Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
Advisedly Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak Kusta adalah penyakit infeksi kronis, yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae, yang mempengaruhi kulit dan saraf perifer menyebabkan lesi kulit, hilangnya sensasi, dan kerusakan saraf. Hal ini dapat menyebabkan gangguan sekunder atau cacat pada mata, tangan dan kaki. Saat ini kusta masih menjadi masalah kesehatan global, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pasien perempuan 35 tahun datang ke Rumah Sakit Ahmad Yani (RSAY) dengan keluhan muncul bercak kemerahan pada kulit tangan pasien sejak tahun 2008 namun semakin lama membesar dan meluas dan menyebar ke kaki dan ke punggung. Pasien mengeluhkan mati rasa atau terasa baal pada kaki dan tangannya. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran komposmentis, gizi baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi: 80x/menit reguler, pernapasan 20 kali per menit, suhu 36,5ºC. Pada status dermatologis ditemukan kelainan pada kulit yaitu pada regio ante brachii sinistra et dextra dan regio pedis sinistra et dextra terdapat makula hipopigmentasi berukuran numular sampai plakat, lesi multiple dan irregular. Pada regio dorsum pedis lateral dekstra terdapat ulkus jumlah 1, bentuk bulat tidak beraturan, tepi meninggi hiperpigmentasi, ukuran 2x2,5x0,3 cm, teraba hangat, nyeri tekan (+), dasar eritematous. Pasien diterapi dengan rifampisin 600 mg setiap bulan, diamino diphenyl Suffone (DDS) 100 mg setiap hari, Lamprene 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg sehari, asam mefenamat 500 mg jika perlu. Faktor resiko internal didapatkan sumber penularan yaitu pasien memiliki teman yang mempunyai penyakit yang sama yang telah didiagnosa kusta terlebih dahulu dan sering beraktivitas bersama sejak kecil (kontak lama dan erat). Pasien didiagnosa morbus hansen tipe multi basiler dengan ulkus pada regio dorsum pedis lateral dekstra, karena pada pasien bercak atau lesi kusta yang mati rasa berjumlah lebih dari lima. Kata kunci: lepra, mikrobakterium lepra, ulkus
A 35 Years Old Woman With Morbus Hansen and Ulcer on The Dorsum Pedis Lateral Dextra
Abstract Leprosy is a chronic infectious disease, caused by the bacillus Mycobacterium leprae, which cause skin lesions, loss of sensation, and nerve damage. This damage caused secondary impairments or deformities of the eyes, hands and feet. Currently leprosy remains a global health problem, especially in developing countries like Indonesia. A 35 years old female patient come to the Ahmad Yani hospital with complaints appear reddish spots on the skin of the patient's hand since 2008, but the longer the red spots widened and spread to the feet and body. Patients feels numbness on the feet and her hand. On physical examination found a general state is well, composmentis awareness, good nutrition, blood pressure 120/80 mmHg, pulse: 80x/min regular, respiratory 20 times per minute, temperature 36,5 ºC. In dermatological status was found abnormalities in the skin: In the region of the left brachii ante et dextra and regio pedis et sinistra dextra macular hypopigmentation are sized numular up placards, multiple lesions, and irreguller side. On the dorsum pedis lateral dextra region found a ulcer irregular round shape, hyperpigmentation, 2x2,5x0,3 cm size, feels warm, tenderness (+), erythematous base. Patients treated with rifampicin 600 mg every month, diamino diphenyl Suffone (DDS) 100 mg daily, 300 mg clofazimine every month, passed on 50 mg a day, mefenamic acid 500 mg pro renata. The risk of transmission source internal obtained in which patients have a friend who has the same disease that had been diagnosed with leprosy in advance and worked at the same place since childhood (long and close contacts). In patients found that two cardinal sign anesthetic skin lesions and thickening of peripheral nerves. Patients diagnosed with Morbus Hansen multibacillary type, because the patches or lesions of leprosy patients were numb amounted to more than five. Keywords : leprosy, mycobacterium leprae, ulcer. Korespondensi: Advisedly S.Ked., alamat Jl. Bumi Manti, Pondok Indah no 57, HP 085382476180, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Kusta adalah penyakit infeksi kronik, penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo-endothelial, mata, otot,
tulang, dan testis. Kusta telah ada sejak zaman dahulu dan terus menjadi endemik di beberapa negara berkembang.1 Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia mulai dari Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Jumlah penderita kusta di dunia pada J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|1
Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
tahun 1997 sebanyak 888.340 orang. Jumlah penderita kusta baru pada tahun 2007 adalah sekitar 296.499 orang. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat pada regional Asia Tenggara 201.635 orang, Afrika 42.814 orang, Amerika 41.780 orang, dan sisanya terdapat di regional lain di dunia. Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994 kasus. World Health Organization (WHO) juga melaporkan bahwa 17.441 kasus baru yang terdeteksi di Indonesia pada tahun 2008, yang menempatkan negara Indonesia sebagai insiden tertinggi ketiga kusta.2 Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakteriologis dan histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan yang paling sederhana. Untuk mendiagnosis penyakit kusta pada seseorang, paling sedikit diperlukan satu cardinal sign.3 Cardinal sign yaitu sekumpulan tanda-tanda utama untuk menegakkan diagnosis kusta: (1) lesi (kelainan) kulit yang mati rasa berupa hipopigmentasi atau eritematous. Mati rasa bisa total atau sebagian saja tehadap rasa raba, rasa suhu (panas/dingin) dan rasa sakit. (2) Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf berupa: sensoris (anestesi), motoris (parese/paralisis), otonom (kulit kering). (3) Dijumpai Bakteri Tahan Asam (BTA) pada hapusan jaringan kulit misalnya kerokan kulit pada cuping telinga atau biopsi kulit. Untuk menegakkan diagnosa pasti adalah ditemukan BTA (+) pada jaringan kulit. 4,5 Kusta merupakan penyakit yang ditakuti di masyarakat karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan oleh karena itu diagnosis dini dan tepat pengobatan sangat penting pada penyakit kusta agar tidak berdampak memperbesar resiko timbulnya cacat 6,7 Kasus Pasien datang dengan keluhan terdapat bercak kemerahan pada kulit tangan, sebagian kulit berwarna putih, dan semakin lama semakin melebar. Pada bagian bercak, pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri namun mengeluh terasa tebal dan kulit seperti ditarik-tarik. Pasien tidak berobat, namun semakin lama kulit yang berwarna kemerahan tersebut berubah menjadi putih. Pasien sering J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|2
mengangkat panci yang panas namun tidak terasa panas. Pasien sering mengeluhkan mati rasa atau terasa baal pada kaki kanannya. Setelah 2 tahun kemudian timbul bercak keputihan yang menebal pada paha kanan pasien dan semakin lama semakin menyebar ke tungkai bawah maupun kaki kiri sampai kedua tangan pasien. Sampai pada tahun 2008 yaitu tepatnya pada bulan april pasien berobat ke puskesmas Tegineneng dan terdiagnosa kusta, lalu segera menjalani pengobatan. Pasien mengaku tidak mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, diabetes, asma, alergi makanan ataupun penyakit kulit sebelumnya. Pasien mengaku jarang melakukan pemeriksakan kesehatan ke puskesmas terdekat maupun rumah sakit. Pasien hanya menjalani pengobatan alternatif seperti pijat dan meminum jamu. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anakanaknya. Tidak ada keluarga pasien yang mengalami sakit serupa namun terdapat seorang teman pasien yang mengalami sakit kusta, pasien mengaku sehari-hari melakukan kegiatan dan beraktivitas bersama temannya tersebut. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum (KU) tampak sakit ringan, kesadaran composmentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit (reguler, tegangan cukup), respirasi 20 x/menit. Suhu 36,5 0C (aksila), tinggi badan 155 cm dan berat badan 60 kg. Status generalis didapatkan kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, paru, jantung, abdomen dalam batas normal. Wajah bentuk facies leonine, garis muka menjadi kasar dan cekung. Status Dermatologis Regio
Inspeksi
Antebrachii dekstra dan sinistra.
Tampak makula hipopigmentasi berbatas tegas, lesi multiple ukuran nummular sampai plakat, dengan tepi ireguler permukaan agak kasar dan berkilat. Tampak ulkus jumlah 1, bentuk bulat tidak beraturan, tepi meninggi hiperpigmentasi, ukuran 2 x 2,5 x 0,3 cm, teraba hangat, nyeri tekan (+), dasar eritematous.
Dorsum pedis lateral dekstra
Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
Pedis sinistra
Tampak makula hipopigmentasi ukuran terbesar 10x2cm, ukuran terkecil 1x0,5 cm berbatas tegas, lesi multiple dengan tepi ireguler, permukaan agak kasar dan berkilat dan disekitarnya kulit tampak retak.
Pedis dekstra
Tampak makula hipopigmentasi ukuran terbesar 15x2cm, ukuran terkecil 0,5x0,4 cm berbatas tegas, lesi multiple dengan tepi ireguler, permukaan agak kasar dan berkilat dan disekitarnya kulit tampak retak.
Pemeriksaan penunjang pada pasien adalah pemeriksaan bakteriologis didapatkan hasil BTA Reitz Serum (+2) dan bentuk kuman (globus) : negatif. Pemeriksaan neurologi
Tangan
Nyeri tekan Kekuatan otot Rasa raba Lunglai
Saraf ulnaris : tidak Sedang Negatif Tidak
Kanan
Kaki Kiri
Kanan
Kiri
Saraf ulnaris : tidak Sedang Negatif Tidak
Saraf peroneus: tidak Sedang Negatif Tidak
Saraf peroneus: tidak Sedang Negatif Tidak
Penatalaksanaan pada pasien ini dibagi dua yaitu : 1. Umum • Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan berlangsung lama antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat dipuskesmas dan tidak boleh putus obat. • Memperbaiki gizi dan keadaan umum penderita. • Mengobati penyakit penyerta • Kompres terbuka pada ulkus menggunakan betadin + NaCl 0,9%. 2. Khusus : Rifampisin 600 mg/bulan, lamprene 300 mg/hari ditambahkan lamprene 50 mg/hari dan DDS 100 mg/hari, Asam mefenamat 3x500 mg, bila perlu. Pembahasan
Kusta adalah penyakit infeksi kronis, penyebabnya adalah basil Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μm, lebar 0,3 μm dan bersifat obligat intraselluler.8 Waktu pembelahan Mycobacterium leprae lambat, membutuhkan waktu 12 -13 hari dan mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40. Bakteri tumbuh baik pada temperatur 27-30oC (8186oF). 9 10 Gejala klinis morbus hansen tipe multi basiler adalah lesi kulit berupa makula, plakat, nodul dan papul yang meninggi. Jumlah lesi lebih dari lima, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, distribusi lebih simetris. Keadaan ini disertai kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologis positif (+), tipe multi basiler sangat mudah menular.11,12 Pada kasus ini status dermatologis yang didapatkan yaitu terdapat makula hipopigmentasi berbatas tegas, lesi multiple (jumlah lesi yang didapatkan pada pasien ini lebih dari lima) ukuran numular sampai plakat, dengan tepi ireguler permukaan agak kasar dan berkilat. Tes neurologis yaitu rasa nyeri, raba, dan panas didapatkan bahwa pasien tidak dapat merasakan adanya rangsangan sentuhan, dingin atau panas dan tidak terasa adanya nyeri, dari ketiga hal ini menunjukkan bahwa penyakit yang diderita pasien menyebabkan kerusakan saraf sensorik. Pada pemeriksaan BTA pada pasien ini ditemukan positif. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis kerja pada pasien ini adalah morbus hansen tipe multi basiler dengan ulkus pada regio dorsum pedis lateral dekstra. Diagnosis tersebut sudah tepat sesuai dengan klasifikasi klinis menurut WHO (1995) yaitu:
1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi, infiltrat, plak eritem, nodus)
PB MB (Pausi (Multi Bacillary) Bacillary) -1- 5 lesi ->5 lesi -Hipopigmen -Distribusi tasi/eritema lebih -Distribusi simetris tidak simetris -Hilangnya -Hilangnya sensasi sensasi yang kurang jelas jelas
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|3
Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
2. Kerusakan Hanya satu Banyak pada saraf cabang saraf cabang saraf (menyebabkan hilangnya sensasi atau kelemahan otot yang dipersyarafi oleh saraf yang terkena
Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu: a. Lesi kulit yang anestesi. Lesi kulit berupa makula, plakat, nodul atau papul dengan hilangnya rasa raba dan rasa sakit. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut. 13 b. Penebalan saraf perifer. 1.Tangan Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior jari kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari atau pergelangan tangan. 2.Kaki Gejala kerusakan N.Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. 3. Muka
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|4
Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. 4. Mata Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta dapat primer d an sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, jug a dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Facialis yang menyebabkan paralisis orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian– bagian mata lainnya. c. Ditemukannya M. Leprae. Pemeriksaan bakteriologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Pertama–tama harus ditentukan lesi di kulit dan menentukan jumlah tepat lesi yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4–6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. 14,15 Cara penularan penyakit ini melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. 16 Faktor resiko penularan yang ditemukan dari anmanesa pada kasus ini adalah kontak dengan teman pasien yang menderita sakit kusta, penularan bisa melalui saluran pernafasan maupun kontak kulit. Jenis ulkus yang dijumpai pada pasien kusta mempunyai karakteristik yang berbeda berdasarkan lokasi dan gambaran klinis. Ulkus pada pasien kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu berdasarkan ada atau tidaknya kerusakan saaraf yaitu nonneurophatic ulcers dan neurophaticulcers. non-neurophatic ulcers dijumpai pada pasien
Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
kusta tipe lepromatous yang sudah lanjut dan tidak mendapat pengobatan. Lokasi yang sering adalah wajah, siku, dari tangan termasuk disini eritema nodusum leprosum yaitu reaksi kusta yang merupakan gambaran dari reaksi kusta yang berat. Neurophaticulcers biasanya ditemukan pada daerah plantar dan ekstra plantar 17 18 Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan penderita. Reaksi dapat terjadi pada saat sebelum, saat, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah pengobatan. Reaksi kusta dapat dibagi menjadi 2 yaitu ENL (eritema nodusum leprosum) yaitu nodus eritema, nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai dan reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul reaksi baru yang relatif singkat. Klasifikasi reaksi: Reaksi tipe 1 Ringan Berat kulit Bercak: Bercak: merah, merah, tebal, tebal, panas, panas, nyeri. nyeri yang bertamb ah parah sampai pecah Saraf Nyeri Nyeri tepi perabaan perabaan (-), (+), gangGangguan guan fungsi (+) fungsi (-) KU
Demam (-) Gang- (-) guan organ lain
Demam (+/-) (-)
Reaksi tipe 2 Ringan Berat Nodul: Nodul: merah, merah, panas, panas, nyeri nyeri yang bertamba parah sampai pecah Nyeri perabaan (-), Gangguan fungsi (-) Demam (+/-) (-)
Nyeri perabaan (+), gangguan fungsi (+) Demam (+/-) (+) misal pada mata, sendi, testis, dll.
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat yaitu menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan berlangsung lama antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin kontrol dan tidak boleh putus obat. Pada pasien ini diberikan obat rifampisin 600 mg/bulan, lamprene 300 mg/hari. Untuk tujuan pengobatan, kusta diklasifikasikan sebagai Pausi Bacillary (PB) dan Multi Bacillary (MB). Pengobatan standar untuk kusta adalah terapi multidrug pada tipe PB pasien dirawat selama 6 bulan dengan dapson dan rifampisin sedangkan pasien kusta tipe MB dirawat selama 12 bulan dengan dapson, rifampisin dan clofazamine. 21,22 Regimen pengobatan multi drug therapy (MDT) dipergunakan di Indonesia, regimen ini berdasarkan rekomendasi WHO, yaitu : 23,24 a. Penderita Multi bacillary (MB) Minum di depan petugas • Rifampisin 600mg/bulan • DS 100mg/bulan • Clofazimine/ Lampre 300mg/bulan Minum di rumah • DDS 100 mg/hari • Clofaziamine 50 mg/ hari Jangka waktu pengobatan 12-18 bulan. b. Penderita Pausi bacillary (PB) 1). Penderita PB lesi 1 Diberi dosis tunggal ROM (rifampisin, ofloksasin dan minosiklin). Dewasa 50-70 kg : rifampisin 600 mg, ofloxacin 400 mg dan minosiklin 100 mg Anak 5-14 tahun : rifampisin 300 mg, ofloxacin 200 mg dan minosiklin 50 mg. Pemberian pengobatan hanya sekali saja dan penderita digolongkan dalam kelompok RFT (release from tretment). Dalam program kusta di Indonesia, regimen ROM ini tidak dipergunakan, penderita PB dengan 1 lesi diobati seperti pada PB dengan 2-5 lesi. 2). Penderita PB lesi 2-5 untuk dewasa yaitu: rifampisin 600 mg, dapson 100 mg (diminum hari pertama di depan petugas) dan dapson 100 mg (diminum di rumah hari ke 2-28). Lama pengobatan : 6-9 bulan. Penderita yang telah menyelesaikan regimen pengobatan disebut RFT (release from treatment). Setelah RFT, penderita tetap dilakukan pengamatan secara pasif J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|5
Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
yaitu tipe kusta PB selama 2 tahun dan tipe kusta MB selama 5 tahun. Penderita kusta yang telah melewati masa pengamatan setelah RFT disebut RFC (release from control) atau bebas dari pengamatan. Pencegahan cacat atau Prevention Of Disabillity (POD) adalah suatu usaha untuk memberikan tindakan pencegahan terhadap penderita agar terhindar dari risiko cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta. Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai terjadi kecacatan yang timbul atau bertambah setelah penderita terdaftar dalam pengobatan dan pengawasan. Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi baik oleh kuman maupun karena terjadinya peradangan saraf (neuritis) sewaktu terjadi reaksi kusta. 25 Simpulan Diagnosis dini sangat penting bagi pasien kusta sehingga tidak menimbulkan kecacatan. Timbulnya cacat tubuh pada penderita kusta dapat mempengaruhi kepribadian dan mengurangi rasa percaya diri pada penderita kusta. Hal ini akan tidak menguntungkan baik dalam proses pengobatan maupun penyembuhannya. Oleh karena itu diagnosis dini dan tepat pengobatan serta edukasi sangat penting pada pasien kusta.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Daftar Pustaka 1. Vick GL, Tillman EA, Fiala KH. Leprosy in a Texan. 28 april 2015; USA. Texas: Baylor Scott and White Health; 2015. 2. Lastoria JC, Abreu MAMM. Leprosy: review of the epidemiological, clinical, and etiopathogenic aspects Part 1. An Bras Dermatol. 2004;89(2):205–218. 3. Scollard DM, Joyce MP, Gillis TP. Development of leprosy and type 1 leprosy reactions after treatment with infliximab: a report of 2 cases. Clin Infect Dis. 2006;43(3):19-22. 4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. 5. Emmy S. Kusta. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pedoman Nasional J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|6
13.
14.
15.
16.
17.
Pengendalian Penyakit Penyakit Kusta. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Carlos LC. Development of Leprosy and Type 1 Leprosy Reactions after Treatment with Infliximab: A Report of 2 Cases. Clin Infect Dis. 2006;43(2):1922. Misra DP, Parida JR, Chowdhury AC, Pani KC, Kumari N, Krishnani N, et al. Case Report Lepra Reaction with Luci Phenomen on Mimicking Cutaneous Vasculitis. Hindawi Publishing Corporation Case Reports in Immunology. 2014; 1-4. Schurin PR. Determinants for the development and course of leprosy: Findings from a prospective cohort study [thesis]. Amsterdem: Ridderprint; 2009. Lastoria, Carlos J, Abreu MAMMD. Leprosy: review of the epidemiological, clinical, andetiopathogenic aspects – Part 1. An Bras Dermatol. 2014; 89(2):205-18. Misch EA, Berrington WR, Vary JR, Hawn TR. Leprosy and the human genome. Microbiol Mol Biol Rev; 74 (4):589-62. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan Ke-17. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. Siregar RS. Kusta. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Penyakit Kusta. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. The ILEP action group on teaching and learning materials. How to diagnose and treat leprosy, learnong guide one. The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP); 2002. Kampirapap K, Poonpracha T. Squamous cell carcinoma arising in chronic ulcers in leprosy. J med Assoc Thai. 2005;88:58-60. Srinivasan H, Desikan KV. Cauliflower growths in neuropathic plantar ulcers in
Advisedly | Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral
18.
19.
20.
21.
leprosy patients. J Bone Joint Surg Am. 1971;53(1):123-32. Srinivasan H. Management of ulcers in neuroligacally impaired feet in leprosy affected persons. Dalam: Schwarz R, Brandsma W, editors. Surgical reconstruction & rehabilitation in leprosy and other neuropathies. Katmandu. Nepal: Ekta Books Distributors Pvt Ltd; 2004. hlm.193-223. Idema WJ, Majer IM, Pahan D, Oskam L, Polinder S, Richardus JH. Costeffectiveness of a chemoprophylactic intervention with single dose rifampicin in contacts of new leprosy patients. PLoS Negl Trop Dis. 2010;4(11):e874. Schurin RP. Determinants for the development and course of leprosy: Findings from a prospective cohort study [thesis]. Amsterdam: Faculty of Medicine (AMC-UvA);2009. Bizuneh E, Brakel WHV, Declercq E, Feenstra P, Fine P, Ji B. Report of the International Leprosy Association Technical Forum: France 22-28 February
22.
23.
24.
25.
2002. Int J Lepr Other Mycobact Dis. 2002;70(1 Suppl):S1-62. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit Kusta. Dalam: Daili ESS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. Susanto T. Pengalaman Klien Dewasa Menjalani Perawatan Kusta di wilayah kerja Puskesmas Jenggawa Kabupaten Jember Jawa Timur Studi Fenomenologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Sarita S, Muhammed K, Najeeba R, Rajan GN, Anza K, Binitha MP, et al. A study on histological features of lepra reactions in patients attending the Dermatology Department of the Government Medical College, Calicut, Kerala, India. Lepr Rev. 2013;84(1):51– 64. Zulkifli. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang di Timbulkannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara; 2004.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|7