MDVI
Vol. 40 No.1 Tahun 2013: 16-20
Laporan Kasus
MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE LEPROMATOUS PADA ANAK DENGAN REAKSI REVERSAL Yenny A. Hadinata, IGK Darmada, IGAA Dwi Karmila Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah, Denpasar ABSTRAK Morbus hansen (MH) atau kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang dapat mengenai semua usia. Anak-anak, terutama kelompok usia 5-14 tahun lebih rentan terkena infeksi ini. Gambaran klinis penyakit MH pada anak mirip dengan orang dewasa. Reaksi kusta merupakan inflamasi akut yang timbul tiba-tiba pada pasien yang menderita infeksi MH, terutama terjadi selama atau sesudah pengobatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas, tetapi beberapa faktor pencetus disebutkan dapat memicu terjadinya reaksi MH. Walaupun reaksi MH umum terjadi, tetapi anak-anak dikatakan jarang mengalami reaksi ini. Dilaporkan satu kasus anak perempuan usia 11 tahun yang mengeluh bercak merah di wajah dan tubuh sejak 1 tahun sebelumnya. Sumber penularan diduga ibu pasien yang tinggal serumah dengan riwayat penyakit MH tipe multibasiler sekitar 6 tahun yang lalu. Diagnosis MH tipe borderline lepromatous (BL) pada pasien dibuat berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan indeks bakteriologi dan histopatologi. Pasien mengalami reaksi kusta reversal reaction setelah tiga bulan mendapatkan multidrug therapy tipe multibasiler (MDT-MB). Pada pemeriksaan didapatkan bercak kusta menjadi merah dan tebal tanpa keluhan sistemik. Prognosis pasien baik karena respons pengobatan yang baik. (MDVI 2013; 40/1:16-20) Kata kunci: morbus hansen, anak, reaksi reversal
ABSTRACT Morbus hansen (MH) or leprosy is a chronic infectious disease which could occur in all age groups. 514 years old children are susceptible to this infection. Clinical manifestations in children are not so different with adult. Leprosy reaction is acute inflammation occur suddenly in leprosy patient, especially during or after therapy. The cause is still uncertain, but there are several factors which could induce this reaction. Although commonly occur, children are rarely for the leprosy reaction. Herein we describe the case of 11-year-old girl complained red patch on her face and body since 1 year ago. Her mother who live together with the patient was multibacillary leprosy about 6 years ago. The patient was diagnosed borderline lepromatous (BL) based on clinical features, bacteriological index (BI) and histopathology examination. She developed reversal reaction, 3 months following multibacillary multidrug therapy (MB-MDT). Clinically, there were red-colour and thickening on her previous leprosy patch without any systemic symptoms. The prognosis in this patient is good regarding favourable response to treatments. (MDVI 2013; 40/1:16-20) Key words: morbus hansen, children, reversal reaction
Korespondensi: Jl. Diponegoro, Denpasar Bali Telp/Fax. 0361-257 517, 0361- 239 993 Email:
[email protected]
16
YA Hadinata dkk.
PENDAHULUAN Morbus Hansen (MH) atau kusta adalah infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama mengenai saraf tepi dan kulit, serta kadang-kadang terdapat pada beberapa jaringan lain, misalnya mata, mukosa saluran pernafasan atas, otot, tulang, dan testis.1 Diagnosis MH didasarkan pada 4 tanda kardinal berupa anestesia, penebalan saraf di lokasi predileksi, lesi kulit, dan terdapat basil tahan asam (BTA) pada sediaan apusan kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan minimal 2 dari 3 tanda kardinal pertama atau tanda kardinal yang keempat.1,2 Kusta dapat ditemukan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan jumlah kasus baru di seluruh dunia pada tahun 2010 sebesar 228.474 kasus, paling banyak di kawasan Asia Tenggara sebanyak 156.254 kasus, diikuti oleh Amerika 37.740 kasus dan Afrika 25.345 kasus. Di Indonesia kasus baru MH menunjukkan angka yang cukup besar yaitu sebesar 17.012 pada tahun yang sama.3 Anak-anak lebih rentan terkena infeksi kusta terutama pada usia 5-14 tahun.4 Penelitian yang dilakukan oleh Sachdeva dkk.2 pada tahun 2010 menemukan bahwa kasus MH anak di India sebanyak 5,1% dari seluruh pasien MH.5 Proporsi kejadian MH baru pada anak-anak di Indonesia sebesar 10% pada tahun 2000 dan menetap hingga tahun 2010,6 sedangkan kejadian MH pada anak dengan usia kurang dari 15 tahun di RSUP Sanglah Denpasar dalam kurun waktu tahun 2007-2011 didapatkan sebesar 12 pasien (7,06 %) dari 170 pasien MH baru.7 Gambaran klinis MH pada anak mirip dengan orang dewasa. Reaksi kusta adalah munculnya satu episode akut dalam perjalanan penyakit kusta. Reaksi ini terbagi menjadi 3 tipe yaitu reaksi tipe 1 (reversal), tipe 2 (eritema nodosum leprosum), dan tipe 3 (fenomena Lucio).8 Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal adalah salah satu tipe reaksi MH yang ditandai dengan lesi kulit MH yang membengkak dan edema. Kejadian reaksi dan deformitas juga dapat terjadi pada anak-anak, meskipun jarang. Temuan dini dan pengobatan yang tepat merupakan cara terbaik dalam mencegah kecacatan pasien MH.4 Berikut dilaporkan satu kasus MH tipe BL pada seorang anak perempuan disertai reaksi reversal. Kasus ini dilaporkan karena kasus MH jarang mengenai anak dan pentingnya mendiagnosis dini reaksi reversal untuk menghindari risiko kecacatan pada pasien MH.
KASUS Seorang anak perempuan, 11 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar diantar ayahnya pada tanggal 1 Maret 2012 dengan keluhan utama bercak kemerahan yang menebal di wajah dan beberapa bagian tubuh lainnya. Pasien sudah mengalami keluhan bercak kemerahan yang menebal ini selama 3 hari yang lalu. Keluhan ini
Morbus Hansen tipe BL pada anak dengan reaksi reversal
disertai dengan rasa panas pada perabaan dan kesemutan pada kedua tangan. Jari tangan dan kaki masih dapat digerakkan seperti biasa, rasa kaku pada jari-jari disangkal. Keluhan timbul bercak kulit baru disangkal oleh pasien. Rasa gatal pada bercak disangkal oleh pasien. Riwayat demam disangkal oleh pasien. Pasien mengaku sedang sibuk mempersiapkan ujian sejak seminggu yang lalu. Sebelumnya pasien didiagnosis dengan Morbus Hansen tipe borderline lepromatous sejak 3 bulan yang lalu. Pada saat itu didapatkan hasil pemeriksaan bakteriologis dengan indeks bakteriologi (IB) +4 dan indeks morofologi 2% (gambar 1). Kemudian hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya melanosis di lapisan basal, pada bagian sub epidermal tampak grenz zone. Pada dermis bagian atas tampak struktur granuloma yang terdiri atas selsel limfosit dan sel-sel epiteloid serta gambaran Virchow cell di antaranya dan tampak pula invasi perineural. Dapat disimpulkan bahwa gambaran biopsi kulit sesuai dengan MH tipe BL (gambar 2). Hingga saat ini pasien sudah mendapatkan 3 paket multidrug therapy (MDT) multibasiler untuk anak, vitamin B1, B6, B12 1 x 1 tablet setiap hari. Pasien adalah anak kedua, kakak pasien tidak ada kelainan seperti pasien. Pasien belum pernah mendapatkan vaksin BCG sebelumnya. Riwayat alergi pada pasien maupun keluarga disangkal oleh ayahnya. Riwayat bercak mati rasa didapatkan pada ibu pasien 6 tahun yang lalu dan sudah mendapatkan pengobatan kusta selama 12 bulan. Saat ini tidak didapatkan adanya bercak yang baru pada ibu pasien. Pada pemeriksaan fisik tampak kesadaran kompos mentis dan keadaan umum baik, berat badan 38 kg. Pemeriksaan tanda vital dan status generalis pasien dalam batas normal. Status dermatologis dengan lokasi pada pipi, telinga, paha, lengan, dan pantat didapatkan plak eritematosa, multipel, bentuk oval, ukuran 1 cm x 2 cm10 cm x 15 cm, batas tegas (gambar 3-5). Pembesaran saraf tidak didapatkan pada pasien. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi MH menunjukkan penurunan rasa raba, nyeri, dan suhu pada bercak kemerahan di lengan dan wajah. Pemeriksaan voluntary muscle test (VMT) dalam batas normal. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal dalam batas normal. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis Morbus Hansen tipe borderline lepromatous + reaksi reversal ringan. Penatalaksanaan pada pasien adalah MDT multibasiler untuk anak, vitamin B1, B6, B12, 1 x 1 tablet setiap hari, parasetamol tablet 3 x 500 mg jika perlu, kontrol 2 minggu lagi. Pada pengamatan lanjutan 2 minggu setelahnya, didapatkan keluhan bercak kemerahan pada pasien sudah menghitam dan lebih tipis (Gambar 6-8). Keluhan rasa panas dan kesemutan sudah tidak ada. Penatalaksaan multidrug therapy (MDT) multibasiler dilanjutkan dengan disertai pemberian vitamin B1, B6, B12 1 x 1 tablet setiap hari, serta anjuran kontrol setiap bulan.
17
MDVI
Vol. 40 No.1 Tahun 2013: 16-20
Gambar 1. Pemeriksaan BTA.
Gambar 2. Gambaran histopatologi.
Gambar 3. Lesi pada pantat saat reaksi reversal.
Gambar 4. Lesi pada paha kiri saat reaksi reversal.
Gambar 5. Lesi pada telinga kiri saat reaksi reversal.
Gambar 6. Lesi kemerahan pada pantat sudah menipis.
Gambar 7. Lesi kemerahan pada paha kiri sudah menipis.
Gambar 8. Lesi kemerahan pada telinga kiri sudah menipis.
DISKUSI Penyakit MH dapat mengenai setiap individu dalam berbagai kelompok usia. Kejadian MH pada anak dapat menjadi indikator prevalensi penyakit di populasi umum dan membantu menentukan transmisi penyakit.9 Anak-anak lebih rentan terkena penyakit MH karena
18
sistem imunitasnya yang belum berkembang sempurna. Usia awitan penyakit ini pada anak-anak biasanya antara 5 hingga 14 tahun dengan prevalensi yang sama pada laki-laki maupun perempuan.4 Pada penelitian yang dilakukan Sachdeva dkk di India pada tahun 1999-2009 didapatkan usia yang paling sering terinfeksi MH adalah 11-15 tahun.10 Mayoritas usia ini disebabkan karena adanya masa inkubasi MH yang panjang.9 Kulit dan traktus respiratorius atas sampai saat ini diyakini sebagai dua jalur masuk bakteri M. leprae ke dalam pejamu. Kontak serumah dengan pasien MH memberikan risiko yang secara signifikan lebih besar daripada mereka yang tidak tinggal serumah.8 Suatu penelitian menyebutkan bahwa risiko seseorang untuk terkena MH meningkat 4 kali lebih besar jika ada kontak dengan pasien MH di lingkungan sekitarnya, risiko menjadi 9 kali lebih besar pada kontak serumah, dan makin meningkat jika kontak adalah pasien MH tipe multibasiler.11 Pada penelitian yang dilakukan oleh Sales dkk. disebutkan bahwa pasien MH dengan IB lebih dari 3 berkemungkinan 8 kali lebih besar untuk menularkan penyakit MH pada kontaknya dibandingkan dengan pasien pausibasiler.12 Pada anak-anak, sumber infeksi MH biasanya berasal dari pasien MH multibasilar yang tidak diobati dalam keluarga atau masyarakat.13 Dalam penelitian retrospektif yang dilakukan di India didapatkan lebih dari sepertiga kasus MH anak (35%) memiliki kontak serumah dengan pasien MH.5 Pada kasus didapatkan riwayat penyakit MH pada ibu kandung 6 tahun sebelumnya dan telah mendapatkan pengobatan selama 1 tahun. Penyakit MH pada pasien kemungkinan besar ditularkan dari ibu yang tinggal serumah dengan pasien. Untuk menghindari penularan infeksi MH, terutama pada anak-anak dapat dilakukan pencegahan dengan pemberian dapson pada individu dengan kategori risiko tinggi. Beberapa peneliti juga menyampaikan penggunaan rifampisin dosis tunggal untuk profilaksis dengan dosis 450 mg untuk anak berusia di atas 9 tahun dan 300 mg untuk usia 5-9 tahun.10 Tindakan profilaksis ini tidak pernah dilakukan pada pasien sehingga mempermudah adanya penularan infeksi MH dari ibu pasien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sahoo dkk. didapatkan sebanyak 93,33% kasus MH pada anak di bawah usia 15 tahun merupakan tipe pausibasiler.13 Pada penelitian yang dilakukan di Brazil disimpulkan bahwa vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) berpengaruh secara signifikan pada insiden MH akibat kontak. Dalam penelitian tersebut, 89% kasus MH anak yang telah divaksinasi BCG menunjukkan bentuk pausibasiler. Hal ini menunjukkan efek perlindungan vaksin BCG terhadap kejadian MH tipe multibasiler.12 Pada kasus tidak didapatkan adanya riwayat pemberian vaksin BCG. Hal ini kemungkinan berperan pada terjadinya MH tipe BL pada pasien. Penyakit MH pada anak biasanya berupa lesi hipoestesi atau asimtomatik, sedangkan manifestasi syaraf jarang dikeluhkan pasien. Gambaran MH tipe BL pada anak
YA Hadinata dkk.
mirip dengan orang dewasa, tetapi lesi terutama berupa makula dibandingkan plak infiltrat.4 Distribusi lesi MH tipe BL pada tubuh tidak simetris. Lesi berjumlah banyak tetapi masih didapatkan area kulit normal di antara lesi. Lesi yang satu dan lainnya menunjukkan ukuran dan bentuk yang berbeda.1 Pemeriksaan BTA biasanya memberikan hasil +4 atau +5.8,13 Pada kasus, diagnosis MH tipe BL ditegakkan berdasarkan adanya lesi kulit disertai dengan penurunan sensibilitas pada lesi tersebut dan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan sediaan hapusan kulit didapatkan BTA dengan IB +4 dan IM 2%. Selain itu didapatkan adanya grenz zone pada epidermis, struktur granuloma yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel epiteloid serta gambaran Virchow cell pada dermis yang mendukung diagnosis ini. Pemeriksaan histopatologik MH tipe BL menunjukkan kumpulan sel-sel makrofag, dengan sitoplasma berbentuk foamy seperti pada tipe LL. Selain itu juga dapat terlihat grenz zone dan mudah ditemukan basil.14 Gambaran lain berupa infiltrat limfosit yang terdapat di perineurium.2 Pada kasus didapatkan gambaran sesuai dengan MH tipe BL. Pengobatan MH tipe BL pada kasus dilakukan sesuai dengan pedoman WHO yaitu berupa pemberian regimen MDT MB anak yang sudah dikemas dalam bentuk paket bulanan selama 12 bulan. Regimen ini meliputi rifampisin 450 mg per bulan, dapson 50 mg setiap hari, dan klofazimin 150 mg per bulan yang dilanjutkan dengan pemberian 50 mg setiap 2 hari.15 Reaksi MH merupakan tanda dan gejala inflamasi akut yang cukup sering terjadi pada pasien MH. Reaksi ini juga bisa terjadi pada anak, meskipun jarang.4 Reaksi MH terbagi menjadi 3 macam, yaitu reaksi tipe 1, tipe 2 (eritema nodosum leprosum), dan tipe 3 (fenomena Lucio).16 Pada penelitian retrospektif di India pada tahun 2000-2009 didapatkan kejadian reaksi tipe 1 hanya pada 3 anak dari 219 kasus MH anak dan tidak didapatkan reaksi tipe 2.5 Reaksi tipe 1 terjadi akibat hipersensitivitas selular, terjadi pada pasien MH tipe borderline (BT, BB, dan BL) yang status imunologisnya tidak stabil diikuti dengan pergeseran spektrum. Reaksi tipe ini dapat terjadi secara spontan, tetapi lebih sering terjadi mengikuti pengurangan jumlah basil karena pengobatan.1,16,17 Beberapa faktor pencetus diperkirakan berperan penting pada kejadian reaksi kusta, yaitu kondisi stres fisik, stres mental, atau penggunaan obat lain yang meningkatkan kekebalan tubuh. Reaksi tipe 1 dibagi menjadi reaksi reversal/upgrading dan downgrading. Reaksi reversal menggambarkan peningkatan imunitas dan perubahan ke arah kutub tuberkuloid.4 Pada reaksi tipe ini akan tampak lesi kulit yang lama menjadi lebih merah, tebal, mengkilap, dan tegang, jarang didapatkan adanya lesi baru.16 Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema dan eritema pada lesi kulit. Reaksi reversal dapat bertahan hingga beberapa bulan atau tahun dan dapat kambuh.8
Morbus Hansen tipe BL pada anak dengan reaksi reversal
Reaksi reversal terjadi karena peningkatan hipersensitivitas seluler yang tiba-tiba, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan transformasi limfosit.17 Hipotesis terbaru menyatakan bahwa reaksi ini diakibatkan oleh respons autoimun terhadap heat shock protein (hsp). Pada Mycobacterium leprae, keempat antigen protein mayor (70 kD, 65 kD, 18 kD dan 10 kD) telah diidentifikasi sebagai anggota dari famili hsp.8 Inflamasi jaringan saraf pada reaksi reversal sering terjadi dan dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan dalam hitungan hari. Perlu penanganan yang cepat dan tepat pada pasien yang mengalami reaksi ini. Penanganan reaksi reversal bergantung pada keparahan reaksi yang terjadi, apakah reaksi yang terjadi tergolong reaksi ringan atau parah.1 Pada kondisi yang parah dapat timbul lesi baru, nyeri dan gangguan fungsi saraf, juga disertai dengan gejala sistemik, misalnya demam, malaise, dan kolaps.16 Kasus ini mengeluh mengenai bercak-bercak di kulitnya menjadi lebih merah dan tebal, disertai rasa kesemutan pada kedua tangan. Tetapi keluhan ini tidak disertai dengan nyeri, demam, dan gangguan pergerakan. Reaksi MH yang terjadi pada pasien termasuk reaksi reversal yang ringan. Penanganan reaksi reversal yang ringan dapat dilakukan secara rawat jalan, pemberian terapi simtomatis berupa analgetik atau antipiretik, obat penenang bila perlu, terapi MDT tetap dilanjutkan, dan diberikan edukasi untuk menghilangkan faktor pencetus.16 Reaksi pada kasus ini diduga akibat stres pada pasien yang sedang mempersiapkan ujian akhir nasional. Pasien diberikan terapi berupa parasetamol tablet 500 mg 3 kali sehari jika perlu, MDT MB tetap dilanjutkan, dan edukasi untuk mengurangi stres fisik atau mental. Kejadian disabilitas pada anak-anak cukup rendah dibandingkan orang dewasa karena durasi penyakit lebih singkat dan bentuk penyakit lebih ringan.4 Namun kejadian deformitas meningkat seiring pertambahan usia dan durasi penyakit.13 Prognosis pada kasus adalah dubius ad bonam karena reaksi kusta yang terjadi ringan dan mengalami perbaikan dengan terapi yang diberikan. Pada pasien dan keluarga diberikan edukasi mengenai kemungkinan adanya reaksi ulang dan anjuran untuk segera memeriksakan diri. Selain itu perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap kemungkinan deformitas dan diajarkan cara-cara pencegahan kecacatan. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
Bryceson A, Pflatzgraff RE. Symptoms and signs. Dalam: Leprosy. Edisi ke-3. New York: Churchill Livingstone; 1990. h. 25–56. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K GL, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill Companies; 2008. h. 1786-96. World Health Organization. Leprosy update. Weekly Epidemiological Report. 2011; 86: 389-400.
19
MDVI
4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
20
Sehgal VN. Leprosy in Children. Dalam: Clinical Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2004. h. 78–82. Sachdeva S, Amin SS, Khan Z, Alam S, Sharma PK. Childhood leprosy: A retrospective study. JPHE. 2010; 2: 1–5. World Health Organization. Progress in leprosy control: Indonesia, 1991–2008. 2010; 85: 249–64. Available from: http//www.who.int/wer. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Morbus Hansen, Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Denpasar; 2007-2011. Prashad P. Reactions in leprosy. Dalam: All About Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2005. h. 62–6. Imbiriba EB, Hurtado-Guerrero JC, Garnelo L, Levino A, Cunha MDG, Pedrosa V. Epidemiological profile of leprosy in children under 15 in Manaus (Northern Brazil), 1998-2005. Rev Saude Publica. 2008; 42: 1–5. Sachdeva S, Amin SS, Khan Z, Sharma PK, Bansal S. Childhood leprosy: lest we forget. Trop Doct. 2011; 41(3): 163–5. Gupta R, Singal A, Pandhi D. Genital involvement and type I reaction in childhood leprosy. Lepr Rev. 2005; 76: 253–7.
Vol. 40 No.1 Tahun 2013: 16-20
12.
13. 14. 15. 16. 17.
Sales AM, Leon APD, Duppre NC, Hacker MA, Nery JAC, Sarno EN, dkk. Leprosy among patient contacts: a multilevel study of risk factors. PLoS Negl Trop Dis. 2011; 5: 1-6. Sahoo A, Singh PC, Pattnaik S, Singh N. Incidence of leprosy in school-children and their family members in Berhampur. Indian J Lepr. 2002; 74(2): 137-43. Weedon D. Bacterial and rickettsial infections. Dalam: Skin Pathology. China: Churchill Livingstone; 2010. p. 547–72. Worobec SM. Treatment of leprosy/Hansen's disease in the early 21st century. Dermatol Ther. 2009; 22: 518-37. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2006. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Immunological complications: reactions. In: Leprosy. Edisi ke-3. New York: Churchill Livingstone; 1990. p. 115–26.