SENSITIVITAS GEN SITOKROM B (Cyt b) SEBAGAI MARKA SPESIFIK PADA GENUS Rattus dan Mus UNTUK MENJAMIN KEAMANAN PANGAN PRODUK ASAL DAGING
ALMIRA PRIMASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka Spesifik pada Genus Rattus dan Mus untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk Asal Daging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Almira Primasari NIM D151090111
ABSTRACT ALMIRA PRIMASARI. Sensitivity of Cytochrome b (Cyt b) Genes as a Specific Marker in Rattus and Mus for Food Safety of Meat Product. Under direction of CECE SUMANTRI, HENNY NURAINI and RARAH R. A. MAHESWARI. Appropriate techniques for detection and identification of origin of species for meat source are very important in the meat product processing to ensure the safety and halal foods. Multiplex PCR, in which many primers were used together for amplification of multiple target regions, is hopefully a suitable technique for meat sources identification. The aim of this study was to determine the specificity and sensitivity of the cytochrome b (cyt b) gene in rats as well as to design primers that can be used for detection of rat meat contamination in some processed meat products. The amplification of cyt b genes was done in seven species with different lengths of fragments which indicated specificity for cyt b genes sequences between species. The products showed specific DNA fragments of 157, 227, 274, 331, 398, 439 and 603 bp from goat, chicken, cattle, sheep, pig, horse and rat meats, respectively. Cyt b gene is sensitive as a specific marker with rats DNA that could be detected and be amplified with 100% success from as low as 1% level of contamination. Results showed that rat DNA in meatballs could be detected from 1% level contamination, otherwise rat DNA in meat floss could be detected from above 2.5% level contamination.
Keywords: Rattus, Mus, cytochrome b (cyt b), multiplex PCR, food safety
RINGKASAN ALMIRA PRIMASARI. Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka Spesifik pada Genus Rattus untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk Asal Daging. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, HENNY NURAINI dan RARAH R.A. MAHESWARI. Teknik deteksi dan identifikasi asal daging pada produk olahan sangat penting untuk menjamin keamanan dan kehalalan pangan dalam upaya melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Perkembangan teknologi molekuler memungkinkan teknik identifikasi dengan analisis DNA yang memiliki keunggulan dibanding analisis protein atau lemak yaitu sampel yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan tidak bergantung pada keadaan jaringan. DNA lebih stabil dibandingkan dengan protein terutama pada sampel yang telah mengalami proses pemanasan dengan suhu tinggi. Teknik multipleks PCR dapat diaplikasikan untuk identifikasi jenis daging karena dapat mendeteksi dengan cepat dan akurat. Multipleks PCR adalah salah satu teknik PCR dengan beberapa primer yang digunakan bersama-sama dalam satu reaksi untuk amplifikasi beberapa daerah target. Penggunaan DNA mitokondria (mtDNA) didasarkan pada beberapa alasan diantaranya yaitu memiliki jumlah beberapa kali lipat lebih banyak daripada DNA nukleus yang memungkinkan keberhasilan amplifikasi pada sampel yang telah terdegradasi atau dalam jumlah sedikit, laju mutasi lebih tinggi dibandingkan dengan DNA nukleus dan keragaman urutan basa nukleotida memudahkan identifikasi jenis hewan terutama dalam satu famili atau genus. DNA mitokondria diwariskan seluruhnya dari ibu, sehingga sering digunakan untuk pelacakan garis keturunan terutama di wilayah yang sangat kekal seperti wilayah gen cyt b dibandingkan DNA nukleus yang memiliki analisis urutan yang sangat beragam antar individu karena diturunkan dari kedua tetuanya. Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (Dloop). Adanya variasi urutan pada cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan sebagai penanda untuk membedakan material yang berasal dari jenis hewan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu primer spesifik yang berasal dari sekuen cyt b tikus dan menentukan sensitivitas gen cyt b agar dapat digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi adanya cemaran daging tikus pada produk daging olahan. Sumber DNA yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel darah dan daging yang berasal dari kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, tikus dan marmut serta produk olahan yaitu bakso dan abon. Pembuatan produk olahan berasal dari daging sapi yang ditambahkan daging tikus sebagai cemaran dengan kisaran level cemaran 1-25%. Isolasi DNA dilakukan dengan metode fenol kloroform.
Primer reverse tikus hasil rancangan terbukti spesifik dengan teramplifikasinya DNA tikus sepanjang 603 pb. Panjang fragmen hasil amplifikasi untuk kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan tikus berturut-turut 157 pb, 227 pb, 274 pb, 331 pb, 398 pb, 439 pb dan 603 pb. Amplifikasi gen cyt b pada tujuh jenis hewan dengan panjang fragmen yang berbeda-beda menunjukkan spesifisitas sekuen gen cyt b antar jenis hewan. Gen cyt b dapat digunakan sebagai penciri asal daging pada produk daging olahan dan sensitif sebagai marka spesifik untuk tikus terbukti dengan terdeteksinya DNA tikus pada level campuran DNA 1% dengan persentase keberhasilan dan ketepatan amplifikasi 100%. Pengujian pada produk olahan menunjukkan bahwa cemaran daging tikus pada bakso sudah dapat terdeteksi pada level cemaran 1%, sedangkan pada abon mulai dapat terdeteksi pada level cemaran di atas 2.5%.
Kata kunci: sitokrom b, tikus, multipleks PCR, keamanan pangan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SENSITIVITAS GEN SITOKROM B (Cyt b) SEBAGAI MARKA SPESIFIK PADA GENUS Rattus DAN Mus UNTUK MENJAMIN KEAMANAN PANGAN PRODUK ASAL DAGING
ALMIRA PRIMASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc.
Judul Tesis
: Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka Spesifik pada Genus Rattus dan Mus untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk Asal Daging
Nama
: Almira Primasari
NIM
: D151090111
Program Studi/Mayor
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Ketua
Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Anggota
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Anggota
Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Tanggal Ujian: 23 Mei 2011 (tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi magister ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 ini ialah identifikasi jenis atau sumber daging dengan judul: “Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka Spesifik pada Genus Rattus dan Mus untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk Asal Daging”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc, Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA atas segala bimbingan, saran dan motivasi yang selalu diberikan dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk orangtua dan adik-adik tercinta atas do‟a dan semangat yang tak pernah putus diberikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan pascasarjana peternakan khususnya ITP 09 atas semangat dan kebersamaan selama studi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Eryk Andreas, S.Pt, M.Si serta rekan-rekan di Animal Breeding and Genetic Science (ABGSCi) atas segala bantuan yang diberikan selama penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2011
Almira Primasari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1988 di Sukabumi. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan (Alm.) H.Tejo Sriwijoyo dan Hj.Henny Liswara, AmKeb. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri I Sukabumi dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2009, pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Selama mengikuti studi magister penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Peternakan dan Animal Breeding and Genetic Science.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………...
xiv
PENDAHULUAN …………………………………………………………... Latar Belakang ………………………………………………………... Tujuan ………….…………………………..…………………….……. Manfaat ………….…………………………………………….…......... Hipotesis ……………………………………………………………….
1 1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….. Tikus …….…………………………………………………………….. Marmut …………….………………………………………………….. Polymerase Chain Reaction (PCR) …………………………………… DNA Mitokondria …………………………………………..………… Gen Sitokrom b (Cyt b) ……………………………….....……………. Metode Deteksi Cemaran Pangan ……………...……………………...
5 5 8 9 11 14 16
METODE ……………………………………………………………………. Waktu dan Tempat ………………………………………………......... Materi ………………………………………….……………………… Prosedur ……………………………………..………………………… Perancangan Primer Reverse Tikus ………………………………. Uji Homologi Primer Spesifik …….……………………………... Pembuatan Produk Olahan Asal Daging (Kontrol Positif) ………. Isolasi dan Ekstraksi DNA ……………………………………...... Pengujian DNA Total …………………………………………...... Amplifikasi Fragmen DNA Spesifik ….………………………...... Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR ……………………… Analisis Data ……………………………………………………...
19 19 19 20 20 21 21 22 23 24 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………... Perancangan Primer Spesifik Tikus ………………………………....... Derajat Kesamaan Primer Spesifik ………………………………........ DNA Total …………………………………………………………….. Pengujian Primer Spesifik …………………………………………….. Amplifikasi cyt b pada Beberapa Jenis Hewan ……….……….…. Amplifikasi cyt b pada Beberapa Jenis Tikus ………………….… Amplifikasi cyt b pada Marmut ……………………………...….... Amplifikasi cyt b pada DNA Campuran ……………………...….. Amplifikasi cyt b pada Bakso ……………………...…………..…
26 26 27 30 36 36 37 38 40 42
Amplifikasi cyt b pada Abon ……………………………………... Teknik Multipleks PCR Gen Cyt b untuk Identifikasi Spesies ……......
47 50
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….....
53
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..........
54
LAMPIRAN …………………………………………………………...….....
57
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Klasifikasi tikus …………………………………………………….......
5
2.
Klasifikasi marmut ……………………………………………………...
8
3.
Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria …………………………
12
4.
Teknik analisis deteksi dan identifikasi substitusi daging, lemak dan protein pada daging dan produk olahan asal daging ……………………
17
5.
Sekuen primer spesifik gen cyt b tujuh jenis hewan …………………….
20
6.
Kriteria primer tikus hasil rancangan ………...…………………………
27
7.
Derajat kesamaan primer spesifik pada tujuh jenis hewan ……...............
27
8.
Hasil pengukuran konsentrasi DNA total …...…………………………..
34
9.
Tingkat keberhasilan amplifikasi sekuen gen cyt b pada DNA campuran dengan enam level perbandingan ……………………..………………...
42
10. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA bakso daging sapi dengan enam level cemaran daging tikus ……………………...………………..……..
44
11. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA bakso daging sapi dengan lima level cemaran daging tikus……………………..……..…………………
47
12. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA abon daging sapi dengan lima level cemaran daging tikus ………………………………….…………..
49
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Tiga genus tikus ………………………………………………………...
6
2.
Tikus dan mencit laboratorium ………………………………………….
7
3.
Marmut (Cavia porcellus) ………………………………………………
9
4.
Susunan gen dari organisasi genom mitokondria (Taylor & Turnbull 2005) …………………………………………………………………….
11
Daerah cyt b dalam genom mitokondria Rattus norvegicus (NCBI 2011) ……………………………………………………………
15
6.
Situs penempelan primer pada sekuen gen cyt b Rattus norvegicus …....
26
7.
Situs penempelan primer pada sekuen DNA mitokondria daerah cyt b tujuh jenis hewan ………………………………………………………..
29
Visualisasi DNA hasil ektraksi darah dan daging beberapa jenis hewan pada gel agarose 1% …………………………………………………….
32
Visualisasi DNA hasil ektraksi produk olahan (bakso dan abon) pada gel agarose 1% ………………………………………………………….
32
10. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA spesifik tujuh jenis hewan ..
36
11. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA tikus ..……………………..
37
12. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA tikus hutan ………………..
37
13. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel DNA marmut (Cavia porcellus) ……………………………………………….
39
14. Visualisasi fragmen DNA campuran (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan tikus) …………………………………………………….
40
15. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen spesifik pada DNA campuran dengan enam level perbandingan ……………………………………….
41
5.
8.
9.
16. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso dengan enam level cemaran (sampel 1 dan 2) ……………………….….
43
17. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso dengan enam level cemaran (sampel 3 dan 4) ……………………….….
43
18. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso dengan lima level cemaran (sampel 1 dan 2) ……………………………
45
19. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b spesifik pada sampel bakso dengan lima level cemaran (sampel 3 dan 4) …………………….
46
20. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel abon dengan lima level cemaran (sampel 1 dan 2) …………….……………...
48
21. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel abon dengan lima level cemaran (sampel 3 dan 4) …………….……………...
48
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) kambing (Capra hircus) ……………......
57
2.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) ayam (Gallus gallus) ……...…….……...
58
3.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) sapi (Bos taurus) ………………………..
59
4.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) domba (Ovis aries) …………...………...
61
5.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) babi (Sus scrofa) …………...…………...
63
6.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) kuda (Equus caballus) ……………...…..
64
7.
Sekuen gen sitokrom b (cyt b) tikus (Rattus norvegicus) ……………….
66
8.
Tampilan program pada tahapan perancangan primer reverese tikus …..
67
9.
Tampilan program pada tahapan uji homologi primer spesifik …………
70
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan pangan asal hewan dari hari ke hari terus bertambah seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat gizi bagi kehidupan manusia. Daging, telur dan susu merupakan bahan pangan hewani berkualitas tinggi karena mengandung protein yang tersusun dari asam amino essensial yaitu asam amino yang tidak dapat dihasilkan oleh tubuh ataupun digantikan oleh sumber makanan lain. Peranan protein hewani terutama daging cukup penting dalam rangka mencapai standar kelayakan gizi. Perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat, menyebabkan kebutuhan bahan pangan hewani sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi untuk hidup cerdas, sehat, kreatif dan produktif sehingga peningkatan konsumsi protein hewani tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Seiring dengan perkembangan kebutuhan tersebut, keamanan pangan asal hewan juga tidak lepas dari perhatian konsumen. Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pencegahan pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004). Pemerintah dalam merealisasikan penyediaan daging yang aman menetapkan sebagai daging ASUH, yakni aman, sehat, utuh dan halal. Aman berarti daging tidak mengandung bahaya yang dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti daging memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh berarti daging tidak dikurangi atau dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal berarti hewan dipotong dan ditangani sesuai syariat agama Islam. Pangan halal didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam serta pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam (DEPAG RI 2001). Pemerintah telah berupaya melindungi konsumen dengan berbagai Undangundang dan Peraturan Pemerintah, namun sampai saat ini pemalsuan produk pangan khususnya daging olahan masih sering terjadi. Pencampuran daging lain pada produk daging olahan biasanya bertujuan untuk menekan biaya produksi.
Banyak kasus penipuan dan kontaminasi dengan penggunaan bahan-bahan yang tidak layak konsumsi dan tidak halal. Kontaminasi bahan tersebut dapat terjadi pada tahap awal atau tahap akhir produksi dan ada juga yang tanpa disengaja. Pencampuran dengan daging lain pada produk daging olahan biasanya bertujuan untuk menekan biaya produksi. Permasalahan yang muncul adalah apabila pencampuran tersebut menggunakan jenis daging yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu terkait dengan agama dan budaya. Contoh kasus tersebut adalah telah beredarnya isu bakso sapi yang dicampur daging tikus di beberapa daerah akhir-akhir ini mengakibatkan kekhawatiran dan keresahan masyarakat terkait dengan cemaran biologis dan bahan lain sesuai dengan definisi keamanan pangan menurut PP no. 28 Tahun 2004 serta keutuhan daging dan produk olahannya. Teknik deteksi dan identifikasi jenis hewan menjadi sangat penting dalam daging dan produk olahan untuk mengetahui keaslian produk guna menjamin keamanan dan kehalalan pangan serta melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Metode analisis yang akurat dengan prosedur sederhana dan cepat sangat diperlukan untuk pelabelan produk daging. Multipleks PCR merupakan salah satu variasi dari teknik PCR dengan beberapa primer yang digunakan bersama-sama untuk amplifikasi pada beberapa daerah target. Teknik multipleks PCR sangat berguna untuk identifikasi jenis atau sumber daging karena dapat mendeteksi dengan cepat dan akurat. Teknik ini memiliki beberapa keunggulan salah satunya adalah dapat mendeteksi sampel dalam keadaan mentah maupun sudah mengalami proses pengolahan yang mengaplikasikan pemanasan dengan suhu tinggi dan dengan persentase kandungan cemaran daging yang relatif rendah. Penggunaan DNA mitokondria (mtDNA) didasarkan pada beberapa alasan diantaranya yaitu DNA mitokondria memiliki jumlah beberapa kali lipat lebih banyak daripada DNA nukleus yang memungkinkan keberhasilan amplifikasi PCR dengan ketersediaan DNA cetakan hasil ekstraksi yang mencukupi untuk deteksi terutama pada sampel yang telah terdegradasi atau dalam jumlah sedikit, laju mutasi mtDNA lebih cepat daripada DNA nukleus dan keragaman urutan basa nukleotida memudahkan identifikasi jenis hewan yang berkaitan erat dalam
satu famili atau genus. DNA mitokondria diwariskan seluruhnya dari ibu, sehingga mtDNA bersifat unik
untuk pelacakan garis keturunan terutama di
wilayah yang sangat kekal seperti wilayah gen cyt b dibandingkan DNA nukleus yang diwariskan dari kedua tetua yang dapat mengakibatkan ambiguitas karena keragaman yang tinggi antar individu. Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (D-loop). Beberapa peneliti telah menggunakan gen sitokrom b (cyt b) untuk membedakan material yang berasal dari jenis hewan yang berbeda. Adanya variasi urutan pada cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan sebagai penanda untuk pengelompokan jenis hewan. Kekhasan dari gen cyt b diantaranya yaitu adanya daerah yang hampir sama untuk semua jenis hewan tetapi juga terdapat daerah yang spesifik untuk setiap jenis hewan. Kedua daerah tersebut berada dalam satu gen sehingga dalam penggunaannya untuk membedakan beberapa jenis hewan relatif lebih akurat. Metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan produk olahan terus dikembangkan sebagai suatu upaya perlindungan konsumen dan pelaksanaan pelabelan pangan. Teknik amplifikasi DNA spesifik untuk setiap jenis hewan pada keamanan dan kehalalan pangan dapat digunakan untuk verifikasi, sertifikasi (pengesahan), maupun untuk monitoring kebanyakan protein hewani dan produkproduk berkaitan untuk kegunaan authentikasi aman dan halal secara efisien dan efektif. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik spesifik (kekhasan) dan menentukan sensitivitas gen sitokrom b (cyt b) sebagai marka spesifik untuk tikus dan menguji efektivitas primer spesifik yang berasal dari sekuen cyt b pada famili Muridae, ordo Rodensia terutama tikus sebagai penciri jenis hewan dan salah satu aplikasinya yaitu untuk mendeteksi adanya cemaran daging tikus pada produk pangan asal daging.
Manfaat Pemanfaatan dan pengembangan penanda spesifik tersebut diharapkan dapat membantu dalam menyediakan teknologi yang aplikatif untuk melindungi konsumen dari pemalsuan informasi khususnya pada produk pangan asal daging. Hipotesis Penanda genetik spesifik gen sitokrom b (cyt b) pada kambing (Capra hircus), ayam (Gallus gallus), sapi (Bos taurus), domba (Ovis aries), babi (Sus scrofa), kuda (Equus cabalus) dan tikus (Rattus norvegicus) memiliki fragmen DNA unik yang mencirikan masing-masing jenis hewan tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus terbagi dalam kelompok tikus besar (rat) dan tikus kecil (mice). Tikus yang sebenarnya adalah anggota dari genus Rattus berasal dari Asia. Tikus yang paling dikenal manusia adalah tikus hitam atau tikus rumah (Rattus rattus) dan tikus coklat atau tikus got (Rattus norvegicus). Tikus digolongkan ke dalam ordo Rodensia (hewan yang mengerat), sub ordo Myomorpha, famili Muridae dan subfamili Murinae. Famili muroid sangat besar dan kompleks, banyak anggota genus dan famili rodensia lain juga disebut sebagai tikus karena memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan tikus yang sebenarnya (rat) diantaranya adalah tikus Bandicota (tikus wirok) dan Mus (mencit). Klasifikasi tikus disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi tikus Tingkatan Takson Dunia Filum Subfilum Kelas Subkelas Infra Kelas Ordo Subordo Famili Subfamili Genus
Golongan : Animalia : Chordata : Vertebrata (Craniata) : Mammalia : Theria : Eutheria : Rodentia : Myomorpha : Muridae : Murinae : Bandicota, Rattus dan Mus
Sumber: (Barnett & Anthony 2002)
Secara geografis penyebaran tikus meliputi semua benua yaitu Asia, Eropa, Amerika, Australia dan Afrika. Penyebaran tikus di daratan Asia, khususnya di Asia Tenggara meliputi hampir semua Negara seperti Burma, Thailand, IndoChina, Philipina, Semenanjung Malaysia dan Indonesia. Tikus yang banyak dijumpai umumnya berasal dari genus Bandicota, Mus dan Rattus. Indonesia tercatat memiliki 150 jenis tikus (rodentia, muridae) yang tersebar dan menempati berbagai tipe habitat diantaranya di pulau Jawa terdapat kurang lebih 19 jenis tikus (Suryanto et al. 1998) dari jumlah tersebut hanya 8 spesies yang paling berperan sebagai hama tanaman pertanian dan vektor patogen manusia, yaitu: (1)
Bandicota indica (tikus wirok), (2) Rattus norvegicus (tikus riul atau tikus got), (3) Rattus rattus diardii (tikus rumah), (4) Rattus tiomanicus (tikus pohon), (5) Rattus argentiventer (tikus sawah), (6) Rattus exulans (tikus ladang), (7) Mus musculus (mencit rumah) dan (8) Mus caroli (mencit ladang). Rattus norvegicus, Rattus rattus dan Mus musculus mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit, sedangkan kelima spesies lainnya mempunyai distribusi geografi hanya di sekitar Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tikus wirok, tikus riul, tikus sawah dan mencit ladang memiliki ekor relatif pendek terhadap kepala dan badan, serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan halus sehingga termasuk hewan terestrial. Tikus pohon, tikus rumah, tikus ladang dan mencit rumah memiliki ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar sehingga termasuk hewan aboreal. Jenis tikus yang termasuk dalam tiga Genus berbeda disajikan pada Gambar 1.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Tiga genus tikus. (a) Bandicota, (b) Rattus dan (c) Mus.
Salah satu ciri terpenting dari tikus sebagai ordo Rodensia (hewan pengerat) adalah kemampuannya untuk mengerat benda-benda yang keras. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh terus menerus. Beberapa hewan lain yang masih berkerabat dekat dengan tikus adalah bajing, landak, marmot, kelinci, tikus putih dan mencit putih. Adapun hewan yang bukan tikus tetapi mirip tikus yaitu cecurut dan tupai (Meerburg 2009). Sebanyak 64 jenis tikus masih termasuk dalam Genus Rattus diantaranya Lenothrix, Anonymomys, Sundamys, Kadarsanomys, Diplothrix, Margaretamys, Lenomys,
Komodomys,
Palawanomys,
Bunomys,
Nesoromys,
Stenomys,
Taeromys,
Paruromys, Abditomys, Tryphomys, Limnomys, Tarsomys, Bullimus, Apomys, Millardia,
Srilankamys,
Niviventer,
Maxomys,
Leopoldamys,
Berylmys,
Mastomys, Myomys, Praomys, Hylomyscus, Heimyscus, Stochomys, Dephomys dan Aethomys (Barnett & Anthony 2002). Rattus norvegicus Strain Albino Hubungan antara tikus dan manusia yang bersifat mutualisme terjadi pada tikus albino (Rattus norvegicus Strain Albino) atau mencit albino (Mus musculus Strain Albino) yang merupakan hewan laboratorium. Jenis tikus ini sering dijadikan hewan percobaan untuk pengujian obat manusia dan tingkat toksisitas racun hama terhadap manusia. Tikus dan mencit laboratorium merupakan tikus dan mencit albino yaitu tikus dan mencit yang sudah kehilangan pigmen melaninnya, sifat ini menurun pada keturunannya. Spesies dari tikus laboratorium adalah Rattus norvegicus, sedangkan mencit laboratorium adalah Mus musculus (Barnett & Anthony 2002). Tikus dan mencit albino dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2 Tikus dan mencit laboratorium. (a) Rattus norvegicus Strain Albino, (b) Mus musculus Strain Albino. R. norvegicus memiliki ciri-ciri yaitu panjang kepala sampai badan berkisar antara 150-233 mm dan panjang kaki belakang 34-44 mm, ekor umumnya lebih pendek daripada panjang badan dan kepala dengan bobot badan berkisar antara 150-600 gram. Jika dibandingkan antara ukuran Rattus norvegicus normal dan Rattus norvegicus albino, tampak bahwa Rattus norvegicus normal lebih besar
daripada Rattus norvegicus albino. Sebaliknya pada mencit, Mus musculus normal berukuran lebih kecil daripada Mus musculus albino. Hal ini disebabkan oleh adanya seleksi yang dilakukan oleh manusia untuk memudahkan pada saat menangani tikus dan mencit albino di laboratorium (Barnett & Anthony 2002). Marmut Marmut sebenarnya adalah sebutan untuk tikus Belanda atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama guinea pig. Hewan ini di Indonesia seringkali disebut sebagai marmut karena mirip dengan hewan lain tetapi berukuran lebih besar dari famili Sciuridae (bajing) dengan genus Marmota. Tikus Belanda atau marmut adalah jenis hewan pengerat yang masuk ke dalam famili Caviidae dan genus Cavia. Klasifikasi marmut dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi marmut Tingkatan Takson Dunia Filum Subfilum Kelas Sub kelas Infra kelas Ordo Subordo Famili Subfamili Genus Spesies
Golongan : Animalia : Chordata : Vertebrata (Craniata) : Mammalia : Theria : Eutheria : Rodentia : Hystricomorpha : Caviidae : Caviinae : Cavia : Cavia porcellus
Sumber: (Long 2003)
Berdasarkan studi biokimia dan hibridisasinya marmut diketahui merupakan hasil domestikasi keturunan cavy dan tidak ditemukan hidup secara liar di alam. Jenis liar dari hewan ini sering disebut sebagai Cavia aperea Erxleben. Cavia tschudii mungkin adalah nenek moyang dari spesies yang telah didomestikasi tersebut. Marmut yang sudah didomestikasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Marmut (Cavia porcellus). Panjang badan marmut sekitar 225-275 mm dan bobot badan sekitar 4001200 g. Marmut memiliki kepala relatif lebih besar terhadap tubuhnya dengan leher gemuk, rumps bulat dan tidak memiliki ekor, memiliki empat jari di kaki depan, tiga jari di kaki belakang, mengeluarkan suara sangat mirip dengan babi serta menghabiskan banyak waktu untuk makan. Marmut memiliki rambut halus dengan warna yang sering dijumpai yaitu putih, coklat, coklat kekuningan, abuabu atau buff, merah, perpaduan dua dan tiga warna. Ciri-ciri marmut liar mirip dengan marmut domestikasi. Marmut dapat bertahan hidup pada kandang sempit dalam waktu yang lama (Long 2003). Hewan ini banyak dijadikan hewan peliharaan oleh manusia karena sifatnya yang jinak dan biasa dimanfaatkan untuk diambil dagingnya. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin & Lukyanov 2007). Target PCR yaitu asam nukleat (DNA) untai ganda yang diekstraksi dari sel dan terdenaturasi menjadi asam nukleat beruntai tunggal. Komponen reaksi PCR terdiri atas pasangan primer berupa oligonukleotida spesifik untuk target gen yang dipilih, enzim (umumnya Taq polymerase, enzim thermostable dan thermoactive yang berasal dari Thermus aquaticus) dan trifosfat deoxynucleoside (dNTP) digunakan untuk amplifikasi target gen secara eksponensial dengan hasil replikasi ganda dari target awal. Reaksi ini dilakukan dalam suatu mesin pemanas yang
diprogram secara otomatis disebut thermocycler. Mesin tersebut menyediakan kondisi termal yang diperlukan untuk proses amplifikasi (Nollet & Toldrá 2011). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer) dan ekstensi (pemanjangan primer). Proses yang dimulai dari denaturasi, penempelan dan ekstensi disebut sebagai satu siklus. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses elektroforesis dan digunakan untuk analisis lebih lanjut (Weissensteiner et al. 2004). Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis gel yang diwarnai dengan bromida dan divisualisasikan dengan sinar ultraviolet (Nollet & Toldrá 2011). Multipleks PCR Multipleks PCR merupakan salah satu variasi dari teknik PCR dengan beberapa primer yang digunakan bersama-sama untuk amplifikasi pada beberapa daerah target (Jain 2007). Metode ini telah diterapkan pada banyak bidang uji DNA, termasuk analisis delesi, mutasi dan polimorfisme, atau uji kuantitatif PCR dan transkripsi reverse. Multipleks PCR umum digunakan untuk analisis genotipe yang memerlukan beberapa penciri secara simultan, deteksi patogen, organisme rekayasa genetik (GMO) atau untuk analisis mikrosatelit. Multipleks PCR merupakan teknik yang efisien sehingga dapat menghemat biaya untuk analisis PCR dalam skala besar. Kelemahan multipleks PCR yaitu terkadang membutuhkan prosedur optimasi panjang untuk menentukan konsentrasi primer, konsentrasi cetakan DNA, komponen buffer dan kondisi PCR yang sesuai (Römpler 2006). Multipleks PCR terdiri atas beberapa set primer dalam campuran PCR tunggal untuk menghasilkan amplikon dengan berbagai ukuran yang spesifik pada sekuen DNA yang berbeda. Informasi tambahan dapat diperoleh dari teknik multipleks PCR dengan penargetan gen sekaligus dari uji coba tunggal yang tidak akan membutuhkan beberapa kali reagen dan dapat menghemat waktu. Temperatur annealing untuk masing-masing set primer harus dioptimalkan agar bekerja dengan benar dalam reaksi tunggal dan ukuran amplikon yaitu panjang pasang basanya, harus cukup berbeda untuk membentuk pita yang berbeda antar beberapa target ketika divisualisasikan dengan gel elektroforesis (Henegariu et al.
1997). Meskipun dengan teknik unipleks (simpleks) PCR konvensional diperoleh hasil yang sama, pendekatan multipleks PCR memungkinkan untuk deteksi simultan yang cepat, praktis dan sederhana karena dilakukan sekaligus dalam satu tabung reaksi (Kingombe et al. 2010). DNA Mitokondria Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) memiliki sejumlah sifat genetik khas yang membedakannya dari genom inti. Genom mitokondria berbentuk sirkuler, beruntai ganda, memiliki panjang sekitar 16.5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan cytosine (C) berkisar antara 32-45.6%. Kedua basa tersebut menyebar tidak merata diantara kedua untai DNA. Distribusi asimetris nukleotida menimbulkan heavy strand (untai berat) dan light strand (untai ringan) ketika molekul mtDNA dipisahkan dalam gradien basa CsCl. Heavy strand atau untai H berisi lebih banyak nukleotida guanin (G) yang mempunyai berat molekul terbesar diantara keempat nukleotida, sedangkan Light strand atau untai L berisi lebih sedikit basa G. Susunan genom mitokondria disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Susunan gen dari organisasi genom mitokondria (Taylor & Turnbull 2005).
Genom mitokondria terdiri atas gen-gen penyandi rRNA, tRNA dan protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memiliki urutan nukleotida daerah control region non penyandi (non-coding region) yang dikenal dengan daerah displacement loop (D-Loop) (Taylor & Turnbull 2005). Replikasi mtDNA dimulai dengan untai-H yang terdapat dalam daerah D-loop mitokondria. Sebanyak 28 produk gen dikodekan dari untai-H, sedangkan untai-L mentranskripsi delapan RNA transfer (tRNA) dan enzim yang disebut ND6. Jumlah molekul DNA mitokondria dalam sel sangat bervariasi. Rata-rata terdapat 4-5 salinan molekul mtDNA per mitokondria. Setiap sel dapat berisi ratusan mitokondria yang secara matematis bisa sampai beberapa ribu molekul mtDNA dalam setiap sel seperti dalam sel telur (ovum), namun rata-rata diperkirakan terdapat sekitar 500 mtDNA dalam setiap sel. Hal tersebut menjadikan keberhasilan isolasi mtDNA lebih besar (relatif terhadap penanda DNA nukleus) pada sampel biologis yang mungkin telah rusak karena panas atau kelembaban. Perbandingan karakteristik dasar DNA inti dan DNA mitokondria disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria Karakteristik
DNA inti
DNA mitokondria
Ukuran genom
~ 3,2 milyar pb
~ 16.569 pb
Jumlah kopi/sel
2 (1 alel setiap tetua)
Dapat >1000
Total DNA/sel
99.75%
0.25%
Struktur
Linier; dikemas dalam kromosom
Sirkuler
Diturunkan dari
Ibu dan bapak
Ibu
Pasangan kromosom
Diploid
Haploid
Rekombinasi generasi
Ya
Tidak
Replikasi
Ya
Tidak
Keunikan
Unik untuk setiap individu
Tidak unik untuk setiap
(kecuali kembar identik)
individu (relatif sama dengan ibu)
Laju mutasi
Rendah
± 5-10 kali lipat dari DNA inti
Sumber : Butler (2005)
DNA mitokondria
ditinjau dari ukuran, jumlah gen dan bentuk yaitu
memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, sekitar 5-10 kali DNA nukleus, DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000 kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA nukleus hanya berjumlah dua kopi. DNA nukleus merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orang tua sementara DNA mitokondria hanya diwariskan dari ibu atau maternally inherited (Butler 2005). DNA mitokondria pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu dan sperma sama sekali tidak berkontribusi. Keunikan sistem penurunan yang menarik ini telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang yaitu penentuan hubungan kekerabatan, studi evolusi dan migrasi, bidang forensik dan identifikasi penyakit genetik. Kemungkinan memperoleh kembali DNA mitokondria dari sampel biologis dalam jumlah sedikit atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi lebih besar daripada DNA inti karena molekul DNA mitokondria terdapat dalam ratusan sampai ribuan kopi dibanding DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan sebagai sumber materi untuk penentuan lokus DNA mitokondria apabila terjadi degradasi yang disebabkan oleh peralatan atau karena waktu (Butler 2005). Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (Dloop) (Fajardo et al. 2010). Identifikasi jenis daging dalam produk dilakukan Martín et al. (2007) yaitu deteksi cemaran jaringan kucing, anjing dan tikus pada pangan dan pakan dengan menggunakan analisis keragaman sekuen dalam 12S rRNA pada DNA mitokondria. Sampel yang digunakan berasal dari daging mentah dan daging yang telah dipanaskan pada suhu dan tekanan tinggi (133oC, 300 kPa) selama 20 menit. Target berhasil diamplifikasi dengan panjang fragmen DNA kucing, anjing dan tikus berturut-turut sepanjang 108, 101 dan 96 pb. Kesmen et al. (2007) menggunakan DNA mitokondria untuk mendeteksi adanya daging babi, kuda dan keledai pada sosis. Primer spesifik dirancang pada daerah mitokondria
yang
berbeda-beda
untuk
setiap
jenis
ternak
yaitu
gen
ATPase6/ATPase8 untuk kuda, gen ND2 (NADH dehidrogenase subunit 2) untuk keledai dan gen ND5 (NADH dehidrogenase subunit 5) untuk babi. Panjang fragmen teramplifikasi untuk kuda, keledai dan babi berturut-turut sepanjang 153, 145 dan 227 pb. Kumar et al. (2011) menggunakan teknik PCR tunggal untuk deteksi daging kambing (Capra hircus). Primer spesifik kambing (DAF-01 dan DGR-04) dirancang pada daerah kekal d-loop mitokondria dan dihasilkan produk PCR sepanjang 294 pb. Gen Sitokrom b (Cyt b) Cytochrome b (cyt b) adalah salah satu bagian dari sitokrom yang terlibat dalam transportasi elektron dalam mitokondria. Cyt b berisi delapan transmembran heliks yang dihubungkan oleh intramembran atau domain ekstramembran. Gen cyt b dikodekan oleh DNA mitokondria. Adanya variasi urutan pada cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan untuk membandingkan spesies dalam genus atau famili yang sama. Keunikan sekuen gen cyt b yaitu terdapat bagian yang bersifat kekal di dalam tingkat spesies, sehingga dapat digunakan untuk pengelompokan berdasarkan jenis hewan atau untuk penetuan hubungan kekerabatan antar jenis hewan (Widayanti 2006). Sekuen gen cyt b yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus mempunyai panjang sekuen 1143 pb (Naidu et al. 2010), runutan genom cyt b Capra hircus sepanjang 1140 pb (Liu et al. 2007), Gallus gallus sepanjang 1143 pb (Shen & Nakamura 2000), Bos taurus sepanjang 1140 pb (Geng & Chang 2008), Ovis aries sepanjang 1140 pb (Rezaei et al. 2010), Sus scrofa 1140 pb (Han et al. 2004b), Equus cabalus sepanjang 1139 pb (Han et al. 2004a) dan Cavia porcellus sepanjang 1140 pb (Dunnum & Salazar 2010). Gen cyt b dari genom mitokondria Rattus norvegicus disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Daerah cyt b dalam genom mitokondria Rattus norvegicus (NCBI 2011). Minarovič et al. (2010) membedakan beberapa jenis hewan yaitu cerpelai (Mustela vison), ferret (Mustela putorius furo), babi (Sus scrofa domesticus), kelinci (Oryctolagus cuninculus) dan angsa (Anser anser) menggunakan sekuen cyt b. Metode yang digunakan terdiri atas amplifikasi PCR diikuti oleh pemotongan restriksi (PCR-RFLP) sehingga teknik deteksi menjadi lebih rumit. Matsunaga et al. (1999) mengembangkan sebuah metode sederhana menggunakan multipleks PCR untuk identifikasi dari enam daging yaitu sapi, babi, ayam, domba dan kambing. Fragmen tersebut diamplifikasi dari daging yang dimasak dengan dipanaskan pada suhu 100oC atau 120oC selama 30 menit. Hasil yang diperoleh yaitu sampel yang diteliti teramplifikasi dengan panjang fragmen kambing, ayam, sapi, domba, babi dan kuda berturut-turut adalah 157 pb, 227 pb, 274 pb, 331 pb, 398 pb dan 439 pb, dengan menggunakan primer yang sama tetapi rasio primer berbeda. Berdasarkan klasifikasinya kambing digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Artiodactyla; famili Bovidae ; sub famili Caprinae; genus Capra dan spesies Capra hircus, ayam digolongkan ke dalam kelas Aves; ordo Galliformes, Famili Phasianidae; genus Gallus; spesies Gallus gallus, sapi digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Artiodactyla; famili Bovidae; sub famili Bovinae; genus Bos; spesies Bos taurus, domba digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Artiodactyla; Famili Bovidae; sub famili Caprinae; genus Ovis; spesies Ovis aries, babi digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Artiodactyla; famili Suidae; sub famili Suinae; genus Sus; spesies Sus scrofa,
kuda digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Perissodactyla; famili Equidae; genus Equus; spesies Equus cabalus. Obrovska et al. (2002) memperoleh fragmen spesifik 227, 274, 398 dan 498 pb masing-masing untuk ayam, sapi, babi dan kuda. Jain et al. (2007) juga memperoleh hasil yang sama untuk setiap jenis ternak yang dicobakan Matsunaga et al. (1999) akan tetapi ditambahkan sampel kerbau untuk mengetahui perbedaannya dengan fragmen sapi. Che et al. (2007) mengidentifikasi cemaran babi pada produk pangan untuk verifikasi kehalalan pangan. Dalmasso et al. (2004) mengidentifikasi jenis hewan pada bahan pakan dengan metode multipleks PCR. Ghovvati et al. (2009) melakukan identifikasi jenis hewan untuk mendeteksi pemalsuan produk pada industri pangan. Bottero et al. (2003) melakukan penelitian pada produk susu untuk mengidentifikasi asal susu dari sapi, kambing dan domba perah dengan metode Multipleks PCR. Zhang et al. (2007) menggunakan metode real time PCR mengidentifikasi adanya DNA sapi pada daging, susu dan keju. Metode Deteksi Cemaran Pangan Tuntutan pengembangan metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan produk olahannya terus meningkat sebagai suatu upaya perlindungan konsumen, perdagangan dan pelaksanaan undang-undang pelabelan pangan. Teknik identifikasi jenis daging yang cepat, murah dan akurat sangat diperlukan untuk mengetahui sumber daging yang digunakan dalam produk olahan. Pencegahan praktek curang (pemalsuan) dalam produk menjadi bagian penting dalam mengontrol regulasi produk pangan. Menurut Ballin (2010), pemalsuan atau penipuan daging dan produk olahannya dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok pemalsuan yang paling mungkin terjadi yaitu asal daging, substitusi daging, perlakuan pada saat pengolahan daging dan penambahan bahan lain. Pengelompokan berdasarkan jenis substitusi daging diantaranya yaitu substitusi sumber daging lain, lemak dan protein. Beberapa teknik analisis identifikasi substitusi daging dan produk olahannya disajikan pada Tabel 4. Suatu organisme hidup mempunyai satu susunan tertentu dari protein atau asam nukleat, sehingga keragaman protein dari organisme dapat dijadikan alat
atau penanda untuk menelusuri asal-usul atau kekerabatan suatu jenis hewan. Identifikasi suatu jenis daging dan produk olahannya dapat dilakukan dengan metode berdasarkan pemisahan fraksi molekul (elektroforesis), metode imunologi (single diffusion, double diffusion, ELISA = enzym linked immunosorbent assay, RID = radial immunodiffusion, CIE = counter immunoelectrophoresis), komposisi asam lemak (chromatography gas dan high performance liquid chromatography). Semua metode tersebut mempunyai kelemahan yaitu hanya bisa dilakukan dalam bentuk segar (mentah), memerlukan sampel yang cukup banyak dan keakuratan rendah dalam keadaan matang (daging olahan) (Kesmen 2007). Tabel 4 Teknik analisis deteksi dan identifikasi substitusi daging, lemak dan protein pada daging dan produk olahan asal daging Substitusi Daging Daging (jenis hewan)
Teknik Analisis ELISA LC Isoelectric focusing Capilary gel electrophoresis PCR Real time PCR RFLP RAPD Sekuensing SSCA CSGE Daging (jaringan) Mid-infrared spectroscopy ELISA Lemak (nabati) LC-MS/MS HPLC GC-MS APPI LC-MS/MS GC-FID Lemak (hewani) GC Protein (nabati) HPLC ELISA Protein (hewani) Microsphere-based flow cytometric immunoassay LC ELISA Protein (melamin dan urea) Head space GC-MS LC-MS/MS Head space GC-MS Keterangan: APPI (atmospheric pressure photoionization), CSGE (conformation sensitive gel electrophoresis), ELISA (enzyme-linked immuno sorbent assay), FID (flame ionization detector), GC (gas chromatography), HPLC (high performance liquid chromatography), LC (liquid chromatography), MS (mass spectrometry), PCR (polymerase chain reaction), RAPD (random amplified polymorphic DNA), RFLP (restriction fragment length polymorphism). Sumber : Ballin (2010)
Perkembangan pesat dalam teknologi molekuler memungkinkan teknik analisis berbasis DNA dan telah menyebabkan perubahan dalam identifikasi jenis daging yang biasanya dilakukan dari protein. Degenerasi DNA memiliki keuntungan yang membedakan antara jenis hewan yang berbeda. Bila dibandingkan dengan protein, DNA memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi, terdapat dalam sebagian besar sel dan memungkinkan untuk memperoleh informasi tanpa mengetahui jaringan asal. Metode amplifikasi yang paling populer adalah polimerase chain reaction (PCR). Teknik PCR mampu membuat target yaitu asam nukleat lebih dari satu miliar kali lipat dari sampel DNA yang sangat sedikit atau dalam batas untuk deteksi (Nollet & Toldrá 2011). Oleh karena itu, sampel yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan pengujian berbasis protein. Teknologi DNA (hibridisasi DNA, Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA = PCR-RAPD, PCR-Restriction Fragment Length Polymorphism = PCR-RFLP, PCR dengan primer spesifik), merupakan metode yang sangat praktis dan akurat, mempunyai kelebihan dapat mendeteksi protein yang sudah terdegradasi (matang atau produk olahan) dalam kandungan yang sangat sedikit (µg) (Nuraini 2004). Beberapa jenis analisis PCR digunakan karena mudah mengamplifikasi daerah target dari template DNA dalam waktu yang lebih singkat sehingga cocok untuk identifikasi daging dan produk olahan daging. Identifikasi jenis hewan merupakan salah satu tujuan penggunaan penanda DNA. Hal ini dilakukan untuk bermacam kepentingan, salah satunya adalah untuk menghindari terjadinya pencemaran pada produk pangan sehingga dapat mengidentifikasi suatu bahan yang tidak seharusnya ada. Identifikasi asal daging pada sampel produk sangat berguna bagi konsumen karena beberapa alasan yaitu (a) kemungkinan kerugian ekonomi dari substitusi daging tersebut yang termasuk penipuan produk, (b) terhadap kesehatan individu yang mungkin dapat mengalami alergi spesifik pada daging tertentu dan (c) alasan keagamaan (Miguel et al. 2004). Deteksi dan identifikasi daging juga sangat bermanfaat dalam pelabelan produk untuk menginformasikan keamanan produk bagi konsumen.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai dengan bulan Pebruari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika dan Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Materi Sampel DNA Sampel DNA diisolasi dari beberapa jenis tikus yaitu tikus got, tikus putih, tikus rumah, mencit dan tikus hutan, sebagai pembanding digunakan sampel dari berbagai jenis hewan antara lain kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan marmut (tikus Belanda). Sampel DNA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari darah, daging dan produk olahan. Sampel DNA yang diisolasi dari darah yaitu kambing, ayam, sapi, domba, kuda, tikus dan marmut. Sampel DNA yang berasal dari daging yaitu babi dan tikus. Sampel DNA yang berasal dari produk olahan yaitu bakso dan abon. Jumlah sampel yang berasal dari darah, daging dan produk olahan yaitu berturut-turut sebanyak 32, 4 dan 52 sampel. Pembuatan produk olahan daging (bakso dan abon) menggunakan daging tikus Ratus norvegicus strain albino sebagai bahan campuran pada produk bakso dan abon sapi yang terdiri atas beberapa level cemaran yaitu 1; 2.5; 5; 7.5; 10; 15; 20 dan 25%. Primer Primer yang digunakan dalam amplifikasi fragmen DNA spesifik kambing, ayam, sapi, domba, babi dan kuda mengacu pada Matsunaga et al. (1999) dengan primer forward yang sama untuk semua jenis hewan yaitu 5‟-GAC CTC CCA GCT CCA TCA AAC ATC TCA TCT TGA TGA AA-3‟. Primer reverse untuk mengamplifikasi fragmen spesifik tikus dirancang dengan software MEGA 4. Sampel marmut (tikus Belanda) diamplifikasi menggunakan primer yang sama dengan primer untuk tikus. Sekuen primer reverse pada setiap jenis hewan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sekuen primer spesifik gen cyt b dari tujuh jenis hewan Jenis Hewan Reverse (5‟ – 3‟) Kambing CTC GAC AAA TGT GAG TTA CAG AGG GA* Ayam AAG ATA CAG ATG AAG AAG AAT GAG GCG* Sapi CTA GAA AAG TGT AAG ACC CGT AAT ATA AG* Domba CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CA* Babi GCT GAT AGT AGA TTT GTG ATG ACC GTA* Kuda CTC AGA TTC ACT CGA CGA GGG TAG TA* Tikus GAA TGG GAT TTT GTC TGC GTT GGA GTT T** Keterangan: * berdasarkan Matsunaga et al. (1999) ** perancangan primer menggunakan software MEGA 4
Hasil Amplifikasi 157 bp 227 bp 274 bp 331 bp 398 bp 439 bp 603 bp
Bahan kimia yang digunakan adalah buffer TEN (10 mM Tris-HCl, 5 mM EDTA dan 10 mM NaCl), 10 % SDS, fenol, kloroform, etanol 70 %, etanol absolut, 5M NaCl, buffer TE (10 mM Tris-HCl dan 1 mM EDTA), akuades, akuabides, 10 x buffer PCR (100 mM Tris-HCl, 500 mM KCl, 15 mM MgCl2 dan 0.1 % Triton X-100), dNTP‟s, agarose, ethidium bromida, buffer TAE (Tris-HCl, asam asetat, EDTA), loading dye dan DNA marker. Enzim yang digunakan adalah 10 mg/µl proteinase-K, RNA-se dan Taq DNA Polymerase. Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf (1.5 ; 0.5 dan 0.2 ml), tip pipet (100 ; 200 dan 1000 l), pipet mikro, mikro sentrifuse, mortar, vorteks, water bath-shaker, vacuum dryer, spektrofotometer (GeneQuant 1300), mesin PCR GeneAmp® PCR System 9700 (Applied Biosystems™), satu set alat elektroforesis gel agarose (MUPID) dan kamera Polaroid (MP 4 Polaroid camera + UV transilluminator). Prosedur Perancangan Primer Reverse Tikus Perancangan primer spesifik untuk tikus berdasarkan runutan nukleotida gen cyt b pada tikus yang terdapat dalam GenBank (NCBI). Spesies tikus yang digunakan yaitu Rattus norvegicus sepanjang 1143 pb (nomor akses GenBank HM222710). Sekuen gen tersebut kemudian dihomologikan dengan cyt b Capra hircus (nomor akses GenBank EU130780), Gallus gallus (nomor akses GenBank AF195628), Bos taurus (nomor akses GenBank AF195628), Ovis aries (nomor akses GenBank EU365990), Sus scrofa (nomor akses GenBank AY634188) dan Equus caballus (nomor akses GenBank AY522328). Setelah diketahui situs penempelan primer forward dan reverse pada masing-masing jenis hewan tersebut
kemudian dilakukan perancangan primer reverse tikus dengan melihat runutan basa yang hanya terdapat pada tikus tetapi tidak terdapat pada jenis hewan lain, sehingga diharapkan primer reverse tersebut dapat menjadi primer spesifik tikus. Software yang digunakan untuk perancangan primer spesifik tikus adalah MEGA 4. Tahapan penggunaan program yaitu (1) runutan nukleotida yang diperoleh dari GenBank dan primer dipastikan sudah dalam bentuk FASTA (2) runutan nukleotida setiap jenis hewan dan primer tersebut dibuka pada software MEGA 4, (3) dilakukan multiple alignment dengan terlebih dahulu mencari situs penempelan primer forward untuk semua jenis hewan dan (4) ditentukan daerah spesifik untuk tikus yang tidak terdapat pada keenam jenis hewan yang digunakan. Uji Homologi Primer Spesifik Uji homologi primer spesifik terhadap tujuh jenis hewan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan genetic information processing software GENETYX-WIN versi 4.0. Tahapan penggunaan program ini yaitu (1) software dibuka, (2) diklik „New Sequence‟ pada „File‟, (3) diberi nama primer pada ID yang tersedia, (4) runutan primer diketik pada kotak, (4) diklik „Search Homology‟ pada „Nucleotide‟, (5) sekuen cyt b yang sudah dalam bentuk FASTA dimasukkan dengan cara diklik „add‟ lalu „ok‟ dan hasil pengujian akan langsung ditampilkan. Pembuatan Produk Olahan Asal Daging (Kontrol Positif) Pembuatan Bakso Dicemari Daging Tikus. Daging sapi segar yang sudah dibersihkan lemaknya dipotong kecil-kecil, kemudian ditambahkan daging tikus dan dimasukkan ke dalam food processor. Persentase bahan yang ditambahkan yaitu untuk es batu, tepung tapioka, garam, bawang putih, STPP dan merica berturut-turut sebanyak 40%, 20%, 3%, 0.5%, 0.5% dan 0.5% dari daging. Es batu dan NaCl ditambahkan, kemudian digiling halus selama 1 menit. Lada, tepung tapioka dan bawang putih ditambahkan ke dalam campuran daging tersebut, kemudian digiling kembali selama 1 menit. Adonan dicetak berbentuk bulatanbulatan bakso dan dimasukkan kedalam panci yang berisi air mendidih (80oC) selama 15 menit. Bulatan-bulatan bakso dimasak kembali pada air mendidih
(100oC) selama 10 menit. Bakso kemudian diangkat dan ditiriskan selama 15 menit. Bakso dikemas dalam plastik untuk selanjutnya diekstraksi. Pembuatan Abon Sapi Dicemari Daging Tikus. Daging segar yang telah dibersihkan dari lemak dicuci. Daging tikus ditambahkan kemudian dimasukkan ke dalam panci presto yang berisi air sampai permukaan daging terendam, direbus dalam air mendidih (100oC) sampai empuk selama 30 menit. Daging tersebut diangkat dan ditiriskan dalam nampan yang dialasi kertas buram untuk mempermudah penyerapan air. Persentase bahan tambahan yang digunakan untuk ketumbar halus, bawang merah, garam, gula putih dan lengkuas berturut-turut sebesar 3.75%, 3.17%, 3.06%, 9.16% dan 5.40% dari daging. Daging diremah dengan garpu, kemudian dicampurkan bumbu-bumbu yang terdiri atas garam, ketumbar, lengkuas, gula putih, bawang merah yang telah dihaluskan dan ditumbuk sampai bumbu tercampur merata. Remahan daging berbumbu tersebut digoreng sampai terjadi perubahan warna menjadi agak kecokelatan selama 45 menit dengan suhu penggorengan 172oC. Abon dikeluarkan minyaknya dengan alat penekan manual dan dikeringkan pada suhu 105oC selama 30 menit. Abon yang sudah matang disimpan dalam nampan yang dialasi kertas minyak sambil diangin-anginkan untuk selanjutnya dikemas dan siap untuk diekstraksi. Isolasi dan Ekstraksi DNA Isolasi dan ekstraksi DNA dilakukan pada sampel darah dan produk olahan daging mengikuti metode Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi dalam preparasi sampel dan degradasi protein. Preparasi Sampel. Sampel yang berasal dari darah dalam alkohol absolut diperlukan sebanyak 200 µl, dari daging dalam alkohol absolut sebanyak 75 mg dan dari produk olahan sebanyak 75 mg. Masing-masing dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1.5 ml. Sampel yang disimpan dalam alkohol terlebih dahulu dibersihkan dengan air destilasi sebanyak 1000 µl, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Alkohol yang terbentuk di bagian atas tabung kemudian dibuang, langkah tersebut dilakukan sebanyak dua kali agar alkohol dalam sampel benar-benar hilang. Sampel produk olahan yang tidak disimpan dalam alkohol terlebih dahulu dipotong-potong atau digerus dengan mortar.
Degradasi Protein. Sampel darah dan daging yang telah dibersihkan dari alkohol serta sampel produk olahan yang telah dipotong halus tersebut masing-masing ditambahkan 1x STE (sodium tris EDTA) sampai volume 340 µl (± 200 µl), 40 µl SDS (sodium dosesil sulfat) 10% dan 20 µl proteinase K 10 mg/ml. Tabung berisi campuran tersebut dihomogenkan dengan shaker dan diinkubasi pada suhu 55ºC selama 2 jam untuk mengoptimalkan kerja enzim dalam memecah protein. Degradasi Bahan Organik. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan fenol sebanyak 400 µl, CIAA (kloroform : isoamil alkohol dengan perbandingan 24:1) sebanyak 400 µl dan 40 µl NaCl 5M, dicampurkan perlahan-lahan dan merata dengan cara menggerakkan tabung membentuk angka delapan selama satu menit. Larutan diinkubasi kembali selama 15 menit dalam suhu ruang sambil terus dibolak-balik. Presipitasi DNA. Bahan organik yang sudah didegradasi disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit dengan suhu 20 oC hingga fase DNA terpisah dengan fase fenol. Fase DNA dipindahkan dalam tabung baru. Sebanyak 800 µl alkohol absolut dan 40 µl 5M NaCl ditambahkan, kemudian diinkubasi pada suhu -20 ºC selama semalam. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit, bagian alkohol dibuang sebanyak mungkin. Bagian endapan (DNA) yang tersisa ditambahkan 800 µl alkohol 70% dan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit dengan suhu 20 oC, bagian alkohol yang terbentuk dibuang kembali sebanyak mungkin. Bagian DNA yang tersisa dibiarkan dalam keadaan terbuka pada suhu ruang sampai kering untuk menghilangkan alkohol, lalu ditambahkan sebanyak 100 µl larutan TE (Tris EDTA). Sampel DNA disimpan pada suhu -20 ºC dan siap untuk digunakan. Pengujian DNA Total Pengujian DNA hasil ekstraksi secara kualitatif dilakukan dengan elektroforesis pada gel 1%. Gel dibuat dari 0.3 gram agarose dan 30 ml larutan buffer (0.5 x TBE) yang dipanaskan. Larutan agarose dibiarkan agak dingin sambil diaduk dengan magnet stirrer, lalu ditambahkan 1.25 μl pewarna ethidium bromide. Sebanyak 5 μl sampel DNA dilarutkan dalam 1 μl loading dye. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit pada tegangan konstan 100 volt sampai pewarna bromtimol blue mencapai bagian bawah gel.
Pengujian DNA hasil ekstraksi secara kuantitatif dilakukan dengan spektrofotometer GeneQuant 1300. Sampel DNA sebanyak 3µl dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1.5 ml ditambah air destilata sebanyak 597 µl. Larutan TE (Tris EDTA) digunakan sebagai blangko dengan cara yang sama yaitu sebanyak 3 µl larutan TE ditambah air destilata, lalu dimasukkan dalam tabung eppendorf 1.5 ml. Sampel dan blangko di spin down selama 0.5 menit, kemudian dilakukan pengujian dengan spektrofotometer. Amplifikasi Fragmen DNA Spesifik Amplifikasi ruas gen cyt b dilakukan dengan metode multipleks PCR. Sampel DNA sebanyak 2 µl dimasukkan ke dalam tabung PCR 0.2 ml, ditambahkan komponen-komponen PCR yang terdiri atas primer forward 35 pmol, primer reverse masing-masing 5 pmol, campuran dNTP 200 µl, MgCl2 1 mM, dan 0.5 unit enzim Taq polymerase dan bufernya. Proses amplifikasi dilakukan pada mesin thermocycler GeneAmp® PCR System (Applied Biosystems
TM
) dengan suhu pradenaturasi 94oC selama 5 menit, 30 siklus yang
terdiri atas denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 60oC selama 45 detik, elongasi 72oC selama 1 menit dan elongasi akhir 72oC selama 5 menit. Setelah proses tersebut selesai, tabung diambil dan disimpan pada suhu ruang atau pada suhu 4oC sampai akan dianalisis lebih lanjut. Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR Produk PCR divisualisasikan dengan teknik elektroforesis gel agarose 2%. Gel dibuat dari 0.6 gram agarose dan 30 ml larutan buffer (0.5 x TBE) yang dipanaskan. Larutan agarose dibiarkan agak dingin sambil diaduk dengan stirrer, lalu ditambahkan 2.5 μl pewarna ethidium bromide. Sebanyak 5 μl produk PCR dilarutkan dalam 1 μl loading dye. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit pada tegangan konstan 100 volt atau sampai pewarna bromtimol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan pemotretan menggunakan UV. Analisis Data Rataan pengulangan pengujian primer pada masing-masing sampel DNA dilakukan sebanyak empat kali dan pengulangan PCR sebanyak tiga kali. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dihitung persentase keberhasilan sampel DNA yang teramplifikasi dengan rumus: Persentase keberhasilan (%) =
x 100
HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan Primer Spesifik Tikus Teknik multipleks PCR diaplikasikan dalam penelitian ini sehingga primer yang digunakan terdiri atas satu primer forward dengan tujuh primer reverse untuk tujuh jenis hewan yang digunakan. Primer forward yang sama untuk semua jenis hewan mengacu pada Matsunaga et al. (1999). Primer reverse setiap jenis hewan dirancang pada daerah spesifik dalam runutan nukleotida cyt b. Primer reverse tikus dalam penelitian ini dirancang dengan program MEGA 4. Sekuen gen cyt b beberapa jenis hewan diperoleh dari NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). Sekuen cyt b tikus (Rattus norvegicus) sepanjang 1143 pb (nomor akses GenBank HM222710) disejajarkan (multiple alignment) dan dicari runutan basa yang hanya terdapat pada sekuen cyt b jenis hewan tersebut dibandingkan dengan sekuen
cyt
b kambing (Capra hircus)
sepanjang1140 pb (nomor akses GenBank EU130780), ayam (Gallus gallus) sepanjang 1143 pb (nomor akses GenBank AF195628), sapi (Bos taurus) sepanjang 1140 pb (nomor akses GenBank AF195628), domba (Ovis aries) sepanjang 1140 pb (nomor akses GenBank EU365990), babi (Sus scrofa) sepanjang 1140 pb (nomor akses GenBank AY634188) dan kuda (Equus caballus) sepanjang 1139 pb (nomor akses GenBank AY522328). Fragmen ini terletak di dalam gen cyt b berdekatan dengan gen tRNA Glu. Posisi penempelan primer hasil rancangan ditampilkan pada Gambar 6. 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601
atgacaaaca ctccccgccc ctcatagtac acagcattct tacctacacg ggactatact tttgcagtca tgaggagcta gtcgaatgaa ttccacttca cacgaaacag
tccgaaaatc catctaacat aaatcctcac catcagtcac ccaacggcgc atggatccta tagcaactgc cagtaattac tctgaggagg tcctcccatt gatcaaataa
tcacccccta ctcatcatga aggcttattc ccacatctgc ctcaatattt cactttccta attcatgggc aaacctatta cttctcagta cattatcgcc ccccacagga
ttcaaaatca tgaaacttcg ctagcaatac cgagacgtaa ttcatctgcc gaaacctgaa tatgtactcc tcagctatcc gacaaagcaa gcccttgcaa ttaaactccg
tcaaccactc gttctctact actacacgtc actacggctg tattcctcca acattgggat catgaggaca cttacattgg ccctaacacg ttgtacatct acgcagacaa
ctttatcgac aggagtatgc tgataccata actaatccga tgtgggacga catcctacta aatatcattc gactacccta cttcttcgca tcttttcctc aatcccattc
Gambar 6 Situs penempelan primer pada sekuen gen cyt b Rattus norvegicus (nomor akses GenBank HM222710). Posisi primer forward (warna kuning/cetak tebal bergaris bawah), primer reverse hasil rancangan (warna merah/kotak).
Situs penempelan primer forward dimulai dari posisi basa ke-58 sampai basa ke-95, sedangkan situs penempelan primer hasil rancangan mulai dari posisi basa ke-660 sampai basa ke-633 pada runutan nukleotida sekuen gen cyt b tikus (Rattus norvegicus). Desain primer sangat penting dan menentukan pada teknik multipleks PCR, karena spesifisitas primer dan temperature melting (Tm) lebih menentukan keberhasilan amplifikasi dibandingkan dengan simpleks PCR. (Matsunaga et al. 1999). Menurut Henegariu et al. (1997) primer yang digunakan dalam multipleks PCR harus memenuhi beberapa syarat seperti panjang primer terdiri atas 18-24 pb atau lebih, kandungan basa GC 35-60% serta memiliki suhu annealing 55-58oC atau lebih tinggi. Hasil rancangan primer reverse tikus sudah memenuhi syarat sebagai suatu rangkaian primer dan ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria primer tikus hasil rancangan Kriteria
Primer tikus
Panjang primer (nukleotida)
28
Kandungan basa GC (%)
42.85
Suhu annealing (oC)
60
Panjang produk PCR (pb)
603
Derajat Kesamaan Primer Spesifik Uji homologi primer spesifik terhadap tujuh jenis hewan dalam penelitian ini dilakukan melalui perhitungan persentase kesamaan runutan basa dari setiap jenis hewan yang diuji, sehingga diketahui tingkat kespesifikan dari suatu runutan DNA. Uji homologi penentuan spesifisitas menggunakan genetic information processing software GENETYX-WIN versi 4.0. Hasil uji homologi primer spesifik pada sekuen cyt b tujuh jenis hewan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Derajat kesamaan primer spesifik pada tujuh jenis hewan Primer Spesifik Forward (38 pb) Kambing (26 pb) Ayam (27 pb) Sapi (29 pb) Domba (26 pb) Babi (27 pb) Kuda (26 pb) Tikus (28 pb)
Kambing 92.1 66.7 81.5 95.0 58.8 84.0 82.6
Ayam 89.5 57.7 60.8 73.7 64.7 64.7 63.6
% Homologi Sapi Domba 89.5 92.1 60.8 60.8 61.1 53.8 66.7 66.7 72.7 52.0 76.0 80.0 88.0 80.0
Babi 92.1 72.2 75.0 61.5 75.0 76.0 78.2
Kuda 86.8 79.2 73.0 79.3 55.6 66.7 72.7
Tikus 89.5 66.7 77.8 72.2 66.7 58.8 75.0 -
Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer forward memiliki persentase kesamaan yang relatif tinggi terhadap sekuen kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan tikus, yaitu berkisar antara 86.8 - 100% dari runutan 38 basa. Runutan primer reverse memiliki persentase kesamaan yang tinggi pada satu jenis hewan tertentu dan rendah pada jenis hewan lainnya, sehingga dapat dikatakan primer reverse tersebut bersifat spesifik untuk satu jenis hewan tertentu. Sekuen primer reverse ayam memiliki persentase kesamaan 100% dengan sekuen gen cyt b ayam dari runutan 27 basa, tetapi persentase kesamaan dengan jenis hewan lain adalah rendah, begitu pula dengan sekuen primer reverse sapi, domba, babi dan kuda. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Matsunaga et al. (1999) yaitu rasio ketidakcocokan antara primer spesifik dengan sekuen jenis hewan lain lebih dari 15% kecuali rangkaian sepasang primer kambing dan domba. Ketidaksesuaian lebih dari 15% menurunkan melting temperature (Tm) lebih dari 15oC dan membuat primer reverse menempel hanya untuk sekuen spesifik jenis hewan tertentu dalam multipleks PCR. Menurut Matsunaga et al. (1999), runutan nukleotida primer forward tidak sama dengan runutan nukleotida sekuen cyt b enam jenis hewan yaitu sekitar 3-5 basa dengan panjang sekuen 38 pb. Setiap 1% ketidakcocokan dari basa dalam DNA untai ganda (double-stranded DNA) mengurangi melting temperature (Tm) 1-1.5oC (Sambrook et al. 1989). Ketidaksesuaian dari primer forward akan menurunkan Tm dari cetakan primer DNA untai ganda sekitar 10-15oC, sehingga primer forward dirancang lebih panjang (38 pb) dari primer spesifik setiap jenis hewan (26-29 pb). Situs penempelan primer pada sekuen gen cyt b kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan tikus disajikan pada Gambar 7.
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
10 ....|....| gacctcccaa gacctcccag gaccttccag gatctcccag gacctcccag gacctaccag gacctccccg GACCTCCCAG
20 ....|....| ccccatcaaa ccccatccaa ccccatcaaa ctccatcaaa ccccctcaaa ccccctcaaa ccccatctaa CTCCATCAAA
30 ....|....| catctcatca catctctgct catttcatca tatttcatca catctcatca catttcatca catctcatca CATCTCATCT
40 ....|....| tgatgaaact tgatgaaatt tgatgaaatt tgatgaaact tgatgaaact tgatgaaact tgatgaaact TGATGAAA--
50 ....|....| ttggatccct tcggctccct tcggttccct ttggctctct tcggttccct tcggctccct tcggttctct ----------
60 ....|....| cctaggaatt attagcagtc cctgggaatc cctaggcatt cttaggcatc cctaggaatc actaggagta ----------
70 ....|....| tgcctaatct tgcctcatga tgcctaatcc tgcttaattt tgcctaatct tgcctaatcc tgcctcatag ----------
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
80 ....|....| tacaaatcct cccaaatcct tacaaatcct tacagattct tgcaaatcct tccaaatctt tacaaatcct ----------
90 ....|....| aacaggccta caccggccta cacaggccta aacaggccta aacaggcctg aacaggccta cacaggctta ----------
100 ....|....| ttcctagcaa ctactagcca ttcctagcaa ttcctagcaa ttcttagcaa ttcctagcca ttcctagcaa ----------
110 ....|....| tacactatac tgcactacac tacactacac tacactatac tacattacac tacactacac tacactacac ----------
120 ....|....| atccgacaca agcagacaca atccgacaca acctgacaca atcagacaca atcagacacg gtctgatacc ----------
130 ....|....| ataacagcat tccctagcct acaacagcat acaacagcat acaacagctt acaactgcct ataacagcat ----------
140 ....|....| tttcctctgt tctcctccgt tctcctctgt tctcctctgt cctcatcagt tctcatccgt tctcatcagt -TCCCTCTGT
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
150 ....|....| aactcacatt agcccacact tacccatatc aacccacatt tacacacatc cactcacatc cacccacatc AACTCACATT
160 ....|....| tgtcgagatg tgccggaacg tgccgagacg tgccgagacg tgtcgagacg tgccgagacg tgccgagacg TGTCGAG---
170 ....|....| taaattatgg tacaatacgg tgaactacgg taaactatgg taaattacgg ttaactacgg taaactacgg ----------
180 ....|....| ctgaattatc ctgactcatc ctgaatcatc ctgaattatc atgaattatt atgaattatt ctgactaatc ----------
190 ....|....| cgatacatac cggaatctcc cgatacatac cgatatatac cgctacctac cgctacctcc cgatacctac ----------
200 ....|....| acgcaaacgg acgcaaacgg acgcaaacgg acgcaaacgg atgcaaacgg atgccaacgg acgccaacgg ----------
210 ....|....| agcatcaata cgcctcattc agcttcaatg ggcatcaata agcatccatg agcatcaata cgcctcaata CGCCTCATTC
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
220 ....|....| ttctttatct ttcttcatct ttttttatct ttttttatct ttctttattt ttttttatct tttttcatct TTCTTCATCT
230 ....|....| gcctattcat gtatcttcct gcttatatat gcctatttat gcctattcat gcctcttcat gcctattcct GTATCTT---
240 ....|....| acatatcgga tcacatcgga gcacgtagga gcatgtagga ccacgtaggc tcacgtagga ccatgtggga ----------
250 ....|....| cgaggtctat cgaggcctat cgaggcttat cgaggcctat cgaggcctat cgcggcctct cgaggactat -----CTTAT
260 ....|....| attatggatc actacggctc attacgggtc actatggatc actacggatc actacggctc actatggatc ATTACGGGTC
270 ....|....| atataccttt ctacctctac ttacactttt atataccttc ctatatattc ttacacattc ctacactttc TTACACTTTT
280 ....|....| ctagaaacat aaggaaacct ctagaaacat ctagaaacat ctagaaacat ctagagacat ctagaaacct CTAG------
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
290 ....|....| gaaacattgg gaaacacagg gaaatattgg gaaacatcgg gaaacattgg gaaacattgg gaaacattgg ----------
300 ....|....| agtaatcctc agtaatcctc agtaatcctt agtaatcctc agtagtccta aatcatccta gatcatccta ----------
310 ....|....| ctgctcgcaa ctcctcacac ctgctcacag ctatttgcga ctatttaccg cttttcacag ctatttgcag -----TGCGA
320 ....|....| caatggctac tcatagccac taatagccac caatagccac ttatagcaac ttatagctac tcatagcaac CAATAGCCAC
330 ....|....| agcattcata cgcctttgtg agcatttata agcattcata agccttcata agcattcatg tgcattcatg AGCATTCATA
340 ....|....| ggctatgttt ggctatgttc ggatacgtcc ggctatgttt ggctacgtcc ggctatgtcc ggctatgtac G---------
350 ....|....| taccatgagg tcccatgggg taccatgagg taccatgagg tgccctgagg taccatgagg tcccatgagg ----------
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
360 ....|....| acaaatatca ccaaatatca acaaatatca acaaatatca acaaatatca ccaaatatcc acaaatatca ----------
370 ....|....| ttttgagggg ttctgagggg ttctgaggag ttctgaggag ttttgaggag ttttgaggag ttctgaggag ----------
380 ....|....| caacagtcat ccaccgttat caacagtcat caacagttat ctacggtcat caacagtcat ctacagtaat -TACGGTCAT
390 ....|....| cactaatctt cacaaaccta caccaacctc taccaacctc cacaaatcta cacgaacctc tacaaaccta CACAAATCTA
400 ....|....| ctttcagcaa ttctcagcaa ttatcagcaa ctttcagcaa ctatcagcta ctatcagcaa ttatcagcta CTATCAGC--
410 ....|....| tcccatatat ttccctacat tcccatacat ttccatatat tcccttatat ttccctacat tcccttacat ----------
420 ....|....| tggcacaaac tggacacacc cggcacaaat tggcacaaac cggaacagac cggtactacc tgggactacc ---TACTACC
Kambing Ayam Sapi Domba Babi
430 ....|....| ctagtcgaat ctagtagagt ttagtcgaat ctagtcgaat ctcgtagaat
440 ....|....| gaatctgagg gagcctgagg gaatctgagg gaatctgggg gaatccgagg
450 ....|....| gggattctca gggattttca cggattctca aggattctca gggcttttcc
460 ....|....| gtagacaaag gtcgacaacc gtagacaaag gtagacaaag gtcgacaaag
470 ....|....| ccactctcac caacccttac caacccttac ctaccctcac caaccctcac
480 ....|....| ccgattcttc ccgattcttc ccgattcttc ccgatttttc acgattcttc
490 ....|....| gccttccact gctttacact gctttccatt gcctttcact gcctttcact
Kuda Tikus Primer
Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus Primer
ctcgtcgagt gaatctgagg tggattctca gtagacaaag ccacccttac ccgatttttt gctttccact ctagtcgaat gaatctgagg aggcttctca gtagacaaag caaccctaac acgcttcttc gcattccact CTCGTCGAGT GAATCTGAG- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------500 510 520 530 540 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ttatcctccc attcatcatc acagctctcg ccatagtcca cctgcttttc tactcctccc ctttgcaatc gcaggtatta ctatcatcca cctcaccttc ttatccttcc atttatcatc atagcaattg ccatagtcca cctactattc ttattttccc attcatcatc gcagccctcg ccatagttca cctactcttc ttatcctgcc attcatcatt accgccctcg cagccgtaca tctcctattc tcatcctacc cttcatcatc acagccctgg tagtcgtaca tttactattt tcatcctccc attcattatc gccgcccttg caattgtaca tcttcttttc ---------- ---------- ---------- ---------- ---------570 580 590 600 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ... caaccccaca ggaattccat cagacacaga taaaatccca ttt caacccccta ggcatctcat ccgactctga caaaattcca ttt caacccaaca ggaatttcct cagacgtaga caaaatccca ttc caaccccaca ggaattccat cagacacaga taaaattccc ttc caaccctacc ggaatctcat cagacataga caaaattcca ttt taacccctca ggaatcccat ccgatatgga caaaatccca ttc taaccccaca ggattaaact ccgacgcaga caaaatccca ttc ---------- -----AAACT CCAACGCAGA CAAAATCCCA TTC
550 ....|....| ctccacgaaa ctacacgaat ctccacgaaa ctccacgaaa ctgcacgaaa cttcacgaaa ctccacgaaa ----------
560 ....|....| caggatcgaa caggctcaaa caggctccaa caggatccaa ccggatccaa caggatccaa caggatcaaa ----------
Gambar 7 Situs penempelan primer pada sekuen DNA mitokondria daerah cyt b tujuh jenis hewan. Situs penempelan primer forward (warna kuning/garis bawah), situs penempelan primer reverse (warna merah/kotak). DNA Total Beragamnya sumber
DNA
yang digunakan dalam penelitian ini
menyebabkan adanya perbedaan teknik pada saat isolasi dan ekstraksi sampel. Perbedaan tersebut terdapat pada saat preparasi sampel, lama inkubasi dan volume bahan yang digunakan sesuai dengan jenis sampel yang diekstraksi. Secara umum teknik isolasi dan ekstraksi DNA dari darah lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan daging atau produk olahan karena tidak mengandung bahan-bahan lain yang digunakan sebagai campuran, seperti pada produk olahan sehingga untuk mendapatkan sel sebagai target ekstraksi lebih mudah didapat. Penghancuran sel dilakukan dengan larutan lysis buffer untuk merusak membran sel. Lama waktu pelisisan sel tergantung pada bentuk produk yang diekstrak, semakin beragam campuran dan tekstur produk maka semakin lama waktu yang diperlukan. Waktu yang diperlukan untuk pelisisan sel yang berasal dari abon relatif lebih lama dibandingkan dengan bakso, daging dan darah. Produk olahan menggunakan bahan utama berupa daging dan bahan tambahan sebagai campuran seperti tepung dan bumbu-bumbu. Produk olahan daging yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bakso dan abon yang memiliki
perbedaan perlakuan pada saat proses pengolahan. Beberapa perlakuan dalam pembuatan produk tersebut dapat menjadi penyebab kesulitan pada saat isolasi dan ekstraksi DNA. Tahapan penting yang mempengaruhi isolasi DNA dari bakso dan abon yaitu (1) proses pengolahan secara mekanik diantaranya yaitu pencacahan dan penggilingan daging pada bakso, daging diremah atau disuwirsuwir dan ditumbuk halus serta pengepresan atau pengeluaran minyak pada abon. Beberapa proses tersebut menyebabkan terjadinya perubahan ukuran partikel, bentuk dan komposisi protein penyusun daging, sehingga akan mempengaruhi keadaan sel yang di dalamnya mengandung DNA, (2) perlakuan pemanasan dengan suhu dan tekanan tinggi diantaranya yaitu perebusan adonan bakso pada suhu 80oC, perebusan dalam air mendidih (100oC), perebusan dalam panci presto dan penggorengan abon pada suhu 175oC. Proses-proses tersebut selain mengakibatkan protein terdenaturasi juga berpengaruh pada stabilitas DNA, (3) pencampuran bumbu-bumbu dan bahan lain pada bakso yaitu penambahan tepung tapioka, STPP (sodium triposfat) dan bumbu-bumbu (garam, lada, bawang putih) serta penambahan bumbu-bumbu pada abon (garam, ketumbar, lengkuas, gula putih dan bawang merah). Menurut Nuraini (2004), bahan dan bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam produk olahan menyebabkan DNA yang diekstraksi masih tercampur dengan senyawa kontaminan seperti oligopeptide, polisakarida, protein dan bahan-bahan organik lainnya. Diferensiasi jenis hewan terbukti sulit, khususnya dalam sampel dengan komposisi yang beragam dan apabila diberi perlakuan panas (Kesmen et al. 2007). Hasil penelitian Matsunaga et al. (1999) menunjukkan, bahwa DNA dapat diisolasi dari daging yang sudah mengalami pemanasan pada suhu 100 oC dan 120oC selama 30 menit. Nuraini (2004) berhasil mengisolasi dan mengamplifikasi DNA yang berasal dari organ tubuh dan produk olahan daging berupa bakso, sosis, kornet, dendeng dan abon, atau dapat dikatakan bahwa pemanasan tidak merusak DNA (Nuraini 2004). Martín et al. (2007) berhasil mengamplifikasi DNA mitokondria daerah 12SrRNA pada sampel DNA daging kucing, anjing dan tikus yang dipanaskan pada suhu 120oC selama 50 menit, 110oC selama 120 menit dan 133oC pada tekanan 300 kPa selama 20 menit. Menurut Kesmen et al. (2007),
amplifikasi DNA tidak dipengaruhi oleh penambahan rempah-rempah atau proses pemasakan. Pengujian DNA hasil ekstraksi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian kualitas DNA dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose 1% yang dijalankan pada tegangan 100 volt selama 40 menit. Hasil uji kualitas DNA pada gel agarose 1% disajikan pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 8 Visualisasi DNA hasil ekstraksi darah dan daging beberapa jenis hewan pada gel agarose 1%. M: marker 100 pb, 1-2: DNA kambing, 3-4: DNA Ayam, 5-6: DNA sapi, 7-8: DNA domba, 9-10: DNA babi, 11-12: DNA kuda dan 13-14: DNA tikus.
Gambar 9 Visualisasi DNA hasil ekstraksi produk olahan (bakso dan abon) pada gel agarose 1%. M: marker 100 pb, 1-6: DNA bakso, 7-11: DNA abon. Hasil ekstraksi daging yang diberi perlakuan panas dengan suhu tinggi menunjukkan terjadinya degradasi asam nukleat dan memiliki berat molekul yang sangat rendah dibandingkan dengan sampel DNA yang diekstraksi dari bahan mentah yang ditunjukkan dengan pola pita smear pada gel elektroforesis. Meskipun lebih stabil daripada bentuk protein, DNA juga terdegradasi oleh aksi radikal dan panas. Perlakuan progresif dan pengolahan tingkat tinggi pada produk
daging akan meningkatkan degradasi DNA dan kesulitan recovery DNA yang dianalisa (Martín et al. 2007). Secara kuantitatif hasil pengukuran konsentrasi DNA dilakukan dengan spektrofotometer. Pengukuran jumlah DNA dengan spektrofotometer didasarkan pada prinsip iradiasi sinar ultraviolet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan. Analisis asam nukleat umumnya dilakukan untuk penentuan konsentrasi rata-rata dan kemurnian DNA yang terdapat dalam sampel. Jumlah dan kemurnian tertentu diperlukan untuk kinerja optimal sampel DNA yang digunakan. Asam nukleat menyerap sinar ultraviolet dengan pola tertentu. Sampel ditembus sinar ultraviolet dan fotodetektor cahaya pada 260 nm, semakin besar cahaya yang diserap sampel, maka semakin tinggi konsentrasi asam nukleat dalam sampel (Sambrook & Russel 2001). Sampel asam nukleat dapat terkontaminasi dengan molekul lain seperti protein, senyawa organik dan lain-lain. Spektrofotometer dapat digunakan untuk penentuan tingkat kemurnian DNA yang berkorelasi dengan kualitas DNA yaitu dengan melihat rasio absorbansi pada panjang gelombang 260 dan 280 nm (A260/280). Rasio absorbansi pada 260 nm dan 280 nm umumnya digunakan untuk menilai kontaminasi DNA oleh protein karena protein menyerap cahaya pada panjang gelombang 280 nm. Nilai absorbansi pada 260/280 nm untuk DNA murni adalah sekitar 1.8 (~1.8). Rasio 260/280 nm memiliki sensitifitas yang tinggi untuk menilai kontaminasi DNA oleh protein. Semakin tinggi kandungan asam nukleat dalam sampel, maka semakin rendah rasio nilai absorbansi pada 260/280 nm, begitu pula sebaliknya. Nilai negatif dapat terjadi jika pelarut yang digunakan dalam sampel dan blanko berbeda atau karena terdapatnya pewarna fluoresens dalam larutan (Tataurov et al. 2008). Konsentrasi DNA yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 50 µg/ml, adapun untuk sampel yang memiliki konsentrasi DNA di atas 50 µg/ml dilakukan pengenceran dengan menambahkan air destilata. Penggunaan sampel dengan konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar keberhasilan amplifikasi seragam. Hasil pengukuran kuantitas DNA disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil pengukuran konsentrasi DNA total No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Sampel Kambing 1 (darah) Kambing 2 (darah) Ayam 1 (darah) Ayam 2(darah) Sapi 1(darah) Sapi 2(darah) Domba 1 (darah) Domba 2 (darah) Babi 1 (daging) Babi 2(daging) Kuda 1 (darah) Kuda 2 (darah) Tikus putih 1(darah) Tikus putih 2(darah) Tikus got (daging) Tikus rumah (daging) Mencit 1 (darah) Mencit 2 (darah) Marmut 1 (darah) Marmut 2 (darah) Bakso 1% 1 Bakso 1% 2 Bakso 1% 3 Bakso 1% 4 Bakso 2.5% 1 Bakso 2.5% 2 Bakso 2.5% 3 Bakso 2.5% 4 Bakso 5% 1 Bakso 5% 2 Bakso 5% 3 Bakso 5% 4 Bakso 7.5% 1 Bakso 7.5% 2 Bakso 7.5% 3 Bakso 7.5% 4 Bakso 10% 1 Bakso 10% 2 Bakso 10% 3 Bakso 10% 4 Bakso 15% 1 Bakso 15% 2 Bakso 15% 3 Bakso 15% 4 Bakso 20% 1 Bakso 20% 2 Bakso 20% 3
A 260 (nm) 0.013 0.011 0.08 0.018 0.011 0.023 0.007 0.012 0.020 0.121 0.006 0.007 0.029 0.020 0.031 0.011 0.009 0.006 0.008 0.008 0.089 0.027 0.034 0.028 0.022 0.019 0.028 0.027 0.030 0.009 0.033 0.014 0.055 0.047 0.157 0.096 0.046 0.014 0.039 0.023 0.007 0.010 0.040 0.014 0.010 0.022 0.006
A 280 (nm) 0.010 0.009 0.040 0.014 0.009 0.016 0.005 0.010 0.017 0.072 0.004 0.006 0.019 0.016 0.022 0.008 0.007 0.003 0.007 0.007 0.063 0.014 0.018 0.015 0.008 0.006 0.015 0.016 0.016 0.006 0.019 0.010 0.025 0.020 0.084 0.191 0.020 0.009 0.010 0.013 0.004 0.007 0.022 0.008 0.007 0.012 0.004
A 260/280 (nm) 1.3 1.222 1.7 1.286 1.222 1.438 1.4 1.2 1.176 1.681 1.500 1.167 1.526 1.25 1.409 1.375 1.286 2.00 1.143 1.143 1.143 1.929 1.889 1.867 2.750 3.167 1.867 1.688 1.875 1.5 1.737 1.4 2.2 2.350 1.869 1.055 2.3 1.556 2.438 1.769 1.750 1.429 1.818 1.750 1.429 1.833 1.5
Konsentrasi (µg/ml) 130 110 680 180 110 230 70 120 200 1210 60 70 290 200 310 110 90 60 80 80 890 270 340 280 220 190 280 270 300 90 330 140 550 470 1570 960 460 140 390 230 70 100 400 140 100 220 60
Tabel 8 Lanjutan No. Sampel 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70.
Bakso 20% 4 Bakso 25% 1 Bakso 25% 2 Bakso 25% 3 Bakso 25% 4 Abon 1% 1 Abon 1% 2 Abon 1% 3 Abon 1% 4 Abon 2.5% 1 Abon 2.5% 2 Abon 2.5% 3 Abon 2.5% 4 Abon 5% 1 Abon 5% 2 Abon 5% 3 Abon 5% 4 Abon 7.5% 1 Abon 7.5% 2 Abon 7.5% 3 Abon 7.5% 4 Abon 10% 1 Abon 10% 2 Abon 10% 3 Abon 10% 4
A 260 (nm) 0.023 0.010 0.022 0.037 0.044 0.140 0.178 0.082 0.066 0.208 0.176 0.156 0.091 0.200 0.126 0.054 0.071 0.199 0.158 0.105 0.107 0.046 0.039 0.010 0.003
A 280 (nm) 0.020 0.007 0.015 0.024 0.028 0.075 0.094 0.044 0.036 0.107 0.091 0.114 0.049 0.104 0.064 0.028 0.039 0.102 0.079 0.055 0.056 0.020 0.010 0.005 0.013
A 260/280 (nm) 1.150 1.429 1.467 1.542 1.571 1.867 1.894 1.864 1.833 1.944 1.934 1.368 1.857 1.923 1.969 1.929 1.821 1.951 2.000 1.909 1.911 2.3 2.438 2.000 1.769
Konsentrasi (µg/ml) 230 100 220 370 440 1400 1780 820 660 2080 1760 1560 910 2000 1260 540 710 1990 1580 1050 1070 460 390 100 230
Konsentrasi DNA hasil ekstraksi bervariasi antara 50 sampai 2080 µg/ml. Hal ini disebabkan sampel yang diekstraksi berasal dari sumber yang berbeda yaitu darah dan produk olahan (bakso dan abon). Adanya bahan campuran yang berbeda pada produk mempengaruhi konsentrasi DNA yang diperoleh. Hasil pengukuran rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm sangat beragam tergantung pada sumber DNA yang diperoleh. DNA yang diekstraksi dari darah dan daging rata-rata memiliki rasio nilai absorbansi lebih rendah daripada DNA yang diekstraksi dari produk olahan. Hasil tersebut menunjukkan tingkat kemurnian DNA dari darah dan daging lebih tinggi daripada DNA yang berasal dari produk olahan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kontaminasi protein dan bahan campuran lain yang digunakan dalam produk olahan, namun secara umum DNA hasil ekstraksi dari seluruh sampel dapat digunakan untuk proses amplifikasi.
Pengujian Primer Spesifik Amplifikasi Fragmen DNA Cyt b Spesifik pada Beberapa Jenis Hewan Teknik multipleks PCR digunakan dalam penelitian ini untuk amplifikasi sampel DNA oleh primer spesifik dengan pencampuran delapan primer (satu forward dan tujuh reverse) secara bersamaan dalam satu reaksi. Amplifikasi daerah gen cyt b DNA mitokondria berhasil dilakukan pada kambing, ayam, sapi, domba, babi dan kuda menggunakan primer yang mengacu pada Matsunaga et al. (1999) dan amplifikasi tikus menggunakan primer reverse hasil rancangan dengan software MEGA 4. Tujuh jenis hewan berhasil diidentifikasi berdasarkan panjang pita atau produk PCR yang dihasilkan dengan tidak terjadinya reaksi silang. Keberhasilan amplifikasi gen cyt b tersebut ditunjukkan dengan panjang fragmen teramplifikasi berbeda-beda antar hewan yang berarti terdapat kespesifikan sekuen gen cyt b pada setiap jenis hewan. Panjang fragmen hasil amplifikasi ruas gen cyt b kambing, ayam, sapi, domba, babi dan kuda sesuai dengan hasil yang diperoleh Matsunaga et al. (1999) yaitu berturut-turut 157 pb, 227 pb, 274 pb, 331 pb, 398 pb dan 439 pb, sedangkan untuk tikus teramplifikasi sepanjang 603 pb. Hasil amplifikasi ruas gen cyt b ketujuh jenis ternak divisualisasikan pada gel agarose 2% yang dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA spesifik tujuh jenis hewan. M: marker 100 pb, 1-2: kambing, 3-4: ayam, 5-6: sapi, 7-8: domba, 910: babi, 11-12: kuda dan 13-14: tikus. Ukuran produk PCR yang dihasilkan sangat tepat dengan tidak adanya fragmen tambahan dari setiap target. Hasil tersebut menunjukkan primer spesifik
untuk setiap jenis hewan teramplifikasi hanya pada satu ukuran untuk setiap target (Matsunaga et al. 1999). Gambar 9 menunjukkan bahwa hasil multipleks PCR berupa pita tunggal pada ukuran target dari satu jenis hewan dan tidak dihasilkan fragmen pada amplifikasi yang tidak spesifik. Amplifikasi Fragmen DNA Cyt b pada Beberapa Jenis Tikus Pengujian primer tikus hasil rancangan dilakukan pada beberapa jenis tikus untuk mengetahui perbedaannya jika sampel yang digunakan berasal dari jenis tikus yang berbeda. Tikus yang digunakan yaitu tikus rumah hitam (Rattus rattus), tikus got (Rattus norvegicus), tikus putih (Rattus norvegicus), mencit (Mus musculus)
dan
tikus
hutan
(Maxomys
hellwaldii).
Hasil
amplifikasi
divisualisasikan pada gel elektroforesis 2% dan ditampilkan pada Gambar 11 dan 12.
Gambar 11 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA tikus. M: marker 100 pb, 1-3: tikus got, 4-6: tikus putih, 7-8: tikus rumah, 9: mencit.
Gambar 12 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA tikus hutan. M: marker 100 pb, 1-4: tikus hutan (Maxomys hellwaldii).
Tikus hutan (Maxomys hellwaldii) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Sulawesi Utara. Maxomys hellwaldii disebut juga tikus berduri atau tikus hutan ekor putih, hidup di hutan hujan tropis dan hanya ditemukan di Indonesia. Maxomys awalnya digolongkan sebagai subgenus dari Rattus, tetapi oleh Musser et al. (1979) tikus ini digolongkan menjadi genus tersendiri dan dimasukan ke dalam famili Muridae dan sub famili Murinae sama seperti Rattus. Hasil menunjukkan bahwa DNA cyt b pada kelima jenis tikus dapat teramplifikasi menggunakan primer tikus hasil rancangan.
Jika dilihat
taksonominya kelima tikus tersebut digolongkan dalam sub ordo dan famili yang sama yaitu Myomorpha dan Muridae. Perbedaan pada tikus dan mencit terletak pada tingkat genus. Hasil yang sama diperoleh Jain et al. (2007) yaitu dengan teramplifikasinya fragmen cyt b kerbau menggunakan primer spesifik untuk sapi yang dirancang Matsunaga et al. (1999). Kesamaan taksonomi antara sapi dan kerbau sampai pada tingkat famili dan sub famili yaitu Bovidae dan Bovinae. Menurut Jain et al. (2007), hal tersebut mungkin disebabkan pada saat perancangan runutan basa sekuen primer spesifik tidak sampai pada tingkat genus, sehingga untuk membedakan daging sapi dan kerbau perlu dirancang primer dari runutan basa spesifik jenis hewan tersebut agar dapat dibedakan seperti pada rancangan primer domba dan kambing oleh Matsunaga et al. (1999). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu asal DNA sudah dapat dibedakan sampai tingkat famili pada klasifikasi tikus. Jika bertujuan untuk membedakan tikus sampai pada setiap jenisnya, maka perancangan primer harus dilakukan dengan pencarian runutan khas yang hanya terdapat pada setiap genus tikus tertentu. Amplifikasi Fragmen DNA Cyt b Spesifik pada Marmut Pengujian primer spesifik dilakukan pada sampel DNA marmut (Cavia porcellus) untuk mengetahui tingkat kespesifikan primer jika dilakukan pada hewan dengan ordo yang sama. Amplifikasi dilakukan pada DNA tikus dan marmut secara bersamaan untuk membandingkan keakuratan primer dalam mengamplifikasi sampel. Hasil yang diperoleh kemudian dielektroforesis dalam satu gel agarose 2%. Hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b DNA marmut dan tikus sebagai pembanding dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel DNA tikus putih dan marmut. M: marker 100 pb, Rn: DNA tikus putih dan 1-4: DNA marmut. Sampel DNA marmut (Cavia porcellus) tidak teramplifikasi oleh primer tikus yang berarti bahwa primer tikus hasil rancangan spesifik hanya dapat mengamplifikasi fragmen DNA cyt b tikus. Hal ini kemungkinan disebabkan terdapat perbedaan runutan nukleotida gen cyt b marmut dan tikus. Menurut Widayanti (2006), adanya variasi urutan pada cyt b menyebabkan gen tersebut banyak digunakan untuk membandingkan jenis hewan dalam genus yang sama atau famili yang sama. Berdasarkan taksonominya tikus dan marmut termasuk ke dalam ordo yang sama yaitu rodensia yang berarti sama-sama merupakan hewan pengerat. Perbedaan antara tikus dan marmut terletak pada penggolongan sub ordo. Tikus digolongkan ke dalam sub ordo Myomorpha sedangkan marmut digolongkan ke dalam sub ordo Hystricomorpha. Menurut Howell (1989) hasil analisis urutan asam amino cyt b pada golongan prokariotik dan eukariotik disimpulkan terdapat lima daerah (region) protein yang terdiri atas sekitar 20 residu asam amino yang bersifat kekal selama evolusi. Kocher et al. (1989) melaporkan bahwa runutan DNA yang menyandi 80 asam amino (posisi ke-47 sampai dengan ke-126) dari cyt b rodensia, burung, ikan dan manusia setelah disejajarkan berganda didapatkan 129 posisi nukleotida beragam dari 240 nukleotida. Komposisi nukleotida dari keempat contoh individu tersebut kandungan basa G nya adalah yang paling sedikit, seperti yang dilaporkan pada DNA mitokondria vertebrata. Perubahan nukleotida yang terjadi
pada interspesies sebagian besar terjadi secara substitusi transisi, sedangkan antar genera dalam famili atau ordo yang sama perubahan terjadi sebagian besar adalah transversi. Menurut hipotesis struktural cyt b, runutan DNA yang terletak pada intermembran mitokondria ditandai dengan tidak adanya penggantian asam amino pada posisi ke 80. Berdasarkan penjajaran urutan basa gen cyt b, daerah tersebut dapat memberikan informasi filogenetik pada tingkat intraspesies sampai tingkat antar genera (Widayanti 2006). Amplifikasi Fragmen DNA Cyt b pada DNA Campuran DNA campuran dari tujuh jenis hewan digunakan untuk penentuan tingkat keberhasilan amplifikasi jika dilakukan pada sampel dengan sumber DNA yang berbeda-beda. Sampel DNA campuran diperoleh dengan cara mencampurkan tujuh sampel DNA yang berasal dari tujuh jenis hewan dalam satu tabung reaksi. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Visualisasi fragmen DNA campuran (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan tikus). M: marker 100 pb, mix1-mix2: DNA campuran, 1: kambing, 2: ayam, 3: sapi, 4: domba, 5: babi, 6: kuda dan 7: tikus. DNA campuran berhasil diamplifikasi dengan persentase keberhasilan 100%. Ruas gen cyt b tujuh jenis hewan berhasil teramplifikasi sekaligus dalam satu reaksi. Pita hasil amplifikasi cyt b sapi menunjukkan ketebalan yang berbeda dengan keenam pita lainnya, bahkan jika digunakan dalam konsentrasi primer yang sama tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, digunakan
konsentrasi primer reverse untuk sapi dua kali lebih banyak dibanding enam jenis hewan lain. Pengujian kemudian dilakukan pada DNA campuran dua jenis hewan yaitu sapi dan babi dengan enam level campuran (1, 5, 10, 15, 20 dan 25%) serta sapi dan tikus dengan enam level perbandingan (1, 5, 10, 15, 20 dan 25%). Campuran DNA sapi:babi 1% berarti dalam 99 µl DNA sapi ditambahkan DNA tikus 1µl, begitu pula dengan lima level cemaran lainnya. Pita DNA cyt b spesifik sapi dan babi masing-masing sepanjang 274 pb dan 398 pb, sedangkan untuk sapi dan tikus masing-masing sepanjang 274 pb dan 603 pb. Perbandingan campuran DNA sebagai cetakan mempengaruhi intensitas pita yang dihasilkan. Pita DNA pada sampel dengan kandungan babi atau tikus 1% memperlihatkan intensitas pita yang lebih rendah terlihat dari tipisnya pita yang dihasilkan. Semakin besar persentase campuran, maka semakin tebal pita yang dihasilkan. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen cyt b pada DNA campuran sapi dan babi serta sapi dan tikus yang dielektroforesis pada gel agarose 2% dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen spesifik pada DNA campuran dengan enam level perbandingan. M: marker 100 pb, S: kontrol positif sapi, B: kontrol positif babi, T: kontrol positif tikus, 1-5: DNA campuran sapi:babi (1, 5, 10, 15, 20 dan 25%), 6-11: DNA campuran sapi:tikus (1, 5, 10, 15, 20 dan 25%). Persentase keberhasilan amplifikasi ruas gen cyt b yaitu 100% pada setiap level campuran maupun pada DNA murni sapi, babi dan tikus. Hal tersebut menunjukkan bahwa primer spesifik sapi, babi dan tikus berhasil mengamplifikasi sekuen gen cyt b dengan tepat pada tiga kali pengulangan PCR. Tingkat
keberhasilan amplifikasi sekuen gen cyt b pada DNA campuran sapi dan babi serta sapi dan tikus dengan enam level perbandingan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Tingkat keberhasilan amplifikasi sekuen gen cyt b pada DNA campuran dengan enam level perbandingan Kode Sampel
PCR ke-1 S + + + + + + + + + + + + +
B + + + + + + + -
PCR ke-2 T + + + + + + +
S + + + + + + + + + + + + +
B + + + + + + + -
PCR ke-3 T + + + + + + +
S + + + + + + + + + + + + +
B + + + + + + + -
T + + + + + + +
Keberhasilan rata-rata (%) S B T 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
S B T S:B 1% S:B 5% S:B 10% S:B 15% S:B 20% S:B 25% S:T 1% S:T 5% S:T 10% S:T 15% S:T 20% S:T 25% Keterangan: S:sapi, B:babi, T: tikus, + : DNA teramplifikasi, - : DNA tidak teramplifikasi
Amplifikasi Fragmen DNA Cyt b Spesifik pada Bakso Proses amplifikasi fragmen DNA cyt b dengan primer spesifik selanjutnya diaplikasikan untuk identifikasi sumber daging pada produk olahan. Pengujian dilakukan untuk penyelidikan potensi dari gen cyt b untuk identifikasi jenis daging yang telah diproses. Produk olahan sebagai sampel yang digunakan berupa bakso dan abon yang dicemari daging tikus dengan beberapa level cemaran. Tahap awal pengujian produk olahan yaitu pembuatan bakso dengan enam level cemaran daging tikus yaitu 1, 5, 10, 15, 20 dan 25%. Bakso daging sapi dengan level cemaran daging tikus 1% berarti dalam 99 gram daging sapi ditambahkan 1 gram daging tikus, sedangkan level cemaran 5% berarti dalam 95 gram daging sapi ditambahkan 5 gram daging tikus, begitu pula dengan level selanjutnya. Pengambilan sampel pada produk olahan dilakukan dari lima titik yang berbeda sebagai upaya agar didapatkan sampel campuran produk olahan yang seragam.
Hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b spesifik pada sampel bakso dengan enam level cemaran dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.
Gambar 16 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso dengan enam level cemaran (sampel 1 dan 2). M: marker 100 pb, S: kontrol DNA sapi, T: kontrol DNA tikus, ST: kontrol DNA campuran S:T (1:1). 1-2: cemaran tikus 1%, 3-4: cemaran tikus 5%, 5-6: cemaran tikus 10%, 7-8: cemaran tikus 15%, 9-10: cemaran tikus 20%, 11-12: cemaran tikus 25% dan A: kontrol negatif (air).
Gambar 17 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso dengan enam level cemaran (sampel 3 dan 4). M: marker 100 pb, S: kontrol DNA sapi, T: kontrol DNA tikus, ST: kontrol DNA campuran S:T (1:1). 1-2: cemarn tikus 1%, 3-4: cemaran tikus 5%, 5-6: cemaran tikus 10%, 7-8: cemaran tikus 15%, 9-10: cemaran tikus 20%, 11-12: cemaran tikus 25%, A: kontrol negatif (air). Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA yang berasal dari produk olahan yaitu bakso dengan enam level cemaran tersebut disajikan pada Tabel 10. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa fragmen DNA cyt b teramplifikasi pada
setiap level cemaran walaupun dari keempat sampel yang digunakan pada setiap level cemaran tidak semua teramplifikasi. Tabel 10 Tingkat keberhasilan amplifikai DNA pada bakso daging sapi dengan enam level cemaran daging tikus Sampel
PCR ke-1
PCR ke-2
PCR ke-3
Sapi Tikus Sapi Tikus Sapi Tikus Sapi + + + Tikus + + + Sapi+Tikus + + + + + + Bakso 1% (1)* + + + + + + Bakso 1% (2) + + + Bakso 1% (3) + + + + Bakso 1% (4) + + + + + Bakso 5% (1)** + + + + + + Bakso 5% (2) + + + + + + Bakso 5% (3) + + + + + Bakso 5% (4) + + + + + + Bakso 10% (1)*** + + + + Bakso 10% (2) + + + + + + Bakso 10% (3) + + + + + Bakso 10% (4) + + + + + Bakso 15% (1)**** + + + + + + Bakso 15% (2) + + + + + + Bakso 15% (3) + + + + + + Bakso 15% (4) + + + + + + Bakso 20% (1)***** + + + + + + Bakso 20% (2) + + + + + + Bakso 20% (3) + + + + + + Bakso 20% (4) + + + + + + Bakso 25% (1)****** + + + + + + Bakso 25% (2) + + + + + + Bakso 25% (3) + + + + + + Bakso 25% (4) + + + + + + Kontrol negatif (Air) Keterangan: + DNA teramplifikasi; - DNA tidak teramplifikasi Keberhasilan rata-rata amplifikasi cemaran tikus * bakso 1% : 50% **** bakso 15%: 100% ** bakso 5% : 91.67% ***** bakso 20%: 100% *** bakso 10%: 100% ****** bakso 25%: 100%
Keberhasilan amplifikasi/sampel (%) Sapi Tikus 100 100 100 100 100 100 100 0 100 33.33 100 66.67 100 100 100 100 100 66.67 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 -
Persentase keberhasilan rata-rata primer spesifik sapi mengamplifikasi sampel yang mengandung DNA sapi yaitu 100%, artinya pita muncul pada semua sampel yang mengandung DNA sapi dengan tepat pada tiga kali ulangan PCR. sedangkan rata-rata tingkat keberhasilan primer spesifik tikus yaitu antara 50-
100% dengan persentase keberhasilan rata-rata pada setiap level cemaran 1, 5, 10, 15, 20 dan 25% berturut-turut yaitu 50; 91.67; 100; 100; 100 dan 100%. Fragmen DNA tikus pada bakso dengan cemaran tikus 1% berhasil teramplifikasi pada sampel pertama, ketiga dan keempat dengan persentase keberhasilan rata-rata berturut-turut 100%, 33.33% dan 66.67%, sedangkan sampel kedua pada level yang sama tidak muncul. Hal ini kemungkinan disebabkan pada saat proses pencampuran daging dan pengambilan sampel yang kurang homogen, sehingga untuk aplikasi di lapang sebaiknya semua sampel bakso utuh terlebih dahulu ditumbuk halus dan diaduk merata kemudian diambil dari berbagai titik atau dapat pula diekstraksi seluruhnya. Bakso dengan cemaran daging tikus mulai dari level cemaran 10% memperlihatkan keberhasilan amplifikasi hingga 100%. Oleh karena itu, pengujian pada produk olahan dilanjutkan pada tahap kedua yaitu pembuatan produk olahan berupa bakso dan abon dengan rentang level cemaran yang lebih rendah. Pembuatan bakso kemudian dilakukan dengan lima level cemaran yaitu 1; 2.5; 5; 7.5 dan 10%. Hasil amplifikasi bakso dengan lima level cemaran dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19.
Gambar 18 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b spesifik pada sampel bakso dengan lima level cemaran (sampel 1 dan 2). M: marker 100 pb, S: kontrol DNA sapi, T: kontrol DNA tikus, ST: kontrol DNA campuran S:T (1:1). 1-2: cemaran tikus 1%, 3-4: cemaran tikus 2.5%, 5-6: cemaran tikus 5%, 7-8: cemaran tikus 7.5%, 9-10: cemaran tikus 10%, A: kontrol negatif (air).
Gambar 19 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b spesifik pada sampel bakso dengan lima level cemaran (sampel 3 dan 4). M: marker 100 pb, S: kontrol DNA sapi, T: kontrol DNA tikus, ST: kontrol DNA campuran S:T (1:1). 1-2: cemaran tikus 1%, 3-4: cemaran tikus 2,5%; 5-6: cemaran tikus 5%; 7-8: cemaran tikus 7.5%; 9-10: cemaran tikus 10%; A: kontrol negatif (air). Persentase keberhasilan rata-rata kontrol positif DNA sapi dan tikus pada bakso dengan lima level cemaran yaitu 100% artinya sampel dapat teramplifikasi dengan tepat pada tiga kali pengulangan PCR. Persentase keberhasilan rata-rata untuk bakso dengan lima level cemaran untuk pengujian primer spesifik tikus berkisar antara 50-100% dengan persentase keberhasilan rata-rata pada setiap level cemaran 1; 2.5; 5; 7.5 dan 10% yaitu berturut-turut sebesar 50; 91.67; 91.67; 66.67 dan 100%. Primer spesifik sapi berhasil mengamplifikasi semua sampel yang mengandung DNA sapi dengan persentase keberhasilan 100%. Hasil yang diperoleh menunjukkan sampel bakso yang dibuat dengan campuran daging tikus dapat terdeteksi hingga level terkecil pada penelitian ini yaitu pada cemaran daging tikus 1%. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA bakso dengan lima level cemaran dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Tingkat keberhasilan amplifikai DNA bakso daging sapi dengan lima level cemaran daging tikus No
Sampel
PCR ke-1
PCR ke-2
PCR ke-3
Sapi
Tikus
Sapi
Tikus
Sapi
Tikus
Keberhasilan amplifikasi/sampel (%) Sapi Tikus
1
Sapi
+
-
+
-
+
-
100
-
2
Tikus
-
+
-
+
-
+
-
100
3
Sapi+Tikus
+
+
+
+
+
+
100
100
4
Bakso 1% (1)*
+
+
+
+
+
+
100
100
5
Bakso 1% (2)
+
-
+
-
+
-
100
0
6
Bakso 1% (3)
+
-
+
-
+
+
100
33.33
7
Bakso 1% (4)
+
-
+
+
+
+
100
66.67
8
Bakso 2.5% (1)**
+
+
+
+
+
+
100
100 100
9
Bakso 2.5% (2)
+
+
+
+
+
+
100
10
Bakso 2.5% (3)
+
-
+
+
+
+
100
66.67
11
Bakso 2.5% (4)
+
+
+
+
+
+
100
100
12
Bakso 5% (1)***
+
+
+
+
+
+
100
100
13
Bakso 5% (2)
+
+
+
+
+
+
100
100
14
Bakso 5% (3)
+
+
+
+
+
-
100
66.67
15
Bakso 5% (4)
+
+
+
+
+
+
100
100
16
Bakso 7.5% (1)****
+
-
+
+
+
+
100
66.67
17
Bakso 7.5% (2)
+
+
+
+
+
-
100
66.67
18
Bakso 7.5% (3)
+
-
+
+
+
+
100
66.67
19
Bakso 7.5% (4)
+
-
+
+
+
+
100
66.67
20
Bakso 10% (1)*****
+
+
+
+
+
+
100
100
21
Bakso 10% (2)
+
+
+
+
+
+
100
100
22
Bakso 10% (3)
+
+
+
+
+
+
100
100
23
Bakso 10% (4)
+
+
+
+
+
+
100
100
-
-
24 Kontrol negatif (Air) Keterangan: + DNA teramplifikasi; - DNA tidak teramplifikasi Keberhasilan rata-rata amplifikasi cemaran tikus * bakso 1% : 50% **** bakso 7.5% : 66.67% ** bakso 2.5% : 91.67% ***** bakso 10% : 100% *** bakso 5% : 91.67%
Keberhasilan rata-rata amplifikasi cyt b tikus pada bakso dengan cemaran tikus 7.5% lebih rendah daripada bakso dengan level cemaran 5%. Hal tersebut kemungkinan hanya karena pada saat pengambilan sampel yang kurang homogen. Amplifikasi Fragmen DNA Cyt b Spesifik pada Abon Pembuatan produk olahan selain bakso yang digunakan dalam penelitian ini yaitu abon dengan level cemaran daging tikus mengacu pada bakso yaitu 1; 2.5; 5;
7.5 dan 10%). Visualisasi hasil amplifikasi fragmen gen cyt b DNA abon dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21.
Gambar 20 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel abon dengan lima level cemaran (sampel 1 dan 2). M: marker 100 pb, S: kontrol DNA sapi, T: kontrol DNA tikus, ST: kontrol DNA campuran S:T (1:1). 1-2: cemaran tikus 1%, 3-4: cemaran tikus 2.5%, 5-6: cemaran tikus 5%, 7-8: cemaran tikus 7.5%, 9-10: cemaran tikus 10%, A: kontrol negatif (air).
Gambar 21 Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel abon dengan lima level cemaran (sampel 3 dan 4). M: marker 100 pb; S: kontrol DNA sapi; T: kontrol DNA tikus; ST: kontrol DNA campuran S:T (1:1); 1-2: cemaran tikus 1%; 3-4: cemaran tikus 2.5%; 5-6: cemaran tikus 5%; 7-8: cemaran tikus 7.5%; 9-10: cemaran tikus 10%; A: kontrol negatif (air). Hasil menunjukkan bahwa persentase keberhasilan rata-rata amplifikasi DNA sapi pada abon sama dengan yang didapat pada bakso yaitu 100%. Hasil amplifikasi untuk DNA tikus didapatkan lebih rendah dibanding pada bakso yaitu 0-91.67% dengan persentase keberhasilan rata-rata pada level cemaran 1; 2.5; 5;
7.5 dan 10% berturut-turut sebesar 0; 0; 50; 91.67 dan 41.67%. Keberhasilan ratarata yang diperoleh pada abon sapi dengan cemaran tikus 10% lebih rendah dari hasil pada level cemaran 7.5%. Hal tersebut kemungkinan hanya karena teknis pada saat pengambilan sampel yang kurang homogen. Warna daging pada abon sulit dibedakan dengan bumbu-bumbu yang ditambahkan sehingga kemungkinan kesalahan pada saat pengambilan sampel lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik pengambilan sampel yang tepat dari produk olahan terutama abon agar dapat diperoleh DNA sampel, salah satu cara tersebut ialah semua sampel digerus dan diekstraksi seluruhnya. Tingkat keberhasilan amplifikasi setiap sampel disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA abon daging sapi dengan lima level cemaran daging tikus PCR ke-1 No.
Sampel
PCR ke-2
PCR ke-3
Keberhasilan amplifikasi/sampel (%) Sapi Tikus 100 100 100 100 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 66.67 100 33.33 100 100 100 100 100 100 100 100 100 66.67 100 0 100 33.33 100 66.67 100 66.67 -
Sapi Tikus Sapi Tikus Sapi Tikus 1 Sapi + + + 2 Tikus + + + 3 Sapi+Tikus + + + + + + 4 Abon 1% (1)* + + + 5 Abon 1% (2) + + + 6 Abon 1% (3) + + + 7 Abon 1% (4) + + + 8 Abon 2.5% (1)** + + + 9 Abon 2.5% (2) + + + 10 Abon 2.5% (3) + + + 11 Abon 2.5% (4) + + + 12 Abon 5% (1)*** + + + 13 Abon 5% (2) + + + + + 14 Abon 5% (3) + + + + 15 Abon 5% (4) + + + + + + 16 Abon 7.5% (1)**** + + + + + + 17 Abon 7.5% (2) + + + + + + 18 Abon 7.5% (3) + + + + + + 19 Abon 7.5% (4) + + + + + 20 Abon 10% (1)***** + + + 21 Abon 10% (2) + + + + 22 Abon 10% (3) + + + + + 23 Abon 10% (4) + + + + 24 Kontrol negatif (Air) Keterangan: + DNA teramplifikasi; - DNA tidak teramplifikasi; Keberhasilan rata-rata amplifikasi cemaran tikus * abon 1%: 0%; **** abon 7.5%: 91.67%; ** abon 2.5%: 0%; ***** abon 10%: 41.67%. *** abon 5%: 50%;
Teknik Multipleks PCR Gen Cyt b untuk Identifikasi Jenis Hewan Teknik deteksi dan identifikasi asal hewan terutama dalam produk pangan sangat penting karena terkait dengan kesehatan, ekonomi dan agama. Daging yang aman dan halal menjadi perhatian utama khususnya di Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim. Metode deteksi dan identifikasi jenis daging biasanya menggunakan analisis protein, namun metode tersebut mempunyai kelemahan hanya bisa dilakukan dalam bentuk segar (mentah) dan memerlukan sampel yang cukup banyak serta keakuratan sangat rendah dalam keadaan matang (daging olahan). Pembuatan produk olahan yaitu bakso dan abon terdiri atas proses pemanasan dan proses mekanik serta penambahan bahan-bahan lain seperti tepung dan bumbu-bumbu. Titik kritis yang dapat menyebabkan kesulitan memperoleh DNA dari bakso terdiri atas beberapa tahap pada saat pembuatan yaitu penggilingan daging dengan food processor, penambahan tepung dan STPP serta bumbu-bumbu, pembentukan adonan pada air panas (80oC) dan perebusan pada air mendidih (100oC). Titik kritis pada pembuatan abon yaitu perebusan daging pada air mendidih (100oC), penumbukan daging dan penambahan bumbu-bumbu, penggorengan pada suhu 175oC dan pengepresan. Tahapan-tahapan pengolahan tersebut dapat mempengaruhi keadaan sel yang di dalamnya mengandung DNA, perlakuan pemanasan dengan suhu dan tekanan tinggi selain mengakibatkan protein terdenaturasi juga berpengaruh pada stabilitas DNA dan pencampuran bumbu-bumbu dan bahan lain menyebabkan DNA yang diekstraksi masih tercampur dengan senyawa kontaminan. Proses pengolahan pada pembuatan produk olahan terbukti berdampak lebih sulit pada saat ekstraksi dan isolasi DNA, namun tidak mempengaruhi keberadaan DNA dalam sampel terbukti dengan keberhasilan isolasi DNA dari produk olahan yaitu bakso dan abon. Kemajuan pesat di bidang molekuler dengan kemampuan mendeteksi adanya cemaran daging lain terutama yang tidak umum untuk dikonsumsi masyarakat tertentu sangat bermanfaat dalam upaya perlindungan konsumen dari pemalsuan produk. Teknik PCR merupakan metode yang sangat praktis dan akurat, mempunyai kelebihan dapat mendeteksi protein yang sudah terdegradasi (matang atau produk olahan) dalam kandungan yang sangat sedikit (µg) (Nuraini,
2004). PCR memiliki sensitivitas deteksi dan spesifisitas tinggi sehingga berpotensi untuk digunakan dalam deteksi jenis hewan. Penggunaan teknik PCR untuk identifikasi jenis daging yang telah dilakukan yaitu menggunakan analisis PCR-RAPD, PCR-RFLP dan hibridisasi DNA. Rastogi et al.
(2007) menggunakan teknik PCR-RAPD untuk
mengidentifikasi ular dan kerbau menggunakan DNA mitokondria dan DNA nukleus. Menurut Fajardo et al. (2010), teknik PCR-RAPD memiliki kekurangan yaitu pada saat proses penyiapan yang lebih sulit, kualitas DNA awal sangat penting, terbatas untuk daging yang telah diproses dengan degradasi asam nukleat tinggi dan tidak sesuai untuk identifikasi daging campuran yang mengandung lebih dari satu jenis hewan. Murugaiah et al. (2009) menggunakan DNA mitokondria untuk membedakan daging sapi (Bos taurus), babi (Sus scrofa), kerbau (Bubalus bubalis), puyuh (Coturnix coturnix), ayam Gallus gallus) dan kelinci (Oryctolagus cuniculus) dalam daging giling atau daging cincang. Metode yang digunakan terdiri atas amplifikasi PCR diikuti oleh pemotongan restriksi (PCR-RFLP) sehingga prosedur untuk campuran daging atau produk daging menjadi rumit. Teknik hibridisasi DNA memerlukan pelabelan serta waktu pengerjaan yang lebih lama. Martin et al. (2007) menggunakan DNA mitokondria dengan teknik PCR dengan primer spesifik untuk membedakan daging kucing, anjing dan tikus. Primer spesifik yang digunakan dalam teknik simpleks PCR terdiri atas pasangan primer berbeda untuk setiap jenis hewan. Sepasang primer khusus digunakan untuk satu jenis hewan, sehingga jika dalam sampel terdapat tiga sumber DNA yang berbeda maka primer yang digunakan harus enam pasang dan dilakukan satu per satu dalam tiga tabung berbeda seperti pada simpleks PCR konvensional. Nuraini (2004) dalam penelitiannya juga menggunakan teknik simpleks PCR dengan primer spesifik untuk mendeteksi material babi pada produk daging olahan menggunakan sekuen short interspersed nucleotide element (SINE) menggunakan empat pasang primer yang berasal dari sekuen pengapit (flanking primers) Porcine Repetitive Element 1 (PRE-1) dan primer di dalam (inside primers) PRE-1. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa flanking primers PRE-1 memiliki sifat yang unik dan sensitif sehingga dapat dijadikan primer spesifik babi, akan tetapi pada inside primers PRE-1 tidak dapat dijadikan
sebagai primer spesifik babi karena pita ganda muncul
dan dapat
mengamplifikasi semua sampel DNA sapi dan babi. Kekurangan teknik simpleks PCR jika dilakukan untuk deteksi dan identifikasi sumber daging yaitu membutuhkan beberapa kali optimasi dan bahan yang digunakan lebih banyak serta waktu yang diperlukan relatif lebih lama. Keunggulan dari teknik multipleks PCR yaitu dapat menghemat waktu dan biaya analisis karena untuk mendeteksi sampel dengan sumber DNA yang berbeda-beda dapat dilakukan dalam satu reaksi sekaligus sehingga dalam penggunaannya dapat lebih efisien. Penggunaan multipleks PCR dan keandalan variasi gen cyt b dalam penelitian ini terbukti berhasil untuk deteksi dan identifikasi jenis atau sumber daging secara cepat, tepat dan akurat. Primer yang digunakan yaitu satu primer forward untuk keenam jenis hewan dan tujuh primer reverse yang disusun pada daerah spesifik setiap jenis hewan. Kespesifikan gen cyt b terbukti dengan teramplifikasinya DNA tujuh jenis hewan dengan panjang fragmen yang berbedabeda dan campuran DNA (DNA mix) dari tujuh jenis ternak dapat diamplifikasi dalam satu reaksi sehingga tujuh pita dengan panjang berbeda-beda dapat divisualisasi dalam satu sumur gel. Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan primer spesifik tikus hasil rancangan
untuk
identifikasi
jenis
daging
terbukti
sensitif
dengan
teramplifikasinya fragmen tikus hanya pada sampel yang mengandung DNA tikus dan dapat terdeteksi pada level campuran DNA tikus 1%. Identifikasi spesifik jenis hewan dengan teknik multipleks PCR memperlihatkan hasil yang sangat baik untuk deteksi cemaran tikus pada produk olahan daging terutama bakso karena cemaran daging tikus dapat terdeteksi pada level cemaran 1% dan pada abon dengan cemaran daging tikus terdeteksi pada level cemaran diatas 2.5%. Identifikasi jenis hewan dengan teknik multipleks PCR memperlihatkan hasil yang sangat baik untuk deteksi cemaran daging tikus pada daging dan produk olahan sehingga teknik ini berpotensi handal dan tepat dalam analisis keamanan pangan khususnya untuk sertifikasi aman dan halal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keberhasilan amplifikasi gen cyt b pada tujuh jenis hewan dengan panjang fragmen yang dihasilkan berbeda-beda menunjukkan kespesifikan sekuen gen cyt b antar jenis hewan. Gen cyt b sensitif sebagai marka spesifik untuk tikus dibuktikan dengan terdeteksinya DNA tikus pada level campuran 1% dengan persentase keberhasilan dan ketepatan amplifikasi 100%. Primer reverse tikus hasil rancangan terbukti spesifik untuk Rattus dan Mus dan dapat digunakan sebagai penciri asal daging pada produk daging olahan. Cemaran tikus pada bakso sudah dapat terdeteksi pada level cemaran 1%, sedangkan pada abon mulai dapat terdeteksi pada level cemaran di atas 2.5%. Saran Penentuan kespesifikan antar jenis tikus yang terdapat di Indonesia dapat dilakukan dan aplikasi deteksi cemaran tikus atau enam jenis hewan lainnya dalam penelitian ini dapat digunakan pada produk olahan yang beredar di pasaran.
DAFTAR PUSTAKA Ballin NZ. 2010. Authentication of meat and meat products. Meat Sci 86:577– 587. Barnett S, Anthony. 2002. The Story of Rats: Their Impact on Us and Our Impact on Them. Crows Nest, NSW: Allen & Unwin. Bottero MT et al. 2003. A multiplex polymerase chain reaction for identification of cows, goats and sheep milk in dairy products. Int Dairy J 13:277–282. Butler JM. 2005. Forensic DNA Typing Biology, Technology and Genetics of STR Markers. Ed ke-2. Burlington, USA: Elsevier Academic Press. Buzdin A, Lukyanov S. 2007. Nucleic Acids Hybridization Modern Applications. Netherlands: Springer. Che MYB, Aida AA, Raha AR, Son R. 2007. Identification of pork derivatives in food products by species-specific polymerase chain reaction (PCR) for halal verification. Food Control 18(7):885–889. Dalmasso A et al. 2004. A multiplex PCR assay for the identification of animal species in feedstuffs. Mol Cell Prob 18:81–87. [DEPAG RI] Departemen Agama Republik Indonesia. 2001. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Jakarta: DEPAG RI. Dunnum JL, Salazar BJ. 2010. Molecular systematics, taxonomy and biogeography of the genus Cavia (Rodentia: Caviidae). J Zool Syst Evol Res 48 (4):376-388. Fajardo V, Gonzáles I, Rojas M, Garcia T, Martin R. 2010. A review of current PCR-based methodologies for the authentication of meats from game animal species. Trends Food Sci Technol 21:408-421. Geng RQ, Chang H. 2008. Genetic diversity and origin of Menggu cattle. http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/193297018. [10 Agustus 2010]. Ghovvati S, Nassiri MR, Mirhoseini SZ, Moussavi AH, Javadmanesh A. 2009. Fraud identification in industrial meat products by multiplex PCR assay. Food Control 20:696–699. Han S et al. 2004a. Polymorphism of the mtDNA cytochrome b and NADH dehydrogenase 6 genes in Tsushima and Jeju native horses. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. [10 Agustus 2010]. Han S et al. 2004b. Phylogenetic relationship of Korean wild boars based on mitochondrial DNA cytochrome b gene. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Henegariu O, Heerema NA, Dlouhy SR, Vance GH, Vogt PH. 1997. Multiplex PCR: Critical Parameters and Step-by-Step Protocol. BioTech 23:504-511. Howell N. 1989. Evolutionary conservation of protein regions in the protonmotive cytochrome b and their possible roles in redox catalys [abstract]. J Mol Evol 29 (2): 157-169.
Jain S, Brahmbhait MN, Rank DN, Joshi CG, Solank JV. 2007. Use of cytochrome b gene variability in detecting meat species by multiplex PCR assay. Ind J Anim Sci 77(9):880-881. Kesmen Z, Sahin F, Yetim H. 2007. PCR assay for the identification of animal species in cooked sausages. Meat Sci 77:649–653. Kingombe CIB et al. 2010. Multiplex PCR method for detection of three Aeromonas enterotoxin genes. Appl Environ Microbiol 76(2):425–433. Kocher et al. 1989. Dynamics of mitochondrial DNA evolution in animals: Amplification and sequencing with conserved primers. Proc Natl Acad Sci 86:6196-6200. Kumar D, Singh SP, Singh R, Karabasanavar NS. 2011. A highly specific PCR assay for identification of goat (Capra hircus) meat. Small Rum Res 97:76–78. LiuYP, Cao SX, Chen SY, Yao YG, Liu TZ. 2007. Genetic diversity and origin of Chinese domestic goat based on the mitochondrial DNA sequences. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/159498717. [10 Agustus 2010]. Long JL. 2003. Introduced Mammals in The World: Their History, Distribution and Influence.Collingwood, Australia: CSIRO Publishing. Martín et al. 2007. Technical note: detection of cat, dog, and rat or mouse tissues in food and animal feed using species-specific polymerase chain reaction. J Anim Sci 85:2734-2739. Matsunaga T et al. 1999. A quick and simple method for the identification of meat species. Meat Sci 51:143-148. Meerburg BG, Singleton GR, Leirs H. 2009. The year of the rat ends: Time to fight hunger!. Pest Manag Sci 65(4):351–352. Miguel AR et al. 2004. PCR identification of beef, sheep, goat and pork in raw and heat treated meat mixtures. J Food Protect 67:172-77. Minarovič T, Trakovická A, Rafayová A, Lieskovská Z. 2010. Animal species identification by PCR–RFLP of cytochrome b. Anim Sci Biotech 43 (1). Murugaiah C et al. 2009. Meat species identification and halal authentication analysis using mitochondrial DNA. Meat Sci 83:57-61. Musser GG, Marshall JTJ, Boeadi B. 1979. Definition and contents of the Sundaic genus Maxomys (Rodentia, Muridae). J Mammal 60:592-606. Naidu A, Fitak RR, Munguia-Vega A, Culver M. 2010. Novel PCR primers for complete mitochondrial cytochrome b gene sequencing in mammals. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/298162472. [10 Agustus 2010]. [NCBI]. Natural Center for Biotechnology Information. 2011. mt-Cytb cytochrome b, mitochondrial Rattus norvegicus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Nollet LML, Toldrá F. 2011. Safety Analysis of Foods of Animal Origin. New York: CRC Press. Nuraini H. 2004. Pengembangan sekuen Porcine Repetitive Element (PRE-1) sebagai penanda molekuler untuk mendeteksi material babi pada produk
daging olahan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Obrovska I, Steinhauserova I, Nebola M. 2002. The application of the PCR method to the identification of meat species. Folia Vet 46:113-118. PP RI. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta. Rastogi G et al. 2007. Species identification and authentication of tissues of animal origin using mitochondrial and nuclear markers. Meat Sci 76(4):666674. Rezaei HR. 2010. Evolution and taxonomy of the wild species of the genus Ovis (Mammalia, Artiodactyla, Bovidae). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/178925160. [10 Agustus 2010]. Römpler et al. 2006. Protocol multiplex amplification of ancient DNA. Nature 2 (1):720-728. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning a Laboratory Manual. United State of America: CSH Laboratory Press. Sambrook J, Russel. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Ed ke-3. United State of America: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Shen XJ, Nakamura T. 2000. Complete mitochondrial cytochrome b gene (haplotype A) sequence in the Chunky broiler strain (Gallus gallus). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/11066142. [10 Agustus 2010]. Suryanto A, Yoneda M, Maryanto I, Maharadatunkamsi, Sugardjito J. 1998. Checklist of The Mammals of Indonesia. Bogor: LIPI-JICA. Hlm 32-41. Tataurov AV, You Y, Owczarzy R. 2008. Predicting ultraviolet spectrum of single stranded and double stranded deoxyribonucleic acids. Biophys Chem 133 (1-3):66-70. Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA mutations in human disease. Natl Rev Gen 6:389-402. Weissensteiner T, Griffin HG, Griffin A. 2004. PCR Technology Current Innovations. Ed ke-2. Boca Raton, Florida: CRC Press LLC. Widayanti R. Kajian penanda genetik gen cytochrome b dan daerah D-Loop pada Tarsius sp [disertasi]. 2006. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zhang CL, Fowler MR, Scott NW, Lawson G, Slater A. 2007. A TaqMan realtime PCR system for the identification and quantification of bovine DNA in meats, milks and cheeses. Food Control 18:1149–1158.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) kambing (Capra hircus)
Lampiran 2 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) ayam (Gallus gallus)
Lampiran 3 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) sapi (Bos taurus)
Lampiran 4 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) domba (Ovis aries)
Lampiran 5 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) babi (sus scrofa)
Lampiran 6 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) kuda (Equus caballus)
Lampiran 7 Sekuen gen sitokrom b (cyt b) tikus (rattus norvegicus)
Lampiran 8 Tampilan program pada tahapan perancangan primer 1. Runutan nukleotida diperoleh dari NCBI dalam NCBI home page (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/)
2. Pencarian runutan nukleotida untuk setiap jenis ternak dilakukan dengan kata kunci pencarian “Search : nucleotide” dan “cytochrome b”
3. Format sekuen dalam bentuk FASTA dengan TextPad
4. Multiple Alignment dengan MEGA 4
5. Penyajian hasil rancangan dengan BioEdit Sequence Alignment Editor
Lampiran 9 Tampilan program pada tahapan uji homologi primer spesifik 1. Program genetic information processing software GENETYX-WIN versi 4.0 dibuka
2. diklik „File‟ kemudian „New Sequence‟
3. diklik „Search Homology‟ pada „Nucleotide‟