1 Sibling Rivalry: Konflik Sosial pada Dyad Perempuan dan Dyad Laki-laki (Studi Sosiologis terhadap Dua Keluarga di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah) Sharfina Milla Atsari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Kampus UI Depok16424 Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Keluarga sebagai miniatur masyarakat juga dikenal sebagai lahan utama terjadinya konflik. Kakakadik yang idealnya akrab justru dapat mengalami persaingan dan konflik berupa sibling rivalry yang berkepanjangan. Penelitian ini melihat pola relasi dan konflik sosial pada kakak-adik dalam keluarga lewat teori keluarga dalam perspektif konflik milik Klein & White. Penelitian ini fokus pada keluarga dengan dyad berjenis kelamin sama dan berjarak usia relatif dekat (3 tahun). Metode penelitian ini adalah metode kualitatif jenis studi kasus dengan pengumpulan data lewat wawancara mendalam.Temuan utama penelitian ini adalah sibling rivalry pada kasus sudah mengarah pada relasi disosiatif, bukan asosiatif. persaingan yang ada tidak sekedar menimbulkan perkelahian sesaat, namun terbawa pada berbagai aspek sehingga menimbulkan relasi yang disosiatif pada kakak-adik. Relasi tersebut dibangun dari relasi orangtua-anak yang intens dengan adanya preferensi dan kekerasan pada keluarga. Penelitian ini menyarankan kakak-adik dan orangtua untuk melakukan kontrol terhadap konflik yang terjadi serta melakukan manajemen konflik untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh.
Sibling Rivalry: Social Conflict on Female Dyad and Male Dyad (Sociological Study of Two Families in Semarang Regency, Central Java) Abstract Family as a miniature of the society is also known as the main field of conflict to occur. The idea of siblings who were supposed to be close apparently also prone to rivalry and conflict in the form of continuous sibling rivalry. This research describes social conflict which occurs in siblings in the family by mainly using Klein & White‘s family theories in conflict perspective. This research focuses on family with same-sex dyads with relatively close age range. This research uses qualitative methods for case study and uses in-depth interview for data collecting. The
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
2 main findings of this research are sibling rivalry between dyads are mainly dissociative. Such relations were based on the occurance of social preference in parent-child relation and violence in the family. This research suggest siblings and parents to perform social control and conflict management to resolve conflicts.
Family, sibling rivalry, social conflict, relation pattern in the family, conflict, structure, negotiation, consensus, dissociative.
Pendahuluan There is a fateful quality of perpetuity about sibling relationships—our brothers and sisters will always be our contemporaries; we can’t ever quite leave them. However, convenient it would be, we can’t pretend to consign them to irrelevancy. (Markowitz, 1994, p.69 dalam Monahan, 2010). Kutipan tersebut bercerita mengenai hubungan kakak-adik (sibling relationship). Ada kesetiaan tanpa batas dalam hubungan kakak-adik. Saudara lakilaki dan saudara perempuan kita akan selalu bersama kita, baik kita menginginkannya ataupun tidak. Istilah sibling disini merujuk kepada kakak-adik kandung. Kakak dan adik adalah salah satu teman terlama yang bisa dimiliki seseorang dalam hidupnya. Berbeda dengan relasi seseorang dengan teman-temannya, relasi seseorang dengan kakak atau adiknya memilki dinamikanya sendiri. Hubungan antarsaudara kandung merupakan sebuah hubungan jangka panjang. Saudara kandung saling membagi hidup mereka, baik secara biologis (genetik) maupun secara sosial. Tinggal bersama sejak lahir, melalui berbagai fase kehidupan bersama, serta memiliki relasi seperti saudara namun juga seperti teman dekat menjadikan dinamika relasi pada sibling menarik untuk ditinjau lebih jauh. Namun demikian, pada kenyataannya relasi kakak-adik tidak selamanya diwarnai dengan keharmonisan. Meskipun konflik dalam relasi kakak-adik dianggap wajar terjadi, namun dalam kasus banyak keluarga kakak dan adik bisa memiliki relasi yang sangat tidak harmonis dan penuh konflik, bahkan sarat dengan kekerasan. Contohnya, seorang adik berusia 12 tahun menusuk kakaknya yang berusia 13 tahun karena memperebutkan siaran televisi yang akan mereka tonton. Penyebab pertengkaran tersebut adalah preferensi siaran televisi yang berbeda. Mulanya mereka hanya berbeda pendapat, namun setelah melalui perdebatan sengit sang kakak dianggap menang. Sang adik yang merasa tidak terima langsung pergi ke dapur untuk mengambil pisau sepanjang 23 sentimeter, kemudian tanpa basa-basi menusuk
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
3 sang kakak dengan pisau tersebut. Akibat tusukan tersebut, sang kakak berada dalam keadaan kritis (Hutapea, 2007). Contoh lain adalah ketika seorang kakak yang diduga merasa iri dan meusuk adiknya, karena sang adik diberikan biaya oleh orangtua untuk membeli sebuah sepeda motor (Suyono, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa persaingan dan ketegangan antara kakak-adik kandung sekalipun dapat berakhir bukan dengan penyelesaian, namun justru dengan kematian. Berdasarkan gambaran tersebut, penelitian ini tertarik melihat bagaimana gambaran dinamika sibling rivalry yang terjadi pada keluarga inti, khususnya keluarga caturwarga (yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, serta dua anak). Sibling rivalry yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya iklim persaingan atau kompetisi atau rasa ingin mengalahkan (ingin menang) yang terjadi, tumbuh, dan masih berlangsung secara intens di antara dua orang saudara kandung perempuan atau dua orang saudara kandung laki-laki dengan jarak usia relatif dekat, yaitu tiga tahun. Kakak-adik yang hanya terdiri dari dua orang dan berjenis kelamin sama yang menurut beberapa studi rentan terekspos terhadap terjadinya sibling rivalry. Sibling rivalry yang terjadi di antara kakak beradik, khususnya dyadic siblings (kakak-adik yang hanya berjumlah dua orang) biasanya berlangsung hampir seumur hidup, sulit diselesaikan, serta menimbulkan jarak diantara keduanya. Dari penjabaran tersebut, maka permasalahan yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimana gambaran persaingan (rivalry) dalam hubungan kakak-adik (siblings) pada kakak-adik yang tampak intens mengalami sibling rivalry, dimana rrelasi kakak-adik notabene merupakan hubungan persaudaran yang idealnya diasosiasikan dan disosialisasikan sebagai nilai-nilai keakraban, kehangatan dan keintiman layaknya keluarga. Penelitian ini ingin menggambarkan makna relasi interpersonal pada dyad kakak-adik, baik laki-laki maupun perempuan. Relasi antar anak yang notabene bagian dari keluarga, idealnya menjalankan fungsi-fungsi keluarga pula. Namun, pada kakak beradik yang berada dalam iklim persaingan (rivalrous sibling rivalry), peneliti berasumsi bahwa fungsi-fungsi tersebut tidak dijalankan, atau tidak sepenuhnya dijalankan. Walaupun berbagai penelitian-penelitian psikologi banyak melihat sibling rivalry banyak dipicu oleh pola asuh orangtua, penelitian ini ingin melihat apakah relasi-relasi lain dalam keluarga (tidak melulu parent-parent dan parentchild relationship) dapat memberikan gambaran lain dalam isu sibling rivalry pada dyad yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran pola relasi pada relasi kakak adik dalam kasus dyad kakak-adik perempuan dan dyad kakak-adik laki- laki dewasa muda. Kakak-adik yang dipilih berjarak usia relatif dekat (tiga tahun) dan memiliki jenis kelamin sama. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan kajian mengenai isu ini lewat
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
4 perspektif sosiologis, dimana studi mengenai isu ini masih dominan dikaji lewat perspektif psikologi, dengan beberapa kajian dari sisi demografi dan ekonomi.
Tinjauan Teoritis Beberapa studi yang meneliti mengenai isu sibling rivalry lebih banyak berupa penelitian-penelitian dengan perspektif psikologi. Masih sedikit penelitian yang meninjau dari aspek sosiologi. Sebagai contoh, penelitian Yati (2008) yang meninjau hubungan antara sibling rivalry dengan motivasi berprestasi pada anak, penelitian Ariani (2010) meninjau sibling rivalry pada remaja kembar identik dari persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua, penelitian Poortman dan Voorpostel (2010) yang meneliti mengenai parental divorce and sibling relationship,serta penelitian Elledge (2010) yang bertajuk ―Parents’ Strategies in Response to Sibling Conflict: Links to Sibling Relationship Quality and Children’s PeerReported Adjustment” lebih fokus kepada aspek-aspek psikologis yang menjadi sebab atau terkait dengan sibling rivalry, seperti motivasi berprestasi, pola asuh orangtua, perceraian orangtua, serta bagaimana orangtua dan anak mengatasi hal tersebut. Penelitian yang ada sangat kurang meninjau relasi antar anak itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang coba diteliti oleh Armando (2005), yang meninjau bahwa penelitian-penelitian yang sudah ada seringkali lebih fokus pada relasi orangtua dengan anak (parent-child relationship) dan relatif abai dalam melihat relasi antarsaudara kandung itu sendiri (child-child relationship). Studi yang dilakukan juga kurang melihat aspek sosiologis dari relasi anak itu sendiri. Penelitian Armado (2005) ini juga mengkritisi bahwa banyak penelitian sosiologi yang meneliti mengenai keluarga melihat keluarga sebagai institusi yang fungsi utamanya adalah fungsi sosialisasi dari orangtua ke anak, sehingga studi-studi yang muncul melihat bagaimana dampak perubahan struktur keluarga, ketersediaan sumber daya ekonomi, serta dinamika gender pada anak dan menjadi sering mengabaikan relasi keluarga. Penelitian Armando (2005) mendukung skripsi ini dalam melihat relasi antarsaudara kandung (sibling relationship) dari sisi relasi antar anak, bukan hanya relasi orangtua dengan anak saja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dimensi peer status rivalry, yaitu dimana saudara kandung saling bersaing secara intens terutama pada hal status. Kakak dan adik ternyata juga berkompetisi untuk posisi dan status mereka di dunia sosial masing-masing. Penelitian Armando (2005) menjadi salah satu dasar penelitian ini untuk melihat keluarga lewat tiga level relasi dalam keluarga keluarga: relasi orangtua, relasi orangtua dengan anak, serta relasi kakak-adik itu sendiri, namun lebih fokus kepada bagaimana relasi kakak-adik dibangun dan berakar dari relasi orangtua serta relasi orangtua dengan anak. Selain itu, penelitian Armando
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
5 (2005) juga digunakan untuk melihat bagaimana status dari dyad kakak beradik—selain dalam keluarga, juga status mereka di luar rumah, seperti di lingkungan sekolah atau pertemanan, dan dunia sosial yang lebih luas. Berbeda dengan Armando, penelitian ini melihat fokus kepada relasi kakak-adik tanpa melupakan tinjauan relasi orangtua-anak, dan relasi suami-istri itu sendiri. Alih-alih hanya melihat status anak di rumah dan di lingkungan sosial, penelitian ini menawarkan pemetaan kepemilikan dan distribusi sumber daya sebagai sebab dan salah satu hal utama yang harus diperhatikan dalam pembentukan apa yang disebut oleh penelitian ini dengan term iklim sibling rivalry. Tawaran Baru (Novelty) Penelitian Dari deskripsi mengenai studi-studi yang pernah dilakukan mengenai isu sibling rivalry, menjadi penting untuk menjelaskan posisi penelitian ini. Dari berbagai studi tersebut, terlihat bahwa penjelasan-penjelasan secara psikologis terhadap sibling rivalry lebih umum dilakukan dibandingkan dengan penjelasan-penjelasan sosiologis. Selain itu, penelitian yang ada mengenai sibling rivalry juga banyak bergerak pada tataran relasi orangtua-anak, dan belum terlalu fokus pada dampak atau keberlanjutan relasi tersebut pada relasi antar anak. Padahal, sibling rivalry sendiri merupakan isu yang justru banyak bergerak pada tataran relasi antar anak. Penelitian ini menawarkan deskripsi mengenai relasi kakak-adik penuh persaingan (rivalrous) lewat perspektif konflik pada tataran relasi antar anak, namun masih meninjau relasi suami-istri dan relasi orangtua dengan anak, dimana persaingan kakak-adik (terutama kakak-adik dengan jarak usia relatif dekat, misalnya tiga tahun) tidak serta merta merupakan hasil dari pola asuh orangtua, konteks lingkungan keluarga dan lingkungan sosial, maupun bentuk kecemburuan akibat perbedaan status yang dimiliki. Seluruh faktor-faktor tersebut juga dapat dijelaskan lewat pemetaan kepemilikan sumber daya. Dalam analisisnya, penelitian ini ingin memberikan sumbangsih bagi kajian mikro untuk sosiologi keluarga. Walaupun demikian, penelitian ini juga memberikan saran yang diharapkan dapat diaplikasikan pada level yang lebih makro. Konsep sibling rivalry (persaingan kakak-adik) dalam penelitian ini mengacu kepada suatu keadaan dimana terdapat kakak-adik kandung berjenis kelamin sama (kakak-adik kandung laki-laki atau kakak-adik kandung perempuan) yang tinggal serumah dengan orangtua kandung yang masih menikah dan tinggal dalam satu rumah tangga berada dalam iklim relasi konfliktual yang ditinjau dari adanya Warmth/Closeness, Relative Power/Status, Conflict, dan Rivalry. Diasumsikan bahwa relasi kakak adik lebih banyak bergerak pada faktor Relative Power/Status, Conflict, dan Rivalry dengan sedikit Warmth/Closeness—baik secara manifes maupun laten. Hal itulah yang akan digali dan dilihat relasinya konfliknya.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
6 Penelitian ini juga meneliti iklim persaingan yang melihat konteks keberadaan the better sibling. Seringkali, kunci terjadinya persaingan dapat diketahui dan tampak ketika diutarakan oleh the less-better sibling. Terkadang, the better sibling tidak menyadari terjadinya persaingan, atau tidak menyadari seberapa parah persaingan yang telah terjadi di antara mereka, karena ia tidak berada di posisi inferior. Dalam melihat sibling rivalry, penelitian ini juga meninjau adanya preferensi sosial (perilaku favoritisme orangtua pada anak), fungsi keluarga (afeksi, sosialisasi, reproduksi, ekonomi, dan kesehatan), definisi situasi oleh Thomas (1998) yang berasumsi bahwa ketika berada dalam suatu situasi, seorang individu akan cenderung memberikan makna dari stimulus yang diberikan pada situasi tersebut, serta konsep significant other (orang yang dianggap memiliki peran penting dalam membentuk perilaku seseorang). Namun, konsep utama dalam penelitian ini adalah konsep-konsep keluarga dalam persektif konflik yang dicetuskan oleh Simmel dan oleh Klein & White. Simmel melihat konflik sebagai proses dari kekuatan asosiatif dan disosiatif yang secara konstan terjadi, serta membawa kesatuan pada masyarakat, begitu juga keluarga sebagai miniatur keluarga. Klein & White mendefinisikan struktur konflik yang digunakan untuk menganalisa relasi konflik dalam keluarga dengan lima konsep utama, yaitu konflik, struktur, sumber daya, negosiasi, dan konsensus (Klein & White, 2008), yang dapat dirumuskan pada proposisi-proposisi berikut: a. Konflik antar kelompok berdasarkan pada alokasi sumber daya dan struktur sosial yang kompetitif. b. Konflik di dalam kelompok (misalnya keluarga) adalah karena kepemilikan sumber daya yang tidak setara antar anggotanya. c. Negosiasi sebagai bentuk manajemen konflik lebih mungkin terjadi pada keluarga dengan struktur otoritas yang egaliter d. Hasil dari negosiasi lebih mungkin mendukung pihak yang paling memiliki sumber daya dalam keluarga. e. Negosiasi melibatkan sumber daya; siapapun yang memiliki sumber daya paling banyak dapat bernegosiasi untuk hasil yang paling besar pula dalam suatu kopromi. f. Pembentukan koalisi lebih mungkin terjadi dalam keluarga dengan pola otoritas yang demokratis. g. Dalam kelompok-kelompok yang demokratis, sumber daya materi saja tidak serta merta dapat memprediksi koalisi dalam keluarga dan keluarannya.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
7 Dalam konteks sibling, menjadi penting untuk melihat konflik yang terjadi (dalam hal ini sibling rivalry) dari bentuk-bentuk konfliknya, struktur konfliknya (kompetitif atau terkait dengan ukuran kelompok, usia anggota kelompok, dan gender), alokasi sumber daya yang dimiliki, serta bentuk-bentuk negosiasi dan konsensus (termasuk koalisi dan/atau aliansi yang terbentuk) yang dilakukan oleh kakak-adik dalam melakukan manajemen konflik. Identifikasi-identifikasi mengenai adanya sumber daya yang dipertukarkan atau diperebutkan juga menjadi penting untuk diidentifikasi. Karena, dalam relasi kakak-adik, seringkali sumber daya yang menjadi sumber konflik bukan hanya berupa materi saja. Dinamika relasi kakakadik yang digambarkan oleh penelitian ini dilihat seputar kelima konsep tersebut.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Logika berpikir penelitian ini adalah logika berpikir induktif, yaitu membangun suatu kesimpulan yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus pada temuan data di level empirik. Berdasarkan tipenya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan fenomena sibling rivalry serta menganalisa dari sudut pandang dan perspektif sosiologis, khususnya dari kacamata teori konflik. Penelitian deskriptif dan eksplanatif pada praktiknya memang tidak terlalu jelas batasannya, namun penelitian deskriptif lebih kepada mendeskripsikan suatu fenomena, sedangkan penelitian eksplanatori lebih tertarik kepada mengapa hal tersebut terjadi. Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini merupakan basic research atau yang dikenal juga dengan academic research atau pure research. Berdasarkan waktunya, penelitian ini merupakan tipe penelitian studi kasus atau case study. Data-data yang ditemukan akan digunakan untuk membangun sebuah kesimpulan yang lebih umum. Instrumen penelitian ini adalah peneliti dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam serta observasi. Penelitian ini merupakan basic research. Berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data, penelitian ini termasuk ke dalam kategori field research. Penelitian ini dimulai dari ide mengenai isu persaingan (rivalry) pada keluarga yang notabene merupakan wadah afeksi. Kemudian, peneliti mencari kelompok (dalam hal ini keluarga) yang memiliki anak dengan kasus yang relevan. Peneliti mengikuti kegiatan dengan melakukan wawancara dan mencatat hasil observasi langsung maupun tidak langsung. Peneliti juga merekam observasi, mencatat temuan lapangan, mengambil gambar-gambar, dan melakukan wawancara mendalam, baik formal maupun informal.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
8 Peneliti melakukan penelitian pada keluarga yang berdomisili di Semarang, Jawa Tengah. Lokasi penelitian dipilih terkait dengan konteks sosiokultural. Sumber data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sebagai sumber data primer, penelitian ini menjadikan keluarga sebagai unit analisis, yaitu Keluarga Kakak-Adik Perempuan 1 dan Keluarga Kakak-Adik Laki-laki 2. Sedangkan, data sekunder adalah informasi yang diperoleh melalui studi pustaka atau sumber-sumber tertulis lain, seperti laporan penelitian, teks, buku, dokumentasi, atau laporan penelitian serupa yang sudah pernah dilakukan. Secara substantif, penelitian ini hanya membatasi pada gambaran sibling rivalry antara dua orang kakak adik perempuan dan dua orang kakak adik laki-laki yang memiliki jarak usia relatif dekat, yaitu satu hingga tiga tahun pada kelompok dewasa-muda (young-adults). Penelitian ini belum secara detil menjangkau sibling rivalry yang terjadi antara lebih dari dua orang kakak adik, baik perempuan, laki-laki, maupun perempuan dan laki-laki. Penelitian ini juga belum mencakup sibling rivalry antara kakak adik yang selisih usianya relatif jauh (sepuluh tahun, misalnya), atau sibling yang kembar, baik identik maupun non-identik. Penelitian ini juga baru mencakup relasi antarsaudara kandung pada keluarga perkotaan dewasa ini. Hal-hal yang belum tercakup dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian lanjutan.
Hasil Penelitian Penelitian ini menemukan bahwa meskipun memiliki pola relasi yang berbeda, kedua keluarga sama-sama memiliki anak-anak yang terlibat dalam sibling rivalry yang intens. Penelitian ini mengkaji hal tersebut dengan melihat persepsi relasi antar anggota keluarga. Dalam relasi kakak-adik, Kakak Perempuan 1 menggambarkan Adik Perempuan 1 sebagai sosok yang berbeda dengan dirinya dalam banyak hal, seperti fisik dan prestasi. Sejak kecil, mereka berdua telah sering dibanding-bandingkan. Karena usianya dekat dan sama-sama berjenis kelamin perempuan, mereka sering dibandingkan masalah tinggi badan, rambut, warna kulit, hingga prestasi di sekolah. Sementara, dalam hal akademik, Kakak Perempuan 1 merasa unggul dibandingkan Adik Perempuan 1. Sejak kecil, Kakak Perempuan 1 merasa lebih unggul dan dianggap lebih pintar dan lebih berprestasi karena lebih sering mendapat posisi dalam ranking kelas. Hingga saat ini, Adik Perempuan 1 dinilai kurang memiliki motivasi diri, baik untuk kehidupan akademis maupun non akademis seperti perkembangan diri. Adik Perempuan 1 dinilai pasrah oleh Kakak Perempuan 1. Namun, di sisi lain juga tidak mudah mendorong Adik Perempuan 1 untuk mengembangkan diri.Adik Perempuan 1 dianggap tidak memiliki visi dan misi yag jelas untuk masa depan. Bahkan, Adik Perempuan
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
9 1 sempat ingin berhenti sekolah karena merasa tidak percaya diri. Sedangkan, Adik Perempuan 1 menggambarkan Kakak Perempuan 1 sebagai sosok yang supel, mudah bergaul, disukai orang-orang, serta merupakan kebanggaan orangtua. Kakak Perempuan 1 juga aktif berorganisasi dan berprestasi. Ia berhasil masuk ke sekolah-sekolah unggulan di Semarang. Kakak Perempuan 1 dan Adik Perempuan 1 mulai tampak bersaing khususnya setelah Kakak Perempuan 1 masuk SMP, dan semakin berlanjut ketika Kakak Perempuan 1 masuk SMA dan Adik Perempuan 1 masuk SMP. Keduanya mulai sadar penampilan dan sering bertengkar masalah baju dan aksesoris. Mulai SMA, Kakak Perempuan 1 mulai berdandan dan meminta ibunya untuk mewarnai rambutnya. Kakak Perempuan 1 juga sering mengenakan lensa kontak berwarna-warni, serta mulai berusaha tampil modis. Hal tersebut terjadi karena Kakak Perempuan 1 merasa tidak nyaman dianggap tidak secantik adiknya oleh lingkungan sekitarnya. Perubahan penampilan fisik tersebut mencoba ditiru oleh Adik Perempuan 1. Walaupun tidak secara menyeluruh, Adik Perempuan 1 menjadi lebih sadar penampilan, seperti enggan keluar rumah dengan baju rumah (harus menggunakan jins atau rok dengan atasan yang memadai) dan mulai mencoba-coba berdandan walaupun jarang. Kakak Perempuan 1 di satu sisi sudah semakin modis dan hal ini menunjukkan perbedaan yang mencolok ketika Kakak Perempuan 1 dan Adik Perempuan 1 jalan bersama, atau tampak tampil bersama di depan umum. Hal ini berbeda dengan pandangan Kakak Perempuan 1 bahwa ia dan Adik Perempuan 1 sudah sedari kecil mengalami persaingan. Kakak Perempuan 1 sendiri merasa bahwa ia adalah seorang yang sangat minder dan jauh dari rasa percaya diri. Saat masih kecil, Kakak Perempuan 1 sangat iri dengan adiknya karena sering dibandingbandingkan. Ketika masih SMA, semua orang merasa adiknya adalah sosok yang lebih manis darinya. Kakak Perempuan 1 mengaku merasa sangat tidak percaya diri dengan anggapan tersebut. Menurutnya, ia mengakui bahwa Adik Perempuan 1 memang memiliki paras yang lebih manis darinya. Ketidakpercayaan diri tersebut menjadi salah satu alasan Kakak Perempuan 1 mulai merubah penampilan. Dalam berinteraksi sehari-hari, Kakak Perempuan 1 dan Adik Perempuan 1 memang sekilas tampak lebih sering berbicara (tanpa bertengkar) sejak Adik Perempuan 1 memiliki pacar yang merupakan teman dari teman-teman dekat Kakak Perempuan 1. Kakak Perempuan 1 juga terkadang mengajak Adik Perempuan 1 untuk pergi bersama teman-temannya. Namun, hal tersebut hanya terjadi ketika mereka punya kepentingan Miaalnya, mereka akur ketika hendak pergi bersama apabila Kakak Perempuan 1 butuh izin untuk pergi sehingga mengajak adiknya. Di sisi lain, Kakak Perempuan 1 juga tidak ingin teman-temannya terlalu dekat dengan adiknya
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
10 Adik Perempuan 1 merasa bahwa Kakak Perempuan 1 semena-mena dalam meminjam barang. Contohnya, Adik Perempuan 1 merasa kakaknya sering meminjam barang-barangnya (misalnya baju, sisir, jepit, tas, dan lain-lain) namun apabila Adik Perempuan 1 hendak pinjam Kakak Perempuan 1 tidak terlalu longgar dalam memberikan izin. Ketika berargumen, alih-alih berbicara menyelesaikan masalah, mereka lebih sering menyalurkan amarah lewat pertengkaran fisik. Adik Perempuan 1 dan Kakak Perempuan 1 sering saling toyor atau pukul ringan apabila sedang bertengkar. Pertengkaran fisik tersebut juga merupakan lahan ‗pelampiasan‘ bagi Adik Perempuan 1. Adik Perempuan 1 merasa bahwa kesempatannya untuk meluapkan rasa yang dipendam adalah dengan bersikap keras dan beradu fisik apabila bertengkar dengan kakaknya. Adik Perempuan 1 merasa puas apabila menang dari kakaknya. Adik Perempuan 1 merasa bahwa memang di antara Adik Perempuan 1 dan Kakak Perempuan 1 untuk terlihat baik di mata orangtua. Adik Perempuan 1 memilih untuk pasrah dan ngikut saja apapun yang harus dia jalani karena merasa bahwa ia tidak sepintar, segaul, dan semenarik kakaknya. Dia tidak bisa terlalu menonjolkan diri karena kakaknya yang akan bertanggung jawab terhadapnya kelak, apabila kakaknya sudah sukses. Kakak Perempuan 1 dipandang sebagai sosok yang berhasil dan mampu membanggakan orangtua. Keberhasilan kakaknya (khususnya di organisasi) mendorong Adik Perempuan 1 untuk bersikap pasrah dan berharap kakaknya bisa menjadi orang berada dan berguna serta mampu membanggakan orangtuanya. Adik Perempuan 1 memilih untuk pasrah dan alih-alih iri ia justru memanfaatkan kesuksesan kakaknya. Contohnya, sejak bekerja, Adik Perempuan 1 sering meminta kakaknya untuk membelikannya makanan. Dalam beberapa kesempatan, terlihat juga bahwa Adik Perempuan 1 memang tampak mengandalkan Kakak Perempuan 1 dalam hal finansial. Persaingan tersebut juga membuat Adik Perempuan 1 merasa tidak berdaya di rumah. Sikap orangtua yang tampak memihak membuat Adik Perempuan 1 merasa bahwa kakaknya memang memiliki masa depan cerah, tidak seperti dirinya yang bersekolah di SMK dan tidak tahu akan kemana kelak. Walaupun sekarang sudah magang di sebuah bank swasta, Adik Perempuan 1 merasa ia tidak sevisioner kakaknya. Adik Perempuan 1 juga merasa ia tidak pintar sama sekali, dan sangat lemah pada pelajaran matematika dan bahasa Inggris, padahal kakaknya cukup mahir berbahasa Inggris. Tetapi, kakaknya merasa adiknya tidak akan mampu apabila diajari, dan sang kakak berencana untuk memotivasi Adik Perempuan 1 dengan memasukkannya ke organisasi politiknya. Namun, Adik Perempuan 1 tidak terlalu tertarik karena merasaa tidak mampu.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
11 Alih-alih meminta bantuan atau membicarakan hal tersebut dengan kakaknya, Adik Perempuan 1 justru memiliki penilaian kuat bahwa Kakak Perempuan 1 tidak terlalu dapat mdiandalkan karena ia merasa kakaknya sekarang egois dan semena-mena. Ritme hidup Kakak Perempuan 1 yang berbeda dengan Adik Perempuan 1 juga membuat waktu mereka bersama menjadi terbatas pada akhir pekan saja. Untuk hal ini, Adik Perempuan 1 merasa senang karena pacarnya adalah teman sepermainan kakaknya, sehingga mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Adik Perempuan 1 juga lebih senang menghabiskan waktu dengan teman-teman kakaknya dibandingkan dengan teman-temannya di SMK. Menurut Adik Perempuan 1, teman-temannya tidak dewasa dan tidak bisa memberikan pandangan baru sehingga ia merasa sempit dan tidak berkembang. Sedangkan, teman-teman kakaknya dianggap menyenangkan dan memiliki kepribadian-kepribadian yang lebih menarik dan terbuka. Sebetulnya, Adik Perempuan 1 berharap kakaknya lebih sering mengajaknya pergi bersama teman-temannya. Ketika pertengkaran sudah memuncak, Kakak Perempuan 1 dan Adik Perempuan 1 sering membuat kesepakatan-kesepakatan yang dianggap menguntungkan mereka. Pada Keluarga Kakak-Adik Laki-laki 2, menurut Kakak Laki-laki 2, Adik Laki-laki 2 merupakan anak emas dan anak kesayangan di keluarga. Hal ini menurutnya karena Adik Laki-laki 2 sejak kecil dianggap pintar dan berprestasi serta bertubuh ideal. Terlebih karena mereka berdua hanya berjarak usia tiga tahun, serta sama-sama berjenis kelamin laki-laki, maka mereka sering dibandingkan masalah sekolah yang dimasuki, prestasi, hingga fisik. Hal-hal tersebut merupakan hal yang sering dibanding-bandingkan dari mereka oleh orangorang disekitar mereka sejak kecil. Bukan hanya keluarganya, namun juga keluarga besar Kakak Laki-laki 2 dan Adik Laki-laki 2. Selain keluarga besar, rekan kerja Ayah 2 dan tetangga-tetangga juga sering membanding-bandingkan mereka. Hal tersebut terbawa hingga dewasa. Ketika masih kecil, hal tersebut tidak terlalu kentara. Namun, sejak SMA, ia merasa bahwa orangtuanya mulai tampak menganakemaskan adiknya. Menurut Kakak Laki-laki 2, hal tersebut disebabkan oleh fisiknya yang tampak besar, bahkan obesitas. Terlebih lagi, ketika Kakak Laki-laki 2 memilih untuk tidak mengikuti keinginan ayahnya untuk masuk ke akademi pemerintahan—lebih tepatnya tidak diterima karena tidak memenuhi kriteria fisik. Sikap orangtua yang menganakemaskan adiknya juga makin tampak ketika Kakak Laki-laki 2 mengetahui bahwa Adik Laki-laki 2 masih memperoleh uang saku penuh dari orangtuanya. Walaupun orangtuanya akan memberikan dia uang saku apabila ia tidak bekerja, namun hal tersebut semakin menegaskan asumsi yang dimiliki Kakak Laki-laki 2 mengenai perasaan orangtuanya terhadap Adik Laki-laki 2.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
12 Kakak Laki-laki 2 dan Adik Laki-laki 2 sering mengalami pertengkaran dalam kehidupan sehari-hari. Pertengkaran mereka meliputi berbagai hal: pakaian, sepatu, play station, makanan, jadwal pergi, jadwal jaga rumah, masalah tiru-tiruan, masalah pengaduan, charger ponsel, hingga masalah percintaan dan pertemanan. Kakak Laki-laki 2 juga merasa bahwa Adik Laki-laki 2 sering sekali meniru dirinya. Penampilan, klub dan kegiatan yang diikuti, hingga kehidupan sosial yang dimiliki Kakak Laki-laki 2 pun ingin ditiru oleh Adik Laki-laki 2.Selain penampilan, Adik Laki-laki 2 juga dianggap meniru-niru kegiatan yang dilakukan Kakak Laki-laki 2. Bahkan, Adik Laki-laki 2 juga turut mencoba memiliki banyak teman dekat perempuan, seperti Kakak Laki-laki 2. Kakak Laki-laki 2, ia merasa sangat terganggu dengan aksi tiru-tiruan yang dilakukan Adik Laki-laki 2. Kakak Laki-laki 2 merasa bahwa Adik Laki-laki 2 punya banyak hal lain yang bisa dibanggakan dan dikejar. Menurut Kakak Laki-laki 2, Adik Laki-laki 2 terkesan ingin memiliki apapun yang menjadi miliknya. Adik Laki-laki 2 pernah memacari adik dari pacar Kakak Laki-laki 2. Sikap orangtua dan teman-teman Adik Laki-laki 2 membuat Kakak Laki-laki 2 menjadi merasa nomor dua di rumah. Di rumah, Kakak Laki-laki 2 merasa tidak nyaman karena hal tersebut, sehingga Kakak Laki-laki 2 lebih sering menginap di rumah teman-temannya. Apabila sedang penat, Kakak Laki-laki 2 bisa menginap hingga empat hari dalam seminggu di rumah temannya. Ia berdalih kepada orangtuanya untuk pergi karena masalah pekerjaan. Padahal, terkadang ia hanya menghindari pertengkaran dengan anggota keluarganya. Terlebih apabila dia sedang merasa penat dengan urusan kuliah, percintaan, atau pekerjaan. Sementara, Adik Laki-laki 2 justru merasa tidak puas dengan ketenaran kakaknya di luar. Menjadi anak emas di rumah membuat Adik Laki-laki 2 sadar bahwa di luar ia hanyalah ―adiknya Kakak Laki-laki 2‖. Untuk itu, Adik Laki-laki 2 juga ingin memilik ketenaran kakaknya dengan berbagai cara. Hal ini menimbulkan relasi unik pada Kakak Laki-laki 2 dan Adik Laki-laki 2. Dalam beberapa hal, mereka harus bekerja sama untuk menghindari masalah lain atau karena memang saling membutuhkan—misalnya masalah izin orangtua, Kakak Laki-laki 2 sering meminta bantuan Adik Laki-laki 2. Sedangkan, masalah bisnis dan koneksi, Adik Laki-laki 2 sering meminta bantuan Kakak Laki-laki 2. Namun, kedua hal tersebut tidak dilakukan dengan sukarela, namun dengan imbalan. Ketika Kakak Laki-laki 2 membantu Adik Lakilaki 2, Adik Laki-laki 2 juga harus membantu Kakak Laki-laki 2, begitu juga sebaliknya.
Pembahasan Hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa sibling rivalry yang terjadi sudah
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
13 menunjukkan perilaku yang disosiatif pada kakak-adik, tidak sekedar persaingan biasa. Persaingan yang terjadi sudah intens serta secara konsisten melibatkan kekerasan fisik. Sehingga, relasi kakak-adik yang terbentuk justru berupa relasi kekuasaan dan relasi konflik. Pada dasarnya, relasi antar anak berproses pada dua lingkup, yaitu lingkup primer (lingkungan keluarga) dan lingkup sekunder (lingkungan sosial). Dengan latar belakang yang digambarkan sebelumnya, relasi antar anak pada kedua keluarga berpotensi untuk menjadi wadah konflik alih-alih wadah afeksi dan fungsi-fungsi keluarga lainnya. Keberadaan the favored child sebagai konsekuensi dari adanya preferensi orangtua menunjukkan perbedaan perlakuan dari orangtua kepada anak dan menjadi latar belakang atau pemicu iklim persaingan yang lebih intens lagi. Preferensi orangtua kepada anak juga membangun pemaknaan anak-anak terhadap diri mereka. Identifikasi adanya the favored dan unfavored child dalam kakak-adik yang hanya berjumlah dua orang (dyad) menjadi latar belakang atau pemicu iklim persaingan yang lebih intens lagi ketika ia diterjemahkan oleh anak dan kemudian menjadi dasar konsep diri yang mereka miliki (perceived self) yang dimiliki anak. Konflik Bentuk konflik pada dyad kakak-adik perempuan dan dyad kakak-adik laki-laki merupakan konflik intrapersonal yang dapat dikategorikan kepada konflik manifes dan konflik laten. Konflik manifes merupakan konflik yang tampak terjadi. Sedangkan, konflik laten merupakan konflik yang tidak tampak terjadi, seperti permusuhan yang tidak tampak terjadi. Pada dyad kakak-adik perempuan, konflik manifes pada kedua dyad diwujudkan dalam konflik fisik (adu fisik) dan konflik verbal (adu mulut). Misalnya, ketika kakak-adik perempuan sedang beradu mengenai hak milik atas sesuatu, seperti pakaian, kendaraan, atau spot tempat duduk untuk menonton televisi. Konflik manifes juga tampak ketika salah satu pihak merasa bahwa pihak lain mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya. Konflik laten juga dapat merujuk pada proses terjadinya konflik itu sendiri. Konflik yang terjadi pada kedua dyad lebih berupa proses, bukan hasil akhir. Hal ini sejalan dengan proposisi Sprey (dalam Klein & White, 2008) yang melihat konflik sebagai proses, bukan sekedar perilaku sesaat yang terjadi secara tiba-tiba saja. Perilaku dan tindakan memang dapat menjadi pemicu, namun satu tindakan tersebut tidak dapat disebut konflik. Kompetisi dan perebutan dalam kehidupan sehari-hari—seperti perebutan mainan, baju, bahkan teman— yang menahun membentuk iklim konfliktual. Pada kedua dyad kakak-adik, konflik laten lebih banyak dirasakan terjadi oleh Adik Perempuan 1 dan Kakak Laki-laki 2 yang dapat dikatakan sebagai the least favored child di rumah. Konflik laten yang terjadi secara umum meliputi rasa iri yang dirasakan mereka terhadap the better siblings.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
14
Tabel 1. Pemetaan Konflik pada Relasi Kakak-Adik Dyad Kakak-Adik Perempuan
Dyad Kakak-Adik Laki-laki
Konflik Bentuk Konflik
Manifes
Laten
Intensitas Konflik
Kakak Perempuan 1 Bertengkar karena motor dipakai main, padahal Kakak Perempuan 1 butuh untuk kerja; bertengkar untuk duduk di spot paling nyaman untuk menonton televisi; bertengkar karena berebut pakaian yang hendak digunakan; kesal karena dandanannya ditiru oleh adik; toyortoyoran ketika bertengkar; adu fisik. Pernah merasa iri pada adik saat kecil untuk waktu lama; tidak ingin adiknya menyusul prestasinya.
Adik Perempuan 1 Bertengkar karena bajunya dipinjam oleh Kakak Perempuan 1 tanpa izin; bertengkar untuk duduk di spot paling nyaman untuk menonton televisi; bertengkar karena berebut pakaian yang hendak digunakan; adu fisik.
Kakak Laki-laki 2 Memukul Adik Lakilaki karena sering kalah bermain play station; kesal karena adik suka mengadu; debat masalah giliran jaga rumah.
Iri pada kakak yang berprestasi, disayang orangtua, aktif berorganisasi, berpenghasilan sendiri, cantik, disukai banyak orang, serta masih memiliki hubungan baik dengan orangtua (ayah).
Iri karena adik disayang orangtua dan mendapat uang saku dari orangtua; iri karena adik menjadi harapan keluarga dan berkesempatan untuk mewujudkan cita-cita orangtua; iri pada fisik adik yang proporsional (walaupun tidak mengakuinya); takut disaingi adik.
Manifes
Hampir setiap hari atau setiap saat ada kesempatan.
Laten
Setiap saat walaupun tidak disadari.
Sumber daya fisik, sumber daya ekonomi, status sosial, prestasi, favoritisme orangtua. Relasi kalah-menang pada kakak-adik; iklim Dampak Konflik persaingan; disfungsi penjalanan fungsi keluarga Sumber: Olahan peneliti. Sumber Konflik
Adik Laki-laki 2 Adu mulut dengan Kakak Laki-laki 2 karena ia mengadukan kegiatan kakak ke orangtua; adu fisik dengan kakak karena urusan menang kalah play station; debat masalah giliran jaga rumah.
Merasa berada di bawah bayang-bayang kakak; memendam rasa iri karena kakak memiliki teman banyak; iri dengan kontrol orangtua terhadap kakak yang tidak seketat terhadap dirinya; ingin memiliki kesuksesan bisnis dan pertemanan kakaknya; tidak ingin kakaknya menjadi kurus karena bisa menyaingi dirinya. Minimal seminggu sekali, terutama di akhir pekan karena sering bertengkar masalah mobil dan acara pergi. Setiap saat walaupun tidak disadari. Sumber daya fisik, sumber daya ekonomi, status sosial, prestasi, preferensi (favoritisme) orangtua. Relasi kalah-menang pada kakak-adik; iklim persaingan; disfungsi penjalanan fungsi keluarga
Intensitas konflik bermuara pada dua hal, intensitas konflik manifes dan intensitas konflik laten. Keduanya sebetulnya tidak dapat dipisahkan, mengingat konflik-konflik manifes dapat menjadi indikasi adanya konflik laten yang sedang terjadi. Walaupun memiliki bentuk dan intensitas yang agak berbeda, sumber konflik pada kedua dyad dapat dirumuskan kepada faktor internal dan faktor eksternal, yaitu sumber daya fisik, sumber daya ekonomi,
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
15 status sosial, prestasi, dan preferensi orangtua. Distribusi kepemilikan atas sumber dayasumber daya tersebut tidak seimbang antar individu, baik sumber daya tersebut berasal dari pihak lain atau ada dalam diri individu. Pada prosesnya, individu saling mempertahankan dan menambah sumber-sumber tersebut. Ketika proses tersebut terjadi secara terus menerus, baik secara manifes maupun laten, maka ia menimbulkan apa yang disebut dengan iklim persaingan kakak-adik (sibling rivalry). Struktur Sisi lain dari konflik dalam keluarga dapat dilihat melalui struktur konflik itu sendiri. Struktur situasi yang kompetitif mengacu kepada suatu iklim kompetisi, dimana kompetisi itu sendiri tidak dilihat sebagai proses, namun lebih kepada bagaimana sebuah situasi distrukturkan atau diorganisasikan. Struktur situasi dalam kasus kedua dyad kakak-adik adalah struktur kompetitif, dimana kakak-adik berkonflik secara kontinu dan distrukturkan sehingga menjadi embedded dalam relasi akak-adik yang membentuk tindakan-tindakan anggotanya. Pada kedua keluarga, para adik masih memanggil kakak-kakaknya dengan panggilan Mbak dan Mas, yang menunjukkan status lebih tua secara usia atau secara awu (garis keluarga). Meskipun demikian, pada keluarga Kakak-Adik Laki-laki 2, Adik Laki-laki 2 terkadang kelepasan memanggil kakaknya hanya dengan nama, tidak dengan panggilan Mas di depannya. Mengingat mereka hidup dalam keluarga yang sangat taat pada budaya Jawa dan hierarkinya, hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa Adik Laki-laki 2 tidak terlalu memandang Kakak Laki-laki 2 sebagai kakaknya. Hal tersebut juga dapat dikaitkan mengenai posisi Adik Laki-laki 2 yang dianggap sebagai pemegang status ―cah lanang‖ di keluarga. Pada keluarga Kakak-Adik Perempuan 1, Adik Perempuan 1 masih memanggil kakaknya dengan sebutan Mbak sehari-harinya. Namun, Kakak Perempuan 1 tidak memanggil Adik Perempuan 1 dengan sebutan Dik. Sumber Daya Konflik yang terjadi pada kedua dyad menunjukkan bahwa sumber daya merupakan sumber utama terjadinya konflik. Konflik didefinisikan (Klein & White, 2008) sebagai konfrontasi terjadi antara kakak dan adik untuk mendapatkan sumber daya (pada lingkungan primer maupun sekunder) dan tujuan yang tidak sama. Sumber daya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber daya tangible (tampak nyata) dan intangible (tidak tampak nyata). Seperti yang sudah sedikit dijelaskan sebelumnya, distribusi kepemilikan sumber daya pada kakakadik tidak seimbang. Hal tersebut sesuai dengan salah satu proposisi Klein & White (2008) yang mengatakan bahwa konflik dalam keluarga terjadi karena ketidaksetaraan sumber daya antar individu dalam keluarga. Pada kakak dan adik saling mempertahankan dan berusaha
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
16 menambah sumber-sumber tersebut. Ketika proses tersebut terjadi secara terus menerus, baik secara manifes maupun laten, maka ia menimbulkan apa yang disebut dengan iklim persaingan kakak-adik (sibling rivalry). Alih-alih untuk memperlakukan sumber daya yang dimiliki masing-masing menjadi sumber daya bersama dan digunakan untuk mencapai tujuan masing-masing, kakak-adik justru bersaing ingin memilikinya secara pribadi. Sumber daya tersebut dapat berasal dari pihak lain atau ada dalam diri individu. Tabel 3. Kepemilikan Sumber Daya pada Dyad Kakak-Adik Perempuan 1
Kakak-Adik Perempuan 1 Kepemilikan Sumber Daya Kakak Perempuan 1
Adik Perempuan 1
Tangible
Asesoris, pakaian, fisik yang menarik
Rambut hitam panjang, fisik yang manis
Intangible
Teman-teman sebagai keluarga kedua, preferensi dan dukungan orangtua; status sebagai the favored child dalam keluarga; pekerjaan dan penghasilan pribadi; kepribadian menarik.
Kepribadian yang supel, pekerjaan magang, disukai anak-anak
Sumber: Olahan peneliti.
Pada dyad kakak-adik perempuan, dapat dikatakan bahwa Kakak Perempuan 1 memiliki lebih banyak sumber daya, baik sumber daya tangible maupun sumber daya intangible. Pada dyad kakak-adik laki-laki, distribusi sumber daya antara Kakak Laki-laki 2 dengan Adik Laki-laki 2 sebetulnya relatif seimbang. Namun, konflik timbul ketika Adik Laki-laki 2 berusaha mendapatkan pula sumber daya Kakak Laki-laki 1 yang belum ia miliki. Tabel 4. Kepemilikan Sumber Daya pada Dyad Kakak-Adik Laki-laki 2
Kakak-Adik Laki-laki 2 Kepemilikan Sumber Daya Kakak Laki-laki 2 Tangible
Intangible
Pakaian, barang-barang bermerk, komputer, play station, kamar dengan fasilitas lengkap. Relasi luas, teman-teman sebagai keluarga kedua, supel, kepribadian yang menarik dan mudah bergaul, pekerjaan dan penghasilan.
Adik Laki-laki 2 Fisik yang menarik, berat badan yang proporsional Preferensi dan dukungan orangtua, status sebagai the favored vhild dalam keluarga, prestasi, kepribadian yang penurut, status sebagai anak baseball.
Sumber: Olahan peneliti.
Akibat proses tarik-menarik yang terjadi dalam konflik kakak-adik, sibling rivalry menghasilkan koalisi-koalisi dalam keluarga dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Penjelasan mengenai dampak tidak dapat terlepas dari adanya negosiasi dan konsensus . Walaupun berada dalam relasi persaingan, dyad kakak-adik perempuan dan dyad kakak-adik laki-laki masih melakukan negosiasi. Negosiasi dilakukan dalam rangka mencapai tujuan
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
17 yang hanya dapat dilakukan apabila pihak-pihak yang berkonflik bernegosiasi—dalam hal ini bekerja sama. Misalnya pada dyad kakak-adik perempuan, Kakak Perempuan 1 dan Adik Perempuan 1 pergi bersama karena Adik Perempuan 1 bisa pergi dengan pacarnya yang merupakan teman Kakak Perempuan 1. Dengan bernegosiasi, Adik Perempuan 1 bisa pergi dengan pacarnya tanpa harus izin ke orangtua, sedangkan Kakak Perempuan 1 pun bebas pergi hingga dini hari dengan alasan menjaga Adik Perempuan 1. Tujuan keduanya sebetulnya berbeda, yaitu si adik ingin bertemu pacarnya dan si kakak ingin mendapat izin keluar hingga dini hari namun tidak dalam rangka bekerja. Dengan melakukan negosiasi, tujuan keduanya tercapai dengan menggunakan bantuan dari satu sama lain. Negosiasi yang seringkali melibatkan argumentasi, suap, dan penipuan dalam rangka mencapai tujuan salah satu pihak dianggap mampu menyelesaikan—atau paling tidak menetralkan—konflik yang ada. Negosiasi Paparan pada keluarga tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan beberapa proposisi Klein & White (2008) mengenai negosiasi dalam konflik keluarga. Klein & White (2008) berasumsi bahwa negosiasi sebagai bentuk manajemen konflik lebih mungkin terjadi pada struktur keluarga yang egaliter. Hal ini tidak terlalu tercermin dalam temuan pada kedua keluarga. Mereka tidak dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sepenuhnya egaliter, namun tetap tampak melakukan negosiasi. Klein & White (2008) juga berasumsi bahwa hasil negosiasi lebih mungkin menguntungkan pihak yang memiliki lebih banyak sumber daya dalam keluarga. Mereka memberikan sumber daya sebagai bentuk kompromi untuk mendapatkan keinginan mereka. Hal tersebut tampak pada kedua keluarga, dimana negosiasinegosiasi yang dilakukan berujung kepada konsensus. Tabel 2. Pemetaan Aliansi pada Keluarga Kakak-Adik Perempuan 1 dan Keluarga Kakak-Adik Laki-laki 2 Keluarga Kakak Perempuan 1-Adik Perempuan 1
Kakak Laki-laki 2-Adik Laki-laki 2
Aliansi Kakak Perempuan 1-Adik Perempuan 1
Sifat Sementara
Kakak Perempuan 1-Ibu 1
Sementara
Kakak-Adik Perempuan 1 - Ibu 1
Sementara
Kakak Laki-laki 2-Adik Laki-laki 2
Sementara
Adik Laki-laki 2-Ibu 2 Kakak-Adik Laki-laki 2-Ibu 2
Sementara Sementara
Sumber: Olahan peneliti.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
18 Konsensus Konsensus oleh Klein & White (2008) dilihat sebagai suatu bentuk persetujuan sebagai hasil yang diharapkan dari negosiasi. Konsensus didapatkan ketika pihak-pihak dalam negosiasi mencapai persetujuan. Dalam keluarga, bentuk konsensus yang utama dicapai adalah koalisi. Dalam keluarga ini, koalisi lebih beruapa aliansi-aliansi antar anggota keluarga. Misalnya, aliansi anak dengan orangtua. Hal tersebut tampak pada kedua keluarga. Bentuk aliansi yang terjadi sama-sama tidak melibatkan ayah sebagai oposisi dari pihak yang beraliansi. Ayah menjadi pihak yang ditentang atau dinegosiasi, namun bukan pihak yang menentang dan menegosiasi. Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa frekuensi kontak yang sering tidak menjamin bahwa kakak adik akan memiliki hubungan yang beriklim positif. Ketika keluarga, khususnya siblings, sudah tidak menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka rivalry yang terjadi sudah bukan sebatas kecemburuan semata, namun relasi antarsaudara kandung tersebut sudah tidak berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Keadaan seperti ini yang kemudian berpotensi untuk mendegradasi relasi siblings menjadi relasi antar rival, bukan lagi antarsaudara kandung. Iklim rivalry semacam ini lah yang dianggap berpotensi konflik untuk jangka waktu yang panjang dan apabila tidak dilakukan manajemen konflik yang memadai dapat menjadi destruktif di dalam keluarga itu sendiri. Kesimpulan Gambaran iklim persaingan kakak-adik pada kasus dyad kakak-adik perempuan dan dyad kakak-adik laki-laki sama-sama dilandasi oleh ketimpangan pemenuhan status dan peran dalam keluarga, baik oleh satu sama lain maupun oleh orangtua. Kemampuan kakak dan adik untuk memenuhi kirteria status dan peran dalam keluarga ternyata berbeda, sehingga menimbulkan preferensi orangtua kepada kakak atau adik. Preferensi tersebut terjadi dalam banyak aspek kehidupan, seperti prestasi, fisik, akademik dan sosial, sehingga sebagai konsekuensi, ada salah satu pihak yang dianggap sebagai the better sibling atau the favored child, sebuah status yang dalam kasus penelitian ini disandang oleh Kakak Perempuan 1 dan Adik Laki-laki 2. Dalam prosesnya, relasi kakak-adik yang saling ingin menang membangun situasi persaingan yang intens dan pelik. Persaingan Kakak-Adik (sibling rivalry) merupakan wujud utama dari konflik dalam relasi kakak-adik. Konflik yang terjadi merupakan konflik interapersonal, dengan bentuk konflik manifes dan konflik laten. Baik konflik manifes maupun konflik laten, persaingan pada kakak-adik berlandaskan pada kepemilikan sumber daya, baik yang bersifat tampak nyata (tangible) seperti fisik dan materi, maupun yang
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
19 bersifat tidak tampak nyata (intangible), seperti preferensi orangtua, prestasi, dan temanteman. Preferensi orangtua serta keberadaan sosok ayah yang cenderung otoriter, pola hubungan yang relatif tertutup (tidak mudah berkomunikasi atau terbuka antar anggotanya) dan dominan dalam keluarga juga turut membentuk cara kakak-adik dalam melakukan manajemen konflik. Dengan adanya preferensi pada salah satu anak, serta iklim keluarga yang tidak terbiasa dan leluasa dalam mengkomunikasikan dan menyelesaikan konflik, maka relasi anak yang intens dengan persaingan pun menjadi konsekuensi. Rasa iri yang wajar terjadi, justru menjadi semakin besar dan masalah-masalah lain yang ada pun akhirnya diselesaikan dengan kekerasan, atau dikait-kaitkan dengan hal lain yang dipendam. Anggota-anggota keluarga memang tampak melakukan manajemen konflik dengan bernegosiasi dan membentuk konsensus berupa aliansi-aliansi, namun sifatnya hanya sementara dan hanya merupakan peredam konflik, bukan solusi permanen. Situasi yang demikian mendasari kedua keluarga (termasuk kakak-adik) untuk tidak menjalani fungsi-fungsi keluarga sepenuhnya, yaitu fungsi afeksi, sosialisasi, reproduksi, dan kesehatan. Saran Secara mikro, sibling rivalry sangat tergantung kepada kontrol dari para anggotaanggotanya akan manajemen konfliknya. Bagi kakak-adik, mereka harus berhati-hati dalam menyikapi hal-hal yang berpotensi untuk menimbulkan konflik. Diharapkan semakin dini kakak-adik melakukan pemetaan masalah, semakin dini pula penyelesaian dapat ditemukan sehingga tidak berujung kepada konflik berkepanjangan. Orangtua juga seringkali luput dalam melihat dan ‗meluruskan‘ persepsi-persepsi yang diterjemahkan secara berbeda oleh anak. Pada relasi orangtua-anak dan relasi antar orang tua, kontrolnya lebih longgar lagi, terlebih pada keluarga yang memiliki orangtua diktator atau otoriter. Untuk itu perlu lebih dikaji secara mendalam penyebabnya, dan mengapa hal tersebut terjadi, serta apakah dapat digeneralisasikan pada konteks seluruh keluarga dengan karakteristik serupa. Manajemen konflik juga menjadi penting untuk dianalisis dalam keluarga, apakah dengan manajemen konflik tertentu dapat menekan atau mengurangi intensitas relasi kalah-menang tersebut. Secara makro, saran dapat diberikan kepada pemerintah serta anggota masyarakat tempat keluarga berada. Bagi pemerintah, kekerasan dalam keluarga memang sulit dideteksi, namun dengan memberikan perhatian lebih kepada keluarga-keluarga dan berusaha melakukan kontrol pada taraf mikro dapat membantu mengurangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut memiliki dampak yang sangat signifikan pada proses tumbuhkembang seseorang. Bagi masyarakat, dengan memberikan perbandingan kepada sepasang
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013
20 kakak dan adik (terutama apabila membandingkan dengan membuat yang lainnya menjadi inferior), ketahuilah bahwa hal tersebut dapat memiliki dampak yang berkelanjutan. Dengan mengapresiasi setiap individu tanpa membandingkannya dengan hal lain, hal tersebut dapat memberikan kontribusi yang positif bagi relasi kakak-adik. Kepustakaan Buku Elledge, L. C. (2010). Parents' strategies in response to sibling conflict: links to sibling relationship quality and children's peer-reported adjustment. University of Arkansas, Psychology. ProQuest: UMI Dissertation Publishing. Turner, J. H. (1998). The Structure of Sociological Theory (6th Edition ed.). (A. N. Denise Simon, Ed.) California, US: Wadsworth Publishing Company. Klein, D. M. & White, J. M. (2008). Family theories: An introduction (3rd Edition ed.). California: Sage Publication. Artikel Jurnal Monahan, Kathleen. (2010). Themes of Adult Sibling Sexual Abuse Survivors in Later Life: An Initial Exploration. Clinical Social Work Journal, 38, 361–369. Poortman, Anne-Rigt; Voorpostel, Marieke.
(2009). Parental Divorce and Sibling
Relationships. Journal of Family Issues, 30 (1), 74–91. Website Hutapea, R. U. (2007). Gara-gara Siaran TV, Adik Tusuk Perut Kakak. (Sunday Morning Herald)
Diunduh
dari
Detik.com:
http://news.detik.com/read/2007/11/22/093615/855874/10/. Suyono,
D.
(2011).
Liputan6.
Diunduh
dari
Liputan6.com:
http://news.liputan6.com/read/334051/rebutan-warisan-adik-tusuk-kakak. Skripsi, Tesis, Disertasi Ariani, Novita. (2010). Persaingan Antar Saudara Kandung (Sibling Rivalry) Pada Remaja Kembar Identik Ditinjau dari Persepsi Remaja Terhadap Pola Asuh Orang Tua. Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya. Yati, J. W. (2008). Hubungan antara Sibling Rivalry dan Motivasi Berprestasi pada Anak kembar. Universitas Indonesia, Psikologi. Depok: Universitas indonesia. Armando,
Tina.
(2005).
Sibling
rivalry:
an
emerging
horizontal
nuance.
http://citation.allacademic.com/meta/p_mla_apa_research_citation/0/2/0/7/0/pages207 01/p20701-1.php.
Sibling rivalry..., Sharfina Milla Atsari, FISIP UI, 2013