Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 ANALISIS YURIDIS PADA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI PADA PUTUSAN NOMOR:272/Pid.B/2013/PN.BTM) Eko Nurisman M Soleh Nursofa Abstrack Domestic violence against women happened frequently. Violence against women is a phenomenon also as a fact at once that we can find easily in our society. In Indonesia, domestic violence has increased every year, based on those, the author got interseted to do a research about legal protection against victim of domestic violence and the application of sanctions against the doer of domestic violence based on Law Number 23 Year 2004 On the Elimination of domestic violence. The methodology used in this study is a normative legal research. The data used is secondary data that obtained by library research. After all of the data is collected, the data then processed and analyzed, the analysis used qualitative point by grouping the data aspects studied. Furthermore, the conclusions drawn related to this study, then elaborated descriptively. The author proposed two problem in this study; first, how the legal protection for victims of domestic violence according to law number 23 year 2004 on the Elimination of domestic violence. Second, how the application of sanctions against the doer of domestic violence based on Law Number 23 Year 2004 On the Elimination of domestic violence Case Study: Decision No. 272 / Pid.B / 2013 / PN.BTM Keywords: legal protection, victim, domestic violence, application of criminal sanction A. Latar Belakang Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa. Namun, yang menarik perhatian publik adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri). Apalagi kalau kekerasan tersebut terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Seringkali tindak kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Kadang juga domestic violence (kekerasan domestik), karena terjadinya kekerasan di ranah domestik.1 Kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah fenomena sekaligus fakta yang banyak ditemui dalam kehidupan masyarakat, Kekerasan terhadap 1
Moerti hadiati Soeroso, S.H., M.H., Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Prespektif YuridisViktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 1.
44
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 perempuan terjadi karena adanya budaya patriarki, yaitu budaya dimana terdapat kekuasaan laki - laki atas perempuan yang disebut oleh ideologi gender, kemudian menempatkan laki-laki lebih tinggi statusnya dan kekuasaan atas kaum perempuan, dan perempuan berada pada posisi dikuasai. Kekerasan terhadap perempuan cukup memprihatinkan dan dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan, data yang diperoleh oleh Komnas Perempuan sampai pada tahun 2014 yaitu sebagai berikut: Grafik 1. Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Sumber: Komnas Peerempuan, 2015 Profil tersebut menunjukan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan (KTP) dari tahun ke tahun meningkat. Selama tahun 2014 angka kekerasan naik menjadi 13.532 kasus dari tahun sebelumnya, angka KTP adalah 279.688 kasus, Catatan Tahunan 2014 ini 96% bersumber pada data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama (PA), yaitu mencapai 280.710 kasus, sisanya sebanyak 4%- 12.510 kasus KTP dari lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir pendataan KP (yaitu sejumlah 191 lembaga mitra pengada layanan).2 Di kota Batam sendiri pada tahun 2015 menurut data yang diperoleh oleh Yayasan Embun Pelangi Kota Batam mencapai 84 kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu: 6 korban KDRT, 55 korban trafficking, 21 korban perempuan/anak kekerasan seksual, dan 2 orang korban perempuan kekerasan dalam pacaran. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah yang pertama, Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan Undang - Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?, dan kedua, Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan undang undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Nomor:272/Pid.B/2013/PN.BTM)?. 2
Komnas Perempuan, http://www.komnasperempuan.go.id/category/publikasi/catatan-tahunan/, diakses pada 05 Januari 2016.
45
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016
B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatis, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut bahan pustaka dan ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan tertulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang sebagai salah satu alat untuk menjawab permasalahan di dalam penelitian ini. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Jenis Data yang digunakan adalah data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.3 Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi (perundang-undangan), buku-buku maupun hasil-hasil laporan penelitian yang berwujud laporan yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan.4 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: pertama, Bahan Hukum Primer berupa dokumen-dokumen resmi (perundangundangan) yaitu: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW (Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (PP PKPKDRT). Kedua, Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: jurnal, buku, laporan penelitian atau hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan pendapat para ahli yang berkompeten dengan penelitian ini. Ketiga, Bahan Hukum Tersier yaitu Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum. Teknik Pengumpulan Data Dalam peneltian ini, penulis menggunakan dua metode penelitian yaitu pertama, Studi Kepustakaan yaitu penulis melakukan pengumpulan data dengan cara membaca sejumlah literatur yang relevan. Kedua, Observasi yaitu penulis mendatangi lokasi penelitian kemudian melakukan pengamatan secara langsung dan seksama terhadap obyek penelitian. Ketiga,
3
Zainal dan Amiruddin Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 133. 4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986) hlm. 12.
46
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 WawancaraWawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.5 Teknik wawancara ini merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden). Metode Analisis Data adalah berupa metode deskriptif kualitatif, Berdasarkan bahan hukum yang Penulis peroleh dari studi kepustakaan, observasi, dan wawancara, Penulis melakukan mekanisme tahap menganalisis data sebagai berikut: 1) Tahap pertama, Penulis melakukan pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian lalu mempelajari ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 2) Tahap kedua, setelah mempelajari ketiga jenis data kemudian malakukan penyaringan data yang telah dikumpulkan. 3) Tahap lanjutan, Penulis akan mempelajari data-data yang telah diperoleh setelah penyaringan, sehingga dapat menganalisa data-data tersebut dan mencari jawaban dari permasalahan yang diuraikan 4) Tahap terakhir, Penulis akan membuat kesimpulan dari data-data yang telah diperoleh, dipelajari, dan dianalisa, sehingga dapat menarik kesimpulan yang merupakan hasil dari penelitian ini. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang - Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga di atur dalam pasal 1 butir 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut UU PKDRT adalah: “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Kemudian dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi: 1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a. suami, istri dan anak.
5
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1998).
47
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaima dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwakilan yang menetap dalam rumah tangga; dan c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. 2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Bentuk-bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga menurut UU PKDRT, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu : a. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6 UU PKDRT). b. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 UU PKDRT). c. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 UU PKDRT). d. Penelantaran rumah tangga juga dimasukkan dalam pengertian kekerasan, karena setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut. (Pasal 9 UU PKDRT). Kemudian Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut UU PKDRT dikenal dua perlindungan sebagai upaya dari aparat penegak hukum: (1) Perlindungan Sementara, (2) Perintah Perlindungan (PP) Dalam Pasal 1 ayat 5 UU PKDRT: “Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perlindungan dari pengadilan.” Sementara itu menurut Pasal 1 ayat 6 UU PKDRT:
48
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 “Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.” Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokat sebagai perlindungan sementara dan langsung juga peran pengadilan berupa perlindungan melalui penetapan sebagai perintah perlindungan. Berikut adalah peran kepolisian, advokat a. Peran Kepolisian (Pasal 16-20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004) Kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, aparat kepolisian berperan menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasaan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehinga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi korban. Setelah menerima laporan dari korban mengenai terjadinya kekerasaan dalam rumah tangga, langkah-langkah yang harus diambil kepolisian adalah: a. Memberikan perlindungan sementara pada korban. b. Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. c. Melakukan penyidikan. b. Peran Advokat ( Pasal 25 UU PKDRT) Advokat memiliki peran yang sangat penting dalam proses terciptanya kebenaran dan penegakan hukum dalam perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga. Advokat membantu korban untuk mengatakan yang sebenar-benarnya tentang kekerasan atau hal-hal apa saja yang menimpanya, sehingga dapat mempermudah bagi korban untuk menyelesaikan masalah yang menimpanya. c. Peran Pengadilan Peran Pengadilan dalam penyelesaian kekerasaan dalam rumah tangga sangat dibutuhkan, sehingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak luput mengatur bagaimana peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan. Seperti telah disebutkan diawal tadi, bahwa kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari peradilan. Maka setelah menerima permohona itu, pengadilan harus;
49
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 a. Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). b. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan, maka korban dapat melaporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun laporan yang ditunjukkan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya ( Pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara tegas telah di uraikan dalam Pasal 21 sampai Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyampaikan adanya peranperan profesi tambahan selain peran dari aparat kepolisaan ,advokat dan peran pengadilan. Dimana dalam peran ini berguna bagi proses peradilan dan juga proses kepentingan pemulihan korban (pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Korban dapat memperoleh pelayanan dari: 1. Peran Tenaga Kesehatan Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti. 2. Peran Pekerja Sosial Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial : a. Melakukan konseling untuk menguatkan korban; b. Menginformasikan mengenai hak-hak korban; c. Mengantarkan korban kerumah aman( shelter); d. Berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban. 50
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 3. Peran Pembimbing Rohani Demi kepentingan korban, maka Pembimbing Rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa. 4. Peran Relawan Pendamping. Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah diaturnya mengenai perihal peran dari Relawan Pendamping. Menurut undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari Relawan Pendamping, yakni: a. menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping; b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap; c. mendengarkan segala penuturan korban; d. memberikan penguatan korban secara psikologis maupun fisik. Peran-peran profesi tambahan tersebut diatas selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 17 PP Nomor 4 Tahun 2006 disebutkan: (1)Tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani dapat melakukan kerjasama dalam melaksanakan pemulihan korban. (2)Kerjasama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban; dan b. Penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternatif bagi korban. Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang KDRT ini sudah maksimal, dan memenuhi asas-asas dan tujuan hukum itu sendiri antara lain: Pertama, asas manfaat. Yaitu dengan disahkannya Undang-Undang KDRT ini masyarakat khususnya kaum perempuan dapat segera melapor dan meminta perlindungan atas tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, selain itu dengan undang-undang ini adalah merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kedua, asas keadilan. Penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak, karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan kepada pelaku kejahatan. Ketiga, asas keseimbangan. Tujuan hukum, di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restituo in integrum). Keempat, asas kepastian hukum. Dengan di sahkannya Undang-Undang KDRT ini aparat penegak hukum mempunyai 51
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 dasar pijakan hukum yang kuat dalam melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang - Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Putusan Nomor:272/Pid.B/2013/PN.BTM. Dalam penelitian ini penulis menggunakan putusan pengadilan negeri kelas 1A Batam dengan nomor putusan Nomor:272/Pid.B/2013/PN.BTM sebagai objek penelitian, adapun uraian secara detail dari putusan Nomor:272/Pid.B/2013/PN.BTM tersebut adalah sebagai berikut: a) Fakta Hukum Perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan nomor putusan Nomor:272/Pid.B/2013/PN.BTM ini berkenaan dengan tindakan terdakwa IK HEN als HENDRI jenis kelamin laki – laki, usia 40 tahun, bertempat tinggal di Perum. Beverly Garden No.08. Kecamatan Batam Kota. Kota Batam, kebangsaan Indonesia yang terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Adapun fakta hukum sebagai berikut: a. bahwa kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan terdakwa terhadap Istrinya (saksi korban) adalah pada hari Selasa tanggal 01 Januari 2013 sekira pukul 04.00 Wib di Perumahan Beverly Garden No.08 Kec. Batam Kota ; b. bahwa terdakwa menikah dengan saksi korban secara adat pada tanggal 30 Maret 1995 kemudian perkawinannya dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil pada tanggal 09 Oktober 2003 di Batam dan memiliki 3 orang anak yang bernama Gilbert Hawidi umur 16 tahun, Robert Gerry Hawidi umur 15 tahun, Regina Miselle Hawidi 14 tahun ; c. bahwa kekerasan yang dilakukan terdakwa dengan cara pemukulan terhadap istrinya dibagian kepala belakang, menendang kaki, serta menyeret istrinya kemudian menarik dan hendak melempar istrinya dari lantai dua ke lantai dasar dan terdakwa juga melemparkan botol parfum dan mengenai kaki istrinya, dan memukul dengan menggunakan tangan, dan dengan menggunakan kaki, dan terdakwa melakukan pemukulan dan menendangi saksi korban tersebut tidak ingat lagi; d. bahwa penyebab kekerasan dimulai saat Permasalahan pada malam tahun baru sekitar jam 22.00, dimana anak-anak terdawa bernama Gilbert dan Regina mau pergi malam dan minta ijin kepada terdakwa, tetapi terdakwa tidak memberi ijin dengan alasan macet dan kondisi tidak aman; 52
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 e. bahwa kemudian pada sekira pukul 23.30 Wib anak-anak menemui terdakwa lagi meminta ijin untuk keluar, tetapi oleh karena sudah setengah tertidur, terdakwa tidak begitu ingat, kemudian sekitar jam 02.30 Wib terdakwa terbangun dari tidur menemui istrinya dan menanyakan keberadaan anakanak, dan dijawab istrinya mereka keluar, lalu terdakwa marah-marah dan mengatakan “Kenapa kamu membolehkan anak-anak keluar dari rumah”, dan dijawab istrinya “orang kamu yang ijinkan” dan terdakwa mengatakan “ kamu kan mamanya bisa nasehati anak, kamu tahu anak kamu kejebak macet katanya ngeri, kamu ngak tahu itu bahaya” lalu sekitar jam 03.00 Wib terdakwa keluar rumah untuk mencari anak-anak, karena macet dimanamana, kemudian terdakwa kembali kerumah dan setelah sampai dirumah ternyata anak-anak sudah berada dirumah, tidak lama kemudian istrinya juga sudah kembali kerumah, setelah didalam kamar terjadi keributan karena terdakwa emosi istrinya menuduh terdakwa telah selingkuh dengan perempuan bernama Tatik Suprapti padahal itu tidak benar, hingga terdakwa memukul dan menendang istrinya; f. bahwa akibat perbuatan terdakwa terhadap saksi korban (isterinya) mengalami sakit atau luka memar dibagian kepala belakang dan mengenai telinga sakit berdengung dan luka dibagian jari kaki sebelah kiri kena pecahan kaca botol parfum, sakit dibagian kedua kaki dan sakit dibagian badan ; g. bahwa antara saksi dengan terdakwa sudah berdamai, dan juga dalam persidangan saksi dan terdakwa saling memaafkan juga; h. bahwa terdakwa telah membenarkan Hasil Visum et Revertum dari Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam Nomor : 29/VER/RSBK-UMUM/I/2013, tanggal 08 Januari 2013; b) Pertimbangan Majelis Hakim a. Hal yang memberatkan: a. Perbuatan terdakwa melukai istrinya; b. Hal yang meringankan: a. Terdakwa belum pernah dihukum; b. Terdakwa mengakui terus terang akan perbuatanya dan menyesalinya; c. Terdakwa dan saksi korban (istrinya)sudah saling memaafkan, dan dihadapan persidangan yang dibuktikan oleh Majelis hakim dan anak-anaknya; c) Putusan Dalam putusannya yang diputusan dalam Sidang Permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam pada hari : Kamis tanggal 29 agustus 2013 dengan susunan : MERRYWATI.TB, SH. MHum., sebagai Hakim Ketua Majelis. 53
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 BUDIMAN SITORUS,SH., dan JAROT WIDIYATMONO, SH., masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari : Kamis tanggal 29 agustus 2013 oleh Hakim Ketua Majelis dengan didampingi masing-masing Hakim Anggota yang dibantu oleh SAMIEM, selaku Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Batam serta dihadiri oleh LUKMAN, SH., selaku Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ranai dan dihadapan Terdakwa. Dibacakan putusan atas terdakwa IK HEN alias HENDRI sebagai berikut; a. Menyatakan terdakwa IK HEN alias HENDRI telah terbukti secara sah dan meyakinkan berrsalah melakukan tindak pidana “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”; b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 6 (enam) bulan; c. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, terdakwa telah melakukan tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan : 10 (sepuluh) bulan; d. Menetapkan agar barang bukti berupa: a. 1 (satu) plastic pecahan botol parfum; b. 16 (enam belas) lembar foto-foto luka korban; Dirampas untuk dimusnahkan; e. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar RP 1.000,- (seribu rupiah); Penerapan hukum adalah sebuah proses untuk menerapkan hukum pada fakta atau peristiwa. Ketika akan menerapkan sebuah ketentuan hukum terhadap peristiwa konkret, maka kita harus menguji apakah syarat – syarat perbuatan atau keadaan yang disebutkan dalam ketentuan tersebut sudah dipenuhi atau belum. Dari unsur-unsur Pasal 44 UU PKDRT yang di dakwakan penuntut umum telah terpenuhi semua unsur-unsurnya yaitu unsur setiap orang adalah terdakwa dan unsur melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga adalah perbuatan terdakwa terhadap korban (istrinya), selanjutnya mengenai ancaman pidana dalam pasal ini yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Penulis berpendapat bahwa penerapan yang dilakukan Majelis hakim sudah tepat dan telah memberikan rasa keadilan bagi korban mengingat hak-hak korban yang telah dilanggar dan atas kekerasan yang dialami korban namun dari persidangan telah disaksikan oleh majelis hakim bahwa antara korban dan terdakwa sudah berdamai, jika dikaitkan dengan teori hukum progresif yang berpandangan bahwa kreativitas pelaku hukum dalam mengaktualisasi hukum
54
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 dalam ruang dan waktu yang tepat.6 Yaitu dalam penjatuhan pidana bagi terdakwa dalam perkara ini majelis hakim diharapkan dapat mempertimbangkan dan memahami daripada keadilan yang dicari oleh korban sehingga majelis hakim dapat memberikan hukuman yang seadil-adilnya. Untuk memperbandingkan penerapan hukum dalam dakwaan penunutut umum dengan putusan majelis hakim penulis menyajikan tabel berikut: Tabel 3.1: Perbandingan Penerapan Hukum antara Penuntut Umum ddengan Putusan Majelis Hakim No Dakwaan Penuntut Umum Putusan Majelis Hakim 1
Primair, melanggar pasal 44 ayat (1) Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2
Subsidair, melanggar pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3
Menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana penjara selama 1 (satu) tahun
6
Setelah elakukan penerapan pasal 44 ayat (1) Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat diterapkan kepada terdakwa. Semua unsurunsur dalam pasal terpenuhi. Terhadap pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga majelis hakim tidak melakukan pertimbangan. Majelis hakim menjatuhkan pidana oleh karena Terdakwa mengakui terus terang akan perbuatannya dan menyesalinya, dan antara terdakwa dengan korban sudah saling memaafkan dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, terdakwa telah melakukan tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan
Yanto Sufriadi, Penerapan Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Ditengah Krisis Demokrasi, Fakultas Hukum Universitas Hazairin, Bengkulu, Jurnal Hukum, No 2. Vol 17 April 2010, Hal 241, diakses Pada 16 Februari 2016.
55
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 4
Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).
Majelis hakim mengabulkan tuntutan penuntut umum, terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).
Menurut penulis, hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa sudah tepat mengingat antara korban dan terdakwa sudah saling memaafkan, apabila kita kaitkan dengan salah satu teori pemidanaan, khususnya teori relatif pemidanaan yang menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana. Yaitu dalam perkara ini terdakwa menyesali perbuatannya dan memohon kepada majelis hakim untuk diberikan kesempatan merubah perilakunya dan memperbaiki kondisi rumah tangganya. D. Kesimpulan 1. Perlindungan Hukum terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga Berdasarkan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah dengan perlindungan sementara dan perlindungan melalui penetapan pengadilan. Berdasarkan observasi dan wawancara yang penulis lakukan dalam implementasinya dari aparat penegak hukum dan peran-peran tenaga tambahan dalam perlindungan dan pemulihan korban yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah dilaksanakan sesuai dengan amanah tersebut yaitu seperti telah tersedianya ruangan khusus dalam proses penyidikan, rumah aman dalam proses perlindungan dan pemulihan korban, dan juga pemberian penetapan perintah perlindungan dari pengadilan negeri apabila memang diperlukan, namun terdapat juga kendala-kendala yang dialami seperti dalam hal pelaksanan perlindungan korban tidak jarang petugas dari Yayasan Embun Pelangi selaku relawan pendamping mendapatkan ancaman dan tekanan dari pihak pelaku dan juga keluarga pelaku dan juga kendala dalam urusan biaya perlindungan korban dan pemulangan korban yang mana biaya-biaya tersebut ditanggung sendiri oleh Yayasan Embun Pelangi. 2. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Nomor:272/Pid.B/2013/PN.BTM. sudah tepat dan telah memberikan rasa keadilan bagi korban mengingat hak-hak korban yang telah dilanggar dan atas kekerasan yang dialami korban yang mana dari persidangan telah disaksikan oleh majelis hakim bahwa antara korban dan terdakwa sudah berdamai dan terdakwa menyesali perbuatannya, memohon kepada majelis hakim untuk diberikan 56
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 kesempatan merubah perilakunya dan memperbaiki kondisi rumah tangganya, sehingga majelis hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan.
Daftar Pustaka Buku: Moerti hadiati Soeroso, S.H., M.H., Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Prespektif Yuridis-Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1998. Yanto Sufriadi, Penerapan Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Ditengah Krisis Demokrasi, Fakultas Hukum Universitas Hazairin, Bengkulu, Jurnal Hukum, No 2. Vol 17 April 2010. Zainal dan Amiruddin Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Peraturan/Undang-Undang: Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW, Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU No. 7 Tahun 1984. Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999. Undang-UndangTentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2004. Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974
INTERNET Direktori Putusan Pengadilan Negeri Batam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/579cc3c94c4752fadb2f2550d5c 858e9. Komnas Perempuan, http://www.komnasperempuan.go.id/category/publikasi/catatan-tahunan/. Susetyo,Budi,dkk,“Penelitian(Kualitatif/Naturalistik)”, http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196601041993011IDING_TARSIDI/PENELITIAN_(KUALITATIF)_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf
57