Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 KAPITALISME DI DALAM HUKUM YANG BERWAWASAN PANCASILA Yudhi Priyo Amboro Abstract Capitalism is a real fact that can not be avoided. It lived in Indonesia and will continue to grow fast if there is no limitation by law. The fact that the value of capitalism is against Pancasila has no doubtfull, however, the fact that capitalism become a part of Indonesian’s economic activities can not be denied. Harmonization is a fair way to continue the life, which limit the negative value of capitalism and be directed to become the value of Pancasila, although it is not replace it all. This the law use for, and the quality of the policy will be the key of success to control the negative value of capitalism. The goal of national development can be reached, and the value for Indonesian economic is still suitable with Pancasila. Keywords: Capitalism, Law, Pancasila A. Latar Belakang Masalah Kapitalisme merupakan suatu paham yang mengedepankan penguasaan permodalan dalam suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai kecenderungan ambisius dan bebas. Paham ini dilandasi dengan adanya pemikiran liberalisme yang telah mengakar pada abad 18 di Eropa. Kapitalisme merupakan sektor yang didalamnya peranan kapital adalah nyata, kalau kapitalisme dapat dianggap sebagai sektor perekonomian yang mencakup bisnis-bisnis besar, maka lembaga-lembaga kapitalis adalah badan-badan usaha ekonomi individual yang masuk ke sektor ini dan kaum kapitalis adalah orang-orang yang mengepalai perusahaan-perusahaan semacam ini1. Bahkan kapitalisme ini adalah paham dan gerakan yang menggejala dan membawa Eropa keluar dari sistem feodal dan masuk ke dalam sistem kapitalisme industri sehingga melahirkan kemajuan teknologi dan ekonomi yang luar biasa2. Dalam perkembangannya, kapitalisme mengalami perubahan-perubahan mengikuti alur jaman yang dilewatinya. Strukturnya diawali dari kaum tukang atau pengusaha manufaktur skala kecil yang memiliki sedikit pemahaman tentang mekanika, yang selanjutnya berkembang membesar serta menonjol. Dari berbagai kelompok kapitalis yang berbeda ini saling bersaing memberikan pengaruh terhadap kebijakan negara. Pada akhir tahun 1840-an, para kapitalis industri telah berhasil merebut
1
Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, hlm 2. 2 Arief Budiman, Kapitalisme Ersatz : Sebuah Pengantar, Pengantar dalam Buku Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, hlm xiii-xiv
128
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 kekuasaan politik yang amat besar3. Rasionalitas wirausaha yang dikembangkan oleh kapitalisme ini kemudian menjadi sesuatu yang sangat masuk akal bagi manusia, sehingga menurut Bentham menjadi sesuatu yang paling alami di dunia, dimana dalam skala besar dilakukan dalam bentuk kapitalis industri dan dalam skala kecil dilakukan disaat berupaya menghasilkan kenikmatan dan menghindari rasa sakit dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti segala tindakan kapitalis hanya dinilai berdasarkan konsekuensinya, misalnya jika dipertimbangkan bahwa berdusta atau mencuri akan menguntungkan, maka tak akan keliru jika hal tersebut dilakukan.4 Kapitalisme ini selanjutnya dibawa oleh Belanda ke Indonesia sebagai bagian dari obyek kolonialismenya, dan sekaligus obyek kapitalis Belanda. Ketertarikan orang asing terhadap tanah Indonesia pada awalnya oleh karena kekayaan rempah yang dibutuhkan oleh orang-orang Eropa, hingga menjadikan rempah menjadi benda yang sangat berharga seperti emas di Abad Pertengahan. Sampai akhirnya, orang asing tersebut ingin melakukan penguasaan terhadap teritori-teritori dalam rangka ekspansi produksi-produksi perekonomiannya. Perkembangan kapitalis di Indonesia tidak terlepas dari peran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah perseroan terbatas pertama yang bercokol di tanah Indonesia. Perusahaan ini yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Belanda, melepaskan paham-paham kapitalisnya di Indonesia, dengan ciri nilai-nya yang khas yaitu egosime, keserakahan, dan sikap tak menghargai. Paham ini selanjutnya mulai merangsek masuk ke dalam setiap tatanan masyarakat Indonesia, utamanya di setiap pundi daerah produksi VOC pada waktu itu. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa paham kapitalis didasarkan pada liberalisme, sehingga landasan yang sama ini juga yang telah mengganti ikatan komunal tradisional dengan hubungan-hubungan ekonomi dan melalaikan nilai-nilai seperti solidaritas, cinta kasih, dan rasa kebersamaan, serta kedermawaan, tanggungjawab, kesabaran, dan rasa welas asih, sedangkan egoisme, keserakahan dan sikap tak menghargai ditunjung sebagai cita-cita baru.5 Semangat kapitalisme tersebut selanjutnya berkembang pesat dengan didukung oleh pemerintah Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing di tahun 1967-an hingga sekarang. Dari sejak itu, perindustrian di Indonesia mulai berkembang sampai dengan saat ini, baik berupa bentuk investasi dalam negeri maupun investasi asing, termasuk skala besar maupun skala kecil. Faham kapitalisme yang telah eksis tersebut menjadi ganjalan tersendiri mengingat Indonesia secara orisinil tidak menganut faham tersebut. Pancasila sebagai wawasan berpikir ekonomi merupakan faham orisinil bagi Indonesia, sedangkan nilainilai di dalam Pancasila berbeda jauh dengan faham kapitalisme. Tentu di dalam
3
Hans Fink, 2010, Filsafat Sosial : Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko dari Social Philosophy, Methuen & Co.Ltd, London, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, hlm 103. 4 Ibid., hlm 110. 5 Ibid., hlm 85.
129
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 perkembangannya akan tercipta permasalahan akibat perbenturan antara kedua faham dimaksud. Berdasarkan latar belakang di atas, maka selanjutnya perlu disusun sebuah perumusan masalah yang sekaligus juga menjadi bahan penelaahan selanjutnya yang lebih fokus di dalam penulisan ini, yaitu: Bagaimana eksistensi dan peran kapitalisme di dalam hukum yang berwawasan Pancasila? B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Hal ini diperlukan untuk menguraikan eksistensi dan peran kapitalisme di dalam hukum Indonesia, yang berwawasan Pancasila. Untuk menjawab apa yang melandasi uraian tersebut harus diketahui faktor-faktor mana yang mempengaruhi struktur, perkembangan, dan muatan-muatan substantif sistem hukum tersebut.6 Penulis akan banyak menggunakan data sekunder. Data-data sekunder tersebut lebih berupa asas-asas, praktek-praktek dan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan. Penulis mendapatkan data sekunder dari studi kepustakaan, yang akan mendapatkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data tersebut di atas akan diproses dengan pendekatan kualitatif yang didukung dengan analisa dengan menggunakan cara pikir deduktif. Pendekatan awal yang akan dilakukan adalah melakukan deteksi terhadap eksistensi kapitalisme di Indonesia, serta perannya di dalam hukum di Indonesia, selanjutnya barulah masuk ke dalam analisa terutama berkaitan dengan apa yang harus dilakukan terhadap eksistensi dan peran kapitalisme di dalam hukum Indonesia tersebut, sedangkan faham kapitalisme bertolak belakang dengan faham Pancasila. C. Analisa dan Pembahasan Hukum adalah sebuah produk dari kebijakan penguasa. Kecenderungan pembentukan hukum dilandaskan pada politisasi dari proses ius constitutum menjadi ius constituendum. Sudah menjadi bagian dari kehidupan, apabila pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi basis setiap manusia dan untuk mendapatkannya manusia harus bekerja dan berusaha. Permasalahannya adalah bagaimana bagian pemenuhan kebutuhan ekonomi tersebut diatur oleh hukum. Inilah yang menjadi benang merah dari hubungan kapitalisme dengan hukum. Hukum dibuat untuk dapat mengatur jalannya kapitalisme demi pemenuhan kebutuhan ekonomi setiap individu manusia Indonesia. Jadi dengan kata lain, hukum disini dibuat untuk membatasi peran kapitalisme sehingga kapitalisme berkembang dengan tidak bebas, tergantung dari motivasi penguasa yang diejawantahkan dalam hukum itu sendiri. Misalnya peran pemerintah yang diwujudkan dalam hukum terhadap pasar di Hongkong adalah sangat berbeda dengan peran hukum
6
Michael Bogdan, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie dari buku Comparative Law, Penerbit Nusa Media, Bandung, hlm 77.
130
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 dalam pasar di Singapura. Di Hongkong pasar bisa dikatakan sangat bebas, sedangkan di Singapura, peran pemerintah sangat interventif dan protektif. Pada awalnya, kapitalisme itu ada karena merupakan bentuk protes terhadap sistem feodal. Sehingga ketika sisa-sisa sistem produksi feodal dihapuskan dari seluruh wilayah pinggiran di Inggris sepanjang abad ke-18, maka kapitalisme mulai menguasai sendi produksi menggantikan kedudukan sistem feodal. Sistem kepemilikan feodal, yang tidak memberikan hak eksklusif kepada siapapun untuk memiliki lahan, yang merupakan faktor produksi terpenting, berangsur-angsur digantikan oleh lembagalembaga kapitalis yang memberikan hak kepemilikan pribadi yang eksklusif kepada pemilik setiap lahan, dan membiarkan mayoritas masyarakat tidak mempunyai hak kepemilikan apapun dan tidak memiliki apapun yang bisa dijual selain tenaga buruh mereka. Proses ini sangat meningkatkan produktivitas pertanian. Ia juga sangat meningkatkan jumlah serta arti penting pasar, memaksa hampir setiap orang untuk sangat tergantung pada pasar.7 Pandangan umum tentang masyarakat yang dianut secara luas oleh penguasa baru pada saat itu sangatlah individualistis. Dalam anggapan mereka, setiap orang adalah arsitek atas nasibnya sendiri, yang tentu saja berarti bahwa mereka yang menduduki jabatan tinggi dan memiliki kekayaan besar akan bernasib baik dikarenakan bakat, keterampilan dan kecerdasan pribadi. Kelas penguasa baru itu menentang hak istimewa turun temurun atau feodal yang dianut para bangsawan lama, namun mereka mempertahankan hak untuk mewarisi kekayaan ekonomi, yang jelas memberikan keuntungan besar kepada para pewaris mereka.8 Di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, kapitalisme itu berkembang dan didominansi oleh modal asing. Penelitian Yoshihara Kunio membuktikan bahwa bangkitnya bank-bank milik Asia Tenggara merupakan bukti kapitalisme itu ada. Pola investasi kapitalisme yang lazim di Indonesia adalah investasi asing dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri. Sebagai contoh investasi Caltex dalam pengeboran minyak, ataupun partisipasi perusahaan peleburan aluminium Jepang dalam proyek Asahan.9 Kesimpulan penelitian Yoshihara Kunio tersebut adalah bahwa kapitalisme yang telah muncul di Asia Tenggara mempunyai beberapa masalah yang sulit diatasi. Yang satu timbul dari rendahnya tingkat teknologi, karena pada pokoknya Asia Tenggara mengandalkan perusahaan-perusahaan asing untuk mengatasi kekurangan teknologinya. Hal ini telah melahirkan kapitalis-kapitalis yang secara teknologi bergantung seperti kapitalis komprador dan juga memungkinkan masuknya kapital asing untuk menciptakan barang-barang ekspor yang baru. Ini bukan situasi yang diinginkan dari sudut pandang nasionalistis tetapi situasi ini tak dapat diubah dalam waktu singkat. Ada kebutuhan terarah guna mempertinggi tingkat teknologi dan mendorong kemajuan teknologi. Tanpa hal ini kapitalisme tak akan menjadi suatu kekuatan penggerak 7
Hans Fink, Op.Cit., hlm 62-63. Ibid., hlm 63-64. 9 Yoshihara Kunio, Op.Cit., hlm 7-9. 8
131
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 pembangunan ekonomi yang otonom. Di Indonesia, masalah yang lain timbul dari rendahnya kualitas intervensi negara. Hal ini telah menimbulkan inefisiensi besarbesaran pada perekonomian itu dan sejumlah besar pemburu keuntungan atau kaum oportunis. Dengan adanya celah pembangunan antara Asia Tenggara dengan Barat dan Jepang serta ambisi rakyatnya untuk menutupi celah ini, sulit untuk berdalih bahwa negara tidak seharusnya melakukan intervensi karena intervensi negara dapat mempercepat pembangunan, seperti telah diperlihatkan secara sukses oleh Jepang, dan sebelumnya oleh Korea dan Taiwan. Intervensi yang dilakukan tentu saja intervensi yang berkualitas, karena jika intervensi tersebut tidak berhasil, maka intervensi akan memacetkan perekonomian itu.10 Adanya kaum kapital menandakan eksistensi kapitalisme di Indonesia. Dengan begitu terdapat kepentingan Indonesia untuk membangkitkan apa yang menjadi kelemahan dan memanfaatkan apa yang menjadi kelebihannya. Pemanfaatan teknologi dari perusahaan asing adalah salah satu cara untuk membangkitkan kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia. Intervensi pemerintah Indonesia yang telah dimulai sejak era dimulainya peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal asing, merupakan tonggak pemikiran pemanfaatan teknologi tersebut. Hal ini berarti bahwa Indonesia berkeinginan untuk dapat bersaing secara ekonomi dengan negara-negara lain di dunia, sehingga untuk mengejar ketertinggalannya, Indonesia melakukan intervensi supaya teknologi dapat dikuasainya, yaitu melalui penanaman modal asing, dan inilah pembuktian adanya pengaruh kapitalisme terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang juga kita sebut sebagai bagian dari intervensi pemerintah. Kebijakan tersebut akan berlanjut untuk dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan kapitalis sehingga tercapai apa yang dijadikan tujuan negara, yaitu perekonomian yang stabil dan maju. Tidaklah heran apabila kemudian orang menganggap bahwa secara empiris, sebagaimana terjadi di abad ke-18 di Eropa, kapitalisme kuat mempengaruhi hukum, sehingga seakan-akan segala hukum yang dibentuk hampir dapat dipastikan untuk dapat melanggengkan segala perkembangan kapitalisme. Hal ini dikarenakan dinamika kapitalisme yang terjadi dan berkembang lebih bersifat liquid daripada hukum itu sendiri. Bahkan perkembangan-perkembangan kapitalisme dengan segala bentuk industrinya terkadang tidak segera dapat diakomodasi dengan sebuah produk hukum yang constituendum. Perkembangan kapitalisme yang terlalu dinamis ini yang menjadikan seakan-akan kapitalisme di Indonesia bebas dari pengaturan hukum, padahal semata karena sifat kapitalisme yang bergerak cepat sehingga tidak dapat ditangkap segera oleh rona potret hukum. Berangkat dari kebutuhan pengaturan hukum tersebut, sudah sejak dibentuknya negara Republik Indonesia, telah disepakati secara bersama bahwa yang menjadi landasan dan wawasan dari negara Indonesia, termasuk hukum, adalah Pancasila. Meskipun masih banyak aura korkondansi produk hukum Belanda di Indonesia, akan 10
Ibid., hlm 178-179.
132
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 tetapi sudah sepatutnya apabila pembangunan hukum ke depan diarahkan pada volkgeist Indonesia, yaitu Pancasila. Bahkan Soepomo telah mengingatkan bahwa harus ada hukum nasional yang berkepribadian Indonesia dan karena itu haruslah dilandaskan kepada hukum adat, tanpa menutup mata terhadap pengambilan hukum dari masyarakat dunia lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 194511. Soepomo yakin bahwa dengan melepaskan diri dari kungkungan hukum Barat, maka Indonesia mampu melakukan perbaikan internal melalui peneguhan budaya hukum Indonesia.12 Masyarakat Indonesia menjalani hukum dan penegakannya dalam arus dan kultur global dan keinginan untuk membuat citra diri (volkgeist), seperti membangun negara berdasar asas kekeluargaan dan membangun hubungan industrial Pancasila. Pembangunan citra diri (volkgeist) dalam hukum di Indonesia boleh dikatakan masih lebih bersifat retorika daripada bersungguh-sungguh.13 Menurut Satjipto Rahardjo14, masyarakat Indonesia seharusnya tidak dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam skema hukum yang ada tersebut. Untuk dapat menjadi produk hukum yang sesuai dengan volkgeist Indonesia, pembuat hukum harus dapat meramu dalam suatu paradigma volkgeist Indonesia itu sendiri, dengan wawasan Pancasila. Volkgeist tersebut dapat ditemukan dalam ramuan nilai-nilai yang luhur yang mendasari kehidupan masyarakat Indonesia. Secara garis besar, nilai-nilai yang menyokong volkgeist Indonesia, yang telah teruji kesahihannya sebagai suatu ilmu adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Menurut tulisan Sudjito15, Notonagoro mengatakan bahwa keberadaan Pancasila bagi bangsa Indonesia dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Causa materialis Pancasila adalah adat kebiasaan, kebudayaan, dan agama bangsa Indonesia. Causa formalis-nya adalah formulasi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Causa finalis-nya adalah dasar negara. Adapun causa efficien Pancasila adalah dasar filsafat negara. Pancasila telah berbicara secara mendasar tentang konsep Tuhan, alam dan manusia Indonesia dalam kesatuan utuh. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam analisa para ahli yang telah diformulasikan oleh Sudjito sebagai berikut:16 1. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa Sila ini mengandung pemahaman bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, sehingga mendasari seluruh sila-sila yang lain. Sila ini memberikan pengakuan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang terus menjalin hubungan dan kesatuan dengan manusia dan alam semesta beserta isinya. 11
SR. Nur, 1995, Membina Hukum Adat Menjadi Penghayatan Pancasila di Bidang Hukum Adat, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, hlm 191. 12 Khudzaifah Dimyati, 2010, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm 155. 13 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm 141-142. 14 Ibid., hlm 146. 15 Sudjito, 2012, Hukum Progresif Untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta, hlm 11. 16 Ibid., hlm 14-19.
133
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 2. Sila Kedua : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Sila ini mengandung pemahaman manusia Indonesia yang utuh, dengan segala akal budinya yang digunakan untuk mencapai keadilan dan keberadaban. Dalam keutuhannya manusia terdapat rohani dan jasmani. Di dalam diri keutuhan manusia tersebut terdapat hati nurani dan akal. Hati nurani merupakan pengemban fungsi moralitas manusia sehingga manusia dapat membedakan salah atau benar, baik atau buruk, adil atau dzalim dan sebagainya, sehingga arah kehidupan manusia terus berada di jalan lurus. Sedangkan akal merupakan mengemban fungsi kreativitas dan progresivitas agar kehidupan manusia terus mengalami kemajuan. Manusia yang beradab menurut sila ini adalah manusia yang bersikap adil, baik pada diri sendiri, sosial, alam maupun Tuhannya, suatu konsep yang jauh berbeda dari paham individual-liberalism. 3. Sila Ketiga : Persatuan Indonesia Sila ini mempunyai pemahaman bahwa kebangsaan Indonesia dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini menimbulkan adanya karakter holistik paham kebangsaan Indonesia sekaligus penolakan terhadap paham etnisisma dan etnosentrisma. 4. Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh himat kebijaksanaan dalam permuswaratan/perwakilan Sila ini menyiratkan adanya konsep bahwa rakyat atau wakil-wakil rakyat dalam menjalankan kekuasaannya harus dipimpin oleh kebijaksanaan, yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara vertikal kepada Tuhan, maupun secara horizontal kepada seluruh rakyat Indonesia. Suatu kebijaksanaa secara filosofis akan muncul apabila manusia cinta pada kebenaran. Semakin dekat manusia dengan sumber kebenaran absolut yaitu Tuhan Yang Maha Esa, maka dia akan semakin bijaksana. 5. Sila Kelima : Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia Sila ini menggambarkan konsep keadilan yang dianut oleh Indonesia, yaitu keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Inilah yang dimaksud sebagai keadilan substantif. Disini berarti bahwa keadilan yang dianut bukanlah keadilan formal yang hanya lahir karena undangundang semata, tetapi keadilan yang dikaitkan dengan habitat sosialnya, yaitu masyarakat Indonesia. Konsep ini tentu saja berbeda dengan konsep keadilan yang dianut dalam positivisme. Nilai-nilai Pancasila di atas telah mengakar sebagai nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia yang diyakini kebenarannya, serta telah menjadi konsensus nasional untuk dijadikan pedoman dalam segala aktivitas kehidupan.17 Sebagaimana pemaparan serangan kapitalisme di atas, sudah tidak dapat dihindarkan lagi bahwa di dalam tubuh 17
Ibid., hlm 19.
134
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 masyarakat Indonesia telah tertanam paham-paham kapitalis. Sehingga di dalam tatanan masyarakat Indonesia telah dicampuradukkan antara sistem ekonomi berbasis Pancasila dengan sistem ekonomi kapitalis, yang keduanya berjalan secara bersamaan dalam segala aktivitas kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia. Meskipun sebenarnya apabila dilihat dari ciri nilai kapitalisme dapat disimpulkan bahwa ciri nilai tersebut tidak sesuai dengan volkgeist Indonesia, yaitu Pancasila, bahkan cenderung bertolak belakang. Hal ini tampak dalam pandangan Mubyarto bahwa sistem ekonomi atau sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional atau sebagai ekonomi yang dijiwai oleh ideologi Pancasila, juga disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem itu memiliki unsur moral dan atau sistem nilai moral sebagai dasar semangat dan jiwa pendukungnya serta inti sistem yang mengatur pola berpikir dan bertindak dari pelakupelaku ekonominya18. Fakta bahwa kapitalisme ini ada di dalam masyarakat Indonesia, merupakan fakta yang sulit untuk dibantah. Selanjutnya, apakah perkembangan kapitalisme yang telah tertanam di tubuh masyarakat Indonesia tersebut akan dibiarkan begitu saja? Tentu, apabila melihat dari tujuan dari hukum, yaitu untuk mencapai ketertiban dan kebahagiaan manusia, maka tidaklah pantas apabila perkembangan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran. Hukum sepatutnya dapat mengatur dan mereduksi efek-efek negatif dari kapitalisme. Kapitalisme tidak selalu harus dipahami sebagai sesuatu yang negatif, ada kalanya kapitalisme membawa konsekuensi kemajuan yang positif. Mengingat posisi kebaikan dari kapitalisme, dalam hal ini, hukum dapat dipakai untuk mengarahkan pada perbaikan perilaku dan norma dari masyarakat kapitalis Indonesia, untuk kembali pada volkgeist Indonesia, sehingganya pun apabila harus dikatakan sebuah kapitalis, akan tetap bernuansa kapitalis Indonesia yang berwawasan Pancasila. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pemahaman ilmu hukum yang progresif, yangmana diajarkan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making), yang ingin melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan19. Hal ini yang menjadikan sedinamis apapun perkembangan kapitalisme, akan tetap dapat dicapai dan diakomodasi oleh ilmu hukum dengan cara pikir progresif. Dengan pemikiran ilmu hukum secara progresif, akan dapat dijelaskan pemahaman kapitalisme dari sisi hukum dengan tepat dan mengoptimalkan pencapaian pengaturan yang diperlukan sehingga kapitalisme menjadi berguna dalam koridor sosial ekonomi dan hukum Indonesia. Dengan tetap berwawasan terhadap nilai-nilai dalam Pancasila, kapitalisme diperbolehkan untuk hadir di tatanan perekonomian Indonesia, sepanjang membawa kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia. Justru dengan nilai-nilai 18 19
Mubyarto, 1993, Ekonomi Pancasila, LP3ES, Jakarta, hlm 32. Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm 69.
135
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Pancasila tersebut dapat menggantikan kedudukan nilai-nilai murni dari kapitalisme, utamanya egoisme, keserakahan dan sikap tidak menghargai. Mereposisi nilai kapitalisme adalah misi yang paling mungkin dilakukan dalam konteks ini, daripada meniadakan sama sekali kegiatan kapitalisme. Pola pikir ini didasarkan atas rasio Karl Marx yang menyatakan kapitalisme telah mengakhiri ketidakadilan dan irasionalitas feodal, namun kapitalisme telah menggantinya dengan ketidakadilan dan irasionalitasnya sendiri20, yang dikombinasikan dengan rasio yang dipikirkan oleh J.S. Mill yang menyatakan bahwa jika mendapatkan pendidikan yang cukup, kelas buruh akan menghargai rasionalitas sistem kapitalis21. Hal ini penulis artikan bahwa kapitalisme mempunyai perannya sendiri untuk mengganti jaman yang dinilai tidak adil, dan kapitalisme yang telah eksis tersebut tidak dapat dihindarkan, oleh karena itu keberadaannya perlu dimaklumkan secara rasionalitas, meskipun perlu juga direformulasi sehingga kapitalisme menjadi berkeadilan. D. Kesimpulan Sesuai dengan pemaparan analisa di atas, maka penulis selanjutnya menyampaikan kesimpulannya bahwa kapitalisme yang telah berada dalam tempatnya di masyarakat tentu tidak dapat dihindarkan, dan justru apabila dikelola dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai akan dapat menciptakan sebuah kemakmuran. Hanya saja, ketidaksesuaian nilai di dalam kapitalisme di Indonesia perlu direposisi dalam suatu nilai yang disepakati oleh seluruh masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai dalam Pancasila. DAFTAR PUSTAKA Buku Bogdan, Michael, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie dari buku Comparative Law, Penerbit Nusa Media, Bandung. Budiman, Arief, Kapitalisme Ersatz : Sebuah Pengantar, Pengantar dalam Buku Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta. Dimyati, Khudzaifah, 2010, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta. Fink, Hans, 2010, Filsafat Sosial : Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko dari Social Philosophy, Methuen & Co.Ltd, London, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Kunio, Yoshihara, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta. 20 21
Hans Fink, Op.Cit., hlm 136 Ibid., hlm 118
136
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Mubyarto, 1993, Ekonomi Pancasila, LP3ES, Jakarta. Nur, SR., 1995, Membina Hukum Adat Menjadi Penghayatan Pancasila di Bidang Hukum Adat, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2010, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. Rahardjo, Satjipto, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta. Sudjito, 2012, Hukum Progresif Untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
137