Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN KOTA MEDAN
Muslim, Burhanuddin Harahap, Kariono
Abstract: This article tries to view how the quality of public services in Demography bureau government office in Medan. The writer has taken this case study on public service at demography bureau government office in Medan because there were many complain on the quality of the services given. Some important result found are the public services in the Demography bureau government office in Medan is basically influenced by the knowledge on basic duties and functions especially viewed from the standard of non formal education and training that involved the staff, public service that reflects in the aspects of simplicity, clarity, certainty, openness, justification, time accuracy, effectiveness and efficiency that according to the staffs their standard is still considered in a very simple/mid-low level. Mean while, according to the answer and the responds given by the public basically came from the officials in the fields that are not the during the working hours, giving tips, lateness/not on time, unfriendly and result that are not satisfying. It is also found the pessimistic attitude from the public on the conditions of public services that is carried out by the demography public office. Keywords: quality of public service, demography bureau government PENDAHULUAN Dengan bergulirnya pelaksanaan otonomi darah yang telah dimulai sejak tanggal 1 Januari 2000, sesuai dengan amanat Ketetapan MPR Nomor 2 butir (b) yaitu “Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi daerah secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya terhitung tanggal 1 Januari 2001 yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Sehubungan dengan Ketepan MPR tersebut, setiap daerah harus dapat mengakumulasi keinginan masyarakat agar dapat memberikan kontribusi pada pendapatan asli daerah dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat secara maksimal yang berorientasi kepada kepentingan dan keinginan masyarakat. Kebijakan nasional tentang otonomi daerah yang dititikberatkan pada kabupaten dan kota memberi kesempatan kepada daerah untuk dapat memanfaatkan potensi daerah serta dapat mendekatkan birokrasi dengan masyarakat melalui rumusan-rumusan kebijakan yang diinginkan masyarakat. Dalam kaitan dengan hal tersebut maka H. Djoko Sudantoko (2003) menyatakan otonomi Muslim adalah Staf Pemerintah Kota Medan Burhanuddin Harahap & Kariono adalah Dosen MSP SPs USU
70
harus dilihat dalam bingkai yang positif dan akseleratif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan pelayanan publik yang lebih prima. Kemampuan anggaran masih tetap dapat dinilai sebagai unsur yang sangat esensial tanpa meminggirkan persoalan sumber daya manusia dan perangkatnya, sehingga langkah-langkah strategis peningkatan PAD menjadi orientasi dalam pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemampuan sumber daya aparatur pemerintah sebagai mesin penggerak sistem pemerintahan sangat menentukan suatu sasaran yang ingin diharapkan. Tuntutan peningkatan sumber daya aparatur yang berkualitas semakin dirasakan, mengingat Kota Medan merupakan pintu gerbang aktivitas perdagangan dan distribusi yang berimplikasi pelayanan yang diberikan aparatur. Kondisi geografis yang cukup strategis tersebut mrupakan tantangan yang mau tidak mau dihadapi Pemerintah Kota Medan untuk mengikut sertakan masyarakat berperan aktif merumuskan pelayanan publik di mana selama ini cenderung sebagai abdi negara yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan dan pembangunan.
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Kompas (06 Juli 2003) terhadap birokrasi pemerintahan terdapat 4 (empat) gejala negatif yang melekat pada diri aparatur pemerintah yang menimbulkan ketidak percayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah antara lain: Pertama, para aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya cenderung berperilaku bukan sebagai abdi masyarakat. Kedua, setiap berhubungan dengan aparat tidak menyenangkan. Ketiga, setiap berurusan dengan aparat akan lebih cepat bila memberikan uang pelicin. Keempat, bahwa aparat selalu mempersulit urusan warga masyarakat. Hal tersebut senada dengan pernyataan Dr. Agus Dwiyanto (Kompas, 06 Juli 2003) yang menyebutkan bahwa bila masyarakat pengguna jasa pemerintah atau publik, menjadi sering tidak puas akan pelayanan yang diberkan oleh administrasi publik. Pola pikir dan cara bertindak birokrat yang cenderung pada pemuasan kebutuhan pimpinan dan organisasi merupakan warisan dari masa pemerintahan sebelumnya yang menjadikan birokrat sebagai mesin utama pembangunan dengan sentralisasi kekuasaan yang ketat, mengakibatkan birokrasi pemerintah tidak dapat berinovasi dan responsif terhadap gejala-gejala yang mengakibatkan munculnya sikap apatis dari kalangan masyarakat. Kinerja birokrasi yang paling banyak mendapat sorotan dari masyarakat adalah rendahnya kualitas pelayanan umum yang merupakan kondisi sangat mengkhawatirkan yang dilakukan aparatur pemerintah khususnya pegawai negeri sipil terhadap masyarakat. Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas (Tgl 2 dan 3 Juli 2003) di 10 (sepuluh) kota besar di Indonesia untuk melihat kinerja Birokrasi (Pegawai Negeri Sipil) di mata masyarakat di mana sebanyak 75 persen masyarakat menyatakan bahwa pelayanan publik yang diberikan birokrat masih buruk. Selain itu dari dalam hal produktivitas profesionalisme kerja pun masih nilai rendah, hal ini muncul dari pengungkapan lebih dari setengah (53 persen) responden yang ktika berurusan dengan pelayanan birokrat selalu memakan waktu yang lama bahkan berbelit-belit sekalipun urusan yang sangat sederhana. Akibatnya tidak kurang dari 65 persen responden mengaku tidak puas atas pelayan yang diberikan oleh birokrat (Pegawai Negeri Sipil).
Sesuai dengan bunyi UU No. 25 Tahun 1999, tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Psl 101 butir b) menyatakan bahwa Pelayanan Masyarakat menuju masyarakat madani bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Dengan rendahnya mutu kualitas pelayanan masyarakat yang dilakukan aparat pemerintah selama ini menjadi tantangan yang sangat krusial untuk sesegera mungkin dilakukan perubahan. Dalam kondisi seperti ini sudah selayaknya Pemerintah Kota Medan khususnya di Kecamatan harus semakin responsif terhadap perubahan lingkungan, akan tetapi bila kondisi selama ini masih terkesan seakan-akan bahwa tindakan–tindakan responsif untuk menyesuaikan dengan perubahan itu sering sulit dilakukan dan cenderung lamban dan tidak professional. Fenomena dimaksud juga terjadi di Kota Medan ditandai banyaknya problem yang dihadapi masyarakat bila berurusan dengan birokrat dalam pengurusan segala bentuk suratsurat yang menyangkut dengan kependudukan seperti akte kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, akte perkawinan dan lain sebagainya. Dari beberapa penjelasan diatas maka dirasakan perlu untuk melakukan suatu kajian penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan”. Gambaran belum optimalnya kinerja birokrasi Indonesia, tidak hanya terjadi dalam birokrasi pusat, gejala serupa dalam sekala lebih tinggi dan pada dimensi yang bervariasi juga dialami birokrasi di daerah, tanpa terkecuali pemerintah Kota Medan khususnya di Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan yang menjadi subjek dalam penelitian ini masih tersimpan potensi-potensi permasalahan. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat dan persepsi dari Pegawai Dinas Kependudukan Kota Medan terhadap kualitas pelayanan publik pada Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta manfaat kepada Pemerintah Kota Medan terutama bagi organisasi Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan yang bertugas sebagai pusat pelayanan masyarakat khususnya dibidang kependudukan, dalam meningkatkan manajemen pelayanan publik dimasa depan.
71
Muslim, dkk., Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik…
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif berusaha mendiskripsikan bentuk bentuk Persepsi Masyarakat tehadap pelayanan publik pada Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan. Penelitian ini berlokasi di Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan yang merupakan salah satu ujung tombak pelayanan yang sangat mendasar dan langsung berhadapan dengan masyarakat. Populasi diambil dari seluruh pegawai Dinas Kependudukan Kota Medan yang berjumlah 80 orang dan yang diambil sebagai sample sebanyak 63 orang, sedangkan untuk sample masyarakat digunakan sampling aksidental sebanyak 100 orang yang sedang mendapat pelayanan di Kantor Dinas tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain Penelitian Kepustakaan, Penelitian Lapangan yakni dengan wawancara melalui penyebaran angket atau kuessioner. Datadata yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa kualitatif dengan menyajikan data hasil kuessioner, membuat table frekuensi sehingga dapat mendeskripsikan hasil sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan pendekatan teori persepsi, hal ini sesuai dengan tujuan ingin mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelayanan di Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan. Sejalan dengan hal tersebut peneliti beranggapan teori persepsi sangat relevan untuk digunakan dalam penelitian ini agar mengetahui sejauh mana tentang kualitas pelayanan yang baik dari segi sarana dan sumber daya manusia yang melakukan pelayanan. Persepsi pada dasarnya merupakan suatu proses yang terjadi dalam pengamatan seseorang terhadap orang lain. Persepsi juga dapat diartikan proses pemahaman terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh orang lain yang sedang saling komunikasi, berhubungan atau bekerja sama, jadi setiap orang tidak terlepas dari proses persepsi (Wijaya dalam Wagito, 1985:35). Sedangkan menurut Wirawan (1991: 37) menyebutkan bahwa persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan, senada dengan Soejono Soekanto (1985:89) menyatakan bahwa persepsi adalah
72
kesadaran yang tidak dapat ditafsirkan yang timbul dari stimulasi, dan persepsi itu lahir karena adanya rangsangan yang menimbulkan rangsangan yang tidak dapat ditaksirkan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dijabarkan bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu obyek sangat terkait dengan unsur tersebut di atas. Persepsi seseorang terhadap sesuatu obyek pemahaman akan dipengaruhi juga oleh sejauh mana pemahamannya terhadap obyek tersebut. Seseorang yang menilai, sikap, kepribadian. motif-motif, kepentingan-kepentingan, pengalaman dan harapan-harapan yang negatif akan kecenderungan untuk berpersepsi secara negatif pula, sedangkan faktor kondisi yang mempengaruhi suatu persepsi pada dasarnya adalah keadaan atau kondisi yang terjadi disekitar atau pada saat berlangsungnya proses seperti tersebut. Begitu juga dengan persepsi masyarakat terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Dinas Kependudukan Kota Medan. Pengertian Kualitas mengandung banyak penafsiran dan arti, J. Supranto (2001:228) mendefinisikan bahwa kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Sejalan dengan uraian tersebut, maka pengertian Pelayanan menurut Moenir (2000:27) adalah Serangkaian kegiatan, karena itu ia merupakan proses. Sebagai proses, pelayanan langsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Dari definisi yang telah diuraikan, maka ditarik kesimpulan bahwa Kualitas Pelayanan merupakan interaksi dinamis yang merupakan serangkaian proses meliputi pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dilayani secara berkesinambungan. Dinas Kependudukan Kota Medan sebagai Lembaga/Organisasi Pemerintah yang mempunyai tugas memberikan pelayanan proses administrasi kepada masyarakat harus memberikan pelayanan yang berkualitas (service quality) kepada masyarakat sebagai pelanggan. Salah satu semangat reformasi adalah menghilangkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat, semangat untuk meningkatkan sektor pelayanan kepada publik. Jadi, kalau pada era reformasi sekarang ini ternyata pelayanan kepada publik masih juga belum tergarap dengan baik, itu berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai reformasi. Itulah sebabnya, lembaga pelayanan
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
publik yang terpilih memegang mandat untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat dan keberhasilan mereka adalah untuk mendekatkan harapan dan kenyataan tersebut. Persoalannya adalah persepsi dan harapan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas sering kali diasumsikan berdasarkan keyakinan konsumen tentang apa yang dirasakan. Kesenjangan pelayanan yang dilakukan para birokrat kepada masyarakat sebagai pelanggan menyebabkan penilaian yang negatif terhadap aparatur pemerintah. Menurut pendapat Fred Luthans (dalam Moenir 2000:221) terdapat jenis pelayanan, yang terdiri dari: 1. Layanan fisik dan sifatnya pribadi sebagai manusia. 2. Layanan administratif yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi (organisasi massa) organisasi negara. Perbedaan, harapan dan persepsi masyarakat yang dilayani birokrasi pemerintah selaku pemberi layanan merupakan permasalahan krusial yang mengakibatkan terjadinya pelayanan tidak berkualitas, efektivitas dan inefisien. Dari beberapa asumsi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Kualitas Pelayanan adalah merupakan usaha sadar yang dilakukan organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dengan penilaian jika kenyataan melebihi apa yang diharapkan pelanggan (masyarakat), yaitu tercapainya kepuasan dalam menerimanya hal ini merupakan suatu kualitas pelayanan publik. Banyak faktor yang berperan dan dapat mempengaruhi pelayanan yang berkualitas, baik bila ditinjau dari aspek Responsivitas, Akuntabilitas, Efisiensi dan Orientasi pelayanan, Keterbukaan, Wewenang dan Tanggung jawab serta moral dan etika. Menurut J. Supranto (2001:10) paling tidak ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam memberikan pelayanan: (1.) Karyawan harus memberikan pelayanan dengan cepat. (2.) Karyawan harus berada ditempat kerja sewaktu dibutuhkan. (3.) Perilaku karyawan dalam memberikan pelayanan harus menyenangkan. Berkenaan dengan pendapat tersebut maka untuk meningkatkan kualitas pelayanan,
persepsi masyarakat merupakan dasar utama usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Budaya pelayanan merupakan faktor penghambat kualitas pelayanan, menurut Yamit (2001:32), faktor-faktor tersebut adalah: 1.) Petugas yang tidak ada ditempat pada waktu jam kerja sehingga sulit dihubungi 2.) Banyak interest pribadi 3.) Budaya tip 4.) Aturan main yang terbuka dengan jelas 5.) Disiplin kerja yang sangat kurang dan tepat waktu 6.) Ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81 tahun 1993 dalam buku Manajemen Mutu Terpadu terdapat 8 (delapan) unsur kualitas pelayanan yaitu Kesederhanaan, Kejelasan/Kepastian, Keamanan, Keterbukaan, Efisiensi, Ekonomis, Keadilan, Ketepatan Waktu. Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa pelayanan publik yang seharusnya diperoleh menjadi beban publik. Masyarakat memang tidak dapat berbuat banyak selain menerimanya dengan alasan yang tidak logis. Perlakuan yang diberikan oleh pihak pelayanan publik seringkali membuat kesal masyarakat, masyarakat diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, sering dalam keadaan terpaksa menerima perlakuan tersebut karena masyarakat memang sangat membutuhkannya, padahal juga hal masyarakat untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Pelayanan dari pemerintah daerah dan DPRD juga merupakan satu bentuk Pelayanan Publik. Sekarang tinggal sikap dari pemerintah daerah dan DPRD, bagaimana political will-nya. Apakah membiarkan masyarakat untuk selalu berada dipihak dirugikan atau sebaliknya. Excellent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organsisasi di pemerintah daerah. Dunia usaha menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah dan murah serta tarif yang jelas dan pasti. Pemerintah perlu menyusun standar pelayanan bagi setiap institusi (dinas) di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh lembaga-lembaga pelayanan publik, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat.
73
Muslim, dkk., Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik…
Salah satu karakteristik yang bisa dicatat dari tiga puluh tahun berkuasanya orde baru adalah kecenderungan munculnya struktur birokrasi yang impoten. Dalam struktur politik yang inpotent tersebut, birokrasi memegang semua kewenangan yang mungkin ada dalam proses politik maupun ekonomi. Hampir semua sektor kehidupan masyarakat telah terjamah oleh administrasi, pengendalian dan pengakuan birokrasi. Wajar saja kemudian terdapat banyak aktivitas masyarakat yang dikendalikan oleh birokrasi dalam berbagai bentuk perizinan. Semua individu dalam masyarakat membutuhkan berbagai macam bentuk pelayanan perizinan (publik) dari birokrasi pemerintah. Penampilan birokrasi yang seolah tanpa batas tersebut dimungkinkan karena birokrasi mengendalikan hampir semua sumber daya negara. Birokrasi mempunyai kekuasaan tanpa tanding untuk memonopoli akumulasi daya negara. Birokrasi mempunyai kekuasaan tanpa tanding untuk memonopoli akumulasi dan pengalokasian sumber daya ekonomi kearah yang mereka tetapkan sendiri. Sehingga, tanpa adanya aktor lain diluar negara yang mengimbangi, birokrasi bisa memperlihatkan mekanisme kerjanya yang cenderung bersifat diregiste, yaitu menekankan kendali pemerintahan dalam proses sosial-ekonomi. Birokrasi melalui lembaga perizinan, pelayanan publik dan peraturan pemerintah, sangat menentukan kehidupan kelaskelas sosial di luar negara. Dalam berbagai tingkatan, birokratisme pelayanan publik menimbulkan implikasi yang panjang berupa menurunnya posisi tawar menawar masyarakat berhadapan dengan birokrasi. Sudah menjadi kenyataan bahwa berbagai kalangan masyarakat mengalami hambatan yang berarti dari aparat birokrasi dalam kebutuhan pelayanan publik. Hambatanhambatan tersebut meliputi tidak transparannya prosedur dan tata cara perizinan termasuk jenis izin yang harus dimiliki, persyaratan yang memberatkan dan berubah-ubah, waktu pelayanan yang berbelit-belit serta biaya pelayanan yang tidak pasti. Sudah jelas juga terlihat dalam tataran empiris bahwa biroktatisme pelayanan publik juga menimbulkan semakin leluasanya praktekpraktek klientelisme dan pemburu rente (rent seekers) antara sektor bisnis daerah dengan beberapa segmentasi masyarakat, khususnya dari sektor bisnis yang bermodal besar. Ini terlihat
74
jelas dari kecenderungan yang terjadi di daerah di mana pengusaha yang mendapatkan kemudahan dan fasilitas adalah mereka yang menjalin patronase politik dengan birokrasi. Kedekatan personal dengan orang dalam adalah mereka yang menjalin hubungan patronase dengan birokrasi. Kedekatan dengan orang dalam dianggap jaminan untuk mendapatkan kemudahan dalam pelayanan publik maupun distribusi sumber daya ekonomi. Semakin pentingnya kedekatan personal dalam hubungan antara birokrasi dengan kalangan bisnis, tentu saja bermuara pada timbulnya politik penyingkiran (political exclution) secara sistematis bagi berbagai variasi segmentasi masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan aparat birokrasi atau yang tidak sanggup membayar biaya-biaya birokrasi. Diluar itu, tidak transparannya informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan peraturan serta rumitnya aturan-aturan yang dikeluarkan oleh birokrasi bermuara pada munculnya praktekpraktek percaloan dalam pelayanan publik. Bahkan sebagian besar broker ini berasal dari aparat birokrasi sendiri atau setidaknya orang yang mempunyai kedekatan personal dengan orang dalam lembaga birokrasi. Berkembangnya praktek pemburu rente ini memberikan kontribusi terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi dalam masyarakat. Diskursus mengenai reformasi birokrasi dan pelayanan publik menyangkut dua level pembicaraan; pertama, bagaimana mengurangi peran monopolistik negara yang terlalu besar dalam pelayanan publik. Dalam wacana ini termasuk penghapusan monopolisasi negara dengan membuka kesempatan pada lembagalembaga pelayanan publik diluar negara atau bahkan privatisasi pelayanan publik, di mana pelayanan publik diserahkan sepenuhnya pada swasta. Kedua, bagaimana merubah karakter birokrasi dari kecenderungan inpotent menjadi berorientasi publik. Hal ini memproduksi wacana reinventing government, good governance dan sebagainya. Namun demikian, untuk mewujudkan perubahan pada dua level tersebut akan selalu berhubungan dengan konteks perkembangan ekonomi masyarakat. Ada sejumlah hipotesa yang bisa dirangkai untuk menjelaskan korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi dengan pelayanan publik yang ada disebuah daerah.
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
Hipotesa pertama adalah sebagai berikut, dalam masyarakat yang tingkat kemampuan ekonominya rendah maka pelayanan publik yang tersedia sebagian besar dilakukan oleh negara dan atau lembaga-lembaga non profit. Sebaliknya, dalam masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi yang semakin meningkat diikuti dengan munculnya jenis pelayanan publik yang diselenggarakan oleh swasta. Dengan demikian, besaran intervensi pemerintah dalam pelayanan publik akan ditentukan oleh tingkat kehidupan masyarakatnya. Sehingga berkurangnya intervensi pemerintah dalam pelayanan publik akan paralel dengan semakin meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat.. Dalam era reformasi menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan publik. Salah satu semangat reformasi adalah menghilangkan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat, semangat untuk meningkatkan sektor pelayanan kepada publik. Jadi, kalau pada era reformasi sekarang ini ternyata pelayanan kepada publik masih juga belum tergarap dengan baik, itu berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai reformasi. Itulah sebabnya, lembaga pelayanan publik yang terpilih memegang mandat untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Keberhasilan mereka adalah untuk mendekatkan harapan dan kenyataan tersebut. Seperti yang ada di kota-kota besar lainnya di Indonesia, umumnya penyediaan pelayanan publik dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, baik melalui instansi/unit-unit kerjanya, maupun melalui Badan-badan Usaha milik Pemerintah Daerah. Pelayanan di sektor publik ini umumnya menjadi monopoli Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dilain pihak Privatisasi di sektor ini masih sangat terbatas. Profesionalisme aparat dan citra pelayanan publik adalah dua hal yang saling berkaitan. Meningkatkan profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran sesuai bidang tugas yang diemban, aparat sudah seharusnya selalu berusaha meningkatkan kualitas diri yang menyangkut, keahlian, memahami hakekat dan tanggung jawab profesi. Pelayanan publik yang profesional artinya bercirikan adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan. Untuk mencapai pelayanan publik yang profesional maka perlu memahami prinsipprinsip pelayanan publik yang baik, yaitu kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,
akurasi serta kenyamanan. Prinsip pelayanan publik di atas harus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2003, pemerintahan telah mencanangkan sebagai tahun investasi. Disusul pada 2 september 2003 dan 4 september 2003 sebagai bulan peningkatan pelayanan publik dan hari pelanggan. Merujuk dari kegiatan pencanangan tersebut diharapkan dapat mengarahkan kepada satu tujuan yaitu bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang prima sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Berbagai sorotan dan keluhan masyarakat serta dunia usaha terhadap kelemahan pelayanan publik, khususnya yang menyangkut prosedur pelayanan, seperti kurang efisien, kurang transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan tidak konsisten. Di samping itu masih adanya praktek percaloan, pungutan yang tidak resmi yang mengarah pada KKN. Hal tersebut harus secepatnya diatasi, karena persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik berubah drastis. Pelayanan yang baik merupakan hak penuh masyarakat yang harus dijawab dengan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan yang prima. Aparatur pemerintah berada pada posisi yang penting tetapi disisi lain berada pada posisi yang sulit. Karena aparatur pelayanan masyarakat merupakan ujung tombak yang langsung berhadapan dengan masyarakat yang tinggi tuntutannya, serta selalu mendapatkan tudingan negatif dari masyarakat seperti kurang mampu memberikan pelayanan, lamban dan kurang berinisiatif. Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Dunia usaha menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah dan murah serta tarif yang jelas dan pasti. Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi (dinas) di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, utamanya dinas yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, utamanya dinas yang mengeluarkan perizinan bagi pelaku bisnis. Perizinan berbagai sektor usaha harus didesain sedemikian rupa agar pengusaha tidak membutuhkan waktu terlalu lama hanya untuk mengurus perizinan. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh lembaga-lembaga pelayanan publik, serta perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga pelayanan publik, serta perlu
75
Muslim, dkk., Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik…
dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada hasil penelitian tentang kualitas pelayanan yang perlu dijadikan pedoman oleh aparat Pemda dalam melayani masyarakat. Di daerah Studi Internasional menyatakan bahwa 3 dari 10 pelanggan akan bicara secara terbuka kepada umum mengenai perlakuan buruk yang mereka terima. Pada akhirnya 6 dari 10 pelanggan akan mengkonsumsi barang atau jasa alternatif. Dengan demikian pelayanan memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga loyalitas komsumen, demikian pula halnya pelayanan yang diberikan Pemda kepada para pelaku bisnis. Bila merasa tidak mendapat pelayanan yang memuaskan maka mereka akan dengan segera mencari daerah lain yang lebih kompetitif untuk memindahkan usahanya. Munir (2000) dalam tulisannya yang berjudul ”Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia” lebih rinci mengidentifikasikan adanya lima faktor yang dianggap mempunyai bobot pengaruh relatif yang sama besar untuk mendukung pelayanan umum organisasiorganisasi kedinasan, yaitu: 1. faktor kesadaran yang menjiwai perilaku yang memadu kehendak dalam lingkungan organisasi kerja yang tidak menganggap sepele, melayani dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin. 2. faktor aturan dalam arti ketaatan dan penggunaan kewenangan bagi penuaian hak, kewajiban dan tanggung jawab. Adanya pengetahuan dan pengalaman yang memadai serta kemampuan berbahasa yang baik dengan pemahaman pelaksanaan tugas yang cukup. Adanya kedisiplinan pelaksanaan yang dilengkapi dengan kepatuhan, ketertiban dan disiplin (waktu dan kerja), keinsyafan dan bertindak adil. 3. faktor organisasi dalam arti adanya organisasi pelayanan yang bersistem simbiotik yang mengalir ke semua komponen sibernetik, metodik dan prosedural. Pilihan prosedur dan metoda sesuai dengan uraian pekerjaan tugas yang menyangkut standar, waktu, alat yang digunakan, bahan dan kondisi pekerjaan, yang dilengkapi dengan mekanisme prosedural yang dibuat atas dasar penelitian/kepentingan lingkungan. Demikian pula akan dipilih metoda untuk penyelesaian pekerjaan tahap demi tahap.
76
4. faktor pendapatan yang merupakan imbalan bagi para fungsionaris yang diukur layak dan patut. 5. faktor sarana pelayanan yang menyangkut segala peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas utama dan pembantu pelaksanaan pekerjaan. Dinas Kependudukan Kota Medan sebagai Lembaga/Organisasi Pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan proses administrasi kepada masyarakat, memiliki Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor: 60 tahun 2001.Secara peraturan terlihat jelas bahwa tatalaksana keorganisasian sudah diatur didalamnya. Kedudukan Dinas Kependudukan dinyatakan sebagai unsur pelaksanaan Pemerintah Kota Medan dalam bidang kependudukan yang dipimpin oleh seorang dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Kondisi tersebut memperlihatkan posisi Dinas Kependudukan yang merupakan bagian dari jajaran Pemerintah Kota Medan. Sebagai salah satu unsur dari jajaran Pemerintah Kota Medan tentunya akan dibebankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Peraturan Daerah Nomor: 60 tahun 2001 menerangkan bahwa tugas pokok Dinas Kependudukan adalah melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang kependudukan dan melaksanakan tugas pembantu sesuai dengan bidang tugasnya. yang diterjemahkan dalam fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis di bidang kependudukan dan pencatatan penduduk. b. Menyelenggarakan pelayanan umum dibidang kependudukan. c. Melaksanakan seluruh kewenangan yang ada sesuai dengan tugasnya. d. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah. Dari tugas pokok dan fungsi tersebut terlihat sangat jelas bahwa fungsi pelayanan publik harus dijalankan oleh Dinas Kependudukan Kota Medan. Apalagi bila dilihat dari tugas pokok dan fungsi yang lebih spesifik pada tiap bagian di Dinas Kependudukan Kota Medan, maka makin terlihat jelas fungsi pelayanan publik tersebut.
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
Aparatur pelayanan pada Dinas Kependudukan terdiri dari Kepala Dinas, Kepala Bagian, Kepala Sub Dinas, Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian, dan staf, di mana golongan pegawai di Dinas Kependudukan Kota Medan terdiri dari: 1. Golongan IV/b berjumlah 1 (satu) orang, 2. Golongan III/d berjumlah 7 (tujuh) orang, 3. Golongan III/c berjumlah 9 (sembilan) orang, 4. Golongan III/b berjumlah 20 (dua puluh), 5. Golongan III/a berjumlah 13 (tiga belas) orang, Sedangkan untuk golongan II terdiri dari: 1. Golongan II/d berjumlah 12 (dua belas) orang, 2. Golongan II/c 12 (dua belas) orang, 3. Golongan II/b 6(enam )orang. Adapun jumlah pegawai berdasarkan pendidikan pendidikan di Dinas Kependudukan adalah: 1. S.1 berjumlah 33 (tiga puluh tiga) orang, 2. D.3 berjumlah 3 (tiga) oran, 3. SLTA berjumlah 37 (tiga puluh tujuh) orang, 4. sedangkan SLTP berjumlah 7 (tujuh) orang. Dari total 80 (delapan puluh) orang pegawai hanya 23 orang yang pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pendidikan pegawai melalui pelatihan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan, yang pada dasarnya lebih mengutamakan penampilan, kemauan dan prestasi kerja dan berorientasi pada pendidikan formal dan jabatan. Bila melihat informasi dari segi kepangkatan, pendidikan formal dan pendidikan non formal maka akan terlihat bahwa sumber daya yang dimiliki dalam tingkat yang biasa saja. Artinya dengan kondisi seperti di atas akan sangat sulit bagi Dinas Kependudukan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, sehingga sangat dirasakan perlu memperbanyak pelatihan dan menyempurnakan skill dalam bidang pelayanan publik sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah digariskan. Sementara itu tata aturan dan tata cara untuk mendapatkan pelayanan telah diatur dalam tata cara dan sistematika yang sudah baku, hanya saja dari berbagai informasi yang diperoleh tata cara tersebut secara teknis masih banyak menyimpang dalam pelaksanaannya. Image buruk pelayanan publik biasanya muncul dalam proses pelaksanaan teknis dilapangan. Secara umum peraturan dan tata cara yang disusun sudah
baik tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak yang tidak sesuai. Selanjutnya dalam berbagai tingkatan, birokratisme pelayanan publik menimbulkan implikasi yang panjang berupa menurunnya posisi tawar masyarakat berhadapan dengan birokrasi. Kenyataan bahwa berbagai kalangan masyarakat mengalami hambatan yang berarti dari aparat birokrasi dalam kebutuhan pelayanan publik. Hambatan-hambatan tersebut meliputi tidak transparannya prosedur dan tata cara perizinan termasuk jenis izin yang harus dimiliki, persyarakat yang memberatkan dan berubahubah, waktu pelayanan yang berbelit-belit, serta biaya pelayanan yang tidak pasti. Dalam tataran empiris birokratisme pelayanan publik juga menimbulkan semakin leluasanya praktek-praktek klientelisme dan pemburu rente (rent seekers) antara birokrasi daerah dengan beberapa segmentasi masyarakat, khususnya dari sektor bisnis yang bermodal besar. Ini terlihat jelas dari kecenderungan yang terjadi di daerah di mana pengusaha yang mendapatkan kemudahan dan fasilitas adalah mereka yang menjalin patronase politik dengan birokrasi. Kedekatan personal dengan orang dalam adalah mereka yang menjalin hubungan patronase politik dengan birokrasi. Kedekatan dengan orang dalam dianggap jaminan yang pasti untuk mendapatkan kemudahan dalam pelayanan publik maupun distribusi sumber daya ekonomi. Semakin pentingnya kedekatan personal dalam hubungan antara birokrasi dengan kalangan bisnis, tentu saja bermuara pada timbulnya politik penyingkiran (political exclution) secara sistematis bagi berbagai variasi segmentasi masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan aparat birokrasi atau yang tidak sanggup membayar biaya-biaya birokrasi. Diluar itu, tidak transparannya informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan peraturan serta rumitnya aturan-aturan yang dikeluarkan oleh birokrasi bermuara pada munculnya praktekpraktek percaloan dalam pelayanan publik. Bahkan sebagian besar broker ini berasal dari aparat birokrasi sendiri atau setidaknya orang yang mempunyai kedekatan personal dengan orang dalam lembaga brokrasi. Berkembangbiaknya praktek pemburu rente ini memberikan kontribusi terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi dalam masyarakat.
77
Muslim, dkk., Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik…
Kualitas Pelayanan publik di Kantor Dinas Kependudukan dapat dijelaskan melalui aspek-aspek yang mendukung terciptanya pelayanan publik yang baik. Dari pandangan pegawai aspek kesederhanaan terlihat biasa-biasa saja sehingga perlu diperhatikan peningkatan untuk mencapai tingkat baik. Pandangan masyarakat malah lebih menunjukkan kecenderungan pada tingkat buruk. Dari hal diatas terlihat jelas bahwa bila pegawai merasa biasa-biasa saja, maka masyarakat akan menilai buruk. Hubungan tersebut memberikan pelajaran bahwa pegawai harus lebih meningkatkan aspek kesederhanaan dalam pelayanan publik. Aspek kejelasan cenderung lebih baik dari aspek kesederhanaan bila dipandang dari sudut pandang pegawai. Demikian juga dari sudut pandang masyarakat, di mana aspek kejelasan ini cenderung lebih baik. Sangat dimungkinkan aspek kejelasan ini ditunjang oleh peraturan yang baku dan informasi yang memadai di Kantor Dinas Kependudukan Kota Medan. Sementara itu aspek-aspek lainnya seperti aspek kepastian, keterbukaan, keadilan, ketepatan waktu, efektivitas dan efesiensi fenomenanya lebih cenderung seperti pada aspek kesederhanaan. Artinya adalah aspek-aspek tersebut dalam pandangan masyarakat belum maksimal dirasakan. KESIMPULAN Dari uraian data dan analisis dapatlah ditarik kesimpulan yang merupakan hasil dari penelitian ini diantaranya adalah Pelayanan publik yang tecermin dalam aspek kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keterbukaan, keadilan, ketepatan waktu, efektivitas dan efisiensi menurut jawaban dan pandangan responden masyarakat, mempunyai kecenderungan pada tingkat buruk. Artinya dari sudut pandang masyarakat pelayanan publik yang diberikan tidak memenuhi harapan masyarakat. Sedangkan menurut jawaban dan pandangan responden pegawai, pelayanan publik mempunyai kecenderungan pada tingkat biasa-biasa saja. Artinya dari sudut pandang pegawai, pelayanan publik yang diberikan tidak pada tataran buruk dan tidak pada tingkat baik. Hal ini menunjukkan kurang maksimalnya pelayanan yang diberikan oleh pegawai sebagai pelayan publik.
78
Keluhan-keluhan yang dikemukakan masyarakat adalah seputar pada petugas tidak berada di tempat saat jam kerja, budaya tips, tidak tepat waktu/terlambat, ketidak ramahan dan hasil yang diinginkan tidak sesuai. Selanjutnya ada rasa pesimistis dari masyarakat mengenai kondisi pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Kantor Dinas Kependudukan. Masyarakat berpendapat kualitas pelayanan tidak akan meningkat bila kondisi Dinas Kependudukan masih tetap seperti saat ini. Pelayanan lembaga pemerintah saat ini semestinya perlu lebih diorientasikan kepada patokan atau kaidah akuntabilitas publik secara langsung dengan cara penyajian manajemen kualitas pelayanan yang terintegrasi. Hal ini mencoba menguraikan pemikiran yang bersifat asumtif dan hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik akuntabilitas publik, semakin baik pemerintahan. Realitas pemikiran hipotesis tersebut amat tergantung pada kualitas dan perilaku birokrasi yang mampu mengatasi ketumpulan indera khususnya dalam membaca tuntutan lingkungan atau publiknya. Sebagian masyarakat yang merasa kurang mendapat pelayanan sebagaimana mestinya, tidak dapat menyampaikan keluhan, mendapatkan tanggapan dan perbaikan pelayanan sebagaimana mestinya oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah seharusnya menyadari bahwa keluhan masyarakat atas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah, merupakan salah satu tolak ukur penting untuk mengukur efisiensi dan efektivitas pelayanan pemerintah. Keluhan dari masyarakat terhadap kualitas dan kuantitas pelayanan publik belum terlembagakan dengan baik, khususnya mekanisme penyampaian keluhan dan penanganannya. Sebagian besar keluhan masyarakat yang masuk, baik melalui media cetak, elektronik maupun media cetak lainnya tidak ditindaklanjuti. Kalaupun akan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah, mekanisme penanganannya belum tersedia. SARAN Dari kesimpulan di atas, maka peneliti mengemukakan saran-saran yaitu perlu kiranya Dinas Kependudukan Kota Medan menempatkan satu orang staf di setiap Kecamatan untuk menerima berkas-berkas pelayanan kependudukan untuk memudahkan masyarakat
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
mengurus surat-surat yang menyangkut dengan kependudukan dan mengurangu birokrasi yang berbelit-belit setelah selesai diserahkan juga di Kantor Camat. Pembayaran yang menyangkut dengan retribusi kependudukan sudah saatnya
dipercayakan pada Bank dan dengan bukti pembayaran yang diberikan oleh Bank masyarakat tidak lagi direpotkan dengan adanya dana tambahan dan menghindarkan adanya budaya tips masyarkat kepada pegawai.
79
Muslim, dkk., Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik…
DAFTAR PUSTAKA
Moenir, H.A.S., 2000. Managemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara Jakarta. Suprapto, J., 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Rineka Cipta Jakarta. Yamit, Zuliana. 2001. Management Kualitas Produk dan Jasa Ekonesia, Yogyakarta. Wagito, Bimo. 1985. Psikologi Suatu Pengantar, Andi Offset, Jakarta. Wirawan, Sarlito. 1991. Teori-teori Psikolagi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta. Peraturan Daerah No. 60 Tahun 2001 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan Kota Medan. Harian Kompas, tanggal 2 dan 3 Juli 2003. Harian Kompas tanggal 6 Juli 2003.
80