PENGGUNAAN GEN SITOKROM β (Cyt β) DALAM IDENTIFIKASI SPESIES ANJING, KUCING, DAN HARIMAU UNTUK MENJAMIN KEASLIAN PRODUK PANGAN DAN OBAT
IRINE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk Pangan dan Obat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013
Irine NIM D151110151
ii
RINGKASAN IRINE. Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk Pangan dan Obat. Dibimbing oleh HENNY NURAINI dan CECE SUMANTRI. Sampai saat ini, upaya pemalsuan produk pangan asal ternak dengan alasan ekonomi masih sering terjadi. Pengembangan metode identifikasi spesies pada produk pangan dan obat yang berasal dari hewan diharapkan dapat melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Kemajuan dibidang genetika molekuler memungkinkan proses pendeteksian dilakukan pada tingkat DNA sehingga hasil pengujian lebih akurat, walaupun telah mengalami proses pengolahan. Penelitian tentang beberapa jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA). Penggunaan mtDNA didasarkan pada alasan jumlah kopi molekul mtDNA yang tinggi dalam sel dibandingkan dengan DNA inti, misalnya pada kasus dimana jumlah ekstraksi DNA sangat sedikit atau terdegradasi. Gen yang sering digunakan sebagai penanda spesies adalah gen sitokrom β (cyt β) karena mempunyai runutan sekuen basa nukleotida yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk pembuktian spesies anjing, kucing, dan harimau dalam menjamin keaslian produk asal ternak menggunakan marka spesifik berbasis gen sitokrom β (cyt β). Jumlah sampel DNA yang digunakan untuk masing-masing hewan sebanyak tiga sampel, yang terdiri dari darah kucing, daging anjing, dan feses harimau, serta sebagai pembanding digunakan sampel darah dari berbagai jenis hewan antara lain kambing, ayam, sapi, domba, kuda, tikus serta sampel daging dari babi. Primer spesifik anjing, kucing, dan harimau dirancang menggunakan software MEGA 5. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform, dan amplifikasi fragmen DNA menggunakan metode multipleks PCR. Multipleks PCR merupakan salah satu variasi dari PCR yang menggunakan banyak primer secara bersamaan untuk mengamplifikasi beberapa daerah target. Penelitian ini menunjukkan amplifikasi panjang fragmen yang berbeda pada spesies yang diuji (anjing, kucing, dan harimau) adalah 523, 568, dan 319 pb; dan pada spesies pembanding (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, dan tikus) adalah 157, 227, 274, 331, 398, 439, dan 603 pb. Kespesifikan spesies ditunjukkan dengan adanya persentase homologi primer reverse yang tinggi pada masing-masing spesies. Amplifikasi fragmen spesifik pada DNA total genom yang mempunyai panjang berdekatan harus dipisahkan untuk mencegah pita yang tumpang tindih diantara spesies. Hierarki taksonomi anjing, kucing, dan harimau sudah dapat dibedakan sampai pada tingkat spesies dengan menggunakan gen sitokrom β (cyt β). Kata kunci: anjing, gen sitokrom β, harimau, kucing, multipleks PCR
SUMMARY IRINE. Using Cytochrome β (Cyt β) Gene for Species Identification of Dog, Cat, and Tiger to Ensure Food Authenticity and Drugs. Supervised by HENNY NURAINI and CECE SUMANTRI. Adulteration food products from animal still happen until now. Species identification method development in food and medicine derived from animal was needed to prevent falsification information. Molecular genetic improvement allows the detection is carried out at the level of DNA, so the results more accurate, although processed. Research on several meat have been conducted by several researchers using DNA mitochondrial DNA (mtDNA). Using mtDNA because it has high copy number in a cell, compared with nuclear DNA. In this case where the amount of extracted DNA is very small or degraded. Gene used as marker specific species is cytochrome β (cyt β) because it has varied sequences. The objective of this research was to study species authentication (i.e. dog, cat, and tiger) to ensure animal origin in product using cyt β gene specific marker. Total DNA samples for each species which identified are three samples were consisting blood (cat), cooked meat (dog), feces (tiger), and as a comparison used blood sample from several animal (i.e. goat, chicken, cattle, sheep, horse, rat) and pork. Reverse primer specific for dog, cat, and tiger was designed using MEGA 5 software. DNA extraction and fragment amplification was conducted using phenol-chloroform and multiplex PCR method, respectively. Multiplex PCR is a variant of PCR which many primers were used together for amplification of multiple region. This research showed that different length of amplification for the species tested (dog, cat, and tiger) were 523, 331, 319 bp, respectively; and for the comparison species (goat, chicken, cattle, sheep, pig, horse, and rat) were 157, 227, 274, 331, 398, 439, and 603 bp, respectively. Species specificity also indicated by high reverse primer homology percentage. Specific fragment amplification on genome pool with closed fragment length should be separate to avoid band overlapped between species. Taxonomy hierarchy (i.e. dog, cat, and tiger) could be distinguished to the species level. Key words: cat, cytochrome β gene, dog, multiplex PCR, tiger
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGGUNAAN GEN SITOKROM β (Cyt β) DALAM IDENTIFIKASI SPESIES ANJING, KUCING, DAN HARIMAU UNTUK MENJAMIN KEASLIAN PRODUK PANGAN DAN OBAT
IRINE
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Jakaria, SPt, MSi
Judul Tesis
: Penggunaan Gen Sitokrom fJ (Cyt fJ) dalam Identiflkasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk Pangan dan Obat
Nama NIM
: Irine : 0151110151
Oisetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Henny Nuraini, MSi Ketua
Prof Dr Ir Cece Surnantri, MAgrSc Anggota
Oiketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
»eKaill "_""'4~"a.u Pascasarjana
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Tanggal Ujian: 02 September 2013
Tanggal Lulus:
i. b
SfP 20 13
Judul Tesis
Nama NIM
: Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk Pangan dan Obat : Irine : D151110151
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Henny Nuraini, MSi Ketua
Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 02 September 2013
Tanggal Lulus:
2
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah pengembangan metode identifikasi spesies untuk melindungi konsumen dari pemalsuan informasi dengan judul: “Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk Pangan dan Obat”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Henny Nuraini, Msi dan Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc selaku pembimbing, serta Dr Jakaria, SPt, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof Dr Ir Muladno, MSA selaku Kepala Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan kepada saudara Eryk Andreas, SPt, MSi atas bantuannya selama penelitian di Laboratorium Molekuler Ternak. Penghargaan juga disampaikan penulis kepada Prof Dr drh Dondin Sajuthi, MST dan Dr drh Ligaya I.T.A. Tumbelaka, SpMp, MSc atas perolehan sampel harimau. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Irine
3
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Hipotesis
1 1 2 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Deteksi Cemaran Pangan Anjing (Canis lupus familiaris) dan Kucing (Felis catus) Harimau (Panthera tigris) DNA Mitokondria Gen Sitokrom β (Cyt β ) Polymerase Chain Reaction (PCR)
2 2 3 4 5 6 6
3 METODE Waktu dan Tempat Materi Prosedur Analisis Data
7 7 8 9 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan Primer Spesifik Anjing, Kucing, dan Harimau Derajat Kesamaan Primer Spesifik Kualitas DNA Total Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Anjing, Kucing, dan Harimau Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Sepuluh Spesies Hewan Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada DNA Total Genom Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Obat Asal Hewan
13 13 13 14
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
23 23 23
DAFTAR PUSTAKA
23
RIWAYAT HIDUP
29
19 20 21 22
4
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Sampel DNA Sekuen primer reverse gen cyt β Sekuen primer reverse gen cyt β spesies anjing, kucing, dan harimau Kriteria primer reverse anjing, kucing, dan harimau Hasil uji homologi primer spesifik pada sepuluh jenis hewan Hasil pengukuran konsentrasi DNA sepuluh spesies Hasil pengukuran konsentrasi DNA obat
8 9 13 13 17 18 22
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Susunan genom mitokondria Elektroforesis gel agarosa dari produk PCR enam daging Fragmen DNA spesifik untuk setiap tipe hewan Situs penempelan primer pada sekuen DNA mitokondria daerah cyt β sepuluh jenis hewan Fragmen DNA spesifik spesies anjing, kucing, dan harimau Fragmen DNA spesifik untuk setiap jenis hewan Amplifikasi fragmen spesifik dari DNA total Amplifikasi fragmen spesifik obat harimau
5 12 12 15 19 20 21 22
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia mempunyai keragaman agama, budaya dan tradisi atau suatu kebiasaan yang bersifat turun temurun. Hal ini juga tercermin dari bervariasinya produk olahan daging maupun sumber bahan baku dagingnya. Sumber daging yang biasa digunakan untuk konsumsi berasal dari ternak: sapi, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, dan unggas. Beberapa daerah di Indonesia yang mayoritas warganya mempunyai tradisi mengkonsumsi daging dari hewan yang tidak lazim (anjing) yaitu: Manado dan Minahasa yang mengenal masakan daging anjing dengan sebutan RW (rintek wuuk), budaya Batak dari Sumatera Utara mengenalnya dengan kode “B1”, dan beberapa kota di Jawa, seperti Solo dan Yogyakarta, sate dan tongseng yang memakai daging anjing disamarkan dengan sebutan “jamu” dan “sengsu”. Daerah yang mengkonsumsi daging kucing sebagai makanan khasnya adalah Tomohon yang terletak di provinsi Sulawesi Utara. Bagi agama tertentu, sumber daging tersebut dapat menjadi suatu larangan, namun tidak untuk agama atau budaya yang lain. Penggunaan hewan yang tidak lazim, misalnya anjing dan kucing sebagai campuran bahan pangan perlu dideteksi untuk menjamin keaslian produk dan melindungi konsumen dari pemalsuan. Selain itu, penggunaan hewan yang dilindungi seperti harimau, sebagai bahan baku produk obat memerlukan pengawasan agar tidak terjadi kepunahan dari hewan asli Indonesia, karena digunakan sebagai bahan baku produk secara ilegal. Pemerintah sudah berusaha melindungi konsumen dengan adanya Undang-undang (UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan Peraturan Pemerintah (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan). Namun, sampai saat ini, upaya pemalsuan produk pangan asal ternak dengan alasan ekonomi masih sering terjadi, seperti pemalsuan dan penggantian dengan spesies yang tidak diharapkan yang mempunyai nilai lebih rendah (Che Man et al. 2007; Rastogi et al. 2007). Oleh karena itu, untuk melindungi hak konsumen tersebut, maka diperlukan adanya label dari pangan tersebut yang menjelaskan spesies yang digunakan (Ballin 2010). Kemajuan dibidang genetika molekuler memungkinkan proses deteksi dilakukan pada tingkat DNA sehingga hasil pengujian lebih akurat, walaupun telah mengalami proses pengolahan. Proses perbanyakan sekuen DNA melalui teknik multipleks Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik yang handal dalam menentukan adanya pemalsuan spesies dalam suatu produk. Matsunaga et al. (1999) menggunakan metode multipleks PCR untuk mengidentifikasi enam jenis daging (sapi, babi, ayam, domba, kambing, dan kuda) yang telah mengalami pemasakan. Variasi runutan basa nukleotida yang ada pada sitokrom β menyebabkan gen ini banyak digunakan sebagai penanda untuk mengelompokkan jenis hewan.
2 Perumusan Masalah Sampai saat ini, upaya pemalsuan produk pangan asal ternak dengan alasan ekonomi masih sering terjadi. Penggunaan hewan yang tidak lazim, misalnya anjing dan kucing sebagai campuran bahan pangan perlu dideteksi untuk menjamin keaslian produk. Selain itu, penggunaan hewan yang dilindungi seperti harimau, sebagai bahan baku produk obat memerlukan pengawasan, karena digunakan sebagai bahan baku produk secara ilegal. Kemajuan dibidang genetika molekuler memungkinkan proses pendeteksian dilakukan pada tingkat DNA sehingga hasil pengujian lebih akurat, walaupun telah mengalami proses pengolahan. Penelitian ini difokuskan pada teknik multipleks PCR dan penggunaan gen sitokrom β (cyt β) dalam mendeteksi dan mengidentifikasi spesies hewan secara cepat. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk pembuktian spesies anjing, kucing, dan harimau dalam menjamin keaslian produk asal ternak menggunakan marka spesifik berbasis gen sitokrom β (cyt β).
Manfaat Pemanfaatan dan pengembangan penanda spesifik tersebut diharapkan dapat membantu dalam menyediakan teknologi yang aplikatif untuk mencegah terjadinya pemalsuan informasi khususnya produk pangan asal hewan, serta melindungi hewan asli Indonesia dari kepunahan.
Hipotesis Penanda genetik seperti gen sitokrom β (cyt β) pada kambing (Capra hircus), ayam (Gallus gallus), sapi (Bos taurus), domba (Ovis aries), babi (Sus scrofa), kuda (Equus caballus), tikus (Rattus norvegicus), anjing (Canis lupus familiaris), kucing (Felis catus), dan harimau (Panthera tigris) memiliki fragmen unik yang mencirikan masing-masing jenis hewan tersebut.
2 TINJAUAN PUSTAKA Deteksi Cemaran Pangan Pemilihan pangan biasanya mencerminkan aspek gaya hidup, budaya, agama dan kesehatan. Upaya dalam rangka mencegah kompetisi pasar yang tidak adil dan melindungi konsumen dari kesalahan pelabelan produk hewan, dengan alasan ekonomi, agama, dan kesehatan (Qi et al. 2010), sehingga memerlukan metode analisis yang sensitif dan akurat untuk mendeteksi dan mengidentifikasi
3 spesies daging serta produk turunan hewan. Sejumlah metode analisis dikembangkan untuk identifikasi spesies yang berasal dari protein daging dan DNA. Metode yang didasarkan pada pemisahan fraksi protein termasuk elektroforesis, kromatografi, teknik immunologi (ELISA = enzyme-linked immunosorbent assay, CIE = counterimmunoelectrophoresis, RID = radial immunodiffusio) (Kesmen et al. 2007). Metode ini kurang sensitif untuk mengidentifikasi produk daging yang sudah mengalami pemasakan dengan suhu yang tinggi karena mungkin mengubah struktur dan kestabilan protein (Saez et al. 2004) serta merusak protein spesifik (Calvo et al. 2001). Metode analisis DNA merupakan salah satu strategi untuk identifikasi spesies daging, karena jika dibandingkan dengan protein, DNA lebih stabil terhadap perlakuan teknologi dan dianggap sebagai jaringan yang independen (Martinez dan Yman 1998). Metode analisis DNA yang didasarkan pada polymerase chain reaction (PCR) sangat potensial untuk mendeteksi spesies hewan yang digunakan, meskipun produk yang digunakan telah mengalami proses pemasakan (Kesmen et al. 2007). Beberapa contoh pemalsuan yang terjadi di masyarakat diantaranya adalah 1) penggunaan lemak babi pada roti (Che Man et al. 2007) dan penggunaan usus babi sebagai pembungkus sosis (Nakyinsige et al. 2012), 2) penggunaan daging babi untuk mengganti daging sapi, ayam dan daging kambing, karena harganya yang lebih murah (Sahilah et al. 2011), 3) pemalsuan produk dendeng yak dengan dendeng sapi (Chen et al. 2010), 4) pemalsuan bakso sapi dengan bakso babi (Ali et al. 2012). Selain itu, kemungkinan cemaran yang potensial terjadi di masyarakat adalah penggunaan hewan yang tidak lazim seperti anjing dan kucing (Abdel-Rahman et al. 2009). Penggunaan hewan yang dilindungi seperti harimau, sebagai bahan baku produk obat memerlukan pengawasan agar tidak terjadi kepunahan dari hewan asli Indonesia, karena digunakan sebagai bahan baku produk secara ilegal.
Anjing (Canis lupus familiaris) dan Kucing (Felis catus) Belakangan ini, konsumen dikhawatirkan dengan berbagai isu, seperti pemalsuan daging. Keterangan komponen yang digunakan dalam proses atau campuran pangan tidak selalu tersedia, sehingga memungkinkan adanya pemalsuan dan penggantian produk dengan spesies yang tidak diharapkan dan bernilai lebih rendah. Identifikasi bahan atau komposisi campuran tidak selalu jelas dan diperlukan verifikasi bahwa komponen yang digunakan adalah asli dan berasal dari sumber yang dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, untuk melindungi hak konsumen, peraturan dari setiap negara harus menggunakan label yang menjelaskan spesies yang digunakan dalam pengolahan (Abdel-Rahman et al. 2009). Selain masalah pemalsuan daging, bukti forensik manusia yang dikumpulkan dari tempat kejadian perkara (TKP) sering tercampur dengan materi biologis anjing dan kucing. Amerika Serikat (US), 55% rumah tangga setidaknya memiliki satu anjing (68 juta anjing di US) dan/atau kucing (73 juta kucing di US). Pertukaran bukti biologis (rambut, feses, dan urin) hewan dengan tersangka kejahatan dan korban pada tempat kejadian sangat mungkin terjadi (Kanthaswamy et al. 2012). Nilai potensial dari metode analisis forensik menggunakan DNA
4 mitokondria cukup untuk menjelaskan bahwa anjing tidak berkontribusi sebagai bukti forensik (Angleby dan Savolainen 2005).
Harimau (Panthera tigris) Harimau tersebar luas secara geografis, mendiami sebagian besar Asia, termasuk wilayah di antara Laut Caspian dan Laut Aral, Rusia Tenggara, dan Pulau Sunda (Hemmer 1987; Herrington 1987), dan diperkirakan besarnya populasi 100.000 pada tahun 1900 (Kitchener dan Dugmore 2000). Kehilangan habitat dan perburuan menyebabkan populasi harimau hanya sebagian dari ukuran sebelumnya, yang diperkirakan baru-baru ini hanya sekitar 3800-5000 harimau liar dengan titik tengah sekitar 4500 (Seidensticker et al. 2010). Sembilan subspesies dari harimau dikenali : Panthera tigris altica, P. t. amoyensis, P. t. tigris, P. t. corbetti, P. t. sumatrae, P. t. virgata, P. t. sondaica, P. t. balica dan P. t. “jacksoni”. Tiga subspesies diduga punah adalah P. t. virgata, P. t. sondaica, dan P. t. balica, sementara P. t. amoyensis tidak ada lagi di alam liar dan hanya terdapat di penangkaran (Xu et al. 2007). Tersisa 5 subspesies yang terancam punah (Seidensticker et al. 2010), sehingga harus diketahui berapa banyak subspesies harimau yang dapat dikenali dengan pendekatan morfologi, biokimia, dan genetik molekuler (Mazak 2010; Luo et al. 2004). Perburuan yang ekstrim dan perdagangan kulit harimau dan bagian tubuh untuk tujuan komersial merupakan faktor penting yang menyebabkan penurunan jumlah dari harimau liar. Hal ini terkait dengan peningkatan ketertarikan akan pengobatan tradisional serta didukung dengan perkembangan yang pesat dari ekonomi Asia sehingga meningkatkan permintaan secara pesat akhir-akhir ini (Wetton et al. 2004). Setiap bagian tubuh harimau dipercaya mempunyai efek terapi, seperti: kumis untuk menghilangkan sakit gigi, bola mata untuk menolong mengontrol epilepsi dan sup penis harimau membantu kejantanan. Tulang merupakan bagian yang sangat berharga untuk melawan arthritis dan untuk meningkatkan potensi pria (Mills dan Jackson 1994). Tulang harimau digunakan dalam obat tradisional Asia atau Traditional Chinese Medicine (TCM), dan biasanya dicampur dengan bahan yang berasal dari hewan lain atau bahan herbal untuk komponen resep (Wetton et al. 2004). Kulit harimau sangat dicari sebagai dekorasi rumah atau kostum pada beberapa negara, terutama Tibet (Wright 2010). Semua penggunaan dari bagian tubuh harimau menghasilkan keuntungan pasar yang tinggi di banyak negara (Kitpipit et al. 2012). Kelima subspesies harimau yang masih ada telah didaftarkan pada CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix I, yang memberi perlindungan pada harimau pada level tertinggi dari perdagangan internasional. Oleh karena itu, untuk membantu mencegah perdagangan harimau dan bagian tubuhnya, pendekatan molekuler mungkin digunakan untuk memastikan bahwa sampel yang diuji mengandung DNA harimau. Berdasarkan konteks forensik, sampel yang diuji berpotensi untuk terdegradasi, DNA inti kemungkinan tidak menghasilkan hasil, oleh karena itu, DNA mitokondria mungkin digunakan sebagai alternatif untuk identifikasi spesies (Kitpipit et al. 2012).
5 DNA Mitokondria Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) adalah untai ganda yang mempunyai panjang 16.569 pb (pasang basa). Proporsi dari 4 basa nukleotida tidak seimbang, untai yang satu mengandung banyak basa guanine (G) dan adenosine (A) (heavy strand atau H-strand) dan yang lainnya kaya akan cytosine (C) dan thymine (T) yang disebut dengan light strand (L-strand) (Tully et al. 2001). Susunan genom mitokondria disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Susunan genom mitokondria (Taylor dan Turnbull 2005) Genom mitokondria hewan terdiri atas 13 protein yang disandikan oleh gengen, 2 gen penyandi untuk ribosomal RNA, 22 gen transfer RNA (tRNA) dan sebuah daerah non penyandi (Meyer 1994). Daerah non penyandi yang panjangnya sekitar 1100 pb sebagai daerah pengontrol yang disebut dengan displacement loop (D-Loop). mtDNA hanya diwariskan dari ibu (Butler 2005). Sebuah mitokondria mengandung 2-10 kopi mtDNA dan terdapat sebanyak 1000 mitokondria per sel somatik (Budowle et al. 2003). Sementara untuk inti sel mengandung DNA inti sepanjang 3.2 x 109 pb dan terdapat 2 inti per sel (Butler 2005). Jumlah kopi molekul mtDNA yang tinggi dalam sel dibandingkan dengan DNA inti untuk analisis kasus forensik tertentu, misalnya kasus dimana jumlah ekstraksi DNA sangat sedikit atau terdegradasi, hasil DNA kemungkinan diperoleh dari mtDNA daripada DNA inti (Budowle et al. 2003). Penelitian tentang beberapa jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan mtDNA. Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom β (cyt β), 12S rRNA, dan DLoop (displacement loop) (Fajarado et al. 2010).
6 Gen Sitokrom β (Cyt β) Gen cyt β menyandi pembentukan protein, terutama protein yang terlibat dalam transportasi elektron dalam mitokondria. Sekuen DNA mitokondria (mtDNA) mengandung gen cyt β (Irwin et al. 1991) yang digunakan untuk identifikasi spesies dan taksonomi filogenetik (Hsieh et al. 2001). Gen cyt β sering digunakan untuk membandingkan beberapa filogenetik spesies pada genus atau famili yang sama, keragaman gen cyt β digunakan untuk mendeteksi sumber susu yang berasal dari sapi (Bos), domba (Ovis), kambing (Capra), dan kerbau (Bubalus) (Lanzilao et al. 2005). Sekuen gen cyt β yang berasal dari kucing (Felis catus) mempunyai panjang sekuen 1140 pb (Tamada et al. 2005), runutan gen cyt β anjing (Canis lupus familiaris) sepanjang 1140 pb (Kim et al. 1998), harimau (Panthera tigris) sepanjang 1140 pb (Cracraft et al. 1998), tikus (Rattus norvegicus) sepanjang 1143 pb (Naidu et al. 2010), kambing (Capra hircus) sepanjang 1140 pb (Liu et al. 2009), ayam (Gallus gallus) sepanjang 1143 pb (Shen dan Nakamura 2000), sapi (Bos taurus) sepanjang 1140 pb (Geng dan Chang 2008), domba (Ovis aries) sepanjang 1140 pb (Rezaei et al. 2009), babi (Sus scrofa) sepanjang 1140 pb (Han et al. 2004b), dan kuda (Equus caballus) sepanjang 1139 pb (Han et al. 2004a). Matsunaga et al. (1999) mengembangkan metode multipleks PCR untuk mengidentifikasi enam jenis daging yaitu sapi, babi, ayam, domba, kambing dan kuda dengan menggunakan primer forward yang dirancang pada sekuen DNA gen cyt β “conserve”, sementara primer reverse pada sekuen DNA spesifik setiap spesies. Fragmen DNA spesifik diamplifikasi dari daging yang dimasak pada suhu 100-120 oC selama 30 menit dengan panjang fragmen DNA berturut-turut untuk kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda adalah 157, 227, 274, 331, 398, dan 439 pb. Sementara panjang fragmen DNA tikus hasil amplifikasi adalah 603 pb (Nuraini et al. 2012).
Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu teknik in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan menggunakan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin dan Lukyanov 2007). Target PCR yang berupa DNA untai ganda, diekstraksi dari sel dan didenaturasi menjadi untai tunggal. Primer oligonukleotida spesifik untuk gen target tertentu, bersama dengan enzim (biasanya Taq polymerase, sebuah enzim yang thermostable dan thermoactive yang berasal dari Thermus aquaticus) serta deoxynucleotide triphosphates (dNTPs), digunakan untuk mengamplifikasi gen target, menghasilkan untai ganda. Proses ini berlangsung secara otomatis, pada mesin thermocycler, yang menyediakan kondisi thermal yang dibutuhkan untuk proses amplifikasi (Nollet dan Toldra 2011). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama, yaitu tahap pradenaturasi, tahap kedua terdiri atas 30 siklus yang masing-masing siklus mencakup proses denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), penempelan
7 (annealing), ekstensi awal molekul DNA, dan tahap terakhir adalah ekstensi akhir. Setelah amplifikasi, produk PCR dielektroforesis menggunakan pewarna Ethidium Bromida (EtBr), dan divisualisasikan menggunakan sinar ultraviolet (Nollet dan Toldra 2011), dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Weissensteiner et al. 2004). PCR seperti ini dinamakan PCR konvensional (Nollet dan Toldra 2011).
Multipleks PCR Multipleks PCR merupakan salah satu variasi PCR yang menggunakan banyak primer secara bersama-sama untuk mengamplifikasi beberapa daerah target (Jain et al. 2007) dalam reaksi yang sama (Markoulatos et al. 2002). Multipleks PCR sangat potensial dalam menghemat waktu. Metode ini telah sukses mengamplifikasi banyak area dari DNA yang diujikan, termasuk analisis delesi gen (Chamberlain et al. 1988), mutasi dan analisis polimorfisme (Rithidech et al. 1997), analisis kuantitatif (Zimmermann et al. 1996), dan transkripsi reverse PCR (Crisan 1994). Optimasi komponen reaksi multipleks sangat tergantung pada konsentrasi primer, konsentrasi dNTPs dan MgCl2, konsentrasi buffer PCR, taq DNA polymerase serta penggunaan adjuvant (DMSO, gliserol dan BSA) (Markoulatos et al. 2002). Meskipun dengan teknik unipleks (simpleks) PCR konvensional diperoleh hasil yang sama, pendekatan multipleks PCR memungkinkan untuk deteksi simultan yang cepat, praktis dan sederhana karena dilakukan sekaligus dalam satu reaksi (Kingombe et al. 2010). Ketepatan hasil dari produk PCR akan meningkat atau menurun sangat tergantung pada suhu annealing (Henegariu et al. 1997). Teknik yang handal untuk mengidentifikasi spesies asli dari komponen produk pangan yang berasal dari hewan diperlukan untuk tujuan pembuktian pangan. Multipleks PCR telah berhasil digunakan sebagai metode yang rutin, dengan sensitivitas yang tinggi, cepat, sederhana dan tidak mahal untuk membedakan jenis hewan (Jain et al. 2007).
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Mei 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
8 Materi
Sampel DNA Sampel DNA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari isolasi darah kucing, feses harimau (koleksi sampel Taman Safari Bogor), dan survei di lapangan untuk daging anjing (gulai, rw (rica-rica), rebus), sebagai pembanding digunakan sampel darah dari berbagai jenis hewan antara lain kambing, ayam, sapi, domba, kuda, tikus serta sampel daging dari babi (Tabel 1). Sampel feses yang digunakan dalam penelitian ini berupa lendir mukosa feses basah. Lendir mukosa ini diharapkan mengandung jaringan epitel. Selanjutnya lendir mukosa disimpan pada larutan 1 x STE (sodium tris EDTA) (400 ml) untuk digunakan pada proses ekstraksi DNA. Selain itu, digunakan juga sampel obat harimau yang ada dipasaran. Tabel 1 Sampel DNA Spesies Anjing Kucing Harimau Sumatera Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus
Isolasi Sampel Daging Darah Feses Darah Darah Darah Darah Daging Darah Darah
Jumlah 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Primer Primer yang digunakan dalam amplifikasi fragmen DNA mengacu pada Matsunaga et al. (1999) dengan primer forward yang sama untuk semua jenis hewan yaitu 5‟-GAC CTC CCA GCT CCA TCA AAC ATC TCA TCT TGA TGA AA-3‟. Primer reverse untuk mengamplifikasi fragmen spesifik kucing, anjing dan harimau dirancang dengan software MEGA 5. Sekuen primer reverse pada hewan kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, dan tikus dapat dilihat pada Tabel 2.
9 Tabel 2 Sekuen primer reverse gen cyt β Jenis Hewan
Reverse (5‟-3‟)
Kambinga Ayama Sapia Dombab Babia Kudaa Tikusc
CTC GAC AAA TGT GAG TTA CAG AGG GA AAG ATA CAG ATG AAG AAG AAT GAG GCG CTA GAA AAG TGT AAG ACC CGT AAT ATA AG CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CAA AT GCT GAT AGT AGA TTT GTG ATG ACC GTA CTC AGA TTC ACT CGA CGA GGG TAG TA GAA TGG GAT TTT GTC TGC GTT GGA GTT T
Keterangan:
Hasil Amplifikasi 157 pb 227 pb 274 pb 331 pb 398 pb 439 pb 603 pb
a
Matsunaga et al. (1999) modifikasi Matsunaga et al. (1999) c Nuraini et al. (2012) b
Prosedur
Perancangan Primer Reverse Kucing, Anjing dan Harimau Perancangan primer spesifik untuk kucing, anjing dan harimau berdasarkan runutan nukleotida gen cyt β pada kucing, anjing, dan harimau yang terdapat dalam GenBank (NCBI). Spesies kucing, anjing, dan harimau dalam hierarki taksonomi yaitu Felis catus (nomor akses GenBank AB194817), Canis lupus familiaris (nomor akses GenBank JF342903), dan Panthera tigris (nomor akses GenBank EU184702). Sekuen gen tersebut kemudian dihomologikan dengan cyt β Capra hircus (nomor akses GenBank GU295658), Gallus gallus (nomor akses GenBank GU261719), Bos taurus (nomor akses GenBank EU177824), Bos indicus (nomor akses GenBank JN817330), Ovis aries (nomor akses GenBank HM236181), Sus scrofa (nomor akses GenBank DQ534707) dan Equus caballus (nomor akses GenBank JF511459), Rattus norvegicus (nomor akses GenBank JX105355). Setelah diketahui situs penempelan primer forward dan reverse pada masing-masing jenis hewan tersebut kemudian dilakukan perancangan primer reverse kucing, anjing, dan harimau dengan melihat runutan basa yang hanya terdapat pada kucing, anjing, dan harimau tetapi tidak terdapat pada jenis hewan lain, sehingga diharapkan primer reverse tersebut dapat menjadi primer spesifik kucing, anjing, dan harimau. Software yang digunakan untuk perancangan primer spesifik kucing, anjing dan harimau adalah MEGA 5. Tahapan penggunaan program yaitu (1) runutan nukleotida yang diperoleh dari GenBank dan primer dipastikan sudah dalam bentuk FASTA, (2) runutan nukleotida setiap jenis hewan dan primer tersebut dibuka pada software MEGA 5, (3) dilakukan multiple alignment dengan terlebih dahulu mencari situs penempelan primer forward untuk semua jenis hewan dan (4) ditentukan daerah spesifik untuk kucing, anjing, dan harimau yang tidak terdapat pada ketujuh jenis hewan yang digunakan.
10 Uji Homologi Primer Spesifik Uji homologi primer spesifik terhadap sepuluh jenis hewan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan genetic information processing software GENETYX-WIN versi 4.0. Tahapan penggunaan program ini yaitu: (1) software dibuka, (2) diklik „new sequence‟ pada „File’, (3) diberi nama primer pada ID yang tersedia, (4) runutan primer diketik pada kotak, (5) diklik „search homology‟ pada „Nucleotide’, (6) sekuen cyt β yang sudah dalam bentuk FASTA dimasukkan dengan cara diklik „add’ lalu „ok’ dan hasil pengujian akan langsung ditampilkan.
Isolasi dan Ekstraksi DNA Isolasi dan ekstraksi DNA dilakukan secara konvensional mengikuti metode (Sambrook dan Russel 2001) yang telah dimodifikasi dalam preparasi sampel dan degradasi protein. Preparasi Sampel. Sampel darah dalam alkohol absolut diambil sebanyak 200 μl dan dipindahkan ke dalam tabung 1.5 ml. Sampel yang disimpan dalam alkohol terlebih dahulu dibersihkan dengan air distilasi sebanyak 1000 µl, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Alkohol yang terbentuk di bagian atas tabung kemudian dibuang, langkah tersebut dilakukan sebanyak dua kali agar alkohol dalam sampel benar-benar hilang. Degradasi Protein. Sampel darah yang telah dibersihkan dari alkohol, sampel daging (25 mg), dan sampel obat (25 mg) ditambahkan 1 x STE (sodium tris EDTA) dengan volume 300 µl, sementara sampel mukosa dalam larutan 1 x STE dari feses harimau diambil sebanyak 500 µl, selanjutnya ditambahkan 40 µl SDS (sodium dosesil sulfat) 10% dan 20 µl proteinase K 10 mg/ml. Tabung yang berisi campuran tersebut kemudian dihomogenkan dengan shaker dan diinkubasi pada suhu 55 oC selama 2 jam untuk mengoptimalkan pemecahan protein dalam sampel. Degradasi Bahan Organik. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan fenol sebanyak 400 µl, CIAA (chlorofom : isoamyl alcohol dengan perbandingan 24 : 1) sebanyak 400 µl dan 40 µl NaCl 5M, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan shaker pada suhu ruang selama 1 jam. Presipitasi DNA. Bahan organik yang sudah didegradasi disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit dengan suhu 20 oC hingga fase air terpisah dengan fase fenol. Fase air dipindahkan dalam tabung baru dengan volume 400 µl. Molekul DNA diendapkan dengan cara menambahkan 800 µl alkohol absolut dan 40 µl NaCl 5M, kemudian diinkubasi pada suhu -20 oC selama semalam. Pengendapan DNA selanjutnya dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA yang telah bersih dari alkohol dipulihkan dengan menambahkan 100 µl TE (Tris EDTA). Sampel DNA disimpan pada suhu -20 oC dan siap untuk digunakan.
11 Pengujian DNA Total Pengujian DNA hasil ekstraksi secara kualitatif dilakukan dengan elektroforesis pada gel 1%. Gel dibuat dari 0.3 gram agarosa dan 30 ml larutan buffer (0.5 x TBE) yang dipanaskan pada microwave selama ± 5 menit. Larutan agarosa dibiarkan agak dingin sambil diaduk dengan magnetic stirrer, lalu ditambahkan 1.25 µl pewarna ethidium bromide. Hasil ekstraksi sebanyak 5 μl dicampur dengan 1 μl loading, kemudian dimasukkan pada masing-masing sisir yang terdapat pada gel agarosa 1%. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit pada tegangan konstan 100 volt sampai campuran sampel dan loading dye tersebut mencapai garis ketiga pada bagian bawah cetakan gel. Pengujian DNA hasil ekstraksi secara kuantitatif dilakukan dengan spektrofotometer GeneQuant 1300. Sampel DNA sebanyak 3 μl dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1.5 ml ditambah air distilasi sebanyak 597 μl. Larutan TE (Tris EDTA) 80% digunakan sebagai blanko dengan komposisi 3 μl larutan TE 80% ditambah air distilasi sebanyak 597 μl, kemudian dimasukkan dalam tabung eppendorf 1.5 ml. Sampel dan blanko disentrifugasi menggunakan spin down selama 0.5 menit, kemudian dilakukan pengujian dengan spektrofotometer.
DNA Total Genom DNA dari sepuluh jenis hewan (kambing, ayam, sapi, harimau, domba, babi, kuda, anjing, kucing, tikus) dicampur dalam satu tabung dengan jumlah DNA masing-masing spesies 100 ng DNA. Selanjutnya, diambil DNA sebanyak 50 ng dari campuran tersebut dan didistribusikan ke dalam tiga tabung. Tabung pertama mengandung 50 ng sampel DNA dengan pereaksi PCR menggunakan sepuluh primer, tabung kedua mengandung 50 ng sampel DNA dengan lima primer (kambing, sapi, domba, kuda, kucing), tabung ketiga mengandung 50 ng sampel DNA dengan lima primer (ayam, harimau, babi, anjing, dan tikus).
Amplifikasi Fragmen DNA Spesifik Amplifikasi ruas gen cyt β menggunakan teknik PCR (polymerase chain reaction) dengan mesin thermocycler. Komponen PCR yang digunakan terdiri dari 50 ng sampel DNA (termasuk DNA total genom), pereaksi PCR (air distilasi 9 μl, primer forward 1.667 pmol, primer reverse masing-masing 0.1667 pmol (untuk setiap spesies), 1 x buffer, dNTPs 0.267 mM, MgCl2 1.667 mM, dan enzim taq fermentas 1 unit) dengan volume akhir 15 μl. Sementara pereaksi PCR dengan lima primer terdiri dari air distilasi 9.5 μl, primer forward 0.833 pmol, primer reverse masing-masing spesies 0.1667 pmol, 1 x buffer, dNTPs 0.267 mM, MgCl2 1.667 mM, dan enzim taq fermentas 1 unit. Amplifikasi in vitro dengan mesin thermal cycler (Mastercycler Personal 22331, Eppendorf, Germany) dilakukan dengan kondisi denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 5 menit, 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 60 oC selama 45 detik dan pemanjangan DNA baru pada suhu 72 oC selama 1 menit, serta pemanjangan akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit. Setelah proses
12 tersebut selesai, tabung diambil dan disimpan pada suhu 4 oC sampai akan dianalisis lebih lanjut.
Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR Produk PCR divisualisasikan dengan teknik elektroforesis gel agarosa 1.5%. Gel dibuat dari 0.45 gram agarosa dan 30 ml larutan buffer (0.5 x TBE) yang dipanaskan pada microwave selama ± 5 menit. Larutan agarosa dibiarkan agak dingin sambil diaduk dengan magnetic stirrer, lalu ditambahkan 2.5 µl pewarna ethidium bromide. Produk PCR sebanyak 5 μl dicampur dengan 1 μl loading dye, kemudian dimasukkan pada masing-masing sisir yang terdapat pada gel agarosa 1.5%. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit pada tegangan konstan 100 volt sampai campuran sampel dan loading dye tersebut mencapai garis ketiga pada bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan pemotretan menggunakan UV-Transilluminator.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif berdasarkan Matsunaga et al. (1999) (Gambar 2) dan Nuraini et al. (2012) (Gambar 3).
(-)
(-)
(+) Gambar 2 Elektroforesis gel agarosa dari produk PCR enam daging. G: kambing, C: ayam, B: sapi, S: domba, P: babi, H: kuda, M: marker (Matsunaga et al. 1999).
(+) Gambar 3 Fragmen DNA spesifik untuk setiap tipe hewan. M: marker 100 pb, G: kambing, C: ayam, B: sapi, S: domba, P: babi, H: kuda dan R: tikus (Nuraini et al. 2012).
13 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan Primer Spesifik Anjing, Kucing, dan Harimau Teknik multipleks PCR yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan satu primer forward dan sepuluh primer reverse secara bersamaan, untuk mengamplifikasi fragmen DNA sepuluh jenis hewan. Primer reverse anjing, kucing, dan harimau dirancang menggunakan program MEGA 5 (Tabel 3). Situs penempelan primer pada sekuen gen cyt β anjing, kucing dan harimau serta tujuh hewan lain disajikan pada Gambar 4. Tabel 3 Sekuen primer reverse gen cyt β spesies anjing, kucing, dan harimau Jenis Hewan Anjing Kucing Harimau
Panjang Produk PCR
Reverse (5‟-3‟) TTG CTA GAG CTG CGA TGA TGA AA AGG GGT TGT TAG ATC CTG TTT CA TAG CCA TGA CCG TAA ACA ATA GC
523 pb 568 pb 319 pb
Desain primer sangat penting pada teknik multipleks PCR, karena spesifisitas primer dan temperatur penempelan (Tm) sangat menentukan keberhasilan amplifikasi (Matsunaga et al. 1999). Primer yang digunakan dalam teknik multipleks PCR harus memenuhi beberapa syarat seperti: panjang primer 18-24 mer atau lebih, mengandung GC 35-60%, serta memiliki suhu annealing 55-58 oC atau lebih tinggi (Henegariu et al. 1997). Hasil rancangan primer reverse anjing, kucing, dan harimau telah memenuhi syarat sebagai suatu rangkaian primer menurut Henegariu et al. (1997) dan ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria primer reverse anjing, kucing, dan harimau Kriteria
Primer anjing
Panjang primer (mer) Kandungan basa GC (%) Suhu annealing (oC) Panjang produk PCR (pb)
23 43,48 60 523
Primer kucing 23 43,48 60 568
Primer harimau 23 43,48 60 319
Derajat Kesamaan Primer Spesifik Uji homologi primer spesifik dilakukan menggunakan software GENETYXWIN versi 4.0. Hasil uji homologi primer spesifik pada sekuen cyt β sepuluh jenis hewan disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer forward memiliki persentase homologi yang relatif tinggi diantara spesies yaitu berkisar antara 84-92% (38 nukleotida), sehingga dapat digunakan sebagai primer umum. Runutan primer reverse memiliki persentase homologi yang tinggi pada
14 satu jenis hewan dan lebih rendah pada hewan lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa primer reverse tersebut bersifat spesifik (Nuraini et al. 2012). Matsunaga et al. (1999) menyatakan bahwa mismatch antara primer reverse domba (5‟CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CA-3‟) dengan sekuen DNA kambing berbeda dua nukleotida, sementara pada penelitian ini hanya ditemukan perbedaan satu nukleotida, sehingga primer reverse domba pada penelitian ini dimodifikasi dengan menambahkan tiga basa pada ujung 3‟primer reverse domba menjadi 5‟-CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CAA AT3‟. Mismatch (perbedaan) ujung 3‟ dari primer reverse domba terhadap sekuen DNA kambing sangat penting dalam mempengaruhi amplifikasi PCR, sehingga tidak dihasilkan pita domba pada sekuen DNA kambing (Matsunaga et al. 1999). Penempelan primer reverse hanya pada sekuen spesifik jenis hewan tertentu disebabkan: 1) adanya mismatch ujung 3‟ pada setiap primer reverse (Matsunaga et al. 1999), 2) mismatch diantara primer reverse terhadap masing-masing sekuen DNA menghasilkan suhu penempelan (Tm) yang berbeda (Viljoen et al. 2005). Mismatch (perbedaan) pada penelitin ini berkisar antara 12-45%, setiap satu mismatch menurunkan Tm 1.5 oC (Viljoen et al. 2005). Kualitas DNA Total Kemurnian DNA dari sampel (darah, feses, daging) hewan yang digunakan cukup baik dilihat dari rasio serapan A260/A280 berkisar antara 1.0 sampai 2.9 (Tabel 6). Rasio A260/A280 DNA murni adalah 1.8 (Sambrook dan Russel 2001; Clark dan Christopher 2001). Rasio A260/A280 yang kurang dari 1.8 menunjukkan bahwa DNA masih mengandung protein atau fenol (Sambrook dan Russel 2001; Clark dan Christopher 2001), rasio diatas 1.8 biasanya mengindikasikan kehadiran RNA. RNA biasanya didegradasi dengan menambahkan RNAse, sementara protein dirusak dengan denaturasi (Siun dan Beow 2009). Proses PCR akan terus berlangsung selama kontaminan tersebut tidak menghambat thermostable DNA atau degradasi DNA. Konsentarsi dari DNA hasil ekstraksi bervariasi dari 80-1200 µg/ml yang disebabkan oleh perbedaan sumber sampel yang diekstraksi (darah, daging, dan feses). Metode ekstraksi menentukan kualitas DNA yang dihasilkan (kualitatif dan kuantitatif), kadang-kadang diperlukan beberapa proses modifikasi tergantung asal bahan yang diekstraksi. Umumnya, jaringan mentah lebih mudah diekstraksi dibandingkan dengan jaringan yang telah dimasak (Nuraini et al. 2012). Pemasakan dengan suhu tinggi akan merusak kualitas DNA yang diekstraksi, karena mendegradasi fragmen DNA kedalam ukuran yang pendek (Martinez dan Yman 1998; Matsunaga et al. 1999; Arslan et al. 2006). Nuraini et al. (2012) berhasil mengisolasi dan mengamplifikasi DNA gen cyt β yang berasal dari produk olahan daging seperti bakso (dicampur daging tikus) yang telah mengalami pemasakan pada suhu yang tinggi dengan panjang fragmen amplifikasi 603 pb. Konsentrasi DNA yang digunakan dalam proses penggandaan DNA adalah 50 µg/ml. Sampel DNA yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi dari 50 µg/ml dapat diencerkan dengan menambahkan air distilasi (Nuraini et al. 2012). Penggunaan sampel dengan konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar keberhasilan amplifikasi seragam.
15
Forward primer Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
10 20 30 40 50 60 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| GACCTCCCAG CTCCATCAAA CATCTCATCT TGATGAAA ---------A -C-------- ---------A --------CT TTGGATCCCT CCTAGGAATT ---------- -C-----C-- ------TG-- --------TT TCGGCTCCCT ATTAACAGTC -----T---- -C-------- ---------A --------TT TCGGTTCCCT CCTGGGAATC -----T---- -C-------- ---T-----A --------TT TCGGTTCCCT CCTGGGAATC ---------- -------C-- -------G-A --------CT TTGGCTCCTT ACTAGGGGTG --T------- ---------- T--------A --------CT TTGGCTCTCT CCTAGGCATT ---------- -C--C----- ---------A --------CT TCGGTTCCCT CTTAGGCATC -----A---- -C--C----- ---T-----A --------CT TCGGCTCCCT CCTAGGAATC ---------- -G--G--T-- ------TG-- --------CT TCGGATCCTT ACTAGGAGTA -----A--C- -C-----T-- -------G-A --------CT TCGGCTCCCT TCTAGGAGTC --------C- -C-----T-- ---------A --------CT TCGGTTCTCT ACTAGGAGTA
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
70 80 90 100 110 120 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| TGCCTAATCT TACAAATCCT GACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTATAC ATCCGACACA TGCCTCATGA CCCAAATCCT CACCGGCCTA CTACTAGCCA TGCACTACAC AGCAGACACA TGCCTAATCC TACAAATCCT CACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTACAC ATCCGACACA TGCCTAATCC TACAAATCCT CACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTACAC ATCCGACACA TGCTTAATCT TACAAATCCT CACTGGCCTC TTTCTAGCCA TACACTACAC ATCAGACACA TGCTTAATTT TACAGATCCT AACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTATAC ACCTGACACA TGCCTAATCT TGCAAATCCT AACAGGCCTG TTCTTAGCAA TACATTACAC ATCAGACACA TGCCTAATCC TCCAAATCTT AACAGGCCTA TTCCTAGCCA TACACTACAC ATCAGACACG TGCTTGATTC TACAGATTCT AACAGGTTTA TTCTTAGCTA TGCACTATAC ATCGGACACA TGCCTAATCT TACAAATCCT CACCGGCCTC TTTTTGGCCA TACACTACAC ATCAGACACA TGCCTCATAG TACAAATCCT CACAGGCTTA TTCCTAGCAA TACACTACAC GTCTGATACC
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
130 140 150 160 170 180 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ATAACAGCAT TTTCCTCTGT AACTCACATT TGTCGAGATG TAAATTATGG CTGAATCATC TCCCTAGCCT TC-----C-- -G-C----C- --C--GAACG TACAATACGG CTGACTCATC ACAACAGCAT TC-------- T--C--T--C --C----ACG TGAACTACGG CTGAATCATC ACAACAGCAT TC-------- T--C--T--C --C----ACG TGAACTACGG CTGAATCATC ATAACCGCTT TC--A--A-- T--C------ --C--C-ACG TAAACTACGG TTGGATTATC ACAACAGCAT TC-------- ---C------ --C----ACG TAAACTATGG CTGAATTATC ACAACAGCTT TC--A--A-- T--A-----C -------ACG TAAATTACGG ATGAGTTATT ACAACTGCCT TC--A--C-- C--------C --C----ACG TTAACTACGG ATGAATTATT GCCACAGCTT T---A--A-- C--C-----C --C----ACG TTAACTACGG CTGAATTATC ATAACCGCCT T---A--A-- T--C-----C -----C-ACG TTAATTATGG CTGAATCATC ATAACAGCAT TC--A--A-- C--C-----C --C----ACG TAAACTACGG CTGACTAATC
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
190 200 210 220 230 240 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| CGATACATAC ACGCAAACGG A--A---A-A -----T---- -CC-A--CAT ACATATCGGA CGGAATCTCC ACGCAAACGG CGCCTCATTC TTCTTCATCT GTATCTTCCT TCACATCGGA CGATACATAC ACGCAAACGG A--T---A-G --T--T---- -CT-A-ATAT GCACGTAGGA CGATACATAC ACGCAAACGG A--T---A-G --T--T---- -CT-A-ATAT GCACGTAGGA CGATATCTAC ATGCCAACGG A-----CA-A -----T---- --C-A-ACAT GCACGTAGGA CGATACATAC ACGCAAACGG A--A---A-A --T--T---- -CC-A--TAT GCATGTAGGA CGCTACCTAC ATGCAAACGG A--A--CA-G -----T--T- -CC-A--CAT CCACGTAGGC CGCTACCTCC ATGCCAACGG A--A---A-A --T--T---- -CC----CAT TCACGTAGGA CGCTATATGC ACGCAAATGG ---T--CA-A -----T---- -CC-A--CCT ACATGTAGGA CGATATTTAC ACGCCAACGG A--T--TA-A -----T---- -CC-G-ACAT ACATGTAGGA CGATACCTAC ACGCCAACGG -------A-A --T------- -CC-A--CCT CCATGTGGGA
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus Primer_Panthera Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus
250 260 270 280 290 300 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| CGAGGTC--- -C--T--A-- A--T--C--- ----AAACAT GAAACATTGG AGTAATC--C CGAGG-C--- -C-----C-- C---CTC-A- AAG-AAACCT GAAACACAGG AGTAATC--C CGAGGCTTAT ATTACGGGTC TTACACTTTT CTAGAAACAT GAAATATTGG AGTAATC--T CGAGGCTTAT ATTACGGGTC TTACACTTTT CTAGAAACAT GAAATATTGG AGTAATC--T CGAGGAA--- -C-----C-- C-----C--C TC--AAACAT GAAATATCGG GATTGTGCTA CGAGG-C--- ----T--A-- A--T--C--C ----AAACAT GAAACATCGG AGTAATC--C CGAGG-C--- -C-----A-- C--T-TA--C ----AAACAT GAAACATTGG AGTAGTC--CGCGG-C-C- -C-----C-- ------A--C ----AGACAT GAAACATTGG AATCATC--CGAGG-C--- -------A-- C--TGTA--C A---AAACAT GAAACATTGG AATTGTA--CGGGGAA--- -C-----C-- C-----C--C TC--AGACAT GAAACATTGG AATCATA--CGAGGAC--- -C--T--A-- C--------C ----AAACCT GAAACATTGG GATCATC------------ ---------- ---------- ---------- ---------- ------GCTA 310 320 330 340 350 360 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| CT-C-C*--* **-----*-- ---------- -GCTATGTTT TACCATGAGG ACAAATATCA CTCC-C--AC ----*--*-- C--C--TG-G -GCTATGTTC TCCCATGGGG CCAAATATCA CT-C-C--A- -*--*--*-- ------T--- -GATACGTCC TACCATGAGG ACAAATATCA CT-C-C--A- -*--*--*-- ------T--- -GATACGTCC TACCATGAGG ACAAATATCA -T-------- ---------- ---C------ -GATATGTCT TACCATGAGG ACAAATATCA CTATTTGCGA CAATAGCCAC AGCATTCATA GGCTATGTTT TACCATGAGG ACAAATATCA CT*-----C- -T--*--A-- ---C------ -GCTACGTCC TGCCCTGAGG ACAAATATCA CTT--C--A- -T--*----- ---------G -GCTATGTCC TACCATGAGG CCAAATATCC -T*--C*-A* *---*--*-- ---------G -GCTATGTAC TACCATGAGG ACAAATATCA -T*-----A- ----*--*-- ---T--T--G -GATACGTCC TACCATGAGG CCAAATGTCC
16 Rattus_norvegicus Primer_Panthera
CT*---*-A- ----*--A-- T--------G -GCTATGTAC TCCCATGAGG ACAAATATCA TTGTTTACGG TCATGGCTA- ---------- ---------- ---------- ----------
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
370 380 390 400 410 420 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| TTTTGAGGGG CA--A----- ---T-----T --T-----AA TCCCATATAT TGGC--A-ATTCTGAGGGG CC--C--T-- ------C--- T-C-----AA TTCCCTACAT TGGACAC--TTCTGAGGAG CA--A----- ---C--C--C T-------AA TCCCATACAT CGGC--A-AT TTCTGAGGAG CA--A----- ---C--C--C T-------AA TCCCATACAT CGGC--A-AT TTCTGAGGGG CA-------- ---------- ---------- ---------- ---------TTCTGAGGAG CA--A--T-- T--C--C--C --T-----AA TTCCATATGT TGGC--A-ATTCTGAGGAG CTACGGTCAT CACAAATCTA CTATCAGCTA TCCCTTATAT CGGA--AGATTTTGAGGAG CA--A----- ---G--C--C --------AA TTCCCTACAT CGGTACTACC TTTTGAGGAG CA--T--A-- ---T-----T --C--T--CA TCCCTTATAT CGGA---GATTCTGAGGAG CA--C--A-- ---T--C--C --G-----AA TTCCATACAT CGGG---GAA TTCTGAGGAG C---A--A-- T-----C--- T-------TA TCCCTTACAT TGGG------
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
430 440 450 460 470 480 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| --A-----A- ---------G GGGATTCTCA GTAGACAAAG CCACTCTCAC CCGATTCTTC --A--A---- --GC-----G GGGATTTTCA GTCGACAACC CAACCCTTAC CCGATTCTTC T-A-----A- ---------G CGGATTCTCA GTAGACAAAG CAACCCTTAC CCGATTCTTC T-A-----A- ---------G CGGATTCTCA GTAGACAAAG CAACCCTTAC CCGATTCTTC ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- -----------A-----A- ---------G AGGATTCTCA GTAGACAAAG CTACCCTCAC CCGATTTTTC -----A--A- ---------G GGGCTTTTCC GTCGACAAAG CAACCCTCAC ACGATTCTTC CTCGTCGAGT GAATCTGAGG TGGATTCTCA GTAGACAAAG CCACCCTTAC CCGATTTTTT T-A--A--A- -G-------G CGGCTTCTCA GTGGACAAAG CAACCCTAAC ACGATTCTTT --A--A--A- -G-------G GGGCTTCTCA GTAGACAAAG CCACCCTAAC ACGATTCTTC --A-----A- ---------G AGGCTTCTCA GTAGACAAAG CAACCCTAAC ACGCTTCTTC
Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
490 500 510 520 530 540 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| GCCTTCCACT TTATCCTCCC A--------- A----C--C- -C-TAGTCCA CCTGCTTTTC GCCTTACACT TCCTCCTCCC C--TGCA--- ----G-A-TA -T-TCATCCA CCTCACCTTC GCTTTCCATT TTATCCTTCC A--T------ AT---AA-T- -C-TAGTCCA CCTACTATTC GCTTTCCATT TTATCCTTCC A--T------ AT---AA-T- -C-TAGTCCA CCTACTATTC ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------GCCTTTCACT TTATTTTCCC A--------- -----C--C- -C-TAGTTCA CCTACTCTTC GCCTTGCACT TTATCCTGCC A--------T A-C--C--C- --GCCGTACA TCTCCTATTC GCTTTCCACT TCATCCTACC C--------- A----C--G- T-GTCGTACA TTTACTATTT GCATTCCATT TCATCCTCCC TTTCATCATC GCAGCTCTAG CAATAGTACA CCTCCTATTT GCCTTCCACT TCATCCTTCC A-----T--- T----CT--- --GCAGTACA CCTCTTATTC GCATTCCACT TCATCCTCCC A-----T--- --C--C--T- ---TTGTACA TCTTCTTTTC
Primer Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus Capra_hircus Gallus_gallus Bos_taurus Bos_indicus Panthera_tigris Ovis_aries Sus_scrofa Equus_caballus Canis_lupus Felis_catus Rattus_norvegicus
550 560 570 580 590 600 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| -----TGAAA CAGGATCTAA CAACCCCT-- -----AAACT CCAACGCAGA CAAAATCCCA CTCCAC---- -------G-- -------ACA GGAATTCCA- -A-------- T--------CTACAC---T ----C--A-- -------CTA GGCATCTCA- -----T-T-- ------T--CTCCAC---- ----C--C-- ------AACA GGAATTTC-- -A----T--- ---------CTCCAC---- ----C--C-- ------AACA GGAATTTC-- -A----T--- ------------------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------CTCCAC---- -------C-- -------ACA GGAATTCCA- -G---A---- T-----T--C CTGCAC---- -C-----C-- ------TACC GGAATCTCA- -A---AT--- ------T--CTTCAC---- ---------- T-------CA GGAATCCCA- ----TATG-- ---------CTACAC---- -C-----C-- ------T-CA GGAATC-CA- -A---T---- ------T--CTTCATGAAA CAGGATCTAA CAACCCCTCA GGAATT-CA- ----TT---- ---------CTCCAC---- -------A-- T------ACA GGATTAAACT CCGACGCAGA CAAAATCCCA 610 ....|....| --TCACCCTT --TCACCCAT ---CACCCCT ---CACCCCT ------------CACCCTT --TCACCCAT ---CACCCAT --TCACCCTT ---CACCCAT TTCCATCCAT
Gambar 4 Situs penempelan primer pada sekuen DNA mitokondria daerah cyt β sepuluh jenis hewan. Kotak: situs penempelan primer forward dan reverse, garis putus-putus: nukleotida yang sama dengan sekuen primer, warna dan garis putus-putus: nukleotida yang identik dengan sekuen harimau, simbol bintang: nukleotida yang identik dengan sekuen domba.
17
Tabel 5 Hasil uji homologi primer spesifik pada sepuluh jenis hewan % Homologi Primer Spesifik
Capra hircus
Gallus gallus
Bos taurus
Bos indicus
Panthera tigris
Forward (38 nt) Kambing (26 nt) Ayam (27 nt) Sapi (29 nt) Harimau (23 nt) Domba (29 nt) Babi (27 nt) Kuda (26 nt) Anjing (23 nt) Kucing (23 nt) Tikus (28 nt)
92.105 96.154 70.370 72.414 56.522 86.207 81.481 80.769 78.261 86.957 71.429
89.474 65.385 100.000 62.069 56.522 55.172 77.778 69.231 56.522 78.261 67.857
92.105 73.077 62.963 100.000 60.870 72.414 77.778 73.077 65.217 78.261 78.571
89.474 73.077 62.963 100.000 60.870 72.414 77.778 73.077 65.217 78.261 78.571
88.889 69.231 70.370 68.966 100.000 72.414 -
Ovis aries
Sus scrofa
Equus caballus
Canis lupus
Felis catus
92.105 84.615 66.667 75.862 56.522 100.000 70.370 80.769 82.609 86.957 64.286
92.105 73.077 62.963 72.414 69.565 75.862 100.000 76.923 69.565 78.261 64.286
86.842 73.077 70.370 79.310 69.565 68.966 81.481 100.000 73.913 91.304 67.857
86.842 73.077 70.370 68.966 60.870 86.207 74.074 69.231 100.000 82.609 71.429
84.211 73.077 62.963 68.966 78.261 72.414 74.074 69.231 73.913 100.000 78.571
Rattus norvegicus 89.474 69.231 77.778 75.862 69.565 75.862 81.481 88.462 78.261 82.609 96.429
17
18 Tabel 6 Hasil pengukuran konsentrasi DNA sepuluh spesies A 260 A 280 A 260/280 Sampel (nm) (nm) (nm) Kambing 1 Kambing 2 Kambing 3 Ayam 1 Ayam 2 Ayam 3 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 3 Harimau 1 Harimau 2 Harimau 3 Domba 1 Domba 2 Domba 3 Babi 1 Babi 2 Babi 3 Kuda 1 Kuda 2 Kuda 3 Anjing 1 Anjing 2 Anjing 3 Kucing 1 Kucing 2 Kucing 3 Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3
0.008 0.010 0.071 0.116 0.163 0.047 0.064 0.026 0.025 0.074 0.040 0.065 0.022 0.070 0.034 0.084 0.063 0.062 0.010 0.016 0.017 0.120 0.077 0.019 0.026 0.020 0.018 0.017 0.031 0.011
0.006 0.009 0.069 0.063 0.094 0.038 0.034 0.013 0.014 0.064 0.030 0.053 0.018 0.053 0.024 0.041 0.027 0.021 0.008 0.013 0.015 0.053 0.039 0.055 0.017 0.008 0.009 0.011 0.022 0.008
1.333 1.111 1.029 1.841 1.734 1.237 1.882 2.000 1.786 1.156 1.333 1.226 1.222 1.321 1.417 2.049 2.333 2.952 1.250 1.231 1.133 2.264 1.974 2.164 1.529 2.500 2.000 1.545 1.409 1.375
Konsentrasi (µg/ml) 80 100 710 1160 1630 470 640 260 250 740 400 650 220 700 340 840 630 620 100 160 170 1200 770 1190 260 200 180 170 310 110
19 Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Anjing, Kucing, dan Harimau Spesifitas primer diuji pada sampel olahan daging anjing, darah kucing, dan feses harimau. Produk olahan dari daging kucing masih jarang, namun fragmen DNA kucing tetap berhasil diamplifikasi dari darah. Begitu juga untuk sampel harimau, yang berhasil diamplifikasi dari feses segar. Penggunaan sumber sampel yang berbeda akan mempengaruhi proses ekstraksi DNA, sehingga memerlukan beberapa proses modifikasi (Nuraini et al. 2012). Berdasarkan konteks forensik, sampel yang diuji berpotensi untuk terdegradasi, DNA inti kemungkinan tidak menghasilkan hasil, oleh karena itu, DNA mitokondria mungkin digunakan sebagai alternatif untuk identifikasi spesies (Kitpipit et al. 2012). Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA masing-masing hewan pada gel agarosa 2% disajikan pada Gambar 5. Taksonomi harimau dan kucing mempunyai kesamaan sampai tingkat famili (Felidae) (Yu dan Zhang 2005; Weissengruber et al. 2002). Identifikasi spesies harimau dan kucing sudah dapat dibedakan sampai tingkat genus (harimau: Panthera, kucing: Felis) dengan penggunaan primer reverse spesifik. Selain itu, primer reverse spesifik gen cyt β sudah dapat membedakan masing-masing hewan sampai pada tingkat spesies dalam hierarki taksonomi (harimau: Panthera tigris, kucing: Felis silvestris catus atau yang lebih dikenal dengan Felis catus, anjing: Canis lupus).
M
1
2
3
(-)
523 pb
500 pb 400 pb 300 pb 200 pb 100 pb
(+) Gambar 5a Fragmen DNA spesifik spesies anjing. M: marker 100 pb, 1-3: DNA anjing (gulai, ricarica, rebus). M 500 pb 400 pb
1
2
3
(-)
568 pb
300 pb 200 pb 100 pb
(+)
Gambar 5b Fragmen DNA spesifik spesies kucing. M: marker 100 pb, 1-3: DNA kucing.
20 M
1
500 pb 400 pb 300 pb
2
3
(-)
319 pb
200 pb 100 pb
(+) Gambar 5c Fragmen DNA spesifik spesies harimau. M: marker 100 pb, 1-3: DNA harimau.
Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Sepuluh Spesies Hewan Keberhasilan gen cyt β mengamplifikasi sepuluh jenis hewan dengan panjang fragmen yang berbeda menunjukkan spesifitas primer cyt β diantara spesies. Panjang fragmen amplifikasi dari kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda adalah 157, 227, 274, 331, 398, 439 pb (Matsunaga et al. 1999), tikus sepanjang 603 pb (Nuraini et al. 2012), sedangkan harimau, anjing dan kucing teramplifikasi sepanjang 319, 523, dan 568 pb. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA spesifik gen sitokrom β disajikan pada Gambar 6. Amplifikasi sekuen target DNA dari beberapa spesies dengan melibatkan banyak primer (menggunakan primer forward yang sama) pada reaksi yang sama merupakan salah satu variasi PCR yang disebut multipleks PCR (Matsunaga et al. 1999; Markoulatos et al. 2002; Jain et al. 2007). Penentuan spesies dengan PCR dipengaruhi oleh temperatur pemasakan, lama, dan ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi (Martinez dan Yman 1998; Matsunaga et al. 1999; Arslan et al. 2006). M
G
C
B
T
S
P
H
D
F
R
Dw
(-)
Dw 600 pb 500 pb 400 pb
523 pb 568 pb 603 pb
300 pb 200 pb 100 pb
227 pb 157 pb
274 pb
319 pb 331 pb
398 pb 439 pb
(+)
Gambar 6 Fragmen DNA spesifik untuk setiap jenis hewan. M: marker 100 pb, G: kambing, C: ayam, B: sapi, T: harimau, S: domba, P: babi, H: kuda, D: anjing, F: kucing, R: tikus, Dw: kontrol negatif (-).
21 Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada DNA Total Genom Penelitian ini menunjukkan hanya enam pita (kambing, ayam, sapi, harimau, babi, dan kucing) yang teramplifikasi pada campuran DNA total sepuluh spesies hewan dengan menggunakan sepuluh primer (tabung pertama) (Gambar 7, nomor 1). Hal ini mungkin disebabkan adanya tumpang tindih pita diantara pita harimau dan domba; pita anjing, kucing, dan tikus. Molekul DNA untai ganda bermigrasi melewati matriks gel dengan laju yang berbanding terbalik dengan log 10 dari jumlah basa. Molekul yang lebih besar bermigrasi lebih lambat dari molekul kecil (Sambrook dan Russel 2001). Harimau (319 pb) dan domba (331 pb); anjing (523 pb), kucing (568 pb), and tikus (603 pb) mempunyai panjang fragmen yang berdekatan, sehingga laju migrasinya relatif sama dan menghasilkan pita yang tumpang tindih. Oleh karena itu, pita yang tumpang tindih dan mempunyai panjang fragmen yang berdekatan dipisahkan. Tabung kedua yang mengandung DNA total genom dicampur dengan lima primer (kambing, sapi, domba, kuda, dan kucing), sementara tabung ketiga dicampur dengan primer ayam, harimau, babi, anjing, dan tikus). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tabung kedua berhasil diamplifikasi dengan lima pita (kambing, sapi, domba, kuda, dan kucing), sementara tabung ketiga hanya berhasil diamplifikasi dengan empat pita (ayam, harimau, babi, dan tikus) tanpa pita anjing (Gambar 7, nomor 2 dan 3). Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Matsunaga et al. (1999) yang menggunakan campuran primer dengan jumlah yang sama, tetapi tidak semua pita dari enam spesies (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda) berhasil diamplifikasi. Umumnya, PCR kuantitatif sulit karena efisiensi amplifikasi yang tidak sama. Efisiensi amplifikasi dipengaruhi oleh perbedaan sekuen primer (Matsunaga et al. 1999). Primer yang lebih mudah menempel pada sekuen DNA akan mendominasi komponen pereaksi PCR.
M
1
2
3
4
Dw
(-)
500 pb 400 pb 300 pb 200 pb
100 pb
(+)
Gambar 7 Amplifikasi fragmen spesifik dari DNA total. M: marker 100 pb, 1: kambing, ayam, sapi, harimau, babi, dan kucing (dari bawah ke atas); 2: kambing, sapi, domba, kuda, dan kucing (dari bawah ke atas); 3: ayam, harimau, babi, dan tikus (dari bawah ke atas); 4: anjing, Dw: kontrol negatif (-).
22 Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Obat Asal Hewan Spesifitas primer diuji pada sampel obat harimau yang beredar dipasaran, dan didapatkan hasil pada Gambar 8. Sampel obat harimau mengandung DNA dengan konsentrasi 490 dan 750 µg/ml (Tabel 7). Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa sampel obat tersebut tidak berasal dari harimau yang dibuktikan dengan tidak adanya pita harimau yang teramplifikasi. Kandungan DNA yang terdapat pada obat tersebut mungkin berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan lain (selain kambing, ayam, sapi, harimau, domba, babi, kuda, anjing, kucing, dan tikus). Hal ini merupakan suatu bentuk pemalsuan informasi terhadap konsumen, seiring dengan permintaan pasar yang pesat dengan harga yang tinggi (Wetton et al. 2004), sementara populasi harimau yang hampir punah (Mazak 2010; Kitpipit et al. 2012).
M
G
C
B
T
S
P
H
D
F
R
Dw A
(-)
500 pb 400 pb 319 pb
300 pb 200 pb
(+) Gambar 8 Amplifikasi fragmen spesifik obat harimau. M: marker 100 pb, G: obat + primer kambing, C: obat + primer ayam, B: obat + primer sapi, T: obat + primer harimau, S: obat + primer domba, P: obat + primer babi, H: obat + primer kuda, D: obat + primer anjing, F: obat + primer kucing, R: obat + primer tikus, Dw: kontrol negatif (-), A: kontrol positif feses harimau. Tabel 7 Hasil pengukuran konsentrasi DNA obat Sampel Obat Harimau 1 Obat Harimau 2
A 260 (nm)
A 280 (nm)
A 260/280 (nm)
0.075 0.049
0.062 0.040
1.210 1.225
Konsentrasi (μg/ml) 750 490 319 pb
23
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Identifikasi spesies anjing, kucing dan harimau berhasil diamplifikasi dengan panjang fragmen yang berbeda-beda, yaitu 523, 568, dan 319 pb. Kespesifikan spesies anjing, kucing dan harimau juga ditunjukkan dengan adanya persentase homologi primer reverse yang tinggi pada masing-masing hewan. Metode multipleks PCR berhasil mengamplifikasi fragmen DNA dari sepuluh spesies, tetapi mempunyai batasan dalam mengamplifikasi total DNA dalam satu campuran. Penentuan spesies dengan multipleks PCR dipengaruhi oleh ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi. Hierarki taksonomi anjing, kucing, dan harimau sudah dapat dibedakan sampai pada tingkat spesies dengan menggunakan gen sitokrom β (cyt β).
Saran Amplifikasi fragmen spesifik pada DNA total genom yang mempunyai panjang berdekatan harus dipisahkan untuk mencegah pita yang tumpang tindih diantara spesies. Selain itu, pada kasus tertentu (misalnya pembuktian spesies), pita yang tumpang tindih dapat ditanggulangi dengan memodifikasi primer baru yang panjang fragmen amplifikasinya berjauhan.
DAFTAR PUSTAKA Abdel-Rahman SM, El-Saadani MA, Ashry KM, Haggag AS. 2009. Detection of adulteration and identification of cat‟s, dog‟s, donkey‟s and horse‟s meat using species-specific PCR and PCR-RFLP Techniques. Aust J Basic Appl Sci 3: 1716-1719. Achilli A, Olivieri A, Pellecchia M, Uboldi C, Colli L, Al-Zahery N, Accetturo M, Pala M, Kashani BH, Perego UA et al. 2008. Mitochondrial genomes of extinct aurochs survive in domestic cattle. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/EU177824. [13 September 2012]. Ali ME, Hashim U, Mustafa S, Che Man YB, Dhahi TS, Kashif M, Uddin MK, Abd Hamid SB. 2012. Analysis of pork adulteration in commercial meatballs targeting porcine-specific mitochondrial cytochrome β gene by TaqMan probe real-time polymerase chain reaction. Meat Sci 91: 454-459. doi: 10.1016/j.meatsci.2012.02.031. Angleby H, Savolainen P. 2005. Forensic informativity of domestic dog mtDNA control region sequences. Forensic Sci Int 154: 99-110. doi: 10.1016/j.forsciint.2004.09.132. Arslan A, Ilhak OI, Calicioglu M. 2006. Effect of method of cooking on identification of heat processed beef using polymerase chain reaction (PCR) technique. Meat Sci. 72: 326-330. doi: 10.1016/j.meatsci.2005.08.001.
24 Ballin NZ. 2010. Authentication of meat and meat products: Review. Meat Sci.86: 577-587. doi: 10.1016/j.meatsci.2010.06.001. Bonfiglio S, Ginja C, De Gaetano A, Achilli A, Olivieri A, Colli L, Tesfaye K, Agha SH, Gama LT, Cattonaro F et al. 2012. Origin and Spread of Bos Taurus: New clues from mitochondrial genomes belonging to haplogroup T1. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/JN817330. [13 September 2012]. Budowle B, Allard MW, Wilson MR, Chakraborty R. 2003. Forensic and mitochondrial DNA: applications, debates, and foundations. Annu Rev Genomics Hum Genet 4: 119-141. doi: 10.1146/annurev.genom. 4. 070802.110352 Butler JM. 2005. Forensic DNA Typing: Biology, Technology and Genetics of STR Markers. Ed ke-2. Burlington, USA: Elsevier Academic Pr. Buzdin A, Lukyanov S. 2007. Nucleic Acids Hybridization: Modern Apllications. Netherlands: Springer. Calvo JH, Zaragoza P, Osta R. 2001. Random amplified polymorphic DNA fingerprints for identification of species in poultry pate. Poultry Sci 80: 522524. Chamberlain JS, Gibbs RA, Ranier JE, Nguyen PN, Caskey CT. 1988. Deletion screening of the Duchenne muscular dystrophy locus via multiplex DNA amplification. Nucleic Acids Res 16: 11141-11156. Che Man YB, Aida AA, Raha AR, Son R. 2007. Identification of pork derivatives in food products by species-specific polymerase chain reaction (PCR) for halal verification. Food Control 18: 885-889. doi: 10.1016/j.foodcont.2006.05.004. Chen CH, Yang HY, Yen NT, Huang MC. 2006. Breeding and Genetics Division. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/DQ534707 [13 September 2012]. Chen SY, Liu YP, Yao YG. 2010. Species authentication of commercial beef jerky based on PCR-RFLP analysis of mitochondrial 12S rRNA gene. J Genet Genomics 37: 763-769. doi: 10.1016/S1673-8527(09)60093-X. Clark W, Christopher K. 2001. An Introduction to DNA: Spectrophotometry, Degradation, and the „Frankengel‟Experiment. University of Alberta, Canada. Cracraft J, Feinstein J, Vaughn J, Helm-Bychowski K. 1998. Sorting out tigers (Panthera tigris): mitochondrial sequences, nuclear inserts, systematic, and conservation genetics. Anim Conserv 1: 139-150. Crisan D. 1994. Molecular diagnostic testing for determination of myeloid lineage in acute leukemias. Ann Clin Lab Sci 24: 355-363. Fajarado V, Gonzalez I, Rojas M, Garcia T, Martin R. 2010. A review of current PCR-based methodologies for the authentication of meats from game animal species. Trends Food Sci Technol 21:408-421. doi: 10.1016/j.tifs.2010.06.002. Geng RQ, Chang H. 2008. Genetic diversity and origin of Menggu cattle. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/193297018. [31 Agustus 2012]. Han SH, Kim JH, Song JH, Oh JH, Oh YS, Jung YH, Kayano H, Oh MY. 2004a. Polymorphism of the mtDNA cytochrome β and NADH dehydrogenase 6 genes in Tsushima and Jeju native horses. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/AY522328. [31 Agustus 2012]. Han SH, Kang MC, Song JH, Oh JH, Oh YS, Oh MY. 2004b. Phylogenetic relationship of Korean wils boars based on mitochondrial DNA cytochrome β gene. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/ AY634188. [31 Agustus 2012].
25 Hassanin A, Bonillo C, Nguyen BX, Cruaud C. 2010. Comparisons between mitochondrial genomes of domestic goat (Capra hircus) reveal the presence of numts and multiple sequencing errors. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/GU295658. [12 September 2012]. Hassanin A, Delsuc F, Ropiquet A, Hammer C, Jansen van Vuuren B, Matthee C, Ruiz-Garcia M, Catzeflis F, Areskoug V, Nguyen TT et al. 2012. Pattern and timing of diversification of Cetartiodactyla (Mammalia, Laurasiatheria), as revealed by a comprehensive analysis of mitochondrial genomes. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/JN632605 [13 September 2012]. Hemmer H. 1987. The Phylogeny of the Tiger (Panthera tigris). Di dalam: Tilson RL, Seal US, editor. Tigers of the World: The Biology, Biopolitics, Management, and Conservation of an Endangered Species. New Jersey: Noyes Publications. hlm 28-35. Henegariu O, Heerema NA, Dlouhy SR, Vance GH, Vogt PH. 1997. Multiplex PCR: critical parameters and step-by-step protocol. BioTech 23: 504-511. Herrington S. 1987. Subspecies and the Conservation of Panthera tigris. Di dalam: Tilson RL, Seal US, editor. Tigers of the World: The Biology, Biopolitics, Management, and Conservation of an Endangered Species. New Jersey: Noyes Publications. hlm 51-60. Hsieh HG et al. 2001. Cythocrome b gene for species identification of the conservation animals. Forensic Sci Int 122: 7-18. doi: 10.1016/S03790738(01)00403-0. Imes DL, Sacks BN. 2011. Identification of single nucleotide polymorphisms within the mtDNA genome of the domestic dog to discriminate individuals with common HVI haplotypes. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/JF342903. [12 September 2012]. Irwin DM, Kocher T D, Wilson AC. 1991. Evolution of the cytochrome β gene of mammals. J Mol Evol 32: 128-144. Jain S, Brahmbhati MN, Rank DN, Joshi CG, Solank JV. 2007. Use of cytochrome β gene variability in detecting meat species by multiplex PCR assay. Indian J Anim Sci 77: 880-881. Kanthaswamy S, Premasuthan A, Ng J, Satkoski J, Goyal V. 2012. Quantitative real-time PCR (qPCR) assay for human-dog-cat species identification and nuclear DNA quantification. Forensic Sci Int 6: 290-295. doi: 10.1016/j.fsigen.2011.06.005. Kesmen Z, Sahin F, Yetim H. 2007. PCR assay for the identification of animal species in cooked sausages. Meat Sci 77: 649-653. doi: 10.1016/j.meatsci.2007.05.018. Kim KS, Lee SE, Jeong HW, Ha JH. 1998. The complete nucleotide sequence of the domestic dog (Canis familiaris) Mitochondrial Genome. Mol Phylogenet Evol 10: 210-220. doi: 10.1016/mpev.1998.0513. Kingombe CIB, D‟Aoust JY, Huys G, Hofmann L, Rao M, Kwan J. 2010. Multiplex PCR method for detection of three Aeromonas Enterotoxin genes. J. Appl Environ Microbiol 76 (2): 425-433. doi: 10.1128/AEM.01357-09. Kitchener AC, Dugmore AJ. 2000. Biogeographical change in the tiger, Panthera tigris. Anim Conserv 3: 113-124. doi: 10.1111/j.1469-1795.2000.tb00236.x. Kitpipit T, Tobe SS, Kitchener AC, Gill P, Linacre A. 2012. The development and validation of a single SNaPshot multiplex for tiger species and subspecies
26 identification-Implications for forensic purposes. Forensic Sci Int 6: 250-257. doi: 10.1016/j.fsigen.2011.06.001. Lanzilao I, Bulgalassi F, Fancelli S, Settimelli M, Fani R. 2005. Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism analysis of mitochondrial cyt β gene from species of dairy interest. J AOAC Int 88: 128135. Liu YP, Cao SX, Chen SY, Yao YG, Liu TZ. 2009. Genetic diversity of Chinese domestic goat based on the mitochondrial DNA sequences variation. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/159498717. [31 Agustus 2012]. Luo SJ et al. 2004. Phylogeography and genetic ancestry of tigers (Panthera tigris). Plos Biol 2: 2275-2293. Maksyutov, RA, Gavrilova EV, Nepomniashchikh TS, Shchelkunov SN. 2012. Molecular phylogeny of rat strains Wistar and OXYS of Institute Cytology and Genetics the Siberian Branch of the Russian Academy of Sciences based on whole mitochondrial genome sequences. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/JX105355 [13 September 2012]. Markoulatos P, Siafakas N, Moncany M. 2002. Multiplex polymerase chain reaction: a practical approach. J Clinical Laboratory Analysis. 16: 47-51. doi: 10.1002/jcla.2058. Martinez I, Yman IM. 1998. Species identification in meat products by RAPD analysis. Food Res Int 31: 459-466. doi: 10.1016/S0963-9969(99)00013-7. Matsunaga T, Chikuni K, Tanabe R, Muroya S, Shibata K, Yamada J, Shinmura Y. 1999. A quick and simple method for the identification of meat species and meat products by PCR assay. Meat Sci 51: 143-148. Mazak JH. 2010. Craniometric variation in the tiger (Panthera tigris): Implications for patterns of diversity, taxonomy and conservation. Mamm Biol: Z. Saugetierkunde 75:45-68. doi: 10.1016/j.mambio.2008.06.003. Meadows JR, Hienleder S, Kijas JW. 2011. Haplogroup relationships between domestic and wild sheep resolved using a mitogenome panel. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/HM236181. [13 September 2012]. Meyer A. 1994. Shortcomings of the cytochrome β gene as a molecular marker. Trend Ecol Evol 9: 278-280. doi: 10.1016/0169-5347(94)90028-0. Miao YW et al. 2009. Origin and dispersal of domestic chicken. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/GU261719 [12 September 2012]. Mills JA, Jackson P. 1994. Killed for a Cure: A Review of the Worldwide Trade in Tiger Bone. Cambridge, UK: Traffic International. Naidu A, Fitak RR, Munguia-Vega A, Culver M. 2012. Novel primers for complete mitochondrial cytochrome β gene sequencing in mammals. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/298162472 [31 Agustus 2012]. Nakyinsige K, Che Man YB, Sazili AQ. 2012. Halal authenticity issues in meat and meat products. Meat Sci 91: 207-214. doi: 10.1016/j.meatsci.2012.02.015. Nollet LML, Toldra F. 2011. Safety Analysis of Foods of Animal Origin. London New York: CRC Pr. Nuraini H, Primasari A, Andreas E, Sumantri C. 2012. The use of cytochrome b gene as a specific marker of the rat meat (Rattus norvegicus) on meat and meat products. Med Pet 35: 15-20. doi: 10.5398/medpet.2012.35.1.15. PP RI. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta.
27 Qi W, Xin Z, Hui-Yuan Z, Jie Z, Guang-Quan C, Da-He Z, Hai-Ping M, Wan-Jin L. 2010. Identification of 12 animal species meat by T-RFLP on the 12S rRNA gene. Meat Sci 85: 265-269. doi: 10.1016/j.meatsci.2010.01.010. Rastogi G, Dharne MS, Walujkar S, Kumar A, Patole MS, Shouche YS. 2007. Species identification and authentication of tissues of animal origin using mitochondrial and nuclear markers. Meat Sci. 76: 666-674. doi: 10.1016/j.meatsci.2007.02.006. Rezaei HR, Naderi S, Chintauan-Marquier IC, Taberlet P, Virk AT, Naghash HR, Rioux D, Kaboli M, Pompanon F. 2009. Evolution and taxonomy of the wild species of the genus Ovis (Mammalia, Artiodactyla, Bovidae). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/178925160. [31 Agustus 2012]. Rithidech KN, Dunn JJ, Gordon CR. 1997. Combining multiplex and touch down PCR to screen murine microsatellite polymorphism. BioTech 23: 36-45. doi: 10.1385/1-59259-384-4:295. Ryan JR, Zainuddin ZZ, Mathew A, Hasmoni SS, Yasin HM, Kanagasabai S, Edward MJ, Shariff KM, Elagupillay S. 2007. DNA characterization of Malayan tigers using partial cytochrome β gene segments. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/EU184702. [12 September 2012]. Saez R, Sanz Y, Toldra F. 2004. PCR-based fingerprinting techniques for rapid detection of animal species in meat products. Meat Sci 66: 659-665. doi: 10.1016/S0309-1740(03)00186-4. Sahilah AM, Norhayati Y, Norrakiah AS, Aminah A, Wan Aida WM. 2011. Halal authentication of raw meats using PCR amplification mitochondrial DNA. Int Food Res J 18(4): 1489-1491. Sambrook J, Russel D. 2001. Molecular Cloning a Laboiratory Manual. Ed ke-3. United State of America (US): CSH Laboratory Pr. Seidensticker J, Gratwicke B, Shrestha M. 2010. How Many Wild Tigers are There? An Estimate for 2008. Di dalam: Tilson RL, Nyhus PJ, editor. Tigers of the World. Ed ke-2. Boston: William Andrew Publishing. hlm 295-299. Shen XJ, Nakamura T. 2000. Complete mitochondrial cytochrome β gene (haplotype A) sequence the Chunky broiler strain (Gallus gallus). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/11066142. [31 Agustus 2012]. Siun CT, Beow CY. 2009. DNA, RNA, and protein extraction: the past and the present. J. Biomedicine Bioltechnol. doi: 10.1155/2009/574398. Tamada T, Kurose N, Masuda R. 2005. Genetic diversity in domestic cats Felis catus of the Tsushima Islands, based on mitochondrial DNA cytochrome β and control region nucleotide sequences. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nucleotide/68299572. [09 September 2012]. Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA mutations in human disease. Nat Rev Genet 6 (5): 389-402. doi: 10.1038/nrg1606. Tully G, Bar W, Brinkmann B, Carracedo A, Gill P, Morling N, Parson W, Schneider P. 2001. Considerations by the European DNA profiling (EDNAP) group on the working practice, nomenclature and interpretation of mitochondrial DNA profiles. Forensic Sci Int 124: 83-91. Undang-undang Republik Indonesia No. 8. 1999. Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42. Viljoen GJ, Nel LH, Crowther JR. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook. Netherlands (NL): Springer.
28 Weissengruber GE, Forstenpointner G, Peters G, Kiibber-Heiss A, Fitch WT. 2002. Hyoid apparatus and pharynx in the lion (Panthera leo), jaguar (Panthera onca), tiger (Panthera tigris), cheetah (Acinonyx jubatus) amd domestic cat (Felis silvestris f. catus). J. Anat. 201(3): 195-209. Weissensteiner T, Griffin HG, Griffin A. 2004. PCR Technology Current Innovations. Ed ke-2. Boca Raton, Florida: CRC Pr. Wetton JH, Tsang CSF, Roney CA, Spriggs AC. 2004. An extremely sensitive species-specific ARMS PCR test for the presence of tiger bone DNA. Forensic Sci Int 126: 137-144. doi: 10.1016/S0379-0738(02)00045-2. Wright B. 2010. Will the Tiger Survive in India? Di dalam: Tilson RL, Nyhus PJ, editor. Tigers of the World. Ed ke-2. Boston: William Andrew Publishing. hlm 87-100. Xu Y, Fang S, Li ZK. 2007. Sustainability of the South China tiger: implications of inbreeding depression and introgression. Conserv Genet 8: 1197-1207. doi: 10.1007/s10592-006-9276-9. Yu L, Zang YP. 2005. Phylogenetic studies of pantherine cats (Felidae) based on multiple genes, with novel application of nuclear β-fibrinogen intron 7 to carnivores. Mol. Phylogenetics Evolution. 35: 483-495. doi: 10.1016/j.ympev.2005.01.017. Yue XP et al. 2012. Characterization of cytochrome β diversity in Chinese domestic horses. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/JF511459 [09 September 2012]. Zimmermam, Schogl KDB, Plaimauer B, Manhalter JW. 1996. Quantitative multiple competitive PCR of HIV-1 DNA in a single reaction tube. BioTech 21: 480-481.
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Maret 1989 di Baturaja. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Haidar dan Sintia. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Xaverius I Baturaja dan melanjutkan kuliah di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Program Studi/Mayor yang dipilih penulis adalah Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2011. Penulis melanjutkan pendidikan magister pada tahun yang sama di Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Penulis mengucapkan terima kasih atas beasiswa yang diberikan Tanoto Foundation (semester 3), dilanjutkan dengan beasiswa unggulan DIKTI, serta bantuan penelitian dari Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP). Selama mengikuti studi magister, penulis menjadi anggota Animal Breeding and Genetic Science (ABGSci). Saat ini penulis telah mengajukan publikasi ilmiah dengan judul “Species Identification of Dog, Cat, and Tiger Using Cytochrome b Gene” untuk diterbitkan melalui Media Peternakan.