SIKAP MASYARAKAT MUSLIM KOTA MEDAN TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA Nur Aisah Simamora 1 Abstrak Penelitian ini menguraikan tentang sikap masyarakat muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat ulama. Selanjutnya penelitian ini merupakan studi lapangan yang menggunakan metode mode of inquiry qualitative. Adapun hasil yang ditemukan di lapangan bahwa sikap masyarakat muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat ulama, umumnya di mesjid-mesjid di kota Medan masih eksklusive terhadap segala aktivitas dan tata cara ibadah yang dipraktekkan di masjid tersebut. Gambaran ketidakterbukaan antar masyarakat muslim terhadap orang-orang yang tidak sekelompok, semazhab atau sealiran dengan mereka. Kata Kunci: mazhab, sikap, ulama, perbedaan pendapat A. Pendahuluan Keterbukaan dalam menyikapi perbedaan pendapat para ulama merupakan ciri masyarakat maju dan berperadaban. Sebaliknya, ketertutupan dalam menyikapinya merupakan ciri masyarakat yang terbelakang dan masih jauh dari peradaban yang maju2. Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat di tengah-tengah manusia dalam memandang sesuatu, sesungguhnya telah merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak mungkin dapat dihilangkan. Sehingga Qatadah3 mengatakan: Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) para ahli fikih, berarti hidungnya belum dapat mencium fikih.4 Hisyam bin Ubaidillah al-Razi mengatakan: Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) para ahli fikih maka yang bersangkutan belum disebut fakih (memahami fikih)5. Kemudian, kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa, berbeda pendapat telah terjadi sejak zaman sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Terbukti dari perbedaan pendapat para sahabat Nabi SAW, dalam memahami relevansi dan maksud suatu nash terhadap kasus yang berkembang di masa mereka, dan perbedaan faham atau ijtihad para ulama dari generasi berikutnya telah dibukukan sejak lama. Perkembangannyalah muncul istilah mazhab, di mana masing-masing mazhab berbeda-beda dalam melihat dan menyikapi suatu masalah, sehingga terbuka peluang untuk berbeda pendapat di tengah-tengah umat. Mazhab-mazhab tersebut yang paling masyhur adalah mazhab Hanafiah, mazhab Malikiah, mazhab Syafi’iah, mazhab Hanabilah dan mazhab-mazhab lainnya. Ini semua tidak dapat dinafikan lagi dan tidak dapat dipungkiri. Menafikan dan memungkirinya berarti mengingkari sunnatullah.
1 2
Dosen pada Fakultas Ushuluddin UIN-SU Maksud ketertutupan di sini adalah menutup diri pada satu pendapat saja dan menganggap selainnya salah
dan sesat. 3
Seorang ahli tafsir dari masa tabi’in Ali bin Naif al-Syuhud, al-Khulashah fi Fiqh al-Aqalliyyat (Sumber: Maktabah Syamilah) 5 Ibid 4
Kemudian, sejalan dengan perbedaan pendapat atau mazhab yang telah ada dari sejak masa sahabat Nabi saw. itu, terdapat pula perbedaan kecenderungan umat manusia (dalam hal ini kaum muslimin) dalam mengikuti macam-macam mazhab tersebut. Ada yang cenderung kepada pendapat atau mazhab Hanafiah, dan ada yang cenderung kepada mazhab Syafi’iah, Hanabilah, Malikiah, dan yang lainnya. Tentulah perbedaan kencenderungan itu mengakibatkan perbedaan – antara lain – dalam tata cara ibadah antara satu dengan lainnya dalam masyarakat. Masalah shalat misalnya, terjadi perbedaan bacaan do’a iftitah, menyaringkan basmalah ketika membaca al-fatihah atau tidak menyaringkannya, bacaan ruku’, bacaan sujud, bacaan tahiyyat, bahkan cara meletakkan kedua tangan ketika berdiri tegak, perbedaan cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram, tata cara duduk tasyahud awal dan kedua, perbedaan dalam memahami sunnah tidaknya membaca do’a Qunut secara rutin pada shalat subuh, perbedaan dalam memahami boleh-tidaknya imam shalat fardhu memimpin zikir dan do’a berjama’ah, demikian juga misalnya perbedaan dalam jumlah rak’at dalam shalat taraweh, danberbagai perbedaan lainnya, yang sebenarnya bukan permasalah rukun atau prinsipil. Begitu juga dalam penerapan rukun Islam puasa Ramadhan, dalam hal penentuan kapan mulai puasa Ramadhan dan kapan berakhirnya, misalnya, hingga saat ini masih terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Hal ini terlihat dari berbedanya waktu atau hari memulai puasa dan mengakhirinya antara muslim yang satu dengan muslim lainnya, kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim lainnya. Selain itu, terdapat pula fenomena tahlilan di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia yang jika dibandingkan dengan negara-negara yang berpenduduk muslim lainnya, terutama negara-negara Arab, mungkin agaksulit menemukan fenomena ini. Masyarakat Indonesia sendiri – dalam konteks tahlilan ini – tidak sama; sebagian mengikutinya dan sebagian lainnya tidak, dan bahkan ada yang memandang bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah yang dengan demikian adalah sesat menurut sebagian lainnya. Hal yang masih menjadi masalah adalah bahwa di berbagai tempat dari dahulu hingga sekarang, termasuk sebagian masyarakat kota Medan, sering terlihat atau terdengar sikap yang tidak terbuka terhadap orang-orang yang dianggap diluar kelompoknya atau orang, kelompok yang tata cara ibadahnya tidak persis sama dengan yang dirutinkannya. Sebagai contoh, masjidmasjid yang dibawah kepengurusan organisasi Muhammadiah, misalnya, biasanya sedikit sekali atau bahkan hampir tidak memberikan kesempatan bagi orang di luar organisasi mereka untuk menjadi imam shalat di masjid mereka. Demikian juga sebaliknya, apabila suatu masjid berada di bawah kepengurusan organisasi Nahdhatul Ulama (NU) atau Al-Wasliyah, maka orang-orang yang pemahamannya tidak membenarkan berzikir dan berdoa berjama’ah setelah shalat, biasanya sedikit sekali mereka dipersilahkan menjadi imam shalat, meskipun tingkat pendidikan formal orang-orang yang berasal dari organisasi lain tersebut serta bacaan al-Quran mereka di atas kemampuan para pengelola masjidnya yang berasal dari satu organisasi. Ini merupakan fenomena yang tidak bisa diingkari realitasnya, dan masih berkembang sampai sekarang, bahkan di beberapa tempat terkesan semakin ekstrim. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menelitinya, sehingga sebuah kota besar seperti Medan yang sekilas terlihat begitu terbuka, heterogen penduduknya tetapi kondusif dengan perbedaan suku dan agama, akan menjadi ukuran untuk melihat daerah lainnya yang cenderung homogen penduduknya. Adapun ukuran atau standar yang biasa dijadikan bukti konkrit untuk menyatakan semazhab dan sealiran atau tidak semazhab, antara lain adalah praktek qunut subuh, berzikir, serta doa berjama’ah setelah shalat fardhu. Seseorang yang diketahui tidak melakukan doa qunut pada shalat subuh serta tidak berdoa dan berzikir berjama’ah setelah shalat fardhu, maka orang
tersebut biasanya tidak akan dipersilahkan lagi menjadi imam di masjid Al-Wasliah atau NU, meskipun orang tersebut mereka ketahui sebagai orang yang berlatarbelakang pendidikan tinggi agama Islam. Sebaliknya, orang yang diketahui selalu memimpin zikir dan doa berjama’ah, serta selalu melakukan doa qunut dalam subuh, maka tidak akan dipersilahkan, apalagi diangkat menjadi imam tetap pada masjid Muhammadiyah atau Salafiah. Demikian hasil pengamatan sekilas gambaran ketidakterbukaan antar masyarakat muslim terhadap orang-orang yang tidak sekelompok, semazhab atau sealiran dengan mereka. Bahkan, tidak jarang terjadi pertikaian yang berbuntut permusuhan di kalangan sebagian kaum muslimin, hanya gara-gara perbedaan pendapat soal tata cara ibadah atau ritual-ritual agama Islam lainnya. Padahal, idealnya hal ini seharusnya tidak perlu terjadi, jika masyarakat telah memahami hakikat perbedaan yang begitu niscaya di tengah-tengah perkembangan pemikiran manusia. Seharusnya, orang yang dipersilahkan menjadi imam dalam shalat adalah orang yang dianggap paling memahami ajaran agama terutama dalam praktek ibadah, tanpa memandang hal-hal yang berbeda antara kita dengannya soal rincian-rincian (furu’) fikih. B. Rumusan Masalah Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah bahwa, sikap tidak terbuka terhadap perbedaan pendapat ulama di beberapa masjid di kota Medan masih terjadi. Untuk itu maka hal yang ingin diketahui melalui penelitian ini : 1. Seberapa massifkah ketidakterbukaan masyarakat muslim kota Medan dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama? 2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sikap ketidakterbukaan sebagian masyarakat muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat ulama? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini antara lainnya: 1. Mendapatkan informasi yang akurat tentang keterbukaan maupun ketertutupan sikap muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat ulama dalam tata cara ibadah mahdhah. 2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sikap ketidakterbukaan sebagian masyarakat muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat ulama? Sebagaimana tujuan penelitian di atas, maka untuk selanjutnya memberikan informasi tersebut kepada umat Islam, terutama para ulama dan pemerintah tentang realitas sosial kaum muslimin dalam menyikapi berbedaan pendapat dan praktek ajaran agama. Sehingga mereka dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam memberikan solusi sekiranya realitas sosial menunjukkan bahwa masyarakat kota Medan belum bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat, mazhab, aliran dan kelompok. D. Manfaat Penelitian Aspek manfaat penelitian yang akan dicapai sebagaimana penelitian ini tentunya akan bermanfaat antara lainnya:
telah dijelaskan di atas,
1. Dijadikan rujukan dalam melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam mengembangkan perilaku keberagamaan masyarakat muslim kota Medan. 2. Penelitian ini dapat juga diharapkan sekaligus dijadikan pedoman dalam mengapresiasi dan mengevaluasi kinerja para ulama, muballigh, tokoh agama dan
pemerintah dalam mengelola kehidupan beragama masyarakat kota Medan, terutama dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama. 3. Menjadi konsep evaluasi dalam mengukur keberhasilan para ulama dan pemerintah dalam memahamkan agama dan sikap beragama seorang muslim yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat muslim kota Medan. E. Kajian Terdahulu Sebenarnya, banyak sekali penelitian yang telah dilakukan tentang fenomena keberagamaan masyarakat muslim kota Medan, seperti: penelitian yang berjudul “Fenomena Keberagamaan Mahasiswa Muslim pada Perguruan Tinggi Agama dan Umum di kota Medan” yang diteliti oleh Bapak Maraimbang Daulay, Dosen fenomena agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara. Jadi, yang beliau cari adalah bagaimana fenomena keberagamaan mahasiswa muslim di kampus-kampus, baik itu kampus berbasis agama maupun kampun berbasis non-agama di kota Medan. Adapun yang menjadi perhatian utama pada penelitian ini adalah sisi ritual dan sosial. Sisi ritual yang diteliti terkait dengan bentuk-bentuk ibadah mahdhah, seperti: pelaksanaan shalat lima waktu, shalat sunnah, puasa, pengajian para responden, baik itu secara individual maupun kelompok. Adapun sisi sosial terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan para responden yang terkait dengan interaksi sosial. Jadi, dalam hal ini, yang diteliti adalah perilaku sosial mereka sehari-hari di lingkungan dan masyarakat mereka sendiri. Kemudian, penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Edy A. Effendi yang mengambil tema “ Pergeseran Orientasi dan Sikap Keberagamaan di Kampus-Kampus Sekuler”. Beliau menuliskan bagaimana perkembangan dan sikap keberagamaan para mahasiswa muslim di kampus-kampus non-agama yang dikaitkannya dengan fenomena kebangkitan Islam yang dipelopori oleh mahasiswa yang dinilainya secara pemikiran agama cenderung bersikap fanatik dan fundamentalis. Penelitian lainnya ditulis oleh Bapak Sugianto pada tahun 2003, seorang dosen di IAIN Sumatera Utara yang berjudul “Hubungan antara Pola Keberagamaan dan Sikap Politik Aktivis Mahasiswa Muslim kota Medan. Beliau memfokuskan penelitian beliau pada pola keberagamaan para aktivis di kalangan mahasiswa, lalu mengkaitkannya dengan sikap politik mereka yang dikategorikannya kepada sikap konservatif, moderat, dan liberal. Banyaknya penelitian tentang sikap keberagamaan dan fenomena keberagamaan masyarakat muslim, baik itu di kota Medan maupun di luar kota Medan menunjukkan bahwa penelitian ini layak dilanjutkan, mengingat begitu pentingnya kita mengetahui proses perjalanan panjang sejarah masyarakat muslim dalam memahami dan mengamalkan agama, untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan-keputusan, baik itu oleh pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat, dan menjadi titik pemberangkatan dalam rangka meningkatkan kualitas keberagamaan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini layak dilakukan, untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang sikap masyarakat muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat para ulama, yang tentunya juga akan berpengaruh pada sikap-sikap mereka dalam merespon permasalahan-permasalahan sosial lainnya, sehingga berdampak dan berkontribusi pada terhalangnya mereka melakukan tindakan-tindakan anarkis, karena tidak mudah diprovokasi.
F. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan studi lapangan yang menggunakan metode mode of inquiry qualitative, yaitu; metode kualitatif yang menggunakan teknik berhadapan langsung dalam pengumpulan data dengan informan atau subjek penelitian di dalam latar alamiah mereka 6 . Peneliti akan mencoba membangun suatu gambaran yang kompleks dan holistik dengan diskripsi-diskripsi rinci tentang persfektif informan berkenaan dengan fenomena atau masalah yang diteliti. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat empiris sosiologis. Sebab yang diamati adalah dinamika prilaku masyarakat terhadap suatu ajaran. Oleh karena yang diteliti adalah bidang Islam sebagai yang dihayati dan diamalkan oleh umatnya di kota Medan, maka yang dihadapi adalah area penghayatan dan pengamalan (baca: sikap) yang diistilahkan dengan area empiris sosiologis. 7 Secara definitif, metode empiris berarti adalah studi agama yang menggunakan pendekatan-pendekatan ataupun kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, maupun psikologi. Dalam hal ini, secara sosiologis misalnya, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi realitas sosial, yang dari hasil penelitian ini nantinya kita akan semakin mengenal tingkatan moderasi beragama masyarakat muslim kota Medan, yang selanjutnya akan membentuk sistem budaya masyarakat dan kesadaran beragama secara individu.8 Untuk mengumpulkan data empiris, metode yang akan digunakan dalam menelusuri dan menggali sikap masyarakat muslim kota Medan yang sesungguhnya terhadap perbedaan pendapat para ulama adalah dengan melakukan: 1. Mendatangi masjid-masjid yang ada di kota Medan secara random. Metode random ini dipilih agar peneliti tidak terpengaruh secara subyektif dalam memilih masjid-masjid mana yang harus didatangi sebagai sample. Dengan demikian maka hasilnya diharapkan akan lebih akurat. 2. Wawancara dengan para nazir dan pengurus mesjid. Sebab asumsi peneliti, para nazir dan pengurus mesjid dinilai sangat mengetahui dinamika yang terjadi pada jama’ah masjidnya serta sikap masyarakat yang sebenarnya terhadap perbedaan pendapat para ulama. Oleh karena itu, para pengelola kegiatan di masjid itulah nantinya yang akan dimintai informasi yang real tentang sikap jamaah mereka terhadap perbedaan pendapat para ulama ataupun para ustad yang mengajarkan materi-materi agama di lingkungan mereka. Sebab tentu saja perbedaan pendapat ini sampai kepada para jamaah karena penyampaian para ustad atau ulama yang antara satu dengan lainnya barangkali tidak sama kecenderungan bermazhabnya. Misalnya saja, seorang ulama yang mendalami pendidikan agama di Arab Saudi dapat dipastikan berbeda kecenderungan mazhab dan pemikirannya dengan ulama yang mendalami pendidikan agama dari Mesir, Suriah, Maroko, dan Indonesia. Ketika masing-masing menyampaikan hasil ijtihadnya, tanpa mereka sadari mereka telah menyampaikan kesimpulan hukum atau sikap yang berbeda untuk sebuah kasus kepada jamaah masjid yang sama. Di tingkat muqallidin inilah kerap terjadi 6
Parluhutan Siregar dalam Kumpulan Laporan Penelitian Seri 2 Tahun 2013: Literatur Kitab Kuning di Pesantren; Implementasi dan Pergeseran (Medan: IAIN PRESS, 2013), 111. 7 Syahrin Harahap, Metodologi Studi & Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, cet. Ke.2 (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 7. 8 Ali Abdul Halim Mahmud, dkk. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antardisiplin Ilmu, Ed. M. Deden Ridwan, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 15-16.
permusuhan dan kerusuhan yang diakibatkan oleh berbedanya tingkat keilmuan dan sikap mereka dalam merespon dan mencerna perbedaan istimbath hukum tersebut, atau dalam memilih kitab-kitab referensi yang dijadikan rujukan pada kegiatan mereka. 3. Wawancara dengan tokoh agama. Sebab mereka penulis yakini telah memiliki kesimpulan masing-masing tentang realitas masyarakat muslim kota Medan mengenai sikap dan perilaku mereka terhadap perbedaan pendapat. Dengan kata lain, sumber data primer didapatkan melalui informan kunci yang ditentukan dengan menggunakan teknik purporsive sampling, sedangkan untuk menentukan informaninforman lainnya ditetapkan dengan snowball sampling. Jadi, kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, khususnya indepth interview dengan teknik semi terstruktur. Teknik ini dipilih karena peneliti ingin mengontrol informasi yang ingin diperoleh dari subyek dan informan penelitian, dengan tetap membuka kemungkinan munculnya pertanyaan susulan keetika interview berlangsung. Dengan teknik ini, peneliti dibekali dengan interview guide yang berisi kisi-kisi pertanyaan untuk dikembangkan ketika wawancara dengan subyek dan informan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap informan yang diidentifikasi memahami atau terlibat langsung dalam peristiwa sejarah dan perkembangan faham tata cara ibadah ritual dalam agama Islam di masjid maupun di kawasan tersebut. Para informan ini mencakup orang-orang kenaziran, imam-imam masjid, dai di masjid tersebut, bahkan tokohtokoh agama kota Medan untuk melihat secara keseluruhan. Adapun kegiatan menganalisis data dilakukan secara deskriptif. Data yang diperoleh dari wawancara dianalisis secara kualitatif, untuk selanjutnya diperoleh kesimpulan. G. Analisa Studi tentang kehidupan beragama di Sumatera Timur (baca: sekarang Sumatera Utara), khususnya di kota Medan, harus mengacu pada: Pertama; faktor geografis kedekatan wilayah dengan daerah Aceh yang lebih dahulu memeluk agama Islam, kedua; komunitas etnis yang ada di wilayah Sumatera khususnya, dan suku-suku di Indonesia umumnya. Ketiga, masuknya kolonial Belanda di Sumatera Timur (1862), kemudian membuka lahan perkebunan yang cukup luas, keempat; migrasi etnis ke Sumatera Timur yang menjadi dasar awal berdirinya organisasi keagamaan (Islam), kelima: situasi politik dan perjalanan bangsa dan negara.9 Sebelum kolonial Belanda masuk di Sumatera Timur, khususnya Medan dan sekitarnya, penduduk setempat telah menganut agama Islam yang dibawa oleh para pedagang muslim, atau yang sengaja didatangkan ke Medan berupa tenaga-tenaga penyiar Islam dari daerah Aceh. Diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke Sumatera Timur bagian pesisir pada abad ke 15/16 Masehi. Namun penghayatan dan pengamalan ajaran Islam itu belum terlihat secara nyata dalam sistem kehidupan masyarakat. Walaupun di kawasan ini telah terdapat kepala-kepala suku yang kemudian berdiri kerajaan-kerajaan/kesultanan, ternyata tenaga agama (Islam), semisal ulama belum terlihat dengan nyata. Kesemarakan dan aktivitas kehidupan beragama itu mulai terlihat setelah perantauan etnis Mandailing memasuki wilayah ini pada akhir abad ke-19 Masehi. Memang, para sultan Deli telah memeluk ajarna Islam, namun otoritas yang dimilikinya belum memperlihatkan tindakan konkrit untuk membangun suatu masyarakat yang religius. Setidaknya
9
Ibid., h. 33
realita ini terjadi sebelum masa Sultan Makmun al-Rasyid yang dinobatkan sebagai Raja Melayu Deli 19 Juli 1874.10 Pemerintah Sultan makmun al-Rasyid merupakan babak awal sejarah Islam di lingkungan kesultanan. Beliau mulai membangun pusat-pusat kegiatan umat Islam, seperti mendirikan masjid dan perguruan-perguruan Islam. Masjid yang didirikan semasa kesultanan ini, di antaranya: Masjid Lama Bengkok, Masjid al-Mashun di lingkungan istana, dan masjid Jamik di kawasan kampung Baru. Semua bangunan masjid ini terletak di wilayah kampung Kesawan, di mana pada saat itu, daerah ini merupakan pusat perkotaan dan pemukiman penduduk.11 Pada masa kolonial Belanda, otoritas dan kekuasaaan Sultan lambat laun mulai dikurangi, dan pada gilirannya hanya mengurusi hal-hal yang termasuk rutinitas saja, terutama hal-hal yang menyangkut kehidupan sosial keagamaan saja. Adapun hal-hal yang menyangkut aspek politik dan ekonomi, berada di tangan pemerintahan kolonial Belanda. Sultan dijadikan sebagai pengawas agama saja, mulai membenahi struktur dalam kesultanan dengan mengangkat para qadhi atau hakim agama untuk melaksanakan syariat Islam. Para qadhi mempunyai tugas menyelesaikan pernikahan dan perceraian bagi umat Islam. Pada tingkat kesultanan, jabatan ini disebut Mufti untuk menyelesaikan masalah-masalah keagamaan. Selain itu, sultan juga mengangkat imam masjid dan guru-guru agama Islam di perguruan/lembaga pendidikan Islam.12 Jabatan Mufti di kesultanan Deli termasuk suatu penghormatan dan penghargaan yang diberikan kepada ulama. Mufti yang pertama di kesultana ini adalah Syekh Hasan Maksum, kelahiran tahun 1884 di Labuhan Deli. Beliau adalah putra seorang Syahbandar bernama Datuk Haji Maksum. Setelah ulama masuk dalam struktur kesultanan, mulailah ditata kehidupan beragama dan ajaran yang dianut kesultanan adalah Mazhab Syafi’i (Syafi’iyyah). Mazhab ini besar pengaruhnya di kalangan suku Melayu, baik yang berada di perkotaan maupun di pedesaan di Sumatera Timur. Para perantau atau migran etnis yang berada di wilayah kesultanan Sumatera Timur yang bukan menganut mazhab Syafi’i, sulit untuk masuk dalam struktur kesultanan. Maka, bagi etnis Mandailing yang sudah menganut agama Islam dengan baik dan menganut faham tersebut, dapat diterima dengan mudah oleh Sultan Deli, dan mereka itu diberikan kedudukan/jabatan sebagai Imam masjid, kenaziran, penghulu, dna guru agama di wilayah kesultanan, dan kepada mereka diberikan status menjadi Melayu Dusun.13 Jika dibandingkan dengan etnis lain walaupun sama-sama penganut Islam, seperti etnis Karo dan Simalungun, ternyata etnis Mandailing diposisikan lebih tinggi, karena pada umumnya, mereka ini telah memiliki keilmuan Islam yang lebih baik. Perbedaan itu juga terlihat pada etnis Minangkabau yang telah menganut agama Islam lebih lama, dan mempunyai kedalaman ilmu tentang ajaran Islam, mereka ini sulit diterima oleh pihak kesultanan karena faham keislaman yang berbeda. Pada umumnya, etnis Minangkabau yang merantau ke Tanah Deli, cenderung kepada modernis, dalam arti bukan penganut mazhab Syafi’i.14
10
Ibid., h. 33-34. Ibid., h. 34 12 Ibid. 13 Melayu pada mulanya adalah istilah suku batak Sumatera Timur yang masuk Islam. Namun demikian, orang Mandailing sendiri tidak pernah menganggap dirinya sebagai Melayu Dusun, mereka tetap menjadikan Mandailing sebagai indentitas hidupnya, meskipun tidak semuanya mencantumkan marganya di belakang namanya. 14 Ibid. 11
Kedekatan para ulama yang berasal dari Mandailing (karena berfaham Syafi’i) dengan kesultanan Deli terlihat setelah pembangunan masjid Lama Bengkok (1874) di mana Syekh Muhammad Yakub Nasution diberikan kedudukan untuk mengelola dan menjadi Imam Masjid tersebut. Masjid ini dibangun di atas tanah wakaf Datuk Haji Muhammad Ali, Penghulu kampung Kesawan, dan sebagian pembangunannya dibiayai oleh Sultan dan pengusaha etnis Cina, Tjong A Fie. Setelah berdiri mesjid ini, dilanjutkan dengan membangun perguruan Islam yang dikenal dengan Maktab Islamiyyah Tapanuli (MIT) yang dibangun pada bulan Maret 1918 selama masa pembangunan dua setengah bulan, dan diresmikan pada tanggal 19 mei 1918, dengan membuat acara kenduri besar yang dihadiri oleh masyarakat Mandailing di kota Medan dan sekitarnya.15 Dilihat dari sisi letak bangunan masjid di Sumatera Utara yang kebanyakan berada di pinggiran sungai dan berdekatan dengan pekuburan, sebagiannya berdekatan dengan alun-alun dan istana kerajaan, namun kebanyakannya berjauhan dengan lokasi pemerintahan, menunjukkan ketidakdekatan antara pihak masjid dengan pihak pemerintah, di mana poin ini memberikan isyarat atau asumsi bahwa faham yang tersebar dan berkembang di Sumatera Utara, bukan melalui pendekatan struktural (kekuasaan), tetapi dikembangkan oleh masyarakat kebanyakan dengan munculnya tenaga dan pemuka agama Islam dari lapisan masyarakat.16 Artinya, poin ini juga turut memberikan andil dalam proses perkembangan dan dominasi mazhab Syafi’i di Sumatera Utara secara umum, dan kota Medan secara khusus, sehingga sampai sekarang masih dapat kita rasakan betapa dominasi faham ini yang lebih akrab dikenal dan diamalkan oleh masyarakat, bahkan cenderung tidak atau kurang mengenal faham-faham lainnya, sehingga di era global seperti sekarang ini, masih mengakibatkan sikap tertutup masyarakat terhadap fahamfaham yang sekarang datang dan mulai diperkenalkan di kota Medan. Perkembangan keberagamaan masyarakat di kota Medan yang telah terdiri dari berbagai etnis –meskipun etnis aslinya adalah suku Melayu-, masing-masing etnis membuat pemukiman mereka tersendiri dan cenderung menunjukkan identitas kedaerahan dan keagamaan mereka. Etnis Mandailing di kota Medan yang aslinya adalah kelompok perantau, membentuk identitas aslinya dengan simbol-simbol agama Islam, membangun sarana peribadatan “masjid”, membangun sarana pendidikan “madrasah”, serta membangun organisasi masyarakat, seperti alJam’iyatul Washliyah dan Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU). 17 Dan beginilah selanjutnya perkembangan organisasi masyarakat dengan corak pemahaman fiqh ibadahnya, semakin hari semakin meluas dan berkembang, sesuai dengan perkembangan ormas-ormas, madrasahmadrasah, dan masjid-masjid yang telah dibangun. Sejarah perjalanan dan penyebaran agama Islam, khususnya penyebaran faham atau mazhab Syafi’iyyah di Aceh sampai ke Sumatera Timur, dengan model penyebaran secara struktural di masa Kesultanan Deli dan non-struktural pada masa perkembangan berikutnya, menunjukkan betapa kuat dna mengakar faham Syafi’iyyah di Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Maka wajar saja jika sampai sekarang, kita masih merasakan dominasi faham tersebut, dan betapa sulitnya faham-faham yang baru sampai ke kota Medan merambah dan merubah faham yang sudah sekian lama terbentuk, khususnya yang terkait dengan tata cara ritual ibadah.
15
Ibid., h. 35-36. Ibid., h. 16. 17 Ibid., h. 28. 16
H. Temuan dan Hasil Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang penulis temukan di lapangan selama proses penelitian berlangsung, baik itu secara global maupun terperinci. Pada umumnya, mesjid-mesjid di kota Medan masih eksklusive apabila ditinjau dari dominasi satu kelompok (mazhab maupun organisasi masyarakat) terhadap segala aktivitas dan tata cara ibadah yang dipraktekkan di masjid tersebut. Terlebih-lebih lagi apabila yang memprakarsai pendirian masjid tersebut mazhab tertentu atau organisasi keagamaan tertentu. Kota Medan berfungsi sebagai ibu negeri propinsi Sumatera Utara, yang terletak di antara propinsi Nanggro Aceh Darussalam di sebelah Utara, dengan propinsi Riau di sebelah Timur, dan Propinsi Sumatera Barat di sebelah barat. Secara umum dapat dikatakan bahwa ke empat propinsi ini dihuni oleh suku Melayu secara dominan, di mana dalam hal ini Melayu dipahami sebagai orang muslim. Artinya, melihat dari banyaknya umat Islam yang berdomisili di Medan, dan begitu dekatnya dengan masyarakat muslim lainnya dari propinsi-propinsi yang mengelilinginya, seharusnya, perkembangan faham keberagamaan muslim Sumatera Utara harus dinamis. Dengan kata lain, muslim Sumatera Utara, khususnya muslim kota Medan, harus lebih berkembang dan dinamis faham agamanya daripada yang lainnya, mengingat akses mereka yang begitu mudah ke Aceh sebagai kota Serambi Mekkah, maupun ke Padang sebagai kota para Ulama. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengetahui dinamika keberagamaan muslim kota Medan. Adapun caranya dengan melakukan wawancara dengan para pengurus mesjid di kota Medan serta para tokoh agamanya. Dalam hal ini, dikecualikan mesjid-mesjid kampus, mesjid-mesjid taqwa, dan mesjid-mesjid lainnya yang dikenal sebagai mesjid organisasi tertentu. Dengan kata lain, mesjid yang dijadikan sample penelitian ini adalah mesjid yang bersifat umum, masjid masyarakat secara luas. Adapun mesjid-mesjid di kampus, secara umum sudah dapat dinilai cenderung terbuka, baik itu karena perkembangan keilmuan yang cenderung lebih dinamis di dalam kampus, maupun karena generasi yang mendominasinya berasal dari lintas generasi, kalangan muda maupun kalangan tua, sehingga menghasilkan tata cara ibadah yang fleksibel. I. Penutup Demikian secara ringkas hasil penelitian ini disampaikan, di mana secara umum dapat disimpulkan bahwa pemahaman keberagamaan masyarakat muslim kota Medan dalam hal tata cara ibadah ritual masih cenderung tertutup, meskipun sebahagian kecil sudah ada yang berdinamika, menerima yang tidak sefaham dengannya, dan tidak menganggap bahwa satusatunya faham yang benar hanyalah yang difahaminya. Dari 9 kondisi mesjid yang dijelaskan hanya ada 1 mesjid yang cenderung terbuka, yaitu mesjid Muslimin di jalan air Bersih Medan Kota, sedangkan yang lainnya masih cenderung tertutup, meskipun ada satu mesjid yang mengarah pada perubahan, hanya saja nuansa untuk tetap memaksakan apa yang difahaminya tetap terasa, sebagaimana yang terjadi di mesjid al-Husna di komplek Multatuli. Begitu juga keterangan dari beberapa tokoh agama menyatakan bahwa pada dasarnya, mesjid-mesjid secara umum masih tertutup untuk hal-hal yang berbeda dari tata cara yang diamalkannya selama ini, terlebih-lebih mesjid yang masih didominasi oleh orang-orang yang sudah berusia tua.
Jadi, masalah yang dirumuskan di Rumusan masalah, seberapa massifkah ketidakterbukaan masyarakat muslim kota Medan terhadap perbedaan pendapat dalam hal tata cara ibadah ritual dapat dijawab dengan mengatakan bahwa masih sangat massif sikap tidak terbuka atau penolakan masyarakat untuk perbedaan pendapat dalam hal tata cara ibadah. Adapun faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu: dominasi orang-orang yang berusia tua di mesjid dan di jabatan kepengurusannya, sehingga faham yang ada di benak mereka benar-benar telah mengakar dan sulit menerima hal-hal yang baru mereka ketahui. Jadi, kalau mau diklasifikasikan, ada empat gambaran kesimpulan terbuka dan tertutupnya suatu masyarakat, terkait dengan siapa pengurus mesjidnya, (1) apabila yang mendominasi satu mesjid kelompok kaum tua (baca: NU, al-Washliyah) dan orangnya juga orangtua, hasilnya cenderung tertutup, (2) apabila fahamnya kaum muda (baca: Muhammadiyah), orangnya orang tua, sikapnya juga tertutup, (3) apabila fahamnya kaum tua, orangnya orang muda, hasilnya cenderung terbuka, (4) apabila fahamnya kaum muda, orangnya muda, cenderung terbuka. Adapun faktor lainnya adalah kurang berperannya para tenaga agama dalam hal memberikan pencerahan tentang toleransi di tengah-tengah masyarakat, atau dengan kata lain, pendidikan sikap masyarakat terhadap pendapat-pendapat baru bagi mereka, sehingga aura ketertutupan masih mendominasi sikap masyarakat muslim kota Medan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ukuran terbuka atau tertutup sikap masyarakatnya bukan organisasinya, tapi lebih cenderung kepada keikutsertaan orangorang yang berusia muda dalam menggerakkan kegiatan-kegiatan keagamaan di mesjid, akan lebih memberi peluang pada masyarakat untuk bersikap lebih terbuka. Penelitian ini akhirnya bukan hanya mengukur seberapa terbuka atau seberapa tertutup masyarakat muslim dalam menerima perbedaan pendapat dalam hal tata cara ritual ibadah, tetapi juga menunjukkan betapa kesadaran dan keikutsertaan generasi muda masih sangat sedikit di lingkungan masjid, hingga berpengaruh pada timbulnya berbagai hal-hal negatif di tengah-tengah masyarakat kita. Adapun saran penulis melalui penelitian ini, (1) hendaklah para penceramah memberikan pencerahan dengan cara memperbanyak penjelasan-penjelasan tentang hakikat perbedaan pendapat ulama, (2) mengajak masyarakat untuk bersikap lebih toleran kepada orang-orang yang berfaham berbeda dengan mereka, sehingga suasana di mesjid-mesjid kondusif dan fleksibel, (3) agar para pengurus mesjid mengupayakan penyediaan buku-buku yang menjelaskan tentang keniscayaan perbedaan pendapat di kalangan umat ini. Semoga penelitian ini memberikan manfaat kepada kita semua, untuk selanjutnya lebih arif menyikapi berbagai macam problematika keberagamaan umat Islam di kota Medan. Amin. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA Ali Abdul Halim Mahmud, dkk. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antardisiplin Ilmu, Ed. M. Deden Ridwan, (Bandung: Nuansa, 2001). Ali bin Naif al-Syuhud, al-Khulashah fi Fiqh al-Aqalliyyat (Sumber: Maktabah Syamilah). Parluhutan Siregar dalam Kumpulan Laporan Penelitian Seri 2 Tahun 2013: Literatur Kitab Kuning di Pesantren; Implementasi dan Pergeseran (Medan: IAIN PRESS, 2013). Syahrin Harahap, Metodologi Studi & Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, cet. Ke.2 (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002).