BAB III PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM
A. RIFFAT HASSAN 1. Latar Belakang Keluarga dan Masyarakat Riffat Hassan adalah seorang feminis Muslimah kelahiran Lahore, sebuah Kota tua di Negara Islam Pakistan pada tahun 1943. Riffat dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas (Sayyid adalah keturunan Nabi Muhammad, dianggap sebagai kasta umat Islam paling tinggi sekalipun umat Islam terus menerus memprotes gagasan bahwa Islam memiliki sistem kasta), bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.1 Ayahnya seorang patriarkhi yang sangat dihormati dan sangat disukai karena rasa sosialisnya. Ibunya adalah anak Hakim Ahmad Shuba, seorang penyair, dermawan dan Ilmuan yang terkemuka serta kreatif. Ayah dan ibunya berasal dari keluarga paling tua dan paling terkemuka di kota itu, keduanya merupakan orang tua “yang baik” karena mereka memberikan jaminan hidup yang terbaik. Mereka tinggal di sebuah Kothee (bungalow) yang luas dengan sebuah mobil mewah (ketika itu hanya orang kaya saja yang memilikinya), dan sebuah rumah dengan para pembantu yang melakukan semua tugas–tugas domestik.2
1
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA, 2000), hlm. 6 2 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah,…hlm. 7
42
43
Disinilah Riffat Hasan menghabiskan tujuh belas tahun pertama (masa kanakkanak) dan hidupnya. Pada tujuh belas tahun pertama, hidupnya selalu penuh dengan bayangbayang buruk, karena merasa kesepian dan tiada kebahagiaan. Ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya di dalam sebuah rumah tangga dengan masyarakat yang sangat menghormati keluarganya. Alasan utama adalah konflik mendalam antara kedua orang tuanya, yaitu tidak hanya bertentangan secara diametral dalam soal pandangan terhadap hampir semua masalah, tetapi juga sangat tidak sejalan dalam hal temperamen dan karakter masing-masing. Ayahnya adalah seorang tradisionalis dan patriakhal sejati, yang mempunyai keyakinan mengenai peranan seks dan keyakinan bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun dengan seorang pilihan orang tuanya. Namun pandangan dan cara hidup ibunya sangat berbeda dengan ayahnya. Sikap ibunya yang tidak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional yang ditunjukkan dengan menolak kultur yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya, ibunya tidak tunduk pada ayahnya. Ibunya lebih memperhatikan
anak
perempuannya
dari
pada
anak
laki-lakinya,
dan
kepercayaannya bahwa mendidik anak perempuan lebih penting dari pada mendidik anak laki-laki, karena anak perempuan yang lahir dalam masyarakat Muslim akan menghadapi rintangan (patriakhis) yang sangat berat.3 Pandangan dan cara hidup ayahnya sangat bertolak belakang dengan ibunya yang seorang
3
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, ….. Hlm.8.
44
radikal, sebagaimana yang diakui oleh Riffat Hassan sendiri, membuat Riffat tak pernah berhubungan baik dengan ayahnya. Pada masa anak-anak Riffat menolak mentah-mentah terhadap ayahnya yang memindahkan ke sekolah khusus perempuan. Hingga pada masa remaja Riffat menjadi pemberontak yang bandel terhadap pandangan dan sikap tradisional dengan pandangan sebagaimana budaya patriarkhi ayahnya. Ia juga berhasil menolak keinginan dan tradisi ayahnya yang tidak dapat dielakkan oleh saudara-saudara perempuannya untuk menikah diusia enam belas tahun. Keberhasilannya tak lepas dari dukungan dan perlindungan ibunya yang menempatkan kedalam kategori Feminis Radikal (gerakan perempuan yang berjuang di dalam realitas seksual, dan kurang pada realitasrealitas lainnya).4 Sepanjang masa pertumbuhannya, ibunya adalah figur penyelamat yang melindunginya sehingga tidak menjadi korban di altar konvensionalisme buta, pendidikan yang ia dapatkan lebih banyak didominasi oleh ibunya dari pada ayahnya. Riffat tidak pernah menjadi superwomen yang bengis sebagaimana diinginkan oleh ibunya, yang menginginkan Riffat agar berhasil, namun tidak pernah mendorong untuk berbuat baik. Sebagai seorang anak, yang membuatnya merasa kesepian dan bersedih lagi adalah kenyataan bahwa ibunya hanya mencintai kualitasnya, tidak pada diri pribadinya. Karena perbedaan prinsip antara kedua orang tuanya, sekaligus permusuhan dalam keluarganya yang tak kunjung padam, maka sebelum berusia dua belas tahun ia mulai menarik diri dari dunia luar menuju realitas batin, dimana 4
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an klasik dan Kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 51.
45
ia percaya dapat bertahan menghadapi krisis dan malapetaka tersebut. Dalam dunia barunya, ia menemukan tiga hal yang memungkinkannya melepaskan diri dari kehancuran hati dan kesulitan hidup, yaitu: keyakinan yang kokoh pada Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaan yang mendalam pada buku.5 Dan keyakinannya kepada Tuhan telah membentuk pandangan bahwa kehidupannya sebagai suatu amanah yang harus dihabiskan di dalam Jihad fi sabilillah (Berjuang di jalan Allah). Selama masa kanak-kanak, menulis dan membaca menjadi cara komunikasi utamanya, pikiran-pikirannya ia tuangkan lewat karya puisi dan sonata yang berisi kritik terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat patriarkhi saat itu. Dan disinilah awal mula perjuangannya sebagai seorang feminis, seperti dalam pengakuannya: “Tahun kesebelas kehidupanku merupakan tahun yang penting bagiku
karena selama tahun itu perjuanganku sebagai seorang „feminis aktivis‟ bermula.” Riffat mulai belajar berperang untuk mempertahankan hidup dalam sebuah masyarakat dimana penolakan perempuan untuk tunduk pada otoritas patriarkhi sama dengan bid‟ah.6 Ketika Ia tampil menjadi pemberontak remaja yang bandel dan tidak menghiraukan keinginan-keinginan ayahnya, membuat ayahnya semakin tidak menyukainya. Ia menolak kehendak ayahnya untuk keluar dari sekolah campuran yang memaksa Riffat belajar disebuah sekolah khusus
5
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA, 2000), hlm.11. 6 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, ….. hlm.18
46
perempuan, serta mengancam akan berhenti sekolah jika terus dipaksa, yang akhirnya membuat ayahnya menyerah.7 Ketika Riffat menginjak usia yang ke enam belas, segala sesuatu menjadi semakin tegang antara Riffat dan ayahnya, karena hari itu adalah ketika ayahnya ingin melihat Riffat menikah, namun tidak menemukan cara untuk mengatur pernikahan
tersebut,
sedangkan
ibunya
tidak
mau
mendengar
tentang
pernikahannya. Perasaan khawatir akan jatuh ke perangkap kematian dalam wujud pernikahan, kemudian ia berusaha melarikan diri dari bahaya yang mengejarnya dengan meminta izin melanjutkan masuk ke perguruan tinggi di luar negeri, yaitu di St. Mary‟s College, Universitas Durham, Inggris. Setelah tiga tahun lulus dengan predikat kehormatan dalam bidang sastra Inggris dan filsafat. Dan pada usia 24 tahun, Riffat Hassan telah berhasil mengantongi gelar Doctor filsafat dengan spesialisasi filsafat Muhammad Iqbal. Selama tujuh tahun di Inggris, akhirnya Riffat Hassan kembali pulang kerumahnya. Namun ia merasakan dirinya terasing dan tidak bisa berkompromi baik dengan norma-norma ayahnya maupun nilai-nilai ibunya. Ia merasa kesepian yang tak tertahankan. Dalam keadaan seperti itu, Riffat memutuskan menikah dengan seorang laki-laki yang belum mapan. Setelah memasuki dunia perkawinan, ia menyadari problem-problem sosial suaminya, yaitu kenyataan bahwa pendidikan dan prospek penghasilan suaminya lebih rendah dari pada pendidikan dan penghasilannya.
7
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, ….. hlm.19.
47
Impian Riffat Hassan untuk membangun rumah tangga atas dasar cinta tidak berlangsung lama, Dawar adalah produk tipikal masyarakat patriarkhi dan memiliki kebutuhan yang memaksa untuk menjadi “kepala” keluarga. Akhirnya demi mempertahankan perkawinannya, ia bersama suaminya pindah ke Amerika Serikat, dimana laki-laki tidak berada dibawah begitu banyak tekanan untuk membuktikan kelebihan mereka atas perempuan. Akan tetapi hal inipun tidak dapat membantu untuk mengharmoniskan kehidupan rumah tangga mereka. Perkawinannya berakhir disaat dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Mehrunnisa Mujahida. Dalam perjalanan hidupnya, Riffat mengalami kejadian yang berujung kekecewaan, yaitu adik laki-laki dan saudara laki-lakinya telah meninggal. Bagi Riffat yang tetap hidup adalah apa yang secara emosional lumpuh dalam waktu yang panjang, dan alasannya untuk tetap hidup adalah Mona kecil, demikian ia memanggilnya, gadis kecil yang selalu menjadi keajaiban rahmat Tuhan. Dalam sepuluh tahun terakhir dan separuh kehidupannya, Riffat mengalami peristiwa lain dan baginya kecelakaan yang sangat mempengaruhi kehidupannya. Perkawinan Riffat dengan Mahmoud, seorang Muslim Arab Mesir yang berusia tiga puluh tahun diatasnya, yang menyebut dirinya sebagai „laki-laki Tuhan‟ telah menghancurkannya secara fisik maupun mental. Ditangan seorang laki-laki yang tidak saja unggul secara berlebih-lebihan, namun juga seorang patriarkhi fanatik yang selalu mendasarkan keinginannya atas nama Tuhan dan dengan wewenang Tuhan. Sehingga Riffat tidak punya hak untuk menolak, karena dalam kultur Islam menolak apa yang menyenangkan hati suami sama halnya dengan menolak
48
melakukan apa yang disenangi Tuhan.8 Pernikahan ini bertahan selama tiga bulan dan tiga tahun untuk memperjuangkan perceraiannya. Riffat bersyukur dengan adanya pengalaman jiwa yang membakar itulah yang telah membuatnya menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam sehingga orang-orang yang mengaku sebagai laki-laki Tuhan tidak lagi dapat mengeksploitasi perempuan Muslimah atas nama Tuhan. 2. Latar Aktivitas Pendidikan – Intelektual Riffat Hassan menjalani pendidikan pertama dan menengah disekolah campuran, dimana ia menolak untuk memenuhi keinginan ayahnya untuk belajar di sekolah khusus perempuan. Semasa kanak-kanaknya dihabiskan untuk menyendiri dengan menulis dan membaca, sehingga ia tidak pernah belajar banyak untuk sekolahnya. Meskipun demikian ia selalu menjadi bintang kelas sejak pertama hingga akhir masa sekolah, dan memenangkan setiap kehormatan dan penghargaan yang harus diperebutkan. Dan mencapai puncaknya ketika ia tampil sebagai orang pertama dari 24.000 mahasiswa di seluruh propinsi, dalam ujian lanjutan. Sejak kecil Riffat Hassan gemar membaca dan menulis puisi, sehingga dengan berbekal bahasa Inggris yang baik, ia mulai menuangkan pikiran pikirannya lewat karya puisi dan soneta yang berisi kritik terhadap sosio kultural masyarakat patriakhal saat itu. Ketika berusia 13 tahun, Riffat Hassan telah menulis 85 soneta yang terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul My Maiden. 8
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, terj. Tim LSPPA,
hlm.33.
49
Selanjutnya sampai ia berusia 17 tahun, dua volum puisi, cerita pendek, dan artikel telah diterbitkan dan ia menjadi penyair sekaligus pengarang “bintang” terkemuka di dunia tempat tinggalnya.9 Setelah menyelesaikan pendidikan lanjutannya dan mendapat izin dari ayahnya pada usia 17 tahun, Riffat Hassan kemudian melanjutkan pendidikan tingginya ke Inggris, tepatnya di St. Mary‟s College, Universitas Durham. Setelah tiga tahun belajar dijenjang S1, Riffat lulus dengan predikat kehormatan dalam bidang Sastra Inggris dan Filsafat. Pada usia 24 tahun, ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal, seorang penyair filosof nasional Pakistan. Setelah tujuh tahun berada di Inggris, Riffat kembali ke Pakistan, menikah, dan sempat bekerja beberapa saat di Departemen Penerangan Federal sebagai Wakil Direktur, namun karena beberapa alasan, akhirnya ia pindah dan menetap di Amerika Serikat. Riffat Hassan memulai karirnya sebagai seorang Teolog Feminis yaitu saat menjelang musim gugur tahun 1974. Saat itu ia menjadi penasehat guru besar pada Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Student‟s Association, MSA) cabang Universitas Negeri Oklahoma di Stillwater, Oklahoma. Awalnya ia lakukan lebih dikarenakan rasa tanggung jawab pada tugasnya daripada rasa kesadaran yang dalam bahwa ia mungkin telah memulai sesuatu yang paling penting dalam perjalanan hidupnya. Saat itu ia diminta untuk memberikan ceramah dengan topik perempuan dalam Islam, pada seminar tahunan yang akan diselenggarakan di tahun itu.
9
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, hlm. 15
50
Namun topik tersebut diberikan kepadanya berdasarkan pertimbangan beberapa anggota cabang, bahwa sama sekali tidak tepat mengharapkan seorang Muslimah berkompeten berbicara tentang topik lain yang berkaitan dengan Islam, selain tentang perempuan. Karena merasa tersinggung dengan maksud tersebut, akhirnya Riffat Hassan menerima undangan itu – walaupun pada saat itu ia tidak begitu tertarik dengan persoalan yang menyangkut perempuan dalam Islam – dengan dua alasan. Pertama, merupakan sebuah peluang untuk berpidato di depan majelis yang semuanya laki-laki yang sebagian besar kelompok Muslim Arab. Kedua, bosan dengan laki-laki Muslim yang mengajar tentang posisi, status, atau peranan perempuan dalam Islam, sementara sama sekali tidak dipahami bahwa perempuan pun bisa berbicara tentang posisi, status, atau peranan laki-laki dalam Islam.10 Perjalanan yang bermula di Stillwater itulah, yang menjadi suatu pelajaran sulit yang telah membawanya kesebuah pencarian yang jauh dan luas. Namun Riffat tidak berhenti disitu saja, karena sebagai intelektual muslimah, ia merasa begitu gelisah mendapati ketidaksesuaian yang mencolok antara cita-cita Islam dan praktek umatnya menyangkut masalah wanita. Pencariannya terus berlanjut, ketika itu ia mengajar di Jurusan Agama, di sebuah Universitas di Amerika, dengan membawa al-Qur‟an sebagai bahan acuan, tanpa mengkhususkannya pada ayat-ayat tentang perempuan. Akan tetapi setelah ia memperhatikan ayat-ayat
10
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, hlm. 44
51
tersebut,
ia
kemudian
berpikir
mengapa
ayat-ayat
tersebut
terkesan
mendiskriminasikan dan memperlakukan wanita dengan tidak adil?11 Pada tahun 1976 Riffat Hassan telah menjadi Professor dan menjabat sebagai Ketua Jurusan Religious Studies di Universitas Louisville, Kentucky, Amerika. Kemudian pada tahun 1979, ia diminta untuk terlibat dengan suatu proyek Trialog antara sarjana Yahudi, Kristen dan Islam, yang disponsori oleh Kennedy Institute of Ethics di Washington D.C, dan diadakan 2 kali tiap tahunnya. Trialog ini dimaksudkan untuk menjelajahi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dalam tiga tradisi imam Ibrahimi. Dalam kesempatan ini, Riffat Hassan menulis draf kertas kerja dengan judul “Women in The Qur‟an”, yang isinya berpusat pada ayat-ayat yang dianggap definitive dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang telah dijadikan sandaran superioritas laki-laki atas perempuan.12 Pada musim semi tahun 1983, Riffat Hassan terlibat dalam sebuah proyek penelitian tentang perempuan di Pakistan, yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Ia meneliti sekaligus menyaksikan dengan kegelisahan yang memuncak, pemberlakuan undang-undang anti perempuan atas nama Islam dan banyaknya kegiatan dan kepustakaan anti perempuan yang melanda negerinya. 13 Ketika itu adalah masa pemerintahan rezim Zia-ul-Haq yang sedang gencar-gencarnya melakukan Islamisasi, dengan menekankan pada undang-undang – yang menurut
11
Wardah Hafidz, “Feminisme dan Al Qur‟an: Sebuah Percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, No. 9, Vol. II, 1991, hlm. 86. 12 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan …, hlm. 51. 13 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan ….. hlm 51
52
Riffat Hassan sangat– anti- perempuan atas nama Islam. Melihat hal ini, Riffat menjadi gelisah, kemudian muncul pertanyaan di benaknya : Mengapa kalau suatu Negara atau pemerintahan mulai melakukan Islamisasi, tindakan pertama yang dilakukan adalah memaksa perempuan kembali masuk kedalam rumah, menutup seluruh tubuh mereka, memberlakukan Undang-Undang yang mengatur tingkah laku individu terutama perempuan?14 …bagaimana mungkin undang-undang yang kuno, jika tidak absurd, akan diimplementasikan pada sebuah masyarakat yang bertekat menggelar modernisasi dengan penuh gairah?15 Dari kegelisahan-kegelisahan tersebut muncul pertanyaan apa yang pertama kali harus ia lakukan? Dan menurutnya adalah memeriksa landasan teologis dimana semua argumen anti-perempuan tersebut berakar, untuk melihat apakah suatu kasus benar-benar bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut pandang Islam normatif, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara, kendati ada perbedaan biologis dan lainnya.16 Maka Riffat Hassan kemudian mulai mempelajari teks al-Qur‟an dengan lebih serius dan mendalam. Dan akhirnya ia melihat perlunya reinterpretasi.17 Riffat telah melewati begitu banyak pergolakan, dan berbagai jenjang pendidikan pun telah dilewatinya. Pada tahun 1986 – 1987, Riffat Hassan menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University. Disinilah ia menulis artikel yang berjudul Equal Before Allah. Sejak tahun 1974, ia mempelajari teks alQur‟an secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur‟an
14
Wardah Hafidz, “Feminisme dan Al Qur‟an …”, hlm. 86 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, ….. hlm 51 16 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, ….. hlm 53 17 Wardah Hafidz,“Feminisme dan Al Qur‟an …” hlm.86 15
53
khususnya yang berhubungan dengan persoalan kaum perempuan. Riffat Hassan telah memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan. 3. Karya-Karya Riffat Hassan Riffat Hassan termasuk salah seorang feminis Muslimah Pakistan yang kreatif dan produktif dalam menghasilkan karya-karyanya. Semua karya Riffat Hassan berbentuk artikel. Diantara karya-karyanya yaitu: a.
Equal Before Allah? Woman Men in The Islamic Tradition (1987) edisi Indonesia di. Terj Wardah Hafidz.
b.
The Role and Responsibilities of Woman in The Legal Ritual Tradition of Islam / Shari‟ah (1980).
c.
Muslim Woman and Post Patriarchal Islam (1991)
d.
The Issue of Woman – Men Equality in Islamic Tradition (1991)
e.
Jihad Fi sabilillah: A Muslim Woman‟s Faith Journey From Struggle to Struggle
f.
Made From Adam‟s rib: The Woman‟s Creation
g.
Womens and Mens Liberation
h.
Women‟s Rights in Islam.
i.
Women Religion and sexuality. Dari tulisan-tulisan itu, maka tidak mengherankan jika kemudian ia diakui
oleh banyak kalangan sebagai Teolog Feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan feminisme dan wacana kesetaraan jender, terutama dalam diskursus keIslaman.
54
4. Karakteristik Pemikiran Riffat Hassan Pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi kehidupannya, semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan perspektif dirinya, latar belakang sosial dan psikologi individu yang mengetahui tidak bisa dilepaskan dalam proses berpikir yang kemudian melahirkan formulasi-formulasi ide. Kondisi latar belakang yang penuh krisis serta pergolakan-pergolakan emosional dan intelektual yang dialami Riffat semenjak usia kanak-kanak dan dirasakannya dalam rentang waktu yang sebagian besar berada dalam sistem patriarkhi, memberikan inspirasi bagi dirinya untuk membangun semacam kerangka berpikir dan bangunan metodologi dalam usahanya memperjuangkan kaumnya dari ketidakadilan. Kerangka dasar yang dibangun Riffat Hassan merupakan model keimanan yang baru dan segar dalam konteks Islam dan isu-isu perempuan. Konstruksi pemikiran itu kemudian dikenalkan oleh Riffat Hassan sebagai Teologi Feminis.18 Teologi feminis yang dimaksudkan Riffat Hassan adalah berteologi untuk proses pembebasan (Liberation; Taharrur) perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi. 5. Pemikiran Riffat Hassan tentang Kesetaraan Jender Pemikiran Riffat Hasaan tentang kesetaraan jender dapat dilihat dari tiga pertanyaan teologis penting yang diajukan Riffat berkenaan dengan penyebab terciptanya asumsi ketidaksetaraan jender dalam masyarakat, terutama pada kaum 18
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca Al-Qur‟an Dengan Optik Perempuan (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008) hlm 174.
55
Muslim. Ketiga pertanyaan ini adalah, bagaimana perempuan diciptakan? Apakah perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia? Mengapa perempuan diciptakan? Menurut Riffat, dari ketiga persoalan tersebut yang lebih penting dan mendasar dari pada persoalan yang lain dalam konteks kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah isu tentang penciptaan manusia. Sebab jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, maka dikemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara, begitupun sebaliknya.19 Selain persoalan yang bersifat teologis, Riffat juga menyinggung persoalan yang bersifat sosiologis, yaitu jilbabisasi perempuan Muslim, pembagian kerja secara seksual, dan poligami.20 a. Konsep Penciptaan Perempuan Dalam perbincangan feminisme, konsep penciptaan manusia merupakan isu yang paling penting dan mendasar, baik ditinjau secara filosofis maupun teologis dibandingkan dengan isu-isu feminisme yang lain. Berkenaan dengan masalah penciptaan, Riffat mempersoalkan siapa sebenarnya manusia yang pertama diciptakan oleh Tuhan. Pemahaman yang selama ini dianut banyak orang, Adam adalah sebagai manusia pertama, Adam dilukiskan sebagai seorang lakilaki dan makhluk yang kedua adalah perempuan yang diciptakan dari tulang
19
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, ….. hlm 55 Dikutip dari Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hassan”, dalam buku Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia, Fauzi Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (ed.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 13. 20
56
rusuk Adam.21 Munculnya pemahaman semacam ini disebabkan oleh kuatnya sistem patriarkhi di dalam masyarakat, sehingga melahirkan penafsiran-penafsiran yang bias kelelakian. Di samping itu, munculnya tradisi Yahudi Nasrani melalui kepustakaan hadist yang penuh dengan kontroversi dan oleh kaum Muslim Modernis cenderung dipandang dengan skeptis, terutama yang menyangkut dengan otentisitas hadits-hadits ahad. Menurut Riffat Hassan, cerita tentang proses penciptaan manusia tersebut terdiri dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (Yahwist) dan Pendeta (Priestly), yang disimpulkan bahwa Adam adalah ciptaan Allah yang pertama dan Hawwa dianggap sebagai ciptaan sekunder. Oleh sebab itu, Hawwa lebih rendah dan subordinat dari Adam dan Hawwa diciptakan semata-mata untuk menjadi pembantu Adam. Bagi Riffat Hassan, cerita tentang penciptaan Hawwa dari tulang rusuk Adam hanya cerita-cerita genesis yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam kepustakaan hadits yang dengan berbagai cara telah menjadi lensa untuk melihat/menafsirkan al-Qur‟an sejak abad-abad pertama Islam, bukan masuk secara langsung karena menurutnya sedikit sekali kaum Muslimin yang membaca Injil, terbukti dalam hadits yang disandarkan kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Mas‟ud : Ketika Tuhan mengusir iblis keluar dari surga dan menempatkan Adam di dalamnya, dia tinggal di dalamnya sendirian tanpa seorangpun teman bergaul. Tuhan menidurkan dia, kemudian menciptakan Hawwa dari tulang rusuk kirinya dan menggantinya dengan daging, kemudian seorang perempuan itu “siapa kamu?”dia menjawab “perempuan”, dia bertanya 21
Dikutip dari Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hassan”,,, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 14.
57
lagi kemudian, “mengapa kamu diciptakan?” perempuan itu menjawab “supaya kamu menemukan ketentraman dalam diriku”. Para Malaikat bertanya lagi “mengapa dia dipanggil Hawwa?” Adam menjawab, “karena dia diciptakan dari sesuatu yang hidup”. Menurutnya, hadits tersebut sangat bertentangan tajam dengan cerita-cerita al-Qur‟an tentang penciptaan manusia, walaupun hadits tersebut memiliki hubungan yang jelas dengan genesis.22 Riffat juga menolak otentitas dan validitas hadis-hadis riwayat Bukhari dan Muslim (ia mengutip enam hadis yang terdiri dari tiga hadis Bukhari dan tiga hadis Muslim), tentang penciptaan Hawwa adalah sari tulang rusuk yang bengkok. Dari segi Sanad, menurutnya hadis-hadis tersebut adalah dha‟if (lemah) karena hadis-hadis tersebut memiliki sejumlah perawi yang tidak dapat dipercaya, seperti Maisarah al-Asyaja‟i, Haramalah bin Yahya, Zaidah dan Abu Zainad, dan juga karena hadis-hadis tersebut dikutip atas otoritas Abu Hurairah, seorang sahabat yang dianggap kontroversial oleh banyak sarjana Muslim awal, termasuk Imam Abu Hanifah.23Dari segi matan, hadits tersebut mengandung pernyataan bahwa: (a) hadits-hadits tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Qur‟an yang melukiskan semua manusia diciptakan fi akhsani taqwim, karena mengandung elemen-elemen yang misoginik. (b) Riffat Hassan menyatakan tidak dapat memahami relevansi statemen bahwa bagian tulang rusuk yang bengkok adalah bagian atas. (c) nasehat-nasehat untuk berbuat baik kepada perempuan akan menimbulkan pengertian bahwa perempuan sesungguhnya dilahirkan dengan
22
Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam : Sejajar di Hadapan Allah?”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, No.4, Vol. 1, 1990, hlm. 53. 23 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah …, hlm. 74.
58
rintangan yang alamiah dan perasaan dibutuhkan.24 Dari kritik matan tersebut, menurut Riffat cerita penciptaan perempuan (Hawwa) dari tulang rusuk Adam menjadi gugur, namun hadits tersebut masih tetap digunakan oleh masyarakat Islam, terutama masyarakat yang bersistem patriarkhi untuk mengukuhkan kesuperioritasan laki-laki dan inferioritas perempuan. Riffat Hassan menilai bahwa masalah penciptaan ini sangat penting, karena itu dalam sebuah tulisannya ia menghimbau bagi semua aktivis hak asasi perempuan Islam untuk mengetahui keterangan dalam al-Qur'an bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama dan setara, namun telah dirubah oleh hadits. Dengan demikian, satu-satunya cara agar anak cucu perempuan (Hawwa) dapat mengakhiri sejarah penindasan yang dilakukan oleh anak cucu Adam ini adalah dengan cara kembali ke titik mula dan mempertanyakan keshahihan hadits yang menjadikan perempuan hanya makhluk kedua dalam ciptaan, tetapi pertama dalam kesalahan, dosa, cacat moral dan mental. Mereka harus mempertanyakan sumber-sumber yang menganggap mereka bukan sebagai dirinya sebagaimana seharusnya mereka ada, tetapi hanya alat untuk kepentingan dan kesenangan lakilaki...25 Cerita yang tidak berdasarkan pandangan al-Qur'an dan bertentangan dengan prinsip keadilan Tuhan inilah yang harus ditolak. Dengan menolak cerita penciptaan, Riffat ingin menyatakan bahwa tidak ada legitimasi teologis yang tidak terbantah, atas perlakuan yang menomorduakan perempuan dari laki-laki,
24
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah …, hlm. 74-76. Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam : Sejajar di Hadapan Allah?”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, Vol. 1, No.4, 1990, hlm. 55. 25
59
menganggapnya sebagai orang yang lemah, dan hanya sebagai instrumental bagi laki-laki. Perempuan dan laki- laki memiliki hal-hal yang equal dan hal itu tidak bisa dibatasi karena persoalan perbedaan jenis kelamin.26 b. Pembagian Kerja Kebiasaan rutin perempuan yang lazim disebut peran domestik, sering diartikan sebagai tugas yang sudah dikodratkan (ditentukan Tuhan), seperti memasak, mencuci, membersikan rumah, mengurus anak dan sebagainya Kesalahpahaman ini telah mengakar pada budaya masyarakat, padahal sesungguhnya, jender pada dasarnya merupakan konstruksi sosial bukan ”kodrat” yang berarti ketentuan Tuhan. Menurut Riffat Hassan, dalam pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki tidak ada relasi yang bersifat hierarkhis. Dalam alQur‟an (Q.S An Nisa: 34)“al-rijalu Qawwamuna „ala an-Nisa‟, dia menganalisa bahwa yang dimaksud dengan kata qawwamu tersebut bukanlah sebagaimana yang umum dipahami orang selama ini, yakni laki-laki sebagai pemimpin atau pengatur perempuan. Menurut Riffat, kata qawwamu adalah sebuah term ekonomis, dan bukan biologis. Ia lebih tepat diartikan sebagai pencari nafkah, bukan pemimpin. Dengan pernyataan ini Riffat ingin mengatakan bahwa separasi dunia laki-laki dan perempuan dalam Islam tidak bersifat hierarkhis tetapi fungsional. Dan dalam masyarakat tradisional, pembagian itu adalah hal yang umum terjadi.27
26
Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hassan”. . . . (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 18. 27 Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama. . . . . . . Hlm. 18.
60
Secara umum kedudukan perempuan dalam lintas sejarah selalu menerima kenyataan subordinasi dari laki-laki. Pembagian kerja secara seksual selalu ditemukan, dan adil atau tidaknya pembagian itu adalah persoalan lain, yaitu persoalan nilai subyektifitas pada setiap masyarakat. c. Jilbabisasi Perempuan Muslim Ada dua kosa kata yang dewasa ini dipakai banyak orang untuk makna yang sama. Hijab dan Jilbab. Keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuhnya. Dalam al-Qur‟an menyebut kata hijab untuk arti tirai, pembatas, penghalang, penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi dan memisahkan antara dua bagian atau pihak yang berhadapan sehingga satu dengan yang lainnya tidak saling melihat atau memandang.28 Al-Qur‟an menyatakan dalam Surat al-Ahzab (33:53) yang berbunyi:
. . . . . . Artinya: . . . apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteriisteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka . . . Hijab dalam ayat diatas menunjukkan arti tirai penutup yang ada di dalam rumah Nabi saw sebagai sarana untuk menghalangi atau memisahkan tempat kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam perkembangan sosialnya di Indonesia makna hijab kemudian menjadi sebutan untuk pakaian perempuan sebagaimana busana muslimah atau jilbab.
28
K.H. Khusein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta; LKiS, 2004), hlm. 207.
61
Jilbab disebutkan dalam Surat Al Ahzab (33:59) yang berbunyi:
Artinya: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurut Riffat Hassan, masalah jilbab sebenarnya merupakan masalah yang cukup kompleks. Munculnya konsep jilbab bermula ketika program Islamisasi digelar di negara-negara Islam, yaitu pertama, penerapan hukum Islam sebagai hukum negara. Kedua, peletakan kembali kaum perempuan “ke tempatnya yang semula” yaitu dengan mengembalikan perempuan ke dalam rumah, tempat yang dianggap layak dan semestinya untuk fungsi perempuan. Menurut Riffat, hal ini dilakukan oleh pemerintah setempat karena peraturan tersebut yang paling mudah dilaksanakan untuk melegitimasi kekuasaan, daripada melakukan perbaikan dibidang politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Kemudian Riffat Hassan menganalisis bagaimana pandangan al-Qur‟an tentang hal tersebut. Menurutnya, perintah berjilbab yang dikehendaki al-Qur‟an adalah agar perempuan menjaga kesopanan (modesty), bukan dalam hal berpakaian tetapi juga dalam berbicara, bertingkah laku dan lain sebagainya. Menurutnya perintah tersebut jika hanya ditekankan pada perempuan, hal itu akan menjadi bias jender dan terkesan masih diskriminatif. Hal tersebut menurutnya tidak bisa menjadi alasan yang benar untuk melakukan domestikasi perempuan dan mengeluarkannya dari keterlibatan di sektor publik.
62
d. Poligami Konsep poligami merupakan salah satu isu yang sering diangkat dalam diskusi-diskusi tentang feminisme, dan tema ini merupakan salah satu sasaran untuk menyebutkan bahwa al-Qur‟an memperlakukan perempuan secara tidak adil karena laki-laki memperoleh kesempatan beristri lebih dari satu, sementara wanita tidak diperbolehkan. Riffat Hassan sendiri mengakui bahwa masalah poligami merupakan permasalahan yang tak kunjung usai dan banyak menimbulkan kesalahpahaman terhadap Islam dan ajarannya tentang keadilan jender. Pembenaran atas poligami diambil dari teks al-Qur‟an dalam Surat an-Nisa (4:3) yang berbunyi:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Namun ayat tersebut banyak ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan mufassir, hingga akhirnya seolah-olah ayat tersebut merupakan legitimasi kepada seorang laki-laki untuk berpoligami begitu saja. Tanpa memperhatikan konteks pada saat ayat tersebut diturunkan dan semangat dari
63
poligami.29 Turunnya ayat tersebut yaitu pada saat kondisi masyarakat Islam parah akibat peperangan demi peperangan dengan kaum kafir Makkah, sehingga banyak laki-laki berguguran dalam perang, sedangkan jumlah janda dan anak yatim semakin meningkat. Dengan turunnya ayat itu, diharapkan hak-hak sosial mereka dapat terlindungi.30 Poligami dalam Islam menurut pandangan Riffat Hassan adalah sebuah kebolehan namun bukanlah suatu anjuran seperti dipahami sementara kalangan. Poligami yang dipraktekan Nabi bukanlah untuk wisata seks seperti yang dituduhkan para orientalis atau karena alasan promiskuitas (persetubuhan dengan siapa saja). Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw sesuai dengan misi untuk mengembangkan dakwah yang diembannya. Kenyataannya, dari sembilan istri Nabi hanya dua orang yang masih gadis, selebihnya adalah janda dan kebanyakan sudah udzur, dan perkawinan Nabi yang menghasilkan keturunan hanyalah perkawinannya dengan Khadijah. Poligami yang dilakukan Nabi bertujuan memberi pertolongan dan perlindungan kepada anak yatim yang kehilangan ayahnya karena syahid di medan perang. Dengan berpoligami, Nabi memperkokoh ikatan persahabatan dan mencegah terjadinya konflik etnis.31
29
Rifat Hassan, “Feminisme dan al-Qur‟an”, dalam Jurnal „Ulummul Qur‟an, No.9, Vol II, 1991, hlm.88. 30 Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan jender Perspektif Islam, (Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001) hlm. 94. 31 Badriyah Fayumi,.........hlm 94.
64
Pada umumnya para ulama selalu mengacu pada al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ (4;3). Namun meskipun demikian, pendapat mereka bervariasi dan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan zaman dan konteks kehidupan.32 6. Gagasan Teologi Feminis Riffat Hassan Teologi feminis yang bertujuan menyelamatkan hak-hak kaum perempuan yang berada dalam penafsiran-penafsiran patriarkhis dalam bahasa Riffat Hassan sebagai Jihad fi Sabilillah. Usaha atau perjuangan karena Tuhan. Hal ini menurutnya merupakan suatu keharusan bagi seluruh umat Islam. Proses pembebasan perempuan dari struktur yang tidak adil ini Riffat Hassan merujuk pada kitab suci al-Qur‟an atau dalam filsafat etika biasa disebut theisticsubjectivism, atau sistem nilai yang merujuk pada kitab suci.33 Dalam menuangkan pemikirannya, menurut Riffat Hassan sumber pengetahuan dalam Islam adalah teks (Qur‟an, Hadis dan literatur lain) sebagai acuan normatif dan realitas sebagai sistem historisnya. Riffat menyandarkan pengetahuannya kepada apa yang ada dalam teks dan apa yang ada dalam realitas sosial yang melingkupinya. Dalam rangka membangun pemikiran teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu perempuan, Riffat Hassan menggunakan pendekatan dua level, yaitu: Pertama, pendekatan normatif-idealis yakni, pendekatan yang mengacu pada ajaran Islam yang ideal. Paling tidak ada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an dan hadis. Bagi Riffat, sumber utama dan pertama yang dijadikan 32
Umul Baroroh, Poligami dalam Pandangan Mufasir Fukaha, dalam Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), Hlm 78. 33 Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis; Membaca Al-Qur‟an Dengan Optik Perempuan ….. hlm 175
65
rujukan adalah al-Qur‟an yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi. Di sini Riffat akan melihat bagaimana al-Qur‟an memandang perempuan, baik tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri.34 Kedua, pendekatan historis-empiris, Pendekatan ini digunakan setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal normatif al-Qur‟an, Riffat Hassan lalu melihat bagaimana kenyataan secara empiris-historis kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Sehingga di satu sisi Riffat mendapatkan gambaran yang teoritis dan bersifat normatif idealis mengenai pandangan al-Qur‟an terhadap perempuan, namun di sisi lain ia juga memperoleh gambaran perempuan yang historis dan empiris dalam masyarakat Islam.35 Pendekatan yang dipakai oleh Riffat dilakukan dengan tidak memisahmisahkan antara keduanya. Artinya, ketika Riffat memandang sisi ideal normatif, ia kemudian juga melihat sisi empiris-realistisnya. Untuk kemudian dicari sintesis antara keduanya. Karena mengakui realitas sebagai salah satu sumber pengetahuan maka secara tidak langsung pengumpulan data dan informasi menggunakan sistem observasi. Riffat menggunakan metode kritis dan kontekstual yakni, menafsirkan teks dengan juga melihat realitas yang ada disekitarnya. Dalam mengembangkan pemikirannya, Riffat melakukannya dengan tiga prinsip metodologis yaitu: 1. Memeriksa ketepatan makna kata (language accuracy) dari berbagai konsep yang ada dalam al-Qur‟an. 34
Riffat Hassan, “Feminisme dan al-Qur‟an: Percakapan dengan Riffat Hassan”. dalam Jurnal Ulumul Qur‟an Vol II, tahun 1990, hlm. 87 35 Ibid, …. hlm.87
66
2. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang ada. 3. Menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari Justice of God atau keadilan Tuhan yang universal.36 Pencarian Riffat Hassan ke dalam akar teologis dari problem ketimpangan jender dalam tradisi Islam, juga diarahkan pada dua wilayah yang menurutnya signifikan, yaitu pertama, menyadari besarnya dampak kepustakaan hadis terhadap kesadaran ummat Islam, maka iapun meneliti hadis-hadis yang berkaitan dengan perempuan. Kedua, Riffat mengkaji beberapa karya penting yang ditulis oleh para teolog Muslim, Yahudi dan Kristen dan berusaha melacak sumbersumber teologis gagasan-gagasan dan sikap-sikap anti feminis yang terdapat dalam tradisi masing-masing agama tersebut.37 Berangkat dari dua pemahaman inilah kemudian Riffat Hassan merumuskan sebuah penafsiran teologis yang bersifat feminis. Riffat lebih tertarik pada konsep teologi feminis yang jelas-jelas dilawankan dengan teologi patriarkhi, sebuah bangunan teologi yang menurutnya ditafsirkan, diproduksi dan dikembangkan oleh kaum lelaki demi kepentingan kaumnya. Riffat Hassan yang berobsesi melakukan dekonstruksi terhadap bangunan teologi klasik yang dianggapnya mengandung bias patriarkhi, sehingga memaksanya menggantinya dengan teologi feminis, sebuah formulasi keagamaan dengan sensitifitas dan berperspektif kesetaraan jender. 36 37
Riffat Hassan, “Feminisme dan al-Qur‟an…… hlm 87-91. Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan …, hlm. 54.
67
B. MANSOUR FAKIH 1. Latar Belakang Keluarga dan Masyarakat Mansour Fakih lahir di desa Ngawi, Bojonegoro, Jawa Timur, 10 Oktober 1953. Dia merupakan anak pertama di antara sembilan bersaudara yang semuanya adalah laki-laki dari pasangan Mansur bin Yahya dan Siti Maryam binti Imam Fakih. Mansour Fakih menikah dengan Nena Lam'anah dan dikaruniai dua putra, Farabi Fakih, dan Fariz Fakih. Dalam Obituari untuk Mansour karya Puthet Esa, kehidupan Mansour Fakih tergolong sederhana. Tapi, komitmennya terhadap pemberdayaan sangat tinggi. Bahkan, penyuka film The Burning Season dan Apocalypse Now tersebut sangat tidak setuju menggunakan istilah "penyandang cacat" atau tidak mampu. Dia betah menggunakan diffable, singkatan dari different ability. Dia selalu bersemangat membahas diffable sebagai bagian integral dari keseluruhan hak-hak asasi manusia.38 Mansour Fakih banyak terlibat dalam organisasi kelompok-kelompok marginal. Hidup dan perjalanan intelektualnya yang sarat dengan pergolakan pemikiran menentang ketidakadilan serta gerakan sosial menjadikan pribadi Mansour dikenal khalayak luas. 2. Latar Aktivitas Pendidikan – Intelektual Perjalanan intelektual Mansour Fakih dimulai ketika ia kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, Fakultas Ushuluddin, di awal tahun 1970an.
38
http://www.referensimakalah.com/2012/11/biografi-mansour-fakih.html. pada tanggal 30 September 2013
68
Di masa itu, IAIN Jakarta adalah lahan yang subur bagi berbagai pemikiran pembaharuan keagamaan dalam Islam, khususnya rasionalisme teologi yang diprakarsai oleh rektornya masa itu, Harun Nasution. Sebagai murid Profesor Nasution, Mansour Fakih aktif dalam pergulatan pemikiran dengan kawan-kawan seangkatannya, antara lain, Helmi Ali Yafie, Hadimulyo, Azyumardi Azra, dan Komaruddin Hidayat. Atmosfir intelektual di IAIN Jakarta itu semakin semarak oleh tradisi pergulatan intelektual muda Islam beberapa angkatan sebelumnya yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid dan Achmad Wahib. Ketika sebagian besar kawan-kawan Mansour masa itu kemudian lebih membawa pergulatan pemikiran mereka ke aktivitas politik, seiring dengan semakin maraknya gerakangerakan mahasiswa menjelang akhir 1970an, Mansour justru lebih memusatkan aktivitasnya pada proses-proses pendidikan bagi para mahasiswa angkatan sesudahnya. Dan, disini lah ia kemudian berjumpa dengan beberapa mahasiswa yang lebih junior, antara lain Saleh Abdullah, yang tak dapat dipisahkan dalam hampir semua kegiatan dan kehidupan Mansour.39 Mansour mulai menggumuli wacana rasionalisme Islam dengan serius. Mansour waktu itu berkesimpulan bahwa banyak orang di Indonesia yang beragama dengan pemahaman teologis yang keliru. Agama yang berkembang menjelma menjadi sesuatu yang dogmatis. Pemahaman Islam yang sekadar menerima agama dan wahyu sebagaimana adanya, akhirnya mengarah pada kejumudan berfikir, terutama dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Mansour merasa tidak ada korelasi antara ajaran agama dengan persoalan yang
39
http://blog.insist.or.id/insistpress/archives/2161, diakses pada tanggal 30 September 2013
69
tengah dihadapi oleh manusia. Agama benar-benar menjadi setumpuk wahyu dan tata-tertib yang ketat dan jauh berada di ketinggian langit. Bahkan, agama dapat menjadi alat bagi kekuasaan untuk melakukan penindasan dengan diam-diam. Pada fase itulah, Mansour menjadi seorang pemuda yang terpesona dan teguh meyakini pemikiran-pemikiran Mu‟tazilah, aliran teologi rasional yang sangat fenomenal dalam sejarah Islam.40 Pada Tahun 1993 - 1997, Mansour Fakih sempat menjabat sebagai country representative of OXFAM United Kingdom and Ireland mewakili Indonesia, yang bertugas untuk mengembangkan program pengembangan masyarakat dengan perspektif jender dan hak asasi manusia (HAM). Keterlibatan aktifitasnya dibidang keaktivisan terutama dalam kaitannya dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomNasHAM), telah digelutinya sejak Tahun 1997, ketika terlibat aktif sebagai fasilitator dan pendidik HAM.41 Pada saat yang sama, Mansour Fakih menjadi jender training specialist and management consultant, CIDA-Woman Support Project pada Tahun 1997-2001. Sejak Tahun 2001 menjadi Direktur dari Institut for Social Transformation (INSIST PRESS) Yogyakarta dan juga Senior Researcher of Institut of Development Studies, University of Sussex, Brighton UK. Selain menjadi Ketua Sub Komisi Penyuluhan KomNas HAM, Mansour Fakih juga mengajar pada Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
40
http://www.remdec.co.id/drupal/id/lapak/8c644487a5e9c9c3e598ffd322181c83, diakses pada tanggal 30 September 2013 41 http://www.remdec.co.id/drupal/id/lapak/8c644487a5e9c9c3e598ffd322181c83, diakses padatanggal 30 September 2013
70
3. Karya-karya Mansour Fakih Dalam perjalanan semasa hidupnya, Mansour Fakih selalu mengikuti dunia pemikiran dan pergerakan keadilan hak asasi manusia (HAM), dan telah banyak menyumbangkan karya-karyanya, salah satu diantaranya adalah berupa sebuah karya tulis, yang sangat berharga bagi kalangan aktivis maupun para ilmuan lainnya, seperti : a. Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat b. Pergolakan Ideologi LSM Indonesia c. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial d. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi (2001) e. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (2002) f. Analisis Jender dan Transformasi Sosial (1996) g. Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik (2003) h. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk Membangun Hak Asasi Manusia i. Human Rights Watch j. Landreform di Pedesaan k. Pendidikan Popular l. Menggeser Konsepsi Jender dan Transformasi Sosial.42
42
http://drdahlan1978.blogspot.com/2012/04/belajar-dengan-dr-mansour-fakih.html, diakses pada tanggal 30 September 2013.
71
4. Karakteristik Pemikiran Mansour Fakih Mansour Fakih dikenal sebagai pendamping masyarakat (community organizer), fasilitator berbagai pelatihan pengembangan masyarakat dan konsultan pengembangan organisasi kemasyarakatan sejak tahun 1978. Dalam kehidupannya, Mansour Fakih tidak tumbuh dari laboratorium sepi dan menara gading intelektual yang angkuh. Mansour Fakih tumbuh dari dialektika teori dan praktik, bersama teman-temannya dari gerakan aktivis, dia menekuni bidang pembangunan, lingkungan, pembaharuan agrarian, keadilan jender, kaum cacat dan lain-lain. Lembaga pendidikan bagi Mansour Fakih, hanyalah proses menjinakkan peserta didik dan sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk berpikir kreatif, pendidikan yang terbaik adalah yang berada di tengah-tengah masyarakat, dikalangan petani dan buruh, yaitu Pendidikan yang membebaskan, sebuah tema yang tentu saja sangat asing. Mansour Fakih membahasakan jender dengan agenda kemanusiaan yang bisa meminimalisir resistensi sebagian mereka, bahwa jender adalah paket dari Barat atau program dari orang-orang Yahudi. Dia juga menyakinkan bahwa lakilaki harus ikut bertanggung jawab untuk menyudahi ketidakadilan jender ini. Mansour Fakih banyak menulis buku mengenai pendidikan, hak asasi manusia (HAM), jender dan berbagai permasalahan LSM di Indonesia. Menurut Mansour Fakih persoalan mendasar dalam membahas posisi kaum perempuan dalam Islam adalah apakah kondisi dan posisi kaum perempuan di masyarakat telah merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum perempuan
72
menurut ajaran Islam? Umumnya umat Islam merespon pernyataan ini dapat dikategorikan menjadi dua golongan utama. Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat saat ini telah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tidak perlu diemansipasikan lagi. Kedua, mereka yang menganggap bahwa kaum perempuan masih berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam.43 Dengan menggunakan analisis dan perspektif jender menurut Mansour Fakih langkah tersebut dapat mengupas perihal posisi kaum perempuan dalam Islam. Selanjutnya dengan menguraikan beberapa teori feminisme yang ada agar diketahui bagaimana posisi kaum perempuan dalam Islam.44 Mansour memaparkan berbagai macam ketidakadilan berdasarkan jender yang ada di masyarakat, yang kemudian memunculkan adanya paham feminisme. Paham tersebut memandang bahwa perempuan dan laki-laki haruslah berada pada kedudukan yang sama. Mansour kemudian menjelaskan berbagai macam paham feminisme, serta menunjukkan perbedaan fokus daripada paham-paham feminisme yang tersebut.45 5. Pandangan Mansour Fakih tentang Jender Jender dalam masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan status seseorang. Dapat dimaklumi bahwa persoalan jender yang 43
Mansour Fakih, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; dalam Membincang Feminisme; Diskursus Jender Perspektif Islam, (Surabaya; Risalah Gusti, 1996), hlm 37. 44 Mansour Fakih, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; dalam Membincang Feminisme; Diskursus Jender Perspektif Islam.......hlm38. 45 http://uncontrolledillusion.wordpress.com/2013/03/03/membincang-feminisme-bersamadr-mansour-fakih/diakses pada tanggal 30 September 2013
73
berkembang luas dalam berbagai masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan secara kultural, struktural, dan ekologis. Perempuan-perempuan dipojokkan ke dalam urusan-urusan reproduksi seperti menjaga rumah dan merawat anak.46 Memerangi ketidakadilan sepanjang sejarah kemanusiaan selalu jadi tema menarik dan akan tetap menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsep tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Dalam sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang saat ini masih berpengaruh dalam bentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, maka diperlukan adanya suatu pendekatan keadilah jender yaitu berupa analisis jender untuk melihat bentuk-bentuk ketidakadilan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. 6. Gagasan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender dalam Islam Bahasan Mansour Fakih mengenai kesetaraan jender menggunakan analisis jender sebagai alat untuk memahami ketidakadilan, yaitu sebagai berikut: a. Jender dan Marginalisasi Proses marginalisasi mengakibatkan kemiskinan, banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Namun salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan disebabkan oleh jender. Ada beberapa perbedaan
46
Dwi Meitayani, Konsep Nusyuz dalam Madzhab Syafi‟i Perspektif Keadilan Jender, dalam Al Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol.4 No.1, Januari-Juni, (STAIN Purwokerto, 2010 ). Hlm. 4.
74
jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan jender tersebut.47 Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, akan tetapi terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atau anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, dalamhukum fiqh tentang pembagian waris terhadap anak perempuan yang mendapat hak waris setengah dari anak laki-laki, dalam konteks masyarakat modern sekarang ini justru mengakibatkan pemiskinan kepada kaum perempuan. Tanpa usaha untuk memahami bagaimana sistem dan struktur sosial pada saat ayat tersebut diturunkan (asbabun nuzul), maka penerapan ayat tersebut terhadap suatu masyarakat yang memiliki sistem dan struktur yang berbeda akan berdampak terhadap marginalisasi kaum perempuan.48 b. Jender dan Stereotype Secara umum stereotype adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu.49 Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumberkan pandangan jender yang dikembangkan melalui suatu kayakinan tafsiran keagamaan. Dalam Islam, masih ditemukan ketidakadilan terhadap masyarakat Muslim yang bersumber pada stereotipe yang berdasarkan keyakinan keagamaan.
47
Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1996), hlm. 14 48 Mansour Fakih, Membincang Feminisme Diskursus Jender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 61 49 Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial..............., hlm. 16
75
Masyarakat dahulu banyak anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat terjadi diskriminasi terhadap pendidikan. Kaum perempuan, dan pendidikan kaum perempuan ini di nomor-duakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan atau kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini. Stereotipe ini dilandaskan pada suatu keyakinan dan tafsiran keagamaan, sehingga tidak saja memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan diskriminasi, bahkan menjadi faktor pendorong diskriminasi. Untukitu, usaha atas penghapusan stereotipe perempuan yang bersumber dari tafsiran keagamaan ini perlu didekonstruksi, dengan melakukan penafsiran ulang ajaran dasar Islam, terutama yang berkenaan dengan asumsi dan wacana ke-Islaman mengenai kaum perempuan.50 c.
Jender dan Subordinasi Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis seks yang umumnya pada
kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan yang dibuat tanpa menganggap penting kaum perempuan. Dengan anggapan karena perempuan lebih cenderung kepada pekerjaan rumah maka tidak perlu berpendidikan yang tinggi-tinggi, anggapan tersebut merupakan bentuk subordinasi. Bentuk dan mekanisme dari proses subordinasi tersebut dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat yang berbeda. Misalnya karena anggapan bahwa kaum perempuan itu emosional maka dia tidak tepat untuk memimpin partai atau menjadi manager, hal tersebut proses subordinasi dan diskriminasi
50
Mansour Fakih, Membincang Feminisme................., hlm.58
76
disebabkan oleh jender. Selama beberapa abad atas alasan agama, kaum perempuan tidak boleh memimpin apapun, termasuk masalah keduniawian, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak mendapat warisan. Timbulnya penafsiran agama yang mengakibatkan subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan itulah yang dipersoalkan.51 Tafsiran agama juga memegang peranan penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum perempuan. Ali Engineer mengusulkan dalam memahami ayat, laki-laki adalah pengelola atas perempuan, hendaklah dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma ajaran yang harus dipraktikkan. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manager rumah tangga, dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai dan memimpin. Dalam sejarah Islam keadaan kaum perempuan berubah, mengikuti semakin meningkatnya kesadaran hak kaum perempuan, dan konsep hak juga semakin berkembang. Pada saat ayat itu diturunkan memang belum ada kesadaran akan hal itu. Kata qawwam dari masa ke masa berbeda. Dahulu atas dasar ayat itu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, dan implikasinya adalah seperti zaman feodal, bahwa perempuan harus mengabdi kepada laki-laki sebagai bagian dari tugasnya. Namun al-Qur‟an menegaskan bahwa kedudukan suami istri adalah sejajar. Keyakinan bahwa laki-laki harus memimpin kaum perempuan tersebut sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, selama kepemimpinannya bersifat adil dan tidak menindas. Namun persoalan lain yang timbul adalah justru kepercayaan tersebut membawa keyakinan bahwa kaum perempuan adalah subordinasi dari
51
Mansour Fakih, Membincang Feminisme.................., hlm. 47
77
kaum laki-laki. Meskipun secara objektif misalnya ia lebih mampu, lebih pandai dan lebih layak, ia harus tetap dipimpin. Konstruksi sosial dalam peran jender seperti ini tidaklah menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan jender. d.
Jender dan Kekerasan Kekerasan atau violence adalah suatu serangan atau invasi (as-sault)
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia ini sumbernya bermacam-macam, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan jender atau jender related violence.52 Kekerasan yang dimaksud mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, pemerkosaan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual.53 Salah satu sumber kekerasan jender ini adalah keyakinan atau tafsiran umat Islam atas keagamaanya, seperti halnya bentuk pemukulan dan serangan nonfisik yang terjadi dalam rumah tangga adalah kekerasan atau penyiksaan terhadap anak, pemukulan terhadap istri oleh suami, walaupun pemukulan yang dilakukan oleh suami sangat sulit diungkapkan karena persoalannya dianggap sebagia urusan private. Dalam kasus nusyuz54, ada perlakuan khusus terhadap istri menurut agama, seperti yang dijelaskan dalam Q.S An-Nisa (4:34):
52
Mansour Fakih, Membincang Feminisme ..........Hlm. 55 Mansour Fakih, Membincang Feminisme ..........,Hlm. 48 54 Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. 53
78
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricarijalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Sesuai dengan ayat diatas, bagi suami memukul istri dilakukan dengan alasan jika istri membangkang. Sehingga secara luas dikalangan umat Islam lahirlah keyakinan bahwa suami berhak memukul istrinya.55 Namun, pernyataan al-Qur‟an yang menjadikan pemukulan sebagai alternatif bagi suami yang istrinya nusyuz tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap perempuan. Sebab, dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama dan efektif ketimbang pemukulan itu sendiri, yakni mau‟idzah (memberikan nasihat yang baik) dan pisah ranjang.56
55
Mansour Fakih, Membincang Feminisme ..................., hlm. 56 Abdul Moqsit Ghozali, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, (Yogyakarta: rahima, 2002), hlm.110 56
79
Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dapat dikategorikan sebagai berikut:57 1) Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan seks. Misal, ajakan hubungan seks tanpa rasa hormat (pelecehan), paksaan hubungan seks yang sebenarnya tidak dikehendaki (pemerkosaan), penganiayaan seks terhadap anak. 2) Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan dan kekuatan laki-laki. Misalnya, pemukulan, penganiayaan, penyekapan dan pembunuhan. 3) Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan psikologi dan emosional laki-laki. Misalnya, sikap melindungi yang berlebihan sehingga dirasakan sebagai kekangan. Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan sosial laki-laki. Membatasi dan mengontrol perempuan dalam memilih pekerjaan, merendahkan kedudukan perempuan di masyarakat (tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan). 4) Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan ekonomi atau keuangan lakilaki. Misalnya, pembatasan akses perempuan dibidang ekonomi (kesempatan kerja dan memimpin). 5) Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan rohani laki-laki. e. Jender dan Beban Kerja Anggapan yang sering muncul di
kalangan masyarakat bahwa kaum
perempuan memiliki sifat rajin dan memelihara serta tidak cocok sebagai kepala rumah tangga berdampak bahwa semua pekerjaan rumah tangga menjadi
57
A. Nunuk P. Murniati, Getar Jender, (Magelang: Indonesiatera, 2004), hlm. 223-224
80
tanggung jawab kaum perempuan. Terlebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja yang ganda. Bias jender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan di masyarakat bahwa pekerjaan perempuan dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai „bukan produktif‟, sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu, kaum perempuan, karena anggapan jender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni jender mereka.58 Beban kerja terhadap kaum Muslimah tersebut mendapat legitimasi penafsiran keagamaan seperti dalam Q.S Al-Baqarah (2:233) sebagai berikut:
Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun 58
Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1996), hlm. 21-22.
81
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” Ayat diatas dijelaskan adanya perbedaan peran laki-laki dan perempuan di mana laki-laki dan sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan berkewajiban mengurusi peran domestik. Meskipun dalam ayat ini tidak dijelaskan bahwa peran produksi (mencari nafkah) lebih bernilai dibanding peran reproduksi (kerja domestik), namun kenyataan terjadi diskriminasi penghargaan dan penilaian diantara kedua peran tersebut. Akibatnya, penghargaan terhadap peran domestik lebih rendah dan terlebih lagi telah melahirkan beban kerja, dimana kaum perempuan yang mendapatkan kewajiban untuk menjaga aspek reproduksi dalam rumah tangga menjadi korban utamanya.59 Ketidakadilan jender yang termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja tersebut telah terjadi di berbagai tingkatan masyarakat. Manifestasi ketidakadilan jender ini telah mengakar mulai dari keyakinan di masing-masing orang, keluarga, hingga pada tingkat negara yang bersifat global. Semua bentuk ketidakadilan jender tersebut saling mempengaruhi dan saling terkait satu sama lain. Manifestasi ketidakadilan ini tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan. Dan pada akhirnya, baik
59
Mansour Fakih, Membincang Feminisme Diskursus Jender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 62
82
laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan yakin peran itu seolah-olah merupakan suatu kodrat.60 7. Teori Feminisme untuk Mengetahui Ketidakadilan Yang dimaksud Feminisme di sini adalah suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut. Persoalan yang muncul ketika kaum feminis berusaha menjawab pertanyaan „mengapa‟ kaum perempuan didiskriminasi atau diperlakukan tidak adil? Dari sini kaum feminis tersebut dapat dibedakan ke dalam empat golongan, yaitu: a) Feminis Liberal Asumsi dasar bagi kaum feminis liberal adalah bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu dasar perjuangan mereka menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual termasuk perempuan. Dalam perspektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi moderen atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Salah satu jalan untuk meningkatkan status perempuan
adalah
industrialisasi dan modernisasi, karena dengan jalan tersebut akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Usaha yang lain dapat dilakukan dengan lebih dikonsentrasikan pada pendidikan terhadap perempuan.61
60
Dwi Meitayani, Konsep Nusyuz Dalam................, hlm.5 Mansour Fakih, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; dalam Membincang Feminisme; Diskursus Jender Perspektif Islam, (Surabaya; Risalah Gusti, 1996), hlm 39. 61
83
b) Feminis Radikal Menurut kaum feminis radikal, dasar penindasan kaum perempuan sejak awal adalah karena dominasi laki-laki, penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Menurut mereka, patriarkhi dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan. Mereka melawan segala bentuk kekerasan seksual termasuk pornografi. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil langkah untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. c) Feminis Marxis Kaum ini menolak pendapat kaum radikal bahwa „biologi‟ sebagai dasar pembedaan. Menurut mereka penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam relasi produksi. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Penganut feminisme marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital, dan divisi kerja internasional), oleh karena itu solusinya adalah pemutusan hubungan dengan sistem kapitalis internasional. d) Feminis sosialis Kaum feminis sosialis merupakan sintesa antara Marxisme dan radikal feminis. Bagi mereka, penindasan perempuan ada dikelas manapun. Asumsi dasar yang dipakai oleh feminis ini adalah bahwa hidup di negara kapitalis tidak menjadi penyebab utama keterbelakangan perempuan, di negara sosialis perempuan juga berpartisipasi dalam produksi dan ekonomi. Namun pada
84
kenyataannya keterlibatan perempuan justru menjerumuskan, dan mereka dijadikan budak. Mereka beranggapan bahwa terlibatnya kaum perempuan dalam ekonomi cenderung membawa pada antagonisme seksual daripada menaikkan status perempuan. Pada akhirnya mereka menolak Marxis klasik dan tidak menganggap eksploitasi ekonomi sebagai lebih esensial daripada penindasan jender. Gerakan feminis sosialis lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Karena banyak perempuan yang tidak menyadari akan hal itu. Tujuan gerakan feminis sosialis adalah membentuk hubungan sosial menjadi lebih manusiawi.62 8. Ketidakadilan Jender dalam Masyarakat Islam Agama dianggap sebagai salah satu yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Menurut Mansour Fakih, Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan laki-laki dan perempuan. Lantas yang menjadi persoalannya dari mana datangnya anggapan keyakinan, atau tradisi bahkan tafsiran keagamaan dalam masyarakat Islam yang memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki? Seperti pada uraian diatas, Mansour Fakih menggunakan analisis jender untuk menjawab persoalan tersebut. Karena pada dasarnya Islam menganut paham keadilan, maka ketidakadilan yang berkembang dalam masyarakat Islam adalah bentuk konstruksi sosial. 62
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis; Membaca Al-Qur‟an Dengan Optik Perempuan, …..hlm 102.
85
Dengan demikian secara prinsipil dan normatif Islam menghargai dan bahkan memberdayakan kaum perempuan. Namun dalam masyarakat terjadi konstruksi jender yang mengakibatkan kaum perempuan didiskriminasi. Upaya untuk menegakkan keadilan jender dengan merekonstruksi hubungan jender dalam Islam secara adil sama sekali bukanlah upaya untuk melawan kaum lakilaki. Menurut
Mansour
Fakih
persoalan
penindasan
dan
diskriminasi
perempuan bukan persoalan laki-laki, akan tetapi persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidakadilan jender yang dilegitimasi oleh keyakinan agama yang bias jender. Dan gerakan transformasi adalah suatu gerakan untuk menciptakan suatu sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih adil secara fundamental. Hubungan yang meliputi ekonomi, politik, budaya dan ideologi dan lingkungan. Untuk menyelesaikan sistem yang tidak adil tersebut, Mansour Fakih mencoba mencanangkan terobosan yang perlu dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan. Di antaranya sebagai berikut: Pertama, melawan hegemoni dengan melakukan dekonstruksi terhadap tafsiran agama yang merendahkan kaum perempuan. Tujuannya untuk membangkitkan gender critical consciousness, yakni menyadari ideologi hegemoni dominan dan kaitannya dengan penindasan jender. Kedua, perlu adanya kajian kritis, misalnya proses kolektif yang menkombinasikan studi, investigasi, analisis sosial, pendidikan serta aksi advokasi guna membahas isu perempuan. Tujuan usaha ini adalah untuk menciptakan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan (Muslimat)
86
sebagai pusat perubahan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran menuju transformasi kaum perempuan.