Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat
[email protected] │+621 3906072
www.spd-indonesia.com
“Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia” Proses penyusunan Regulasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 telah mulai. Saat ini Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Dalam Negeri tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu 2019 (RUU Pemilu). Dari sejumlah materi yang menjadi isu krusial (13 isu krusial) dalam RUU tersebut, isu Alokasi Kursi DPR ke setiap provinsi perlu mendapatkan perhatian serius dan mendalam. Isu alokasi kursi DPR RI ke setiap provinsi dan kemudian dibagikan ke setiap daerah pemilihan (dapil) menjadi satu prasyarat penting untuk menjawab kepentingan politik penduduk yang harus diwakili di lembaga legislatif. Hak untuk mendapatkan keterwakilan kursi DPR secara setara oleh setiap warga negara, merupakan amanat konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Oleh karena itu, pemilu sebagai sarana untuk membentuk tertib hukum dan pemerintahan, maka prinsip kesetaraan yang menjadi hak setiap warga negara tanpa terkecuali, hendaknya diwujudkan dalam juga dalam hak keterwakilan dengan mengedepankan prinsip non diskriminatif. Konteks keterwakilan dalam Alokasi Kursi DPR RI ke setiap provinsi berdasarkan prinsip kesetaraan/non diskriminatif atau biasa dikenal dengan istilah one person, one vote, one value (Opovov), harusnya menjadi isu yang mengedepan dan memiliki prioritas untuk terlebih dahulu mendapatkan pembahasan. Hal ini penting untuk dipahami, karena sebaik apapun sistem pemilu yang dipilih dan diterapkan, hasilnya tetap akan menciderai hak keterwakilan warga negara sebagaimana konstitusi mengamanatkannya. Dari empat kali pelaksanaan pemilu demokratis paska reformasi, isu Alokasi kursi DPR ke setiap provinsi dan daerah pemilihan selalu luput dari perhatian para pembuat undangundang. Kesalahan ataupun kekeliruan yang berujung pada pengabaikan hak warga negara untuk diwakili di DPR, tidak pernah menjadi bahan evaluasi agar dilakukan perbaikan. Bahkan, sejak Pemilu 2004 pengabaian ini terus berlanjut hingga Pemilu 2014 lalu. Data-data kepemiluan Indonesia tentang alokasi kursi DPR dari pemilu ke pemilu berikutnya menunjukkan berbagai pergeseran prinsip-prinsip alokasi kursi dan sekaligus pencideraan terhadap amanat konstitusi. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟ menghasilkan situasi bahwa harga (kuota) kursi DPR di wilayah Pulau Jawa lebih mahal dibanding dengan harga kursi DPR di luar Pulau Jawa. Namun situasi tersebut bergeser sebaliknya pada Pemilu 2014, di mana kuota kursi DPR justru lebih mahal di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Demikian juga penambahan jumlah kursi DPR RI pada Pemilu 2009, di mana ketika DPR RI dari 550 (Pemilu 2004) ditambah 10 kursi menjadi 560 (Pemilu 2009), dilakukan alokasi kursi sesuai prinsip opovov. Secara arbitrer (mana suka) hanya 10 yang dibagikan ke beberapa provinsi tanpa diketahui metode dan prinsip alokasi digunakan. Pada akhirnya, pencideraan prinsip kesetaraan/non diskriminatif,
kursi tidak kursi yang dan 1
ketimpangan kursi perwakilan antar provinsi yang harusnya diperbaiki dalam pemilu, tetap berlanjut hingga pelaksanaan pemilu terakhir di tahun 2014. Khusus untuk pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, isu ini perlu mendapatkan perhatian serius, bahkan perlu menjadi prioritas dibandingkan pembahasan tentang sistem pemilu itu sendiri. Hal ini setidaknya berangkat dari beberapa hal. Pertama, agar penghormatan dan pemenuhan amanat konstitusi dapat terwujud. Kedua, memperbaiki dan sekaligus memberikan remedi (memulihkan) hak keterwakilan kursi DPR RI di seluruh wilayah NKRI. Ketiga menyediakan mekanisme alokasi kursi DPR yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara politik (legitimasi) maupun berbasis konsep (ilmiah). Ketiga aspek tersebut mendapatkan momen penting pada pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, di mana penyelenggaraan pemilu, baik memilih anggota legislatif dan memilih presiden/wakil presiden akan dilakukan secara serentak. Di mana-mana, sebelum sistem pemilu jalan, yang penting adalah alokasi kursi DPR! Jika tidak dilakukan perbaikan, maka momen Pemilu 2019 akan menghadapi masalah serius, di mana “pertumbukan” antara prinsip non opovov (pemilu legislatif) dengan prinsip opovov (pemilu presiden/wakil presiden) akan terjadi. Situasi ini selanjutnya akan berdampak pada potensi munculnya “Konflik Kelembagaan antara Lembaga Kepresidenan (Eksekutif) dengan DPR (Legislatif)”, di mana legitimasi presiden terpilih yang berasal dari dukungan pemilih (popular vote) tidak mencerminkan dukungan kursi di DPR yang berguna bagi efektivitas roda pemerintahan. Atas dasar itu, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi – SPD menginisiasi topik diskusi yang secara khusus dan mendalam membahas isu “Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR Pemilu Indonesia”. Diskusi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengungkap berbagai problematika yang ada. Melalui pengungkapan probematika ini, diharapkan para pembuat undang-undang menyadari pentingnya isu ini untuk mendapatkan prioritas pembahasan. Selanjutnya, melalui diskusi ini membuka ruang bagi gagasan dan ide-ide alternatif secara mendalam dalam rangka perbaikan kepemiluan dan demokrasi Indonesia di masa-masa mendatang. Catatan Permasalahan Alokasi Kursi DPR 1. Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi DPR terlampir sebagai bagian tak terpisahkan dari undang-undang. Ketentuan ini sekali lagi memberikan isyarat penting bahwa, isu alokasi kursi tidak menjadi prioritas untuk dilakukan perbaikan. Dengan demikian kesalahan dan kekeliruan Alokasi Kursi DPR sejak 2004, 2009, dan 2014 tetap dilakukan „pembiaran‟. Efek dari pengabaian ini mengakibatkan ketimpangan keterwakilan antar satu daerah dengan daerah lainnya. Pada Pemilu 2004, ketimpangan keterwakilan terjadi pada 12 daerah dalam bentuk kekurangan keterwakilan. Di Pemilu 2009, ketimpangan dalam bentuk kekurangan keterwakilan terjadi pada 14 daerah. Dan pada Pemilu 2014 ketimpangan keterwakilan terjadi meliputi 18 daerah dalam bentuk kekurangan keterwakilan. (Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan keterwakilan) 2. Pergeseran Secara Diam-diam Prinsip Keterwakilan Jawa non-Jawa. Pada Pemilu 2004, harga kursi (kuota) DPR di daerah pemilihan ditentukan berdasarkan prinsip kepadatan dan non kepadatan jumlah penduduk, sebagaimana 2
diatur dalam undang-undang. Untuk daerah yang berkepadatan penduduk tinggi (Jawa), maka berlaku ketentuan harga (kuota) satu kursi DPR setara dengan 425.000 penduduk. Sedangkan untuk daerah berkepadatan penduduk rendah (Luar Jawa), kuota atau harga kursi DPR setara 325.000 penduduk. Prinsip ini pada pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 bergeser dari misi semula. Pada awalnya harga kursi DPR termahal berada di daerah-daerah yang berlokasi di Pulau Jawa (Pemilu 2004). Sedangkan pPemilu 2009 dan 2014, berubah, di mana justru kursi DPR di luar Jawa lah yang termahal. (Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan keterwakilan) 3. Langgengnya kesalahan alokasi kursi DPR Pemilu 2014 akibat kesalahan alokasi kursi DPR Pemilu 2004. Misalnya, Papua, Sulawesi Utara dan Maluku menjadi korban kehilangan kursi masing-masing 3, 1 dan 3 akibat penerapan prinsip „akalakalan‟ provinsi induk dan pemekaran. Provinsi Papua semula 13 kursi perwakilan di DPR, kemudian turun menjadi 10 kursi, oleh karena adanya pemekaran provinsi baru. 3 kursi Papua harus dikurangi untuk diberikan kepada Irian Jaya Barat. Sebaliknya, ketentuan provinsi induk dan pemekaran tidak diberlakukan kepada Provinsi Sulawesi Selatan yang dimekarkan dengan Provinsi Sulawesi Barat. Sulawesi Selatan tetap mendapatkan 24 kursi, tanpa dikurangi 3 kursi untuk provinsi baru yang dimekarkan. Situasi ini menimbulkan pengabaian prinsip kesetaraan perlakuan atau non diskriminatif yang harusnya dijaga dalam pemilu. Kasus lain adalah, „dicurinya‟ satu kursi NTB di Pemilu 2004 (dari 11 menjadi 10) yang pada akhirnya tidak dilakukan pemulihan (dikembalikan). Situasi ini mengakibatkan kesenjangan harga kursi DPR yang sangat timpang antara Provinsi NTB dibandingkan dengan Provinsi NTT untuk Pemilu 2014, yaitu 539.857 per kursi untuk NTB berbanding 411.069 per kursi untuk NTT, meskipun dua provinsi tersebut berada di satu pulau yang sama. 4. Perbedaan mencolok harga kursi DPR pada Pemilu 2014. Sebagai ilustrasi, untuk kursi DPR Daerah Pemilihan Kepulauan Riau, satu kursi DPR seharga 631.863 penduduk. Sedangkan untuk daerah pemilihan Jawa Barat III, harga kursi DPR setara dengan 323.220 penduduk. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan mencolok, di mana harga kursi di Kepulauan Riau dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga kursi di Jawa Barat III. (Lampiran II: Perbedaan harga kursi setiap daerah pemilihan) 5. Senjang yang mencolok alokasi dan harga kursi antar daerah pemilihan dalam satu provinsi yang sama. Sebagai ilustrasi, Provinsi Jawa Barat mendapatkan alokasi 91 kursi DPR RI dan terbagi menjadi 11 daerah pemilihan (dapil). CONTOH ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA BARAT. DAERAH PEMILIHAN JABAR VI JABAR VII JABAR VIII JABAR IX
PENDUDUK 3.691.500 5.182.247 4.355.716 3.837.116
ALOKASI KURSI 6 10 9 8
HARGA KURSI 615.250 518.225 483.968 479.640 3
JABAR II Kuota Rata-rata JABAR XI JABAR X JABAR I JABAR V JABAR IV JABAR III
4.512.574 39.910.274 4.261.942 2.749.479 2.728.679 3.489.223 2.192.819 2.908.979
10 91 10 7 7 9 6 9
451.257 438.574 426.194 392.783 389.811 387.691 365.470 323.220
Data penduduk berdasarkan surat keputusan KPU 9 Maret 2013, maka harga kursi termahal ada di JABAR VI (Kota Bekasi dan Kota Depok). Terhadap kuota rata-rata JABAR (438.574), harga kursi JABAR VI sama dengan 140,28 persen atau 40,28 persen lebih mahal dibandingkan kuota rata-rata. Secara mencolok, jika dibandingkan dengan harga kursi termurah, yaitu JABAR III (Kuota: 323.220), harga kursi di JABAR VI hampir dua kali lipatnya (190,35 persen alias 90,35 persen lebih mahal. Dari alokasi kursi daerah pemilihan berdasarkan UU No. 8/2012 dapat dinyatakan bahwa, Alokasi kursi di Provinsi JABAR berbenturan dengan prinsip konstitusi. Hal ini dikarenakan mencederai asas persamaan, derajat keterwakilan lebih tinggi, dan proporsionalitas. Sebagai konsekuensinya, alokasi kursi DPR dan Daerah Pemilihan untuk Provinsi Jawa Barat harus dilakukan alokasi ulang Jika dilakukan alokasi ulang. PROVINSI JAWA BARAT KABUPATEN/ KURSI DAPIL KOTA PENDUDUK UU KOTA JABAR I BANDUNG 2.728.679 7 JABAR II KAB BANDUNG 4.512.574 10 JABAR III KAB CIANJUR 2.908.979 9 KAB JABAR IV SUKABUMI 2.192.819 6 JABAR V KAB BOGOR 3.489.223 9 JABAR VI KOTA BEKASI 3.691.500 6 KAB JABAR VII PURWAKARTA 5.182.247 10 JABAR VIII KAB CIREBON 4.355.716 9 KAB JABAR IX MAJALENGKA 3.837.116 8 JABAR X KAB CIAMIS 2.749.479 7 JABAR XI KAB GARUT 4.261.942 10 JABAR JUMLAH 39.910.274 91
KURSI SEHARUSNYA KUOTA UU
PORSI KURSI KURSI KUOTA
SELISIH TERHADAP UU
389.811 451.257 323.220
6,22 10,29 6,63
6 10 6
454.780 451.257 484.830
1 0 3
365.470 387.691 615.250
5,00 7,96 8,42
6 8 8
365.470 436.153 461.438
0 1 -2
518.225 483.968
11,82 9,93
12 10
431.854 435.572
-2 -1
479.640 392.783 426.194 438.574
8,75 6,27 9,72
9 6 10 91
426.346 458.247 426.194 438.574
-1 1 0
*Minus berarti kurang dari kursi sebenarnya. Plus berarti kelebihan kursi.
4
Jika alokasi kursi ulang dilakukan, maka dapil-dapil yang kelebihan masing-masing 1 kursi adalah Jabar I, Jabar V dan Jabar X. Dapil Jabar III akan terkoreksi 3 kursi. Sedangkan dapil yang kekurangan masing-masing 1 kursi adalah Jabar IX dan Jabar VIII. Dan Dapil yang kekurangan 2 kursi masing-masing adalah Jabar VI dan Jabar VII. Catatan: Kasus serupa juga terjadi pada Daerah Pemilihan di Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jatim, Jateng dan Sulawesi Selatan misalnya. 6. Tidak dikenalnya Alokasi Kursi Ulang dan Hilangnya Instrumen Pertumbuhan Wilayah. Pelaksanaan empat kali pemilu di Indonesia tanpa ada satupun preseden Alokasi Kursi Ulang, telah menghilangkan hak dan kesempatan bagi setiap penduduk yang berada di wilayah NKRI untuk diwakili secara setara di lembaga perwakilan (DPR). Hanya di Indonesia dan tidak ditemui di negara-negara lain adanya prinsip bahwa “Alokasi Kursi DPR Tidak Boleh Kurang Dari Pemilu Sebelumnya”. Prinsip ini pada akhirnya, menjadi hambatan bagi peluang untuk dilakukannya Alokasi Ulang Kursi DPR. Dengan demikian, pemilu tidak dapat menjadi instrumen pertumbuhan wilayah maupun koreksi dan penyesuaian bagi hak keterwakilan (Bandingkan misalnya dengan AS pada saat berusia 70 tahun). 7. Prinsip Non Opovov Alokasi Kursi DPR. Selain menciderai konstitusi, juga bertentangan dengan Asas Undang-undang Pemilu: Asas UU Pemilu Legislatif No. 12 Tahun 2003
No. 10 Tahun 2008
No. 8 Tahun 2012
umum, adil (kesempatan sama bagi semua warganegara, non diskriminatif, proporsional, derajat keterwakilan sama) Ukuran keadilan adalah si/S = vi/V Derajat Keterwakilan vi/si = V/S Ukuran Proporsionalitas, misalnya Gallagher Index
8. Potensi konflik kelembagaan antara Eksekutif dengan Legislatif. Potensi konflik ini akan muncul dikemudian hari dan menemukan momennya pada pelaksanaan penyelenggaraan pemilu serentak 2019 mendatang. Konflik kelembagaan ini apada akhirnya dapat memberi pengaruh terhadap efektivitas roda pemerintahan. Hal ini muncul karena pertentangan antara prinsip Opovov yang dianut dalam pemilihan presiden dengan prinsip non Opovov yang terjadi dalam pemilihan anggota legislatif. 5
Contoh: Hasil Pemilu 2014. Koalisi partai pendukung presiden terpilih meraup 41 persen suara pemilih, namun penguasaan kursi di DPR hanya 36 persen kursi. 9. Tingginya Disproporsionalitas Pemilu. Pembentukan 77 Daerah Pemilihan DPR 2014, menunjukkan terjadinya disproporsionalitas pemilu yang tinggi. Hal ini disumbangkan oleh faktor antara lain: - Kuota kursi antar daerah pemilihan yang sangat mencolok (JABAR III berkuota 323.220, KEPRI berkuota 631.863); - Kuota kursi antar dapil di dalam provinsi (JATIM XI berkuota 482.711, JATIM IX berkuota 375.977 atau JABAR VI berkuota 615.250, JABAR III berkuota 323.220 atau BANTEN I berkuota 373.460, BANTEN III berkuota 534.049 dsb. - Kuota antar dapil yang bertetanggaan dalam satu pulau (SULSEL III berkuota 396,464 bertetanggan dengan SULBAR yang berkuota 529.721, SULTRA yang berkuota 538.325 dan SULTENG yang berkuota 489.224 dan sebagainya). Saran dan Rekomendasi Alokasi kursi DPR dilakukan ulang dengan berdasarkan prinsip Opovov agar berkesesuaian dengan prinsip Opovov yang dianut dalam Pilpres. Preseden ini sebelumnya pernah terjadi pada Pemilu DPR tahun 1955, dimana alokasi kursi DPR ke setiap provinsi didasarkan pada prinsip Opovov, bahkan pada tingkat yang mendekati sempurna (Lihat Lampiran III) Alokasi kursi DPR hendaknya dilakukan dengan menggunakan data yang berbasiskan sensus penduduk terakhir, dan hasil alokasi dapat dipergunakan setidaknya minimal dua kali pemilu. Sebagaimana diketahui, sensus penduduk di Indonesia dilakukan setiap 10 tahun sekali. Prinsip-prinsip alokasi kursi dapat melibatkan berbagai metode penghitungan yang tersedia dan dapat didasarkan pada berbagai misi dalam rangka penciptaan keadilan keterwakilan. Misalnya: mendekatkan rasio pemilih dengan penduduk, rasio penduduk yang berkepadatan tinggi dan rendah, ataupun memperpendek rasio ketimpangan keterwakilan antar provinsi dan sebagainya. Alokasi Kursi DPR berdasarkan hasil pemilu. Alternatif ini dapat digunakan sebagai terobosan baru dalam pemilu Indonesia. Jika biasanya alokasi kursi DPR dan DPRD ditetapkan sebelum pemilu dilaksanakan, maka alternatif ini juga sebaliknya. Dengan demikian, besar kecil alokasi kursi yang diterima oleh setiap provinsi, didasarkan pada tinggi rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada pemilu. Sehingga memecut parpolparpol buat memobilisasi massanya. Bukan seperti sekarang, meskipun partisipasi pemilih rendah, tidak akan berpengaruh pada jumlah alokasi kursi. Cara lain: berdasarkan hasil pemilu per provinsi dengan sudah ditetapkannya jumlah kursi provinsi, kemudian baru dibagikan ke setiap dapil.
Jakarta, 18 September 2016 Sindikasi Pemilu dan Demokrasi CP: August Mellaz (081218560749) Pipit R. Kartawidjaja (085697898489) 6
Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan keterwakilan
422.884 422.557 421.332 410.575 410.014 408.576 408.086 406.495 402.282 401.510 401.176 395.845 390.699 387.499 384.044 380.300 376.302 373.013 369.242 367.962 355.281 343.057 327.356 325.154 319.354 319.050 314.126 305.364 294.366 289.194 285.209 196.680 130.433
*)Lampiran II Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 640 T ahun 2003 tanggal 20 November 2003 mengenai Penetapan Daerah Pemilihan dan T ata Cara Perhitungan Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Setiap Provinsi Seluruh Indonesia dalam Pemilihan Umum T ahun 2004
PROPINSI
POPULASI
KEPRI JABAR SUMUT JATENG SUMSEL NTB JATIM YOGYA BENGKULU RIAU BANTEN SULTENG KALBAR LAMPUNG INDONESIA JAMBI SULTRA KALTIM BALI JAKARTA SULUT BABEL MALUKU SULBAR KALTENG NTT ACEH SUMBAR MALUT SULSEL GORONTALO KALSEL PAPBAR PAPUA
1.393.897 40.707.250 13.319.525 34.034.177 7.508.091 4.364.141 37.872.044 3.441.614 1.715.689 4.715.437 9.245.075 2.521.327 4.165.308 7.348.623 227.845.868 2.805.297 2.003.744 3.088.322 3.372.335 7.706.175 2.199.701 1.059.481 1.407.921 1.050.928 2.019.117 4.230.028 4.228.726 4.549.356 970.443 7.606.500 945.001 3.407.423 690.349 2.152.823
KURSI 3 91 30 77 17 10 87 8 4 11 22 6 10 18 560 7 5 8 9 21 6 3 4 3 6 13 13 14 3 24 3 11 3 10
KUOTA
THD KUOTA TERENDAH
464.632 114,20% 447.332 109,95% 443.984 109,12% 442.002 108,64% 441.652 108,55% 436.414 107,26% 435.311 106,99% 430.202 105,74% 428.922 105,42% 428.676 105,36% 420.231 103,28% 420.221 103,28% 416.531 102,38% 408.257 100,34% 406.868 RATA-RATA 400.757 98,50% 400.749 98,50% 386.040 94,88% 374.704 92,09% 366.961 90,19% 366.617 90,11% 353.160 86,80% 351.980 86,51% 350.309 86,10% 336.520 82,71% 325.387 79,97% 325.287 79,95% 324.954 79,87% 323.481 79,51% 316.938 77,90% 315.000 77,42% 309.766 76,13% 230.116 56,56% 215.282 52,91%
PROPINSI
POPULASI
KEPRI RIAU NTB SULTRA LAMPUNG SULBAR KALTIM KALBAR SUMUT JAMBI SUMSEL BENGKULU SULTENG BALI MALUKU JAKARTA BANTEN BABEL INDONESIA KALTENG JABAR YOGYA SULUT JATIM JATENG PAPUA MALUT NTT SUMBAR SULSEL ACEH GORONTALO KALSEL PAPBAR
1.895.590 6.456.322 5.398.573 2.691.623 9.586.492 1.589.162 4.154.954 5.193.272 15.227.719 3.532.126 8.528.719 1.996.538 2.935.343 4.227.705 1.866.248 9.603.417 9.938.820 1.349.199 251.824.296 2.640.070 39.910.274 3.458.029 2.583.511 37.269.885 32.578.357 4.224.232 1.258.354 5.343.902 5.617.977 9.368.107 5.015.234 1.147.528 4.145.843 1.091.171
KURSI 3 11 10 5 18 3 8 10 30 7 17 4 6 9 4 21 22 3 560 6 91 8 6 87 77 10 3 13 14 24 13 3 11 3
KUOTA
THD KUOTA TERENDAH
631.863 140,51% 586.938 130,52% 539.857 120,05% 538.325 119,71% 532.583 118,43% 529.721 117,80% 519.369 115,50% 519.327 115,49% 507.591 112,88% 504.589 112,21% 501.689 111,56% 499.135 111,00% 489.224 108,79% 469.745 104,46% 466.562 103,75% 457.306 101,69% 451.765 100,46% 449.733 100,01% 449.686 RATA=RATA 440.012 97,85% 438.574 97,53% 432.254 96,12% 430.585 95,75% 428.389 95,26% 423.096 94,09% 422.423 93,94% 419.451 93,28% 411.069 91,41% 401.284 89,24% 390.338 86,80% 385.787 85,79% 382.509 85,06% 376.895 83,81% 363.724 80,88%
underrepresented
90 76 86 21 29 17 22 16 11 10 8 10 550 7 3 4 5 9 6 7 6 24 3 13 4 14 13 6 3 11 3 10 3
THD KUOTA TERENDAH 108,24% 108,15% 107,84% 105,09% 104,94% 104,58% 104,45% 104,04% 102,96% 102,77% 102,68% 101,32% RAT A-RAT A 99,18% 98,30% 97,34% 96,32% 95,47% 94,51% 94,18% 90,93% 87,81% 83,79% 83,22% 81,74% 81,66% 80,40% 78,16% 75,34% 74,02% 73,00% 50,34% 33,38%
overrepresented
KUOTA
underrepresented
38.059.552 32.114.351 36.234.550 8.622.065 11.890.399 6.945.786 8.977.896 6.503.918 4.425.100 4.015.102 3.209.405 3.958.448 214.884.220 2.712.492 1.152.132 1.521.200 1.881.512 3.357.113 2.215.449 2.575.731 2.131.685 8.233.375 982.068 4.227.000 1.277.414 4.466.697 4.083.639 1.832.185 883.099 3.181.130 855.627 1.966.800 391.300
KURSI
DPR 2014-2019
overrepresented
JABAR JAT ENG JAT IM DKI JAKART A SUMUT LAMPUNG BANT EN SUMSEL R I AU NT B YOGYAKART A KALBAR INDONESIA KALT IM KEPRI BENGKULU SULT RA BALI SULT ENG J AM B I SULUT SULSEL KEP. BABEL ACEH MALUKU SUMBAR NT T KALT ENG GORONT ALO KALSEL MALUT PAPUA IRJABAR
POPULASI
overrepresented
PROPINSI
DPR 2009-2014
underrepresented
DPR 2004-2009
Data Penduduk menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 T ahun 2008 T entang Kode dab Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, www.depdagri.go.id/pages/data-wilayah
Keputusan Komisi Pemilihan Umum, Nomor 93 s/d 125/Kpts/KPU/TAHUN 2013, Tanggal 9 MARET 2013
Alokasi Kursi berdasarkan Lampiran UU No. 12 T ahun 2008 T entang Pileg
Alokasi Kursi Berdasarkan Lampiran UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pileg
Perbandingan alokasi kursi antar provinsi tidak menggambarkan perbandingan alokasi kursi antar Dapil
7
Lampiran II: Perbedaan harga kursi setiap daerah pemilihan
8