SEMIOTIK PEIRCEAN BUKU GUSDUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam ( S.Sos.I )
Oleh : Mukhtar Fauzi 106051001852
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H / 2011M
SEMIOTIK PEIRCEAN BUKU GUSDUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam ( S.Sos.I )
Oleh MUKHTAR FAUZI NIM: 106051001852
Pembimbing
Rulli Nasrullah, M.Si NIP: 19750318 200801 1 008
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H / 2011M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan di bawah: 1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu pernyataan meraih gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3) Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil dari jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullh Jakarta.
Jakarta, 22 Maret 2011
Mukhtar Fauzi
ABSTRAK
Fauzi Mukhtar SEMIOTIK PEIRCIAN BUKU GUS DUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN Tradisi Komunikasi memperjelas wilayah pemaknaan (interpretations) sebagai bagian penting dari siklus pertukaran pesan. Semiotika adalah kajian yang mengukuhkan pemaknaan suatu tanda, simbol, dan ilustrasi pesan menjadi nyata dan terbaca. Tokoh utama dalam pengujian teori semiotika pada pembahasan ini adalah Charles Sanders Pierce, filsuf dengan orisinalitas tertinggi dari mazhab American Communicology, dia juga dipandang sebagai tokoh argumentatif. Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI) adalah teori utama (grand theory) dalam kajian semiotika yang dikembangkan oleh Pierce. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotika melakukan pembongkaran bahasa secara total dan menyeluruh, sehingga ditemukan suatu formula penggabungan dari struktur dan makna yang terkandung didalamnya. Penjelasan ini memberikan ruang lingkup yang telah penulis batasi melalui perumusan pembahasan, analisa terhadap buku “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman” menghasilkan dua rumusan masalah penting. Pertama, bagaimana struktur sistem tanda pada bagian ketiga dalam buku tersebut mengemas tema kepemimpinan moral spiritual secara representasi yang melingkupi ide dan objek? Kedua, apa makna yang terbangun dari representasi dan interpretasi (X=Y) yang terkandung pada bagian ketiga dari buku tersebut? Charles Sanders Pierce mendefinisikan tanda sebagai kajian yang terdiri atas representations dan interpretations. Secara sederhana, semiotika mengungkap objek tanda dan menganalisanya sehingga menjadi ide (representasi), objek, dan (interpretasi). Pemaknaan objek tersebut yang menjadi konsentrasi pembahasan semiotika, bagaimana menafsirkan sesuatu dengan melihat dari simbol sebagai representasi dan berubah menjadi makna atau interpretasi. Sehingga tanda yang tersembunyi memiliki makna setelah di analisa. Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa kesimpulan mendasar pada tema kepemimpinan moral spiritual. Pertama, tolerance atau sifat menerima perbedaan keyakinan dan pandangan, poin ini memberikan gambaran bagaimana Gus Dur melihat Indonesia sebagai wilayah heterogeneous (aneka ragam). Kedua, moderate atau dapat menjaga keseimbangan antara ego pribadi dan kepentingan bersama. Jiwa kepemimpinan dituntut untuk mampu mengayomi dan memenuhi kepentingan publik. Ketiga, equitable atau kemampuan untuk dapat berlaku adil dan seimbang, memahami semua persoalan yang ada dengan kebijaksaan. Ketiga hal di atas merupakan dimensi kepemimpian, melihat moral spiritual kepemimpinan Gus Dur menilai bahwa kehadiran Agama erat kaitannya dengan meringankan kesengsaraan manusia dan pengurangan alat paksa pemerintah untuk penggunaan kekerasan terhadap persoalan-persoalan pelik.
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم Maha suci Allah SWT yang menganugerahi setiap manusia, jalan yang berbeda. Maha indah karunia-NYA yang telah membekali masing-masing insan dengan potensi yang beraneka ragam. Pujian terlimpah meruah bagi keadilanNYA yang mengesankan, yang senantiasa menuntun kita menemukan jalan terbaik. Untaian shalawat dan salam selalu kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW atas jasanya membina para ulama menyentuhkan wahyu ilahi kealam pikiran saya dan kita hingga teduh dalam iman. Skripsi ini disusun sebagai proses akhir studi akademik penulis dan sekaligus salah satu syarat yang telah ditetapkan dalam menempuh program studi Strata Satu (S1), Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIK)– Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagian yang sungguh tak teruntai melalui kata dalam penulisan skripsi ini hingga terselesaikan. Dengan kesadaran akan keterbatasan diri pada proses penyelesaian skripsi ini, yang tidak terlepas dari bantuan, dan kasih sayang banyak pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. H. Arief Subhan, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku Pembantu Dekan I, Drs. H. Mahmud Jalal, MA., selaku Pembantu Dekan II, Drs. Study Rizal
ii
L.K, MA., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Jumroni, M.Si., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Dra. Umi Musyarofah, MA., sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan Dra. Asriati Jamil, M.Hum, , selaku Dosen Pembimbing Akademik Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Angkatan 2006 Kelas C. 3. Rulli Nasrullah, M.Si, selaku Pembimbing Skripsi, atas segala kesabaran dan kebijaksanaan, serta keluasan waktu dan wawasan keilmuannya telah memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini. 4. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Ketua beserta Staff Perpustakaan Umum dan Perpusatakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan perhatian dan pelayanan
dalam
menyediakan
referensi-referensi
selama
proses
perkuliahan dan dalam pembuatan skripsi ini. 5. Alm. K.H. Abdurrahman Wahid, selaku penulis atikel yang dibukukan dalam bukunya Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, yang telah dijadikan objek penelitian penulis. Semoga ketenangan di alam kubur menjadi hak nya. 6. Orang Tua tercinta, Bapak Winardi dan Ibu Nuriyah yang berperan sangat penting dalam penanaman arti tanggung jawab diri pada konteks spiritual juga sosial, dan tentang makna kesederhanaan hidup. Sungguh terima
iii
kasih yang tak terukur untuk beliau berdua. Semoga selalu sehat dan tidak lelah untuk menasehati dan mendoakan anak-anaknya. 7. Kakak-kakakku dan adikku, Nurul Huda, Wiwin Husniah Devi, Luthfiah Trini Hastuti, dan Luk Luk ul Hamidah. Yang telah memberikan pelajaran bagi penulis tentang perjuangan dan makna hidup. Juga keponakkeponakanku, Syahrul Ramadhan, Risya, Quaneisa Aisy Nasyiwa Mustofa, dan Nadia, yang penulis doakan menjadi anak-anak yang soleh dan solehah, yang penulis doakan menjadi individu-individu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat pada waktunya. 8. Ranita Erlanti Harahap, sosok wanita pemberi arti keseimbangan waktu, pemberi arti kompetisi, pemberi arti pengendalian diri, pemberi arti kesabaran, pemberi arti untuk cita-cita masa depan, dan darimu aku belajar dari kenyataan. Karena lagi-lagi dari mulai liang rahim sampai liang kubur kita sama-sama diberi tugas untuk belajar, dan semoga apa yang kita citacitakan menjadi kenyataan masa depan. 9. Rekan-rekan kerja di Harian Rakyat Merdeka, Div. Iklan dan Promosi, terima kasih untuk semangat, perhatian, pembelajaran, dan pengertiannya. 10. Semua sahabat-sahabatku, pengisi zaman dan harapan insan. Yang aku tak bisa menyebutkan dalam lembaran-lembaran terbatas ini. Namun, sungguh tak mengurangi rasa sayang penulis dan terima kasih penulis ucapkan atas setiap
pembelajaran
dari
keberagaman
karakter
kalian.
Semoga
kesuksesan, kebahagiaan, dan kebaikan selalu menyertai kita semua. Amin ya Rabbal’Alamin.
iv
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis sandarkan semua ini, karena tiada daya dan upaya melainkan karena kehendak-NYA. Semoga bantuan dari semua pihak dapat dijadikan tabungan amal saleh pada kehidupan yang kekal nanti, dan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat baik untuk pribadi penulis maupun bagi mereka yang membutuhkannya. Karena hidup yang bermakna ialah hidup yang memberikan makna bagi orang lain.
Jakarta, Maret 2011
Mukhtar Fauzi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... vi BAB I :
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
BAB II :
Latar Belakang Masalah........................................................ 1 Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 6 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................ 7 Metodologi Penelitian ........................................................... 8 Tinjauan Pustaka ................................................................... 13 Sistematika Penulisan ........................................................... 15
TINJAUAN TEORITIS A. Semiotika .............................................................................. 1. Bahasa dan Linguistk ...................................................... 2. Pengertian Semiotika ...................................................... 3. Analisa Semiotika Model Charles Sanders Peirce .......... B. Media Massa ......................................................................... 1. Perkembangan Media Massa .......................................... 2. Kertas dan Percetakan ..................................................... 3. Galaksi Gutenberg .......................................................... 4. Buku ................................................................................
BAB III :
GAMBARAN UMUM A. Profil Gus Dur ....................................................................... B. Gambaran Umum Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman ................................................................................... C. Pembagian Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman ... D. Sumber Naskah Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman ...................................................................................
BAB 1V :
17 17 18 23 26 26 27 29 30
33 41 45 47
ANALISIS SEMIOTIK PEIRCEAN BUKU GUS DUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN A. Sampul Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman .......... 50 B. Materi Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual .............. 50
vi
C. Sistem Tanda Peirce Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI) ..................................................................................... 52 D. Analisis Semiotik .................................................................. 69
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 78 B. Saran ..................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dakwah bukanlah sekedar menyampaikan apa yang telah kita hafalkan dan kita pelajari di depan umum, tetapi juga menciptakan perubahan terhadap objek dakwah menuju kebaikan dan menimbulkan rasa aman, dan ketentraman kepada seluruh manusia, bukan malah menimbulkan rasa takut dan ngeri dengan materi dakwah. Itulah tujuan dakwah sebenarnya menimbulkan rasa aman dan ketentraman. Sebagaimana yang yang diutarakan Nurcholis Madjid; “pada dasarnya dakwah merupakan ajaran agama yang ditujukan sebagai rahmat untuk semua, yang membawa nilai-nilai positif seperti alAmn (rasa aman, tentram, sejuk). Dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik, dan yang lebih baik. Ini pula yang menjadi dasar atas kewajiban berdakwah, terutama dalam menciptakan rasa aman dan ketenangan.”1 Penggunaan media sebagai penopang dalam kegiatan dakwah seperti teknologi informasi dan komunikasi yang hingga kini terus mengalami perkembangan, seharusnya mampu dimanfaatkan oleh para pelaku dakwah agar kemasan pesan dakwah tidak terasa menjenuhkan (monoton). Untuk saat ini, penggunaan media cetak seperti majalah, surat kabar, buku, dan lain sebagainya telah banyak digunakan oleh para da‟i sebagai media dakwah. Berangkat dari pernyataan Jalaluddin Rahmat, ungkapan di atas menginspirasi kita bahwa memang benar dengan tulisanlah sejarah juga
1
Nurcholis Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat. (Jakarta: Penerbit Paramadina. 1999), h. 97
1
2
mempunyai kekuatannya. Begitu pula dakwah media tulisan mempunyai kekuatan tersendiri. Menarik untuk dikutip pendapat Jalaludduin Rahmat tentang kekuatan dakwah model ini; “Dakwah yang tetap abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Barang kali karena itulah al-Qur‟an menjadi mushaf, yang tersimpan diantara dua jilid (bayna daffatain). Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan. Meskipun orang menilik dengan dunia maya dengan perkembangan teknologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikiran, tetap tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia (buku, pen.) bisa menjangkau pikiran manusia kapan saja, dan dimana saja, dibaca dimana saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.”2 Dengan kata lain, buku merupakan media yang potensial sebagai penunjang dakwah dengan keunggulan yang belum dimiliki media lain. Jamaluddin Al-Afghani sebagai salah seorang tokoh yag memainkan peran signifikan dalam pergumulan sejarah Islam pada abad ke-19 pun selalu mendorong murid-muridnya untuk menulis dan menerbitkan surat kabar guna membentuk pendapat umum.3 Pada masa ini beragam pilihan dalam cara berdakwah, namun dakwah bi al-Qalam lah dengan eksistensinya sehingga banyak dipilih para praktisi, selain penjelasannya lebih mendalam (komprehensif), seorang da‟i bisa menyebarkan pikiran, gagasan, dan ajarannya
melalui lembaran-lembaran
yang mudah diperoleh oleh semua orang. Dan mungkin dengan alasan ini pakar kajian semiotika Jacques Derrida memiliki anggapan bahwa tulisan memiliki arti penting. Mengenai hal tersebut, Alex Sobur mengutip asumsi Derrida. 2
Jalaluddin Rahmat, The Road to Allah. (Bandung: Mizan, 2007), h. 16 Prof. Dr. Faisal Ismail, Islam Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta; PT Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 8 3
3
“Baginya, tulisan bukan cuma sekedar “literal pictographic”atau sekedar inskripsi yang bersifat idiografik saja, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Misalnya, orang dapat mengetahui dan merasakan kehidupan di padang rumput Amerika melalui tulisan Laura Ingals Wilder, tanpa ia sendiri harus tinggal di padang-rumput itu.4 Di antara para da‟i yang kerap berdakwah melalui media tulis, nama Gus Dur sangat melekat tentunya dalam ingatan kita. Karena pemikiranpemikiran semasa hidupnya tentang soal moral, agama, seni, dan negara sering ia tuangkan kedalam bentuk tulisan yang diterbitkan di media massa seperti surat kabar. Artikel-artikel beliau yang terekam di berbagai surat kabar harian Nasional, semisal harian Kompas. Di antaranya, meliputi artikel-artikel yang berjudul “semata-mata dari sudut hukum agama”, (Kompas, 23/1/1991). Lalu “Individu, Negara, dan Ideologi”, (Kompas, 4/2/1994). diteruskan dengan artikel yang berjudul “Pemimpin, Kepemimpinan, dan Para Pengikut”, (Kompas, 5/1/1999). dan masih banyak lagi.5 Sehingga pada Oktober 1999. Beberapa artikel yang merupakan pendapat dan komentarnya yang ter-arsipkan oleh harian Kompas dituangkan ke dalam sebuah buku dengan judul “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”. Yang saat itu Gus dur menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia. 4
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing (Bandung: Rosda, 2006), h. 51-52 5 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia. 1999), h. 177-178
4
Buku ini menjadi bukti bagi perhatian dan minat Gus Dur tentang Agama, ilmu, politik, dan kemasyarakatan. Selain itu juga komitmennya terhadap kemanusiaan, martabat serta hak-hak asasi. Keragaman isi dan pandangannya
memperkuat
posisinya
sebagai
cendekiawan,
yakni
cendekiawan yang terlibat aktif dalam perumusan Islam Indonesia. Karena memang hanya Gus Dur satu-satunya sosok ulama, budayawan, cendekiawan yang menduduki jabatan kekuasaan eksekutif tertinggi di negeri ini. Buku
setebal
181
halaman
ini
menyajikan
bentuk
orisinil
(authentically) dari olah pikiran sekaligus olah hati Gus Dur. Beliau melihat persoalan dengan jarak yang sangat dekat dan karena itu bersikap kritis. Kedekatan dan pergaulan beliau dengan kekuasaan tidak mengekang pemikirannya dan tidak membungkam opininya, ia merdeka atas dirinya sendiri dan hal tersebut suatu hal yang terkadang sulit dilakukan oleh manusia pada umumnya terhadap lingkup sosial. Dengan bahasa, gaya dan caranya sendiri, ia akan mengatakan apa yang harus ia katakan, enak atau tidak enak. Sepintas ia mengingatkan kita kepada tokoh revolusioner sekaligus aktivis Islam pada abad ke-19, yakni Jamaluddin Al-Afghani yang mengabadikan hidup dan perjuangannya bagi kepentingan dan kebangkitan umat Islam terhadap imperialisme Barat. Al-Afghani adalah pencetus ide dan gerakan kesatuan politik dunia Islam yang dikenal dengan Pan-Islamismenya. Dalam buku ini kita dapat menemukan pokok-pokok inti dari pemikirannya mulai dari bagian-bagian pertama sampai bab-bab terakhirnya. Bagian pertama menghimpun pemikirannya sekitar soal-soal agama Islam dan negara yang merupakan salah satu disiplin dari pemikiran Gus Dur. Pada
5
bagian kedua terhimpun pemikirannya tentang sikap soal kepemimpinan politik dan kepemimpinan dalam bidang moral-spiritual. Pada bagian akhir kita bisa mencermati tentang ajakannya untuk membangun tradisi politik yang demokratis sesuai dengan iklim Indonesia. Mayoritas tulisan dalam buku ini menyangkut tentang sekitar politik Indonesia kontemporer, khususnya mengenai perkembangan politik menjelang dan sesudah jatuhnya Orde Baru (pemerintahan rezim Soeharto). Tema-tema seperti kepemimpinan politik, hubungan antara agama dan politik, hubungan antara individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam pemikirannya. Kepedulian Gus Dur semasa hidupnya terhadap persoalanpersoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju demokrasi adalah kerinduan kita semua yang menginginkan kehidupan yang lebih baik di negeri sendiri. Sehingga pembacaan serta memahami kembali tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini bisa menjadi acuan yang baik untuk mengkaji dan menafsirkan perkembangan pemikiran Gus Dur yang terakhir, dan karena tema-tema yang ada dalam buku ini sebagaimana telah tersebut sebelumnya, masih sangat relevan pada kondisi Indonesia saat ini. Mengulang plato dalam percakapan antara Raja Mesir Thamus dan Dewa Thoth yang dikutip Derrida. “…Terima kasih kepadamu dan untuk temuanmu, murid-muridmu akan leluasa membaca tanpa keuntungan memperoleh pengajaran seorang guru.”6 6
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing (Bandung: Rosda, 2006), h. 51
6
Perjalanan sejarah kita juga semakin memperjelas adanya dua peristiwa yang secara khusus telah mengubah perjalanan sejarah umat manusia. Yang pertama adalah ditemukannya penulisan dan tersebarnya kemelekhurufan. Membaca dan menulis mengaktifkan proses-proses berpikir linier di dalam otak, karena gagasan tersusun, dan bisa di analisis secara logis dalam hubungannya satu sama lain.7 Maka melakukan pembacaan naskah tercetak dari sudut lain atau dari sisi analisis memungkinkan kita memahami maknamakna yang tersirat. Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis ingin mencoba mengangkat wacana pemikiran Gus Dur dalam bingkai semiotika Charles Sanders Pierce untuk mengungkap makna dari tanda yang termediasi melalui tulisan serta pesan dakwah apa yang terkandung dalam buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, buku yang berisi kumpulan artikel karya Gus Dur, dengan alasan tersebut penulis mengambil judul “Semiotik Peircean Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar penulis terfokus pada permasalahan yang telah diteliti, maka objek kajian yang diteliti difokuskan pada bagian ketiga dari buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema “Kepemimpinan Moral Spiritual” pada dimensi teksnya untuk di analisis ke dalam bentuk Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI). 7
h 18
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
7
2. Perumusan Masalah Berdasarkan pada apa yang telah dibatasi di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah: a. Bagaimana struktur system tanda Peirce Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI) pada bagian ketiga buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual? b. Apa makna yang terkandung dalam buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman tema Kepemimpinan Moral Spiritual?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian analisis teks media dengan menggunakan perangkat semiotika Charles Sanders Peirce terhadap kajian pada bagian ketiga buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual adalah untuk menganalisa bagaimana struktur system tanda yang termediasi dalam teks tersebut menjadi bentuk representasi „ide‟ (R), objek (O), dan interpretasi „makna‟ (I). ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu. Hingga pada akhirnya peneliti mampu melihat tanda dan memaknainya sesuai dengan kerangka analisis semiotika model Charles Sanders Peirce sekaligus mencari muatan pesan dakwah apa yang termuat dalam buku
8
Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman pada bagian ketiga dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademis, sebagai karya ilmiah maka hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi baik bagi pengembangan khazanah pengetahuan dan keilmuan khususnya di bidang komunikasi dan dakwah, dalam kajian analisis semiotik teks media. b. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu bagi peminat kajian bidang ini, terutama bagi mereka yang ingin mencoba memahami isi buku dari sisi lain (analisis).
D. Metodologi penelitian 1. Metode Penelitian Dalam hal penelitian ilmiah, metode adalah salah satu cara atau jalan yang menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang berkaitan dengan focus penelitian.8 Maka dalam hal ini peneliti menggunakan metode analisis semiotika analitik, yakni semiotic yang menganilisis sistem tanda. Untuk ketajaman analisa, maka pendekatan semiotik akan sangat membantu. Pendekatan semiotik yang penulis gunakan adalah pendekatan semiotik teori Charles Sanders Peirce untuk melihat bentuk sistem tanda representase, objek, dan interpretasi). Peirce menyatakan bahwa semiotic
8
Consuelo G. Selvilla, Pengantar Metode Peneitian, (UIP, Jakarta :1998), h.31
9
berobjekkan tanda dan menganalisanya menjadi ide (Representasi), objek, dan makna (Interpretasi). Ide dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.9 Charles Sanders Peirce membagi tahapan dalam penganalisaan tanda ke dalam tiga tahapan, ia mendefinisikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (secara harfiah berarti „sesuatu yang melakukan representasi‟) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu). 2. Pendekatan Penelitian Penelitian Analisis Semiotika Peircean Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual Bagian Ketiga Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif yang berupa penjelasan mendalam yang bersumber tertulis atau lisan dari orang atau objek yang kita amati. Pendekatan kualitatif dalam komunikasi menekankan pada bagaimana sebuah pendekatan dapat mengungkapkan makna-makna dari konten komunikasi yang ada sehingga hasil-hasil penelitian yang diperoleh berhubungan pemaknaan dari sebuah proses terjadi. Menurut Kristiyantono, penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi 9
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing (Bandung: Rosda, 2006), h. 100
10
atau sampling bahkan keduanya sangat terbatas.10 Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan (observasi), atau dapat juga melalui dokumen baik berupa naskah, buku dan lain sebagainya.11 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data, diantaranya adalah; a. Observasi Teks Secara semiotik, pesan adalah sebuah penanda; dan maknanya adalah tanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu orang atau alat ke pasangannya. Di dalamnya bia terdapat kumpulan naskah atau pelbagai jenis informasi lain (seperti kepada siapa itu ditujukan, apa bentuk isinya, dan sebagainya). Pesan bisa dikirim secara langsung dari pengirim ke penerima melalui penghubung fisik, atau bisa juga dikirimkan, secara sebagian atau seluruhnya, melalui media elektronik, mekanik, atau digital. Makna dalam pesan yang ingin dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka makna-makna lainnya.12
10
Kriyantono, Rachmat, Panduan Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 58 11 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, pen. Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4 12 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 22
11
Sebuah teks tetaplah merupakan sebuah tanda. Itulah sebabnya, sebagai contoh, kita membaca dan mengingat novel dalam bentuk tunggal (X), bukan sebagai kumpulan kata-kata yang terdapat di dalamnya, yang memiliki makna atau satu kelompok makna tertentu (Y), yang kita turunkan darinya berdasarkan pada pelbagai pengalaman pribadi, sosial, atau jenis lain (X=Y).13 Alex Sobur dalam Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik, dan Framing mengatakan bahwa analisis semiotika sebagai sesuatu model ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai system hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”. Semiotika dengan demikian adalah sebuah ranah keilmuan jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah ”benteng kebenaran”, yang di luar benteng itu
semuanya
adalah
”musuh
kebenaran”.
Semiotika
pada
kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi. Dan kita tahu bahwa logika ”interpretasi” bukanlah logika ”matematika”, yang hanya mengenal kategori ”benar” dan ”salah”. Logika semiotik adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya: interpretasi yang satu lebih masuk akal dari pada yang lainnya.14 maka dasar dari analisis
13
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 27 14
Yasraf Amir Pialang, Membaca Tanda, Memahami Komunikasi, Kata Pengantar dalam Buku Semiotika Komunikasi Visual Karya Sumbo Tinarbuko, (Yogyakarta: Jasutra, 2008), h. viii
12
semiotika adalah interpretasi, karena analisis semiotika merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Yang menjadi menjadi masalah bukan benar atau tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam melakukan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan objek penelitian semiotik tersebut. Maka dalam hal ini peneliti mengamati dan mengkaji data-data yang terdapat dalam buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman, kemudian peneliti akan mulai menafsirkannya sesuai dengan kerangka analisis semiotik model Charles Sanders Pierce. b. Dokumentasi Pendokumentasian akan dilakukan peneliti dengan cara mencari dokumen-dokumen baik cetak maupun elektronik sekaligus mengumpulkan data-data dan sumber-sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Terutama karya-karya Gus Dur.
4. Subjek dan Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Alm. K.H. Abdurrahman Wahid selaku penulis artikel yang dibukukan ini. Sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman pada Bagian Ketiga.
13
E. Tinjaun Pustaka Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan penulis menemui beberapa mahasiswa/i yang sebelumnya telah menulis masalah yang di latar belakangi dengan menggunakan analisis pendekatan semiotika, adapun pembahasan tersebut ialah analisis karya foto, dan iklan komersial. Namun dalam segi isi atau konten permasalahan yang ditulis mahasiswa sebelumnya dalam tulisannya berbeda dengan isi atau konten permasalahan yang penulis teliti. Oleh karena itu, untuk menghindari dari halhal yang tidak diinginkan seperti “menduplikat” hasil karya orang lain, maka penulis mempertegas perbedaan antara masing-masing judul masalah yang dibahas yaitu sebagai berikut; 1. Dijelaskan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap Realitas Dalam Karya Foto Rd Zoelverdi” yang disusun oleh Sri Rahmawati, Konsentrasi Jurnalistik-Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008. Berisikan tentang makna yang terkandung dalam karya foto terbaik Ed Zoelverdi yang menuliskan realitas kehidupan, suatu budaya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
dengan menggunakan
pendekatan analisis semiotika Charles Sanders Pierce. Perbedaan dari skripsi di atas dengan skripsi yang penulis buat ialah dari segi objek penelitian yaitu berupa hasil karya pemotretan yang berupa foto dengan tema sosial, sedangkan penelitian yang penulis teliti ialah
14
tentang kumpulan opni Alm. Gus Dur yang di bukukan dengan judul “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”. Penelitian ini lebih difokuskan pada dimensi struktur teks yang terbangun. 2. Dalam skripsi yang berjudul “Makna Foto Berita Perjalan Ibadah Haji, Analisis
Semiotika
Karya
Zarqoni
Maksun
Pada
Gakeri
Foto
Antara.co.id”, yang disusun oleh Fatimah, Konsentrasi Jurnalistik-Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008. Yang berisikan tentang makna foto Zarqoni Maksun pada Gakeri Footo Antara.co.id yang mengisahkan tentang perjalan haji, dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes, makna denotasi dan konotasi dari objek yang diteliti. Perbedaan dari skripsi yang penulis adalah dari segi objek penelitian yaitu berupa foto dan teori yang digunakan dalam menganalisa dan mengkaji masalah. Perbedaan juga terjadi pada objek kajian yang penulis lakukan. Dalam penilitiannya penulis meneliti struktur teks bagian ketigs buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman dengan tema Kepemimpinan Moral Spritual, dan menggunakan kajian teori sturktur tanda model Charles Sanders Peirce. 3. Pada skripsi yang ketiga ini yang berjudul “Analisa Semiotika Kaedah Agama Pada Iklan Indomie Di Televisi”, disusun oleh Media Febryana Suliestyana, Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Berisikan tentang makna yang terkandung pada iklan Indomie pada versi Ramadhan 1427 H melalui gerak tubuh dan ucapan atau teks pada iklan tersebut.
15
Perbedaan padan penilitian yang telah tersebut di atas dengan penelitian yang penulis teliti ialah pada objek kajiannya. Penulis meneliti struktur teks pada buku namun penlitian terdahulu yang penulis temukan meneliti visualisasi iklan di televise. Dalam penulisan skripsi yang penulis buat ialah menganalisis makna yang terkadung pada struktur teks pada buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, bagian ketiga dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual. Dengan menggunakan metode penelitian model Charles Sanders Peirce dengan grand teorinya yaitu Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI).
F. Sistematika Penulisan Berdasarkan pada kerangka penelitian di atas, maka sistematika penelitian dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN merupakan bab paling utama yang bermaksud
untuk
menguraikan
argumentasi
tentang
signifikansi studi ini. Dalam bab ini peneliti menguraikan latar belakang masalah, pembatasn dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II
TIJAUAN
TEORITIS
pembahasan
dimulai
dengan
penjelasan ruang lingkup semiotika yang berkaitan dengan bahasa dan linguistic sekaligus menjelaskan analisa semiotika
16
model Peircian, dan penjabaran perkembangan media massa yang menjadi medium dari semiotika. BAB III
GAMBARAN UMUM BUKU GUSDUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN, pada bab ini diuraikan biografi Alm. Gus Dur, latar belakang penulisan artikel sekaligus penyusunan buku, pembagian buku, serta kandungan buku.
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA menguraikan tentang inti pembahasan bab ini yaitu menganalisa kerangka data melalui metode semiotic, dengan menggunakan grand teori yang dikembagkan oleh Pierce secara (Representasi, Objek, dan Interpretasi), pada bagian ketiga buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual
BAB V
PENUTUP membahas kesimpulan dari penelitian dan saran dari peneliti.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Semiotika 1. Bahasa dan Linguistik Menurut Ensiklopedia Indonesia kata ’bahasa’ berarti ”alat untuk melukiskan sesuatu pemikiran, perasaan, atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata. Dalam perhubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa (kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk memaparkan sesuatu pemikiran atau perasaan yang subjektif”. Maka bila dilihat dari sudut ilmu sosial, bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin1. Bahasa adalah pranata sosial dan sistem nilai. Sebagai pranata sosial, bahasa merupakan ciptaan masyarakat secara bersama dan bukan oleh seorang individu, merupakan kontrak kolektif (harus diterima seluruhnya atau tidak sama sekali). Bahasa juga disebut sebagai sistem nilai, karena bahasa terdiri dari unsur-unsur yang dapat dibandingkan dan ditukarkan. Sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa berada di luar jangkauan kekuasaan individu. Jadi sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa merupakan sesuatu yang objektif2.
1
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-
2
St. Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), Hal. 76
3, h. 274
17
18
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tandatanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis.
2. Pengertian Semiotik Kehidupan intelektual dan sosial manusia selalu didasarkan pada pembuatan, penggunaan, dan pertukaran tanda. Ketika kita memberi isyarat,
berbicara,
menulis,
membaca,
menonton
acara
televisi,
mendengarkan musik, atau melihat lukisan, kita terlibat dalam perilaku yang didasarkan atas tanda. Untuk mempelajari perilaku ini, pakar bahasa Swiss bernama Ferdinand de Saussure dan filsuf Amerika Serikat bernama Charles Peirce mengusulkan disiplin yang bersifat otonom. Yang disebut
19
terdahulu
menyebutnya
semiologi;
yang
dsebutkan
kemudian
menyebutnya ’semiotika’.3 Kata semiotika di samping kata semiologi sampai saat ini masih dipakai. Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Secara etimologis, Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti ”tanda” (Sudjiman dan Zoest, 1996:VVI) atau seme, yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1996:4) semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan peotika (Kurniawan, 2001:49). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6). Sementara Van Zoest, mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara befungsinya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.4 Sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi mengandung pengertian yang persis sama. Istilah-istilah ini sebenarnya
3
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 33 4
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet. Ke-4, h. 95-96
20
lebih merujuk kepada pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung dengan Pierce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun bila dilihat dari kenyataan dan popolaritasnya, istilah semiotika lebih populer dari pada istilah
semiologi
sehingga
para
penganut
Saussure
pun
sering
menggunakannya.5 Keputusan untuk hanya menggunakan istilah semiotika (semiotics), adalah sesuai dengan resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris bulan januari 1969. Lalu kembali dikukuhkan pada tahun 1974 oleh Association for Semiotics. Mulai dari sinilah semiotik menjadi bentuk tunggal dari semua peristilahan lama semiology dan semiotics. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya
tanda
dan
produksi
makna.6
Tanda-tanda
tersebut
menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan suatu yang lain yang dapat dipikirkan dan dibayangkan. Cabang ilmu ini semua berkembang dalam bidang bahasa kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual. Istilah semiotika yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatic Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk kepada ”doktrin formal tentang tanda-tanda.”7 yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda; tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi 5
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-
6
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra , 2008), h.12 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-3, h.
3, h. 12 7
13
21
yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan pikiran manusia dan seluruhnya terdiri dari tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak bisa menjalin hubungannya dengan realitas.8 Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.9 Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer dari pada semiologi.10 Meningkatnya popularitas semiotika pada akhir abad ke-20 sebagian besar berasal dari karya-karya fiksi yang ditulis oleh Umberto Eco. Keberhasilan novel-novel larisnya (The Name of the Rose, Foucault’s Pendulum, The Island of the Day Before) merangsang rasa ingin tahu masyarakat terhadap semiotika dalam tahun-tahun terakhir. Upaya Thomas
8
Ibid Ibid 10 Fahri Firdusi, Semiotika: Tanda dan Makna, artikel diakses tanggal 4 Jaunari 2011 dari http://jurnal.humaniora.ugm.ac.id. 9
22
A. Sebeok (1920-2001) yang merupakan profesor semiotika terkenal dari Indiana University juga cukup penting dalam menunjukkan relevansi semiotika kepada masyarakat luas. Akan tetapi, Roland Barthes-lah yang pertama kali memperkenalkan metode semiotika ke masyarakat umum pada tahun 1950-an sebagai alat untuk mendapatkan pemahaman yang tajam pada budaya termediasi kita. Dalam artikel diaksea, Akhmad Muzakki, ”Kontribusi Manusia Memahami Agama”, menyimpulkan bahwasanya, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial, masyarakat, dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.11 Yasraf
Amir
Pilliang
dalam
pengantarnya
yang
berjudul
”Memahami Tanda Memahami Semiotika”, mengatakan: ”sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu tentang tanda, tentunya semiotika mempunyai prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Akan tetapi pengertian ”ilmu” dan ”ilmu semiotika” tidak dapat disejajarkan dengan ”ilmu alam” yang menurut ukuran-ukuran matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan ’objektif” sebagai sebuah ”kebenaran tunggal”. Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan objektifitas macam 11
Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika Memahami Agama, artikel diakses tanggal 5 januari 2011 dari http://pesantren.or.id29,masterwebnet,com/ppssnh.malang/cbibin/content.cgi/artikel/kontr ibusi_semiotikamemahami_agama.single.
23
itu. Melainkan dibangun oleh ”pengetahuan” yang lebih terbuka bagi aneka interpretasi. Semiotika dengan demikian adalah sebuah ranah keilmuan jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah ”benteng kebenaran”, yang di luar benteng itu semuanya adalah ”musuh kebenaran”. Semiotika pada kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi. Dan kita tahu bahwa logika ”interpretasi” bukanlah logika ”matematika”, yang hanya mengenal kategori ”benar” dan ”salah”. Logika semiotik adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya: interpretasi yang satu lebih masuk akal dari pada yang lainnya.”12 Bila kita coba pahami maksud dari Yasraf Amir Pilliang di atas, maka dasar dari analisis semiotika adalah interpretasi, karena analisis semiotika merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Yang menjadi menjadi masalah bukan benar atau tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam melakukan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan objek penelitian semiotik tersebut.
3. Analisa Semiotika Model Charles Sanders Peirce Aart van Zoest menuturkan Charles Sanders Pierce adalah salah seorang tokoh filsuf yang paling orisinil dan multidimensional, begitupun komentar Paul Cobley dan Liza Jansz (1999:20), Pierce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Pierce terkenal dengan teori tandanya. Di lingkup semiotika, Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechta (2001:227),
12
Yasraf Amir Pialang, Membaca Tanda, Memahami Komunikasi, Kata Pengantar dalam Buku Semiotika Komunikasi Visual Karya Sumbo Tinarbuko, (Yogyakarta: Jasutra, 2008), h. viii
24
seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.13 Teori dari Pierce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan seperti ahli fisika membongkar sesuatu zat dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaiamana semuanya bertemu di dalam sebuah struktur.14 Charles Pierce juga mendefinisikan tanda sebagai yang terdiri dari atas representament (secara harfiar berarti ’sesuatu yang melakukan representasi’) yang merujuk kepada objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut interpreten (apa pun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu).15 Atau dengan kata lain semiotik
berobjekkan
tanda
dan
menganalisanya
menjadi
ide
(representasi), objek, dan makna (interpretasi).16 Hubungan antara ketiga dimensi ini tidak bersifat statis, melainkan dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-3,
h. 39 14
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet. Ke-4, h. 97 15 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 36 16 Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing (Bandung: Rosda, 2006), h. 100
25
Di dalam teori semiotik, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik disebut sebagai representasi. Secara lebih tepat ini didefinisikan sebagai penggunaan ’tanda-tanda’ (gambar, suara, kata, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik17. Ini kita bisa definisikan bahwa sesuatu yang bersifat fisik (X) yang mewakili sesuatu yang lain (Y), biak itu bersifat material atau konseptual, dalam cara tertentu (X = Y). Sebuah teks tetaplah sebuah tanda. Itulah sebabnya, sebagai contoh, kita membaca sebuah novel dalam bentuk tunggal (X), bukan sebagai kumpulan kata-kata yang terdapat di dalamnya, yang memiliki makna atau sekelompok makna tertentu (Y), yang kita turunkan darinya berdasarkan pada pelbagai pengalaman pribadi, sosial, atau jenis lain (X = Y).18 Oleh karena itu tujuan penelitian semiotika adalah untuk menjelaskan makna hubungan (X = Y). X adalah sesuatu yang ada secara material. Itu bisa berupa kata, novel, acara televisi, atau artefak manusia lainnya. Sedangkan Y adalah makna artefak ini dalam semua dimensinya (pribadi, sosial, historis). Termasuk di dalamnya upaya penggambaran semua makna yang terdapat dalam Y adalah seluruh dan substansi dari
17
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
18
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 3 h. 27
26
metode-metode semiotika. Langkah ini pada umumnya disebut sebagai ’interpretasi’.19
B. Media Massa 1. Perkembangan Media Massa Salah satu peradaban yang pertama kali melembagakan penulisan piktografik sebagai cara untuk merekam gagasan, mengikuti perjalanan transaksi bisnis, dan menyebarkan pengetahuan adalah peradaban Cina Kuno. Piktografi Cina bisa dilacak ke belakang sampai pada abad ke-15 SM. Secara lebih spesifik, ini disebut sebagai logografi, karena menggunakn simbol-simbol gambar untuk menampilkan kata-kata (tanpa melihat ejaannya). Sistem piktografik kuno yang lain disebut sebagai tuilsan paku, sistem dikembangkan oleh bangsa Sumeria-Babilonia sekitar 5000 tahun lalu. Bangsa Sumeria merekam representasi mereka pada lempenglempeng tanah liat, dan membuat penulisan menggunakan tulisan paku ini menjadi sangat mahal dan tidak praktis. Sekitar tahun 2700-2500 SM, ditemukan penulisan piktografik lainnya di Mesir, yaitu penulisan hieroglif. Bangsa Mesir menggunakan papirus (sejenis kertas bentuk kuno yang terbuat dari sejenis alang-alang) untuk merekam tulisan-tulisan mereka. Selanjutnya pada sistem hieroglif ini berkembang unsur-unsur fonografik-fonograf adalah bentuk-bentuk 19
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), pendahuluan ix
27
yang mewakili bagian-bagian kata seperti suku kata atau suara yang berdiri sendiri. Sistem fonografik lengkap yang mewakili satu suara dinamakan alfabetik. Sistem alfabetik yang pertama muncul di daerah Timur Tengah dan disebarkan oleh bangsa Funisia (bangsa yang berada di daerah pantai timur Laut Tengah, yang sekarang adalah Libanon) ke Yunani. Sistem ini mengandung simbol-simbol konsonan saja. Ketika sampai di Yunani, simbol-simbol vokal ditambahkan dan menjadi sistem yunani sebagai sistem alfabetik utuh yang pertama. Seperti disebutan di atas, munculnya penulisan alfabetik mengakibatkan datangnya pergeseran paradigma sejati, karena memungkinkan masyarakat untuk menyimpan dan mengabadikan pengetahuan secara lebih stabil.20
2. Kertas dan Percetakan Seperi sudah disebutkan di atas, bahan ringan yang pertama kali digunakan untuk merekam hasil tulisan adalah papirus yang dibuat dari sejenis alang-alang oleh bagsa mesir. Sejak awal abad ke-2 SM orangorang eropa menulis pada lapisan tipis kulit hewan yang sudah disamak dan dinamakan perkamen atau vellum menggunakan pena yang terbuat dari bulu sayap burung. Perkamen tidak seringan papirus, tetapi lebih awet. Oleh sebab itu, hal ini memungkinakan disimpannya pengetahuan dalam waktu yang lebih lama. Banyak naskah dalam bentuk perkamen dan
20
h. 9
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
28
buku dari abad pertengahan yang sekarang masih bisa ditemui. Akan tetapi perkamen sangat mahal, dan oleh karena itu keterbacaan hanya menjadi milik sedikit orang saja. Kertas ditemukan oleh oleh orang-orang Cina pada abad ke-2 yang membuat dari serat-serat sutera. Kertas lebih ringan dari pada perkamen sehingga lebih mudah dibawa kemana-mana. Kertas juga relatif lebih murah. Akibatnya teknologi kertas menjadi peristiwa teknologi pertama yang memungkinkan diubahnya pencetakan menjadi medium massa. Pada tahun 1450, seorang tukang cetak Jerman bernama Johan Gutenberg menyempurnakan teknologi mesin cetak, dan untuk pertama kalinya memperkenalkan peralatan mekanis yang bisa dipakai untuk mencetak dan membuat banyak salinan dokumen kertas. Munculnya mesin cetak, semakin banyak buku tersedia dan semakin banyak orang yang melek huruf. Kemelekhurufan (literasi) ini memunculkan kesempatan untuk berhadapan dengan gagasan-gagasan baru dan pemikiran bebas. Munculnya pemikiran bebas ini mengakibatkan adanya revolusi dalam bidang agama, politik, sosial, dan ilmiah. Selain dari pada itu, karena buku-buku murah bisa bisa dikirim keseluruh penjuru dunia, maka para filsuf, seniman, pendidik, sejarawan, penyair, dan penulis cerita membaca dan saling menerjemahkan buku-buku sejawatnya. Secara singkat, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa teknologi yang membuka bagi munculnya peradaban global. Sebenarnya, para pelopor komputer bisnis meramalkan tentang akan munculnya ’dunia tanpa kertas’. Akan tetapi, ramalan mereka
29
sampaisekarang terbukti salah, atau paling tidak prematur. Ironosnya bahwa kemudahan dalam membuat fotokopi, mencetak, dan mengirimkan dokumen yang dimungkinkan oeh teknologi digital membuat permintaan akan kertas menjadi semakin banyak, bukannya berkurang.21 3. Galaksi Gutenberg Seperti yang sudah kia lihat di atas, buku yang dibuat pertama adalah keping-keping tanah liat. Buku-buku ini sulit dilihat dan disebarluaskan. Akan tetapi, dengan munculnya teknologi papirus yang muncul tidak lama kemudian, buku bisa dihasilkan dan disebarluaskan dengan lebihh mudah. Papirus adalah bahan alang-alang yang dibentuk menjadi lembaran panjang dan digulung pada sebuah batang. Dalam abad ke-1 Masehi, metode pembuatan buku ini digantikan dengan codex, yaitu buku kecil yang diikat menggunakan cincin yang terdiri atas dua lembaran kayu atau lebih yang dilapisi malam yang bisa ditulis dengan benda berujung tajam. Tulisan di permukaannya bisa dihapus dan dihaluskan sehingga bisa dipakai berulang kali. Dalam Abad Pertengahan codex ini lebih banyak dipakai untuk mencatat naskah yang terkait dengan liturgi Kristen. Kemelekhurufan hanya menjadi tujaun untuk sedikit orang yang mendapat hak khusus saja. Hal ini berubah dengan munculnya teknologi kertas dan mesin cetak pada abad ke-15. Sejak buku bisa dibuat dengan cepat dan murah, semakin banyak orang yang menjadi terdidik dan melek huruf. 21
h. 10-11
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
30
Mesin cetak juga membawa ke perubahan paradigma besar dalam evolusi budaya. Seperti yang kita lihat pada bagian pembukaan, McLuhan menamai tatanan dunia yang dibangkitkannya, yaitu Galaksi Gutenberg, yang dinamainya menurut tukang cetak Jerman, Johan Gutenberg (penemu mesin cetak modern). Melalui buku-buku dan artefak cetak lainnya (suratkabar, pamflet, dan sebagainya) setelah abad ke-15 kata-kata yang tertulis menjadi cara utama dalam menyimpan dan meneruskan pengetahuan dan gagasan. Mesin cetak, secara ipso facto menjadi inovasi teknologi yang membentuk tatanan dunia, atau metabudaya yang didasarkan atas kemelekhurufan, ketika gagasan mulai berkembang jauh dan meluas, melintasi batas-batas politik melalui media buku. Samapai sekarang ini, cara yang paling utama dalam menyemaikan gagasan baru adalah melalui barang cetakan.22
4. Buku Karena buku adalah benda material, buku bisa disimpan di dalam ’museum buku’ yang dikenal dengan pepustakaan. Perpustakaan ini berawal di Timur Tengah sekitar 3000-2000 SM –kira-kira pada waktu yang sama dengan mulai semakin besarnya peranan penulisan piktografik di zaman dahulu. Salah satu perpustakaan kuno terbesar dibangun oleh orang yunani di Alexandria pada abad ke-3, sekitar abad ke-2 M perpustakaan umum
22
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 72-73
31
dan pribadi didirikan di banyak tempat di dunia zaman dahulu. Beberapa abad kemudian, naskah-naskah matematis dan ilmiah disalin dan diabadikan di dalam pelbagai perpustakaan oleh para sarjana Islam, dan mendorong bangkitnya kecendekiawanan dan akhirnya ke bangkitnya perguruan tinggi di akhir abad ke-11. Bersama dengan bangkitnya kemelekhurufan, maka terkait dengannya muncullah kebutuhan untuk mengorganisasikan pengetahuan yang terdapat di dalam pelbagai buku. Hal ini mendorong ditemukannya ’ensiklopedia’, suatu istilah yang pada awalnya terkait dengan petunjuk dalam seluruh cabang pengetahuan. Akan tetapi, pengekalan pengetahuan bukan satu-satunya fungsi yang dibawa oleh buku. Selama paling sedikit lima abad, buku ini juag dibuat sebagi suatu bentuk seni sastra dan sarana pengalihan perhatian massa. Karya-karya fiksi tak terhitung jumlahnya yang dikenal sebagai novel dan sampai kepada kita sejak zaman Abad Pertengahan sudah dibaca, dan akan terus dibaca, oleh jutaan manusia hanya untuk kenikmatan membacanya saja. Seperti sudah disebutkan di atas, penemuan dan perkembangan teknologi (kertas dan mesin cetak) yang menghasilkan revolusi dalam pembuatan dan penerbitan buku-buku, penerbitan buku yang lebih sederhana, mudah, dan murah membuat orang-orang menjadi tidak sulit untuk memiliki buku. Akibatnya kemelekhurufan masyarakat meningkat tajam. Gagasan tentang aliran buku juga muncul pada waktu yang tidak jauh berbeda, ketika penulisan buku tidak lagi hanya untuk tujuan-tujuan
32
religius dan ilmiah, tetapi semakin banyak untuk tujuan pemahaman masyarakat dan pengalihan pikiran. Ketika revolusi industri berlangsung, sejumlah besar buku bisa diterbitkan dengan ongkos yang relatif rendah, ketika teknologi percetakan dan kertas menjadi sangat efisien. Buku menjadi barang konsumsi massa. Ketika media lain menantang keberadaan buku yang terbuat dari kertas, buku memiliki ’kekuatan bertahan’ yang mengagumkan. Sampai sekarang ini, buku masih menjadi sarana utama dalam penyebaran dan pengabdian pengetahuan, serta menjadi sumber ungkapan artisitik dan pengalihan pikiran secara massal.23
23
h. 75
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU GUS DUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN
A. Profil Gusdur Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang dimulai pada 20 Oktober 1999, dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‘ban, sama dengan 7 September 1940.
33
34
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. ―Addakhil‖ berarti ―Sang Penakluk‖. Kata ―Addakhil‖ tidak cukup dikenal dan diganti nama ―Wahid‖, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. ―Gus‖ adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati ―abang‖ atau ―mas‖. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan
35
tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
36
Dia akrab disapa Gus Dur, Sang Bapak Bangsa yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
37
Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‗Gus‘. Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak pada Tahun 1966-1970. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latarbelakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‗sosok berbau kiri‘ pada masa Orba. Sebelumnya pada Tahun 1964-1966, Gus dur mempelajari ilmu hukum di Fakultas Syari‘ah (Kulliyah Al-syari‘ah) Universitas Al-Azhar Cairo. Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‗cendekiawan‘ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik. Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya,
38
ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi. Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‗anak kandung‘ NU. Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali. Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya. Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni 2002 lalu, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi juara. Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qortrunnada Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah (Venny), Anisa Hayatunufus (Nufus) dan Inayah Wulandari (Ina). Hal ini
39
tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina. DATA PRIBADI Kewarganegaran:
Indonesia
Tempat, Tanggal Lahir :
Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940
Istri :
Sinta Nuriyah 1. Alissa Qotrunnada Munawaroh (P) 2. Zannuba Arifah Chafsoh (P) 3. Annita Hayatunnufus (P)
Anak :
4. Inayah Wulandari (P)
ALAMAT Jl. Warung Silah No. 10, Ciganjur Rumah :
Jakarta Selatan 12630 – Indonesia
PENDIDIKAN Universitas Baghdad, Irak 1966-1970
Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab Al Azhar University, Cairo, Mesir
1964-1966
Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
1959-1963
Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
1957-1959
Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia
JABATAN Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia 1998-2009
Ketua Dewan Syura DPP PKB The WAHID Institute, Indonesia
2004-2009
Pendiri Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Indonesia
2000-2009
Mustasyar Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
2002-2009
Rektor
PENGALAMAN JABATAN 1999-2001
Presiden Republik Indonesia
1989-1993
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
1987-1992
Ketua Majelis Ulama Indonesia
1984-2000
Ketua Dewan Tanfidz PBNU
1980-1984
Katib Awwal PBNU
1974-1980
Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang
1972-1974
Dekan dan Dosen
40
PENGALAMAN ORGANISASI Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional 2003
Penasehat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
2002
Penasehat Forum Demokrasi
1990
Pendiri dan Anggota Festifal Film Indonesia
1986-1987
Juri Dewan Kesenian Jakarta
1982-1985
Ketua Umum Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo - United Arab Republic (Mesir)
1965
Wakil Ketua
AKTIVITAS INTERNASIONAL Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan 2003-2009
Presiden International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and
2003-2009
Carl Bildt International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris
2003-2009
Presiden Kehormatan International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
2002-2099
Anggota Dewan Penasehat Internasional Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat
2002
Presiden Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel
1994-2009
Pendiri dan Anggota World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat
1994-1998
Presiden International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda
1994
Penasehat The Aga Khan Award for Islamic Architecture
1980-1983
Anggota Dewan Juri
PENGHARGAAN Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, 2004
Indonesia
2004
The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of
41
Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika 2003
Serikat World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC),
2003
Seoul, Korea Selatan Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail",
2003
Kuala Lumpur, Malaysia
2002
Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun
2002
Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
2001
Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World
2000
peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
2000
Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
1998
Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
1993
Magsaysay Award, Manila , Filipina
1991
Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
1990
Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
DOKTOR KEHORMATAN 2003
Netanya University , Israel
2003
Konkuk University, Seoul, South Korea
2003
Sun Moon University, Seoul, South Korea
2002
Soka Gakkai University, Tokyo, Japan
2000
Thammasat University, Bangkok, Thailand
2001
Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
2000
Pantheon Sorborne University, Paris, France
1999
Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand
Dan beliau wafat pada tanggal 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun, di Jakarta
B. Gambaran Umum Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman Dalam buku ini Gus Dur juga menulis mengenai perkembangan politik di negara lain, seperti Malaysia, dan tema-tema non-politik seperti obituari tokoh-tokoh yang dekat dengannya (Gus Miek, Kiai Achmad Shiddiq, dan Romo Mangun wijaya), tetapi mayoritas tulisan yang ada dalam buku ini adalah
sekitar
politik
Indonesia
kontemporer.
Tema-tema
seperti
kepemimpinan politik, hubungan antara agama dan politik, hubungan antara
42
individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam pemikiran Gus Dur. Barangkali, buku ini adalah peneguhan kembali kepedulian Gus Dur terhadap persoalan-persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju demokrasi. Pergelutan pemikiran Gus Dur yang sangat intens dalam dunia politik, membuatnya menjadi bagian dari perpolitikan itu sendiri. Dengan kata lain, Gus Dur bukan saja sebagai aktor politik, baik dalam kapasitas pemikir dan pemain, melainkan juga merupakan salah satu produk sistem politik yang berkembang selama ini. Dialektika hubungan antara aktor dan sistem politik tersebutlah yang pada gilirannya menghasilkan sosok dan buah pikiran serta perilaku khas yang oleh sebagian orang disebut "Gus Durian". Salah satu ciri gaya Gus Dur yang saya ketahui adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawabanjawaban baru yang lebih kreatif. Tengok saja bagaimana Gus Dur untuk mencoba mencari dataran baru bagi pemahaman mengenai posisi Islam dalam kancah politik Indonesia modern, melampaui apa yang biasanya dilakukan oleh para pemikir dan politisi Islam baik yang modernis maupun yang tradisionalis. Dalam buku ini kasus pertanyaan apakah seorang nonmuslim bisa jadi Presiden RI bisa jadi contoh (Bab 12). Gus Dur jelas menolak pendekatan formalistik yarrg banyak
43
dipakai oleh para elite Islam dan mencoba menggunakan pendekatan konstitusional. Kendati demikian, ia merasa tak terikat dengan "garansigaransi" dan janji-janji lisan yang, konon, pernah dibuat oleh para pemimpiri politik tentang priailege politik bagi Islam dalam kehidupan bernegara, khususnya posisi presiden. Gus Dur justru memilih "kenyataan tertulis" dalam konstitusi yang "pada hakikatnya merupakan cermin dari komitmen bersama yang telah disepakati". Dengan keputusan demikian, cara pandang politik lantas bergerak ke depan dan bukan ke belakang, sehingga jawaban yang kreatif bisa diberikan manakala muncul pertanyaan fundamental seperti apakah seorang nonmuslim dapat menjadi presiden di Indonesia yang mayoritas muslim itu. Gus Dur mengembalikan kepada apa yang tertuang secara tersirat kepada konstitusi karena ia merupakan landasan paling kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di situlah tampak kaitan dialektis antara Gus Dur dan realitas politik di negeri ini' Di satu pihak' eksistensi Gus Dur adalah refleksi dari realitas dalam perpolitikan Indonesia yang diwarnai oleh masih adanya ketegangan hubungan antara agama (Islam) dan negara, di pihak lain pemikiran yang dilontarkannya merupakan salah satu resultante ketegangan tersebut yang dapat dipergunakan sebagai ialah satu cara meredakan ketegangan' Ajakan Gus Dur untuk kembali kepada konstitusi dan penolakannya terhadap pemakaian pendekatan formalisme agama dalam perpolitikan niscaya merupakan alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh siapa pun yang peduli dengan demokrasi. Dalam konteks Indonesia pasca-Orba, munculnya konflik-
44
konflik horizontal yang berwarna SARA salah satu penyebabnya tak lain adalah formalisme dan politisasi agama yang cenderung menguat pada masamasa terakhir pemerintahan Soeharto. Dengan pendekatan semacam itu, Gus Dur tentu saja meriskir terjadinya kontroversi di dalam kalangan Islam, termasuk dalam Jam'iyyah NU' Setidik-tidaknya, Gus Dur akan dituduh mengabaikan kepentingan politik kaum muslimin di negeri ini. Di kalangan sebagian ulama yang berpendapat bahwa memilih pemimpin dari kalangan nonmuslim adalah haram hukumnya, Gus Dur jelas akan menjadi target kritik yang keras. Demikian juga, pandangan Gus Dur akan ditafsirkan sebagai sikap inferior menghadapi kaum nonmuslim yang minoritas, dan sebagainya. Namun, hal demikian bukanlah di luar kalkulasi Gus Dur yang menganggap bahwa perbedaan pandangan merupakan esensi dari kehidupan yang demokratis. Baginya, tanggapantanggapan yang miring dan kritis terhadapnya adalah realitas dari spektrum Islam yang sangat luas itu sendiri dan, sebenarnya, justru membuktikan kebenaran dari apa yang telah diyakininya. Memahami pemikiran politik Gus Dur, dengan demikian, memahami sebagian dari dinamika politik Indonesia itu sendiri. Sumbangan pemikirannya bukan saja pada keteguhannya membicarakan tema-tema sentral yang selalu menyertai perkembangan demokrasi, melainkan juga alternatif-alternatif jawaban yang disodorkan olehnya. Alternatif tersebut jelas bukan yang akan memuaskan semua pihak, tetapi
yang
penting
adalah
penemuan
dataran-dataran
baru
yang
memungkinkan terjadinya pergerakan-pergerakan yang lebih luwes dan
45
berjangkauan jauh. Dengan cara seperti ini, pengembangan kehidupan politik dapat sekaligus menuju perbaikan, tetapi tanpa harus secara dogmatis mengikuti suatu pola baku yang tertutup, sebagus apa pun pola itu telah dikembangkan.
C. Pembagian Buku Terdapat 22 bab dalam buku ini, kesemuanya dikelompokkan ke dalam beberapa bagian. Di dalam buku ini dibagi menjadi lima bagian, di mana setiap bagiannya merupakan komitmen KH. Abdurrahman Wahid terhadap kemanusiaan, martabat serta hak-hak asasinya yang tulus tanpa diskriminasi, tanpa oportunisme. Adapun bagian-bagiannya antara lain; 1. BAGIAN PERTAMA: AGAMA ISLAM DAN NEGARA Pada bagian pertama ini, KH. Abdurrahman Wahid banyak menuangkan pemikirannya melalui tulisannya, sekitar soal-soal agama Islam dan negara yang merupakan (domain) disiplin dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Yang tersusun sebagai berikut: a. Bab 1, Semata-mata dari Sudut Hukum Agama b. Bab 2, Islam yang Melunak c. Bab 3, Islam dan hubungan Antarumat Beragama di Indonesia d. Bab 4, Kongres Umat Islam: Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara e. Bab 5, Anwar, UMNO, dan Islam di Malaysia f. Bab 6, Kisah Tiga Berita: ABRI dan Islam dalam Dioalog Politik g. Bab 7, Bercermin dari para Pemimpin
46
2. BAGIAN KEDUA: KEPEMIMPINAN POLITIK Beranjak dari pemikirannya pada bagian pertama yang membahas persoalan Islam dan negara, maka dibagian ke dua ini KH. Abdurrahman Wahid lebih menyoroti tentang sikap soal kepemimpinan politik baik di dalam negeri maupun di negara tetangga ―Malaysia‖. a. Bab 8, Pemimpin, Kepemimpinan, dan para Pengikut b. Bab 9, Ukurannya Jelas, Bukan Sekedar Nomor Sepatunya Akbar Tanjung (Catatan Kecil Buat Satur Hutabarat) c. Bab 10, Anwar, Mahathir, dan Kita di Indonesia d. Bab 11, Pasangan Soeharto-Try dan Masa Depan Kita e. Bab 12, Presiden dan Agama 3. BAGIAN KETIGA: KEPEMIMPINAN MORAL SPIRITUAL Dalam kerinduannya
bab dengan
ini
KH.
Abdurrahman
tokoh-tokoh
yang
Wahid
dekat
menuangkan
dengannya,
yang
memberikan banyak arti dan pembelajaran tentang kesederhanaan, kemanusiaan, welasasih, pluralisme dan kerukunan hidup antarumat beragama, juga komitmen terhadap keorganisasian. Yang terkupas dalam bab-bab berikut: a. Bab 13, Perjalan Romo yang Bijak b. Bab 14, Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan c. Bab 15, In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq d. Bab 16, Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU
47
4. BAGIAN KEEMPAT: MEMBANGUN TRADISI POLITIK DAN DEMOKRASI a. Bab 17, Individu, Negara, dan Ideologi b. Bab 18, Megawati dan KLB PDI c. Bab 19, Dwi Fungsi ABRI: Prinsip dan Cara d. Bab 20, Situasi Memang Tidak Memungkinkan e. Bab 21, ―Dialog Nasional‖ dan Persoalannya f. Bab 22, Masa Depan Demokrasi di Indonesia
D. Sumber Naskah 1. Bagian Pertama: Agama Islam dan Negara a. ―Semata-mata dari Sudut Hukum Agama‖, Kompas, Rabu, 23 Januari 1991. b. ―Islam yang Lunak‖, Kompas, Rabu, 2 Desember 1998. c. ―Islam dan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia‖, Kompas, Senin, 14 Desember 1992. d. ‖Kongres Umat Islam: Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara‖, Kompas, Kamis, 5 November 1998. e. ―Anwar, UMNO, dan Islam di Malaysia‖, Kompas, Selasa, 20 Oktober 1998. f. ―Kisah Tiga Berita: ABRI dan Islam dalam Dialog Politik‖, Kompas, Senin, 14 Oktober 1991. g. ―Bercermin dari para Pemimpin‖, Kompas, Kamis, 26 November 1998.
48
2. Bagian Kedua: Kepemimpinan Politik a. ―Pemimpin, Kepemimpinan, dan para Pengikut‖, Kompas, Selasa, 5 Jaanuari 1999. b. ―Ukurannya Jelas, Bukan Sekadar Nomor Sepatunya Akbat Tandjung (Catatan Kecil Buat Saur Hutabarat)‖, Kompas, Selasa, 15 Desember 1998. c. ―Anwar, Mahathir, dan Kita di Indonesia‖, Kompas,Sabtu, 3 Oktober 1998. d. ―Pasangan Soeharto-Try dan Masa Depan Kita‖,Kompas, Sabtu, 13 Maret 1993. e. ―Presiden dan Agama‖, Kompas, Sabtu, 21 November 1998. f. ―Presiden dan Agama‖, Kompas, Sabtu, 21 November 1998. 3. Bagian Ketiga: Kepemimpinan Moral Spiritual a. ―Perjalanan Romo yang Bijaksana‖, Kompas, Kamis, 11 februari 1999. b. ―Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan‖, Kompas, Minggu, 13 Juni 1993. c. ―In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq‖, Kompas, Sabtu, 26 Januari 1991. d. ―Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU‖, Kompas, Jumat, 23 Februari 1996. 4. Bagian Keempat: Membangun Tradisi Politik dan Demokrasi a. ―Individu, Negara, dan Ideologi‖, Kompas, Jumat, 4 Februari 1994. b. ―Megawati dan KLB PDI‖, Kompas, Jumat, 10 Desember 1993.
49
c. ―Dwi Fungsi ABRI: Prinsip dan Cara‖, Kompas, Selasa, 13 Oktober 1998. d. ―Situasi memang Tidak Memungkinkan‖, Kompas, Sabtu, 5 Desember 1998. e. ―Dialog Nasional dan Persoalannya‖, Kompas, Kamis, 7 Januari 1999. f. ―Masa Depan Demokrasi di Indonesia‖, Kompas, Selasa, 1 September 1998.
BAB IV ANALISIS SEMIOTIKA PEIRCIAN BUKU GUS DUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN
A. Sampul Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman
Tampak Depan
Tampak Belakang
B. Materi Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual Materi yang terdapat dalam tema Kepemimpinan Moral Spiritual pada bagian ketiga buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman terdiri dari empat judul di dalamnya. Yang akan terurai sebagai berikut; 1. Judul pertama ialah “PERJALAN ROMO YANG BIJAK”, pada judul ini Alm. K.H. Abdurrahman Wahid menceritakan tentang pengalaman persahabatannya dengan Romo Mangun dan Ibu Gedong selama lebih dari
50
51
dua puluh tahun. Yang masing-masing dari mereka mempunyai keyakinan dalam beragama yang berbeda. Namun, perbedaan berkayakinan itu tidak menjadi penghalang bagi Gu Dur, Romo Mangun, dan Ibu Gedong melakukan pengabdian kemanusian. Persamaan pandangan inilah yang membuat mereka bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi Gus Dur, Ibu Gedong, dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama dari pada perbedaan kami satu dari yang lain. 2. “GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN”, ini merupakan judul kedua dari tema Kepemimpinan Moral Spiritual. Pada judul ini Alm. K.H. Abdurrahman Wahid berkisah tentang kedekatannya dengan K.H. Hamim Jazuli alias Gus Miek, seseorang yang dianggap oleh kebanyakan orang mempunyai kekuatan supernatural, juga cara dakwah yang unik. 3. Judul ketiga dari tema Kepemimpinan moral spiritual ialah “IN MEMORIAM: KIAI ACHMAD SHIDDIQ”. Beliau merupakan generasi kelima yang menjabat sebagai Rais Aam PBNU (pimpinan tertinggi NU), yang dinilai mempunyai karakter unik dalam sikap dan kepemimpinannya saat itu, sehingga mampu menemukan keberhasilan dalam visi dan misinya saat mengembangkan PBNU sampai akhir hayatnya. 4. Pada judul terakhir “TUAN GURU FAISAL, POTRET KEPRIBADIAN NU” tema Kepemimpinan Moral Spiritual ini di tutup dengan kenangan serta kerinduan sekaligus kehormatan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid pada sosok kepemimpinan generasi kedua di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang saat itu dipimpin oleh Tuan Guru Faisal. Dalam konteks inilah Alm.
52
K.H. Abdurrahman Wahid merekam sosok kepribadian ulama semaca Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten, yaitu kecintaannya pada NU yang tiada habishabisnya. Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan NU tersebut.
C. Sistem Tanda Peirce Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI) 1. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 83 Kompas, Kamis, 11 Februari 1999. PERJALANAN ROMO YANG BIJAK Pada malam itu, kami bertiga mengobrol di halaman Candi Dasa, Karangasem, Bali. Ibu Gedong, Romo Mangun dan saya sendiri menjadi peserta diskusi bebas itu, yang berlangsung hampir tiga jam lamanya. Kami bertiga, saat itu, membicarakan masalah yang sederhana saja, konsep tentang wali (saint). Dari perbincangan itu kami bertiga mendapati bahwa ada kesamaan diantara kami bertiga mengenai konsep wali, hanya istilahnya saja yang berbeda, yang satu menggunakan bahasa Sansakerta, satunya lagi bahasa Latin, dan yang lainnya bahasa Arab. Baik agama Hindu, Katolik maupun Islam, memandang wali sebagai orang suci yang memiliki Beberapa sifat yang membedakannya dari orang lain, yakni pengetahuan metafisis melebihi orang biasa, ciri-ciri istimewa yang diberikan Tuhan oleh mereka, ataupun pengerbonan mereka pada kepentingan kemanusiaan. Persamaan pandangan inilah yang membuat kami bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi saya, Ibu Gedong, dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama dari pada perbedaan kami satu dari yang lain. Dari pertemuan di Candi Dasa, lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu, timbul rasa saling menghormati satu dengan yang lain. Saya tidak pernah memikirkan perbedaan dari Romo Mangun dan Ibu Gedong, melainkan justru persamaan antara kami bertiga yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan pengabdian kemanusiaan. Mungkin Karena inilah sikap keterbukaan, dan saling pengertian, dan empati mejadi bagian dari hubungan kami bertiga. Bagaimanapun unsur yang mempersatukan kami bertiga jauh lebih banyak dari yang memisahkan. *
53
Ketika saya berpindah dari Jombang ke Jakarta, segera saya melihat betapa dalamnya rasa cinta kasih Romo Mangun pada umat manusia. Hal iu tampak dalam sikapnya terhadap mereka yang nasibnya malang, pendidikannya kurang, dan mereka yang tingkat ekonominya rendah. Bagi mereka, Romo Mangun adalah hiburan yang menguatkan hati dikala susah, tetapi juga membawa harapan kemajuan dalam hidup. Mereka terdorong untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi karena simpati yang diperlihatkannya oleh Romo Mangun dan kehangatan cinta kasihnya yang diberikan kepada sesama umat manusia. Sosok Romo Mangun adalah pribadi yang mampu memancarkan sinar kasih keimanan dalam kehidupan manusia. Dalam diri Romo Mangun, keimanan tidak sekadar terbelenggu dalam sekat-sekat ritual agama atau symbol-simbol semata. Lebih dari itu, cinta kasih keimanan Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme. Dia kasihi dan dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati setiap manusia, karena dia telah menyentuh dan menyapa setiap manusia. Hal itu, tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga dalam karya tulisnya. Kombinasi antara keterusterangan, kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh akan masa depan yang baik merupakan modal utamanya. Hal ini tidak hanya tampak pada karya-karya satranya melainkan juga dalam kupasan-kupasannya mengenai sejarah modern bangsa kita dalam kolom-kolomnya. Karyakarya tulis itu memperlihatkan keagungan jiwa manusia yang tahu benar apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga tentang kehidupan yang menderanya dan janji kehidupan yang lebih baik yang menunggunya di masa depan. Prinsip-prinsip di atas tampak dalam novel-novel yang ditulisnya, terutama tentang masyarakat jawa masa lampau. Dunia Roro Mendut dan Pronocitro dalam kupasan Romo Mangun yang sangat tajam, ternyata adalah dunia kita juga dengan segala kemelut dan permasalahannya. Ketegeran jiwa Roro Mendut adalah juga ketegaran jiwa Romo Mangun yang memperjuangkan kemerdekaan umat manusia atau yang menentang militerisme. Keyakinannya akan proses memberikan keyakinan padanya bahwa setiap zaman membawakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan oknum-oknum ABRI dikupasnya dalam berbagai kolom bersama-sama kepengecutan sebagian perwira maupun ketololan sejumlah politikus. Semua itu disajikan dengan bahasa yang halus, namun tajam. Sindiran-sindirannya membuat setiap orang yang berpikiran cerdas dan peka merasa malu. Dalam hal ini, seolah Romo Mangun menjadi wakil masyarakat yang terlupakan dan tertinggalkan. Disamping ketajaman batin dan kepekaan nuraninya yang tinggi, sosok Romo Mangun juga menjadi simbol kesederhanaan. Sebagai seorang tokoh yang sudah bertaraf internasional, Romo Mangun tidak
54
pernah menampakkan sikap ketokohannya dalam performance dan penampilannya. Sikap glamour dan berlebihan hampir tidak tampak dari Romo Mangun. Sikapnya yang demikian seolah mengajarkan kita akan pentingnya makna kesederhanaan dan pentingnya pengekangan diri untuk tidak hanyut dalam setiap predikat yang disandang dan prestasi yang diraih, apalagi kedudukan. Kini Romo Mangun telah tiada. Kita kehilangan salah seorang tokoh humanis, seorang kritikus sosial yang andal sekaligus seorang pejuang agama yang gigih. Dunia terasa kosong tanpa kehadirannya. Akan tetapi, kita yakin akan datangnya seorang yang memperjuangkan citacitanya. Kita semakin kaya dengan pengabdian dan karya-karyanya semoga kita akan semakin bertambah kaya dengan penggantipenggantinya. Terima kasih Romo Mangun dan selamat jalan. Cita-cita dan perjuanganmu menjadi lentera dan cambuk bagi kita di sini. a. Representasi (ide) Pada judul ini Alm. KH. Abdurrahman Wahid mengkemas ide melalui tulisannya yang bercerita tentang kenangan semasa hidupnya bersama Romo Mangun. Diantara ide-ide itu yang pertama ialah tentang konsep wali (saint) sebagai tema diskusi saat itu, kata wali bisa kita dapati pada paragraf pertama alinea kelima dan keenam, juga di paragraf kedua alenia kesatu. Lalu ide yang kedua yang terkodekan dalam teks ini ialah tentang konsep pluralisme, yang menjadi alasan terkuat untuk Romo Mangun mewujudkan rasa cinta kasihnya kepada setiap umat manusia (pengabdian kemanusiaan), kupasan dari ide ini bisa disimak pada paragraf tiga, empat, dan lima. b. Objek Ialah sosok Romo Mangun sendiri, karena memang kisah ini lebih intens membahas tentang kehidupan Romo Mangun yang terekam oleh Alm. KH. Abdurrahman Wahid. Walaupun memang sesekali Gus Dur mengangkat kisah Ibu Gedong.
55
c. Interpretasi Dengan diskusi atau pun dialog, umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Diskusi atau pun dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Pengejawantahan ini akan menjadi satu konsep yang nyata apabila sikap toleransi dan pluralisme menjadi suatu tindakan bukan angan-angan. Yang kita bisa sama-sama perhatikan bahwa memang tokoh-tokoh ini (Alm. Romo Mangun dan Alm. KH. Abdurrahman Wahid) telah mencontohkannya dalam dunia nyata pada perhatian dan kecintaanya yang tinggi kepada umat manusia, juga kesederhanaan penampilan dan peformence sebagai simbol dari ketidak hanyutan mereka pada setiap predikat dan prestasi yang diraih, apalagi kedudukan.
2. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 88 Kompas, Minggu, 13 Juni 1993, halaman: 1 GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN Tiga tahun lalu, di beranda sebuah surau di Tambak, desa Ploso, Kediri, saya berhasil mengejarnya. Mobil yang saya tumpangi menelusuri kota Kediri sebelum melihat mobil Gus Miek disebuah gang, tengah meninggalkan tempat itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju arah selatan dan hanya dapat kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke
56
barat dan kemudian ke utara melalui jalan paralel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju surau itu, ketika mobil tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, karena dikiranya saya adalah adiknya, Gus Huda. Rupanya mobil tumpangan saya sama warna dan merek dengan mobil adiknya itu. Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, “Di situ nanti Kiai Achmad akan dimakamkan. Demikan juga saya. Dan nantinya sampeyan.” Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk tempat penguburan para penghafal Al-Qur‟an. Saya katakana kepadanya, bahwa saya bukan penghafal Al-Qur‟an. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika K.H. Achmad Shiddiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiai Achmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu adalah K.H. Achmad Siddiq. Hal-hal seperti inilah yang sering kali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa K.H. Hamim Jazuli alias Gus Miek adalah seorang dengan kemampuan supernatural. Sesuai dengan “tradisi” penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint). Kemampuan supernatural Kiai Hamim alias Gus Miek itu, dalam istilahan eskatologi orang pesantren, dinamakan sifat khariqul’adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimiliki, Gus Miek lalu memperoleh status orang kramat. Banyak “kesaktian” ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau gampang jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya. Reputasi sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Sema‟an (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Qur‟an oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi, orang bersabar mendengarkan bacaan Al-Qur‟an, untuk mengamini doa yang dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan AlQur‟an secara utuh, biasanya sekitar jam delapan malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari, untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau’izah hasanah(petuah yang baik) dari tokoh karismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk. Itulah acara rutinnya, di mana pun ia berada. Baru belakangan orang menyadari bahwa Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas sema‟an dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotek, night club, coffe shop dan “arena persinggahan perkampungan” orang-orang tuna susila.
57
Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat. Kontradiktif? Ternyata tidak, Karena di kedua tempat itu ia berperan sama, memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang sedih, menyantuni mereka yang lemah, dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai sema‟an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elite lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri. * Dua tahun yang lalu, Gus Miek mengatakan kepada saya, bahwa saya harus mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai imbauan, agar saya teruskan perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan tidak “merugikan” kepentingan organisasi yang saat ini sedang saya pimpin. Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak ajakan itu dua tahun yang lalu, karena saya beranggapan perjuangan melalui NU masih tetap efektif. Baru sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek ke haribaan Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli dari pada saya. Bahwa dengan “menggendong” beban NU, upaya menegakkan demokrasi tidak menjadi semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan, dan apa yang sekadar ranting. Tetapi, Gus Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan kehidupan gebyar. Untuk beberapa bulan, hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini membuat ia tidak enak perasaan kepada saya. Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak dimanipulasikan dengan politik Negara. Tugas pemimpin agama adalah menjaga keutuhan bangsa dan Negara dan berupaya agar kebenaran dapat ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.
58
Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas Koran di rumah Pak Syafi‟I Ampel di kota Surabaya, atau pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat. Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kiai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih, pinggiran kota Kediir. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang lalu ke Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun. Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat “kesalahan” keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang muslimah, Karena ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai sema‟an. Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek supernatural. Bukan karena ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super karena dia mampu mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi manusia. Kalau ia dianggap nyeleneh (khariqul’adah), maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyeleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak hirau apa yang dinamakan baik dan buruk dimata kebanyakan manusia, sementara manusia saling menghancurkan dan membunuh. a. Representasi (ide) Pada judul ini “GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN”, Alm. K.H. Abdurrahman Wahid banyak mentransferkan idenya melalui tanda “teks” tentang kemampuan supernatural Gus Miek atau KH. Hamim jazuli juga predikat orang keramat yang disandang olehnya, yang membuatnya menjadi tokoh karismatik. ide ini kita bisa cermati
59
pada paragraph ketiga alinea tiga, lalu paragraph keempat alinea pertama dan keempat, paragraph kelima alinea pertama, dan pengukuhan tersebut masih terasa kental pada paragraph keenam belas yang menjadi paragraph terakhir dari judul ini. b. Objek Objek dalam tulisan ini sudah tentu Alm. K.H. Hamim Jazuli “Gus Miek”. Sebagai seorang tokoh agama yang karismatik dari daerah Tambak, desa Ploso, Kediri. c. Interpretasi (makna) Setiap orang yang mengenal Gus Miek memang cenderung mempercayai bahwa K.H. Hamim Jazuli atau Gus Miek memiliki kemampuan supernatural. Reputasi yang seperti inilah, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan Gus Miek “Sema‟an” (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Qur‟an oleh para penghafalnya). Selain acara-acara keagamaan yang sering ia jalani, Gus Miek pun menempuh da‟wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam. keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Kedua pendekatan dakwah seperti inilah yang membuat Gus Miek diberikan predikat supernatural, karena memang tidak banyak tokoh agama yang mampu dan berani dengan metode seperti Gus Miek. super karena dia mampu mengatasi jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama
60
manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanya kebaikan bagi manusia. Namun Gus Miek pun hanya manusia biasa bukan malaikat yang mempunyai kekurangan dibalik kelebihannya. Kedekatannya dengan orang-orang besar dan pemimpin nasional membuatnya terlalu memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang besar tersebut. Ini membuktikan bahwa lagi-lagi Gus Miek pun hanya manusia biasa yang bisa khilaf dan lupa juga mempunyai nafsu pada hal-hal keduniawian. Sekaligus menjadi perunungan untuk kita mampu berpikir secara objektif bahwa dibalik kelebihan selalu akan ada kekurangan, sehingga tidak mudah terjebak pada pengkultusan. 3. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 95 Kompas, Sabtu, 26 Januari 1991, halaman: 4 IN MEMORIAM: KIAI ACHMAD SHIDDIQ Sudah sejak beberapa bulan sejumlah ulama berfirasat tajam mengingatkan penulis; bahwa NU akan kehilangan lagi seseorang ulama besar. Bahkan Kiai Dahnan Trenggalek agak eksplisit: NU jangan bergantung hanya kepada satu orang, siapa pun orangnya. Bahkan Kiai seampuh Kiai Achmad Shiddiq pun hanya seorang manusia belaka, yang dapat dipanggil Tuhan sewaktu-waktu.Kiai Hamim Jazuli Ploso (Kediri), alias Gus Miek, memberi isyarat tanggal 16 Desember 1998, agar NU mempersiapkan calon Rais Aam baru. Karenanya, sewaktu mendengar Kiai Achmad (begitu penulis senantiasa menyebutnya, tanpa menyebut nama ayahnya Kiai Shiddiq) masuk rumah sakit, penulis sudah mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima berita yang terburuk sekalipun. Namun dikala kabar itu datang, ia tetap saja merupakan pukulan palu godam yang meremukkan hati dan menggoncangkan jiwa. Hanya dengan disiplin baja, penulis mampu tetap menahan diri untuk tetap bersikap tenang dan berlaku normal seperti biasa. Padahal keinginan hati langsung berangkat ke Surabaya, lalu langsung ke Jember. Paling tidak, agar dapat melihat wajahnya untuk terakhir kali,
61
sebelum dikuburkan. Untuk mereguk kemuliaaan hati, pikiran dan sikap jiwanya. Ya, Kiai Achmad memang seorang mulia. Bukan karena ia melebihi manusia lain. Sering ia bersikap ragu, bahkan ia mungkin adalah peragu kelas berat. Juga sering bersikap emosional dalam urusan-urusan kecil. Begitu pula, ia terkesan menutup diri manakala menghadapi gencetan dan serangan dari kanan-kiri. Dan mungkin terlalu mudah menerima pertimbangan orang-orang di sekitarnya di Jember atau di tingkat Jawa Timur, sehingga sering menjadi pusing sendiri. Tetapi, semua kekurangan kecil itu justru mempertegas kemuliaan jiwa, hati dan pikirannya. Bahwa sebagai manusia dengan keterbatasanketerbatasan seperti itu, ia justru dapat meraih ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh mereka yang lebih kuat. Bahwa dengan kelemahan itu ia justru mampu menjadi nahkoda yang membawa kapal NU mengarungi badai dahsyat setelah NU kembali kepada khitahnya semula. Dan tetap mampu menjaga agar NU tetap berada pada alur sunnah (jalan)-nya semula. Mendiang Presiden John F. Kennedy pernah menggambarkan kepemimpinan sebagai sikap nahkoda kapal yang tengah menempuh badai. Bukan berlari-lari menimba air kembali ke laut, seperti para kelasi. Tetapi membuang jangkar dan lalu tidur, menunggu badai berlalu. Baru setelah itu, membuang sauh dan membawa kembali kapalnya berlayar. Seperti itulah kira-kira sikap Kiai Achmad dalam memimpin NU. Dengan catatan, ia tidak langsung tidur, tetapi lebih dahulu bersembah yang malam, menyerahkan segala urusan kepada Allah Subhanahu Wataala. Nahkoda berpegang kepada susunan perbintangan di cakrawala yang cerah. Kiai Achmad berpegang kepada sejumlah kaidah hokum agama yang membawakan tatanan masyarakat yang ideal. Kaidah akan pentingnya memelihara keselamatan umat yang dipimpin. Kaidah akan pentingnya mencapai cita-cita secara bertahap. Kaidah akan pentingnya perlindungan kepada pihak lain yang lebih lemah. Kaidah pentingnya persaudaraan antarmanusia ditegakkan dengan segala daya upaya. Kaidah akan pentingnya arti atas kemanfaatan sesuatu tindakan atau langkah yang diambil. Sikap seperti itu ia peroleh dari kesetiannya kepada hukum agama (fiqh). Dan itulah salah satu sisi yang berhasil digunakannya untuk mewarnai kehidupan NU sejak ormas itu dipimpinnya. Tetapi, ia bukan hanya pengikut hukum agama yang setia dan patuh. Ia juga memiliki spiritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap taat dan patuh itu. Melalui pergaulan eratnya dengan almarhum Kiai Hamid Pasuruan dan Gus Miek, dan melalui keterikatannnya kepada ritus Dzikrul Ghafilin (Pengingat Mereka yang lupa), ia mampu mengembangkan sebuah dimensi lain dalam situasi keagamaan warga NU; kecintaan dan kasih sayang yang mengatasi perbedaan, apapun perbedaan antarmanusia yang terdapat. Sejak tahuntahun tujuh puluhan ia melakukan pengembaraan rohani seperti itu, dan sewaktu ia menjadi Rais Aam PBNU getaran rohani penuh kasih sayang
62
kepada sesame itu telah membentuk sikap dan kepemimpinannya. Bertolak dari dimensi kerohanian atau spiritualitas itulah, ia mengajukan uluran tangan persaudaraan kepada Muhammadiyah. Gayung bersambut, dan bergandengan tanganlah Kiai Achmad dan Pak AR, ketua PP Muhammdiyah waktu itu. Proses yang menyejukkan hati umat Islam mulai menggelinding, betapa lambatnya pun gerak langkah yang dilalui. Kepada umat nonmuslim ditawarkannya wawasan persudaraan mereka yang sebangsa (ukhuwah wathanoyah). Orang tidak perlu dibedakan hanya karena berlainan agama atau keyakinan. Wawasan yang diajukan dalam Munas NU tahun 1987 di Cilacap itu tidak hanya menyentuh kaum non muslim, tetapi juga orang Islam yang tidak tergabung dalam gerakan Islam mana pun. Muslim formal, muslin informal, dan muslin nonformal dianggap sesama saudara, sebuah sikap yang menyejukkan. Rumusan Kiai Achmad, yang diterima Mutamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984 tentang hubungan agama dan Negara, juga diwarnai oleh pengertiannya yang mendalam akan hakikat persoalan utama kita sebagai bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk final perjuangna kaum muslimin adalah rumusan sederhana dengan implikasi sangat jauh bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. Akan semakin berkembanglah pluralitas itu, dengan keberkahan bagi semua, ataukah sistem akan dikikis oleh sektarianisme agama? Jawaban Kiai Achmad merupakan siraman segar bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. Sisi ini dari Kiai Achmad, di samping karena penguasaannya yang mendalam atas hukum agama dan spiritualitas jiwanya yang penuh kasih sayang, juga bersumber pada derajat kecendekiawanan almarhum. Diikutinya pertumbuhan bangsa ini dengan kepedulian yang jujur dan konsiten. Kecendekiawanan yang diwarnai oleh kepedulian mendalam atas nasib masa depan bangsa itulah yang melahirkan keberanian melahirkan gagasan besar yang demikian drastis bagi seorang pemimpin formal gerakan Islam. Menjadi munafikkah Kiai Achmad kepada agamana sendiri? Ternyata tidak. Dalam sebuah sidang DPA, ia berkeras pada pendirian bahwa hanya seorang muslim yang dapat diterimanya sebagai kepala Negara, sebagai Presiden / mandataris MPR. Mungkin pandangan yang tidak konsisten dengan wawasan persaudaraan umat sebangsa yang dilontarkannya sendiri. Tetapi yang dapat dipahami wajar saja keluar dari seorang Kiai yang memimpin sebuah ormas Islam. “penyimpangan” pandangan seperti ini tidak mengurangi sedikit pun kebenaran wawasan hukum keagamaan, spiritualitas penuh kasih sayang dan kepedulian seorang cendekiawan yang dimilikinya dalam penimbangan demikian baik. Kiai Hasyim Asy‟ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan sangat tinggi ke dalam tubuh NU, yang masih menjadi standar kepemimpinan tertinggi orang itu. Kiai A. Wahab Hasbullah membawakan ke dalam kedudukan Rais Aam NU kegigihan mempertahankan pluralitas partai politik, berhadapan dengan
63
gagasan Bung Karno waktu itu, pluralitas yang ternyata masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini. Padahal, ia adalah unsur utama bagi proses demokratisasi kita yang semakin matang dan penuh tantangan di masa depan. Kiai Bisri Syansuri membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawananan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk pembaratan /westernisasi sekuler. Kiai Bisri mampu mengembangkan fleksibelitas sikap terhadap proses tersebut, dengan tetap memelihara esensi hukum agama. Kiai All Ma‟shum melanjutkan dialog antara hukum agama dan proses modernisasi itu dengan memperdalam cakrawala filosofis para ulama NU. Hasilnya adalah rekonsiliasi positif antara Islam dan Pancasila, yang oleh Kiai Achmad Imran Rosyadi, S.H. dan Almarhum Dr. K.H. Tholhah Mansur dikonkretkan dalam bentuk rumusan “Pancasila adalah asas NU, sedangkan Islam adalah akidahnya”. Kontinuitas misi yang dibawakan oleh empat orang pemimpin tertinggi NU di masa lampau itu dimantapkan oleh Almarhum Kiai Achmad Shiddiq dengan sumbangan-sumbangannya yang telah diuraikan di atas. Masa depan NU bergantung pada kemampuan Rais Aam berikut untuk melanjutkannya dengan misi lebih konstruktif lagi dalam menghadapi era industri dan pasca-industri dalam abad ke-21 nanti.
a. Representasi (ide) Sikap dan kepemimpinan K.H. Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam PBNU merupakan ide yang diusung oleh Alm. K.H. Abdurrahman Wahid pada judul ketiga dari tema Kepemimpinan Moral Spiritual pada buku ini. Ini tercermin pada pelembagaan teks yang beliau tulis dari mulai paragraph tiga sampai dengan paragraph ke delapan, yang mengulas
tentang
kekurangan
yang
menjadi
kelebihan
juga
keberhasilan Alm. K.H. Achmad Shiddiq semasa memimpin PBNU. Pada paragraph sepuluh sampai kesebelas gusdur sedikit menceritakan keberhasilan konsep sekaligus misi yang di usung oleh ke empat pemimpin tertinggi NU sebelumnya, dan kontinuitas misi tersebut semakin dimantapkan dengan keberhasilan sikap dan kepemimpinan Alm. KH. Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam PBNU saat itu.
64
b. Objek Alm. K.H. Acmad Shiddiq selaku Rais Aam PBNU merupakan objek dari serangkaian teks yang tersusun pada judul ketiga ini. yang akan mengarah
kepada
persiapan
para
calon
penggantinya
dalam
menyiapkan visi dan misi PBNU kedepannya setelah berakhirnya masa kepemimpina Alm. K.H. Achmad Shiddiq. c. Interpretasi (makna) Keberhasilan Alm. K.H. Achmad Siddiq saat menjadi Rais Aam PBNU, merupakan hasil dari komitmennya terhadap sejumlah kaidah agama yang ditunjang dengan spiritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap taat dan patuhnya. juga kemampuannya mengembangkan dimensi lain dalam suasana primordialisme warga NU saat itu. Kecintaan dan kasih sayang yang mengatasi perbedaan, apapun perbedaan antarmanusia yang terdapat merupakan dimensi lain yang tercipta saat itu. sikap kecendekiawanannya pun mampu melahirkan wawasan-wawasan tentang relasi kehidupan beragama dan bernegara. Kombinasi dari sikap kepemimpinan inilah (kaidah keagamaan,
derajat
kerohanian,
dan
kecendekiawan)
yang
menjadikannya sosok pemimpin moderat, yang mampu melahirkan gagasan-gagasan besar bagi agama, ormas, dan negaranya.
4. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 102 Kompas, Jumat, 23 Februari 1998, halaman: 4
65
TUAN GURU FAISAL, POTRET KEPRIBADIAN NU Di Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat dua figur ulama besar yang sangat menonjol dan berpengaruh, yaitu Tuan Guru Zainuddin (Pimpinan Nahdlatul Wathan) dan Tuan Guru Faisal (Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama). Tuan Guru Faisal (70) baru saja meninggalkan kita 3 Februari 1998 di Lombok. Saya ingin mengenangnya berkenaan dengan pribadinya yang sangat menarik. Tuan Guru untuk menunjukkan rasa cinta pada organisasi, ternyata menempuh jalan yang berliku-liku. Dalam NU, Tuan Guru Faisal adalah generasi kedua NU di NTB Pusat NU NTB adalah di Lombok. Pengembangan NU di sana dengan dua sistem, yakni keguruan dan pengajian. Dari aspek historis, yang membawa NU ke Lombok adalah seorang ulama keturunan Arab Syekh Abdul Manan. Itu terjadi pada tahun 1930-an. Syekh Abdul Manan diutus oleh Hadratusy Syekh Hasyim Asy‟ari, Rais Akbar NU untuk membuka wilayah NU Lombok. Waktu itu diistilahkan konsul NU Lombok, karena belum ada provinsi. Otomatis Syekh Abdul Manan menjadi pimpinan pertama NU di Lombok. Setelah Syekh Abdul Manan meninggal, kepemimpinan NU dipegang oleh Tuan Guru Zainuddin (yang kini pimpinan Nahdlatul Wathan itu) dan Tuan Guru Faisal sebagai orang kedua. Waktu itu, NU masih ada di dalam partai Masyumi. Maka kedua ulama itu, otomatis selain memimpin NU, juga memimpin Masyumi. Ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952, kedua Tuan Guru ini bersepakat membagi-bagi tugas. Tuan Guru Faisal tetap dalam NU untuk menggantikan posisinya. Sementara Tuan Guru Zainuddin sendiri berkonsentrasi di Masyumi. Langkah dan strategi ini diambil seiring dengan konstelasi politik zaman liberal itu. Tujuannya agar Masyumi dapat merebut kedudukan bupati-bupati dan mempertahankannya, sehingga PNI yang merupakan pesaing politiknya tak berdaya mengambil kursi pemerintahan di tingkat kabupaten di wilayah NTB. Tentu, langkah itu, untuk kepentingan umat. Inilah kerja sama yang sangat baik antara Masyumi dan NU. Ternyata dalam pemilu pertama tahun 1955, di Lombok antara kekuatan Masyumi dan NU berimbang. Dengan demikian, terdapat dua entitas politik Masyumi yang dipimpin Tuan Guru Zainuddin dan entitas politik NU yang dipimpin Tuan Guru Faisal – yang notabene murid Tuan Guru Zainuddin itu. Dari sini mulai terjadi perbedaan institusional antarmereka – meskipun tentu, hubungan guru murid tetap berjalan dengan baik. Ketika Orde Baru, Tuan Guru Zainuddin masuk dalam lingkungan Golkar untuk merebut kepemimpinan politik di daerahnya waktu itu. Sementara Tuan Guru Faisal tetap di NU yang waktu itu masih berstatus partai politik. Pada kampanye Pemilu 1971 ketika parpol pada umumnya, termasuk NU, terlibat dalam pola hubungan yang kurang pas dengan
66
Golkar, maka hubungan guru murid itu menjadi renggang. Tetapi demi membela NU yang dicintainya, Tuan Guru Faisal rela meniti kerenggangan hubungan tersebut. Padahal, urusan hubungan guru murid itu dalam lingkungan pesantren dan NU sangat dijaga, dan semaksimal mungkin diupayakan janganlah sampai terjadi kerenggangan. Di sinilah, Tuan Guru Faisal mengorbankan kepentingan pribadinya untuk jam‟iyah yang sangat dicintai. Sewaktu NU kemudian bergabung dalam PPP, Tuan Guru Zainuddin tetap di Golkar, sementara Tuan Guru Faisal mengikuti jejak NU masuk ke dalam PPP. Begitupun ketika tahun 1983 NU keluar dari PPP dan kembali ke Khitah 1926, Tuan Guru Faisal juga keluar dari politik dan kembali ke khitah. Anehnya, dalam kondisi dan situasi seperti itu, di mana Tuan Guru Faisal memilih kembali ke khitah dan keluar dari PPP, Tuan Guru Zainuddin justru menyeberang ke PPP dalam Pemilu 1987 dan 1992. Jadi, ada semacam peristiwa metamorphosis dalam pandangan Tuan Guru Zainuddin. Kendati demikian, kedua ulama ini juga tidak bisa bertemu. Karena, Tuan Guru Faisal tunduk dan cinta pada NU-nya yang kala itu sudah kembali ke khitah – walaupun ia sendiri tetap bersimpati pada PPP, tetapi tidak bisa ikut langsung terlibat dalam gelanggang. Sementara Tuan Guru Zainuddin langsung ikut aktif berkampanye untuk partai berlambang bintang itu. Jelasnya, kedua Tuan Guru itu tidak bisa berdekatan kembali, Karena memang secara institusional mereka tetap berseberangan. Perbedaan itu semakin terasa, ketika Tuan Guru Faisal tetap berada dalam NU, sedangkan Tuan Guru Zainuddin tetap berada di Masyumi, kemudian Golkar dan memimpin organisasi yang didirikannya bernama Nahdlatul Wathan (NW). Dua nahdlah ini pun tidak bisa bertemu juga sampai sekarang ini. Namun, keduanya sama-sama menjadi besar dan sama-sama dicintai rakyat. Kalau misalnya ada semacam pembagian, maka Tuan Guru Faisal berpengaruh luas di masyarakat Lombok Barat, sedangkan Tuan Guru Zainuddin berpengaruh sangat luas di Lombok Timur. Namun, bila dilihat dari keseluruhan pengaruh, pengaruh Tuan Guru Faisal lebih besar karena beliau memimpin NU Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk di dalamnya Sumbawa. * Dalam konteks ini, saya ingin merekam sosok kepribadian ulama semacam Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten, yaitu kecintaannya pada NU yang tiada habis-habisnya. Namun, dalam hal pandangannya mengenai siapa yang dipilih untuk didukung, saya sendiri dengan Tuan Guru Faisal berbeda. Saya tidak mau memilih apa pun atau siapa pun, atau memberikan dukungan secara transparan dan terbuka. Itu urusan saya yang asasi. Tidak harus mengajak
67
orang lain dan tidak akan memberitahukan kepada orang lain; mana yang saya pilih dalam pemilu dan mana yang tidak. Sementara, Tuan Guru Faisal selalu menunjukkan dukungannya kepada PPP secara terbuka. Di sini pula ada perbedaan pandangan atau penafsiran antara ia dan saya mengenai arti Khitah 1926. Kalau saya menganggap khitah NU itu tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun, artinya kita tidak boleh membantu mereka. Tuan Guru Faisal tidak demikian. Beliau hanya membatasi pada penafsiran bahwa yang tidak boleh itu adalah merangkap kepengurusan. Bila hanya menunjukkan simpati, kata Tuan Guru Faisal, itu boleh-boleh saja. Beliau berargumentasi bahwa dalam kenyataannya banyak pimpinan NU yang menunjukkan keberpihakan mereka pada Golkar. Tetapi dalam pandangan saya, menunjukkan simpati itu pun menyalahi khitah, sama saja apakah ke PPP, ke Golkar atau ke PDI. Perbedaan pandangan semacam ini, sebetulnya tidak mendasar. Namun, cukup membuat sungkan satu sama lain. Saya sendiri tidak mengerti jalan pikirannya. Ia juga rasanya tidak menerima dengan jalan pikiran saya. Tetapi karena ia mencintai NU, maka beliau pun mencintai apa yang ingin saya lakukan untuk kepentingan NU. Pada saat Muktamar di Situbondo tahun 1984, perdebatan mengenai khitah antara saya dengan Tuan Guru Faisal tak bisa dileakkan. Perdebatan berlangsung hingga pagi, namun perbedaan pandangan antara kami tetap saja tidak bisa dipertemukan. Meskipun dalam alam pikiran yang berbeda, tetapi Tuan Guru Faisal dan saya tetap ingin mewujudkan keinginan bersama, yakni mencintai dan mengabdi cita-cita NU. Karena itu, walaupun dalam suasana perbedaan antarpandangan pribadi – sebelum wafat – beliau pernah mengatakan kepada keluarganya, kalau dirinya meninggal maka orang yang pertama yang harus dihubungi dan diberi tahu di Jakarta adalah Abdurrahman Wahid. Bukan PBNU-nya. Saya merasa kehilangan Tuan Guru Faisal sebagai kehilangan pribadi. Saya secara pribadi melihat, tokoh yang satu ini memiliki karakter yang sangat mengasyikkan. Beliau mempunyai sikap yang konsisten dan menunjukkan kecintaan yang mendalam pada NU sampai wafatnya. Bagi orang yang belum mengenal NU, sikap Tuan Guru Faisal adalah contoh yang sangat berbicara tentang sikap saling menghormati di antara orang yang berbeda pandangan sekalipun di tubuh NU. Tuan Guru Faisal adalah contoh dan potret dari kepribadian NU sejati, yang sangat mengutamakan persaudaraan. Persaudaraan adalah salah satu basis penting di mana NU hadir dan berdiri. Atas dasar persaudaraanlah NU memiliki trilogi hubungan: ukhuwah islamiyah (hubungan persaudaraan antaraumat Islam), ukhuwah basyariyah / insaniyah (persaudaraan antarumat manusia) dan ukhuwah wathaniyah (persudaraan antarnegara dan bangsa). Trilogi persaudaraan itu merupakan bagian penting dari kepribadian jama‟ah (warga) NU, dulu, kini, dan masa mendatang, baik di
68
saat NU diterpa badai maupun tidak. Jika terjadi perbedaan pandangan antara warga NU, sejak dini salah seorang pendiri NU, K.H. Wahab Hasbullah telah memberikan solusi dengan pedoman, “bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda, tetapi tetap bersaudara.” Dan Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan NU tersebut. a. Representasi (ide) Pada judul keempat yang sekaligus menjadi judul terakhir pada tema Kepemimpinan Moral Spiritual ini, Alm. K.H. Abdurrahman Wahid mengartukulasikan ide didalam tulisannya tentang “pandangan yang konsistensi terhadap organisasi” dalam konteks ini ialah organisasi NU. Kemasan ide ini mampu dilihat dalam tulisannya pada paragraph kedua, paragraf kelima, paragraf ketujuh, kedelapan, paragraf kesepuluh. Konsep ide tentang ini makin eksplisit sekali bila kita simak pada paragraf ketiga belas. Pada paragraf berikutnya kita akan menyimak kupasannya tentang perbedaan pandangan yang tak terelakkan di dalam tubuh NU sendiri, namun tidak menggerus habis semangat persaudaraan yang menjadi basis dimana NU hadir dan berdiri. b. Objek Dalam judul ini sudah tentu yang menjadi focus tulisan ialah Tuan Guru Faisal sebagi pimpinan pengurus wilayah Nahdlatul Ulama NTB. Karena dalam tulisan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid memang lebih intens mengangkat lika-liku perjalan Tuan Guru Faisal pada karir organisasinya di NU. Ini bisa kita lihat pada paragraf kedua judul ini.
69
c. Interpretasi (makna) Tuan Guru Faisal adalah contoh yang sangat berbicara tentang sikap saling menghormati di antara orang yang berbeda pandangan sekalipun di tubuh NU. Tuan Guru Faisal adalah contoh dan potret dari kepribadian NU sejati, yang sangat mengutamakan persaudaraan. Persaudaraan adalah salah satu basis penting di mana NU hadir dan berdiri. Atas dasar persaudaraanlah NU memiliki trilogi hubungan: ukhuwah islamiyah (hubungan persaudaraan antaraumat Islam), ukhuwah basyariyah / insaniyah (persaudaraan antarumat manusia) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antarnegara dan bangsa). Mungkin karena sikap dan pandangan yang konsisten sekaligus kecintaannya pada organisasi NU, yang membuatnya bisa menghargai arti perbedaan untuk memperkaya wawasan hingga pada akhirnya menimbulkan kesamaan misi, misi untuk bisa membawa NU ke arah yang lebih baik, untuk tidak hanya menjadi basis politik umat islam pada waktu itu, namun juga menjadi organisasi besar yang meneduhkan para penghuni didalamnya “masyarakat Islam”. Dan diharapkan mampu meminimalisir politisasi berjubah agama.
D. Analisis Semiotik Beranjak dari sistem tanda (representasi, objek, dan interpretasi) sebagai kerangka untuk melihat bentuk makna, pada tema Kepemimpinan Moral Spiritual bagian ketiga buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman
70
yang telah diuraikan di atas pada keempat judul yang berada didalamnya. Maka bisa kita lihat bentuk makna yang dibawa (termediasi) melalui gagasan ide dalam tulisannya pada tema Kepemimpinan Moral Spiritual. Yang sekaligus menjadi peneguhan kembali kepedulian Alm. K.H. Abdurrahman Wahid pada persoalan-persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju demokrasi. 1. Judul pertama “Romo Mangun Yang Bijak”. Melalui tulisan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid yang bercerita tentang sosok Romo Mangun mengandung makna tentang arti pentingnya sifat toleransi dan pluralisme beragama sebagai modal dalam kerukunan hidup bermasyarakat dan bernegara. Seperti kita ketahui bahwa Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang subur di wilayah Indonesia, Hinduisme dan Buddhisme terjalin erat dalam perkembangan kerajaan-kerajaan awal di negeri ini. Setelah sekitar satu millennium, dominasi Hindu-Buddha, kebudayaan Islam menyebar hampir seluruh Indonesia.1 Di bawah pengaruh-pengaruh demikian, kebudayaan Indonesia menjadi sangat majemuk dengan beragam agama dan kepercayaan yang dianut penduduknya. Oleh karena itu, pemeliharaan kerukunan dan toleransi menjadi penting bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Seharusnya kita mampu belajar dari Sejumlah kasus kerusuhan dan konflik sosial yang telah terjadi diberbagai daerah di Indonesia dalam 1
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Badung: Mizan, 2008), cet. Ke-2, hal. 258
71
beberapa waktu terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan Ambon (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku utara (2000), dan beberapa tempat lainnya. Konflik-konflik ini sebenarnya bermula oleh persoalan kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Namun, eskalasi konflik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas.2 Dari permasalahan ini kita bisa simpulkan bahwa sebab kerukunan beragama terkait dengan berbagai bidang kehidupan yang luas, seperti ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya. Dari kasus yang telah tersebut di atas maka menciptakan forum diskusi atau dialog antaragama atau seagama sangat perlu untuk memperkaya wawasan. Melalui forum dialog dengan orang lain, kita mampu mengidentifikasi isu-isu seperti masalah sosial, politik, ekonomi, perilaku secara satu persatu dan membuatnya menjadi focus kita bersama. Keberhasilan dalam upaya menacari pemecahan masalah tersebut, pada akhirnya akan menumbuhkan rasa saling percaya dan menyemangati untuk mencari interaksi yang lebih bermakna. Pergaulan antar ummat berbeda agama pada saat bersamaan lebih memfokuskan diri pada aspek-aspek universal yang ada pada semua agama seperti dharma, kasih, dan menegakkan keadilan dan berbuat kebajikan untuk semua ummat manusia, terlebih bagi umat Islam yang
2
Muhammad M. Basyuni, esai-esai keagamaan, (Jakarta: FDK Press, 2008), hal. 10
72
berkewajiban menjadikan Islam sebagai rahmat atau sumber kasih sayang bagi seluruh alam. Dengan kata lain, pengertian pluralisme beragama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.3 Perlu secara sadar melanjutkan upaya tersebut sehingga kerusuhan berjubah agama dan segala implikasinya tidak perlu lagi memperoleh ruang
untuk
mengkambing
hitamkan
agama
yang
berakibat
menyengsarakan ummat beragama. Dan ini bisa ditempuh dengan cara mengadakan forum diskusi atau dialog, yang nantinya mampu meredam konflik-konflik horizontal baik intern ataupun antar agama. 2. Pada judul kedua “Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan”. Melalui kisah Gus Miek sebagai seseorang yang memiliki reputasi supernatural, Alm. K.H. Abdurrahman Wahid ingin menghadirkan makna tentang keobjektifan memandang dan berpikir bahwa dibalik kelebihan akan selalu ada kekurangan. Alm. Gus Dur memang tidak dapat dipungkiri akan kelebihan “supernatural” yang dimiliki Gus Miek. namun yang diharapkan oleh Alm. Gus Dur ialah hanya ingin menunjukkan tingkat kompleksitas lingkungan dimana Gus Miek berada, jangan sampai ada pengkultusan seperti kebiasaan yang dilakukan sebagian kalangan masyarakat kita, karena bagaimanapun Gus Miek adalah Manusia biasa yang mempunyai hawa nafsu bukan malaikat. 3
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Badung: Mizan, 2008), cet. Ke-2, hal. 41
73
Pandangan Gus Miek tentang potensi perbaikan diri pada setiap manusia mengarahkan interpretasi kita, “bahwa kehadiran agama ialah untuk meringankan kesengsaraan manusia namun penggunaan kekerasan atau hardikan untuk mencapai tujuan mulia tersebut sungguh tak dapat dibenarkan”.Oleh sebab itu Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas sema‟an dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotek, night club, coffe shop dan “arena persinggahan perkampungan” orang-orang tuna susila. Dikedua tempat itu ia berperan sama, memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang sedih, menyantuni mereka yang lemah, dan mengajak semua kepada kebaikan. Karena memang Islam mengajak dan membimbing orang untuk tidak menjadi saleh dan benar sendiri saja (salah satu golongan saja), tetapi juga berusaha untuk memperbaiki orang lain4. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana beranjak dari kesalehan individual kearah kesalehan sosial. Dari metode dakwah Gus Miek inilah, para tokoh agama ataupun ormas Islam mampu bercermin tentang semangat dan esensi din (ajaran Islam) tentang nilai-nilai ideal Islam seperti tasammuh (toleransi), I’tidal (moderasi), dan ‘adl (keadilan), yang akan mengangkat standar 4
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Badung: Mizan, 2008), cet. Ke-2, hal. 253
74
pengetahuan Islam dan menimbulkan ketertarikan bagi yang belum mengenal
atau
masih
sedikit
mengenal
Islam.
Bukan
malah
memperlihatkan sikap-sikap ekstrimisme yang timbul dari fanatisme (menganggap dirinya paling benar) dan sikap tidak toleran sehingga kecenderungan untuk mudah menuduh orang lain sebagai bid’ah, kufur, dan sesat.5 Yang pada akhirnya akan menggiring ke arah perselisihan internal maupun eksternal dan perpecahan perlahan-lahan. Dan apakah mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk mengikuti nilai-nilai ideal Islam yang telah tersebut di atas, jika kita sendiri gagal memperlihatkan nilai-nilai tersebut di atas. 3. Judul ketiga “In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq”. Dalam kupasannya tentang sikap dan kepemimpinan Alm. K.H. Achmad Shiddiq alias Gus Miek, Alm. Gus
Dur ingin menekankan
pesannya bahwa NU mempunyai doktrin moderatisme (tawassuth) dan toleransi (tasamuh) yang secara eksplisit mengedepankan moralitas dan etika sosial (al- mashlahah al-„ammah), menjunjung tinggi perdamaian dan keadaban, serta menolak kekerasan.6 Sikap dan kepemimpina Alm. K.H. Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam PBNU pada dekade 80-an yang membawa kapal NU berhasil melalui badai besar dan kembali kepada khittahnya pada tahun 1926. Khittah 1926 menjadi populer pada tahun 1983-1984, dalam mukktamarnya yang ke-27
5
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Badung: Mizan, 2008), cet. Ke-2, hal. 256 6 Hilmy Muhammadiyah&Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas, 2004), hal.98
75
di Situbondo, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926. Salah satu sebab NU kembali pada khittahnya ialah keterlibatannya yang secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis, yang pada gilirannya menjadikan NU tidak lagi berjalan sesuai dengan kelahirannya sebagi jam’iyah yang ingin berhikmat secara nyata kepada agama, bangsa, dan Negara.7 Ini memberi arti bahwa NU mencabut diri dari keterlibatan politik praktis, yang sudah dimulainya dari tahun 1952-1973. Dengan adanya Khittah ini tersebut, NU tidak akan lagi membawa nama organisasi untuk berbicara mengenai politik praktis. Artinya, haramlah bagi pengurusnya untuk mengajak warganya agar mendukung salah satu kontestan dalam pemilu. Namun, tidak dalam kegiatan politik secara makro, NU masih ikut bertanggung jawab untuk membicarakannya, seperti mengenai Pancasila dan UUD 1945.8 Khittah 1926 ini dimaksudkan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Yang kemudian akan menangani program utama di bidang keagamaan, dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Lalu keberhasilannya untuk mengulurkan tangan persaudaraan kepada Muhammadiyah yang disambut baik oleh Pak AR sebagai pemimpin Muhammadiyah saat itu, dan juga mampu diterimanya
7
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Lkis, 2000), hal.
8
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Lkis, 2000), hal.
37 42
76
Pancasila sebagai azas tunggal bagi NU pada Munas Ulama NU di Situbondo pada bulan Desember 1983, yang sebelumnya menjadi polemik sebagian besar ulama didalam keorganisasian NU sendiri. Pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal NU, dipertegas pada muktamar dipenghujung tahun 1984 yang diadakan di Situbondo kembali, dan Muhammadiyah melakukannya pada tahun 1985.9 K.H Achmad Shiddiq merupakan representasi kiai NU yang secara jelas menekankan pentingnya tali kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah) dan tali kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah), selain tali keislaman (ukhuwah islamiyyah). Ini Merupakan cerminan sekaligus derajat kompetensi yang harus dimiliki bagi pengurus PBNU dan setiap para calon pemimpin tertinggi NU di masa mendatang. NU merupakan jam’iyah pergumulan pemikiran untuk secara aktif melahirkan gagasan-gagasan orisinil di bidang keagamaan, sosial, ekonomi, termasuk juga politik. Sedangkan dari sisi structural, di setiap kurun waktu, NU mempunyai pola implementasi. Adalah sebuah kekeliruan apabila NU menutup diri dari salah satu tiga visi Islam (aqidah, syari’ah, dan siyasah).10 4. Judul keempat “Tuan Guru Faisal Potret Kepribadian NU”. Pada judul terakhir tema Kepemimpinan Moral Spiritual ini, Alm. K.H. Abdurraman Wahid masih memfokuskan pembahasannya pada
9
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Lkis, 2000), hal.
28 10
Hilmy Muhammadiyah&Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas, 2004), hal. ix
77
ormas NU dimana beliau berkecimpung didalamnya. Melalui kenangannya bersama Tuan Guru Faisal tentang sikap dan pandangan yang konsisten sekaligus kecintaannya pada organisasi NU, Alm. Gus Dur ingin mentransfer pesannya tentang semangat persaudaraan di atas perbedaan pandangan. perbedaan pandangan atau penafsiran antara Tuan Guru Faisal dan Gus Dur mengenai arti Khitah 1926. Kalau Gus Dur menganggap khitah NU itu tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun, artinya kita tidak boleh membantu mereka. Tuan Guru Faisal tidak demikian. Beliau hanya membatasi pada penafsiran bahwa yang tidak boleh itu adalah merangkap kepengurusan. Bila hanya menunjukkan simpati, kata Tuan Guru Faisal, itu boleh-boleh saja. Beliau berargumentasi bahwa dalam kenyataannya banyak pimpinan NU yang menunjukkan keberpihakan mereka pada Golkar. Tetapi dalam pandangan Gus Dur, menunjukkan simpati itu pun menyalahi khitah, sama saja apakah ke PPP, ke Golkar atau ke PDI. Pada saat Muktamar di Situbondo tahun 1984, perdebatan mengenai khitah antara Gus Dur dengan Tuan Guru Faisal tak bisa dielakkan. Perdebatan berlangsung hingga pagi, namun perbedaan pandangan antara mereka tetap saja tidak bisa dipertemukan. Meskipun dalam alam pikiran yang berbeda, tetapi Tuan Guru Faisal dan Gus Dur tetap ingin mewujudkan keinginan bersama, yakni mencintai dan mengabdi cita-cita NU.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam pembahasan ini, Semiotika penulis gunakan untuk membedah pemaknaan teks dari buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. Di dalamnya telah penulis lakukan pembatasan pada pembahasan yakni hanya mengkaji tema kepemimpinan moral spiritual. Kaitannya dengan hal tersebut semisal bagaimana pemaknaan terhadap simbol-simbol kepemimpinan yang diulas dalam buku tersebut? dan apa kaitannya dengan karakter kepemimpinan dalam arahan Gus Dur? Pierce membangun teori semiotika sebagai struktur yang dimulai dengan Representasi, Objek, dan Interpretasi. Ia menjelaskan bahwa teori utama (grand theory) dalam kajian semiotika yang relevan dalam mengkaji teks adalah Representasi, Objek, dan Interpretasi. Gagasan dalam teori tersebut bersifat menyeluruh, totalitas makna, memperjelas deskripsi struktural dari semua sistem penandaan yang ada dalam buku. Keinginannya untuk perkembangan semiotika adalah mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan
kembali
semua
komponen
dalam
struktur
tunggal
(perceptiveness), sehingga makna yang ingin disampaikan oleh buku dapat terbaca oleh publik. Charles Sanders Pierce dalam mendefinisikan tanda atau simbol menggunakan dua pendekatan yang saling berkaitan yaitu representations dan
78
79
interpretations. Secara sederhana, semiotika mengungkap objek tanda dan menganalisanya sehingga menjadi ide (representasi), objek, dan (interpretasi). Pemaknaan objek tersebut yang menjadi konsentrasi pembahasan semiotika, bagaimana menafsirkan sesuatu dengan melihat dari simbol sebagai representasi dan berubah menjadi makna atau interpretasi. Sehingga tanda yang tersembunyi memiliki makna setelah di analisa. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah yang dapat digunakan sebagai pembatasan pembahasan ini. Pertama, tolerance atau sifat menerima perbedaan, poin ini memberikan gambaran
bagaimana
Gus
Dur
melihat
Indonesia
sebagai
wilayah
heterogeneous (penduduk yang aneka ragam). Kondisi demikian adalah pemahaman Gus Dur yang jarang dimiliki oleh tokoh lainnya. Dan memang, pemikiran tersebut penting untuk suatu pengayoman. Kedua, moderate atau dapat menjaga keseimbangan antara wilayah pribadi (personal zone) dan kepentingan bersama (publik good). Jiwa kepemimpinan dituntut untuk general think dan jiwa pengikut harus local think. Sehingga kebutuhan publik tercapai dengan jalan elegance. Ketiga, equitable atau kemampuan untuk dapat berlaku adil dan seimbang, memahami semua persoalan yang ada dengan kebijaksaan.
B. Saran Pada bagian ini, penulis ingin memberikan beberapa saran yang terkait secara langsung dalam pembahasan hasil penelitian ini. Selama penulis
80
mengkaji beberapa literasi semiotika, ada dua hal pokok yang menjadi saran penulis terkait kajian semiotika dewasa ini. 1. Kajian Semiotika, sebagai kajian penting dalam perkembangan ilmu setidaknya memiliki ruang lebih dalam ranah Komunikasi. Ilmu Komunikasi tidak saja berbicara dalam scoop proses interaksi, feedback, dan juga transaksi. Namun lebih dari itu sebagaimana dikembangkan dalam kajian Semiotika, yakni pemaknaan. Dengan asumsi demikian, mahasiswa ataupun akademisi ilmu Komunikasi menaruh perhatian yang lebih luas untuk mendalami semiotics. Yang tidak hanya pada pembedahan pada buku dan teori pearcean namun pada hal-hal lain yang menjadi tanda dan dengan teori selain Charles Sanders Peirce. 2. Masyarakat atau public sebagai penerima pesan dari buku, teks-teks, dan juga simbol-simbol lainnya termasuk tayangan televisi seyogyanya mampu bersikap kritis dan memberikan penilaian terhadap pesan tersebut. Disinilah pentingnya proses semiotician untuk memberikan gambaran jelas dalam
menafsirkan
suatu
tanda
(pesan).
Sehingga
masyarakat
mendapatkan apa yang disampaikan oleh sumber pesan (penulis buku). 3. Pada bagian ketiga dengan tema Kepemimpinan Moral spiritual dalam buku Gus Dur Mejawab Perubahan Zaman ini bisa dijadikan referensi dan tauladan dalam menumbuhkan sikap perilaku yang toleran, moderat, dan equitable atau berperilaku adail dan seimbang, sebagai landasan paling mendasar yang harus dipelajari dan dimiliki bagi para insan yang mempunyai jiwa-jiwa kepemimpinan.
DAFTAR PUSTAKA Azizy, Ahmad Qodri A., Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: Lkis, 2000 Basyuni, Muhammad M., esai-esai keagamaan, Jakarta: FDK Press, 2008 Danesi, Marcel, Pengantar Memahami Semiotika Media, Yogyakarta: Jalasutra, 2010 Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an dan Tafsirnya, Jilid XI, Juz 29, Jakarta: YPPA, 1995 Faisal Ismail, Islam Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah Yogyakarta; PT Tiara Wacana Yogya, 2001 Kriyantono, Rachmat, Panduan Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006 Madjid, Nurcholis, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat,Jakarta: Penerbit Paramadina. 1999), h. 97 Muhammadiyah, Hilmy & Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: Elsas, 2004 Mustafa, Dakwah Media Tulisan, Artikel diakses pada tanggal 3 Januari 2011 dari http://www.Alumnigontor.com Pialang, Yasraf Amir, Membaca Tanda, Memahami Komunikasi, Kata Pengantar dalam Buku Semiotika Komunikasi Visual Karya Sumbo Tinarbuko, Yogyakarta: Jasutra, 2008 Rahmat, Jalaluddin, The Road to Allah. Bandung: Mizan, 2007 Romli, Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001 Selvilla, Consuelo G., Pengantar Metode Peneitian, UIP, Jakarta :1998 Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Badung: Mizan, 2008, cet. Ke-2 Sobur, Alex, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing, Bandung: Rosda, 2006 __________, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-3 Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, pen. Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
81
82
Suf Kasman, Jurnalisme Universal Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2008 Wahid, Abdurrahman, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia. Yafie, Ali, Khazanah Informasi Islam, Jakarta: Pustaka Panimas, 1989