tingkat tiang 0,314 dan terendah pada tingkat pohon 0,252. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkat dominasi spesies tumbuhan yaitu semakin mendekat nol menunjukkan bahwa indeks semakin rendah 30 | S i n t e s i s R P I
atau beberapa spesies tumbuhan mendominasi secara bersama-sama, sedangkan jika mendekati satu menunjukkan bahwa indeks dominasi semakin besar dan dominasi lebih terkonsentrasi pada satu spesies tumbuhan. Dari kriteria tersebut menunjukkan bahwa pada tingkatan pertumbuhan pohon jenis yang mendominasi kawasan lebih dari satu spesies. Secara umum untuk semua tingkatan pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) mempunyai indeks dominasi kurang dari 0,5 sehingga dapat dikatakan secara keseluruhan indeks dominasinya tergolong rendah. Indeks kemerataan (E) menunjukkan sebaran masing-masing spesies dalam sebuah komunitas. Nilai indeks kemerataan akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu spesies tertentu, sebaliknya indeks kemerataan akan rendah jika terjadi pemusatan individu suatu spesies tertentu (Odum, 1993). Pada pengukuran nilai indeks kemerataan di kawasan hutan mangrove TN. RAW mempunyai nilai indeks kemerataan yang tertinggi ditemukan pada tingkat tiang
sebesar 0,743
selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat pohon dengan nilai indeks kemerataan jenis 0,736, tingkat pancang 0,685 dan terendah pada tingkat semai 0,681. Dari data yang ada menunjukkan bahwa pada tingkatan pertumbuhan tiang tidak terdapat pemusatan individu spesies tertentu pada suatu wilayah yang artinya keseluruhan individu suatu spesies tersebar merata pada semua wilayah. Jenis tanaman dengan pola penyebaran yang cenderung mengelompok pada umumnya disebabkan karena pada umunya biji atau propagul dari setiap tumbuhan akan jatuh disekitar pohon induknya. Jenis yang tumbuh mengelompok pada umumnya agen dispersalnya berupa angin sehingga jika ukuran buah/bijinya relatif besar, tidak dapat menyebar dalam radius yang jauh. Jenis pohon yang pola distribusinya spasial reguler umumnya menyebar dengan bantuan hewan (zoochori) atau manusia (anthropochori), sehingga dapat menyebar dengan pola reguler. Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi dan disebabkan karena beberapa faktor yang saling berinteraksi antara lain (1) faktor vektorial (intrinsik) yaitu faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air dan intensitas cahaya, (2) faktor kemampuan reproduksi organisme, (3) faktor sosial yang menyangkut fenologi tumbuhan, (4) faktor koaktif yang merupakan dampak interaksi intraspesifik dan (5) faktor stokastik yang merupakan hasil variasi random beberapa faktor yang berpengaruh. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 31
d.
Keanekaragaman Plankton dan Benthos Ekosistem mangrove mempunyai peranan dalam kelangsungan proses
ekologis dan merupakan sistem penyangga kehidupan di wilayah pesisir. Ekosistem ini mampu mencegah intrusi air laut ke daratan, menahan angin dan ombak, sebagai wilayah pemijahan (nursery ground) bagi beberapa jenis biota laut, penyaring dan pengurai bahan-bahan organik dari daratan dan lain-lain. Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa sudut, misalnya komponen flora dan fauna, dinamika ekosistem (suksesi, perubahan struktur, regenerasi), aspek sosial ekonomi (pemanfaatan tradisional, tata guna lahan dan pemilikan) dan analisis jangka panjang yang berkaitan dengan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan berubahnya struktur komunitas, rantai makanan, diversitas dan produktifitas fauna. Odum (1994) menyatakan bahwa tingginya produksi fauna di perairan mangrove dan sekitarnya terutama bersumber dari serasah daun yang jatuh ke dalam air dan dimanfaatkan oleh pemakan detritus. Jalur trofik detritus ini cukup besar, sehingga peranan plankton sebagai produsen primer di kawasan mangrove kurang mendapat perhatian. Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator sehat dan tidaknya perairan tersebut. Hal tersebut didasari karena Pythoplankton berperan sebagai produsen dalam rantai makanan yang berasimilasi (fotosintesis) menggunakan sinar matahari untuk menyintesiskan gula dan berbagai bahan organik lainnya. Khusus zooplankton umumnya tersusun dari makhluk hidup bersel satu, namun, ada pula makhluk hidup bersel banyak di dalam kelompok ini. Komunitas plankton hewani (zooplankton) secara aktif mencari makan berupa nutrisi yang dihasilkan oleh pythoplankton. Zooplankton akhirnya menjadi makanan bergizi bagi makhluk herbivora sebelum hewan laut itu dikonsumsi oleh konsumen kedua, dan begitulah seterusnya dalam rantai makanan. Maka dari itu, perputaran ekosistem laut secara eksplisit dipegang oleh plankton. Jika kelimpahan plankton dalam suatu peairan mencukupi maka keseimbangan kehidupan di laut dapat berjalan seimbang (Anonym, 2008). Benthos merupakan organisme, baik nabati (fitobenthos) maupun hewani (zoobenthos) yang tingggal di dalam dan/atau di atas sedimen di dasar suatu
32 | S i n t e s i s R P I
perairan. Keberadaan benthos di perairan memiliki peranan yang sangat penting karena mmempunyai kemampuan dalam mendaur ulang bahan organik dan membantu proses mineralisasi, sehingga keberadaan benthos dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator tingkat kesuburan perairan. Salah satu karakteristik dari dari benthos ini adalah sifat pergerakanya yang terbatas dan mempunyai siklus hidup yang panjang sehingga hewan ini dapat juga dijadikan indikator pencemaran perairan. Hasil identifikasi jenis plankton menunjukkan bahwa di lokasi penelitian dapat diidentifikasi 25 spesies plankton yang terdiri atas phytoplankton sebanyak 19 spesies dan zooplankton sebanyak 6 spesies. Nilai kelimpahan rata-rata sebesar 29,3 sel/ml. Jenis plankton yang terbanyak dijumpai yaitu Rhizosolenia stolterforthii dengan kelimpahan rata-rata 9,2 sel/ml dan jenis plankton yang paling sedikit dijumpai adalah Guinardia sp dengan tingkat kelimpahan 0,1 sel/ml. Sementara itu, hasil identifikasi jenis bentos menunjukkan bahwa di lokasi penelitian dapat diidentifikasi benthos sebanyak 11 famili dan 14 spesies dengan kelimpahan ratarata 7,7 individu/m3. Jenis benthos yang terbanyak dijumpai yaitu Laganum sp dengan kelimpahan rata-rata 2,3 individu/m3 dan jenis plankton yang paling sedikit dijumpai adalah Marcia hiantina, Perna viridis dan Atrina vexillum dengan tingkat kelimpahan 0,1 individu/m3. Hasil perhitungan indeks kekayaan jenis (d) plankton sebesar 4,225 dan jenis (d) benthos sebesar 3,259. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran indeks kekayaan jenis berada antara 3,5–5 yang menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang. Hasil perhitungan indeks keragaman jenis (H’) plankton di lokasi penelitian sebesar 2,592 dan bhentos sebesar 2,332. Merujuk pada kriteria indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener yang menyatakan bahwa
nilai
indeks
keragaman
jenis
(H’)=1–3
menunjukkan
tingkat
keanekaragaman tergolong sedang. Merujuk standard derajat pencemaran perairan menurut Lee et al. (1978), kondisi perairan pada ekosistem mangrove di kawasan hutan mangrove TN RAW tergolong dalam kelompok tidak tercemar dengan indeks diversitas lebih dari dua.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 33
Hasil perhitungan terhadap nilai indeks dominasi jenis (D) menunjukkan bahwa nilai indeks dominasi jenis plankton di lokasi penelitian sebesar 0,131 dan benthos sebesar 0,134. Semakin rendah nilai indeks dominasi menunjukkan bahwa ada beberapa spesies plankton yang mendominasi secara bersama-sama, sedangkan jika mendekati satu menunjukkan bahwa indeks dominasi semakin besar dan dominasi lebih terkonsentrasi pada satu spesies plankton/benthos. Dari kriteria tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa jenis plankton dan benthos yang mendominasi karena indeks dominasinya mendekati angka nol. Hasil perhitungan terhadap nilai indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan bahwa nilai indeks kemerataan jenis plankton di lokasi penelitian sebesar 0,805 dan benthos sebesar 0,883. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran E’<0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’=0.3–0.6 menunjukkan kemerataan jenis tergolong sedang, dan E’>0.6 menunjukkan kemerataaan jenis tergolong tinggi. Dengan demikian, indeks kemerataan jenis plankton dan benthos di lokasi penelitian dapat dinyatakan tergolong tinggi yang berarti tidak terdapat pemusatan individu spesies tertentu pada suatu wilayah, atau berarti pula keseluruhan individu suatu spesies tersebar merata pada semua wilayah. e.
Keanekaragaman Fauna Akuatik (Udang, Kepiting dan Ikan) Kepiting dan udang merupakan komoditas perikanan yang paling utama bagi
nelayan di sekitar perairan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai. Teknik penangkapan udang oleh masyarakat dengan menggunakan jala sedangkan untuk penangkapan kepiting dan atau rajungan menggunakan bubu, rakang dan makoti. Selama penelitian tidak banyak jenis yang tertangkap sehingga menghasilkan indeks keragaman yang relatif sedikit hampir di setiap lokasi. Bahkan di lokasi Mandumandula, Sungai Laeya dan rawa Bolo sedikit pun tidak ada kelompok Krustasea, baik udang maupun kepiting yang tertangkap sehingga keragaman menjadi 0. Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Nilai indeks diversitas ShannonWiener (H’) kelompok krustasea di kawasan hutan mangrove TN RAW termasuk rendah sampai sedang dengan nilai H’ sebesar 0–1,2. Nilai H’ tertinggi untuk 34 | S i n t e s i s R P I
kelompok krustasea di TN RAW yaitu lokasi Tanjung Peropa dan Tanjung Lambuaja. Kedua lokasi tersebut memiliki H’ termasuk sedang. Nilai H’ ini dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jumlah individu dimasing jenis yang ditemukan. Adanya dominasi satu atau beberapa jenis akan berakibat pada rendahnya nilai H’ pada suatu lokasi. Jumlah jenis terbanyak dijumpai di Tanjung Labuaja dan muara Sungai Tanjung Peropa, yaitu sebanyak 7 jenis. Selain karena sedikitnya jumlah jenis yang tertangkap, adanya dominansi jenis tertentu juga mempengaruhi rendahnya nilai indeks keragaman (Gambar 3.1.1). Adanya dominansi diindikasikan dengan rendahnya indeks perataan, yaitu terdapat jenis tertentu yang memiliki populasi jauh lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya (Gambar 3.1.2).
er op a
Bo lo
Tj .P ua ra
at a Ue m
ra wa m
M
ua ra
La ba si ua ra
M
iL ae ya
a
Su ng a
La bu aj
lu La na wu
an um an du l
M
Bo ng g
a
1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
on a
H'
Indeks Keragaman Kelompok Krustasea du Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011
Lokasi
Gambar 3.1.1
Indeks Keragaman Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 35
Indeks Perataan Kelompok Krustasea di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011
er op a
Bo lo
Tj .P ua ra
at a Ue m
ra wa m
M
ua ra
La ba si ua ra
M
iL ae ya
a
Su ng a
La bu aj
lu La na wu
a an um an du l
M
Bo ng g
on a
Indeks Perataan
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Lokasi
Gambar 3.1.2. Indeks Perataan Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011
Indeks kemerataan (E) menunjukkan sebaran masing-masing spesies dalam sebuah komunitas. Nilai indeks kemerataan akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu spesies tertentu, sebaliknya indeks kemerataan akan rendah jika terjadi pemusatan individu suatu spesies tertentu (Odum, 1993). Pada pengukuran nilai E di kawasan hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks kemerataan sebesar 0,29–1. Lokasi muara Uemata memiliki nilai E terendah yaitu 0,33. Rendahnya nilai ini dikarenakan terdapatnya satu jenis yaitu rajungan (Portunus palagicus) yang ditemukan dalam jumlah yang banyak. Hasil identifikasi jenis ikan menunjukkan bahwa lokasi penelitian dapat diidentifikasi 61 spesies. Terdapat beberapa spesies yang merupakan jenis-jenis ikan komoditi perdagangan seperti kakap, bolu, caria atau bette-bette. Keberadaan ekositem mangrove sangat penting bagi kehidupan ikan. Hal ini karena ekosistem mangrove menyediakan sumber makan dan tempat pemijahan (Nursery ground) bagi kehidupan ikan. Penelitian Setyawan (2010) menunjukan perairan di TN RAW belum tercemar sehingga keberadan plankton sebagai sumber pakan ikan relatif stabil. Hasil penelitian menujukkan keragaman jenis ikan di berbagai lokasi penelitian bervariasi antara 0,73–1,73 yang termasuk kedalam keragaman jenis rendah sampai sedang (Gambar 3.1.3). Nilai H’ terendah terdapat di lokasi muara 36 | S i n t e s i s R P I
Tanjung Peropa karena dilokasi ini ditemukan jenis ka’beto. Nilai H’ tertinggi di lokasi Bonggona dengan nilai H’ sebesar 1,73. Nilai H’ yang rendah sampai sedang di masing-masing lokasi ini dikarenakan hanya sedikit jenis ikan yang tertangkap pada saat penelitian seperti yang terjadi di Muara Uemata, yang terlihat memiliki indeks keragaman yang rendah dan indeks perataan yang tinggi.
Indeks Keragaman Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 2
H'
1,5 1 0,5
er op a
Bo lo
Tj .P ua ra
at a Ue m
ra wa m
M
ua ra
La ba si ua ra
M
iL ae ya
a
Su ng a
La bu aj
lu La na wu
a an um an du l
M
Bo ng g
on a
0
Lokasi
Gambar 3.1.3
Indeks Keragaman Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011.
Selain kerena sedikitnya jumlah jenis tangkapan pada saat penelitian, rendahnya nilai indeks keragaman jenis juga dipengaruhi adanya dominansi jenis tertentu atau jumlah tangkapan yang melimpah hanya pada jenis tertentu. Jenis yang mendominasi selama penelitian adalah jenis yang memiliki sifat hidup berkelompok sehingga ketika tertangkap, jenis tersebut tertangkap dalam jumlah yang banyak dibandingkan jenis yang lain. Adanya dominansi jenis tertentu yang menyebabkan rendahnya nilai indeks keragaman nampak pada lokasi Muara Tanjung Peropa, yang memiliki indeks keragaman dan indeks perataan yang sama-sama rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Desmukh (1992) yang menyatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan fungsi dari jumlah individu dan jumlah jenis. Indeks kemerataan (E) ikan dilokasi penelitian berkisar 0,27–1,02. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran E’<0,3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’=0,3–0,6 kemerataan jenis tergolong sedang P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 37
dan E’>0,6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi. Lokasi dengan nilai kemerataan terendah yaitu muara Tanjung Peropa. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut terdapat satu atau beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang banyak atau dengan kata lain perataan individu di masing-masing jenis kecil.
er op a
Bo lo
Tj .P ua ra
at a Ue m
ra wa m
M
ua ra
La ba si ua ra
M
iL ae ya
a
Su ng a
La bu aj
lu La na wu
an um an du l
M
Bo ng g
a
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
on a
Indeks Perataan
Indeks Perataan Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, tahun 2011
Lokasi
Gambar 3.1.4
f.
Indeks Perataan Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011
Keanekaragaman Fauna Terrestrial (Burung dan Mamalia) Burung adalah fauna yang spesifik kerana sifat dasarnya yang biasa terbang
dan mudah bermigrasi atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Oleh sebab itu, burung dapat dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan suatu habitat atau lingkungan. Jumlah dan keanekaragaman jenis burung yang ada di suatu habitat merupakan petunjuk bahwa kondisi lingkungan satwa tersebut relatif masih baik dan stabil, hal itu berarti daya dukung habitat masih menunjang bagi kehidupan burung dengan segala aktivitasnya. Jenis burung yang dijumpai selama penelitian sebanyak 68 jenis yang sebagian besar adalah burung khas lahan basah, yaitu pantai dan mangrove. Jenisjenis yang dijumpai dengan jumlah individu tertinggi adalah pergam laut (Ducula bicolor), layang-layang batu (Hirundo tahitica) dan trinil pantai (Acititis hypoleucos). Adapun jenis yang pada saat penelitian dijumpai tidur di vegetasi
38 | S i n t e s i s R P I
mangrove adalah pergam laut (Ducula bicolor) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea). Beberapa jenis burung memiliki nilai penting, baik karena status konservasi ataupun keedemisan dari spesies tersebut. Kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum) merupakan spesies burung endemik Sulawesi Tenggara (Coates dan Bishop, 2000). Spesies ini dapat dijumpai di derah berperdu, lahan budidaya, hutan pamah, tepi hutan, dan perkebunan dengan ketinggian sampai 300 m di atas permukaan laut (dpl) (Coates dan Bishop, 2000). Keberadaan spesies endemik dan terancam ini mengindikasikan bahwa lokasi mangrove di TN RAW memiliki peran penting sebagai habitat beberapa jenis burung. Spesies bangau bluwok/arweli pada saat penelitian di temukan tidur di hutan mangrove TN RAW. Hasil penelitian menunjukkan Indeks keanekaragaman burung di kawasan hutan mangrove TN RAW memiliki nilai keragaman bervariasi antara 1,36–2,71. Dengan nilai H’ tersebut maka lokasi TN RAW termasuk kriteria sedang. Nilai H’ yang sedang ini mengindikasikan dilokasi penelitian tidak ada pemusatan individu di satu atau beberapa jenis burung. Keragaman tertinggi didapatkan di Sungai Laeya dan terendah di Sungai Uemata (Gambar 3.1.5).
er op a
Bo lo m
ua ra
Tj .P
ra wa
at a .U em M
M
.L ab as i
a S. la iy
a La bu aj
lu La na wu
an um an du l
M
Bo ng g
a
3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
on a
H'
Indeks Keanekaragaman Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai Tahun 2011
Lokasi Pengamatan
Gambar 3.1.5
Indeks Keragaman Burung di hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, tahun 2011
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 39
Keragaman burung di TN RAW termasuk sedang yang berarti tidak ada pemusatan individu dalam satu jenis di satu lokasi. Hal ini menjadikan indeks keragaman dan indeks perataan menjadi kecil (Gambar 3.1.6). Terdapat beberapa jenis burung yang yang memiliki perilaku berkelompok seperti burung migran, baik burung migran lokal. Adapun burung migran antar benua yang dijumpai pada saat penelitian antara lain jenis trinil semak (Tringa glareola) dan trinil pantai (Acititis hypoleucos). Keberadaan spesies migran yang ditemukan selama penelitian mengindikasikan hutan mangrove di TN RAW merupakan salah satu habitat yang penting bagi spesies tersebut. Selain itu, nilai kemerataan (E) burung di lokasi penelitian tergolong tinggi dengan nilai berkisar antara 0,66–0,92 yang berarti tidak terdapat pemusatan individu spesies benthos tertentu pada suatu wilayah yang artinya keseluruhan individu suatu spesies tersebar merata pada semua wilayah.
er op a
Tj .P
Bo lo
at a
m
ua ra
ra wa
.U em
M
M
S. la iy
M
Bo ng g
a .L ab as i
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 on a an um an du la La na wu lu La bu aj a
Indeks Perataan
Indeks Perataan Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai Tahun 2011
Lokasi Pengamatan
Gambar 3.1.6. Indeks Perataan Jenis Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011
Selama penelitian, perjumpaan terhadap kelompok mamalia sangat terbatas. Perjumpaan langsung hanya dengan jenis babi hutan Sulawesi (Sus sp.) di Bolo dan Muara Lanawulu. Babi ditemukan disemua lokasi kecuali di muara Labuaja dan labasi. Di sungai Laiya terlihat pada malam hari di sekitar pemukiman muara Lanowulu dan ketika terjadi surut air laut. Pada saat tersebut babi mencari makan sisa-sisa makanan penduduk yang tinggal di muara. Perjumpaan secara tidak 40 | S i n t e s i s R P I
langsung berupa jejak jenis Anoa (Bulbalus sp.) dan Rusa (Cervus timorensis). Jejak Anoa ditemukan di Sungai Laiya dan Bolo sedang rusa ditemukan di Sungai Laiya. Sedikitnya jumlah jenis yang ditemukan selama penelitian disebabkan peluang perjumpaan terhadap spesies mamalia di lokasi penelitian sangat kecil. Hal ini dikarenakan mamalia sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. penggunaan beberapa metode pengambilan data seperti line transect, pallet count, dan concentration count akan memperbesar peluang perjumpaan sehingga data yang diperoleh akan semakin maksimal. Selain itu penggunaan perangkap akan dapat membantu untuk pendataan jenis-jenis mamalia kecil atau mamalia nokturnal. Nilai H’ dan E hanya bisa diketahui di Sungai Laiya dikarenakan dilokasi terebut ditemukan 3 jenis mamalia sehingga nilai H’=1,194506 dan E=1,087287. Sedangkan di lokasi lain hanya ditemukan 1 jenis sehingga nilai H’=0. Desmukh (1992) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan fungsi dari jumlah individu dan jumlah jenis. g.
Implikasi Konservasi Ekosistem mangrove mempunyai peranan dalam kelangsungan proses
ekologis dan merupakan sistem penyangga kehidupan di wilayah pesisir. Ekosistem ini mampu mencegah intrusi air laut ke daratan, menahan angin dan ombak, sebagai wilayah pemijahan (nursery ground) bagi beberapa jenis biota laut, penyaring dan pengurai bahan-bahan organik dari daratan dan lain-lain. Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa sudut, misalnya komponen flora dan fauna, dinamika ekosistem (suksesi, perubahan struktur, regenerasi), aspek sosial ekonomi (pemanfaatan tradisional, tata guna lahan dan pemilikan) dan analisis jangka panjang yang berkaitan dengan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan berubahnya struktur komunitas, rantai makanan, diversitas dan produktifitas fauna. Odum (1994) menyatakan bahwa tingginya produksi fauna di perairan mangrove dan sekitarnya terutama bersumber dari serasah daun yang jatuh ke dalam air dan dimanfaatkan oleh pemakan detritus. Jalur trofik detritus ini cukup besar, sehingga peranan plankton sebagai produsen primer di kawasan mangrove kurang mendapat perhatian. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 41
Fauna yang dijumpai di ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara fauna terrestrial dan fauna akuatik. Fauna terrestrial memanfaatkan mangrove sebagai daerah perlindungan dan sebagai sumber pakan. Jenis-jenis fauna tersebut antara lain adalah burung, mammalia dan lain sebagainya. TN Rawa Aopa Watumohai memiliki luasan mangrove yang tinggi. Hal ini memungkinkan dijumpainya berbagai jenis satwa termasuk satwa endemik dan dilindungi. Selama penelitian, satwa penting yang dijumpai berasosiasi dengan mangrove adalah babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea). Salah satu fungsi mangrove adalah meningkatkan kesuburan perairan di sekitarnya melalui mekanisme penguraian serasah. Perairan di sekitar mangrove TN Rawa Aopa Watumohai merupakan perairan yang subur. Hal ini diindikasikan dengan jumlah tangkapan nelayan yang cukup melimpah, baik nelayan udang, kepiting maupun nelayan ikan. Tabel 3.1.5. Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Setiawan dkk, 2010) No
Parameter
I 1 2 3 II 1 2 3 4 5 6 7
Fisik Salinitas Kekeruhan Total Suspended Solids (TSS) Kimia pH Amoniak (NH3) Nitrat (NO3) Nitrit (NO2) Dissolved Oxigen (DO) Biochemical Oxygen Demand (BOD) Carbon Dioxide (CO2) Chemical Oxygen Demand (COD)
8
Satuan
Hasil Pengukuran
ppt NTU ppm
16.21 8.27 13.7
▬ ppm ppm ppm ppm ppm ppm
7.96 0.01 0.03 0.04 4.36 2.65 3.92
ppm
39.97
Udang dan kepiting merupakan komoditas perikanan utama di perairan sekitar mangrove TN Rawa Aopa Watumohai. Teknik penangkapan udang adalah menggunakan jalan di sekitar muara. Adapun untuk penangkapan kepiting dan rajungan, masyarakat menggunakan teknik bubu, rakang dan makoti. Sementara itu 42 | S i n t e s i s R P I
nelayan ikan menggunakan jalan dan atau pukat untuk mendapatkan ikan di sekitar perairan mangrove. Indikator kesuburan perairan di sekitar mangrove yang lain adalah suburnya rumput laut jenis Euchema sp. yang sengaja ditanam oleh masyarakat. Hal ini nampak pada hasil panenan rumput laut yang melimpah hampir setiap saat. Sisi positif dari hasil panen rumput laut yang melimpah adalah tekanan masyarakat terhadap keanekaragaman fauna akuatik seperti ikan, udang dan kepiting menjadi rendah dan selanjutnya keanekaragaman hayati untuk fauna akuatik bisa lestari.
3.1.1.2 Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di TN Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah) a.
Kondisi Umum Taman Nasional Togean Taman Nasional Kepulauan Togean didirikan melalui surat keputusan
Menteri Kehutanan N0. 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 0ktober 2004. Taman Nasional Kepulauan Togean terletak di Kabupaten Tojo Una-una Provinsi Sulawesi Tengah, merupakan gugusan pulau-pulau kecil melintang di tengah teluk Tomini dengan luas ±362.605 ha yang terdiri atas: -. Hutan lindung seluas ± 10.659 ha -. Hutan produksi tetap ± 11.759 ha -. Hutan produksi yang dapat dikonversi seluas ±3.221 ha -. Perairan laut seluas ±336.773 ha dan -. Hutan mangrove seluas ±4800 ha. Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Bappeda Kabupaten Poso, luas hutan mangrove di kepulauan Togean di perkirakan 4800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian Pulau Waleabahi. Hasil survei yang dilakukan oleh CII dan yayasan Pijak pada tahun 2001 mengidentifikasi 33 species mangrove di kepulauan Togean yang terdiri dari 19 species mangrove sejati dan 14 species mangrove ikutan. Mangrove ini dibagi kedalam 26 genus dan 21 famili.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 43
Secara umum musim hujan di pulau Batudaka dan Togean terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Juli sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Agustus sampai dengan bulan November. Jumlah curah hujan berkisar antara 2.307 mm/tahun sampai dengan 3.246 mm/tahun yang dapat dikategorikan pada iklim A berdasarkan smith Fergusson. Tabel berikut menyajikan kondisi peraiaran di Pulau Togean. Tabel 3.1.6 Kondisi Perairan Taman Nasional Kepulauan Togean. Parameter yang diamati pH
7,66
Suhu
30°
Salinitas
b.
Nilai rata-rata
31,5 ‰
DO
4,55
Koensentarsi nitrat
0,075
Kondisi Mangrove di Kepulauan Togean Hasil pengamatan kondisi tempat tumbuh dan tumbuhan mangrove di lokasi
pengamatan dapat di lihat pada Tabel 3.1.7. Tabel 3.1.7 Kondisi sifat fisik kimia habitat mangrove di Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun 2012. Parameter yang diamati pH
Nilai rata-rata 8,1
Suhu
30°C
Salinitas
31‰
Kecerahan
33 cm
Ketebalan lumpur Oksigen terlarut
22,1 cm 2,52.
Dari Tabel 3.1.7 diketahui bahwa kondisi pH, Suhu dan salinitas cukup tinggi untuk pertumbuhan mangrove, utamanya salinitas yang mencapai 31‰. Kondisi ini akan menyebabkan pertumbuhan bakau menjadi kerdil. Hal ini terlihat di lapangan di mana bakau tumbuh dengan bentuk pertumbuhan yang tidak normal, utamanya 44 | S i n t e s i s R P I
yang berada di depan garis pantai. Mangrove tumbuh dimana batang saling merambat dengan akarnya dengan ketinggian kurang dari lima meter .
Gambar 3.1.7 Penampilan bakau yang tumbuh dipinggir laut.
Tabel 3.1.8 Jenis, rata-rata tinggi dan diameter serta kerapatan Bakau di Lokasi Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun 2012. Kerapatan (pohon/ha)
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Pohon
Tiang
Pancang
semai
9,6
21,4
100
91
116
254
B. gymnorrhiza
6
11.4
0
8
12
0
Xilocarpus granatum
6
11,6
4
42
71
0
Lumnitzera littocera
5,5
5,4
0
0
287
518
Jenis R. apiculata
Pada Tabel 3.1.8 terlihat bahwa jenis yang dijumpai pada plot pengamatan adalah empat jenis dengan tinggi tanaman yang paling tinggi adalah jenis R. apiculata yakni 9,6 m dengan diamater berkisar 21,4 cm. Untuk jenis R. apiculata ini masih dijumpai dari tingkat pohon hingga semai dengan kerapatan yang beragam. Nampak bahwa semakin besar tanaman semakin jarang kerapatannya. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 45
Jenis yang masih dijumpai pada tiga fase pertumbuhan adalah jenis Xilocarpus granatum yang masih terdapat pada tingkat pohon, tiang serta pancang. Pada tingkat semai tanaman ini tidak lagi dijumpai dalam plot pengamatan. Dua jenis lain yang juga dijumpai dalam plot pengamatan adalah jenis B. gymnorrhiza yang hanya dijumpai pada fase tiang dan pancang sedangkan jenis Lumnitzera littorea hanya dijumpai pada fase tiang dan semai. Tidak sempurnanya fase tanaman yang di jumpai dalam plot pengamatan kemungkinan disebabkan karena tanaman banyak di manfaatkan oleh masyarakat sekitar dan juga karena kondisi habitat dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi (31‰) mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.. Salinitas air dan salinitas tanah adalah merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi species mangrove (Anonim, 2003). Salinitas yang sangat tinggi (hipersalinity), misalnya ketika salinitas melebihi salinitas yang umum di laut (berkisar 35‰) dapat berdampak buruk terhadap mangrove. Perkembangan hutan mangrove di Indonesia didukung oleh salinitas yang cocok untuk mangrove yaitu pada kisaran 15–30 ‰ (Poejirahayu, 2006). c.
Keragaman Plankton dan Benthos Dari hasil analisa di laboratorium diketahui jenis-jenis plankton yang terdapat
di daerah mangrove seperti yang tersaji pada Tabel 3.1.9. Pada Tabel tersebut nampak bahwa pada lokasi penelitian dijumpai 7 hingga 9 spesies plankton dengan kelimpahan 25.000 individu/L hingga 530.000 individu per liter. Jumlah ini dapat digolongkan cukup melimpah jika dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan. Maryatul et al. (2008) melaporkan bahwa kelimpahan plankton di hutan bakau Kab. Sinjai Sulawesi Selatan berkisar pada 828 individu/L hingga 1.548 individu/L dengan jumlah spesies 18–22 spesies. Demikian juga yang dilaporkan oleh Pirzan et al., (2008) bahwa di hutan bakau kepulauan Bauluang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan kelimpahan planktonnya berkisar 470 individu /L hingga 2.680 individu/L dengan jumlah species 5 hingga 20 spesies.
46 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.1.9 Daftar nama jenis plankton di area mangrove dan jumlah sel plankton yang ditemui pada setiap plot pengamatan di Taman Nasional Laut kepulauan Togean, tahun 2012. Kelimpahan pada setiap plot tanaman Species
X. R. apiculata granatum danda
B. gymnorrhiza
L. littorea
R. Kelimpahan/ apiculata L wakay
Fitoplankton Plantonella sp
2
4
0
5
1
37500
Skeletonema sp
0
2
4
2
0
33333
Chaetoceros sp
5
16
14
7
3
112500
Rhizosolenia sp
2
3
3
4
0
30000
Pleurosigma sp
0
5
2
5
3
37500
Lecylindricus sp
4
0
5
0
2
27500
Cescinodiscus sp
13
38
51
67
43
530000
Daphnia sp
2
5
6
5
4
55000
Temora sp
0
4
6
3
5
45000
Moina sp
2
3
2
3
0
Jumlah Individu
30
80
93
101
61
25000 -
Jumlah Spesies
7
9
9
9
7
-
Zooplankton
Kelimpahan plankton dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lokasi, cahaya dan unsur hara (Nybakken, 1992). Sebagai organisme yang dapat berfotosinthesa, maka dalam perkembang biakannya plankton sangat membutuhkan cahaya. Kecerahan di lokasi penelitian dapat mencapai rata-rata 33 cm, tetapi di tepi bakau dengan jarak sekitar 100 meter terdapat laut dengan terumbu karang yang mempunyai kecerahan hingga 3 meter. Sebagai organisme yang pergerakannya tergantung pada arus maka di duga bahwa kelimpahan plankton di lokasi penelitian juga disebabkan karena melimpahnya plankton di daerah karang yang terbawa arus pada saat pasang naik ke daerah mangrove. Dari hasil analisa data diketahui indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan seperti terlampir pada Tabel 3.1.10 dan Gambar 3.1.8.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 47
Tabel 3.1.10 Indeks keanekaragaman dan Indeks kemerataan plankton pada setiap plot. Lokasi
Indeks keanekaragaman ( H’)
Indeks kemerataan (E)
Rhyzophora danda
1,66
0,75
Rhyzophora wakay
1,10
0,69
Lumnitcera littorea
1,31
0,59
Bruguiera gymnorrhiza
1,53
0,56
Xylocarpus granatum
1,65
0,84
Gambar 3.1.8 Indeks keanekaragaman (H’) plankton di Lokasi Penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada Tabel 3.1.10 berdasarkan kriteria Shanon-Wiener dalam Fahrul (2007) berkisar pada nilai (1,10– 1,66). Nilai ini menunjukkan bahwa kualitas air tercemar sedang atau stabilitas komunitas biota sedang. Nilai ini menunjukkan bahwa di lokasi penelitian tidak ada pemusatan individu, sedangkan nilai indeks kemerataan menunjukkan bahwa kemerataan antara spesies rendah atau kekayaan individu yang dimiliki masingmasing spesies sangat jauh berbeda. Sementara itu untuk benthos, hasil analisa di laboratorium diketahui keragaman serta kelimpahan benthos seperti dicantumkan pada Tabel 3.1.11. 48 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.1.11 Daftar nama jenis benthos di area mangrove dan jumlah benthos yang ditemui pada setiap plot pengamatan. Species Pagurus sp Penaeus sp Uca sp oliva-oliva Tellina sp. Spondylus sp. Pinctada sp. Clypeaster sp Amphidromus sp. Telescopium sp Terebralia sp. Batissa sp. Pleuroploca sp. Vepricardium sp. Nerita costata Ellobium sp Nassarius sp Jumlah
Kelimpahan Benthos pada setiap jenis tanaman. Buli
Rhy danda
Bruguiera
Lumnit
Rhy wakay
4 0 0 2 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 15 0 3 1 3 1 4
3 2 1 1 1 1 1 1 12 2 1 2 0 3 0 0 0
2 0 3 0 0 0 0 0 38 6 72 0 0 2 0 0 0
1 0 3 0 0 0 0 0 0 1 1 0 3 4 0 0 0
Dari hasil analisa data diketahui indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan benthos seperti terdapat pada Tabel 3.1.12. Tabel 3.1.12 Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan benthos pada setiap plot Lokasi Rhyzophora danda Rhyzophora wakay Lumnitcera littorea Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus granatum
Indeks keanekaragaman (H’)
Indeks kemerataan (E)
1,64 2,12 1,05 1,63 1,42
0,78 0,82 0,58 0,91 0,88
Pada lokasi penelitian ditemukan benthos sebanyak 17 spesies yang berasal dari 4 class yakni malostraca, gastropoda, bivalvia dan Echnoidea yang komposisinya dapat di lihat pada Gambar 3.1.9. Komposisi benthos tersebut menunjukkan bahwa genus Echnoidea yang paling kecil yang di dapatkan di TNL P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 49
Togean sebesar 0,05% dan yang paling besar adalah genus gastropoda sebesar 47%. Spesies yang cukup melimpah adalah Terebralia sp yang berasal dari klass gastropoda yang terdapat hampir pada setiap plot pengamatan. Terebralia sp merupakan spesies dari famili Potamididae yang mendominasi ekosistem mangrove (Reksodiharjo, 1986). Keong ini merupakan penghuni asli hutan mangrove dan hidup di daerah yang terkena pasang surut serta menyukai daerah yang berlumpur (Heriyanto, 1989). Jenis yang lain seperti Telescopium sp dijumpai pada pada plot tanaman Rhyzophora apiculata, Lumnitcera sp, dan Brugueira gymnorrhiza. Seperti halnya Terebralia sp, Telecopium sp juga merupakan spesies yang yang berasal dari famili Potamididae dari class gastropoda. Pada plot tanaman Bruguiera gymnorrhiza dijumpai juga 4 klass yakni Gastropda, Bivalvia, Echinoidea dan Malostraca meskipun dalam jumlah yang sedikit.
Gambar 3.1.9 Komposisi genus benthos pada hutan mangrove di TNL Togean.
Gastropoda merupakan class dari phylum molusca yang banyak ditemukan di daerah hutan mangrove (Supriharyono, 2000). Selanjutnya, Nontji (2007) juga mengatakan bahwa salah satu kelompok organisme molusca penyusun fauna ekosistem mangrove dengan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi adalah gastropoda. Gastropoda pada hutan mangrove berperan penting dalam proses decomposisi serasah dan bahan organik terutama yang bersifat herbivor dan detrivor. Gastropoda adalah organisme yang bertugas sebagai komposer awal, 50 | S i n t e s i s R P I
mencacah daun menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang kemudian dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil (Arief, 2003). Nilai indeks keanekaragaman (H’) pada Tabel 3.1.12 berdasarkan kriteria Shanon-Wiener dalam Fahrul (2007) menunjukkan bahwa kualitas air tercemar ringan atau stabilitas komunitas biota sedang. Sedangkan nilai indeks kemerataan menunjukkan bahwa kemerataan antara spesies rendah atau kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Sirante (2011) mengemukakan bahwa kepadatan mangrove berpengaruh nyata terhadap kepadatan gastropoda. d.
Sifat Fisik Kimia Tanah Dari hasil analisis di laboratorium diketahui sifat fisik kimia tanah seperti
tersaji pada Tabel 3.1.13 berikut. Tabel 3.1.13 Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah hutan mangrove di TNL Togean tahun 2012. Parameter pH H2O Salinitas (mmhos/cm) Carbon (%) Nitrogen (%) P2O5 Olsen (ppm) Kalium Aluminium Hg (ppb) Fe (ppm) Liat (%) Debu (%) Pasir (%) Klas Tekstur
B. Gym 6,56 aa 2,41 s 2,15 s 0,14 r 13,44 r 0,22 r tt tt 1,2 76 20,5 3,5 liat
Rhy.D 7,28 n 3,06 t 2,75 s 0,17 r 12,98 r 0,18 r tt 5,58 1,5 76,5 20 3,5 liat
Jenis Buli 6,44 aa 3,25 t 2,15 s 0,20 r 11,95 r 0,05 r tt 21,27 1,87 72 22 6 liat
Lutmi 7,12 n 3,73 t 2,82 s 0,22 s 12,74 r 0,08 r tt 22,18 1,03 14 9 77 Pasir berlempung
Rhy.W 6,81 n 1,92 r 2,85 s 0,11r 1,24 r 0,12 r tt tt 1,87 32 35 33 Lempung berliat
Dari hasil analisis di laboratorium diketahui bahwa pH tanah pada lokasi penelitian berkisar pada nilai yang agak asam hingga netral. Kondisi pH ini sangat mendukung perombakan bahan organik. Hal ini juga terlihat dari nilai C/N berkisar pada nilai (10,6–25,9). Nilai ini termasuk tinggi sehingga perombakan bahan organik lebih cepat. Kandungan unsur karbon rata-rata sedang sedangkan unsur P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 51
Nitrogen rendah hingga sedang. Phospor dan kalium adalah rendah. Kandungan Aluminium tidak terdeteksi sedangkan kandungan besi relatif rendah. Salinitas yang bernilai rendah sampai tinggi masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Demikian juga kandungan kalium dan Fosfor masih dalam kategori rendah. Tanah-tanah mangrove umumnya mengandung zat besi dan bahan-bahan organik yang tinggi di tambah dengan keberadaan sulfat
dari pasang air laut
membuat tanah menjadi rentan khususnya terhadap asam sulfat karena oksidasi. (Anonim, 2003). Pada lokasi penelitian unsur-unsur tersebut seperti Aluminium dan Besi serta air raksa masih dalam taraf yang tidak terdeteksi dan rendah. Secara umum sifat tanah pada lokasi penelitian masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Tekstur yang terdapat pada setiap plot penelitian menujukkan kandungan liat yang cukup tinggi yaitu rata-rata di atas 50%, kecuali pada plot tanaman Lumnitcera littorea. Hal ini yang dapat mengurangi peluang biji-biji berkecambah karena akan berpengaruh terhadap pertukaran udara atau gas antara tanah dan atmosfir yang akan mempengaruhi penyerapan udara oleh-akar-akar tanaman. e.
Sifat Fisik Kimia Air Dari hasil penelitian diketahui sifat kimia air di lokasi penelitian seperti
tercantum pada Tabel 3.1.14 berikut. Tabel 3.1.14 Hasil Analisis sifat kimia air pada perairan hutan mangrove di TNL Togean, tahun 2012. Parameter pH Natrium Kalium Phospat Amoniak Nitrat Nitrit Sulfat Kalsium Magnesium Khlorida
R. apiculata Danda 7,33 673,37 426,47 0,22 0.001 0,06 0,064 61,84 1051,05 5130,30 198,85
52 | S i n t e s i s R P I
B. gymnorrhiza 7,33 673,37 426,47 0,22 0.001 0,06 0,064 61,84 1051,05 5130,30 198,85
Nilai unsur (ppm) X. granatum
L. littorea
7,92 692,81 388,73 0,15 0,000 0,07 0,053 60,24 1051,05 5055,05 193,5
7,98 659,59 420,1 0.34 0,003 0,12 0,076 59,94 1076,07 5155,15 197,05
R. apiculata Wakay 7,97 667,83 325,49 0,22 0,002 0,09 0,055 54,26 1001,00 5055,05 197,9
Parameter Dissolved oxigen (DO) C organik BOT
R. apiculata Danda
B. gymnorrhiza
1,6 7,33 673,37
Nilai unsur (ppm) X. granatum
L. littorea
R. apiculata Wakay
1,6
2,6
1,45
1,9
153,14 7,33
150,14 72,7
151,64 66,7
160.65 91,65
Pada Tabel 3.1.14 nampak bahwa nilai unsur-unsur yang diamati pada air masih dalam taraf yang baik untuk kehidupan organisme. Nilai pH perairan nampak pada kisaran 7,3–7,9. Nilai ini adalah nilai yang cukup baik untuk biota akuatik. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7–8,5 (Effendi, 2003). Oksigen terlarut pada Tabel 3.1.14 berkisar pada nilai 1,6–2,6. Nilai ini masih berada di bawah nilai standar baku mutu air yang dipersyaratkan untuk keperluan perikanan. Sumber utama oksigen terlarut adalah fotosintesis. Akan tetapi pada lokasi penelitian meskipun plankton berlimpah, kondisi oksigen terlarut juga rendah. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi hilangnya oksigen di perairan antara lain, proses respirasi tumbuhan dan hewan, waktu,suhu, pH dan proses decomposisi bahan organik (Effendi, 2003). Unsur yang juga penting dalam perairan adalah kandungan Nitrit dan Nitrat. Kandungan Nitrit di lokasi penelitian pada setiap plot rata-rata 0,06 ppm. Jumlah kandungan ini sesuai kandungan Nitrit yang diperkenankan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan. Kandungan nitrit yang melebihi 0,06 ppm akan bersifat toksik bagi organisme perairan yang bersifat sensitif (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Nitrat adalah sumber utama nitrogen di perairan. Kandungan Nitrat di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0,08 ppm. Nilai masih dalam takaran nilai yang diperkenankan baik untuk kehidupan organisme perikanan yang mempunyai nilai standar hingga 20 ppm. Menurut Effendi (2003) kadar nitrat pada perairan yang alami tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 53
Gambar 3.1.10 Kondisi hutan bakau yang sudah mulai dibuka (kiri) dan kondisi hutan bakau yang sudah berubah menjadi tambak (kanan).
3.1.1.3 Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di Tanjung Batu (Pulau Derawan, Berau-Kalimantan Timur) a.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kampung Tanjung Batu terletak di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten
Berau,
Kalimantan
Timur.
Pada
kawasan
tersebut
tengah
direncanakan
pembangunan kawasan Pusat Informasi Mangrove (PIM) seluas 115 ha. Dalam hal ini pemerintah pusat melalui Direktorat Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah Kabupaten Berau telah menyusun rencana pembangunan PIM tersebut. Lokasi PIM tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu kawasan pengembangan PIM tahap pertama seluas 15 ha dan pengembangan PIM tahap kedua seluas 100 ha. Secara geografis kawasan tersebut terletak pada posisi N: 02 17 248 dan E: 118 05 802. Ke depannya kawasan tersebut akan dijadikan sebagai kawasan perlindungan dan rehabilitasi mangrove, pendidikan konservasi, serta ekowisata mangrove. Kondisi iklim lokasi penelitian secara umum dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan ini termasuk dalam golongan iklim A, yaitu hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kering. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei dengan hari hujan rata-rata 15 sampai 20 hari perbulan dan curah hujan terjadi pada akhir atau awal bulan. Musim kemarau berlangsung pada bulan Juli hingga September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli. Suhu udara rata-rata 54 | S i n t e s i s R P I
berkisar antara 24,80–27,90C. Salinitas perairan pada kawasan yang menghadap laut lepas 33,5 ppt. (Dinas Kelautan dan Perikanan Berau, 2009). Bentang alam Kampung Tanjung Batu umumnya datar dan landai. Beberapa bagian sedikit bergelombang, khususnya pada bagian barat Tanjung Batu. Hutan mangrove di lokasi penelitian terletak berhadapan langsung dengan laut Sulawesi. Kondisi tanah habitat mangrove umumnya berpasir namun pada habitat mangrove yang terletak pada muara sungai cenderung berlumpur dan sedikit berpasir. Hamparan pasir akan semakin terlihat jelas ketika air laut sedang surut. pH tanah pada lokasi penelitian berkisar 4,6–6,5 sedangkan pH air berkisar 5,6–7. Semakin jauh pengaruh pasang air laut terjadi kecenderungan penurunan nilai pH tanah dan air. Sebagian habitat mangrove Tanjung Batu mengalami kerusakan, khususnya pada rencana pengembangan kawasan PIM tahap pertama. Sedangkan pada rencana pengembangan PIM tahap kedua kondisi hutan mangrovenya relatif lebih baik. Kerusakan mangrove pada kawasan PIM tahap pertama lebih disebabkan penebangan pohon mangrove untuk pembuatan bagan nelayan. Banyak terlihat bekas pohon-pohon mangrove yang tumbang ketika ditebang masa lampau. Namun demikian, saat ini seiring dengan penetapan kawasan PIM serta pemagaran mangrove pada lahan PIM tahap pertama kegiatan penebangan pohon mangrove telah berkurang. b.
Struktur dan Komposisi Jenis Mangrove Hasil identifikasi menunjukkan bahwa komposisi jenis mangrove tersusun
atas 25 jenis yang terdiri dari 24 marga, dan 19 suku. Pada tingkat semai ditemukan 20 jenis, pancang 23 jenis, dan pohon 16 jenis. Komposisi mangrove tersebut memiliki habitus berupa pohon 25 jenis, liana 1 jenis, dan paku-pakuan 1 jenis. Menurut pustaka yang diadopsi dari Tomlinson (1984) dari 25 jenis mangrove tersebut, 7 jenis dikelompokkan ke dalam mangrove mayor, 5 jenis mangrove minor. Sedangkan sisanya sebanyak 13 jenis merupakan asosiasi mangrove. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada tingkat semai di lokasi penelitian adalah 0,92; tingkat pancang 1,03; dan tingkat pohon 0,78. Sementara itu, jumlah jenis mangrove yang dijumpai pada lokasi penelitian tidak berbeda jauh P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 55
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Oseanologi LIPI (1995) yang menemukan 26 jenis mangrove pada pulau-pulau serta sekitar pesisir Berau (Ismuranthy, 2001). Perbedaan terletak pada komposisi jenis mangrove mayor, mangrove minor, serta asosiasi mangrove. Beberapa jenis mangrove tidak dijumpai pada penelitian ini, seperti Rhizopora stylosa, Lumnitzera racemosa, Avicennia marina, Avicennia alba, Sonneratia caseolaris, Acanthus iliciffolius, Derris trifoliata, Kandelia candel, Scaeviola taccada,
Calophyllum inophyllum L., Terminalia catappa,
Excoecaria agallocha, dan Clerodendrum inerme. Namun
demikian, beberapa jenis mangrove, khususnya kelompok asosiasi mangrove yang belum tercatat pada penelitian sebelumnya dijumpai di kawasan ini, seperti Camptostemon philippinense, Glochidion sp, Pongamia pinnata, Oncosperma sp, Podocarpus sp, Pshycotria sp, Guioa sp, Syzigium sp, Pouteria obovata, Dillenia suffruticosa, dan Ficus sp. Penambahan informasi jenis mangrove ini merupakan informasi ilmiah baru yang bersifat melengkapi data-data sebelumnya. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove pada kawasan lain di Kalimantan Timur, maka komposisi jenis pada tingkat semai, pancang dan pohon yang tercatat berbeda dengan komposisi jenis pada beberapa kawasan hutan mangrove tersebut. Perbedaan tersebut disajikan pada Tabel 3.1.15. Tabel 3.1.15 Komposisi jenis mangrove di beberapa kawasan lain di Kalimantan Timur No 1.
Jenis 10
Lokasi Taman Nasional Kutai
2. 3. 4. 5. 6.
13 23 39 46 25
Teluk Balikpapan Kuala Samboja HL. Sungai Wain Delta Mahakam Tanjung Batu
Pustaka Gunawan et al. (2004); Rahmadani et al. (2004) Pribadi et al. (2005) Sidiyasa et al. (2007) Noorhidayah et al. (2007) Atmoko dan Sidiyasa (2009) Penelitian ini
Dengan data pembanding pada Tabel 3.1.15 dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis mangrove di kawasan Tanjung Batu termasuk memiliki tingkat keanekaragaman jenis cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa kawasan hutan mangrove lain di Kalimantan Timur. Hanya hutan mangrove di Hutan
56 | S i n t e s i s R P I
Lindung Sungai Wain serta Delta Mahakam yang memiliki keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi. Jika dilihat dari tingkat penguasaannya di dalam tegakan mangrove, maka Camptostemon philippinense adalah jenis yang paling sering dijumpai sekaligus jenis yang paling dominan dengan INP tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan. Pada tingkat semai, Camptostemon philippinense dominan dengan INP=47,39%, kemudian disusul oleh Podocarpus (INP=45,18%), dan Acrostichum aureum (INP=35,39%). Sementara itu, 18 jenis lainnya memiliki INP yang lebih rendah dari ketiga jenis tersebut di atas (Tabel 3.1.16). Pada tingkat pancang, selain Camptostemon philippinense (INP=85,18%) jenis lain yang dominan adalah Rhizopora apiculata (INP=66,44%), dan Rhizopora mucronata (INP=25,22%). Komposisi jenis-jenis mangrove lain berada jauh di bawahnya (Tabel 3.1.17); sedangkan untuk tingkat pohon, Camptostemon philippinense dominan dengan INP=102,56%, disusul Sonneratia alba (INP=80,62%), dan Rhizopora apiculata (INP=56,84%) (Tabel 3.1.18). Tabel 3.1.16 Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat semai No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Keterangan:
Jenis Camptostemon philippinense Podocarpus sp. Acrostichum aureum Rhizopora apiculata Nypa fructicans Sonneratia alba Pandanus tectorius Schypipora hydrophyllacea Rhizopora mucronata Glochidion sp. Lumnitzera littorea Pouteria obovata Oncosperma sp. Xylocarpus granatum Guioa sp. Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Heritiera littoralis
KR (%) 24,00 36,31 27,32 5,92 2,76 0,71 0,30 0,97 0,36 0,36 0,15 0,15 0,20 0,15 0,05 0,05 0,05 0,05
FR (%) 23,39 8,87 8,06 20,16 10,48 4,03 4,03 3,22 2,42 2,42 2,42 2,42 1,61 1,61 0,81 0,81 0,81 0,81
INP (%) 47,39 45,18 35,39 26,09 13,24 4,74 4,75 4,20 2,78 2,78 2,57 2,57 1,82 1,77 0,86 0,86 0,86 0,86
KR = Kerapatan relatif , FR= Frekuensi relatif, DR= Dominansi relatif, INP= Indeks nilai penting
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 57
Tabel 3.1.17 Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pancang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Jenis Camptostemon philippinense Rhizopora apiculata Rhizopora mucronata Heritiera littoralis Glochidion sp. Schypipora hydrophyllacea Podocarpus sp. Sonneratia alba Pouteria obovata Xylocarpus granatum Oncosperma sp. Syzigium sp. Ceriops tagal Guioa sp. Pongamia pinnata Pandanus tectorius Cerbera manghas Lumnitzera littorea Ficus sp. Hibiscus tiliaceus Nypa fructicans Dillenia suffruticosa
KR (%) 31,69 32,91 9,20 6,64 6,13 5,45 3,24 1,87 4,09 2,75 1,87 1,70 0,68 0,85 0,68 0,34 0,68 0,34 0,68 0,34 0,17 0,17
FR (%) 19,23 25,38 4,62 5,38 6,92 3,08 6,15 4,62 3,08 4,62 0,77 2,31 1,54 2,31 1,54 0,77 0,77 1,54 0,77 0,77 0,77 0,77
DR (%) 34,27 22,15 11,41 8,03 1,66 3,89 2,97 3,15 2,20 1,21 1,89 0,13 1,46 0,21 0,41 1,40 0,93 0,47 0,79 0,26 0,15 0,04
INP (%) 85,18 66,44 25,22 20,06 14,72 12,42 12,36 9,64 9,36 8,55 4,53 4,14 3,68 3,37 3,13 2,51 2,38 2,34 2,24 1,37 1,10 0,98
Tabel 3.1.18 Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pohon No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Jenis Camptostemon philipinense Sonneratia alba Rhizopora apiculata Xylocarpus granatum Lumnitzera littorea Podocarpus sp. Rhizopora mucronata Schypipora hydrophyllacea Heritiera littoralis Pouteria obovata Ceriops tagal Nypa fructicans Bruguiera gymnorrhiza Ficus sp. Guioa sp. Pongamia pinnata Syzigium sp.
KR (%) 32,99 32,99 20,55 3,39 1,85 1,44 1,44 0,92 1,13 1,13 0,62 0,72 0,21 0,21 0,21 0,10 0,10
FR (%) 25,71 12,00 28,00 7,43 6,29 4,57 3,43 2,86 1,71 1,71 1,71 0,57 1,14 1,14 0,57 0,57 0,57
DR (%) 43,85 35,63 8,28 4,45 3,47 0,47 1,60 0,56 0,38 0,24 0,13 0,73 0,05 0,05 0,03 0,03 0,01
INP (%) 102,56 80,62 56,84 15,27 11,60 6,48 6,47 4,34 3,22 3,08 2,46 2,02 1,40 1,40 0,81 0,70 0,69
Dominasi Camptostemon philippinense pada seluruh tingkat pertumbuhan merupakan suatu hal yang unik dan perlu mendapatkan perhatian serius sebab Duke
58 | S i n t e s i s R P I
et al. (2008) dalam daftar IUCN melaporkan bahwa jenis tersebut masuk ke dalam red list (daftar merah) dengan status endangered atau terancam punah sejak tahun 2004. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan populasinya terus mengalami penurunan yang diperkirakan hanya mencapai 2.500 individu pohon di seluruh dunia. Noor et al. (1999) menyebutkan kelimpahan Camptostemon philippinense di dunia sebenarnya tidak terlalu umum, penyebarannya sangat terbatas hanya di Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu, informasi mengenai ekologi jenis tersebut masih belum banyak yang diketahui. Dominasi Camptostemon philippinense di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jenis tersebut adaptif terhadap kondisi ekologi setempat sehingga mampu mempertahankan populasinya dalam jumlah besar. Namun demikian, yang harus dicermati adalah perbedaan nilai INP antar tingkat pertumbuhan terjadi cukup jauh. Gambaran INP tersebut memperlihatkan kondisi hutan mangrove yang kurang stabil sehingga rentan mengalami perubahan struktur dan komposisi vegetasinya apabila mengalami gangguan manusia atau perubahan kondisi lingkungan secara drastis. Komposisi jenis mangrove dominan pada seluruh tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian terlihat berbeda dengan komposisi kawasan hutan mangrove lainnya di Kalimantan Timur. Di Taman Nasional Kutai dilaporkan hanya jenis Rhizopora apiculata yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan (Bismark et al., 1999). Di Hutan Lindung Sungai Wain, Sonneratia caseolaris adalah jenis yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan (Noorhidayah et al., 2005). Di hutan mangrove Kuala Samboja, Heritiera littoralis hanya mendominasi
pada
tingkat pancang dan pohon sedangkan pada tingkat semai didominasi oleh Cerbera manghas (Sidiyasa et al., 2005). Sementara itu, di Delta Mahakam Sonneratia caseolaris mendominasi pada tingkat semai, tiang, dan pohon. Tingkat pancang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus (Atmoko dan Sidiyasa, 2008). Camptostemon philpipinense sebagai jenis yang paling dominan umumnya terdistribusi secara luas
tepat di belakang formasi jenis Rhizopora apiculata,
Rhizopora mucronata, atau Sonneratia alba tetapi masih berada dalam zona yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Gambar 3.1.11).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 59
Keterangan: A. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Sonneratia alba B. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Camptostemon philippinense, Nypa fructicans, Lumnitzera littorea, dan Scyphiphora hydrophyllacea C. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, dan Bruguiera gymnorrhiza D. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Cerbera manghas, Pongamia pinnata, Hibiscus tiliaceus, Podocarpus sp, Ficus sp, Pandanus tectorius, Oncosperma sp, Herietiera littoralis, Pouteria obovata, Acrostichum aureum, Guioa sp, Glochidion sp, Dillenia suffruticosa, dan Syzigium sp.
Gambar 3.1.11 Ilustrasi zonasi vegetasi mangrove
Proses regenerasi bagi tumbuhan sangat penting untuk menjamin kelestarian hidup bagi jenisnya. Kondisi regenerasi yang kurang normal dapat berujung pada hilangnya jenis-jenis tertentu pada suatu ekosistem mangrove. Berbagai hal dapat mempengaruhi proses regenerasi itu sendiri. Selain faktor eksternal yang disebabkan oleh manusia, proses regenerasi juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan fisik seperti tingkat kompetisi serta toleransi terhadap kondisi lingkungan sekitar untuk menjamin pertumbuhan suatu jenis mangrove berlangsung secara optimal. Kondisi regenerasi vegetasi mangrove di lokasi penelitian dapat dilihat dari histogram hubungan antara kelas diameter dengan jumlah individu mangrove seperti yang disajikan pada Gambar 3.1.12.
60 | S i n t e s i s R P I
Jumlah Individu JumJum
Kelas diameter Gambar 3.1.12
Histogram hubungan kelas diameter dengan jumlah individu mangrove
Berdasarkan Gambar 3.1.12 di atas terlihat jelas bahwa hubungan kelas diameter dengan jumlah individu adalah berbanding terbalik. Hal ini berarti bahwa individu semai (diameter <2 cm) memiliki jumlah yang lebih lebih besar. Selanjutnya jumlah individu tersebut semakin menurun seiring dengan penambahan kelas diameter pada tingkat pancang (diameter 2-10 cm) dan pohon (diameter >10 cm). Pola hubungan tersebut jika dihubungkan maka akan terlihat seperti membentuk garis “huruf J” terbalik. Menurut Muller-Dumbois and Ellenberg (1974), kondisi atau gambaran tersebut merupakan ciri umum permudaan alami yang berlangsung dengan normal. Meskipun memiliki regenerasi yang berlangsung nornal namun sesungguhnya kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian telah mengalami kerusakan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari rendahnya kerapatan pohon yang berada di bawah angka 1.000 yakni hanya 810,35 pohon/ha. Selain itu, pada tingkat pancang juga memiliki tingkat kerapatan yang bahkan lebih rendah dari tingkat pohon yakni 488,33 individu/ha. Hanya pada tingkat semai kerapatan terlihat tinggi yakni mencapai 1.631,64 individu/ha. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, maka kawasan hutan mangrove PIM
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 61
dengan kerapatan pohon kurang dari 1.000 pohon/ha dapat dikategorikan sebagai kawasan hutan mangrove yang telah rusak. Kerusakan hutan mangrove di kawasan PIM lebih banyak disebabkan penebangan pohon mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk pembuatan bagan-bagan di tengah laut. Namun, saat ini dengan penetapan kawasan PIM dan rencana pengelolaannya oleh pemerintah, kawasan tersebut cenderung lebih terjaga. Sebagian kawasan PIM diberi pagar dan telah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar sehingga tidak lagi terjadi aktivitas penebangan pohon mangrove. Bila melihat kondisi regenerasi yang masih berlangsung secara normal dengan potensi kerapatan semai cukup tinggi, hutan mangrove di kawasan PIM sebenarnya berpotensi untuk melakukan suksesi secara alami hingga membentuk komunitas mangrove seperti awalnya dengan syarat tanpa gangguan aktivitas manusia yang bersifat merusak. c.
Jenis-Jenis Aves (Burung) Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, dijumpai 31 jenis burung
penghuni hutan mangrove Tanjung Batu yang termasuk ke dalam 29 marga dan 20 suku. Hasil identifiksi menunjukkan bahwa 3 jenis merupakan anggota suku Columbidae dan Scolopocidae, 2 jenis anggota suku Acciptridae, Alcedinidae, Ardeidae, Cuculidae, Picidae, dan Ploceidae, dan anggota suku sisanya masingmasing hanya tercatat 1 jenis. Burung-burung tersebut dijumpai mulai dari pesisir selatan Tanjung Batu yang berbatasan dengan Tanjung Semanting sampai ke pesisir utara Tanjung Batu dan sekitar sungai Bulalung. Data jenis-jenis burung yang ditemui disajikan secara lengkap pada Tabel 3.1.19. Tabel 3.1.19 Daftar jenis burung di lokasi penelitian No
Jenis
Nama Ilmiah
Suku
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Remetuk Laut Elang Bondol Elang Laut Perut Putih Cekakak Suci Cekakak Sungai Walet Sapi Kuntul Perak Kokokan Laut Kekep Babi
Gerygone sulphurea Haliastur indus Haliaeetus leucogaster Halycon sancta Halycon chloris Collocalia esculenta Egretta intermedia Butorides striatus Artamus leucorhynchus
Acanthizidae Acciptridae Acciptridae Alcedinidae Alcenidae Apodidae Ardeidae Ardeidae Artamidae
62 | S i n t e s i s R P I
Status perlindungan PP.No7/1999 PP.No7/1999
PP.No7/1999
No
Jenis
Nama Ilmiah
Suku
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Punai Gading Tekukur Biasa Pergam Hijau Bubut Alang-Alang Kadalan Beruang Srigunting Keladi Trulek Kelabu Layang-Layang Pasir Kipasan Belang Puyuh Batu Caladi Batu Pelatuk Besi Bondol Rawa Burung Gereja Erasia Merbah Cerukcuk Trinil Kaki Merah Gajahan Pengala Trinil Semak Cinenen Belukar Celepuk Merah Burung Madu Bakau Kucica Kampung
Treron vernans Streptopelia chinensis Ducula aenea Centropus bengalensis Phaenicophaeus diardi Dicrurus aeneus Vanellus cinereus Riparia riparia Rhipidura javanica Coturnix chinensis Meiglyptes tristis Dinopium javanese Lonchura malacca Passer montanus Pycnonotus goiavier Tringa totanus Numenius phaopus Tringa glareola Orthotomus atrogularis Otus rufescens Nectarinia calcostheta Copsychus saularis
Columbidae Columbidae Columbidae Cuculidae Cuulidae Dicruridae Heliornithidae Hirundinidae Muscicapidae Phasianidae Picidae Picidae Ploceidae Ploceidae Pycnonotidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Silviidae Strigiformes Sturnidae Turdidae
Status perlindungan
PP.No7/1999
PP.No7/1999
PP.No7/1999
Berdasarkan kehadirannya pada saat pengamatan, jenis burung yang paling sering ditemui adalah H. indus, N. calcostheta, T. vernans, G. sulphurea, P. nonotus goiavier, R. javanica, serta L. malacca dengan frekuensi kehadiran mencapai 9 kali dalam daftar (Gambar 5). H. indus dan T. vernans umumnya dijumpai sedang beraktivitas terbang melintas; N. calcostheta, G. sulphurea, P. goiavier, dan R. javanica dijumpai sedang hinggap mencari makan di sekitar pohon mangrove, sedangkan Bondol Rawa umumnya dijumpai mencari makan di sekitar semaksemak. McKinnon et al. (2000) melaporkan bahwa kehadiran jenis dengan proporsi tertinggi dalam suatu daftar menunjukkan bahwa jenis tersebut yang paling menonjol dan melimpah dalam kawasan tersebut. Berdasarkan proporsi daftar jenis-jenis yang ditemui selama pengamatan dapat digambarkan melalui grafik kelimpahan jenis burung seperti Gambar 3.1.13.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 63
Gambar 3.1.13 Grafik Kelimpahan Jenis Burung
Grafik di atas memperlihatkan bahwa mulanya pertambahan jumlah jenis relatif besar. Tetapi pada daftar-daftar berikutnya terjadi penurunan jumlah jenis hingga daftar ke sembilan tetapi belum sampai nilai nol. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat jenis-jenis burung pada lokasi penelitian yang belum teramati. Analisis regresi dari pertambahan jumlah jenis untuk setiap daftar pengamatan didapatkan persamaan y=20,02+1,28x. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diperkirakan jumlah jenis burung di sekitar hutan mangrove Tanjung Batu adalah 51 jenis. Sedangkan dalam penelitian ini baru ditemukan 31 jenis, dengan demikian masih ada 20 jenis lagi yang belum teramati. Kelimpahan dan kelestarian jenis-jenis burung pada hutan mangrove di Tanjung Batu sangat dipengaruhi oleh
sumber pakan yang tersedia, tingkat
gangguan terhadap aktivitas burung, serta kondisi habitat sekitarnya. Selanjutnya, Elfidasari dan Junardi (2006) mengungkapkan bahwa beberapa kelompok burung dapat hidup lestari karena berhasil menciptakan relung khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi kompetisi atas kebutuhan sumber daya dan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Sementara itu, Allen (1961) menyebutkan bahwa keberhasilan burung untuk hidup di dalam suatu habitat sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam memilih serta menciptakan peluang khusus baginya.
64 | S i n t e s i s R P I
Berdasarkan spesialisasi habitatnya, maka jenis-jenis burung yang ditemui dapat dikelompokkan menjadi burung air dan burung teresterial (daratan). Burung air merupakan kelompok burung yang sebagian besar hidupnya menggunakan air sebagai habitat utamanya dalam beraktivitas. Sementara itu, selain burung air maka dikelompokkan ke dalam burung darat. Di sekitar hutan mangrove Tanjung Batu, 29,03% burung yang dijumpai merupakan kelompok burung air, sedangkan sisanya sebanyak 70,97% merupakan kelompok burung darat yang tidak menggantungkan hidupnya sepenuhnya terhadap keberadaan air atau lahan basah. Habitat burung di sekitar hutan mangrove Tanjung Batu dicirikan dengan ditemukannya 21 jenis mangrove yang tersusun atas 7 jenis mangrove mayor, 5 jenis mangrove minor dan sisanya 15 jenis merupakan asosiasi mangrove. Jenis mangrove yang dominan pada tingkat pohon yaitu Camptostemon philippinense, Sonneratia alba, dan Rhizophora apiculata. Struktur dan komposisi jenis mangrove yang beragam sangat menguntungkan bagi keberadaan jenis-jenis burung mangrove sebab berimplikasi pada kemelimpahan sumber pakan serta pilihan tempat untuk membuat sarang. Beberapa jenis burung mangrove yang terlihat sedang membuat sarang adalah H. indus dan N. calcostheta. H. indus terlihat banyak membuat sarang pada puncakpuncak pohon yang tinggi, seperti C. philippinense. Sementara itu, N. calcostheta terlihat membuat sarang pada pohon S. alba dengan ketinggian hanya sekitar 3-4 m dari permukaan tanah. Perbedaan ketinggian dan pilihan lokasi dalam membuat sarang yang dilakukan merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh burung untuk melindungi dari ancaman atau gangguan. d.
Jenis-Jenis Mamalia Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian hanya ditemukan dua jenis
mamalia kecil teresterial dari ordo rodentia, yakni Bajing Kelapa (Callosciurus notatus) dan Tikus Belukar (Rattus tiomanicus). Kedua jenis mamalia tersebut ditemukan tersebar merata pada berbagai lokasi hutan mangrove, mulai dari sekitar tepi pantai sampai ke kawasan punggung hutan mangrove yang terluar. Payne et al. (2000) melaporkan bahwa C. notatus memiliki salah satu sebaran habitat di sekitar hutan pesisir dan rawa sedangkan R. tiomanicus biasanya terdapat di hutan sekunder P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 65
dan hutan pesisir, perkebunan, semak belukar dan padang rumput namun jarang ditemukan di rumah-rumah atau hutan dipterokarpa yang tinggi. Dari sebaran geografisnya secara alami, Payne et al. (2000) juga menyebutkan bahwa C. notatus dan R. tiomanicus dapat ditemukan di beberapa pulau lepas pantai Kalimantan, seperti di Pulau Maratua yang terletak tidak terlalu jauh dengan kawasan PIM. Jumlah individu mamalia kecil yang ditemukan selama penelitian adalah sebanyak 55 ekor seperti disajikan pada Tabel 3.1.20 berikut. Tabel 3.1.20 Jenis, jumlah, dan perkiraan populasi mamalia kecil di lokasi penelitian. Jumlah (ekor)
Jenis kelamin Jantan Betina (ekor) (ekor) 19 13
Perkiraan populasi
No Suku
Nama latin
Nama Indonesia
1.
Muridae
Callosciurus notatus
Bajing Kelapa
32
2.
Sciuridae
Rattus tiomanicus
Tikus Belukar
23
12
11
70
55
32
24
246
Total
176
Jika hanya memperhatikan hasil pengamatan populasi mamalia kecil pada lokasi penelitian, terlihat bahwa kepadatannya cukup tinggi yakni sebesar 24,6 ekor/ha. Suyanto et al. (2009) melaporkan bahwa populasi mamalia kecil biasanya akan semakin meningkat pada habitat yang telah rusak hingga mencapai lebih dari 20 ekor/ha. Fakta tersebut berkorelasi dengan hasil analisis vegetasi yang memperlihatkan bahwa kerapatan vegetasi mangrove kurang dari 1.000 individu/ha sehingga dikategorikan sebagai hutan mangrove yang telah rusak. C. notatus termasuk kelompok frugivora+insectivora (pemakan buah-buahan dan serangga, terutama semut) sedangkan R. tiomanicus termasuk omnivora (pemakan segala) (Payne et al., 2000) sehingga mampu beradaptasi terhadap kondisi habitat yang telah rusak. Selanjutnya, Rustam dan Boer, (2007) menyebutkan bahwa mamalia dari kelas makan frugivora+insectivora dan omnivora merupakan jenis mamalia yang relatif lebih tahan dalam kondisi kekurangan makanan, cadangan makanannya di alam lebih banyak dan lebih bervariasi jika dibandingkan dengan jenis mamalia lain yang hanya memakan satu atau dua jenis makanan. Bahkan, mamalia kecil mampu beradatasi dengan baik pada perkebunan 66 | S i n t e s i s R P I
monokultur, seperti kebun kelapa sawit dan menjadi hama penggangu karena populasinya terlalu tinggi. Mamalia kecil memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem mangrove. Selain sebagai sumber makanan bagi satwa lain, C. notatus dan R. tiomanicus mampu memencarkan berbagai jenis buah dan biji yang terdapat di hutan
mangrove.
Suyanto
(2008)
menyebutkan
hal
tersebut
disebabkan
kebiasaannya untuk membawa cadangan makanan ke sarang. Selain itu, perilaku mamalia kecil yang suka mengasah gigi serinya dianggap membantu proses daur ulang unsur hara. Meskipun di Kalimantan C. notatus dan R. tiomanicus
jarang dijadikan
sebagai sumber makanan manusia, di beberapa tempat di Indonesia justru dimanfaatkan sebagai sumber pangan terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Mentawai, Flores, Sulawesi Utara, dan Papua ( Suyanto, 2008). Selain itu, mamalia kecil seperti C. notatus dan R. tiomanicus disinyalir sebagai sumber penularan berbagai macam penyakit. Cox (1979) dalam Suyanto (2008) melaporkan bahwa rodentia merupakan reservoir (pembawa) sekitar 200 jenis penyakit zoonosis. Keberadaan berbagai jenis fauna hutan mangrove seperti mamalia kecil dalam hutan mangrove memiliki peran strategis dalam menunjang kebijakan pengelolaan PIM Berau. Ledakan populasi C. notatus dan R. tiomanicus merupakan satu hal yang patut diwaspadai sebab dikhawatirkan dapat menggagu stabilitas rantai makanan secara alami ekosistem mangrove. Dalam upaya pengelolaan PIM ke depannya, maka prioritas pertama yang perlu dilakukan adalah merestorasi kembali hutan mangrove dengan menanam jenis-jenis mangrove setempat terutama pada daerah yang telah terbuka. Upaya ini sangat sesuai dengan semangat pembentukan PIM Berau yakni sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi. Penanaman mangrove akan mempercepat proses revegetasi sehingga kondisi hutan mangrove akan menjadi lebih baik dan stabilitas ekosistem dapat berjalan secara alami.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 67
e.
Primata Hasil pengamatan langsung terhadap mamalia dari kelompok primata telah
menjumpai bekantan (Nasalis larvatus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Pengamatan kedua jenis mamalia tersebut dilakukan pada seluruh kawasan hutan mangrove di Tanjung Batu serta beberapa kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan kampung Tanjung Batu seperti di kampung Semanting. Keberadaan bekantan ditemui pada lokasi yang cukup jauh dari hutan mangrove di tepi pantai. Bahkan, cenderung berada pada hulu sungai yang masih asli dan belum banyak terjamah manusia. Perjumpaan dengan bekantan berlangsung di hulu sungai yang berbatasan dengan kawasan rencana pengembangan PIM. Ditemukan 1 kelompok kecil Bekantan dengan jumlah 5 ekor pada saat dilakukan pengamatan. Berdasarkan penuturan dari masyarakat sekitar, bekantan di Tanjung Batu kadang terlihat di pinggir sungai sampai dekat perkebunan masyarakat. Aktivitas perkebunan kelapa sawit dan perkebunan masyarakat di sekitar Tanjung Batu diduga telah menyebabkan habitat bekantan terfragmentasi dengan habitat bekantan di Semanting yang berbatasan dengan Tanjung Batu. Dalam pengamatan bekantan di Semanting, meskipun tidak menemui bekantan secara fisik namun ditemukan sisasisa kotoran bekantan dalam jumlah yang sangat banyak. Bahkan berdasarkan penuturan dari masyarakat, di sekitar lokasi hutan mangrove beberapa tahun sebelumnya Semanting pernah dijumpai bekantan dalam jumlah yang besar hingga mencapai ratusan ekor. Jumlah kelompok bekantan di Tanjung Batu tergolong cukup rendah bila dibandingkan dengan populasi bekantan pada kawasan lain di Kalimantan. Alikodra (1997) melaporkan populasi bekantan di Kuala Samboja mencapai 98 ekor yang terdiri dari 3 kelompok. Sedangkan Bismark dalam Alikodra (1997) melaporkan populasi bekantan di TN Kutai sebesar 25-60 kelompok. Meskipun demikian, kemungkinan penambahan jumlah bekantan masih dapat terjadi bila dilakukan penelitian dalam waktu yang lebih lama dan secara komprehensif. Mengingat, dalam pengamatan kali ini rentang waktu yang dilakukan cukup singkat yakni hanya 3 hari.
68 | S i n t e s i s R P I
Habitat bekantan di Tanjung Batu cukup mendukung keberlangsungan hidup Bekantan dengan dijumpainya 27 jenis vegetasi mangrove yang sebagian merupakan pohon pakan dan pohon tidur bekantan. Pada saat pengamatan terlihat bekantan sedang mengonsumsi pucuk-pucuk muda dari daun mangrove jenis Rhizopora mucronata. Salter (1985) dalam Soendjoto et al. (2006) menyatakan bahwa di Serawak terdapat 92 jenis tumbuhan yang dimakan oleh bekantan, 11 jenis di antaranya adalah tumbuhan mangrove. Bismark (1999) melaporkan di TN Kutai bahwa bekantan mengonsumsi 12 jenis pohon pakan termasuk Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Bruguiera sexangula, Avicennia alba, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya pohon pakan bekantan dari jenis Sonneratia caseolaris dan Avicennia alba. Dalam kondisi terdesak, bekantan mampu beradaptasi dengan memakan jenis pohon yang ada di sekitarnya. Seperti yang dilaporkan oleh Alikodra (1997), bekantan di Kuala Samboja juga terlihat mengkonsumsi pohon durian, karet, mangga, dan rambutan. Pengamatan monyet ekor panjang memperlihatkan bahwa hewan tersebut ditemukan beraktivitas pada kawasan hutan mangrove yang berdekatan dengan pemukiman manusia. Hal tersebut menyebabkan monyet ekor panjang terbiasa dengan aktivitas manusia di sekitarnya, khususnya para nelayan. Jumlah monyet yang ditemukan hanya 1 kelompok
dengan jumlah sebanyak 7 ekor. Habitat
monyet ekor panjang lebih banyak terkonsentrasi pada kawasan pengambangan PIM tahap pertama seluas 15 ha. Payne et al. (2000) mengungkapkan bahwa monyet ekor panjang dalam satu kelompok menempati kawasan seluas 150–1.500 m2. Makanan utama monyet ini adalah buah-buahan matang dan beberapa binatang seperti serangga, telur kodok, kepiting, serta invertebrata lainnya. Berbagai sumber pakan dari monyet ekor panjang dapat dijumpai di kawasan hutan mangrove Tanjung Batu. 3.1.1.4 Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di Pulau Numfor (Papua) Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel tanah di hutan mangrove di sekeliling Pulau Numfor, Papua (Gambar 3.1.14). Sampel tanah tersebut dilakukan analisis mikrobiologi, yang meliputi isolasi dan identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS), Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) dan Bakteri Pelarut Fosfat (BPF). P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 69
Gambar 3.1.14 Peta lokasi penelitian
a.
Jenis-jenis Bakteri Pada Hutan Mangrove Pulau Numfor Secara keseluruhan, hasil isolasi dan identifikasi jenis-jenis bakteri dari lima
stasiun pengumpulan sampel dari hutan mangrove Pulau Numfor berhasil diisolasi 52 isolat bakteri, yaitu 25 isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), 23 isolat Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) dan 3 isolat Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS). Tabel 3.1.21 menunjukkan bahwa di hutan mangrove Pulau Numfor, genus Pseudomonas mempunyai anggota spesies terbanyak, disusul dengan spesies dari genus Bacillus dan genus Azetobacter. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dijumpai dari hasil tinjauan Sahoo & Dhal (2009) serta penelitian Utami (2011), yang menemukan bahwa ketiga genus bakteri tersebut merupakan genus-genus bakteri yang umum dijumpai di daerah mangrove tropis.
70 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.1.21 Genus dan spesies bakteri yang dijumpai di lokasi penelitian No. 1.
Kelompok BPF
Genus Chromobacterium Pseudomonas Bacillus
2.
BPN
Azetobacter Pseudomonas Klebsiella Nitrosomonas Bacillus
3.
BPS
Desulfomicrobium Desulfobacter Desulfovibrium
Spesies Chromobacterium sp. 1 - 5 Pseudomonas sp.1-13 Bacillus sp. 1-7 Total isolat Azetobacter sp. 1-6 Pseudomonas sp. 14-18 Klebsiella sp. 1-3 Nitrosomonas sp. 1-5 Bacillus sp. 8-12 Total isolat Desulfomicrobium sp.1 Desulfobacter sp.1 Desulfovibrium sp1. Total isolat
∑ spesies 5 13 7 25 6 5 3 5 5 24 1 1 1 3
Pengamatan terhadap karakter morfologis dari ketiga kelompok isolat yang diambil dari lapangan menunjukkan adanya kisaran variasi yang cukup luas, baik dalam karakter morfologi koloni maupun morfologi sel bakteri yang dijumpai (Tabel 3.1.22). Pengamatan terhadap karakter morfologi sel memperlihatkan bahwa bakteribakteri yang dijumpai umumnya berbentuk batang, baik yang berukuran panjang maupun pendek, dan sisanya merupakan bakteri berbentuk coccus (bulat). Selain pengamatan terhadap bentuk sel bakteri dalam keadaan hidup, juga dilakukan pengamatan sel-sel mati dengan proses pewarnaan. Bakteri yang hidup hampir tidak berwarna dan tidak terlalu kontras dengan warna air, di mana sel-sel bakteri tersebut biasa tersuspensi. Proses pewarnaan dengan larutan kimia tertentu akan menyebabkan bakteri-bakteri tersebut bereaksi dan lebih menyolok warnanya terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga lebih mudah diamati dan diidentifikasi. Dari proses pewarnaan, sebagian besar bakteri yang dijumpai merupakan bakteri Gram positif (+) yang menunjukkan warna biru-ungu pada pengamatan makroskopik, sedangkan sisanya merupakan bakteri Gram negatif (-) yang menunjukkan warna merah.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 71
Tabel 3.1.22 Karakter morfologi isolat bakteri yang diamati No
Isolat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51 52
BPF 1 BPF 2 BPF 3 BPF 4 BPF 5 BPF 6 BPF 7 BPF 8 BPF 9 BPF 10 BPF 11 BPF 12 BPF 13 BPF 14 BPF 15 BPF 16 BPF 17 BPF 18 BPF 19 BPF 20 BPF 21 BPF 22 BPF 23 BPF 24 BPF 25 BPN 1 BPN 2 BPN 3 BPN 4 BPN 5 BPN 6 BPN 7 BPN 8 BPN 9 BPN 10 BPN 11 BPN 12 BPN 13 BPN 14 BPN 15 BPN 16 BPN 17 BPN 18 BPN 19 BPN 20 BPN 21 BPN 22 BPN 23 BPN 24 BPS 1 BPS2 BPS3
Morfologi koloni Bentuk Warna koloni koloni Kuning Curved Putih Bulat Putih Transparant Bulat Putih Transparant Bulat Krem Bulat Putih Bulat Krem Bulat Putih Transparant Bulat Putih Bulat Putih Bulat Kuning Bulat Kuning Curved Putih Curved Putih Bulat Putih Transparan Bulat Krem Curved Putih Bulat Putih Transparant Bulat Putih Bulat Putih Transparant Curved Putih Bulat Krem Bulat Putih Transparant Bulat Krem Curved Kuning Curved Krem Amoeboid Putih Transparant Bulat Putih Amoeboid Krem Amoeboid Putih kecoklatan Bulat Coklat Bulat Putih Amoeboid Putih Susu Bulat Putih kecoklatan Amoeboid Coklat AMoeboid Krem Bulat Krem Bulat Jingga Bulat Jingga Amoeboid Putih Amoeboid Putih Transparant Bulat Coklat Amoeboid Putih susu Bulat Jingga Amoeboid Putih Transparant Bulat Putih Bulat Putih susu Amoeboid Putih Amoeboid Putih Bulat Putih Transparant Bulat Putih Transparant Bulat Putih Bulat
72 | S i n t e s i s R P I
Morfologi Isolat
Morfologi Sel Pengecatan Gram Bentuk Sel Gerakan Sel (-) (+) Batang v Motil Batang v Motil Batang v Motil Batang v Motil Batang Pendek v Motil Batang v Motil Batang Batang Batang pendek Batang Coccus Batang pendek Batang pendek Batang Coccus Batang Batang Batang Coccus Batang Batang pendek Batang Batang pendek Coccus Batang Batang pendek Batang pendek Batang Batang pendek Batang pendek Batang Batang pendek Batang pendek Batang Batang pendek Batang pendek Coccus Batang pendek Batang Coccus Batang pendek Coccus Batang Batang pendek Batang pendek Batang pendek Batang Batang Batang pendek Batang pendek
v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v v v v v v -
Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Non Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil Motil
Hampir seluruh bakteri yang diidentifikasi termasuk kategori motil dari segi gerakannya, dan hanya
sangat sedikit yang tidak menunjukkan kemampuan
tersebut. Karakter motil bakteri ini menunjukkan adanya gerak aktif dari bakteri yang diakibatkan adanya organ flagella yang dimiliki sel bakteri tersebut. Sementara bakteri non-motil merupakan bakteri yang tidak dapat bergerak secara aktif karena tidak memiliki organ yang mendukung pergerakannya. Sekalipun bakteri non-motil tampak bergerak, gerakan yang timbul dapat digolongkan gerakan pasif. Gerakan ini timbul akibat adanya gerakan partikelpartikel di sekitarnya, misalnya gerakan dari molekul-molekul air (gerak Brown) yang menyebar ke segala arah. Pengamatan terhadap karakter biokimia bakteri yang dijumpai menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri dari masing-masing isolat memberikan respon beragam dalam kaitannya dalam produksi dan hidrolisis enzim-enzim tertentu (Tabel 3.1.23). Tabel 3.1.23 Karakter biokimia isolat bakteri yang diamati No. Isolat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
BPF 1 BPF 2 BPF 3 BPF 4 BPF 5 BPF 6 BPF 7 BPF 8 BPF 9 BPF 10 BPF 11 BPF 12 BPF 13 BPF 14 BPF 15 BPF 16 BPF 17 BPF 18 BPF 19 BPF 20 BPF 21 BPF 22 BPF 23 BPF 24 BPF 25
Dekstrosa v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Karakter Biokimia Isolat TSIA Katalase Indol Nitrat Oksidase Urease Sukrosa Laktosa H2S Gas v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v -
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 73
No. Isolat 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
BPN 1 BPN 2 BPN 3 BPN 4 BPN 5 BPN 6 BPN 7 BPN 8 BPN 9 BPN 10 BPN 11 BPN 12 BPN 13 BPN 14 BPN 15 BPN 16 BPN 17 BPN 18 BPN 19 BPN 20 BPN 21 BPN 22 BPN 23 BPN 24 BPS 1 BPS2 BPS3
Dekstrosa v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Karakter Biokimia Isolat TSIA Katalase Indol Nitrat Oksidase Urease Sukrosa Laktosa H2S Gas v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Pengamatan selanjutnya yang dilakukan adalah terhadap karakter fisiologis bakteri yang dijumpai. Karakter ini menunjukkan kaitan sangat erat antara kemampuan adaptasi bakteri-bakteri tersebut terhadap lingkungannya, sekaligus kisaran kondisi ekologis yang mampu ditoleransi masing-masing bakteri (Tabel 3.1.24). Tabel 3.1.24 Karakter fisiologi isolat bakteri yang diamati Karakter Fisiologi Isolat Tumbuh No. Isolat Suhu pH pada Kebutuhan Genus NaCl O2 15 25 37 45 50 4 5 6 7 1% 2% 1. BPF v v v v v v v Aerob Chromobacterium 1 sp1 2. BPF v v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp1 2 fakultatif 3. BPF v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp2 3 fakultatif 4. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp3 4 fakultatif
74 | S i n t e s i s R P I
Karakter Fisiologi Isolat Tumbuh No. Isolat Suhu pH pada Kebutuhan Genus NaCl O2 15 25 37 45 50 4 5 6 7 1% 2% 5. BPF v v v v v v v v Aerob Bacillus sp1 5 Obligat 6. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp4 6 fakultatif 7. BPF v v v v v v v v Aerob Bacillus sp2 7 Obligat 8. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp5 8 fakultatif 9. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp6 9 fakultatif 10. BPF v v v v v v v v Aerob Bacillus sp3 10 Obligat 11. BPF v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp7 11 fakultatif 12. BPF v v v v v v Aerob Chromobacterium 12 sp2 13. BPF v v v v v v v v Aerob Bacillus sp4 13 Obligat 14. BPF v v v v v v v v Aerob Bacillus sp5 14 Obligat 15. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp8 15 fakultatif 16. BPF v v v v v v v Aerob Chromobacterium 16 sp3 17. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp9 17 fakultatif 18. BPF v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp10 18 fakultatif 19. BPF v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp11 19 fakultatif 20. BPF v v v v v v Aerob Chromobacterium 20 sp4 21. BPF v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp12 21 fakultatif 22. BPF v v v v v v v v Aerob Bacillus sp6 22 Obligat 23. BPF v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp13 23 fakultatif 24. BPF v v v v v v v v v Aerob Bacillus sp7 24 Obligat 25. BPF v v v v v v v Aerob Chromobacterium 25 sp5 26. BPN v v v v v v v v v v Aerob Azotobacter sp1 1 Obligat 27. BPN v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp14 2 fakultatif 28. BPN v v v v v v Aerob Azotobacter sp2 3 Obligat 29. BPN v v v v v v v Aerob Azotobacter sp3 4 Obligat 30. BPN v v v v v v v Anaerob Klebsiella sp1 5 fakultatif
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 75
Karakter Fisiologi Isolat Tumbuh No. Isolat Suhu pH pada Kebutuhan Genus NaCl O2 15 25 37 45 50 4 5 6 7 1% 2% 31. BPN v v v v v v v v Aerob Nitrosomonas sp1 6 32. BPN v v v v v v Aerob Azotobacter sp4 7 Obligat 33. BPN v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp15 8 fakultatif 34. BPN v v v v v v Aerob Azotobacter sp5 9 Obligat 35. BPN v v v v v v v v v Aerob Nitrosomonas sp2 10 36. BPN v v v v v v Anaerob Klebsiella sp2 11 fakultatif 37. BPN v v v v v v v v Anaerob Nitrosomonas sp3 12 38. BPN v v v v v v v v Aerob Bacillus sp8 13 Obligat 39. BPN v v v v v v Anaerob Klebsiella sp3 14 fakultatif 40. BPN v v v v v v Aerob Azotobacter sp6 15 Obligat 41. BPN v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp16 16 fakultatif 42. BPN v v v v v v v v Aerob Nitrosomonas sp4 17 43. BPN v v v v v v v v Aerob Bacillus sp9 18 Obligat 44. BPN v v v v v v v Aerob Nitrosomonas sp5 19 45. BPN v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp17 20 fakultatif 46. BPN v v v v v v v Aerob Bacillus sp10 21 Obligat 47. BPN v v v v v v v v Aerob Bacillus sp11 22 Obligat 48. BPN v v v v v v v v Aerob Bacillus sp12 23 Obligat 49. BPN v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp18 24 fakultatif 50. BPS v v v v v v v v v Anaerob Desulfomicrobium 1 fakultatif sp 51. BPS2 v v v v v v v v Anaerob Desulfobacter sp fakultatif 52. BPS3 v v v v v v v v v Anaerob Desulfovibrium sp
Pengujian dalam tingkat suhu media menunjukkan bahwa suhu optimum bagi ketiga kelompok bakteri adalah pada kisaran suhu 25°–37°C, sementara diamati bahwa hanya sebagian kecil saja yang mampu bertahan hidup pada tingkat suhu ekstrim seperti 15°C, 45°C dan 50°C. 76 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.1.24 menunjukkan bahwa Bacillus sp.7 merupakan satu-satunya bakteri kelompok BPF yang mampu hidup dengan kisaran suhu terluas yaitu 15°– 50°C. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada umumnya bakteri-bakteri tersebut akan tumbuh dan berkembang secara optimal pada daerah perakaran dan perairan hutan mangrove daerah tropis yang bersuhu air dengan kisaran serupa. Pengujian pada tingkat keasaman substrat yang berbeda menunjukkan bahwa kondisi keasaman (pH) yang optimum untuk hampir seluruh bakteri yang dijumpai adalah pada kisaran pH netral (6–7), sementara hanya sedikit yang mampu bertahan pada pH asam (pH=4 dan 5). Tabel 3.1.24 juga menunjukkan bahwa ketiga jenis BPS yang dijumpai mampu hidup pada lingkungan dengan pH 4–7. Seluruh bakteri yang dijumpai juga menunjukkan kemampuan bertahan hidup dalam kondisi media dengan kadar garam (NaCl) 1%. Pada kadar garam 2% bakteri-bakteri dari kelompok BPF dan BPS mampu bertahan hidup, sementara hanya 10 spesies dari kelompok BPN yang mampu bertahan dari 24 spesies yang dijumpai. Kondisi tingkat salinitas yang berbeda pada hutan mangrove, terutama yang berada dekat dengan sumber air tawar dari daratan (seperti mata air di daerah pesisir, sungai dan muara sungai) ikut mempengaruhi kemampuan adaptasi bakteri terhadap kadar garam ini. Masing-masing kelompok bakteri tersebut memperlihatkan kebutuhan oksigen yang bervariasi pula dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Tabel 3.1.24 menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri dari kelompok BPF merupakan bakteri anaerob obligat, sebagian besar anggota kelompok BPN yang dijumpai adalah bakteri aerob fakultatif sementara ketiga spesies dari kelompok BPS merupakan bakteri anaerob. Perbedaan kemampuan masing-masing kelompok bakteri ini menunjukkan bahwa pada daerah-daerah dengan kondisi oksigen yang sangat terbatas, beberapa spesies dari kelompok BPF dan BPN masih dapat berkembang, sementara bakteri dari kelompok BPS yang dijumpai sepenuhnya memerlukan habitat atau substrat tanpa oksigen. Kondisi ketersediaan oksigen yang beragam pada lapisan tanah dalam kawasan hutan mangrove, beserta proses pembusukan yang terjadi ikut mempengaruhi keragaman bakteri yang mampu hidup.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 77
Pengujian aktivitas enzim yang dihasilkan oleh kelompok bakteri yang dijumpai memperlihatkan bahwa enzim protease hanya dihasilkan dari kelompok isolat BPN (Tabel 3.1.25).
Sementara, aktivitas enzim karboxylmethylselulase
tampak pada isolat bakteri kelompok BPF dan BPN. Isolat BPS sama sekali tidak menunjukkan aktivitas kedua enzim tersebut. Enzim protease adalh enzim yang berfungsi menghidrolisis atau memecah protein. Bakteri-bakteri yang menunjukkan aktivitas yang menghasilkan enzim ini mendukung proses pemecahan protein. Sedangkan enzim Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang mudah larut dalam air. CMC mudah dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana oleh enzim selulase dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh bakteri.
Tabel 3.1.25 Kisaran karakter bakteri yang dijumpai berdasarkan aktivitas enzim No. 1. 2.
b.
Aktivitas Enzim Enzim Protease Enzim Karboxylmethylselulase
ISOLAT BPF 0 10
ISOLAT BPN 4 3
ISOLAT BPS 0 0
Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa hutan mangrove Pulau
Numfor didominasi oleh BPF dari species Pseudomonas spp., Bacillus spp., dan Chromobacterium spp. Dalam langkah-langkah identifikasi, keberadaan spesiesspesies ini ditunjukkan oleh terbentuknya daerah jernih atau bening di sekitar koloni bakteri yang dibiakkan pada media, karena bakteri tersebut mampu melarutkan fosfat. Isolat yang terbentuk diketahui ada yang mempu memecah gugus asam amino Lysine, Ornithine dan Arginine, mampu memfermentasi dektrosa dan laktosa, dapat menghidrolisis Urease tapi tidak mampu menghidrolisis ONPG dan Gelatin, juga tidak menghidrolisis asam amino sistein pada uji H2S, terbentuk Indole, terbentuk acetoin pada uji Voges-Proskauer, serta menghasilkan enzim Citrase pada uji Citrate Ketiga spesies bakteri ini termasuk dalam kelompok BPF yang dapat dijumpai mendiami daerah mangrove dan berperanan penting dalam pelarutan fosfor (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). 78 | S i n t e s i s R P I
Fosfor merupakan
komponen esensial untuk DNA, RNA, ATP dan semua organisme hidup sangat tergantung pada ketersediaan unsur tersebut. Persentase kandungan unsur fosfor (P) dalam ekosistem tanah sangat tergantung dari adanya BPF dalam ekosistem tanah tersebut. Di alam unsur P selalu berada dalam bentuk fosfat anorganik. Batu kapur merupakan reservoir P anorganik yang mengandung senyawa yang tidak terlarut Ca5.(PO4 )3F. Sebelum masuk ke sistem biologi, mineral tersebut harus mengalami fosfatisasi yaitu dikonversikan terlebih dahulu menjadi PO 4 terlarut. Fosfat secara alami akan terlepas ketika terjadi pertumbuhan bakteri penghasil asam sulfat pada batu kapur tersebut. Sejumlah bakteri dan mikrobia tanah mempunyai peranan penting dalam pelarutan fosfat di dalam tanah, terutama mikrobia penghuni sistem perakaran tumbuhan misalnya tumbuhan mangrove.
Bakteri-bakteri ini akan
melarutkan fosfat (dan kalium) yang terkandung di dalam tanah yang terikat oleh ikatan mineral liat yang terakumulasi secara alami. Pseudomonas sp., Bacillus sp., dan Chromobacterium sp. adalah sebagian dari kelompok BPF yang mempunyai kemampuan tinggi sebagai“biofertilizer” atau penyubur alami dengan cara melarutkan unsur P yang terikat pada unsur lain (Fe, Al, Ca, dan Mg), sehingga unsur P tersebut menjadi tersedia bagi tanaman (Rao, 1994). BPF juga diketahui mampu hidup dalam ekosistem bersalinitas tinggi maupun kondisi ekstrim. BPF Genus Pseudomonas, Chryseomonas, Cerratia, dan Bacillus, hidup bebas pada ekosistem kering seperti tanah dan ekosistem berair seperti pantai pasang surut, lepas pantai, pesisir, laut hingga daerah mangrove (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Seperti telah dibahas sebelumnya, unsur fosfor dapat meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah pertanian serta dibutuhkan untuk produktivitas biologi di lingkungan perairan juga daerah pertanian yang bersalinitas tinggi (Holguin et al, 2001; Sahoo & Dhal, 2008). BPF juga diketahui mampu berasosiasi dengan akar tanaman dan memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman sehingga disebut “Plant Growth Promoting Rhizobacteria” (PGPR).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 79
Beberapa BPF hidup pada kisaran kondisi asam, netral, sampai dengan basa. Ekosistem terbaik untuk BPF adalah rizosfir tanaman, karena di daerah tersebut terdapat eksudat akar yang berupa asam amino,vitamin, faktor tumbuh, tanin, alkoloid, dan bahan organik sisa jaringan tanaman (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). c.
Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) Isolasi BPN menggunakan menggunakan media cair Thompson-Skerman dan
medium Glukosa-agar telah menghasilkan kelompok bakteri Pseudomonas spp., Azotobacter spp., Klebsiella spp., Nitrosomonas spp., dan Bacillus spp. Berdasarkan pengamatan, bakteri Azotobacter spp. dan Bacillus spp. merupakan bakteri anaerob obligat, sedangkan bakteri Pseudomonas spp. dan Klebsiella spp. adalah bakteri anaerob fakultatif. Di antara bakteri pelarut tersebut, terdapat beberapa species dari genus Azotobacter yang telah banyak diteliti karena kemampuan bakteri untuk mengikat nitrogen bebas walaupun dikulturkan pada medium yang bebas nitrogen. Hasil pengikatan nitrogen bebas tersebut adalah amoniak (Budiyanto, 2004; Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Kondisi ini dikuatkan pula pada kondisi di alam, bahwa sebagian besar nitrogen yang terdapat dalam tanaman berasal dari penambatan mikroorganisme prokariot seperti bakteri (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Penambatan nitrogen di dalam tanah dilakukan oleh jasad renik yang hidup bebas. Ada beberapa genera bakteri yang hidup dalam tanah (misalnya Azotobacter, Clostridium, dan Rhodospirillum) yang mampu mengikat molekul-molekul nitrogen yang dapat dijadikan senyawa-senyawa pembentuk tubuh mereka, misalnya protein (Dwijoseputro, 2005).
Sebagai tambahan, mikroba
penambat N di alam diketahui ada yang mampu hidup bebas dan ada pula yang dapat bersimbiosis. d.
Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) Kelompok BPS dalam penelitian ini ditemukan terutama pada tiga isolat BPS
pada rizhosfir Xylocarpus granatum yang sudah mati, dan pada beberapa jenis mangrove yang tumbuh di sekitarnya. Kehadiran BPS dalam lingkungan ini 80 | S i n t e s i s R P I
disebabkan karena bakteri dan O2 atmosfer mengoksidasi sulfur organik dalam sisasisa makhluk hidup menghasilkan SO42- (Holguin et al., 2001; Sahoo & Dhal, 2008). Sebagian besar organisme membutuhkan sulfur sebagai sulfat (SO 42-) dan mengasimilasi sulfur melalui proses reduksi. Dalam lingkungan anaerobik, yang merupakan kondisi umum lapisan tanah di hutan mangrove, bakteri menggunakan sulfat sebagai sumber energi untuk menghasilkan sulfur atau H2S. Bakteri memegang peranan besar dalam proses oksidasi dan reduksi pada siklus sulfur. Bakteri sulfur dan bakteri pengoksidasi sulfit, yang biasanya bersifat litotrof, yang menggunakan bahan anorganik sebagai donor elektron, akan menghasilkan sulfat (seringkali dalam bentuk asam sulfur) sehingga bertanggung jawab dalam proses asidifikasi atau pengasaman lingkungan. BPS menggunakan sulfat sebagai akseptor atau penerima elektron dalam respirasi anaerobik dan menghasilkan hidrogen sulfida (H2S). Oleh karena hidrogen sulfida bersifat toksik dan juga bereaksi dengan berbagai unsur logam, maka
reaksi sulfat berperan
penting dalam proses biogeokimia (Brock & Madigan, 1991). Berdasarkan karakter morfologi, biokimia dan fisiologi, maka ketiga isolat BPS tersebut diidentifikasi sebagai Desulfomicrobium sp., Desulfobacter sp. dan Desulfovibrium sp. Perkembangan BPS ini sangat tergantung pada ketersediaan sulfat, bahan organik yang dapat dioksidasi, serta dalam keadaan lingkungan tanpa oksigen. Sulfat yang tertimbun di dalam tanah selanjutnya akan direduksi menjadi hidrogen sulfida. Pembentukan hidrogen sulfida ini diketahui banyak terjadi pada tanah-tanah berlumpur dan tanah-tanah yang selalu tergenang, seperti pada rhizosfir mangrove (Soetarto, 2000). Sebagian besar gas sulfur yang mudah menguap di alam adalah hidrogen sulfida (H2S), yang dibentuk terutama oleh BPS. Berbagai macam organisme dapat menggunakan sulfat sebagai sumber sulfur dan melakukan reduksi sulfat, mengubah HS- membentuk sulfur organik R-SH. HS- selanjutnya akan terbentuk kembali dari dekomposisi sulfur organik oleh proses putrefaction (pembusukan) dan desulfurilasi (Brock & Madigan, 1991).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 81
e.
Hubungan Komunitas Bakteri dengan Transformasi Nutrisi dalam Hutan Mangrove Hutan mangrove sebagai salah satu tipe ekosistem yang banyak dijumpai di
daerah tropis merupakan tempat berkembangnya komunitas bakteri, yang mampu mengisi sejumlah relung (niche) sekaligus berfungsi sebagai komponen dasar dalam berlangsungnya fungsi-fungsi lingkungan (Yunasfi, 2006 dalam Wijiyono, 2009). Sebagai suatu ekosistem, hutan mangrove juga memiliki komponen biotik dan abiotik yang saling berhubungan untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut. Peranan penting komunitas bakteri sebagai mikrobia tanah hutan mangrove terutama terletak pada proses penyediaan dan penyerapan unsur hara bagi tumbuhan di hutan mangrove. Aktivitas bakteri pada dasarnya diperlukan untuk menjaga ketersediaan tiga unsur hara utama untuk tumbuhan, yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K). Bakteri telah terbukti memegang peranan penting dalam proses dekomposisi bahan organik.
Proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri
mampu meningkatkan tersedianya unsur-unsur hara tersebut melalui proses mineralisasi karbon dan asimilasi N
(Blum et al., 1988; Holguin et al., 2001;
Sahoo & Dhal, 2008). Sekitar 80% gas yang terdapat dalam udara atmosfer adalah N. Unsur N tersebut harus terlebih dahulu ditambat dan diubah bentuknya terlebih dahulu oleh bakteri agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan unsur P di alam yang membutuhkan bantuan aktivitas dari bakteri pelarut fosfat untuk mengubah bentuk P menjadi bentuk yang bisa dimanfaatkan untuk tumbuhan. Sedangkan unsur S merupakan unsur yang dihasilkan dari proses dekomposisi dan degradasi bahan organik oleh bakteri pereduksi sulfat. Proses-proses ini mengubah bentuk S menjadi bentuk yang dapat membantu mineralisasi sulfur organik, serta membantu proses produksi Fe dan fosfat terlarut, sekaligus mendukung proses fiksasi N. Bakteri-bakteri hidup dan berkembang pada organisme mati dengan menguraikan senyawa-senyawa bermolekul besar seperti protein, karbohidrat, lemak atau senyawa organik lain melalui proses metabolisme menjadi molekul82 | S i n t e s i s R P I
molekul tunggal. Molekul-molekul tunggal yang terbentuk seperti asam amino, metana, gas CO2, serta molekul-molekul lain yang mengandung unsur karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur, atau unsur anorganik seperti K, Mg, Ca, Fe, Zn, Cu, Mn dan Ni. Seluruh unsur ini dibutuhkan oleh bakteri heterotrof sebagai unsur nutrisi (Brock & Madigan, 1991). Kebanyakan bakteri yang hidup di perairan laut bersifat terikat, bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan yang kuat karena adanya bahan berlendir yang terbentuk pada permukaan sel, sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri dapat membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri dapat hidup pada alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching & Saenger, 1987 dalam Wijiyono, 2009). Bakteri-bakteri tersebut dapat hidup pada lingkungan salin (bergaram) dan membutuhkan Na+ untuk pertumbuhan dan untuk menjaga tekanan osmotik dan integritas sel (Lyla & Ajmal, 2006). Keberadaan spesies-spesies bakteri penting tersebut, seperti juga kondisi seluruh organisme di alam, selalu berhubungan dengan kondisi ekosistem dan habitatnya. Dalam penelitian ini, sebaran bakteri-bakteri tersebut membentuk pola yang dapat menandakan kondisi habitat tempat hidupnya (Tabel 3.1.26, Gambar 3.1.15). Tabel 3.1.26 Penyebaran bakteri berdasarkan lokasi pengambilan sampel No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Genus Chromobacter ium sp1. Pseudomonas sp1. Pseudomonas sp2. Pseudomonas sp3. Bacillus sp1. Pseudomonas sp4. Bacillus sp2. Pseudomonas sp5. Pseudomonas sp6. Bacillus sp3.
STA 1
STA 2
STA 3
STA 4
STA 5
Rm Nf Xg Bg Xm Rm Xm Bg Xgh Xgm Sa Rm Sa Rm Sa Ct 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 3
2
2
2
2
3
2
2
2
1
2
-
-
-
1
-
2
2
3
3
3
1
1
2
1
-
1
2
1
2
2
1
1
2
2
-
2
1
2
1
1
1
2
1
1
-
1
2
3 1
1 2
1 1
2 2
2
3 1
2
2 2
1
-
1 1
2 1
2 -
2
1 1
1 -
1
2 1
2 2
2 2
2 2
1
2 1
2 3
2 2
1 -
2 1
1 3
1 -
1 2
1 1
1 2
-
1
1
2
2
-
2
1
1
1
1
1
1
-
1
1
-
1
3
2
2
1
2
2
3
1
2
2
1
-
2
1
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 83
No.
Genus
11.
Pseudomonas sp7. Chromobacter ium sp2. Bacillus sp4. Bacillus sp5. Pseudomonas sp8. Chromobacterium sp3. Pseudomonas sp9. Pseudomonas sp10. Pseudomonas sp11. Chromobacterium sp4. Pseudomonas sp12. Bacillus sp6. Pseudomonas sp13. Bacillus sp7. Chromobacterium sp5. Azotobacter sp1. Pseudomonas sp14. Azotobacter sp2. Azotobacter sp3. Klebsiella sp1. Nitrosomonas sp1. Azotobacter sp4. Pseudomonas sp15. Azotobacter sp5. Nitrosomonas sp2. Klebsiella sp2. Nitrosomonas sp3. Bacillus sp8. Klebsiella sp3. Azotobacter sp6. Pseudomonas sp16.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
STA 1
STA 2
STA 3
STA 4
STA 5
Rm Nf Xg Bg Xm Rm Xm Bg Xgh Xgm Sa Rm Sa Rm Sa Ct 1 1 1 1 1 1 1 1 1 - 1 1 1
84 | S i n t e s i s R P I
2
2
1
2
2
2
-
2
2
-
2
1
2
2
1
-
-
1 1 2
2 2 1
1 2 2
3 1 3
1 -
3 1 3
2 3 2
3 1 1
2 -
1 1 1
1 2 1
1 1 1
1 2 1
1 2 1
2 2 1
-
2
-
2
-
-
-
-
-
1
2
-
1
2
1
2
1
2
1
2
2
-
3
2
1
-
1
2
1
1
2
1
1
1
3
1
3
1
3
1
1
-
1
2
2
1
2
2
-
-
2
-
2
1
2
-
2
-
2
2
2
1
1
-
-
1
3
-
2
-
2
-
3
-
2
2
1
-
-
1
-
2
1
3
-
-
-
3
1
-
2
1
2
1
2
1
1 -
1
1 -
2 2
3 2
1 1
2 2
2 1
1 -
-
2 1
1 2
1 2
1 -
2 2
1 1
-
2 1
1 3
2 2
3 -
-
3 -
1 2
1 3
-
2 1
2
2 1
2 1
2
2 1
3
1
1
1
2
2
2
1
2
-
3
2
1
2
-
1
3
2
2
1
2
2
2
2
1
-
1
1
1
1
-
1
2
-
2
2
1
3
1
2
3
-
3
1
1
2
2
2
-
1
2
3
2
-
2
3
2
-
2
2
1
1
1
1
2 -
2 1
1 2
2
3
2 -
3
2
2 1
-
2 1
1 2
1 1
2 -
-
1 1
-
-
1
2
2
1
2
2
2
-
-
3
1
2
1
1
1
2
2
3
2
-
2
1
2
-
2
1
2
2
1
2
-
1
2
-
1
1
1
-
2
-
1
2
1
1
1
2
1
-
2
2
-
-
-
2
3
-
-
1
2
2
2
1
-
2 1
2 2
2 2
-
-
1
2 3
-
-
3 2
2 -
1 1
1 -
2 -
1 1
3 1 -
1 1 -
3 2 1
1 2 1
1 2 2
3 1 -
2 1 2
1 2 1
2 1 -
-
3 1 1
1 1 2
1 2 1
2 1
1 1 2
1 2 1
-
-
2
2
3
-
2
2
2
-
2
1
1
1
1
1
No.
Genus
42.
Nitrosomonas sp4. Bacillus sp9. Nitrosomonas sp5. Pseudomonas sp17. Bacillus sp10. Bacillus sp11. Bacillus sp12. Pseudomonas sp18. Desulfomicrobium sp. Desulfobacter sp. Desulfovibrium sp.
43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
STA 1
STA 2
STA 3
STA 4
STA 5
Rm Nf Xg Bg Xm Rm Xm Bg Xgh Xgm Sa Rm Sa Rm Sa Ct 1 2 1 1 1 1 - 1 2 1 1 1 -
-
1 1
2 1
2 2
-
2 -
2 2
1 1
-
1 3
2 1
1 -
1 1
1 1
1
2
1
3
2
1
1
-
1
2
-
2
1
2
-
-
-
1 1 -
1
3 1 2
1 1 2 2
2 1 2 2
1 1 1 -
2 1 3 1
1 1 2 2
1 2 1 2
-
2 2 2
1 1 2
1 1 1 1
1 1 1 1
2 1 1 1
2 1 1 2
-
1
-
-
-
-
-
-
-
1
-
1
-
1
-
-
-
-
-
1
-
-
-
1
1
1
-
1
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
2
-
-
1
-
-
-
Catatan : Jumlah angka (1, 2 dan 3 serta tanda kurang (-)) menunjukkan kejadian ditemukannya bakteri dari jumlah ulangan sampel yang diambil dari lokasi tersebut. Misalnya untuk urutan 1 dalam tabel ini, angka 2 pada kolom Rm STA 1 untuk Cromobacterium sp1. berarti dari bakteri ini ditemukan pada 2 isolat bakteri dari 3 isolat (replikasi) yang dikumpulkan dari rhizosfir di bawah pohon Rhizopora mucronata pada Stasiun 1 No 1-25 No 26-49 No 51-52 STA 1 STA 2
: isolat BPF : isolat BPN : isolat BPS : 3 replikasi : 3 replikasi
STA 3 STA 4 STA 5 - Rm : - Ny : - Xg :
: 2 replikasi : 2 replikasi : 2 replikasi Rhizopora mucronata Nypa fructicans Xylocarpus granatum
-
Bg : Xm : Sa : Ct : Xgm : Xgh :
Bruguera gymnorrhiza Xylocarpus mollucensis Sonneratia alba Ceriops tagal Xylocarpus granatum mati Xylocarpus granatum hidup
Kelompok BPF dijumpai pada seluruh stasiun pengambilan contoh, baik yang berkondisi vegetasi masih sangat baik dengan beragam spesies pohon mangrove, hingga pada lokasi dengan jumlah spesies yang minim. Kondisi serupa juga tampak pada kelompok BPN yang memiliki sebaran cukup luas pada kelima stasiun pengamatan. Kondisi yang agak berbeda tampak pada kelompok BPS yang hampir tidak dijumpai pada kelima stasiun pengamatan.
Kelompok BPS ini muncul
terutama pada rhizosfir di bawah spesies Xylocarpus granatum yang sudah mati akibat tersambar petir.
Sebaliknya, pada lapisan rhizosfir ini juga sulit sekali
ditemui adanya bakteri-bakteri dari kelompok lain.
Kondisi ini dengan jelas
menunjukkan kekhasan kelompok bakteri pereduksi sulfat yang terutama berfungsi mendekomposisi dan mendegradasi bahan organik dari tumbuhan mati untuk
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 85
menjadi unsur-unsur anorganik ke dalam lingkungan sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan lain.
a)
b)
c)
d)
Gambar 3.1.15 Kondisi mangrove pada beberapa stasiun pengambilan sampel: a) STA 1, b) STA 2, c) STA 3, d) STA 4
3.1.2 Peran Ekosistem Mangrove dalam Penjerapan Polutan Perairan Penelitian atau kajian yang terkait dengan peran mangrove dalam penjerapan zat pencemar (polutan) telah dilaksanakan pada berbagai tipologi ekosistem mangrove di Pulau Jawa. Beberapa lokasi penelitian tersebut antara lain di Sungai Cimalaya-Ciasem (Purwakarta, Jawa Barat), Sungai Donan-Cilacap (Jawa Tengah), dan Sungai Segoro Anak-Taman Nasional Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur pada bulan Juli–Desember 2010; serta Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) pada bulan Juni–Desember 2011. Aspek penelitian meliputi jenis polutan dan kandungannya pada vegetasi mangrove, 86 | S i n t e s i s R P I
perairan dan substrat tanah/lumpur, biota (seperti ikan dan udang), serta keberadaan plankton dan benthos dalam eksositem mangrove. Sungai Cilamaya (Purwakarta, Jawa Barat), S. Donan (Cilacap, Jawa Tengah) dan S. Segoro Anak (Banyuwangi, Jawa Timur) merupakan lokasi perairan pada ekosistem mangrove yang dijadikan sampel untuk mengetahui terdapatnya kandungan zat pencemar atau polutan dari jenis Cu (cuprum/tembaga), Pb (plumbum/timbal/timah hitam) dan Hg (merkuri/air raksa). Sementara itu, kawasan mangrove di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) merupakan lokasi yang dijadikan sampel untuk mengetahui terdapatnya kandungan zat polutan dari jenis Mn (mangan), Zn (zink/seng), Cr (chromium), dan Cd (cadmium). Jenis-jenis polutan tersebut merupakan contoh dari berbagai jenis bahan beracun dan berbahaya (B3) bagi kesehatan dan lingkungan. Sumber polutan di setiap lokasi penelitian berasal dari limbah/buangan industri dan aktivitas manusia di sekitarnya. Sumber polutan di S. Cilamaya diduga banyak dihasilkan oleh industri yang berada di tepi sungai. Sumber polutan di S. Segara Anak diduga berasal dari aktivitas pengambilan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan zat-zat berbahaya pada lokasi menjauhi dermaga. Sumber polutan di S. Donan diketahui berasal dari dua industri besar, yaitu kilang minyak dan pabrik semen yang tentunya ada limbah yang terbuang dan mencemari sungai. Sementara itu, sumber polutan di Demak adalah industri perkayuan dan perikanan, serta di Denpasar adalah pelabuhan Benoa. 3.1.2.1 Kandungan Zat Polutan di dalam Vegetasi Mangrove Tingkat kandungan zat polutan pada berbagai jenis mangrove umumnya semakin tinggi bila semakin dekat dengan sumber pencemar (Tabel 3.1.27; 3.1.28 dan 3.1.29). Hal ini sesuai dengan pernyataan Greenland dan Hayes (1981) yang menyatakan akumulasi zat pencemar ditentukan oleh konsentrasi zat tersebut dalam substrat (air dan tanah) atau dekat dengan sumber pencemar. Zat pencemar tersebut sebagian ada yang terjerap pada tanaman mangrove dan sebagian lagi terbawa air, mengendap dalam tanah dan masuk dalam biota perairan (ikan, udang dan lainlain). Jumlah logam berat yang diambil tanaman dari dalam tanah ditentukan oleh
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 87
ketersediaannya dan terkait dengan jenis tanamannya.
Semakin banyak unsur
tersebut di dalam tanah semakin mudah diserap oleh akar tanaman (Greenland dan Hayes, 1981). Semua vegetasi mangrove yang diambil sampelnya dari S. Donan diketahui mengandung zat polutan (terutama Cu dan Pb) paling tinggi dibandingkan dua lokasi lainnya, bahkan hingga lebih dari 1.000 m dari sumber polutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada jarak 0–500 m dari S. Donan terdapat kandungan Cu tertinggi (28,83 ppm) pada bagian akar dari jenis Avicenia marina, kandungan Pb tertinggi (144,99 ppm) pada bagian daun dari jenis Ceriops tagal, dan kandungan Hg tertinggi (11,24 ppm) pada bagian akar dari jenis Avicenia marina. Kemampuan bagian tumbuhan mangrove dalam menjerap zat polutan sangat bervariasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bagian tumbuhan mangrove yang paling banyak menjerap zat polutan Cu berturut-turut adalah akar, batang, daun dan buah. Zat polutan Pb umumnya lebih banyak dijerap berturut-turut oleh bagian daun, batang, akar, dan buah. Bahkan, Pb juga merupakan zat polutan yang paling banyak terdapat pada semua bagian tumbuhan mangrove dibandingkan Cu dan Hg. Sementara itu secara kumulatif, Avicenia marina diketahui lebih besar menjerap zat polutan Cu dan Hg, sedangkan Ceriops tagal diketahui lebih besar menjerap zat polutan Pb. Tabel 3.1.27 Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Avicenia marina
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
88 | S i n t e s i s R P I
Parameter Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg
Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari S. Cilamaya 0-500 m > 500-1000 m >1000 m 15,28 13,37 5,63 105,60 97,52 82,86 0,002 <0,0001 <0,0001 10,39 8,57 7,04 66,70 49,49 48,23 0,059 0,045 <0,0001 8,03 6,96 5,08 110,81 86,43 81,33 0,026 0,001 <0,0001
Tabel 3.1.28 Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Avicenia marina
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
Buah (ppm)
Rhizophora apiculata
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
Buah (ppm)
Ceriops tagal
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
Buah (ppm)
Parameter Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg
Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari pabrik semen di Sungai Donan 0-500 m > 500-1000 m >1000 m 28,83 22,99 17,09 64,44 60,53 58,86 11,24 0,094 <0,0001 17,60 11,12 1,39 74,93 63,38 51,14 1,55 0,607 <0,0001 9,48 8,16 5,47 91,96 87,64 74,66 0,157 0,032 <0,0001 5,19 5,13 1,33 59,34 45,45 43,07 0,085 0,002 <0,0001 14,56 13,69 12,15 71,41 53,71 42,55 0,216 0,045 <0,0001 12,75 10,75 1,71 72,57 67,55 53,40 4,59 0,677 0,001 5,55 5,25 2,44 91,55 82,92 78,54 0,134 0,061 0,009 2,07 1,33 0,23 56,56 45,81 31,80 0,092 0,056 0,038 17,33 15,45 17,38 68,18 61,89 58,89 0,038 0,009 <0,0001 15,80 9,70 5,26 77,33 58,14 43,66 0,070 0,021 <0,0001 10,57 8,05 3,66 144,99 97,49 86,82 0,534 0,014 0,004 3,23 1,63 1,36 64,48 58,71 44,65 0,581 0,053 0,004
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 89
Tabel 3.1.29 Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Avicenia marina
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
Rhizophora apiculata
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
Buah (ppm)
Ceriops tagal
Akar (ppm)
Batang (ppm)
Daun (ppm)
Buah (ppm)
Parameter Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg
Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari dermaga wisata di Sungai Segoro Anak 0m 1.000 m 5,89 7,79 <0,006 <0,006 <0,0001 <0,0001 1,80 4,06 <0,006 <0,006 <0,0001 <0,0001 9,93 10,72 8,58 44,80 <0,0001 <0,0001 1,06 3,72 <0,006 <0,006 <0,0001 <0,0001 1,30 3,92 <0,006 2,07 <0,0001 <0,0001 4,66 5,54 14,38 29,94 <0,0001 <0,0001 0,74 0,49 <0,006 2,74 <0,0001 <0,0001 2,85 <0,006 <0,0001 0,73 <0,006 <0,0001 5,92 19,84 <0,0001 1,53 <0,006 <0,0001
Banyaknya akumulasi Pb pada bagian daun merupakan usaha lokalisasi yang dilakukan oleh tumbuhan yaitu mengumpulkan dalam satu organ. Proses masuknya unsur Pb ke dalam jaringan tumbuhan bisa melalui xylem ke semua bagian tumbuhan sampai ke daun atau dengan cara penempelan partikel Pb pada daun dan masuk ke dalam jaringan melalui stomata (Dahlan, 1986). Selain daun, akumulasi 90 | S i n t e s i s R P I
Pb terbanyak yaitu pada bagian akar, hal ini berhubungan dengan ekskresi yang dilakukan oleh tumbuhan. Pengeluaran ion toksik selain melalui daun dilakukan melalui akar yaitu ion-ion tersebut secara aktif ditarik dari xylem kembali ke xylem parenchym dan kemudian dilepaskan dari akar kembali media (Andani dan Purbayanti, 1981). Zat pencemar Pb pada tumbuhan cenderung bersifat racun. Konsentrasi Pb sebesar 1 ppm berdampak besar dalam proses tumbuhan tersebut, termasuk proses fotosintesis dan respirasi (Treshow, 1985). Selanjutnya dinyatakan oleh Greenland dan Hayes (1981) bahwa konsentrasi Pb pada tumbuhan yang masih dapat ditolerir sekitar 0,1–10 ppm bahan kering. Pada penelitian ini konsentrasi Pb pada beberapa vegetasi mangrove di S. Cilamaya sebesar 48,23–110,81 ppm, 31,80–144,99 ppm di S. Donan dan mencapai 44,8 ppm di S. Segara Anak sehingga hal ini sudah melebihi ambang batas normal. Analisis unsur Cu dan Hg menunjukkan akumulasi terbesar pada bagian akar, terutama jenis Avicennia marina. Andani dan Purbayanti (1981) menyatakan bahwa konsentrasi suatu ion lebih tinggi ditemukan di dalam akar dari pada di daun. Hal ini merupakan bukti kuat untuk lokalisasi ekstra seluler yang diduga akibat pengikatan fraksi pektin pada dinding sel. Unsur Cu termasuk dalam unsur esensial dalam kelompok unsur mikro, akumulasi unsur ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu, menurut hasil penelitian Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (2002), pohon Api-api (Avicennia marina) memiliki kemampuan akumulasi logam berat yang tinggi dengan cara melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam berat tersebut. Hasil penelitian terhadap zat polutan lainnya adalah terhadap kandungan unsur Mn, Zn, Cr dan Cd.
Berdasarkan Tabel 3.1.30 dapat diketahui bahwa
kandungan zat polutan yang paling tinggi dalam vegetasi mangrove secara berturutturut adalah Mn, Zn, Cd, dan Cr. Penjerapan unsur Mn paling banyak terdapat pada bagian daun Rhizophora apiculata (829,95 ppm) dan penjerapan unsur Zn paling banyak terdapat pada bagian akar Avicenia marina (169,04 ppm) di Kecamatan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 91
Suwung (Denpasar, Bali). Sementara itu, penjerapan unsur Cd paling banyak terdapat pada bagian batang R. apiculata (15,81 ppm) dan penjerapan unsur Cr paling banyak terdapat pada bagian akar A. marina (1,15 ppm) di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah). Berdasarkan jenis mangrove, kemampuan menjerap zat polutan diketahui berbeda antarlokasi penelitian. Secara umum, Avicenia marina lebih banyak menjerap empat jenis zat polutan dibandingkan Rhizophora apiculata di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah). Namun, kemampuan menjerap unsur Mn ternyata lebih besar pada R. apiculata di Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali). Selain itu, Mn merupakan zat polutan yang paling banyak konsentrasinya pada semua bagian tumbuhan, baik pada kedua jenis mangrove maupun kedua lokasi penelitian. Pada penelitian ini, jenis R. apiculata menjerap polutan cukup besar terutama di bagian akar dan batang. Hal ini diduga jenis ini mempunyai akar jangkar yang panjang dan permukaannya luas sehingga dapat menjerap polutan logam berat yang besar.
Tabel 3.1.30 Kandungan zat pencemar dalam bagian tumbuhan mangrove pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) Lokasi penelitian
Jenis mangrove dan bagian tumbuhan
Kec. Sayung (Demak, Jawa Tengah)
Avicennia marina
Rhizophora apiculata
Kec. Suwung (Denpasar, Bali)
Avicennia marina
Rhizophora apiculata
92 | S i n t e s i s R P I
Akar
Kandungan zat pencemar berdasarkan parameter (ppm) Mangan/ Zink/ Kromium/ Kadmium Mn Zn Cr /Cd 676,27 36,50 1,15 13,91
Batang
31,03
23,54
0,52
11,82
Daun
250,12
31,37
0,25
12,82
Buah
-
-
-
-
43,94 231,97 168,47 391,21 124,44 348,63 317,84 479,58 829,95 28,30
14,04 18,08 17,14 169,04 33,42 44,14 54,28 25,86 41,16 20,71
1,08 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025
8,71 15,81 7,76 7,71 7,23 7,70 6,19 6,76 7,16 6,30
Akar Batang Daun Buah Akar Batang Daun Buah Akar Batang Daun Buah
Selain akar, akumulasi Mn terbanyak yaitu pada bagian daun, hal ini berhubungan dengan ekskresi yang dilakukan oleh tumbuhan. Pengeluaran ion toksik selain melalui akar dilakukan melalui daun yaitu ion-ion tersebut secara aktif ditarik dari xylem kembali ke xylem parenchym dan kemudian dilepaskan dari akar kembali ke tanah (Andani dan Purbayanti, 1981). Zat pencemar Mn pada tumbuhan cenderung bersifat racun. Konsentrasi Mn sebesar 10 ppm berdampak besar dalam proses tumbuhan tersebut termasuk proses fotosintesis dan respirasi (Treshow, 1985).
Selanjutnya, Greenland dan Hayes
(1981) menyatakan bahwa konsentrasi Mn pada tumbuhan yang masih dapat ditolerir sekitar 0,1–10 ppm bahan kering. Pada penelitian ini, konsentrasi Mn pada A. marina yang terendah adalah 31,03 ppm (pada bagian akar di Sayung) dan hal ini jauh melebihi ambang batas normal. Analisis unsur Zn di kedua lokasi menunjukkan bahwa akumulasi terbesar unsur tersebut juga pada bagian akar (36,50 ppm di Sayung dan 169,04 ppm di Suwung). Andani dan Purbayanti (1981) menyatakan bahwa konsentrasi suatu ion lebih tinggi ditemukan di dalam akar daripada di daun. Hal ini merupakan bukti kuat untuk lokalisasi ekstra seluler yang diduga akibat pengikatan fraksi pektin pada dinding sel. Unsur Zn termasuk dalam unsur esensial dalam kelompok unsur mikro, dan akumulasi unsur ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Masuknya Cr dan Cd ke dalam jaringan tanaman A. marina secara alamiah dapat terjadi karena beberapa faktor fisika antara lain erosi. Secara nonalamiah, unsur tersebut masuk ke dalam suatu lingkungan perairan terutama karena efek samping dari aktivitas yang dilakukan manusia dari kegiatan pabrik seperti electroplating, penyamakan kulit, pabrik tekstil, cat dan buangan limbah rumah tangga (Suprapti, 1998 dan 1999). 3.1.2.2 Kandungan Zat Polutan di Berbagai Media/Komponen Biofisik Secara umum, substrat dasar pada ekosistem mangrove memiliki konsentrasi yang tinggi terhadap zat polutan di seluruh lokasi penelitian (Tabel 3.1.31 sampai dengan Tabel 3.1.34). Bahkan, jarak pengambilan sampel dari sumber polutan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi polutan di dalam P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 93
substrat tersebut. Walaupun demikian, jarak terdekat dari sumber polutan tetap memberikan nilai konsentrai yang lebih tinggi dibandingkan dibandingkan jarak yang lebih jauh. Tabel 3.1.31 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) Media/Komponen Biofisik Fisik
Air tambak (mg/l) Substrat dasar (ppm)
Biota
Ikan bandeng (µg/kg) Udang (µg/kg)
Parameter Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg
Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari S. Cilamaya 0-500 m > 500-1000 m >1000 m <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 0,0093 0,0007 0,0006 650,31 640,12 588,19 21,20 20,97 18,53 0,016 0,016 0,016 2,55 1,85 1,18 6,60 5,03 2,32 <0,1 <0,1 <0,1 4,73 3,59 2,10 12,85 3,88 0,81 <0,1 <0,1 <0,1
Tabel 3.1.32 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) Media/Komponen Biofisik Fisik
Air sungai (mg/l) Substrat dasar (ppm)
Biota
Ikan blanak (µg/kg)
94 | S i n t e s i s R P I
Parameter Cu Pb Hg Cu Pb Hg Cu Pb Hg
Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari pabrik semen di Sungai Donan 0-500 m > 500-1000 m >1000 m <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 0,0044 0,0019 0,0018 1.622,35 1.602,35 977,14 17,98 17,50 16,56 0,021 0,020 0,016 0,90 0,35 7,12 2,34 0,89 <0,1
Tabel 3.1.33 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) Media/Komponen Biofisik Fisik
Parameter
Air sungai (mg/l) Substrat dasar (ppm)
Cu Pb Hg Cu Pb Hg
Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari dermaga wisata di Sungai Segoro Anak 0m 1.000 m 0,034 0,025 0,119 0,014 0,0006 <0,0001 37,67 38,58 3,39 7,52 <0,0001 <0,0001
Tabel 3.1.34 Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) Lokasi Penelitian Sayung (Demak, Jawa Tengah)
Media/ komponen biofisik Fisik
substrat Biota
Suwung (Denpasar, Bali)
perairan
Fisik Biota
Kandungan Zat Pencemar Berdasarkan Parameter (mg/l) Mangan/ Zink/ Kromium/ Kadmium/ Mn Zn Cr Cd 0,076 0,023 0,153 <0,007 819,21
103,01
2,03
10,61
Ikan bandeng
1,57
17,52
<0,01
<0,001
Ikan nila
3,76
24,55
<0,01
<0,001
Udang
2,93
23,55
<0,01
<0,01
0,034 269,83 5,64 22,62
0,010 94,33 26,03 25,98
<0,025 5,05 <0,01 <0,01
<0,007 1,94 <0,01 0,67
perairan substrat Udang Ketam
Lokasi penelitian yang paling tinggi terpapar zat polutan Cu pada substrat dasarnya adalah Sungai Donan yaitu sebesar 1.622,35 ppm pada jarak 0–500 m dari sumber polutan. Konsentrasi ion logam Cu tertinggi pada jarak ini juga terdapat di S. Cilamaya sebesar 650,31 ppm. Sementara itu, substrat di perairan Suwung dan Sayung didominasi dengan konsentrasi zat polutan Mn dan Zn. Zat polutan yang terdapat pada media atau komponen biofisik di ekosistem mangrove berasal dari buangan anorganik industri dan aktivitas manusia lainnya. Buangan anorganik ini merupakan bahan yang menjadi perhatian penting karena umumnya merupakan limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 95
mikroorganisme sehingga akan terjadi akumulasi (Wardhana, 1995). Bahan anorganik tersebut biasanya berasal dari buangan industri/ pelabuhan yang terdapat sekitar lokasi peneltian. Keberadaan ion-ion yang berasal dari logam berat maupun logam yang bersifat racun seperti mangan (Mn) dan zink (Zn) di dalam air akan sangat berbahaya bagi manusia dan air tersebut tidak dapat digunakan sebagai air minum. Kandungan logam berat tersebut secara alami memang sudah ada dalam air laut, tetapi konsentrasinya sangat rendah. Misalnya, plumbum (Pb) sebesar 0,03g/l, argentum (Ag) sebesar 0,28g/l, merkurium (Hg) sebesar (0,15g/l) dan cuprum (Cu) sebesar 0,11g/l, serta kandungan logam berat Zn dalam tanah secara alami rata-rata 50 mg/l dan Mn sebesar 100 mg/l. (Waldichuk, 1974 dalam Darmono, 2001). Kondisi biota perairan yang dijadikan sampel di semua lokasi penelitian juga sudah terpapar zat polutan dengan konsentrasi yang bervariasi sesuai dengan jenis zat polutan dan jenis biotanya.
Konsentrasi Pb umumnya paling tinggi
dibandingkan Cu dan Hg di S. Cilamaya dan S. Donan. Sementara itu, biota perairan di Sayung dan Suwung lebih banyak terpapar ion logam Zn. Berdasarkan jenis biota perairan yang menjadi sampel penelitian di S. Cilamaya, jenis udang umumnya diketahui mengandung zat polutan (Pb dan Cu) lebih tinggi dibandingkan ikan bandeng. Zat polutan utama yang terdapat di udang tersebut adalah Pb dengan konsentrasi paling tinggi sebesar 12,85 μg/kg yaitu pada jarak 0–500 m dari sumber polutan. Udang juga mengandung zat polutan cukup tinggi di Sayung dan Suwung. Selain itu, ion Zn merupakan jenis zat polutan yang paling banyak terkandung di dalam biota perairan di Sayung dan Suwung. Kandungan Zn mulai dari yang tertinggi pada jenis biota perairan tersebut adalah udang, ketam, ikan nila dan ikan bandeng. 3.1.2.3 Kelimpahan Plankton dan Benthos pada Ekosistem Mangrove yang Diindikasikan Terdapat Zat Polutan Kelimpahan plankton dan benthos pada perairan mangrove yang dijadikan lokasi penelitian sangat bervariasi, baik berdasarkan jarak dari sumber polutan 96 | S i n t e s i s R P I
maupun lokasi penelitian (Tabel 3.1.35; 3.1.36 dan 3.1.37). Namun demikian, nilai kelimpahan plankton dan benthos umumnya semakin tinggi bila lebih jauh dari sumber polutan. Selain itu, keberadaan jenis atau taksa setiap organisme tidak selalu ditemukan sama pada lokasi atau jarak yang berbda dari sumber polutan. Secara umum, jumlah taksa phytoplankton lebih banyak dibandingkan zooplankton dan benthos di semua lokasi penelitian. Nitzschia sp. adalah jenis phytoplankton yang ditemukan di semua lokasi penelitian di S. Cilamaya, S. Donan dan S. Segara Anak, serta pada semua jarak pengambilan sampel dari sumber polutan. Sementara itu, jenis zooplankton yang juga ditemukan pada semua lokasi tersebut adalah Nauplius sp. Tabel 3.1.35 Kelimpahan plankton dan benthos dalam tambak di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) Organisme Phytoplankton
Zooplankton
Bacillariophyceae : Surirella sp. Navicula sp. Nitzschia sp. Asterionella sp. Fragillaria sp. Tabellaria sp. Gyrosigma sp. Crustaceae: Nauplius sp. Daphnia sp. Copepoda: Cyclopoid sp.
Jumlah taksa (C) Jumlah individu/l (N) Indeks keanekaragaman Shannon (H’) Indeks keseragaman (e) Indeks dominansi (D) Benthos Mollusca : Mitra sp. Phos sp. Venus sp. Ceritium sp. Turris sp. Nassarius sp. Jumlah taksa (C)
Jarak dari S. Cilamaya 0-500 m
> 500-1000 m
>1000 m
1408 704 2816 3520 704 -
704 704 704 704
704 2816 704 704
2112 -
5632 -
2112 1408
6 11264 1,630 0,175 0,219
8448 6 16896 1,242 0,128 0,368
2816 7 11264 1,787 0,192 0,188
30 255 60 3
15 405 2
840 30 2
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 97
Organisme Jumlah individu/m2 Indeks keanekaragaman Shannon (H’) Indeks keseragaman (e) Indeks dominansi (D)
Jarak dari S. Cilamaya 0-500 m 645 0,931 0,144 0,427
> 500-1000 m 420 0,154 0,026 0,931
>1000 m 870 0,150 0,022 0,933
Tabel 3.1.36 Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) Organisme Phytoplankton
Zooplankton
Bacillariophyceae : Navicula sp. Nitzschia sp. Gyrosigma sp. Fragillaria sp. Tabellaria sp. Crustaceae: Nauplius sp. Rotifera: Trichocerca sp. Copepoda: Cyclopoid sp.
Jumlah taksa (C) Jumlah individu/l (N) Indeks keanekaragaman Shannon (H’) Indeks keseragaman (e) Indeks dominansi (D) Benthos Mollusca : Epitonium sp. Buccimum sp. Cancellaria sp. Tarebia sp. Lymnea sp. Crustaceae: Hemigrapsus sp. Jumlah taksa (C) Jumlah individu/m2 Indeks keanekaragaman Shannon (H’) Indeks keseragaman (e) Indeks dominansi (D)
98 | S i n t e s i s R P I
Jarak dari pabrik semen 0-500 m > 500-1000 m >1000 m 1408 2112 704 704
1408 1408 704 1408 -
704 1408 2112 704
1408
2816
4928
-
-
2112
704 6 7040 1,696 0,191 0,200
2112 7 10560 1,841 0,199 0,173
2816 8 15488 1,857 0,192 0,186
15 15 -
15 -
15 15
2 30 0,693 0,204 0,500
15 2 30 0,693 0,204 0,500
30 3 60 1,040 0,254 0,375
Tabel 3.1.37 Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur) Organisme Phytoplankton
Zooplankton
Bacillariophyceae : Navicula sp. Nitzschia sp. Coscinodiscus sp. Fragillaria sp. Surirella sp. Diatoma sp. Crustaceae: Nauplius sp. Rotifera: Cyclopoid sp.
Jumlah taksa (C) Jumlah individu/l (N) Indeks keanekaragaman Shannon (H’) Indeks keseragaman (e) Indeks dominansi (D) Benthos Mollusca : Mitra sp. Venus sp. Jumlah taksa (C) Jumlah individu/m2 Indeks keanekaragaman Shannon (H’) Indeks keseragaman (e) Indeks dominansi (D)
Jarak dari dermaga wisata 0 (m)
1.000 (m)
1.408 1.408 704 704 2.112
2.112 2.112 2.112 2.112
1.408
704
704 7 8.448 1,86 0,21 0,167
5 9.152 1,55 0,17 0,219
30 45 2 75 0,673 0,156 0,52
15 1 15 0 0 1
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 99
Gambar 3.1.16 Pengambilan
material sampel penelitian terkait fungsi penjerapan polutan oleh mangrove (jenis dan bagian tumbuhan mangrove, air dan substrat, serta biota perairan)
3.1.3 Peran Ekosistem Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut Penelitian atau kajian terhadap peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut telah dilakukan di Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah) pada tahun 2011 dan 2012. Lokasi penelitian adalah sebuah laguna yang dilihat dari perspektif lingkungan hidup merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan
100 | S i n t e s i s R P I
udang dan ikan; sebagai habitat burung-burung air, berbagai jenis reptil dan mamalia, serta berbagai jenis flora. Selain itu, laguna tersebut termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari wilayah Sungai Citanduy (Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat). Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Laguna Segara Anakan ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk melindungi ekosistem yang unik. Kawasan ini merupakan daerah estuari yang dilindungi oleh Pulau Nusakambangan dan dipengaruhi pasang surut Samudera Indonesia melalui dua kanal (Kanal Barat dan Timur). Dengan demikian, keberadaan ekosistem hutan mangrove tersebut menjadi sangat penting untuk mendukung produktivitas perairan, kehidupan satwa liar dan kehidupan masyarakat di sekitar hutan mangrove. Secara administrasi pemerintahan, hutan mangrove di Segara Anakan termasuk wilayah Kecamatan Kampung Laut (Cilacap, Jawa Tengah). Pada kecamatan ini, pengambilan data sampel vegetasi dilakukan di tiga desa: Ujung Gagak, Klaces dan Ujung Alang. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada posisi hutan mangrove dari muara S. Citanduy dan S. Cibeureum, yaitu dari yang terdekat sampai terjauh mengarah ke daratan dengan keterwakilan dari jenis terpilih: bogem (Soneratia alba) di Desa Ujung Gagak, api-api (Avicennia sp.) di Desa Klaces, dan bakau (Rhizophora sp.) di Desa Ujung Alang. Laguna Segara Anakan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai muara S. Citanduy, S. Cibeureum, S. Palindukan, S. Cikonde dan sungai-sungai lainnya yang berpengaruh besar terhadap kelancaran fungsi sistem drainase daerah irigasi Sidareja–Cihaur seluas 22.500 ha (Kab. Cialacap), Lakbok Selatan seluas 4.050 ha dan Lakbok Utara seluas 6.700 ha (Kab. Ciamis), serta pengendalian banjir wilayah S. Citanduy. Tingginya laju pendangkalan akibat sedimentasi S. Citanduy dan drainase yang buruk [dipengaruhi pasang surut Samudera Indonesia] berdampak pada berkurangnya luas perairan Segara Anakan yang memengaruhi luas daerah pemijahan ikan. Berdasarkan aspek perekonomian masyarakat, kerusakan ekosistem menyebabkan penduduk kesulitan menangkap ikan sehingga produksi perikanan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 101
menurun. Selain itu, permasalahn besar di Segara Anakan adalah berkurangnya tampungan air, sekaligus penumpukan air di atas muara sehingga terjadi banjir pada daerah hilirnya. 3.1.3.1 Permasalahan Banjir Penyebab banjir di antaranya adalah (1) pendangkalan Segara Anakan (sebagai muara sungai-sungai di DAS Citanduy); (2) berubahnya fungsi retarding basin Wanareja menjadi daerah permukiman dan pertanian; (3) tidak berfungsinya 4 unit dari 6 unit pelimpah di Wanareja (Kabupaten Cilacap) karena ditutup oleh masyarakat; (4) penurunan kinerja dari bangunan pengendali banjir karena umur fasilitas (>25 tahun); (5) menurunnya kapasitas sungai karena sedimentasi; (6) penambangan galian C yang sulit dikendalikan; dan (7) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi sungai dan prasarana pengendali banjir. Target pengurangan luas genangan banjir dari 20.700 ha menjadi 2.000 ha, ternyata saat ini tidak dapat dicapai lagi [data banjir tahun 1996, luas genangan 11.695 ha; bahkan pada tahun 2000, luasan genangan mencapai 4.000 ha]. Pengendalian Daya Rusak Air Wilayah Sungai Citanduy yang dilaksanakan sejak tahun 1976 [sesuai dengan Masterplan Citanduy tahun 1975] selama ini lebih banyak difokuskan pada pengendalian banjir di daerah hilir S. Citanduy [yang mengalami banjir dan genangan sepanjang tahun]. Daerah bagian hilir S. Citanduy merupakan daerah floodplan Sungai Citanduy atau daerah aluvial yang membentang dari Kota Banjar hingga bermuara di Segara Anakan. 3.1.3.2 Sedimentasi Segara Anakan Laguna Segara Anakan secara kontinu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi selama bertahun-tahun pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Sebagai muara dari beberapa sungai besar seperti Sungai Citanduy, Cibereum, Cimeneng, Cikonde, dan beberapa sungai lainnya; kondisi ini membawa konsekuensi pada melimpahnya pasokan air dan sedimen yang terbawa ke dalam laguna. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan
102 | S i n t e s i s R P I
kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai tersebut. Erosi pada sungai-sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan menyumbang material lumpur dan bahkan limbah sebanyak 5.000.000 m 3/tahun, yang mana sebesar 1.000.000 m3/tahun terendapkan di laguna. Dari 1.000.000 m3 tersebut, 750.000 m3 disumbangkan oleh material yang dibawa aliran S. Citanduy, sedangkan sisanya (250.000 m3) berasal dari material yang dibawa sungai lainnya. Dengan demikian, total sedimentasi di laguna terhitung sejak tahun 1994 hingga kini sudah melebihi 5.000.000 m3. Material lumpur dan limbah yang dibawa aliran air sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan tersebut menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya luas perairan, serta adanya tanah timbul. Laju sedimentasi yang tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan luasan laguna Segara Anakan semakin menyusut. Walaupun terdapat perbedaan data dari berbagai sumber yang berbeda, data-data tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama dalam menggambarkan laju penurunan luasan laguna Segara Anakan seperti terlihat pada Gambar 3.1.17. Sementara itu, Gambar 3.1.18 memperlihatkan hasil pengolahan data inderaja luasan laguna Segara Anakan. Laju sedimentasi yang tinggi di laguna Segara Anakan juga mengakibatkan menyempitnya alur (celah) di Plawangan Barat yang menghubungkan laguna dan laut lepas Samudera Hindia hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan [sebelumnya berjarak 300 m pada tahun 2002]. Kedalaman laguna pun menjadi semakin dangkal, mulai dari minus 0,63 m sampai 4,6 m. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan air sungai dan sedimen ke laut, sirkulasi air laut dan air tawar di laguna, serta menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya biota laut pada saat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 103
Gambar 3.1.17 Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan
Sumber: Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Ditjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum
Gambar 3.1.18 Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan 104 | S i n t e s i s R P I
Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu jalur perahu nelayan dan alur pelayaran kapal penyeberangan. Beberapa kendala akibat sedimentasi di kawasan ini antara lain jalur kapal penyebrangan antara Dermaga Lomanis (Cilacap)–Dermaga Majingklak (Ciamis) dan kapal besar berkapasitas hingga 300 orang antara Cilacap–Kalipucang terhenti; alur Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Intan mendangkal dan membuat kapal kandas pada tahun 2004; alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis (Cilacap) terganggu; alat transportasi kapal roro dan compreng bagi wilayah setempat sebagian besar sudah berhenti beroperasi; serta Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur Cilacap–Kampung Laut–Kalipucang sehingga transportasi ke tiga desa di Kampung Laut (Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang nyaris terputus. Tabel 3.1.38 Jumlah sedimen yang mengendap di Laguna Segara Anakan Sungai - Citanduy - Cimeneng, Cikonde Total
Jumlah Angkutan Sedimen (juta m3/tahun) 5,00
4,26
Mengendap di Segoro Anakan (juta m3/tahun) 0,74
0,77
0,51
0,26
5,77
4,77
1,00
Langsung ke Laut (juta m3/tahun)
Sedimen terlarut yang terbawa oleh aliran beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan adalah penyumbang sedimentasi di Segara Anakan. Dalam perjalanan aliran sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan menuju Samudra Hindia, sedimen terlarut tersebut mengendap. Salah satu penyebab terjadinya pengendapan sedimen adalah menurunnya kecepatan aliran dan adanya pasang surut air laut yang terjadi sampai di Segara Anakan. Kadar sedimen terlarut pada beberapa lokasi di Segara Anakan dalam empat kali pengamatan menunjukkan kecenderungan penurunan kadar sedimen terlarut dari muara S. Citanduy dan muara S. Cibereum, pertemuan S. Citanduy dan S. Cibereum, kawasan hutan mangrove Ujung Gagak, Klaces Hilir dan Ujung Alang (akhir aliran menuju Samudra Hindia).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 105
Akibat jauhnya jarak antara muara S. Citanduy dan S. Cibereum dengan Samudra Hindia, serta adanya Segara Anakan pada pertengahannya menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan aliran yang berdampak pada proses sedimentasi atau pengendapan sedimen terlarut dari aliran yang menuju Samudra Hindia. Hal ini terjadi akibat menurunnya kecepatan arus atau menurunya gaya pengangkut sedimen terlarut hingga berada di bawah titik daya angkutnya. Kondisi tersebut umumnya terjadi pada muara sungai, cekungan-cekungan seperti laguna Segara Anakan, laut, dan lain-lain (http://blogs.unpad.ac.id/myawaludin/files/2012/03/ Proses-Sedimentasi.pdf).
Tabel 3.1.39 Kadar sedimen terlarut (gr/liter) pada beberapa lokasi di Segara Anakan Lokasi
Kadar sedimen terlarut (gr/liter) 26/27 Juli
4 Agustus
21 September
8 November
S. Citanduy
2,4
5,2
6,53
1,21
S. Cibereum
1,56
2,08
8,52
1,72
S. Citanduy-S. Cibereum
2,9
1,14
6,42
1,32
Kawasan Mangrove
2,06
0,73
4,98
0,88
Kleces Hilir
0,79
0,36
3,47
-
Ujung Alang Persen penurunan kadar sedimen terlarut (%)
0,19
-
1,91
0,42
92
93
71
65
Dari Tabel 3.1.39 terlihat bahwa dari empat data kadar sedimen terlarut pada pertemuan S. Citanduy dan S. Cibereum terdapat satu kadar sedimen terlarut yaitu pada pengambilan sampel 26 dan 27 Juni yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kadar sedimen S. Citanduy dan S. Cibereum.
Hal ini diduga bahwa
kecepatan aliran pada pertemuan S. Citanduy dan S. Cibereum masih lebih tinggi dibandingkan kecepatan aliran pada muara ke dua sungai tersebut sehingga sedimen terlarut masih terangkut oleh aliran yang ada dan belum terendapkan. Kecenderungan kadar sedimen terlarut pada beberapa lokasi selengkapnya terdapat pada Gambar 3.1.19.
106 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.1.19 Kadar sedimen terlarut pada lokasi dari muara Sungai Citanduy danSungai Cibereum sampai Ujung Alang a.
Upaya Pengendalian Daya Rusak Air DAS Segara Anakan
Struktural : 1) Alternatif I : a. Memperbesar Kapasitas Sistem di Bagian Hilir b. Meninggikan tanggul Sungai Citanduy dan Sungai Cikawung mulai dari pelimpah Wanareja ke hilir Bendung Manganti. 2) Alternatif II (Pengurangan Debit Puncak) : a. Menetapkan daerah tertentu manjadi areal parkir air banjir sementara Retarding Basin Wanareja Ciganjeng dan Cipanggang (Lakbok Selatan), Rawa Cilanggir di Majenang, Daerah Karangbawang dan Rawajaya (di DAS Segara Anakan) b. Pengurangan debit puncak dengan membangun waduk (bendungan) c. Pembangunan waduk Matenggeng, dapat mengurangi debit puncak ±12%. 3) Alternatif III (Melayani Debit Banjir) a. Transfer antar Basin b. Bangunan Pelimpah dari Bagian Hulu Sungai Citanduy–Cilamaya–Sungai Ciwulan.Bagian hilir Sungai Cikawung airnya dialirkan ke Rawa Tarisi ke Drain Cikaronjok.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 107
c. Memperbesar kapasitas sungai atau drainase dengan cara rehabilitasi/ normalisasi alur. Non Struktural : 1) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) : a. Pencagaran vegetasi b. Pengaturan tata pengolahan lahan c. Bangunan-bangunan pengendali kemiringan dan erosi d. Penanaman tanaman-tanaman pencegah eros e. Pengendalian dan Pengelolaan Dataran Banjir (Flood Zoning); 2) Sandi Bangunan (Flood Proofing) 3) Sistem Peringatan Dini b. Upaya Penyelamatan Segara Anakan Yang Telah Dilakukan 1) Komponen A (Sipil Teknis) oleh Departemen Kimpraswil a. Pengerukan Laguna Segara Anakan 515 ha (selesai Maret 2005) b. Sudetan S. Cimeneng ke S. Cibeureum 8,70 km (selesai Desember 2003) 2) Komponen B (Community Development) oleh Departemen Dalam Negeri a. Kegiatan konvensional tetap dilajutkan dan terkait dengan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), jenis kegiatan yang dimaksud adalah: hutan rakyat, kebun rakyat, agroforestry, dan vegetasi permanen, b. Percontohan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam satu hamparan lahan, kebun bibit desa, dan Penanganan daerah resapan mata air (arboretum), c. Pengembangan Model Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan pengelolaan DAS dalam kawasan satuan hidrologis. Hasil akhir dari pengembangan Model DTA: (1) Diperoleh suatu model pengelolaan satuan hidrologi dalam skala kecil (DTA) yang dapat dikembangkan dan diekspansi ke kawasan DAS yang lebih luas. (2) Diperoleh suatu ukuran keberhasilan terhadap kelestarian fungsi lahan, hutan, pengurangan sedimentasi, dan peningkatan pendapatan. (3) Diperoleh media percontohan, pendidikan/penelitian dan penyuluhan pengelolaan DTA yang riil di lapangan.
108 | S i n t e s i s R P I
d. Pelatihan dalam peningkatan ketrampilan masyarakat berdasarkan minat dan kemampuan, seperti: (1) Pelatihan pengelolaan budi daya air payau, empang parit, tambak semi intensif, pelatihan penangkapan lepas pantai, penanganan pascapanen. (2) Petatihan keterampilan dalam mendukung ekowisata (pemandu wisata, kerajinan tangan, rumah makan khas kampung laut). (3) Pelatihan
untuk
upaya
pencarian
alternatif
mata
pencaharian
masyarakat. (4) Pemantapan sistem silvofishery Kegiatan Community Development yang telah dilakukan adalah : (a) Rehabilitasi hutan bakau rakyat 1.125 ha dan pengolahan 5.000 ha. (b) Pembuatan Percontohan aquakultur 20 ha. (c) Perbaikan prasarana desa (jalan, air minum, kantor desa) (d) Konservasi tanah dan pengendalian erosi 5.000 ha di SubDAS Cimeneng
Upaya konservasi lahan mengalami banyak kendala karena tidak adanya persepsi positif dari masyarakat. Menurut sumber dari BPKSA, program reboisasi yang dilakukan di DAS Segara Anakan (Kabupaten Cilacap) mengalami kendala akibat 70% lebih kepemilikan tanah di Kabupaten Cilacap adalah tanah masyarakat dengan luasan kepemilikan rata-rata 0,5 ha. Eksploitasi Hutan mangrove untuk bahan bakar industri. Program rehabilitasi hutan mangrove 1.125 ha juga mengalami kendala karena kayu mangrove ditebang dan digunakan oleh masyarakat sebagai bahan bakar industri dengan penjualan Rp4.000/m3 (tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi hutan mangrove yang menghabiskan ratus juta rupiah). Tabel 3.1.40 di bawah menunjukkan degradasi luas hutan mangrove akibat illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat.
Pengurangan luasan hutan mangrove juga
diakibatkan oleh adanya konversi lahan menjadi areal pertambakan, pertanian dan permukiman.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 109
Tabel 3.1.40 Degradasi luas hutan mangrove di DAS Segara Anakan No.
Tahun
Luas Hutan Mangrove (Ha)
1.
1974
15.551
2.
1978
10.975
3.
1994
8.975
4.
1998
8.892
5.
2003
8.506
3.1.3.3 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove Segara Anakan Hasil analisis vegetasi pada masing-masing desa tersaji pada Tabel 3.1.41 berikut. Tabel 3.1.41 INP jenis-jenis mangrove pada masing-masing lokasi No.
Jenis mangrove
1.
Desa Ujung Gagak Po 300
Pa 81
Bogem (Soneratia alba) 2. Api-api 103 (Avicennia sp) 3. Tancang 17 (Bruguiera gymnorrhiza) 4. Panggang (Exoeicaria agallocha) 5. Bakau (Rhizophora sp) 6. Nipah (Nypa fruticans) Jumlah 300 200 Keterangan Po = pohon ; Pa = pancang ; S = semai
Desa Klaces
S 43
Po -
Pa
157
-
112
-
-
-
Desa Ujung Alang Po
Pa
S
300
14
12
157
-
24
10
45
-
-
18
12
-
-
-
-
40
19
-
-
-
-
-
95
147
-
-
23
43
-
9
-
200
-
200
200
300
200
200
S
20
Berdasarkan Tabel 3.1.41 di atas, vegetasi yang dijumpai di lokasi kajian antara lain bogem (Soneratia alba), api-api (Avicennia sp.), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), Panggang (Exoeicaria agallocha), Bakau (Rhizophora sp.) dan nipah (Nypa fruticans). Sedangkan tumbuhan bawah yang dijumpai yaitu drujon (Achantus ilicifolius) dan gadelan (Derris heterophylla). Dari ketiga lokasi tersebut, Ujung Gagak mempunyai keragaman jenis terendah, sedangkan daerah yang mempunyai keragaman jenis paling tinggi adalah Ujung Alang. 110 | S i n t e s i s R P I
Pada lokasi Ujung Gagak, jenis yang mempunyai INP tertinggi untuk tingkat pohon adalah bogem (Soneratia alba), sedangkan INP tertinggi untuk tingkat semai dan pancang adalah api-api (Avicennia sp). Pada tingkat pohon, hanya terdapat satu jenis vegetasi dengan kerapatan 100 pohon/ha, sedangkan kerapatan total pada tingkat pancang adalah 4.667 pohon/ha. Jenis api-api merupakan tumbuhan yang memiliki tingkat kerapatan yang paling tinggi, yaitu 2.711 pohon/ha (58% dari kerapatan total). Untuk tingkat pertumbuhan semai, jenis dengan INP dan kerapatan tertinggi adalah api-api. Vegetasi di lokasi Klaces menunjukkan adanya struktur yang tidak lengkap, hal tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya jenis yang masuk dalam tingkat pertumbuhan pohon. Jenis dengan INP terrtinggi pada tingkat pancang dan semai adalah api-api, dengan kerapatan vegetasi pada tingkat pancang 5.156 pohon/ha dan kerapatan untuk tingkat semai sebesar 2.500 pohon/ha. Pada lokasi Ujung alang, jenis vegetasi yang mempunyai INP tertinggi pada tingkat pohon adalah bogem, sedangkan pada tingkat pertumbuhan semai dan pancang adalah bakau dengan kerapatan pada tingkat pancang sebesar 5.422 pohon/ha (69%) dari kerapatan total, dan 39.722 pohon/ ha (92%) dari kerapatan total pada tingkat pertumbuhan semai. Keragaman jenis tumbuhan yang terdapat di tingkat pohon sangat rendah, yaitu hanya ditemukan satu pohon dengan kerapatan 11 pohon/ha. 3.1.3.4 Kerusakan Hutan Mangrove Secara umum kondisi hutan mangrove di lokasi kajian termasuk dalam kategori rusak sedang, dimana kondisi kesehatan hutan mangrove terganggu dan apabila tidak ada gangguan kembali, maka suksesi sekunder yang terjadi akan mengarah kehutan mangrove kembali (LPP Mangrove, 1998). Kerusakan tersebut dapat diindikasikan dengan tingginya penutupan lahan oleh tumbuhan bawah yaitu derujon yang berkisar antara 5–85%. Perkembangan derujon lebih dikarenakan oleh adanya eksploitasi/penebangan pada pohon tertentu yang menyebabkan terbukanya lahan di sekitarnya sehingga dapat memicu pertumbuhan derujon. Apabila suatu hutan mangrove didominasi oleh derujon, maka jenis lain terutama yang merupakan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 111
tingkat semai akan terhambat pertumbuhannya yang berpengaruh terhadap proses suksesi alaminya. Selain masalah sedimentasi, ekosistem hutan mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar yang mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri. Meningkatnya harga udang di pasar dunia pada tahun 1997 telah menarik minat para investor untuk membuka usaha pertambakan udang secara besarbesaran. Para investor menyewa lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan lahan yang menjadi hak garapan penduduk setempat, sehingga terjadi konversi lahan yang mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya, tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Namun, seiring stabilnya harga udang di pasar dunia, bidang usaha tambak udang tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan. Tidak hanya sampai di sini, pohon mangrove pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membesarkan udang secara instan. Menurunnya luas hutan mangrove dipengaruhi juga oleh penebangan liar yang dilakukan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk kebutuhan rumah tanga ataupun industri. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan makin maraknya order dari bisnis arang mangrove dari sejumlah kota di tanah air ke wilayah tersebut. Kualitas arang dari mangrove dikenal paling bagus karena jenis kayunya yang keras, sehingga dijadikan bahan baku industri arang. Sementara itu, peningkatan sedimentasi dari lumpur yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara di kawasan Segara Anakan menciptakan lahan-lahan tanah timbul baru. Hal ini mendorong warga setempat dan juga masuknya para pendatang untuk menggarap lahan tanah timbul tersebut menjadi areal pertanian. Sehingga dengan alasan membuka lahan pertanian, banyak pohon mangrove yang ditebang 112 | S i n t e s i s R P I
secara liar untuk dijadikan sawah dan permukiman. Penebangan liar juga dilakukan guna memanfaatkan kayu mangrove sebagai material bahan bangunan. 3.1.3.5 Dominasi Jenis-Jenis Mangrove Dalam Menjerat Sedimen Terlarut Di Segara Anakan terdapat 26 jenis mangrove, terdiri dari mangrove mayor 9 jenis, minor 8 jenis dan asosiasi 9 jenis, yaitu Avicennia alba, A. marina, A. officinalis (api-api), Soneratia alba (bogem), Rhizophora mucronata (bakau bandul), R. apiculata (bakau kacangan), Bruguiera gymnorrhiza (Tancang), B. parviflora, Xylocarpus granatum (Nyirih), X. mollucensis (Nyuruh), Cerbera mangas (bintaro), Heritiera litoralis (dungun), Aegiceras corniculatum (gedangan), Nypa fruticans (nipah), Achantus illicifolius (jerujon), dan lain-lain. Adaptasi flora mangrove terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang antara lain sebagai berikut : 1. Akar pensil (pneumathophores). Akar berbentuk seperti tonggak/pensil yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang secara vertikal ke udara, misalnya pada Avicennia dan Sonneratia 2. Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan kemudian melengkung menuju substrat lagi, misalnya pada Bruguiera 3. Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar yang keluar dari batang pohon dan menancap ke dalam substrat, misalnya pada Rhizopora dan Ceriops 4. Akar papan (buttres root). Akar ini mirip dengan banir, melebar menjadi bentuk lempeng, misalnya pada Heritiera 5. Akar gantung (aerial root). Akar gantung merupakan akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat, misalnya pada Rhizopora, Avicennia dan Acanthus.
Untuk mengetahui kemampuan tegakan mangrove dalam menjerat sedimen dilakukan pengambilan sampel air pada plot-plot yang telah ditetapkan. Plot tersebut terbagi dalam kelas menurut jenis mangrove dominan, dan di dalam setiap kelas di buat 6 plot yaitu 3 plot luar (di pinggir aliran) dan 3 plot dalam. Hasil
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 113
analisis sampel menunjukkan bahwa plot api-api (Avicennia spp.) mampu menjerat sedimen sebesar 33,29%, plot bogem (Sonneratia spp.) sebesar 28,57% dan terendah plot bakau (Rizhopora spp.) sebesar 9,68%. Selain itu guna mengetahui proses sedimentasi juga dilakukan pengukuran amplitude gelombang dan kedalaman air. Data tingkat penurunan sedimen, penurunan amplitudo gelombang dan kedalaman air selengkapnya terdapat pada Tabel 3.1.42 dan 3.1.43.
Tabel 3.1.42 Tingkat penurunan sedimen pada tegakan mangrove Api-api No. (Avicennia)
Kadar sedimen Kadar sedimen terlarut terlarut Bakau Bogem Selisih (Rhizopora) Selisih (Soneratia) (mg/lt) (mg/lt) (%) (%)
1
Plot 1 luar
20,41
2
Plot 2 dalam
5,24
3
Plot 3 luar
20,77
4
Plot 4 dalam
17,37
5
Plot 5 luar
29,3
6
Plot 6 dalam Rata-rata
26,61
74,33
Plot 1 luar
5,6
Plot 2 dalam
4,8
Plot 3 luar
5,92
Plot 4 dalam
5,32
9,18
Plot 5 luar
5,49 5,43
33,29
Plot 6 dalam Rata-rata
16,37
16,67
Kadar sedimen terlarut Selisih (mg/lt) (%)
Plot 1 luar
3,68
Plot 2 dalam
3,49
Plot 3 luar
4,77
Plot 4 dalam
4,37
1,10
Plot 5 luar
28,67 7,98
9,68
Plot 6 dalam Rata-rata
11,28
5,16
8,39
72,17
28,57
Tabel 3.1.43 Tingkat penurunan amplitudo gelombang dan kedalaman air No 1 2 3
Dominasi Api-api/ Avicennia Bakau/Rhizopora Bogem/Soneratia alba
Rata-rata penurunan amplitudo (%)
Kedalaman air depan (cm)
Kedalaman air belakang (cm)
23,7 47,0 61,3
50,7 60,3 39,3
21,0 59,0 42,8
Plot api-api (Avicennia spp.) memiliki kemampuan penjeratan sedimen tertinggi dibandingkan ke dua plot lainnya disebabkan karena (a) tingginya nilai Indeks Nilai Penting (INP) pohon 300, pancang 200 dan semai 200 yang terdiri hanya 3 jenis yaitu bogem (Soneratia alba), api-api (Avicennia spp.) dan tancang (Bruguiera gymnorrhiza); (b) ketiga jenis tersebut memiliki perakaran khusus untuk dapat beradaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang seperti jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp. berupa akar pensil (pneumathophores) dan 114 | S i n t e s i s R P I
Tancang berupa akar lutut (knee root) yang merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan, kemudian melengkung menuju substrat lagi. Kedua jenis akar tersebut secara fisik di lapangan merupakan penghalang bagi aliran yang akan menurunkan kecepatan aliran dan mengendapkan sedimen terlarut; (c) kondisi tegakan mangrove dominasi api-api mampu menurunkan amplitudo gelombang sebesar 23,7% (terendah dibandingkan dengan dominasi bakau dan bogem) namun memiliki perbedaan kedalaman air sebesar 29,7 cm (tertinggi dibandingkan dengan dominasi bakau dan bogem). Plot tegakan mangrove di Klaces dominasi bakau (Rizhopora spp.) memiliki nilai kemampuan penjeratan sedimen terlarut terkecil dibandingkan dua plot lainnya disebabkan antara lain: (1) Plot dominasi bakau terletak di persimpangan sungai yang alirannya cukup deras sehingga diduga sedimen masih banyak terlarut karena kecepatan aliran sungai yang cukup deras; (2) Jenis mangrove yang teridentifikasi dalam petak berjumlah empat jenis mirip dengan plot Avicennia ditambah nipah dengan nilai INP pancang dan semai sama 200 tanpa adanya tingkat pohon dan 3) Kemampuan tegakan mangrove dominansi bakau mampu menurunkan amplitudo gelombang sebesar 47% (menengah dibandingkan kedua jenis lainnya) dan memiliki perbedaan kedalaman air plot depan dan belakang hanya sebesar 1,3 cm (Tabel 3.1.43). Plot Ujung Alang dominasi bogem (Sonneratia alba) memiliki kemampuan penjeratan sedimen menengah di bawah Plot Ujung Gagak dominasi api-api (Avicennia spp.). Hasil analisis vegetasi pada petak Ujung Alang dominasi bogem (Sonneratia alba) menunjukkan bahwa (a) nilai INP pohon, pancang dan semai sama dengan nilai INP Plot Ujung Gagak dominasi api-api (Avicennia spp.), namun dengan jumlah jenis yang lebih beragam, yaitu pada tingkat pancang sebanyak 6 jenis dan semai sebanyak 5 jenis; b) ketiga jenis tersebut memiliki perakaran khusus untuk dapat beradaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang seperti jenis api-api (Avicennia spp.) dan bogem (Sonneratia spp.) berupa akar pensil (pneumathophores) dan tancang (Bruguiera hymnorrhiza) berupa akar lutut (knee root) yang merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan, kemudian melengkung menuju substrat lagi. Kedua jenis akar tersebut secara fisik di lapangan merupakan penghalang bagi aliran yang akan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 115
menurunkan kecepatan aliran dan mengendapkan sedimen terlarut; (c) kemampuan tegakan mangrove dominansi bogem (Soneratia alba) dalam menurunkan amplitudo gelombang tertinggi (61,3%) dengan perbedaan kedalaman air antara plot depan dan belakang sebesar 3,5 cm. Tabel 3.1.44 Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Gagak/dominansi Api-api (Avicennia sp.) Jenis mangrove Bogem/ Soneratia alba Api-api/ Avicennia sp. Tancang/ Bruguiera gymnorrhiza Jumlah
Phn
KR
FR
DR
INP
Pcg
KR
FR
INP
Smi
KR
FR
INP
9
100
100
100
300
38
36
44
81
5
7
36
43
-
-
-
-
-
61
58
44
103
71
93
64
157
-
-
-
-
-
6
6
11
17
-
-
-
-
9
100
100
100
300
105
100
100
200
76
100
100
200
Tabel 3.1.45 Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Klaces dominansi Bakau (Rhizhopora spp.) No.
Jenis mangrove
Pancang
KR
FR
INP
Semai
KR
FR
INP
1 2
Bogem/Soneratia alba Api-api/Avicennia sp
6 116
4 76
16 36
20 112
9
90
67
157
3
Tancang/ Bruguiera gymnorrhiza Nipah/Nypa fruticans
26
17
28
45
-
-
-
-
5
3
20
23
1
10
33
43
Jumlah
153
100
100
200
10
100
100
200
4
Tabel 3.1.46 Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Alang/dominansi Bogem (Sonneratia alba) Jenis mangrove Bogem/ Soneratia alba Tancang/ Bruguiera gymnorrhiza
Phn
KR
FR
DR
INP
Pcg
KR
FR
INP
Smi
KR
FR
INP
1
100
100
100
300
7
4
10
14
4
3
9
12
-
-
-
-
-
9
5
13
18
4
3
9
12
116 | S i n t e s i s R P I
Jenis mangrove Panggang/ Exoeicaria agallocha Bakau/ Rizhopora spp. Api-api/ Avicennia sp. Nipah/ Nypa fruticans Jumlah
Phn
KR
FR
DR
INP
Pcg
KR
FR
INP
Smi
KR
FR
INP
-
-
-
-
-
23
13
27
40
2
1
18
19
-
-
-
-
-
122
69
27
95
143
92
55
147
-
-
-
-
-
13
7
17
24
2
1
9
10
-
-
-
-
-
-
2
7
9
-
-
-
-
1
100
100
100
300
174
100
100
200
155
100
100
200
Permasalahan sedimentasi di Segara Anakan berdampak pada menurunnya populasi ikan dan hasil tangkapan masyarakat. Di sisi lain, adanya perbedaan kemampuan tegakan mangrove di sepanjang aliran menuju laut dalam menjerat sedimen perlu dicari tegakan mangrove yang memiliki tingkat penjeratan sedimen terendah. Hal ini dimaksudkan agar sedimen yang terlarut dalam aliran tidak banyak mengendap di sisi aliran. Hal ini akan membentuk substrat baru bagi mangrove sehingga mangrove akan berkembang menjadi tidak terkontrol yang berpotensi melenyapkan Segara Anakan. Berdasarkan perbedaan kemampuan dalam menjerat sedimen, tegakan mangrove dominasi bakau (Rhizopora spp.) dapat dikembangkan dengan mengurangi secara selektif tegakan mangrove dominasi yang lain.
3.1.4 Monitoring Ekologi Pemanfaatan Lahan Berbasis Ekosistem Mangrove Penelitian yang terkait monitoring ekologi pemanfaatan lahan berbasis ekosistem mangrove dilakukan di areal pertambakan pada beberapa lokasi di Indonesia, antara lain Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan Sidoardjo (Jawa Timur). Aspek penelitian meliputi kondisi biofisik terhadap kualitas air dan substrat, serta dinamika mangrove pada tambak melalui pola silvofishery.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 117
3.1.4.1 Kualitas Ekologi Tambak di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur a. Pengujian Kualitas Air Tambak Pengujian kalitas air tambak dilakukan di demplot silvofishery pada 4 titik sampling: 1) inlet atau pasokan air segar dari sumur bor sebagai salah satu sumber air baku (kontrol), 2) lokasi plot tanpa praktek silvofishery, 3) lokasi silvofishery, dan 4). outlet yang berada di luar tambak di bawah naungan tanaman mangrove sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1.47. Pengujian air tambak pada lokasi silvofishery digunakan tiga kelompok parameter: TDS, TSS dan kekeruhan; BOD dan COD; serta Salinitas. Tabel 3.1.47 Hasil analisa laboratorium mikrobiologi tambak di Bipolo, Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur) No. 1. 2. 3. 4.
Tipe lokasi sampel Inlet Tambak nonsilvofishery Tambak silvofishery Outlet
Parameter Kekeruhan TSS (NTU) (mg/L) 105.4 1 214 127
TDS (mg/L) 1049 7.27
Salinitas (%) 0.9 8.0
7.16
7.6
135.2
7.05
7.1
114.4
BOD (mg/L) 5.2 6
COD (mg/L) 196.06 164.78
91
6
155.89
86
3.2
174.13
Sumber : Hasil analisis, 2010. BLHD.660.1/22/LAB/2010
Pengujian kualitas air tambak lainnya dilakukan pada 3 lokasi berbeda yaitu 1) lokasi silvofishery, 2) lokasi tambak tanpa tanaman mangrove, dan 3) lokasi plot tanaman mangrove tanpa kegiatan usaha budidaya ikan.
Kriteria kualitas air
tambak dan Hasil analisis ketiga lokasi terlihat pada Tabel 3.1.48.
118 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.1.48 Kriteria kualitas air tambak dan hasil analisis kualitas air tambak Bipolo No
Parameter
1.
Salinitas
2.
pH
3.
BOD
4.
TSS Kekeruhan
5.
Hasil Analisis2 Tambak Plot mangrove tanpa tanpa budi daya Mangrove ikan 7,7 7,0
Satuan
Baku Mutu1
‰
10-35 (a)
7
6-9 (b)
8,73
8,86
7,85
mg/l
< 6 (b)
6,87
5,63
5,63
mg/l
< 20 (b) 40 (a)
9
61
322,8
35,2
34
37,3
mg/l
Tambak Silvofishery
Sumber : 1. Dirjen Perikanan Budidaya, 2007 2. Hasil analisis Laboratorium BLHD NTT, 2012
1) TDS, TSS, dan Kekeruhan Bahan padat (solids) adalah bahan yang tertinggal sebagai residu dari hasil penguapan dan pengeringan pada suhu 103–105°C (Sutrisna, 1987). Air yang digunakan dalam budi daya harus pula dianggap seperti air minum yang memenuhi syarat-syarat antara lain tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, tidak mengandung mikroorganisme yang berbahaya, dan tidak mengandung logam berat; sehingga dapat berfungsi baik bagi ekologi perikanan tambak dan hidupan lain yang ada di dalamnya. Pembagian kategori air menurut total zat padat yang terkandung di dalamnya (Total Dissolved Solid/TDS) adalah 1) >100 ppm: bukan air minum, 2) 10–100 ppm: air minum, 3) 1–10 ppm: air murni, dan 4) 0 ppm: air organik (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Air_minum, diakses 10 Januari 2011. 00.45 WIB). Faktanya, kemurnian air sulit dipenuhi dalam usaha tambak perikanan karena peluang pencemaran air oleh bakteri (Escherichia coli) atau zat-zat berbahaya sangat dimungkinkan. Hal ini karena adanya intervensi pemupukan, baik dengan pupuk organik maupun pupuk kimia. Perbandingan nilai TDS pada keempat sampel menunjukan bahwa kandungan mineral anorganik pada sampel 1 (kontrol) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga sampel yang lain. Berdasarkan data pengamatan dan pengukuran lapangan, ternyata air yang berasal dari sumur bor memiliki nilai TDS yang tinggi sehingga daya hantar listriknya juga tinggi. Hal ini
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 119
diduga disebabkan oleh pengaruh kandungan lumpur di bawah permukaan tanah atau kondisi geologi setempat yang berada pada wilayah pesisir. TSS (Total Suspended Solid) adalah jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada didalam air limbah setelah mengalami proses penyaringan dengan membrane berukuran 0,45 um. Padatan ini menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap secara langsung dengan ukuran dan berat yang lebih kecil dari sedimen. Dalam jumlah yang banyak menghambat masuknya sinar matahari dalam tambak, menggangu proses fotosintesis sehingga menurunnya oksigen terlarut yang dilepas ke dalam air oleh tanaman, mengganggu produktivitas oksigen, menyebabkan kematian tanaman dan penurunan kejernihan air. Selanjutnya kalau dilihat dari aspek kekeruhan, kondisi perairan tambak pada semua sampel masih memenuhi standart untuk budidaya ikan dengan kisaran 25 s.d. 400 NTU. Nilai kekeruhan pada sampel penelitian berkisar antara 105,4 NTU s.d. 214 NTU. 2) BOD dan COD BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik/parameter yang menunjukan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Oleh karena itu, BOD dapat dikatakan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Kisaran BOD5 suatu perairan yang diperkenankan untuk kebutuhan air minum dan kehidupan organisme akuatik menurut standart UNESCO/WHO/UNEP, 1992 berkisar antara 3,0 s.d 6,0 mg/l. Mengacu pada standar tersebut, kondisi BOD pada beberapa sampel pengamatan kualitas perairan di Desa Bipolo tergolong baik dengan kisaran antara 3,2 mg/l s.d 6,0 mg/l. COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). 120 | S i n t e s i s R P I
Kondisi COD pada perairan sampel berkisar antara 155,89 mg/l s.d. 196,06 mg/l. Perbandingan rata-rata selisih antara BOD dan COD, diperoleh kisaran nilai bahan organic yang sulit mengalami proses penguraian berkisar antara 149,89 mg/l s.d 190,86
mg/l
pada
perairan
tambak.
Dengan
mengacu
pada
standart
UNESCO/WHO/UNEP, 1992 bahwa nilai COD pada kondisi perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan tercemar biasanya diatas 200 mg/l dan pada limbah industry mencapai 60.000 mg/l. Dengan memperhatikan rata-rata selisih antara BOD-COD pada perairan tambak di Desa Bipolo yang mencapai 167,605 mg/l, dapat diduga kemungkinan kondisi perairan tambak pada wilayah tersebut sudah makin mendekati ambang batas pencemaran air tambak. Dugaan kemungkinan penyebab potensi pencemaran pada wilayah ini adalah penggunaan pupuk-pupuk kimia dalam jumlah yang banyak, sehingga akumulasinya dalam tambak sangat tinggi. 3) Salinitas Salinitas tambak merupakan perpaduan antara salinitas air laut dan salinitas air tawar, dan umumnya sangat tidak stabil akibat proses pertukaran air dalam jangka waktu tertentu, harian, mingguan atau bulanan. Secara umum, kriteria salinitas perairan payau yang diacu berkisar antara >0,5‰ s.d. 30‰. Kondisi ini menggambarkan bahwa tingkat salinitas tambak pada pengembangan model silvofishery menunjukan kisaran yang masih toleran antara 0,9‰ sampai dengan 8,0‰. Namun, Apabila dilakukan klasifikasi lagi berdasarkan kriteria air payau, kisaran salinitas tambak diketahui berada pada kelas oligohalin (salinitas 0,5‰ s.d 3,0‰), dan mesohalin (salinitas antara >3,0‰ s.d. 16,0‰). Walaupun demikian, kondisi ideal salinitas yang diperlukan untuk budi daya ikan bandeng (Chanos chanos) berkisar antara 12‰ sampai 20‰. Pada kondisi optimal, energi dapat digunakan untuk mengatur keseimbangan osmotik dan penyesuaian kepekatan cairan tubuh dengan air tambak cukup rendah. Dengan demikian, energi yang diperoleh dari sumber makanan bandeng dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhannya.
Mengacu pada data tersebut, kondisi salinitas
diketahui masih di bawah standar minimal yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan bandeng di Desa Bipolo. Dampaknya ialah proses pertumbuhan ikan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 121
sedikit lebih lambat sehingga masa panen lebih panjang dan bobot ikan tidak seimbang dengan umur pemeliharaannya. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar salinitas dalam tambak ialah dengan meningkatkan inlet air tambak dari sumber air laut saat terjadi pasang dan membatasi penggunaan air sumur bor yang kandungan salinitasnya sangat rendah (hanya mencapai 0,9‰). Lalu, bagaimana pengaruh pohon dalam mendukung netralitas salinitas? Pengaruh ini secara langsung belum dapat terlihat, antara lain karena pohon jenis Rhizopora sp. yang ditanam dalam tambak masih sangat kecil sehingga peranan ekologis yang dimainkan masih sangat terbatas (belum terlihat dari semua indikator mikrobiologinya). Namun, perbandingan antara tingkat salinitas pada kondisi tambak silvofishery dengan outlet yang berada di bawah naungan vegetasi mangrove memperlihatkan terjadinya perbedaan kadar salinitas yang semakin menurun antara tambak nonsilvofishery, silvofishery, dan outlet. Kemungkinan pengaruh tanaman sudah mulai terjadi karena terlihat adanya kecenderungan penurunan
kadar
salinitas
seiring dengan
meningkatknya
tutupan
lahan
bermangrove. Walaupun demikian, belum bisa dikatakan bahwa tanaman akan berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan bandeng. Hal ini dikarenakan salinitas sesungguhnya merupakan salah satu faktor lingkungan dari pertumbuhan bandeng. Apabila dicermati lebih dalam lagi, setiap jenis tanaman tentunya memiliki respons yang berbeda terhadap kondisi salinitas tertentu, termasuk Rhizopora sp.
b. Pengujian Kualitas Air Tanah Kualitas air dan tanah merupakan dua komponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, kondisi air sedikit banyak akan mempengaruhi kualitas mikro tanah. Hidayanto et al. (2004) berpendapat bahwa kualitas air tambak sangat dipengaruhi kualitas tanah dasar. Tanah dasar tambak dapat bertindak sebagai penyimpan (singk) dan asal (source) dari beberapa unsur dan oksigen terlarut. Tanah dasar tambak juga berfungsi sebagai buffer, penyedia hara, sebagai filter biologis melalui absorbsi sisa pakan dan metabolit alga, sehingga tanah dasar tambak merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan pengelolaan
122 | S i n t e s i s R P I
tambak. Dengan demikian, selain menjaga kestabilan kondisi air maka diperlukan juga untuk memperbaiki kondisi tanah dengan beberapa perlakukan untuk mendukung kegiatan budidaya. Kondisi tanah pada masing-masing titik sampel terlihat pada Tabel 3.1.49. Tabel 3.1.49 Hasil analisis kimia dan fisik tanah pada lokasi tambak Analisis Kimia N P C-Org (%) (ppm)
K (me/100g)
Pasir (%)
Analisis Fisik Debu Liat (%) (%)
45,52
1,62
19,33
15,33
65,33
Liat
0,06
48,22
1,63
27,33
13,33
59,33
Liat
0,23
73,89
1,11
34
24,67
41,33
Liat
No
Nama Sampel
pH
1.
Titik 1
9,00
0,85
1,01
2.
Titik 2
9,01
0,05
3.
Titik 3
8,91
0,06
Kelas Tekstur
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Fapet UNDANA.
Keadaan tanah di lokasi budi daya juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan bandeng. Menurut Cahyono (2011), keadaan yang sangat perlu diketahui adalah tekstur (penyusun tanah) dan tingkat kesuburannya. Tekstur tanah yang baik untuk kolam atau tambak budi daya adalah tanah lumpur dengan sedikit pasir (kandungan pasir kurang dari 20%). Tanah yang berlumpur dan sedikit pasir dapat menahan air dengan baik serta tidak mudah merembes sehingga tidak banyak terdapat kebocoran pada tambak. Kondisi tanah tambak dengan komposisi fraksi pasir yang tinggi biasanya terjadi akibat arus susur pantai atau pada lokasi tambak dengan tanaman mangrove yang relatif sedikit.
Pada tiga lokasi
pengamatan menunjukan bahwa hanya titik 1 (kegiatan tambak silvofishery) yang mempunyai struktur dengan komposisi pasir yang masuk dalam kriteria di atas, sedangkan pada titik 2 dan titik 3 mempunyai nilai yang melebihi batas. Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut.
Di dalam tanah, selain H+ dan ion-ion lain
ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada tanah-tanah yang masam, jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-,
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 123
sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH-, tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7. Hasil analisis tanah pada tiga lokasi seperti dalam tabel diatas menunjukkan nilai pH yang cukup tinggi yaitu dengan kisaran nilai 8,91–9,01. Berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah Hardjowigeno (1987) ketiga lokasi masuk dalam kriteria jenis tanah agak alkalis sampai alkalis. Hal tersebut terjadi karena kandungan ion OH- pada semua lokasi lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan ion H+ nya. Dampak dari hal tersebut adalah unsur P tidak dapat diserap secara maksimal oleh tanaman karena diikat oleh unsur Ca. Pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH netral tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut di dalam air. Nilai P pada tiga lokasi terlihat cukup besar yaitu pada kisaran antara 45,52– 73,89 ppm. Hal ini disebabkan karena unsur P telah diikat oleh unsur Ca sehingga tanaman tidak mampu menyerap secara maksimal. Dampak dari kondisi seperti itu adalah pertumbuhan tanaman menjadi lambat. Menurut Hardjowigeno (1987), untuk menurunkan pH tanah yang tinggi dapat dilakukan pemberian tepung belerang pada tanah. Pada kasus tambak silvofishery ini dapat dilakukan pemberian belerang setelah selesai panen bandeng. 3.1.4.2 Kualitas Ekologi Tambak di Sidorajo, Jawa Timur Salah satu parameter untuk mengetahui kandungan polutan dalam tanaman yaitu melalui analisis laboratorium pada bagian akar dan daun. Analisis zat pencemar di lokasi penelitian di empat lokasi penelitian menunjukkan bahwa, kandungan Pb (timah) pada jenis Avicenia marina terbesar pada bagian daun dan akar di lokasi tambak Tegal Tangkil yaitu sebesar 110,81 ppm dan 82,86 ppm. Zat pencemar Zn (seng) terbesar terakumulasi pada bagian akar dan daun sebesar 82,65 ppm dan 70,51
ppm di lokasi tambak Sidoarjo. Kandungan Cu (tembaga)
terakumulasi terbesar di bagian daun dan akar di lokasi tambak Sidoarjo yaitu sebesar 42,84 ppm dan 23,15 ppm, demikian pula dengan As (arsen) sebesar 2,41 ppm dan 1,35 ppm. Sedangkan kandungan zat pencemar Hg (merkuri) terbesar terakumulasi di bagian akar dan daun di lokasi tambak Sidoarjo sebesar 0,04 ppm dan 0,03 ppm. Tingginya akumulasi zat pencemar pada vegetasi mangrove pada 124 | S i n t e s i s R P I
tambak di Sidoarjo dibandingkan dengan tambak di Jawa Barat lain diduga disebabkan lebih banyaknya industri rumah tangga yang ada di Sidoarjo yang mencemari perairan tambak. Lokasi penelitian di Sidoarjo memang terletak pada lahan milik sehingga industri rumah tangga yang ada lebih banyak daripada lokasi penelitian di Jawa Barat yang tambaknya berada dalam kawasan. Analisis zat pencemar (Cu, Hg, Pb, Zn dan As) pada tanah dapat mendukung data akumulasi zat pencemar pada vegetasi. Hasil analisis zat pencemar pada tanah memperlihatkan bahwa akumulasi ke lima zat pencemar tersebut terbanyak terdapat pada tambak yang tidak bermangrove. Unsur Cu dan Zn merupakan jumlah yang terbanyak yaitu sebesar 650,31 ppm di Tegal Tangkil dan 226,70 ppm di Sidoarjo. Jumlah logam berat yang diambil tanaman dari dalam tanah ditentukan oleh ketersediaan bahan polutan jenis tanamannya. Semakin banyak kandungan polutan tersebut di dalam tanah semakin mudah diserap oleh akar tanaman (Greenland dan Hayes, 1981). Kandungan zat pencemar (logam berat) secara alami sudah ada dalam air laut, tetapi konsentrasinya sangat rendah, misalnya Pb (0,03g/L), Ag (0,28g/L), Hg (0,15g/L) dan Cd (0,11g/L) (Waldichuk, 1974 dalam Darmono, 2001). Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa air tambak baik bermangrove dan tanpa mangrove di lokasi Tegal Tangkil kandungan Hg-nya di bawah baku mutu untuk budidaya ikan, hal ini diduga tanaman mangrove belum optimal dalam menyerap polutan tersebut, hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan umur dari tegakan mangrove. Untuk kandungan deterjen (MBAS) di lokasi Sidoarjo pada perairan tambak tidak bermangrove di bawah baku mutu, sedangkan di tempat lain di atas baku mutu yang diperbolehkan untuk budidaya ikan. Umumnya kualitas perairan tambak bermangrove lebih baik bila dibandingkan dengan tambak tanpa mangrove, karena tanaman mangrove salah satu fungsinya dapat menyerap limbah terlarut/logam berat dan menghasilkan oksigen. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya oksigen terlarut, BOD dan COD juga kandungan bahan organiknya seperti nitrat dan lain-lain. Ikan dan udang merupakan bio-indikator terhadap pencemaran lingkungan, termasuk cemaran kimia. Hal ini karena ikan dan udang menunjukkan reaksi P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 125
terhadap cemaran di perairan dalam batas konsentrasi tertentu, seperti perubahan aktivitas, efek pada pertumbuhan yang tidak normal hingga kematian (Chahaya, 2003). Kandungan zat pencemar Pb terbesar terakumulasi pada ikan bandeng yaitu sebesar 6,60 ppm, udang sebesar 3,88 ppm di lokasi tambak Tegal Tangkil tanpa mangrove. Akumulasi Pb pada ikan bandeng lebih besar (tiga kali) dibandingkan dengan ambang batas yang diperkenankan oleh Dirjen POM yaitu sebesar 2 ppm. Udang yang diternakkan pada
tambak tanpa mangrove di Tegal Tangkil juga
melebihi ambang batas yaitu sebesar 3,88 ppm. Plankton (phyto dan zoo) merupakan indikator kesuburan dari perairan, terutama zoo-plankton merupakan makanan ikan dan udang. Dari aspek kelimpahan dan keanekaragaman jenis phytoplankton dan zooplankton ke empat lokasi contoh tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Indeks kemiripan (e) antara komunitas dilokasi penelitian sebesar antara 0,128-0,175. Rendahnya nilai indeks kemiripan komunitas menunjukan telah terjadi perubahan dari struktur komunitas aslinya. Perubahan struktur komunitas ini dimungkinkan karena adanya perubahan lingkungan seperti sifat kimia dan fisika air, substrat, dan hilangnya vegetasi mangrove. Keragaman jenis yang terdapat di perairan lokasi penelitian termasuk kategori miskin atau kurang karena nilai indeks keragaman (H’) kurang dari dua (Tegal Tangkil 1,630; Sidoarjo 1,748 dan Cibuaya 1,395). Indeks keseragaman (E) menunjukkan bahwa perairan mangrove Tegal Tangkil memiliki nilai yang relatif sama dengan perairan mangrove Sidoarjo (0,175 dan 0,172). Kondisi ini berkaitan erat dengan kerapatan tegakan pada perairan mangrove sehingga penetrasi sinar matahari yang masuk berkurang dan mengakibatkan berkurangnya populasi plankton di perairan mangrove. Indeks dominansi di perairan Tegal Tangkil sebesar 0,368 sedangkan di perairan mangrove Cikiong sebesar 0,360; Sidoarjo 0,259. Hal ini diduga dampak dari polusi bahan organik rumah tangga, aktivitas pabrik, manajemen hutan, maupun kegiatan pertanian. Pemakaian pupuk di lahan
pertanian memberikan
pasokan nitrat dan fosfat ke aliran sungai melalui proses pencucian maupun erosi tanah, tetapi kandungan total fosfat di perairan masih terikat oleh partikel tanah dalam lumpur anaerobik atau residu terlarut (Mason, 1991).
126 | S i n t e s i s R P I
3.2
Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai pada Tapak Khusus Penelitian dilakukan pada tapak-tapak khusus berupa delta dan areal
terdegradasi, serta areal terabrasi dan pulau-pulau kecil. Kondisi tapak khusus ini merupakan areal yang mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dan/atau bencana alam seperti tsunami. Beberapa lokasi yang mewakili karakteristik dan tipologi permasalahan tapak khusus tersebut antara lain Delta Mahakam (Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur), pesisir Pulau Weh (Kabupaten Aceh Besar, Aceh), pesisir Pulau Selayar (Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan), Pulau Talise dan Pulau Gangga (Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara).
Penelitian
penanaman dilakukan terhadap ekosistem mangrove dengan jenis-jenis mangrove yang dianggap sesuai tempat tumbuhnya pada tapak khusus tersebut, serta penanaman tumbuhan lainnya untuk ekosistem pantai (antara lain cemara laut, ketapang dan nyamplung). 3.2.1 Teknik Penanaman pada Delta Terdegradasi Delta Mahakam yang dijadikan lokasi penelitian teknik penanaman mangrove ini sebagian besar merupakan areal tambak. Sebelum dijadikan tambak, pada awalnya areal ini didominasi oleh nipah (Nypa fruticans). Selain nipah terdapat jenis Xylocarpus granatum dan Heritiera littoralis.
Jenis-jenis tersebut masih
terdapat di sepanjang sungai di dalam delta. Seiring dengan berjalannya kegiatan pertambakan, beberapa pemilik tambak mencoba melakukan upaya penanaman tepi sungai dengan jenis N. fruticans, Rhizophora apiculata dan R. mucronata untuk mencegah erosi tanggul pada tambak. Bibit R. apiculata ini diperoleh dari pulau di sekitarnya.
Perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di daerah ini juga
melakukan rehabilitasi lahan bekas tambak yang dibeli dari masyarakat dengan jenis R. mucronata. 3.2.1.1 Teknik Pengadaan Biji dan Persemaian Mangrove a.
Pertanda Buah Matang Buah matang untuk R. mucronata ditandai dengan perubahan warna kotiledon
dari hijau menjadi kuning; warna kotiledon dari hijau menjadi merah (R. apiculata), P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 127
warna kotiledon dari hijau menjadi kekuningan (Ceriops tagal), warna batang buah/propagul dari hijau menjadi coklat kemerahan atau hijau kemerahan (B. gymnorrhiza); kelopak buah yang melingkup buah menjadi datar dan melengkung ke bawah atau buah terapung (S. alba); kulit buah hijau berbulu menjadi hijau kekuningan (A. marina); serta kulit buah dari warna hijau menjadi coklat kekuningan serta retak-retak (X. granatum) (Anwar dan Subiandono, 1996; Hachinohe et al., 1999). Fenologi mangrove dibagi dalam tujuh tahapan utama: (1) muncul bakal bunga, (2) bunga siap mekar, (3) bunga mekar, (4) bakal buah terbentuk, (5) buah muda, dan (6) buah matang. Dengan adanya tambahan hasil penelitian fenologi untuk R. mucronata, maka prediksi lamanya waktu yang dibutuhkan hingga buah matang dari berbagai tahapan fenologinya untuk empat jenis mangrove dapat dikemukakan sebagaimana pada Tabel 3.2.1 (Anwar, 2006). Tabel 3.2.1 Prediksi waktu yang diperlukan hingga buah mangrove matang dari berbagai tahapan fenologinya. Tahapan 1. Muncul tunas bunga 2. Muncul bakal bunga 3. Bunga siap mekar 4. Bunga mekar 5. Bakal buah terbentuk 6. Buah muda
S. alba Dalam Dalam Hari Minggu 105 15
R. apiculata Dalam Dalam Hari Minggu 428 61
B. gymnorrhiza Dalam Dalam Hari Minggu 251 36
R. mucronata Dalam Dalam Hari Minggu 420 60
91
13
344
49
232
33
406
58
84
12
187
27
200
28.5
354
50.5
70 57
10 8
159 78
22 11
189 148
27 21
317 179
45 25.5
24
3.5
31
4.5
50
7
144
20.5
Sumber : Anwar (2006)
b.
Persemaian Persemaian mangrove ada dua macam: persemaian darat dan persemaian
pasang surut. Persemaian darat diperuntukan bagi pesemaian awal jenis-jenis mangrove yang buahnya tidak berbentuk propagul, seperti Sonneratia spp, Avicennia spp dan Xylocarpus spp.
Bedeng persemaian darat berisi polybag-
polybag yang telah lebih dahulu disemaikan benih mangrove di dalamnya. 128 | S i n t e s i s R P I
Penyemaian benih Avicennia spp dilakukan dengan pembenaman 1/3 bagian buah; Sonneratia spp dengan pembenaman ½ bagian biji (5 mm); serta Xylocarpus spp dengan meletakkan biji di atas tanah dengan posisi radikula di bagian bawah. Dinding bedeng semai agak tinggi (sekitar 40 cm) untuk dapat leluasa ditutup dengan kawat kasa sebagai pelindung benih dan anak semai dari gangguan tikus. Persemaian juga diberi perlindungan. Penyiraman anakan semai dilakukan setiap hari. Setelah 2 bulan untuk Avicennia spp dan Xylocarpus spp atau 3 bulan untuk Sonneratia spp, anakan dengan polybagnya dapat dipindahkan ke persemaian pasang surut. Persemaian pasang surut merupakan areal yang terendam oleh air pasang dengan frekuensi 35-45 kali/bulan atau dengan ketinggian lebih kurang 0,7-0,8 kali (selisih pasang surut maksimal) di bawah garis pasang maksimal. Salah satu alasan pembuatan persemaian di areal pasang surut ini adalah agar dapat membantu penyiraman. Penyiraman anakan semai hanya dilakukan setiap hari pada saat pasang perbani. Persemaian dengan dasar sedalam 0.8 x (selisih pasang surut) di bawah garis pasang masimal, diperuntukkan bagi persemaian R. mucronata, sedangkan yang lebih tinggi untuk jenis lainnya. Bedeng semai memanjang searah utara selatan dengan ukuran 1x10 m memuat 2.250 polybag (15x20 cm) atau 2.550 polybag (12x15 cm). Penyemaian bibit dilakukan dengan membenamkan propagul sedalam 7 cm untuk R. mucronata dan 5 cm untuk R. apiculata, B, gymnorrhiza dan C. tagal (Hachinohe et al., 1999). Bedeng semai perlu penutupan dengan tingkat penaungan 25% untuk jenis B. gymnorrhiza, S. alba, A. marina dan X. granatum dan 50% untuk R. mucronata, R. apiculata, dan C. tagal (Anwar, 1997). Tinggi penaung pada bedeng 1,7 m, agar leluasa bekerja di dalam bedeng. Dasar bedeng semai dilapisi plastik agar akar tidak tembus ke dasar bedeng, selain untuk menghindari pembuatan lubang kepiting di dasar bedeng. Khusus untuk penataan propagul R. mucronata dalam bedeng semai, pengikatan dilakukan pada setiap enam propagule dan akan dilepas ikatnya pada saat berusia 1 bulan (Hachinohe et al., 1999).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 129
c.
Bibit Siap Tanam Bibit mangrove siap tanam sebaiknya telah mempunyai ukuran tinggi dan
jumlah helai daun sebagaimana tercantum pada Tabel 3.2.2 berikut. Tabel 3.2.2 Spesifikasi tujuh jenis bibit mangrove siap tanam. Tinggi Bibit (cm) 55 30 35 20 15 30 40
Jenis Mangrove R. mucronata R. apiculata B. gymnorrhiza C. tagal S. alba A. marina X. granatum
Jumlah Daun (Helai) 4 3 6 4 6 6 6
Usia Bibit (Bulan) 4-5 4-5 3-4 6-7 5-6 3-4 3-4
Sumber : Taniguchi et al. (1999)
d.
Tenaga Kerja Persemaian Perkiraan jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam penyediaan bibit
mangrove dalam persemaian seluas 1 ha adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 3.2.3.
Dengan merujuk luas pesemaian mangrove di Balai Pengelolan Hutan
Mangrove Wilayah I di Suwung Bali yang luasnya 7.700 m2 (72% areal pembibitan, 28% pondok kerja, jalan dan sebagainya), maka dalam pesemaian seluas 1 ha dapat dihasilkan sekitar 440.000 bibit mangrove.
Tabel 3.2.3 Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam pengadaan bibit melalui persemaian seluas 1 hektar.
1. Persiapan
1 236
HOK/ha Pesemaian untuk Jenis 2 3 4 5 236 236 236 236
6 236
7 236
2. Pembuatan Bedeng
392
392
392
392
784
784
784
3. Pengambilan Tanah
500
500
500
500
500
500
500
4. Pengayakan Tanah
222
222
222
222
222
222
222
1.128
1.128
1.128
1.128
1.128
1.128
1.128
680
680
680
680
1.142
1.142
1.142
854
854
854
854
130
1.100
1.100
Kegiatan
5. Pengisian Polibag 6. Pengaturan Polibag di Bedeng 7. Pengumpulan Benih
130 | S i n t e s i s R P I
8. Seleksi Benih
1 128
HOK/ha Pesemaian untuk Jenis 2 3 4 5 128 128 128 128
9. Penyemaian
136
136
136
136
162
162
162
10. Pemeliharaan
560
560
448
896
672
448
448
11. Pengeluaran Bibit
312
312
312
312
372
748
748
5.148
5.148
5.036
5.400
5.168
6.594
6.594
Kegiatan
TOTAL Keterangan Sumber
6 128
7 128
: 1. R. mucronata; 2. R. apiculata; 3. B. gymnorrhiza; 4. C. tagal; 5. S. alba; 6. A. marina; 7. X. granatum : Taniguchi et al. 1999.
3.2.1.2 Teknik Penanaman Mangrove a.
Pemilihan Jenis Karakteristik tanah untuk penentuan kesesuaian jenis mangrove masih sangat
bervariatif antara pustaka yang satu dengan lainnya. Hasil sementara pemilihan jenis untuk berbagai sifat tanah dapat dilihat pada Tabel 3.2.4. Tabel 3.2.4 Sifat tanah dan pemilihan jenis mangrove yang cocok Karakteristik Tanah Lumpur
Bukan Lumpur
Bukan lumpur +tanah coral Gambut (organosol)
Tekstur
Salinitas
Lempung sampai Lempung berdebu Lempung sampai Lmpung berdebu Pasir Pasir sampai pasir berlempung
Tinggi
Lempung
Tinggi
Lempung
Rendah
Pasir sampai pasir berlempung
Tinggi
Tinggi Tinggi
Tinggi
Kriteria Lain Liat dan BO tinggi BO rendah reduksi tinggi
BO rendah reduksi tinggi BO rendah reduksi rendah BO tinggi
Jenis yang Cocok R. mucronata A. lanata; A. marina A. alba R. apiculata S. alba Aegiceras floridum Phempis adicula C. tagal Lumnitzera sp Xylocarpus sp R. stylosa B. gymnorrhiza
Untuk areal bekas tambak, R. mucronata dapat tumbuh hingga penggenangan 40-60 kali/bulan, R. apiculata (40-50 kali/bulan), B. gymnorrhiza (30-50
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 131
kali/bulan), S. alba (30-40 kali/bulan, dan C. tagal (10-20 kali/bulan) (Anwar dan Subiandono, 1997). Hasil pengamatan lain: R. mucronata dapat tumbuh hingga kedalaman 120 cm di bawah batas pasang maksimum dan cenderung lebih tinggi pada penanaman yang lebih dalam, sedangkan R. apiculata dan A. marina hanya tumbuh hingga kedalaman 80 cm dengan pertumbuhan lebih rendah dibanding dengan penanaman ke arah daratan. Gambar 3.2.1 merupakan penanaman mangrove pada berbagai tingkat penggenangan di Pemalang (Anwar, 2007a). Jenis R. mucronata juga tumbuh pada substrat didominasi oleh partikel debu dan pasir. A. marina juga tumbuh pada substrat didominasi oleh partikel debu, sedangkan S. Alba tumbuh pada substrat didominasi oleh partikel pasir (Halidah et al., 2006). b.
Cara Penanaman Jenis mangrove yang memiliki propagule seperti Rhizophora spp, Bruguiera
spp, dan Ceriops spp dapat ditanam secara langsung. Penanaman dapat dilakukan dengan membenamkan ½ atau 1/3 bagian propagulnya ke dalam tanah. Jenis-jenis lain yang berbiji seperti Sonneratia spp, Avicennia spp, dan Xylocarpus spp ditanam setelah biji disemaikan terlebih dahulu. Namun Aviccenia spp dapat ditanam melalui cabutan anakannya. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 2x2 m untuk keperluan produksi dan 1x1 m atau 1x0,5 m untuk keperluan konservasi.
Gambar 3.2.1
Penanaman A. marina pada empat tingkat penggenangan air laut di Pemalang; pada awal penanaman (kiri); tinggi mencapai sekitar 6 m pada usia 2,5 tahun (kanan).
132 | S i n t e s i s R P I
c.
Tenaga Kerja Penanaman Perkiraan jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada penanaman mangrove di
areal bekas tambak setiap ha dapat dilihat pada Tabel 3.2.5 dan Tabel 3.2.6. Tabel 3.2.5 Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam kegiatan penanaman mangrove melalui anakan (seedling) dalam setiap hektar. Kegiatan 1. Persiapan
Jarak Tanam (mxm) 0.5x0.5
2. Pengangkutan
3. Penanaman
4. Pemeliharaan
TOTAL Keterangan Sumber
1
4
HOK/ha Penanaman setiap Jenis 2 3 4 5 6 4 4 4 4 4
7
4
1x1
4
4
4
4
4
4
4
2x2
4
4
4
4
4
4
4
0.5x0.5
154
154
154
154
154
154
154
1x1
38
38
38
38
38
38
38
2x2
9.6
9.6
9.6
9.6
9.6
9.6
9.6
0.5x0.5
208
208
208
208
208
208
208
1x1
52
52
52
52
52
52
52
2x2
14
14
14
14
14
14
14
0.5x0.5
20
20
20
20
20
20
20
1x1
4
4
4
4
4
4
4
2x2
2
2
2
2
2
2
2
0.5x0.5
386
386
386
386
386
386
386
1x1
98
98
98
98
98
98
98
2x2
29.6
29.6
29.6
29.6
29.6
29.6
29.6
: 1. R. mucronata; 2. R. apiculata; 3. B. gymnorrhiza; 4. C. tagal; 5. S. alba; 6. A. marina; 7. X. granatum : Taniguchi et al. (1999)
Tabel 3.2.6 Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam penanaman benih mangrove secara langsung dalam setiap hektar. Kegiatan 1. Persiapan
2. Pengangkutan bibit dengan perahu
3. Penanaman
Jarak Tanam (mxm) 0,5 x 0,5 1x1 2x2 0,5 x 0,5 1x1 2x2 0,5 x 0,5 1x1 2x2
HOK/ha 2 2 2 7 2 0,4 52 13 3
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 133
Kegiatan 4. Pemeliharaan/Penyulaman
Jarak Tanam (mxm) 0,5 x 0,5 1x1 2x2 0,5 x 0,5 1x1 2x2
TOTAL
HOK/ha 10 2 1 71 19 6,4
Sumber : Taniguchi et al. (1999)
3.2.1.3 Teknik Penanggulangan Hama Mangrove Beberapa jenis hama yang menulari tanaman mangrove berikut cara penanggulangan yang disarankan dicantumkan pada Tabel 3.2.7. Tabel 3.2.7 Jenis hama yang menulari mangrove dan saran penanggulangannya. No
Jenis Hama
Mangrove Tertular B. gymnorrhiza
1
Yuyu/kepiting (Sesarma sp.)
2
Laba-laba
R. mucronata
3
Kutu Sisik (Chionaspis sp.) Perusak batng Zuzera sp. Xyleborus sp.
R. mucronata
4
5
6
Acanthopsyche sp.
A alba, A. marina, A. officinalis, R. mucronata, R. apiculata, B. eripetala E. agallocha B. parviflora B. gymnorrhiza A. alba R. mucronata X. granatum Bruguiera spp.
Tritip
R. mucronata
Ulat Kantong : Crytothelea sp. Lymanthria sp. Dasychira sp.
Sumber : Diambil dari berbagai sumber.
134 | S i n t e s i s R P I
Saran Penanggulangan Pembalutan propagule dengan plastik, dengan daun nipah dan penggunaan anakan semai (bukan propagul)(Anwar, 1992) Pemasangan bambu perangkap dan penanaman rumput disekitar anakan mangrove untuk memperluas permukaan sarang laba-laba untuk kemudian dibakar (Irianto dan Suharti, 1987). Florbac FC dengan dosis 4 cc/lt dan Azodrin 15 WSC dosis 10 cc/lt (Anwar, 1996; Intari, 1997) Pruning, penjarangan, pengaturan jarak tanam dan penyiangan (Hardi, 1997)
Mattch dengan dosis 2% untuk penyemprotan (Intari, 1984)
Dimecron-100 dengan konsentrasi 0,1% untuk penyemprotan (Hardi dan Siringoringo, 2000) Pembalutan Propagule dengan plastic (Halwany, 2009)
3.2.2 Teknik Penanaman pada Areal Terabrasi dan Pulau-Pulau Kecil Beberapa lokasi penelitian yang dipilih merupakan areal pesisir yang mengalami tekanan abrasi antara lain Pantai Iboih di Pulau Weh (Kabupaten Aceh Besar, Aceh), Pulau Selayar (Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan), serta Pulau Talise dan Pulau Gangga (Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara). Penelitian penanaman dilakukan sesuai lokasi (tapak khusus) dengan jenis-jenis mangrove tumbuhan lainnya, yaitu cemara laut, ketapang dan nyamplung.
Selanjutnya,
bahasan pada bagian ini diarahkan berdasarkan lokasi kegiatan. 3.2.2.1 Penanaman pada Areal Terabrasi di Aceh a.
Ujicoba Penanaman Cemara Laut Pelaksanaan kegiatan dilakukan berupa pembuatan pagar plot tanaman dan
penanaman cemara laut seluas 1 (satu) ha di Gampong Baru, Lamnga (Aceh). Kondisi lahan di Gampong baru yaitu pantai berpasir akibat adanya penimbunan pasir pasca tsunami. Plot dirancang seluas 1 ha memanjang arah pantai sepanjang 225 m dengan lebar 50-60 m dengan harapan tanaman cemara dapat menjadi buffer untuk tanaman pangan yang akan terlindung dari terpaan ombak. Plot seluas 1 ha ini telah mendapat izin dari Keuchik Gampong Baru. Plot berukuran 225x60 m yang terdiri dari 3 blok dengan ukuran masing-masing 75x60 m; pada blok I tanaman ditanam dengan jarak 2x2 m; pada blok II jarak tanaman 3x3 m dan pada Blok III jarak tanaman 4x4 m. Pada saat pengamatan lahan yang berada di sekitar (belakang plot) belum dimanfaatkan. Hal ini dapat disebabkan masyarakat selama ini belum menemukan cara mengolah tanah pantai yang sering kena pengaruh terpaan ombak atau masyarakat masih trauma memanfaatkan lahan tersebut karena lokasi tersebut termasuk lokasi yang hancur total akibat adanya tsunami, semua rumah dan fasiltas lainnya telah hancur dan masyarakat enggan kembali mengusahakan lahan maupun bertempat tinggal di lokasi tersebut. Untuk itu pemilihan jenis tanaman dalam upaya pemanfaatan lahan tersebut sangat mendukung dan lebih meyakinkan masyarakat untuk dapat kembali memanfaatkan lahan tersebut.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 135
Selain itu, pada saat pengamatan di lapangan lahan di Gampong Baru dimanfaatkan untuk penggembalaan ternak seperti lembu dan kerbau, yang mana ternak tersebut sering merusak tanaman yang ada di sekitar lokasi tersebut. Untuk itu pembuatan pagar plot tanaman sangat perlu dilakukan. Untuk mencapai lokasi plot dari Desa Lamnga dengan menyeberang (lebar 50 m) menggunakan perahu dan berjalan kaki sekitar 20 menit menuju pantai laut bebas atau dengan menggunakan perahu mengikuti alur sungai sekitar 15 menit dan dilanjutkan berjalan kaki selama 10 menit menuju pantai laut bebas. Pagar plot tanaman untuk memagari lahan seluas 1 ha telah dilakukan yaitu dengan membuat pagar penopang dari kayu dan paranet. Paranet digunakan agar pagar tidak mudah rusak akibat pengaruh garam yang dapat cepat merusak pagar bila digunakan kawat berduri, dan menurut pengalaman bila digunakan kawat berduri, pagar sudah rusak dalam waktu 3 bulan Hasil pengamatan tahap pertama menunjukkan tanaman cemara banyak yang mati, keadaan ini disebabkan terjadinya kemarau panjang selama satu bulan setelah penanaman tidak turun hujan. Padahal, sebelum penanaman dan seminggu setelah penanaman masih turun hujan. Untuk itu dilakukan penyulaman pada saat kondisi hujan sudah stabil, yaitu pada bulan November dan Desember. Kondisi pagar tanaman untuk memagari lahan yang ditanami cemara seluas 1 ha masih dalam kondisi baik keadaan ini disebabkan pagar yang digunakan dari paranet hal ini sesuai dengan dugaan semula bahwa paranet digunakan agar pagar tidak mudah rusak akibat pengaruh garam yang dapat cepat merusak pagar bila digunakan kawat berduri, dan menurut pengalaman bila digunakan kawat berduri akan lebih cepat rusak. Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara di Gampong Baru seluas 1 (satu) ha disajikan pada Tabel 3.2.8 dan Gambar 3.2.2. Hasil pengukuran menunjukkan pertambahan tinggi tanaman cemara berkisar antara 14.5 cm dan 32,6 cm dan pertambahan diameter rata-rata berkisar antara 13.3 mm dan 26,8 mm dengan pertambahan tinggi dan diameter tertinggi pada perlakuan D2T2J2 (tinggi bibit 40–60 cm; penambahan tanah 5 kg/tanaman dan berjarak 20–40 m dari pantai terluar). 136 | S i n t e s i s R P I
Pada awal pengamatan ternyata perlakuan D2T2J2 menunjukkan pertambahan tinggi yang terbesar, keadaan ini dapat disebabkan berbagai faktor salah satu adalah tinggi bibit antara 40–60 cm di mana pembentukan akar sudah lebih banyak bila dibandingkan dengan bibit yang mempunyai tinggi 20–40 cm. Demikian juga penambahan tanah pada sustrat berpasir sebanyak 5 kg/tanaman akan menyediakan unsure hara pada areal perakaran sehingga tanaman akan tumbuh lebih baik bila dibandingkan dengan tanpa pemberian tanah pada areal perakaran. Penambahan tanah pada areal perakaran juga akan meningkatkan ketersediaan air pada areal perakaran (rhyzosfer) sehingga akan meningkatkan mekanisme penyerapan hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi demikian perlu diupayakan, karena pada substrat berpasir yang menjadi hambatan pada pertumbuhan tanaman adalah ketersedian air dan kekurangan unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Namun demikian bahasan ini masih dalam tahap awal sampai diperoleh hasil pengamatan selama 2 tahun lagi. Tabel 3.2.8 Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru No.
Perlakuan
Rata-rata pertambahan tinggi (cm)
Rata-rata pertambahan diameter (cm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
DoT1J1 D1T1J1 D2T1J1 D3T1J1 DoT1J2 D1T1J2 D2T1J2 D3T1J2 DoT1J3 D1T1J3 D2T1J3 D3T1J3 DoT2J1 D1T2J1 D2T2J1 D3T2J1 DoT2J2 D1T2J2 D2T2J2 D3T2J2 DoT2J3 D1T2J3 D2T2J3 D3T2J3
15,2 19,6 27,7 28,9 16,1 20,7 24,5 29,1 12,3 17,8 25,2 31,3 14,5 21,4 21,7 31,1 16,9 21,1 32,6 29,9 14,5 23,9 24,8 28,7
15,5 20,2 22,5 21,2 15,8 21,2 21,3 24,1 14,8 19,4 20,4 22,4 13,3 18,1 23,7 21,5 15,3 23,2 26,8 25,5 16,7 21,2 24,8 22,4
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 137
Keterangan : Perlakuan 1. Do T1 J1 2. D1 T1 J1 3. D2 T1 J1 4. D3 T1 J1 5. DoT1J2 6. D1T1J2 7. D2T1J2 8. D3T1J2
Gambar 3.2.2
b.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Do T1 J3 D1 T1 J3 D2 T1 J3 D3 T1 J3 Do T2 J1 D1 T2 J1 D2 T2 J1 D3 T2 J 1
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Do T2 J2 D1 T2 J2 D2 T2 J2 D3 T2 J2 Do T2 J3 D1 T2 J3 D2 T2 J3 D3 T2 J3
Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru
Ujicoba Penanaman Mangrove Tanaman mangrove telah ditanam sebanyak 3.000 tanaman di Iboih, Pulau
Weh dengan setiap jenis tanaman sebanyak 1.500 tanaman sesuai perlakuan. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman mangrove di Iboih dilakukan setelah daun mangrove muncul (diperkirakan setelah tanaman berumur 3–4 bulan yaitu pada saat 138 | S i n t e s i s R P I
perakaran tanaman sudah stabil). Jumlah tanaman yang hidup dan yang ditanam disajikan pada Tabel 3.2.9 (persen hidup sebesar 67%).
Tabel 3.2.9 Perbandingan jumlah tanaman mangrove perplot yang hidup dan ditanam per plot di Pulau Weh, Aceh No.
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
M1J1 M1J2 M1J3 M2J1 M2J2 M2J3
Blok Penanaman (jumlah yang hidup/jumlah ditanam) 1 2 3 4 158/256 187/256 149/256 178/256 46/81 57/81 53/81 65/81 28/36 25/36 23/36 27/36 167/256 156/256 177/256 182/256 59/81 55/81 48/81 56/81 25/36 22/36 26/36 21/36
Jumlah
483/746
502/746
476/746
529/746
Jumlah 672/1024 221/324 103/144 682/1024 218/324 94/144 1990/2984 (67%)
Pengukuran pertumbuhan tanaman berupa pengukuran tinggi tanaman mangrove dilakukan di Pulau Weh dan di Lamnga. Rata-rata pertambahan tinggi tanaman disajikan pada Tabel 3.2.10 dan 3.2.11. Tabel 3.2.10 Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh No.
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
M1J1 M1J2 M1J3 M2J1 M2J2 M2J3
1 29,90 32,60 44,01 44,90 32,68 45,71
2 50,2 41,64 32,70 32,34 43,92 52,13
Blok
3 17,76 33,60 30,13 30,28 45,60 40,47
4 31,53 32,20 32,04 34,72 46.51 38,56
Rata-rata pertambahan 32,36 35,01 34,72 35,56 42,18 43,72
Hasil pengukuran menunjukkan tanaman mangrove di Pulau Weh berkisar antara 67,53 cm dan 82,60 cm dengan pertambahan tinggi yang terbesar 43,72 cm pada perlakuan M2J3 (Jenis mangrove R. mucronata dan jarak tanam 3x3m). Pengamatan ini masih dalam tahap awal namun demikian ada kecenderungan pertumbuhan tanaman R. mucronata lebih baik dibandingkan tanaman R. stylosa. di areal ujicoba penanaman mangrove.
Sementara itu, Hasil pengukuran awal di
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 139
Lamnga menunjukkan pertambahan tinggi tanaman mangrove berkisar antara 30,60 cm dan 35,99 cm.
Keterangan: Perlakuan 1. M1J1 2. M1J2 3. M1J3
Gambar 3.2.3
4. M2J1 5. M2J2 6. M2J3
Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh
Tabel 3.2.11 Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Lamnga, Aceh No.
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
M1Do M1D1 M1D2 M2Do M2D1 M2D2 M3Do M3D1 M3D2
140 | S i n t e s i s R P I
1 31,56 30,22 34,48 30,43 33,09 30,21 34,29 32,45 38,19
Blok 2 34,21 32,27 35,37 31,39 31,38 29,34 37,46 36,50 34,20
3 35,91 32,84 30,81 30,79 29,51 32,24 33,83 37,72 35,58
Rata-rata pertambahan 33,89 31,78 33,55 30,87 31,33 30,60 35,19 35,56 35,99
Gambar 3.2.4 Penanaman cemara laut di Gampong Baru, Aceh
Gambar 3.2.5 Penanaman mangrove di Lamnga, Aceh
Gambar 3.2.6 Pengukuran tanaman mangrove dan plot penelitian di P. Weh, Aceh
3.2.2.2 Penanaman di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan) Kegiatan penelitian dilaksanakan di Pulau Selayar yang termasuk dalam Kabupaten Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penanaman terbagi dalam 2 lokasi yang terpisah di Pantai Barat Selayar (Kelurahan Bonto Bangun, Kecamatan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 141
Bonto Haru, Kabupaten Selayar) dengan koordinat lokasi 5°42'-7°35' Lintang Selatan dan 120°15'-122°30' Bujur Timur. Penelitian dimulai pada tahun 2010 dan dilaksanakan sampai dengan tahun 2013 dengan obyek yang diujicobakan adalah jenis nyamplung, cemara laut dan ketapang.
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh uji jarak tanam dan komposisi jenis tanaman, serta perlakuan pemberian kompos (jenis kompos dan kedalaman lubang tanam). Setiap perlakuan penelitian diujicobakan pada 4 blok di setiap lokasi penelitian. a.
Pengambilan Materi Penanaman Pengambilan materi penanaman berupa cabutan dari semai yang ada di bawah
pohon nyamplung (hasil dari panen raya sebelumnya yang sudah berkecambah secara alami). Pada dasarnya, bibit-bibit tersebut terbentuk secara generatif sebagai proses perkecambahan secara alami dari benih-benih yang jatuh di lantai hutan. Cara ini digunakan karena pada musim penghujan anakan alam di bawah tegakan cukup berlimpah. Anakan alam yang dapat digunakan untuk bibit memiliki tinggi 20–30 cm (Bustomi et al., 2008). Pengambilan cabutan, harus hati-hati dan perlahan agar akar semai tidak rusak. Bbit cabutan lalu dimasukkan dalam kantong plastik yang di bawahnya sudah dilapisi koran basah untuk menjaga agar semai tetap segar, kemudian segera dibawa ke persemaian. Pengambilan cabutan memiliki beberapa kriteria antara lain semai yang sehat dan memiliki tinggi yang relatif seragam. Pengambilan materi cabutan disertakan dengan biji kotiledonnya sebagai cadangan makanan semai agar saat beradaptasi dengan lingkungan yang baru di persemaian lebih mudah dan persen hidupnya lebih tinggi. b.
Persemaian Pembuatan persemaian diawali dengan pemilihan lokasi, yaitu dekat dengan
sumber air, lokasi relatif datar, dan aksesbilitas mudah untuk memudahkan pengawasan dan pengangkutan bibit. Setelah lokasi persemaian dipilih, dilakukan pengukuran lokasi, pembersihan lokasi, pembuatan bedeng sapih dan pengisian polybag. Sebelum bibit dimasukkan ke dalam bedeng, terlebih dahulu bedeng diisi dengan kerikil dan pasir agar air penyiraman maupun air hujan tidak menggenangi bedeng yang dapat menyebabkan kematian tanaman. Pembuatan
persemaian
dilakukan di bawah tegakan atau diberi naungan dengan intensitas cahaya sekitar 142 | S i n t e s i s R P I
50% untuk menjaga kelembaban. Kegiatan di persemaian meliputi penyiapan bibit, penyiraman, pemupukan, perumputan serta penghilangan hama dan penyakit. Materi penanaman yang berupa cabutan lebih rumit dalam penanganannya. Anakan alam hasil eksplorasi dikumpulkan kemudian dikurangi perakaran serta daunnya untuk mengurangi penguapan. Selain itu juga untuk menghindari penutupan antar daun pada bibit yang dapat menyebabkan genangan air pada daun setelah penyiraman yang dapat menyebabkan pembusukan. Setelah itu, bagian perakaran bibit dimasukkan ke dalam larutan rootone-F untuk menumbuhkan perakaran pada akar yang telah dipotong. Setelah direndam beberapa menit, bibit dipindahkan ke polybag dengan media campuran tanah dan kompos (7 : 3). Bibit cabutan harus disungkup untuk menjaga kelembaban agar tanaman tidak layu dan mati. Penyungkupan dilakukan selama kurang lebih 1 bulan dan dibuka secara bertahap selama 2 minggu sebelum dibuka keseluruhan. Sungkup diletakkan di bawah paranet dengan tingkat naungan 60%. Ukuran sungkup dibuat sama dengan ukuran bedeng agar sungkup dapat dipindahkan ke bedeng lain. Penyiraman bibit yang masih disungkup tidak dikenakan secara langsung pada tanaman, saat kondisi tanah masih cukup basah dan penyiraman dilakukan dua hari sekali. Penyiraman yang terlalu banyak dapat menyebabkan genangan air pada daun. Genangan air tersebut dapat menyebabkan pembusukan daun. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya jamur dan pathogen lainnya karena kelembaban yang tinggi. Pemeliharaan bibit di persemaian hingga kondisi cabutan sudah terlihat stabil dan siap ditanam di lapangan. Tanaman siap ditanam di lapangan pada umur sekitar 6 bulan atau jika sudah mencapai tinggi sekitar 40 cm. Kegiatan persemaian juga termasuk persemaian untuk tanaman pencampur: ketapang dan cemara laut. c.
Penyiapan Lokasi Penanaman Pembuatan plot penanaman dilaksanakan di lokasi yang telah ditunjuk yang
diawali dengan persiapan lahan. Kegiatan persiapan lahan meliputi pengukuran lokasi penanaman, pembabatan/pembersihan lokasi dari tanaman pengganggu, pemasangan patok batas blok, batas plot, pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanam. Pemasangan ajir sesuai dengan jarak tanam yaitu 3x3 m dan 3x2 m, serta pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30x30x30 cm. Bagian ujung ajir dicat P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 143
sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam pada lubang tanam di dekatnya untuk memudahkan dalam pengecekan bibit. Ajir warna merah untuk nyamplung, kuning untuk cemara laut dan putih untuk ketapang. d.
Penanaman Penanaman dilakukan saat musim penghujan sesuai dengan rancangan
penanaman. Kegiatan penanaman dimulai dengan pengangkutan bibit dari persemaian menuju lokasi penananaman dan pengeceran bibit sesuai dengan warna ajir. Kegiatan selanjutnya merupakan penanaman bibit pada lobang tanam dan sesuai jarak tanam yang sudah diatur sebelumnya. Pola tanam diatur yaitu penanaman nyamplung murni, nyamplung campur dengan ketapang, nyamplung campur dengan cemara laut. Untuk memudahkan pekerjaan, tiap bibit nyamplung, ketapang dan cemara laut diletakkan pada tiap lubang tanam. Bibit ditanam dengan tegak dan kokoh, agar bisa bertahan dari tiupan angin. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan untuk mencukupi kebutuhan air. e.
Pemeliharaan Pemeliharaan pertama dilakukan saat tanaman berumur 1 bulan. Pemeliharaan
ini termasuk mengganti tanaman yang telah mati, yang biasa disebut dengan penyulaman. Pemeliharaan dilakukan tiap 3 bulan sekali. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan atau pembersihan gulma dilakukan dengan piringan di sekitar tanaman. Pemupukan dilakukan tiap 6 bulan sekali. Jenis pupuk yang diberikan disesuaikan dengan jenis unsur yang menjadi faktor pembatas di areal penanaman tersebut, yaitu pupuk NPK. f.
Pengumpulan Data Pengambilan
data
awal
lingkungan
penanaman
dilaksanakan
untuk
mengetahui kondisi awal lahan yang akan ditanami dan akan dilihat perkembangan ataupun perubahan yang ada. Untuk mengetahui pengaruh dari penanaman terhadap lingkungan, terutama terhadap kualitas tanah. Demplot ujicoba penanaman terbagi dalam 2 lokasi yang terpisah. Pengambilan sampel data lingkungan dilakukan secara acak, di beberapa tempat yang sekiranya mewakili kondisi di lokasi tersebut. 144 | S i n t e s i s R P I
Sampel yang telah diambil kemudian ditabulasi dan dirata-rata. Pengambilan sampel tanah dilakukan dibeberapa titik di masing-masing blok, kemudian dikomposit (dicampur) dan dianalisis di laboratorium. Data awal lingkungan penanaman pada 2 lokasi di kawasan pesisir Selayar tersaji dalam Tabel 3.2.12.
Tabel 3.2.12 Data awal lingkungan dan sifat kimia tanah penanaman di kawasan pesisir Selayar No. 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Data Lingkungan Suhu (oC) Kelembaban (%) pH Intensitas cahaya (lux) Ketinggian tempat (m dpl) N Organik (%) C Organik (%) P2O5 Olsen (ppm) P2O5 HCl 25% (mg 100g-1) K20 HCl 25% (mg 100g-1) Klas Tekstur
Rerata Lokasi 1 30 91 6.71 669.4 14 0.20 1.90 12.19 19.65 12.58 Liat
Rerata Lokasi 2 32.8 88 6.72 553.3 20-27 0.31 2.15 11.77 27.25 19.21 Lempung Liat Berdebu
Berdasarkan data lingkungan pada Tabel 3.2.12 terlihat bahwa lokasi penanaman di kawasan pesisir Selayar mempunyai suhu yang relatif sedang dan kelembaban udara relatif cukup tinggi, yaitu sekitar 88% dan 91%. Suhu di lokasi 1 lebih rendah dengan kelembaban relatif tinggi. Hal ini dimungkinkan karena lokasi 1 lebih banyak tanaman mangrove yang besar sehingga lebih tertutup dibandingkan lokasi 2 yang cenderung terbuka dan lebih dekat dengan pantai. Berdasarkan data sifat kimia tanah, kandungan nitrogen pada lokasi 2 lebih tinggi daripada lokasi 1. Kandungan N organik di kedua lokasi ini termasuk dalam kategori sedang. Kandungan C organik di lokasi 1 termasuk rendah, sementara di lokasi 2 kandungan C organik termasuk dalam kategori sedang. Kandungan hara P dan K di kedua lokasi termasuk rendah. Tanaman nyamplung mempunyai kemampuan tumbuh dengan baik pada pH 4 sampai 7,4 dengan ketinggian 0–200 m dpl dengan tipe curah hujan A dan B (Martawijaya et al., 2005). Tanaman ketapang dapat tumbuh baik dengan baik pada kondisi lahan berpasir, liat ataupun tanah miskin. Tanaman ini tumbuh pada P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 145
ketinggian 0–1.200 m dpl (Flores, 2007). Cemara laut mampu tumbuh dengan baik pada ketinggian 0–1.500 m dpl dengan curah hujan rata-rata 350–5.000 mm, suhu rata-rata harian 15–30oC, serta sesuai pada tanah ringan dengan pH 5,0–9,5 (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Persyaratan tumbuh tersebut sesuai dan mendekati dengan kondisi di lahan penanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman di sini adalah sifat kimia tanah atau tingkat kesuburan tanah. Tanah dilokasi penanaman mempunyai tingkat kesuburan yang relatif rendah, terutama unsur hara P dan K. Pengukuran pertumbuhan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan. Pengukuran dilakukan pada tinggi dan diameter tanaman. Pengukuran tinggi dimulai dari pangkal batang sampai dengan ujung tajuk tanaman. Untuk pengukuran diameter, bagian batang yang diukur diberi tanda untuk memudahkan pengukuran selanjutnya. Hal ini penting sebagai patokan pada pengukuran diameter selanjutnya agar data yang dihasilkan lebih akurat. Pengukuran selanjutnya dilakukan tiap 3 bulan. Saat pengukuran juga dilakukan pengecekan pada tiap tanaman untuk mengetahui jumlah tanaman yang hidup dan keberhasilan penanaman. Tingkat keberhasilan suatu penanaman ditentukan oleh kemampuan tanaman tersebut untuk beradaptasi pada lingkungan penanaman. Persen hidup merupakan salah satu parameter keberhasilan penanaman. Persen hidup tanaman sampai dengan umur 1 bulan di lapangan tersaji pada Tabel 3.2.13. Tanaman ujicoba mempunyai persen hidup yang relatif tinggi, secara keseluruhan mencapai 89,78%. Rata-rata persen hidup tertinggi terdapat pada blok 2 (94%) dan persen hidup terendah diperoleh dari blok 1 (81,40%). Persen hidup di blok 1 lebih rendah dibandingkan dengan blok yang lain karena kondisi lahan blok 1 lebih banyak tergenang air dan kurang porous sehingga tanaman lebih banyak yang mati. Blok 1 juga mempunyai tekstur tanah berupa liat, sedangkan tiga blok lainnya pada lokasi 2 mempunyai tekstur tanah lempung liat berdebu. Sementara itu, jenis tanaman yang mempunyai persen hidup tinggi adalah nyamplung (89,75– 95,5%).
146 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.2.13 Persen hidup tanaman umur 1 bulan Persen Hidup Tanaman (%)
Jarak Tanam
No. Plot
Jenis Tanaman
3x2 m
Plot 1
Ketapang
Blok 1 71
Blok 2 100
Blok 3 100
Blok 4 100
Rerata 92.75
Nyamplung
71
100
94
94
89.75
Cemara
79
88
88
100
88.75
Nyamplung
93
88
94
100
93.75
Plot 3
Nyamplung
81
94
97
94
91.50
Plot 1
Ketapang
75
94
87
69
81.25
Nyamplung
81
100
88
100
92.25
Cemara
81
88
69
75
78.25
Nyamplung
94
88
100
100
95.50
Nyamplung
88
100
97
91
94.00
81.40
94.00
91.40
92.30
89.78
Plot 2
3x3 m
Plot 2 Plot 3 Rerata
Persen hidup tanaman nyamplung paling tinggi menunjukkan bahwa tingkat adaptasinya di lokasi penanaman cukup bagus sehingga kemampuan hidup tanaman juga tinggi. Tanaman nyamplung di Kabupaten Selayar tidak hanya ditemukan di tepi pantai, tetapi juga ada yang di daerah bukit. Dengan demikian, kemungkinan daya adaptasi tanaman nyamplung di Selayar ini lebih bagus daripada jenis yang lain. Uji coba penanaman di lapangan ternyata menghadapi kendala kekeringan akibat kemarau (tingkat kematian tanaman hingga 90%).
Penanaman pertama
hanya diperoleh data nilai persen hidup (Tabel 3.2.13) dan data awal pertumbuhan (tinggi dan diameter) hingga tanaman berumur 1 bulan. Oleh sebab itu, uji coba penanaman dilakukan pengulangan kembali. Namun demikian, penanaman kedua juga menghadapi kendala yang sama sehingga hanya menghasilkan data pertumbuhan awal 1 bulan dan hingga tanaman berumur 9 bulan (Tabel 3.2.14). Pada umur tanaman 12 bulan, data pertumbuhan tidak dapat diperoleh akibat pengaruh musim dan kondisi lingkungan yang menyebabkan tanaman banyak yang mati. Berdasarkan data curah hujan yang ada, mulai dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober curah hujan di sekitar lokasi penanaman sangat rendah, bahkan tidak
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 147
ada hujan sama sekali di Bulan Agustus dan September. Curah hujan yang sangat rendah ini menyebabkan lengas tanah rendah dan suhu udara yang panas. Hal ini menyebabkan tanah menjadi retak-retak karena merupakan jenis tanah berkelas tekstur lempung liat berdebu. Retaknya tanah ini cukup dalam dan menyebabkan perakaran tanaman terputus sehingga banyak tanaman yang mati, selain pengaruh kekeringan dan kekurangan air.
a)
b)
c)
Keterangan: a) tanah retak-retak dalam, b) vegetasi sekitar kering dan mati, c) tanaman uji mati kering
Gambar 3.2.7
Kondisi lokasi penanaman pada musim kemarau
Tabel 3.2.14 Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman setelah penanaman I dan penanaman II Pertumbuhan tanaman umur 1 bulan dari penanaman I Tinggi Diameter (cm) (cm) 19.13 4.22
Pertumbuhan tanaman umur 1 bulan dari penanaman II Tinggi Diameter (cm) (cm) 22,78 7,98
Pertumbuhan tanaman umur 9 bulan dari penanaman II Tinggi Diameter (cm) (cm) rusak rusak
Nyamplung
18.80
3.69
28,05
5,6
79,40
15,59
Cemara
23.16
3.28
47,73
4,28
mati
mati
Nyamplung
18.65
3.30
28,57
5,27
68,77
14,29
Plot 3
Nyamplung
18.28
3.19
28,7
5,3
60,32
13,55
Plot 1
Ketapang
17.20
3.43
23,05
6,22
rusak
rusak
Nyamplung
19.16
3.40
25,9
4,58
62,61
13,06
Cemara
20.16
4.18
50,87
4,38
mati
mati
Nyamplung
19.27
3.83
30,17
5,35
102,36
17,89
Nyamplung
19.21
3.17
23,07
4,4
52,38
12,17
Jarak Tanam
No. Plot
Jenis Tanaman
3x2 m
Plot 1
Ketapang
Plot 2
3x3 m
Plot 2 Plot 3
148 | S i n t e s i s R P I
Berdasarkan Tabel 3.2.14 dapat diketahui adanya variasi pertumbuhan antarjenis dan antarjarak tanam. Pertumbuhan terbaik tanaman nyamplung pada umur 1 bulan penanaman I terdapat pada jarak tanam 3x3 m yang dikombinasikan dengan cemara (rerata tinggi 19,27 cm dan rerata diameter 3,83 mm). Ketapang mempunyai pertumbuhan terbaik pada jarak tanam 3x2 m (rerata tinggi 19,13 cm dan rerata diameter 4,22 mm). Tanaman cemara laut mempunyai rerata pertumbuhan tinggi terbaik (23,16 cm) pada jarak tanam 3x2 m, tetapi rerata prtumbuhan diameter terbaik (4,18 mm) pada jarak tanam 3x3 m. Pertumbuhan terbaik tanaman pada beberapa plot ini mengalami perubahan seiring dengan berinteraksinya tanaman dengan tanaman pencampurnya, serta beradaptasinya
tanaman
dengan
lingkungan
sekitar
penanaman.
Rerata
pertumbuhan tinggi terbaik (30,17 cm) tanaman nyamplung pada umur 1 bulan penanaman II terdapat pada jarak tanam 3x3 m (kombinasi dengan cemara), tetapi rerata pertumbuhan diameter terbaik (5,6 mm) terdapat pada jarak tanam 3x2 m (kombinasi dengan ketapang). Ketapang mempunyai rerata pertumbuhan tinggi terbaik (23,05 cm) pada jarak tanam 3x3 m, tetapi rerata pertumbuhan diameter terbaik (7,98 mm) pada jarak tanam 3x2 m. Tanaman cemara laut mempunyai pertumbuhan terbaik pada jarak tanam 3x3 m (rerata tinggi 50,87 cm dan rerata diameter 4,38 mm). Pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji dalam penelitian ini selanjutnya mengalami kendala lingkungan (kemarau dan gangguan ternak). Data pengukuran tanaman umur 9 bulan hasil penanaman kedua hanya dapat diperoleh untuk jenis nyamplung. Pertumbuhan terbaik tanaman nyamplung yang sebelumnya dikombinasikan dengan cemara laut tedapat pada jarak tanam 3x3 m, yaitu rerata tinggi 102,36 cm dan rerata diameter 17,89 mm. Tanaman cemara laut tidak ada yang hidup dan kemungkinan tidak cocok dengan kondisi tapak di lokasi penelitian, meskipun telah dilakukan 2 kali penanaman.. Tanaman cemara laut akan tumbuh dengan baik pada tanah yang mempunyai tekstur cenderung berpasir, sedangkan di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung liat berdebu (Prasetyawati, 2010). Sementara itu, tanaman ketapang mempunyai rerata pertumbuhan yang rendah dan sebagian besar rusak akibat sering dimakan ternak sapi. Padahal, lokasi penelitian telah dibuat pagar, namun ternak sapi milik P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 149
masyarakat masih dapat masuk dan memakan tanaman ketapang sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (meskipun tidak mengalami kematian dan bertunas kembali). Sebaliknya, tanaman nyamplung tidak dimakan sapi karena sapi tidak menyukai getah yang ada pada tanaman tersebut. Tanaman nyamplung yang mampu bertahan dalam menghadapi musim kemarau akan mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat dengan pertumbuhan yang sempurna dan sehat. Gambaran mengenai tanaman nyamplung yang mempunyai pertumbuhan bagus tersaji pada Gambar 3.2.8. Sementara itu, tanaman yang tidak mampu bertahan menghadapi musim kemarau akan mengalami luka bakar pada daunnya yang lama kelamaan akan mati bila tidak segera mendapatkan air yang cukup. Kondisi beberapa tanaman yang mengalami daun terbakar dan mati kering tersaji pada Gambar 3.2.9.
Gambar 3.2.8
Beberapa tanaman nyamplung umur 9 bulan pada uji komposisi jenis dan jarak tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus.
Gambar 3.2.9. Tanaman nyamplung yang mengalami daun terbakar dan kematian akibat musim kemarau 150 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.2.10. Tanaman ketapang yang daunnya habis dimakan sapi Pada awal pertumbuhannya, tanaman nyamplung memerlukan naungan sehingga beberapa tanaman nyamplung tidak mampu tumbuh dengan bagus pada musim kemarau yang panjang. Tanaman nyamplung yang berada pada kondisi terbuka di sekelilingnya cenderung mudah terbakar pada daunnya dan bila terjadi secara terusmenerus akan menyebabkan kematian tanaman. Meskipun tanaman sudah tinggi, tanaman dapat mati dan mengalami kekeringan bila musim kemarau terlalu lama dan sangat panas, Hal ini menunjukkan bahwa tanaman nyamplung pada awal pertumbuhannya tidak tahan terhadap panas yang terik dalam waktu yang lama. Sementara itu, pengaruh dari jarak tanam dan komposisi jenis akan terlihat nyata pada pertumbuhan tanaman pada saat terjadi penutupan tajuk yang berakibat pada persaingan
dalam
mendapatkan
sinar
matahari.
Lebar
tajuk
ini
juga
menggambarkan lebar/jangkauan perakaran. Pada saat tajuk antar tanaman bertemu, perakaran antar tanaman juga akan bertemu sehingga akan terjadi persaingan unsur hara di area rhizosfer. Data pertumbuhan tanaman dalam perlakuan jarak tanam dan komposisi jenis [sebagaimana hasil yang telah dibahas sebelumnya] selanjutnya dilakukan analisis dengan hasil seperti terdapatpada Tabel 3.2.15.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 151
Tabel 3.2.15 Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung sampai umur 9 bulan setelah tanam pada uji jarak tanam dan komposisi jenis di Kab. Kep. Selayar Tinggi Rerata kuadrat F hitung Jarak tanam 0,126 0,001 ns Komposisi 4,845 0,050 ns Jarak tanam * komposisi 11,978 0,757 ns Galat 96,618 0,124 Keterangan: ns tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 Sumber Keragaman
Diameter Rerata kuadrat 0.208 0.492 0.009 2.454
F hitung 0.085 ns 0.200 ns 0.004 ns
Berdasarkan hasil analisis pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung [sampai dengan umur 9 bulan di lapangan] diperoleh hasil yang tidak signifikan/tidak berbeda nyata pada perlakuan jarak tanam maupun komposisi jenis tanaman. Jarak tanam dan komposisi jenis tanaman tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan tanaman nyamplung. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat tanaman masih berumur 9 bulan dan tajuk belum saling bertemu sehingga belum terjadi persaingan perakaran maupun persaingan tajuk antar individu tanaman pada jarak tanam tersebut. Dengan demikian, pengaruh jarak tanam dan komposisi jenis belum ada. g.
Pembangunan Plot Tanaman Pengujian Kompos
1) Pembuatan Kompos Pembangunan plot tanaman pengujian kompos dimulai dengan pembuatan kompos dari bahan dasar kotoran ternak. Pembuatan kompos dilakukan di dekat lokasi yang akan ditanami untuk memudahkan pengangkutan kompos selanjutnya. Pembuatan kompos dimulai dengan pencarian bahan/materi berupa kotoran ternak kambing dan ayam, serta kelelawar. Pemilihan bahan kompos dari jenis kotoran ternak ini karena memang banyak ditemukan pada masyarakat di Selayar. Kegiatan pembuatan kompos dimulai dari persiapan bahan baku utama kompos yaitu kotoran kambing dan kotoran ayam. Kotoran kelelawar tidak perlu dilakukan pengomposan karena sudah lama terdekomposisi di dalam gua dan sudah menjadi kompos yang matang. Untuk mempercepat proses dekomposisi, EM4 (Effective Microorganism 4) digunakan sebagai aktivator yang di dalamnya 152 | S i n t e s i s R P I
mengandung bakteri fermentasi dari genus lactobacillus, jamur fermentasi actinomycetes, bakteri fotosintetik, bakteri pelarut fosfat, dan ragi. Aktivator EM4 sebanyak 300 ml dicampur dengan dengan 250 ml gula pasir dan 20 liter air. Gula pasir ini berfungsi sebagai nutrisi bagi dekomposer mikroorganisme. Larutan EM4 dan gula disiramkan ke kotoran, kemudian diaduk sampai kotoran menggumpal bila digenggam. Bahan ini dimasukkan ke dalam bak yang terbuat dari papan kayu dan ditutup dengan menggunakan plastik namun diberi lubang agar oksigen bisa masuk dan mikroorganisme tidak mati. Proses dekomposisi yang terjadi dapat diketahui dengan melakukan pengecekan suhu. Bila suhu telah tinggi berarti proses dekomposisi telah terjadi, bila suhu masih rendah maka perlu dilakukan penyiraman ulang dengan EM4. Selama proses pengomposan dilakukan, pembalikkan kompos dilakukan secara berulang-ulang agar mikroorganisme tidak mati sehingga proses dekomposisi berjalan dengan baik dan merata. Pada saat pengomposan, bahan kompos selalu ditutup dengan plastik. Kompos dapat digunakan bila sudah dalam keadaan kering dan suhu sudah mendekati suhu ruang (tidak panas). Biasanya kompos dapat digunakan setelah 2–3 bulan proses pengomposan dan hasil pembuatan kompos dalam penelitian ini telah diketahui kandungan haranya berdsarkan analisis laboratorium (Tabel 3.2.16). Tabel 3.2.16 Hasil analisis uji mutu kompos. No. 1. 2. 3.
Jenis Kompos Kelelawar Ayam Kambing
C (%) 5.36 4.35 4.22
N (%) 0.49 2.00 0.74
Parameter Tekstur P2O5 (%) K2O (%) 20.32 0.24 7.85 0.35 0.35 0.32
pH 4.07 7.25 7.32
Berdasarkan hasil analisis uji mutu kompos pada Tabel 3.2.16 dapat diketahui bahwa jenis kompos yang berasal dari kotoran kelelawar mempunyai kandungan C dan P yang tinggi, namun nilai pH yang rendah. Hak ini menjadi kelemahan pupuk tersebut bila diaplikasikan pada lahan yang bersifat masam. Kompos ayam mempunyai kandungan N dan P yang lebih tinggi bila dibanding dengan kompos yang berasal dari kotoran kambing.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 153
Selanjutnya, berdasarkan Tabel 3.2.17 dapat diketahui bahwa kandungan nutrisi feses/kotoran dari beberapa jenis ternak dan kelelawar sangat bervariasi. Kandungan nutrisi pada kotoran guano kelelawar lebih tinggi bila dibandingkan dengan kotoran ayam dan kambing, terutama pada kandungan phosphatnya. Kotoran kambing mempunyai kandungan nutrisi nitrogen dan kalium lebih besar daripada kotoran ayam. Kandungan nutrisi ini berbeda dengan hasil pembuatan kompos pada Tabel 3.2.16 yang mana kandungan nitrogen, phosphat dan kalium pada kompos ayam lebih besar daripada nutrisi yang terdapat pada kompos kambing. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pakan ternak atau proses pengomposan. Tabel 3.2.17 Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan Jenis hewan Nitrogen Ayam 3.6 Sapi potong 2.0 Sapi perah 3.3 Bebek 2.6 Kambing 4.0 Guano kelelawar 5.7 Kuda 2.5 Manusia 2 Babi 2.8 Burung merpati 6.5 Kelinci 4.8 Domba 3.5 Kalkun 5 Sumber : http.www.css.Cornell,educ.Fertilizer analisis.pdf.
P (P2O5) 1.3 0.65 0.35 0.8 0.61 8.6 0.25 1 1 2.4 2.8 0.55 0.6
K (K2O) 1.3 1.6 2.0 0.5 2.8 2.0 0.8 0.2 1.2 2.5 1.2 1 0.8
2) Penyiapan lahan untuk aplikasi kompos Kegiatan penyiapan lahan dimulai dengan pengukuran lahan dan pembersihan lahan dari gulma dan semak belukar. Pembangunan uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam ini mempunyai luasan sekitar 0,5 ha yang dibagi dalam 3 blok sebagai ulangan. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan/pembagian plot (perlakuan) pada masing-masing blok dengan perlakuan setiap plot yang diterapkan yaitu kontrol (tanpa kompos), kompos kelelawar, kompos ayam dan kompos kambing. Masingmasing aplikasi kompos dilakukan terhadap lubang tanam dengan kedalaman 15 154 | S i n t e s i s R P I
cm, 25 cm dan 35 cm. Setiap kedalaman lubang tanam diberi warna ajir tersendiri, yaitu warna ajir biru untuk kedalaman lubang tanam 15 cm, warna putih untuk kedalaman 25 cm dan warna merah untuk kedalaman 35 cm. Pemberian warna ajir juga dilakukan pada tiap jenis kompos. Pengecatan warna ajir untuk kompos dilakukan di bawah warna kedalaman sehingga setiap ajir mempunyai 2 garis warna yang berbeda. Ajir dicat warna kuning untuk kompos kambing, hijau untuk kompos ayam, oranye untuk kompos kelelawar dan kontrol tidak diberi warna. 3) Penanaman Penanaman dilakukan saat musim penghujan sesuai dengan rancangan penanaman. Kegiatan penanaman dimulai dengan pengangkutan bibit menuju lokasi penananaman. Setelah itu kemudian dilakukan pengeceran bibit sesuai dengan warna ajir yang sudah ditentukan. Kegiatan selanjutnya merupakan pemberian hidrogel dan kompos sesuai dengan jenis yang telah ditentukan ke dalam lubang tanam. Bibit ditanam dengan tegak dan kokoh agar bisa bertahan dari tiupan angin. Penanaman yang dilakukan pada awal musim hujan dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan air. 4) Pemeliharaan Pemeliharaan pertama dilakukan saat tanaman berumur 1 bulan. Pemeliharaan ini termasuk mengganti (menyulam) tanaman yang telah mati. Selain penyulaman, pembersihan gulma atau rumput di sekitar tanaman juga dilakukan. 5) Pengambilan data pertumbuhan Pengukuran dilakukan terhadap tinggi dan diameter tanaman yang dimulai pertama kali pada saat tanaman berumur 1 bulan. Pengukuran tinggi dilakukan dari pangkal batang sampai dengan ujung tajuk tanaman, sedangkan pengukuran diameter dilakukan pada bagian batang dan diberi tanda untuk memudahkan pengukuran selanjutnya. Hal ini penting sebagai patokan pada pengukuran diameter selanjutnya agar data yang dihasilkan lebih akurat. Saat pengukuran juga dilakukan pengecekan pada tiap tanaman untuk mengetahui jumlah tanaman yang hidup dan keberhasilan penanaman. Hasil pengukuran awal terhadap tinggi dan diameter tanaman umur 1 bulan pada pengujian jenis kompos tersaji pada Tabel 3.2.18. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 155
Berdasarkan tabel tersebut, pertumbuhan awal tanaman nyamplung tertinggi dengan tinggi rerata 88,9 cm pada kontrol (tanpa kompos) dengan kedalaman 25 cm dan diameter terbesar diperoleh pada jenis kompos kelelawar pada kedalaman 35 cm dengan diameter rerata 5,33 mm. Berdasarkan hasil analisa tanah dan data lingkungan sebelumnya, lokasi penelitian mempunyai unsur hara yang rendah (Prasetyawati, 2010) sehingga ada kemungkinan tanaman akan tumbuh secara tidak optimal. Tanaman akan tumbuh dengan optimal bila tercukupi kebutuhan akan unsur hara dan berada dalam kondisi yang sesuai dengan habitatnya. Salah satu usaha untuk menambah unsur hara dalam tanah adalah dengan pemupukan, baik menggunakan pupuk kimia maupun pupuk organik [yang biasa disebut dengan kompos]. Pada penelitian ini, pupuk kompos digunakan karena mempunyai banyak keunggulan, antara lain tidak merusak tanah, tidak menurunkan pH tanah, dan fungsi kompos menggemburkan tanah. Kandungan hara kompos menetap pada tanah dan tidak terlarut air sehingga dosis penggunaan pada masa musim penanaman berikutnya kemungkinan besar dapat diturunkan, tergantung pada sifat tanah dan pengisapan hara oleh tanaman (Artaji, 2011). Tabel 3.2.18 Data pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman umur 1 bulan setelah penanaman pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Tinggi (cm) Blok 1
Blok 2
Blok 3
KT 15 KT 25 KT 35 KB 15 KB 25 KB 35 AY 15
34,9 29,9 27,2 26,7 26,2 25,4 21,1
25,5 31 25,5 22,6 27,8 30,2 30,2
27,3 28 24,6 26,3 26 29,6 28
AY 25 AY 35 KL 15 KL 25 KL 35
25,5 21 21,4 26,3 28,6
30,4 25,1 24,6 25 28,9
26,4 28,6 24,2 25,2 17,2
Rerata
Diameter (mm)
Rerata
Blok 1
Blok 2
Blok 3
87,7 88,9 77,3 75,6 80 85,2 79,3
6,1 5,6 4,9 5,1 5 5,1 4,4
4,4 5,5 5,4 4,9 5 5,4 5,1
4,6 4,3 4,2 4,5 4,4 4,8 4,9
5,03 5,13 4,83 4,83 4,80 5,10 4,80
82,3 74,7 70,2 76,5 74,7
4,6 4,6 4,8 5,1 5,1
5,4 4,9 4,3 4,5 5,2
4,6 4,9 4,5 4,1 5,7
4,87 4,80 4,53 4,57 5,33
Keterangan: KT = kontrol, KB = kompos kambing, AY = kompos ayam, KL = kompos kelelawar, 15 = kedalaman 15 cm, 25 = kedalaman 25 cm dan 35 = kedalaman 35 cm
156 | S i n t e s i s R P I
Untuk mengetahui pengaruh dari beberapa jenis kompos terhadap pertumbuhan tanaman, data hasil pengukuran setiap 3 bulan dilakukan analisis ANOVA (Tabel 3.2.19). Berdasarkan hasil ANOVA, uji jenis kompos memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Sebaliknya, uji kedalaman lubang tanam tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Interaksi antara kompos dan kedalaman lubang tanam juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada pertumbuhan tanaman pada taraf uji 0,05. Hasil analisis ANOVA ini dilanjutkan lagi dengan uji lanjut DUNCAN (Tabel 3.2.20).
Tabel 3.2.19 Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar Tinggi Diameter Rerata kuadrat F hitung Rerata kuadrat F hitung Kompos 138,528 2,773 * 1,134 0,755 ns Kedalaman 57, 579 1,152 ns 2,536 1,688 ns Blok 399,310 7,992 * 9,611 6,398 * ns Kompos * Kedalaman 51,595 1,033 1,363 0,907 ns Galat 49,963 Keterangan : * berbeda nyata pada taraf uji 0,05; ns tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 Sumber Keragaman
Tabel 3.2.20 Hasil uji lanjut DUNCAN pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar Perlakuan jenis kompos
Rerata pertambahan tinggi (cm)
Rerata pertambahan diameter (mm)
Kotoran kambing 18,06 a 5,1389 a Kotoran kelelawar 21,06 ab 5,3956 a Kontrol 22,89 ab 5,4422 a Kotoran ayam 27,43 b 5,9833 a Keterangan : huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 157
Tabel 3.2.21 Rerata pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam sampai dengan umur periode pengukuran Sumber variasi Jenis kompos : - Kotoran ayam - Kotoran kambing - Kotoran kelelawar - Kontrol (tanpa kompos) Kedalaman lubang tanam : - 15 cm - 25 cm - 35 cm
Tinggi (cm)
Diameter (mm)
3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 2,63 a 2,73 a 2,56 a 2,56 a
11,24 a 9,41 a 9,87 a 10,80 a
21,25 a 17,08 a 18,84 a 20,55 a
27,43 b 18,06 a 21,06 ab 22,89 ab
1,30 a 1,24 a 1,31 a 1,42 a
2,66 a 2,28 a 4,01 a 2,65 a
4,50 a 4,44 a 4,44 a 4,72 a
5,98 a 5,14 a 5,39 a 5,44 a
2,39 a 2,45 a 3,00 a
8,69 a 16,47 a 20,01 a 11,52 b 21,52 b 24,34 a 10,78ab 20,29 ab 22,74 a
1,22 a 1,36 a 1,37 a
3,33 a 2,62 a 2,74 a
3,97 a 4,61ab 4,99 b
4,96 a 5,76 a 5,75 a
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
Pada Tabel 3.2.20 dan Tabel 3.2.21 tersaji bahwa pertambahan paling tinggi sampai dengan umur 12 bulan adalah tanaman dengan aplikasi kompos dari kotoran ayam dengan pertambahan tinggi 27,43 cm. Aplikasi dengan kompos kotoran kambing memberikan pertambahan tinggi 18,06 cm paling rendah dibanding perlakuan yang lain. Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak. Kualitas pupuk kandang sangat tergantung pada jenis ternak, kualitas pakan ternak, dan cara penampungan pupuk kandang. Pupuk kandang dari ayam atau unggas memiliki unsur hara yang lebih besar daripada jenis ternak lain. Penyebabnya adalah kotoran padat pada unggas tercampur dengan kotoran cairnya (Anonim, 2011). Umumnya, kandungan unsur hara pada urin selalu lebih tinggi daripada kotoran padat. Pertambahan diameter tanaman memberikan hasil yang tidak signifikan dari beberapa jenis kompos yang diaplikasikan, namun kompos dengan kotoran ayam memberikan pertambahan diameter yang paling besar (5,98 mm). Sebaliknya, aplikasi jenis kompos dengan kotoran kambing memberikan pertambahan diameter paling rendah, yaitu 5,14 mm. Namun demikian, perbedaan pertambahan diameter antara perlakuan sangat kecil sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
158 | S i n t e s i s R P I
Selain itu, aplikasi jenis kompos tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pertambahan diameter tanaman pada beberapa periode umur tanaman. Pengaruh perbedaan kedalaman lubang tanam pada pertambahan diameter terjadi pada saat tanaman berumur 9 bulan di lapangan. Aplikasi jenis kompos memberikan pertambahan tinggi tanaman yang berbeda nyata setelah tanaman berumur 12 bulan di lapangan. Kedalaman lubang tanam memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada saat tanaman berumur 6 dan 9 bulan di lapangan. Pada saat tanaman berumur 3 bulan, pengaruh perlakuan belum terlihat memberikan hasil yang berbeda nyata baik pada aplikasi jenis kompos maupun kedalaman lubang tanam. Kedalaman lubang tanam yang memberikan hasil pertumbuhan tanaman nyamplung terbaik pada kedalaman 25 cm. Kondisi tapak di lokasi penelitian pada Pantai Barat Selayar mempunyai tekstur tanah lempung berdebu dan bercampur dengan batuan karang yang tersebar tidak merata. Hal ini tentu saja memengaruhi pertumbuhan perakaran tanaman. Berdasarkan data pada Tabel 3.2.21, kedalaman 15 cm dan 35 cm memberikan hasil pertambahan tinggi tanaman yang kurang optimal. Hal ini diduga karena pada kedalaman perakaran 15 cm tanah, akar tanaman sulit untuk berkembang pada kondisi tapak yang ada; sedangkan pada kedalaman 35 cm, akar tanaman belum mampu menjangkau kompos yang diberikan [pada saat tanaman berumur 6 dan 9 bulan]. Setelah tanaman beradaptasi dengan lingkungan dan perakaran mampu tumbuh dan berkembang dengan baik [pada saat tanaman berumur 12 bulan], pengaruh kedalaman lubang tanam memberikan hasil yang sama dan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Pertumbuhan tanaman pada tiap periode pengukuran tersaji pada Gambar 3.2.11. Pada grafik yang ada terlihat bahwa rerata pertumbuhan tanaman meningkat cukup baik pada tiap periode umur tanaman. Namun pada saat umur tanaman 12 bulan, ada beberapa perlakuan yang mengalami penurunan rerata pertumbuhan. Hal ini disebabkan adanya beberapa tanaman nyamplung yang mati pada saat musim kemarau dan tanaman tersebut lebih tinggi bila dibanding tanaman yang lain [pada perlakuan yang sama] sehingga membuat penurunan rerata tinggi pada umur 12 bulan. Diameter tanaman juga memiliki trend pertumbuhan yang bagus; rerata diameter tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Bila P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 159
pada pertumbuhan tinggi beberapa perlakuan mengalami penurunan rerata, pada pertumbuhan diameter ini semua perlakuan mengalami peningkatan rerata diameter sampai dengan umur 12 bulan. Pada Gambar 3.2.12 tersaji salah satu nyamplung yang mempunyai pertumbuhan bagus pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam. Tanaman nyamplung yang mempunyai daya adaptasi dan kemampuan yang baik dalam menghadapi musim kemarau akan mampu tumbuh dengan optimal dan pertumbuhannya cepat.
Keterangan :
AY = kompos kotoran ayam, KB = kompos kotoran kambing, KL = kompos kotoran kelelawar, KT = tanpa kompos (kontrol) ; Kedalaman lubang tanam : 15 cm, 25 cm dan 35 cm
Gambar 3.2.11 Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam
Gambar 3.2.12 Tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus 160 | S i n t e s i s R P I
3.2.2.3 Penanaman di Pulau Talise dan Pulau Gangga (Sulawesi Utara) Kegiatan penelitian dilaksanakan di Pulau Talise dan Pulau Gangga yang termasuk dalam Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi plot penelitian sebanyak 6 plot: 1) daratan kebun Desa Air Banua, 2) kawasan mangrove lokasi sumber benih Dusun Wawunian, 3) Pantai petak 45, 4). Pantai Desa Air Banua, 5) Pantai Desa Tambun dan 6) Pantai Desa Gangga I. Adapun karakteristik masing-masing plot disajikan dalam Tabel 3.2.22. Tabel 3.2.22 Karakteristik lokasi penelitian No
Lokasi
Karaktersitik
1
Kebun air Banua
Daratan yang tidak terkena air laut samasekali, pengairan air hujan dan air sungai, ketinggian 25 mdpl, jarak dari pantai 315 meter
2
Wawunian
Merupakan ekosistem sumber benih mangrove, lokasi ini berlumpur dalam karena hasil abrasi berat yang mengurangi bibir pantai hingga 70 meter, frekuensi pasang mencapai 40 kali/bulan, Ketebalan hutan mangrove sekitar 100 hingga 150 meter dan penempatan plot berada pada 50 meter di bibir pantai sehingga ombak yang masuk mengalami peredaman oleh akar mangrove. Pada lokasi ini juga sedang dilakukan rehabilitasi mangrove oleh Dinas setempat.
3
Petak 45
Merupakan pantai yang terbuka, sehingga ombak datang dengan sangat kuat, pada daerah ini memiliki lumpur yang dangkal dan berpasir, padang lamun pada lokasi ini cukup luas hingga + 70 meter ke muka, lokasi ini terdapat 2 Sonneratia alba dengan tinggi mencapai + 20 meter, banyak ditumbuhi Avicennia maritime.
4
Pantai Air Banua
Merupakan pantai pasir berkarang, yang belum pernah ada mangrove sebelumnya,padang lamun tidak ada, terdapat sungai kecil yang mengalir,
5
Pantai Tambun
Merupakan lokasi bermangrove dengan tebal + 20 – 40 meter didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Lokasi ini berada diantara tiga pulau, sehingga ombak datang tidak sekuat pada lokasi lainnya, lumpur hampir tidak ada, tanah didominasi oleh serpihan kerang berwarna putih, tidak terdapat muara sungai
6
Pantai Gangga I
Pada lokasi ini merupakan lokasi yang memiliki hamparan padang lamun paling luas sekitar 150 meter kedepan bibir pantai. Lokasi ini merupakan ekosistem hutan mangrove yang tipis + 10 hingga 30 meter.
Pengamatan karakteristik perairan diperoleh dari pengamatan harian gelombang pasang surut. Hasil analisis pada Tabel 3.2.23 menunjukkan bahwa setiap lokasi memiliki karakteristik perairan yang berbeda. Kandungan C organik dan P dari tanah daratan akan mengalami penurunan kadar setelah 4 bulan ditanam di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa C dan P dalam tanah daratan tidak mendapat suplai dari tanah mangrove sehingga tingkat kesuburan dan produktivitas P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 161
lokasi mangrove masih rendah. Lokasi Wawunian memiliki kadar C dan P tertinggi yang didapat pada tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kesuburan dan produktivitas ekosistem meningkat seiring tingkat ketebalan ekosistem mangrove. Tabel 3.2.23 Kandungan kimia tanah mangrove di lokasi penelitian Tanah Tambun Tambun Delta Persemaian I Persemaian II Wawunia I Wawunia II Wawunian Delta Gangga Gangga Delta Serawet Air Banua petak 45
a.
Kandungan pH (H2O) pH (KCl) 8.2 8.07 7.71 7.54 6.81 5.37 6.41 5.74 8.04 8 8.04 7.98 6.66 6.33 8.04 7.94 6.18 5.7 5.53 4.2 8.2 8.01 8.32 8.06
% KA 5.65 8.01 9.01 7.8 4.54 6.5 8.62 8.59 8.21 4.85 1.75 4.55
N% 0.05 0.13 0.04 0.14 0.06 0.08 0.16 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01
P (ppm) 166.3 308.6 155.8 40.5 15.7 32 49 40 57 133.5 144.5 47
K% 0.01 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01
C organik % 0.84 3.26 2.83 5.08 3.16 3.16 3.74 3.52 3.03 3.95 0.21 0.65
Sumber Materi Penanaman Identifikasi sumber benih dilakukan di Plot penelitian Wawunian yang mana
memiliki ketebalan mangrove paling luas. Penelitian dilakukan dengan mengukur tinggi, diameter dan perkiraan jumlah buah yang ada di pohon. Luas lokasi sumber benih ±15 ha, sedangkan sampling plot yang dibuat seluas 1 ha sebanyak 3 ulangan. Hasil analisis indeks nilai penting dan jumlah perkiraan buah ditunjukkan pada Tabel 3.2.24. Potensi sumber benih ini telah diusulkan untuk disertifikasi dan telah mendapat sertifikasi sebagai sumber benih mangrove teridentifikasi oleh BPTH Makasar dengan nomor 37/BPTH.Sul-2/2012 tertanggal 11 Juni 2012 dikelola oleh kelompok tani SUAKE. Tabel 3.2.24 Hasil analisa indeks nilai penting dan perkiraan jumlah benih di Pulau Talise (Minahasa Utara, Sulawesi Utara) Jenis tegakan
FR
KR
DR
INP
Produksi / ha
Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora mucronata Soneratia alba
33% 33% 33%
39% 56% 6%
57% 26% 17%
129% 115% 56%
1,963 3,210 283
162 | S i n t e s i s R P I
N/ ha 28 41 4
Kisaran produksi buah 5,890 9,630 850
Selain ketiga jenis di atas, Pulau Talise dihuni sedikitnya 8 jenis mangrove dan vegetasi pantai yang tersebar dalam jumlah sedikit di beberapa lokasi. Jenisjenis tersebut antara lain Aegiceras sp, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia alba dan Terminalia catappa.
a)
b)
Gambar 3.2.13 Lokasi sumber benih mangrove Blok Wawunian (a) dan pemanenan buah R. mucronata oleh Kelompok Tani SUAKE (b)
a
b
c Gambar 3.2.14. Dua propagul dengan tingkat kematangan berbeda (a. Propagul masak dan berkualitas baik; b. Propagul belum masak dan kurang berkualitas) dan pengukuran dimensi (c) P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 163
Bibit tanaman berkualitas didapat dari tegakan yang berkualitas dan benih yang berkualitas pula sehingga sejak pemilihan benih harus diketahui karakter kematangan buah, buah atau biji yang baik. Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis mangrove bertipe buah vivipar yaitu berkecambah sejak di pohon. Buah yang tua ditandai dengan adanya cincin berwarna kuning kehijauan dan warna buah hijau tua serta kotiledon kemerah-merahan. Pada saat matang, panjang buah berkisar antara 50–90 cm. Hasil pengukuran benih yang didapat dari sumber benih di Blok Wawunian memiliki dimensi rata-rata panjang 74,35 cm dengan kisaran 58–97 cm. Gambar 3.2.14 menunjukkan perbedaan tingkat kematangan buah. Kualitas benih juga dapat dikontrol dengan merendam, bila bibt (tongke) bagian pangkal tenggelam berarti dalam kondisi berkualitas tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak semua buah yang jatuh ke air tenggelam karena buah mudapun tidak sedikit yang jatuh. b.
Perlakuan dan Pembibitan di Persemaian Setelah dilakukan koleksi dan seleksi propagul, buah diukur dimensinya dan
dipilih random sesuai faktor perlakuan yang diterapkan dan pembibitan. Pembibitan dipersemaian dilakukan di empat lokasi yang memiliki frekuensi genangan dan arus berbeda-beda, yaitu kebun Air Banua (M3), Wawunian (M1), Tambun (M2) dan Petak 45 (M4). Bibit dipilih berdasar tingkat kematangan yaitu matang dipohon dan matang yang telah jatuh di air. Bibit ditanam menggunakan 3 variasi kedalaman yaitu ½ panjang propagul (50%), 1/3 panjang propagul (33%) dan ¼ panjang propagul (25%). Jumlah bibit yang ditanam permasing-masing kombinasi perlakuan yaitu 30 batang sehingga total tanaman sebanyak 720 tanaman. Pada penelitian ini juga dibuat persemaian pembanding persen jadi tanaman ketika nanti ditanam di lapangan dengan menyiapkan tanaman dalam polybag 10x15 cm yang dilakukan di Desa Serawet (bukan pulau kecil) yang mana penyiraman menggunakan air laut dengan disiramkan dan dikerjakan oleh orang yang telah lama menangani proyek rehabilitasi mangrove. Pengamatan juga dilakukan secara intensif dengan menanam propagul di sekitar area kantor menggunakan propagul muda dan propagul tua menggunakan media tanah berpasir menggunakan polybag plastik es 1 kg sebanyak 30 buah.
164 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.2.25 Pengaruh faktor perlakuan terhadap karakter tanaman mangrove setelah umur 6 bulan di persemaian Lokasi
Wawunian
Petak 45
Tambun
Kebun
Rata-rata
Parameter
Kedalaman tanam
Rata-rata
50%
33%
25%
Tinggi
34.2
38.3
36.1
N daun % jadi Tinggi N daun % jadi Tinggi N daun
4.5 58% 3.7 0.4 10% 22.0 4.1
4.5 82% 2.0 0.3 7% 27.0 4.0
4.0 77% 3.3 0.3 7% 23.2 3.7
% jadi Tinggi N daun % jadi Tinggi N daun % jadi
83% 11.61 2.32 100% 19.97 3.00 51%
88% 1.95 1.95 97% 22.45 2.92 59%
75% 5.58 1.39 95% 20.86 2.66 53%
Tinggi
N daun
% jadi
36.2
4.4
72%
3.0
0.3
8%
24.1
3.9
82%
6.4
1.9
97%
Berdasarkan Tabel 3.2.25 tersebut nampak keberhasilan tanaman persemaian tertinggi dilakukan di kebun masyarakat yang tidak terkena passang surut air laut dan mampu tumbuh mencapai 97%. Namun, tinggi dan fenotip tanaman menunjukan adanya kelainan yaitu daun lebih kecil dan tidak sehijau yang ditanam terkena air pasang surut. Tinggi tanaman tertinggi didapatkan dari persemaian yang berada di Wawunian. Hasil ujicoba ini dapat menjelaskan hubungan tempat tumbuh dan keberhasilan tanaman persemaian. Yaitu semakain tenang tempat tumbuh keberhasilan tanaman untuk jadi tanaman lebih tinggi akan tetapi R. Mucronata tidak tumbuh optimal dibandingkan di tempat asal atau di sekitar sumber benih sebagai habitat aslinya. Namun, dugaan ini harus dibuktikan dengan analisa keragaman faktor sehingga akan lebih dipercaya. Rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3.2.26.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 165
Tabel 3.2.26 Rata-rata pertambahan tinggi tanaman setelah 6 bulan Faktor Variasi Perlakuan
M1
T1 T2 T3
36.87 42.44 35.16
Rata-rata
A1
M1
M2
A2 M3
4.43 1.29 2.28 5.08 1.03 4.73 15.96 31.72 M2
M4
M1
M2
22.54 16.51 19.17
27.37 25.06 23.43
2.24
M3
M3
1.26 1.49 0.47 2.58 3.99 7.45 12.52 3.77 M4
M4 17.00 22.15 17.98 19.23
Rata-rata 14.03 14.57 14.12 14.24
Pada penelitian ini didapatkan kombinasi perlakuan sebanyak 24. Berdasarkan Tabel 3.2.26 diketahui bahwa hasil pertumbuhan tertinggi didapatkan dari perlakuan A1M1T1 atau tanaman berasal dari buah matang jatuh yang ditanam di Wawunian dengan kedalaman 33% (propagul tua mencapai 42,44 cm), sedangkan pertambahan terendah A2M2T2 atau tanaman berasal dari buah matang pohon yang ditanam di pantai petak 45 dengan kedalaman tanam 33%. Untuk mengetahui lebih dalam perbedaan hasil tanaman, data tinggi ini diuji beda nyata menggunakan uji analisis univariate SPSS 16 sebagaimana ditunjukan pada Tabel 3.2.27. Tabel 3.2.27 Hasil analis keragaman menggunakan metode unvariate SPSS 16 for Windows pada tinggi tanaman persemaian umur 6 bulan. Jumlah Kuadrat Corrected Model 131242.591a Intercept 202062.187 Kedalaman 1802.575 Lokasi 95829.118 Kematangan 5472.328 Kedalaman * Lokasi 9755.401 Kedalaman * kematangan 444.373 Lokasi * kematangan 9876.319 Kedalaman * Lokasi * kematangan 1963.507 Error 109513.008 Total 240755.599 a. R Squared = .545 (Adjusted R Squared = .513)
Db Kuadrat Tengah 47 2792.396 1 202062.187 2 901.287 3 31943.039 1 5472.328 6 1625.900 2 222.187 3 3292.106 6 327.251 696 162.966 719
F 17.135 1.240E3 5.531 196.011 33.580 9.977 1.363 20.201 2.008
Sig. .000 .000 .004 .000 .000 .000 .256 .000 .062
Hasil analisa sumber keragaman pada parameter tinggi menunjukkan bahwa faktor tingkat kematangan (A), media semai (M), dan kedalaman penanaman propagul (T) mempengaruhi secara nyata terhadap variasi tinggi tanaman semai. 166 | S i n t e s i s R P I
Sementara itu, interaksi atau kombinasi perlakuan lokasi dan tingkat kematangan menunjukan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi. Pertumbuhan semai propagul akan lebih menarik bila diketahui pertamabahan tingginya dalam periode yang lebih singkat, sehingga akan nampak sebuah grafik pertumbuhan. Karakter pertumbuhan pada penelitian ini didapatkan dari hasil pengamatan semai yang ditanam di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado, pengamatan dilakukan seminggu sekali terhadap tinggi kuncup dan terlihat grafik pertumbuhan.
Gambar 3.2.15 Grafik pertumbuhan semai (A s/d N masak pohon dan AA s/d NN masak jatuh)
Gambar 3.2.15 merupakan hasil pengukuran masing-masing sampel yang telah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tanaman berasal dari propagul masak pohon (masih ada kotiledon) dan masak jatuh di air (tanpa kotiledon). Tanaman yang berasal dari hasil pemanenan dan masih terdapat hipokotil mengalami pertumbuhan lambat. Hingga minggu ke-3 setelah lepas kotiledon, pertumbuhannya menjadi relatif drastis dan hampir menyamai pertumbuhan tinggi pada semai yang berasal buah matang jatuh. Wawunian sebagai lokasi sumber benih memiliki karakteristik yang paling baik terhadap laju pertumbuhan tinggi tanaman. Grafik tanaman dipersemaian lapangan ditunjukkan pada Gambar 3.2.16. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 167
Gambar 3.2.16 Rata-rata laju pertumbuhan tinggi tanaman persemain Persen jadi tanaman diperoleh dari penghitungan jumlah tanaman yang masih hidup setelah 3 bulan tanam di setiap lokasi pengamatan. Persen jadi ini menggunakan bibit pembanding yang dibuat di Serawet. Persen jadi tanaman berkisar antara 39–73% dengan lokasi terbaik berada di Dusun Wawunian (73%). Dusun ini merupakan sumber benih mangrove dengan karakteristik tanah berlumpur tebal. Namun jika dibandingkan dengan persen jadi tanaman di persemaian, angka yang dicapai menurun dibandingkan tanaman persemaian. Persen jadi tanaman di Petak 45 mengalami kenaikan (39%) dibandingkan dengan tanaman persemaian. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman berpolybag lebih kuat menahan ombak dibandingkan tanaman yang ditanam langsung menggunakan propagul atau tongke. Lokasi penanaman di Pantai Desa Air Banua memiliki persen hidup yang cukup baik (61%) dan nilainya sama seperti di Pantai Ganga. Padahal, pantai ini merupakan pantai berkarang pasir dan belum pernah ada tanaman mangrove. Sementara itu, Tambun merupakan lokasi yang memiliki persen jadi tertinggi ke-2 (66%) setelah Wawunian. c.
Uji Coba Penanaman Beberapa Jenis Mangrove Uji coba beberapa jenis tanaman ini dilakukan dengan maksud untuk
mendukung basis data dalam upaya mendorong perubahan peraturan tentang rehabilitasi mangrove yang selama ini banyak mengalami kegagalan. Penelitian menggunakan 6 jenis mangrove: R. mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia
168 | S i n t e s i s R P I
alba, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriop tagal, dan Nipah frutican untuk mengetahui hubungan lokasi rehabiltasi dengan jenis dan umur pertumbuhan, sebagaimana hasil Tabel 3.2.28. Tabel 3.2.28 Hasil penelitian uji coba 6 jenis tanaman mangrove di 4 lokasi pada umur 4 bulan tanam No.
Jenis Tanaman
Persen jadi tanaman di lapangan (lokasi) Tambun
Wawunian
Petak 45
Gangga
1. 2. 3.
Ceriop tagal besar Ceriop tagal kecil Bruguiera gymnorrhiza besar
57% 57% 80%
70% 70% 70%
30% 50% 0%
50% 23% 73%
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bruguiera gymnorrhiza kecil Rhizophora apiculata besar Rhizophora apiculata kecil Rhizophora mucronata besar Rhizophora mucrionata kecil Nypah frutican Sonneratia alba
60% 77% 27% 23% 27%
80% 87% 77% 43% 67%
40% 53% 27% 30% 17%
50% 67% 23% 83% 53%
0% < 5%
11. Avicennia alba 0% Keterangan : Besar = tanaman memiliki daun lebih dari 4 helai, Kecil = tanaman memiliki daun 2 helai umur sekitar 2 bulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap lokasi memengaruhi keberhasilan setiap jenis tanaman. Lokasi Wawunian memiliki nilai yang tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Petak 45 merupakan lokasi yang mendapat hempasan ombak paling kuat. Pada penanaman pertama yang dilakukan dengan arah searah garis pantai berjarak tanaman 1x0,5 m mengalami kegagalan hingga 92% setelah berumur 2 bulan tanam. Kegagalan ini dipastikan disebabkan oleh ombak dengan ditemukannya beberapa tanaman patah dan tanaman beserta patok hilang dari lokasi penanaman. Pada lokasi ini dilakukan penanaman kembali dengan beberapa metode penamanan: menggunakan arah jalur tanam, penanaman soliter, komunal, pemagaran, menggunakan bibit tanaman hasil persemaian dan propagul. Namun, penanaman masih mengalami kegagalan. Persentase hidup pada umur 4 bulan diketahui sebagai berikut :
Penanaman menggunakan propagul ditali pada pancang memiliki persen jadi sebesar 8%.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 169
Penanaman mengumpul pada satu titik memiliki persen jadi sebesar 16%.,
Teknik penanaman dengan jarak 50x50 cm tegak lurus garis pantai memberikan keberhasilan 50%.
Teknik penanaman dengan jarak 50x150 cm dan tegak lurus garis pantai memberikan keberhasilan 91%.
Teknik penanaman pada akar-akar napas Sonneratia alba memberikan keberhasilan 100%.
Penanaman menggunakan bibit hasil persemaian memberikan keberhasilan 39%.
Penanaman menggunakan beberapa bibit dan variasi umur sebagaimana Tabel 3.2.28 pada kolom Petak 45. Penanaman propagul yang diikat pada akar napas S. alba memiliki
persentase hingga 100%. Dari hasil ini diketahui bahwa pada lokasi berombak keras yang dibutuhkan adalah media tancap yang kuat menancap sehingga akan diperoleh keberhasilan yang tinggi. Namun, akar napas S. alba hanya ada pada beberapa lokasi saja, sedangkan pada lokasi yang kosong perlu dikembangkan teknik yang mampu menahan hempasan ombak kuat. Hal ini terkait dengan kondisi Sulawesi Utara yang memiliki banyak pulau kecil. Selain keempat lokasi pada Tabel 3.2.28, lokasi Air Banua [lokasi berkarang dan berpasir] menunjukkan keberhasilan tanaman ujicoba. Dari total 23 tanaman dari berbagai jenis, hasil yang didapatkan adalah sebanyak 61% berhasil tumbuh yang terdiri atas C. tagal (3 tanaman), R. apiculata (10 tanaman) dan R. mucronata (1 tanaman). Metode penanamannya dengan melakukan penggalian karang hingga polybag dapat masuk di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa karang pun dapat ditanami, namun penelitian ini masih harus dipantau karena sampai umur berapa tanaman ini mampu untuk bertahan hidup pada areal yang bukan ekosistemnya. d.
Hama dan Penyakit Tanaman Rehabilitasi Mangrove di P. Talise Inventarisasi hama penyakit pengganggu tanaman mangrove dilakukan
dengan meilhat langsung tanaman, kemudian mendokumentasikan semua gejala dan hama yang dijumpai saat pengamatan. Beberapa hama perusak tanaman muda 170 | S i n t e s i s R P I
mangrove yang telah diketahui antara lain keong, kepiting dan kambing. Hasil dokumentasi seperti pada Gambar 3.2.17.
Gambar 3.2.17 Foto-foto tanaman yang rusak oleh berbagai faktor dan beberapa hama pengerusak tanaman
Sampah yang terbawa oleh arus juga dapat menyebabkan kerusakan tanaman. Beberapa tanaman diketahui patah, daun menjadi lengket dan menyatu sehingga mengurangi fotosintesis, serta sebagian tanaman lainnya menjadi kering. Keringnya daun dan batang beberapa tanaman rehabilitasi kemungkinan besar karena pengaruh perakaran yang belum kuat dan mengalami goncangan. Hal ini nampak dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap bibit cabutan Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza dengan hasil yang diperoleh setelah 2 bulan: daun menjadi kering, batang keriput dan kering. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 171
3.3
Status Potensi dan Nilai Manfaat Mangrove dan Ekosistem Pantai Seperti halnya sumber daya hutan pada umumnya, mangrove juga memiliki
kemanfaatan yang luas. Tentang hal ini, sudah banyak rujukan yang mengungkapkan dengan perincian [yang mungkin] berbeda-beda tetapi pada intinya berkaitan dengan potensi lahan, flora dan fauna mangrove. Kusmana et al. (2005) menyatakan bahwa sumber daya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component. Pemanfaatan pada tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan berkaitan dengan konversi untuk lahan tambak, pertanian dan kolam, selain untuk lahan pariwisata. Dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa dikonversi menjadi lahan tambak dan pertanian dalam proporsi dan pada lokasi yang tepat. Namun demikian, hal tersebut harus sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhnya mangrove dan persyaratan kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang direkomendasikan. Pemanfaatan pada tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component; antara lain flora mangrove dalam skala komersial dapat digunakan sebagai chips (bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp.), penghasil industri papan dan plywood terutama Bruguiera spp. dan Heritiera littoralis, tongkat dan pancang terutama Bruguiera spp., Ceriops spp., Oncosperma sp., dan Rhizophora apiculata, serta kayu bakar dan arang yang berkualitas sangat baik. Secara
konsepsi,
pemanfaatan
mangrove
seperti
di
atas
memang
memungkinkan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahawa pengonversian lahan mangrove dan pemanfaatan kayu mangrove sering dilakukan dengan tidak memerhatikan prinsip kelestarian ekosistem.
Kejadian ini akan berakibat tidak
hanya terhadap rendahnya keanekaragaman jenis satwa yang ada, melainkan juga terhadap penurunan hasil tangkapan ikan laut, sebagaimana hasil penelitian Gunawan (2005) di wilayah KPH Purwakarta. Oleh sebab itu, sintesis terkait potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai pada bagian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran peluang-peluang lainnya yang dapat dikembangkan oleh seluruh pihak sehingga
172 | S i n t e s i s R P I
potensi tersebut memberikan nilai manfaat secara optimal dan berkelanjutan. Termasuk dalam bahasan ini adalah tantangan yang harus dihadapi terutama terkait perubahan tutupan mangrove yang dapat menyebabkan
kehilangan dan
ketidakberlanjutan pemanfaatan tersebut. Selanjutnya, sintesis pada bagian ini akan mengulas beberapa hasil penelitian atau kajian yang telah dilakukan, yaitu potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove, potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai, potensi ekosistem mangrove untuk pengembangan wisata, serta distribusi dan perubahan tutupan mangrove. 3.3.1 Potensi Sumber Pangan Jenis-Jenis Mangrove 3.3.1.1 Potensi Sumber Pangan dari Mangrove dan Prospek Pengembangannya di Ciasem-Pamanukan (Purwakarta, Jawa Barat) a.
Persepsi Masyarakat dan Kemanfaatan Mangrove Kawasan hutan mangrove di KPH Purwakarta dikelompokkan menjadi dua
kriteria, yaitu berhutan seluas 11.998,09 ha (83%) dan tidak berhutan seluas 2.536,99 (17%). Kawasan yang tidak berhutan terdiri atas sawah, pemukiman, lahan sengketa dan lainnya. Meskipun demikian, kurang lebih 55,4% kawasan berhutan mangrove di KPH Purwakarta (6.646,04 ha) dalam kondisi rusak berat, yang dalam pengelompokkannya dimasukkan dalam kriteria kawasan mangrove berhutan kelas III dan IV, sekitar 30,6% (3.669,61 ha) dalam kondisi rusak sedang, atau yang dikatagorikan kelas II, dan hanya sekitar 14% dari kawasan berhutan mangrove (1.682,44 ha) dalam kondisi baik (kelas I). Seluas 11.737,30 ha (sekitar 97,8%) areal kawasan mangrove berhutan di KPH Purwakarta dijadikan areal pertambakan dengan total penggarap sebanyak 3.242 KK, sebagaimana disajikan pada Tabel 3.3.1. Berdasarkan Tabel 3.3.1, pemanfaatan ekosistem mangrove lebih utama untuk usaha pertambakan. Kondisi ini disebabkan pengetahuan dan persepsi masyarakat yang masih terbatas terhadap keberadaan mangrove. Bahkan, hal yang lebih memprihatinkan adalah masyarakat petambak umumnya tidak menyadari bahwa penurunan hasil tangkapan ikan laut berkenaan dengan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan mangrove. Hal ini seperti yang diungkapkan Gunawan (2005) dalam penelitiannya terkait persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove dan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 173
kemanfaatannya. Beberapa hasilnya yang berkaitan dengan persepsi para petambak mengenai mangrove dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bahwa responden memiliki pengetahuan yang beragam tentang manfaat mangrove. Sebagian (60%) menganggap mangrove sebagai pelindung pantai dan pelindung tambak dari abrasi, sebanyak 25% memandang mangrove sebagai sumber kayu bakar yang murah dan mudah didapat ketika harga bahan bakar melambung tinggi, sementara hanya 15% yang menyadari peranan mangrove sebagai pendukung produktivitas perikanan dengan menyediakan tempat perkembangbiakan, asuhan (nursery) atau pemijahan bagi ikan dan udang.
Terkait dengan hasil tangkapan ikan laut, sebanyak 25% menyatakan menurun, 13% menyatakan tetap, dan sebanyak 62% menyatakan tidak tahu. Mereka tidak mengetahui bahwa menurunnya tangkapan ikan laut ada hubungannya dengan hilangnya sebagian besar hutan mangrove di pantai utara (pantura) Pulau Jawa.
Sebagian besar (92,5%) bahkan menyatakan menurunnya
tangkapan ikan laut akibat meningkatnya jumlah nelayan dan sebagian kecil (7,5%) menyatakan akibat lautnya tercemar.
Berkaitan dengan program silvofishery, ternyata 56% menjawab bersedia menanami tambak miliknya dengan mangrove, dan 44% menyatakan tidak bersedia. Mereka yang menyatakan tidak bersedia beralasan karena tanaman mangrove mengurangi luasan tambak, membuat air tambak menjadi keruh, dan menyulitkan pemanenan.
Tabel 3.3.1 Luas hutan mangrove, pertambakan dan penggarap tambak di KPH Purwakarta. BKPH/RPH
Kawasan (ha)
Berhutan (ha)
Tambak (ha)
Penggarap (KK)
Cikiong: 1. Cibuaya
1.583,47
1.348,31
1.294,40
199
2. Cikeuruh
1.463,80
1.456,80
1.342,85
339
3. Ciwaru
1.956,08
1.885,86
1.951,12
282
4. Pakis
1.035,98
849,77
789,43
224
5. Pangakaran
1.455,60
1.197,16
1.326,53
341
Total Cikiong
7.494,93
6.963,12
6.702,33
1.385*
174 | S i n t e s i s R P I
BKPH/RPH
Kawasan (ha)
Berhutan (ha)
Tambak (ha)
Penggarap (KK)
Ciasem: 1. Tegal Tangkil
1.726,00
1.150,05
1.150,05
503
2. Muara Ciasem
1.067,00
936,20
936,20
331
3. Poponcol
2.206,00
1.524,00
1.524,00
627
4. Bobos
2.041,15
1.424,72
1.424,72
396
Total Ciasem
7.040,15
5.034.97
5.034,97
1.857**
14.535,08
11.998,09
11.737,30
3.242
Total KPH
* Berdasar Risalah Kilat II Cianjur 2004 (KPH Purwakarta 2005). ** Berdasar Inventarisasi Pesanggem 2001 BKPH Pemanukan (KPH Purwakarta 2005).
b.
Potensi dan Manfaat Buah Mangrove sebagai Sumber Pangan Selama ini, mangrove umumnya dikenal sebagai sarana perlindungan
terhadap abrasi, lokasi pengambilan kayu/kayu bakar, hingga pencegah penyakit malaria. Letaknya yang berada di garis pantai menjadikan ekosistem ini sebagai daerah sumber resapan air yang potensial. Selain itu, mangrove juga menjadi habitat flora dan fauna yang menambah kaya ekosistem pantai. Sayangnya, kemanfaatan mangrove sebagai sumber pangan langsung belum banyak dikenal orang. Padahal, sejarah mencatat bahwa sejak abad ke-16 kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan telah lebih dulu mengonsumsi hasil mangrove. Masyarakat di pesisir dan sekitar kawasan hutan mangrove telah lama mengonsumsi buah mangrove. Namun, masyarakat umum belum banyak yang memanfaatkannya sebagai sumber pangan alternatif. Penyebabnya adalah karena kurangnya informasi tentang manfaat mangrove sebagai sumber pangan (Septiadi 2010). Pangan adalah bahan makanan yang siap diolah menjadi makanan yang siap dikonsumsi untuk mencukupi kebutuhan tubuh, pertumbuhan, kerja dan perbaikan jaringan tubuh. Makanan sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan keadaan gizi seseorang untuk menunjang aktivitasnya. Ketersediaan pangan tergantung pada lahan yang tersedia, tenaga untuk mengolah lahan, modal dan tingkat pendapatan untuk mengolah maupun membeli pangan, keahlian dan ketrampilan (Djaeni 1999). Dalam upaya untuk lebih mengembangkan potensi pangan mangrove, ada masyarakat yang sudah berusaha memasarkan produk buatannya. Memang masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi: 1) buah ini musiman dan produksinya P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 175
pun tidak rutin; dan 2) belum adanya pihak yang memodali pemasaran produknya sehingga menjadi menghambat produksi dan distribusinya. Sebagai upaya mengenal dan mengetahui manfaat mangrove sebagai sumber pangan, beberapa hasil penelitian telah memberikan data dan informasi kandungan nutrisi buah mangrove. Hasil analisis kandungan zat makanan buah mangrove R. mucronata, S. alba, dan A. marina disajikan pada Tabel 3.3.2. Tabel 3.3.2 Kandungan zat makanan jenis R. mucronata, S. alba, dan A. marina. Parameter
Kandungan Zat Makanan (%w/w) R. mucronata
S. alba
A. marina
Kadar Air
48,34
77,69
76,31
Lemak
0,20
0,08
0,15
Kadar Abu
6,60
5,28
6,26
Karbohidrat
22,78
8,42
15,73
Protein
4,16
3,73
2,49
Serat
18,67
7,5
5,58
Sumber : Hasil analisis Lab. Terpadu IPB 2010.
Dari Tabel 3.3.2 diketahui bahwa kadar air tertinggi terdapat pada jenis S. alba (77,69 %w/w), sementara jenis A. marina nilainya tidak jauh berbeda (76,31 %w/w). Tingginya kadar air buah mangrove sangat terkait dengan sifat semua makhluk hidup yang pasti memiliki ketergantungan terhadap air. Air merupakan zat pelarut yang penting untuk makhluk hidup dan bagian ini adalah penting dalam proses metabolisme. Air berperan sebagai pembawa zat makanan dan sisa-sisa metabolisme.Menurut Winarno (1992), semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik bahan makanan hewani maupun nabati. Kadar lemak terendah terdapat pada jenis S. alba (0,08 %w/w) dan tertinggi pada jenis R. mucronata (0,20 %w/w). Lemak dalam makanan merupakan sumber cadangan makanan dan dijadikan sebagai sumber energi bagi manusia. Jadi, walaupun dalam bahan makanan mengandung kadar lemak, bukan berarti makanan tersebut tidak layak dikonsumsi. Hal ini dikarenakan dalam metabolisme tubuh manusia masih membutuhkan lemak sebagai sumber energi dan cadangan makanan.
176 | S i n t e s i s R P I
Kadar abu tertinggi terdapat pada jenis R. mucronata (6,60 %w/w) dan terendah pada jenis S. alba (5,28 %w/w). Kadar abu merupakan indikator terdapatnya kandungan mineral di dalamnya. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan berupa dua macam garam, yaitu garam organik dan garam anorganik (Sudarmadji et al. 1989). Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada R. mucronata (22,78 %w/w) dan terendah pada jenis S. alba (8,42 %w/w). Menurut Ahira (2011), karbohidrat mempunyai fungsi utama sebagai sumber energi tubuh. Karbohidrat berperan sebagai bahan bakar utama mesin metabolisme tubuh. Oleh sebab itu, jenis R. mucronata sangat memiliki potensi sebagai sumber pangan bagi manusia [jika dilihat dari kandungan karbohidrat]. Untuk parameter protein, kandungan tertinggi terdapat pada R. mucronata (4,16 %w/w) dan terendah pada jenis A. marina (2,49 %w/w). Protein yang terdapat dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh (Poedjiadi 1994). Selain digunakan untuk pembentukan sel-sel tubuh, protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi apabila tubuh kita kekurangan karbohidrat dan lemak. Jenis R. mucronata juga sangat memiliki potensi sebagai sumber pangan bagi manusia jika dilihat dari kandungan protein yang terdapat di dalamnya. Serat kasar tertinggi terdapat pada R. mucronata (18,67 %w/w) dan terendah pada jenis A. marina (5,58 %w/w). Serat kasar tidak sama pengertiannya dengan serat makanan. Menurut Muchtadi (2005), serat kasar adalah senyawa yang biasa dianalisa di laboratorium, yaitu senyawa yang tidak dapat dihidrolisa oleh asam atau alkali. Kadar serat kasar dalam suatu makanan dapat dijadikan indeks kadar serat makanan karena umumnya di dalam serat kasar ditemukan sebanyak 0,2–0,5 bagian jumlah serat makanan. Namun demikian, kandungan serat kasar yang tinggi pada tanaman R. mucronata mengharuskan jenis ini harus diolah dengan higienis dan optimal sehingga dapat tercerna oleh manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa serat merupakan bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna secara enzimatis sehingga bukan sebagai sumber zat makanan.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 177
Berdasarkan kajian di atas, hutan mangrove tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari bahaya angin, abrasi, dan tempat pemijahan biota air; melainkan juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan yang sarat nilai gizi.
Hal ini
menjadi penting ketika harga bahan pangan umum melambung, yang pada akhirnya dapat memengaruhi turunnya konsumsi gizi masyarakat. Dalam kondisi demikian, upaya untuk mencari pengganti sumber pangan yang bernilai gizi perlu dilakukan dan hasil dari hutan mangrove dapat dijadikan salah satu alternatifnya. Mengenai kandungan gizi yang terdapat dalam buah mangrove pun bisa dibilang lengkap. Misalnya, dalam buah api-api (A. marina) terdapat 76,56 gram unsur karbohidrat; 0,9 gram lemak; 4,83 gram protein; dan 18,52 air. Dengan kandungan gizi sebesar itu bisa menjadikan hasil olahan buah mangrove menjadi makanan bergizi dan menyimpan banyak energi. Selain itu, kandungan gizi dalam buah mangrove juga bisa dimanfaatkan untuk mengganti sel-sel yang rusak dan mempertahankan tekanan osmosis dalam darah (Septiadi, 2010). 3.3.1.2 Potensi Perlebahan Madu di Hutan Mangrove Survei kegiatan perlebahan di hutan mangrove dilakukan di empat wilayah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau. Status dan fungsi kawasan serta jenis kegiatan perlebahan yang ada di masing-masing wilayah tertera di Tabel 3.3.3. Tabel 3.3.3 Lokasi dan fungsi kawasan mangrove serta jenis kegiatan perlebahan yang dilakukan masyarakat. No
Lokasi Survei
Provinsi
1.
TN Alas Purwo
Jatim
Luas Hutan Mangrove (Ha) 750
2.
Segara Anakan, Cilacap
Jateng
8.495
Kawasan Konservasi
3.
Ds. Dabong, Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya HPH PT. Kandelia Alam, Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya Ds. Batang Tumu, Kec. Mandah, Kab. Indragiri Hilir
Kalbar
6.570
Kalbar
18.130
Hutan Lindung Hutan Produksi
Pemungutan madu lebah hutan Budidaya Pemungutan madu lebah hutan Budidaya Pemungutan madu lebah hutan Pemungutan madu lebah hutan
Riau
15.015
Hutan Produksi
Pemungutan madu lebah hutan
4. 5.
178 | S i n t e s i s R P I
Fungsi Kawasan Konservasi
Jenis Kegiatan Perlebahan
Hasil survei menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove merupakan habitat bagi lebah hutan (Apis dorsata). Hal ini terlihat dari adanya kegiatan pemungutan madu lebah hutan di semua wilayah yang disurvei, meskipun dengan intensitas dan produktivitas yang berbeda-beda antara lokasi. Kondisi mangrove yang ada di masing-masing kawasan sangat menentukan peran dan fungsinya sebagai habitat lebah hutan, sebagaimana terlihat dari intensitas perjumpaan para pemungut madu hutan dengan sarang lebah hutan pada setiap musim panen. Berdasarkan data yang dihimpun dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat terlihat bahwa jumlah sarang lebah yang dapat ditemukan pada satu musim panen madu berhubungan dengan kondisi hutannya. Di lokasi hutan mangrove yang tingkat kerusakan hutannya relatif kecil, contohnya hutan lindung di Desa Dabong (Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya, Prop. Kalbar) dan hutan TN Alas Purwo (Prop. Jatim), jumlah sarang lebah yang dapat ditemukan lebih banyak dibandingkan dua lokasi lainnya, yaitu Desa Batang Tumu (Kec. Mandah, Kab. Indragiri Hilir, Prop. Riau) dan Desa Ujung Halang (Kab. Cilacap, Prop. Jawa Tengah). Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove di dua lokasi yang terakhir relatif cukup berat, baik karena penebangan resmi dan alih fungsi kawasan seperti yang terjadi di hutan mangrove Desa Batang Tumu, maupun akibat-akibat lainnya seperti halnya yang terjadi di kawasan mangrove Segara Anakan di Cilacap. Tabel
3.3.4
memperlihatkan jumlah sarang lebah hutan yang dapat ditemukan di musim pemanenan madu lebah hutan di masing-masing lokasi. Tabel 3.3.4 Jumlah pemungut madu dan jumlah sarang Apis dorsata yang ditemukan di musim pemanenan madu. No.
Lokasi Penelitian
Jumlah sarang
Jumlah Pemungut Aktif
1.
TN Alas Purwo
3-4
-
2.
Desa Ujung Halang, Cilacap
0-1
1
3.
Desa Dabong, Kalbar
5 - 10
3
4.
Desa Batang Tumu, Riau
1-3
3
Jumlah sarang lebah hutan yang dapat ditemukan pada setiap musim panen madu tersebut di atas tergolong sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah sarang yang terdapat di hutan daratan. Di hutan alam daratan, pada musim panen
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 179
madu dapat ditemukan ratusan sarang lebah hutan di satu kawasan hutan. Bahkan, merupakan hal yang sangat lumrah dijumpai di hutan alam daratan: satu buah pohon ditempati puluhan sarang A. dorsata (Oldroyd & Wongsiri, 2006; Hadisoesilo & Kuntadi, 2007). Perbedaan lainnya yang cukup menonjol pada lebah hutan di hutan mangrove dan di hutan alam daratan, yaitu kebiasaannya membangun sarang. Di hutan mangrove umumnya hanya ditemukan satu sarang di satu pohon, sedangkan di hutan alam daratan kebanyakan beragregasi dalam jumlah banyak di satu pohon. Selain itu, pohon tempat bersarang di hutan mangrove selalu berganti dari musim ke musim, sedangkan di hutan alam daratan cenderung tetap di pohon yang sama. Sedikitnya jumlah sarang lebah hutan yang dapat ditemukan di hutan mangrove menyebabkan tidak ada satu pun orang yang mengkhususkan diri berprofesi sebagai pawang lebah hutan di semua lokasi yang disurvei. Semua responden yang biasa memanen lebah hutan adalah nelayan pencari udang/kepiting di hutan mangrove atau pencari kayu. Sarang lebah biasanya ditemukan tanpa sengaja pada saat mereka menjalankan kegiatan rutin sehari-hari di hutan mangrove. Karena itu, tidak banyak orang yang memiliki keberanian memanen lebah hutan, apalagi berprofesi sebagai pemungut madu hutan seperti halnya di hutan alam daratan. Hasil survei mendapati hanya sejumlah kecil petani nelayan yang memiliki keberanian memanen lebah hutan (Tabel 3.3.4). Pada hutan mangrove, tidak ada kepemilikan sarang lebah sebagaimana halnya di sebagian besar wilayah hutan alam daratan. Karena itu, siapa pun yang menemukan sarang lebah yang sudah berisi madu akan langsung memanennya apabila dia memiliki keberanian. Kalau belum berisi madu, maka dia akan merahasiakan temuannya sambil menunggu beberapa hari sampai tiba masa panen. Dalam hal penemu tidak memiliki cukup keberanian untuk memanen, maka dia akan kerjasama bagi hasil dengan orang lain. a.
Produksi Madu di Hutan Mangrove Keberadaan sarang lebah hutan di hutan mangrove biasanya ditemukan pada
musim kering, sekitar bulan Juni–Juli; dan musim hujan, sekitar Desember–Januari. Pemungut madu umumnya menyebut panen madu di bulan Desember–Januari sebagai musim pemanenan madu hutan. Hal ini dikarenakan peluang menemukan 180 | S i n t e s i s R P I
sarang lebah di bulan itu relatif lebih tinggi dibandingkan pada masa panen bulan Juni-Juli. Jumlah produksi yang dapat diperoleh dari setiap sarang pada masa itu juga lebih banyak. Jumlah rata-rata produksi madu per koloni pada dua musim panen lebah hutan di masing-masing lokasi tertera di Tabel 3.3.5. Tabel 3.3.5 Jumlah rata-rata produksi madu per koloni lebah hutan No.
Lokasi Penelitian
Produksi bulan Jun-Jul (kg)
Produksi bulan Des-Jan (kg)
1.
TN Alas Purwo
-
1-5
2.
Desa Ujung Halang, Cilacap
-
2-4
3.
Desa Dabong, Kalbar
2-4
5–8
4.
Desa Batang Tumu, Riau
1-2
2–5
Jumlah rata-rata produksi madu per koloni lebah hutan di hutan mangrove jauh lebih kecil dibandingkan jumlah rata-rata produksi madu di hutan alam daratan yang dapat mencapai 10–15 kg per sarang (Hadisoesilo & Kuntadi, 2007). Dengan jumlah sarang yang juga jauh lebih sedikit di setiap musim pemanenan, total produksi madu yang dapat diperoleh dari kawasan mangrove di semua lokasi yang disurvei tergolong sangat kecil. Dengan harga jual rata-rata Rp50.000/botol, bagi perseorangan yang beruntung menemukan sarang lebah dan mendapatkan madunya, hasil penjualan dapat memberikan tambahan penghasilan. Namun, tambahan penghasilan tersebut baru berarti di tingkat individu rumah tangga yang jumlahnya sangat sedikit. Kondisi perlebahan madu hutan mangrove di Indonesia berbeda jauh dibandingkan dengan situasi perlebahan di kawasan mangrove Sundarbans di Bangladesh, yaitu diperkirakan ada sekitar 2.000 orang yang terlibat dalam perburuan madu hutan pada setiap musim panen dengan hasil produksi rata-rata berkisar 130–185 ton per tahun (Burgett, 2000). Kondisi hutan mangrove yang sangat terjaga di Sundarbans karena tingkat aksesibilitas yang sangat terbatas (Eaton, 1991 dalam Burgett, 2000) dan merupakan habitat yang sangat baik bagi ribuan koloni A. dorsata. Selain faktor proteksi pemerintah karena kawasan Sundarbans telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia, keberadaan harimau
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 181
benggala (Panthera tigris tigris) di kawasan tersebut diperkirakan ikut berperan mengurangi tingkat kerusakan hutan mangrove. Apabila proteksi dan konservasi hutan mangrove juga berjalan sebagaimana seharusnya, sangat mungkin perlebahan di hutan mangrove di lokasi-lokasi yang dijadikan contoh akan lebih baik dari kondisi saat ini. Sebagai rujukan, beberapa mantan pencari dan pemungut madu hutan di Desa Dabong (Kalbar) menyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 1960-an, sebelum hutan mangrove didominasi bakau dan api-api seperti sekarang ini, sarang lebah hutan sangat mudah ditemukan dan rata-rata setiap sarang dapat menghasilkan sampai dengan 10 kg. Kisah yang sama juga diceritakan para pawang lebah di Desa Batang Tumu (Riau). Bahkan, masa-masa suksesnya perlebahan di kawasan mangrove desa ini masih dapat dinikmati masyarakat hingga tahun 1980-an, sebelum akhirnya kawasan tersebut rusak berat akibat penebangan besar-besaran. Selain pemungutan madu hutan, perlebahan di hutan mangrove ternyata juga melibatkan kegiatan budidaya, meskipun skalanya sangat kecil, karena hanya melibatkan satu orang petani di TN Alas Purwo, Jatim, dan Segara Anakan, Cilacap. Perkembangan kegiatan budidayanya juga tidak menggembirakan karena jumlah koloni yang dibudidayakan hanya dua stup. Bahkan, satu-satunya koloni yang dipelihara petani di Cilacap hanya mampu bertahan selama kurang dari satu tahun. Sistem pembungaan sebagian besar jenis mangrove yang bersifat musiman diperkirakan menjadi penyebab tidak berkembangnya koloni lebah yang dibudidayakan karena tidak mampu menyediakan pakan dalam jumlah yang cukup dan terus menerus sepanjang tahun. b.
Jenis Mangrove Penghasil Madu dan Potensinya Hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan pemungut madu diperoleh
data jenis-jenis tumbuhan mangrove yang merupakan sumber pakan lebah madu (Tabel 3.3.6). Di antara jenis-jenis yang tercatat, beberapa di antaranya disebut sebagai penghasil madu yang paling utama, yaitu Excoecaria agalloca (buta-buta), Sonneratia alba (prepat/pedada), Sonneratia caseolaris (prepat/pedada), dan Xylocarpus granatum (nyirih). Jenis-jenis ini ternyata juga termasuk sumber pakan lebah madu yang penting di beberapa negara lain seperti China (Yi-Feng et al., 182 | S i n t e s i s R P I
2006), Bangladesh (Burgett, 2000), dan Vietnam (Crane et al., 1998). Buta-buta berbunga antara bulan Desember–Januari, madu yang dihasilkan biasanya berwarna jernih dengan rasa agak pahit. Prepat atau pedada berbunga sekitar bulan Desember dan madu yang dihasilkan agak kehitaman dengan rasa paling manis. Adapun pohon nyirih berbunga antara bulan April–Juni dan madunya berasa agak pahit. Tabel 3.3.6 Jenis-jenis tumbuhan sumber pakan lebah madu di mangrove No
Nama Jenis
Musim Pembungaan
Sumber Informasi Musim Pembungaan
1.
Lumnitzera littorea
Pebruari-Maret
Wawancara
2.
Lumnitzera racemosa
Pebruari-Maret
Wawancara
3.
Ludwigia ascendens
Tidak ada data
4.
Clerodendron maraecloset
Tidak ada data
5.
Excoecaria agalloca
Desember-Januari
Pengamatan
6.
Sonneratia alba
Desember
Wawancara
7.
Sonneratia caseolaris
Desember
Wawancara
8.
Aegiceras corniculatum
Agustus
Upadhyay & Mishra, 2010
9.
Bruguiera cylindrica
April - Juni
Wawancara
10.
Heritiera littoralis
11.
Acanthus ilicifolius
12.
Barringtonia asiatica
Tidak ada data
13.
Derris trifoliata
Tidak ada data
14.
Xylocarpus granatum
Tidak ada data Maret
April - Juni
Upadhyay & Mishra, 2010
Wawancara
Pada penelitian ini juga dilakukan analisis vegetasi. Kegiatan ini dilakukan di dua lokasi, yaitu hutan lindung mangrove yang ada di desa Dabong (Kalbar) dan hutan konservasi mangrove di TN Alas Purwo (Jatim), masing-masing mewakili lokasi perlebahan yang berupa pemungutan madu hutan A. dorsata dan budidaya lebah lokal A. cerana. Kedua lokasi ini dipilih mengingat kondisi hutan mangrovenya masih relatif lebih baik dari pada dua lokasi lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran pada plot-plot contoh di hutan lindung mangrove di desa Dabong diketahui terdapat 20 jenis tumbuhan, yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera gymnorhyza, B. cylindrica, B. sexangula, B. parviflora, Avicennia marina, A. alba, A. lanata, A. officinalis, Ceriops tagal, C. decandra, Candelia candel, Excoecaria agallocha, Lumnitzera P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 183
racemosa, Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Heritiera littoralis, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Di antara jenis-jenis tersebut terdapat 4 jenis yang mendominasi formasi mangrove di kawasan ini, yaitu R. apiculata, B. gymnorhyza, S.caseolaris, dan E. agallocha. Tabel 3.3.7 menampilkan potensi tegakan ke empat jenis mangrove dominan tersebut . Tabel 3.3.7 Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di Desa Dabong No.
Jenis
Tinggi rata-rata (m)
Diameter rata-rata (D1,3 cm)
Kerapatan (100 m2)
1.
R. apiculata
21,5
23,6
9 pohon
2.
B. gymnorhyza
18,7
18,7
7 pohon
3.
S.caseolaris
16,3
17,3
7 pohon
4.
E. agallocha
15,4
23,3
6 pohon
Hasil pengukuran dan pengamatan potensi tegakan mangrove di TN Alas Purwo diketahui terdapat 12 jenis tumbuhan, yaitu
Rhizophora apiculata,
Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorhyza, Bruguiera sp., Avicennia marina, Avicennia sp., Cordia bantamensis, Cordia sp., Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Adapun empat jenis yang mendominansi tegakan, yaitu Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Bruguiera gymnorhyza dan Sonneratia caseolaris. Tabel 3.3.8 menampilkan potensi tegakan ke empat jenis mangrove dominan di kawasan TN Alas Purwo.
Tabel 3.3.8 Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di TNAP No.
Jenis
Tinggi rata-rata (m)
Diameter rata-rata (D1,3 cm)
Kerapatan (100 m2)
1.
R. mucronata
21,4
23,2
9 pohon
2.
A. marina
18,7
17,8
8 pohon
3.
B. gymnorhyza
17,5
17,7
7 pohon
4.
S.caseolaris
16,8
15,8
6,5 pohon
184 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.1
a)
b)
c)
d)
Lebah madu menghisap madu dari bunga teruntum merah (Lumnitzera littorea) (a); teruntum putih (Lumnitzera racemosa) (b); krangkong (Ludwigia ascendens) (c); dan gletang warak (Clerodendron maraecloset) (d).
a) Gambar 3.3.2
b)
Bunga perepat (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) (a) dan buta-buta (Excoecaria agalloca) (b); jenis-jenis mangrove tersebut termasuk sumber nektar yang utama bagi lebah madu.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 185
3.3.2 Potensi Jasa Lingkungan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Penelitian terkait jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai telah dilakukan dengan lokasi sampel di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian jasa lingkungan tidak hanya dilakukan terhadap jenis vegetasi mangrove tetapi juga jenis vegetasi lainnya yang lebih dominan, yaitu nipah. Beberapa aspek yang diteliti dalam RPI ini antara lain adalah biomassa, kadar air dan C-stock. 3.3.2.1 Potensi Jasa Lingkungan Vegetasi Mangrove Secara umum, vegetasi mangrove yang dapat dijumpai di pesisir Kalimantan Barat adalah bakau (Rhizopora sp.), api-api (Avicennia sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), dan tengar (Ceriops sp.). Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat, jenis-jenis pohonnya berdaun hijau sepanjang tahun. Pentingnya ekosistem mangrove ini antara lain adalah sebagai mata rantai antara ekosistem laut dan ekosistem darat, dengan adaptasi jenis mangrove dari laut ke arah darat secara berturut-turut, yaitu Sonneratia spp., Avicennia spp., Rhizophora spp., Brugiera spp., Ceriops spp., Lumitzera spp., dan Xylocarpus spp. [beberapa di antaranya terdapat di Provinsi Kalimantan Barat]. Hasil penafsiran citra satelit tahun 2009 diketahui bahwa kondisi hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Barat pada umumnya sudah berupa hutan mangrove sekunder atau bekas tebangan, yaitu seluas 119.327 ha atau sekitar 0,81% dari luas Provinsi Kalimantan Barat dan hanya sekitar 34 ha yang masih merupakan hutan mangrove primer. Hutan mangrove primer yang masih tersisa di Provinsi Kalimantan Barat terdapat di Kabupaten Kubu Raya, baik di dalam maupun di luar kawasan. Hutan mangrove sekunder sebagian besar terdapat di dalam kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Taman Nasional, serta di luar kawasan hutan, antara lain di Kabupaten Sambas, Kubu Raya, Kayong Utara, dan Ketapang. Kegiatan survei potensi terhadap tanaman mangrove pernah dilakukan oleh BPKH III Pontianak di Kabupaten Kubu Raya (BPKH III Pontianak, 2010b). Hasil survei tersebut diketahui bahwa rata-rata jenis mangrove pada lokasi yang disurvei merupakan jenis bakau (Rhizopora sp.) dengan potensi berkisar antara 10–20 m3/ha. Tipikal wilayah pesisir di Provinsi Kalimantan Barat yang cenderung mirip antara 186 | S i n t e s i s R P I
satu dengan yang lainnya memberi gambaran bahwa potensi mangrove di lokasi yang lain diperkirakan kurang lebih mendekati nilai potensi pada lokasi yang telah disurvei tersebut. Namun demikian, seiring dengan semakin tingginya tekanan pembangunan di wilayah pesisir Kalimantan Barat, diduga bahwa wilayah mangrove yang tersisa semakin sedikit dan potensi mangrove yang ada juga diperkirakan semakin berkurang. Hingga saat ini, kondisi hutan mangrove yang masih relatif bagus hanya terdapat di Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, dan sebagian kecil di Kabupaten Sambas. a.
Potensi Biomassa Tegakan Mangrove Pada plot pengamatan yang didominasi tegakan pohon mangrove ditemukan
236 pohon dengan diameter setinggi dada (dbh) >5 cm dan tinggi >1,3 m, termasuk pohon mati pada luas plot contoh sebesar 0,0924 Ha. Pada plot pengamatan ini hanya ditemukan 3 jenis pohon mangrove yaitu Rhizophora apiculata Bl. (famili Rhizophoraceae (bakau)), 2 Bruguiera gymnorrhiza (L.) (famili Rhizophoraceae (tumu)), dan Xylocarpus granatum Koen. (famili Meliaceae (nyirih kapur)). Karakteristik tegakan penyusun hutan mangrove pada plot pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.3.3, 3.3.4 dan 3.3.5.
Gambar 3.3.3
Kerapatan pohon mangrove (n/ha)
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 187
Gambar 3.3.4 1 Persentase kerapatan pohon bakau dan tumu dari tepi sungai menuju ke daratan
Gambar 3.3.5 Luas bidang dasar pohon mangrove (m2/ha) Komposisi penyusun tegakan mangrove didominasi oleh pohon bakau 65– 100% dan sisanya oleh pohon tumu dan nyirih. Plot pengamatan dibuat tegak lurus dari tepi pantai (plot 1) menuju ke daratan. Berdasarkan Gambar 3.3.3 dan 3.3.4 dapat dilihat bahwa kerapatan pohon bakau akan semakin menurun pada lokasi pengamatan semakin menuju ke daratan, demikian sebaliknya pada pohon tumu. Tingkat penutupan areal oleh pohon mangrove menunjukkan bahwa semakin menuju ke daratan, luas bidang dasar pohon mangrove akan semakin luas menutupi areal (Gambar 3.3.5), luas bidang dasar tegakan mangrove pada plot pengamatan sebesar 15–52 m2/ha (rata-rata 34 m2/ha) pada α 0.05. Tegakan pohon mangrove didominasi oleh tegakan dengan diameter 5–20 cm (Gambar 3.3.6). 188 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.6 Kerapatan pohon mangrove pada tiap kelas diameter
Berdasarkan karakteristik tegakan (kerapatan dan basal area) menunjukkan bahwa tegakan pohon mangrove semakin menuju kedaratan memiliki kerapatan dan luas bidang dasar yang semakin tinggi, hal ini berdampak pada nilai biomassa yang dimiliki oleh tegakan tersebut. Berdasarkan gambar 3.3.7 menunjukkan bahwa biomassa tertinggi terdapat pada plot 6, yaitu plot terjauh dari tepi sungai. Rata-rata potensi biomassa (AGB) pada plot pengamatan adalah sebesar 415 ton/ha, dimana 94% potensi biomassa berasal dari jenis bakau (Gambar 3.3.8).
Gambar 3.3.7
Aboveground Biomass (AGB) tegakan pohon mangrove pada plot pengamatan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 189
Gambar 3.3.8
Aboveground Biomass (AGB) mangrove pada plot pengamatan
masing-masing
jenis
pohon
Sumbangan biomassa terbesar pada plot pengamatan dihasilkan dari tegakan pohon mangrove pada kelas diameter 10–25 cm (Gambar 3.3.9). Biomassa pohon berkorelasi sangat erat dengan diameter pohon, semakin besar diameter suatu pohon akan memiliki biomassa yang semakin besar, sedangkan pada sebuah tegakan selain diameter pohon penyusun juga dipengaruhi oleh jumlah individu pohon pada diameter tersebut yang digambarkan dengan luas bidang dasar tegakan. Sehingga pada tingkat tegakan, paramater luas bidang dasar merupakan karakter tegakan yang mempengaruhi besar biomassa suatu tegakan selain dipengaruhi oleh jenis dari pohon penyusun tersebut yang memiliki berat jenis yang berbeda-beda.
190 | S i n t e s i s R P I
Persentase AGB pada plot (%)
30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 <5
5-9.9
10-14.9
15-19.9
20-24.9
25-29.9
>30
Diameter Class (cm)
Gambar 3.3.9
b.
Persentase biomassa pada masing-masing kelas diameter di plot pengamatan
Potensi C-stock Tegakan Mangrove Besar cadangan karbon yang tersimpan dalam tegakan pohon mangrove pada
plot pengamatan adalah sebesar 187 ton C/ha atau nilai ini setara dengan karbondioksida di atmosfer sebesar 684 ton/ha CO2-ekuivalen. Jika dibandingkan dengan komunitas nipah, nilai simpanan tegakan pohon mangrove adalah 6,5 kali dari cadangan karbon yang tersimpan pada komunitas nipah.
Gambar 3.3.10 Boxplot Aboveground biomass (AGB) nipah dan tegakan mangrove
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 191
Berdasarkan analisis data spasial pada tahun 2005 dengan hasil pengukuran biomassa di lapangan, sebaran biomassa di kawasan hutan mangrove Kubu Raya yang terbagi dalam tiga kelas kerapatan yaitu kerapatan rendah (KR), kerapatan sedang (KS) dan kerapatan tinggi (KT) ditunjukkan pada Gambar 3.3.11. Kurang lebih 67% total area mangrove di Kubu Raya masih tergolong kedalam kerapatan tinggi, 22% kerapatan rendah dan 11% kerapatan sedang.
Gambar 3.3.11 Sebaran biomassa di Hutan Mangrove Kubu Raya berdasarkan tingkat kerapatan pada tahun 2005
192 | S i n t e s i s R P I
3.3.2.2 Potensi Jasa Lingkungan Vegetasi Nipah Penelitian yang dilaksanakan pada areal vegetasi nipah adalah di Batu Ampar yang merupakan bagian ekosistem hutan mangrove di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon, daonan (Sd., Bms.), buyuk (Jw., Bali), bhunyok (Md.), bobo (Menado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon dan sekitarnya). Di beberapa negara lain, tumbuhan ini dikenal dengan nama golpata (Bangladesh), chak (Kamboja), dane (Myanmar), attap palm (Singapura), nipa palm atau losa (Filipina), duwfa las, duwfa nuwowsc (Vietnam), biri-biri (PNG), ayamatangh atau ayangmbakara (Nigeria), atau umumnya disebut nypa palm. Nama ilmiah nipah adalah Nypa fruticans Wurmb dengan sinonim Cocos nipah Lour. dan Nypa fruticans Thunb. Jenis ini diketahui sebagai satu-satunya anggota marga Nypa dari suku Arecaceae, meskipun sebelumnya pernah diklasifikasikan ke dalam suku pandanaceae dan suku tersendiri Nypaceae. Nipah (Nypa fructicans Wurmb.) adalah salah satu tanaman angiosperma tertua dan mungkin spesies palem tertua. Fosil nipah ditemukan pada masa Eosen dan Miosen di Eropa, Amerika Utara dan Timur Tengah. Pada saat ini, nipah tidak lagi ditemukan di luar wilayah Indo-Pasifik tetapi terutama ditemukan di zona khatulistiwa, 10°LU–10°LS, membentang dari Sri Lanka melalui Asia tenggara ke Australia bagian Utara. Secara alami, nipah ditemukan secara luas di Indonesia (700.000 ha), Papua Nugini (500.000 ha) dan Filipina (8000 ha) (CAB International Forestry Compendium, 2005).
Sementara itu, berdasarkan hasil Weed Risk
Assesment (WRA), nipah mempunyai nilai 9 (>6, high risk) sehingga tergolong ke dalam jenis yang mempunyai potensi menjadi invasive plants. Nipah dilaporkan telah menjadi invasive plants setelah diintroduksi di Kamerun (Saenger & Bellan, 1995; Burns et al., 2002) dan Nigeria (Ukpong, 1995; Ukpong, 2000; Obot et al., 1997). Meskipun demikian, nipah dianggap terancam punah di Singapura (Tan, 2011).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 193
a.
Karakteristik Vegetasi Nipah Hasil dari survei menunjukkan bahwa di kiri dan kanan tepi sungai dari Rasau
Jaya menuju Batu Ampar banyak ditemukan komunitas nipah yang memanjang dengan tebal 5–10 m atau sporadis. Secara umum, nipah berada di bagian depan tepi sungai menuju ke daratan yang dipengaruhi pasang surut, secara teratur tergenang air payau. Nipah memainkan peran penting dalam menstabilkan tepi sungai dan mencegah erosi tanah. Pada umumnya, nipah membentuk tegakan murni tetapi pada areal tertentu ditemukan bercampur dengan pohon bakau lainnya khususnya Bruguiera (Gambar 3.3.12). Beberapa spesies tumbuhan bawah seperti Acanthus, Acrostichum dan Crinum ditemukan dibawah tegakan nipah. Berdasarkan tingkat toleransi termal, nipah tergolong ke dalam cold-intolerant (thermophilic)stenotopic species (Li & Lee, 1997). Nipah dapat mentolerir variasi salinitas tetapi tidak terlalui tinggi, membentuk sebuah karakteristik transisi antara rawa mangrove dan air tawar (Chapman, 1977). Kondisi tapak dengan pasang surut yang teratur dan tingkat genangan yang rendah adalah paling sesuai untuk spesies ini. (Siddiqi, 1995).
a
b
Gambar 3.3.12 Nipah bercampur dengan (a) Xylocarpus sp. dan (b) Bruguiera sp.
Secara umum, terdapat dua jenis nipah yang ditemukan di Kubu Raya, yaitu nipah besar dan nipah kecil (Gambar 3.3.13), Nipah besar mempunyai karakakter panjang pelepah hidup 3–14 m (rata-rata 10 m) dan diameter pelepah hidup pada 194 | S i n t e s i s R P I
pangkal daun 4,5–9,5 cm (rata-rata 7 cm), sedangkan nipah kecil mempunyai panjang pelepah hidup 1.5–9 m (rata-rata 5 m) dan diameter pelepah hidup pada pangkal daun 2,5–6,5 cm (rata-rata 4,5 cm). Selain pelepah yang hidup, dalam satu rumpun nipah banyak dijumpai pelepah mati/busuk secara alami atau dipanen oleh masyarakat yang mana daunnya dimanfaatkan untuk atap. Pelepah yang mati/busuk ini mempunyai rata-rata panjang pelepah yang tersisa sepanjang 0,5–2 m (rata-rata 1,3 m).
a
b
Gambar 3.3.13 Nipah (a) besar, (b) kecil
Komunitas nipah terbentuk oleh kumpulan rumpun nipah. Satu rumpun nipah dapat terdiri dari beberapa tanaman nipah yang memiliki beberapa pelepah muda dan tua yang mana pelepah yang berada pada paling luar adalah paling tua, tandan buah, buah, bunga (Gambar 3.3.14). Batang nipah menjalar di tanah membentuk rimpang yang terendam oleh lumpur dan ditumbuhi akar serabut (Gambar 3.3.15), serta hanya daunnya yang muncul di atas tanah sehingga nipah nampak seolah-olah tidak berbatang. Rumpun-rumpun nipah dapat dihanyutkan oleh air sampai ke laut karena perakarannya hanya terletak dalam lumpur yang sifatnya labil.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 195
Gambar 3.3.14 Komponen-komponen nipah
a
b
Gambar 3.3.15 Akar serabut nipah (a), Batang nipah (b)
Nipah dapat mencapai umur kurang dari 35 tahun dengan produksi daun pada saat juvenil adalah 1 daun per tahun (Zaeim, 2011). Dari rimpangnya muncul daundaun majemuk menyirip khas palma, tegak atau hampir tegak, kulit pelepah mengkilap dan keras, berwarna hijau pada yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya; bagian dalamnya lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Daun nipah yang sudah tua berwarna hijau, sedangkan daunnya yang masih muda berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. 196 | S i n t e s i s R P I
Bunga majemuk muncul di ketiak daun, berumah satu, dengan bunga betina terkumpul di ujung membentuk bola dan bunga jantan tersusun dalam malai serupa untai, merah, jingga atau kuning pada cabang di bawahnya. Setiap untai mempunyai 4–5 bulir bunga jantan yang panjangnya mencapai 5 cm (Gambar 3.3.16a). Bunga nipah jantan dilindungi oleh seludang bunga, namun bagian yang terisi serbuk sari tetap tersembul keluar sedangkan bunga nipah betina berbentuk bulat peluru dan bengkok mengarah ke samping (Gambar 3.3.16b). Panjang tangkai badan bunga mencapai 100–170 cm. Tandan bunga inilah yang dapat disadap untuk diambil niranya.
Bunga betina
Bunga jantan
a
b
c
Gambar 3.3.16 Bunga nipah (a dan b) dan buah nipah (c) Buah bertipe buah batu dengan mesokarp bersabut, bulat telur terbalik dan gepeng dengan 2–3 rusuk, coklat kemerahan, 11x13 cm, terkumpul dalam kelompok rapat menyerupai bola berdiameter sekitar 30 cm. Struktur buah mirip buah kelapa, dengan eksokarp halus, mesokarp berupa sabut, dan endokarp keras yang disebut tempurung (Gambar 3.3.16c). Biji terlindung oleh tempurung dengan panjangnya antara 8–13 cm dan berbentuk kerucut. Dalam satu tandan, buahnya dapat mencapai antara 30–50 butir, berdempetan satu dengan yang lainnya membentuk kumpulan buah bundar. Buah yang masak gugur ke air dan mengapung mengikuti arus pasang surut atau aliran air hingga tersangkut di tempat tumbuhnya. Kerap kali buah telah berkecambah dihanyutkan arus ke tempat yang baru, hal iniliah yang menyebabkan nipah tersebar luas. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 197
b.
Variabel dan Parameter Pengukuran Pelepah merupakan unit contoh dalam satu rumpun sehingga dimensi
pengukuran pelepah (keliling, panjang) merupakan variabel-variabel penduga biomassa dalam satu rumpun nipah. Rumpun nipah adalah unit contoh dalam sebuah tegakan nipah sehingga dimensi pengukuran rumpun (keliling, tinggi), jumlah pelepah dalam rumpun merupakan variabel-variabel penduga dalam suatu tegakan nipah. Dengan demikian, beberapa variabel yang potensial untuk dijadikan variabel penduga untuk mengukur biomassa nipah skala landskap (tegakan nipah) antara lain adalah keliling rumpun, keliling rumpun dengan pelepah hidup, tinggi rumpun, jumlah pelepah hidup, jumlah pelepah mati. Sementara itu, potensial variabel penduga untuk biomassa rumpun adalah panjang pelepah, keliling pangkal bawah pelepah dan keliling pangkal pelepah daun (Gambar 3.3.17). Koefisien Korelasi Pearson digunakan untuk menghitung nilai koefisien korelasi yang datanya berupa data interval, sedangkan untuk menguji kenormalan suatu data digunakan Uji Kolmogorov-Smirnov
Gambar 3.3.17 Kegiatan pengukuran parameter-parameter penduga 1) Korelasi Antar Parameter dengan Biomassa Pelepah Biomassa pelepah berkorelasi nyata terhadap site dan ordering (nomor tumbuh) pelepah meskipun tingkat korelasinya rendah, semakin tua pelepah akan mempunyai nilai biomassa pelepah yang semakin besar. Parameter keliling pelepah 198 | S i n t e s i s R P I
pangkal bawah, keliling pelepah pangkal daun, panjang pelepah bawah, panjang pelepah ujung dan panjang pelepah total di atas bagian tanah secara nyata mempunyai korelasi yang sangat tinggi (mendekati 1) dengan biomassa pelepah, sehingga parameter-parameter tersebut berpotensi besar untuk menjadi variabel penduga biomassa pelepah nipah hidup. Panjang total pelepah di atas tanah merupakan parameter dengan tingkat korelasi paling tinggi dengan biomassa pelepah nipah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,925. Pelepah muda merupakan pelepah yang berada di tengah dan pada umumnya anak daun masih menguncup (belum terbuka). Meskipun demikian, pada beberapa pohon ditemukan kondisi daun sudah mulai terbuka dengan warna kuning. Warna kuning inilah yang menunjukkan daun masih muda [daun yang sudah tua akan berwarna hijau]. Secara umum, data yang dianalisis pada masing-masing parameter berdistribusi normal yang ditunjukkan dengan hasil nilai Uji Kolmogorov-Smirnov tingkat siginfikansinya >0,05. Semua parameter yang diujicobakan sebagai potensial variabel penduga biomassa pelepah muda menunjukkan tingkat signifikansi yang sangat nyata mempunyai hubungan linear positif yang sangat kuat dengan biomassa pelepah muda (ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi lebih besar dari 60%). Keliling pangkal pelepah bawah merupakan parameter yang mempunyai korelasi linear yang paling kuat di antara parameter lainnya dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,8. Secara umum, tegakan nipah akan memiliki pelepah yang telah mati/busuk dalam setiap rumpun, baik secara alami maupun karena dipanen. Potensi jumlah pelepah mati dalam satu rumpun cukup signifikan, rata-rata mencapai 65% meskipun variasinya cukup tinggi dari 12,5% sampai dengan 90%. Secara umum, paramater yang dianalisis berdasarkan Uji Kolmogorov-Smirnov mempunyai tingkat signifikansinya >0,05 yang berarti data berdistribusi normal sehingga memenuhi prasyarat untuk analisa korelasi. Keliling pelepah baik di pangkal bawah maupun pangkal daun secara signifikan berkorelasi dengan biomassa pelepah mati, tingkat korelasi paling erat ditunjukkan antara panjang pelepah mati dan biomassa pelepah mati yang mencapai 78%.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 199
2) Korelasi Antar Parameter dengan Biomassa Rumpun Keragaman penampakan rumpun nipah secara umum terdapat macam: rumpun nipah dengan karakter pelepah panjang dan rumpun nipah dengan karakter pelepah pendek. Rumpun sebagai unit contoh dalam tegakan nipah mempunyai dimensi pengukuran keliling dan tinggi rumpun, jumlah pelepah, jumlah buah dan jumlah bunga. Keliling rumpun pelepah hidup, keliling rumpun total tinggi rumpun, jumlah pelepah total, jumlah pelepah hidup dan jumlah pelepah mati adalah parameter-parameter yang dianalisa menjadi variabel penduga biomassa sebuah rumpun nipah. Uji Kolmogorov-Smirnov telah dilakukan untuk melihat data berdistribusi normal yang merupakan prasyarat untuk analisa korelasi. Hasil Uji KolmogorovSmirnov menunjukkan bahwa data yang akan dianalisis mempunyai tingkat signifikansinya >0,05 yang berarti data berdistribusi normal sehingga memenuhi prasyarat untuk analisa korelasi. Sesuai dengan hipotesa awal bahwa parameterparameter yang dianalisa akan dapat dijadikan sebagai variabel penduga, hal ini ditunjukkan dengan hasil analisa koefisien korelasi Pearson yang mana parameterparameter tersebut secara sangat signifikan berkorelasi erat dengan biomassa rumpun nipah. Keliling rumpun yang terdiri dari pelepah hidup adalah parameter yang memiliki nilai koefisien korelasi paling tinggi diantara parameter-parameter lainnya (0,860) sehingga berpotensi besar menjadi variabel penduga biomassa rumpun nipah. c.
Kadar air Secara umum, kadar air (moisture content) dapat dinyatakan dalam dua tipe,
yaitu berdasarkan saat kering (ovendry) dansaat basah (green). Persen Kadar air pada saat basah dinyatakan sebagai persentase dari total berat dari kayu, termasuk berat kering kayu dan air. Metode ini paling umum digunakan untuk untuk menentukan kadar air biomassa kayu, sedangkan kadar air yang dinyatakan berdasarkan saat kering merupakan persentase dari berat kering kayu. Metode ini adalah metode standar yang digunakan untuk mengekspresikan kadar air untuk produk kayu solid dari semua jenis, termasuk kayu veneer, kayu lapis, OSB, partikel dan produk panel lainnya. Kadar air yang dinyatakan pada saat basah paling 200 | S i n t e s i s R P I
sesuai untuk mengestimasi fraksi air. Nilai kadar air yang dinyatakan pada saat kering dapat [dan akan] melebihi100%. Hal ini hanya mencerminkan bahwa berat air dalam sampel melebihi berat bahan kering (cukup umum dalam kayu lunak dan beberapa kayu keras dengan kerapatan yang lebih rendah). Dengan demikian, dalam penentuan kadar air sangat penting menyatakan dasar dari kadar air tersebut berdasarkan saat basah atau saat kering (Govet et al., 2010). Berdasarkan kadar air sampel yang dinyatakan pada saat basah, pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman nilai kadar air dalam komponen nipah ataupun antar komponen nipah (pelepah bawah, pelepah atas, daun, buah dan bunga) seperti yang digambarkan pada grafik berikut (Gambar 3.3.18). Pelepah Bawah
Pelepah Atas
Daun
Gambar 3.3.18 Grafik distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen pelepah tua yang hidup Secara detail, nilai kadar air (basah) komponen nipah dapat dilihat pada Tabel 3.3.9. Pada umumnya, nipah memiliki rata-rata kadar air (basah) lebih besar dari 50% yang berarti bahwa berat kering nipah kurang dari 50% dari berat basah, bahkan pada pelepah muda bagian bawah hanya mencapai 14%. Kadar air (basah) terendah terdapat pada komponen daun yang sudah tua yaitu sebesar 55,8%, tidak jarang dijumpai juga daun yang sudah mengering yang pada kondisi ini hanya akan memiliki nilai kadar air sebesar 23,3% atau lebih dari 50% dari saat daun masih
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 201
hijau.
Rata-rata
kadar
air
(basah)
pelepah
bawah>pelepah
atas>tangkai
bunga/buah>buah>bunga>daun. Daun pada saat tua ataupun muda memiliki ratarata kadar air yang paling rendah dibandingkan komponen lainnya. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pohon nonpalmae yang mana daun memiliki kadar air paling tinggi. Pelepah yang masih muda akan memiliki rata-rata nilai kadar air yang lebih besar dibandingkan pada pelepah yang telah tua, sedangkan pada pelepah yang telah mati akan memiliki nilai kadar air yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Nilai kadar air masing-masing komponen nipah jika dinyatakan pada saat kering akan memiliki nilai lebih besar dari 100, 2 sampai 7 kali dari nilai kadar air yang dinyatakan pada saat basah. Seperti yang diungkapkan di atas bahwa hal ini sangat mungkin terjadi seperti halnya pada kayu lunak. Tabel 3.3.9 Kadar air (basah) (%) pada beberapa komponen nipah Komponen Pelepah tua: 1) Pelepah bawah 2) Pelepah atas 3) Daun Pelepah muda: 4) Pelepah bawah 5) Pelepah atas 6) Daun Pelepah mati: 7) Pelepah bawah Komponen lain: 8) Buah 9) Bunga 10) Tangkai buah 11) Tangkai bunga
SK (95%) Bawah Atas
Mean
Std Dev
Std. error
82.8 76.3 55.8
3.9 3.9 3.4
0.4 0.4 0.4
82.0 75.4 55.0
83.7 77.1 56.6
85.6 77.2 63.9
3.2 5.0 3.6
0.6 0.8 1.5
84.2 75.6 60.2
86.9 78.7 67.7
85.4
4.2
0.5
84.5
86.4
71.7 68.7 72.2 73.2
7.8 17.9 7.0 16.5
2.4 8.9 2.7 6.2
66.4 40.3 65.7 57.9
77.0 97.1 78.7 88.4
Nilai kadar air (basah) secara sangat signifikan berkorelasi dengan urutan tumbuh pelepah. Nilai kadar air (basah) masing-masing komponen pada urutan tumbuh pelepah (order) cenderung semakin tua pelepah akan memiliki kadar air yang lebih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang negatif dan juga dapat dilihat pada grafik Gambar 3.3.19.
202 | S i n t e s i s R P I
a
b
c
d
Gambar 3.3.19 Distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen (a) pelepah bawah, (b) pelepah atas, (c) daun dan (d) pelepah mati terhadap urutan tumbuh pelepah (order)
d.
Biomassa Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa komponen nipah cenderung
memiliki kadar air (basah) yang tinggi, lebih dari 50%. Hal ini akan memberikan dampak terhadap besarnya nilai biomassa nipah yang cenderung rendah, sedangkan distribusi nilai biomassa per satu komponen nipah dapat dilihat pada Gambar 3.3.20. Rata-rata nilai biomassa masing-masing komponen nipah dapat digunakan sebagai faktor pengali untuk menghitung biomassa rumpun nipah berdasarkan hasil kegiatan inventori (Kauffman & Donato,
2012). Secara detil, rata-rata nilai
biomassa dapat dilihat pada Tabel 3.3.10.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 203
Tabel 3.3.10 Deskriptif statistik biomassa nipah (Kg) SK (95%) Bawah Atas
Komponen
Mean
Median
Std Dev
Std. error
Pelepah Tua
5.2
6.0
2.7
0.3
4.7
5.7
122
Pelepah Muda
1.6
1.2
1.7
0.2
1.1
2.0
58
Pelepah Mati
1.1
1.0
0.6
0.03
1.0
1.1
256
Buah&tangkai
4.8
4.4
1.7
0.5
3.6
6.0
10
Bunga&tangkai
2.6
1.5
2.2
0.6
1.2
4.0
12
Pelepah tua
Pelepah muda
Pelepah mati
Buah dan tangkai
N
Bunga dan tangkai
Gambar 3.3.20 Grafik distribusi nilai biomassa pada komponen nipah
1) Model Penduga Biomassa Nipah dalam Satu Rumpun Suatu rumpun nipah dapat terdiri dari pelepah muda, pelepah tua, pelepah mati, buah dan bunga. Biomassa buah dan bunga dapat diduga dengan faktor pengali rata-rata biomassa bunga/buah per buah/bunga; sedangkan pelepah muda, pelepah tua dan pelepah mati selain menggunakan faktor pengali rata-rata biomassa sangat memungkinkan untuk dikembangkan model penduga biomassa komponen tersebut. Pelepah Tua Kecenderungan bentuk model hubungan antara biomassa pelepah tua dengan variabel penduganya dapat dilihat berdasarkan scatter plot antara biomassa pelepah tua dengan variabel penduganya tersebut. Scatter plot pelepah tuadengan beberapa variabel penduga (keliling, panjang) dapat dilihat pada Gambar 3.3.21.
204 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.21 Scatter plot biomassa pelepah tua dengan variabel penduga
Berdasarkan gambar tersebut di atas dapat dilihat bahwa biomassa pelepah cenderung mempunyai pola hubungan yang linear dimana keliling pangkal daun dan panjang pelepah cenderung memiliki korelasi yang lebih kuat dibanding variabel lainnya. Pembuatan model pada dasarnya melakukan estimasi koefisien regresi dan ragamnya (variance). Pada penelitian ini, peubah penaksir yang dipilih adalah subset penaksir terbaik yang akan memberikan nilai Rsq besar, RMSE kecil dan AICc kecil. Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah tua dapat dilihat pada Tabel 3.3.11. Berdasarkan Tabel 3.3.11 dapat dilihat bahwa persamaan Ln B_pelepah=4.6+0.88*Ln Kll_PD^2P_PB merupakan persamaan dengan nilai score tertinggi berdasarkan nilai R-sq yang tinggi, RMSE rendah dan AICc yang rendah. Salah satu aspek yang perlu dihindari dalam pemodelan adalah multicollinearity, yakni adanya hubungan linear yang kuat antara penaksir yang digunakan. Berdasarkan uji multikolinearitas, persamaan tersebut mempunyai nilai VIF<10 yang menunjukkan tidak terjadinya multikolinearitas antar variabel penduga. Meskipun demikian berdasarkan efektifitas dan kemudahan penggunaan model dalam pengumpulan data di lapangan, persamaan Ln B_pelepah=-6.05+2.55*Ln Kll_PD lebih efektif dan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 205
mudah digunakan di lapangan karena hanya terdiri dari satu variabel penduga, persamaan Ln B_pelepah=-4.6+0.88*Ln Kll_PD^2P_PB yang mempunyai dua parameter penduga hanya meningkatkan 8% biomassa pelepah yang dapat dijelaskan oleh model tersebut dibandingkan
persamaan Ln B_pelepah=-
6.05+2.55*Ln Kll_PD. Berdasarkan hal tersebut persamaan Ln B_pelepah=6.05+2.55*Ln Kll_PD (Rsq=0.80) merupakan persamaan yang terbaik untuk menduga biomassa pelepah tua. Tabel 3.3.11 Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah tua Persamaan Alometrik
R-sq
RMSE
AICc
Score
B_pelepah=0.32+0.097*Kll_PB
0.41
1.75
375.69
6
B_pelepah=-5+0.52*Kll_PD
0.67
1.32
322.23
10
B_pelepah=0.9+1.73*P_PB
0.40
1.77
378.72
3
B_pelepah=-2+1.13*P_PA
0.73
1.18
302.90
13
B_pelepah=-3+0.89*P_TAG
0.77
1.09
287.56
16
Ln B_pelepah=-6.05+2.55*Ln Kll_PD
0.80
0.26
19.99
31
Ln B_pelepah=-2.6+1.87*Ln P_TAG
0.77
0.28
33.48
27
B_pelepah=-6.4+0.444*Kll_PD+1.06*P_PB
0.80
1.03
278.12
24
B_pelepah=-5.4+0.25*Kll_PD+0.61*P_TAG
0.84
0.89
251.05
27
B_pelepah=1.48+0.003*(Kll_PD^2P_PB)
0.77
1.09
286.97
20
Ln B_pelepah=-4.6+0.88*Ln Kll_PD^2P_PB
0.88
0.20
-26.62
36
LnB_pelepah=-0.39+0.47*Ln Kll_PD^2P_TAG
0.54
0.40
99.98
21
Hasil analisis varian untuk menguji signifikansi hubungan tersebut, dapat terlihat bahwa hubungan antara diameter pangkal dengan biomassa pohon memiliki korelasi yang signifikan atau menunjukkan adanya tingkat hubungan yang tinggi. Uji ANOVA didapat F hitung sebesar 787.29 dengan tingkat signifikansi <0.0001* (<0,05), Uji t Parameter konstanta dan Ln Kll_PD menunjukkan tingkat signifikansi parameter tersebut berpengaruh dalam model sehingga model regresi tersebut dapat dipakai untuk memprediksi biomassa pelepah tua nipah. Model tersebut juga memenuhi asumsi homoskedastisitas atau memiliki varian sisaan yang sama. Terdapat dua cara pendeteksian ada tidaknya heteroskedastisitas, yaitu dengan metode grafik dan metode statistik. Metode grafik biasanya dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel 206 | S i n t e s i s R P I
dependen dengan residualnya, sedangkan metode statistik dapat dilakukan dengan Uji Glejser. Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya persamaan terpilih dapat dilihat pada Gambar 3.3.22. Terlihat pada tampilan grafik scatter plot menyebar secara acak baik diatas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi terpilih.
Gambar 3.3.22 Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada pelepah tua
Berdasarkan Uji Glejser dengan melakukan regresi nilai absolute residual terhadap variabel independen lainnya, menunjukkan bahwa koefisien parameter (β) memiliki nilai t hitung 0.057 (>0.05) yang berarti tidak signifikan sehingga mengindikasikan tidak terdapatnya heteroskedastisitas dalam model dengan kata lain variabel independen memiliki sebaran varian yang sama/homogen. Pelepah Muda Scatter plot antara pelepah muda dengan variabel penduga dapat dilihat pada Gambar 3.3.23. Secara umum, grafik tersebut juga menunjukkan kecenderungan pola linear kecuali pada hubungan biomassa pelepah muda dengan panjang total pelepah yang mempunyai kecenderungan pola nonlinear.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 207
Gambar 3.3.23 Scatter plot biomassa pelepah muda dengan variabel penduga
Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah muda dapat dilihat pada Tabel 3.3.12, yang mana persamaan Ln B_pelepah=-2.11+1.46*Ln P_TAG mempunyai nilai skor tertinggi berdasarkan Rsq yang tinggi, RMSE rendah dan AICc rendah. Hasil uji Anova persamaan terpilih ini juga menunjukkan signifikansi model dalam menjelaskan biomassa pelepah muda yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi >0.05. Masing-masing parameter dalam model juga memberikan pengaruh yang signifikan.
Tabel 3.3.12 Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah muda Persamaan Alometrik
R-sq
RMSE
AICc
Score
B_pelepah=-1.64+0.18*Kll_PB
0.64
0.94
78.21
17
B_pelepah=-2.9+0.29*Kll_PD
0.62
0.96
79.69
9
B_pelepah=0.82+1.21*P_PB
0.45
1.16
89.42
3
B_pelepah=-0.55+0.5*P_PA
0.63
0.94
78.58
13
B_pelepah=-3+0.89*P_TAG
0.73
0.81
69.76
21
Ln B_pelepah=-7.29+2.75*Ln Kll_PD
0.63
0.57
51.45
26
208 | S i n t e s i s R P I
Persamaan Alometrik
R-sq
RMSE
AICc
Score
Ln B_pelepah=-2.11+1.46*Ln P_TAG
0.85
0.36
27.20
36
B_pelepah=-2.61+0.23*Kll_PD+0.74*P_PB
0.75
0.79
70.70
23
B_pelepah=-1.81+0.10*Kll_PD+0.33*P_TAG
0.76
0.78
69.69
27
B_pelepah=1.05+0.003*(Kll_PD^2P_PB)
0.61
0.97
80.21
6
Ln B_pelepah=-4.07+0.81*Ln Kll_PD^2P_PB
0.74
0.48
42.02
31
LnB_pelepah=-0.21+0.42*Ln Kll_PD^2P_TAG
0.62
0.58
52.38
22
Pelepah Mati Grafik pola kecenderungan hubungan antara biomassa pelepah mati dengan variabel penduga dapat digambarkan dalam grafik scatter plot, secara umum pola hubungan yang terjadi antara biomassa pelepah mati dengan varaibel penduga adalah linear, keliling pangkal bawah dan panjang pelepah cenderung memiliki pola hubungan yang erat (Gambar 3.3.24).
Gambar 3.3.24 Scatter plot biomassa pelepah mati dengan variabel penduga Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah mati dapat dilihat pada Tabel 3.3.13, yang mana persamaan B_pelepah=-1.48+0.11*Kll_PD+1.31*P_TAG mempunyai nilai skor tertinggi berdasarkan Rsq yang tinggi, RMSE rendah dan AICc rendah. Hasil uji Anova persamaan terpilih ini juga menunjukkan signifikansi model dalam menjelaskan biomassa pelepah muda yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi >0.05. Masing-masing parameter dalam model juga memberikan pengaruh yang signifikan.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 209
Tabel 3.3.13 Rekapitulasi hasil fitting model biomassa pelepah mati Persamaan Alometrik
R-sq
RMSE
AICc
Score
B_pelepah=-0.42+0.03*Kll_PB
0.22
0.49
361.45
9
B_pelepah=-0.04+0.11*Kll_PD
0.10
0.52
398.07
5
B_pelepah=-0.29+1.29*P_TAG
0.61
0.35
182.31
15
Ln B_pelepah=-3.11+1.29*Ln Kll_PD
0.13
0.61
475.51
4
Ln B_pelepah=-0.09+1.53*Ln P_TAG
0.70
0.36
204.57
14
B_pelepah=-1.48+0.11*Kll_PD+1.31*P_TAG
0.73
0.28
93.59
24
B_pelepah=0.04+0.009*(Kll_PD^2P_TAG)
0.66
0.32
151.73
19
LnB_pelepah=-5.17+1.09*Ln Kll_PD^2P_TAG
0.72
0.35
188.06
18
Berdasarkan uji multikolinearitas, persamaan terpilih tersebut mempunyai nilai VIF<10 yang menunjukkan tidak terjadinya multikolinearitas antar variabel penduga. Model tersebut juga memenuhi asumsi homoskedastisitas atau memiliki varian yang sama yang ditunjukkan dengan grafik scatter plot Gambar 3.3.25 menyebar secara acak baik diatas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi terpilih.
Gambar 3.3.25 Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada model pelepah mati
210 | S i n t e s i s R P I
2) Model Penduga Biomassa Nipah dalam Suatu Landskap (Tegakan Nipah) Rumpun adalah unit contoh pada suatu tegakan nipah sehingga parameter dalam rumpun seperti keliling rumpun, tinggi rumpun, jumlah pelepah adalah variabel yang akan dijadikan sebagai variabel penduga biomassa rumpun nipah. Grafik scatter plot biomassa nipah dengan variabel penduga dapat dilihat pada Gambar 3.3.26, yang mana dapat dilihat bahwa secara umum memiliki pola linear.
Gambar 3.3.26 Grafik plot antara nilai variabel independen dengan biomassa rumpun nipah Hasil analisis regresi hubungan biomassa rumpun nipah dengan variabel penduganya dapat dilihat pada Tabel 3.3.14. Persamaan Ln AGB=-1.99+0.45*Ln (Kll_hidup^2Tinggi) merupakan persamaan terbaik di antara beberapa model yang dibandingkan berdasarkan kriteria nilai R-sq, RMSE dan AICc. Hasil uji Anova juga menunjukkan bahwa model dapat menjelaskan biomassa rumpun nipah secara sangat signifikan dengan nilai F hitung sebesar 130.91 dan nilai siginifikansi <0.0001. Parameter-parameter yang menjadi variabel penduga juga menunjukkan signifikansi pengaruh terhadap model yang ditunjukkan dengan tingkat signifikansi uji t sebesar 0.0002 untuk intersep dan <0.0001 untuk variabel (Kll_hidup^2Tinggi) P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 211
sehingga
Persamaan
Ln
AGB=-1.99+0.45*Ln
(Kll_hidup^2Tinggi)
dapat
digunakan untuk menduga biomassa rumpun nipah (Gambar 3.3.27).
Tabel 3.3.14 Perhitungan hasil fitting model biomassa rumpun nipah Persamaan Alometrik
R-sq
RMSE
AICc
Skor
Rank
AGB=-2.87+0.10*Kll_total
0.56
11.48
228.73
9
10
AGB=-0.84+0.25*Kll_hidup
0.74
8.85
213.66
16
8
AGB=-4.29+3.92*Tinggi
0.46
12.72
234.68
3
12
AGB=-6.50+3.07*Jml_total pelepah
0.50
12.22
232.37
6
11
AGB=-21.01+0.08*Kll_total+2.74*Tinggi
0.76
8.65
213.94
17
7
AGB=-10+0.20*Kll_hidup+1.6*Tinggi
0.79
8.04
209.68
24
5
AGB=13.95+0.00008*(Kll_hidup^2Tinggi)
0.76
8.46
211.03
21
6
0.66
10.26
223.85
12
9
0.81
7.64
206.74
28
4
0.85
7.05
203.89
32
2
Ln AGB=-2.49+1.21*Ln Kll_hidup
0.79
0.36
28.40
31
3
Ln AGB=-1.99+0.45*Ln (Kll_hidup^2Tinggi)
0.83
0.33
21.96
35
1
AGB=-18.18+7.62*Jml_pelepah hidup+2.19*Jml_pelepah mati AGB=9.31+0.22*Kll_hidup+1.37*Jml_pelepah mati AGB=-15.62+0.19*Kll_hidup+1.31*Tinggi +1.19*Jml_pelepah mati
Penggunaan satu parameter pengukuran sebagai variabel penduga cenderung lebih efektif dan mudah digunakan dalam pengumpulan data di lapangan. Untuk menduga biomassa rumpun nipah sangat memungkinkan juga hanya dengan menggunakan satu parameter pengukuran yang mana berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan Ln AGB=-2.49+1.21*Ln Kll_hidup merupakan persamaan terbaik yang menggunakan satu parameter pengukuran sehingga persamaan Ln AGB=-2.49+1.21*Ln Kll_hidup dapat digunakan untuk menduga biomassa rumpun nipah (Gambar 3.3.27). Hasil uji Anova menunjukkan bahwa persamaan tersebut memiliki nilai F hitung sebesar 99.45 dengan tingkat signifikansi <0.0001 sehingga dapat diartikan bahwa model secara signifikan dapat menjelaskan biomassa rumpun nipah. Variabel Ln Kll_hidup berdasarkan uji t juga mempunyai nilai t hitung sebesar 9.97 dengan tingkat signifikansi <0.0001 yang dapat diartikan juga bahwa parameter tersebut memberikan pengaruh dalam model, begitu halnya dengan intersep. 212 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.27 Plot Regresi model penduga biomassa rumpun nipah
e.
Nilai Fraksi Karbon (C%) Nilai fraksi karbon (C%) merupakan salah satu nilai yang diperlukan untuk
mengkonversi biomassa ke dalam C yaitu untuk menyatakan persentase kandungan C dalam biomassa. Hasil analis fraksi karbon dari beberapa komponen nipah dapat dilihat pada Tabel 3.3.15 dan distribusinya dapat dilihat pada Gambar 3.3.28. Tabel 3.3.15 Deskripsi statistik nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah Komponen
Mean
Std Dev
Min
Max
Std Err
Median
CV
Batang atas
38
9
21
65
1.7
38
24
Batang bawah
42
7
30
51
1.5
42
18
Batang mati
36
6
25
42
1.5
37
17
Buah
39
0.5
39
39
0.4
39
1
Daun
38
8
26
51
1.9
37
22
Hasil perbandingan mean dengan uji t menunjukkan bahwa fraksi karbon pada komponen buah, batang atas dan daun tidak berbeda nyata pada tingkat signifikansi dengan α 0.05, sedangkan hanya pada batang bawah dan batang mati yang memiliki nilai fraksi karbon yang berbeda (Gambar 3.3.28). Jarak perbedaan dan tingkat signifikansinya dapat dilihat pada Gambar 3.3.29. Nilai fraksi karbon (C%) pada pelepah mempunyai korelasi negatif dengan urutan tumbuh pelepah (order) sehingga semakin tua pelepah mempunyai kecenderungan memiliki nilai
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 213
fraksi karbon (C%) yang lebih rendah, tetapi secara statistik tidak berkorelasi secara signifikan.
Gambar 3.3.28 Distribusi nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah
Gambar 3.3.29 Uji perbandingan mean (uji t) fraksi karbon (%) pada komponen nipah
f.
Potensi C-stock Nipah Nipah merupakan salah satu bagian komunitas penyusun ekosistem mangrove
sehingga komunitas nipah juga mendukung fungsi ekosistem hutan mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon. Meskipun demikian, peranan nipah dalam menyimpan karbon berbeda dengan tegakan pohon mangrove. Sesuai dengan karakteristiknya sebagai tumbuhan palmae yang memiliki kandungan selulosa yang lebih rendah dibandingkan pohon berkayu maka nipah memiliki potensi simpanan
214 | S i n t e s i s R P I
karbon yang rendah. Berdasarkan hasil survey pada plot pengamatan 3, 4, 5 dan 6 yang didominasi nipah dengan luas bidang dasar hampir 100% (Tabel 3.3.16) menunjukkan bahwa komunitas nipah hanya mempunyai rata-rata potensi biomassa bagian atas (AGB) sebesar 75 (54-96) ton/ha pada α = 0.05 (Gambar 3.3.30). Dengan nilai fraksi karbon sebesar 38% untuk nipah dan 45% untuk nonnipah maka komunitas nipah tersebut hanya mempunyai cadangan karbon (C-stock) sebesar 29 (20–37) ton C/ha atau setara dengan karbondioksida di atmosfer sebesar 106 (75–137) ton CO2-eq. Besar potensi simpanan karbon ini dipengaruhi oleh komposisi dan karakteristik tegakan (kerapatan, luas bidang dasar). Pada nipah yang hidup tumbuh bersama dengan pohon mangrove dengan luas bidang dasar pohon mangrove >1% dari total luas bidang dasar menunjukkan bahwa keberadaan pohon mangrove meningkatkan simpanan karbon pada areal tersebut sehingga nilai AGBnya dapat mencapai 139 ton/ha (Gambar 3.3.30). Tabel 3.3.16 Kondisi tegakan pada plot pengamatan Plot 1 2 3 4 5 6
Kerapatan (n/ha) 1725 1425 1975 1150 1375 1450
Nipah Luas Bidang Dasar (m2/ha) 1297.09 1785.96 2966.85 2169.37 2756.80 2767.24
Non nipah Kerapatan Luas Bidang (n/ha) Dasar (m2/ha) 1500 18.67 100 13.27 100 0.10 300 1.56 550 1.20 75 2.15
Gambar 3.3.30 Grafik potensi aboveground biomass (AGB) pada plot pengamatan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 215
3.3.3 Dinamika Perubahan Tutupan Lahan Mangrove Penelitian dinamika perubahan tutupan lahan mangrove dilakukan pada beberapa lokasi yang secara spasial dapat diidentifikasi. Dinamika perubahan ini meliputi luas dan jenis-jenis vegetasi yang terdapat di dalam ekosistem mangrove, baik vegetasi mangrove itu sendiri maupun vegetasi lainnya seperti nipah. Selain itu, penelitian juga mengidentifikasi penyebab dan dampak perubahan terhadap kemampuan ekosistem mangrove dalam peranannya sebagai penyimpan karbon dan emisi CO2. Keberadaan hama mangrove juga menjadi permasalahan penting yang menyebabkan perkembangan mangrove menjadi terhambat. Lokasi penelitian dilakukan pada kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Kubu Raya (Kalimantan Barat), Pantai Utara Jawa Barat, TWA Pananjung Panganadaran (Cimais, Jawa Barat), dan Sukadana (Lampung Timur, Lampung), Selanjutnya, untuk mengetahui kondisi tutupan mangrove digunakan pemodelan distribusi jenis mangrove (pada level genus). Hal ini dimungkinkan apabila ditemukan pemintakatan mangrove yang jelas, yang mana ditemukan satu kelompok vegetasi mangrove dari genus yang sama dalam luasan yang lebih besar dari ukuran piksel citra yang digunakan. Sayangnya, hasil pengamatan lapangan di wilayah kajian belum ditemukan suatu lokasi yang luas dengan jenis yang seragam. Kondisi tutupan mangrove yang demikian menimbulkan kesulitan dalam penyusunan pemodelan distribusi jenis mangrove. Hal ini mengingat data yang digunakan yaitu data penginderaan jauh landsat yang memiliki resolusi 30x30 m atau lingkup luasan 900 m2. Hasil sementara yang dapat disajikan didasarkan pada hasil pengamatan jenis mangrove yang ada di setiap lokasi sampel. 3.3.3.1 Kondisi dan Dinamika Perubahan Tutupan Mangrove di Kubu Raya a.
Kondisi Tutupan Mangrove Kajian dilakukan dalam wilayah dengan koordinat 109000' 00" BT-109045'45'
BT dan 003'00" LS-0058'00" LS. Kondisi penutupan lahan hasil analisa landsat MSS tahun 1972, 1990, 2000 dan 2010 di wilayah kajian dapat dilihat pada Tabel 3.3.17, Gambar 3.3.31, 3.3.32, dan 3.3.33.
216 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.3.17 Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1972, 1990, 2000 dan 2010 di Kubu Raya (Kalimantan Barat) No
Penutupan Lahan
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Lahan terbuka Tambak Pertanian lahan kering Hutan lahan kering sekunder Hutan mangrove sekunder Hutan Rawa Sekunder Rumput Non mangroves Sawah Semak Permukiman Semak rawa Hutan lahan kering primer Hutan mangrove primer Hutan rawa primer Tubuh air Total
BRL CFP DCL DIF DIM DSF GRS NCL RCF SCH SET SSH UDF UDM USF WAB
Kondisi tutupan lahan tahun (ha) 1972
1990
2000
2010
5 8.889 514.584 160 1.288 58 1.399 112.924 3.549 269.824 912.680
563 8.889 370 16.238 2.026 425 514.584 160 2.793 325 19.668 638 75.015 270.986 912.680
2.903 378 8.889 377 21.981 2.026 689 514.584 160 2.432 357 17.997 236 69.407 270.262 912.680
690 1.855 8.889 498 24.644 2.026 689 514.584 160 4.830 370 19.867 116 63.110 270.353 912.680
Dari Tabel 3.3.17 diketahui di wilayah kajian tahun 1972 terdapat hutan mangrove primer (tak terganggu) dengan luas mencapai ± 112.924 ha atau 12,4% dari luas wilayah kajian.
Suatu jumlah yang tergolong tidak terlalu luas jika
dibandingkan dengan nonmangrove yang luasnya mencapai ±514.584 ha (56,4% dari luas wilayah kajian). Namun demikian, hutan mangrove primer ini luasannya terus mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya. Jika kondisi tahun 1972 dijadikan pembanding maka hutan mangrove primer pada tahun 1990 mengalami penurunan luas sebanyak 33,6% (berkurang menjadi ±75.015 ha), tahun 2000 turun 38,5% (berkurang menjadi ±69.407 ha) dan tahun 2010 turun lagi sebanyak 44,1% (tersisa menjadi ±63.110 ha) (Gambar 3.3.31). Jadi, selama 38 tahun (1972–2010) telah terjadi penurunan tutupan hutan mangrove primer di wilayah kajian seluas ±49.814 ha atau ±1.311 ha/tahun. Angka ini memang masih lebih kecil dibandingkan dengan penurunan tutupan hutan mangrove primer di pesisir timur Sumatera Utara yang per tahunnya mencapai luas ±2.940 ha (Onrizal, 2010).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 217
Luas (ha)
Tahun
Luas (ha)
Gambar 3.3.31 Perubahan luas hutan mangrove primer (1972-2010)
Tahun Gambar 3.3.32 Perubahan luas hutan mangrove sekunder (1972-2010) Seiring dengan penurunan tutupan hutan mangrove primer, terjadi peningkatan tutupan hutan mangrove sekunder (terganggu), yang mulai muncul tahun 1990. Jika pada tahun 1990 luas hutan mangrove sekunder ±16.238 ha dan luasan ini dijadikan pembanding maka pada tahun 2000 meningkat 35,4% (menjadi ±21.981 ha) dan tahun 2010 meningkat lagi 51,8% atau menjadi seluas ±24.644 ha (Gambar 3.3.32).
Berarti, selama 20 tahun tersebut (1990–2010) telah terjadi
peningkatan tutupan hutan mangrove sekunder seluas ±8.406 ha atau ±420 ha/tahun. Angka ini juga masih lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan tutupan hutan mangrove sekunder per-tahunnya di pesisir timur Sumatera Utara yaitu seluas ±811 ha (Onrizal, 2010).
218 | S i n t e s i s R P I
Jika diperhatikan di kedua lokasi, penurunan tutupan hutan mangrove primer di wilayah kajian sebesar 44,6% dan peningkatan tutupan hutan mangrove sekundernya 51,8% dari perubahan tutupan hutan mangrove yang terjadi di pesisir Timur Sumatera Utara.
Dengan demikian, kecenderungan perubahan tutupan
mangrove di wilayah kajian dapat dikatakan masih lebih baik.
( 1972)
(1990)
(2000)
(2010)
Gambar 3.3.33 Kondisi penutupan lahan wilayah kajian tahun 1972–2010 P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 219
b.
Penyebab Perubahan Tutupan Mangrove Luasan tutupan hutan mangrove primer menjadi susut disebabkan oleh adanya
perubahan menjadi beberapa jenis penutupan lahan lainnya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.3.18 (periode 1972–1990), Tabel 3.3.19 (periode 1990–2000) dan Tabel 3.3.20 (periode 2000–2010), Gambar 3.3.34 (periode 1972–1990), Gambar 3.3.35 (periode 1990–2000), dan Gambar 3.3.36 (periode 2000–2010). Pada Tabel 3.3.18 dapat dilihat bahwa pada periode 1972–1990 tutupan mangrove primer paling banyak berubah menjadi tutupan semak rawa (±18.145 ha atau ±16,1%), sedangkan urutan kedua adalah menjadi hutan sekunder (±14.975 ha atau ±13,3%). Berdasarkan pengamatan lapangan,, kegiatan pemanfaatan kayu mangrove (penebangan) untuk keperluan pertukangan dan industri arang diduga menjadi penyebab utama terganggunya hutan mangrove primer di wilayah kajian. Dalam periode 1990–2000 (Tabel 3.3.19), luasan tutupan hutan mangrove primer kembali berubah hingga menjadi ±69.407 ha, atau mengalami penurunan seluas ±5.608 ha. Tutupan mangrove primer ini berubah menjadi hutan mangrove sekunder seluas ±4.248 ha. Pemanfaatan lahan untuk tambak pada periode ini diduga menjadi faktor tambahan penyebab penurunan luasan tutupan mangrove di wilayah kajian. Pada periode 1990–2000 tersebut mulai terdapat tambak di wilayah kajian dengan luas ±378 ha. Penurunan luas tutupan mangrove primer terjadi juga selama periode tahun 2000 hingga tahun 2010 (Tabel 3.3.20). Pada tahun 2000 luas tutupannya ±69.407 ha sedangkan pada tahun 2010 adalah ±63.110 ha, atau mengalami penurunan seluas ±6.297 ha. Luas pemanfaatan lahan untuk tambak mengalami peningkatan hingga mencapai hampir 5 kali dari periode sebelumnya yaitu seluas ±1.855 ha. Pemanfaatan lahan mangrove untuk tambak ini paling banyak berasal dari hutan mangrove yang sudah menjadi semak rawa pada periode sebelumnya. Luasan semak rawa yang berubah menjadi tambak ini adalah ±958 ha. Sementara areal tambak yang berasal dari mangrove sekunder luasnya ±345 ha dan yang berasal dari hutan mangrove primer ±173 ha.
220 | S i n t e s i s R P I
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 221
222 | S i n t e s i s R P I
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 223
Gambar 3.3.34 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode 1972 –1990. Keterangan: SCH : DIF : DIM : UDF :
semak hutan lahan kering primer hutan mangrove sekunder hutan lahan kering primer
224 | S i n t e s i s R P I
UDM BRL GRS SET
: : : :
hutan mangrove primer lahan terbuka rumput pemukiman
SSH WAB DSF USF
: semak rawa : tubuh air : hutan lahan kering sekunder : hutan rawa primer
Gambar 3.3.35 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode 1990–2000. Keterangan: SCH : DIF : DIM : UDF : CFP :
semak hutan lahan kering primer hutan mangrove sekunder hutan lahan kering primer tambak
UDM : hutan mangrove primer BRL : lahan terbuka GRS : rumput SET : pemukiman
SSH : WAB : DSF : USF :
semak rawa tubuh air hutan lahan kering sekunder hutan rawa primer
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 225
Gambar 3.3.36 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode 2000–2010. Keterangan: SCH : DIF : DIM : UDF : CFP :
semak hutan lahan kering primer hutan mangrove sekunder hutan lahan kering primer tambak
226 | S i n t e s i s R P I
UDM : hutan mangrove primer BRL : lahan terbuka GRS : rumput SET : pemukiman
SSH : WAB : DSF : USF :
semak rawa tubuh air hutan lahan kering sekunder hutan rawa primer
Hal lain yang menjadi pemicu perubahan tutupan hutan mangrove pada kawasan hutan mangrove Kubu Raya adalah kegiatan eksplotasi kayu yang dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua perusahaan yang secara resmi mendapat izin untuk memanfaatkan kayu pada kawasan hutan mangrove kubu raya yaitu PT Bios dan PT Kandelia. Selain eksploitasi oleh perusahaan, sebagian masyarakat juga melakukan eksploitasi untuk produksi arang kayu. Seharusnya jika dikelola dengan baik melalui sistem pengelolaan hutan lestari, kegiatan pemanfaatan hutan mangrove dengan melakukan eksploitasi kayu hanya akan berdampak pada perubahan tutupan hutan yang sementara, karena jika setelah dilakukan penebangan kemudian dilakukan penanaman dan pemeliharaan akan mendukung pada proses pemulihan kembali tegakan. c.
Analisis Perubahan Tutupan Mangrove Terdapat beberapa metoda dalam menganalisis perubahan penutupan lahan,
antara lain perbandingan peta hasil klasifikasi, identifikasi perubahan spektral, dan klasifikasi multiwaktu. Pada kajian ini, perubahan penutupan hutan mangrove Kubu raya dianalisis dengan 2 metode yaitu 1) berdasarkan perubahan spektral menggunakan data INCAS 2000–2012 dan 2) perbandingan peta hasil klasifikasi Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. 1) Identifikasi perubahan tutupan hutan mangrove menjadi nonhutan Hasil dari interpretasi perubahan tutupan hutan mangrove dikawasan hutan mangrove Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan INCAS tahun 2000–2012 dapat dilihat pada Gambar 3.3.37. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2012 secara umum perubahan tutupan hutan mangrove menjadi nonhutan (semak, tambak, tanah terbuka) akibat penebangan mengalami penurunan. Pada tahun 2003, terjadi peningkatan perubahan menjadi non hutan dan kemudian mengalami penurunan hingga tahun 2009. Setelah tahun 2009, terjadi peningkatan kembali perubahan menjadi non hutan yang disebabkan oleh mulai beroperasinya perusahaan yang diberikan izin untuk melakukan penebangan. Rata-rata perubahan tutupan hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan tutupan vegetasi INCAS selama 2000–2012 adalah mencapai 179,3 ha (Gambar 3.3.38). P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 227
300.0
250.0 200.0 150.0 100.0 50.0 0.0
2011-2012
2010-2011
2009-2010
2008-2009
2007-2008
2006-2007
2005-2006
2004-2005
2003-2004
2002-2003
2001-2002
2000-2001
Luas Perubahan hutan mangrove menjadi non hutan (Ha)
350.0
Tahun perubahan
Gambar 3.3.37 Perubahan luas hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan data INCAS 2000–2012 di kawasan hutan mangrove Kubu Raya
Clearing 20002012
Gambar 3.3.38 Perubahan tutupan hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS 2000–2012 228 | S i n t e s i s R P I
2) Identifikasi perubahan nonhutan menjadi hutan mangrove Identifikasi perubahan tutupan hutan mangrove di kawasan hutan mangrove Kubu Raya dari nonhutan menjadi hutan mangrove dilakukan berdasarkan data tutupan hutan INCAS tahun 2000–2012. Hasil analisa perubahan ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.39.
Reveg 2000-2012
Gambar 3.3.39 Perubahan non hutan menjadi hutan mangrove berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS 2000–2012 Berdasarkan analisa data spasial INCAS 2000–2012, selain teridentifikasi adanya clearing (perubahan hutan mangrove menjadi nonhutan), juga teridentifikasi adanya perubahan areal yang sebelumnya nonhutan menjadi hutan mangrove. Hal
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 229
ini terjadi akibat adanya kegiatan rehabilitasi/penanaman ataupun pertumbuhan alami dari hutan mangrove yang sebelumnya mengalami gangguan.
600.0
500.0 400.0 300.0 200.0 100.0
2011-2012
2010-2011
2009-2010
2008-2009
2007-2008
2006-2007
2005-2006
2004-2005
2003-2004
2002-2003
2001-2002
-
2000-2001
Luas Perubahan non hutan menjadi hutan mangrove (Ha)
700.0
Tahun perubahan
Gambar 3.3.40 Grafik luas perubahan nonhutan menjadi hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS 2000–2012
Gambar 3.3.40 menunjukkan bahwa secara umum perubahan non hutan menjadi hutan mangrove pada tahun 2000–2012 mengalami penurunan, tetapi pada tahun 2004–2010 terjadi peningkatan areal non hutan yang teridentifikasi menjadi hutan mangrove. Selama kurun waktu 12 tahun (2000–2012), rata-rata perubahanmenjadi hutan mangrove mencapai 352 Ha. 3) Identifikasi perubahan landuse/landcover Identifikasi perubahan landuse/landcover pada kawasan hutan mangrove Kubu Raya dilakukan berdasarkan data Planologi, Kementerian Kehutanan. Analisis perubahan ini dilakukan dengan membandingkan peta hasil klasifikasi tutupan lahan pada tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, 2011, 2012 dan 2013. Hasil analisis ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.41 sampai dengan Gambar 3.3.43.
230 | S i n t e s i s R P I
1990
2000
2003
2006
2009
2011
2012
2013
Gambar 3.3.41 Perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan Plonologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan
98,000
Luas (Ha)
96,000 94,000 92,000 90,000
88,000 2000
2002
2004
2006 2008 Tahun
2010
2012
2014
Gambar 3.3.42 Luas tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 231
Gambar 3.3.43 Matrik perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya
232 | S i n t e s i s R P I
Berdasarkan hasil analisis tutupan hutan Planologi, Kementerian Kehutananan tersebut menunjukkan bahwa tutupan hutan mangrove di Kubu Raya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, teridentifikasi luas hutan mangrove di Kubu Raya mencapai 96.803 ha dan pada tahun 2013 tersisa 89.693 ha sehingga selama kurun waktu 13 tahun berkurang 7.110 ha atau rata-rata tiap tahun mencapai 492 ha. Berdasarkan matriks perubahan penggunaan/tutupan lahan menunjukkan bahwa berkurangnya tutupan hutan mangrove disebabkan perubahan menjadi semak belukar, tambak, tanah terbuka, pertanian, pemukiman dan perkebunan. Perubahan hutan mangrove terbesar adalah menjadi semak belukar. Hal ini dimungkinkan sebagai akibat dari kegiatan penebangan secara legal oleh perusahaan yang mendapat izin, serta oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal sehingga menjadi semak belukar atau tanah terbuka.
Gambar 3.3.44 Hutan mangrove Kubu Raya berdasarkan fungsi kawasan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 233
Berdasarkan analisa data tutupan hutan Planologi menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan deforestasi (perubahan hutan mangrove menjadi nonhutan). Secara umum, luas deforestasi tertinggi terjadi pada hutan lindung.
Namun
demikian, pada periode tahun 2000–2003 dan 2006–2009, areal hutan produksi (HP/HPT) mempunyai luas deforestasi tertinggi, yaitu 46% dan 81% dari total deforestasi yang terjadi pada periode tahun 2000–2003 dan 2006–2009.
Gambar 3.3.45 Grafik luas perubahan hutan mangrove menjadi nonhutan (deforestasi)
Luas Deforestasi (Ha)
1,600 1,400 1,200
1,000 800
APL
600
HL
400
HP
200
HPK 2012-2013
2011-2012
2009-2011
2006-2009
2003-2006
2000-2003
0
HPT
Tahun Periode
Gambar 3.3.46 Luas deforestasi pada masing-masing fungsi kawasan
234 | S i n t e s i s R P I
d.
Dinamika Perubahan pada Vegetasi Penyusun Ekosistem Mangrove Penelitian yang telah dilakukan di Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten
Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan areal PT. Kandelia Alam. Analisis vegetasi pada plot seluas 500 m2 diketahui terdapat 8 jenis mangrove dalam 4 suku dengan jumlah pohon sebanyak 46 batang. Empat jenis mangrove yang mendominasi yaitu Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia alba dan Xylocarpus moluccensis. R. apiculata mendominasi tingkat pohon (INP 121,75%) maupun tingkat semai (INP 69,51%) dengan penyebaran merata, sedangkan tingkat belta didominasi oleh B. gymnorrhiza dengan INP 58,52%. Kehadirannya secara lengkap pada setiap tingkat pertumbuhan ini memungkinkan keempat jenis tersebut berkembang di masa mendatang. Distribusi kelas diameter pohon di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah pohon semakin berkurang dari kelas diameter kecil (10–19 cm) menuju kelas diameter besar (>40 cm). Sebagian besar pohon (sebanyak 53%) menempati kelas diameter kecil (10–19 cm), diikuti oleh pohon dengan kelas diameter lebih besar (20–29 cm) sebanyak 31%, kemudian kelas diameter 30–39 cm (12%) dan pohon yang mempunyai diameter >40 cm yang jumlahnya semakin sedikit (4%). Distribusi diameter pohon seperti ini memungkinkan terjaminnya regenerasi tegakan di masa mendatang karena ketersedian permudaan tingkat semai dan pancang/belta yang cukup (Onrizal & Kusmana, 2004). Hal ini sebagai konsekuensi bahwa dalam suksesi hutan selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan struktur tegakan tersebut kemungkinan karena adanya perbedaan kemampuan pohon dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara/mineral dan air serta sifat kompetisi. Oleh karena itu, susunan pohon di dalam tegakan hutan akan membentuk sebaran kelas diameter yang bervariasi (Ewusie 1980). Selain vegetasi mangrove, perubahan tutupan juga terjadi pada sebaran vegetasi nipah. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan mangrove atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Hasil dari survei di Kubu Raya menunjukkan bahwa di kiri dan kanan tepi sungai dari Rasau Jaya menuju Batu Ampar banyak ditemukan komunitas nipah yang memanjang dengan tebal 5– 10 m. Pada umumnya, nipah membentuk tegakan murni tetapi pada areal tertentu
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 235
ditemukan bercampur dengan pohon mangrove lainnya. Selain ditepi aliran sungai, pada beberapa lokasi hutan mangrove yang telah terganggu di Kubu Raya juga ditemukan tegakan nipah. Hal ini diduga bahwa nipah telah menggantikan tegakan mangrove sebelumnya. Berdasarkan hasil Weed Risk Assesment (WRA), nipah mempunyai nilai 9 (>6, high risk) sehingga tergolong ke dalam jenis yang mempunyai potensi menjadi invasive plants. Identifikasi sebaran nipah dalam skala lanskap secara spatial dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Data satelit penginderaan jauh merupakan salah satu data untuk memperoleh informasi fenomena alam di permukaan bumi yang diperoleh melalui suatu alat media (sensor) yang dipasang pada sebuah pesawat atau satelit. Banyak citra satelit mempunyai kemampuan dan keunggulan dalam hal memetakan gambarnya. Hal ini tergantung dari setiap karakteristik satelitnya. Salah satu karakteristik yang memengaruhi kemampuan pemetaan citra satelit yaitu besarnya resolusi spasial. Resolusi spasial adalah ukuran objek terkecil yang masih dapat disajikan, dibedakan dan dikenali pada citra. Semakin kecil ukuran objek yang dapat direkam, semakin tinggi resolusi spasialnya. Terdapat 3 kategori resolusi spasial suatu citra satelit yaitu 1) resolusi spasial tinggi, berkisar antara 0,6–4 m; 2) resolusi spasial sedang, berkisar antara 4–30 m; 3) resolusi spasial rendah, berkisar antara 30–1.000 m. Mengingat sebaran nipah yang kadang ditemukan secara sporadis dan dalam suatu spot-spot yang tidak terlalu luas jika tumbuh bersama dengan pohon mangrove maka identifikasi nipah secara visual dalam skala lansekap dapat dilakukan dengan menggunakan citra satelit resolusi spasial tinggi, seperti GeoEye-1 (0,41 m pankromatik dan 1,65 m multispektral), Ikonos (0,82 m pankromatik dan 3,2 m multispektral), Quickbird (0,61 m pankromatik dan 2,44 m multispektral), Worldview-1 (0,50 m), World view-2 (1,84 m) (Gambar 3.3.47). Sedangkan jika menggunakan citra satelit resolusi menengah seperti landsat identifikasi nipah secara visual akan sulit dilakukan kecuali pada areal dengan tutupan nipah yang luas dan homogen (Gambar 3.3.48).
236 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.47 Identifikasi nipah dengan citra satelit resolusi tinggi (Image © digital globe tanggal peliputan 13/8/2013)
Gambar 3.3.48 Identifikasi nipah dengan menggunakan citra satelit resolusi menengah (Landsat peliputan tanggal 10/4/2013)
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 237
Hasil dari identifikasi berdasarkan citra resolusi tinggi (Image © digital globe) dan ground check di lapangan, lokasi sebaran nipah di kawasan hutan mangrove kubu raya dapat dilihat pada Gambar 3.3.49.
Gambar 3.3.49 Sebaran nipah di Kubu Raya
e.
Dampak Perubahan Tutupan Mangrove Penurunan tutupan dan kualitas hutan mangrove dapat menimbulkan dampak
negatif yang berkaitan dengan abrasi, tangkapan ikan di pantai, intrusi air laut ke daratan dan pencemaran perairan. Di wilayah kajian, terjadinya abrasi memang belum tampak dari hasil analisa citra, sedangkan informasi aspek tangkapan ikan di pantai, intrusi air laut ke daratan dan pencemaran perairan masih memerlukan kajian lebih lanjut. Sebalinya di tempat lain, degradasi hutan mangrove terbukti memberikan dampak berupa penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (65,7% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat dan 27,5% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap di pantai timur Sumatera Utara (Onrizal et al., 2009 dalam Onrizal 2010). Di pantai Napabalano Sulawesi Tenggara, konversi hutan mangrove menyebabkan berkurangnya secara nyata kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) (Amala 2004 dalam Onrizal 2010). 238 | S i n t e s i s R P I
Salah satu perubahan tutupan hutan mangrove yang teridentifikasi di kawasan hutan mangrove Kubu Raya adalah perubahan hutan mangrove menjadi tambak. Anwar et al. (2007) menyatakan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun. Namun, hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Pengurangan hutan mangrove terutama di areal green belt sudah barang tentu akan menurunkan produktivitas perikanan tangkap. Pengurangan hutan mangrove juga menyebabkan penurunan kemampuan mangrove dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air masih tergolong baik pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove yang relatif baik; sedangkan pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km. Anwar et al. (2007) menuliskan bahwa Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp. [vektor penyakit malaria] ternyata semakin meningkat populasinya seiring dengan semakin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Hal ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan semakin terbukanya areal pertambakan perikanan. Semenyata itu, kajian lain yang berkaitan dengan polutan telah dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery). Aktivitas perubahan tutupan hutan mangrove juga berdampak pada besarnya cadangan karbon yang terdapat dalam suatu kawasan. Aktivitas kegiatan penanaman/rehabilitasi akan berdampak pada peningkatan simpanan karbon, sebaliknya aktivitas kegiatan penebangan hutan mangrove sehingga tutupan hutan mangrove menjadi semak belukar, tanah terbuka, tambak akan menghasilkan emisi.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 239
Berdasarkan analisa data potensi cadangan karbon hutan mangrove sebesar 684 ton/ha CO2-eq dan analisa dinamika perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data Planologi, Kementerian Kehutanan maka aktivitas deforestasi yang terjadi di kawasan hutan mangrove Kubu Raya akan menghasilkan emisi sebesar 336,372 ton CO2-eq /tahun selama kurun waktu 2000-2012 (Gambar 3.3.50).
Gambar 3.3.50 Emisi Karbondioksida akibat deforestasi Hutan mangrove Kubu Raya selain sebagai emiter CO2 juga berperan sebagai karbon sekuester, yang mana selama kurun waktu 2000–2012 terjadi penambahan cadangan karbon sebesar 963,072 ton CO2-eq atau rata-rata tiap tahun sebesar 80,256 ton CO2-eq/tahun (Gambar 3.3.51). Demgan demikian, rata-rata emisi netto karbon dioksida di kawasan hutan mangrove Kubu Raya adalah sebesar 42,366 ton CO2-eq/tahun (Gambar 3.3.52).
240 | S i n t e s i s R P I
-50,000 -100,000 -150,000
-200,000 -250,000 -300,000 2011-2012
2010-2011
2009-2010
2008-2009
2007-2008
2006-2007
2005-2006
2004-2005
2003-2004
2002-2003
2001-2002
2000-2001
Penambahan simpanan karbon (ton CO2-eq)
0
Tahun
Gambar 3.3.51 Penambahan simpanan karbon (ton CO2-eq)
Gambar 3.3.52 Emisi netto karbon dioksida (ton CO2-eq)
3.3.3.2 Dinamika Perubahan Tutupan Mangrove di Pantai Utara Jawa Barat Kajian dilakukan di Pantai Utara Jawa Barat paada wilayah dengan koordinat 107000' 00" BT - 108050'00' BT dan 05055'00" LS - 06045'00" LS.
Kondisi
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 241
penutupan lahan hasil analisis landsat MSS tahun 1990, 2000 dan 2010 di wilayah kajian dapat dilihat pada Tabel 3.3.21. Tabel 3.3.21 Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1990, 2000 dan 2010 No
Penutupan Lahan
Kondisi tutupan lahan tahun (ha) 1990
2000
2010
1
Mangrove
25.736
20.593
5.066
2
Non mangrove
95.124
100.267
115.794
120.860
120.860
120.860
Jumlah
Sumber : Diolah dari hasil interpretasi citra landsat MSS tahun 1990, 2000 dan 2010
Hasil interpretasi citra landsat tahun 2010, tutupan mangrove di Pantai Utara Jawa Barat luasnya hanya ±5.066 ha. Padahal, pada tahun 1990 luasnya mencapai ±25.736 ha.
Hal ini berarti tutupan mangrove di Pantai Utara Jawa Barat
mengalami penurunan luas ±20.670 ha atau ±1.034 ha per tahun selama kurun waktu 20 tahun. Angka ini memang jauh di bawah penurunan tutupan mangrove di Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara periode 1977–2006 yang mencapai ±2.128 ha per tahun (Onrizal, 2010), tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan tutupan mangrove di Kalimantan Barat periode 1990–2010 yang hanya ± 595 ha per tahun (Subiandono et al., 2012).
Angka penurunan luas tutupan
mangrove per tahun di Jawa Barat ini setara dengan 1.400-an kali lapangan sepak bola (asumsi 1 ha setara dengan 1,429 kali lapangan sepak bola berukuran 100x70m). Penurunan luas tutupan mangrove
tersebut akan diikuti terjadinya
fragmentasi, yang pada gilirannya akan menyebabkan fungsi mangrove sebagai pelindung sempadan pantai dan tempat pemijahan biota perairan akan berkurang di wilayah Pantai Utara Jawa Barat. Kondisi seperti ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena penurunan luas tutupan selama periode 2000–2010 jauh lebih besar daripada yang terjadi selama periode 1990–2000. Jika pada periode 1990–2000 mengalami penurunan luas tutupan hanya ±5.143 ha (±514 ha per tahun) maka selama periode 2000–2010 penurunan luas tutupan mencapai ±15.527 ha atau ±1.553 ha per tahun. 242 | S i n t e s i s R P I
Wilayah kajian mencakup lima daerah yaitu Bekasi, Kerawang, Subang, Indramayu dan Cirebon.
Di antara kelima daerah tersebut, Kerawang yang
potensial mempunyai habitat mangrove terluas yaitu mencapai ±36% atau 9.265 ha pada tahun 1990. Sementara, habitat mangrove di Bekasi (Muara Gembong) dan Subang (Blanakan dan Pemanukan) memiliki luas yang tidak terlalu besar. Namun, kedua daerah ini mempunyai kelebihan karena pada tapak tertentu di kedua lokasi tersebut terdapat mangrove yang distribusinya relatif kompak. Pada tahun 1990 luas tutupan mangrove di Bekasi ±4.375 ha (17%), Kerawang ±9.265 ha (36%) dan Subang ±6.691 ha (26%) (Gambar 3.3.53 sampai dengan Gambar 3.3.55).
Gambar 3.3.53 Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun 1990
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 243
Gambar 3.3.54 Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun 1990
Gambar 3.3.55 Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun 1990 244 | S i n t e s i s R P I
Berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 2000, distribusi mangrove di Kerawang dan Subang menunjukkan adanya perbaikan kondisi, dalam hal ini nampak semakin tebal jika dibandingkan dengan kondisi tahun 1990. Sebaliknya, distribusi mangrove di Bekasi, Indramayu dan Cirebon dalam kondisi menipis (Gambar 3.3.56 sampai dengan Gambar 3.3.58). Distribusi mangrove yang menipis dan terfragmentasi semakin nampak nyata pada tahun 2010 (Gambar 3.3.59 sampai dengan Gambar 3.3.61). Bila pada tahun 2000 mangrove di Kerawang dan Subang distribusinya nampak menebal, bahkan di Bekasi dan Subang terdapat tapak yang mangrovenya relatif kompak. Namun demikian, semua wilayah kajian umumnya semakin menipis pada tahun 2010, kecuali di Bekasi yang masih ditemukan mangrove dengan distribusi kompak.
Gambar 3.3.56 Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun 2000
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 245
Gambar 3.3.57 Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun 2000
Gambar 3.3.58 Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun 2000 246 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.3.59 Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun 2010
Gambar 3.3.60 Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun 2010 P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 247
Gambar 3.3.61 Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun 2010
Terjadinya perubahan penutupan mangrove memang tidak dapat dihindari karena mangrove dan habitatnya mempunyai nilai ekonomi dan akses yang mudah. Kayu mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, industri pulp dan kertas, kayu bakar dan arang (Kusmana, 2013) sehingga mangrove akan menjadi sasaran masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan kayu. Namun demikian, mangrove itu sendiri mengalami dinamika. Pada tempat tertentu hilang tetapi di tempat lain tumbuh mangrove baru secara alami sehingga ada penutupan mangrove yang berubah menjadi nonmangrove dan sebaliknya ada nonmangrove yang menjadi mangrove (Tabel 3.3.22).
248 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.3.22 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian tahun 1990–2000 Perkembangan tutupan Kondisi tutupan lahan tahun 1990 (ha)
Mangrove Nonmangrove Jumlah
Kondisi tutupan lahan tahun 2000 (ha) Mangrove
Nonmangrove
Jumlah
11.862
13.874
25.736
8.731
86.393
95.124
20.593
100.267
120.860
Sumber: Diolah dari hasil interpretasi citra landsat MSS tahun 1990 dan 2000
Dalam periode 1990–2000 terjadi pengurangan tutupan mangrove yang berubah menjadi nonmangrove seluas ±13.874 ha. Hal ini banyak terjadi di Bekasi, Indramayu dan Cirebon. Sebaliknya, terjadi penambahan seluas ±8.731 ha tutupan mangrove dari nonmangrove yang terjadi di Kerawang dan Subang. Penambahan ini terjadi karena perkembangan mangrove alami maupun hasil penanaman di kedua lokasi tersebut (Gambar 3.3.62 sampai dengan Gambar 3.3.64).
Gambar 3.3.62 Perubahan tutupan mangrove di Bekasi dan Kerawang periode 1990–2000
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 249
Gambar 3.3.63 Perubahan tutupan mangrove di Subang periode 1990–2000
Gambar 3.3.64 Perubahan tutupan mangrove di Subang, Indramayu dan Cirebon periode 1990–2000 250 | S i n t e s i s R P I
Hal yang sama terjadi pula dalam periode 2000–2010, bahkan dengan kondisi yang lebih berat. Dalam kurun waktu ini terjadi pengurangan tutupan mangrove yang berubah menjadi nonmangrove seluas ±17.010 ha, sedangkan nonmangrove yang meningkat menjadi mangrove hanya ±1.483 ha (Tabel 3.3.23). Hal ini terjadi secara umum di semua daerah (Gambar 3.3.65 sampai dengan Gambar 3.3.67). Tabel 3.3.23 Perubahan tutupan lahan wilayah kajian tahun 2000–2010 Perkembangan tutupan Kondisi tutupan lahan tahun 2000 (ha)
Kondisi tutupan lahan tahun 2010 (ha) Mangrove
Nonmangrove
Jumlah
Mangrove
3.583
17.010
20.593
Nonmangrove
1.483
98.784
100.267
Jumlah
5.066
115.794
120.860
Sumber: Diolah dari hasil interpretasi citra landsat MSS tahun 2000 dan 2010
Gambar 3.3.65 Perubahan tutupan mangrove di Bekasi dan Kerawang periode 2000–2010
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 251
Gambar 3.3.66 Perubahan tutupan mangrove di Subang periode 2000–2010
Gambar 3.3.67 Perubahan tutupan mangrove di Subang, Indramayu dan Cirebon periode 2000–2010 252 | S i n t e s i s R P I
Terjadinya penurunan tutupan mangrove menjadi nonmangrove di Pantai Utara Jawa Barat umumnya bukan disebabkan oleh pencemaran air dan tanah di habitat mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kualitas air maupun kandungan dan kedalaman pirit yang relatif baik pada ekosistem mangrove. Kerusakan yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh alihfungsi kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman, dan reklamasi pantai untuk kawasan wisata (Onrizal, 2002). Fenomena ini ini juga terjadi di tempat lain seperti di Pantai Timur Sumatera Utara (Onrizal, 2010), Kubu Raya (Subiandono et al., 2012) dan Sampang (Khomsin, 2005).
Gambar 3.3.68 Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jawa Barat
Distribusi mangrove di Pantai Utara Jawa Barat ada yang berada di hutan lindung dan ada pula yang di areal penggunaan lain (APL) (Gambar 3.3.68). Melalui tumpangsusun kondisi mangrove tahun 1990 terhadap peta fungsi hutan (Gambar 3.3.68) dapat dipersentasekan bahwa distribusi mangrove di Pantai Utara Jawa Barat sebagian besar (±57%) berada di dalam kawasan hutan lindung, sedangkan sebagian lagi (±43%) masuk dalam APL. Jika menyimak perubahan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 253
tutupan mangrove periode 2000–2010 [yang penurunannya cukup besar yaitu mencapai ±15.527 ha atau tiga kali lebih besar daripada penurunan periode 1990– 2000] maka dalam waktu mendatang perlu upaya keras untuk pemulihan ekosistem mangrove di Pantai Utara Jawa Barat. Oleh sebab itu, kawasan hutan lindung mangrove perlu dipertahankan kelestariannya agar fungsi ekologis dan sosial ekonominya berkesinambungan.
3.3.3.3 Dinamika Perubahan Tutupan Mangrove di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu hutan pantai Pasir Putih (koordinat 07°42'21,9" LS dan 108°39'11,6" BT) dan Karang Ranjang (koordinat 07°43'00,9" LS dan 108°40'33,4" BT) (Gambar 3.3.69). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hutan pantai Pasir Putih tersusun oleh 45 jenis tumbuhan yang tercakup dalam 15 suku; sedangkan hutan pantai Karang Ranjang disusun oleh 43 jenis yang tercakup dalam 14 suku, jadi lebih sedikit daripada di Pasir Putih (Tabel 3.3.24). Jumlah jenis pohon di lokasi ini lebih tinggi daripada di SM Pulau Rambut yang disusun oleh 22 jenis (Onrizal & Kusmana, 2004).
Gambar 3.3.69 Lokasi penelitian hutan pantai di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat
254 | S i n t e s i s R P I
Tabel 3.3.24 Jumlah suku dan jumlah pohon dalam plot 4.000 m2 di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat Lokasi Pasir Putih Karang Ranjang
Jumlah jenis
Jumlah pohon
Jumlah suku
16 15
76 69
15 14
Sumber: Diolah dari hasil analisis vegetasi
Kondisi tegakan di hutan pantai di Pasir Putih lebih baik daripada di lokasi Karang Ranjang (Gambar 3.3.70). Hutan pantai di Karang Ranjang relatif terbuka sehingga di beberapa tempat ditemukan tumbuhan pioner Mallotus. Pada hutan pantai Pasir Putih, jenis vegetasi dengan tinggi >20 m didominasi Calophyllum inophyllum dan Heritiera litoralis, jenis vegetasi dengan tinggi 10–20 m didominasi Sterculia sp. dan Caseona grewifolia, sedangkan jenis vegetasi dengan tinggi <10 m didominasi Thespesia populnea dan Terminalia catappa. Sementara itu, jenis vegetasi dengan tinggi >20 m pada hutan pantai Karang Ranjang didominasi Pterospermum javanicum dan C. inophyllum, jenis vegetasi dengan tinggi 10–20 m didominasi Diospyros bantamensis dan H. litoralis, sedangkan jenis vegetasi dengan tinggi <10 m didominasi Aglaia barbatula dan Myristica guatterifolia.
a
b
Gambar 3.3.70 Kondisi tegakan di hutan pantai di Pasir Putih (a) dan Karang Ranjang (b), TWA Pananjung Pangandaran (Jawa Barat) Jenis yang mendominasi regenerasi secara lengkap (hadir pada setiap strata) di hutan pantai Pasir Putih yaitu T. populnea pada tingkat pohon maupun tingkat belta (masing-masing dengan INP 23,59% dan INP 16,93%) dan jenis H. litoralis P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 255
pada tingkat semai (INP 13,10%) (Tabel 3.3.25). Di hutan pantai Karang Ranjang; jenis yang mendominasi regenerasi secara lengkap pada tingkat pohon yaitu Dysoxylum amooroides (INP 37,27%), tingkat belta yaitu Ficus sp. (INP 35,00%), dan tingkat semai Antidesma bunius (INP 11,43%) (Tabel 3.3.26). Tabel 3.3.25 Jenis tumbuhan yang regenerasinya lengkap di hutan pantai Pasir Putih No.
Nama Botani
Suku
INP (%) Semai
Belta
Pohon
1.
Thespesia populnea
Malvaceae
12,49
16,93
23,59
2.
Nauclea sp.
Rubiaceae
4,27
4,63
6,59
3.
Buchanania arborescens
Anacardiaceae
9,40
11,48
19,88
4.
Pterospermum javanicum
Sterculiaceae
2,85
10,69
16,11
5.
Heritiera litoralis
Malvaceae
13,10
4,07
12,03
6.
Dysoxylum rufum
Meliaceae
9,06
15,13
9,30
Sumber: Diolah dari hasil analisis vegetasi
Tabel 3.3.26 Jenis tumbuhan yang regenerasinya lengkap di hutan pantai Karang Ranjang No.
Nama Botani
Suku
INP (%) Semai
Belta
Pohon
1.
Dysoxylum amooroides
Meliaceae
8,23
18,32
37,27
2.
Ficus sp.
Moraceae
5,24
35,00
11,6
3.
Antidesma bunius
Euphorbiaceae
11,43
6,85
3,52
4.
Syzygium cymosum
Myrtaceae
9,06
6,26
7,24
5.
Thespesia populnea
Malvaceae
1,42
11,48
2,13
Sumber: Diolah dari hasil analisis vegetasi
Distribusi diameter pohon di lokasi yang diamati membentuk kurva “L”. Hal ini terlihat dari struktur tegakan hutan di lokasi penelitian yang menunjukkan jumlah pohon semakin berkurang dari kelas diameter kecil (kelas 10–19 cm sebanyak 16 pohon) ke kelas diameter besar (>50 cm sebanyak 5 pohon) (Gambar 3.3.71). Hutan yang seperti ini biasa disebut sebagai hutan dalam kondisi seimbang sehingga akan menjamin terjadinya regenerasi tegakan di masa mendatang karena ketersediaan 256 | S i n t e s i s R P I
permudaan tingkat semai dan pancang/belta yang cukup, seperti halnya yang dijumpai di SM Pulau Rambut (Onrizal & Kusmana, 2004).
Gambar 3.3.71 Distribusi pohon berdasarkan kelas diameter di hutan pantai TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat
3.3.3.4 Dinamika Kondisi Mangrove Akibat Hama di Sukadana, Lampung Timur Serangan hama terhadap tanaman mangrove telah terjadi di Indonesia. Hal ini mulai mengemuka sejak bulan April 2011 yang terjadi di Balikpapan (Kalimantan Timur) dengan ditemukannya ulat yang menyerang tanaman mangrove seluas 3 ha. Pada bulan Maret 2012, serangan hama ulat ditemukan dan menyerang tanaman api-api seluas 10 ha di Probolinggo. Pada bulan Juni 2012, terjadi serangan pada areal puluhan hektar tanaman mangrove di Waingapu (Sumba Timur), Selanjutnya, terdapat laporan serangan hama ulat di Surabaya (Jawa Timur) pada bulan Maret 2013 terhadap beberapa hektar tanaman mangrove. Pada akhir tahun 2012, tanaman mangrove di Sukadana (Kabupaten Lampung Timur) juga mengalami serangan hama. Serangan hama pada tanaman mangrove ini terjadi sekali dalam setahun. Pada serangan tingkat berat, seluruh daun habis dan hanya menyisakan ranting-rantingnya (Gambar 3.3.72). Namun demikian, serangan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 257
ini mereda dengan sendirinya seiring berlangsungnya hujan yang intensif. Pada saat penelitian ke lapangan, serangan hama pada tanaman mangrove di Sukadana tersebut telah berakhir, tetapi masih ditemukan beberapa ngengat dan ulatnya.
a
b
Gambar 3.3.72 Tanaman A. marina yang meranggas daunnya (a) karena serangan ulat (b) Terdapat tiga jenis serangga yang menyerang tanaman mangrove, salah satunya adalah Streblote sp. (Lasiocampidae, Ledidoptera; identifikasi LIPI 2013) pada stadia larva (ulat) yang tanaman mangrove. Ulat tersebut umumnya menyerang dengan memakan daun-daun tanaman bakau (R. apiculata) dan api-api (A. marina) di pantai Kabupaten Lampung Timur (Gambar 3.3.73).
Dengan
merujuk Ong Su Ping (FRIM 2011), serangga ulat daun yang menyerang R. apiculata dan A. marina tersebut adalah jenis Streblote lipara.
a
b
Gambar 3.3.73 Ulat Streblote sp. (a) yang menyerang tanaman R. apiculata dan A. marina serta ngengatnya (b)
258 | S i n t e s i s R P I
3.4 3.4.1
Manfaat Sosial Ekonomi Konservasi Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Prospek Hutan Mangrove Sebagai Destinasi Ekowisata di Tanjung Batu, Kabupaten Berau Kekayaan flora dan fauna dan potensi fisik yang dimiliki merupakan salah
satu modal dasar yang berharga dalam upaya pengembangan ekowisata mangrove sebagai obyek daya tarik wisata alam. Dalam hal ini pemerintah pusat melalui Direktorat Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah Kabupaten Berau telah menyusun rencana pembangunan kawasan pusat informasi mangrove (PIM) di Tanjung Batu. Ke depannya kawasan tersebut akan dijadikan sebagai sarana percontohan rehabilitasi mangrove, pendidikan konservasi, serta ekowisata mangrove. Di kawasan PIM telah ditemukan 25 jenis mangrove, 31 jenis burung, serta 4 jenis mamalia. Bahkan, untuk jenis burung kemungkinan penambahan jenis masih dimungkinkan bila dilakukan pengamatan lebih lanjut. Beberapa burung migran sebagai pengunjung hutan mangrove dapat dijadikan atraksi wisata yang menarik. Selain itu, dari segi fisik, habitat mangrove yang berhadapan dengan laut Sulawesi menawarkan panorama keindahan tersendiri. Sebagian besar tanah pada kawasan tersebut berpasir dan semakin ke timur dan selatan masih memiliki batu karang yang baik sehingga dapat dijumpai berbagai jenis ikan. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas wisata berupa memancing maupun bermain kano atau jet ski. Pengembangan ekowisata mangrove dapat dilakukan dengan mencontoh kegiatan ekowisata mangrove yang telah berdiri sebelumnya. Beberapa contoh sukses pengembangan ekowisata mangrove seperti di kota Tarakan dengan Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) yang menawarkan keunikan hewan langka bekantan beserta vegetasi mangrove di dalamnya. Selain itu, di Mangrove Information Center (MIC) Bali seperti yang dilaporkan oleh Wahyuni et al. (2008) menyebutkan bahwa kegiatan ekowisata di kawasan tersebut menawarkan kegiatan wisata berupa mangrove educational tour and trekking, bird watching, fishing, mangrove tree plantation and adoption, canoing, dan boating. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 259
Bila dilihat dari potensi fisik serta kekayaan flora dan fauna yang dimiliki maka PIM Berau berpotensi untuk menggabungkan seluruh aspek wisata yang ditawarkan oleh KKMB dan MIC Bali. Bahkan, kawasan PIM memiliki sedikit keunggulan dibandingkan MIC Bali karena di kawasan tersebut dapat ditemui bekantan dan monyet ekor panjang sebagai fauna yang secara ekologi memang penghuni hutan mangrove di kawasan tersebut. Dalam hal keunikan ciri khas flora dan fauna yang dapat menjadi ciri khas atau ikon bagi ekowisata mangrove di PIM Berau adalah Camptostemon philippinense untuk jenis vegetasi mangrove, elang bondol (Haliastur indus) untuk jenis burung, dan bekantan (Nasalis larvatus) untuk kelompok mamalia. Camptostemon philippinense merupakan jenis mangrove yang ditemui dominan di kawasan PIM dan secara ekologi sebarannya sangat terbatas di Filipina, Sulawesi, dan Kalimantan saja. Sedangkan elang bondol dan bekantan merupakan satwa yang secara hukum dilindungi di Indonesia melalui PP.No.7/1999 karena keberadaanya sudah mulai langka dan jarang ditemui. Selain potensi flora dan fauna yang dimiliki, masyarakat kampung Tanjung Batu yang menetap di sekitar PIM Berau memiliki kekayaan seni dan budaya yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Sebagian besar penduduk Tanjung Batu didominasi oleh etnis Bajau dan Bugis yang memiliki kultur sangat kuat dengan kehidupan pesisir dan laut. Sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil tangkapan para nelayan di laut, setiap tahunnya masyarakat etnis Bajau di Tanjung Batu mengadakan upacara berupa pesta adat (pesta laut) yang bernama Dalling. Pesta adat tersebut diisi dengan berbagai ritual, nyanyian, dan tari-tarian khas masyarakat pesisir Bajau. Panorama pantai juga merupakan salah satu daya tarik yang sangat diminati oleh bagi sebagian besar wisatawan. Posisi pantai di sekitar PIM Berau berhadapan langsung dengan laut Sulawesi. Keunikan dari pantai di sekitar PIM adalah teksturnya yang justru dominan berpasir dan sedikit berlumpur. Hal ini sedikit berbeda dengan pantai hutan mangrove pada umumnya yang berlumpur. Sehingga, pada saat air laut sedang surut dapat dengan mudah mengelilingi sekitar kawasan PIM Berau hanya dengan berjalan kaki.
260 | S i n t e s i s R P I
Kondisi infrastruktur dan aksesbilitas menuju Tanjung Batu semakin membaik seiring pelaksanaan PON tahun 2008. Beberapa proyek fisik yang terlihat seperti pembangunan bandar udara di Tanjung Redeb, pengaspalan jalan menuju Tanjung Batu, pembuatan wisma atlet, serta peningkatan dermaga penyebrangan. Peningkatan
infrastruktur
memudahkan
aksesbilitas
bagi
wisatawan
dari
Kalimantan maupun luar Kalimantan. Waktu tempuh yang dapat dicapai dari Tanjung Redeb menuju Tanjung Batu yang berjarak 100 km adalah sekitar 2,5 jam dengan kondisi jalan baik. Sementara itu, bagi para wisatawan yang ingin melanjutkan perjalanan menuju Pulau Derawan dapat menempuh waktu sekitar 45 menit saja melalui dermaga penyebrangan di Tanjung Batu. Perbaikan dan peningkatan infrastuktur secara tidak langsung telah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Berau. Lintasberita (2009) melaporkan jumlah kunjungan wisatawan ke Berau tahun 2009 mencapai 35.000 orang. Kaltimpost (2010) melaporkan bahwa kunjungan wisatawan ke Berau sampai Juni 2010 saja sebanyak 60.000 orang. Dari jumlah tersebut rata-rata jumlah kunjungan wisatawan asing tiap bulannya adalah 300 orang dan wisatawan lokal 4500 orang tiap bulan. Jumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat sampai akhir tahun hingga menembus angka 250.000 ribu orang. Tren kunjungan wisatawan ini terlihat mengalami peningkatan pesat dari tahun ke tahun. Sebagian besar wisatawan yang mengunjungi Berau adalah untuk menikmati keindahan dan keunikan bahari yang berada di Pulau Derawan dan sekitarnya. Di lokasi PIM sendiri tengah direncanakan pembangunan beberapa fasilitas pendukung yaitu gedung PIM, kantin dan souvenir shop, waste management building, timber decking, shelter, dermaga (jetty), observation tower, gubug kerja, demplot silvofishery, dan demplot rehabilitasi (Departemen Kelautan Dan Perikanan, 2008). Dengan selesainya pembangunan fasilitas pendukung PIM, terbuka peluang besar untuk menjadikan ekowisata mangrove sebagai salah satu alternatif destinasi ekowisata yang baru. Target awal yang menjadi wisatawan pengunjung PIM adalah wisatawan yang mengunjungi pulau-pulau di sekitar Berau. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan promosi secara langsung maupun dengan menjalin kerjasama dengan biro perjalanan wisata untuk memasukkan PIM dalam rangkaian paket perjalanan wisata. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 261
Saat ini jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Berau terus mengalami kecenderungan peningkatan. Data jumlah kunjungan wisatawan ke Berau selama empat tahun terakhir berdasarkan tingkat hunian hotel atau penginapan yang tercatat di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Berau ditampilkan pada Gambar 3.4.1.
Tahun Sumber: data diolah dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Berau Gambar 3.4.1
Jumlah kunjungan wisatawan ke Berau empat tahun terakhir
Berdasarkan pada grafik terlihat bahwa telah terjadi kecenderungan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Berau sejak tahun 2007. Hanya pada tahun 2010 terjadi fluktuasi sedikit penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung. Tren peningkatan kunjungan wisatawan merupakan sesuatu hal yang positif bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Berau. Menurut kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Berau sekitar 80% wisatawan yang berkunjung ke Berau memiliki preferensi melakukan perjalanan wisata bahari, khususnya di sekitar kepulauan Derawan (Radar Tarakan, 2011). Sehingga, secara ekonomis hal tersebut menjadi peluang pasar yang cukup terbuka bagi PIM Berau yang terletak berdekatan dengan zona pariwisata yang paling terkenal di Berau.
262 | S i n t e s i s R P I
Segmentasi pasar kegiatan pengembangan ekowisata mangrove di PIM Berau ini mengacu pada Soekadijo (1996) yang membaginya ke dalam tiga segmen utama, yaitu: 1.) Geografis: berdasarkan indikator geografis (daerah asal) maka yang menjadi segmen utama pasar adalah seluruh wisatawan lokal dan mancanegara yang melakukan kunjungan wisata ke kepulauan Derawan. Untuk wisatawan lokal terutama adalah wisatawan yang berdomisili di Berau dan daerah sekitarnya. 2.) Sosio-profesional: berdasarkan indikator ini maka segmen pasar yang ingin dituju terutama adalah kalangan pelajar, mahasiswa, peneliti, dan masyarakat umum yang memiliki kepedulian dan ketertarikan terhadap hutan mangrove. 3.) Motivasi: berdasarkan motivasinya maka segmentasi pasar yang dituju adalah para wisatawan yang memiliki minat tinggi terhadap keunikan dan keindahan alam serta para peneliti yang ingin melakukan penelitian menyangkut berbagai aspek tentang hutan mangrove, khususnya di sekitar PIM Berau.
Berdasarkan hasil deskripsi dan kuantifikasi berbagai potensi ekowisata yang dimiliki maka dibuat analisis SWOT untuk menyusun alternatif strategi pengembangan ekowisata mangrove di PIM Berau ke depannya. Matriks analisis SWOT disajikan pada Tabel 3.4.1. Tabel 3.4.1 Matriks analisis SWOT Strength (Kekuatan) 1. Kawasan PIM Berau dikelola oleh Pemkab Berau yang mendukung penuh ekowisata 2. Keanekaragaman hayati sebagai ODTWA 3. Masih terdapat seni budaya lokal 4. Persepsi dan kultur masyarakat lokal yang mendukung pengembangan ekowisata 5. Memiliki areal tambahan untuk perluasan kawasan ekowisata 6. Tingkat ekonomi masyarakat lokal yang cukup mapan 7. Perlindungan ekosistem melalui peraturan Bupati No.31 Tahun 2005 tentang Kawasan Konservasi Laut 8. Tingkat kriminalitas yang rendah
Weakness (Kelemahan) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Progress pembangunan PIM Berau yang belum selesai Kurangnya promosi menyangkut potensi ekowisata di PIM Berau Kerjasama secara kolaboratif dengan instansi/pihak lain kurang intens Inventarisasi keanekaragaman hayati sebagai ODTWA belum optimal Aksesbilitas yang jauh dari kota besar di Kaltim (Samarinda dan Balikpapan) Sebagian hutan mangrove mengalami kerusakan. Belum disahkannya rencana umum tata ruang dan tata wilayah Bekantan sebagai salah satu satwa yang menarik berada di luar PIM Berau
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 263
Opportunities (Peluang)
Threatness (Ancaman)
1. Berada pada jalur perlintasan wisata bahari lain yang sudah terkenal 2. Persepsi wisatawan yang mendukung rencana pengembangan ekowisata mangrove di PIM Berau 3. Nilai ekonomi dari pengelolaan PIM Berau 4. Kerjasama dengan instansi/pihak lain dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata mangrove di PIM Berau 5. Tren peningkatan jumlah wisatawan ke Berau 6. Terciptanya lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru 7. Selesai dibangunnya terminal bandara yang baru 8. Rencana pembangunan dermaga ferry di Tanjung Batu
1. Kebutuhan lahan untuk perluasan kampung yang terus meningkat 2. Kebutuhan akan kayu bangunan dan material perahu/bagan nelayan 3. Arus pendatang dari luar kampung 4. Kemungkinan budaya vandalisme wisatawan 5. Perilaku membuang sampah masyarakat lokal 6. Ancaman bencana alam seperti tsunami
Berdasarkan matriks analisis SWOT yang telah disusun maka alternatif strategi pengembangan ekowisata mangrove di PIM Berau yang mungkin untuk diterapkan adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatkan
promosi
untuk
menarik
minat
wisatawan
lokal
dan
mancanegara. Hal tersebut dapat dilakukan pihak pengelola dengan cara kampanye melalui media massa serta peran serta dalam ajang pameran pariwisata untuk memperkenalkan PIM Berau. 2.
Menyusun konsep kerjasama secara kolaboratif antara Pemkab Berau, Kementerian KKP, Kemenhut, swasta, LSM, dan masyarakat setempat dalam hal pengelolaan dan pengembangan PIM Berau ke depannya. Dilakukan dengan cara menggalang koordinasi pertemuan untuk membangun kesamaan persepsi dan tindakan nyata di antara para stakeholder tersebut.
3.
Menentukan segementasi pasar dan konsep paket ekowisata yang menarik bagi wisatawan. Dapat dilakukan pihak pengelola dengan survey pasar serta dengan kaji banding ke beberapa lokasi ekowisata mangrove yang telah eksis, seperti KKMB Tarakan atau Mangrove Information Center (MIC) Bali.
4.
Membangun partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembuatan souvenir/cinderamata serta menjaga kelestarian mangrove. Dapat dilakukan pihak pengelola dengan bekerjasama dengan pihak pemerintahan kampung atau kecamatan sebagai perpanjangan tangan atau dengan dengan memanfaatkan
264 | S i n t e s i s R P I
mediator dan fasilitator dari beberapa LSM dan forum yang ada di Tanjung Batu, seperti JALA (jaringan nelayan) dan forum masyarakat penyelamat lingkungan hidup. 5.
Mempercepat progress pembangunan PIM Berau. Pemkab Berau bekerjasama dengan DPRD Berau dalam hal penganggaran pembangunan PIM Berau di APBD serta komunikasi intensif dengan pihak Kementerian KKP sebagai inisiator dan penyedia anggaran perencanaan pembangunan PIM.
6.
Melakukan perlindungan dan rehabilitasi sebagian hutan mangrove yang rusak. Dilakukan dengan gerakan rehabilitasi yang melibatkan masyarakat setempat.
7.
Kerjasama dengan pihak lain untuk studi potensi sosial ekonomi dan biofisik pada hutan mangrove untuk pengembangan ekowisata lebih lanjut. Terutama studi menyangkut kemungkinan memindahkan Bekantan ke dalam kawasan PIM juga perlu dilakukan . Studi dapat dilakukan dengan bekerjasama lembaga penelitian, perguruan tinggi atau LSM.
8.
Pemasangan papan informasi larangan perusakan, pembuangan sampah dan vandalisme dalam kawasan hutan mangrove. Implementasi dari strategi kebijakan pengembangan ekowisata mangrove di
PIM Berau diharapkan akan mampu mendongkrak citra dunia pariwisata Berau sehingga pada akhirnya jumlah kunjungan wisatawan akan meningkat dan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Untuk itu, kerjasama dengan berbagai pihak mutlak dilakukan untuk mempermudah implementasi strategi yang ingin dicapai ke depannya. 3.4.2
Penilaian Ekonomi Manfaat Langsung dan Tidak Langsung Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai
3.4.2.1 Nilai Guna Langsung (Direct Use Value/DUV) Kuantifikasi nilai ekonomi manfaat nilai guna langsung fungsi sumber daya hutan mangrove diperoleh dari nilai jenis pemanfaatan tegakan pohon bakau terdiri dari manfaat kayu (untuk kayu bakar, kayu bahan bangunan, lanrang, togo dan ajir rumput laut) dan daun dengan masing-masing rincian asumsi dasar penilaian sebagai berikut: P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 265
a. Kayu 1) Rumah/Pondok Kerja Kebutuhan kayu untuk 1 buah rumah singgah ukuran 3 x 7 m nelayan muara yang ada pada ekosistem mangrove TNRAW adalah: (1) Kayu tangir berdiameter 15 cm dan panjang 5 m dibutuhkan 9 batang (untuk tiang). (2) Kayu tangir berdiameter 15 cm dan panjang 8 m dibutuhkan 9 batang (untuk landasan lantai, layang-layang, bubungan ). (3) Kayu tangir berdiameter 15 cm dan panjang 4 m dibutuhkan 8 batang (untuk landasan lantai, layang-layang). (4) Kayu tangir berdiameter 5 cm dan panjang 3,5 m dibutuhkan 40 batang (untuk kaso-kaso , dan pengikat dinding daun nipa). (5) 400 lembar atap daun nipa dengan panjang 1 depa. (6) Tidak memakai paku, namun hanya menggunkan system ikat menggunakan tali nilon no. 2 dan 4, atau menggunakan lidi daun agel, atau rotan. Dengan asumsi bahwa setiap satu pohon tangir hanya dipakai untuk satu batang kebutuhan rumah maka, jumlah kebutuhan kayu tangir untuk membuat rumah adalah 26 pohon yang berdiameter 15 cm, dan 40 pohon yang berdiameter 5 cm, serta 0,5 m³ papan dari jenis kayu coke (Rhyzophora apiculata) (BTNRAW, 2011). Jadi total kebutuhan kayu untuk satu buah rumah di muara adalah 2.5 m³ (untuk tiang, landasan lantai, layang-layang, bubungan, dan kaso-kaso) . Jumlah rumah di muara sebanyak 124 buah untuk 145 KK sehingga total pemakaian kayu adalah 310 m³. Asumsi harga kayu bakau/m³ adalah Rp 1.000.000/m³, maka nilai kayu yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membangun pondok kerja adalah Rp 310.000.000. Daya tahan rumah ini bisa sampai 15 tahun, jadi nilai pemanfaatan kayu untuk rumah/tahun adalah sebesar Rp 20.667.000/tahun.
266 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.4.2
Salah satu contoh rangka rumah/pondok kerja di muara sungai
2) Kayu bakar Untuk keperluan kayu bakar, masyarakat biasanya mengambil kayu dari hutan mangrove yang berada di sekitar lokasi rumah mereka. Sambil mencari ikan, mereka biasanya juga sekalian mencari kayu bakar. Jenis kayu yang biasa diambil adalah kayu jenis bakau (Rhizophora sp) dan kayu tangir (Ceriops tagal) tetapi masyarakat biasanya lebih menyukai kayu tangir karena lebih tahan lama baranya dan lebih mudah terbakar jika dibanding kayu bakau (Purwanti dkk, 2010). Hal senada juga dinyatakan oleh Prasetyo (2008), bahwa untuk keperluan kayu bakar umumnya diambil masyarakat dari ranting/batang pohon bakau yang telah mati. Harga jual kayu bakar Rp 2.500/ikat (satu ikat kira-kira terdiri dari 10 – 15 batang ranting/batang kayu bakau ukuran diameter 3-4 cm dengan panjang 40 cm). Rata-rata pemakaian kayu bakar masyarakat adalah 1 ikat/hari, maka total kebutuhan kayu bakar masyarakat di sekitar hutan mangrove adalah 145 ikat/hari, atau 52.925 ikat/tahun.
Jadi nilai kayu bakar yang digunakan
masyarakat adalah 132.312.500/tahun.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 267
Gambar 3.4.3
Kayu bakar yang berasal dari hutan mangrove
3) Togo Togo, adalah jaring yang dipasang pada tonggak-tonggak kayu di sepanjang sungai dan letaknya berselang-seling. Pemasangan togo ini disesuaikan dengan pasang surut air laut. Hasil dari togo adalah ikan kecil, udang kecil (ebi), udang besar/sitto dan udang putih/lembek. Kayu yang digunakan untuk adalah jenis kayu bakau. Togo terbuat dari beberapa mata, biasanya dalam satu mata togo juga terdapat 1 jaring yang dipasang.
Togo dipasang saat musim turo, dan
dipasang tiap pagi dan sore atau pada saat air surut.
Setelah air pasang,
kemudian togo diangkat untuk diambil hasilnya. Jadi dalam satu hari, bisa dua (2) kali panen. Dalam sebulan terdapat dua (2) kali musim turo, satu kali musim turo biasanya berlangsung selama 7 hari, setelah itu datang musim lepas turo, dan begitu seterusnya. Kebutuhan kayu untuk setiap mata togo dengan ukuran 3 x 6 m adalah 3 batang kayu dengan panjang 6 m, 2 batang dengan panjang 3 m, 4 batang dengan panjang 6 m, dengan rata-rata diameter 20 cm. Jadi total kayu yang dibutuhkan adalah 7 batang dengan panjang 6 m dan 2 batang dengan panjang 3 m atau setara dengan 1.18 m3 / mata togo. Jumlah nelayan yang melakukan kegiatan ini sebanyak 21 orang (dari 8 muara). Jika diasumsikan tiap orang masing-masing nelayan mempunyai 4 (empat) mata togo, maka jumlah kayu yang dibutuhkan untuk pembuatan togo adalah 99.12 m3. Jika diasumsikan harga kayu bakau/m3 adalah Rp. 1.000.000,00/ m3 maka total nilai kayu untuk pembuatan togo adalah Rp 99.120.000 atau Rp 33.040.000/tahun. 268 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.4.4 Pemakaian kayu mangrove untuk togo 4) Ajir Rumput Laut Banyaknya kayu yang dibutuhkan oleh masyarakat tergantung dari banyaknya jumlah bentangan tali yang dimilikinya. Rata-rata untuk 100 bentangan tali rumput laut, juga dibutuhkan 100 – 200 batang kayu bakau atau tangir dengan ukuran panjang 3 – 5 m dan diameter 5 cm. Dan rata-rata kayu untuk ajir rumput laut ini hanya bertahan dipakai selama 3 kali panen saja (umur panen rumput laut adalah 40 hari). Jadi dalam setahun bisa panen selama 9 (sembilan kali). Jika diasumsikan rata-rata masyarakat yang tinggal di muara sungai mempunyai 100 bentang tali rumput laut, maka banyaknya kebutuhan kayu untuk ajir rumput laut adalah 145 KK X 100-200 batang kayu = 14.500 – 29.000 batang /3 bulan atau 43.500 - 87.000 batang/tahun. Jika harga 1 batang ajir adalah Rp 5000 maka total nilai penggunaan kayu untuk ajir adalah 217.500.000 – 435.000.000/tahun atau rata-rata Rp 326.250.000/tahun. 5) Lanrang (Tempat Menjemur Rumput Laut) Kebutuhan kayu untuk pembuatan lanrang (tempat jemur) ukuran 5 x 7 m: (1) Kayu tangir berdiameter 15 cm dan panjang 3 m dibutuhkan 9 batang(untuk tiang). (2) Kayu tangir berdiameter 15 cm dan panjang 8 m dibutuhkan 5 batang (untuk landasan lantai). (3) Kayu tangir berdiameter 5 cm dan panjang 6 m dibutuhkan 140 batang(untuk lantai). P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 269
Dengan asumsi bahwa satu pohon tangir hanya dapat dipakai untuk membuat satu batang jenis kebutuhan pembuatan lanrang, maka jumlah kayu tangir yang dibutuhkan untuk membuat satu lanrang ukuran 5 m x 7 m adalah: 14 pohon yang berdiameter 15 cm, dan 140 pohon yang berdiameter 5 cm. Jika di asumsikan harga kayu adalah Rp 5000,00/batang maka total biaya yang dibutuhkan untuk membangun sebuah lanrang adalah Rp 775.000,00.
Jika
diasumsikan tiap rumah (124) terdapat juga sebuah lanrang, maka total biaya pemanfaatan kayu untuk pembuatan lanrang adalah sebesar Rp 95.480.000 atau Rp. 15.913.000/tahun.
Gambar 3.4.5 Pemakaian kayu mangrove untuk ajir (atas) dan lanrang (bawah)
270 | S i n t e s i s R P I
b. Daun Nipah Pemakaian yang banyak untuk daun hanya dari pohon nipah saja, yaitu digunakan untuk pembuatan atap dan atau dinding rumah/pondok kerja di muara sungai. Untuk 1 buah rumah dengan ukuran 3 x 7 meter, dibutuhkan daun nipah sebanyak 400 lembar. Harga atap nipah per lembar adalah Rp 3000,00. Jadi nilai daun nipah adalah Rp 1.200.000/rumah atau sama dengan Rp.148.800.000. Umur pakai atap ini adalah 2 tahun, jadi nilai atap ini per tahun adalah Rp 74.400.000/tahun.
Gambar 3.4.6
Salah satu contoh pemakaian daun nipah untuk atap dan dinding rumah di muara sungai
3.4.2.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value/IUV) a. Fungsi Biologi Fungsi biologi hutan mangrove dihitung berdasarkan hasil-hasil tangkapan perikanan masyarakat. Beberapa hasil tangkapan yang diperoleh masyarakat di sekitar hutan mangrove adalah sebagai berikut: (1) Udang Putih. Udang ini biasa ditangkap dengan menggunakan jala/pukat yang dilemparkan dari pinggir sungai dengan berjalan kaki atau dari atas perahu. Kadangkala udang ini juga tertangkap saat nelayan menangkap udang halus dengan menggunakan togo. Produksi udang adalah 33.792
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 271
kg/tahun. Harga dari komoditi udang putih ini adalah Rp 20.000,-/kg sehingga nilai komoditi udang adalah Rp 675.840.000,-/tahun. (2) Udang halus atau balaceng. Udang halus ini merupakan bahan utama untuk pembuatan terasi. Udang halus ini ditangkap dengan menggunakan togo. Hasil produksi udang halus adalah 62.568 liter/tahun. Harga komoditi ini adalah Rp 2000,-/kg sehingga nilai komoditi balaceng adalah Rp 125.136.000,-/tahun. (3) Kepiting Bakau, ditangkap dengan menggunakan bubu. Bubu ini dipasang di sela-sela pohon bakau dipinggir sungai dengan terlebih dahulu diberi umpan berupa potongan ikar segar atau yang telah digarami. Pemasangan bubu umumnya dilakukan pada sore hari dan diambil pada keesokan harinya. Produksi kepiting bakau adalah 49.680 kg/tahun . Jika harga ratarata kepiting/kg adalah Rp 56.000,- maka nilai komoditi kepiting adalah Rp 2.782.080.000,-/tahun. (4) Ikan campuran. Ikan ini biasanya ditangkap dengan menggunakan pukat ikan, dan ukurannya lebih besar dari jenis ikan teri/lure. Kadang ikan hasil tangkapan ini, jika hasilnya lumayan banyak dijual di pasar Tinanggea, tetapi jika hasil yang diperoleh sedikit, biasanya hanya dibuat sebagai lauk sehari-hari saja atau dibagi kepada saudara-saudara mereka yang juga tinggal di muara. Jumlah produksi ikan di sekitar hutan mangrove TNRAW adalah 52.704 kg/tahun. Jika harga ikan/kg adalah Rp 10.000,- maka nilai komoditi ikan adalah Rp 527.040.000,-/tahun. (5) Kerang-kerangan (Pokea). Kerang-kerangan atau pokea ini banyak juga ditemukan di sekitar hutan mangrove. Kerang jenis ini banyak terdapat di sungai dan terpendam di dalam tanah yang berlumpur. Pengambilannya banyak dilakukan oleh ibu-ibu terutama di Desa Tatangge dan Desa Lanowulu. Waktu pengambilannya biasanya dilakukan pada saat air surut untuk memudahkan pengambilannya. Biasanya ibu-ibu ini berangkat pada pagi hari, dan pulang pada saat air sudah mulai pasang lagi.
Jumlah
produksi pokea adalah 14.688 liter/tahun. Jika harga pokea ini adalah Rp 15.000,-/liter, maka nilai komoditi pokea ini adalah Rp 220.320.000,-/tahun.
272 | S i n t e s i s R P I
Pokea ini banyak dicari masyarakat terutama jika ada pesta-pesta di daerah mereka. (6) Rumput Laut. Rumput laut merupakan salah satu mata pencaharian pokok masyarakat, terutama masyarakat di muara sungai dan daerah enyangga terutama yang berada di wilayah pesisir. Penghasilan dari rumpul laut ini lumayan memberikan nilai tambah yang besar bagi masyarakat, sehingga rata-rata masyarakat banyak yang menekuni usaha ini. Jumlah produksi rumput laut sebesar 566.280 kg/tahun.
Harga rumput laut yang ada di
pasaran saat ini adalah Rp 8.000,-/kg, sehingga nilai komoditi rumput laut ini adalah Rp 4.530.240.000,-/tahun. b. Pencegah Intrusi Hutan mangrove (bakau) adalah tumbuhan yang ”tercipta” di alam untuk mengatasi problem intrusi dan gelombang air laut. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki kekhasan,baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya. Hutan mangrove ini tumbuh dengan baik pada pantai berlumpur yang terpengaruh pasang surut air laut dan kadar garam. Vegetasi ini sangat berperan sebagai pelindung alami wilayah pesisir. Ini terjadi karena sistem perakaran mangrove yang mampu menstabilkan lumpur pantai,menyerap berbagai polutan dan menahan penyusupan air laut (intrusi) ke arah daratan. Kerapatan batang dan tajuknya juga mampu menahan dan mematahkan kekuatan angin laut (Alikodra, 2010). Adapun intrusi diartikan sebagai perembesan air laut ke daratan, bahkan sungai sungai. Suatu kawasan yang awalnya air tanahnya tawar kemudian berubah menjadi lagang dan asin seperti air laut. Intrusi dapat berakibat rusaknya air tanah yang tawar dan berganti menjadi asin. Penyebabnya, antara lain penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan bangunan dan kerikil jalan. Pembuatan tambak udang dan ikan yang memberikan peluang besar masuknya air laut jauh ke daratan. Untuk melakukan perhitungan kuantitatif fungsi hutan mangrove sebagai penahan masuknya air laut ke daratan atau penahan intrusi air laut, digunakan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 273
metode biaya pengganti. Pendekatan ini merupakan salah satu metode valuasi ekonomi berdasarkan pengeluaran potensial. Biaya pengganti adalah jumlah pengeluaran untuk memperoleh kembali barang dan jasa yang sama. Perhitungan ini didasarkan pada temuan di lapangan bahwa masyarakat di sekitar pantai akan terancam kehabisan air tawar apabila tidak ada hutan mangrove. Dengan demikian perhitungan nilai ekonomi pada fungsi ini didekati pada penggunaan air sesuai kebutuhan dari masing-masing keluarga (Harahap, 2010). Jumlah penduduk yang berada di daerah penyangga hutan mangrove TNRAW adalah ± 2.612 KK. Kebutuhan air tawar sehari-hari masyarakat untuk rumah tangga (MCK, masak dan minum) sekitar 100 liter/hari/KK atau setara dengan 5 galon/hari/KK dengan rata-rata jumlah tanggungan per KK adalah 4 orang. Dengan demikian kebutuhan rata-rata pertahun untuk setiap Kepala Keluarga sebesar 1.825 galon/KK/tahun. Jika harga air galon adalah Rp 3000,-/galon maka,besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar sebesar Rp 5,475,000,-/KK/tahun, sehingga jumlah kebutuhan untuk semua penduduk adalah Rp. 14 ,300,700,000,-/tahun. Harahap (2010) juga pernah melakukan penelitian terhadap masyarakat pesisir di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Gending adalah 33.401 jiwa dan terdiri dari 9.097 kepala keluarga. Kebutuhan air tawar untuk minum dan masak masing-masing keluarga rata-rata 1 galon/hari, dengan harga Rp. 3000,-/galon. Dengan begitu kebutuhan rata-rata per tahun untuk setiap kepala keluarga sebesar 365 galon/tahun, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar sebesar Rp. 1,095,00,/KK/tahun, atau jumlah kebutuhan semua penduduk Rp. 9,961,215,000,-/tahun. c. Pencegah Abrasi Pantai Abrasi diartikan sebagai pengikisan bibir pantai oleh air laut. Laut menggerogoti kawasan pantai, kuala, lalu menelannya dan lenyaplah bibir pantai atau bahkan pulau tersebut. Lama kelamaan, suatu kawasan yang dulunya tampak asri berubah menjadi lautan (Admin, 2008). Definisi yang lain tentang abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh kekuatan gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Ada yang mengatakan Abrasi sebagai erosi pantai. 274 | S i n t e s i s R P I
Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipengaruhi oleh gejala alami dan tindakan manusia. Tindakan manusia yang mendorong terjadinya abrasi adalah pengambilan batu dan pasir di pesisir pantai sebagai bahan bangunan. Selain itu penebangan pohon-pohon pada hutan pantai atau hutan mangrove memacu terjadinya abrasi pantai lebih cepat. Kerapatan pohon yang rendah pada pesisir pantai memperbesar peluang terjadinya abrasi (Admin, 2010).
Abrasi bisa
dikurangi dengan cara membangun alat pemecah gelombang atau menanam pohon bakau di pinggir pantai. Pencegah abrasi pantai dihitung berdasarkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun tanggul penahan abrasi pantai.
Di Desa
Lanowulu pernah dibangun tanggul penahan abrasi yang menghabiskan dana Rp 1.300.000.000,- dengan panjang 3.000 m dan tinggi 150 m dari permukaan air laut. Asumsi panjang garis pantai TNRAW adalah 24.000 m maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat tanggul penahan abrasi pantai adalah Rp 10.400.000.000,-. Jika diasumsikan tanggul mampu bertahan hingga 10 tahun, maka nilai hutan mangrove sebagai penahan abrasi sebesar Rp 1.040.000.000,-/tahun. Acuan yang dipakai untuk menghitung seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun tanggul guna mencegah abrasi dan penahan gelombang adalah dari proyek pemkot Pekalongan dalam Saputra Adi Ajinugraha yang menghabiskan biaya Rp. 900.000.000,- dengan panjang 381 m dan tinggi 125 cm dari permukaan air laut dan diperkirakan dapat bertahan hingga 10 tahun. Asumsi panjang garis pantai di Kecamatan Gending yang berhutan mangrove adalah 2.000 m. Berdasarkan acuan perhitungan tersebut, maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat tanggul penahan gelombang dan pencegah abrasi adalah Rp. 472.440.944,-/tahun (Harahap, 2010).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 275
3.4.3
Penilaian Ekonomi Manfaat Langsung dan Tidak Langsung Hutan Mangrove TN Kepulauan Togean
3.4.3.1 Nilai Guna Langsung (Direct Use Value/DUV) Kuantifikasi nilai ekonomi manfaat nilai guna langsung fungsi sumber daya hutan mangrove diperoleh dari nilai jenis pemanfaatan tegakan pohon bakau terdiri dari manfaat kayu, untuk kayu bakar, dan kayu bahan bangunan dengan masingmasing rincian asumsi dasar penilaian sebagai berikut: a. Kayu 1) Rumah/Pondok Kerja Kebutuhan kayu untuk 1 buah rumah singgah ukuran 3 x 7 m nelayan muara yang ada pada ekosistem mangrove TNKT adalah: (1) Kayu tangir berdiameter 10 cm dan panjang 5 m dibutuhkan 9 batang (untuk tiang). (2) Kayu tangir berdiameter 10 cm dan panjang 4 m dibutuhkan 8 batang (untuk landasan lantai, layang-layang). (3) Kayu tangir berdiameter 5 cm dan panjang 3,5 m dibutuhkan 40 batang (untuk kaso-kaso , dan pengikat dinding daun nipa). Dengan asumsi bahwa setiap satu pohon tangir hanya dipakai untuk satu batang kebutuhan rumah maka, jumlah kebutuhan kayu tangir untuk membuat rumah adalah 17 pohon yang berdiameter 10 cm, dan 40 pohon yang berdiameter 5 cm. Jadi total kebutuhan kayu untuk satu buah rumah di muara adalah 0.8792m³ (untuk tiang, landasan lantai, dan kaso-kaso) . Jumlah penduduk desa yang berada di daerah pesisir dan berada di sekitar hutan mangrove adalah 4.806 KK dan berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa 30% penduduk dari total KK di desa sampel menggunakan kayu mangrove untuk membangun rumahnya (1.442 KK) terutama untuk tiang dan kasonya, sehingga total pemakaian kayu adalah 1.267.806 m³. Asumsi harga kayu bakau/m³ adalah Rp 700.000/m³, maka nilai kayu yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membangun rumah adalah Rp 887.464.480.
Daya tahan rumah ini bisa sampai 5 tahun, jadi nilai
pemanfaatan kayu untuk rumah/tahun adalah sebesar Rp 177.492.896/tahun.
276 | S i n t e s i s R P I
2) Kayu bakar Untuk keperluan kayu bakar, masyarakat biasanya mengambil kayu dari hutan mangrove yang berada di sekitar lokasi rumah mereka. Harga jual kayu bakar Rp 5000/penggal (diameter 40 cm dan panjang 40 cm) atau setara dengan 0.05024 m3 untuk 2 hari. Sehingga, total kebutuhan kayu bakar masyarakat di sekitar hutan mangrove adalah 15 penggal/orang/bulan, atau setara dengan 0.7536 m3/orang/bulan. 100% penduduk dari total KK yang ada di desa sampel menggunakan kayu bakau untuk memasak sehari-hari, sehingga kebutuhan kayu bakar sebesar 3.621.802 m3/bulan. Harga kayu bakar per penggal adalah Rp 5000,- sehingga besarnya nilai kayu bakar yang digunakan masyarakat adalah Rp 14,487,206.4/bulan atau Rp 173,846,477/tahun. 3) Kulit untuk Pewarna Pukat Untuk memberikan warna pada pukat, biasanya nelayan menggunakan kulit bakau. Tujuan memberikan warna ini adalah untuk menyamarkan warna jala di dalam air, sehingga jala tidak terlihat oleh ikan. Warna yang dihasilkan adalah warna coklat kehitaman.
Jumlah pukat yang terdapat dimasyarakat TNKT
adalah 150 buah. Diasumsikan nilai kulit untuk pewarna ini sama dengan biaya untuk wantex yaitu Rp 200.000,-/pukat yang bisa tahan hingga 6 bulan, sehingga nilai kulit bakau sebagai pewarna pukat ini adalah sebesar Rp 30.000.000,- atau Rp 60.000.000,-/tahun. 3.4.3.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value/IUV) a. Fungsi Biologi Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang.
Menurut Wada (1999) dalam Santoso (2008),
menyatakan bahwa 80% dari ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 277
mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding dan pemijahan bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Tinggal di daerah pesisir tidak lantas menjadikan nelayan menjadi mata pencaharian pokok masyarakat yang ada di sekitar hutan mangrove TNKT. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan, selebihnya hanya merupakan mata pencaharian sampingan sedangkan bertani/kebun merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Hal ini terjadi karena hasil dari sawah dan kebun lebih menjanjikan daripada hasil tangkapan ikan sehingga masyarakat lebih memilih menjadi petani daripada nelayan. Hal ini bukan karena potensi ikan di laut sedikit, tetapi karena bekerja di laut memang lebih banyak membawa resiko dibanding dengan bekerja di darat, sehingga menjadi nelayan bukan menjadi mata pencaharian pokok masyarakat. Mencari ikan dilakukan masyarakat lebih banyak hanya untuk di konsumsi saja, namun jika kebetulan hasil yang diperoleh banyak maka sebagian mereka jual ke pasar atau ke pedagang pengumpul.
Fungsi biologi hutan
mangrove dihitung berdasarkan hasil-hasil tangkapan perikanan masyarakat. Beberapa hasil tangkapan perikanan masyarakat adalah: (1) Ikan. Jenis ikan yang terdapat di sekitar perairan TNKT adalah bobara, lakangisi, katamba, baronang, sunu, kerapu, dan lain-lain. Nelayan mencari ikan pada siang dan malam hari dengan menggunakan pancing dan pukat ikan. (2) Kepiting Bakau. Kepiting bakau ini ditangkap dengan menggunakan bubu. Bubu ini dipasang di sela-sela pohon bakau dipinggir sungai dengan terlebih dahulu diberi umpan berupa potongan ikar segar atau yang telah digarami. Pemasangan bubu umumnya dilakukan pada sore hari dan diambil pada keesokan harinya. b. Pencegah Intrusi Hutan mangrove (bakau) adalah tumbuhan yang ”tercipta” di alam untuk mengatasi problem intrusi dan gelombang air laut. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki kekhasan,baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya. Hutan mangrove ini tumbuh dengan 278 | S i n t e s i s R P I
baik pada pantai berlumpur yang terpengaruh pasang surut air laut dan kadar garam. Vegetasi ini sangat berperan sebagai pelindung alami wilayah pesisir. Ini terjadi karena sistem perakaran mangrove yang mampu menstabilkan lumpur pantai,menyerap berbagai polutan dan menahan penyusupan air laut (intrusi) ke arah daratan. Kerapatan batang dan tajuknya juga mampu menahan dan mematahkan kekuatan angin laut (Alikodra, 2010). Adapun intrusi diartikan sebagai perembesan air laut ke daratan, bahkan sungai sungai. Suatu kawasan yang awalnya air tanahnya tawar kemudian berubah menjadi lagang dan asin seperti air laut. Intrusi dapat berakibat rusaknya air tanah yang tawar dan berganti menjadi asin. Penyebabnya, antara lain penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan bangunan dan kerikil jalan. Pembuatan tambak udang dan ikan yang memberikan peluang besar masuknya air laut jauh ke daratan. Kebutuhan akan air bersih merupakan fasilitas penting yang ditunggu oleh penduduk kepulauan Togean. Masyarakat kepulauan Togean umumnya memperoleh air bersih dari mata air dan sumur gali, hanya beberapa tempat seperti kota Wakai yang dikelola oleh PDAM. Pada musim kemarau air bersih di beberapa desa mulai berkurang, Air Sumur di beberapa desa umumnya mengering saat musim kering tiba. Kalaupun masih ada yang mengeluarkan air, jumlahnya tak terlalu banyak sehingga penduduk setempat harus antri untuk memperolehnya. Pada beberapa pemukiman masyarakat Bajau, yang biasanya berdiri di atas pulau karang, sumber air bersih diperoleh di pulau- pulau lain dengan menggunakan perahu dayung atau katinting. Menyusutnya daerah tangkapan air, terutama di sekitar mata air dan aliran sungai, akibat pembukaan hutan untuk lahan- lahan perkebunan, inilah yang menjadi ancaman terhadap tersedianya sumber air bersih (Zamani, N.P, et all, 2007). Untuk melakukan perhitungan kuantitatif fungsi hutan mangrove sebagai penahan masuknya air laut ke daratan atau penahan intrusi air laut, digunakan metode biaya pengganti. Pendekatan ini merupakan salah satu metode valuasi ekonomi berdasarkan pengeluaran potensial. Biaya pengganti adalah jumlah pengeluaran untuk memperoleh kembali barang dan jasa yang sama. Perhitungan ini didasarkan pada temuan di lapangan bahwa masyarakat di sekitar P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 279
pantai akan terancam kehabisan air tawar apabila tidak ada hutan mangrove. Dengan demikian perhitungan nilai ekonomi pada fungsi ini didekati pada penggunaan air sesuai kebutuhan dari masing-masing keluarga (Harahap, 2010). Jumlah penduduk yang berada di sekitar hutan mangrove TN Togean adalah ± 1.889 KK. Jika rata-rata biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membayar air per bulan adalah sebesar Rp 20.000/KK (air PDAM) maka total biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli air tawar adalah sebesar Rp 96.120.000,-/bulan atau Rp. 1.153.440.000,-/tahun. Nilai ini sama dengan nilai hutan mangrove sebagai pencegah intrusi air laut, karena dengan keberadaan hutan mangrove dapat mencegah terjadinya intrusi. Intrusi dapat berakibat rusaknya air tanah yang tawar dan berganti menjadi asin. Penyebabnya, antara lain penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan bangunan dan kerikil jalan. Pembuatan tambak udang dan ikan yang memberikan peluang besar masuknya air laut jauh ke daratan. Proses intrusi makin panjang bila dilakukan pengambilan airtanah dalam jumlah berlebihan. Bila intrusi sudah masuk pada sumur, maka sumur akan menjadi asin sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk keperluan sehari-hari (Admin, 2008). Harahap (2010) juga pernah melakukan penelitian terhadap masyarakat pesisir di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Gending adalah 33.401 jiwa dan terdiri dari 9.097 kepala keluarga. Kebutuhan air tawar untuk minum dan masak masing-masing keluarga rata-rata 1 galon/hari, dengan harga Rp. 3000,-/galon. Dengan begitu kebutuhan rata-rata per tahun untuk setiap kepala keluarga sebesar 365 galon/tahun, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar sebesar Rp. 1,095,00,/KK/tahun, atau jumlah kebutuhan semua penduduk Rp. 9,961,215,000,-/tahun. c. Pencegah Abrasi Pantai Abrasi diartikan sebagai pengikisan bibir pantai oleh air laut. Laut menggerogoti kawasan pantai, kuala, lalu menelannya dan lenyaplah bibir pantai atau bahkan pulau tersebut. Lama kelamaan, suatu kawasan yang dulunya tampak asri berubah menjadi lautan (Admin, 2008). Definisi yang lain tentang abrasi adalah
280 | S i n t e s i s R P I
proses pengikisan pantai oleh kekuatan gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Ada yang mengatakan Abrasi sebagai erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipengaruhi oleh gejala alami dan tindakan manusia. Tindakan manusia yang mendorong terjadinya abrasi adalah pengambilan batu dan pasir di pesisir pantai sebagai bahan bangunan. Selain itu penebangan pohon-pohon pada hutan pantai atau hutan mangrove memacu terjadinya abrasi pantai lebih cepat. Kerapatan pohon yang rendah pada pesisir pantai memperbesar peluang terjadinya abrasi (Admin, 2010).
Abrasi bisa
dikurangi dengan cara membangun alat pemecah gelombang atau menanam pohon bakau di pinggir pantai. Pencegah abrasi pantai dihitung berdasarkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun tanggul penahan abrasi pantai. Di Desa Wakai pernah dibangun tanggul penahan abrasi yang menghabiskan dana Rp 280.000.000,- dengan panjang 175 m dan tinggi 150 cm dari permukaan air laut. Jika panjang garis pantai TNKT adalah 102.700 m maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat tanggul penahan abrasi pantai adalah Rp 164.320.000.000,-. Jika diasumsikan tanggul mampu bertahan hingga 10 tahun, maka nilai hutan mangrove sebagai penahan abrasi sebesar Rp 16.432.000.000,/tahun. Acuan yang dipakai untuk menghitung seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun tanggul guna mencegah abrasi dan penahan gelombang adalah dari proyek pemkot Pekalongan dalam Saputra Adi Ajinugraha yang menghabiskan biaya Rp. 900.000.000,- dengan panjang 381 m dan tinggi 125 cm dari permukaan air laut dan diperkirakan dapat bertahan hingga 10 tahun. Asumsi panjang garis pantai di Kecamatan Gending yang berhutan mangrove adalah 2.000 m. Berdasarkan acuan perhitungan tersebut, maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat tanggul penahan gelombang dan pencegah abrasi adalah Rp. 472.440.944,-/tahun (Harahap, 2010).
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 281
3.4.4
Pemanfaatan Hutan Mangrove Oleh Masyarakat di Mangarai Barat. Nusa Tenggara Timur Aktivitas keseharian masyarakat di Desa Golo Sepang Kecamatan Boleng,
Manggarai Barat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan mangrove. Nilai sosial ekonomi mangrove bagi masyarakat sangat tinggi karena keberadaan mangrove memegang peran penting bagi aktifitas warga. ketinggian tidak lebih dari 50
Letak geografis desa dengan
meter dan lokasi pemukiman yang berbatasan
langsung dengan bibir pantai menyebabkan keberadaan mangrove sangat vital untuk melindungi desa dari abrasi dan gempuran ombak. Masyarakat pada umumnya memanfaatkan muara yang diapit oleh hutan mangrove sebagai jalur penyebrangan yang menghubungkan wilayah kecamatan Boleng dengan daerah-daerah luar, termasuk menuju ibukota kabupaten. Habitat mangrove memberikan perlindungan terhadap perahu/kapal yang melewati muara sekaligus memberikan pertunjukkan yang sangat menghibur bagi masyarakat yang melewati jalur tersebut, pengamatan burung dan satwa lain dapat dilakukan pada muara ini. Hal ini merupakan salah satu bentuk pemanfaatan tidak langsung oleh masyarakat akan keberadaan hutan mangrove. Selanjutnya bila dikelola dengan baik dan dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai (terutama perbaikan akses jalan menuju lokasi), keberadaan hutan mangrove di daerah ini dapat menjadi alternatif tempat wisata yang menarik. Bahkan kepala Dinas Kehutanan Manggarai Barat, mengharapkan kedepannya agar lokasi mangrove Golo Sepang dapat menjadi Pusat Invormasi Mangrove seperti halnya di Bali. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, anggota kelompok, tokoh masyarakat dan aparat desa dan kecamatan diketahui bahwa pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat di Desa Golo Sepang pada umumnya dilakukan dengan pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan, kayu bakar, bahan pembuatan sampan/kapal atau untuk peruntukan lainnya.
Kayu-kayu dari jenis mangrove
diyakini oleh masyarakat mempunyai daya tahan dan masa pakai yang relatif lama, sehingga kayu mangrove selalu menjadi pilihan bagi masyarakat untuk keperluan bahan bangunan.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Anwar dan
Gunawan, (2006) bahwa kayu mangrove terutama dari jenis Rhizophora apiculata
282 | S i n t e s i s R P I
(Bi), R. mucronata Lmk, dan Bruguiera gymnorrhiza L Lamk sangat cocok untuk digunakan sebagai bahan bangunan seperti untuk tiang atau kaso karena batangnya lurus dan bertahan lama bahkan sampai 50 tahun. Pengambilan kayu mangrove untuk keperluan kayu bakar masih kerap terjadi, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan kayu bakar sebagai pilihan untuk keperluan memasak karena minyak tanah menjadi barang yang mahal bagi masyarakat terlebih lagi bahan bakar gas. Menurut Inoue et al. (1999) dalam Anwar dan Gunawan (2006) bahwa kayu mangrove dapat menghasilkan arang dengan kualitas yang sangat baik terutama dari jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata (Bi), R. mucronata Lmk dan
B.
gymnorrhiza L (Lamk) karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Kegiatan penangkapan udang, kepiting dan ikan pada areal hutan mangrove merupakan primadona bagi masyarakat karena jumlah kepiting dan udang yang melimpah.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa setidaknya terdapat
sekitar 20 kk yang biasa melakukan penangkapan kepiting dan udang sebagai sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Penangkapan menggunakan jala semakin sulit dilakukan akibat tingkat kerapatan mangrove yang semakin baik. Pada umumnya masyarakat juga memanfaatkan kayu mangrove dari jenis tertentu untuk membuat racun yang akan digunakan untuk menangkap ikan. Masyarakat di Golo Sepang umumnya menggunakan jensi Derris trifoliata sebagai racun dibuat dengan cara daun D. trifoliata ditumbuk dan selanjutnya digunakan untuk menangkap ikan pada muara atau di hutan mangrove, selain itu masyarakat juga membuat tanin dari kulit kayu atau perangkap dari akar kayu mangrove untuk menangkap ikan.
Tanin merupakan ekstrak kulit untuk menyamak kulit pada
industri sepatu, tas dan bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis. Menurut Inouel et all (1999) dalam Anwar dan Gunawan (2006) jenis yang digunakan adalah R. apiculata (Bi), R. mucronata Lmk dan X. Granatum Koen. Sementara itu Ahmad, (2011) menambahkan bahwa akar dari jenis R. apiculata (Bi) biasa digunakan untuk membuat jala penangkap ikan, dan jenis Aeqiceras corniculatumi dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan racun untuk menangkap ikan.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 283
Beberapa aktifitas diatas merupakan bentuk-bentuk pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, baik yang sifatnya langsung maupun tidak langsung. Selain beberapa manfaat tersebut, sebenarnya masih banyak lagi manfaat lain dari keberadaan hutan mangrove, sehingga kesimbangan ekosistemnya harus tetap dijaga.
Menurut Hiariey, (2009) beberapa manfaat lain yang umumnya dapat
diperoleh dari hutan mangrove adalah manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu bakar), manfaat satwa, dan penangkapan ikan (kepiting, udang dan ikan) serta manfaat tidak langsung berupa breakwater dan tempat penyedia pakan, maupun manfaat pilihan berupa nilai keragaman hayati dan manfaat eksistensi.
3.5 3.5.1
Model Kelembagaan Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Dan Pantai Peran dan Tingkat Kepentingan Stakeholder (Contoh di PIM Berau) Dalam contoh ini digunakan model implementasi pengembangan ekowisata
mangrove di PIM Berau. Upaya ini dipengaruhi oleh berbagai peran pemangku kepentingan (stakeholder). Sampai saat ini, muncul berbagai definisi mengenai stakoholder sesuai dengan konteks masing-masing. Dari aspek semantik, stakeholder didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri (Hornby, 1995). Dalam konteks penelitian ini, secara organisasi stakeholder dapat dijabarkan secara lebih luas, yakni pemerintah, swasta, dan komunitas. Sementara itu, perorangan atau kelompok
dapat berupa aparat pemerintahan, peneliti, nelayan, pedagang, dan
pihak terkait lainnya. Stakeholder sendiri secara garis besar dapat dibedakan atas tiga kelompok yaitu: 1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki 284 | S i n t e s i s R P I
kepentingan baik formal maupun informal. 3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan (Crosby, 1992). Untuk mengetahui dampak dan pengaruh dari kebijakan pengembangan ekowisata mangrove tersebut perlu dilakukan analisis stakeholder. Analisis stakeholder bermanfaat dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok masyarakat yang paling banyak kena pengaruh (dampak) dari suatu kegiatan pembangunan (Race dan Millar dalam Iqbal, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan seluruh stakeholder memiliki pengaruh positif terhadap rencan penegmbangan ekowisata mangrove. Selanjutnya hasil tersebut diklasifikasikan lebih lanjut untuk melihat bagaimana tingkat kepentingan dan besarnya pengaruh stakeholder terhadap kegiatan pengembangan ekowisata di PIM Berau. Dengan menggunakan matriks stakeholder hal tersebut disajikan pada Tabel 3.5.1. Tabel 3.5.1 Tingkat kepentingan stakeholder
Kepentingan
Tinggi
Kelompok A (High interest, high influence)
Kelompok B (High interest, low influence)
1.) Pemkab Berau
1.) Sektor swasta (hotel, restauran, jasa transportasi), 2.) Masyarakat sekitar 3.) LSM
Kelompok C (Low interest, high influence) 1.) Kementerian Kelautan dan Perikanan 2.) Kementerian Kehutanan 3.) Pemprop Kaltim 4.) Media massa
Kelompok D (Low interest, low influence) 1.) Lembaga penelitian
Rendah Rendah
Pengaruh
Tinggi
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 285
Pada Tabel di atas terlihat jelas bahwa pada kelompok A yang terdiri dari Pemkab Berau memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap keberadaan PIM Berau sebagai salah satu destinasi ekowisata yang akan dikembangkan. Dengan pernyataan lain dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya kegiatan pengembangan ekowisata tersebut bergantung dari stakeholder kunci dalam memainkan peranannya. Meskipun Pemkab Berau menjadi aktor kunci dalam pengembangan ekowisata mangrove namun sampai saat ini belum ada konsep jelas mengenai mekanisme pengelolaan PIM ke depannya. Dinas Kelautan dan Perikanan menjadi salah satu pihak yang memiliki andil cukup besar dalam upaya pembangunan PIM Berau karena kerjasama perencanaan dan pembangunan yang dilakukan bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk itu, posisi pengelolaan PIM Berau ke depannya harus lebih diperjelas karena idealnya di dalamnya melibatkan beberapa pihak atau membentuk badan pengelola tersendiri. Kelompok B yang terdiri dari sektor swasta, masyarakat sekitar, dan LSM memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun pengaruhnya rendah. Hal ini berarti bahwa mereka merupakan stakeholder yang memiliki akses kecil terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan berkaitan dengan pengembangan ekowisata. Keberadaan aktivitas ekowisata diharapkan mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan perekonomian, khususnya bagi sektor swasta sehingga tingkat kepentingan terhadap ekowisata tinggi. Kelompok C yang terdiri dari Pemprop Kaltim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kehutanan merupakan stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan rendah namun pengaruhnya besar. Berbagai kebijakan dan program kerja yang dilaksanakan oleh kelompok stakeholder tersebut dapat mempengaruhi upaya pengembangan kegiatan ekowisata di PIM Berau. Khusus untuk media massa, keberadaanya sangat vital dalam mempengaruhi dunia pariwisata. Pemberitaan yang positif tentang kondisi dan potensi ekowisata dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan namun sebaliknya bila terjadi blow up erhadap kondisi buruk potensi dan aktivitas ekowisata yang ada justru dapat berdampak negatif terhadap minat wisatawan. Bahkan, dapat memicu reaksi publik yang sangat keras.
Selanjutnya, pada kelompok D yang terdiri dari lembaga
penelitian memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah terhadap 286 | S i n t e s i s R P I
pengembangan ekowisata mangrove di PIM Berau. Kelompok stakeholder tersebut hanya mampu memberikan masukan berdasarkan hasil penelitian kepada stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh tinggi dalam membuat kebijakan baru. 3.5.2
Bentuk Kelembagaan Komunitas Mangrove (Contoh di TN RAW) Satu-satunya lembaga yang berperan aktif di Muara Lanowulu adalah
Lembaga Komunitas Mangrove (LKM). Lembaga ini terbentuk karena disebabkan oleh adanya keprihatinan tokoh-tokoh masyarakat dari 9 (sembilan) muara sungai yang berada dalam kawasan TNRAW tentang keadaan lingkungan hutan bakau yang merupakan sumber mata pencaharian mereka dan masyarakat pada umumnya mulai dari Tinanggea (Konawe Selatan) sampai Kassipute (Bombana). Sehingga pada tanggal 30–31 Desember 2002 tokoh-tokoh masyarakat dari 9 (sembilan) muara tersebut yaitu Muara Roraya, Labacici, Labasi, Lanowulu, Uemata, Jawijawi, Larontou, Lampopala dan Langkowala serta tokoh masyarakat Desa Bungin Permai bermufakat untuk mengadakan aksi keprihatinan (Tepu, 2006). Menurut Tepu, (2006) juga adapun tujuan dibentuknya LKM adalah; 1) melestarikan ekosistem mangrove di dalam dan di sekitar TNRAW, 2) Mewujudkan kesamaan pandangan dari semua pihak (masyarakat, pemerintah dan swasta) terhadap pentingnya pelestarian hutan bakau, baik yang di dalam maupun di luar kawasan TNRAW, dan 3) sebagai wadah untuk penyaluran aspirasi masyarakat dan sosialisasi kebijakan pemerintah antar kelompok serta dukungan pemerintah dalam hal teknologi hasil dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Anggota LKM adalah semua warga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan yang mendirikan pondok-pondok kerja di dalam kawasan hutan mangrove. Adapun manfaat adanya lembaga ini adalah merupakan sarana untuk mempersatukan warga muara terutama yang berkaitan dengan masalah menjaga dan memelihara kelestarian hutan mangrove. Melalui Lembaga ini juga masyarakat sering mendapatkan bantuan, baik berupa alat dan bahan yang akan mempermudah pelaksanaan kegiatan mereka sehari-hari maupun bantuan berupa tambahan ilmu pengetahuan melalui pelatihan dan penyuluhan yang diberikan kepada mereka.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 287
Dengan adanya lembaga ini, kondisi keamanan dan gangguan terhadap ekosistem mengrove TNRAW dapat teratasi.
Beberapa kegiatan LKM dalam
mendukung kegiatan pelestarian TNRAW antara lain: a. Patroli Pamswakarsa b. Pelatihan penguatan kelembagaan LKM c. Menggalang pendanaan dan pembuatan proposal-proposal kegiatan LKM dan unit-unit perekonomian masyarakat yang ramah lingkungan d. Sosialisasi dan pemetaan partisipatif potensi sumberdaya alam mangrove e. Pertemuan rutin antar anggota Sumber pendanaan untuk operasi LKM berasal dari swadaya masyarakat, donatur, perusahaan-perusahaan perikanan dan para pedagang pengumpul terasi yang beroperasi di wilayah kerja LKM. 3.5.3
Kerjasama Kemitraan dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa dalam mengembangkan
usahatani tambak di areal hutan mangrove, responden di Desa Samataring dan Desa Tongke-Tongke umumnya telah bermitra dengan beberapa instansi seperti Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta LSM setempat). Bentuk kemitraan umumnya dalam bentuk penjagaan dan pemeliharaan kawasan hutan mangrove. Kegiatan yang dilakukan bersama umumnya dalam bentuk patroli bersama, pengadaan bibit serta penanaman. Sebagai insentif pemeliharaan hutan mangrove yang ada, pemerintah daerah juga memberikan kepada masyarakat berbagai bantuan baik berupa pembangunan sarana dan prasarana (jalan serta fasos dan fasum), bimbingan dan penyuluhan teknis serta bantuan modal dan saprodi untuk pemeliharaan dan budidaya pohon mangrove. Pendampingan berupa bimbingan dan penyuluhan yang diberikan pemerintah daerah terhadap warga desa di lokasi penelitian dapat dapat dilihat pada Gambar 3.5.1 & 3.5.2.
288 | S i n t e s i s R P I
Gambar 3.5.1 Pelaksana penyuluhan kepada responden
Gambar 3.5.2 Frekuensi penyuluhan kepada responden
Di antara beberapa mitra yang terlibat, Dinas Kehutan merupakan salah satu mitra yang secara intensif melakukan kerjasama dengan masyarakat di tiga desa sampel. Gambaran tentang mitra yang secara aktif terlibat bersama masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di desa sampel dapat dilihat pada Gambar 3.5.3 berikut.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 289
Gambar 3.5.3 Mitra yang terlibat aktif dalam pengelolaan hutan mangrove di desa sampel 3.5.3.1 Pelibatan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Dan Pelestarian Mangrove dengan Model Silvofishery Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bangkalan, di lokasi penelitian yaitu di Kecamatan Bancaran telah melakukan rehabilitasi mangrove dengan sistem tambak. Kegiatan rehabilitasi mangrove bersama masyarakat dilakukan sejak tahun 2009 hingga sekarang tahun 2012. Jumlah anggota yang terlibat dalam pengelolaan mangrove ini sebanyak 25 orang yang terhimpun dalam suatu kelompok tani ”Tunas Muda” dengan ketua Bapak Abdurohman. Anggota menerima lahan garapan yang luasnya bervariasi yaitu 1 - 4 ha/anggota. Perbedaan luas garapan ini tergantung pada kesiapan, kemampuan dan ketrampilan petani. Selain mendapat lahan garapan, petani juga memperoleh bantuan bibit bakau (Rhizophora sp), benih ikan bandeng dari Dishutbun Bangkalan, upah untuk penanaman dan pemeliharaan serta bimbingan dan pendampingan teknik budidaya. Sebagai diversifikasi hasil tambak, petani juga mendapat bantuan untuk mengembangkan ternak ayam pedaging di atas kolam ikan. Pemanfaatan lahan dengan mengkombinasikan budidaya ikan dengan ternak ayam disebut sistem “LONGYAM” (balong ayam). Sistem longyam ini selain petani mendapatkan produk ganda (ikan dan ayam), juga sangat membantu petani dalam efisiensi pengadaan makanan ikan karena sisa-sisa makanan ayam jatuh ke kolam dan dimanfaatkan oleh ikan.
Teknik pengelolaan ternak ayam potong untuk satu
kelompok petani dilakukan secara bergulir dari modal pertama sebanyak 200 ekor 290 | S i n t e s i s R P I
ayam dan dipelihara secara bersama oleh anggota. Dalam waktu 45 hari ayam sudah dapat dipanen.
Dari sejak
tahun 2011 yang semula hanya 200 ekor
ayam/kandang, berkembang sekarang sudah menjadi 5 kandang. 3.5.3.2 Kerjasama Kemitraan Dalam Pengelolaan Mangrove Hampir seluruh responden (97 %) yang diwawancarai dalam penelitian ini telah menjalin kerjasama kemitraan dengan berbagai instansi antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Perikanan dan Kelautan. Dalam kemitraan yang terjalin tersebut, umumnya petani mendapatkan bantuan dari pihak mitra baik berupa bantuan bimbingan dan teknologi budidaya maupun bantuan berupa sarana produksi dan alat pertanian. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa dari 29 responden di Desa Bancaran, Kecamatan Bangkalan, Madura sebanyak 72.41% responden menyatakan bahwa instansi yang banyak terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Instansi tersebut merupakan instansi yang memiliki keterlibatan paling besar dibandingkan instansi lainnya. Selain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bangkalan yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan hutan mangrove, instansi lain yang sesuai dengan tupoksinya juga ikut terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove. Beberapa instansi terkai antara lain adalah: Badan Koordinasi Penyuluh (BAKORLUH/PKL). Badan ini melakukan koordinasi seluruh kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh instansi terkait yang melakukan kegiatan penyuluhan, pembinaan, pelatihan dan bimbingan kepada masyarakat. Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS) melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kawasan mangrove dengan sentuhan pemberdayaan masyarakat. Badan ini berkoordinasi dengan pihak yang sudah berpengalaman tentang mangrove. Keberadaan mangrove dapat menciptakan kemandirian masyarakat “pesisir,” Sebab, selain melaut warga pesisir bisa memanfaatkan mangrove sebagai sumber ekonomi alternatif. Untuk menjadi sumber ekonomi alternatif, mangrove dimanfaatkan tanpa perlu menebangnya. ”Dalam bahasa pelatihan disebut pemanfaatan mangrove non-kayu,”. Beberapa P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 291
jenis mangrove bisa diolah menjadi produk bernilai ekonomi seperti sirup, kerupuk, jajanan hingga sabun dan pewarna batik. Balai Pengelolaan DAS (BPDAS). Dalam menyelenggarakan kewenangannya pengelolaan hutan mangrove, Kementerian Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS Brantas (BPDAS Brantas ) dengan Sub Das Blega. Namun dalam operasional pelaksanaannya, kegiatan rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan). Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi mangrove, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bangkalan bersama Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di Denpasar – Bali, telah bekerjasama melakukan ujicoba penanaman berbagai jenis bibit mangrove di lokasi garapan petani tambak di Kelurahan Bancaran, Kecamatan Bancaran Dinas Kelautan dan Perikanan. Instansi ini banyak melakukan bimbingan serta pembinaan tidak hanya terhadap petani nelayan namun juga petani mangrove yang ada di pesisir pantai. 3.5.3.3 Model kemitraan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove di Manggarai Barat (NTT) Keberadaan mangrove bagi masyarakat di kecamatan Boleng mempunyai nilai dan arti penting, karena banyak aktifitas masyarakat baik secara langsung atau tidak, berhubungan dengan kawasan hutan mangrove. Pengambilan hasil dari hutan mangrove seperti kepiting dan udang merupakan salah satu aktifitas yang secara langsung dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Berbagai aktifitas lain seperti konversi hutan mangrove menjadi areal tambak, pengambilan kayu unyuk bahan bangunan dan kayu bakar merupakan contoh aktifitas yang berperan dalam penurunan kualitas mangrove. sehingga pada tahun 2004 pemerintah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di kecamatan Boleng melalui skema gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan seluas 50 Ha seperti yang tercatat dalam lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.02/Menhut-V/2004
tentang
penyelenggaraan
kegiatan
gerakan
nasional
rehabilitasi hutan dan lahan, maupun kegiatan penanaman tahun 2011 melalui 292 | S i n t e s i s R P I
program Dinas Kehutanan Provinsi yaitu seluas 100 Ha. Kegiatan rehabilitasi tahun 2004 terlaksana dengan baik berkat dukungan semua pihak karena mereka menyadari adanya kecenderungan penurunan kualitas hutan mangrove dari tahun ke tahun. Pelibatan multi pihak dalam kegiatan tersebut dibangun dengan harapan agar semua pihak yang ada dapat mengambil bagian dalam kegiatan dimaksud sesuai dengan porsi dan kemampuan yang dimiliki. Keterbatasan sumberdaya diharapkan dapat diatasi dengan komitmen dari semua pihak untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut, masyarakat disekitar kawasan hutan juga turut dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Pelibatan masyarakat ini dapat disebut sebagai bentuk kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah dalam mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik.
Canter dalam Arimbi, (1993) mengatakan bahwa kemitraan pada
esensinya adalah sebuah bentuk kerjasama dari berbagai pihak atau dikenal dengan istilah gotong royong, baik secara individual maupun kelompok yang memiliki kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang RHL Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat diketahui bahwa terbangunnya kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah ini terjadi karena masing-masing pihak memegang teguh prinsip-prinsip kemitraan yaitu 1). Persamaan, 2). Keterbukaan dan 3). Saling menguntungkan. Sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan dapat berjalan dengan baik serta terjadi pengawasan melekat yang dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga keberhasilan kegiatan. Kemitraan antara masyarakat dan pemerintah dalam perbaikan ekosistem mangrove di desa Golo Sepang Kecamatan Boleng mulai terbangun dari adanya sekelompok orang yang merintis penanaman mangrove secara sukarela pada beberapa titik/lokasi bekas tebangan, selanjutnya hal tersebut mendapat perhatian dari dinas kehutanan kabupaten Manggarai Barat.
Pada akhirnya terbangun
komunikasi yang baik antara pihak dinas kehutanan Manggarai Barat dengan kelompok tani. Dalam perjalanan selanjutnya, pihak Dinas kehutanan menyarankan kepada kelompok untuk membuat pembibitan mangrove dari jenis yang sesuai dengan kondisi setempat. Menurut Kabid RHL Dinas Kehutanan Manggarai Barat,
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 293
hal tersebut juga disarankan kepada masyarakat untuk membuat pembibitan yang diarahkan untuk mendukung kegiatan dari dinas kehutanan Manggarai Barat, sehingga tidak didominasi oleh kelompok. Arahan dinas kehutanan untuk pengadaan bibit tersebut ternyata diarahkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan gerhan mangrove pada tahun 2004. Pembuatan bibit secara swadaya pada akhirnya hanya dilakukan oleh kelompok, sedangkan masyarakat tidak ada yang menindaklanjuti arahan dari dinas kehutanan tersebut. Selanjutnya dengan melakukan beberapa kali ujicoba pada akhirnya kelompok dapat membuat pembibitan dengan persentase hidup yang cukup baik.
Kelompok tani yang diberi nama Kelompok Lestari Alam ini
selanjutnya menjadi mitra dinas kehutanan Manggarai Barat dalam berbagai kegiatan kehutanan termasuk program gerhan tahun 2004 dan rahabilitasi mangrove tahun 2011. Koordinasi dan sosisalisai kegiatan gerhan oleh dinas kehutanan pada akhirnya lebih banyak dilakukan bersama kelompok, sedangkan masyarakat termasuk aparat desa dan kecamatan kurang mendapatkan informasi yang memadai terkait kegiatan tersebut. Hal ini sebenarnya dapat mengurangi nilai kemitraan yang seharusnya dapat merangkul semua pihak untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Kondisi ini berdampak pada timbulnya ketidakharmonisan di dalam masyarakat akibat kecemburuan dan kecurigaan dari masing-masing pihak. Hal ini sejalan dengan Dade A, (2006) yang mengatakan bahwa untuk terciptanya sebuah kemitraan yang baik maka harus terbangun rasa saling percaya dan keterbukaan dari semua pihak sehingga potensi kekacauan yang dapat terjadi dapat ditekan sampai pada titik paling rendah. Menurut pengakuan sebagian masyarakat, mereka hanya dilibatkan sebagai tenaga upah/buruh harian dalam proses pembuatan persemaian, pengangkutan bibit dan penanaman, sedangkan dalam proses penentuan lokasi, luasan dan pemilihan jenis mereka tidak diikutsertakan. Sementara itu menurut pihak Dinas Kehutanan kabupaten bahwa sudah dilakukan sosialisasi kegiatan tersebut melalui aparat desa dan kecamatan, akan tetapi karena tanggapan dari masyarakat kurang baik maka kegiatan sepenuhnya diserahkan ke kelompok Lestari Alam.
294 | S i n t e s i s R P I
Berdasarkan hasil diskusi dengan Dinas Kehutanan Manggarai Barat, anggota kelompok maupun dengan masyarakat, diketahui bahwa anggota kelompok Lestari Alam memang mempunyai kemauan dan kemampuan yang lebih terkait dengan kegiatan perbaikan ekosistem mangrove.
Hal tersebut juga didukung oleh
komunikasi yang baik antara ketua kelompok dengan pihak dinas kehutanan setempat. Sementara itu, peran Dinas Kehutanan Provinsi dan Balai PDAS Benain Noelmina lebih sebagai perencana dan supervisi kegiatan sesuai dengan amanat Permenhut Nomor 12 tentang Pedoman Penyelenggaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove/pantai, rawa dan gambut, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten berperan sebagai penyusun rancangan bersamasama dengan Balai Pengelololaan DAS Benain Noelmina sebagai penilai rancangan kegiatan dan selanjutnya rancangan tersebut akan disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. Sebelum melakukan penyusunan rancangan kegiatan tersebut, telah dilakukan survey lokasi sehingga dapat ditentukan mengenai maupun kisaran luasan kegiatan. Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan dalam semua proses dan tahapan kegiatan tersebut, satu hal yang perlu dicatat bahwa kegiatan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan mangrove tersebut dapat dikatakan berhasil karena menurut tim penilai independen dan dinas kehutanan Manggarai Barat, mengatakan bahwa tingkat kebehasilan penanaman mencapai 80%.
Pada saat
dilakukan observasi ke lokasi penanaman tahun 2004, tanaman tersebut sudah mencapai tinggi ±3 m dalam keadaan air pasang sehingga sudah mulai terlihat tegakan mangrove hasil rehabilitasi, meskipun pada beberapa titik terlihat lahan kosong yang menunjukkan adanya tanaman yang mati/tidak tumbuh. Manfaat dari kegiatan rehabilitasi tersebut juga sudah mulai dinikmati masyarakat dimana jumlah kepiting dan udang yang dapat ditangkap oleh masyarakat dari habitat mangrove semakin banyak dalam 1–2 tahun terakhir. Sementara itu, kegiatan penanaman tahun 2011 seluas 100 ha, ketika dilakukan observasi ke lapangan belum menunjukkan hasil karena umur tanaman baru beberapa bulan.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 295
296 | S i n t e s i s R P I
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan Hutan mangrove dan ekosistem pantai merupakan salah satu bentang alam (lansekap) yang kaya keanekaragaman hayati, memiliki fungsi ekologis dan keseimbangan alam, serta sebagai sumber kehidupan dan penghidupan manusia. Sayangnya, tekanan dan ancaman yang merubah, mengurangi dan mendegradasi hutan mangrove dan ekosistem pantai semakin hari semakin parah. Keberadaannya saat ini semakin terkikis dan membutuhkan pengelolaan yang intensif. Pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai antarwilayah dan antartapak berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, pengelolaan ini harus didasarkan pada status kawasan, keberadaan dan sebarannya, potensi bioekologi, pemanfaatan, dan permasalahan yang terdapat pada ekosistem ini. Pendekatan pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai mengacu pada 1) Informasi peran dan fungsi bioekologis; 2) Status pemanfaatan biodiversitas dan ekosistem; 3) Teknologi penanaman dan rehabilitasi; dan 4) Kelembagaan dan kemitraan pengelolaan. Terdapatnya keterlibatan masyarakat dalam konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan hutan pantai pada beberapa wilayah di Indonesia menjadi faktor penting (utama) yang membutuhkan penguatan persepsi, motivasi, pengetahuan teknis, dan kerja sama dengan parapihak terkait. Selain itu, kebijakan dan kelembagaan menjadi faktor pendukung keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove dan hutan pantai. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove dan pantai bagi kehidupan dan penghidupan. 4.2 Rekomendasi Fakta, data dan informasi hasil penelitian yang tergabung dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai ini hanya dilakukan pada sebagian kecil lokasi sebaran lansekap mangrove dan pantai di Indonesia. Oleh sebab itu, potensi dan permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove dan hutan P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 297
pantai belum tergali seluruhnya. Namun demikian, Sintesis RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai yang penelitiannya telah dilaksanakan selama tahun 2010–2014 ini dapat dijadikan acuan dalam menggali potensi dan permasalahan pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai di Indonesia lebih lanjut. Hasil sintesis ini juga dapat menjadi dasar bagi pembuatan plot penelitian dan pengembangan dalam pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai sesuai tapak, potensi dan tujuan pengelolaannya. Tentunya, pembangunan plot penelitian dan pengembangan ini harus melibatkan semua pihak terkait dalam bentuk kemitraan (kolaborasi) dan pembentukan kelembagaan yang efektif.
298 | S i n t e s i s R P I
DAFTAR PUSTAKA Admin, 2008. Waspadai Abrasi dan Intrusi Air Laut. http://blog.harianaceh.com/waspadai-abrasi-dan-intrusi-air-laut.jsp. Diakses Tanggal 10 Januari 2011. Admin, 2010. Pengertian Abrasi Pantai. http://pengertian-definisi. blogspot. com/2010/10/pengertian-abrasi-pantai.html. Diakses Senin, 11 Oktober 2010 Adrianto, Luky, Mujio, Wahyudin, Yudi, 2004. Modul Pengenalan Konsep dan metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir, PKSPL-IPB. Ahira, A. 2011. Manfaat Karbohidrat : Sekilas tentang karbohidrat. Bandung: www.AnneAhira.com Ahmad, A. 2011. Jenis dan Ciri-ciri mangrove. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Khairun. Ternate. Aims. 2000. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of Marine Science. www.aims.gov.au Akrimi dan S. Gatot, 2002.Teknik Pengamatan Kualitas Air dan Plankton di Reservat Danau Arang-Arang Jambi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 7. Nomor 2 Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN Wetlands Programme. IUCN, Bangkok, Thailand. Alaert G dan Sri Sumesti santika, 1984, metode penelitian air, Usaha Nasional, Bogor Allen AA. 1961. The Book of Bird Life. Van Nostrand Company Inc. New Yok. Alikodra, H.S. 1993. Pengelolaan satwaliar. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor. Alikodra, H.S. 1997. Populasi dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Kuala, Kalimantan Timur. Media Konservasi Volume 5, 2 September 1997. Alikodra, H.S. 1998. Kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove dilihat dari lingkungan hidup.Proseding Seminar. VI Ekosistem Mangrove : 33-34. Alikodra, 2010. Mangrove untuk Mencegah “Silent Killer”. http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/352697/. Diakses tanggal 20 Desember 2010. Alongi, D.M. 2009 The energetics of mangroveforests. Springer Science andBusiness Media BV,New York. 216p. Amin,B. dan C.J. Koenawan, 2001, Kandungan Radionuklida di perairan Batam Propinsi Riau, Universitas Riau, Riau
137
Cs pada sedimen
Aminah. 2009. Nilai guna ekonomi nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di Kabupaten Aceh Barat [Skripsi]. Departemen Biologi. Universitas Syiah Kuala, Aceh. Amira, S. 2008. Pendugaan biomassa jenis Rhizophora apiculata Bl. di hutan mangrove, Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Skripsi P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 299
Departemen Konservasi dan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Andani, S dan E.D. Purbayanti. 1981. Fisiologi lingkungan tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Angga, D. 2006. Kemitraan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta dalam Pembangunan (Studi Kasus Sektor Kehutanan di Kabaputen Pasuruan. Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 4, Nomor 3 Tahun 2006. LIPI. Anonim, 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02/MENKLH/I/1988, Tentang pedoman penetapan baku mutu lingkungan Anonimous, 2001. Bussiness Profile Oppurtunity Of Fishery In East Nusa Tenggara Province. Marine Affairs and Fisheries of East Nusa Tenggara Province. Anonimous. 2003. National Strategy For Indonesia Mangrove Ecosystem Management. (Draf Revisi). Second Book MangroveEcosystem In Indonesia. Departement Of Forestry, Departement Of Fishery And Marine, Ministry Of Environment, Departement Of Home affairs, Indonesian Institute Of Sciences, Japan International Cooperation Agency and Institute Of Mangrove Research and Development. Anonim, 2008, Makhluk Mungil si Penentu Kehidupan, www.koran-jakarta.com, diakses tanggal 21 november 2008 Anonim, 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel Yang Potensial. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Anonim, 2008. Pengaruh Hutan Mangrove terhadap Produksi Perikanan. http//:mtdepen.woordpress.com. diakses pada tanggal 7 November 2012 Anonim, 2009. Pengertian Dasar Mangrove. The Mangrove Information Centre. Bali. www.google.com. Anonim, 2009. Kepulauan Selayar Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Selayar. Kabupaten Selayar. Anonim, 2010. Budidaya dan Potensi Pengembangan Tanaman Nyamplung. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. http: // www google.com. 15 Maret 2010. Anonim, 2011. Detil Data Terminalia catappa. Kerjasama PROSEA dan Yayasan Kehati. www.kehati.or.id. Didownload pada tanggal 7 Januari 2011. Anonim,2010,Airlaut,www.file.upi.edu,Direktori/B%20%20FPIPS/JUR.%20PEND .%20GEOGRAFI/194902051978031%2020DJAKARIA%20M%20NUR/AIR %20%20LAUT.pdf,diakses tanggal 22 November 2010 jam 16.38 Anonim, 2011. Tinjauan Pustaka. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 30195/4/Chapter%20II.pdf Diakses 9-12-2011. Anonim, 2011. Jenis-Jenis Pupuk, Penggunaannya dan Aplikasinya. Jati Solomon Kultur Jaringan. http://jatisolomonkulturjaringan.blogspot.com. Didownload pada tanggal 18 November 2012. 300 | S i n t e s i s R P I
Ansori, AK, 2008, penentuan kekeruhan pada air reservoir di PDAM tirtanadi instalasi pengolahan ar sunggal medan metode turbidimetri, FMIPA, Unsu Anwar, C. 2004. Teknologi Rehabilitasi Lahan Terdegrasi. Prosiding. Ekspose Penenerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Palembang. Anwar, C. 2005. Laporan Tahunan 2005. Kajian Keberhasilan Rehabilitasi Mangrove di Aceh. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan) Anwar, C. 2006. Hasil Sintesis Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor (Tidak Diterbitkan). Anwar, C. 2007. Sinthesis Hasil Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Draft awal. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan). Anwar, C., E, Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Info Hutan No. 65/1996. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Anwar, C dan Gunawan, H. 2006. Peranan ekologis dan sosial ekonomis hutan mangrove dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006 Anwar, C. dan Gunawan, H. 2007. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah Utama Pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian:Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Anwar, C. dan Y. Sumarna. 1987. Populasi phitoplankton pada beberapa perairan hutan mangrove Cilacap. Bulletin Penelitian Hutan, No. 492: 28-37. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Arimbi. 1993. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan. Walhi. Jakarta. Arisandi, P. 2008. Bioakumulasi logam berat dalam pohon bakau (Rhizophora mucronata) dan pohon api-api (Avicennia marina). http://tech.group. yahoo.com/burung pemangsa_Indonesia. Diakses tanggal 25 Januari 2010, jam 10.30 wib. Artaji, W., 2011. Kompos Sebagai Pupuk Organik Yang Efektif. Penghijauan. http://green.kompasiana.com. Didownload pada tanggal 18 Desember 2012. Asriningrum, 2004. Studi Identifikasi Karakteristik Pulau Kecil Menggunakan Data Landsat Dengan Pendekatan Geomorfologi Dan Penutup Lahan: Studi Kasus Kepulauan Pari Dan Kepulauan Belakangsedih Atmoko, T dan K. Sidiyasa. 2008. Karakteristik Vegetasi Habitat Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 301
Hutan dan Konservasi Alam. Volume V Nomor 4 Tahun 2008. Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Atlas, R. M. 1995. Handbook of Media or Environmental Microbiology. CRC Press. New York. pp: 63, 211. Azwar, S. 1996. Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Badan Pelaksana Pengawasan Obat dan Makanan. 1989. Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam makanan. Jakarta. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2010. Laporan Penelitian KKMB Kota Tarakan. Tarakan, Kalimantan Timur. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, (n.d). Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir Dan Laut Propinsi Kalimantan Timur. http://www.mcrm.or.id/ download.php. diakses tanggal 06 April 2006. Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangandaran, KPH Ciamis. 2000. Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran. Perum Perhutani Unit III. Hal. 2-3. Bahagia, 2009. “Tesis” Peran pemirintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove pasca tsunami di kecamatan darussalam. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara. 2009. Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, 2004. Pemantapan Usulan Zonasi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Redesain Zonasi). Tinanggea. Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (BTNRAW), 2005. Mengungkap Pesona Wisata Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. BTNRAW, Kendari, Sulawesi Tenggara. Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (BTNRAW), 2010. Laporan Data Sosial Budaya Perambahan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II. BTNRAW, Kendari, Sulawesi Tenggara. Barbour, G. M, J. K. Burk, W. D. Pitts. 1987. Terestrial Plant Ecology. Los Angeles. The Benyamin/Cumming Publishing Company. Inc. Barth, O.M. and C.F.P.D. Luz. 1998. Melissopalynological data obtained from a mangrove area near to Rio De Janeiro, Brazil. J. Apic. Res. 37 (3): 155-163. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem. Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.IPB. Bogor Bengen, D. G, 2002. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan lautan serta prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian wilayah Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Beraukotasanggam. 2009. Sekilas Tentang Kabupaten Berau-Info terbaru kota Berau. www.beraukotasanggam.web.id. Diakses: 21 Februari 2010 BIL. 2006. Rekonstruksi Aceh: Restorasi Ekosistem Pesisir Terabaikan. Kompas 28 Januari 2006. 302 | S i n t e s i s R P I
Biro Pusat Statistik, 2012. Kabupaten Bangkalan Dalam Angka, 2011. Surabaya. Bismark, M. 1999. Studi Ekologi Makan Bekantan (Nasalis larvatus) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan 13 (2): Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Blower, J.J. Wind dan Y. Mulyana. 1978. Rencana Pengelolaan Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung Pangandaran 1977–1981. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Hal. 25-31. Blum . L. K, A. L. Mills, J. C. Zieman & R. T. Zieman 1988. Abudance of Bacteria and Fungi in Seagrass and Mangrove Detritus. Marine Ecology Progress Series: 42: 73 - 78. Boer, C.D dan Rustam. 2007. Keragaman Jenis Mamalia di Areal Rehabilitasi Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal Sangatta, Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan. Volume 12, Nomor 2, Desember 2007. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda BPHM Wilayah I, 2011. Statistik Pembangunan. Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali.
Balai Pengelolaan Hutan
BPDAS Krueng Aceh. 2005. Laporan Bulanan Pelaksanaan Program Aksi Penanaman Mangrove di NAD. BPDAS Krueng Aceh, Ditjen RLPS, Banda Aceh (tidak diterbitkan) BPDAS Tondano, 2011. Rtk-RHL Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai (RTk-RHL MSP) Propinsi Sulawesi Utara. Manado. Manado (disampaikan dalam rapat Fasilitasi Pokja Mangrove (KKMD)Prop Sulut). BPDAS Benain Noelmina, 2006. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. 2007. BPKH III Pontianak, 2010, Statistik BPKH III Pontianak tahun 2010, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Pontianak BPPHP Wilayah X Pontianak, 2010, Statistik BPPHP Wilayah X Tahun 2010, Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah X Pontianak BPS Kabupaten Kupang 2007. Kabupaten Kupang dalam Angka Tahun 2008. BPS Kabupaten Kupang. BPS Kabupaten Manggarai Barat, 2010. Kabupaten Manggarai Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat. BPS Prov. Kalbar, 2011, Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2011, BPS Kalimantan Barat BRLKT Jeneberang Wallanae. 1999. Data Informasi Kerusakan dan Upaya-Upaya Rehabilitasi yang dilaksanakan. BRLKT Jeneberang Wallanae. Ujung Pandang (tidak diterbitkan). Brock, T.D., & M. T. Madigan. 1991. Biology of Microorganisms, Prentice Hall International, Inc. Brown, S and G. Gatson. 1996. Estimates of biomass density for tropical forests. Biomass Burning and Global Change.London. 1 (1) : 133 – 139 P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 303
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest A Primer, FAO. Forestry Paper No. 134. FAO, USA BRR, 2009. Kajian Dasar Pantai Aceh dan Nias. Proyek Pengamanan Pantai, Perlindungan Banjir,Bangunan Penyelamatan dan Peringatan Dini Tsunami Aceh Nias. Budiyanto, A. K., 2004. Mikrobiologi Terapan. Penerbit UMM Pres. Universitas Muhammadiah Malang Burgett, M.D. 2000. Honey hunters of the Sundarbans. Beekeeping and Development 56 : 6 – 7. Burghouts, T.B.A., Van Straalen, N.M. dan Bruijnzeel, L.A. 1998. Spatial Heterogeneity of Element and Litter Turnover in A Bornean Rain Forest. J. Trop. Ecol. 14: 477–505. Burhanuddin. 2008. Pola pertumbuhan bibt mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Borneo. Burns MER, Ashton PJ, Dunkley E, Hughes S, Nguene F, Le Maitre D, 2002. Environmental Impact Assessment of Exploration Drilling Activities by Phillips Petroleum Co. Cameroon: Block Ph-77, Cameroon. Draft Report ENV-S-C 2002-038, submitted to: Phillips Petroleum Co. Cameroon by CSIR Environmentek, Stellenbosch, South Africa. CAB International. 2005. Forestry Compendium. CAB International, Wallingford, UK Cahyono, B. 2011. Budidaya Ikan Bandeng. Tambak Payau dan Tambak Sawah. Pustaka Nina. Jakarta. Cappuccino, J. G & N. Sherman. 1996. Microbiology A Laboratory Manual.Rockland Community College Suffern. New York. Chahaya, I.S. 2003. Ikan sebagai alat monitoring pencemaran. http:/library.usu. ac.id/download/fkm/fkm-indra20c2.pdf. Diakses 6 Juli 2011. Chapman, V.J., 1984. Mangrove Vegetation Strauss and Cramer GmbH, German. Cholik F et all, 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. PT. Victoria Kreasi Mandiri. Jakarta. Christina. 1994. Musnahnya Hutan Bakau di Indonesia. Republika 169 (2), Hal. 9, 30 Juni 1994. Coates, J. B. dan Bishop, D. K. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallace. Dove publication. Anderley. Cornell. ______ Fertilizer analisis. http.www.css.Cornel,educ.Fertilizeranalisis.pdf. Didownload pada tanggal 4 Januari 2012. Crane, E., V.V. Luyen, V. Mulder, and T.C. Ta. 1998. Traditional management system for Apis dorsata in submerged forests in Southern Vietnam and Central Kalimantan. Bee World : 27-40.
304 | S i n t e s i s R P I
Crosby, B.L. 1992. Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development, Washington DC. Dade, A (2006). Kemitraan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta dalam Pembangunan. Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol 4. No 3. Desember 2006 Dahlan, E.N. 1986. Pencemaran daun oleh Timbal sebagai akibat emisi kendaraan bermotor di Gunung Mas Puncak. Makalah Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia, Panitia Nasional MAB, Jakarta. Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan PulauPulau Kecil. Makalah disampaikan dalam lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002 Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI-Press. Jakarta. Darmuni. 2003. Siklus Nitrogen di Laut. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Djaeni, A. 1999. Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat. Darmawan, I.W.S. dan Siregar, C.A. 2008. Karbon tanah dan pendugaan karbon tegakan Avicenia marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5 (4): 317-328. Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Palembang. Davies, J.G. Claridge; dan Nararita, E. 1995. Manfaat Lahan basah, Potensi Lahan Basah Dalam Mendukung danMemelihara Pembangunan. Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan-Asean Wetland Buereau Indonesia (AWB) Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia, Forestry Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia, Forestry Statistics of Indonesia 2007. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008. Bantuan Pembentukan Pusat Informasi Mangorove (PIM) Berau. Laporan Akhir-PIM Berau. Tidak dipublikasikan. Jakarta Dewi, Erni Sica 2006. Valuasi Ekonomi Terumbu Karang. www.damandiri.or.id. Diakses Tanggal 16 Februari 2010. Dinas Kehutanan Prov. Kalbar, 2010, Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 305
Dinas Kehutanan Propinsi NTT, 2006. Statistik Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau, 2009. Buku Saku Kawasan Konservasi Kabupaten Berau. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau. Tanjung Redeb Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Berau. 2010. Data Jumlah Kunjungan Wisatawan Ke Berau. Tanjung Redeb. Tidak diterbitkan. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten pemalang, 2009. Sistem / Pola Penanaman mangrove. Makalah disampaikan pada Pelatihan Mangrove bagi Masyarakat Pesisir, Batang. Diniyati, D. Dan B. Achmad. 2007. Analisis Manfaat Ekonomi Ekowisata Sekitar Danau Toba. Inovasi 4 (1): 47-52. Diposaptono.S.2005. Rehabilitasi Pasca Tsunami yang Ramah Lingkungan. Kompas, 10 Januari 2005 Direktorat Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. Jakarta. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2009. Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jawa Barat skala 1:1.250.000. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001. Informasi Singkat www.google.com. Didownload pada tanggal 16 Mei 2010.
Benih.
Ditjenphka.dephut.2010. Taman Nasional Bunake. http://ditjenphka.dephut.go.id/ index.php/daftar-taman-nasional/113-tn-l-bunaken https://sites.google.com/ site/mangrovesulawesiutara/jenis Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1999. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. PT. Insan Mandiri Konsultan. Jakarta (tidak diterbitkan). Ditjen RLPS, 2005. Rencana Kerja Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Penanaman Tanaman Pantai di Daerah Bencana Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Dit Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan, RLPS Dephut, Jakarta (tidak diterbitkan) Draper, N., Smith, H. 1991. Applied Regression Analysis. Second Edition. New York : John Wiley and Sons. Duke, N., Kathiresan, K., Salmo III, S.G., Fernando, E.S., Peras, J.R., Sukardjo, S., Miyagi, T., Ellison, J., Koedam, N.E., Wang, Y., Primavera, J., Jin Eong, O., Wan-Hong Yong, J. & Ngoc Nam, V. 2008. Camptostemon philippinense. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. www.iucnredlist.org. Diakses: 7 Januari 2011 Duke, N.C., Meynecke, J.O., Dittmann, S, Ellison,A.M., Anger, K., Berger, U., Cannicci, S., Diele,K., Ewel, K.C., Field, C.D., Koedam, N., Lee,S.Y., Marchand, C., Nordhaus, I. Dahdouh-Guebas, F. 2007. A world without mangroves. Science 317: 41.
306 | S i n t e s i s R P I
Dwi, I. 2010. Ekosistem pesisir pantai. http://one-geo.blogspot.com. Diunduh tanggal 03 Juli 2011. Dwijoseputro, G. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi, UI Press. Jakarta. Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000, kandungan ammonia, nitrit dan nitrat di teluk Kotania, Pulau Seram, Prosiding konferensi nasional II pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia, Universitas Hasanuddin, Makassar Effendi, 1999. Materi Presentasi. Penilaian Ekonomi Sumberdaya : Suatu Peralatan Teknis dalam Membantu Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius. Elfidasari, D dan Junardi. 2006. Keragaman Burung Air di kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak. Jurnal Biodiversitas Volume 7 Nomor 1.UNS. Solo Elmer, P. 2000. Analytical Methods for Atomic Absorbtion Spectrometry. Perkin Elmer Instruments LLC, Singapore. Eperwood, 1999. Succesful Ecoturism Business. The Right Approach.World Ecoturism Conference. Kota Kinabalu. Sabah Eu-fleght. 2003. 4000 Hutan Mangrove Delta Berau Habis Dibabat. www.eu-fleght. Diakses: 23 Februari 2010. Ewusie, J.Y., 1990. Pengantar ekologi tropika. Membicarakan alam tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. Penerbit ITB. Bandung. Fachruddin, Achmad, 2008. Valuasi Ekonomi Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Bone. http://coastaleco.wordpress.com/2008/04/26/valuasi-ekonomisumberdaya-pesisir-dan-laut-di-teluk-bone/. Diakses Tanggal 17 Februari 2010 Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi.PT. Bumi Aksara, jakarta. Fadhilah, P. 2009. Studi perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Islam Malang. Faeth, P., C. Cort., and R. Livernash. 1994. Evaluating the Carbon Sequestration Benefits of Forestry Projects in Developing Countries. World Resources Institute. Annapura. Nepal. Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi. 2009. Fungsi dan Peranan Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem, Jaga Kelestarian Ekosistem Hutan Bakau Bangka Belitung. Universitas Negeri Bangka Belitung. Fandeli, C. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta. FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 307
Farimansyah. Keragaman Jenis Burung pada Berbagai Lingkungan dan Sekitarnya. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 1981. Faturohman.2011.http://faturohmanikhsan.wordpress.com/category/ekologi-lauttropis/ Fauzi, Akhmad, 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Flores, E.M., 2007. Terminalia catappa. L. Part II Species Descriptions. www.google.com. Didownload pada tanggal 3 Januari 2011. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2007. The world’s mangroves 1980-2005. FAO Forestry Paper 153. FAO, Rome. 77p. Gandhi, Y., M. Hardiono, Y. Rahawarin, J. Nugroho, & J. Manusawai. 2008; Interpretation of Mangrove Ecosystem Dynamic in Bintuni Bay Nature Reserve Using Geographic Information System. Biodiversitas 9 (2):156-159 Genisa. A.S. 2003. Sebaran dan Struktur Komunitas Ikan di Sekitar Estuaria, Digul, Irian Jaya. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Volume 13. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Giesen W., Wulffraat, S., Zieren, M., Scholten,L. 2007. Mangrove guidebook for Southeast Asia. Food and Agricultural Organisation and Wetlands International, Bangkok,Thailand. 769p. Google Earth. 2002. Hasil Citra Catelit. Diakses: 29 Desember 2010 Govet, R. Mace, T., Bowe, S. 2010. A practical guidefor the determination ofmoisture contentof woody biomass.University of Wisconsin. Greenland, D.J and N.H.B. Hayes. 1981. The chemistry of soil processes. John Wiley & Sons Ltd, New York, USA. Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Studies in Ecology. Volume 9. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). 15-21. Gunawan, H. 2003. Pelestarian Hutan Mangrove Untuk Konservasi Satwa Langka di Sulawesi. Eboni. No 1. 1998. Gunawan, H. 2005. Kajian pemanfaatan hutan mangrove dengan pendekatan silvofishery. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Gunawan, H. 2006. Kajian pemanfaatan hutan mangrove dengan pendekatan silvofishery. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Gunawan, H dan C. Anwar. 2004. Keanekaragaman Jenis Burung di Taman Nasioanl Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol I No.3 Tahun 2004. Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor 308 | S i n t e s i s R P I
Gunawan, H., C. Anwar, R. Sawitri dan E. Karlina. 2007. Status Ekologis Silvofishery Pola Empang Parit di Bagian Pemangkuan Hutan CiasemPamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 4 (429-439): 2007. Gunawan, H. dan C. Anwar. 2008. Kualitas perairan dan kandungan Merkuri (Hg) dalam ikan pada tambak empang parit di BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH Purwakarta, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. V No. 1(1-10): 2008. Gunawan, W., K. Sidiyasa., Noorcahyati., Z. Arifin. 2004. Laporan Model Pengelolaan Taman Nasional : Analisis Potensi Keanekaragaman Jenis Vegetasi Mangrove di Taman nasioal Kutai dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Setempat. Loka Litbang Satwa Primata. Samboja Hachinohe Hideki, Oliva Suko dan Atsuo Ida, 1998. Manual Persemaian Mangrove di Bali. The Development of Sustainable Mangrove Management Project. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Hadisoesilo, S. dan Kuntadi. 2007. Kearifan Tradisional dalam “Budidaya” Lebah Hutan (Apis dorsata). Departemen Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Pp 40. Hakim, A. 2010. Wisata Hutan Mangrove Surabaya. www. antarajatim.com. Diakses: 3 Februari 2010 Hardjowigeno S., 1987. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Bogor Hasan, Iqbal. 2008. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Cetakan ketiga. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Hastuti, E.D., 2010. Pengaruh Perbedaan Struktur Komunitas Vegetasi Terhadap Kualitas Kimia Lingkungan di Hutan Mangrove Kabupaten Demak. Program Doktor Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang. www.google.com didownload pada tanggal 6 Januari 2011. Halidah dan C. Anwar. 2000. Ujicoba penanaman Rhizophora spp. dan B. gymnorrhiza di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Prosiding ekspose Hasil Penelitian Kehutanan, Makassar, 22 November 2000: 202-208. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Makassar. Halidah, C. Anwar dan M. Qiptiyah. 2006. Produksi dan Laju Pelapukan Serasah, Morphoedafik dan Salinitas Air Tanah Daratan pada Tiga Jenis Mangrove. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III (4). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Halidah, Saprudin, Anwar, C. 2008. Potensi dan Ragam Pemanfaatan Mangrove Untuk Pengelolaannya di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. V. No. 1: 67-78. Bogor. Hamilton, L. S. and S. C. Snedaker. 1984. Mangrove Area Management Handbook. Environment and Policy Institute, East-West Center. Hawaii. Harahap, Nuddin, 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu, Jogjakarta. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 309
Heriyanto, A. Budiman dan D. Sapulete. 1989. Beberapa Parameter Ekologi Molusca Hutan Mangrove di Saumlaki Tanimbar Selatan. Prosiding Seminar III Ekosistem mangrove. Denpasar Bali. Heriyanto, N.M. dan Zuraida. 2005. Kajian Beberapa Aspek Ekologi Pohon Kedawung (Parkia roxburghii G.Don.) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol II No.2 Tahun 2005. Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Hiariey, L.S. 2009. Identifikasi nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Jurnal organisasi dan manajemen 5(1):23-34 Hidayah, N, 2007. Silvofishery Sebagai Model Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Banyuasin (Makalah Pengelolaan Pesisir dan Kelautan). Program Pasca Sarjana Pengelolaan Lingkungan Universitas Sriwijaya, Palembang. http://tarkhiena.multiply.com/reviews/item/1 Diakses 11 November 2010 Hidayanto, M., H.W. Agus, dan F. Yossita., 2004. Analisis Tanah Tambak sebagai Indikator Tingkat Kesuburan Tambak. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 6, No. 4, (98-109) tahun 2004. Badan Riset Pertanian, Departemen Pertanian Indonesia. Hill, M.O. 1973. Diversity and evenness : Unifying notation and its consequences. Ecologi 54 : 427-432. Hilmi, E. 2003. Model penduga kandungan karbon pada pohon kelompok jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. dalam tegakan hutan mangrove: studi kasus di Indragiri Hilir Riau. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Holguin, G., P. Vasquez & Y. Bachan. 2001. The role of sediment organisms in productivity, conservation, and rehabilitation of mangrove ecosystem: an overview. Review article. Biol. Fertil. Soils (2001) 33: 265-278. Holt, J. G., N. R. Krieg , P. H. A. Sneath, J. T. Stanley & S. T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, 9th edition. William & Wilkins. New York. pp: 667-669 Hopley, D. 1999. Assessment of the environmental status and prospects of aquaculture in Mahakam Delta, East Kalimantan, Indonesia. Total Indonesie. Balikpapan. Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K. Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford. Hutchings, P., & P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. Aust, Eco. Series. University of Queensland Press. St Lucia, Quensland. Idris, I, 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. http://Yudisuper.Blogspot.Com/2008/12/ Implikasi-Konversi-Hutan-mangrove.Html. diakses 11-10-2009. Imra. 2009. Identifikasi dan sebaran gastropoda di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Borneo. 310 | S i n t e s i s R P I
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Bandar Lampung Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta. Institut Pertanian Bogor. 2012. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove : Studi Kasus Desa Tiwoho. IPB Press Bogor. http:///www.google.com. Diakses tanggal 24 September 2012. Iqbal, M. 2007. Analisis Peran Pemangku Kepentingan dan Implementasinya dalam Pembangunan Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian 26 (3): 89-99. Irmayeni, C. 2010. Model Alometrik Biomassa dan Pendugaan Simpanan Karbon Rawa Nipah [Skripsi]. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Irwanto,2008. Hutan Mangrove dan manfaatnya.(irwanto mangrove.webs.com) Ambon. Iskandar, S dan E.karlina. 2005. Kajian Pemanfaatan Potensi Keanekaragaman Hayati di Kompleks Hutan Tanjung Lame-Karang Ranjang dan Pulay Handeulum, Taman nasional Ujung Kulon dalam Kegiatan Ekowisata. Info Hutan II (3). Ismuranty, C. 2001. Building The Co-Management for The Conservation and Suistainable Use of The Derawan Island, East Kalimantan. Indonesia.www.itmems.org. diakses: 23 Februari 2010 Istiyanto, D.C., S.K. Utomo, dan Suranto, 2003. Pengaruh Rumpun Bakau Terhadap Perambatan Tsunami di Pantai. Makalah pada Seminar Nasional “Mungurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset” di Yogyakarta, 11 maret 2003. IUCN. 2012. IUCN redlist of threatened species. http://www.iucnredlist.org, diakses tanggal 10 februari 2012 Joshi, L., Kanagaratnam, U., Adhuri, D. 2006. Nypa fruticans – useful but forgotten in mangrove reforestationprograms?. World Agroforestry Centre (ICRAF). Kaltimpost. 2010. Kunjungan Wisata Capai 60.000.www.kaltimpost.co.id. Diakses: 19 Desember 2010 Kaltimpost. 15 Januari 2011. Hilangnya Sektor Wisata dalam Penilaian. www.kaltimpost.co.id. Diakses: 21 Januari 2011 Kantor Pengelola Sumberdaya kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilacap, 2009. Data dan Informasi Segara Anakan; Laguna Unik di Pantai Selatan, Jawa. KPSKSA, Cilacap. Kardi, M. Ghufran 2010. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya. Pintar Budidaya Ikan di Tambak secara Intensif. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Karim, M., 2008. Eksistensi Pulau-Pulau Kecil di Kawasan Perbatasan Negara. www.google.com. Didownload pada tanggal 10 Januari 2010.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 311
Kartamiharja, K., S. Adisoengarto, S. Soemodihardjo dan IGM Tantra. 1979. Status Pengetahuan Bakau di Indonesia.Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove,Jakarta : 21-39. Kartono, 2000. Pengantar Metodologi Reset Sosial. CV. Mandar Maju. Jakarta. Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia. Kauffman, J.B. and Donato, D.C. 2012 Protocols for the measurement, monitoring and reporting of structure, biomass and carbon stocks in mangrove forests. Working Paper 86. CIFOR, Bogor, Indonesia. Kembarawati dan Lilia, 2008, Kondisi awal kualitas perairan di saluran primer induk (SPI) Eks-PLG 1 juta hektar dan wilayah dusun muara puning Kalimantan Tengah, Wetland Internasional Indonesia Keputusan Gub. Sulsel. No.14 Tahun 2003. Badan Pengendalian dampak Lingkungan (Bapedalda). Tentang Pengelolaan, pengendalian pencemaran air, udara. Penetapan baku mutu limbah cair. Baku mutu udara Ambien dan Emisi serta Baku Tingkat gangguan Kegiatan Yang beroperasi di Prop. Sul Sel. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : 201/2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Hutan Mangrove. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Khairijon, 1998. Prospek Rehabilitasi Hutan Mangrove Pangkalan Batang Bengkalis Riau ditinjau dari Vegetasi Strata Seedling. Pusat Penelitian. UNRI. Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland Internasional. Indonesia Program. Bogor. Khomsin. 2005. Studi perencanaan konservasi kawasan mangrove di pesisir selatan Kabupaten Sampang dengan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 14-15 September 2005. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. KPH Purwakarta, 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta. Purwakarta (tidak diterbitkan) Kompas. 2000. Separuh hutan bakau Sumatera Barat Rusak. Kompas 28 Februari 2000. Kompas, 2003. Hutan Disikat Mangrove Dibabat. http:www2.kompas.com/kompascetak/ 0309/23/daerah/575754.htm Diakses 4 Nopember 2008 Kotler P, 2005. Manajemen Pemasaran. PT. Intan Sejati Klaten. 312 | S i n t e s i s R P I
Krisnawati, H., Adinugroho, W.C., Dharmawan, I.W.S. and Imanuddin, R. 2012. Allometric models for estimating above ground biomass of Bruguiera gymnorrhiza L. (Lamk.) at Kubu Raya mangrove forest, Indonesia (Manuscript). Kurdi, S.Z. 2010. Identifikasi kerugian kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut. Puslitbang Permukiman. http://
[email protected]. Diunduh tanggal 03 Juli 2011. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor. IPB Press Kusmana, C. 2013. Suatu pemikiran untuk pengelolaan hutan mengarove secara berkelanjutan dan terpadu beserta dukungan risetnya. Paparan pada acara sosialisasi dan diskusi pengelolaan mangrove di Kubu Raya. Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia. Kusmana, C., Istomo, C. Wibowo, S. W. Budi, I. Z. Siregar, T. Tiryana dan S. Sukardjo. 2008. Manual of mangrove silviculture in Indonesia. Ministry of Forestry and KOICA, Jakarta. Kusmana, C. Sabiham, S., Abe, K., and Watanabe, H. 1992. An estimation of above ground tree biomass of a mangrove forest in East Sumatra, Indonesia. Tropics 1(4): 243-257. Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yusnafi, dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusmayadi dan E. Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kusumaatmadja, S. 2001. Dihutankan Kembali, 60.000 Hektar Tambak di Delta Mahakam. Kompas Kamis, 5 April 2001. http://kompas.com/ kompascetak/0104/05/IPTEK/dihu10.htm. Diakses tanggal 06 April 2006 Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor. Kuswandi, R. 2012. Inventarisasi Potensi Dan Sebaran Jenis Nipah Di Papua. Laporan Riset untuk Kesejahteraan PKPP, Kementerian Ristek. Lalli, C. M. & T. R. Parsons. 1993. Biological Oceanography An Introduction. Newyork : Pergamon Press Lee, T.D. 1978. Handbook of Variables of Environmental Impact assessment. Arbor: An Arbor Science Publisher Inc Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. 2002. Hutan Bakau Hilang Minamata Datang. www. Ecoton.or.id. Diakses 3 Januari 2006. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan mangrove Indonesia (LPP Mangrove), 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. http://www.imred.org/?q=content/ ekosistem-mangrove-di-indonesia. Diakses 10-10-2009Mason. C.F. 1991. Biology of Freshwater Pollution. Longman Scientific and Technical. John Wiley & Sons. Inc. New York .
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 313
Li, M.S. & Lee, S.Y. 1997. Mangroves of China: a brief review. Forest Ecology and Management 96, 241–259. Linder, C.M. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminuddin Parakkasi, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Lintasberita. 2009. Kunjungan Wisatawan capai 35.000. www.lintasberita.com. Diakses: 19 Desember 2010 Lorens, Loho. 2012. Komunikasi Pribadi. Ketua Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken (FMPTNB). Tiwoho. Ludwig, J.A and J.F. Reynolds. 1988. Statistical ecology. John Willey & Sons. New York, USA. Hal. 85-99. Lyla, P. S., & K. S. Ajmal. 2006. Marine Microbial Diversity and Ecology:Importance and Future Perspectives. Current Science. 90: 1325 1335. MacKinnon, K; K, Phillips, dan B. V Balen. 1992. Burung-burung di Sumatera, jawa, Bali, dan Kalimantan. Pusat Litbang Biologi. LIPI Mackinnon, K; Hatta, G; Halim, H; dan Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta Mangkurat, B,, 2008. Prospek Ekosistem Mangrove Terpadu Sebagai Investasi Bangsa Indonesia yang Berwawasan Konservasi. http://www.kabarindonesia. com/berita.php?pil=4&dn=20081030115237. Diakses 14 April 2011 Mangrovecentre. 2010. Ekowisata di Mangrove Information Centre. www. mangrovecentre.or.id. Diakses: 3 Februari 2010 Marsono, D., E.P. Rahayu dan Udiono. 1995. Peran rehabilitasi mangrove terhadap keanekaragaman biota (Studi kasus di pantai Pemalang). Martawijaya, A., Iding K., Kosasi K., Soewanda, A. P., 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid 1. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Martodiwirjo, S. 1994. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove dalam Pelita VI. Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove, Mangrove Center, Denpasar, 26-28 Oktober 1994 (tidak diterbitkan). Maryatul Qiptiyah1, Halidah2, dan/and M. Azis Rakhman. 2008. struktur komunitas plankton di perairan mangrove dan perairan terbuka di kabupaten sinjai, sulawesi selatan. Jurnal Penelitian dan konservasi Alam Vol. 5.No.2. Bogor McNeely, J..M., 1988. Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economic Incentives Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Switzerland. Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Universitas Indonesia Press. Jakarta
314 | S i n t e s i s R P I
Mile, M.Y., 2007. Pengembangan Spesies Pantai Untuk Rehabilitasi Dan Perlindungan Kawasan Pantai Pasca Tsunami. Info Teknis Vol 1 No 2. Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Mill, R.C. and A.A. Morrison. 1985. The Tourism System. Prentice-Hall Inc.: New Jersey. Mintardjo, K, Sunaryanto, A.,Utaminingsih dan Hermiyaningsih. 1985. Persyaratan Tanah dan Air. Dalam: Pedoman Budidaya Tambak Udang, Deirektorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. Mitsch, W.J. and Gosselink, J.G. 2007. Wetlands (Fourth edition). John Wiley and Sons, Inc., New York, USA. 582p. Monograf Kampung Tanjung Batu. 2010. Tidak diterbitkan. Muchtadi, D. 2005. Serat Makanan: Faktor Penting Yang Hampir Dilupakan. Bogor: Department of Food Science and Technology. IPB. Mueller-Dombois and Ellenberg. 1974. Aims and methods of vegetation ecology. John Wiley and Sons, Inc. New York Mukhlisi, Priyono, Suhardi, dan I. Suharja. 2010. Laporan Hasil Penelitian Kajian Keragaman Flora dan Fauna Hutan Mangrove Di Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. BPTP Samboja. Tidak Diterbitkan Mulia, F dan L. Sumardjani, 1995. Sistem Silvikultur Hutan Mangrove. diakses tanggal 7 Juli 2007. www. Kesemat.com Mulyani, Mul dan Kartasapoetra, A.G. 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Rineka Cipta, Jakarta. Nasa, 2010. Nasa Images Reveal Disappearing Mangroves Worldwide. http://news.mongabay.com. Diakses tanggal 24 September 2012. Nganro, N.R dan Suantika, G., 2009. Urgensi Ecosystem Approach Dalam Pengelolaan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan. Round Table Discussion Majelis Guru Besar-ITB, 24-25 Juli 2009 Njurumana, G. Nd.,2004. Menata Asa Ditengah Krisis Ekologi. Sebuah Artikel. Diterbitkan Oleh Harian Pagi Timor Express, 21 Juni 2004. Kupang Njurumana, G. Nd.,2004. Nilai Penting Kearifan Lokal dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan. Sebuah Artikel. Diterbitkan Oleh Harian Pagi Timor Express, 7 Desember 2004. Kupang. Njurumana, G. Nd.,2005. Nilai Penting Konservasi Hutan Mangrove di NTT. Sebuah Artikel. Diterbitkan Oleh Harian Pagi Timor Express, 27 Januari 2005. Kupang. Njurumana, G.D., 2010. Kajian Ekologi Silvofishery di Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Tidak diterbitkan. Kupang. Njurumana, G, D dan Anwar, C 2006. Persepsi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Bipolo Kabupaten Kupang. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 315
Proseding Getek BPK Kupang “Cendana untuk Rakyat” Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Edisi 3. Penerbit Djambatan. Jakarta Nontji, A, Soemodihardjo, S., dan A. Djamali (Ed). 1979. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. p. 176-185. Noorhidayah; Kade Sidiyasa; dan A. Ma’ruf. 2007. Struktur dan Komposisi Vegetasi Habitat Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) Pada Hutan Mangrove di Bagian Hilir Sungai Wain, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Volume IV Nomor 2 Tahun 2007. Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Noor, Y. R., Khazali, M., dan Suryadiputra, I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetland Internasional. Indonesia Program. Bogor Notoatmodjo, S, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Nugroho, A. W., 2009. Pengaruh Penambahan Tanah dan Bahan Organik Terhadap Daya Hidup dan Pertumbuhan Awal Cemara Udang Pada Gumuk Pasir Pantai Kebumen. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan). Nursal, Fauziah Y dan Ismiati, 2005. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Utara. Pogram Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau. Jurnal Biogenesis. Vol. 2(1) : 1 – 7, 2005. Nursidah. 1996. Hutan Mangrove Kita. Majalah Kehutanan Indonesia edisi No. 5 tahun 1996/1997. Departemen Kehutanan Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia. Obot EA, Oduwaiye EA, Oyeleye B, 1997. Effect of mangrove environment on species regeneration, density and growth. Environment and resource development. Proceedings of the 25th Annual Conference of the Forestry Association of Nigeria held in Ibadan, Oyo State, Nigeria, 22nd-26th September 1997, 249-256. Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan T. FMIPA IPB. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Oldroyd, B.P. and S. Wongsiri. 2006. Asian Honey Bees; Biology, Conservation, and Human Interactions. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts, and London, England. Pp 340. Ong Su Ping. 2011. FRIM. Onrizal. 2002. Evaluasi kerusakan kawasan mangrove dan alternatif rehabilitsinya di Jawa Barat dan Banten. Fakultas Pertanian, Program Ilmu Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Onrizal. 2010. Perubahan tutupan hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara periode 1977-2006. Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-172. 316 | S i n t e s i s R P I
Onrizal. dan Kusmana, C. 2004. Kajian ekologi hutan pantai di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal Komunikasi Penelitian Vol. 16 (6). Orubute, K.O., Oforka, N.C. 2004. Inhibition of the corrosion of mild steel in hydrochloric acid solutions by the extracts of leaves of Nypa fruticans Wurmb. Materials LettersVolume 58, Issue 11, April 2004, Pages 1768–1772. Pambudi, G.P. 2011. Pendugaan biomassa beberapa kelas umur tanaman jenis Rhizophora apiculata Bl. pada areal PT. Bina Ovivipari Semesta Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Skripsi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parry, D. E. 1996. Strategi Nasional untuk Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Lokakarya “Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia, Jakarta, 26-27 Juni 1996. Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Sulawesi, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Pass, C dan Lowes, B., 1994. Collins Kamus Lengkap Bisnis. Jakarta. Payne, J; C.M Francis, K.Phillips, dan S.N Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. Wildlife Conservation Society. Indonesia Program Pemprov Kaltim. 2007. Kerusakan Delta Mahakam Memprihatinkan. Sabtu, 21 April 2007. Website Resmi Pemprov Kalimantan Timur. http://www.kaltimprov.go.id/kaltim.php. Diakses tanggal 08 Desember 2009. Peraturan Bupati Berau Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau. Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003. Tanggal 26 Mei 2003. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat Di Propinsi Sulawesi Utara. Manado Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.02/Menhut-V/2004 tentang penyelenggaraan kegiatan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 Bagian Keempat tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 12/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Perlindungan Kawasan Pantai Pasca Tsunami. Info Teknis Vol 1 No 2. Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, 2009. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Mangrove Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta. Seksi Perencanaan Hutan Cianjur. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 317
Poedjirahajoe, 1996. Peran akar Rhizophora mucronata Dalam Perbaikan habitat Mangrove di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Pemalang. Laporan Penelitian. Laboratorium Ekologi Hutan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Yokyakarta Poedjirahajoe, E. 2006. Bahan Kuliah Ekologi Perairan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. PP. Nomor 7. Tahun 1999 Tentang Jenis-Jenis Tumbuhan dan satwa yang Dilindungi.www.dephut.go.id. Diakses: 16 Desember 2010 Pramudji. 2004. Penanganan hutan mangrove di kawasan pesisir Indonesia: suatu program yang sangat mendesak. Oseana, Volume XXIX, Nomor 1, Tahun 2004 : 19 – 26. Prasad, K.N., Aufa, Z. A., Azlan, A., Ismail, A., Romli, Z. 2012. Antioxidant capacity of Nypa fruticans Wurmb. Fruit. International Journal of Food, Nutrition & Public Health Vol. 5 No. 1/2/3, 2012. Prasetyawati, A., 2010. Teknik Penanaman Pada Kawasan Pesisir di Pulau Selayar. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). Prasetyawati, A., 2010. Ujicoba Penanaman Pada Areal Terabrasi dan Pulau-Pulau Kecil. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). Prasetyo, B., 2008. Analisis Ekonomi Hutan Mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di kecamatan Tinanggea Kabuipaten Konawe Selatan. Skripsi Program Studi Budidaya Hutan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kendari, Sulawesi Tenggara. Pratikno, W.A., Suntoyo, K.Sumbodho, Solihin, Taufik dan D.Yahya, 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko Terhadap Bahaya Tsunami. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko Terhadap Bahaya Tsunami. Makalah lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta Pribadi, S.I, D.G Bengen, N.Makinuddin, A.M Ibrahim, S.Widodo. 2005. Menuju Keterpaduan Pengelolaan Teluk Balikpapan. Mitra Pesisir/CRMP II USAID. Jakarta Prihatyanto, 2008. Pemanfaatan Lahan Pesisir Meningkatkan Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi IV Tahun 2008. Jakarta. Priyambodo. 2011. Hutan Pantai Petanahan Jadi Contoh Penghijauan. http://www.antaranews.com. Diunduh tanggal 16 April 2011. Prosea,_______. A tree species reference and selection guide. Agroforestry Tree Database. www.google.com. Didownload pada tanggal 5 Januari 2011
318 | S i n t e s i s R P I
Putri, K. P dan Bramasto, Y.2002. Telaah Perbenihan Beberapa Jenis Mangrove. Tekno Benih Vol. VII. No. 1 Hal 52-59. Radar Tarakan. 2011. Wisata Bahari Masih Tujuan Utama Wisatawan. http://www. radartarakan.co.id/index.php/kategori/detail/Berau/19265. Diakses: 1 Desember 2011 Rahmadani, F., M. A. Ismawan., M. Syoim. 2004. Wajah Mangrove Taman Nasional Kutai : Laporan Survei Potensi Mangrove di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Yayasan BIKAL. Samarinda Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke 2. Jakarta: Universitas Indonesia Raswin, M. 2003. Pembesaran Ikan Bandeng. Modul : Pengelolaan Air Tambak. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan Nasional. Rengki, 2011. Ekosistem Mangrove. Rengkiik08blogspot.com/2011/04ekosistemmangrovehtml. Reksodiharjo,G.Y., Irmawati dan D.S. Moro. 1986. Pola sebaran Molusca Suku Potamididae di Hutan Lego Lentah Pulai Panaitan. Prosiding Seminar III Ekosistem mangrove. Denpasar Bali. IMB. Republika Online. Arena Pemancingan Ekowisata Mangrove Pluit. www. republika. co.id. Diakses: 3 Februari 2010 Reza, H., Haq, W.M., Das, A.K., Rahman, S., Jahan, R., Rahmatullah, M. 2011. Anti-hyperglycemic and antinociceptive activity of ethanol leaf and stem extract of Nypa fruticans wurmb. Pak. J. Pharm. Sei., vol.24, no.4, october 2011, pp.485-488. RLPS dalam http://www.dephut.go.id. Rochana, E, 2002. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. http: www.freewebs.comirwantomangrovemangrove_kelola.pdf. Diakses 10-102009. Romimohtarto, K., dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisik kimia di perairan pantai labu kabupaten deli serdang. Tesis Program Studi Bologi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan Said, A dan M.A.K. Smith. 1997. Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Mangrove di Sulawesi: Ekonomi Sumberdaya. Laporan Akhir. Direktorat jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan dan Asian Development Bank. Jakarta. Saenger P, Bellan MF, 1995. The mangrove vegetation of the Atlantic coast of Africa. A review. Toulouse, France: Laboratoire d’Ecologie Terrestre, Centre Nationale De La Recherche Scientifique, Université de Toulouse. Saepulloh, C. 1995. Akumulasi logam berat (Pb, Cd, Ni) pada jenis Avicennia marina di Hutan Lindung Mangrove Angke-Kapuk, DKI Jakarta. Jurusan Manajemen P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 319
Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Safri,M., H. siregar, A. anwar, dan B. D. Nasendi. 1996. Analisis Wisata Eko dan wisata Budaya denga metode Kontingensi dan biaya Perjalanan. Duta Rimba/ 197-198/ XX: 2-15. Sahoo K. & N. K. Dhal. 2009. Potential microbial diversity in mangrove ecosystems: A review. Indian Journal of Marine Sciences Vol. 38(2):249-256 Salim, E., 1991. Pengelolaan Hutan Mangrove Berwawasan Lingkungan. Prosiding Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur hijau Hutan Mangrove : 6-9. Panitia Nasional Program MAB, LIPI, Indonesia. Sallata, M. K. dan Njurumana, G. Nd. 2003. Pembentukan Iklim Mikro Melalui Komunitas Pepohonan untuk Kelestarian Tata Air yang Berbasis Masyarakat. Info Hutan No. 158/2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor Indonesia. Salmin, 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (bod) sebagai salah satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Oseana. Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26. Samadikun, S.,1995. Sambutan Ketua LIPI pada Upacara Pembukaan Seminar V Ekosistem Mangrove. Prosidings Seminar V Ekosistem Mangrove, Jember 36 Agustus 1994. Kontribusi MAB Indonesia No. 72, LIPI Samarinda Pos Online. 19 Oktober 2009. Bakal Jadi Obyek Wisata Hutan Mangrove. Sapos.co.id. Diakses: 23 Februari 2010 Sampurno. 2010. Pengembangan kawasan pantai kaitannya dengan geomorfologi. Departemen Geologi ITB. http://www.scribd.com. Diunduh tanggal 29 Juni 2011. Santoso, U, 2008. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya. http:// uripsantoso.wordpress.com/2008/04/03/hutan-mangrove-permasalahan-dansolusinya/ Diakses Tanggal 16 Februari 2010. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional. Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta. Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia. Santoso, N., B. C. Nurcahya, A. F. Siregar dan I. Farida. 2005. Resep makanan berbahan baku mangrove dan pemanfaatan nipah. LPP Mangrove, Bogor. Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Mengatasi Kerusakan Wilayah Pantai (Abrasi), Meminimalisasi Dampak Gelombag Tsunami. Penerbit Effhar dan Dahara Prize. Jakarta.
320 | S i n t e s i s R P I
Sarwa, IN; IAK, Yuliasih; IN, Sumerta; IW, Suparta. 2005. Pedoman Pengamatan Burung di MIC. Pengelola Proyek Penerbitan Seri Panduan Lapangan Seksi Ekowisata, Mangrove Information Center. Bali Sasmitohadi. 2011. Pengelolaan Mangrove Lestari:Pengembangan dan Pelestarian Ekosistem Mangrove. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wil. I Denpasar. Manado (disampaikan dalam rapat Fasilitasi Pokja Mangrove (KKMD)Prop Sulut). Septiadi, A. 2010. Mangrove pun menghasilkan pangan bergizi. Website http://KOMPAS.com/article. Diakses tanggal 10 Desember 2010. Setiawan, H., M.Qiptiyah, A. Suryaman, A.Nuryadin, 2010, Kajian Keragaman Satwa dan Mikroorganisme Hutan Mangrove, Laporan Hasil Penelitian, BPK Makassar Setyawan, A. D., Ari, S., Wiryanto, 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai Selatan Jawa. Biodiversitas Volume 3, Nomor 2. Siddiqi, NA. 1995. Site suitability for raising Nypa fruticans plantations in theSundarbans mangroves. Journal of Tropical Forest Science 7(3): 405-411 (1995) Sidik, A. S. 2009. The Changes of Mangrove Ecosystem in Mahakam Delta, Indonesia: A Complex Social-Environmental Pattern Of Linkages In Resources Utilization. Rescopar Scientific Meeting. 25-26 February 2009. Mulawarman University, Samarinda. http://library.enaca.org/ mangrove/ publications/mahakam-delta-paper-revised.pdf. Diakses tanggal 08 Desember 2009. Sidiyasa, K; Noorhidayah; dan A.Ma’ruf. 2005. Habitat dan Potensi Regenerasi Pohon Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Kuala Samboja. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Volume II Nomor 4 Tahun 2005. Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Siegel, S. 1997. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta. Sihite, J.. 2005. Masyarakat dan Cagar Alam Teluk Bintuni, Antara Fakta dan Harapan. The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA) dan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, pp:164. Simon, H. 2007.Metode Inventori Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sirante,R. 2011. Studi Struktur Komunitas Gastropoda di Lingkungan Peraiaran Kawasan mangrove Kelurahan Lappa dan desa Tongke-tongke kabupaten Sinjai. 118.97.33.150/jurnal.../3ad9b56a848b. Diunduh tanggal 14 januari 2013. Slamet, Juli Soemirat. 2000. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Snedaker, S.C. 1978. Mangrove Their Values and Perperuation. Nat. Res.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 321
SNI 7724. 2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon - Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Soekadijo, R.G. 1996. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai Systematic Linkage. Gramedia. Jakarta. Soegiarto, A. 1984. The Mangrove Ecosystem in Indonesia : Its Problems and Management in H.J. Teas (ed). Physiology and Management of Mangrove. W. Jung Publishers, The Hague. P69 - 78. Soegiharto, R, 2006. Mitigasi Bencana di Kampung Nelayan Upaya Sistematis Mengurangi Kerugian Jiwa, Harta Benda, dan Kerusakan Lingkungan. www.dkp-banten.go.id. Accessed 19-2-2010. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Soemodihardjo, S., A. Nontji dan A. Djamali (Ed). 1993. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. p. 176-185. Soendjoto,M.A; H.S Alikodra; M. Bismark; H. Setijanto. Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Jurnal Biodiversitas. Volume 7, Nomor 1. http://www.unsjournals.com/D/D0701/D070110.pdf. Diaskes: 29 Desember 2010 Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Soetarto, A. E. S., 2000, Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Tanah, Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Soetrisno, K., Riyanto, dan E. Tobing. 1995. Studi pertumbuhan anakan Bius (Bruguiera sp). Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994. Kontibusi Mab Indonesia, No. 72 : 99-101, LIPI. Sonjaya, J.A. 2007. Kebijakan Untuk Mangrove : Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources & Mangrove Action Project. IUCN Publications Services Unit. Yogyakarta. Strategi Nasional mangrove. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Draf Revisi) Buku II: mangrove Indonesia.Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta Subadra, I, N, 2007. Reboisasi Hutan Mangrove untuk Mengurangi Global Warming. http://www.balebengong.net/topik/teknologi/2007/11/23/reboisasihutan-mangrove-untuk-mengurangi-global-warming.html. Accessed 19-22010 Subiandono, E., Heriyanto, N.M., dan Karlina, E. 2011. Potensi Nipah (Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb.) sebagai Sumber Pangan dari Hutan Mangrove. Buletin Plasma Nutfah Vol.17 No.1 Th.2011. Subiandono, E., N. M. Heriyanto, Manjela Eko Hartoyo, Yuli Nugroho, Jaya Atmaja dan Zaenal Asikin. 2012. Distribusi dan perubahan tutupan 322 | S i n t e s i s R P I
mangrove. Laporan Hasil Penelitian. Rehabilitasi, Bogor.
Pusat Litbang Konservasi dan
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur analisis bahan makanan dan pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sugandhy, A., 1995. Kebijaksanaan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir dan Lautan Khususnya Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan. Prosidings Seminar V Ekosistem Mangrove, Jember 3-6 Agustus 1994. Kontribusi MAB Indonesia, No. 72, LIPI. Suhendrayatna, 2001, Bioremoval logam berat dengan menggunakan mikroorganisme. Makalah ini disampaikan pada seminar on-Air bioteknologi untuk Indonesia Abad 21, Sinergy forum-PPI Tokyo, Institut of Technology, 1-14 Februari 2001 Sukanda. 1995. Cara pengusahaan hutan nipah (Nypa fructicans) di Batu Ampar Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1995 Vol. 13 No. 4 pp. 153161. Sukardjo, S. 1987. Tanah dan Status Hara di Hutan Mangrove Tiris, Indramayu. Jawa Barat. Rimba Indonesia. Vol XXI. No. 2 – 4. 1987. Sukardjo, S. 1996. Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta 2627 Juni 1996. Sukardjo, S. and Yamada, I., (1992). Biomass and productivity of a Rhizophora mucronata Lamarck plantation in Tritih, Central Java, Indonesia. Forest Ecology and Management 49: 195-209. Sumantri. 1994. Pemanfaatan muara menimbulkan ancaman serius. Warta Konservasi Lahan Basah 3(3):12-13. Suprapti, N. H. 1998. Chromium Content of Milk Fish (Chanos-chanos Forsk) in Brackhis Water Pond Around Babon River of Semarang Coastal Areas Central Java Indonesia. Majalah Penelitian Undip 2(2):355-361. Research Institut Diponegoro. Semarang. Suprapti, N. H. 1999. Kandungan Cadmium pada perairan dan Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) di wilayah pantai sekitar muara sungai Babon Semarang, Jawa Indonesia. Jurnal Kimia dan Aplikasi Vol 2 Februari 1999. ISSN No: 1410-8917. Jurusan Kimia F.MIPA UNDIP. Semarang. Suprapto, S. J. 2008. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian. http://www.dim.esdm.go.id/ index.php. Diakses tanggal 16 Februari 2010. Supratman, I. 1994. Model persamaan pendugaan biomassa bagian pohon berkayu jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. di hutan mangrove Kalimantan Timur: Studi Kasus di Kawasan HPH PT. Karyasa Kencana. Skripsi Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 323
Supriharyono, 2007. Hasil Kajian Pengelolaan Mangrove di Provinsi Jawa Tengah. Makalah disampaikan pada Lokakarya Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove. BPDAS Pemali Jratun, DitJen RLPS (tidak diterbitkan). Supriyanto. C., Samin dan Zainul Kamal. 2007. Analisis cemaran logam Berat Pb, Cu dan Cd Pada ikan air tawar dengan metode spektometri nyala aerapan atom (SSA). Makalah seminar nasional III SDM Teknologi nuklir Yogyakarta, 21-22 November 2007 Suryawan, F. 2004. Keanekaragaman vegetasi mangrove pasca tsunami di kawasan pesisir pantai timur Nangroe Aceh Darussalam. Jurnal Biodefersitas, Jurusan Biologi FMIPA - Universitas Syiah Kuala. Volume 8 Nomor 4. Suwono, H. S 2011. Kajian Kualitas Air Pada Budidaya Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Sistem Tumpang Sari Di Areal Mangrove. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. Himpunan Alumni. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau. Suyanto, A. 2008. Keanekaragaman Mamalia Kecil di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia 17 (1). http://digilib.biologi.lipi.go.id. Diakses: 5 Januari 2010 Suyanto, A; M.H. Sinaga; dan A.Saim. 2009. Biodiversitas Mamalia di Tesso Nilo, Propinsi Riau, Indonesia. Zoo Indonesia 2009. 18 (2): 79-88 Talan, M.A. 2008. Persamaan penduga biomasa pohon jenis nyirih (Xylocarpus granatum Koenig. 1784) dalam tegakan mangrove hutan alam di Batu Ampar, Kalimantan Barat [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tan, R (2001) Nipah palm. Nypa fruticans. Mangrove and wetland wildlife at Sungei Buloh Nature Park. http://www.naturia.per.sg/buloh/plants/palm_ nipah.htm Tambajong, L. 2011. Kebijakan Pengelolaan Tataruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Sulawesi Utara. Manado (disampaikan dalam rapat Fasilitasi Pokja Mangrove (KKMD)Prop Sulut). Taryana, A.T. 1995. Akumulasi logam berat (Cu, Mn, Zn) pada jenis Rhizophora stylosa Griff. Di hutan tanaman mangrove Cilacap BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Teluk Tomini.org. 2010. Mangrove di Bolaaang mongondow. http://database. teluktomini.org/mangrove.php?id_tips=14&nama=BOLAANG%20MONGO NDOW%20SELATAN Tepu, Mustari ., 2006. Studi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pemanfaatan Hutan Mangrove di Muara Lanowulu Taman Nasional rawa Aopa Watumohai. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian, Kendari. The Ecoturism Society. 1990. Ecoturism Guidance for Planner and Manager. The Ecorurism Society. North Bennington. London
324 | S i n t e s i s R P I
Thorikul Huda, 2009, hubungan antara total suspended solid dengan turbidity dan dissolved oxygen, www.thorik.staff.uii.ac.id, diakses tanggal 23-11-2010 jam 15.58 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, 2011. Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) . Jakarta Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. Treshow, M. 1985. Air pollution and plant life. John Wiley and Sons, Utah, USA. Trisasiwi, W., Asnani, A., Setyawati, R. 2011. Optimization of Bacterial Doses and Incubation Time on Bio-Ehanol Fermentation of Nipah (Nypa fruticans) for Biofuel Energy. Journal of Life Sciences 5 (2011) 1022-1029. Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood (Structure, Properties, Utilization). Van Nostrand Reinhold, New York. Tuheteru, F. D., 2008. Hakekat Hutan Pantai Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi II Tahun 2008. Jakarta. Turner, R.E. 1977. Intertidal vegetation and commercial yields of penaeid shrimp. Trans. Am. Fish. Soc. 106: 411-416. Tuwo, A; J.Tresnanti; dan B.S. Parawansa. 2009. Analisis kelayakan Pengembangan Ekowisata Mangrove di Kepulauan Tanakeke. Jurnal Sains dan Teknologi 9 (3) : 218 – 225. Ukpong IE, 1995. An ordination study of mangrove swamp communities in West Africa. Vegetatio, 116(2):147-159; 22 ref. Ukpong IE, 2000. Ecological classification of Nigerian mangroves using soil nutrient gradient analysis. Wetlands Ecology and Management. 8(4):263-272. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999. Tentang Kehutanan. Jakarta. Upadhyay, V.P. and P.K. Mishra. 2010. Phenology of mangroves tree species on Orissa coast, India. Tropical Ecology 51(2): 289 – 295. Utami, U. 2011. Isolation, identification and antimicrobial activities selection of endophytic bacterial from mangrove plantation Bruguiera gymnorrhiza. International Journal of Academic Research. Vol. 3(1) January 2011 part 1: 187-194. Wada, 1991. Mangrove and it’s conflict paper submitting to Australian National University, Canberra. Wahyuni, PI; IPG. Ardhana; dan IN. Sunarta. 2008. Evalusai Pengembangan Ekowisata di Kawasan Tahura Ngurah Rai. Jurnal Ecotrophic . 4 (1) : 49-56 Wangsadidajaja, S. S., 2009. Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Situs Resmi Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. http://dishutkalsel.org/index.php. Diakses tanggal 08 Desember 2009.
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 325
Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta. Waryono T. dan Didit E.Y., 2002. Restorasi Ekologi Hutan Mangrove (Studi Kasus DKI Jakarta) Seminar Nasional Mangrove, Hotel Borobudur 21 Oktober 2002. Wiadnyana, N. N. 2003. Peranan Plankton di dalam ekosistem perairan Indonesia, lautan red tide. Orasi pengukuhan ahli peneliti utama bidang ekologi laut. Pusat penelitian oceanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta Wibowo, K dan Handayani, T. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 7. No 3. Pusat Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta. Wicaksono, A. 2011. Standar Garis Kemiskinan Indonesia Terlalu Rendah. http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/18/204321/23/2/-StandarGaris-Kemiskinan-Indonesia-Terlalu-Rendah Diakses 2 Januari 2013Widarta, I.G.M dan S. Hamada. 1995. Ujicoba Penanaman Pohon Mangrove di Gili Petagan. Prosiding Seminar V; ekosistem Mangrove, Jumber, 3-6 Agustus 1994:86-93. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI. Jakarta. Wijiyono, 2009. Keanekaragaman bakteri serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas di Teluk Tapian Nauli, Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Universitas Negeri Medan. Wikipedia. 2008. Delta Mahakam. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, terakhir diubah pada 10:58, 14 Maret 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/ Delta_Mahakam. Diakses tanggal 16 Februari 2010. Winarno, FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. WWF. 2008. Bupati Berau Luncurkan Stasiun Pengamatan Terapung Penyu Laut. www.wwf.or.id. Diakses: 21 Februari 2010 Yao, Y.F., S. Bera, Y.F. Wang, and C.S. Li. 2006. Nectar and pollen sources for honeybee (Apis cerana cerana Fabr.) in Qinglan Mangrove Area, Hainan Island, China. Acta Botanica Sinica 48 (11): 1266-1273. Yogi, S. 2009. Pengelolaan Mangrove Bagi Masyarakat Pesisir. Makalah disampaikan pada Pelatihan Mangrove bagi Masyarakat Pesisir, Batang. (tidak diterbitkan).Yudhicara, 2008. Kaitan antara Karakteristik Pantai Provinsi Sumatera Barat dengan potensi Kerawanan Tsunami. Jurnal Geologi Indonesia Vol.3 No 2:95-108. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. Yunasfi, 2006. Dekomposisi serasah daun Avicennia marina oleh bakteri dan fungi pada berbagai tingkat salinitas. Disertasi. Tidak diterbitkan. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Zaeim, NA. 2011. A Population Study Of Nypa Fruticans(Arecaceae) On Carey Island, Malaysia [Thesis].Department of Biology Faculty of Science University of Malaya, Kuala Lumpur.
326 | S i n t e s i s R P I
Zmarlicki, C.B. 1994. Integrated resource development of the Sundarbans Reserved Forest. Draft Final Report on the development of apiculture. FAO BGD/84/056, Rome, Italy. Zulfikar, 2011. Komunikasi Pribadi. Camat Pulau Derawan. Kabupaten Berau. Kalimantan Timur
P e n g e l o l a a n H u t a n M a n g r o v e d a n E k o s i s t e m P a n t a i | 327