Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016
PELAKSANAAN QANUN NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT DI ACEH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IRIYAH) Rina Shahriyani Shahrullah Nurul Isra Mulyanita Abstract The purpose of this study is to juridically analyze the law policy in the implementation of Qanun No. 14 of 2003 About Seclusion in Aceh. This research review of regulatory legislation related to know about the process of the implementation of the ruling of the Court of Syar'iriyah in the province of Aceh in accordance with the rules set forth in Qanun No. 14 of 2003 About Seclusion. The methodology of this research is a normative legal research. The data used in the form of secondary data. Performed with data mining literature (library research). Once all the data is collected, the data is then processed and analyzed. The qualitative method was used to group the data point by the studied aspects. Further conclusions drawn related to this study, then described descriptively, outlining the way regarding the implementation of Sharia in Aceh Province within the scope of regulation of Seclusion, then analyze the rulings of the Court Syar'iriyah and then compare the contents of the awards with the Qanun No. 14 of 2003 About Seclusion and determines the result of the effectiveness of the application of the Qanun Seclusion itself. Based on this research, then the obtained results are reviewed by researchers from two (2) outline of the issue as to whether the verdict, the first one Syar'iriyah Court of seclusion in the Aceh province were in accordance with the mandate of Qanun No. 14 of 2003 About seclusion, the second one is whether the Qanun No. 14 of 2003 about seclusion has been applied effectively in the province of Aceh. Keyword: Qanun, Seclusion, Syar’iriyah Court. A. Latar Belakang Masalah Syariat Islam telah mengatur tatanan cara bergaul dan batasan-batasan dalam pergaulan dan bersosialisasi yang baik antar sesama manusia atau individu dengan kelompok. Baik terhadap sesama jenis maupun lawan jenis. Salah satunya yaitu Islam melarang untuk menyepi dengan lawan jenis yang bukan muhrim atau berkhalwat.1 Qanun umumnya bersifat mengikat, bukan hanya buat masyarakat atau khalayak, namun juga mengikat hakim atau penguasa. Seperti Aceh yang mempunyai hukum yang berbeda dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia dengan penerapan hukum Islamnya yang oleh pemerintah diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini juga 1
Abdul Aziz Dahlan, 1996, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Icthiar Baru Van Hoeve) hlm 898.
15
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 dikarenakan status Aceh yang menjadi daerah otonomi khusus dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam dalam lembaran negara Nomor 114 Tahun 2001 pada tanggal 9 Agustus Tahun 2001. Di dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, bahwa uqubat dari pelanggaran khalwat adalah diancam dengan uqubat ta’zir yaitu berupa dicambuk paling tinggi 9 kali cambukan dan paling rendah yaitu 3 kali cambuk dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dan paling sedikit denda Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).2 Undang-undang tersebut pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus bagi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mengatur kewenangan Mahkamah Syar’iriyah yang dalam pengaturan lebih lanjut didelegasikan kepada Qanun (peraturan daerah). Kewenangan yang terdapat di dalam undang-undang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan absolut yang terdapat di dalam Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.3 Berdasarkan hukum positif yang tercantum dalam Qanun Provinsi Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, bahwa khalwat merupakan salah satu perbuatan munkar yang dilarang dalam syariat Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut menjerumuskan kedalam perbuatan zina. Di dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat pasal 1 butir 20 disebutkan bahwa khalwat atau mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.4 Berikut beberapa putusan Mahkamah Syar’iriyah berkenaan dengan kasus pelanggaran Khalwat (perbuatan mesum) di Provinsi Aceh, yakni: Putusan Mahkamah Syar’iriyah Kutacane, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor : 0027/JN.B/2010/MS.KC5 dan Putusan Mahkamah Syar’iriyah Sinabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 0001/JN/2015/MS.Snb6. Dari latar belakang masalah di atas, maka Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) merupakan gagasan yang menarik untuk diteliti serta dikaji, dengan demikian penulis menyusun beberapa rumusan masalah, yaitu: 2
Ibid, hlm 279. Sirajuddin, 2011, Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Reformasi (Yogyakarta, Teras), hlm 59-60. 4 Al-Yasa’ Abubakar, 2005, Syariat Islam DI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: DInas Syariat Islam Provinsi NAnggroe Aceh Darussalam,), hlm 276. 5 Putusan Mahkamah Syar’iriyah Kutacane Nomor 0027/JN.B/2010/MS.KC, perihal Perkara Khalwat, tanggal 19 Oktober 2010. 6 Putusan Mahkamah Syar’iriyah Sinabang Nomor 0001/JN/2015/MS.Snb, perihal Perkara Khalwat, tanggal 12 Maret 2015. 3
16
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 pertama, Apakah putusan Mahkamah Syar’iriyah tentang khalwat di Provinsi Aceh telah sesuai dengan amanat Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang khalwat ?, dan kedua, Apakah Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang khalwat telah diterapkan secara efektif di Provinsi Aceh Darussalam ?. B. Metode Penelitian Jenis penelitian dengan menggunakan penelitian hukum normatif yang merupakan jenis penelitian legal review dengan pendekatan penelitian terhadap asasasas hukum dengan cara menganalisis pasal - pasal dalam Qanun Khalwat dengan menggunakan asas yakni memilih pasal-pasal yang berisikan kaidah-kaidah hukum yang menjadi objek penelitian dan dengan teori hukum pemidanaan dan efektifitas hukum. Jenis Data dalam penyusunan dan penelitian ini peneliti menggunakan jenis data Sekunder. Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder yang digunakan adalah dengan bahan hukum primer yakni, Peraturan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat dan Putusan Mahkamah Syar’iriyah tentang pelanggaran Khalwat, dan bahan hukum sekunder yakni, sumber bacaan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan Qanun (peraturan perundangundangan) mengenai hukum Khalwat di Aceh maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah, surat kabar, internet, Jurnal7 dan sumber lainnya yang berhubungan dengan pokok pemasalahan dalam skripsi ini. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan berupa penelitian dokumen yang di kumpulkan melalui kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi melalui penelaahan data yang dapat diperoleh dalam buku, teks, jurnal, hasil penelitian, literaturliteratur, kaya ilmiah para sarjana, serta catatan ilmiah yang dipergunakan sebagai landasan pembahasan yang berkaitan dengan objek penelitian8. Metode penelitian data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa adanya. Jadi berdasarkan metode analisis data secara kualitatif, maka teori pemidanaan dan teori efektifitas hukum yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan hukum Khalwat dalam Islam untuk menetapkan kebenaran tentang hukum Khalwat yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam.
Jurnal – jurnal yang berkaitan dengan permberlakuan Syariat Islam di Aceh. Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,). hlm 113. 7 8
17
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Putusan Mahakamah Syar’iriyah tentang khalwat di Provinsi Aceh telah sesuai dengan amanat Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum). Mahkamah Syar'iriyah merupakan wujud akomodasi hukum nasional terhadap hukum Islam. Hukum Islam diakomodir secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi bagian dari sistem peradilan nasional yang dipertegas dalam Pasal 128 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merumuskan bahwa peradilan syariat Islam adalah bagian dari sistem peradilan nasional dan Mahkamah Syar'iriyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam yang berada di Aceh dalam bidang hukum perdata kekeluargaan, hukum perdata keharta bendaan, serta hukum pidana. Mahkamah Syar’iriyah juga merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada, dan kekuasaan kehakimannya berpuncak pada Mahkamah Agung yaitu sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Jadi, Mahakamah Syar’iriyah yang berada di ibukota Kabupaten/Kota berkedudukan sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iriyah Provinsi yang berkedudukan di Provinsi Ibukota Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pengadilan tingkat banding, sedangkan untuk tingkat kasasi ditangani oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.9 Dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam menjelaskan kembali mengenai kompetensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iriyah, yaitu bahwa Mahkamah Syar’iriyah bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama yakni dalam bidang al-Syakhsiyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), dan Jinayat (hukum pidana)10. Adapun hukum materil dan formil yang menjadi sumber acuan dalam Peradilan Syariat Islam/Mahkamah Syar’iriyah ini adalah bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang diatur di dalam Qanun.11 Qanun merupakan serangkaian peraturan yang disusun secara sistematis, dengan pembagian tema yang teratur dalam bagian, bab, pasal, ayat, butir, nomor dan seterusnya. Sehingga susunan qanun yang teratur dengan rapi dapat memudahkan siapa pun untuk mengetahui dan memahami maksud dan ketentuan yang terkandung di dalamnya.
9
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Pasal 1 - 6. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam BAB III Kekuasaan dan Kehakiman Mahkamah, Pasal 49. 11 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam BAB IV Hukum Materil dan Formil, Pasal 53 – 54. 10
18
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 Dari kedua putusan terkait perkara Khalwat (perbuatan mesum) tersebut dapat diketahui dengan seksama tentang bagaimana pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iriyah sebagai lembaga hukum yang menentukan hukuman/uqubat yang dapat diberlakukan oleh pelaku tindak pidana/jinayat, baik itu diputus lepas, bebas, ataupun diberikan kurungan pidana. Berikut hasil perbandingan putusan Mahkamah Syar’iriyah tentang Khlawat (perbuatan mesum) dengan Qanun itu sendiri yaitu Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) ditinjau dari beberapa unsur yang terkandung didalamnya. 1. Aspek yang Dilarang. Di dalam pasal 5 dan 6 Qanun Khalwat yang telah disebutkan bahwa terdapat unsur “setiap orang dilarang melakukan Khalwat (perbuatan mesum) dan “setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan ataupun melindungi orang yang melakukan Khalwat (perbuatan mesum). Jadi, di dalam Qanun tersebut yang dimaksud dengan Aspek yang dilarang adalah: a. Perbuatan Khalwat (perbuatan mesum) itu sendiri. b. Perbuatan memberikan fasilitas kemudahan ataupun melindungi orang yang melakukan Khalwat (perbuatan mesum). Kemudian di dalam pasal 2 Qanun Khalwat, telah diberikan ruang lingkup atau batasan-batasan mengenai larangan Khalwat yakni segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina saja, sedangkan perbuatan Khalwat atau bersunyi-sunyi yang tidak atau belum mengarah kepada perbuatan zina, belum termasuk ke dalam ruang lingkup larangan Khalwat (perbuatan mesum) yang terkandung dalam Pasal 5 Qanun tersebut dan pada kedua putusan Mahkamah Syar’iriyah di atas, aspek yang dilarang ialah perbuatan Khalwat dan dibatasi oleh segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina. Pada kedua putusan Mahkamah Syar’iriyah di atas, aspek yang dilarang adalah perbuatan Khalwat dan dibatasi oleh segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina. Seperti pada putusan Mahkamah Syar’iriyah Sinabang, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 0001/JN/2015/MS.Snb, yang menyatakan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II melakukan perbuatan Khalwat di rumah Terdakwa II yang kegiatan, perbuatan dan keadaan tersebut mengarah kepada perbuatan zina. Maka hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum). Selanjutnya pada putusan Mahkamah Syar’iriyah Kutacane, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Nomor 0027/JN.B/2010/MS.KC, dalam dakwaan putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II 19
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 bertemu di tempat yang agak gelap dan apabila orang melewati derah tersebut tidak akan menduga bahwa ada orang di dalamnya untuk melakukan perbuatan bersunyi-sunyi. Namun berdasarkan bukti-bukti dan keterangan para Terdakwa serta saksi-saksi di pengadilan, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut hanya percobaan Jarimah Khalwat, karena pertemuan diantara para Terdakwa yakni Terdakwa I dan Terdakwa II hanya sekitar dua atau tiga menit saja, dan tidak lama kemudian saksi I dan saksi II datang mencari Terdakwa II. Dalam putusan Hakim dalam perkara Khalwat ini tidak mencukupi untuk memenuhi unsur “dilarang melakukan khalwat”, karena perbuatan yang dilakukan para Terdakwa tidak atau belum terbukti mencakup dalam kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah pada perbuatan zina. Jadi, hal ini sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 5 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum). Jadi, dalam setiap putusan Mahkamah Syar’iriyah maupun Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat aspek yang dilarang adalah perbuatan Khalwat itu sendiri yakni perbuatan, kegiatan, dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina. 2. Subjek Hukum. Dalam Qanun Khalwat (perbuatan mesum) yang djadikan subjek hukumnya ialah setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintahan dan badan usaha, hal ini disebutkan dalam Pasal 5 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum). Pada intinya bahwa subjek hukum dalam Qanun Khalwat ialah setiap orang. Dalam pasal 22 adapun yang dimaksud dari setiap orang adalah orang yang beragama Islam yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi, setiap orang Islam yang berada di dalam wilayah Nnggroe Aceh Darussalam dilarang untuk melakukan Khalwat (perbuatan mesum), dan dilarang juga untuk memeberikan fasilitas kemudahan atau melindungi orang yang melakukan Khalwat seperti yang dimaksud dalam pasal 6 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat. Dari kedua putusan Mahkamah Syar’iriyah tentang perkara Khalwat diatas, benar adanya disebutkan dalam dakwaan bahwa yang menjadi subjek hukum ialah orang Islam dan tempat kejadian perkara berada di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Seperti dalam putusan Mahkamah Syar’iriyah Kutacane, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Nomor 0027/JN.B/2010/MS.KC disebutkan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II pada hari rabu tanggal 28 April 2010 sekitar pukul 21.30 WIB bertempat di dalam daerah yang agak gelap tepatnya didepan kilang kayu yang terletak di sebuah desa di Kecamatan Bambel Kabupaten Aceh Tenggara yang masih termasuk dalam wilayah hukum Mahkamah Syar’iriyah Kutacane dan ada 20
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 putusan Mahkamah Syar’iriyah Sinabang, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 0001/JN/2015/MS.Snb juga disebutkan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II pada hari Minggu pukul 02.00 WIB bertempat di rumah Terdakwa II yakni di Desa Air Dingin Kecamatan Simeulue Timur Kab. Simeulue yang masih termasuk dalam wilayah hukum Mahkamah Syar’iriyah Sinabang. Para Terdakwa tersebut merupakan orang yang beragama Islam. Jadi, dalam setiap putusan Mahkamah Syar’iriyah maupun Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat yang dijadikan sebagai subjek hukum adalah setiap orang yang beragama Islam yang berada di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Sanksi/Hukuman. Di dalam pasal 22 Qanun Khalwat uqubat/sanksi atas perbuatan Khalwat ialah diberikan uqubat ta’zir berupa cambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Sedangkan uqubat ta’zir kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (limabelas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Pada putusan Mahkamah Syar’iriyah Kutacane, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Nomor 0027/JN.B/2010/MS.KC para Terdakwa diadili dengan putusan bebas, karena berdasarkan pertimbanganpertimbangan Majelis Hakim di pengadilan dan disertai dengan bukti-bukti yang telah dikumpulkam bahwa para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan tidak meyakinkan telah bersalah melakukan perbuatan Khalwat. Akan tetapi, pada putusan Mahkamah Syar’iriyah Sinabang, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 0001/JN/2015/MS.Snb para Terdakwa dinyatakan telah terbukti bersalah dan harus dihukum sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan (2) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) dengan dijatuhkan pidana kepada para Terdakwa berupa hukuman/uqubat cambuk sebanyak 9 (sembilan) kali dan membebankan kepada para Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 2000,- (dua ribu rupiah). Jadi, dapat diketahui bahwa dari kesimpulan diatas tersebut antara uqubat/sanksi dan pelaksanaan yang terkandung dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat dan Putusan Mahkamah Syar’iriyah atas perkara Khalwat tersebut tidak bertentangan dengan amanat yang terkandung dalam Qanun, dikarenakan adanya pertimbangan-pertimbangan hakim yang memungkinkan dijatuhkannya hukuman yang lebih ringan dan 21
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 masih dalam ruang lingkup pemberlakuan ancaman hukuman yang diatur di dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) yakni uqubat ta’zir berupa cambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Perlu diketahui bahwa uqubat khalwat termasuk kedalam jenis uqubat Ta’zir dikarenakan Ulil Amri (Penguasa/Hakim) memakai yurisprudensi berdasarkan Peraturan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) sebagai penerapan dalam pemberlakuan putusan terhadap kasus Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Putusan-putusan tersebut apabila dikaitkan dengan berdasarkan teori pemidanaan Islam12. Peneliti melihat bahwa para hakim yang berwenang di Mahkamah Syar’iriyah pada masing-masing provinsi terkait dengan putusan-putusan tersebut termasuk kedalam teori pemidanaan Islam yakni teori Pencegahan (az-Zajr)13, teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan ini bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori pemidanaan Islam ini memiliki dua aspek tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum ditujukan kepada masyarakat secara keseluruhan, dengan harapan mereka tidak melakukan tindak pidana karena takut akan hukuman. Sementara, pencegahan khusus bertujuan pula untuk mencegah pelaku tindak pidana itu sendiri dari mengulangi perbuatannya yang salah itu. 2. Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukan dampak yang belum efektif. Sejak pertama kali diterapkannya Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu pada Tahun 2005 terjadi sedikitnya beberapa perubahan di Provinsi yang mendapat julukan Serambi Mekah ini. Seperti Aceh yang dulunya terkesan bebas kini menjadi sedikit lebih tertib dan lebih mengedepankan Kegiatan Keagamaan terutama bagi masyarakat yang beragama Islam yang menempati wilayah Provinsi Aceh, penerapan Syariat Islam yang diberlakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri hingga kini telah banyak program yang disusun untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai Syariat Islam Abd al-Ḥamīd Ibrāhīm al-Majālī, (Riyāḍ: Dār an-Nasyr, 1412 H/1992 M), Masqaṭāṭ al-`Uqūbah atTa`zīriyyah , hlm 105. 13 Ibid, hlm 105. 12
22
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti melaksanakan Syariat Islam dalam bidang hukum, untuk membersihkan Aceh dari pelnggaran-pelanggaran Syariat Islam, serta memberlakukan penerapan Syariat Islam kedalam kehidupan sehari-hari. Sebelum berbicara mengenai efektifitas penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum). Terlebih dulu kita mengetahui apakah tujuan tercapainya pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam itu sendiri. Sekurangkurangnya terdapat empat hal yang menjadikan dasar tujuan dari pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh tersebut yakni: Pertama, tujuan yang ingin dicapai dengan alasan Agama, maksudnya adalaha bahwa pelaksanaan Syariat merupakan perintah Agama, untuk dapat menjadi muslim yang sempurna, yang lebih baik, dan lebih dekat dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Kedua, tujuan dengan alasan psikologis, bahwa masyarakat akan merasa lebih aman dan tentram karena apa yang berlaku disekitar mereka, baik itu kegiatan dalam bidang pendidikan, maupun dalam kehidupan sehari-hari dan seterusnya sesual dan sejalan dengan kesadaran dan naluri hati mereka sendiri. Ketiga, tujuan dengan alasan hukum, bahwa masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Keempat, tujuan dengan alas an ekonimi dan kesejahteraan sosial, bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakwanan dalam bersosial dengan bentuk tolong-menolong baik untuk kegiatan ekonomi atau untuk kegiatan social akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid. Setiap masyarakat juga diharapkan akan lebih rajin bekerja, hemat dan lebih saling bertanggung jawab. Selanjutnya, tujuan dibidang hukum dan peradilan yaitu pelaksanaan Syariat Islam yang baik, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dilaksanakan dengan jujur dan bersungguh-sungguh, diahrapkan akan dapat mewujudkan keadilan dan ketertiban yang sesuai dengan kesadaran hukum masayrakat Aceh itu sendiri. Dengan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah maka kezaliman akan dapat dihentikan dan sebaliknya keadilan dapat ditegakkan secara lebih baik dan lebih sempurna. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam arti luas, bukan hanya yang ditetapkan melalui pengadilan tetapi juga yang ditetapkan oleh berbagai lembaga resmi atau swasta dan individu. Dengan kata lain, tujuan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah adalah untuk membantu orangorang memperoleh hak mereka, dengan cara memberikan hak kepada
23
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 mereka yang memeang berhak dan melarang mengahalangi atau mengambilnya dari mereka yang tidak berhak.14 Berbicara mengenai efektifitas dari penerapan Syariat Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat tentunya ditujukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pencegahan yang dilakukan Pemerintah Aceh dalam menyikapi tindak pidana/jinayat Khalwat yang bertujuan untuk meminimalisasi kemungkinan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, demi saling menjaga kehormatan dan martabat baik itu untuk pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Akan tetapi, bagaimanapun juga meskipun aturan sudah diberlakukan, perbuatan Khalwat maupun tindakan kriminal lainnya tetap bisa saja terjadi. Dalam hal ini, hukum pidana diterapkan secara formal dengan kekuatan dan hukuman yang dijalankan dengan cara tertentu, cepat dan keras. Berikut tabel perbandingan hasil daripada penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) di Aceh periode 2010 sampai dengan 2015 yang telah diputus oleh Mahkamah Syar’iriyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tabel 2.1 perbandingan hasil penerapan Qanun
No
1
Jenis Perkara (Hadd) Khalwat
Tahun Jumlah Perkara 2010 2011 2012 2013 2014 2015 1 1 1 1 2 32 38
2 Maisir 3 10 3 Khamar 1 Sumber: www.ms-aceh.go.id
17 -
66 -
33 -
204 15
333 16
Dari data tahunan yang diambil peneliti melalui website resmi dari Mahkamah Syar’iriyah Aceh, dan diakses secara online oleh peneliti, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 menunjukan angka tindak pidana/jinayat yang masih mendominasi, seperti pada tahun 2015 baik pada perkara tindak pidana/jinayat Khalwat (perbuatan mesum) ataupun Maisir (perjudian) dan Khamar (minuman keras) masih mengalami peningkatan dari setiap tahunnya. Jika dijumlahkan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 telah terjadi 38 (tiga puluh delapan) untuk jumlah perkara tindak pidana/jinayat Khalwat (perbuatan mesum), 333 (tiga ratus tiga puluh tiga) untuk jumlah perkara tindak pidana/jinayat Maisir (perjudian), dan 16 (enambelas) untuk jumlah perkara tindak pidana/jinayat Khamar (minuman keras). Dari data 14
Ibid, hlm 89-91.
24
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 tersebut merupakan jumlah angka yang cukup tinggi untuk daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana telah diberlakukannya penerapan Qanun di Bidang Syariat Islam khususnya pada Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) yang pada tiap tahunnya mengalami peningkatan dan belum menunjukan penurunan yang drastis sebagaimana yang diharapkan oleh Pemerintah Aceh dan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Maka dari itu masih banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan kembali terutama terhadap pelaksanaan Syariat Islam baik dalam bentuk pelaksanaanya didalam diri sendiri dan kehidupan sehari-hari, maupun dalam bentuk peraturan-peraturan atau Qanun yang telah dibentuk oleh Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam serta pelaksanaannya di lapangan. Apabila dilihat berdasarkan teori efektifitas hukum menurut Soerjono Soekanto15 peneliti melihat bahwa data tersebut masuk kedalam teori efektifitas hukum yang berdasarkan faktor masyarakat yakni sebagaimana penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Disini masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum, terutama pada lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Akan tetapi, bila dikaitkan sesuai dengan data diatas dalam faktor masyarakat secara tidak langsung berfungsi untuk sebagai elemen pengukur efektifitas, dan penyebab tidak sesuainya seperti yang diharapkan adalah melalui masyarakat itu sendiri yang tidak mematuhi aturan, bahwa berdasarkan pemahaman tersebut kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang menjadi dasar pada tiap individu yang ada didalam suatu komunitas sosial. Selain itu, dalam menentukan efektifitas dari suatu penerapan peraturan yang ditanamkan pada masyarakat berhasil atau tidaknya penegakan hukum tersebut hendaklah dilihat juga dari segi unsur sistem hukumnya yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture).16 Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat dan struktur hukum tersebut menyangkut para aparat penegak hukum yang menunjukkan tentang bagaimana hukum yang dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya dan struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu dapat berjalan dengan baik di Aceh. 15
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,), hlm 8. 16 Andreas, Dede Apri Anggola : Lawrence M. Friedman, Teori Sistem Hukum. Diakses tanggal 22 februari 2016.
25
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 Sedangkan substansi hukumnya meliputi perangkat perundangundangan yang berlaku tersebut harus memiliki kekuatan yang mengikat dan dijadikan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum di Aceh. Kemudian dilihat dari segi budaya hokum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dan berkembang dalam masyarakat di Aceh itu sendiri apakah terdapat sinkronisasi antara pemberlakuan Qanun Khalwat dengan adat istiadat masyarakat di Aceh, maka apabila ketiga unsur tersebut dapat disatukan dan sejalan dengan apa yang diaharapkan oleh Pemerintahan Aceh guna pelaksanaan Qanun di Aceh, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) dapat dilaksanakan secara kaffah di Provinsi Aceh Darussalam. Akan tetapi, sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orangorang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Oleh karena itu pendekatan yang paling tepat dalam mendisiplinkan ialah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Karena dalam hal ini derajat kepatuhan hukum di masyarakat juga menjadi salah satu pengukur tentang efektif atau tidaknya hukum tersebut diberlakukan, dan kepatuhan masyarakat dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik kondisi yang ditimbulkan dari dalam maupun berasal dari luar, misalnya kondisi dari dalam muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya. Sedangkan kondisi yang berasal dari luar karena adanya semacam tekanan yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar masyarakat tunduk kepada hukum. Pada umumnya, keharusan masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat menyusahkan mereka. Dan efek dari motivasi seperti ini biasanya hanya bersifat sementara. D. Kesimpulan Peneliti akan menyajikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Diketahui bahwa dalam jumlah hukuman yang diterapkan dalam Qanun tersebut tidak memiliki kesamaan yang setara dengan hukuman yang terkandung di dalam Al-Quran, akan tetapi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 26
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 Tentang Khalwat tidak serta merta mengesampingkan Al-Quran melainkan, dasar terbentuknya hukuman cambuk itu berasal dari nilai dan norma yang diadopsi dan diambil dari Al-Quran menjadi Peraturan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat. Terjadi pengurangan hukuman dikarenakan pada dasarnya Indonesia bukanlah Negara Islam yang tidak dapat seutuhnya menerapakan pemberlakuan suatu aturan hukum dengan hukum Islam murni seperti ditinjau dari berbagai aspek misalnya pada kultur masyarakat Indonesia yang beragam akan sulit untuk disatu padukan dalam menerapkan Hukum Islam saja menimbang perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap budaya, dan peraturan daerah (Qanun Khalwat) tersebut adalah merupakan hirarki perundang-undangan yang diberlakukan di Aceh yang dijadikan hukum Nasional di Provinsi Aceh Darussalam, maka dalam hal penegakkan hukum yg dipakai adalah Qanun Khalwat tersebut. Dengan menggunakan asas legalitas terhadap penerapan hukumnya, maka selanjutnya terjadi harmonisasi hukum antara hukum Islam dengan adat istiadat di masyarakat Aceh itu sendiri, sehingga ketika terjadi penurunan sanksi diharapkan dapat diterapkan dengan baik secara struktural dan dapat diakui serta disesuaikan dengan norma dan moral yang berada di masyarakat Aceh. Maka dari itu, pelaksanaan hukuman/uqubat yang terkandung dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat dan Putusan Mahkamah Syar’iriyah atas perkara Khalwat tersebut tidak bertentangan dengan amanat yang terkandung dalam Qanun, dikarenakan adanya pertimbanganpertimbangan hakim yang memungkinkan dijatuhkannya hukuman yang lebih ringan dan masih dalam ruang lingkup pemberlakuan ancaman hukuman yang diatur di dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan mesum) yakni uqubat ta’zir berupa cambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). 2. Apabila dianalisis lebih mendalam jelas bahwa Qanun Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kompromi dari hasil Ijma Ulama beserta Pemerintah di NAD agar Qanun tersebut dapat dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan lainnya secara vertikal. Oleh karena itu, Qanun Khalwat belum efektif karena tidak menerapkan hukum Islam secara utuh. Namun terdapat dilema jika Qanun Khalwat menerapkan hukum Islam sebagaimana yang dinyatakan dalam AlQuran bahwa Khalwat adalah masuk kategori jenis-jenis pidana Hadd, maka Qanun tersebut tidak akan disetujui oleh Kemendagri karena berpotensi menimbulkan konflik perundang-undangan secara vertikal dan konflik sosial. Jelas bahwa Qanun Khalwat diterbitkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah upaya awal untuk memperkenalkan hukum Jinayat di 27
Journal Of Judicial Review ISSN : 1907-6479 Vol.XVIII No.1 1 Juni 2016 masyarakat NAD. Oleh karena itu, Mahkamah Syar’iriyah menggunakan pendekatan harmonisasi hukum nasional dan hukum Islam dalam hal ini Qanun Khalwat dengan memutuskan bahwa perbuatan Khalwat masuk ke ranah Ta’zir dan bukan ke dalam Hadd. Pendekatan ini jelas salah dalam konteks hukum Islam sehingga efektifitas dari Qanun Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam jauh dari efektifitas hukum sebagaimana yang dianjurkan oleh teori Pemidanaan Islam maupun teori Efektifitas Hukum. Daftar Pustaka Perundang-Undangan: Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam BAB III Kekuasaan dan Kehakiman Mahkamah. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam BAB IV Hukum Materil dan Formil. Putusan Mahkamah Syar’iriyah Kutacane Nomor 0027/JN.B/2010/MS.KC, perihal Perkara Khalwat, tanggal 19 Oktober 2010. Putusan Mahkamah Syar’iriyah Sinabang Nomor 0001/JN/2015/MS.Snb, perihal Perkara Khalwat, tanggal 12 Maret 2015. Buku: Abd al-Ḥamīd, Ibrāhīm al-Majālī, (Riyāḍ: Dār an-Nasyr, 1412 H/1992 M)Masqaṭāṭ al-`Uqūbah at-Ta`zīriyyah. Abubakar, Al-Yasa’., 2005, Syariat Islam DI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Andreas, Dede Apri Anggola : Lawrence M. Friedman, Teori Sistem Hukum. Diakses tanggal 22 februari 2016. Dahlan, Abdul Aziz, 1996, Ensiklopedia Hukum Islam, ( Jakarta: Icthiar Baru Van Hoeve). Muhammad, Abdulkadir., 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti). Sirajuddin, 2011, Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Reformasi. (Yogyakarta, Teras,). Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada). Internet: Syariat Islam di Aceh, http://www.ms-aceh.go.id/, diakses pada tanggal 28 November 2015.
28