Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA KOSMETIK YANG TIDAK SESUAI DALAM IKLAN PENAWARAN DITINJAU DARI PASAL 19 UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 8 TAHUN 1999 Wishnu Kurniawan Eling Setiawati Abstract The purpose of this study is to analyze the juridical about the legal liability to businesses that do not fit in cosmetics advertising deals with concrete facts . This study in terms of laws and regulations related to learn about legal process for businesses who should be responsible for the products offered and remedies apat taken by consumers who are disadvantaged in all respects complaint . The methodology of this research is a normative legal research. The data used in the form of secondary data. Performed with data mining literature (library research). Once all the data is collected, the data is then processed and analyzed. The qualitative method was used to group the data point by the studied aspects. Further conclusions drawn related to this study, then described descriptively. Based on the result of this study, the writer obtained the results based on two research questions, the first one is about on accountability law made by businesses in cosmetics advertising if the terms of the Consumer Protection Act in defective products, the second one is about the remedies that can be taken by consumers harmed if the complaint was not followed up .The writer will discuss in more detail in Chapter IV. Keyword: advertising, liability, remedies A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28F menyatakan Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikani informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Apabila informasi yang diperoleh konsumen atau masyarakat pemakai barang dan/atau jasa dari iklan mengenai kondisi dan jaminan dari barang dan/atau jasa yang disampaikan secara tidak benar, jelas, dan jujur atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, maka konsumen akan dirugikan dan juga dapat menimbulkan akibat buruk terhadap keamanan dan keselamatan diri konsumen yang memakai barang dan/atas jasa tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan salah satu hak konsumen yaitu: hak
70
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.1 Contoh kasus yang paling sering terjadi umumnya berkaitan dengan kualitas. Misalnya produk yang diiklankan adalah sabun krim wajah yang menjanjikan bahwa dalam 1 (satu) minggu wajah akan menjadi putih merona dan awet muda seperti 10 (sepuluh) tahun sebelumnya jika menggunakan produk kecantikan yang diiklankan,Pada iklan tersebut menceritakan bahwa kulit model tersebut jauh lebih putih dan halus serta nampak muda 10 (sepuluh) tahun sebelumnya setelah memakai produk kecantikan perawatan kulit wajah tersebut dalam 2 (dua) minggu yang diiklankan. Secara visual, iklan ini sangat menarik sebab tokoh wanita yang digambarkan merupakan representasi wanita cantik. Salah satu teknik para pembuat iklan agar produk yang dipasarkannya cepat terjual adalah menjadi perempuanperempuan "tidak normal" sebagai ikon produknya. Sebagian besar perempuan tidak seperti para model di berbagai iklan perawatan kulit wajah yang ditayangkan di iklan, mereka pun berlomba-lomba membeli produk-produk tersebut agar dirinya bisa seperti model-model yang dijanjikan dalam sebuah tayangan iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi Eksistensi iklan di televisi, di satu sisi memberi informasi dan hiburan, disisi lain memberi dampak negatif, seperti pengaruh perubahan pola pikir, sikap dan perilaku. Artinya apa yang dijanjikan tidak sama dengan realita dilapangan. Misalnya, iklan pemutih wajah, hampir tidak mungkin diterapkan pada wajah seseorang yang coklat apalagi hitam.karena dampak negatifnya apabila produk yang diiklankan tidak digunakan sebagaimana mestinya artinya sesuai dengan kebutuhan utama/pokok justru akan menjadi bumerang dan racun buat masyarakat atau konsumen itu sendiri. Karena dalam kenyataannya, iklan sebagai media informasi bagi konsumen didalam perkembangan dunia usaha, berkembanglah keinginan-keinginan untuk mencari keuntungan dengan membuat suatu iklan yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan2. Bagi pelaku usaha, setiap usaha haruslah dititik beratkan pada bagaimana mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak memperdulikan kerugian konsumen dampak iklan pada masyarakat demikian luas, sehingga iklan seharusnya tidak hanya ditinjau dari sudut kepentingan kalangan bisnis periklanan, tetapi juga dari sudut kepentingan pengusaha pengiklan, konsumen dan masyarakat pada umumnya. Terhadap iklan yang menyesatkan bukan hanya konsumen yang dirugikan, tetapi juga pelaku usaha yang lain dimana terjadinya suatu persaingan tidak sehat (unfair competation) di kalangan pelaku usaha memasarkan suatu produk atau jasanya untuk menarik konsumen. Terhadap suatu iklan yang menyesatkan dapat dikenakan suatu sanksi pidana yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), namun di 1
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Periklanan Erlangga. (Terjemahan Haris Munandar). Jakarta: Katy Jaramillo. 2009. “Bioré Deep Cleansing Pore Strips: A Yes for You Nose?”. Dalam http://www.amazon.com 2
71
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 dalam penegakkan hukumnya terhadap masalah yang terjadi dengan iklan yang menyesatkan/informasi yang tidak benar, sebagian besar kerugian konsumen sebagai pihak yang dirugikan akibat tindakan produsen telah dilaporkan kepada yang berwenang, tetapi hal tersebut tidak ditanggapi dan hanya memberikan teguran saja, tanpa memilik efek jerah ke pelaku usaha, sehingga faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah, yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen3. Salah satu kasus nyata pada produk kecantikan mengenai nivea cream seperti yang terjadi pada iklan produk Nivea Vital, yang ditarik dari peredaran oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dikutip dari Daily Mail, YLKI menilai, iklan cetak dari produk Nivea Vital anti-age cream telah menyesatkan dan melebihlebihkan efek dari penggunaan krim. Iklan tersebut menampilkan model wanita berusia 60-an tahun, dengan tampilan wajah yang tampak awet muda. Dengan hanya sedikit kerutan di sudut mata dan garis ekspresi, serta dahi yang tampak kencang membuat model ini terlihat 20 tahun lebih muda dari usia sebenarnya.Namun jelas terlihat kalau foto tersebut sudah di-retouch secara menyeluruh dan beberapa bagian telah 'dipercantik' sehingga kurang menggambarkan wajah wanita yang sebenarnya. Dalam iklannya, Nivea mengklaim kalau produk tersebut bisa 'mengurangi tanda-tanda utama penuaan pada kulit' dan 'secara nyata mengurangi kerutan, meningkatkan kekencangan kulit dan membantu mencegah timbulnya noda hitam karena penuaan'.Sementara pada kemasan produknya Nivea menuliskan, "Mengurangi semua tanda-tanda penuaan pada kulit dewasa dan memberi perawatan ekstra yang diperlukan untuk kulit dewasa. Namun berdasarkan investigasi YLKI setelah menerima beberapa komplain terhadap produk tersebut, mereka menemukan bahwa wajah model dalam gambar tersebut merupakan 'produk' rekayasa komputer. Bukan semata-mata karena pemakaian krim.YLKI mengatakan dalam sebuah pernyataan tertulis bahwa Beiersdrof of Germany, perusahaan yang memayungi brand Nivea gagal memberikan bukti yang bisa mendukung klaim dari efek penggunaan krim pelembab seperti yang dijanjikan dalam iklan. Makadari itu menarik untuk diteliti dan Penulis rangkum dalam dua rumusan masalah yaitu: pertama, Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Kosmetik yang Merugikan Akibat Promosi Produk Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta Konkret ditinjau dari Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Kedua, Upaya Hukum Yang Dilakukan Konsumen Dalam Hal Pengaduan Yang Tidak Ditanggapi oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia).
3
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No 8 Tahun 1999, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821, BagianPenjelasan Umum.hlm. 10
72
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 B. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Secara umum jenis penelitian yang diambil disini adalah penelitian hukum normatif (Normatif Legal Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji Peraturan Perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. 2. Jenis Data Jenis data yang digunakan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder, yakni studi dokumen atau kepustakaan dengan cara mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen dan kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini dibagi menjadi:4 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2) Kitab Undang-Undang Perlindungan Konsumen ; 3) Peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan. b. Bahan Hukum Sekunder Definisi bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat dilakukan analisa dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri atas: 5 1) Penjelasan dan peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai bahan hukum primer; 2) Buku-bukuliteraturatau bacaan yang menjelaskan tentang Perlindungan Konsumen; 3) Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); 4) Pendapat ahli yang berkompeten dengan penelitian peneliti. Dalam mendukung data sekunder dalam penelitian ini, Penulis melakukan wawancara dengan beberapa lembaga yaitu : a) BPSK (Badan Penyelesaian Sangketa Konsumen) Pemerintah Kota Batam b) LPKSMB (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadya Masyarakat Batam) 5) Sarana elektronika yang membahas permasalahan terkait. c. Bahan Hukum Tersier 4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13. 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Op.Cit, hlm. 23
73
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Pengertian bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 6 Misalnya kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Penulis juga melakukan teknik pengumpulan data berupa wawancara dalam mendukung data sekunder. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang Penulisgunakan untuk mendapatkan keterangan secara langsung dari narasumber. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka dengan mengadakan tanya jawab secara langsung yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya dan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. 4. Metode Analisa Data Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian kemudian dianalisa oleh Penulis secara : 1) Deskriptif–kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apaadanya. Sedangkan kualitatif artinya penelitian yang menganalisadanmengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang–undangan dan norma–norma yang hidup berkembang dalam masyarakat. 2) Perbandingan hukum, yaitu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Perbandingan hukum sebagai suatu metode mangandung arti, bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang diteliti. C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Kosmetik yang Merugikan Akibat Promosi Produk Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta Konkret ditinjau dari Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH. Perdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yangmembuat perjanjian, artinya pihak-pihak harus mentaati isi perjanjian seperti menaati Undang-Undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar Undang-Undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
6
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi,Ibid, hlm. 56
74
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Hubungan hukum yang berdasarkan perjanjian/kontrak adalah hubungan hukum yang terjadi karena persetujuan atau kesepakatan para pihaknya. Sehingga jika dikaitkan dengan kasus yang terjadi dalam lapangan yaitu Pada dasarnya konsumen pengguna tidak akan mengetahui semua jenis produk barang dan jasa sehingga masyarakat sangat memerlukan informasi produk barang dan jasa apa saja yang ada dipasaran. Untuk menyampaikan informasi tersebut digunakan iklan, baik melalui media cetak maupun elektronik. Disamping sebagai alat informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, iklan bagi pelaku usaha adalah media yang sangat dibutuhkan untuk memasarkan produknya dan menaikkan jumlah penjualan.7 Contoh kasus yang paling sering terjadi umumnya berkaitan dengan kualitas, misalnya produk yang diiklankan adalah sabun krim wajah yang menjanjikan bahwa dalam 1 minggu wajah akan menjadi putih merona dan awet muda seperti 10 tahun sebelumnya jika menggunakan produk kecantikan yang diiklankan, Pada iklan tersebut menceritakan bahwa kulit model tersebut jauh lebih putih dan halus serta nampak muda 10 tahun sebelumnya setelah memakai produk kecantikan perawatan kulit wajah tersebut dalam 2 minggu yang diiklankan. Secara visual, iklan ini sangat menarik sebab tokoh wanita yang digambarkan merupakan representasi wanita cantik. Salah satu teknik para pembuat iklan agar produk yang dipasarkannya cepat terjual adalah menjadi perempuan-perempuan "tidak normal" sebagai ikon produknya. Pemanfaatan psikologi kaum perempuan yang selalu menganggap diri dan tubuhnya tidak sempurna maka kesempurnaan tubuh seorang perempuan dalam iklan produk kecantikan dan perawatan kulit wajah dicitrakan dan diidealisasikan sebagai sosok seorang perempuan yang jauh berbeda dengan sebagian besar perempuan. Apa yang dijanjikan tidak sama dengan realita dilapangan. Misalnya, iklan pemutih wajah, hampir tidak mungkin diterapkan pada wajah seseorang yang coklat apalagi hitam karena dampak negatifnya apabila produk yang diiklankan tidak digunakan sebagaimana mestinya artinya sesuai dengan kebutuhan utama/pokok justru akan menjadi bumerang dan racun buat masyarakat atau konsumen itu sendiri. Karena dalam kenyataannya, iklan sebagai media informasi bagi konsumen didalam perkembangan dunia usaha, berkembanglah keinginan-keinginan untuk mencari keuntungan dengan membuat suatu iklan yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan. Hal itu dilakukan yang tidak sesuai dengan kenyataan, persaingan curang dan barang yang tidak sesuai dengan iklan merupakan kerugian yang dialami konsumen. Bagi pelaku usaha, setiap usaha haruslah dititik beratkan pada bagaimana mencari keuntungan sebesar-besarnya 7
Taufik H.Simatupang, Aspek Hukum Periklanan Perspektif Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1. PT. Citra Bakti, Bandung, 2004. hal. 9
75
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 dengan tidak memperdulikan kerugian konsumen dampak iklan pada masyarakat demikian luas, sehingga iklan seharusnya tidak hanya ditinjau dari sudut kepentingan kalangan bisnis periklanan, tetapi juga dari sudut kepentingan pengusaha pengiklan, konsumen dan masyarakat pada umumnya. Terhadap iklan yang menyesatkan bukan hanya konsumen yang dirugikan, tetapi juga pelaku usaha yang lain dimana terjadinya suatu persaingan tidak sehat (unfair competation) di kalangan pelaku usaha memasarkan suatu produk atau jasanya untuk menarik konsumen. Terhadap suatu iklan yang menyesatkan dapat dikenakan suatu sanksi yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), Namun di dalam penegakkan hukumnya terhadap masalah yang terjadi dengan iklan yang menyesatkan/informasi yang tidak benar, sebagian besar kerugian konsumen sebagai pihak yang dirugikan akibat tindakan produsen telah dilaporkan kepada yang berwenang, tetapi hal tersebut tidak ditanggapi dan hanya memberikan teguran saja, tanpa memilik efek jerah ke pelaku usaha, sehingga faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah, yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen8. Salah satu kasus nyata pada produk kecantikan mengenai nivea cream seperti yang terjadi pada iklan produk Nivea Vital, yang ditarik dari peredaran oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Dikutip dari Daily Mail, YLKI menilai, iklan cetak dari produk Nivea Vital anti-age cream telah menyesatkan dan melebih-lebihkan efek dari penggunaan krim. Iklan tersebut menampilkan model wanita berusia 60-an tahun, dengan tampilan wajah yang tampak awet muda. Dalam iklannya, Nivea mengklaim kalau produk tersebut bisa mengurangi tanda-tanda utama penuaan pada kulit dan secara nyata mengurangi kerutan, meningkatkan kekencangan kulit dan membantu mencegah timbulnya noda hitam karena penuaan. Sementara pada kemasan produknya Nivea menuliskan bahwa mengurangi semua tanda-tanda penuaan pada kulit dewasa dan memberi perawatan ekstra yang diperlukan untuk kulit dewasa. Namun berdasarkan investigasi YLKI setelah menerima beberapa komplain terhadap produk tersebut, mereka menemukan bahwa wajah model dalam gambar tersebut merupakan 'produk' rekayasa komputer. Bukan semata-mata karena pemakaian krim. Dalam sebuah pernyataan tertulis bahwa Beiersdrof of Germany, perusahaan yang memayungi brand Nivea gagal memberikan bukti yang bisa mendukung klaim dari efek penggunaan krim pelembab seperti yang dijanjikan dalam iklan. 8
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No 8 Tahun 1999, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821, Bagian Penjelasan Umum.
76
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Pihak Nivea sudah menanggapi pencabutan iklan tersebut dan mengatakan bahwa mereka menyesali bahwa gambar tersebut dianggap menyesatkan, dan mereka tidak pernah bermaksud untuk itu. Berdasarkan uraian penelitian Penulis tersebut di atas, terdapat gambaran pelanggaran dan pertanggungjawaban para pelaku usaha terhadap ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia, sehingga pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku usaha kosmetik yang merugikan akibat promosi produk yang tidak sesuai dengan fakta konkret, Penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku usaha yang belum disesuaikan produk yang dipromosikan dengan fakta konkret ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal jual beli memiliki beberapa syarat sah nya perjanjian sehingga setelah perjanjian dilakukan antara kedua belah pihak maka terjadilah sebuah perikatan, dari fakta yand terdapat dalam lapangan bahwa terjadi tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seperti kasus nivea yang terdapat kasus real yng tidak sesuai dengan fakta konkret, dalam pasal UUPK 8 tahun 1999, pelaku usaha harus ganti rugi sesuai dengan undang-undang yang telah diatur, maka tanggung jawab pelaku usaha muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa pada dasarnya karakter dari setiap pelaku usaha adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan konsumen. Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari pelaku usaha atau perusahaan maka konsep tanggungjawab pelaku usaha untuk mencari keuntungan muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan atau pelaku dimasa yang akan datang. Tanggungjawab perusahaan atau pelaku usaha dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu konsep yang mewajibkan perusahan untuk memenuhi dan memperhatikan kepentingan para konsmen dalam kegiatan operasinya mencari keuntungan. Tanggungjawab perusahaan atau pelaku usaha sering didefinisikan secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya standar baku bagi konsumen yang dirugikan, sehingga tanggungjawab perusahaan atau pelaku usaha masih dianggap sebagai suatu kerugian besar dalam memperomosikan (iklan) kosmetik yang tidak sesuai dengan fakta konkret sehingga yang dialami oleh konsumen adalah kerugian. Konsumententunya akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan masyarakat maka tuntutan akan direalisasikan, bentuk lainya dari tanggung jawab dengan memberikan ganti rugi. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku usaha yang merugikan, yaitu:
77
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 1.
Dasar Pengaturan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat Produk cacat menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) adalah “Produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”9. Dari batasan ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut. Terkait dengan tanggung jawab pelaku usaha tersebut telah diatur didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19, yaitu sebagai berikut10: (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Memerhatikan substansi pasal 19 ayat (1) diatas dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi : a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan ; b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan ; c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen ; Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen11.
9
Repository. Usu. ac.id, Tanggung jawab pelaku usaha atas barang yang diproduksi, diakses tanggal 27 Desember 2015 10 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 tahun 1999 11 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, Hal. 126
78
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Selanjutnya mencermati substansi ketentuan pasal 19 ayat (2) tersebut, sesungguhnya memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Dalam pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan, oleh karena itu, seharusnya pasal 19 ayat (2) menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dapat berupa pengembalian uang dan/atau penggantian barang atau jasa yang setara nilainya dan/atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan dapat diberikan sekaligus kepada konsumen (bersifat kumulatif). Artinya bahwa rumusan antara perkataan “setara nilainya” dengan “perawatan kesehatan” dalam rumusan pasal tersebut tidak hanya menggunakan frasa “atau” melainkan “dan/atau”. Sehingga apabila kerugian itu menyebabkan sakitnya konsumen, maka selain mendapat penggantian harga barang juga mendapatkan perawatan kesehatan12. Hal ini tentu dapat menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam memutuskan bentuk ganti kerugian yang harus ditanggung oleh pelaku usaha apabila perkara tersebut dibawa ke pengadilan. Sebagai contoh bentuk ganti rugi innatura, sebagaimana yang telah diakomodir dalam UUPK adalah ketentuan pasal 19 ayat (2) mengenai perawatan kesehatan karena sakit yang dialami konsumen setelah mengonsumsi produk yang cacat. Perawatan kesehatan dimaksudkan agar konsumen menjadi pulih kembali kedalam keadaan semula sebelum mengkonsumsi produk tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut, Konsumen hanya dibebani adanya kerugian yang dialaminya sebagai akibat mengonsumsi/memakai produk tertentu yang diperoleh/berasal dari produsen, sedangkan pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan produsen yang mengakibatkan timbulnya kerugian konsumen dibebankan kepada Produsen. Untuk lebih menyempurnakan penelitian yang dilakukan oleh Penulis mengenai pertanggungjawaban hokumPelaku Usaha Kosmetik yang Merugikan Akibat Promosi Produk Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta Konkret ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka Penulis melakukan wawancara dengan beberapa instusi berwenang yang ada di Kota Batam, yaitu : 1. Badan Penyelesaian Sangketa Kota Batam (BPSK) Menurut Badan Penyelesaian Sangketa Kota Batam (BPSK), pertanggungjawaban hukum terhadap Pelaku Usaha yang belum 12
Ibid, hal.126
79
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 menyesuaikan produk yang dipromosikan tidak boleh berlebihan karena harus disesuaikan dengan kenyataan dan fakta yang konkret, ditinjau dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebabkan tanggung jawab para pelaku usaha dalam mempromosikan atau mengiklankan suatu produk kecantikan. Hal tersebut dikarenakan adanya pihak pelaku usaha yang hanya ingin mencari keuntungan, dan para pelaku usaha tidak pernah mengetahui akan kewajiban yang harus diberikan kepada para konsumen sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang. Badan Penyelesaian Sangketa Kota Batam (BPSK), juga menambahkan bahwa untuk para pelaku usaha yang belum melakukan penyesuaian sesuai tanggung jawab yang harus dilakukan kepada konsumen, dan konsumen seharus memberikan pelaporan jika terjadi sangketa yang merugikan. Hal tersebut dikarenakan sebelum adanya pengetahuan yang diketahui oleh konsumen ataupun tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah. (Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Februari 2016, oleh Ibu Dita ). 2. Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Kota Batam Menurut Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Kota Batam, tanggungjawab yang harus dilakukan Pelaku Usaha Kosmetik yang Merugikan Akibat Promosi Produk Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta Konkret ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen harus memberikan ganti rugi sesuai kesepakatan , dimana terdapat didalam Undang-Undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999 memberikan dua macam ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian konsumen di luar pengadilan. Yang diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan 47 Undang-Undang perlindungan konsumen. Pasal 45 ayat (1) UUPK ”Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.” Pasal 47 UUPK “Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselengarakan untuk mencapai kesempakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu unutuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”. Sehingga pelaku usaha tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. (Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Februari 2016, oleh Bapak Fachri Agustan).
80
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 2. Upaya Hukum yang Dilakukan Konsumen Dalam Hal Pengaduan Yang Tidak Ditanggapi oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Untuk mempermudah pemahaman mengenai upaya hukum yang dilakukan konsumen dalam hal pengaduan yang tidak ditanggapi oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai lembaga konsumen yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jika dalam upaya hukum yang dilakukan konsumen dalam hal pengaduan yang tidak ditanggapi oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), maka konsumen dapat melakukan pengaduan dilembaga lain seperti lembaga konsumen yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan tiga lembaga yakni Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Komnas Perlindungan konsumen dan Pelaku Usaha. Adapun syarat yang harus dilakukan oleh konsumen yang dirugikan, yaitu : 1. Pastikan Konsumen memiliki semua dokumen dan bukti yang berkaitan dengan persoalan ini, termasuk identitas detil pelaku usaha yang telah merugikan Anda. Bilamana mungkin Anda mendapatkan nama individu yang terlibat transaksi dengan Anda 2. Lakukan komunikasi lisan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha bersangkutan, dengan menceritakan kronologis kejadian dan diakhiri dengan permintaan (tuntutan) spesifik Anda sebagai konsumen akibat kerugian ini (misalnya ganti rugi material, permintaan maaf, dll.) 3. Bila komunikasi lisan tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, layangkan surat resmi yang ditujukan kepada Bagian dari Perusahaan yang menangani keluhan konsumen (misalnya Customer Service). Surat Pengaduan harus memuat paling tidak hal-hal berikut: a. Nama dan alamat konsumen serta pelaku usaha yang terkait; b. Persoalan atau sengketa konsumen yang terjadi; c. Kerugian yang diderita oleh konsumen; d. Kronologi singkat permasalahan, dilengkapi dengan data yang rinci; e. Permintaan (tuntutan) spesifik konsumen atas kerugian tersebut; f. Permohonan agar menanggapi surat pengaduan ini dalam waktu 7-14 hari dari tanggal surat/tanggal terima surat. Setelah menerima pengaduan konsumen,akan melakukan tahapan berikut: 1. Memasukkan data pengaduan ke data base Komnas PKPU dan melakukan analisis masalah.
81
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 2. Menulis surat kepada pelaku usaha bersangkutan untuk meminta penjelasan atas kasus atau sengketa konsumen ini dalam batas waktu 7-14 hari. Pihak terkait dan Konsumen akan mendapatkan surat tembusannya. 3. Dalam kasus-kasus tertentu Komnas PKPU masih bersedia mengirimkan Surat Pengaduan Kedua bila tidak menerima tanggapan dari Pelaku Usaha dalam kurun waktu tersebut. Bila surat kedua ini juga tidak ditanggapi, maka Komnas PKPU akan mengembalikan persoalan ke Konsumen, sambil menawarkan agar Konsumen membawa kasus ini ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) setempat. 4. Surat tanggapan dari pelaku usaha (biasanya ditembuskan juga ke Konsumen) adalah awal proses penyelesaian sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha karena biasanya Pelaku Usaha akan menawarkan alternatif (alternatif-alternatif) penyelesaian sengketa. Di tahap ini terjadi komunikasi dan negosiasi antara Konsumen dan Pelaku Usaha sampai terjadi kesepakatan. 5. Bila sudah terjadi kesepakatan antara kedua pihak, sebaiknya pihak Konsumen atau Pelaku Usaha memberitahukan secara tertulis perkembangan terakhir ini agar menjadi catatan di data base Komnas PKPU Bila kesepakatan tidak terjadi di antara kedua pihak, dan bilamana diperlukan, Komnas PKPU bersedia menjadi penengah (mediator) dalam proses ini. Syarat utama Mediasi yang difasilitasi Komnas PKPU adalah : 1. Harus dilakukan di kantor Komnas PKPU, 2. Menepati jadual Mediasi yang ditentukan oleh Komnas PKPU, dan 3. Kedua belah pihak harus beritikad baik menyelesaikan persoalan. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisis pembahasan yang telah dikemukakan oleh Peneliti pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulannya sebagai berikut : 1. Pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap iklan kosmetik yang menyesatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) khususnya terdapat dalam Pasal 20. Sistem pembuktiannya adalah sistem pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Prinsip pertanggungjawaban yang terdapat dalam UUPK adalah strict liability atau tanggung jawab secara langsung/mutlak. Tanggung jawab secara langsung tersebut tersirat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 11 dan lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 19 UUPK dalam pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan. 2. Upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen yang tidak ditanggapi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kepada konsumen pada saat pengaduan yakni pihak yang dirugikan dalam iklan produk kosmetik yang merasa dirugikan akibat produk yang tidak sesuai dengan fakta konkret hal ini
82
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 dapat menggunakan mekanisme ketentuan konsumen dalam melakukan pengaduan kebeberapa lembaga lainnya seperti Badan Penyelesaian Sangketa Konsumen (BPSK), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadya Masyarakat (LPKSM), dan komnas Perlindungan Konsumen dan Pelaku Usaha (PKPU), Komnas PKPU menyediakan ruang pengaduan dengan beberapa ketentuan yang berlaku. Karena keterbatasan sumberdaya, untuk sementara pengaduan konsumen melalui email agar ditindak lanjuti. Pengaduan, keluhan, saran konsumen yang disalurkan juga bisa melalui “Suara Konsumen” dan PKPU bersedia menjadi penengah (mediator) dalam proses ini.
Daftar Pustaka Buku Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju. Simatupang, Taufik H. 2004, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Press, 1990. Ahmad Miru, Sutarman Yudo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Periklanan Erlangga. (Terjemahan Haris Munandar). Jakarta: Katy Jaramillo. 2009. “Bioré Deep Cleansing Pore Strips: A Yes for You Nose?”. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosuibio, 2005, Jakarta: Pradnya Paramita. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Internet
83
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, Bedah Pengaduan Konsumen, http://www.ylki.or.id/2016/01/bedah-pengaduan-konsumen-20165, diakses tanggal 20 Desember 2015. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, http://ylki.or.id/2016/01/bedah-pengaduankonsumen-2015/, diakses tanggal 20 Desember 2015. Wikipedia, Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia,bahan, diakses tanggal 20 Desember 2015
84