Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBANGUNAN YANG TIDAK SESUAI BROSUR PENAWARAN Wishnu Kurniawan Ellice Tanfilia Abstract This study discusses the development of housing by a developer that does not comply with the terms of the offer brochure based on consumer protection law. The purpose of this study is to describe about the liability of developer-agent towards consumer who suffer losses regarding house construction from developer not in accordance with brochure offers as well as describe efforts that can be made by consumers to obtain consumer protection against the purchase of a house that does not fit the brochure offers. This research is a normative law by using the method of descriptive-qualitative. The data used is secondary data. Secondary data is collected using the library research. As all data are collected, those data are then being processed and analyzed qualitatively, which means to group the data by the studied aspects. Further conclusions drawn related to this study, then described descriptively. Based on the results of this study showed that in terms of the Law on Consumer Protection developer responsible for providing compensation to consumers who suffered losses because of the construction that does not fit to the brochure offers and consumers could obtain protection of their rights by reporting the complaints to the institutions that perform the function of consumer dispute resolution. Keywords : consumer protection, offers, brochure, liability, developer A. Latar Belakang Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) selama tahun 2014, dari total pengaduan sebanyak 1.192 aduan terdapat 157 aduan di sektor perumahan, jumlah pengaduan ini menempatkan sektor perumahan di tempat kedua tertinggi setelah pengaduan sektor perbankan. Angka pengaduan ini naik 12,7 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 121. Sehubungan dengan ini dapat diketahui bahwa tidak jarang pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk mengembangkan bisnisnya ini seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen. Salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu rumah atau tempat tinggal. Masyarakat dapat membeli rumah melalui pengembang (developer) perumahan.
60
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Berbagai penawaran dilakukan oleh developer untuk mempromosikan dan memasarkan produk-produknya. Dalam melakukan penawaran rumah tidak jarang informasi yang diberikan oleh developer terlalu berlebihan seperti memuat gambar-gambar yang berlebihan; diskon; bonus pembelian; menggunakan label regency dimana kualitas bangunan seharusnya lebih diperhatikan; fasum yang berlebihan seperti lapangan golf, jogging track, waterpark bahkan sirkuit balap, sehingga membuat konsumen sangat tertarik atau mungkin bahkan membingungkan bagi konsumen sendiri karena kalimat ambigu yang digunakan. Tidak jarang informasi yang disampaikan tersebut juga menyesatkan atau tidak benar, padahal konsumen sudah membayar uang muka atau bahkan menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan developer, dan sudah akad kredit dengan bank pemberi kredit pemilikan rumah. Salah satu contoh kasus nyata yang sampai dijatuhi hukuman pidana terjadi pada developer Suka Bangun Cindo Residence. Dalam putusan Nomor 94/PDT/2012/PT.PLG Pengadilan Tinggi Palembang menghukum developer Cindo Residence, Ir. Fattah, selama 2 tahun penjara karena membangun Cindo Residence tidak sesuai brosur yang ditawarkan. Dalam kasus ini Developer Cindo Residence melawan Firniyanto, S.H. seorang pembeli rumah di Cindo Residence Blok B5, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami, Palembang yang merasa dirugikan dengan bangunan tersebut karena mengalami kebocoran dan banyak kekurangan. Kasus pengembang yang tidak membangun sesuai penawaran banyak terjadi, tetapi belum ada yang sampai vonis pengadilan. "Ini mungkin yang pertama pengembang dijatuhi hukuman pidana, apalagi dengan dasar UU Konsumen," kata Ketua Komisi Sosialisasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David Tobing.1 Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat gambaran pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, terdapat beberapa rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu, pertama, bagaimana pertanggungjawaban hukum developer terhadap pembangunan rumah yang tidak sesuai dengan brosur penawaran ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?. Kedua, apakah upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh perlindungan konsumen terhadap pembelian rumah yang tidak sesuai brosur penawaran? B. Metode Penelitian Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil, jenis penelitian pada penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif. 1
http://news.detik.com/berita/2485550/developer-dibui-2-tahun-karena-bangunan-rumah-bocor-kasuspertama-di-ri
61
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Jenis data yang digunakan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa bahan hukum primer yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001, Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 09 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah tanggal 23 Maret 1961, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tanggal 8 Juli 1997; bahan hukum sekunder yang terdiri atas buku-buku literatur atau bacaan yang terkait dengan substansi penelitian; bahan hukum tersier terdiri dari Black’s Law Dictionary, kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ensiklopedia. Teknik pengumpulan data berupa penelusuran dokumen yang dikumpulkan melalui kepustakaan (library research). Menganalisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusundan diuraikan sedemikian rupa dan sistematis guna menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pertanggungjawaban Hukum Developer Terhadap Pembangunan Rumah yang Tidak Sesuai dengan Brosur Penawaran Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jumlah penduduk Indonesia semakin pesat dari tahun ke tahun, karena itu tuntutan akan tersedianya berbagai fasilitas yang mendukung kehidupan masyarakat juga meningkat. Salah satu kebutuhan tersebut adalah rumah, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Hal tersebut mendorong pihak pemerintah maupun swasta untuk melaksanakan pembangunan, terutama di bidang perumahan.2 Masyarakat dapat membeli perumahan tersebut melalui pengembang (developer) perumahan. Developer menyediakan rumah dengan berbagai ukuran dan tipe agar dapat memenuhi keinginan pembeli sesuai dengan kebutuhan maupun kondisi keuangan yang dimiliki pembeli. Berbagai penawaran dilakukan oleh developer untuk mempromosikan dan memasarkan produk-produknya. Pada umumnya pihak developer selaku penyedia rumah bagi masyarakat, menggunakan brosur sebagai salah satu sarana untuk menjual dan menyebarkan informasi tentang rumah yang mereka jual. Penawaran yang dilakukan oleh developer melalui sarana brosur cenderung menyampaikan hal-hal yang positif saja tanpa didukung dengan fakta-fakta yang ada dalam realitanya. Contoh kasus yang paling sering terjadi 2
Yunita Nerrisa Wijaya, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Wanprestasi dari Pengembang, Surabaya, 2014
62
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 umumnya berkaitan dengan kualitas. Misalnya, kusen untuk pintu dan jendela, baru dua bulan dipakai sudah rontok karena dimakan rayap; atap yang bocor padahal baru ditinggal tak berapa lama, dinding yang retak, kamar mandi kloset duduk diganti menjadi kloset jongkok; tangga yang seharusnya dari kayu jati diganti menjadi kayu samarinda; sering banjir karena drainase yang tidak bagus. Selain itu banyak materi lain yang tidak sesuai spesifikasi, tidak sesuai dengan yang ada dalam rincian bahan di brosur dan penyampaian lisan. Hal ini tampak pada kasus pengaduan properti ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang terus tumbuh setiap tahun sejak 2010. Pada tahun 2010, terdapat 84 pengaduan, di mana kasus perumahan ini menjadi nomor tiga terbesar, Sebagian besar kasus adalah mengenai wanprestasi serah terima kunci. Konsumen mengadukan pengembang atas keterlambatan maupun tidak direalisasikannya pembangunan rumah yang sudah dijanjikan. Oleh karena itu perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang sangat penting bagi masyarakat, karena tidak pernah lepas dari kegiatan konsumsi. Tidak jarang juga kita mendengar tentang maraknya pelanggaran-pelanggaran hak konsumen. Salah satunya yaitu di bidang perumahan. Developer sebagai penyedia rumah bagi masyarakat, menggunakan brosur sebagai salah satu sarana untuk menjual dan menyebarkan informasi tentang rumah yang mereka jual. UUPK dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen menetapkan enam pokok materi yang menjadi muatan UU yaitu mengenai larangan-larangan, tanggung jawab produsen, tanggung gugat produk, perjanjian atau klausula baku, penyelesaian sengketa dan tentang ketentuan pidana.3 UU ini menggunakan sistem pembuktian terbalik, dimana pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Prinsip tanggung jawab semacam ini merupakan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Hubungan hukum antara pembeli (konsumen) dan developer (pelaku usaha) muncul pada saat terjadinya transaksi jual beli, kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan dan akan menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hak dan kewajiban ini bersifat timbal balik, dimana hak pembeli merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh developer sedangkan hak yang akan diterima developer merupakan kewajiban pembeli. Berdasarkan hak dan kewajiban pembeli dan developer secara hukum tampak jelas bahwa baik pembeli maupun developer sama-sama memiliki tanggung jawab hukum. Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertama, pertanggungjawaban kontraktual dan kedua, pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam 3
Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen (Bandung : Mandar Maju, 2000) hal. 31
63
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat mengugat pihak yang merugikan bertanggung jawab dengan dasar perbuatan melawan hukum.4 Ketika pembangunan rumah yang dikerjakan oleh developer tidak sesuai dengan informasi pada brosur yang mereka tawarkan ke pembeli berarti developer tidak melaksanakan kewajibannya dan dikatakan telah wanprestasi, karena tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan di awal. Tindakan wanprestasi ini menimbulkan akibat hukum timbulnya hak pembeli (konsumen) sebagai pihak yang dirugikan untuk menuntut developer sebagai pihak yang melakukan wanprestasi dan merugikan. Salah satu contoh kasus terjadi pada konsumen Batam Nirwana Residence, Dewi sapaan Dewi Kamalasari merasa tertipu oleh iklan PT. Mutiara Permata Biru, Tiban, Sekupang. Pengembang perumahan Batam Nirwana Residence menawarkan rumah dengan harga yang menggiurkan. Ternyata developer perumahan Nirwana tersebut tidak menepati janjinya. Dewi Kamalasari menyatakan dalam berita online bahwa transaksi berlangsung sejak 5 tahun lalu yaitu mulai dari tahun 2009 awal terjadi transaksi jual beli rumah bersama dengan membayar cicilan uang muka secara bertahap. Akan tetapi, setelah ditunggu-tunggu sampai tahun 2015, rumah yang dijanjikan oleh perusahaan grup Bakrieland yang berkantor di ruko Nagoya Hill tersebut tak kunjung ada. Sementara pihak PT. Mutiara Permata Biru, developer pengembang Batam Nirwana Residence dikonfirmasi Radar Kepri, Kamis, 14/08/14, dikantornya terkait hal tersebut dan Ezy yang mengaku sekretaris di perusahaan tersebut mengatakan, “Saya tidak bisa menjawab, tunggu pimpinan saya saja pak. Kebetulan atasan saya lagi keluar kota, nanti kalau mereka sudah balik saya hubungi bapak”, janji Ezy. Namun sampai berita ini diturunkan, media ini belum mendapat konfirmasi dari pihak perusahaan tersebut sebagaimana janji Ezy. UUPK tidak mengatur secara khusus bagaimana sistem penawaran yang harus ditaati oleh pelaku usaha. Namun, dengan adanya larangan-larangan yang diatur UUPK dalam penawaran, promosi maupun periklanan dapat dijadikan sebagai acuan bagi pelaku usaha untuk tidak memberikan informasi yang dapat menyesatkan konsumen. Hal ini berarti secara normatif UUPK melarang pelaku usaha menjual barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji atau iklan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang ini yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk memproduksi atau memperdagangkan barang dan atau
4
Rosa Agustina, Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hal. 4
64
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut. Atas ketentuan pada Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK ini berarti kasus PT. Mutiara Permata Biru developer perumahan Batam Nirwana Residence yang telah disampaikan di atas telah melanggar ketentuan ini karena tidak direalisasikannya pembangunan rumah yang sudah dijanjikan developer kepada konsumen mereka. Developer yang melanggar ketentuan pasal 8 ini terancam sanksi pidana paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar. Ancaman sanksi ini dimuat dalam Pasal 62 UUPK. Dalam memberikan perlindungan konsumen yang bersifat represif, UUPK juga mengatur tanggung jawab pelaku usaha untuk memberi ganti rugi kepada konsumen. Tanggungjawab pelaku usaha dalam UUPK diatur dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Jika developer tidak membangun rumah sesuai dengan penawaran yang mereka berikan, maka berdasarkan pasal 19 UUPK yang dikutip di atas, developer harus bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi kepada konsumen yang menderita kerugian. Berdasarkan pasal 23 UUPK, jika developer menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan (4), maka ia dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Untuk menjamin kepastian hukum bagi konsumen dari tindakan tidak baik pelaku usaha, UUPK mengatur mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Sanksi tersebut tercantum dalam Bab XIII Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 UUPK, namun terhadap pelanggaran Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 UUPK hanya dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 62 dan Pasal 63 UUPK. Oleh karena itu atas tidak dipenuhinya tanggung jawab developer sebagaimana diatur dalam UUPK maka developer juga dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dapat diberikan kepada developer terkait pembangunan rumah yang tidak sesuai dengan penawaran antara lain sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. 2. Upaya yang dapat dilakukan konsumen untuk memperoleh perlindungan konsumen terhadap pembelian rumah yang tidak sesuai brosur penawaran Berdasarkan UUPK, terdapat tiga lembaga perlindungan konsumen yang dibentuk untuk memperkuat pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
65
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 Dalam UUPK bagian Penjelasan Umum disebutkan bahwa “faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih sangat rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha”. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Dengan adanya UUPK, Pemerintah memberikan perlindungan kepada konsumen dari perilaku sewenang-wenang pelaku usaha. Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, untuk sampai pada tujuan dari perlindungan konsumen yang ideal, tidak saja memerlukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen, tetapi perlu juga tentang peraturan pelaksanaan, pembinaan aparat, pranata dan perangkat-perangkat yudikatif, administratif dan edukatif serta sarana dan prasarana lainnya, agar nantinya undang-undang tersebut dapat diterapkan secara efektif dimasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya kasus-kasus perumahan dan ketidakpuasan konsumen perumahan terhadap wanprestasi pihak developer. Akan tetapi hanya sebagian kecil konsumen yang berusaha melakukan upaya hukum, selebihnya tidak mengambil tindakan apapun. Selain pentingnya peraturan-peraturan dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, kesadaran konsumen sendiri akan haknya juga tidak kalah penting. Kesadaran akan haknya tersebut sejalan dengan kesadaran hukum, semakin tinggi kesadaran hukum maka semakin tinggi pula penghormatan hak-hak pada dirinya dan orang lain. Kesadaran akan hak-hak konsumen inilah yang akan membuat konsumen mengetahui apa saja yang harus dilakukan ketika akan membeli rumah dari developer dan mengetahui cara mempertahankan hak-haknya ketika dirugikan. Konsumen yang mandiri merupakan salah satu tujuan dari perlindungan konsumen sebagaimana dituangkan dalam UUPK. Kemandirian konsumen yang diharapkan tersebut dapat diwujudkan dengan diawali adanya kesadaran konsumen akan hak-haknya. Beberapa kasus perumahan yang terjadi, pada umumnya memposisikan konsumen sebagai kelompok yang lemah dibandingkan dengan pengembang. Baik dari segi sosial ekonomi, pengetahuan teknis dan kemampuan dalam mengambil tindakan hukum melalui institusi pengadilan. Perlindungan hukum terhadapnya belum terjamin sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam melakukan pembelian rumah, konsumen harus lebih cermat dalam menanggapi setiap promosi-
66
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 promosi yang ditawarkan oleh pihak developer supaya menghindari dan melindungi dirinya dari masalah yang dapat timbul setelah dilakukannya transaksi jual beli. Upaya-upaya preventif seperti lebih cermat sebelum membeli sangat diperlukan dan perlu diperhatikan agar nanti hak-haknya tidak dilanggar dan tidak menderita kerugian di kemudian hari. Perlindungan konsumen pada masa promosi sangat penting bagi calon konsumen, mengingat biasanya pada masa inilah pelaku usaha menginformasikan produknya kepada calon konsumen serta pada saat ini pula calon konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut. Sehingga informasi yang jujur, jelas, dan benar sangat dibutuhkan calon konsumen. Informasi yang jujur, jelas, dan benar inilah yang harus dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen. Saat konsumen tidak mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan benar sebagaimana dalam pembelian rumah tidak sesuai dengan brosur penawaran, upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh perlindungan akan hakhaknya telah diatur dalam UUPK. Konsumen dapat mengadu ke developer langsung jika hak nya dilanggar karena pembangunan yang tidak sesuai brosur, sesuai dengan Pasal 7 huruf (a) UUPK : “kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam menjalankan usahanya”, sehingga seharusnya komplain konsumen mendapatkan respon positif dari pihak developer, sebagai perwujudan adanya itikad baik dari developer, terutama terkait dengan pemberian ganti rugi atau kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawabannya sebagai pelaku usaha. Jika atas komplain konsumen tersebut tidak ada tanggapan dari pihak developer, maka konsumen dapat meminta bantuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk meminta bantuan hukum atau konsumen bisa langsung menyelesaikan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai lembaga yang diamanatkan UUPK untuk memberikan perlindungan konsumen yang bersifat represif, untuk menyelesaikan permasalahannya secara damai atau konsumen dapat juga memilih untuk mendapatkan perlindungan konsumen lewat pengadilan. Konsumen yang melakukan pengaduan ke lembaga perlindungan konsumen harus memperhatikan bahwa dalam melakukan pengaduan tersebut harus merupakan masalah perlindungan konsumen, antara lain: 1. Konsumen yang merasa dirugikan. 2. Konsumen yang dirugikan adalah konsumen akhir. Salah satu LPKSM yang terkenal yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI adalah organisasi non-pemerintah, tujuan berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggungjawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya. YLKI merupakan salah satu lembaga tempat konsumen mengadu apabila haknya telah dilanggar. Berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UUPK tugas LPKSM meliputi:
67
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016 a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Dengan mengadu ke YLKI, YLKI bisa mengklarifikasi permasalahan yang dihadapi tersebut ke developer, jika perkara yang diadukan ke YLKI tidak mencapai titik temu, YLKI akan merekomendasikannya ke BPSK atau konsumen juga bisa langsung melakukan pengaduan ke BPSK, badan yang dibentuk pemerintah, yang juga bisa menerima keluhan konsumen. Masyarakat pelapor bisa meminta didampingi oleh YLKI atau lembaga hukum lainnya. Upaya konsumen mendapatkan perlindungan dari BPSK diatur dalam Pasal 49 UUPK ayat (1): “Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”. Proses penyelesaian sengketa konsumen secara perdata melalui BPSK dilakukan dengan konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Berdasarkan UUPK selain upaya damai dalam mendapatkan perlindungan, konsumen yang ingin memperoleh perlindungan konsumen juga dapat menempuh jalur litigasi dengan menggugat developer sebagaimana diatur pada pasal 45 ayat (1) : “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Konsumen tinggal memanfaatkan tempat-tempat pengaduan yang sudah ada dalam menanggapi jika hak-haknya dilanggar. Konsumen dapat memilih upaya perlindungan tersebut melalui jalur non-litigasi atau litigasi. Sikap pro aktif konsumen memanfaatkan akses yang ada akan mendorong pelaku usaha dan pemerintah untuk selalu berupaya memperbaiki kualitas produk serta kinerjanya. D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka, Penulis menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut: 1. Ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertanggungjawaban hukum developer terhadap pembangunan rumah yang tidak sesuai dengan brosur penawaran ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8
68
Journal Of Judicial Review ISSN: 1907-6479 Vol. XVIII No.1 1 Juni 2016
2.
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa developer bertanggungjawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen karena tidak terealisasinya pembangunan sesuai yang ditawarkan dan diharapkan sehingga konsumen menderita kerugian. Tanggung jawab developer selaku pelaku usaha ini dalam UUPK diatur dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Jika developer menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka berdasarkan Pasal 23 UU ini ia dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh perlindungan konsumen terhadap pembelian rumah yang tidak sesuai brosur penawaran diantaranya konsumen dapat mengadu ke developer langsung jika hak nya dilanggar karena pembangunan yang tidak sesuai brosur. Jika atas komplain konsumen tersebut tidak ada tanggapan dari pihak developer, maka konsumen dapat meminta bantuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk meminta bantuan hukum atau konsumen bisa langsung menyelesaikan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), selain itu konsumen dapat juga memilih langsung menggugat pihak developer melalui peradilan umum.
Daftar Pustaka Buku Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung. Rosa Agustina, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Pustaka Larasan, Bali. Hasil Penelitian/ Tugas Akhir Yunita Nerrisa Wijaya, 2014, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Wanprestasi dari Pengembang, Surabaya. Internet Detiknews, Developer Dibui 2 Tahun karena Bangunan Rumah Bocor, Kasus Pertama di RI, http://news.detik.com/berita/2485550/developer-dibui-2-tahun-karenabangunan-rumah-bocor-kasus-pertama-di-ri. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
69