EPISODE KESATU Sepi.... Di pelataran SMA Sirandu lengang. Tak ada secuilpun bising. Angin yang biasanya kencang dan sering berlaku genit menerpa gadis-gadis berambut panjang, bahkan kadang berani sembrono menyingkap rok minim anak-anak sekolah, kini tak berani berang. Tak berani menerjang. Sederet jajaran pohon sampai pada pucuk dedaunan pun berhenti bergoyang-goyang pinggul. Diam. Hanya sengatan matahari yang membakar bumi. Panas tak terperi. Masih terdengar jua teriakan guru-guru yang mengajar di tiap ruangan. Tapi kebanyakan suara mereka sudah pada loyo, sudah pada serak-serak kering. Karena matahari sudah berada di atas ruang kelas. Karena para guru sudah pada kehabisan gizi. Dan karena para guru perutnya sudah pada ndangdutan. Kroncongan. Kadang sepi. Kadang diam. Tetapi sedetik berbalik seratus delapan puluh derajat. Tatkala bel panjang berbunyi. Pecahkan sepi. Pecahkan diam. Bagai tanggul yang bobol oleh banjir. Mbludrag. Anak-anak keluar dari kelas. Hendak pulang. Ada yang tenang-tenang berjalan keluar halaman. Ada yang sambil bersiul-siul dengan bernyanyi. Ada yang sembari berteriak-teriak kegirangan. Ada pula yang berlarian.
Seorang lelaki yang berjalan dengan kalem, dengan buku terhimpit di sebelah tangan kanannya. Dan acuh tak acuh terhadap keadaan sekelilingnya. Dan keduanya saling, ”ooooooohhhh!” si tak acuh kena tabrak gadis berambut panjang. Entah dikejar siapa. Sial! Si tak acuh ngedumel dalam hati, sambil memunguti bukunya yang terjatuh. Tercecer. Si gadis berambut panjang hanya mampu tertegun. Kini, si tak acuh telah berdiri kembali. Terpaku. Terpukau. Kemudian keduanya saling bertatap. Bah, cantik! Bah, tampan! Sejenak gadis berambut panjang hatinya berguncang. Sejenak pula si tak acuh hatinya berguncang. Kemudian gadis berambut panjang tersenyum mesra. Dan si tak acuh sekali lagi hatinya berdegup; deg-deg plas! Ketika keduanya mendengar langkah-langkah kecil. Keduanya merasa diperhatikan. Si gadis berambut panjang melirik. Si tak acuh menolah. Ah! Kenal betul sama perempuan ini. Dwiyanti, Yanti teman se-SMP-nya kiranya yang mengejar gadis berambut panjang ini. Dan si tak acuh melongos pergi. Sendirian keluar halaman. Dalam perjalanan pulang, Dana Kalbu, si tak acuh, dalam hati berbisik; oh, siapakah dia gadis berambut panjang itu? Manisnya. Cantiknya. Keibuan lagi! 2
Bah, memikirkan dia. Masih terlalu panjang jalan yang harus kutempuh. Masih banyak perjuangan untuk merengkuh cita-cita. Buat apa memikirkan perempuan. Masih terlalu pagi! bisik hati Dana, sambil terus menghitung langkah untuk sampai ke rumah. Sementara di dekat tempat parkir di atas “Super Cup”-nya si gadis berambut panjang sejenak membayangkan kejadian yang barusan. Siapa sih lelaki setampan itu? bisik hatinya. Aku koq ingin kenal namanya. Sepertinya aku jatuh cinta? He he he.... Edan apa! Masih kecil sudah memikirkan cinta. Masih bau kencur. Masih mbawang. Masih terlalu hijau untuk jatuh cinta. Aku harus sekolah dulu. Aku harus mementingkan belajar dulu dari pada bermain cinta. Cinta segala! cemoh Asri Safitri, si gadis berambut panjang, sambil menstarter honda bebeknya dan nyelonong di halaman. Di mulut sekolahan mandeg sebentar. Setelah Yanti nembol di sadel belakang, rodapun kembali berputar meninggalkan halaman sekolahan. “Gara-gara kau, aku nyrudug orang,” kata Asri yang menjalankan motornya pelan sekali. “Kau duluan. Tangan kiriku sedang sakit, kau pejet,” bantah Yanti. “Tapi, kau sudah mencubit pantatku kan? Sakit, dong!” “Pantatmu besar sih. Aku jadi gemes. Ingin mencubit lagi.” 3
“Bah! Genit kau. Karuan saja, aku malu sama dia.” “Kau sendiri yang salah. Punya mata nggak?” ledek Yanti. “Gila! Kau kira aku tuna netra?” ucap Asri ketus. Motor masih melaju pelan. “Kau kenal dia?” tanya Asri. “Siapa?” “Tadi yang kutabrak.” Yanti terdiam. Ada perasaan curiga. “Namanya siapa sih?” “Dana Kalbu, teman waktu SMP-ku.” Asri terdiam. Ada perasaan curiga. Dan keduanya saling diam. Dan motor pun melaju kencang *** JAM SETENGAH TIGA SORE, Dana berangkat latihan Pramuka. Pakaiannya lengkap dengan duk dan peci Pramuka. Karena rumahnya dekat dengan SMA Sirandu, ia jalan kaki. Sendirian. Kelas satu memang diwajibkan latihan Pramuka. Tapi kalau sudah kelas dua dan tiga hanya kesadaran sendiri. Latihannya seminggu sekali. Yang melatih kakak kelasnya. Gurunya ada datang. Tetapi tidak melatih. Hanya sebagai pembimbing. Dan barangkali dari kelas tiga yang diberi tugas melatih mendapat kesulitan. Bisa langsung bertanya pada Guru Pembimbing. Pulangnya, Dana bersama dengan Lutfi, teman sekelas. 4
“Na, sebenarnya aku males untuk latihan Pramuka seperti ini,” ucap Lutfi ketika menuju motornya, di tempat parkir. “Kenapa?” “Yang melatih temannya sendiri.” “Kelas tiga maksudmu?” “Ya.” “Nggak jadi masalah. Yang penting ilmunya.” “Tapi kurang wibawa.” “Bukan wibawa tidaknya. Namun kita yang dilatih dituntut kesadaran sendiri. Besok juga mungkin kita yang menggantikan mereka, kalau kita sudah kelas tiga.” Keduanya sampai di tempat parkir. Lutfi naik ke motornya. Dana yang membonceng. Kemudian motor meraung-raung, meninggalkan sekolahan. Sebentar saja sampai di depan rumah Dana. Dana turun dari boncengan. “Mampir dulu?” ajak Dana. “Nggak usah. Besok saja malam Minggu, aku ke mari.” “Baik. Trim’s!” “Yuk!” ucap Lutfi sambil menjalankan motornya lagi. *** DETIK-DETIK MAKAN MALAM. Di meja telah tertaruh sesumbul nasi panas, yang baru saja mentas dari dapur. Asap nasi mengepul, 5
menari-nari, mengangkasa. Kemana-mana. Ajojing. Disco, berdansa ria, dan sebagainya. Asap terus mengepul. Warnanya bak es salju yang ada di kutub utara-selatan. Rupanya bagai kabut yang melintas dataran teh yang luas. Putih pekat. Sementara ibu rumah tangga dan anaknya yang nomer dua sedang memasak di dapur. Sebentar ke ruang meja makan, sebentar ke dapur. Sebentar dan sebentar. Terus wira-wiri, menyiapkan makan malam. Masakan di dapur merembes kemana-mana. Baunya menusuk-nusuk hidung. Maklum, tanggal muda masakan roa. Macam-macam menunya. Tapi tidak berlebihan. Biasa hidup sederhana. Biasa saja mengingat suaminya bekerja sebagai Pegawai Negeri rendahan. Sebagai seorang Penjaga Kantor Pos. Bapak Rosad dan Ibu Hastuti. Demikian nama kepala keluarga beserta ibu rumah tangga itu. Mereka hidup rukun. Mereka hidup damai sejahtera. Mesti tanpa embel-embel kemewahan. Keduanya resmi diikat oleh perkawinan. Nama yang lekat dan syah bersatu. Persuntingan yang mesra. Percumbuhan yang indah dari hasil cinta yang membuahkan pula cintanya kepada anak-anaknya; Dana Kalbu, Ulfati, Umiyati, Samsul Fredi dan yang paling mbontot adalah Maulana Malik. Lima anak sudah cukup. Bukan berarti tidak ikut KB. Semula ikut kabe. Tetapi ketika anaknya sudah dua, yaitu; Dana Kalbu dan Ulfati. Keluarga pak Rosad berkabe dengan alat kontrasepsi kondom. Sewaktu sedang “in the hoy” 6
kondomnya bocor nggak ketulungan. Dan mengandung, jadilah anak bernama Umiyati. Kemudian berganti dengan pil KB. Tetapi lalai semalam saja tidak makan pil. Celaka! Bunting lagi. Lahirnya dengan nama Samsul Fredi. Sampai akhirnya memakai alat spiral. Baru tiga bulan tubuhnya kurus dan panas badan naik dratis. Bah! Tidak cocok lagi. Lalu digantikan dengan suntikan. Tetapi suntikan luput juga, sama seperti spiral. Maka keluarga pak Rosad berhenti dari berKB. Tetapi tidak sampai disitu saja. Pak Rosad tidak putus asa. Setelah lahir Maulana Malik, anak yang kelima pak Rosad sudah merasa cukup punya anak lima. Maka pak Rosad bersama istrinya dengan ikhlas menyerahkan diri untuk berkabe dengan STIRIL. Dengan demikian ikut mensukseskan Keluarga Berencana, demi kesejahteraan bangsa dan negara. Maka bu Hastuti tidak akan punya anak lagi untuk selamanya. Lima anaknya. Tiga lelaki. Dua wanita Sudah cukup! “Pak, makan dulu. Nanti lagi baca korannya,” panggil istrinya setelah sudah beres semuanya. Pak Rosad tanpa banyak bicara langsung menaruh koran yang baru dibeli tadi siang. Kemudian beranjak menuju meja makan. 7
“Panggil adik-adikmu, Ti. Suruh makan bersama,” sahut pak Rosad, ketika melihat anaknya dari dapur membawa wijikan. Ulfati menurut perintah ayahnya. Keluar, memanggil adik-adiknya yang sedang bermain di halaman. Tak lama Ulfati kembali dengan adik-adiknya. Mereka duduk menempatkan diri dengan teratur. “Mana Dana, Bu?” tanya pak Rosad. “Sedang ke langgar,” yang menjawab Fredi. “Tadi sholat bersama Fredi. Fredi pulang duluan.” “Sebentar lagi pulang,” timpal istrinya. Oh, ya! Aku yang tidak jamaah di langgar! bisik hati pak Rosad. Tadi aku mesti beli baju Korpri untuk seragam dinas hari senin. Karena baju korpri yang biasa kupakai sudah lusuh dan tidak patut dipakai lagi. Sudah jadi gombal. Mau beli hari Minggu, kebanyakan toko pada tutup. Yang jual orang Cina, jadi pada pergi ke Gereja. Sekarang toko-toko besar dan jalan-jalan yang ramai sudah dikuasai orang-orang Cina. Bah! Orang Jawanya sih mana? Mlempem? “Itu dia datang,” sahut istrinya ketika Dana muncul dari pintu. “Ayo, makan Dana,” ajak ayahnya. “Kak, makan bersama-sama,” ucap Maulana. “Iya. Kakak duduknya sama kau,” kata Dana seraya di samping Maulana. Maka penuhlah kursi makan itu untuk satu keluarga, maka sempurnalah Tuhan memberi nikmat kepada keluarga pak Rosad. 8
“Sebelum makan kita harus membaca Basmallah dulu” demikianlah didikan pak Rosad kepada keluarganya. Selalu, dan selalu begitu. Merekapun makan dengan lahapnya. Dengan nikmatnya. Senikmat karunia yang diberikan oleh Tuhan. Selesai makan, Dana menyambar koran dan menuju tamu. Duduk membacanya. Ayahnya langsung saja menuju langgar, ketika mendengar adzan Isya dari speker yang mengumandangkan dari langgar, yang cuma seratus meter dari rumahnya. Pak Rosad merasa rugi kalau tidak sholat jamaah lagi. Ibunya di dalam sedang mengemasi alat-alat yang baru saja untuk makan malam. Sedang adik-adikku pada ke mana? bisik hati Dana. Iyyaaaaaaaa, ini kan malam Minggu, aku lupa. Pantesan adik-adikku tidak ada yang belajar. Mereka tentu bermain di luar dan kelihatan ramai. Malam minggu jeh! Dana mendongakkan kepalanya, melihat keluar sebentar melalui jendela. Bulan purnama lagi! bisik hatinya lagi. Tapi bagiku malam minggu dengan malam-malam yang lain sama saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang kudamba. Tidak ada! Dana begitu asyik membolak-balik halaman koran. Matanya tertumbuk pada sebuah judul : “TELAH LAHIR KE DUNIA FANA PENULIS SELAKSA PEMALANG.” 9
Diantaranya ada kalimat yang berbunyi : “............... Dari hasil senggama para seniman, telah BUNTING penulis Pemalang. Ketika akan melahirkan telah di panggil dukun ternama dan termashur seantero jagat “ PIEK ARDIYANTO SUPRIYADI” angkatan enam puluh enam dari WARTEG, Warung Tegal (baca : orang tegal). Maka lahirlah ke dunia fana ini bocah cilik dengan nama penulis “SELAKSA PEMALANG”, dengan mbah/pembimbing Subakir Vida Mustam BA guru SPG, dan Noer anas KH, wartawan surat kabar, ketua satu Zufri Ali, ketua dua Ayub Antonius Santang, dan selaku Sekretaris Fauzi Robbany. Dengan anggota Perdana enam puluh orang ...............” Dana terputus membacanya. Ia terhenyak mendengar pintu diketuk. Kaget. Dana bangkit dan melangkah membuka pintu. “Hallo! Kutu buku malam Minggu tetap belajar,” sapa Lutfi, yang nongol dari balik pintu. Tanpa di persilakan Lutfi langsung saja menjatuhkan pantat di kursi, lagaknya kaya orang mau berak di WC saja. “Tidak. Aku cuma baca koran koq. Di kota kita telah ada kumpulan penulis,” sahut Dana sambil duduk kembali. “Semacam seniman, begitu?” tanya Lutfi tanpa semangat, “Iya.” “Kau tertarik? Ikut saja!” “Bah! Aku nggak ada bakat. Kalau kau yang jago merayu cewek, seharusnya ikut jadi seniman. Pasti cocok. Biar gombalmu tambah mantep.” 10