BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN
A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender dalam Islam Secara umum, ada dua asumsi utama dalam memberikan tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang perempuan, yaitu: Kelompok yang berpendapat bahwa Islam membedakan laki-laki dan perempuan baik secara biologis maupun secara jender. Perbedaan fungsi biologis ini akan berhubungan dengan perbedaan fungsi dan peran perempuan. Beberapa ajaran Islam dimanfaatkan sebagai dasar argumentasi yang memberikan legitimasi terhadap dominasi laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh ayat yang mengatur tentang pembagian waris, yakni surat an-Nisa’ (4:11):
Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta........" Kelompok yang berpendapat bahwa Islam secara substantif tidak membedakan antara kedudukan perempuan dengan laki-laki. Islam telah
87
88
menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat. Ajaran Islam yang esensial memberikan penghormatan yang tinggi terhadap perempuan. Perempuan sama dengan laki-laki dalam hal rohnya, nilainya, haknya, dan kemanusiannya. 1 Ini semua berkat datangnya ajaran Islam yang berhasil menghancurkan tradisi-tradisi yang dianggap usang. Seperti ditunjukkan dalam Surat al-Ahzab (33:35) yaitu:
Artinya:“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu´, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar Apabila mengacu pada klasifikasi di atas, tampaknya kedua tokoh yakni Riffat Hassan dan Mansour Fakih masuk dalam kategori yang kedua, yang memandang tidak ada perbedaan esensial dalam Islam menyangkut posisi laki-laki dan perempuan. Apalagi menyangkut ketimpangan dan ketidaksetaraan jender yang selama ini dialamatkan pada agama Islam sebagai salah satu penyebab diskriminasi pada jender tertentu. 1
Achmad Satori Ismail, Fiqh Perempuan dan Feminisme dalam Mansour Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Jender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm.134.
89
Persamaan pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih dilihat dari pandangannya tentang kesetaraan jender dalam Islam. Mereka sama-sama tidak setuju bila agama dikaitkan dengan praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh sebagian besar umat Islam terhadap perempuan. Apalagi memposisikan agama sebagai alat untuk melegitimasi praktik-praktik tersebut. Mereka juga memiliki persamaan pandangan bahwa sebenarnya umat Islam sendirilah yang bertanggungjawab atas munculnya asumsi-asumsi di atas. Riffat Hassan dan Mansour Fakih sebagai seorang feminis Muslim yang berangkat dari sosial budaya yang berbeda memiliki visi sama dalam hal permasalahan kesetaraan jender dalam Islam. Kaum perempuan yang selama ini dianggap menjadi korban ketidakadilan jender harus diselamatkan.
B. Perbedaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender dalam Islam Adapun Perbedaan dari pemikiran kedua tokoh yaitu dari segi latar belakang kehidupan keluarga dan masyarakat. Pengalaman hidup Riffat Hassan yang di dalamnya sangat kental dengan nuansa patriarkis dan pergolakan batin, sangatlah mempengaruhi karakter dari pemikirannya, sehingga membuat Riffat lebih tertarik pada konsep teologi feminisme yang jelas-jelas dihadapkan dengan teologi patriarki, sebuah bangunan teologi yang menurutnya ditafsirkan, dibangun dan dikembangkan oleh kaum laki-laki demi kepentingan kaumnya. Sedangkan Mansour Fakih yang dikenal dengan pendamping masyarakat, dengan pergolakan
90
pemikiran yang menentang ketidakadilan dan sarat dengan gerakan sosial membuat ia bergelut dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan hak asasi manusia. Riffat Hassan dalam rangka membangun paradigma teologi feminis menggunakan pendekatan dua level, yaitu; pendekatan normatif-idealis dan pendekatan historis-empiris. Sedangkan Mansour Fakih menggunakan pendekatan analisis sosial structural dengan metode pendidikan kritis terhadap masyarakat. Dari segi Wilayah Kajian dalam Kesetaraan Jender dalam Islam. Bila mengikuti pendapat Quraish Shihab yang membagi tema-tema kesetaraan jender dalam Islam menjadi dua sub pokok yakni, pertama, tema yang berkaitan dengan asal kejadian perempuan dan kedua, hak-hak perempuan dalam berbagai bidang sosial. Pertanyaan yang muncul dalam tema pertama yakni, berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?2 Sedangkan tema yang kedua muncul akibat banyaknya diskriminasi yang terjadi terhadap peran dan hak perempuan dalam sektor publik, yang sangat kentara dibedakan dengan hak kaum laki-laki. Kemudian praktek-praktek tersebut banyak yang bersembunyi di belakang ajaran-ajaran agama (Islam). Pemikiran kedua tokoh mengindikasikan bahwa Riffat Hassan lebih tertarik untuk membahas masalah asal-usul kejadian perempuan dibandingkan dengan aspek hak-hak perempuan dalam kehidupan kongkret seperti apa yang
2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 270.
91
dilakukan Mansour Fakih. Menurut Riffat, akar dari permasalahan yang muncul berkaitan dengan praktek-praktek ketidaksetaraan jender adalah ajaran-ajaran yang bersifat teologis yang ditafsirkan oleh kaum laki-laki untuk mendukung gagasan patriarkhi yang telah berkembang selama ribuan tahun. Dalam wilayah ini, Mansour Fakih mempunyai kelebihan dengan mengkaji kasus-kasus kongkret di masyarakat maka implikasi pemikiran jender Mansour Fakih lebih bisa terlihat aplikasinya di lapangan. Tidak seperti kajian Riffat yang bersifat terlalu abstrak dan teoretis. Bila Riffat Hassan menggunakan dasar pemikirannya dengan apa yang dikenalkan dengan teologi feminis yang bertujuan untuk pembebasan perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, Mansour Fakih mennggunakan analisis jender yang berangkat dari pandangan bahwa prinsip dasar Islam adalah agama keadilan. Sehingga dapat diketahui bentuk-bentuk ketidakadilan hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam Islam. Riffat
menjelaskan
bahwa
al-Qur’an
menggunakan
istilah
dan
perumpamaan feminisme yang maskulin tanpa ada pengistimewaan tertentu dalam menerangkan penciptaan manusia yang berasal dari satu sumber bahwa mulamula diciptakan Allah adalah manusia tanpa perbedaan dan tidak disebutkan secara jelas laki-laki atau perempuan. Dengan begitu maka para feminisme mengatakan bahwa tercipta dari tulang rusuk Adam harus ditolak, dan ayat-ayat yang secara eksplisit mengatakan bahwa istri diciptakan dari suaminya harus dibantah. Sedangkan Mansour memaparkan berbagai macam ketidakadilan berdasarkan jender yang ada di masyarakat, yang kemudian memunculkan adanya
92
paham feminisme. Paham tersebut memandang bahwa perempuan dan laki-laki haruslah berada pada kedudukan yang sama. Mansour kemudian menjelaskan berbagai macam paham feminisme, serta menunjukkan perbedaan fokus daripada paham-paham feminisme yang tersebut.3 Dalam memahami Al-Qur’an (Q.S An Nisa:34)“al-rijalu Qawwamuna ‘ala an-Nisa’, Riffat Hassan menganalisa bahwa yang dimaksud dengan kata qawwamu tersebut bukanlah sebagaimana yang umum dipahami orang selama ini, yakni laki-laki sebagai pemimpin atau pengatur perempuan. Menurut Riffat, kata qawwamu adalah sebuah term ekonomis, dan bukan biologis. Ia lebih tepat diartikan sebagai pencari nafkah, bukan pemimpin. Dengan pernyataan ini Riffat ingin mengatakan bahwa separasi dunia laki-laki dan perempuan dalam Islam tidak bersifat hierarkhis tetapi fungsional. Dan dalam masyarakat tradisional, pembagian itu adalah hal yang umum terjadi.4 Sedangkan Mansour Fakih dalam memahami dari ayat tersebut mengartikan kata qawwam dari masa ke masa berbeda. Dahulu atas dasar ayat itu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, dan implikasinya adalah seperti zaman feodal, bahwa perempuan harus mengabdi kepada laki-laki sebagai bagian dari tugasnya. Namun al-Qur’an menegaskan bahwa kedudukan suami istri adalah sejajar. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manager rumah tangga, dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai dan memimpin.
3
http://uncontrolledillusion.wordpress.com/2013/03/03/membincang-feminisme-bersamadr-mansour-fakih/diakses pada tanggal 30 September 2013 4 Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hassan” Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia, Fauzi Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (ed.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 18.
93
Dalam sejarah Islam keadaan kaum perempuan berubah, mengikuti semakin meningkatnya kesadaran hak kaum perempuan, dan konsep hak juga semakin berkembang. Pada saat ayat itu diturunkan memang belum ada kesadaran akan hal itu. Bagi Riffat, bila ingin merubah keadaan yang pada saat ini dengan membangkitkan kesadaran kaum perempuan Muslim dari keterpurukan maka langkah yang diperlu dilakukan adalah membongkar dan menghancurkan dasardasar teologi yang berkecenderungan membenci perempuan dan androsentris (berpusat pada laki-laki). Sebab berapapun besarnya hak dalam bidang sosial dan politik yang diberikan kepada perempuan selama mereka tetap dikondisikan untuk menerima mitos-mitos yang dikumandangkan oleh para ahli teologi atau para ulama dan pemimpin-pemimpin agama agar mereka membelenggu badan, hati, pikiran dan jiwa mereka, selamanya mereka tidak akan bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.5 Sedangkan Mansour Fakih mencoba mencanangkan terobosan yang perlu dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan. Di antaranya sebagai berikut: Pertama, melawan hegemoni dengan melakukan dekonstruksi terhadap tafsiran agama yang merendahkan kaum perempuan. Tujuannya untuk membangkitkan jender critical consciousness, yakni menyadari ideologi hegemoni dominan dan kaitannya dengan penindasan jender. Kedua, perlu adanya kajian kritis, misalnya proses kolektif yang menkombinasikan studi, investigasi, analisis sosial, pendidikan serta aksi advokasi guna membahas isu perempuan. Tujuan usaha ini 5
Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam (Sejajar di Hadapan Allah?)”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 Vol.I /1990/1410H.hlm. 50.
94
adalah untuk menciptakan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan (Muslimat) sebagai pusat perubahan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran menuju transformasi kaum perempuan.