Damianus Journal of Medicine; Ulkus marjolin pada regio gluteal bilateral dan sakralis Vol.10 No.3 Oktober 2011: hlm. 187–193.
LAPORAN KASUS
ULKUS MARJOLIN PADA REGIO GLUTEAL BILATERAL DAN SAKRALIS Nataliana*, Ruth Irena Gunadi**, Iwan Irawan Karman***
ABSTRACT *
Jl. S. Riyadi Kompleks TSI Blok B/9 Teluk Betung, Bandar Lampung. **
Peserta Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440. ***
Departemen/SMF Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya/RS Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta 14440.
Introduction: Marjolin's Ulcer is defined as a secondary malignancy that arises within chronic wound, with Squamous Cell Carcinoma (SCC) leads. The mechanism is still poorly understood, but chronic irritation, infection and elevated protooncogen expression are believed to play a role. Case: A man, 62 years old, with a chronic wound on his sacral and bilateral gluteal region was diagnosed as Marjolin's Ulcer through biopsy examination, which revealed a well-differentiated SCC. Conclusion: The choices of treatment for Marjolin's Ulcer are variable. It is important for the society to be aware of the importance of early and thorough treatment for chronic wounds. Key words: marjolin's ulcer, squamous cell carcinoma, chronic wound
ABSTRAK Latar belakang: Ulkus marjolin adalah suatu proses malignansi sekunder yang terjadi pada luka kronis, dengan perubahan menjadi karsinoma sel skuamosa. Kasus: Laki-laki, 62 tahun, dengan luka kronik pada area sakral dan gluteal bilateral didiagnosis Ulkus Marjolin atas dasar hasil pemeriksaan histopatologis yang menunjukkan karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik. Kesimpulan: Pilihan terapi Ulkus Marjolin bervariasi. Penting adanya kesadaran akan perawatan luka yang optimal khususnya luka kronis. Kata kunci: ulkus Marjolin, karsinoma sel skuamosa, luka kronis
PENDAHULUAN Ulkus Marjolin adalah keganasan yang muncul pada tempat-tempat dengan luka kronis.1 Keganasan atau karsinoma sekunder yang paling sering muncul dari ulkus Marjolin adalah Karsinoma Sel Skuamosa (KSS), diikuti dengan Karsinoma Sel Basal. Jenis kelamin pria lebih sering terkena (meskipun wanita lebih sering mengalami luka kronis pada tungkai bawah) dengan rasio pria dan wanita 3:1, dan usia rata-rata 53-59 tahun. Untuk mengeksklusikan bahwa ulkus tersebut timbul dari karsinoma primer, diharuskan ada durasi minimum dari lesi/ulkus tersebut selama 1 bulan-3 tahun. Sebanyak 40% kasus Marjolin muncul di pelvis dan ekstremitas bawah, 30% pada kepala dan leher, 20% pada ekstremitas atas, dan 10% pada batang tubuh. Lokasi tubuh yang berlekuk atau yang sering melakukan
gerakan fleksi lebih rentan terkena ulkus Marjolin.2 Menurut Smith et al, ulkus kronis yang telah muncul untuk jangka panjang lebih prevalen ditemukan pada negara-negara berkembang yang kebanyakan pasien hanya datang ke dokter setelah mereka mengalami komplikasi seperti nyeri, perdarahan atau nekrosis jaringan.3 Mekanisme pasti daripada ulkus kronis yang mengembangkan keganasan masih belum diketahui. Berbagai penyebab termasuk iritasi kronis dan infeksi (yang mengakibatkan degenerasi dan regenerasi, co-carcinogen), penurunan vaskularisasi dan kelemahan epitelium, serta meningkatnya ekspresi proto-onkogen, telah dianggap sebagai hal yang membuat luka kronis rentan terhadap transformasi keganasan. Inflamasi, ulserasi, dan trauma yang berulang, terutama pada daerah-
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
187
DAMIANUS Journal of Medicine
daerah tubuh yang sering fleksi, telah dibuktikan bertahun-tahun bahwa menyediakan cukup banyak iritasi kronis untuk mendukung perubahan keganasan. Teoriteori mengenai penyebab dan mekanisme terjadinya ulkus Marjolin ada 9 menurut Nthumba, yaitu teori toksin, iritasi kronis, implantasi elemen epitelial traumatis, co-carcinogen, iritasi dan promosi, immunologi, herediter, sinar ultraviolet, dan teori interaksi genetik dengan lingkungan (Tabel 1).4 Ulkus Marjolin merupakan tumor epidermoid yang agresif, dan pencitraan hanya
perlu dilakukan pada kasus-kasus invasi yang dalam dicurigai.2 Pada pasien-pasien dengan ulkus Marjolin, terdapat peranan dari gen HLA-DR4 yang berkaitan dengan perkembangan kanker, selain itu terdapat abnormalitas dari gen p53 serta mutasi gen Fas dalam fungsi apoptosis yang menjadi predisposisi terjadinya degenerasi keganasan, sebagaimana diungkapkan dalam Teori Herediter. Gen p53 merupakan tumor suppressor gene yang terletak di kromosom 7 dan berfungsi untuk
Tabel 1. Berbagai Teori Patogenesis Ulkus Marjolin4
Theory
Proposed Mechanism
Toxin theory
Toxins released from damaged tissues later lead to cellular mutations.
Chronic irritation theory
Chronic irritation with repeated attempts at re-epithelialization contributes to neoplastic initiation.
Traumatic epithelial elements implantation theory
Epithelial elements implanted into the dermis, lead to a foreign body response reaction and a disordered regenerative process.
Co-carcinogen theory
Chemical or trauma such as burn injury acts to 'stir' preexisting but dormant neoplastic cells into proliferation.
Initiation and promotion theory
A two-step process that converts normal cells into malignant cells. In the initiation phase, normal cells become dormant neoplastic cells that may then be subsequently stimulated into neoplastic cells by a co-carcinogen such as infection, in the promotion phase. This theory overlaps with the co-carcinogen theory.
Immunologic privileged site theory
Burn scarring effectively obliterates lymphatics to injured area, preventing normal immunosurveillance and thus permitting neoplastic growth. These tumors initially grow slowly, but quickly overwhelm the immune system, metastasize and are rapidly fatal, once they break through the scar barrier.
Heredity theory
HLA DR4 is associated with cancer development and p53 gene abnormalities have been demonstrated in patients with Marjolin's ulcers. Further, Fas mutations in the apoptosis function region that predispose to malignant degeneration of scars have been demonstrated in burn scar Marjolin's ulcers.
Ultraviolet rays theory
Ultraviolet rays theory - UV rays cause a reduction in Langerhans cell population leading to a reduction in cutaneous immuno-surveillance against developing malignancy and also cause p53 tumor suppressor gene alterations.
Environmental and genetic interaction theory
Attempts to explain the occurrence of 'Acute' Marjolin's ulcers.
bakar.5 Sentinel lymph node biopsy memiliki 83% level of trust untuk membuktikan bahwa apabila sentinel node biopsy positif, berarti lesi sudah dalam tingkat
188
lanjut.6 Sistem TNM untuk staging/stadium mengandung 3
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Ulkus marjolin pada regio gluteal bilateral dan sakralis
melindungi sel dari kerusakan DNA permanen dengan cara memberi sinyal untuk proses apoptosis dari selsel mutan/pre-kanker. Hilangnya gen p53 berkaitan dengan peningkatan agresivitas sel dan menurunnya tingkat survival sel.11 Selain peranan gen, terdapat juga peranan sel Langerhans yang terdapat di lapisan epidermis kulit. Sel Langerhans berasal dari lapisan embriologik (tepatnya sel sumsum tulang) yang mempunyai fungsi khusus dalam imunitas kulit yaitu sebagai suatu cutaneous immuno-surveillance yang berperan melawan terjadinya keganasan. Sel ini mengenali, memfagosit, memproses, mempresentasikan antigen asing, dan melalui ekspresi antigen kelas II (MHC II), menginisiasi proses penolakan pada transplantasi kulit.4,10 Paparan sinar Ultra-Violet (UV) ternyata dapat menyebabkan penurunan jumlah populasi sel Langerhans. Selain itu sinar UV juga ikut berperan dalam menyebabkan perubahan pada tumor suppressor gene p53.4 Gambaran pencitraan esensial ulkus Marjolin adalah destruksi tulang, massa jaringan lunak, dan reaksi periosteal. Massa jaringan lunak secara umum terlihat irregular dan noduler; dengan destruksi lesi dan reaksi
periosteal pada tulang yang berdekatan. Radiografi foto polos tidak selalu dapat memperlihatkan perubahanperubahan ini. MRI, oleh karena kemampuan handalnya untuk memperlihatkan jaringan lunak dan multiplanar, lebih baik daripada CT scan untuk memperlihatkan massa jaringan lunak dan batas-batasnya, serta ekstensi destruksi tulangnya. Sebagai tambahan, MRI juga bagus untuk memperlihatkan penyebaran perineural sepanjang nervus yang berdekatan. Men-staging KSS mengikuti pengelompokkan stadium KSS klinis, yaitu dengan The American Joint Committee on Cancer (AJCC) TNM. Biopsi merupakan alat diagnostik definitif dan harus memeriksa spesimen dari pusat dan pinggir/tepi lesi. Punch biopsi sederhana biasanya sudah cukup untuk diagnosis.2 Secara histologis, paling sering ditemukan KSS dengan diferensiasi baik (well differentiated), meskipun agresif dan menyebar secara lokal dengan prognosis yang buruk. Karsinoma sel skuamosa yang muncul pada lesi kronis memiliki insidensi metastasis yang lebih tinggi (30%40%) dibandingkan dengan karsinoma yang muncul secara primer pada kulit yang normal (1%-10%). KSS yang muncul pada bagian atas ulkus lebih ganas daripada ulkus Marjolin pada jaringan parut atau luka
Tabel 2. Pengelompokkan TNM
x
T Tumor primer tidak dapat dinilai
N KGB berdekatan tidak dapat dinilai
0
Tidak terbukti adanya tumor primer
Tidak ada penyebaran pada KGB yang berdekatan.
Tidak ada penyebaran pada organ jauh
is
Karsinoma in situ (terbatas epidermis)
1
Tumor berukuran d” 2 cm dengan tidak ada atau satu gambaran resiko tinggi Tumor berukuran > 2 cm, atau ukuran apapun dengan e” 2 gambaran resiko tinggi
Menyebar pada 1 KGB berdekatan yang ipsilateral dengan tumor primer dan berukuran 3 cm 2a: Menyebar pada 1 KGB berdekatan yang ipsilateral dengan sisi tumor primer dan berukuran 4 - 6 cm 2b: Menyebar pada > 1 KGB berdekatan yang ipsilateral dengan sisi tumor primer dan berukuran < 6 cm 2c: Menyebar pada KGB berdekatan yang kontralateral dengan sisi tumor primer dan berukuran < 6 cm
Terdapat penyebaran pada organ jauh
3
Tumor menginvasi hingga tulang muka (seperti tulang rahang atau tulang di sekitar orbital)
Menyebar pada KGB manapun yang berukuran > 6 cm
4
Tumor menginvasi tulang lain bagian tubuh atau basis kranii.
2
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
M
189
DAMIANUS Journal of Medicine
kunci informasi utama: Sentinel lymph node biopsy memiliki 83% level of trust untuk membuktikan bahwa apabila sentinel node biopsy itu positif, berarti lesi tersebut sudah dalam tingkat lanjut.6 Sistem TNM untuk staging/stadium mengandung 3 kunci informasi utama, yakni (1) “T” untuk tumor (ukurannya, lokasi, dan sejauh mana tumor tersebut telah menyebar dalam kulit dan jaringan di sekitarnya); (2) “N” untuk penyebaran pada limfonodus (kelenjar getah bening) yang berdekatan (kumpulan sel-sel imun yang berukuran kecil seperti kacang tanah, kanker biasanya menyebar terlebih dahulu); dan (3) “M” untuk metastasis (penyebaran pada organ yang jauh) (lihat tabel 2). Gambaran risiko tinggi: gambaran-gambaran berikut hanya dipakai untuk membedakan antara tumor T1 dan T2, yakni (1) tumor lebih tebal dari 2 mm; (2) tumor telah menginvasi hingga bagian dalam dermis atau subcutis (Clark level IV atau V); (3) tumor telah menginvasi pada nervus-nervus kecil di dalam kulit (perineural invasion); (4) tumor mulai muncul pada telinga atau bibir yang mengandung rambut; dan (5) sel tumor terlihat sangat abnormal (poorly differentiated atau undifferentiated) saat ditinjau di bawah mikroskop. Tabel 3. Penentuan stadium KSS
Stadium
T
N
M
0
Tis
N0
M0
I
T1
N0
M0
II
T2
N0
M0
III
T3 T1-T3
N0 N1
M0 M0
IV
T1-T3 T apapun T4 T apapun
N2 N3 T4 N apapun N apapun
M0 M0 M0 M0 M1
Menurut Robbins dan Cotran, secara histologis sarang tumor ulkus Marjolin dikarakterisasi dengan adanya lapisan sel basalis dan stratum spinosum yang merupakan gambaran diagnostik untuk karsinoma sel skuamosa. Gambaran diagnostik yang lain adalah adanya mutiara tanduk/keratin, akumulasi konsentrik pada pusat sarang displastik dari sel-sel skuamosa.7 Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan. Pada semua luka, infeksi harus ditangani secara dini, drainase adekuat harus disediakan saat perlu, dan hasil
190
kultur perlu digunakan untuk memilih antibiotik mana yang tepat. Secara umum, ulkus yang rekuren harus dieksisi meskipun lesi tersebut tidak ganas, dan skin graft atau flap harus dipakai sebagai penutup/penyelimut yang memfasilitasi penyembuhan sesegera mungkin. Eksisi lokal yang luas, dengan tepi minimal 1cm jaringan sehat, harus dilakukan pada kasus-kasus ulkus Marjolin. Diseksi kelenjar getah bening regional diindikasikan ketika teraba. Terapi non-bedah, seperti terapi radiasi ionisasi pada karsinoma/tumor, juga cukup sering dilakukan. Hal ini berguna sebagai terapi paliatif dan rekuren. Follow-up jangka panjang direkomendasikan pada kasus-kasus ulkus Marjolin oleh karena kemungkinan rekurensi, metastasis, dan berbagai lesi lainnya. Kebanyakan rekurensi terjadi regional, namun metastases ke otak, paru-paru, hati, dan KGB yang jauh pernah dilaporkan.2 Indikasi terapi radiasi termasuk:7 (1) pasien dengan metastasis KGB reginal yang inoperable; (2) pasien dengan lesi stadium lanjut, dengan KGB (+) sel kanker setelah diseksi KGB regional; (3) pasien dengan tumor berdiameter >10 cm, dengan KGB (+) sel kanker setelah diseksi KGB regional: (4) pasien dengan lesi stadium lanjut, tumor berdiameter >10 cm dan KGB (-) sel kanker setelah diseksi KGB regional; dan (5) pasien dengan lesi pada kepala dan leher, dengan KGB (+) sel kanker setelah diseksi KGB regional. PRESENTASI KASUS Pada tanggal 19 Januari 2012, seorang pria keturunan Jawa, Tn.M, berusia 62 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit (RS) Atma Jaya dengan keluhan luka yang tidak kunjung sembuh di bokongnya. Pasien mengalami luka di bokong sekitar 9 bulan yang lalu karena terbentur tonjolan besi mikrolet. Awalnya luka hanya berukuran ± 1 cm dan riwayat perawatan luka tidak diketahui. Selama 9 bulan ini, ulkus di bokong bertambah besar dan nyeri apabila tersentuh atau tertekan. Selama ini terapi yang didapatkan hanya berupa analgesik dari rumah sakit tanpa perawatan maupun pemeriksaan lain. Terdapat keluhan lemas dan penurunan berat badan. Terdapat gangguan buang air besar sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan bentuk kecil-kecil, konsistensi keras dan jumlah sedikit. Tidak ada keluhan berkemih. Terdapat riwayat terpapar sinar matahari dalam waktu lama karena pekerjaannya. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal. Tidak ada riwayat luka serupa maupun keganasan dalam keluarga. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak kesakitan. Pasien memiliki tinggi badan 169 cm dan
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Ulkus marjolin pada regio gluteal bilateral dan sakralis
berat badan 44 kg sehingga Indeks Massa Tubuh (IMT)nya didapatkan hanya 15,4 dengan status gizi kurang. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Kedua konjungtiva didapatkan anemis dengan edema periorbital bilateral. Pemeriksaan paru dari anterior, abdomen dan genitalia tidak dapat dilakukan karena pasien menolak untuk berbaring miring atau pun telentang. Begitu pula pemeriksaan jantung tidak dapat dilakukan selain pemeriksaan auskultasi dari sebelah kiri pasien dengan hasil bunyi jantung I dan II tidak regular. Pemeriksaan paru dari belakang masih dapat dilakukan dengan hasil adanya retraksi intercostal pada inspeksi, namun hasil pemeriksaan palpasi, perkusi dan auskultasi dalam batas normal. Terdapat ulkus di region gluteal bilateral terutama dekstra dan region sakralis, berwarna kemerahan, tepi tidak rata dengan kulit di tepi anulkus berwarna hitam, permukaan noduler, produksipus (+), bau (+), konsistensi keras, nyeri sentuh (+), berukuran ± (22x18x2,5) cm (gambar 1.). Pada regio inguinalis bilateral teraba kelenjar getah bening, dekstra: teraba 3 KGB dengan ukuran ± (1,5x1,5x1,0)cm, sinistra: teraba 2 KGB dengan ukuran ± (1,0x1,0x1,0) cm; konsistensi keras, tidak nyeri, dan terfiksasi pada jaringan di bawahnya. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
Gambar 2. Foto thorax AP tegak tanggal 19 Januari 2012.
Gambar 3. Foto Rontgen Pelvis AP dan Lateral Tampak massa soft tissue regio posterior sacrum (lingkaran merah) dengan destruksi os.coccygeus dan os.sacrum distal (tanda panah) disertai osteoarthritis hip joint bilateral.
* *
Gambar 1. Kiridankanan: ulkus di regioglutea bilateral dan region sakralis.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan foto Rontgen thorax (gambar 2.) pada hari pasien masuk dengan interpretasi hasil yaitu terdapat kardiomegali dan tidak tampak coin lesion atau tanda-tanda yang mencurigakan metastasis; foto Rontgen pelvis (gambar 3.) dengan interpretasi hasil adalah tampak massa soft tissue regio posterior sacrum dengan destruksios. Coccygeus dan os.sacrum distal disertai osteoarthritis hip joint bilateral; CT scan pelvis dengan kontras (gambar 4.) dengan interpretasi hasil adalah tampak massa morfologi malignant infiltrative pada soft tissueregio sacrum posterior sampai otot gluteus medial dengan tanda-tanda infiltrasi yang mencapai dinding posterior rectum dan perirectal fat, tampak destruksi os.sacrum pertengahan terutama sisi kanan, sampai os.sacrum distal dan os.coccygeus, disertai tampak ascites ringan.
Gambar 4. CT Scan pelvis dengan kontras potongan transversal. Tampak massa morfologi malignant infiltrative pada soft tissue regio sacrum posterior sampai otot gluteus medial (tanda bintang) dengan tanda-tanda infiltrasi yang mencapai dinding posterior rektum dan perirectal fat (lingkaran hitam kanan bawah). Tampak destruksi os.sacrum pertengahan terutama sisi kanan, sampai sacrum distal dan os.coccygeus (tanda panah kiri atas).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan anemia derajat III menurut WHO, hipoalbuminemia, hiponatremia, dan hipokalemia. Pasien diterapi dengan transfusi 2 kantong packed red cells (PRC) dan albumin 20%. Gangguan elektrolit diterapi dengan pemberian cairan Ringer Lactate, NaCl 0,9% dan KCl. Pada
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
191
DAMIANUS Journal of Medicine
hari ke-2, pasien dilakukan kultur resistensi pus yang sediaannya diambil dari ulkus gluteal pasien. Hasil kultur tersebut adalah Pseudomonas aeruginosa. Perawatan awal luka yang dilakukan adalah modern dressing kemudian luka ditutup dengan Cutimed Sorbact dan kassa. Selain itu pasien diberikan medikasi berupa ceftriaxone 1 gram intravena sebanyak 2 kali dalam sehari serta Ketorolac 30 mg intravena. Selama perawatan pasien selalu memiliki tanda-tanda vital yang baik dengan keluhann yeri pada gluteal yang makin berkurang dari hari ke hari. Untuk analgesik pasien, pasien mendapat ketorolac 30 mg secara intravena sebanyak 3 kali sehari selama 6 hari, hingga pada hari ke-6 pasien mengeluh nyeri tidak berkurang namun justru bertambah meskipun sudah diberikan analgesik. Padahari ke-6, pasien diberi Morfin sulfat 10 mg secara intravena sebanyak 2 kali sehari untuk menggantikan Ketorolac. Untuk mengurangi efek samping Morfin berupa konstipasi, maka pasien juga diberi Lactulax 15cc secara enteral per hari. Selain itu pada hari pertama dan kedua perawatan, pasien mengalami inkontinensi aurin yang terus menerus dan pasien mengaku tidak dapat merasakan keinginan untuk berkemih ataupun buang air besar, sehingga pada hari ke-3, pasien dipasang katheter urin No.18. Pasien juga diberikan asup-an nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein. Diagnosa kerja pasien sebelum dilakukan biopsi adalah ulkus kronis dengan suspek ulkus Marjolin dengan karsinoma sel skuamosa (karsinoma sekunder) pada regio gluteal bilateral terutama dekstra dan region sakralis; Anemia grade III et causa penyakit kronis; Hipoalbuminemia et causa penyakit kronis. DISKUSI Diagnosis ulkus Marjolin baru dapat ditegakkan setelah hasil biopsi telah didapatkan. Oleh karena itu, pada hari ke-2 perawatan pasien di bangsal, dilakukan biopsi jaringan lesi gluteal pasien untuk diperiksa histopatologinya. Hasil interpretasi dokter ahli histopatologi untuk hasil biopsi jaringan pasien adalah dua fragmen jaringan dengan di dalamnya sarang tumor ganas. Selpo lymorf dan berbentuk poligonali anti polymorph dengan satu nukleolus. Sitoplasmaesinofil antara sel tampak tonofibril. Di satu tempat ditemui mutiara tanduk. Banyak ditemui single cell keratinization. Pada gambar 5 dapat dilihat specimen biopsy jaringan lesi dalam pewarnaan Hematoxylin dan Eosin (HE). Panel A menunjukkan perubahan bentuk sel skuamosa pada epidermis menjadi sel anaplastik dan merupakan sarang tumor ganas. Panel B menunjukkan kumpulan sel mutiara tanduk
192
yang mengelilingi eosinofil, dan banyak single cell keratinization yang menunjukkan bahwa diferensiasinya masih baik. Panel C menunjukkan antara sel satu sama lain tampak tonofibril, yang juga menandakan bahwa lesi masih berdiferensiasi baik. Panel D menunjukkan adanya sel yang sedang bermitosis, namun tidak multipel. Kesimpulan dari hasil pemeriksaan patologi anatomi adalah karsinomaskuamosa berdiferensiasi baik, oleh karena masih terindentifikasi sel-sel mutiara tanduk di satu tempat spesimen jaringan biopsi dan sel-sel tanduk masih dapat ditemui dengan sifatnya yang menyerap zat pewarna (HE).
A
B
C
D
Gambar 5. Spesimen biopsi jaringan lesi (Hematoxylin dan Eosin)
Pada pemeriksaan histopatologi pasien, ditemukan hasil KSS berdiferensiasi baik pada pasien ini. Secara klinis dan staging klinis, pasien ini termasuk dalam kanker stadium IV (T4,N2C,M0) dan memiliki sifat keganasan yang tinggi, mencerminkan KSS yang berdiferensiasi buruk (apabila berlaku sebagai karsinoma primer), namun secara histopatologis, KSS yang ditemukan berdiferensiasi baik. Hal ini lebih mendukung ke arah ulkus Marjolin apabila KSS berlaku sebagai karsinoma sekunder, secara histopatologi sering ditemukan diferensiasinya masih baik, dengan gambaran khas keganasan yaitu adanya sel-sel mitotik, yang juga ditemukan pada pasien ini. Sampai saat ini belum ditemukan makna prognostik untuk klasifikasi histopatologis ulkus Marjolin secara spesifik, sehingga penentuan prognostik pasien masih berdasar staging klinis pasien. Diagnosia akhir yang ditegakkan dengan hasil patologi anatomi adalah ulkus Marjolin dengan karsinoma sel skuamosa (karsinoma sekunder) stadium IV di regio gluteal bilateral dan sakralis.
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Ulkus marjolin pada regio gluteal bilateral dan sakralis
Diagnosa ulkus Marjolin dengan KSS sendiri sudah memberi sedikit gambaran mengenai rencana terapi pada pasien ini, yaitu lebih ke arah paliatif dan supportive care untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, mengingat bahwa prognosis dan survival rate-nya ulkus Marjolin buruk. Ditambah dengan stadium KSS pasien ini, yaitu stadium IV, dengan ekstensi luas pada regio sakral dan gluteal bilateral, infiltrasi tumor hingga destruksi os.coccygeus dan sacrum distal, serta penyebaran pada kelenjar getah bening regional (inguinal bilateral) penulis berpikir tindakan pembedahan yang memiliki tingkat kesembuhan tertinggi (Pembedahan Mohs, eksisi sederhana, cryosurgery) tidak akan mampu menghilangkan penyebaran tumor ini secara total, tetapi usaha tersebut akan berakhir sia-sia (membuang waktu, tenaga, uang, dan mengurangi kualitas hidup pasien). Skin grafting dengan split-thickness skin graft akan berguna apabila infiltrasi lesi tidak sedalam pada pasien ini, juga apabila pasien tidak mendapat KSS sekunder dari ulkus awalnya, ulkus primernya mungkin dapat ditangani dengan skin grafting, sebab kondisi lesi pasien yang mudah berdarah, infeksius, dan adanya tumor KSS mempersulit penyembuhan dengan skin grafting dan akan membuat komplikasi-komplikasi yang tidak perlu. Pilihan terakhir jatuh pada terapi radiasi, yang cukup cocok dengan sifat KSS yang radiosensitif. Untuk mengetahui dengan lebih pasti jumlah dosis radiasi, jumlah fraksi, dan durasi terapi radiasi pasien, pasien perlu mendapat konsultasi ahli onkologi. Dapat dipertimbangkan untuk menambah cetuximab, yang meningkatkan efek sitotoksik dari radioterapi pada KSS. Secara suportif pasien harus diterapi secara simtomatis dan klinis yang kita temui, anemia dan hipoalbuminemia diperbaiki dengan transfusi dan pemberian albumin, disertai asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein. Untuk analgesia pasien, disesuaikan dengan tingkat nyeri pasien (dapat dibantu dengan Visual Analogue Scale) beragam dari ketorolac, pethidine, hingga morfin dengan memperhatikan dan menangani efek samping obat-obatan tersebut. Penulis menganjurkan luka pasien dirawat secara topikal dengan Metronidazole dan Zinc, untuk mempertahankan efeknya yang baik untuk antiseptik, mengeringkan luka dan mempercepat epithelisasi, ditambah antibiotik sistemik yang broad spectrum (fokus pada bakteri gram negatif), yakni ceftriaxone. Mempertimbangkan semua rencana tatalaksana tersebut, Rumah Sakit Atma Jaya belum memiliki modalitas dan kapasitas untuk menjalani terapi yang dibutuhkan pa-sien. Pasien kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Kanker Nasional Dharmais yang memiliki sarana dan sumber daya untuk menanganinya.
DAFTAR PUSTAKA 1.
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/ webcontent/003139-pdf.pdf [terhubungberkala] American Cancer Society. Basal and Squamous Cell Skin Cancer Detailed Guide. 2011. Akses 21 Februari 2012.
2.
Mohamed SI, Abdullah BJJ, et al. A Case Report : CT appearances of Marjolin's ulcer in the left gluteal region of a young man. Biomedical Imaging and Intervention Journal 2006; 2(3):e2.
3.
Smith J, Mello LF, NogueiraNeto NC, et al. Malignancy in chronic ulcers and scars of the leg (Marjolin's ulcer): a study of 21 patients. Skeletal Radiology. 2001;30(6):331-7.
4.
Nthumba PM. Marjolin's ulcers: theories, prognostic factors and their peculiarities in spina bifida patients. World Journal of Surgical Oncology. 2010; 8:108.
5.
Habif TP. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. St Louis, MO: Mosby Inc; 2004.
6.
Eastman AL, Erdman WA, Lindberg GM, Hunt JL, Purdue GF, Fleming JB. Sentinel lymph node biopsy identifies occult nodal metastases in patients with Marjolin's ulcer. J Burn Care Rehabil. 2004; 25(3): 241-5.
7.
Cotran RS, Kumar V, Robbins SL: Robbins Pathologic Basis of Disease. 5th ed. Philadelphia, W.B. Saunders; 2004.
8.
Ozek C, Cankayal R, Bilkay U, Cagdas A. Marjolin's ulcers arising in burn scars. J Burn Care Rehabil. 2001;22:384-9.
9.
Bonner JA, Paul MH, Jordi G, Nozar A, Dong MS, Roger B, et al. Radiotherapy Plus Cetuximab for SquamousCell Carcinoma of the Head and Neck. N Engl J Med. 2006;354:567-78.
10. Sterling JP, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the Burn Wound. In: Souba WW, ed. ACS Surgery: Principles and Practice. 6th ed. New York: WebMD Professional Publishing; 2010. 11. Guenther N, Menenakos C. Squamous Cell Carcinoma Arising on a Skin Graft 64 years after Primary Injury. Dermatology Online Journal. 2007; 13(2):27.
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
193