Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : Mekanisme Judicial Review
JUDICIAL REVIEW
Dian Rositawati, S.H.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519 Website : www.elsam.or.id Email :
[email protected] :
[email protected]
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
Bab I Pengertian Judicial Review A. Pengantar Pemahaman “Judicial Review” (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) 1 . Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘judicial review’, melainkan ‘legislative review’ 2 . 1 Dalam sistem ‘judicial review’ oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman malah ditentukan pula adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah Agung. Dengan demikian, secara akademis, dapat dikatakan bahwa objek yang dapat diuji melalui mekanisme ‘judicial review’ oleh hakim konstitusi itu dapat mencakup (i) legislative acts, (ii) executive acts, dan juga (iii) judicial decisions. Jimly Asshiddiqie, Catatan Kompilasi Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi di 45 Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, belum diterbitkan. 2 Salah satu contoh bentuk pengujian legislatif terhadap produk eksekutif (executive acts) adalah pengujian oleh Dewan Perwakilan
Judicial Review di negara-negara penganut aliran hukum civil law biasanya bersifat tersentralisasi (centralized system). 3 Negara penganut sistem ini biasanya memiliki kecenderungan untuk bersikap pasti terhadap doktrin supremasi hukum. Karena itu penganut sistem sentralisasi biasanya menolak untuk memberikan kewenangan ini kepada pengadilan biasa, karena hakim biasa dipandang sebagai pihak yang harus menegakkan hukum sebagaimana yang tercantum dalam suatu peraturan perundangan. Kewenangan ini kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu seperti Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, dalam sistem yang terdesentralisasi (desentralized system), seperti misalnya diterapkan di Amerika Serikat, kewenangan melakukan judicial review atas suatu peraturan dan konstitusi diberikan pada organ pengadilan yaitu
Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU). Jika dalam satu tahun, suatu Perpu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perpu itu harus dicabut oleh Presiden. Karena itu, setiap perpu yang ditetapkan oleh Presiden diharuskan segera diajukan ke DPR untuk mendapatkan ‘legislative review’ dengan kemungkinan disetujui atau ditolak oleh DPR. 3 Daniele E. Finck, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German Constitutional Court, Boston College International & Comparartive Law Review, 1997, page 2.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
1
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review Mahkamah Agung. 4 Pertimbangan memberikan kewenangan ini pengadilan adalah sangat sederhana, pengadilan memang berfungsi menafsirkan hukum dan menerapkannya dalam kasus-kasus.
untuk pada karena untuk untuk
Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkan prinsip ‘checks and balances’, pengujian semacam itu, jika diperlukan, dianggap hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Misalnya, suatu Undangundang hanya dapat diuji oleh Presiden dan DPR yang memang berwenang membuatnya sendiri. Usul mengenai pencabutan suatu Undang-Undang bisa datang dari mana saja, tetapi proses perubahan ataupun pencabutan UndangUndang itu harus datang dari inisiatif Presiden atau DPR sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk itu. Itulah sebabnya, selama ini dianut pendapat bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji materi peraturan di bawah Undang-Undang, tetapi tidak berwenang menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materiel (formele toetsingsrecht en materiele toetsingsrecht) 5 . Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya. Sedangkan pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi Ibid., page.3 Tentang ini, baca Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal.6-15. 4 5
suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi sesuai dengan prinsip ‘lex superiore derogate lex infiriore’. Pengujian atau ‘review’ oleh hakim itu dapat dilakukan secara institutional atau formal dan dapat pula dilakukan secara prosesual atau substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri. Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian materiel itu dilakukan secara institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara keseluruhan dapat dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, pengujian juga dapat dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial 6 . 6 ‘Review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’. Seperti dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman : “Judicial review is concerned,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
2
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga legislatif (legislative acts) dan dapat pula berupa produk eksekutif (executive acts). Produk legislatif (legislative acts) biasanya disebut undang-undang, wet atau law, tergantung bahasa yang digunakan di masing-masing negara. Disebut produk legislatif karena memang dalam proses pembuatannya terlibat peran parlemen. Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak dilakukan sepenuhnya oleh parlemen, setidaknya produk dimaksud ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama parlemen. Dalam tradisi ‘common law’ Anglo Amerika, baik ‘legislaltive acts’ maupun ‘executive acts’ tersebut dapat berupa produk hukum yang mengatur (regels, regeling) dan dapat pula berbentuk keputusan-keputusan administrasi negara yang tidak bersifat mengatur, melainkan hanya bersifat penetapan administratif (beschikking). Karena itu, kebijakan dan keputusankeputusan pejabat administrasi negara yang tidak berbentuk peraturan juga dapat diuji kembali dan dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan (hakim). Dalam sistem ‘civil law’ yang menganggap adanya peradilan administrasi negara sebagai salah satu pilar penting Negara Hukum (Rechtsstaat), keputusan administrasi negara yang tidak bersifat mengatur itu dianggap sebagai objek pengujian oleh hakim adminitrasi Negara (tata usaha Negara). Karena itu, yang termasuk dalam pengertian ‘judicial review’ dalam sistem ‘civil law’, hanyalah produk pengaturan saja, yaitu mulai dari Undangundang sampai ke peraturan-peraturan (regels) yang ada di bawahnya. Misalnya saja, Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dapat dijadikan objek ‘judicial review’, tetapi Keputusan Presiden mengenai not with the decision, but with the decisionmaking process”. Constitutional and Administrative Law, Blackstone Press Ltd., London, 1993, hal. 398. Juga John Alder, Constitutional and Administrative Law, London : MacMillan Professional Masters, 1989, hal. 293.
pengangkatan dan pemberhentian pejabat – karena berisi norma yang konkrit dan bersifat individual – tidak dapat dimintakan ‘judicial review’, tetapi oleh yang dirugikan dapat diajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Sedangkan ‘judicial review’ dalam sistem ‘common law’ seperti disebutkan di atas, mencakup objek peraturan, baik ‘legislative acts’ maupun ‘executive acts’, dan juga objek tindakantindakan atau kebijakan administrasi negara yang merugikan kepentingan individu warganegara. Dengan perkataan lain, ‘judicial review’ dalam sistem ‘common law’ mencakup pula mekanisme tuntutan yang biasa dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara yang berkenaan dengan norma-norma hukum yang bersifat konkrit dan individuil. Tindakan atau kebijakan pemerintahan yang merugikan atau menimbulkan ketidakadilan dengan sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan proses pengujian itu juga disebut sebagai ‘judicial review’ 7 . Aspek administrasi negara dalam penggunaan upaya ‘judicial review’ itu di lingkungan negara-negara yang mewarisi tradisi ‘common law’, makin lama bahkan cenderung makin meningkat dapat dianggap sebagai ciri penting negara hukum modern (constitutional democracy). Di lingkungan negara-negara dengan tradisi ‘civil law’ hal ini sebenarnya sudah sejak lama berkembang dengan dimasukkannya elemen pengadilan administrasi negara menjadi salah satu pilar konsepsi ‘Rechtsstaat’ (negara hukum) Eropa Barat. 7 Karena itu, seperti dikemukakan oleh Lee Bridges, George Meszaros, dan Maurice Sunkin mengenai ‘judicial review’ di Inggris, “Judicial review is the principal means by which the courts …. Exercise supervision over the conduct of central and local government and other public authorities. Since undergoing substantial reform in 1977, the procedures for judicial review have been widely seen by legal commentators as having ‘transformed the face of administrative law’ and led to a ‘torrent’ of cases against public bodies being brought before the courts”. Judicial Review in Perspective, The Glass House, Cavendish Publ. Ltd., London, 1995, hal. 1.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
3
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review Karena itu, perkembangan pengertian tentang mengenai fungsi Mahkamah Konstitusi yang dianggap berwenang melakukan ‘judicial review’ terhadap peraturan, baik dalam arti ‘legislative acts’ maupun ‘executive acts’, sama sekali terpisah dari perkembangan pengertian mengenai jaminan keadilan bagi warga negara dalam konteks sistem peradilan tata usaha negara. Sedangkan dalam sistem ‘common law’, kedua hal itu tercakup dalam perkembangan ‘judicial review’ yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena itu, baik di Inggris maupun di Amerika, pengertian ‘judicial review’ yang biasa dipahami lebih luas cakupan maknanya, yaitu termasuk gugatan berkenaan dengan norma hukum yang konkrit dan individuil seperti yang dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara 8 . Malah, ke arah inilah pengertian ‘judicial review’ itu cenderung berkembang, seperti dikatakan oleh Lee Bridges dan kawan-kawan : “Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary itself, as a means by which the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power”. 9 Pedoman hukum yang dipakai untuk melakukan pengujian tersebut oleh hakim 8 Jika dalam sistem ‘civil law’ peradilan tata usaha negara dianggap sebagai pilar negara hukum (Rechtsstaat), maka dalam sistem ‘common law’, ‘meskipun diakui sangat penting, menurut John Ferejohn, Jack N. Rakove dan Jonathan Riley, “it would be a mistake to identify or equate constitutionalism with judicial review. Empowering courts to enforce constitutional clauses is neither a necessary nor a sufficient conditions for the development of a constitutional regime”, Constitutional Culture and Democratic Rule, Cambridge University Prerss, 2001, hal.13.
Lihat kata pengantar Lord BrownWilkinson dalam M. Superstone QC and J. Goudie QC, Judicial Review, Butterworths, London, 1992, dan F. Mount, The British Constitution Now, Mandarin, London, 1993, hal. 261. Lihat juga, John Ferejohn et.al. ibid., hal.7 dan footnote 1. 9
adalah norma hukum yang lebih tinggi, atau sekurang-kurangnya norma hukum yang setingkat terutama apabila pengujian yang dilakukan bersifat formil. Norma hukum yang paling tinggi adalah Konstitusi. Karena itu, pengujian terhadap materi undangundang dinilai berdasarkan norma dasar yang terkandung dalam konstitusi. Dengan kata lain, yang diuji adalah konstitusionalitas materi undang-undang, konstitusionalitas dan legalitas prosedur penetapan undang-undang, ataupun legalitas kompetensi kelembagaan yang menetapkan undang-undang tersebut. Sedangkan untuk materi peraturan di bawah undang-undang, dinilai berdasarkan undang-undang dan demikian pula peraturan di bawahnya dinilai berdasarkan peraturan yang berada di atasnya. Karena hubungan hirarkis antar peraturan perundang-undangan itu seyogyanya bersifat sistemik dan ‘inter-related’ secara vertikal, maka dapat dikembangkan pemikiran bahwa subjek hakim penguji (judicial review) seharusnya bersifat ‘integrated’ atau terpadu di satu institusi. Akan tetapi, karena dalam pengalaman di banyak negara, kemunculan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi 10 dapat 10 Pembentukan Mahkamah Konstitusi ini dapat disebut sebagai gejala abad ke-20. Sampai sekarang, baru 45 negara yang membentuknya dan mengadopsikannya dalam rumusan konstitusi. Ke-45 negara itu adalah : Albania, Aljazair, Autria, Armenia, Azerbaijan, Belgia, Belarusia, Bolivia, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Chile, Colombia, Croatia, Czech, Denmark, Ecuador, Germany, Georgia. Hungary, Indonesia, Italy, Latvia, Lithuania, Malta, Marocco, Mesir, Moldova, Norwegia, Perancis, Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Russia, South Afrika, South Korea, Slovakia, Slovenia, Spain, Swaziland, Swedia, Thailand, Turkey, dan Venezuella. Ke-45 negara itu, ada yang menyebut mahkamah ini dengan sebutan ‘Constitutional Court’, ada yang menyebutnya ‘Constitutional Arbirage’ seperti di Belgia, dan ada pula yang tidak menyebutnya sebagai pengadilan, melainkan dewan atau ‘Counseil Constitutionnel’ seperti di Perancis dan beberapa negara yang dipengaruhi oleh sistem hukum Perancis. Lihat Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi di Berbagai Negara, makalah Seminar Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
4
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review dipandang sebagai inovasi baru di bidang hukum yang dalam perkembangannya baru dikaitkan dengan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang, maka subjek hakim penguji itu dibedakan antara materi undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang. Di beberapa negara, juga diterima adanya pengertian bahwa selain kewenangan uji materiel atas undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga berwenang menyelesaikan sengketa antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ataupun antar Pemerintah Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan ataupun dalam melaksanakan Undang-undang Dasar.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
5
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
B. Perkembangan Judicial Review di Indonesia Dalam proses pembentukan UUD 1945 terjadi perdebatan tentang perlunya Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudikatif untuk memiliki kewenangan menilai apakah suatu peraturan perundangan sesuai dengan konstitusi. Soepomo tidak sependapat karena menurutnya kekuasaaan demikian terdapat pada negara yang menganut sistim pemisahan kekuasaan (konsep trias politica). Sementara Rancangan UUD tidak, dan kekuasaan yudikatif tidak mengontrol kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Menurut Supomo, di negara-negara lain seperti Austria, CekoSlowakia dan Jerman, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh suatu pengadilan yang memang khusus menangani masalah konstitusi. Akhirnya BPUPKI dan PPKI menolak usul tersebut dan tidak memasukkannya ke dalam UUD sebagai bagian wewenang yudikatif MA. Dalam Konstitusi RIS yang diundangkan pada tahun 1949 disebutkan bahwa, kewenangan untuk menilai apakah suatu UU Negara Bagian bertentangan atau tidak dengan UU Federal dan Konstitusi RIS diberikan kepada MA. Untuk merespon perkembangan, di sekitar tahun 1956 – 1959 IKAHI dan MA mengusulkan bahwa MA seharusnya memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu peraturan perundangan bertentangan dengan UUD. Kemudian dalam pembahasan konstitusi bidang peradilan, Konstituante memutuskan untuk memuat pembentukan peradilan khusus yang terdiri dari Hakim Agung yang berwenang menilai peraturan perundangan. Namun, dengan Dekrit 1959, Presiden membubarkan Parlemen. Tahun 1970 UU 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kewenangan kepada MA untuk menilai kesesuaian suatu peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi (judical review). Namun kewenangan itu, terbatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari
UU dan tidak mengatur penilaian UU terhadap UUD. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama.
Tahun 1993 diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil tertanggal 15 Juni 1993 sebagai reaksi terhadap permohonan judicial review yang diajukan harian Prioritas kepada MA terhadap Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sekitar 7 bulan sebelumnya. Tahun 1999 MA mengeluarkan Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1999 tentang Judicial Review dalam rangka memperbaharui teknis pelaksanaan judicial review yang sebelumnya diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1993. Perbedaan prinsipil dengan aturan sebelumnya adalah permohonan judicial review dapat juga diajukan terpisah dari suatu perkara (permohonan). Pada bulan Nopember 1997 F-PDI mengusulkan untuk memberi MA kewenangan melakukan judicial review terhadap UU, namun PAH II BP MPR menolak, dengan alasan MA tidak berhak untuk melakukan judicial review terhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. F-KP, F-UD, F-PP, F- ABRI menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap UU adalah lembaga yang menghasilkan UU tersebut, yaitu Pemerintah dan DPR. Pada bulan Juli 2000 dalam Pembahasan Amandemen Kedua UUD 45 oleh PAH I BP MPR Tim ahli mengusulkan untuk segera dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat pleno ke-26. Dalam pasal 25B, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum dalam Rancangan Amandemen Kedua UUD 45 yang disiapkan oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi direncanakan untuk mempunyai 3 kewenangan : (i) menguji secara materiil atas UU dan UUD; (ii) memutus atas pertentangan antar UU; (iii) memutus
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
6
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review sengketa kewenangan antar lembaga negara, antara pemerintah pusat dengan daerah, antar pemerintah daerah. Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP MPR, 22 Juli 2000, PAH I menyepakati MK berada dalam lingkungan MA. Pada bulan Agustus tahun 2000 dalam Sidang Tahunan I MPR Bab ini dibahas dalam ST I MPR, namun tidak dicapai kesepakatan. Oleh karena itu, MPR menerbitkan TAP III/2000, yang menegaskan kembali bahwa judicial review atas UU dan UUD 45 serta TAP MPR ada di tangan MPR, sedang MA hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah UU. PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiil atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui MK yang seharusnya berwenang, sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian oleh lembaga MPR ini tidaklah dapat dikategorikan sebagai ‘judicial review’, karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim, melainkan oleh ‘legislator’. Namun demikian, ketentuan demikian ini sangatlah keliru karena memberikan wewenang kepada lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat membentuk kompartemen baru. Meskipun TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya, ketentuan mengenai ‘legislative review’ yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan, karena memang isinya keliru total. Fungsi pengujian Undangundang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua MA mendukung pendapat ini, pertentangan aturan adalah persoalan hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR.
Pada bulan September 2001 dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945, seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR setuju untuk memasukkan aturan tentang MK dalam Amandemen Ketiga UUD 45. Idealnya kewenangan pengujian materi peraturan perundang-undangan diintegrasikan saja menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, perumus kebijakan konstitusional negara kita tidak berpendapat demikian. Dalam perubahan terhadap rumusan Pasal 24 UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada bulan November 2001, kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya sampai tingkat Undang-Undang, sedangkan peraturan di bawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 dinyatakan : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang” 11 . Sedangkan Pasal 24 C ayat (1) menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” 12 . Dengan demikian, pengujian terhadap materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi menyangkut konstitusionalitas undang-undang saja, dan penyelesaian sengketa antara pusat dan daerah ataupun antar pemerintah daerah tidak ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa yang diputus oleh Mahkamah
11 Republik Indonesia, Putusan Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Sekretariat jenderal MPR-RI, 2001, hal.13. 12
Ibid.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
7
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review Konstitusi dibatasi hanya menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Sebelum hakim Mahkamah Konstitusi itu ada, kewenangan melakukan pengujian itu dilimpahkan
kepada Mahkamah Agung. Beberapa permasalahan sehubungan dengan pelaksanaan kewenangan MK oleh MA pada masa transisi tersebut akan dielaborasi lebih lanjut.
BAB II
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
8
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
Judicial Review dalam Perundangan-Undangan di Indonesia Seperti dimaklumi, dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945 selama ini, MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Dari lembaga tertinggi MPR itulah cabang-cabang kekuasaan negara dibagikan ke lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan. Karena itu, hubungan antar cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak didasarkan atas prinsip ‘checks and balances’, dan karena itu, produk lembaga legislatif bersama-sama eksekutif berupa Undang-Undang dinilai tidak dapat dilakukan pengujian (judicial review) oleh cabang kekuasaan kehakiman. Kalaupun hal itu hendak dilakukan, maka pengujian itu dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Pengujian terhadap produk hukum di Indonesia dibagi dua, yaitu terhadap undang-undang (legislative acts) dan terhadap produk di bawah undang-undang (executive acts). Yang kurang mendapat perhatian dalam studi ilmu hukum selama ini adalah pengujian terhadap produk atau putusan hakim sendiri yang cenderung tidak dipahami berada dalam konteks pengertian ‘judicial review’ juga. Di Indonesia sendiri dikenal adanya lembaga Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung, bahkan terhadap putusan kasasi yang dibuatnya sendiri. Di Jerman, dikenal pula adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji kembali putusan Mahkamah Agung dari segi konstitusionalitas tidaknya putusan itu. Dengan perkataan lain, dalam pengertian ‘judicial review’ itu terdapat pula pengertian mengenai pengujian kembali, tidak saja terhadap produk legislatif dan
eksekutif, tetapi juga terhadap produk putusan judicial atau hakim sendiri. Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedang kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Hal ini potensial menimbulkan masalah. Kemungkinan munculnya persengketaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau lebih-lebih lagi antar Pemerintah Daerah, sangat mungkin timbul karena adanya keputusan-keputusan yang bersifat mengatur (regeling) ataupun keputusankeputusan penetapan administratif (beschikking) yang dianggap merugikan salah satu pihak. Bentuk-bentuk keputusan hukum tersebut dapat berbentuk keputusan gubernur, keputusan bupati, ataupun peraturan daerah. Padahal tingkatannya jelas berada di bawah Undang-undang yang seharusnya menjadi objek pengujian oleh Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Akibatnya sangat mungkin terjadi dis-harmonisasi dalam putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk hal-hal yang berkaitan namun dengan yurisdiksi berbeda. Jika keduanya dibedakan, maka secara teoritis dapat saja terjadi dimana untuk satu perkara yang terkait, putusan Mahkamah Agung justru saling bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, oleh Mahkamah Agung, suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang, tetapi oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-undang yang bersangkutan justru dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.
1. PERMA NO. 2 TAHUN 2002 Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan, Mahkamah Konstitusi
dibentuk selambat-lambatnya 17 Agustus 2003, dan sebelum dibentuk segala
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
9
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review kewenangannya dilakukan Mahkamah Agung (MA). Konsekuesi dari ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 adalah bahwa sebelum MK terbentuk, segala fungsi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dilaksanakan oleh MA. Untuk melaksanakan kewenangan MK selama masa transisi, MA telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meski sudah ada aturan di tingkat konstitusi ternyata tidak mudah merumuskan MK ke dalam bentuk yang lebih operasional. Bahkan ada beberapa ketentuan PERMA No. 2 Tahun 2002 yang harus mendapat perhatian mendalam, terutama dalam mewujudkan kehadiran MK dalam arti yang sesungguhnya. Dari beberapa kelemahan tersebut, beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan kewenangan Judicial Review antara lain adalah sebagai berikut : Pertama, berdasar ketentuan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD, MK memiliki berbagai macam wewenang, namun PERMA No 2 Tahun 2002 tidak mampu memberi perbedaan untuk tiap kewenangan MK dalam merumuskan hukum acara yang seharusnya memiliki kekhasan sendirisendiri. Misalnya hukum acara untuk memberikan putusan mengenai pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan atau wakil Presiden tidak dapat disamakan dengan hukum cara
untuk melakukan Undang-Undang.
uji
materil
teradap
Kedua, pembatasan waktu untuk melakukan Judicial Review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam pasal 2 huruf a PERMA No. 2 tahun 2002 ditegaskan bahwa permohonan tentang menguji undang-undang terhadap UUD diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak Undang-undang itu diundangkan. Secara khusus pembatasan ini dapat dikatakan tidak sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 24 C, dan secara umum tidak sejalan dengan filosofi pemberian kewenangan kepada MK untuk menguji UU. Semestinya MA tidak membatasai UU yang bisa dimohonkan judicial review. Karena sesuai PERMA No. 2 Tahun 2002 berarti hanya UU baru saja yang bisa diuji dan dikontrol publik melalui mekanisme Judicial Review. Sejalan dengan tahun-tahun Orde Baru dan reformasi yang yang telah menghasilkan berbagai produk peraturan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak dan seringkali lebih merupakan dorongan politis dan kepentingan tertentu saja, maka pembatasan ini terkesan lebih sebagai upaya untuk mengamankan produk-produk politis belaka. Selain itu kesadaran hukum masyarakat yang dinamis dan selalu berubah seharusnya juga perlu diberikan ruang, sehingga justru penting untuk tidak membatasi peraturan-peraturan yang dapat diajukan pada proses Judicial Review.
2. PERMA NO. 1 TAHUN 1999 Seperti kita ketahui, bahwa selain menjalankan kewenangan pada masa transisi sebelum berdirinya MK, MA juga berwenang untuk mengadili perkara judicial review untuk peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang. UUD 1945 secara sengaja tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan judicial review terhadap UU. 13 Namun demikian, berdasarkan TAP
Moh. Yamin sempat mengusulkan perlunya ada lembaga yang memiliki fungsi 13
MPR No. III Tahun 1978, kewenangan tersebut diberikan ke MA secara terbatas, yaitu hanya untuk me-review peraturan perundang-undangan yang tingkatnya
untuk melakukan judicial review, namun hal tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan utama bahwa ide tersebut hanya sesuai bagi negara yang menganut sistem pemisahan kekuasaan (trias politica) dan Indonesia tidak menggunakan sistem tersebut.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
10
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review berada di bawah UU (yaitu PP ke bawah). 14 Selain itu, kewenangan yang serupa diatur pula dalam UU No. 14 Tahun 1970 (Pasal 26) dan UU No. 14 Tahun 1985 (Pasal 31). Ketentuan dalan kedua UU tersebut masih bersifat umum. Kedua UU tersebut pada intinya hanya menyatakan bahwa MA berwenang untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tersebut diambil melalui persidangan tingkat kasasi dan instansi yang bersangkutan harus segera mencabut peraturan perundang-undangan yang dinyatakan bertentangan tersebut. Karena sifat pengaturan dalam TAP MPR dan UU di atas yang terlalu umum dan (khususnya karena ketidakjelasan prosedur judicial review), pada tahun 1993 MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Hak Uji Material (judicial review). PERMA tersebut kemudian diubah pada Tahun 1999 dengan dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1999. Beberapa pokok pengaturan dalam PERMA tersebut adalah : -
-
-
MA memeriksa dan memutus judicial review berdasarkan gugatan atau permohonan (Pasal 1 ayat [1]); Gugatan atau permohonan judicial review diajukan langsung ke MA (Pasal 1 ayat [3] dan [4]. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam TAP III/MPR/1978, UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 yang menyatakan bahwa putusan hak uji material (judicial review) diambil berhubungan dengan pemeriksaan di tingkat kasasi. 15 Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan jika pemohon telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh UU; 16 Yang dapat mengajukan gugatan adalah badan hukum dan kelompok 14
Pasal 11.
15 Pasal 31 ayat (3) UU No. 14/1985, Pasal 26 ayat (2) UU No. 14/1970. 16 Pasal 43 UU No. 14/1985
-
-
masyarakat (Pasal 1 ayat [5]), sedang yang dapat mengajukan permohonan adalah kelompok masyarakat (Pasal 1 ayat [7]); Tenggang waktu permohonan atau gugatan judicial review adalah 180 hari setelah peraturan perundang-undangan tersebut berlaku (Pasal 2 ayat [4]); Dalam pemeriksaan gugatan, tergugat (pihak pembuat peraturan perundangundangan) harus didengar keterangannya (Pasal 9 ayat [4]) sedang dalam hal permohonan, pihak pembuat peraturan perundang-undangan tidak perlu didengar pendapatnya; Bila MA mengabulkan gugatan atau perhomonan judicial review maka pihak yang membuat peraturan perundangundangan harus mencabutnya (Pasal 9 ayat [2] dan 10 ayat [2]) dan bila pihak yang membuat peraturan perundangundangan tersebut tidak mencabutnya maka 90 hari setelah putusan MA tersebut, peraturan perundangundangan yang harus dicabut dianggap tidak sah dan tidak berlaku umum (Pasal 12 ayat [1] dan 13 ayat [1]).
Terdapat beberapa catatan kritis mengenai PERMA No. 1 Tahun 1999 tersebut yang masih memuat kelemahan-kelemahan yaitu sebagai berikut : Pertama, melanggar Pasal 6 Ketetapan MPR III/MPR/2000, yang berbunyi sebagai berikut : “Tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih lanjut dengan undangundang”. Pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung tetapi harus dengan undang-undang. Kedua, Pasal 10 PERMA 1 Tahun 1999 tidak mewajibkan hakim untuk mendengar pihak Termohon. Tidak adanya kewajiban mendengar pendapat pihak yang
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
11
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review mengeluarkan peraturan atau pihak yang terkena dampak judicial review dalam hal judicial review diajukan dengan mekanisme permohonan dapat dikatakan melanggar Asas Audi et Alteram Partem, yang artinya keterangan pihak lawan juga harus didengar. Ketiga, dalam PERMA diatur mengenai jangka waktu untuk mengajukan judicial review yaitu 180 hari. Pembatasan waktu setidaknya memiliki 2 implikasi yaitu (1) pembatasan hak memohon di satu sisi (2) bila tidak ada pembatasan waktu, maka untuk sebuah UU yang telah lama berlaku telah memberikan dampak yang bisa jadi besar, akibatnya kepastian hukum tidak dapat dijamin. Apalagi bila dampak tersebut telah membawa kerugian sehingga akan ada
implikasi keuangan negara (jika akan dikenal adanya ganti rugi dari negara bila ada kerugian pemohon dengan diundangkannya UU yang bertentangan dengan konstitusi). Namun di sisi lain, dengan menetapkan jangka waktu tertentu, akibatnya akan banyak peraturan yang sudah berlaku lama dan ternyata menimbulkan permasalahan namun tidak dapat diajukan judicial review. Keempat, PERMA juga melanggar Asas tentang Terminologi dan Sistematika (Het Beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systimatiek) karena dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak dapat dibedakan antara terminologi gugatan dan permohonan.
BAB III Mekanisme Beracara dalam Judicial Review Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
12
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
1. Prinsip-Prinsip Hukum Acara Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non-contentieus procesrecht” atau hukum acara non-sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan). Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial review seharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah : a.
perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali. b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes) Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja – tidak hanya para pihak yang berperkara.
Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara – misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review - harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk mengajukan kembali
2. Pengajuan Permohonan atau Gugatan
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
13
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
3. Alasan Mengajukan Judicial Review Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :
Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi. Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundangundangan. Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi.
4. Pihak yang Berhak Mengajukan Judicial Review Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka
yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang. Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
14
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk
2.
3. Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka perlu diperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugatan adalah kelompok masyarakat yang : 1.
4.
Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu.
Dalam Anggaran Dasar-nya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundangundangan. Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasar-nya. Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-undangan yang bersangkutan.
5. Putusan dan Eksekusi Putusan Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.
Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex tunc).
Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU - baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi hukum.
Dalam hal pencabutan putusan secara ex tunc, complaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administratif telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.
BAB IV Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
15
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
Praktek Judicial Review di Indonesia Mencermati perkembangan penerimaan publik terhadap substansi produk hukum yang dihasilkan dalam beberapa waktu terakhir, judicial review menjadi pilihan yang tidak mungkin dihindarkan untuk ‘mengkoreksi’ kesalahan yang mungkin terjadi dalam sebuah produk hukum. Bahkan bagi banyak kalangan, pengajuan uji materil menjadi kebutuhan yang mendesak. Kecenderungan ke arah ini dapat dilihat dari keinginan beberapa kelompok masyarakat untuk mengajukan permohonan dan gugatan uji materiil berbagai produk hukum yang mereka nilai mengandung kontroversial kepada Mahakamah Agung. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut : Pertama, Pengajuan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Persitiwa Peledakan Bom Bali (selanjutnya ditulis Perpu Antiterorisme) oleh sejumlah tokoh organisasi nonpemerintah. Pengajuan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Perpu Antiterorisme dianggap tidak layak diterapkan karena banyak materinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan undang-undang. Kedua, Hal yang sama juga dilakukan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK). Langkah hukum ini dilakukan oleh KPKPN karena Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dinilai telah menghilangkan amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998
dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Untuk lebih mendalami bagaimana suatu perkara Judicial Review berproses, maka perlu dipaparkan beberapa contoh kasus secara mendetail. Kasus di bawah ini dapat dijadikan contoh bagaimana Mahkamah Agung memutuskan permohonan uji materiel atas satu Peraturan Pemerintah terhadap Undang-Undang. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 yang menjadi landasan terbentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk melihat berbagai kelemahan dalam pengajuan suatu kasus, maka akan dilihat bagaimana suatu kasus dengan logika dan latar belakang yang kurang lebih sama ternyata diputus secara berbeda. Suatu proses penyelesaian perkara tidak dapat dilihat hanya dari perspektif hukum saja, namun perlu dicermati lebih lanjut konteks suatu perkara dan hal-hal yang melatarbelakangi perkara tersebut. Kasus judicial review yang dipaparkan berikut selain menarik untuk dicermati dari perspektif hukum juga mengandung muatan non hukum yang cukup kompleks. Berkaca dari perkara ini, maka dapat terlihat bahwa proses penyelesaian suatu perkara tidak murni bergantung pada aturan-aturan normatif yang tersedia, namun lebih jauh lagi bergantung juga pada kepentingan yang bermain di dalamnya, dan kelemahan pada sistem peradilan yang berpengaruh pada kualitas putusan.
1. Kasus Indra Sahnun versus TGPTPK
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
16
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review Pada tanggal 4 September 2000, Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan mengajukan permohonan hak uji materil atas PP No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 17 ke Mahkamah Agung yang dianggap bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 18 . Ada dua dalil yang dipergunakan oleh pemohon dalam permohonan pengujian terhadap materi Peraturan Pemerintah tersebut. Pertama, ketentuan dalam PP No. 19/2000 tersebut dinilai oleh pemohon melanggar ketentuan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal ini berbunyi : “Dalam menentukan tindak pidana yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dalam koordinasi Jaksa Agung”. Sedangkan dalam Konsideran PP No. 19 Tahun 2000 huruf ‘a’, dinyatakan : “Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memerintahkan pembentukan Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”. Dalam Pasal 6 ayat (2) PP tersebut juga ditegaskan bahwa “Keanggotaan Tim Gabungan bersifat permanen”. Padahal, menurut ketentuan Pasal 27 UU di atas, pembentukan tim tersebut tidaklah mutlak dan sifatnya tidak harus permanen, melainkan cukup bersifat insidentil dan temporer. Kedua, Pasal 43 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan : “Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak UU ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dalam rangka pelaksanaan ketentuan tersebut Pasal 18 PP No. 19/2000 menyatakan : “Tim gabungan melaksanakan tugas dan wewenangnya selama belum dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
17
TLN-RI Tahun 2000 No. 3948.
18
LN-RI Tahun 1999 No. 140.
Pidana Korupsi”. Dengan demikian, Pasal 18 PP telah mengidentikkan atau menggantikan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk sementara waktu dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Komisi yang seharusnya dilakukan dengan Undang-undang telah direduksikan oleh Pemerintah dengan membentuk Tim Gabungan dengan Peraturan Pemerintah. Atas dasar kedua dalil tersebut, majelis hakim Mahkamah Agung dimohon untuk : (i) mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, (ii) menyatakan PP No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, (iii) memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No. 19 Tahun 2000 dengan ketentuan apabila dalam tempo 90 hari setelah putusan dikirimkan (disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan (iv) menghukum pihak pemerintah untuk membayar biaya perkara 19 . Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Agung mengabulkan seluruh permohonan hak uji materil tersebut dengan pertimbangan bahwa dalam membuat suatu peraturan, tidak cukup hanya mendasarkan diri pada asas kemanfaatan/ kebutuhan/tujuan tertentu, tetapi juga harus sesuai dengan prinsip supremasi hukum, yaitu suatu peraturan baik secara formal maupun substansial tidak melanggar asas-asas kaedah hukum atau tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tegasnya, penerapan asas kemanfaatan (doelmatigheid) harus didampingi dengan penerapan asas legalitas (rechtsmatigheid), termasuk dalam kaitannya dengan prinsip hirarki peraturan perundang-undangan yang tidak boleh dilanggar. Sehubungan dengan itu, majelis hakim berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000, baik dari segi formal maupun substansial materiil,
19 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 03P/HUM/2000, tertanggal 23 Maret 2001, Varia Peradilan, tahun 2001.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
17
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review mengandung materi muatan yang bertentangan dengan Undang-undang. Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh majelis hakim mengenai hal tersebut mencakup sembilan dalil sebagai berikut. Pertama, Pasal 6 ayat (2) PP menyatakan : “Keanggotaan tim gabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat tetap”. Pasal 7 ayat (1) menyatakan : “Tim gabungan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh sekretariat tim gabungan”. Pasal 13 ayat (1) menyatakan : “Dalam rangka melaksanakan tugas tim gabungan, ketua tim gabungan dapat mengusulkan pembentukan satuan tugas penyidikan dan penuntutan kepada Jaksa Agung”. Padahal, Pasal 27 UU No. 31/1999 mengandung makna bahwa tim gabungan itu bersifat tidak tetap, temporer, insidentil, fakultatif, kasuistis, dan bukanlah suatu keharusan untuk dibentuk. Kedua, Pasal 5 PP menyatakan bahwa keanggotaan tim gabungan mencakup unsur kepolisian, kejaksaan, instansi terkait dan unsur masyarakat. Keikutsertaan unsur masyarakat memang terkait dengan ketentuan Pasal 43 ayat (4) UU yang menyatakan bahwa salah satu unsur anggota komisi pemberantasan tindak pidana korupsi berasal dari unsur masyarakat, namun hal itu harus diatur dengan undang-undang, bukan dengan Peraturan Pemerintah. Keikutsertaan unsur masyarakat dalam pelaksanaan fungsi penyidikan harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, karena kewenangan penyidikan itu sendiri diatur dengan undang-undang. Ketiga, Pasal 11 ayat (5) PP menentukan penambahan dan pemekaran kewenangan penyidik, sehingga mencakup pula berwenang untuk meminta keterangan mengenai keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka, membuka/memeriksa/menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalan dan merekomendasikan kepada atasan
tersangka untuk pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya. Padahal Peraturan Pemerintah, secara hukum, tidak dapat menambah ataupun mengurangi kewenangan-kewenangan yang seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Setiap hal yang dapat meniadakan ataupun mengurangi hak-hak warga negara ataupun yang membebani warga negara dengan kewajiban-kewajiban keuangan ataupun kewajiban lainnya yang kebebasannya dijamin berdasarkan konstitusi, tidak boleh ditetapkan sendiri oleh pemerintah tanpa mendapat persetujuan rakyat melalui wakilwakilnya di parlemen. Karena itu, pengaturan seperti itu harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Keempat, di samping hal tersebut di atas, perluasan kewenangan juga diberikan oleh Pasal 12 ayat (4) PP yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan, dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3). Padahal, hal ini jelas seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan dalam Peraturan Pemerintah. UU telah menentukan sendiri secara eksklusif tentang pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tersebut. Kelima, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (4) PP memuat ketentuan yang mencerminkan pengertian bahwa Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam PP No. 19/2000 tersebut merupakan badan yang bersifat tetap, seakan-akan sudah menjadi Komisi yang bersifat permanen, yang seharusnya dituangkan pengaturannya dalam undang-undang. Keenam, tidak ada satu pasalpun dalam UU No. 31/1999 yang mendelegasikan (delegated legislation) perluasan dan pemekaran kewenangan melalui Peraturan Pemerintah. Ketujuh, majelis hakim berpendapat bahwa UU No. 31 Tahun 1999 merupakan ketentuan primer yang tidak dapat dikesampingkan baik dalam bentuk penambahan, pengurangan ataupun dengan
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
18
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review membuat peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perintah UU tersebut dengan ketentuan yang bersifat sekunder, yang dalam hal ini melalui PP No. 19/2000. Kedelapan, majelis hakim berpendapat bahwa Pasal 18 PP No. 19 Tahun 2000 telah menyisihkan hakikat Pasal 43 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dan karenanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi benda yang terasing, karena telah disubstitusikan keberadaannya oleh PP No. 19/2000 dengan Tim Gabungan. Kesembilan, majelis hakim menimbang agar hakikat UU No. 31/1999 tidak hilang maka PP No. 19/2000 harus dicabut dan materi kewenangan yang terdapat dalam PP tersebut dilembagakan menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 31/1999 untuk segera dibentuk. Hubungan Kepentingan yang Terlibat dan Kedudukan Hakim Dalil-dalil yang digunakan oleh majelis hakim untuk memutuskan mengabulkan permohonan pemohon, secara teknis hukum memang dapat dinilai masuk akal dan sesuai dengan prinsip legalitas atau memenuhi unsur-unsur ‘rechtsmatigheid’ yang lazim dan diakui dalam hukum. Sudah tentu, argumentasi yang bertentangan juga dapat saja dibangun untuk melawan dalildalil yang dikembangkan oleh majelis hakim. Misalnya, dapat ditelaah secara kritis apakah benar TGPTPK identik atau mengidentikkan diri dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dipahami oleh majelis hakim. Ketentuan mengenai Tim Gabungan itu sendiri diatur jelas dalam Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999, sedangkan Komisi diatur dalam Pasal 43 UU yang sama. Kesimpulan majelis hakim yang menyatakan bahwa TGPTPK berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) adalah badan yang bersifat tetap, sepenuhnya merupakan penafsiran hakim yang sifatnya sangat relatif. Lagi pula, jika TGPTPK itu bersifat tetap sekalipun tidaklah terlalu prinsipil, sehingga harus dianggap bertentangan dengan UU. Apalagi
sifat keanggotaan TGPTPK yang tetap justru diperlukan untuk membantu Jaksa Agung berdasarkan kebutuhan yang penilaiannya ditentukan oleh Jaksa Agung sendiri. Banyak lagi argumen-argumen tandingan yang juga masuk akal yang dapat diajukan terhadap pertimbangan-pertimbangan majelis hakim tersebut. Namun demikian, argumen atau pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pengujian materiel terhadap PP No. 19 Tahun 2000 itu harus diakui memang mempunyai dasar yang logis, terutama jika pertimbangannya melulu mendasarkan diri pada penerapan prinsip ‘rechtsmatigheid’. Akan tetapi, seperti diakui sendiri oleh majelis hakim, prinsip ‘rechtsmatigheid’ itu harus diterapkan secara berimbang dengan prinsip ‘doelmatigheid’. Setiap aturan hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai yang diidealkan memberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat teknis. Namun, sebaliknya, tujuan juga tidak boleh menghalalkan segala cara (the end may not justify the means). Karena itu, penting sekali menemukan titik keseimbangan di antara keduanya. Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengemukakan : “…suatu peraturan perundang-undangan tidak cukup hanya mendasarkan pada asas kemanfaatan/kebutuhan/ tujuan tertentu, namun juga harus sesuai dengan prinsip supremasi hukum…”, dan juga menyatakan : “…upaya pemberantasan korupsi harus didukung sepenuhnya dan harus diberantas secara tidak kepalang tanggung, tanpa memandang siapapun pelakunya, sesuai dengan asas kesamaan di depan hukum. Namun, asas tujuan kemanfaatan harus didampingi dengan penerapan asas “legalitas”. Dari kedua pernyataan tersebut jelas bahwa majelis hakim berada dalam posisi ingin memperjuangkan penerapan asas legalitas di samping asas tujuan dan
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
19
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review kemanfaatan yang diasumsikan telah menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang eksistensinya berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 digugat oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan. Dengan perkataan lain, secara psikologis, majelis hakim mempunyai posisi dan pandangan yang sejalan dengan kepentingan pemohon uji materiel dalam upaya merumuskan keseimbangan antara prinsip ‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’. Sebaliknya, para pembela PP No. 19 Tahun 2000 dapat pula mengemukakan argumen sebaliknya, yaitu prosedur dan tata cara teknis tidak seharusnya menjadi penghalang untuk mencapai tujuan yang mulia memberantas tindak pidana korupsi. Kejahatan korupsi di Indonesia dinilai telah berurat berakar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Karena itu, bahayanya sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan korupsi itu bahkan dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights), yang biasa disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika, penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat memerlukan mekanisme pengadilan yang bersifat khusus, yaitu pengadilan hak asasi manusia, maka sudah seyogyanya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi ini dilakukan secara khusus pula dengan dibentuknya pengadilan khusus yang dilengkapi dengan institusi penyidik yang bersifat khusus pula. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tidak lain merupakan wadah khusus yang diperlukan dalam rangka penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi dengan menggunakan cara-cara dan prosedur yang tidak biasa dan tidak konvensional. Jika penanganan masalah kejahatan korupsi hanya dilakukan dengan tata cara dan
prosedur yang biasa, maka hasilnya dinilai tidak akan maksimal, atau malah tidak akan menghasilkan apa-apa. Apalagi, perkara yang dihadapi menyangkut hukum pidana, bukan perdata, yang dalam proses pembuktiannyapun cukup ditemukan kebenaran yang bersifat formil saja. Dalam pembuktian perkara pidana, para hakim perlu menggali dan menemukan kebenaran materiel di balik alat-alat bukti yang tersedia. Karena itu, majelis hakim sudah seharusnya mengutamakan lebih dulu asas kemanfaatan dan kemuliaan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi itu, barulah mengimbanginya dengan jaminan penerapan asas legalitas. Kedua logika pemohon keberatan terhadap PP No. 19/2000 dan logika pembela PP tersebut, pada pokoknya, sama-sama dapat dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, para hakim haruslah benar-benar berdiri di tengah-tengah dan menyelesaikan perkara yang menyangkut pertentangan kepentingan di antara keduanya secara adil (just), bebas (independent) dan tidak memihak (impartial). Oleh karena itu, penting sekali artinya untuk mendudukkan lebih dulu secara proporsional mengenai posisi hakimnya sendiri serta para pihak yang terlibat dalam persengketaan. Siapakah pemohon dan siapakah para hakimnya. Apakah ada hubungan kepentingan antara keduanya, dan apakah hubungan kepentingan yang terdapat antara kasus yang terjadi dengan para pemohon. Pertama, apa sebenarnya yang menyebabkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat berkepentingan sehingga mereka mengajukan permohonan keberatan terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tersebut. Atas dasar kepentingan apa sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan. Apakah murni atas dasar kepentingan hukum dalam arti norma yang bersifat umum (general norms) atau atas dasar kepentingan membela dan melindungi warga negara yang terancam oleh eksistensi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 tersebut. Jika pilihannya adalah yang terakhir, berarti
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
20
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review kepentingan hukum yang terlibat di dalamnya berkaitan dengan norma hukum yang nyata-nyata -- dengan meminjam istilah yang dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam pandangannya mengenai ‘stuffenbautheorie’ -- bersifat konkrit dan individual (concrete and individual norms), bukan norma hukum yang bersifat umum (general norms) 20 . Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP No. 19 Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh TGPTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim agung tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut norma hukum yang bersifat konkrit dan individual (conrete and individual norm), yaitu kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, dan tidak secara langsung berkaitan dengan materi muatan PP No. 19/2000 yang berisi norma yang berlaku umum (general norms). Oleh karena itu, penyelesaian perkara yang menyangkut kepentingan hukum yang bersifat konkrit dan individuil (concrete and individual norms) ini seharusnya tidak diselesaikan melalui pengujian terhadap PP yang berisi norma umum (general norms), melainkan dilakukan melalui proses peradilan biasa. Dalam proses peradilan itu sudah dengan sendiri majelis hakim juga dapat mengesampingkan berlakunya suatu Peraturan Pemerintah yang dinilai oleh hakim bertentangan dengan Undang-Undang. Akan tetapi, putusan mengenai hal itu diambil oleh hakim dalam proses peradilan terhadap kedua terdakwa hakim agung tersebut. Upaya pengujian atas materi suatu peraturan perundang-undangan malah seharusnya dibatasi, sehingga mekanisme 20 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Cambridge University Press, 1949. Lihat juga Pure Theory of Law, (translation by Max Knight), University of California Press, Berkeley, LA, London, 1978, hal. 19.
‘judicial review’ tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang telah dinyatakan sebagai terdakwa atau tersangka berdasarkan peraturan perundangundangan tersebut. Dengan demikian, ‘judicial review’ benar-benar digunakan sebagai upaya hukum yang dimaksudkan untuk penataan sistem hukum agar harmonis dan sinergis antara satu sama lain, baik secara horizontal maupun vertikal. Jika para pemohon terkait dengan kepentingan yang menyangkut norma yang konkrit dan individual, maka seyogyanya hakim menolak permohonan yang bersangkutan, dan menganjurkannya menyelesaikan perkaranya terlebih dulu melalui proses peradilan biasa. Dengan demikian tidak timbul ‘conflict of interests’ dalam upaya pembangunan dan penegakan sistem hukum yang berkeadilan. Kedua, ketua majelis hakim yang mengadili perkara ‘judicial review’ atas PP No. 19 tahun 2000 itu adalah Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung yang sebelumnya pernah berperan sebagai penasehat hukum bagi kedua tersangka. Karena itu, mudah diduga bahwa majelis hakim ini yang diketuai Paulus Effendi Lotulung akan berpihak dan tidak netral. Lebih-lebih, karena para tersangka adalah hakim agung, sudah tentu majelis hakim Mahkamah Agung sendiri secara diam-diam akan berusaha keras membela kepentingan rekan sendiri melalui penyidangan permohonan uji materiel terhadap materi PP No. 19/2000 tersebut, sebelum perkara kedua hakim agung itu sendiri disidangkan di pengadilan. Dengan begitu, proses peradilan terhadap kedua hakim agung tersebut dapat dihindarkan, karena dasar hukum institusi penyidik terhadap keduanya, yaitu PP No. 19 Tahun 2000 telah dinyatakan tidak berlaku secara hukum. Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1985 jelas menentukan : “…seorang hakim tidak diperkenankan mengadili dimana ia berkepentingan baik langsung maupun tidak...”. Karena itu, Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH sebaiknya tidak diperkenankan mengadili perkara ‘judicial
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
21
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review review’ atas PP No. 19/2000 sebelum perkara dua hakim agung itu sendiri diselesaikan. Bahkan, majelis hakim dan Mahkamah Agung sendiri seharusnya menolak permohonan pengujian materiel atas PP No. 19/2000 tersebut sebelum, perkara tuduhan korupsi terhadap kedua orang hakim agung yang terlibat itu diselesaikan secara hukum. Bahkan selama status mereka berdua masih sebagai hakim agung, maka Mahkamah Agung sendiri tidak boleh dan tidak mungkin bertindak sebagai hakim yang akan menjamin keadilan yang sejati. Prinsipprinsip ini penting dijadikan pegangan karena hakim haruslah bekerja secara merdeka (independent) dan tidak memihak (impartial). Prinsip ‘Doelmatig’ dan ‘Rechtsmatig’ di Era Transisional Dalam rangka mencapai atau menemukan titik keseimbangan antara prinsip ‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’ seperti yang dikemukakan di atas, selain faktor subjek yang terlibat, yang juga penting diperhatikan adalah faktor kondisi lingkungan strategik yang mempengaruhi proses penentuan keputusan yang adil dan tepat. Di dalamnya terdapat konteks ruang (space) dan waktu (time) yang sangat mempengaruhi. Yang dimaksud dengan ruang disini dapat berupa ruang keIndonesiaan, ruang kedaerahan, ruang lokasi, ataupun ruang persidangan dimana perkara pengujian materiel itu disidangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan konteks waktu disini dapat berupa waktu pagi, siang, sore, atau malam; dan waktu harinya, bulannya ataupun waktu dalam arti era dan zaman. Yang terakhir inilah yang saya anggap paling relevan untuk dibahas disini, berkenaan dengan kasus pengujian terhadap materi PP No. 19 Tahun 2000 terhadap UU No. 31 Tahun 1999. Perkara ini disidangkan dalam suasana zaman dimana pemerintahan negara kita bersifat transisional dari otoritarian menuju demokrasi, dan dari era ‘Rachtsstaat’ menuju era ‘Rechtsstaat’. Dalam proses transisi itu, sistem demokrasi yang dipraktekkan masih
harus disebut sebagai ‘transitional democracy’, dan prinsip-prinsip keadilan yang ditegakkan masih bersifat ‘transitional justice’. ‘Rule of the game’ yang dipakai selama masa transisi itu juga bersifat transisional, alias belum sepenuhnya ideal. Sistem hukum dan konstitusi yang seharusnya dijadikan standard pengambilan keputusan untuk mewujudkan keadilan itu juga sedang mengalami reformasi dan penataan kembali secara bertahap. Inilah yang menjadi hakikat era reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum yang menjadi pesan gerakan reformasi nasional sejak tahun 1998. Memang benar, masa transisi haruslah dibatasi secara tegas waktunya. Akan tetapi, dari segi hokum, batas era transisi itu sangatlah jelas, yaitu sampai dokumen hukum tertinggi, yaitu naskah Undang-Undang Dasar selesai diubah menjadi hukum dasar yang utuh. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, UUD 1945 telah diubah tiga kali. Akan tetapi, perubahan itu dilakukan secara cicilan dan sepenggal-sepenggal, sehingga hasilnya belum belum bersifat utuh. Karena itu, keseluruhan naskah UUD 1945 yang asli ditambah tiga naskah Perubahan yang sudah disahkan, belum dapat difungsikan sebagai satu kesatuan konstitusi yang mengandung hukum dasar yang utuh. Sebelum konstitusi negara kita selesai dirumuskan menjadi hukum dasar yang utuh, sistem hukum Indonesia yang berdasarkan konstitusi belum dapat dikatakan utuh, dan karena itu masih bersifat transisional 21 .
21 Secara akademis, keadaan UndangUndang Dasar 1945 yang berlaku sekarang setelah tiga kali diubah memang tepat disebut bersifat transisional. Agak aneh jika ada pendapat seperti yang dikemukakan oleh Dr. Adnan Buyung Nasution bahwa istilah ‘konstitusi transisi’ tidak dikenal dalam hukum. Istilah ‘transisi’ itu identik dengan istilah ‘interim’ atau ‘provisional’ untuk menunjuk pada sifat sementara dan peralihan. Banyak sekali negara yang menggunakan naskah peralihan atau naskah sementara sebelum naskah final disahkan. Dalam sejarah Republik Indonesiapun istilah seperti itu pernah dipakai yaitu dengan UUDS 1950 yang dipakai sambil Konstituante
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
22
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review Karena konstitusinya saja belum utuh dan antara satu pasal dengan pasal lainnya masih bersifat tumpang tindih dan bahkan kadang-kadang ada yang bersifat saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan di bawahnya juga masih belum bersifat utuh. Sekarang ini, banyak Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan UndangUndang, baik karena kelemahan dalam perumusan PP tersebut ataupun karena UU nya sendiri dirumuskan lebih belakangan daripada PP yang bersangkutan. Kadangkadang ada pula Peraturan Pemerintah yang dirumuskan secara berbeda dari ketentuan suatu UU karena adanya kebutuhan yang nyata di lapangan yang materinya tidak mungkin dimasukkan ke dalam UU karena UU sendiri baru disahkan. Dalam kasuskasus demikian, Peraturan Pemerintah tersebut memang dapat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang. Akan tetapi, karena UUD sendiri juga sedangkan mengalami perubahan besar-besaran, dapat pula terjadi bahwa UU yang dijadikan dasar untuk menilai Peraturan Pemerintah tersebut di atas, juga ternyata bertentangan dengan UUD yang baru saja diubah. Sebagai contoh, cukup banyak Peraturan Pemerintah yang ditetapkan yang bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Misalnya PP No. 109 Tahun 2000 dan PP No. 110 Tahun 2000. Akan tetapi, dengan adanya perubahan terhadap ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang telah disahkan berdasarkan Perubahan Kedua UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa UU No.22 Tahun 1999 itupun sudah bertentangan dengan UUD. Peraturan Pemerintah memang dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Tetapi, pengujian terhadap materi UU, berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, dalam waktu dekat, Mahkamah Konstitusi itu sendiri belum terbentuk, karena masih menunggu dibentuknya Undang-Undang yang khusus berkenaan dengan itu. Jika berbagai PP yang dibentuk dan bekerja sampai tahun 1959 untuk mempersiapkan UUD yang baru.
dianggap bertentangan dengan UU dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung, sedangkan UU belum dapat diuji materiel dalam waktu dekat ini, maka dapat saja terjadi bahwa banyak PP yang dianggap bertentangan dengan ketentuan UU yang memang seharusnya sudah diubah berdasarkan ketentuan UUD yang baru, dapat dengan mudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung. Padahal mungkin saja Peraturan Pemerintah tersebut justru sesuai dengan semangat UUD yang baru. Jika hal ini terjadi, maka dapat timbul kekacauan dalam sistem hukum Indonesia yang sangat membahayakan masa depan Negara Hukum kita. Contoh lain berkenaan dengan kondisi kekacauan dan tidak harmonis peraturan perundang-undangan negara kita di masa transisi ini yang berkaitan erat dengan kasus yang dibahas disini adalah pertentangan antara ketentuan UU No. 14 tahun 1985 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak uji materiel. Menurut ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985, hak uji materiel (judicial review) dilakukan melalui pemeriksaan kasasi. Dengan demikian, pengujian materiel dilakukan bertahap mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, barulah sampai ke Mahkamah Agung. Tetapi, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ dan Pasal 5 ayat (1) huruf ‘a’ menyatakan bahwa ‘judicial review’ dapat dilakukan melalui permohonan langsung ke Mahkamah Agung. Padahal menurut ketentuan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) jelas tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang. Selain itu, banyak pula hal-hal yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini yang seharusnya menjadi materi muatan Undang-Undang ataupun yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang. Misalnya, PERMA ini menentukan pembatasan waktu pengajuan hak uji, yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi oleh suatu peraturan yang ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung. Semua ketentuan yang bertentangan ataupun yang seharusnya dituangkan dalam
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
23
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review UU tetapi ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung dalam bentuk PERMA, semata-mata didasarkan atas pertimbangan asas tujuan dan manfaat, dengan mengabaikan asas legalitas. Oleh karena itu, dalam masa transisi konstitusional dewasa ini, para hakim seyogyanya mempertimbangkan aspekaspek yang menyangkut prinsip-prinsip keadilan transisional (transitional justice), termasuk dalam menguji materi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keseimbangan dalam penerapan prinsip ‘doelmatigheid’ dan penerapan prinsip ‘rechtsmatigheid’ dapat ditemukan, jika majelis hakim dapat mengembangkan penafsiran yang bersifat kontekstual. Sudah
sangat jelas bahwa di masa transisi ini, sistem hukum Indonesia sedang mengalami penataan kembali, maka sudah dengan sendirinya banyak sekali terdapat kekurangan disana-sini, sehingga prinsip ‘rechtsmatigheid’ tidak dapat sepenuhnya diandalkan atau dijadikan andalan dalam mewujudkan keadilan. Karena itu, majelis hakim sudah seharusnya mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas legalitas. Dengan demikian, hakim tidak hanya menjadi mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut, tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejati.
2. Kasus Judicial Review atas PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN Sebagai bahan perbandingan, disini dapat pula dibahas logika yang digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan hak uji materil atas PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) tertanggal 1 Desember 1999 yang diketuai oleh Ketua Muda Mahkamah Agung M. Yahya Harahap 22 . Dalam kasus ini, majelis hakimnya dipimpin oleh Yahya Harapan, SH. dengan hakim anggota yang terdiri atas Achmad Syamsuddin, SH. dan Arbijoto, SH. Posisi Yahya Harahap sebagai ketua majelis hakim dalam kasus ini sangat berbeda dari posisi Yahya Harahap, yang dalam kasus permohonan uji materil atas PP No. 19 Tahun 2000, tersangkut dengan kedudukannya sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Dalam kasus pengujian atas PP No. 17 Tahun 1999, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan hak uji materil yang diajukan oleh DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang menuntut agar Mahkamah Agung menyatakan Peraturan 22
22.
Lihat Varia Peradilan No. 173, hal. 5-
Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dan dinyatakan tidak berlaku umum serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memerintahkan agar PP tersebut dicabut. Sedangkan dalam kasus pengujian atas PP No. 19 Tahun 2000, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan pemohon seluruhnya, menyatakan PP No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, memerintahkan Presiden untuk segera mencabut PP No. 19 Tahun 2000, dengan ketentuan apabila dalam tempo 90 hari ternyata PP tersebut PP tersebut belum dicabut, maka demi hukum PP tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, dan menghukum pemerintah membayar biaya perkara. Alasan penolakan terhadap permohonan keberatan dari pemohon hak uji materil atas PP No. 17/1999 tersebut adalah : Pertama, meskipun PP No. 17 Tahun 1999 memberikan kewenangan yang agak menyimpang dari ketentuan formal UU yang lebih tinggi, tetapi jika dikaitkan dengan “kebutuhan dalam keadaan darurat
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
24
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review dan bersifat ‘occasional’”, maka substansi dan materi yang terkandung dalam PP No. 17 Tahun 1999 tersebut : (a) tidak sampai mematikan hak perdata seseorang, (b) tidak sampai melanggar hak asasi manusia, (c) tidak mematikan hak seseorang untuk mengajukan perlawanan atau gugatan kepada pengadilan terhadap BPPN, (d) tidak melanggar asas legalistik, (e) tidak melanggar prinsip demokrasi dan prinsip egalitarianisme maupun praktek diskriminasi. Kedua, kewenangan BPPN mengeluarkan surat paksa - penyitaan, pelelangan, dan pengosongan – masih mengacu kepada Pasal 195 dan Pasal 200 Hukum Acara Perdata (HIR). Kewenangan BPPN tersebut jika diuji dengan prosedur Hukum Acara Perdata, masih berada dalam kerangka tertib hukum acara (scope of due process of law). Ketiga, jika dihubungkan dengan pertimbangan urgensi, emergensi dan ‘occasional demand’, pemberian wewenang yang besar kepada BPPN bukan merupakan pelanggaran yang dapat dikategorikan bertentangan dengan ‘fundamental law’ (natural justice). Kewenangan yang besar tersebut masih berada dalam batas-batas toleransi hukum dan keadilan moral (moral justice). Keempat, di samping itu, melalui putusannya itu, Mahkamah Agung menyampaikan saran (advice) agar PP No. 17/1999 tersebut secepatnya ditingkatkan menjadi UndangUndang, agar tidak menimbulkan hujatan dan sekaligus memperkokoh kedudukan hukum BPPN sendiri, sehingga kekuasaan BPPN yang bersifat ‘extra-judicial’ dapat terkait secara hukum sebagai ‘lex specialis’ berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Dalam keadaan normal dan dengan menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ yang ketat pemberian kewenangan kepada suatu badan untuk melakukan segala tindakan yang dapat memaksa warga negara untuk mengalihkan hak dan kewajibannya atau membebani warga negara atau subjek hukum lainnya dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat
memaksa, haruslah dilakukan dengan undang-undang. Karena itu, keberadaan lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan kewenangan yang sangat besar, tetapi hanya dibentuk dengan Peraturan Pemerintah tidaklah dapat diterima secara hukum. Karena itu, saran (advice) majelis hakim Mahkamah Agung agar PP tersebut ditingkatkan kedudukannya menjadi Undang-Undang, memang dinilai sangat tepat. Akan tetapi, karena majelis hakim memberikan toleransi yang besar terhadap kenyataan bahwa pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional tersebut sangat diperlukan dalam keadaan yang bersifat mendesak atau ‘urgen’, darurat atau ‘emergensi’, dan bersifat ‘occasional demand’ dalam arti tidak dimaksudkan bersifat permanen, melainkan hanya bersifat sementara, maka majelis hakim menganggap bahwa permohonan keberatan atas PP No. 17/1999 tersebut tidak dapat diterima. Pertimbangan urgensi, emergensi, dan ‘occasional demand’ tersebut di atas, jelas sekali lebih mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ daripada prinsip ‘rechtsmatigheid’. Pada masa-masa transisi menuju demokrasi yang penuh (‘transition towards constitutional democracy’) seperti yang dialami bangsa Indonesiia selama 4 tahun terakhir ini, memang perlu disadari berlakunya prinsip ‘transitional justice’ dalam pemahaman kita mengenai hukum dan sistem hukum yang dewasa ini juga tengah mengalami perubahan mendasar 23 . Oleh karena itu, pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Muda M. Yahya Harahap dalam kasus pengujian materil atas PP No. 17/1999 tersebut dapat dinilai bijaksana. Oleh karena itu, seharusnya, majelis hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH. yang memeriksa permohonan pengujian materil atas PP No. 19 Tahun 2000 juga menerapkan logika hukum yang sama, yaitu menolak 23 Contoh-contoh lain mengenai penerapan prinsip keadilan transisional ini dapat dibaca dalam buku terbitan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berjudul : “Keadilan Dalam Masa Transisi”, Jakarta : KOMNAS HAM, 2001.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
25
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review permohonan keberatan yang diajukan oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan, dan memberikan saran (advice) agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat meningkat kedudukan materi yang diatur dalam PP No. 19/2000 tersebut menjadi materi Undang-Undang. Sangat disayangkan bahwa prinsip logika yang diterapkan dalam kasus pengujian materil atas PP No. 17 Tahun 1999 dan pengujian materil atas PP No. 19 Tahun 2000, berbeda satu sama lain. Dalam kasus pertama, prinsip ‘doelmatigheid’ lebih diutamakan, sedangkan dalam kasus kedua, prinsip ‘rechtsmatigheid’lah yang lebih diutamakan. Dalam kasus pertama, majelis hakim mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh perkembangan kebutuhan hukum di masa transisi dengan memberikan pertimbangan khusus mengenai urgensi, emergensi, dan ‘occasional
demand’ berkenaan dengan keberadaan PP No. 17 Tahun 1999, yang meskipun mengandung kekurangan dan kelemahan dari segi teknis hukum, dinilai oleh hakim tetap konstitusional dan dinyatakan sah berlaku sebagai hukum. Tetapi dalam kasus kedua, hakim justru berpegang teguh pada prinsip ‘rechtsmatigheid’ secara kaku, sehingga kelemahan teknis sedikit saja dari PP No. 19 Tahun 2000 sudah cukup dijadikan alasan bagi hakim untuk menyatakannya bertentangan dengan Undang-Undang dan karena itu dinyatakan tidak berlaku mengikat untuk umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa majelis hakim Mahkamah Agung telah menggunakan standar ganda dalam memberikan penilaian mengenai kedua kasus pengujian materil atas kedua Peraturan Pemerintah tersebut.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
26
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Mekanisme Judicial Review
DAFTAR PUSTAKA 1.
Falakh, Fajrul Mohammad. “Menggagas “Constitutional Review” di Indonesia”. Kompas, 8 April 2000.
2.
Isra, Saldi. “Menggugat Undang-Undang Antiterorisme”. Kompas, 10 Maret 2003.
3.
Isra, Saldi. “Ihwal pengajuan Judicial Review”. Koran Tempo, 16 Januari 2003.
4.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. KRHN dan Kemitraan untuk Tata Pemerintahan di Indonesia, 2003.
5.
Danielle E. Finck. Judicial Review : The United States Supreme Court versus the German Cobstitutional Court. Boston College International & Comparative Law Review, 1997.
6.
Daniels S. Dengler. The Italian Costitutional Court : Safeguard of The Constitution. Dickinson Kournal Law, 2001.
7.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. 2002.
8.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. 1999.
9.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Draft Studi Pembaruan Mahkamah Agung. Jakarta : 2003.
10.
Jimly Ashshdiqqie. ‘JUDICIAL REVIEW’ (Telaah atas Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Peraturan Pemerintah No. 19/2000 yang Bertentangan dengan Undang-Undang No. 31 TAHUN 1999). Dictum Edisi 1. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan : 2002.
11.
Soemantri, Sri. Hak Uji Material di Indonesia. Alumni Bandung : 1997.
12.
Ferejohn, John, et all. Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge University Press : 2001.
13.
M. Superstone QC and J. Goudie QC. Judicial Review. Butterworths, London : 1992.
14.
F. Mount. The British Constitution Now. Mandarin, London, 1993.
15.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 03P/HUM/2000. Tertanggal 23 Maret 2001. Varia Peradilan : 2001.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
27