PENGARUH INTENSITAS PENYINARAN TERHADAP DEGRADASI KAROTEN WORTEL (Daucus carota LINN) SEBAGAI PEWARNA ROTI TAWAR [TELAAH PEMANFAATAN KAROTEN SEBAGAI PEWARNA ROTI TAWAR] THE EFFECT OF LIGHT INTENSITY ON THE DEGRADATION OF CAROTENE FROM CARROT (Daucus carota LINN) AS WHITEBREAD COLORANT [STUDY ON UTILIZATION OF CAROTENE AS WHITEBREAD COLORANT] Silvia Andini Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 50711
[email protected]
ABSTRAK Studi pengaruh intensitas penyinaran terhadap degradasi karoten wortel (Daucus carota Linn) sebagai pewarna roti tawar bertujuan: (1) Menentukan karakteristik degradasi warna roti tawar akibat penyinaran matahari (alami) dengan intensitas rata-rata 67.658 lux dan lampu fluorescent (nir alami) dengan rentang intensitas berkisar 2.850 – 7.000 lux, (2) Menentukan lama penyinaran maksimum terhadap warna roti tawar yang masih dapat diterima berdasarkan uji hedonik. Dalam penelitian ini, roti tawar diberi penambahan 50% sari wortel. Penelitian penentuan karakteristik degradasi warna roti tawar didasarkan pada serapan ekstrak roti dalam pelarut n-heksana pada λ 445 nm, dan diulang sebanyak 5 kali. Data uji hedonik dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang terdiri dari 8 perlakuan, yaitu roti tawar tanpa disinari, roti tawar yang disinari lampu dengan intensitas 2.850, 3.440, 4.450, dan 7.000 lux selama 24 jam, dan roti tawar yang disinari matahari selama 3, 6, dan 9 jam. Rerata skor uji hedonik antar perlakuan dibandingkan menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik degradasi warna roti tawar berdasarkan serapannya mengikuti pola polinomial. Lama penyinaran maksimum roti tawar pada rentang intensitas 2.850 – 3.440 lux ialah 23,54 – 37,37 jam. Kata kunci: intensitas, roti, warna, wortel. ABSTRACT Study of the effect of light intensity on the degradation of carotene from carrot (Daucus carota Linn) as whitebread colorant aimed to (1) determine the characteristic of color degradation of whitebread caused by illumination of sunlight with average intensity 67,658 lux and fluorescent lamps with intensity 2,850 lux – 7,000 lux; (2) determine the maximum illumination length in which the color of whitebread was still accepted based on hedonic test. On this study the whitebread was given 50% carrot juice. Research on determination of the degradation characteristic of whitebread’s color was based on its absorbance in n-hexane at wavelength 445 nm and repeated as many as 5 times. Data of hedonic test were analyzed by Randomized Complete Block Design (RCBD) and consisted of 8 treatments, which were whitebread illuminated under the 4 fluorescent lamps for 24 hours and sunlight for 3, 6, and 9 hours, and whitebread not illuminated. The hedonic mean scores from different treatments were compared by Honestly Significant Difference Test (HSD) 5%. The results showed that the color degradation fit to polynomial trend, and the maximum illumination length at 2,850 – 3,440 lux is 23.54 – 37.37 hours. Keywords: intensity, bread, color, carrot.
1
PENDAHULUAN Warna merupakan salah satu faktor visual yang seringkali mendapat perhatian pertama dari konsumen dan dijadikan salah satu faktor yang ikut menentukan penerimaan terhadap bahan pangan tersebut. Bahkan, warna menjadi suatu indikator mutu bahan pangan (Hutching dalam MacDougall, 2002). Zat warna untuk makanan sangat mudah diperoleh, baik yang berasal dari sumber alami maupun bahan sintetik. Zat warna dari sumber alami, misalnya daun suji dan kunyit, sempat banyak digunakan sebagai pewarna makanan, yaitu pada era sebelum pewarna sintetik marak diproduksi. Beberapa dasawarsa terakhir ini, kembali timbul usaha-usaha untuk memahami seluk-beluk pewarna alami dan pemanfaatannya yang lebih luas, karena efek pencemaran lingkungan dan efek negatif terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh penggunaan pewarna sintetik. Di sisi lain, ternyata pewarna alami memiliki peranan baik bagi kesehatan manusia, antara lain sebagai antioksidan, antikanker, dan lainlain. Pada penelitian sebelumnya, Andini dan Lusiawati (2009) telah membuat suatu inovasi pada roti tawar, yaitu roti tawar wortel. Roti yang dimaksud berwarna kuning akibat penambahan sari wortel. Wortel memiliki kandungan karotenoid, terutama β-karoten, yang sangat tinggi sehingga dapat memberikan sari yang pekat akan β-karoten. Selain itu, wortel sudah sejak dahulu terbukti aman dikonsumsi dan mudah diperoleh sepanjang tahun. Peneliti telah memperoleh konsentrasi sari wortel yang tepat untuk diaplikasikan ke dalam adonan roti sehingga roti tawar yang dihasilkan dapat diterima konsumen, yaitu 25-50 % v/v (Andini dan Lusiawati, 2010). Pigmen karotenoid dari wortel dapat digunakan langsung secara aman sebagai pewarna makanan namun penggunaannya seringkali menimbulkan permasalahan mengenai stabilitas warna produk yang dihasilkan, di mana warna yang dihasilkan tidak dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama. Selama penyimpanan produk, warna akan memudar dan pemudaran warna ini dipercepat bila produk dalam keadaan terbuka terhadap cahaya, udara, dan pemanasan. Studi ini fokus pada pengaruh penyinaran matahari dan lampu fluorescent dengan beberapa variasi intensitas terhadap perubahan warna roti tawar tersebut. Hal ini didasarkan pada realita bahwa roti tawar sering terpapar cahaya matahari dan cahaya lampu selama masa penjualan maupun konsumsi. Studi terdahulu menunjukkan bahwa warna roti tawar tidak stabil terhadap cahaya dengan intensitas di atas 2850 lux, dan kinetika degradasi sesuai orde ke-0 (Andini dan Lusiawati, 2009). Berdasarkan latar belakang ini, maka tujuan dari telaah ini ialah 1) menentukan karakteristik degradasi warna roti tawar akibat penyinaran matahari (alami) dengan intensitas rata-rata 67.658 lux dan lampu fluorescent (nir alami) dengan rentang intensitas berkisar 2.850 – 7.000 lux berdasarkan serapan ekstrak roti dalam pelarut n-heksana pada panjang gelombang maksimum, (2) menentukan lama penyinaran maksimum terhadap warna roti tawar yang masih dapat diterima berdasarkan uji hedonik.
BAHAN DAN METODE Bahan dan piranti Wortel (Daucus carota Linn) yang digunakan adalah wortel varietas lokal (varietas Ngablak) berumbi panjang, yang diperoleh dari pasar lokal Salatiga, Jawa Tengah. Bahan-bahan pembuatan roti tawar adalah tepung terigu Cakra Kembar, fermipan, garam, gula pasir, air dingin, sari wortel dingin, dan mentega putih. Bahan dasar roti diperoleh dari toko bahan roti di Salatiga. Bahan kimia yang digunakan ialah n-heksana bidistilasi yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
2
Piranti yang digunakan adalah juicer Signora, oven, inkubator yang dilengkapi dengan lampu Philips Essential 18 W, 23 W, dan 45 W, lightmeter Lutron LX-102, termometer, kertas saring piranti gelas, kuvet kwarsa, spektrofotometer UV-Vis Mini Shimadzu U-1240, orbital shaker, dan neraca analitis Mettler H-80. Metoda Resep Dasar Roti Tawar (Andini dan Lusiawati, 2009) 1 kg terigu Cakra Kembar ditambah 60 g gula pasir, 25 g fermipan, dan 5 g garam, lalu diaduk rata. Campuran ditambah 600 mL air dingin sedikit demi sedikit sambil diadon hingga setengah kalis. Adonan ditambah 100 g mentega lalu diadon kembali hingga kalis selama 30 menit. Adonan dibiarkan mengembang beberapa menit lalu diadon kembali selama 15 menit (diulangi sebanyak 4 kali). Adonan digulung dan dimasukkan ke dalam cetakan. Setelah mengembang selama 1 jam, adonan dipanggang dengan api sedang selama 30 menit. Pembuatan Roti Tawar Wortel Roti tawar wortel yang dimaksud ialah roti tawar, yang dibuat mengacu pada resep dasar, dengan mengganti 600 mL air dingin dengan 300 mL sari wortel dingin dan 300 mL air dingin (50% v/v). Scanning Panjang Gelombang Serapan Maksimum Ekstrak Roti Tawar Wortel dalam Pelarut n-Heksana (Andini dan Lusiawati, 2009) 5 gram roti tawar wortel, yang telah dipotong kecil-kecil, dimaserasi dengan 15 mL pelarut n-heksana bidistilasi selama 30 menit menggunakan inkubator goyang (orbital shaker). Lalu disaring, filtrat dikumpulkan dalam labu ukur 25 mL, dan residu dibilas dengan pelarut yang sama kemudian disaring dan filtrat disatukan hingga garis tera. Dilakukan scanning panjang gelombang pada daerah 400-800 nm, dengan blanko ialah n-heksana bidistilasi. Panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh hasil scanning digunakan untuk pengukuran serapan roti tawar wortel. Pengukuran Serapan Roti Tawar Wortel (Andini dan Lusiawati, 2009) 5,0000 g roti tawar wortel berukuran 4 cm x 3 cm x 1 cm dibungkus dalam plastik bening transparan. Disinari matahari dengan intensitas rata-rata yang mengenai roti ialah 67.658 lux, lampu dengan intensitas cahaya yang mengenai roti ialah 2.850 lux, 3.440 lux, 4.450 lux, dan 7.000 lux selama 24 jam. Setiap 2 jam, diambil 1 roti dari setiap perlakuan. Masing-masing roti dimaserasi dengan 15 mL n-heksana bidistilasi selama 1 jam menggunakan inkubator goyang. Lalu disaring, filtrat dikumpulkan dalam labu ukur 25 mL, dan residu dibilas dengan pelarut yang sama kemudian disaring dan filtrat disatukan hingga garis tera. Filtrat diukur serapannya pada panjang gelombang hasil scanning, sebagai blanko adalah n-heksana bidistilasi. Uji Sensoris (Soekarto, 1985) Uji sensoris dilakukan terhadap parameter warna dari roti tawar yang tidak disinari dan yang telah disinari dengan intensitas 67.658 lux (cahaya matahari) selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam; 2850 lux, 3440 lux, 4450 lux, dan 7000 lux (lampu fluorescent) selama 24 jam, dengan dasar uji hedonik. Analisis Data Data serapan warna roti tawar wortel dianalisis menggunakan program Excel untuk menentukan karakteristik/tren degradasi warna roti tawar. Penelitian penentuan karakteristik degradasi warna roti tawar terdiri dari 5 perlakuan dan diulangi sebanyak 5 kali. Sebagai perlakuan ialah penyinaran cahaya matahari dengan intensitas rata-rata yang mengenai roti ialah 67.658 lux, lampu dengan intensitas cahaya yang mengenai roti ialah 2.850 lux, 3.440 lux, 4.450 lux, dan 7.000 lux. Data hasil uji sensoris dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Uji sensoris menggunakan 49 panelis sebagai ulangan dan terdiri dari 8 perlakuan, yaitu roti tawar yang tidak disinari dan yang telah disinari dengan intensitas 67.658 lux (cahaya matahari) selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam; 2850 lux, 3440 lux, 4450 lux, dan 7000 lux (lampu fluorescent) selama 24 jam. Purata skor
3
antarperlakuan dibandingkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5 % (Steel dan Torrie, 1989). Roti tawar wortel yang masih dapat diterima dari uji hedonik ini diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dalam pelarut n-heksana. Nilai serapan diplotkan ke dalam kurva karakteristik sehingga diperoleh lama penyinaran maksimum.
HASIL DAN DISKUSI Karakteristik Degradasi Warna Roti Tawar Wortel Spektra ekstrak roti tawar wortel dalam pelarut n-heksana menunjukkan adanya serapan pada panjang gelombang 445 nm dan 471 nm (Gambar 1). Serapan maksimum terjadi pada panjang gelombang 445 nm. Pola spektra ekstrak roti tawar wortel ini identik dengan pola spektra β-karoten (Gambar 2). Gambar 2 menunjukkan bahwa β-karoten menyerap kuat pada daerah panjang gelombang antara 430-470 nm (Gross, 1991). Daerah ini merupakan daerah panjang gelombang warna biru, dengan warna kuning sebagai komplementernya.
Deteksi Puncak Absis Absorbansi 471 0,581 445 0,679
Gambar 1. Spektra Absorbsi Ekstrak Roti Tawar Wortel dalam Pelarut n-Heksana
Gambar 2. Spektra Absorbsi trans- (
) dan cis-β-karoten (- - - -) dalam Pelarut n-Heksana (Gross, 1991)
Proses penyinaran yang dikenakan pada roti tawar wortel menyebabkan terjadi pemudaran warna kuning pada roti menjadi kuning pucat dan cenderung putih. Semakin besar intensitas cahaya yang mengenai roti, semakin besar degradasi warna roti. Degradasi warna roti tawar tersebut disebabkan ketakstabilan pigmen karoten terhadap cahaya. Diduga degradasi karotenoid menghasilkan senyawa yang tidak berwarna pada daerah tampak. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari putusnya ikatan rangkap dalam struktur molekulnya. Energi yang digunakan untuk berikatan berkurang sehingga energi molekul semakin besar dan diduga spektra akan bergeser ke panjang gelombang yang lebih rendah (Fiedor dkk., 2002 dalam Kurniawati, 2007). Hal ini merupakan faktor yang dapat menjadi indikasi menurunnya absorbansi ekstrak roti pada panjang gelombang maksimumnya.
4
Berdasarkan serapan ekstrak roti pada panjang gelombang 445 nm dalam pelarut n-heksana, maka diperoleh bahwa degradasi warna roti tawar mengikuti pola polinomial (Tabel 1) karena nilai korelasi R2-nya paling mendekati 1. Tabel 1. Nilai Korelasi, R2, Kurva Serapan Roti Tawar Wortel vs Lama Penyinaran dengan Pendekatan Beberapa Pola Intensitas Cahaya
R2
(lux) 2850 3440 4450 7000 Matahari (67.685)
Linier Eksponensial Polinomial Logaritma Power 0,932 0,932 0,940 0,813 0,809 0,789 0,796 0,845 0,782 0,778 0,944 0,936 0,979 0,738 0,725 0,980 0,975 0,987 0,824 0,807 0,978 0,960 0,995 0,938 0,776
Telaah ini memberikan informasi baru mengenai karakteristik degradasi warna roti tawar wortel, di mana pada studi sebelumnya Andini dan Lusiawati (2009) menemukan bahwa karakteristik degradasi warna roti tawar tersebut, dipandang dari teori kinetika reaksi, mengikuti orde nol. Degradasi warna roti mengikuti orde nol memiliki arti bahwa grafik serapan versus lama penyinaran pola linier menjadi pedoman karena memiliki nilai korelasi, R2, terbesar dibandingkan dengan orde-orde lainnya. Oleh karena itu, secara sekilas telaah ini tidak mendukung hasil studi sebelumnya karena menunjukkan pola polinomial lebih baik daripada linier. Apabila dilihat secara seksama, baik kurva (Lampiran 1) maupun persamaan polinomial yang diperoleh (Tabel 2), maka tampak bahwa telaah ini mendukung hasil studi sebelumnya, yakni penyinaran nir alami (2850 lux – 7000 lux) menyebabkan warna roti semakin terdegradasi (serapan roti kian menurun). Kurva polinomial degradasi warna roti berbentuk kurva parabola yang menghadap ke bawah (titik puncak maksimum). Apabila dilakukan ekstrapolasi melalui suatu perhitungan, maka akan diperoleh titik puncak maksimum berada di daerah nilai x (sumbu x = lama penyinaran) negatif (Lampiran 1). Hal ini memiliki makna bahwa warna roti tawar wortel memang memiliki karakteristik tidak stabil terhadap cahaya nir alami dan akan terus memudar bila penyinaran diteruskan. Tabel 2. Persamaan Kurva Polinomial Serapan Roti Tawar Wortel vs Lama Penyinaran Intensitas Cahaya
Polinomial
(lux) 2850
y = -2,1E-05x2 - 0.0010x + 0.5253
3440
y = -0.00011x2 - 0.0001x + 0.5210
4450
y = -8E-05x2 - 0.0008x + 0.5221
7000
y = -5E-05x2 - 0.0026x + 0.5148
Matahari (67.658)
y = 0.0004x2 - 0.0280x + 0.5140
Hal yang berbeda terjadi pada kasus penyinaran dengan cahaya alami (cahaya matahari), yaitu kurva polinomial berbentuk parabola yang menghadap ke atas (titik puncak minimum). Apabila dilakukan ekstrapolasi melalui suatu perhitungan, maka akan diperoleh titik puncak minimum berada di daerah x (sumbu x = lama penyinaran) positif (Lampiran 1). Hal ini berarti bahwa pada lama penyinaran tertentu, warna roti tidak akan memudar lagi (serapan roti tidak akan turun), dan ada kemungkinan serapan roti akan kembali meningkat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena semua karoten telah terdegradasi sehingga serapan roti pada panjang gelombang tersebut tidak akan menurun lagi. Selain itu, oleh karena spektrum cahaya matahari yang sangat luas maka dimungkinkan pula pada suatu waktu tertentu, cahaya matahari dapat menyebabkan senyawa hasil degradasi karoten mengalami konversi menjadi senyawa lain yang memiliki serapan di daerah tampak, khususnya daerah sekitar
5
445 nm, yang dapat menyebabkan kenaikan kembali serapan roti. Untuk lebih dapat menjelaskan fenomena ini, maka perlu dilakukan penelitian lanjut. Uji Hedonik Warna dan Penentuan Lama Penyinaran Maksimum Roti tawar sering terpapar cahaya, baik cahaya matahari maupun cahaya lampu, selama masa penjualan maupun penyimpanan. Mengingat ketakstabilan pigmen karoten terhadap faktor cahaya, maka penambahan sari wortel ke dalam roti tawar berarti menambah parameter lain yang dapat turut menentukan umur produk, yaitu parameter warna. Hasil uji hedonik warna roti tawar setelah lama penyinaran tertentu dengan beberapa intensitas cahaya disajikan dalam Tabel 3. Pada uji ini, roti tawar wortel tanpa perlakuan penyinaran berperan sebagai kontrol. Untuk perlakuan penyinaran cahaya lampu, uji hedonik terhadap warna roti dilakukan setelah penyinaran selama 24 jam. Sedangkan untuk perlakuan penyinaran cahaya matahari, uji hedonik terhadap warna roti dilakukan setelah penyinaran selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam. Hal ini didasarkan pada hasil pengukuran serapan ekstrak roti tawar wortel pada penelitian sebelumnya bahwa serapan ekstrak roti yang telah disinari oleh cahaya lampu dengan intensitas paling besar (7000 lux) selama 24 jam ada di kisaran nilai absorbansi ekstrak roti yang disinari cahaya matahari selama 2-4 jam. Berdasarkan Tabel 3, semakin besar intensitas cahaya yang mengenai roti, pemudaran warna roti semakin besar sehingga semakin mengurangi tingkat kesukaan konsumen akan warna roti tersebut. Hal ini juga berbanding lurus dengan lama penyinaran, di mana bila penyinaran roti diteruskan, pemudaran warna terus terjadi dan tingkat kesukaan konsumen akan warna roti semakin berkurang. Perlakuan penyinaran cahaya lampu dengan intensitas 2850 lux dan 3440 lux selama 24 jam tidak berpengaruh terhadap penilaian panelis. Artinya, penilaian hedonik atas warna roti tawar ini sama dengan kontrol, yaitu antara biasa/netral dan suka. Tingkat kesukaan panelis akan warna roti tawar setelah penyinaran cahaya lampu berintensitas 4450 lux dan 7000 lux selama 24 jam dan cahaya matahari selama 3 jam adalah sama, dan purata skor tersebut berbeda nyata dengan kontrol, yakni kesukaan panelis akan warna dari roti tersebut lebih rendah daripada kontrol. Roti tawar setelah penyinaran matahari selama 6 dan 9 jam memperoleh skor sama dan terendah, yaitu tidak suka. Tabel 3. Hasil Uji Hedonik Warna Roti Tawar Wortel Setelah Penyinaran Perlakuan
± SE
Tanpa 3,69 ± 0,30
2550 3,5 ± 0,23
3440 3,27 ± 0,28
M3 2,92 ± 0,26
4450 2,78 ± 0,28
7000 2,86 ± 0,22
M6 2,35 ± 0,27
M9 2,10 ± 0,33
w = 0,56
d
d
cd
c
bc
bc
ab
a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antarperlakuan tidak berbeda secara bermakna. w = BNJ 5 % Tanpa = Roti tawar wortel tanpa disinari. 2550 = Roti tawar wortel yang disinari lampu berintensitas 2550 lux selama 24 jam. 3440 = Roti tawar wortel yang disinari lampu berintensitas 3440 lux selama 24 jam. 4450 = Roti tawar wortel yang disinari lampu berintensitas 4450 lux selama 24 jam. 7000 = Roti tawar wortel yang disinari lampu berintensitas 7000 lux selama 24 jam. M3 = Roti tawar wortel yang disinari matahari selama 3 jam. M6 = Roti tawar wortel yang disinari matahari selama 6 jam. M9 = Roti tawar wortel yang disinari matahari selama 9 jam. Skor 1 : Sangat tidak suka 2 : Tidak suka 3 : Biasa/Netral 4 : Suka 5 : Sangat suka
6
Berdasarkan hasil uji hedonik ini, maka nilai serapan ekstrak roti yang telah disinari cahaya lampu 3.440 lux selama 24 jam menjadi ambang batas kesukaan panelis sehingga nilai ini dapat digunakan untuk menentukan lama penyinaran maksimum yang diperbolehkan untuk mempertahankan hedonik konsumen akan warna roti tersebut. Nilai serapan ekstrak roti tersebut ialah 0,460, dan lama penyinaran maksimum dengan intensitas kisaran 2.550 lux – 3.440 lux ialah 23,54 – 37,37 jam. KESIMPULAN Berdasarkan telaah ini, dapat disimpulkan bahwa karakteristik degradasi warna roti tawar berdasarkan serapannya mengikuti pola polinomial. Lama penyinaran maksimum roti tawar pada rentang intensitas 2.850 – 3.440 lux ialah 23,54 – 37,37 jam UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ign. Agustinus Kristijanto, M.S. atas saran dan bantuannya dalam analisis hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Andini, S. dan Lusiawati Dewi. 2009. Pengaruh Intensitas Penyinaran terhadap Perubahan Warna Roti Tawar Yang Diberi Sari Daging Umbi Wortel (Daucus Carota Linn). Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains IV. Salatiga: Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. _______. 2010. Penentuan Konsentrasi Sari Wortel (Daucus carota Linn) untuk Diterapkan ke dalam Adonan Roti Tawar Berdasarkan Evaluasi Sensoris. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains V. Salatiga: Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. Gross, Jeana. 1991. Pigments in Vegetables, Chlorophylls and Carotenoids, p: 75-181. Von Nostrand Reinhold: New York. Kurniawati, Ratih. 2007. Fotodegradasi dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar dan Karotenoid Dominan Daun Alfalfa Tropis (Medicago sativa L.). Skripsi. FSM/Kimia, Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga. MacDougall, D. B., 2002. Colour in Food: Improving Quality, p. 9-30. Boca Raton: CRC Press. Soekarto, Soewarno T., 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Steel, R. G. O., dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik, Jakarta: PT. Gramedia.
7
Lampiran 1.
Kurva Polinomial Ekstrak Roti Tawar pada Panjang Gelombang 445 nm dalam Pelarut n-Heksana versus Lama Penyinaran dengan Berbagai Intensitas
Penyinaran dengan intensitas 2.850 lux
Titik puncak berada pada absis: 𝑏 𝑥 = − 2𝑎 −0,001020 =− 2 × −0,000021 = −24,29
Penyinaran dengan intensitas 3.440 lux
Titik puncak berada pada absis: 𝑏 𝑥=− 2𝑎 −0,00010 = − 2× −0,00011 = −0,45
Penyinaran dengan intensitas 4.450 lux
Titik puncak berada pada absis: 𝑏 𝑥=− 2𝑎 −0,00079 = − 2× −0,00008 = −4,94
Penyinaran dengan intensitas 7.000 lux
8
Titik puncak berada pada absis: 𝑏 𝑥=− 2𝑎 −0,00262 = − 2× −0,00005 = −26,20
Penyinaran dengan cahaya matahari (intensitas rata-rata 67.658 lux)
Titik puncak berada pada absis: 𝑏 𝑥=− 2𝑎 −0,0280
= − 2× 0,0004 = 35,0
9