BAB III PANDANGAN DR. MANSOUR FAKIH TENTANG TRANSFORMASI SOSIAL A. Biografi DR. Mansour Fakih1 Dalam mengkaji pemikiran seseorang tidaklah cukup hanya dengan mengetahui produk pemikirannya. Karena setiap produk pemikiran memiliki konteks sosial, agama, dan budaya sehingga dengan memahami biografi pemikir akan banyak membantu mengetahui pola pikir yang terbentuk. Mengingat pentingnya kondisi di sekitar kehidupan seorang ilmuwan, maka setiap kajian tentang sebuah pemikiran seseorang harus dikaji secara mendalam. Dalam bagian ini peneliti akan mencoba memaparkan biografi DR. Mansour Fakih. 1. Latar Belakang Kehidupan DR. Mansour Fakih Mansour terlahir dari keluarga biasa di desa Ngawi, Bojonegoro, Jawa Timur, 10 Oktober 1953. Dia merupakan anak pertama di antara sembilan bersaudara yang semuanya adalah laki-laki dari pasangan Mansur bin Yahya dan Siti Maryam binti Imam Fakih. Mansour menikah dengan Nena Lam'anah dan dikaruniai dua putra, Farabi Fakih, 22, dan Fariz Fakih, 19. Dalam Obituari untuk Mansour karya Puthet Ea, kehidupan Mansour tergolong sederhana. Tapi, komitmennya terhadap pemberdayaan jangan diremehkan. Bahkan, penyuka film The Burning Season dan Apocalypse Now tersebut sangat tidak setuju menggunakan istilah "penyandang cacat" atau tidak mampu. Dia betah menggunakan diffable, singkatan dari different ability. Dia selalu bersemangat membahas diffable sebagai bagian integral dari keseluruhan hak-hak asasi manusia. Tokoh yang dikenal sebagai pemikir dan pejuang hak asasi manusia (HAM), Dr Mansour Fakih, meninggal dunia pada Minggu (15/2/2004) pukul 23.00. Sosok yang pernah menjadi anggota Komnas HAM itu meninggal setelah terserang stroke dan berbaring di RS Bethesda Yogyakarta selama sepuluh hari sejak Jumat (6/2/2004). Stroke kedua itulah yang mengantarnya ke pintu maut. Mansour dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Banjarsari, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. M.M. Billah, Ketua Komnas HAM yang hadir dalam pemakamannya memberikan sambutannya menilai sosok Mansour sebagai provokator yang berpikir kritis. "Kehadirannya laksana pelita dalam kegelapan berpikir kita. Dia adalah sosok yang tidak hanya penuh ide atau gagasan, tetapi juga bergulat dengan itu. Bahkan, ide dan gagasannya mampu memberikan wawasan baru pada Komnas HAM dan pemerintah," jelasnya.
1
Uraian mengenai biografi ini disarikan dari beberapa buku karya Mansour Fakih sendiri serta surat kabar yang memberitakan kematian Mansour Fakih pada tahun 2004.
Billah juga menilai, kalau dilihat dari sosoknya, Mansour memang pendek dan kekar. Tapi, dia selalu ceria dan tetap memiliki serta menyimpan gagasan mendalam. "Perasaannya juga sangat halus dan peka terhadap segala bentuk penindasan. Dia akan sangat marah apabila melihat HAM yang diinjak-injak. Dan, dia akan terus melawannya," ujarnya.2 Selain Billah, hadir juga di antaranya, KH Sholahudin Wahid, Saparinah Sadli, Emha Ainun Nadjib dan Novia Kolopaking (istrinya), Ashadi Siregar, tokoh-tokoh LSM, serta beberapa aktivis dari segala disiplin nampak juga kalangan diffable datang menyampaikan kabar duka. Semua itu membuktikan keluasan pergaulan Mansour di kalangan pergerakan HAM dan gender. Emha Ainun Najib yang didaulat memberikan sambutan sebagai wakil dari handai tolan menilai bahwa kematian Mansour hanya sebatas fisik dan jasadnya. Sedangkan gagasan dan ide serta pemikirannya akan terus berkembang dan mampu mengobarkan semangat perjuangan. "Mansour tidak meninggalkan kita. Ini menjadi bukti bahwa yang disebut manusia itu bukan jasad atau fisiknya, tapi visi, pemikiran, dan jejak panjangnya dalam melakukan langkah-langkah kemanusiaan," tegas Emha. Emha meyakini bahwa kematian Mansour insya Allah khusnul khatimah dan syahid. "Tidak ada alasan yang membuat kami ragu akan ke-khusnul khatimah-an sahabat kami ini. Dia juga mati syahid. Sebab, ketika sedang memperjuangkan lahirnya institusi-institusi pemberdayaan pada segmen perempuan, dia harus sowan kepada Allah," ujar Emha.3 Mansour Fakih wafat di RS Bethesda Yogyakarta pukul 23.55 pada Minggu (15/2/2004), setelah sebelumnya dirawat intensif 10 hari. Sebelum menjalani perawatan, tokoh yang kali pertama stroke pada 1998 itu tampak sehat, bahkan mengemudikan mobil menuju rumah sakit. Namun, beberapa saat kemudian, aktivis sosial tersebut langsung koma dan tidak pernah sadar hingga meninggal. 2. Perjalanan Intelektual DR. Mansour Fakih Mansour banyak terlibat dalam organisasi kelompok-kelompok marginal. Hidup dan perjalanan intelektualnya yang sarat dengan pergolakan pemikiran menentang ketidakadilan serta gerakan sosial menjadikan pribadi Mansour dikenal khalayak luas.4 Karirnya dimulai ketika dia lulus sebagai sarjana dari Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, awal 1970-an. Ketika teman-temannya berkiprah di arena politik, dia memilih memusatkan pemikirannya pada proses-proses pendidikan dan mulai menggumuli
2
“Mansour Tiada, Langit Berduka”, Jawa Pos, 17 Februari 2004. ibid. 4 ibid. 3
rasionalisme Islam. Kemudian, dia aktif di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).5 Karir pendidikannya diteruskan pada tahun 1990. Mansour meraih master of education dari University of Massachussetts dalam bidang pendidikan dan perubahan sosial. Karena kemampuannya yang tinggi, almamater dia di Amherst memberikan kesempatan bagi dirinya untuk meraih gelar doktor pada 1994. Kiprah Mansour tercatat di Lembaga Studi Pembangunan (LSP). Pengalamannya bertemu kalangan intelektual yang memperkuat pemikiran kritisnya kemudian memicu dirinya untuk mendirikan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) serta turut menyimak sekolah akar rumput Institut Pengembangan Masyarakat (IPM). Dia sempat terlibat mengembangkan kelompok pendidikan nonformal di Pusat Pelatihan Pendidikan Masyarakat, Jayagiri, Lembang. Dia bekerja bersama dua aktivis dari Volunteers in Asia (VIA), yakni Russ Dilts dan Craig Thorburn. Bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Luar Sekolah Depdikbud, kelompok itu turut mengembangkan metodologi pelatihan partisipatif. Di Cirebon, dia juga sempat menularkan pengetahuannya kepada para pengurus Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada 1983. Di Yogyakarta, bersama kawan-kawannya, Mansour mendirikan Institute for Social Transformation (Insist) pada 1997. Sebelumnya, pada 1994, dia terlibat mendirikan Resource Management & Development Consultants di Jakarta. Terakhir, Mansour tercatat sebagai anggota Komnas HAM. Sebelumnya, dia terpilih sebagai anggota "Helsinki Process", suatu forum internasional yang diprakarsai Kementerian Luar Negeri Finlandia, beberapa negara Selatan, dan LSM internasional. Di samping itu dia juga pernah menjabat sebagai Country Representative OXFAMGB6 di Indonesia. Juga keaktifan lain sebagai fasilitator penelitian, pengarah penelitian di ReaD, redaktur jurnal Wacana, menyunting dan menulis buku terbitan Insist press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.7 Kesibukan yang dimiliki oleh Mansour sebagian besar adalah terfokus pada pemberdayaan kaum tertindas. Berangkat dari situlah pemikiran Mansour sering mengungkap tentang wacana transformasi sosial. Sebuah keyakinan untuk memihak yang lemah, karena dengan bersikap netral seseungguhnya sama saja dengan membela kaum penindas. Orangorang marginal yang sering ditemui Mansour adalah orang miskin, difabel, komunitaskomunitas anti penindasan dan komunitaqs lain yang sejenis.
5
Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: INSIST, 2002), hlm. 364. 6 Sebuah LSM yang aktif di gerakan sosial dengan jaringan internasional. 7 Mansour Fakih, Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis, (Yogyakarta: Insist, 2001), hlm. 171.
Pemikiran Mansour banyak bersumber dari golongan kiri yang sangat populer diwakili oleh Karl Marx. Namun pemikiran yang banyak diintrodusir oleh Mansour sendiri lebih condong pada gagasan Antonio Gramsci8 pengikut Marxisme yang terkenal dengan gagasan hegemoni sebagai kritik atas aliran Marxisme tradisional. Kemudian juga dipengaruhi oleh Paulo Freire9 penggagas pendidikan kaum tertindas, serta Michel Foucoult10 salah seorang tokoh Posmodernisme yang mengupas relasi kekuasaan dan pengetahuan. Dan Jurgen Habermas salah seorang penganut Kritisisme Mazhab Frankfurt.11 Tokoh-tokoh di atas merupakan inspirasi pemikiran Mansour Fakih. Hal itu terlihat dalam uraian karya-karya Mansour Fakih yang sering memperkenalkan ketiga sosok tersebut. Semisal dalam hal gerakan sosial Fakih mengambil Gramsci juga Freire serta memakai analisa Foucoult untuk memformulasikan sebuah perlawanan. Dan dalam wilayah pendidikan sangat kental terasa pemikiran Freire yang mengusung aliran Kritis. Dan yang paling kelihatan adalah ketajaman Mansour dalam membaca pertarungan ideologi, karena pengaruh tokohtokoh di atas. 3. Karya-karya DR. Mansour Fakih Mansour Fakih termasuk sosok pemikir yang produktif. Banyak ide-ide yang dia miliki telah diterbitkan menjadi sebuah buku. Karya-karyanya terinspirasi oleh aktivitasnya yang intens bergaul, diskusi dengan berbagai kalangan dan khususnya kaum-kaum marginal. Kegiatan pendampingan yang dia lakukan seperti pendidikan kerakyatan dan sebagainya memberikan penjelasan yang utuh mengenai persoalan kemiskinan, bias gender dan tentang ketidakadilan pendidikan. Tulisan Mansour sangat mengalir dalam menjelaskan pemikirannya dan mudah dimengerti. Teori-teori perubahan sosial yang banyak dia geluti dan pendampinganpendampingan yang dia lakukan seperti menjadi fasilitator program pendidikan kerakyatan banyak memberikan masukan terhadap bingkai teori sosial yang sudah ada khususnya di
8
Gramsci lahir tanggal 22 Januari 1891 di Ales Sardinia dan meninggal di Roma 27 April 1937 dari keluarga kelas bawah di pulau Sardinia Italia. Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999) hlm. vii. 9 Paulo Freire adalah seorang pendidik radikal berkebangsaan Brasil yang lahir pada tanggal 19 September1921 di kota Recife, Brasil dan meninggal dunia pada tanggal 2 Mai 1997 di Sao Paulo, Brasil. Lihat DR. Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm. 110. 10 Michel Foucoult lahir di Poiter, Prancis tahun 1926 dan meninggal di Paris 1964. Ibid., hlm. 187. 11 Habermas membagi pengetahuan menjadi tiga. Pertama, instrumental knowledge, model pengetahuan yang mengontrol, memprediksi objeknya tingkatan inilah oleh Mansour Fakih disebut Positivisme. Kedua, hermeneutic knowledge atau pengetahuan hanyalah untuk memahami dan yang ketiga, critical knowledge atau emancipatory knowledge atau pengetahuan adalah sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia. Lihat Listiyono Santoso dan I Ketut Wisarja, Epistemologi Jurgen Habemas, dalam Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakata: ArRuzz Press, 2003, hlm. 217-247.
Indonesia. Dan sebagaimana perjalanan intelektualnya yang sering bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kiri, menjadikan karya-karyanya terasa keras tetapi realistis. Karya-karya Mansour tersebut antara lain adalah; Pertama, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial; Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku tersebut adalah hasil disertasinya di Universitas Massachusets at Amherst Amerika Serikat pada bulan Februari 2006 dengan judul; The Role of Non-Govermental Organization in social Transformation: A Participatory Inquiry in Indonesia. Penelitian tersebut merupakan penelitian akan dunia yang dia geluti, dengan mengusung paradigma transformatif dalam buku tersebut dan sebagaimana buku-bukunya yang lain selalu menggambarkan pertarungan ideologi. Harapannya adalah agar LSM-LSM di Indonesia mampu melakukan tugas-ugas untuk transformasi sosial. Kedua, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, diterbitkan juga oleh Pustaka Pelajar pada tahun 1996 dan membutuhkan cetak ulang berkali-kali. Buku inilah yang membawa nama Mansour dikenal luas, sehingga ketika membicarakan persoalan gender kurang lengkap bila tidak mengikutsertakan pemikirannya. Ketiga, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi, diterbitkan Insist bekerja sama dengan Pustaka Pelajar pada tahun 2001. Dalam buku ini Mansour memaparkan beragam teori ideologi kaitannya dengan tema perubahan sosial. Dengan materi yang berat Mansour menjelaskannya dengan ringkas dan mudah dimengerti, dalam buku tersebut diterangkan tentang paradigma dan perannya dalam membentuk teori perubahan sosial. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan teori-teori perubahan sosial Kapitalisme, teori-teori kritik, teori alternatif dalam bingkai perubahan sosial. Keempat, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar dan Insist pada tahun 2002. Buku ini boleh dibilang adalah antologi tulisan-tulisannya baik yang berupa buku maupun tulisan yang berbentuk pengantar untuk sebuah buku. Buku ini menjelaskan banyak hal mulai dari developmentalisme, teori kelas, revolusi hijau, pemikiran tokoh juga melihat Islam sebagai sebuah gerakan alternatif dengan ringkas. Kelima, Bebas Dari Neoliberalisme, diterbitkan oleh Insist press pada tahun 2003. Secara khusus Mansour mengupas ketidakadilan sosial dalam hal pemilikan harta dengan menguraikan neoliberalisme sebagai biang keladinya. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 2003 dan sudah mengalami cetak ulang. Ini membuktikan bahwa minat masyarakat akan buku-bukunya cukup tinggi, dengan pertimbangan ulasannya dalam tetapi tetap enak dipahami. Disamping kelima buku di atas Mansour juga menulis buku yang banyak digemari masyarakat bersama Roem Topatimasang dan Toto Rahardjo berjudul ‘Pendidikan Popular Mengurai Kesadaran Kritis’ diterbitkan oleh Insist press tahun 2001. Buku tersebut secara
teoritis banyak menjelaskan beragam teori atau dalam bahasa Mansour adalah paradigma dan kaitannya dengan pendidikan. Disamping sebagai teori buku tersebut juga menjadi modul untuk program-program pendidikan kerakyatan. Banyak juga tulisan Mansour yang tersebar dalam pengantar sebuah buku seperti dalam ‘Ideologi-ideologi Pendidikan’ karya William F. Oneill dengan judul ‘Ideologi Dalam Pendidikan’. Ada juga tulisannya yang berjudul ‘Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan’ menjadi pengantar buku Francis Wahono (Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan). Sebuah tulisan berjudul ‘Hak Asasi Manusia Ancaman dan Peluang Tegaknya Keadilan’ menjadi pengantar dalam buku Eko Prasetyo (HAM Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal). Dalam buku ‘Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender’ Mansour juga memberikan pengantarnya. Dia juga menulis tentang Gramsci untuk pengantar dalam buku ‘Gagasan-gagsan Politik Antonio Gramsci’ karya Roger Simon. Dan ada juga tulisan Mansour ‘Agama dan Proses Demokratisasi Di Indonesia’ menjadi kumpulan tulisan dalam buku ‘Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuwan’. Serta masih banyak gagasannya yang tercantum dalam jurnal Wacana terbitan Insist Press. B. Pandangan DR. Mansour Fakih Tentang Transformasi Sosial Prinsip yang mengatakan bahwa hidup merupakan sebuah pilihan mewakili untuk menggambarkan bentuk pemikiran Mansour Fakih. Dengan keyakinan bahwa tidak setiap ilmu memiliki kemanfaatan bagi kemaslahatan manusia maka dalam hal ilmu sosial Mansour melihat bahwa dalam upaya mewujudkan perubahan dalam realitas mayarakat seperti ketidakadilan gender, kemiskinan, pendidikan adalah dengan mengusung gerakan transformasi sosial. Sebagaimana pernyataan Mansour Fakih; “dalam hal ini transformasi sosial dianggap sebagai salah satu model atau bentuk alternatif tentang perubahan sosial, yang merupakan tujuan utama setiap gerakan sosial”.12 1. Epistemologi13 Transformasi Sosial DR. Mansour Fakih Perjalanan hidup dan intelektual Mansour yang banyak dihabiskan dalam pergulatan ilmu serta gerakan sosial, memberikan dampak pada pengembangan konsep-konsep ilmu sosial terutama dalam tema perubahan sosial yang diarahkan pada teori transformasi sosial. Menurut Mansour, transformasi sosial didefinisikan ‘sebagai penciptaan hubungan ekonomi, 12
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 38. 13 Epistemologi merupakan pembahasan secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan, dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Tim dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 90. Beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam epistemologi adalah bagaimana memperoleh pengetahuan yang bisa menjamin kebenaran kenyataan, metode dan sarana serta sumber apa yang dapat dipercaya untuk mendapatkannya. Listiyono Santoso dkk (ed), Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2003), hlm. 52.
politik, kultural dan lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik’.14 Dengan mengambil pilihan teori sosial yang transformatif, hal ini sesuai dengan sebuag pepatah “tidak ada yang abadi di dunia, yang abadi hanyalah perubahan”. Perubahan merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam pemikiran Mansour. Dan perubahan yang diinginkannya adalah perubahan yang dilakukan oleh masyarakat, perubahan yang membawa kepentingan dari lapisan yang tertindas dan termarginal. Karena Mansour meihat bahwa perubahan dalam realitas sosial yang terjadi adalah perubahan model top-down, pemaksaan perubahan dari atas ke bawah, dari kelompok elit ke kelompok proletar. Paradigma perubahan yang cenderung tidak memberdayakan masyarakat harus dirubah. Dengan teori transformasi sosial Mansour memiki kerangka konsep untuk menciptakan perubahan yang demokratis, perubahan yang muncul dari dalam masyarakat dan untuk kepentingan dan kemanfaatan msayarakat pula. a.
Perang Melawan Ideologi Dominan Dalam menentukan arah transformasi sosial, paradigma15 memainkan peran yang
sangat menentukan. Karena hal tersebut digunakan dalam rangka memahami kerangka konsepsi untuk memberi makna terhadap realitas sosial. Sehingga pertikaian wacana tersebut sudah dimulai dalam ilmu-ilmu sosial antara yang berpaham obyektifis dengan yang berpaham subjektifis. Hal ini terlihat dalam uraian Mansour yang senantiasa membaca persoalan-persoalan sosial yang terjadi dengan pembacaan ideologis. Seperti masalah gender, kemiskinan, pendidikan, dan HAM. Dengan membaca ideologi tersebut, penting untuk digunakan sebagai alat analisis dalam rangka memahami permasalahan sosial yang terjadi. Dalam hal paradigmatik Mansour memandang aliran positivisme, obyektivisme serta fungsionalisme harus dikritik sebagai landasan keilmuan yang tidak memanusiakan manusia. Dalam hal tatanan ekonomi ia mengkritik kaum kapitalisme yang sekarang merubah diri menjadi neoliberalisme. Juga melawan bangunan teori developmentalisme (pembangunanisme) yang sangat dominan menjadi kerangka perubahan sosial di Indonesia bahkan dunia. Dalam penjelasan Mansour, para kaum obyektifis berkeyakinan bahwa ilmu sosial haruslah obyektif, berjarak, bebas nilai dan bersifat universal, maka tugas utamanya adalah memberi makna realitas sosial serta melakukan rekayasa sosial menuju suatu masyarakat yang 14
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil, op. cit., hlm. 38. Kalimat terakhir yang berbunyi ‘yang secara mendasar baru dan lebih baik’ bukanlah sebuah kerangka teori ataupun solusi yang ‘benar-benar baru’. Karena ‘baru’ adalah tentang ‘kapan’, tentang ‘siapa’, tergantung ‘bagi siapa’, tentang ‘di mana’, tentang ‘bagaimana’ dan ‘baru’ tak pelak lagi adalah calon ‘lama’. baca pengantar Omi Intan Naomi, Buku Baru, Perempuan Baru, Ini, Itu, Dan Lainnya, dalam Betzy Dinezen (ed), Tiga Abad Perempuan, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. v-xxi. 15 Paradigma di sini adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran tertentu. Lihat DR. Mansour Fakih, Agama dan
dicita-citakan oleh penggagasnya menuju terciptanya suatu tatanan sosial yang berpijak pada keseimbangan sosial dan harmoni sosial.16 Aliran
objektifis
tersebut
melahirkan
teori
yang
disebut
Fungsionalisme.
Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem di mana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan.17 Adalah Talcott Parsons18 sosok yang dianggap sebagai penggagas teori Fungsionalisme yang oleh Mansour Fakih dianggap tidak menyelesaikan akar masalah. Karena Parsons menyetujui perubahan di dalam sistem, bukan perubahan sistem sosial itu sendiri. Bahasan neolibaralisme akan diuraikan dalam bagian transformasi kemiskinan, sementara persoalan developmentalisme bagi Mansour merupakan istilah yang telah menyebar dan dipergunakan sebagai visi, teori dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua negara, khususnya dunia ketiga. Teori pembangunan kemudian menjadi sinonim dengan modernisasi, teori yang lahir pad tahun 50-an sebagai respon kaum intelektual terhadap perang dunia. Dalam analisis Mansour, awalnya developmentalisme dikembangkan dalam rangka membendung banjir semangat antikapitalisme bagi berjuta rakyat dunia ketiga. Gagasan pembangunan dimulai tahun 1940-an, khususnya pada tanggal 20 Januari 1949, yakni pada saat presiden Amerika Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Sejak itulah pembanguna (development) dan keterbelakangan (underdevelopment) menjadi kosakata dan doktrin luar negeri Amerika.19 Pemikiran modernisasi dan pembangunan ini kemudian diperluas ke wilayah ekonomi serta keilmuan, jadi sesungguhnya antara kaum kapitalis atau neoliberal, developmentalis, fungsionalis serta obyektifis adalah satu rangkaian doktrin sebagai jalan untuk menjajah dunia ketiga. Bukan sebagai penyembuh ‘penyakit’ kemiskinan dan keterbelakangan tetapi malah menjadi penyebab keswengsaraan berjuta-juta rakyat di negeri dunia ketiga.
Proses Demokratisasi di Indonesia suatu Analisis Kritis, dalam Eko Prasetyo dkk (ed) Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuwan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 43. 16 Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm. 29. 17 Mansour Fakih, Masyarakat Sipill, op. cit., hlm. 42. 18 Talcott Parsons dilahirkan di Colorado tahun 1902, anak seorang guru dan pendeta Kongregassionalis yang menaruh minat pada ajaran sosial kitab suci dan Karya yang mengangkat namanya adalah The Structure of Social Action (1937) sebuah gagasan mengenai teori tindakan. Untuk lebih jelas lihat Peter Beilharz, Toeri-teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terekmuka, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 291-300. Bandingkan juga dengan Peter Hamilton (ed) Talcott Parsons dan Pemikirannya, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). 19 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 40-43.
Sementara dalam sudut pandang yang lain terdapat kelompok subjektifis, yang berpandangan bahwa pada dasarnya tugas ilmu dan analisis sosial tidak sekedar memberi makna terhadap realitas sosial melainkan memberi ruang kepada masyarakat sebagai subjek sosial untuk melakukan upaya transformasi sosial menuju tatanan sosial yang berkeadilan. Ilmu sosial dalam pandangan subjektifis tidak bebas nilai, melainkan harus sarat dengan nilai keadilan serta berwatak subyektif. Maka, ilmu sosial harus bersifat membela dan membebaskan kaum tertindas dan kelompok teraniaya.20 Kaum subyektifis melahirkan pendekatan lain yang dikenal dengan teori konflik21 sebagai alternatif terhadap pendekatan fungsionalisme. Teori konflik pada dasarnya menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar di mana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya. Kedua, kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya. Yang ketiga, nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.22 Upaya perlawanan yang lain adalah dengan mengusung paradigma transformatif. Caranya adalah dengan mempertanyakan paradigma mainstream yang ada dan ideologi yang tersembunyi di dalamnya; dan berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan superstruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaanya.23 Pemikiran transformasi sosial Mansour dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang kedua yakni madzhab subjektif dengan pendekatan konflik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mansour Fakih, yang meyakini “pendekatan kedua yaitu teori konflik yang melihat gerakan sosial sebagai suatu kebutuhan yang memandang potensi gerakan sosial akan menimbulkan akibat positif dan karenanya merupakan sarana yang akan membawa kepada perubahan sosial”.24 Dengan mengusung gagasan pemikiran yang beraliran konflik, Mansour Fakih ingin menegaskan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan bukanlah sebuah objek mati yang bisa diarahkan sedemikian rupa. Namun dia memiliki keyakinan bahwa kehidupan sosial adalah organisme hidup yang memiliki tujuannya sendiri. Sebuah masyarakat tidak bisa dianggap 20
Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm. 30. Istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu ‘perkelahian, peperangan atau perjuangan’—yaitu berupa konfrontasi fisik antara berbagai pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain”. Untuk lebih jelas lihat Dean G. Pruit dan Jefry Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 9 22 Mansour Fakih, Masyarakat Sipill, op. cit., hlm. 44. 23 ibid., 131. 21
sebagai benda mati oleh karena itu setiap upaya perubahan yang sebenarnya harus menjadikan masyarakat sebagai subjek. Target utama Mansour dalam perlawanannya dengan ideologi dominan adalah untuk menciptakan iklim yang demokratis. Tanpa menggunakan perspektif transformatif maka sesungguhnya yang akan terjadi adalah otoritarianisme, yang akibatnya banyak kebijakankebijakan publik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dengan paradigma transformatif maka akan terwujud masyarakat sipil. Masyarakat sipil menurut Fakih adalah suatu agresi atau percampuran kepentingan, di mana kepentingan sempit ditransformasi menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah serta dimana aliansi dibentuk. Sehingga masyarakat sipil bagi transformasi sosial memiliki arti suatu proses perubahan oleh rakyat.25 Ketika masyarakat sipil telah terbangun dari sebuah gabungan kepentingan untuk menghentikan proses ketidakadilan maka transformasi sosial untuk pencapaian hubungan sosial yang lebih baik akan terwujud. Jadi inti dari gagasan transformasi sosial adalah bagaimana memberdayakan masyarakat agar sadar atau melek ideologi atau politik sebagai sarana untuk memperjuangkan perubahan sosial. Sebuah upaya perubahan yang bisa mentransformasikan relasi sosial politik agar menjadi relasi yang lebih adil dan berwatak emansipatoris (pembelaan). Sehingga ketika membicarakan kebenaran, maka kebenaran bagi Mansour adalah pemihakan bukan netral. Karena Mansour berpendirian bahwa tugas ilmu sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial tetapi juga mengubahnya. Berpihak kepada yang lemah teraniaya serta melakukan pendampingan-pendampingan untuk melepaskan jeratan yang ada pada mereka orang-orang tertindas. Dengan demikian sesungguhnya aktivis sosial akan selalu dihadapkan pada pilihan untuk memihak antara status quo dan perubahan; antara pertumbuhan dan keadilan; antara rekayasa sosial dan demokrasi; antara tirani dan demokrasi, dan seterusnya.26 b. Sumber Permasalahan Sistem bagi Mansour adalah sumber masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Karena ketika sistem sudah disepakati maka akan mengikat semua anggota masyarakat, persoalannya adalah apakah sistem yang telah disepakati itu adil atau tidak. Dalam kaca mata Mansour, sistem-sistem yang menjadi dominan hingga sekarang merupakan hasil dari manipulasi sekelompok orang yang eksploitatif. Seperti dalam kasus kemiskinan Mansour beranggapan bahwa letak persoalannya bukan pada para korban, yakni kaum miskin,
24
ibid., hlm. 46. ibid., hlm. 60-61. 26 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, op. cit., hlm. 5-7. 25
melainkan sistem relasi sosial, ekonomi dan budaya yang membawa akibat pada kemiskinan.27 Sementara dalam wilayah pendidikan, setiap upaya pendidikan haruslah menciptakan peluang untuk senantiasa mengembalikan fungsinya sebagai proses independen untuk transformasi sosial. Hal ini berarti proses pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap ‘tabu’ untuk mempertanyakan secara kritis sistem dan struktur yang ada serta hukum yang berlaku.28 Secara lebih luas salah satu penyebab masalah rakyat adalah sistem yang ada damn secara terang-terangan menuduh diskursus pembangunan dan struktur yang timpang.29 Sistem adalah objek utama pengamatan Mansour, segala persoalan yang terjadi dalam masyarakat adalah kesalahan sistem. Sistem menjadikan masyarakat tidak sadar bahwa dirinya telah terjebak dalam situasi yang tidak adil, sehingga menyalahkan pribadi manusia atau korban sebagai fenomena permasalahan yang ada tidaklah tepat. Meskipun begitu, para pelaku seringkali tidak menyadari akan bangunan sistem sehingga ketimpangan yang ada semakin langgeng dan kebanyakan mereka menyalahkan diri mereka sendiri, hal inilah yang membuat proses penyadaran itu penting. c.
Penyadaran Dalam usahanya mewujudkan transformasi sosial, Mansour memiliki maksud untuk
“berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan kesadaran, baik bagi golongan penindas maupun yang tertindas, untuk menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil”.30 Di sinilah letak inti dari konsep transformasi sosial Mansour Fakih yang lebih menekankan kepada sistem, bukan kepada manusianya. Bukan menyalahkan kepada penindas apalagi kepada yang tertindas. Antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi memiliki kapasitas yang sama sebagai orang yang telah terperangkap dalam sebuah sistem yang keliru. Kekeliruan sistem yang terjadi tentunya tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat analisa terhadap pelakunya, karena kalau model seperti itu yang dijalankan maka sama saja dengan penyelesaian masalah model tambal sulam. Dan model tambal sulam itu hanya memungkinkan memberikan perubahan yang tidak signifikan. Di sinilah letak pentingnya merubah sistem yang berjalan karena sumber permasalahannya terdapat di situ. Sehingga strategi perjuangan yang diperlukan adalah melakukan pendekatan baik praktis maupun strategis. Sebagaimana pernyataan Mansour Fakih;
27
Mansour Fakih, Bebas Dari Neoliberalisme, (Yogyakarta: Insist, 2003), hlm 12. Mansour Fakih, Ideologi Dalam Pendidikan, pengantar dalam William F. Oneil, Ideologi-ideologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xxi. 29 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, op. cit., hlm. 132. 30 ibid., hlm. 9. 28
Perubahan sosial yang berperspektif transformatif juga berdimensi hal-hal untuk memenuhi kebutuhan praktis golongan miskin dan juga menggarap pemenuhan kebutuhan strategis golongan miskin. Hanya dengan cara yang luas itulah perubahan sosial dapat meyumbangkan transformasi sosial ke arah yang lebih adil.31 Dengan cara yang holistik, maka agenda perubahan untuk transformasi sosial bisa terwujud. Dan social justice atau keadilan sosial merupakan target utama perjuangan kemanusiaan yang senantiasa dihembuskan oleh Mansour yang meliputi aspek ekonomi, politik, dan kultur. Ungkapan Mansour Fakih berikut ini adalah target utama yang ingin dicapai; Mentransformasikan struktur yang ada, dengan menciptakan tatanan yang lebih baik, dalam aspek ekonomi, politik dan kultur yakni suatu proses yang menghapus ketidakadilan eksploitasi ekonomi, penindasan politik, hegemoni kultural, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia.32 Untuk mengupayakan transformasi struktur yang ada maka dibutuhkan programprogram yang berorientasi pada rakyat. Seperti proyek peningkatan pendapatan, pelayanan kesehatan dan banyak kegiatan lapangan lainnya, sebagai titik masuk untuk berbagai kegiatan jangka panjang seperti mengorganisir masyarakat, petani dan buruh untuk perubahan. Sembari melakukan penyadaran baik bagi yang tertindas dan yang menindas, maka perlu dilakukan metodologi transformatif. Yaitu proses yang menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan, yang memiliki kontrol atas sejarah dan pengetahuan mereka sendiri.33 2. Agenda Transformasi Sosial DR. Mansour Fakih Dalam usaha mewujudkan perubahan sosial, wacana transformasi sosial memiliki tugas yang cukup berat dalam mengupayakan tatanan sosial yang baru dan lebih baik. Sebagai pegiat gerakan sosial, Mansour Fakih memandang banyak wilayah yang harus ditarnsformasikan. Wilayah strategis yang sampai sekarang masih dikuasai oleh ideologi dominan. Sekelompok orang yang haus serta ambisius untuk mengeksploitasi orang lain demi pemenuhan kapital. Ada beberapa wilayah garapan yang menjadi bidikan pemikiran Mansour Fakih yang meliputi; gender, kemiskinan, dan pendidikan demi tegaknya hak asasi manusia (HAM). Tiga tema tersebut adalah bidikan utama Mansour Fakih yang dianggap sedang terjadi ketidakadilan sehingga memerlukan upaya transformasi gender, transformasi kemiskinan, transformasi pendidikan menjadi sistem relasi yang adil. a. Transformasi Gender 31
Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm. 45. Mansour Fakih, Agama dan Proses Demokratisasi di Indonesia Suatu Analisis Kritis, dalam Eko Prasetyo dkk (eds), Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuwan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 54. 33 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil, op. cit., hlm.132. 32
Tema gender ini merupakan tema yang mengangkat nama Fakih sehingga ketika berbicara mengenai isu gender pemikirannya sering dijadikan rujukan. Hal ini terkait dengan karyanya yang berjudul “Analisis Gender dan Tarnsformasi Sosial” banyak menarik minat pembaca sehingga cetak ulang pun diperlukan berkali-kali. Gender adalah kata yang diambil dari bahasa Inggris yang biasanya diartikan sebagai seks atau jenis kelamin. Padahal terdapat perbedaan yang signifikan antara kata gender dan seks. Uraian awal mengenai perbedaan gender dan seks merupakan pengantar menuju konsep gender. Seks atau jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis antara laki-laki dan perempuan.34 Ciri biologis laki-laki memiliki penis, jakala (kalamenjing), serta memproduksi sperma sementara perumpuan memiliki vagina, rahim, memproduksi ovum, dan payudara. Ciri tersebut akan terus melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan, maksudnya, selamanya ciri biologis antara laki-laki dan perempuan tidak akan berubah. Ketentuan seperti ini bisa dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan pengertian gender lebih pada pengertian sifat, yakni sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Yang pada gilirannya sifat-sifat yang dimiliki baik perempuan maupun laki-laki dianggap sebagai kodrat. Seperti sifat lemah lembut, cantik, emosional, keibuan atau yang lainnya yang sering dilekatkan pada perempuan. Kemudian sifat seperti perkasa, jantan, kuat, rasional sering disematkan pada kaum laki-laki. Anggapan bahwa sifat-sifat yang dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan sebagai kodrat harus dirubah. Karena semua itu merupakan bentukan dari budaya manusia, hasil dari perebutan wacana yang terus didengungkan sehingga seolah-olah sifat-sifat tersebut adalah bawaan. Inilah yang oleh Mansour Fakih; perbedaan gender (gender differences) melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Jadi konsep gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain.35 Antara seks dan gender memang memiliki pengertian yang jauh berbeda sehingga yang jadi persoalan adalah bagaimana agar ketidakadilan gender dapat dirubah, karena kalau persoalan seks sudah selesai. Dalam melihat kasus gender yang berkisar pada diskriminasi terhadap perempuan, Mansour Fakih melihat bahwa terdapat pertarungan dua kutub aliran, pertama, aliran mainstream (aliran Feminisme Liberal) dalam perbincangan mengenai nasib perempuan lebih fokus pada perempuannya. Seperti uangkapan bahwa persoalan perempuan itu berakar pada 34 35
Mansour Fakih, Analisis Gender, op. cit., hlm. 7. ibid., hlm. 9.
rendahnya kualitas sumber daya perempuan sendiri. Kelompok mainstream ini lebih condong mengupayakan bagaimana kebutuhan praktis perempuan bisa terpenuhi bukan kebutuhan strategisnya. Kedua, aliran analisis kritik (yang diwakili oleh aliran Feminis Sosialis) yang melihat pada sistem dan struktural relasi antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya adalah dengan cara memperjuangkan perubahan posisi kaum perempuan, termasuk counter hegemoni dan discours terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan baik kaum perempuan maupun laki-laki.36 Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat, itu diakui oleh Fakih sendiri, karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, di mana kita masingmasing terlibat secara intens.37 Dan yang lebih sulit adalah mengurai masalah ketidakadilan gender berarti mengurai benang kusut ketidakadilan tertua dalam sejarah umat manusia.38 Terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan adalah melibatkan banyak elemen kemasyarakatan. Faktor budaya dan dengan menggunakan legitimasi agama atau aliran kepercayaan, semakin menyudutkan perempuan. Bahkan bisa dibilang perempuan adalah makhluk yang berbahaya sehingga harus dikendalikan artinya jangan pernah diberi kebebasan. Sehingga perlu mempertanyakan lagi apakah agama sebagai instrumen pembebas atau penindas bagi perempuan.39 Mencari solusi yang sebenarnya atas ketidakadilan harus lebih menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan strategis perempuan. Hal ini penting mengingat perlunya upaya perbaikan untuk menghasilkan perubahan signifikan dalam rentang waktu yang lama. Seperti yang diungkapkan Mansour Fakih; 36
Mansour Fakih, Merekonstruksi Realitas Dengan Perspektif Gender sebuah Pengantari, dalam buku Sih Handayani dan Yos Soetiyono (ed), Merekonstruksi Realitas Dengan Perspektif Gender, (Yogyakarta: Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta {SBPY} dan OXFAM UK/I, 1997) hlm. 1-7. 37 Mansour Fakih, Analisis Gender, op. cit., hlm. 154. 38 Sebagaimana terdapat dalam ungkapan Raga el Nimr; “So all civilization, Greek, Roman, Chinese, Indian and Persian, at the height of their cultural prosperity, treated women as properties with no individual rights. When Islam appeared in Arabia, women held a very low position in society. They were treated not only as social inferiors but like chattel. It was a mark of dishonour for a man to have a daughter and many buried their female children alive”. (Sehingga semua peradaban bangsa Yunani, Roma, China, India pada kemakmuran kebudayaan tinggi mereka, mengenai mereka yang sebagai perempuan tidak memiliki kesejahteraan tanpa hak-hak individu. Ketika Islam nampak di Arab, perempuan memegang posisi yang sangat rendah di dalam masyarakat. Mereka tidak hanya sebagai masysrakat bawah saja tetapi sebagai barang bergerak. Ini adalah sebuah tanda dari pencemaran bagi seorang laki-laki untuk mempunyai seorang anak perempuan banyak yang mengubur anak mereka hidup-hidup). Lihat Raga’ El-Nimr, Women in Islamic Law, dalam Mai Yamani (ed), Feminism and Islam, (Lebanon: Garnet Publishing Limited, 1997) hlm. 91. 39 Lihat uraian lengkap tentang penafsiran ulang agama terhadap perempuan dalam Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas Tafsir Agama, (Yogyakarta: KLIK R, 2002), hlm 28-54.
Usaha strategis jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Mengingat usaha-usaha praktis sering kali justru bernenti dan tidak berdaya hasil karena hambatan ideologis, misalnya bias gender, maka perjuangan strategis ini meliputi pelbagai peperangan ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan tersebut misalnya dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk menghentikan pelbagai bentuk ketidakadilan gender. Upaya strategis ini perlu dilakukan dengan pelbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi tentang pelbagai ketidakadilan gender dan manifestasinya baik di masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga.40 Sehingga masih menurut Fakih ada dua hal yang harus diusahakan dalam kerangka perjuangan mengakhiri sistem yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki. Pertama, melawan hegemoni yang merendahkan perempuan dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi. Artinya, mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja pada tingkat dan bentuk apa saja. Kedua, melawan paradigma developmentalisme41 yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Dan karenanya perempuan dijadikan objek pembangunan yakni diidentifikasi, diukur dan diprogramkan.42 b. Transformasi Kemiskinan Ada pertanyaan yang menarik untuk dikaji sebagai pembuka wacana transformasi kemiskinan gagasan Mansour Fakih sebagai bagian dari kritik atas faham neo-liberalisme. Mengapa kita menjadi miskin? Kemiskinan seringkali dikaitkan dengan kebijakan (takdir) Tuhan atau menyalahkan kaum miskin itu sendiri karena kemalasan, kebodohan dan lemahnya sumber daya manusia. Mnasour Fakih secara tegas mengemukakan bahwa orang-orang miskin itu telah dimiskinkan akibat dari kebijakan sistemik yang dikenal dengan neoliberalisme.43 Sebagai strategi baru bagi kalangan kapitalis, neoliberalisme memiliki beberapa pendirian untuk menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas. Pertama, 40
Mansour Fakih, Analisis Gender, op. cit., hlm. 156-157. Developmentalisme atau pembangunanisme merupakan salah satu teori tentang perubahan sosial sebagai model kapitalisme dunia ketiga. Di dalamnya terdapat landasan teori semacam teori ekonomi kapitalisme, evolusi, fungsionalisme, modernisasi, pertumbuhan. Secara lengkap lihat DR. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, op. cit. Juga baca jurnal Wacana, Krisis dan Bencana Pembangunan Kritik dan Alternatif, Yogyakarta, Insist Press, Edisi 5, Tahun II 2000. 42 Mansour Fakih, Analisis Gender, op. cit., hlm. 152-153. 43 Pendirian kaum neoliberal pada prinsipnya tidak bergeser dari paham liberalisme gagasan Adam Smith dalam The Wealth Of Nations (1776). Karena terjadi krisis berkepanjangan yang menimpa kapitalisme abad 19 mengakibatkan ambruknya paham Liberalisme. Namun dalam perjalanannya, kapitalisme di awal akhir abad 20 mengalami stagnasi sebab paham keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat, untuk itu kapitalisme membutuhkan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. DR. Mansour Fakih. Bebas Dari Neoliberalisme, op. cit., hlm. 6. 41
bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan negara (pemerintah) jadi urusan perburuhan, harga, investasi adalah urusan perusahaan. Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat karena hal itu bertentangan dengan prinsip pasar bebas dan persaingan bebas. Ketiga, penghapusan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut masyarakat tradisional.44 Sehingga dengan demikian letak persoalannya bukan pada para korban, yakni kaum miskin melainkan pada sistem relasi sosial, ekonomi, budaya yang membawa akibat pada kemiskinan. Sehingga menurut Mansour Fakih, hanya ada satu jalan, untuk menghentikan pemiskinan, yakni ubah relasi sosial yang tidak adil menuju ke sistem sosial yang adil gender tanpa eksploitasi dan tanpa diskriminasi. Dengan mempersatukan seluruh elemen masyarakat yang tertindas untuk kemudian merebutnya. Menuju “masyarakat tanpa kelas” yang berarti masyarakat tanpa eksploitasi atau sistem sosial tanpa “pencurian” struktural.45 Bukan masyarakat yang tidak berhak memiliki harta pribadi sebagaimana arti kelas dalam masyarakat yang sering disalahpahami sebagai tingkatan kepemilikan harta. Dan salah satu usaha yang penting menurut Mansour Fakih adalah melakukan usaha untuk merebut berbagai konsep dan memaknainya demi untuk perlindungan terhadap rakyat miskin, seperti keamanan pangan dengan konsep kedaulatan pangan, menawarkan konsep civil society dengan konsep gerakan sosial. Dan Fakih menambahkan, kita perlu mencari konsep alternatif dari ‘good governance’ perspektif neoliberal, menggantinya dengan konsep alternatif seperti kedaulatan rakyat, democratic governance untuk memperjuangkan keadilan sosial (social justice) dan lain sebagainya.46 Ditambahkan lagi oleh Mansour Fakih bahwa perebutan wacana juga harus dibarengi dengan usaha merebut kebijakan negara dan bahkan kebijakan badan-badan dunia seperti PBB dan bank Dunia. Semua itu diperlukan dengan harapan agar setiap elemen masyarakat bangsa dan dunia yang ada untuk kembali bertanggung jawab dan mempertegas akuntabilitas kepada mayoritas penduduk dunia, yakni kaum miskin.47 c. Transformasi Pendidikan Pemikiran pendidikan yang dibawa oleh Mansour Fakih merupakan hasil dari pergulatannnya dengan pemikiran Paulo Freire. Karya bersamanya dengan Roem Topatimasang dan Toto Rahardjo yang berjudul “Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis” memberikan model pembelajaran alternatif. Sebuah buku yang tercipta dari pengalaman menjadi fasilitator pendidikan kerakyatan dengan pendekatan pendidikan partisipatif.
44
ibid., hlm. 6-8. ibid.. hlm 12-13, baca juga Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm.2-28. 46 ibid., hlm. 137. 47 loc. cit. 45
Peran pendidikan dalam keseluruhan upaya mewujudkan transformasi sosial adalah mewujudkan kesadaran. Karena dalam konteks perjuangan ideologi (perlawanan terhadap ideologi dominan) menurut Mansour Fakih, pendidikan adalah peran krusial intelektual organik dalam memunculkan keasadaran kelas dan kesadaran kritis.48 Proses pendidikan baik formal maupun nonformal pada dasarnya memiliki peran penting melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada, juga sebaliknya merupakan proses perubahan sosial yang lebih adil. Untuk itulah diperlukan paradigma pendidikan yang sesuai sebagai usaha menciptakan pendidikan yang peka terhadap perubahan sosial. Ada tiga paradigma utama yang duraikan oleh Mansour Fakih yang memperebutkan tempat dalam pendidikan. Pertama, paradigma Konservatif, yang berpendapat bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Kedua, paradigma Liberal, bagi golongan ini, memang berkeyakinan bahwa ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Kaum Liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik dan ‘excellence’ haruslah merupakan target utama pendidikan.49 Ketiga, paradigma kritis/radikal/emansipatoris.50 Dalam hal ini, Mansour menuturkan bahwa; Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif
48
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil, op. cit., hlm. 65. Mansour Fakih, Pendidikan Popular, op. cit., hlm. 19-20. 50 Secara terminologis kata kritis (criticize) dalam kamusnya Hassan Shadily dan John M Echols berarti, pertama mencela, kedua mengecam dan mengupas. John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm 156. Term kritis ini kemudian diperjelas lagi dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang berarti pertama, bersifat tidak lekas percaya. Kedua, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan, tajam dalam penganalisisan. Bisa dilihat Kamus besar bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm 531. Dan lebih konkrit, istilah kritis dalam rumusan Giroux dan Aronowitz (1985) adalah upaya melakukan perubahan struktur secara fundamental di dalam politik, ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dan agenda paradigma kritis adalah melakukan kritik terhadap the dominant ideology untuk kemudian melakukan transformasi sosial. Senada dengan hal itu, Paulo Freire berpandangan, paradigma kritis adalah pendidikan yang melatih murid agar mampu mengidentifikasi sesuatu (ketidakadilan, permasalahan atau objek kajian lain) dalam sistem dan struktur, kemudian menganalisa dan mentransformasikannya. Baca Mansour Fakih, Ideologi dalam Pendidikan, op. cit., hlm xvi-xvii. 49
maupun berjarak dengan masyarakat (detachement) seperti anjuran positivisme.51 Visi pendidikan adalah melakukan pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil.52 Pendidikan harus bisa berfungsi sebagai media untuk transformasi sosial. Menurut Fakih, setiap usaha pendidikan perlu melakukan transformasi hubungan antara fasilitator dan peserta pendidikan. untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan perlu dilakukan analisis struktural dan menempatkan posisi dimana sesungguhnya lokasi pemihakan usaha pendidikan dan pelatihan dalam struktur tersebut.53 Karena itulah Mansour Fakih lebih sepakat dengan golongan yang menganut paham ‘produksi’ daripada paham ‘reproduksi’. Paham ‘produksi’ meyakini bahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Teori ini disebut juga sebagai teori perlawanan, teori yang memusatkan perhatian pada cara-cara di mana perlawanan termasuk di dalam proses pendidikan yang menghasilkan pengertian dan kultur melalui perlawanannya maupun melalui kesadaran kolektif dan individunya sendiri. Sementara yang berpaham ‘reproduksi’ sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peran untuk perubahan sosial menuju transformasi sosial.54 Disamping analisis teoritis mengenai pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial, Fakih juga melihat pendidikan sebagai hak asasi manusia. Terutama sekali adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, hal ini terkait dengan persoalan komersialisasi pendidikan. Pendidikan yang semakin mahal pada gilirannya akan memarjinalkan masyarakat yang tidak mampu.55 Secara khusus Fakih melihatnya dalam hak anak atas pendidikan.56 Jadi untuk mewujudkan transformasi pendidikan adalah dengan menggunakan landasan paradigmatik kritis/emansipatoris. Sehingga pendidikan bisa berfungsi sebagai media untuk mewujudkan transformasi sosial, sebuah sistem relasi gender dan struktur sosial yang lebih adil tanpa eksploitasi. Strategi ini akan memungkinkan untuk tetap menghidupkan pluralisme dan demokratisasi. 51
Kritik terhadap Positivisme populer digulirkan oleh Jurgen Habermas salah seorang penganut Kritisisme Mazhab Frankfurt, yang membagi pengetahuan menjadi tiga. Pertama, instrumental knowledge, model pengetahuan yang mengontrol, memprediksi objeknya tingkatan inilah oleh Mansour Fakih disebut Positivisme. Kedua, hermeneutic knowledge atau pengetahuan hanyalah untuk memahami dan yang ketiga, critical knowledge atau emancipatory knowledge atau pengetahuan adalah sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia. Secara lengkap baca Listiyono Santoso dan I Ketut Wisarja, Epistemologi Jurgen Habemas, dalam Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakata: Ar-Ruzz Press, 2003, hlm. 217-247. 52 Mansour Fakih, Pendidikan Popular, op. cit., hlm. 22. 53 ibid., hlm. 25-26. 54 ibid., hlm. 27 dan 63. 55 Kritik atas pelaksanaan pendidikan terkait juga tentang komersialisasi secara lengkap lihat Jurnal Edukasi “Deinstitusionalisasi Pendidikan; Melawan Dominasi Sekolah”, Volume II Nomor 2, Desember 2004. 56 . Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm 296-297.
Karena Fakih meyakini bahwa tidak setiap pengetahuan mengandung nilai-nilai luhur, seperti nilai keadilan, demokratis, dan peka terhadap lingkungan sebagaimana pengetahuan merekayasa masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Dari ketiga bahasan di atas, yakni transformasi gender, kemiskinan, dan pendidikan bisa
dicermati
bahwa
Fakih
selalu
menggunakan
pembacaan
kritis.
Dia
selalu
membandingkan penggunaan beberapa paradigma yang cenderung tidak menyelesaikan masalah. Bagi Fakih transformasi sosial bisa terwujud bila penggunaan paradigma kritis terealisir. Tujuan utama dari proses transformasi sosial tersebut merupakan sebuah upaya untuk menjunjung supremasi hak asasi manusia (HAM). Wilayah kerja HAM adalah seluruh aspek yang didiami dan dikelola oleh manusia, sehingga segala sesuatu yang melibatkan mansuia haruslah mencipatakan sistem yang menujunjung tinggi HAM. Meskipun HAM telah dideklarasikan pada tahun 1949 lewat PBB, ancaman proses dehumanisasi tidak sepenuhnya hilang. Padahal banyak orang sepakat bahwa ancaman terhadap HAM berarti ancaman terhadap kemanusiaan. Seperti yang diungkapkan Fakih, deklarasi universal HAM tercetus sesungguhnya merupakan reaksi terhadap berbagai perbuatan dehumanisasi yang dilakukan oleh manusia.57 Adanya deklarasi HAM merupakan harapan agar tidak ada satu golongan pun dari umat manusia, seperti masyarakat adat, anak-anak, kaum perempuan, kaum difabel (sebutan halus untuk orang cacat), para penderita Aids, orang miskin yang tidak terlindungi hak asasinya sebagai manusia.58
3. Pendukung dan Penghambat Transformasi Sosial DR.
Masour Fakih Cita-cita perubahan dalam transformasi sosial harus terus didengungkan kepada setiap orang di tiap tempat, daerah serta lapisan sosial apapun. Bahwa tujuan transformasi sosial sebagai upaya penciptaan hubungan yang baru dan lebih adil, mengharuskan adanya perubahan sistem yang berarti melakukan perubahan kehidupan sosial secara mendasar merupakan agenda perjuangan yang sangat berat. Hal yang dapat mendukung terciptanya transformasi sosial tersebut yang pertama adalah agar bagaimana paradigma transformatif ini diberi kesempatan, mendapatkan ruang dalam berbagai kehidupan sosial. Salah satunya adalah seperti yang disampaikan Fakih, sulit untuk mengatakan apakah paradigma transformatif adalah jawaban atas demokratisasi jika kesempatan untuk membuktikannya tidak didapat.59
57
Mansour Fakih, Hak Asasi Manusia Ancaman Dan Peluang Tegaknya Keadilan, pengantar dalam buku Eko Prasetyo, HAM Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar), hlm. v. 58 ibid., hlm. vi. 59 Mansour Fakih, Agama dan Proses Demokratisasi, op. cit., hlm. 57.
Faktor pendukung yang juga sangat diperlukan adalah bagaimana agar terus menumbuhkan kesadaran ditingkat masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Harapan Fakih adalah agar tercipta kesadaran kritis dengan terus waspada dan saling mengingatkan, karena kesadaran kritis akan tetap menjaga proses humanisasi dan menghindarkan kita terjerembab dalam ‘sauna’ dehumanisai.60 Bila dua hal tersebut di atas bisa tercapai, atau secara radikal mampu merebut ruang di masyarakat serta dapat menumbuhkan kesadaran publik untuk berpikir dan bersikap kritis, maka upaya menuju perubahan sosial dengan transformasi sosial akan bisa terwujud, yakni tatanan sosial baru yang lebih adil dan lebih baik. Namun meskipun begitu terpampang begitu luas halangan yang mungkin dihadapi dalam usaha menuju kesana. Satu hal yang paling sulit adalah bahwa tindakan dehumanisasi tidak dilakukan oleh orang perorang dan bersifat terselubung, hal inilah yang membentuk pelanggaran hak asasi manusia baik terhadap perempuan, orang miskin, anak-anak, difabel, masyarakat desa bersifat sistemik, berwatak struktural serta institusional. Sehingga upaya mengurainya harus intens dan sangat rumit. Dan yang tidak kalah sulitnya adalah para korban pelanggaran HAM tersebut tidak sadar atau tidak merasakan bahwa dirinya telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga banyak kemudian justru menyalahkan diri mereka sendiri. Hal ini diakibatkan oleh sikap sebagian besar anggota masyarakat yang melihat para korban dari proses dehumanisasi cenderung menyalahkan korbannya. Hal tersebut tergambar dalam tulisan Mansour Fakih; Berapa banyak kaum perempuan terlanggar haknya, berapa banyak para istri menjanda akibat kekerasan domestik. Semua itu bersumber pada instrumen nasional mengenai hak asasi perempuan tidak sejalan dengan bias gender yang terdapat dalam masyarakat. Kita masih menyaksikan anak-anak dipekerjakan di pabrik-pabrik, anak-anak mengemis di jalanan, dengan tanpa rasa bersalah dan seolah tidak terjadi pelanggaran HAM dan sering kita tidak sanggup berbuat apa-apa.61 Kenyataan pahit yang sering menggambarkan ketidakadilan sosial di tingkatan masyarakat sering kali yang tersikapi hanyalah dengan menyalahkan korban, tidak merasa ada pelanggaran HAM. Dengan demikian, perjuangan baik struktural maupun kultural harus dijalankan dalam usaha menyadarkan masyarakat dalam rangka menuju perubahan sosial yang baru dan lebih adil.
60 61
Mansour Fakih, Jalan Lain, op. cit., hlm. xviii. Mansour Fakih, Hak Asasi Manusia Ancaman Dan Peluang op. cit., hlm. ix.