Seorang Kuno di Copenhagen Kiamat 2012 dan Perubahan Iklim Seorang arif dari masa lampau diundang datang ke Konferensi Perubahan Iklim yang diadakan PBB di Copenhagen, Denmark, tgl 7-18 Desember 2009. Ini adalah acara besar yang menjadi tumpuan harapan banyak ilmuwan dan pemerhati lingkungan di seluruh dunia. Hasil konferensi akan menentukan nasib bumi dan kelanjutan keberadaan umat manusia yang hidup di sana, demikian pesan dikumandangkan penyelenggara acara dalam setahun terakhir. Dan perhitungan mundur count down ke hari H acara pun dipasang di semua website organisasi lingkungan hidup sedunia untuk mengingatkan betapa pentinganya acara ini. Si orang kuno kebingungan melihat begitu banyak orang penting di sana, ada 40 pemimpin dunia dan para menteri dari 180 negara duduk bersama-sama, orangorang pandai dan intelek pun berkumpul mulai dari pemuda-pemudi terpelajar yang berdiskusi berapi-api hingga para ilmuwan senior yang kadang kelihatan agak manyun, semua tampak serius, sama2 berniat baik ingin menyelamatkan bumi dari bencana alam tak terbayangkan yang mereka sebut “perubahan iklim” itu. Konferensi dibuka dengan menampilkan grafik yang menunjukkan tidak adanya pengurangan emisi gas rumah kaca sejak konferensi pertama digelar tahun 1997 di Kyoto, Jepang, yang terjadi justru sebaliknya. Pendengar pun gelisah, mereka mulai kehilangan kepercayaan akan adanya usaha yang bisa dilakukan manusia untuk menghentikannya. Presentasi dilanjutkan dengan penampilan foto2 kerusakan alam yang semakin parah di mana2, penggundulan hutan, polusi air, tanah dan udara, gambar kota-kota besar dunia ketiga yang centang perenang, melelehnya kutub utara dan selatan, lalu yang paling mencekam adalah proyeksi angka kelahiran yang melompat tinggi mencapai 9 miliyar manusia akan hidup di bumi 40 tahun mendatang sedangkan ketersediaan sumber daya alam makin merosot : ikan akan habis dari laut di seluruh dunia mulai 10 tahun ke depan hingga habis total di tahun 2048, ancaman kelaparan karena akan sering terjadi banjir dan kekeringan yang membawa krisis pertanian sejak 2015, serta banyak lagi data
maupun ramalan saintifik mengerikan yang membuat orang kuno ini melongo keheranan. Konferensi akhirnya masuk pada tahap yang paling menegangkan: yaitu pembuatan kesepakatan global perubahan iklim. Semua negara diharapkan bisa sama-sama sepakat menurunkan tingkat emisi dan polusi dari negara masingmasing, “karena planet bumi ini cuma satu dan di sana kita semua saling terhubung dan tersambung, tidak ada satupun negara yang bisa berdiri sendiri, ini hukum ekologis”, kata seorang ilmuwan dengan emosi, “kita bisa menunda, atau siapa tahu bisa menyetop bencana besar itu”, tambahnya. Seperti yang sudah-sudah, kali inipun pembicaraan berjalan alot, terjadi beberapa kali deadlock dan rapat terpaksa dihentikan sebentar. “Ini sudah kuduga”, kata seorang ilmuwan tua. “yaa”, sambung yang lain serempak, “bukankah survey telah menunjukkan bahwa 9 dari 10 kita tidak berharap ada perbaikan apapun yang bisa dicapai dari acara ini”, kata mereka pesimis . Negara superpower Amerika yang menjadi penyumbang gas rumah kaca dan polutan terbesar di dunia dan mengkonsumsi sepertiga sumberdaya alam di seluruh bumi hanya untuk negara itu sendiri yang berpenduduk hanya 5% populasi dunia tampaknya bersitegang lagi ketika pembicaraan masuk pada tahap kesepakatan global perubahan iklim. Cina dan India sebagai pencemar bumi terbesar nomer 2 dan 3 setelah Amerika, dua negara yang kini sedang mengalami industrialisasi besar2an dan karena itu ditekan habis-habisan oleh negara2 barat untuk mengerem laju pertumbuhannya, berdua mereka sepakat mengancam tidak akan setuju menandatangani kesepakatan itu sebelum negara-negara maju terlebih dulu tandatangan, “kalian sudah lebih dulu kaya, sekarang giliran kami”, kata mereka berdua. Forum menjadi riuh. Terdengar oleh si orang kuno kasak-kusuk pemudapemudi pintar yang seringkali berbicara kelewat keras, ceplosan gunjingan tidak sedap tentang rencana kotor negara-negara kaya untuk melenyapkan 2.5 milyar manusia kulit berwarna dengan jalan membuat penyakit menular yang ampuh memematikan tetapi selektif hanya pada ras-ras tertentu saja di negara miskin yang suka merepotkan dan gemar beranak banyak itu. Si orang kuno menengok ke kanan-kiri, pelan-pelan dia mengamati raut wajah semua yang hadir di sana, jiwanya yang halus bisa menangkap getaran
kegersangan, kehausan dan kegetiran dari jiwa orang2 di sekelilingnya. Matanya yang lataif bisa menerawang jauh ke dalam sukma manusia-manusia modern itu, dan “ahh, ini dia”, katanya, tampak olehnya di kepala orang-orang itu gambar alam yang tidak punya tali penghubung vertikal dengan Ruh Alam Semesta, alam yang hanya benda mati saja, yang tersusun hanya dari materi dan energi, titik, habis perkara!. Diapun lalu terkekeh pelan, “kasihan orang-orang ini” ujarnya, “terlalu besar harapan yang mereka gantungkan pada perhelatan akbar ini. Bagaimana mungkin mereka bisa selesaikan masalah yang sebetulnya mereka bikin sendiri itu? Sama mustahilnya seperti mengharap ayam jantan bertelur. Mereka telah membakar tangannya dengan api yang mereka nyalakan sendiri”, katanya. Rupanya orang kuno ini lebih cerdik dari semua yang hadir di sana. Albert Einstein yang super jenius pun pernah mengatakan hal yang sama. Dia bilang, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara berfikir yang persis sama dengan cara berfikir yang kita pakai waktu kita membuat masalah itu. Krisis lingkungan lahir dari modernisasi, jadi bagaimana mungkin kita bisa selesaikannya memakai cara berfikir modern melulu? Kita perlu ganti kepala dan ganti mata untuk coba melihat dan memikirkannya dengan worldview yang berbeda. Sesungguhnya, krisis lingkungan lahir dari krisis spiritualitas manusia-manusia modern. Climate change Climate Change atau Perubahan Iklim timbul sebagai akibat dari bumi yang makin panas atau dikenal dengan global warming. Para ahli meyakini perubahan iklim sudah mulai terjadi dengan berbagai variasi dampak yang ditimbulkannya di seluruh penjuru dunia. Tidak ada satupun negara yang bisa terbebas darinya, perubahan iklim adalah bencana global. Sejak 1997 banyak konverensi diadakan oleh berbagai lembaga yang didirikan dan bekerja keras mencari jalan untuk meredakan, atau bahkan menyiapkan umat manusia untuk menerima dan beradaptasi dengannya. Climate change dan Peak Oil atau habisnya minyak bumi kini menjadi issue paling top dan paling hangat yang bahkan bisa membuat issueissue global lain menjadi tidak berarti. Semua orang membicarakannya, ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu ikut terlibat, dari ilmu alam hingga psikologi dari kalangan bisnis hingga asuransi. Empat bulan sebelum acara di Copenhagen, pada 31 Agustus 2009, acara serupa diadakan di Geneve, Swiss, khusus untuk dunia ketiga Third World Climate Conference. 1000 orang pengambil keputusan dan ilmuwan, termasuk puluhan petinggi dari 150 negara menghadirinya. Pertemuan seminggu penuh itu diselenggarakan oleh World Meteorological Organization dengan tujuan membantu bangsa-bangsa dunia ketiga menghadapi perubahan iklim melalui pembuatan mekanisme yang efektif untuk pengumpulan dan penyebaran berita iklim antar negara. Banjir dan kekeringan diperkirakan akan menjadi dampak paling dominan di banyak negara dunia ketiga, sedangkan makin dingin adalah dampak yang paling mengerikan bagi negara2 kaya di utara ketika suplai minyak pun makin menipis, sedangkan Australia akan mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Karena itu negara tropis harus menyiapkan sistem pengairan yang baik dengan menampung hujan untuk masa kekeringan, demikian juga antisipasi saluran air di perkotaan. Konferensi di Copenhagen ini diharapkan bisa menelurkan kesepakatan global yang akan menggantikan Kyoto Protocol yang tidak pernah berjalan baik dimana Amerika Serikat terus menolak untuk menandatanganinya. Meski IPCC (International Panel on Climate Change) lembaga yang dibentuk PBB untuk memantau perubahan iklim menetapkan target penurunan emisi dari negara-negara maju hingga 25-40% sebelum tahun 2020, hingga kini banyak negara kaya termasuk Amerika Serikat belum mau menyepakatinya. Beberapa negara Afrika dan Asia walk out dari negosiasi multinasional di Barcelona bulan lalu, mereka merasa terlalu banyak tuntutan kepada mereka padahal negara kaya tidak mau berkorban banyak. Protocol Kyoto tidak membawa manfaat apa-apa pada negara mereka. Zaman Kaliyuga dan Kiamat 2012 Film Kiamat 2012 yang laris manis di Indonesia mungkin menyisakan perenungan bagi sebagian mereka yang bisa mengambil hikmah dari tontonan itu, bahwa manusia adalah lemah di hadapan kekuasaan yang Maha Kuasa, dan bahwa ada ilmu pengetahuan lain diluar yang diberikan sekolah dan perguruan tinggi yang
mengetahui tentang hal-hal yang tidak kasat mata. Terlepas dari perdebatan tentang film tersebut dari sudut pandang agama penulis bermaksud mengajak pembaca merenungkan film itu dalam kaitannya dengan Climate Change yang tidak lain adalah bentuk bencana alam yang perlu kita ketahui untuk dapat beradaptasi dengannya. Kebanyakan umat Hindu meyakini sekarang adalah masa Kali Yuga atau zaman ”kegelapan” sebagaimana juga umat Islam melihat banyak tanda2 akhir zaman yang diramalkan dalam hadits2 Rashulullah telah menjadi kenyataan. Agama Hindu mempunyai teori siklus kosmik yang terperinci membagi waktu dalam Yuga dimana 4 Yuga sama dengan 1 Mahayuga, 71 Mahayuga sama dengan 1 Manvantara, 14 Manvantara sama dengan 1 Kalpa, dan 360 x 2 Kalpa sama dengan 1 Para atau 1 tahun Brahma. Di dalam setiap ”eon” atau Mahayuga – seperti di mana kita berada sekarang – selalu terdapat 4 jenjang zaman yang merupakan siklus dari Yuga, yaitu Krita-Yuga, Treta-Yuga, Dwapara-Yuga dan Kali-Yuga atau zaman kegelapan. Dalam kitab Visnu-Purana yang merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, dituturkan: “Pada masa Kali Yuga, dari hari ke hari kesalehan akan merosot, kecukupan ketersediaan kebutuhan manusia terus berkurang hingga dunia benar2 dalam kerusakan. Di zaman itu harta yang akan menentukan derajat seseorang, gairah dan nafsu menjadi satu2nya alasan yang menyatukan pria dan wanita, kebohongan menjadi alat mencari nafkah, wanita menjadi obyek kesenangan sensual semata, bumi dinilai hanya dari tambang dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya saja, kepandaian menipu menjadi kunci kesuksesan, melakukan sedikit saja kebaikan sudah dianggap cukup untuk penyucian diri. Tidak ada lagi kepatuhan pada kasta, hukum, dan lembaga adat. Upacara dan ritual yang diresepkan dalam Veda diabaikan. Wanita menuruti hanya kehendak dirinya sendiri dan tergila-gila pada kesenangan duniawi. Pria dari semua lapisan masyarakat
menganggap
dirinya
Brahmin
(ahli
agama).
Kaum
petani
meninggalkan
tanah
pertanian
dan
kaum
pedagang
meninggalkan
perdagangannya untuk bekerja mengoperasikan alat-alat. Jalan Veda telah ditinggalkan, manusia semakin jauh dari tradisi agamanya. Ketidak-adilan akan meraja lela dan akibatnya umur manusia akan semakin pendek. Pada akhirnya manusia akan berhenti menyembah Tuhan dan mengatakan “mengapa wahyu dan Nabi harus mempunyai otoritas lebih dari akal kita?” “siapakah Tuhan itu?” “untuk apa kita harus melakukan ritual ini dan itu?”.....
Di zaman Kali Yuga kasta yang paling dominan adalah shudra. Orang yang kurang terpelajar akan mengajari kebenaran, kebajikan akan meredup dan berhenti berkembang, orang-orang berilmu kelihatan lucu dan aneh. Orang tua tidak peka terhadap yang muda, anak muda melawan yang tua. Pada zaman Kali Yuga, para guru akan dilawan oleh muridnya. Mereka perlahan-lahan kehilangan rasa hormat. Pelajarannya akan dicela dan Kama (nafsu) akan mengontrol semua keinginan manusia. Umat manusia akan kehilangan akal sehatnya, melemah raganya, mentalnya dan rohaninya, akibatnya mereka akan senantiasa melakukan perbuatan dosa: semua yang keji, kotor dan terencana untuk menghancurkan umat manusia akan terjadi di zaman ini.
Ketika pohon-pohon berhenti berbunga, dan pohon-pohon buah berhenti berbuah, maka pada saat itulah masa-masa menjelang akhirnya zaman Kali Yuga. Hujan akan turun bukan pada musimnya ketika akhir zaman Kali Yuga sudah mendekat”. Jika dibaca dalam konteks universal pertanda zaman kali yuga yang dalam kitab Visnu Purana ditulis memakai bahasa Hinduisme, hampir semua tanda2 tersebut telah bisa dirasakan kehadirannya sekarang, terlebih dengan krisis global yang kini melanda semua aspek kehidupan dan global warming yang mulai dirasakan
dampaknya pada perubahan iklim di seluruh bagian di bumi. Di sini, kita orang Timur perlu mengenal perbedaan perspektif tentang waktu antara Barat dan Timur. Barat melihat waktu sebagai garis lurus sedang Timur melihatnya sebagai siklus. Dalam garis lurus tidak ada kesempatan ke-dua, semua harus dilakukan sebelum waktu habis, sedang dalam perspektif siklus di Timur seperti teori siklus kosmik Hindu dan doktrin
Imam
Mahdi
di
Islam
umat
manusia
senantiasa
punya
kesempatan menemukan kembali 'self renewing system' yaitu sistem yang akan menghidupkan kembali dan berjalan lagi meski kita sendiri sudah tidak berada di alam fana ini, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Nuh a.s. yang membawa setiap pasang hewan dan setiap jenis tumbuhan dalam perahunya sebelum banjir besar itu datang agar kelak ketika surut makhluk itu bisa kembali hidup dan berkembang biak. Simbolisasi kisah Nabi Nuh menjadi ajaran agama yang paling relevan dalam melihat persoalan perubahan iklim, bahkan beberapa bulan lalu Green Peace membangun simbol kapal Nabi Nuh di gunung Ararat, Turki, yang diyakini sebagai tempat bahtera Nabi Nuh mendarat. Gerakan yang dinamai Operation Noah dijalankan oleh kelompok religius Kristiani di Inggris dan Amerika mengajak manusia menghadapi perubahan iklim dengan keimanan. Namun, sebagaimana juga Nabi Nuh, pekerjaan itu tidaklah mudah. Banyak dari kaum Nuh yang tidak mau mendengarkan bahkan istri dan anaknya sendiripun tidak mengikutinya yang kemudian terbawa arus banjir besar itu. Terlepas dari perdebatan tentang film Kiamat 2012 dari sudut pandang agama penulis bermaksud mengajak pembaca merenungkan film itu dalam kaitannya dengan Climate Change atau perubahan iklim yang tidak lain adalah bentuk bencana alam. Besar kecilnya dampak yang ditimbulkan di tiap2 tempat berbeda-beda, tetapi tidak ada satupun negara yang terbebas dari bencana ini, bahkan negara super kaya sekalipun bisa jadi jauh lebih rentan terhadap dampaknya dibanding negara miskin jika ada ketergantungan yang tinggi pada negara itu terhadap negara lain untuk suplai makanan, energi, dsb Dengan demkian dapat dikatakan semakin self sufficient atau mandiri suatu tempat, semakin tinggi ketahanan tempat itu terhadap perubahan iklim.
Alam adalah tadjalli (manifestasi) Tuhan Dalam semua masyarakat tradisional di manapun juga manusia dipandang sebagai pontiff atau jembatan antara Langit dan Bumi yang berperan menjadi pemelihara dan penjaga alam. Konsep ini jelas berseberangan dengan konsep manusia modern, yang memberontak pada kehendak Ilahi kemudian mengganti perannya justru menjadi perusak alam. Manusia yang semula makhluk yang diturunkan dari atas atau Surga untuk hidup harmonis dengan alam dan semua ciptaanNya, kini melalui teori evolusi menjadi makhluk yang muncul dari bawah kemudian menjadi predator paling mematikan bagi semua makhluk yang lain. Di sinilah keterkaitan kerusakan lingkungan dengan krisis spiritualitas yang melanda umat manusia modern jelas terlihat. Melihat manusia sebagai pontiff adalah sebuah cara pandang komprehensif atau weltanschauung yang menganggap manusia sebagai “wajah Tuhan”. Dalam Islam ini dinyatakan jelas di dalam hadits qudsi khalaqa’Llahu Adama ala suratihi yang berarti Tuhan menciptakan manusia sesuai bentukNya. Namun, hadits ini hendaknya tidak dipahami secara antropomorfis. Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas mengurus bumi, tetapi kekhalifahan itupun dikomplementasi dengan kehambaan manusia sebagai abdi atau pelayan Tuhan (al-ubudiyah). Dalam Islam tradisional alam dipandang sebagai tanda-tanda Tuhan (ayat) yang memantulkan sifat-sifatNya. Banyak ayat di Quran yang menyebut ‘alam terlihat’ atau ‘termanifestasikan’ (alam syahadah) dan “alam tak terlihat” (alam ghaib). Alam syahadah bukanlah sebuah realitas yang berdiri sendiri secara independent melainkan manifestasi dari alam yang jauh lebih besar. Alam syahadah bagaikan apa-apa yang terlihat di sekita api unggun yang menyala di tengah padang pasir sangat luas di malam gelap, semua yang tampak itu pelan2 melenyap ke dalam gelap yang luas di sekitarnya. Apa-apa yang tampak hanyalah bagaikan debu di tengah lautan luas yang tak tampak yang menjadi ‘lingkungan’ yang sesungguhnya bagi yang tampak itu. Demikianlah hubungan halus dan rumit antara “alam tampak” (syahadah) dan “alam tak tampak” (ghaib). Quran menyebutkan di surat IV.126 bahwa Allah bersifat al-Muhit yaitu yang Maha Melingkupi, dalam bahasa Arab al-muhit juga bisa berarti ‘lingkungan’. Krisis
lingkungan terjadi karena manusia tidak lagi melihat Tuhan yang Maha Melingkupi sebagai “lingkungan ilahiyah” yang menopang alam semesta dan tidak lagi mengenali kesakralan alam sebagai karya agung dari yang Maha Berkarya. Pertambahan penduduk yang melonjak tajam akibat perbaikan sanitasi, ilmu kesehatan dan teknologi medis telah menciptakan obat-obatan yang menakjubkan sekaligus mengerikan dengan mengganggu keseimbangan alam karena kelebihan penduduk berarti melanggar kemampuan daya dukung alam untuk menghidupi manusia. Ledakan jumlah penduduk justru terjadi di negara-negara yang selama ribuan tahun memiliki angka kematian bayi yang tinggi. Ini persoalan etika dan spiritual yang sangat pelik. Hanya ketika para pemuka agama bisa memahami kepelikan kaitan ilmu ekologi, spiritual dan etika, kita akan berhenti memperdebatkan hukum halal dan haram dalam pembatasan kelahiran. Keindahan di balik Climate Change Si orang kuno peserta dari masa lampau itu bergegas meninggalkan konferensi yang makin ricuh. Para undangan kelihatan makin kecewa sampai-sampai pemimpin sidang pun harus mengumumkan bahwa konferensi memang bertujuan membuat kesepakatan pada tingkat garis besar saja, detailnya akan dikerjakan panitia-panitia kecil yang akan dibentuk lagi setelah sidang selesai. “Kita butuh pemimpin, bukan politisi”, kata direktur eksekutif Greenpeace yang berasal dari Afrika Selatan itu, “kalau politisi tidak mau mengganti politiknya, maka kita yang harus mengganti politisinya”, serunya. Si orang kuno bergumam lirih dalam hati, “tidak mungkin, tidak mungkin, mereka tidak akan bisa menyelamatkan alam sebelum mereka menemukan kembali tali penghubung vertikal antara alam dengan Ruh alam semesta” gumamnya. Sekali lagi dia mencuri pandang melihat wajah2 orang di sekitarnya, tidak tampak olehnya tanda-tanda perenungan di sana, mereka mahluk duniawi semata yang memutlakkan dunia dan memuja egonya. Seorang bijak seperti dia bagaimanapun juga senantiasa melihat Tuhan ada di mana-mana, termasuk di tengah kekalutan itu. Dia tetap bisa melihat ketika gelap, tetap mendengar ketika sunyi, dalam kegelapan dia sendiri yang melihat cahaya, dalam
kesunyian dia sendiri yang bisa mengenali harmoni. “Bencana ini akan membuat manusia-manusia ini menjadi lebih baik”, katanya sambil tersenyum arif. “mereka akan terpaksa bersama-sama menjadi miskin di hadapan yang maha Kaya, mereka akan terpaksa kembali mengenal dan berkumpul dengan keluarga, teman dan kerabatnya, mereka akan terpaksa mencangkul untuk menanam makanannya dan kembali mengenal alam yang selama ini menjadi sumber rejekinya, mereka akan terpaksa hidup seadanya, berjalan dan mengayuh sepeda ke mana-mana dan mencari kesenangan-kesenangan sederhana. Kemiskinan dan penderitaan itu akan meletakkan laki-laki dan perempuan ini di hadapan misteri, dan akhirnya mereka terpaksa kembali mengenal Ruh alam semesta yang memberikan rejekinya”, ujarnya. Oleh: Wardah T. Alkatiri Penulis sedang melakukan penelitian Doktoral Social Science bertema Adaptasi Climate Change di Indonesia, di Lincoln University, New Zealand. Penulis mendapat Master di bidang Islamic Philosophy dari Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta.
*********