PGM 2008,31(2): 75-81
Sindrom metabolik pada orang dewasa gemuk
Muherdiyantiningsih;dkk
SINDROM METABOLIK PADA ORANG DEWASA GEMUK Dl WILAYAH BOGOR Muherdiyantiningsihl, Fitrah Ernawatil, Rustan Effendi1 dan Susilowati Herman' ABSTRACT METABOLIC SYNDROME AMONG OBESE ADULTS IN BOGOR AREA Background: Metabolic syndrome, also known by the insulin resistance syndrome, is a common metabolic disorder that result from the increasing prevalence of obesity. Little information exists on the prevalence of the metabolic syndrome in lndonesia. Objectlvea: To find out proportion of metabolic syndrome and factors related to-demographic and potentially modiflabie lifestyle factors among obese adults in Bogor area. Methods: Metabolic syndrome, as defined by the US National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel Ill (NCEP-ATP ill) criteria, were evaluated in two districts in Bogor sample of 221 overweight and obese ( b d y Mass Index 2 25 kglm2) women and men aged 30--55 years who participated in the correlational study on Profile of the Body and Serum Fats Distribution and Physical Activity among adults with BMI 2 25 kg/rn2 in Bogor rural and urban, 7nfl3
Results: The metabolic syndrome was present in 36.2 percent of 221 men and women aged 31-55 years which have BMI 2 25 kglm2. The syndrome was significantly more frequent in men (44%) than women (28.6%) [P0.017]. The syndrome was present in 92.3, 62.9, and 40.3 percent of central obesity, low HDL-cholesterol, and high trigiycerides level, respectively. Age of the subject 2 44 years, the men factor, physical inactivity, and Waist-Hip Ratio (WHR) r 0.93 were the significantly risk factors associated with increased odds of the rnetabolic syndrome. Conclusions: The metabolic syndrome was present in high prevalence of the two subdistricts in Bogor obese adults. However, upon thinking about the syndrome was associated with several modifiable lifestyle factors (physical activity, WHR), there was an opportunity to reduce proportion of metabolic syndrome by increasing physical activity that also make lower WHR. [Penel Glzl Makan 2000,31(2): 75-01] Key words: rnetabolic syndrome, adulthood obesity, NCEP-ATP 111, risk factors PENDAHULUAN aat ini lndonesia mengalaml masalah gizi ganda. Di satu slsl masalah gizi kurang masih belum dapat diatasi secara tuntas, sementara di sisi lain masalah gizi lebih terus meningkat (l,2) Kegemukan, sebagai manifestasi dari keadaan gizi lebih, telah mencapai proporsi epidemi secara global. Hasil berbagai s u ~ e iyang dihimpun WHO tahun 2000 mengungkapkan bahwa kejadian kegemukan di berbagai negara di Asia dan Pasiftk berkisar 10-30 persen (3). Adapun di Indonesia, berdasarkan hasil survei indeks massa tubuh di 12 kotamadya tahun 1997, didapati 22,5% subjek usia 18 tahun ke atas mengalami kegemukan (2). Kegemukan perlu diwaspadai karena banyak risiko penyakit yang ditimbulkan. Kegemukan m e ~ p a k a n faktor risiko untuk sejumlah penyakit, termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular,
S
' Peneliti pada Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI
hipertensi, batu empedu dan kanker tertentu. Orang dengan berat-lahir rendah (atau secara lebih spesifik, kekurusan ketika lahir) dan yang menjadi gemuk (obese) saat dewasa memiliki risiko terutama tinggi untuk mengalami sindrom metabolik (obesitas sentral. intolerans glukosa, resistans insulin, disiiptdemia dan hipertensi) (3). Sindrom metabolik, berdasarkan ~edomanMe US National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel Ill (NCEP-ATP Ill), memiliki tiga dari lima ciri berikut, yakni: obesitas sentral, hipertrigliserida, hipokolesterol HDL, lekanan darah tinggi, dan gula darah puasa tinggi (4). Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi sindrom metabolik pada kelompok dewasa (20 tahun ke atas) sebesar 23,7% (5). Bahkan pada anak-anak, sindrom metabolik sudah terjadi.
PGM 2008,31(2): 75-81
Sindrom metabolikpada orang dewasa gemuk
Braunschweig dkk (2005) (6) mendapatkan 5,6% anak sekolah usia rata-rata 10 tahun di Amerika mengalami sindrom metabolik dan semakin tinggi prevalensinya (13,8%) pada anak yang mengalami kegemukan. Terbatasnya publikasi, membatasi penulis untuk mendapatkan informasi tenlang prevalensi sindrom metabolik di Indonesia. Akhir-akhir ini sindrom metabolik sebagai faktor risiko penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular banyak diteliti. Salah salunya adalah penelitian epidemiologis yang melibatkan 3323 orang secara kohor selama 8 tahun mengungkapkan bahwa risiko untuk mengalami diabetes mellitus tipe 2 pada penderita sindrom metabolik hampir 7 kali dibanding orang normal, tiga kali risikonya unluk penyakit kardiovaskuler bagi pria dan dua kali risikonya bagi wanita (7). lnsiden sindrom metabolik ditengarai berhubungan dengan pola makan. Penelitian kohort selama 9 tahun yang melibatkan 9514 subjek mendapatkan sekitar 40% kasus baru sindrom melabolik. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa western food, daging dan makanan gorengan meningkatkan kasus sindrom metabolik. Sementara itu penelitian lain mendapalkan konsumsi daiy product, ikan dan sereal yang tinggi melindungi terjadinya sindrom metabolik (8,9). Mengingat berbagai ha1 di atas dan usia 30-55 tahun merupakan usia produktif, maka sangat pentlng untuk diketahui informasi tentang sindrom metabolik agar dapat dilakukan pencegahan dan pengobatan dini sebelum terjadi dampak yang lebih berat. Tujuan penulisan ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai besar proporsi sindrom metabolik pada kelompok dewasa yang mengalami kegemukan di wilayah Bogor serta faktor risiko yang berkaitan meliputi umur dan jenis kelamin, ukuran tubl~h, konsumsi makanan dan aktivitas fisik. Tulisan ini merupakan analisis lanjut dari Penelitian Pro171 Disfribusi Lemak Tubuh dan Lernak Darah seda Aktivitas Fisik Orang Dewasa dengan lndeks Massa Tubuh (IMT) 2 25 kg/m2 di Perdesaan dan Perkofaan Tahun 2003 (10).
Muherdiyantiningsih;dkk
Dengan menggunakan 'power' 90%, tingkat kepercayaan 95% dan koefisien korelasi (r) 0,3, diperoieh jumlah subjek 113 perempuan dan 113 lakilaki. Tim peneliti melakukan wawancara dan pencatatan aktivitas fisik, pengukuran ukuran-ukuran tubuh (antropometri), dan pemeriksaan kiinis subjek di rumah-tangga. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara meliputi: 1) karakteristik subjek (umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, tingkat pengeluaran untuk makanan dan non-makalan), yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner tentruktur, dan 2) pola makan, yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner 'Semiquantitative Food Frequency'. Aktivitas fisik dicatat dengan metode 'record & recall', yakni pencalatan aktivilas fisik subjek selama 24 jam sejak bangun hingga menjelang tidur, dilanjutkan dengan cek ulang oleh pelugas keesokan harinya sabagai validasi. Kegiatan ini dilakukan selama tiga hari berturul-turut. Antropometri mencakup ukuran-ukuran berat dan tinggi badan, serta lingkar perul dan pinggul subjek. Berat badan diukur tanpa alas kaki dengan menggunakan timbangan digital merek Seca berketelitian 0,l kg. Tinggi badan diukur tanpa alas kaki dan topi, dalam posisi tegak-lurus, dengan menggunakan microtoise berketelitian 0.1 cm. Adapun lingkar perut dan pinggul diukur dengan menggunakan pita pengukur berketelitian 0.1 cm. Pemeriksaan klinis standar dilakukan oleh anggola tim berprofesi dokter, meliputi ukuran-ukuran yang berhubungan dengan kriteria sindrom metabolik, seperti tekanan darah, kadar lemak darah (kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida) dan kadar gula darah puasa. Tekanan darah diukur dengan menggunakan lensimeter berketelitian 1 mmHg. Semenlara kadar lemak darah dan gula darah puasa dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer, yang menggunakan 'reagen' Biocon Diagnostic dari Jerman.
BAHAN DAN CARA Subjek PenelitIan Penelitian ini dilakukan tahun 2003 di Kabupaten dan Kotamadya Bogor, tepatnya di Kecamatan Ranca Bungur dan Tanah Sareal, dengan menggunakan desain penelitian korelasional (12). Subjek penelitian adalah perempuan tidak hamil dan tidak menyusui serta laki-laki yang berumur 3C-55 tahun dengan iMT r25kglmz. Jumlah subjek penelitian (besar sampel) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kriteria Sindrom Metabolik Sindrom metabolik diklasifikasikan berdasar kriteria NCEP-ATP 111 (7). Menurut NCEP-ATP Ill sindrom metabolik dicirikan dengan tiga dari lima ciri berikut: i, pbesitas sentral (lingkar perut: untuk laki-laki 2102 cm, perernpuan 288crn), ii. kadar tr~gliserida 2150 mgldl, iii. kadar kolesterol HDL 540 mgldl unluk laki-laki dan 550 mgldl untuk wanita, iv, tekanan darah 2130185 mmHg dan gula darah puasa 2110 mgldl. Di
PGM 2008,31(2): 75-81
Sindrom metabolik pada orang dawasa gemuk
Muherdiyantiningsih; dkk
Analisis data ditujukan untuk menghitung proporsi sindrom metabolik (dalam persen) yang terjadi pada orang dewasa yang mengalami kegemukan dan mengukur kuatnya hubungan variabel umur dan jenis kelamin, sosial ekonomi, tingkat aktivltas Rsik, konsumsi energi dari makanan sumber iemak dan ukuran tubuh dengan menghitung nilai odd rasio (OR) dengan selang kepercayaan 95%. Bila OR dengan selang kepercayaan 95% tersebut nilainya tidak meiewati angka 1, maka hubungan tersebut bermakna.
negara Asia Pasifik ditetapkan obesitas sentral pada laki-laki biia lingkar perut 290 cm dan pada wanita 2 80 cm. Pengelompokan tingkat sosial ekonomi subjek alas miskin dan mampu didasarkan pada persentase pengeiuaran pangan terhadap total pengeluaran keluarga dengan batasan 2 70% sebagai miskin dan < 70% sebagai mampu (12). Tingkat pendidikan dibagi atas pendidikan dasar (SD, SLPI 5 9 tahun) dan pendidikan lanjut (SLA, PTI >9 tahun). Tingkat aktivitas fisik dihitung berdasarkan pedoman WHO, yakni total energi yang dikeluarkan dibagi dengan basal metabolisme rate (BMR) menurut jenis kelamin dan kelompok usia. Hasil hitungan dikelompokkan atas tiga tingkat, yakni rlngan bila 51,7, tingkat sedang bila 1,8 sampai kurang 2,6 dan tingkat berat bila 22,6, namun pada tulisan ini batasan yang dipakai berdasar nilai rata-rata. Untuk umur, persen energi dari lemak. IMT (dihitung berdasarkan berat bdan dibagi tinggi badan kuadrat), RLPP (Rasio Lingkar Pinggang Pinggul) dan SsiBt (Rasio Subscapula+suprailiaca dengan BiceptTricep) menggunakan batasan nilai sentral (rata-rata atau median).
HASlL
1. Karakterlstlk Subjek Subjek seluruhnya berjumlah 221 orang yang terdiri dari 112 perempuan dan 109 laki-iaki dengan rata-rata umur sekitar 44 tahun dan kisaran umur 31 tahun sampai dengan 55 tahun. lndeks massa tubuh perempuan sedikit lebih gemuk dibandingkan dengan laki-laki. Namun, kedua kelompok menunjukkan sebagian besar dari tingkat sosial ekonomi yang sama, yakni golongan mampu (tidak miskin). Sementara itu bila diperhatikan tingkat pendidikannya, sebagian besar berpendidikan dasar.
Tabel I Karakteristik Subjek Menurut Jenis Kelamin Karakteristik Subjek Umur (tahun) IMT (kgIm2) Lama Pendidikan (tahun):'
Laki-laki (n.109) X*SD 443 i6,3 28,l i 2,7
Total Pengeluaran Makanan (YO):' < 70 9 2 70
92 17
Perempuan (n=112) X iSD 43,5 i5,2 29,4 2,9
*
Total (N.221) XiSD 43,9 i 5,8 28,7 i 2,9
57
163
87 25
179 42
1
Keterangan:'Angka pmporsi
2.
Gambaran Lemak Darah, Gula Darah dan Tekanan Darah Hasil analisis biokimia lemak darah dan gula darah menunjukkan bahwa rata-rata kolesterol total sekitar 190 mgldl. Nilai rata-rata tekanan darah sistol dan diastol masing-masing sekitar 115 mmHg dan 75 mmHg. Ada perbedaan yang bermakna pada nilai rala-
rata kolesterol HDL laki-laki dan perempuan (p=0,000). Dernikian pula dengan nilai median trigliserida dan gula darah; anlara laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang bermakna. Laki-laki menunjukkan nilai yang lebih linggi, baik untuk trigliserida maupun gula darah.
Sindmm metabolikpada orang dewasa gemuk
PGM 2008,31(2): 75-81
Muherdiyantiningsih; dkk
Tabel 2 Kadar Kolesterol& Trlglleertda Darah, Gula Darah dan Tekanan Darah Rata-rata Menurut Jenls Kelamin Total (N-221) X f SD
Ukunn Kllnls Standar Kolesterol: total (mgldl) LDL (mgldl) HDL (mgldl) Trialiserida (maldl) - .
Lakl-lakl (n.189) X i SD
Gula darah (mgldl)
P (t-tent)
189,2 f 40,3 66,9 f 14,l 47,O f 9,O 113.2 (78,l-165,4) 74.0 (66,l-El,?)
0,823 0,279 0,000' 0.002"
*
188,6 f 40,O 633 (55,5-73,6) 44,l f 9,8 131,3 (90,2-194,8) 76,4 (67.6-86,7)
-
Perempuan (n=l12) XfOSD
187,9 39,9 70,3 f 29.9 41,l f 9,7 150.1 (106,3-225,3) 80,8 (70,7-92,5)
Tekanan darah: 115,7f 20,5 116,1 k 19,O sistol (mmHg) 74,8 f 10.8 75,4 f 103 diastol (mmHg) Keterangan ' Berdasarkan UJI Iberbeda bermakna pada p < 0.05 " Berdasarkan UJI Mann-Wh~tneyberbeda bermakna pada p < 0,05 Pada Tabel 3 dapat dilihat besarnya pmporsi sindmm metabolik pada orang dewasa yang mengalami kegemukan, yakni 36,2%. Proporsi sindrom metabolik laki-laki lebih tinggi secara berrnakna dibandingkan dengan perempuan, yailu masingmasing 44 dan 28,6% (p=0,017). Sementara ilu bila faktor risiko dipilah secara lunggal, obesitas sentral (yang digambarkan oleh lingkar perut) paling banyak dialami subjek (92,3%). Urutan kedua terbanyak (62,9%) adalah rendahnya kadar kolesterol HDL, yang
-
115,4* 21,9 74,3* 11,4
0,0060,800 0,448
diikuti oleh kadar trigliserida tinggi di urutan ketiga (40,3%). Urutan tersebut konsisten bila dibandingkan berdasarkan jenis kelamin. Namun, obesitas sentral pada perempuan lebih frekuen secara berrnakna dibandingkan laki-iaki dengan proporsi 98,2 berbanding 6 2 % (p=0,001). Pada laki-laki selain trigliserida tinggi, guia darah tinggi juga lebih frekuen secara bermakna dibandingkan dengan perempuan; keduanya dengan nilai p=0,006.
Tabel 3 Proponl Slndrom Metabolik dan Faktor Risiko Lain Menurut Jenis Kelamin Jenls Kelamin
Total (N3221) Sindrom Metabolik dan Faktor Rlsiko Lain
-
n
% I
I
Sindmm metabolik Trigl.serida Sngg'
1 1
80 36,2 89 40.3
1 1
Laki-laki (n=109) n % 48 44.0 54 49.5
Perempuan (11.112) n %
I
1 1
32 28.6 35 31 3
Gula darah linggi
22 9,9
17 15,6
5
Tekanan darah nnggi
42 19,O
20 17,9
22 20,2
Kolesterol HDL rendah
64 58,7
139 62,9 I
I
Obesitas sentral 1 204 92,3 1 94 86,2 Keterangan: 'Berdasarkan uji chi-kuadrat bermakna pada p < 0,05
1 0,017' 1 1.97 (1,13.3.44) 1
75 67,O
1
0,006'
1 2.16 (1.25-3 74)
0,006'
3,95 (1,40-11,14)
0,659
1,16 (039-2,28)
0.204 I
110 98,2
I
I
4,5
I
OR (95% CI)
P
1 O,OOl+
0,70 (0.41-1,21) I
1
0,14 (0,03-0.51)
PGM 2008,31(2): 75-81
Sindmrn metabollkpada orang dewase gemuk
Muherdiyanlningsih; dkk
Tabel 4 Hubungan KaraMerlstik Subjek, Energi darl Lsmakdan Tingkat Aktivitas Fislk dengan Sindrom Metabollk
< 1,48 46 60 S1,48 34 81 Kelerangan: 'Berdasarkan uji chi-kuadralbennaknapada p < 0,05 Pada Tabel 4 didapati bahwa usia 44 tahun ke ataa mempunyai risiko hampir dua kali dibanding usia kurang dari usia tersebut untuk mengalami sindrom metabolik (OR=1,8 95% CI: 1,132). Bile dibandingkan, laki-laki mempunyai rislko yang sama yaitu hampir dua kaii dibanding perempuan secara
4,569
0,033'
1,8(1,1-3,Z)
bermakna. Kegiatan fisik ringan (oada level c1,48) mengakibatkan risiko hampir dua kali pula unluk mengalami sindrom melaboiik (OR=1,8 95% CI: 1,l. 3,2). Tidak ada hubungan yang bennakna antam lama pendidikan, persen konsumsi energi dari lemak dan tlngket sosial ekonomi dengan sindrom metablik.
Tabel 5 Hubungan Ukuran Tubuh dmgan l n d r o m Mdabollk
PGM 2008,31(2): 75-81
Sindmm metabolik pada orang dewasa gemuk
lndeks massa tubuh dan rasio SSiBT tidak berhubungan secara bermakna, sedangkan RLPP 2 0,9300 memberikan risiko hampir tiga kali secara benakna (OR=2,7 95% CI: 1,548) untuk timbulnya sindrom metabolik. BAHASAN Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oteh NCEPATP Ill didapati proponi sindrom metabolik pada subjek usia 31 sampai dengan 55 tahun yang mengalami kegemukan sebesar 36,2%. Angka ini tampak lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi sindrom metabolik di Amerika Serikat dan Portugal, yaitu masing-masing 22% (5,13). Tingginya angka ini disebabkan oleh IMT subjek yang berbeda. Bila pada penelitian ini subjek yang ikut serta dibatasi pada mereka yang mempunyai IMT 2 25 kgIm2 atau yang mengalami kegemukan, sedangkan di Amerika atau Portugal angka prevalensi tersebut meliputi S e l u ~ h subjek dengan mengabaikan IMT-nya. Kegemukan lebih meningkatkan prevalensi aiau proporsi sindrom metabolik, seperti diungkapkan oleh Braunschweig dkk (2005) yang mendapatkan 5,6% pada seluruh subjek dan 13,8% pada mereka yang mengalami kagemukan (6). Penelitian mengenai hubungan gender dengan sindrom metabolik menunjukkan hasil yang tidak konsisten (13,14). Penelitian Santos dkk (2008) mendapatkan bahwa sindrom metabolik lebih prevalen pada perempuan dibanding laki-laki. Pada penelitian tersebut tingkat sosial ekonomi yang rendah yang melatarbelakangi lebih tingginya prevalensi sindrom metabolik pada perempuan (13). Sejalan dengan penelitian tersebut, Tonstad dkk (2007) juga mendapatkan perempuan lebih prevalen daripada lakilaki. Faktor obesitas sentral dan inflamasi yang ditengarai sebagai latar belakang lebih prevalennya sindrom metabolik pada perempuan (14). Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, pada penelitian ini laki-laki mempunyai risiko hampir dua kali dibanding perempuan untuk mengalami sindrom metabolik dengan trigliserida tinggi dan gula darah tinggi sebagai faktor yang berbeda secara bermakna. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa usia 44 tahun ke atas mempunyai risiko hampir dua kali dibandingkan dengan usia kurang dari usia tersebut untuk mengalami sindrom metabolik (OR=1,8 95% CI: 1,l-3,2). Review beberapa penelitian yang difokuskan pada aspek usia, mengungkapkan bahwa prevalensi sindrom metabolik menunjukkan kecenderungan meningkat seiring dengan peningkatan kelompok usia (5,15). Ford dkk (2002), yang melakukan penelitian pada usia 20 tahun ke atas, melaporkan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada kelompok usia 20
Muherdiyantiningsih;dkk
tahun ke atas mencatat bahwa prevalensi sindrom metabolic pada kelompok usia 20-29 tahun sebesar 6,7% dan terus meningkat di setiap bertambahnya kelompok usia hingga tercatat sebesar 43.5% subjek pada kelompok usia 60-69 tahun yang terkena sindrom metabolik (5). Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Gunanti dan lnong (15) di sebuah perusahaan pada subjek usia 35-39 tahun prevalensinya sebesar 118 % dan mencapai 34,4% pada usia 50-55 tahun. Seperti diketahui bahwa penyakit degeneratif adalah penyakit yang sangat erat kaitannya dengan proses penuaan. Sindrom metabolik yang merupakan prediktor yang kuat bagi timbulnya penyakit degeneratlf seperti penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit jantung koroner juga menunjukkan kecepderungan meningkat seiring bertambahnya usia. Hasil review WHO (2003) menunjukkan bahwa usia tua me~pakan puncak terjadinya berbagai penyakit kronis. Ini sebagai akibat dari interaksi proses berbagai penyakit seiring dengan menurunnya atau berkurangnya fungsi fisiologi secara umum (16). Sindrom metabolik yang merupakan prediktor terjadinya DM dan PJK juga berkaitan dengan aktivitas fisik. Aktivitas fisik merupakan variabel yang erat kaitannya dengan berbagai penyakit seperti kegemukan, osteoporosis, penyakit diabetes mellitus, penyakit-penyakit kardiovaskuler dsb, sehingga WHO menganggap penting membuat kebijakan untuk menggalakkan aktivitas fisik ini sebagai strategi mencegah meningkatnya berbagai penyakit di atas.'" Pada tulisan ini didapati bahwa subjek yang mempunyai tingkat aktivitas fisik ringan (pada level <1,48) - sementara WHO menggunakan batasan aktivitas fisik ringan pada level 51,7 - mempunyai risiko hampir 2 kali dibandingkan dengan subjek yang mempunyai aktivitas fisik r 1,48 untuk terkena sindrom metabolik Gambaran ini menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik m e ~ p a k a nvariabel yang tepat untuk diintewensi sebagai faktor pencegah tejadinya sindrom metabolik khususnya. RUJUKAN 1.
2.
3.
Jahari AB, dkk. Status Gizi Balita di lndonesia Sebelum dan Selama Krisis: Analisis Data Antropometri SUSENAS 1989-1999. Pmsiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, 2000:93-123,181-188. Kodyat BA, dkk. Survei lndeks Massa Tubuh (IMT) di 12 Kotamadya, Indonesia. Gizi Indonesia 1996,21:52--61. WHO Western Pacific Region, IASO, and IOTF. The Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity
PGM 2008,31(2): 75-81
Sindmm metabolik pada orang dewasa gemuk
and its Treatment. Melbourne: Health Communications Australia Pty Limited, 2000. 4. Expert Panel on DetecCon. Evaluation, and Treatment of High Blwd Cholesterol in Adulls. Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel Ill). JAMA 2001, 285:248697. 5. Ford ES, Giles WH. Dietz WH. Prevalence of the Metabolic Syndrome among US Adults: Findings from thc TbYr:! National and Nutrition Examination Survey. JAMA 2002,287:356-9. 6. Braunschweig CL. Gomez S, Liang H, Tomey K, DoerRer 8, Wang Y, et al. Obesity and Risk Factors for the Metabolic Syndrome among lowincome, urban. African American Schoolchildren: the Rule Rather than the Exception? Am J Clin Nutr 2005.81 :97C-5. 7. Wilson PWF, D'Agostino RE, Parise H, Sullivan L, Meigs JB. Metabolic Syndrome as a Precursor of Cardiovascular Disease and Type 2 Diabetes Mellitus. Circulation. 2005, 112:3066-72. 8. Vanina Bongard, et al. High Consumption of Fish, Dairy Products and Cereals are Associated with Low Prevalence of Metabolic Syndrome. Circulation 2006, 114:Il-889. 9. Lutsey PL, Steffen LM, Stevens J. Dietary Intake and the Development of the Metabolic Syndrome: The Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 2008, 117:754-761
Muherdiyantiningsih;dkk
10. Ernawati F, Muherdiyantiningsih, Martuti S, Rustan E, Herman S. Pmfil Distribusi Lemak Tubuh dan Lemak Darah Serfa Aktivitas Fisik Orang Dewasa dengan IMT 2 25kg/m2 di Pem'esaan dan Perkotaan. Laporan Penelitian. Bogor: Puslitbang Gizi dan Makanan, 2003. 11. Lemeshow SL, Hosmer Jr DW, Klar J, Lwanga SK. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (Adeauacv of Sam~leSize in Health Studies). ieriekahen. yogyaitarta: Gajah Mada u"iversiiy Press, 1997. 12. Badan Pusat Statistik. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS, 1998. 13. Santos AC, Ebrahim S, Barros H. Gender, Socioeconomic Status and Metabolic Syn'Urome in Middle-aged and Old Adults. BMC Public Health 2008. 8:62. 14. Tonstad S, Sandvik E, Lund-Larsen PG, Thelle D. Gender Differences in the Prevalence and Determinants of the Metabolic Syndrome in Screened Subjects at Risk for Coronary heart Deasese. Metabolic Syndmme and Related Disorders 2007,5(2):174--82. 15. Gunanti IR, Martini S, Nindya TS. Obesitas dan Sindmma Metabolik: Sfudi di Kalangan Pekefja PT Badak NGL, Bontang. Laporan Penelitian. Surabaya: Universitas Airlangga, 2005. 16. Joint WHOIFAO Expert Consultation. Diet, Nutrifion and the Prevention of Chmnic Diseases: Report Geneva: WHO, 2003.
PGM 2008,31(2): 82-87
Detenninanstatus anemia siswa SLTA
Fitrah E; dkk
DETERMINAN STATUS ANEMIA SlSWA SLTA Dl DKI JAKARTA Fitrah Emawatit dan M.Saidin1 ABSTRACT DETERMINATS OF ANEMIA STATUS AMONG HIGH SCHOOL STUDENTS IN JAKARTA Background: The prevalence of anemia among adolescents remains high. The effect of anemia among adolescents especially girls will affect the heaifh status of mothers in the future. Objectives: The study was to anatpe the determinants of anemia status among adolescents high school sthdents. Methods: The study design was crosssectional from The Survey Of School Children's Nutritional Status at 10 Cities In Indonesia 2005. The samples of the study were adolescent aged of 15-19 years from high school in Jakarta. Results: The result of the study was that anemia among adolescents high school students were 16%. and the female students had 2.2 ( Ci 95%: 1.3-3.7)rtskof getting anemia compared to male students. Conclution: Adolescents high school female students need more attention because they have twice the chance to get anemia than male. [Panel Gizi Makan 2008, 31(2): 82-67] Key word: status anemia, female students, high schoolstudents PENDAHULUAN esempatan untuk memperbaiki status gizi manusia adalah dibatasi oleh waktu yang sempit yaitu dimulai dari awal terjadi kehamilan sampai tahun ke dua kehidupan. Telah banyak fakta yang menunjukkan bahwa dampak dari kekurangan gizi pada masa ini mengganggu pertumbuhan fisik, otak, dan pembangunan manusia yang sangat iuas dan tidak dapat diperbaiki (1). Disini dapat dimaknai bahwa status gizi masa remaja sangatlah penting termasuk status anemia remaja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proporsi anemia pada remaja cukup tinggi yaitu 40% (2) dan 25.5% (laki-iaki 21% dan perempuan 30% (3). Status anemia remaja dalam ha1 ini siswa SLTA yang mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal menurut umur yaitu untuk siwa SLTA perempuan (15 -19 th) kadar Hb < 12 gldl dan laki-iaki (15-19 th) kadar Hb < 13 gldl (4). Penyebab anemia dinegara berkembang termasuk di Indonesia sebagian besar adalah anemia karena kekurangan besi, keadaan ini disebabkan sebaglan besar konsumsinya berasal dari bahan pangan yang banyak mengandung zat besi dalam bentuk non haem iron dan sedikit mengkonsumsi bahan pangan hewani yang banyak mengandung zat besi dalam bentuk heme iron. Rata rata penyerapan
K
' Penelis pada Puslihng Gizi dan Makanan, Badan Lm ' ng Whatan, Depkas RI
heme iron dari makanan hewani sekitar 25% (5), sementara itu penyerapan non heme iron penyerapannya sangat dipengaruhi oleh adanya faktor penghambat seperti tanin dan inositol phosphat yang banyak dijumpai pada pangan sereal. Kebutuhan remaja akan zat besi cukup tinggi, ha1 ini disebabkan karena pada kelompok ini terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhannya dibandingkan kelompok umur lainnya (6). Konsekuensi anemia pada remaja seiain berdampak pada jangka panjang ketika menjadi seorang ibu, dalam jangka pendek sebagai remaja yang sedang belajar, anemia sangat mengganggu konsentrasi belajar dan juga berpengaruh terhadap jumlah absensi ke sekolah yang pada akhimya akan berpengaruh terhadap prestasi di sekolah (7). TUJUAN Mengingat dampak anemia dapat merugikan masa depan anak bangsa, maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tejadinya anemia khususnya anemia pada kelompok remaja yang bersekoiah di DKI Jakarta.