SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
POLA MAKAN, STATUS KESEIMBANGAN ASAM BASA DAN SINDROM METABOLIK Erina Masri, Friesti Utami STIKes Perintis Padang Email :
[email protected]
ABSTRAK Sindrom Metabolik merupakan kumpulan fakor resiko penyakit kardiovaskular. Prevalensi sindrom terus meningkat hingga 20%-25% setiap tahun. Sindrom ini merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat secara global. Studi terdahulu menunjukkan bahwa sindrom metabolik dan keseimbangan asam basa tubuh berhubungan dengan asupan makanan yang bersifat asam-basa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asupan makanan asam-basa dengan status keseimbangan asam basa tubuh dan sindrom metabolik. Penelitian dilakukan pada 52 orang yang berprofesi sebagai guru yang dipilih secara acak dan menggunakan uji statistik Mann-Whitney Test. Hasil penelitian menunjukkan semua responden yang mengkonsumsi makanan asam memiliki status asam. 25% responden yang menderita sindrom metabolik memiliki status asam. Tidak ada pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam dan basa terhadap sindrom metabolik (p=0,58). Kata Kunci : Asupan makanan asam-basa, status keseimbangan asam-basa, Sindrom Metabolik ABSTRACT Metabolic syndrome is collection of risk factors for cardiovascular disease. The prevalence of the metabolic syndrome is increasing every year. Epidemiological data showed the prevalence of metabolic syndrome in the world was 20–25%.Recent studies suggest that acid-base status is associated with dietary intake. Aim of research was to explain the influence of acid-alcaline food intake to acid base status and metabolic syndrome. Subjects of this crosssectional study consist of 52 tecahers that were collected randomly and used Mann-Whitney test. The research showed acid food intake causing acid status. 25% syndrom metabolic respondents had acid status. There is no effect of acid and alcaline food intake to the metabolic syndrome (p=0,58). Keywords : acid-alcaline food intake, acid-alcaline balance status, syndrome metabolic
PENDAHULUAN Sindrom metabolik adalah suatu istilah untuk kelompok faktor resiko penyakit jantung dan diabetes mellitus tipe 2. Ada 2 penyebab utama sindrom metabolik yang saling berinteraksi, yaitu obesitas dan kerentanan metabolisme endogenus. Sindrom metabolik diprediksi menyebabkan kenaikan 2 kali lipat resiko terjadinya penyakit jantung dan 5 kali lipat pada penyakit diabetes mellitus tipe 2. ISSN : 2087-5045
Meningkatnya angka kejadian sindrom metabolik terjadi akibat peningkatan kasus obesitas (Sargowo dan Andarini, 2011). Data epidemiologi menyebutkan prevalensi sindroma metabolik dunia adalah 20-25%. Menurut Cammeron, hasil penelitian di Perancis menemukan prevalensi sindroma metabolik sebesar 23% pada pria dan 21% pada wanita (Jafar, 2011). Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi dari komponen sindrom metabolik terdiri dari diabetes mellitus 100
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
2,1%, obesitas sentral 26,6%, hipertensi 9,5%, stroke 12,1% dan penyakit jantung 1,5%. Prevalensi komponen sindrom metabolik di Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2007 sampai tahun 2013 diantaranya prevalensi diebetes melitus dari 1,2% menjadi 1,8%, penyakit jantung dari 11,3% menjadi 1,2%, hipertensi dari 8,4% menjadi 7,9%, dan stroke 10,6% menjadi 12,2% obesitas sentral dari 18,2% menjadi 20 % (Riskesdas, 2007 dan Riskesdas, 2013). Faktor gaya hidup, aktivitas fisik dan asupan terutama makanan, dianggap faktor utama yang berkontribusi terhadap kejadian sindrom metabolik (Zhu, et al. 2004, Esmaillzadeh, et al. 2007 dalam Bahadoran, et al. 2015 ). Asidosis metabolik ringan, disebabkan oleh pola makan yang buruk dan gangguan keseimbangan kalsium dan sitrat, dan kortisol yang disebabkan asidosis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid (Reddy, et al. 2002 dalam Bahadoran, 2015 ), diabetes dan hipertensi (Adeva dan Souto, 2011). Penelitian sebelumnya menunjukkan hampir satu abad yang lalu bahwa daging, susu, telur dan biji-bijian dapat meningkatkan keasaman urin pada manusia, sementara buah-buahan dan sayuran makanan dapat memiliki pengaruh basa pada urin (Sherman and Gettler, 1912). Pravelensi dari komponen sindrom metabolik di Kabupaten Agam tahun 2015 menunjukkan bahwa data diabetes mellitus 2,6%, hipertensi 15%, dan penyakit jantung 0,9% (Dinas Kesehatan Kabupaten Agam, 2015). Hasil observasi dari beberapa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara didapat dua sekolah yang gurunya terbanyak mengalami obesitas, diantaranya MTsN Tiku sebesar 33% dan SMPN 1 Tanjung Mutiara sebesar 34%. Selain tingginya kejadian obesitas, pekerjaan sebagai pegawai juga memiliki resiko stres kerja. Stres kerja merupakan faktor resiko sindrom metabolik (Chandola, et al. 2006 dalam Sutadarma, dkk. 2011 ). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asupan makanan ISSN : 2087-5045
asam-basa terhadap status keseimbangan asam basa tubuh dan sindrom metabolik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik (analytical) dengan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan pada 52 orang guru di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam yang terindikasi beresiko menderita sindrom metabolik. Teknik sampling secara Proportional Random Sampling. Kriteria sindrom metabolik ditetapkan berdasarkan obesitas sentral, hipertensi dan kadar glukosa darah. Kategori obesitas sentral ditentukan dengan mengukur lingkar perut, pengukuran tekanan darah menggunakan sphymomanometer, kadar glukosa darah diukur dengan Gluko Test. Kadar keseimbangan asam basa tubuh diukur dengan menggunakan urin dan kertas lakmus. Asupan makanan asam-basa diukur dengan wawancara food recall. Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga menghasilkan distribusi dan presentase setiap variabel penelitian dan analisa bivariat menggunakan uji MannWhitney Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kejadian Sindrom Metabolik Pada penelitian ini didapatkan responden yang menderita sindrom metabolik sebanyak 25%. Hasil penelitian ini setara dengan data epidemiologi yang menyebutkan prevalensi sindroma metabolik dunia adalah 20-25%. Berdasarkan prevalensi global sindrom metabolik pada orang dewasa diperkirakan sekitar 20% sampai 25% (Vidigal, et al. 2013 dalam Bahadoran, et al. 2015). Pada penelitian didapat bahwa distribusi frekuensi kejadian sindrom metabolik pada laki–laki 50% (lebih tinggi) dari pada perempuan hanya 21%. Prevalensi sindrom metabolik pada 101
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
penelitian ini didukung oleh penelitian lain di negara Asia. Daerah urban Korea, prevalensi sindrom metabolik pada penduduk dewasa berusia 30-80 tahun yaitu laki-laki 16,0% (lebih tinggi) daripada wanita hanya 10,7%. Pada penelitian ini, untuk mengetahui kejadian sindrom metabolik pada responden maka peneniti melihat dari hasil pengukuran lingkar pinggang/obesitas sentral, tekanan darah dan gula darah puasa dimana ketiga kriteria tersebut ada pada waktu yang bersamaan. Seperti pernyataan WHO menyebutnya dengan nama sindrom metabolik jika ditandai paling sedikit tiga diantara lima kriteria dalam NCEP-ATP III (the National Cholesterol Education Program - Adult Tretment Panel III ) (Kurnia, 2008 dalam Bodhy, 2011). Pada penelitian ini didapatkan lebih dari separuh responden mengalami lingkar perut yang tidak normal/ obesitas sentral sebanyak 52%. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Widiantini (2013) yang menyatakan bahwa kejadian obesitas sentral pada perempuan 51,4% (lebih tinggi) dibandingkan laki – laki hanya 45,5%. Pada penelitian ini didapatkan responden dengan tekanan darah tinggi/ hipertensi sebanyak 28%. Berdasarkan data riskesdas (2013) bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 9,5% berarti angka kejadian hipertensi pada penelitian ini lebih besar daripada data riskesdas 2013. Pada penelitian ini juga didapat bahwa distribusi hipertensi pada laki-laki sebesar 50% (lebih tinggi) dibandingkan perempuan hanya 26%. Pada penelitian ini didapatkan responden dengan gula darah puasa tinggi sebanyak 27%. Berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi gula darah puasa responden laki - laki sebanyak 50% (lebih tinggi) dibandingkan distribusi frekuensi gula darah puasa perempuan hanya 23%. Separuh responden laki-laki mengalami gula darah puasa tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Kamso, dkk (2011) diketahui variabel lingkar perut berhubungan bermakna secara statistik dengan tekanan darah, serta kadar ISSN : 2087-5045
kolesterol HDL. Hasil ini memperkuat teori bahwa dengan bertambahnya lingkar perut, otomatis terjadi peningkatan jaringan lemak tubuh. Adiposit jaringan lemak ini adalah adiposit berukuran besar, kurang peka terhadap kerja antilipolisis sehingga lebih mudah dilipolisis yang menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas. Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik, seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, dislipidemia (salah satunya ditandai dengan penurunan kolesterol HDL), gout, dan hipertensi (Kamso, dkk. 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil responden yang mengalami sindrom metabolik. Ini dilihat dari hasil kriteria sindrom metabolik.
2. Keseimbangan Asam Basa Tubuh Penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan (100%) responden mengalami keadaan tubuh asam. Ketidakseimbangan asam basa terjadi jika gangguan primernya adalah kadar bikarbonat, sehingga peningkatan kadar bikarbonat akan meningkatkan pH, yang disebut sebagai alkalosis metabolik. Penurunan kadar bikarbonat menyebabkan penurunan pH, disebut sebagai asidosis metabolik (Price, 2005). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Sherman and Gettler, (1912) menunjukkan hampir satu abad yang lalu bahwa daging, susu, telur dan bijibijian dapat meningkatkan keasaman urin pada manusia, sementara buah-buahan dan sayuran makanan dapat memiliki pengaruh basa pada urin. Keseimbangan asam basa tubuh dapat diketahui dengan menggunakan kertas lakmus melalui urin. pH urin merupakan indikator prediksi cadangan mineral tubuh, serta status asam / basa (Whiting and Bell, 2002 dalam Jaffe, 2013). Kertas lamus merupakan senyawa kimia yang dikeringkan pada kertas. Ada 2 warna kertas pada kertas lakmus yaitu warna merah dan biru. Larutan yang 102
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
bersifat asam dapat memerahkan kertas lakmus biru dan basa dapat membirukan kertas lakmus merah (Arisworo, dkk. 2006). Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapatkan bahwa semua urin responden asam. Hal ini dapat dilihat dari perubahan yang dapat memerahkan kertas lakmus biru. 3. Pola Makan Pada penelitian ini didapatkan seluruh responden (100%) memiliki pola makan yang tidak baik karena responden mengkonsumsi makanan pembentuk asam >30% dan basa makanan yang dikonsumsi. Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapatkan pola makan yang tidak baik. Hal ini didapatkan dari hasil Food Recall 2 x 24 jam responden dimana konsumsi makanan/jenis makanan pembentuk asam >30% dan makanan pembentuk basa makanan. Makanan pembentuk asam umumnya mengandung sejumlah besar protein dan sedikit air, hampir semua makanan protein (kecuali telur puyuh) dan biji – bijian (beras, jagung, gandum dan sebagainya) termasuk produk olahannya, memberi reaksi kimiawi asam pada tubuh kecuali susu mentah, yogurt, dan kacang almond (Gunawan, 2001 dan Jaffe, 2013). Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapat presentase jenis makanan pembentuk asam. Hal ini didapat dari hasil Food Recall 2 x 24 jam responden yang telah dimodifikasi oleh peneliti, dimana jumlah jenis makananan pembentuk asam yang dikonsumsi oleh responden dibagi dengan keseluruhan dari jumlah jenis makanan pembentuk asam. Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis makanan pembentuk asam yang sering dikonsumsi responden yaitu beras (100%), MSG (92%), ikan (86%), ISSN : 2087-5045
kecap (78%) dan tahu (53%). Semua responden mengkonsumsi beras dan lebih separuh responden mengkonsumsi MSG, ikan kecap dan tahu. Jenis makanan pembentuk asam yang sedikit dikonsumsi responden yaitu ayam (44%) dan gula (40%). Menurut Murakami, et al. (2008) dalam Bahadoran (2015) bahwa makanan pembentuk asam adalah faktor diet yang baru-baru ini dianggap sebagai faktor risiko untuk gangguan metabolisme untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid, diabetes dan hipertensi. Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis makanan pembentuk basa yang sering dikonsumsi oleh responden yaitu bawang merah (100%), garam (100%), bawang putih (73%), jahe (71%), dan jeruk nipis (67%). Semua responden mengkonsumsi bawang merah dan garam. Lebih separuh responden mengkonsumsi bawang putih, jahe dan jeruk nipis. Jenis makanan pembentuk basa yang sedikit dikonsumsi responden yaitu seledri (40%), terong (36%), daun singkong (32%), jeruk (34%), papaya (30%) dan pisang (44%). Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapat presentase jenis makanan pembentuk basa. Hal ini didapat dari hasil Food Recall 2 x 24 jam responden yang telah dimodifikasi oleh peneliti, dimana jumlah jenis makananan pembentuk basa yang dikonsumsi oleh responden dibagi dengan keseluruhan dari jumlah jenis makanan pembentuk basa. Komposisi pola makan baik basa dan <30% makanan pembentuk asam. Semua jenis buah (kecuali durian) dan sayur mayur (termasuk selada, umbi – umbian dan sayur rambat adalah makanan pembentuk basa kecuali tomat yang masak). Makanan yang dapat menurunkan keasaman tubuh atau membentuk efek basa mengandung lebih banyak mineral logam, seperti : kalium (K), natrium (Na), magnesium (Mg), zat besi (Fe) dan kalsium (Ca). Makanan pembentuk basa terdiri dari semua buah kecuali durian, semua sayuran (kecuali tomat, wortel dan bayam), yogurt,
103
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
susu mentah millet, dan kecambah (Gunawan, 2001). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapat pola makan yang tidak baik pada responden, karena responden banyak mengkonsumsi makanan pembentuk asam daripada makanan pembentuk basa. Analisa bivariat dalam penelitian ini tidak memenuhi untuk uji Chi-Square, dimana hasil data yang didapat data berdistribusi normal, dan terdapat sel yang kosong/tabel yang didapat kurang dari 2x2, serta tidak cocok dengan uji yang lain seperti dengan uji korelasi dan regresi yang hanya bisa digunakan untuk variabel numerik dengan numerik. Begitupun uji Anova yang merupakan uji yang dapat digunakan untuk variabel kategorik dan numerik, Kecuali untuk mencari pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam basa terhadap sindrom metabolik bisa dilakukan dengan uji Mann-Whitney Test. 1. Hubungan Pola Makan dengan Keseimbangan Asam Basa Tubuh Tabel I.
Pola Maka n Tidak Baik Baik Total
Hubungan Pola Makan dengan Keseimbangan Asam Basa Tubuh Keseimbangan Asam-Basa Asam Basa n % n % 5 100 0 0 2 0 0 0 0 5 0 0 0 2
Total n 5 2 0 5 2
% 100 0 100
Berdasarkan hasil penelitian keseluruhan responden (100%) dengan pola makan yang tidak baik memiliki suasana asam pada tubuh responden. Menurut penelitian Remer (1995) dalam Engberink et al. (2012) bahwa pola makan dapat mempengaruhi keseimbangan asam– basa tubuh yaitu melalui penyediaan prekursor asam (asam non karbonat seperti asam sulfat) atau prekursor basa (garam alkali dari asam organik, seperti sitrat dan bikarbonat) (Remer, 1995 dalam Engberink et al. 2012). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Remer (1994) menyatakan bahwa faktor makanan juga berkontribusi ISSN : 2087-5045
terhadap beban asam dan basa dalam tubuh. Faktor makanan yang berkontribusi terhadap beban asam adalah sulfat (dari metabolisme protein) dan fosfor, sedangkan faktor makanan yang berkontribusi terhadap beban basa adalah asupan bikarbonat, berkaitan dengan kation mineral kalium, magnesium, dan kalsium. Ketidakseimbangan asam basa terjadi jika gangguan primernya adalah kadar bikarbonat, sehingga peningkatan kadar bikarbonat akan meningkatkan pH, yang disebut sebagai alkalosis metabolik. Penurunan kadar bikarbonat menyebabkan penurunan pH, disebut sebagai asidosis metabolik (Price, 2005). Hal ini didukung oleh pernyataan dalam penelitian Whiting and Bell (2002) dalam Jaffe (2013) bahwa pH urin bisa memprediksi resiko metabolik asidosis. pH urin juga merupakan indikator prediksi cadangan mineral tubuh, serta status asam / basa tubuh. Keasaman urin (pH) dapat diketahui dengan kertas lakmus. Ada 2 warna kertas pada kertas lakmus yaitu warna merah dan biru. Larutan yang bersifat asam dapat memerahkan kertas lakmus biru dan basa dapat membirukan kertas lakmus merah (Arisworo, dkk. 2006). Menurut hasil yang didapat oleh peneliti bahwa responden dengan pola makan yang tidak baik akan memiliki keasaman pada tubuh yang dilihat dari perubahan warna pada kertas lakmus responden. Jenis makanan pembentuk asam yang sering dikonsumsi responden yaitu beras, MSG, ikan, kecap, tahu, ayam dan gula. 2. Pengaruh Konsumsi Jenis Makanan Asam Basa Terhadap Kejadian Sindrom Metabolik Tabel
II. Pengaruh Konsumsi Jenis Makanan Pembentuk Asam Basa
Jenis Maka nan
Kejadian SM Tidak SM SM n x n x 1 24, 3 27, 3 5 9 1 1 25, 3 26, 3 9 9 6
Asam Basa
Total n 52 52
x 51, 6 52, 5
P-Value
0,58
104
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
Pada penelitian ini didapat bahwa responden yang memiliki perbedaan rata– rata konsumsi jenis makanan basa yang sindrom metabolik adalah 25,9 (lebih besar) daripada rata-rata konsumsi jenis makanan asam yang sindrom metabolik yaitu 24,5. Hasil uji bivariat (uji Mann-Whitney Test) diperoleh nilai p=0,58 (p>0,05) berarti tidak ada pengaruh konsumsi makanan pembentuk asam basa terhadap sindrom metabolik. Menurut Effendi YH, (2013) Suatu penyakit pada dasarnya terjadi karena adanya gangguan pada fungsi-fungsi normal tubuh dengan atau tanpa perubahan struktur yang dapat dideteksi, seperti halnya obesitas yang merupakan komponen utama dari sindrom metabolik. Obesitas mempunyai peran yang berhubungan dengan gangguan pengaturan pada metabolisme sel yang menyebabkan resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2. Kelebihan produksi sitokin dari jaringan adipose berkontribusi pada gangguan fungsi pembuluh darah pada hipertensi dan dislipidemia. Bahan makanan (karbohidrat, lemak, protein) akan diuraikan melalui asetil-koA untuk menghasilkan molekul berenergi tinggi nikotinamid adenosin dinukleotida-H (NADH) dan suksinat. Keduanya akan mengalami serangkaian reaksi oksidasi dan melepaskan energy yang akan dimanfaatkan oleh ATP sintase untuk membentuk 1 molekul adenosine trifosfat (ATP) dari 1 molekul adenosine difosfat (ADP), dan fosfat inorganik. oksidasi tiap molekul NADH akan menghasilkan 3 molekul ATP, sedangkan oksidasi tiap molekul suksinat hanya menghasilkan 2 molekul ATP (Effendi YH, 2013). Asupan zat gizi berlebih yang terjadi terus menerus akan menyebabkan simpanan lemak juga menjadi berlebihan. Asam lemak dalam bentuk bebas dapat bersikulasi bebas dalam pembuluh darah dan menimbulkan stres oksidatif diseluruh tubuh. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit adalah kelebihan lemak viseral. Akumulasi lemak ditentukan oleh keseimbangan antara
ISSN : 2087-5045
sintesis lemak dan pemecahan lemak bisa juga dari faktor gender (Effendi YH, 2013). Fungsi tubuh diatur dalam dua system pengaturan utama, yaitu system saraf dan system hormonal atau system endokrin. Pada umumnya system hormonal mengatur kecepatan reaksi kimia didalam sel atau transport zat-zat melalui membranmembran sel atau aspek-aspek metabolism lainnya, terutama berhubungan dengan pengaturan fungsi metabolisme tubuh (Effendi YH, 2013). Pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa suatu penyakit termasuk sindrom metabolik tidak ada hubungannya dengan mengkonsumsi jenis makanan pembentuk asam basa. Menurut hasil yang didapat oleh peneliti terdapat tidak ada pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam basa terhadap sindrom metabolik. 3. Hubungan Keseimbangan Asam Basa dengan Sindrom Metabolik Tabel III. Hubungan Keseimbangan Asam Basa Tubuh dengan Kejadian Sindrom Metabolik Keseimbang an AsamBasa Asam Basa Total
Kejadian SM Tidak SM SM n % n % 13 25 39 75 0 0 0 0 13 25 39 75
Total N 52 0 52
% 100 0 100
Pada penelitian ini didapatkan responden yang memiliki keasaman tubuh sebagian besar (75%) tidak menderita sindrom metabolik. Artinya tidak semua yang memiliki keasaman tubuh menderita sindrom metabolik. Menurut penelitian Reddy, et al. dalam Bahadoran, et al. (2015) dan penelitian Adeva (2011) bahwa Asidosis metabolik ringan, disebabkan oleh pola makan yang buruk dan gangguan keseimbangan kalsium dan sitrat, dan kortisol yang disebabkan asidosis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid, diabetes, hipertensi sistemik dan sindrom metabolik. Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa Mekanisme lain yang mungkin terjadi meliputi peningkatan 105
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
produksi kortisol (Maurer, et al. 2003), peningkatan ekskresi kalsium (Cappuccio, et al. 2000 dalam Engberink, et al. 2012), dan mengurangi ekskresi sitrat (Taylor, et al. 2006 dalam Engberink, et al. 2012) yang dikaitkan dengan tekanan darah tinggi, dan arah asosiasi mungkin tergantung pada jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi (Altorf, et al. 2010 dalam Engberink, et al. 2012). Hal ini juga didukung oleh penelitian lain mengenai hubungan antara beban asam makanan dan insiden hipertensi dalam penelitian Engberink, et al. (2012) bagaimanapun faktor makanan berkaitan dengan beban asam makanan (misalnya, magnesium, kalsium, protein, dan kalium), yang menunjukkan sebuah asosiasi independen diet beban asam dengan risiko hipertensi. Dimana tekanan darah tinggi juga merupakan salah satu komponen dari sindrom metabolik. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua keadaan tubuh asam mengalami sindrom metabolik, keadaan tubuh yang asam juga tidak mengalami sindrom metabolik karena sindrom metabolik tidak hanya disebabkan oleh makanan. Hal ini didukung oleh penelitian Zhu, et al. (2004) dalam Bahadoran, et al. (2015) bahwa faktor yang berkontribusi terhadap sindrom metabolik terdiri dari faktor gaya hidup, aktifitas fisik dan juga termasuk asupan makanan.
KESIMPULAN 1.
2. 3. 4.
5.
Kejadian sindrom metabolik pada responden sebanyak 25%. Berdasarkan jenis kelamin kejadian sindrom metabolik pada laki – laki 50% (lebih tinggi) dari pada perempuan hanya 21%. Seluruh responden (100%) mengalami keasaman tubuh Seluruh responden (100%) memiliki pola makan yang tidak baik Diketahui bahwa semua responden dengan pola makan yang tidak baik memiliki suasana asam pada tubuh. Diketahui tidak ada pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk
ISSN : 2087-5045
6.
asam basa terhadap kejadian sindrom metabolik. Diketahui bahwa responden yang memiliki keasaman tubuh sebagian besar (75%) tidak menderita sindrom metabolik. Tidak semua yang memiliki keasaman tubuh menderita sindrom metabolik.
DAFTAR PUSTAKA Adeva and Souto, 2011. Review Dietinduced metabolic acidosis.Article Clinical Nutrition. xxx:1-6 Arisworo, dkk. 2006. Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika Biologi Kimia). Jakarta: Grafindo (Media Pratama) Bahadoran, et al. 2015. Associations between Dietary Acid-Base Load and Cardiometabolic Risk Factors in Adults: The Tehran Lipid and Glucose Study. Article Endocrinologi and Metabolism. 30:201-207 Balitbangkes RI. 2008, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, http//www.litbang.depkes.go.id/La poranNasional. pdf diakses tanggal 5 september 2015 Balitbangkes RI. 2013, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, http//www.litbang.depkes.go.id/La poranNasional. pdf diakses tanggal 5 september 2015 Bodhy, W. dkk. 2011. Prevalensi Remaja Pada Sindrom Metabolik Pada Remaja di Kota Tomohon. Laporan Penelitian. Universitas SAM Ratulanggi Dinas Kesehatan Kab. Agam. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Agam Effendi, H.Y. dkk . 2013. Nutrigenmik Resistensi Insulin Sindrom Metabolik Prediabetes. Bogor: PT. Penerbit IPB Press Effendi, H.Y. dkk . 2013. Patofisiologi Gizi. Bogor : PT. Penerbit IPB Press Engberink, et al. 2012. Dietary acid load and risk of hypertension: the Rotterdam Study. Am J Clin Nutr. 95:1438-44 106
SCIENTIA VOL. 6 NO. 2, AGUSTUS 2016
Gunawan A. 2011. Food Combining. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Jafar N. 2011. Sindroma Metabolik di Indonesia: Potret Gaya Hidup Masyarakat Perkotaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak Jaffe R. 2013. The Alkaline Way in Digestive Health. In : Watson RR and Preedy VR (eds.) Bioactive Food as Dietary Interventions for Liver and Gastrointestinal Disease, pp. 1-21. San Diego:Academic Press Maurer, et al. 2003. Neutralization of Western diet inhibits bone resorption independently of K intake and reduces cortisol secretion in humans. Am J Physiol Renal Physiol. 284:F32-F40 Price, Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta Remer T, Manz F. 1994. Estimation of the renal net acid excretion by adults consuming diets containing variable amounts of protein. Am J Clin Nutr. 59:1356-61 Sargowo dan Andarini, 2011. Pengaruh Komposisi Asupan Makanan terhadap Sindrom Metabolik pada Remaja. Jurnal Kardiologi Indonesia. 32:14-23 Sherman and Gettler, 1912. The Balance of Acid Forming and Base-Forming Elements in Food, and its Relation to Ammonia Metabolism. J Biol Chem. 11:323-338 Sutadarma, dkk. 2011. Hubungan Stres Kerja Status Gizi dan Sindrom
ISSN : 2087-5045
Metabolik Pada Laki – Laki Dewasa. Jurnal Gizi Indonesia. 34:7-13 Widiantini, 2013. Aktifitas Fisik, Stres, dan Obesitas pada Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8 : 330-336
107