Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
KARAKTERISTIK MANUSKRIP ACEH-JAWI DI NUSANTARA Oleh: Hermansyah, MA.Hum (Staf Pengajar Kajian Teks dan Naskah di Fakultas Adab, IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh.) Abstrak Manuskrip karya ulama-ulama Aceh dalam bahasa Jawi (Melayu) menjadi “kiblat” bagi ilmuwan di Melayu-Nusantara dalam pelbagai bidang keilmuwan setiap abadnya. Bidang tauhid, tasawuf dan fiqh menjadi prioritas utama yang menghiasi tumbuh berkembangnya tarekat dan lembaga keagamaan. Sedangkan bidang bahasa (nahw, sarf dan balaghah) pun menjadi wajib dalam pengembangan ilmu utama. Di sisi lain, bidang artistik, pengetahuan dan kesenian ikut serta menghiasi manuskrip-manuskrip Melayu. Karakteristik manuskrip tersebut ikut serta mengangkat martabat Aceh-MelayuPeranan ulama mengarang dan menulis kitab sebagai naskah-naskah klasik saat ini telah memberikan ruang dan informasi perkembangan agama, budaya, sosial masyarakat dan kehidupan kompleksitas tersebut. Karangan ulama-ulama hadir setiap zaman dan periodenya secara silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan kultur masyarakat, adat budaya, sosial-politik dan ekonomi. Periodisasi pengarangan dan penulisan naskah telah terjadinya perubahan dan pergeseran kajian dan kandungan naskah tersebut, demikian periodisasi pernaskahan di Aceh dapat dipilah menjadi tiga bagian, pertama; periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua; masa kemunduran kerajaan Aceh, dan ketiga; pada masa peperangan Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut memiliki corak isi kandungan naskah yang berbeda dan keistimewaan tersendiri dipengaruhi oleh sosial-politik yang terjadi dan perkembangan cara berpikir setiap masanya menjadikan manuskrip Aceh dan Melayu tetap eksis.
Pendahuluan Islamisasi di Nusantara memiliki karakteristik tersendiri dari negara-negara Islam di dunia, bahkan karakter tersebut menonjol di beberapa wilayah di Nusantara berbasis kerajaan atau kesultanan Islam, perpaduan Islam Arab sebagai sumbernya dengan adat budaya lokal di Nusantara menghadirkan keistimewaan pengetahuan dan khazanah di Nusantara. Proses perpaduan dua kultur tersebut terjadi berabad-abad lamanya, sampai pada fase penyesuaian terhadap intelektual dan budaya lokal, perbedaan pro kontra dalam lintas sejarah Islam Nusantara memberikan esensi muatan Islam tersendiri di Nusantara. Karakteristik Islamisasi terjadi baik pada bidang budaya, adat, sejarah, dan intelektual khususnya, termasuk intelektual pemikiran keagamaan, ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, maupun beberapa bidang lainnya yang mempengaruhi pada perkembangan keagamaan dan keilmuan sejak abad ke-13 sampai awal abad ke-19, tepatnya pada masa munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, seperti kerajaan Islam Peureulak (Perlak), kerajaan Islam Samudera Pasee (Pasai), kerajaan Pedir (Pidie) dan kerajaan Islam Aceh Dār al-Salām. Beberapa kajian telah difokuskan tentang intelektual Melayu-Nusantara (khususnya Aceh), seperti Hasjmy dan Zainuddin merujuk kepada beberapa catatan awal sejarah menyimpulkan bahwa Islam hadir di Aceh sejak tahun 800 M (173/183 H),1 sesuai dengan kajian Yunus Jamil dalam merunut daftar raja-raja Pereulak (Perlak),2 Aboebakar menyimpulkan dari kedua sumber (Barat dan Timur) menemukan proses tahun Islamisasi yang bersamaan.3 Catatan penting yang tidak bisa diabaikan adalah perjalanan Ibnu Batutah yang merekam sejarah perjalanan lawatannya ke Cina dan menyempatkan dirinya singgah di Pasai pada tahun 1316 M atau pada masa pimpinan Sultan Malik al-Zahir.4 Dalam bukunya “Rihlah” ia mencatat sultan di kerajaan yang disinggahi
7
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
itu alim dan bijaksana, iapun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama dari negeri Arab dan cendekiawan Persia berdatangan serta menetap untuk mengajar di negeri tersebut.5 Ilmuwan Barat seperti Winstedt, Wilkinson, Maxwell dan W. Marsden, atau beberapa ilmuwan masa penjajahan dan pasca kolonial di Nusantara seperti Snouck Hurgronje, Moquette, Hushoff Poll, Rouffaer, Drewes dan A. Teeuw memiliki persepsi yang berbeda dan menyimpulkan bahwa Kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam di Nusantara muncul pada pertengahan abad ke-13 sesuai dengan peninggalan artefak (batu nisan) yang terdapat di pemakaman kesultanan Samudra Pasai. Perbedaan pendapat kelompok “sejarawan” hadir dari sumber yang beragam dan berbeda, melalui sumber manuskrip (filologi) dan lainnya bersumber artefak berupa batu nisan dan prasasti (arkeologi) di Aceh, perbedaan masa proses Islamisasi juga disebabkan geografis hadirnya Islam di Aceh yang tidak terekam dalam sejarah Islam Nusantara secara lengkap dan menyeluruh, baik melalui kajian manuskrip terkenal seperti Bustān al-Salātīn, Hikayat Aceh, Hikayat Raja-raja Pasai, dan naskah lain yang sezaman dengannya. Sejak berdirinya Kerajaan Aceh abad ke-15 M, telah mempengaruhi kerajaan-kerajaan wilayah di pesisir Timur dan Barat Aceh (Sumatra) seperti Pedir, Pasai, Perlak, Aru, dan Dili, demikian juga di wilayah Malaya (Malaysia), hingga sampai pada penyatuan kerajaan Pasai kedalam kerajaan Aceh Durussalam. Dalam naskah Bustān al-Salātīn fi Zikr al-Awwalin wa al-Akhirin karya Nūr al-Dīn al-Rānirī (Nuruddin al-Raniri) merekam beberapa wilayah kerajaan yang dikuasai oleh kerajaan Aceh, dan mengungkapkan terdapat jalinan dan jaringan kuat antara kerajaan Pasai dan Aceh Darussalam di Banda Aceh. Penyatuan dua kekuasaan juga telah menjadikan beberapa tokoh alim ulama hijrah ke Koetaradja, faktor perpindahan ini dikarenakan pusat keilmuwan dan kekuasaan ibukota kerajaan Aceh berada di Koetaraja, diantaranya ulama Pasai adalah Shams al-Dīn bin ‘Abd Allāh al-Pasai al-Sumatrānī (wafat Senin, 12 Ra’jab 1039 H / 25 Februari 1630 M),6 ia menjadi Qadhi Malikul Adil dan Ketua Balai Gadeng (beranggota 7 ulama dan 8 ulee balang) pada masa Sultan ‘Alá al-Dīn Ri’āyat Shāh IV Sayyid al-Mukammil (997-1011 H /1589-1604 M) dan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1016-1045 H/1607-1636 M). Eksistensi kerajaan Aceh sebagai kerajaan Islam di Asia Tenggara menumbuhkan perubahan pemikiran yang berawal dari peranan ulama-ulama Arab dan atau ulama Nusantara yang belajar di Jazirah Arab yang didukung dan disokong oleh Sultan-sultan yang berkuasa setiap zamannya, memiliki otoritas dan kekuatan diberbagai lini, termasuk perhatiannya terhadap pengetahuan dan keagamaan. Maka Azra, telah menempatkan Aceh, para ulamanya, beserta karya-karya tulisnya sebagai poros utama jaringan keilmuan Islam di dunia Melayu-Nusantara dengan Makkah dan Madinah pada abad ke-17.7 Peranan ulama menulis kitab sebagai naskah-naskah klasik saat ini telah memberikan ruang dan informasi perkembangan agama, sosial masyarakat dan kehidupan pada suatu masa, karangan ulama hadir setiap zaman dan abad, secara silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan kultur masyarakat, sosial-politik dan ekonomi. Sesuai masanya, periode penulisan dan penyalinan naskah di Aceh setidaknya terbagi tiga masa, pertama periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua masa kemunduran kerajaan Aceh dan periode terakhir pada masa perang Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut memiliki kandungan naskah yang berbeda dan ciri khas dan keistimewaan tersendiri khususnya naskah sufistik dan kesusasteraan. Keunggulan Intelektual Aceh dan Karyanya Sepanjang Abad Pada abad ke-16 dan ke-17 Aceh mencapai puncak keselarasan dalam semua bidang, terutama sentrum keagamaan, pemikiran dan intelektual. Aceh memiliki peranan penting pada awal-awal penyebaran Islam di Melayu-Nusantara secara damai, dialog dan akademis, posisi para ulama sangat penting dalam pembinaan masyarakat, roda pemerintahan dan hubungan nasional serta Internasional, beberapa karya kitab ulama
8
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
menjadi rujukan bagi sultan-sultan dalam menjalankan pemerintahan tata negara dan qanun (undangundang) serta pedoman masyarakat dalam melaksanakan rutinitas dan ibadah sesuai dengan syariat Islam. Beberapa ulama dari luar Aceh (Melayu dan Nusantara) mengenyam pendidikan di Aceh, sosok Syeikh Yusuf al-Makassari (wafat 1699 M) dari Sulawesi, Syeikh Burhanuddin Ulakan (wafat. 1699 M), Syeikh Abdul Muhyi (wafat 1738 M) dari Pamijahan (Jawa), Syeikh ‘Abd al-Rahman Minangkabau dan Syeikh Nawawi al-Tsani al-Bantani juga pernah mengecap pendidikan di Aceh, Syeikh Abd al-Shamad al-Palimbani dan Syeikh Daud al-Fathani (wafat 1874 M) dari Thailand Selatan, keduanya menerima ijazah muqaranah tarekat dan ilmu dari Syeikh Muhammad Zain bin Syeikh Faqih Jalaluddin al-Asyi di Aceh. Sealur dengan banyaknya ulama-ulama luar yang eksis di Aceh bergandengan dengan ulama-ulama dalam negeri (lokal) baik mereka yang pernah mengenyam pendidikan di jazirah Arab maupun tidak. Hasil karya kitab ulama-ulama kelahiran Aceh pada masa kesultanan sangat produktif, memiliki kedudukan penting bagi perkembangan Islam di Nusantara dan menghasilkan karya yang berbobot sebanding dengan ulamaulama luar Aceh, seperti karya Syeikh Hamzah Fansuri berjudul Asrār al-Arifīn fī ‘Ilmi al-Sulūk wal Tauhīd, Syarab al-‘Asyiqīn wa Zīnat al-Muwahhidīn, al-Muntahī, dan ontology syair-syairnya yang konsen dalam bidang filsafat, tasawuf dan tauhid.8 Syair-syair Hamzah Fansuri sebagai kunci pembuka pintu dunia kesusasteraan dan menjadi penggagas sekaligus pelopor sastra klasik di dunia Melayu dan Nusantara, menurut Al-Attas bahwa Hamzah Fansuri adalah pujangga Melayu terbesar dalam abad ke-16 dan ke-17 M, penyair sufi yang tidak ada tandingan dan bandingan pada zaman itu, sekaligus pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu. Keagungannya dan kealimannya pada zaman kesulatanan Aceh diakui oleh orang-orang dari Eropa seperti Frederich de Houtman dan John Davis (1599 M), Sir James Lancaster (1602 M) menyebutkan “syekh penasehat agung raja” dan “uskup/imam agung”. Ulama Syams al-Dīn bin ‘Abdullāh al-Sumatrānī (wafat Senin, 12 Ra’jab 1039 H / 25 Februari 1630 M) sebagai Qadhi Malikul Adil pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), mengarang puluhan kitab dibidang tasawuf, akhlak dan tauhid, diantara Mir’at al-Mukmin, Jauhar al-Haqāiq dan Mir’at al-Muhaqqiqīn, dan lain sebagainya. Kebesaran dan keahliannya diakui langsung oleh Syeikh Nūr al-Dīn al-Raniri dalam karya fenomenalnya Bustān al-Salātīn pada bab 2 pasal 13, dari 7 bab keseluruhannya, menyebutkan telah wafat Syams al-Dīn bin ‘Abdullāh al-Sumatrānī pada hari Senin 12 Ra’jab 1039 H, adalah ia yang alim dalam ilmunya dan wara’ dalam bidang Tasawuf pada masanya. Catatan penting dalam kitab Bustān al-Salātīn mampu mengurut silsilah sultan Aceh Dār al-Salām, dan merekam rutinitas sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani, salah satunya kunjungan ziarah ke makam kesultanan Samudra Pasai dan penghormatannya kepada Syams al-Dīn al-Sumatrānī. Ini sekaligus menegaskan tidak adanya kontak face to face antara Nūr al-Dīn al-Raniri, Syams al-Dīn al-Sumatrānī dan Hamzah Fansuri, walau perhatian Nūr al-Dīn al-Raniri lebih pada tasawuf dan ketauhidan dalam menentang ajaran Wujudiyyah (Wahdat al-Wujūd) yang dikembangkan pada masanya. Ulama Aceh masyhur dan ‘keramat’ di masyarakatnya ialah ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Jawī al-Singkilī (wafat 1693 M), mengeyam ilmu 19 tahun di Mekkah-Madinah dan menjadi Syeikh al-Islam dan Mufti Kerajaan menggantikan posisi Nūr al-Dīn al-Raniri, karyanya lebih dari 30 judul kitab berbagai disiplin ilmu dalam waktu yang relatif singkat berada di Aceh, di antaranya Mir’at al-Thullāb fī Tashīl Ma’rifah al-Ahkām, Turjumān al-Mustafīd al-Jāwi dan Sullam al-Mustafidīn, dan lain sebagainya yang masih menjadi rujukan dan kajian para sarjana sampai saat ini. Pola pemikiran yang terbangun pada abad ke-16 di Aceh pada bidang keagamaan, tasawuf (falsafat) dan ketauhidan hingga abad ke-17 berkembang pada ilmu-ilmu lainnya, pada dua masa tersebut dapat
9
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
membentuk suatu jaringan keilmuan Aceh dengan perkembangan keilmuan di jazirah Arab, banyaknya kiprah ulama-ulama jazirah Arab tidak menghentikan kiprah ulama Aceh dalam mengembangkan ilmunya. Dan jaringan lainnya hubungan perdagangan dan diplomasi dengan negara-negara Eropa yang tidak mempengaruhi pola pikir kehidupan masyarakat Aceh. Perjalanan keilmuan Aceh dalam karya tulis (manuskrip) sejak akhir abad ke-18 dan abad ke-19 terjadinya proses transisi keilmuan pada masyarakat, berkembang pada kandungan ilmu-ilmu terapan lainnya, kecenderungan memiliki kandungan perkembangan sufistik (tarekat) dan kandungan roman epic dan patriotisme (kesusteraan). Masing-masing keduanya memiliki latar belakang yang kuat dan rentang waktu yang berbeda, hadirnya tarekat di Aceh adalah simbol kekuatan kerohanian dalam ajaran Islam, sedangkan hadirnya roman patriotisme dalam kesusasteraan disadur dari bentuk dan pola syair-syair epos Arab dalam berperang menjadi syair-syair kesusteraan Melayu dan Aceh dalam membangkitkan semangat dalam menghadapi peperangan dengan penjajahan. Beberapa ulama Aceh abad ke-18 mengukir karyanya dengan tinta emas, Syeikh Jalāl al-Dīn Tursani yang juga menjadi salah satu penasehat Sultanah dalam karya Safinah al-Hukkām, Syeikh Jamāl al-Dīn bin Syeikh Kamāl, Syeikh Faqih Jalāl al-Dīn salah satu karyanya Manzal al-Ajlā ilā Rutbah al-A’lā, Syeikh Muhammad Zain kitab terkenalnya kasyf al-Kirām, Syeikh Abbdullah Al-Asyi menulis Syifā’ al-Qulūb, Ahmad Khatib Langien kitabnya berjudul Dawā’ al-Qulūb min al-‘Uyūb, dan lain sebagainya. Satu abad setelahnya (abad ke-19), nama-nama ulama yang masyhur menulis kitab diantaranya Syeikh Abbas Kuta Karang juga Qadhi Malik pada masa sultan Mansur Syah (1857-1870 M) terkenal Sirāj alZalām fi Ma’rifat al-Sa’ād wa al-Nahās dan kitab al-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah sebagai rujukan obatobatan herbal para tabib-tabib di Aceh, Syeikh Muhammad bin Ahmad Khatib Langien, Syeikh Daud Rūmi dikenal juga Teungku Chiek di Leupue karya terkenalnya berjudul Risālah Masāil al-Muhtadī li-ikhwān alMubtadī, menjadi salah satu kitab popular yang digunakan di dayah-dayah di Aceh, selain itu masih terdapat kitab Bidāyat al-Mubtadī bi-Fadh Allah al-Muhdī oleh Zayn al-Dīn atau dikenal sebagai Angku Besar Melayu Aceh. Pada periode terakhir diatas, karya para ulama tersebut dalam bidang keilmuan kurang menjadi perhatian disebabkan oleh faktor politik dan peperangan dengan Belanda, sehingga beberapa karya ulama menfokuskan pada patriotism dan semangat melawan penjajah, dari sinilah muncul beberapa karya seperti Hikayat Prang Sabi, sastra epos jihad dalam bahasa Aceh beraksara Jawi yang sangat fenomenal dikarang oleh Tgk H. Chik Muhammad Pante Kulu, Hikayat Prang Compeuni dikarang oleh Tgk. Nyak Ahmad dan Hikayat Maleem Dagang dikarang oleh Tgk Chik Pantee Geulima. Periode transisi tersebut juga terjadi pada perubahan-perubahan pola pikir dan pandangan para ulama sufistik dan intelektual, munculnya kemungkinan besar disebabkan kondisi sosial-politik yang dialami oleh para ulama, filosuf, dan intelektual muslim Aceh itu sendiri, situasi dan kondisi pada abad ke-19 jauh berbeda dengan abad ke-18 dan ke-17. Beberapa kajian dalam naskah tarekat juga terjadi pergeseran kandungannya, seperti kitab Manzal al-Ajlā ilā Rutbat al-A’lā karya Faqih Jalāl al-Dīn, dan kitab Sirāj al-Dīn karangan Tgk. Muhammad Ali Pulo Peub. Manuskrip Aceh Penggugah Dunia Naskah yang diproduksi pada zaman silam merupakan salah satu bentuk warisan bangsa, warisan khazanah Aceh dalam bentuk naskah jauh lebih luas informasinya dan lebih mendalam dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya dalam bentuk material seperti istana, mesjid, batu nisan, mata uang, prasasti. Sebagaimana diungkapkan Djamaris bahwa naskah kuno merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan daerah masa lampau yang sangat penting.9
10
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
Sumber yang berharga tersebut belum sebanding dengan perhatian dan kajian para pewarisnya generasi saat ini, kondisi tersebut disebabkan kurang memahami bacaan dan tulisan Jawi, juga disebabkan keberadaanya dikoleksi secara pribadi tanpa terawat dengan layak serta kurangnya publikasi akan naskahnaskah tersebut. Sesungguhnya manuskrips Aceh mengandung nilai yang cukup besar dan dapat memberikan sumbangan yang luar biasa untuk masa depan budaya bangsa. Naskah Aceh memiliki karakteristik dan kekhasan keislaman dan keacehan, keistimewaan tersebut sangat menonjol dari naskah-naskah lainnya di Nusantara, baik secara filologis yang mencerminkan identitas naskah keagamaan keislaman, kandungan isi, pembahasan dan metode penyampaian dalam semua bidang ilmu, maupun tentang kehidupan yang bernafaskan Islam, baik dalam proses sosial-budaya, spiritual keagamaan dan legitimasi politisasi kerajaan. Dari sisi kodikologis, sebagian besar manuskrip menggunakan alas naskah dari kertas Eropa yang memiliki cap kertas (watermark) bercorak islami, walaupun sebenarnya pada masa tersebut di Nusantara diyakini sudah mampu memproduksi kertas dan menggunakan alas naskah produk dalam negeri seperti daluwang, daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu dan rotan yang diproduksi dan dikembangkan oleh masyarakat lokal dengan tehnik bermacam ragam.10 Manuskrip karya ulama Aceh yang dimaksud termasuk dalam dua kategori, baik ulama luar Aceh yang berkiprah dan fokus terhadap Aceh, dan kedua kontribusi ulama pribumi sendiri sebagai anak bangsa, karya-karya yang menjadi buah tangan para tokoh alim ulama dan intelektual Aceh tampil dengan berbagai alasan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masanya sehingga perbedaan dan perubahan-perubahan dapat dilihat dan diperoleh kemudian setiap periode. Sastra Kitab karya syeikh Hamzah Fansuri dalam bentuk syair dialiri dengan hikayat perumpamaan atau Alegori Sufi. Syair-syair Hamzah Fansuri banyak diilhami para sastra sufi sebelumnya, terutama di Jazirah Arab dan Parsi seperti kitab Hadīqah al-Haqīqah karya Sana’i (w. 1131 M) dan antologi syair Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya sufi Syeikh Farid al-Din al-‘Attar (1136-1230 M) versi naskah tersebut tersimpan di Leiden Cod. Or. 3341, ia adalah salah seorang sufi Persia termasyhur, dalam karyanya yang berisi kumpulan fable, kisah ruhani dan berbagai hikayat yang membentuk kisah tunggal. Jika mendalami antologi puisi Hamzah Fansuri juga tak terlepas dari perumpamaan-perumpaman yang diungkapkan secara sufistik dan nilai-nilai ruhani melaui fable Syair Burung Pingai, Syair Pungguk dan Syair Ikan Tongkol atau tamsil seperti Syair Perahu dan Syair Dagang, tak terlepas dari ciri khas kesusasteraan dan penggambaran kesufian pada masa tersebut. Lambang-lambang berupa berbagai jenis burung dan binatang dengan keunikannya tersendiri dalam perjuangannya menuju kesempurnaan dipandang mengandung nilai didaktis yang tinggi bagi kaum sufi dalam pengembaraan mereka di jalan ruhani menuju satu titik pusat, yaitu Sang Maha Esa dan Kuasa. Serapan dan peminjaman kosakata bahasa Arab dalam syair-syairnya adalah bagian dari proses Islamisasi di Nusantara yang juga terintegrasi ke dalam bahasa Melayu, dan telah mendorong pemakaian kosa kata (vocabulary) bahasa Arab ke dalam tulisan naskah atau teks Melayu yang beraksara Jawi pada semua bidang ilmu, termasuk bahasa sastra (syair, puisi dan lainnya) melalui naskah-naskah karyanya sebagai pelopor utama di Melayu-Nusantara sebagai pengarang dan perintis sastra klasik. Dalam bidang sejarah, kitab terkenal Nūr al-Dīn al-Raniri berjudul Bustān as-Salātīn menjadi acuan para sejarawan dalam mengungkapkan sejarah kerajaan Aceh Darussalam, naskah yang dikarang atas permintaan sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Naskah akbar yang tersimpan di beberapa koleksi museum luar negeri, seperti di Belanda, Afrika, Inggris, Malaysia dan di Nusantara. menurut Braginsky, kitab ini begitu besar sehingga tidak tersimpan sebuahpun naskah yang mengandung semua babnya sekarang, biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu.11
11
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
Menilik isinya, Bustān as-Salātīn merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre sejarah universal dengan cermin didaktis dan bersifat teologis-historis, kandungannya terbagi kepada 7 bab dan 40 pasal, diawali dari penciptaan Alam dan segala makhluk-Nya, selanjutnya sirah Nabi-nabi, dan raja-raja di belahan dunia ini, termasuk kerajaan Aceh Darussalam, sedangkan tiga bab selanjutnya menjelaskan kriteria raja dan para menterinya sesuai syariat Islam, fokus utama selain historis tentang perjalanan raja-raja, juga mengutamakan pada etika, akhlak dan adab, sosok pemimpin yang mampu mengabdikan diri untuk rakyatnya, pada dua bab terakhir dalam naskah ini mengupas karakter manusia dan mengurai tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam. Naskah lainnya yang mengukir tentang sejarah sebelumnya adalah dalam bentuk roman India-Parsi seperti Hikayat Birma Syahdan, Hikayat Nahkoda Muda, Hikayat Bayan Budiman secara ekplisit menyerupai alur cerita Hindu. Perkembangan selanjutnya menyadur hikayat dari Parsi-Islam seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Ali Hanafiah, dan termasuk Taj al-Salātin, Hikayat Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, keberadaan Bustān as-Salātīn secara tidak langsung ‘terkesan’ melanjutkan kisah dalam Hikayat Melayu (Sejarah Melayu) walau tidak diketahui asli pengarangnya. Turjumān al-Mustafīd karya ‘Abd Rauf al-Singkili (1693 M) menjadi kitab Tafsir perdana di dunia Islam Melayu-Nusantara, hal tersebut juga menunjukkan kepakarannya sebagai mufassir dan perhatiannya dalam berbagai bidang ilmu, walau sudah banyak manjadi kajian para sarjana, termasuk Johns (1998). 12 Namun, di Aceh sendiri saat ini tidak terdapat satupun naskah tafsir Turjumān al-Mustafīd dalam versi reproduksi dan buku sebagai bacaan masyarakat luas, termasuk ukiran ilustrasi (iluminasi) dalam naskah tersebut yang memiliki makna sufistik tersendiri. Karya spektakuler lainnya di bidang fiqh berjudul Mir’at al-Tullāb fī Tashīl Ma’rifat Ahkam, Abd Rauf al-Singkili dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan penulisan kitab ini mempersiapkan untuk seluruh para raja-raja dan Qadhi (hakim) sebagai tuntunan bagi mereka, untuk itulah Abd Rauf al-Singkili selalu mengawali setiap awal pembahasannya dengan kalimat seperti “Adapun setengah daripada segala hukum yang seyogyanya diketahui oleh Qadhi akan dia itu, yaitu…”. Kitab ini dikarang atas permintaan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M) sebagai penengah yang dapat mengurusi berbagai masalah sosial-keagamaan, karena itu fokus utama dari kitab ini bukan pada fiqih ibadah (ubudiyah), melainkan fiqih muamalah yang lebih menekankan pada aspek-aspek hukum pidana dan perdata, termasuk sosial ekonomi. Bahkan kitab ini masih sangat relevan penerapannya di Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, karena sebagian besar pasal pembahasannya mengenai problem yang dialami oleh masyarakat, hukum jual beli, hukum riba, hukum khiyar, hukum segala mata benda dijual sampai sistem pembagian hasil sewa tanah, hukum mendirus tanam-tanaman, hukum penggunaan atau pemanfaatan lahan kosong dan usaha-usaha lainnya. Safinat al-Hukkām karangan Syeikh Jalāl al-Dīn Tursani juga salah seorang penasehat Sultanah membahas dalam kitabnya tentang hukum Islam yang membahas hukum dagang, hukum keluarga, hukum tata negara, adat, kanun dan reusam, hukum perdata atau pidana serta syarat-syarat Sultan, para menteri dan hakim (termasuk kejaksaan) serta teori-teori pemerintahan yang maju. Kitab ini dibagi kepada tiga bab, pertama tentang dagang, kemudian tentang nikah (perkawinan) dan terakhir menyangkut hukum pidana. Pada periode diatas (abad ke-16 dan ke-17), kandungan naskah-naskah lebih menyorot pada bidang hukum Islam dan hukum pemerintahan dan tatanegara, termasuk kabinet Sultan berupa para menteri termasuk kehakiman dan kejaksaan, perhatian karya lainnya pada bidang perdagangan dan bisnis (ekonomi), keduanya didukung oleh situasi dan kondisi Aceh saat itu dibawah kesultanan dan terjalin hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Pola alur penulisan sangat terlihat antara ulama-ulama Aceh pada masa yang berbeda, seperti kajian sejarah Melayu dan Aceh di kitab Bustān al-Salātīn dengan Hikayat Melayu, kajian
12
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
Qadhi dan Menteri antara kitab Bustān al-Salātīn dengan Mir’at al-Tullāb dan dengan Safinah al-Hukkām, sedangkan naskah sufistik dan patriotisme menjadi kajian tersendiri, juga telah terjadi pergeseran dan perubahan diakibatkan situasi dan kondisi Aceh. Abad ke-18 dan ke-19, kajian naskah ulama-ulama Aceh mengalir dan berkembang kepada ilmu pengetahuan dan patriotisme, beberapa intelek muslim Aceh mengisi bidang ini sebagai kajian dibidang ilmu pengetahuan sosial, alam, kedokteran dan lainnya. Naskah Ta’bir Gempa, naskah Takwil Mimpi, naskah Astronomi, naskah Biologi, Ilmu Hisab, naskah Tabib (obat-obatan) dan Nazam menghiasi keilmuan Aceh. Naskah Ta’bir Gempa salah satunya, walau tidak diketahui pengarangnya, namun ia menjadi pedoman para ulama dan intelektual di Aceh dan Nusantara selama berabad-abad. Kontekstulisasi memang tidak diabaikan oleh para pendahulu, dengan melakukan konservasi, investigasi dan intropeksi setiap kejadian pasca gempa, tujuannya untuk penggulangan dini secara cepat, tepat dan akurat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tentu sesuai dengan teknologi yang tersedia pada masa tersebut, sama dengan sistem teknologi yang digunakan zaman ini Early Warning System (sistem peringatan dini), geotomography dan teknologi Global Positioning System (GPS). Sedangkan naskah-naskah berbahasa Aceh pada periode ini lebih cenderung kepada syair-syair patriotisme, epic dan jihad, Tgk H. Chik Muhammad Pante Kulu, Tgk. Nyak Ahmad dan Tgk Chik Pantee Geulima dari sekian banyak pengarang dan penulis hikayat-hikayat heroic untuk membangkitkan semangat jihad dalam perang melawan penjajah pada saat deklarasi agresi Belanda I di Aceh pada tahun 1873 M. Perubahan bentuk karya ulama pada masa tersebut dari prosa ke pola syair ruba’i atau masnawi, sama dengan yang dilakukan oleh syeikh Hamzah Fansuri dalam syair-syair sufistik Melayu dalam membangkitkan semangat jiwa dan ghirah kepada Tuhan Sang Pencipta beberapa abad sebelumnya. Naskah Sufistik Tarekat di Aceh Naskah-naskah Aceh berisi kandungan tasawuf tak terhingga jumlahnya, hampi setiap periode zaman hadir berbagai naskah, selain pengaruh ulama-ulama Arab berkonsentrasi di Aceh dan kepribadian ulama-ulama Aceh sangat serius dan mendalam dalam membentuk karakter dan akhlaknya sebagai tauladan kepada masyarakat awam, karenanya antusias masyarakat untuk memupuk keimanan dan merawat keruhanian sangatlah besar, sehingga naskah-naskah yang dijumpai saat ini hampir terekam setiap pada masa lampau. Dalam ilmu tasawuf, Tarekat merupakan suatu organisasi tasawuf yang terdiri dari sekelompok mursyid dan murid untuk melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam suatu tarekat, munculnya tarekat dalam bermacam-macam bentuk bertebaran di berbagai wilayah di Aceh, diantara tarekat yang popular di kalangan masyarakat adalah tarekat Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Samaniyah, Syatariyyah, dan Rifa’iyyah.13 Sebagaimana yang telah disebut diatas tentang perubahan dan pergeseran kandungan ajaran sufi sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi di Aceh, seperti tarekat Naqsyabandiyyah salah satu yang berkembang pada masa kerajaan Aceh dan sekarang berkembang di wilayah Barat Aceh, tarekat Syattariyyah juga mencapai puncak kejayaan dari dua orang mursyid, syeikh Abd Rauf al-Singkili yang diperoleh dari gurunya dan syeikh Abd Wahāb Firus al-Baghdādy, keduanya dari jalur berbeda dan bertemu pada guru besarnya syeikh al-Qusyasyi dari Mekkah. Karya-karya tarekat di Aceh melalui naskah tulisan tangan yang dimulai dari masa kesultanan sampai masa peperangan Belanda (pasca kemerdekaan) terdapat beberapa perubahan-perubahan seiring bergulir waktu, pola pikir dan budaya ikut berperan mempengaruhi gerak dan cara berpikir masyarakat. Rentang waktu tersebut dapat dipilah menjadi tiga bagian, yaitu, pertama; masa kejayaan pemerintahan (kesultanan) Aceh, beberapa naskah-naskah Tarekat pada periode awal memiliki karakteristik keislaman yang lebih kental
13
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
dan keruhanian yang murni, kitab Mir’at al-Muhaqqiqīn dan Kifāyat al-Muhtājin dalam bahasa Arab-Melayu, ‘Umdat al-Ansab dan Tanbīh al-Māsyi dalam bahasa Arab, merupakan kitab kajian periode tersebut. Kedua; pada masa kemunduran kerajaan Aceh sekitar abad ke-18, melemahnya kerajaan Aceh saat itu ditandai oleh ketidaksetiaan pimpinan wilayah kepada Sultan, sehingga muncul konflik antara uleebalang dengan ulama. Kedua unsur ini (ulama dan uleebalang) adalah penyokong utama terhadap kerajaan. Situasi politik dan perubahan pada struktur masyarakat, terutama kaum elit yang ikut mempengaruhi pola pikir sufistik Aceh, beberapa naskah tasawuf muncul pada periode ini seperti Kasyf al-Kirām, Asrār al-Sulūk, dan Manzal al-Ajla ilā Rutbat al-A’lā. Dan terakhir, pada masa peperangan melawan Belanda di Aceh, tepatnya pada awal agresi Belanda tahun 1873 M, perubahan tarekat sufistik sangat menonjol, pengaruh tersebut terlihat dari minimnya karyakarya ulama berbahasa Melayu dan Arab, pergeseran tersebut beralih ke naskah-naskah sufistik berbahasa Aceh, walau tidak sebanding ketenarannya dengan naskah-naskah patriotisme dan jihad, pengaruh tersebut juga diakibatkan situasi yang tidak stabil oleh karena perpecahan dan peperangan, itu sebabnya beberapa naskah dipengaruhi oleh situasi politik kolonial Belanda. Naskah Sirājuddin dan Mi’raj al-Sālikīn mewakili sebagian besar naskah yang berkembang pada abad ke-19, perubahan dan pergeseran kandungan tersebut tidak terdapat dalam naskah sufistik ulama-ulama sebelumnya. Perubahan-perubahan itu terjadi karena pengaruh kondisi sosial-politik yang berkembang pada setiap periode, sehingga pola pikir para pengarang dipengaruhi oleh pengalaman hidup mereka yang dialami dan berkembang sesuai alurnya yang berbeda dengan masa sebelumnya, perkembangan komunikasi, informasi, dan interaksi dengan dunia luar yang terus terjadi di Aceh dan meresap dalam kehidupan masyarakat Aceh tak dapat dielakkan. Naskah Heroik dan Epos di Aceh Karakteristik dan keistimewaan yang terkandung dalam naskah epos (patriotism) Aceh abad ke-19 M, hal itu dapat dilihat dari cara para pengarang atau penulis naskah, diawali dengan puji-pujian kepada sang Khaliq, kemudian Shalawat kepada Rasulullah dan disertakan beberapa ayat-ayat suci al-Qur’an, atau juga perkataan orang-orang shaleh (imam, ulama atau tokoh tertentu). Jika merujuk ke naskah-naskah ulama sebelumnya, ‘konsep’ jihad terpadu pada pembentengan diri daripada perbuatan-perbuatan tercela, kemungkaran dan sifat-sifat yang kurang terpuji dapat menghalangi jalan hamba mencapai keridhaan Tuhan. Dalam beberapa naskah Aceh abad ke-16 sampai ke-18, tidak terdapat isi naskah yang membangkitkan kebencian dan permusuhan dengan penjajah, atau berbeda agama dan kepercayaan, pengecualian pada kasus tuduhan Nūr al-Dīn al-Rāniri terhadap pengikut doktrin Wujudiyyah. Gambaran perkembangan kondisi Aceh jauh dari permusuhan dan doktrin-doktrin kebencian terhadap orang Eropa, terutama Belanda seperti apa yang terjadi pada abad ke-19 terwujud dalam beberapa tulisan karya ulama masa tersebut. Hikayat Prang Sabi mengawali sastra epos jihad dalam bahasa Aceh, karya Tgk H. Chik Muhammad Pante Kulu (l836 M) di Pidie berguru kepada seorang ulama Tgk Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut di Tiro (Pidie). Hikayat Prang Kaphee, Hikayat Prang Compeuni yang dikarang oleh Tgk. Nyak Ahmad (Uthi) dari Gampöng Cot Paleue, adalah dari sebagian besar naskah-naskah epos yang mewakili perjuangan melawan penjajahan, muncul dari kekhawatiran para ulama terhadap masyarakat Aceh yang terbaur keduniawian. Kesemua naskah Hikayat Aceh tersebut diatas disalin secara turun temurun, sehingga melahirkan berbagai versi dan varian naskah di berbagai wilayah pada masa perlawanan penjajah dan memadukan roman keagamaan, kejiwaan dan kerohanian (Spiritual Quantity) dan roman epic dan patriotisme (Emotional Quantity).
14
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
Hikayat Maleem Dagang yang dikarang oleh Tgk Chik Pantee Geulima pada (l889 M) menceritakan perjalanan sosok Malem Dagang sebagai Laksamana Muda ke negri Malaka untuk mengusir Portugis, dalam hikayat ini roman ksatria bercampur dengan kisah percintaan tentang kerinduannya ke Aceh saat di Malaka. Ada beberapa tokoh yang disebutkan seperti Iskandar Muda sebagai tokoh utama, sebagai pemimpin armada kapal laut Cakra Donya ke Melaka, Putri Pahang, permaisuri Sultan Iskandar Muda, seorang putri dari istana Pahang. Raja Raden, saudara Raja Si Ujud dan sahabat Iskandar Muda. Upaya Snouck Hugronje memberi nasehat kepada Kepala Pemerintah Belanda di Batavia untuk membungkam perjuangan rakyat Aceh dengan cara memisahkan ulama-ulama Aceh dengan rakyatnya (pengikut) bukan hanya dengan membunuh dan mengasingkan sang tokoh, tapi juga dengan menghentikan karya-karya tulis (naskah) religious dan patriotic yang mampu membakar jiwa, spirit dan semangat pejuangpejuang Aceh.14 Lebih dari itu, Belanda juga menerbitkan berbagai karya tulis (naskah), baik dokumen negara, tulisan umum ataupun pernyataan media cetak pada era tersebut guna mendapat dukungan pihak luar negeri, dan memutar balikkan realitas yang terjadi, seperti pada tahun 1872 Multatuli menerbitkan Brief aan den Koning (Surat Kepada Raja) W.A van Rees (1879), yang banyak menulis buku tentang ilmu perang Hindia dan sejarah militer, mendapat dukungan dari Kapten Artileri G.F.W. Borel berjudul Onze Vestiging in Atjeh (Pendudukan Kita di Aceh), De Waarheid over Onze Vestiging in Atjeh (Kenyataan yang sebenarnya tentang pendudukan kita di Aceh),15 usaha tersebut untuk menutupi kegagalan perang yang terjadi di Aceh. Penyalinan naskah di Aceh bahwa pada era tersebut sesuai suhu politik sedang bergejolak dengan terjadinya pergolakan dan perlawanan melawan penjajah, peranan ulama mengarang dan memperbanyak salinan kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu untuk disebarkan ke seluruh wilayah melalui dayah-dayah atau dunia pendidikan berbasis agama, maka alur hikayat pun tak terlepas dari unsur heroik dan patriotisme. Ding Choo Ming berpendapat, telah terjadi penyalinan besar-besaran antara akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 akibat money politik Eropa membeli naskah-naskah Nusantara (terutama Aceh).16 Selain rampasan perang dan pencurian terhadap naskah-naskah Aceh keluar negeri, cukup sudah Raffles yang melarikan naskah berpeti-peti akhirnya binasa tenggelam kapalnya di tengah lautan. Karya ulama-ulama Aceh dalam membangkitkan semangat juang dan membela agama, marwah, jiwa, dan tanah air mampu mendapat sambutan hangat di hati masyarakat, hubungan ulama dengan masyarakat terjalin erat seperti hubungan mursyid dengan murid. Sehingga menempatkan mereka pada posisi utama, baik sebagai imam, ulama, umara (amir) dan panglima perang, karena itu karya-karya mereka tetap hidup di masyarakat Aceh dan Melayu-Nusantara. Penutup Naskah Aceh memiliki banyak ragam, termasuk di dalamnya corak ragam bernuansa keagamaan, baik yang menyangkut ajaran Islam sendiri maupun tentang kehidupan yang bernafaskan keislaman, sehingga karya naskah-naskah ulama Aceh memiliki karakteristik dan kekhassan keislaman yang sangat menonjol pada setiap masa, baik awal masa di pemerintahan kesultanan Aceh sampai kepada periode kemerdekaan Nusantara. Identifikasi periode tersebut dapat memahami karakter dan perkembanga pemikiran, intelektual dan konstruksi masyarakat pada masa tersebut. Periodisasi penulisan kitab dan isi kandungannya dalam naskah-naskah keagamaan dan kesusasteraan telah terjadinya perubahan dan pergeseran kajian dan kandungan naskah tersebut, demikian periodisasi pernaskahan di Aceh dapat dipilah menjadi tiga bagian, pertama; periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua; masa kemunduran kerajaan Aceh, dan ketiga; pada masa peperangan Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut memiliki corak isi kandungan naskah yang berbeda dan keistimewaan tersendiri dipengaruhi
15
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
oleh sosial-politik yang terjadi dan perkembangan cara berpikir setiap masanya menjadikan naskah Aceh tetap eksis dan menonjol.
Catatan Akhir: 1 A. Hasjmy, Syi’ah Dan Ahlussunnah; Saling Rebut Pengaruh Dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983, h. 45. Lihat juga, M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957. 2 M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandar Muda, 1968, h. 8 3 Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani, 1985. 4 H.A.R. Gibb, Ibn Batuttah. Travels in Asia and Africa, London:,1929, Chapter X, No. 6 5 Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: Ramadhani, 1971, h. 15 6 Nūr al-Dīn al-Rānirī , Bustān as-Salātīn, Bab II, Fasal 13, MS Cod. Or. 5443 Leiden, (ed) Siti Hawa Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), 27 7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2005. 8 Lihat: G.W.J Drewes & L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Holland: Dordrecht, 1986, dan Syed Muhammad Naguib AlAttas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970. 9 Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), 19 10 Jumsari Jusuf, Naskah Sebagai Sumber Sejarah (Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional Jakarta, 1983), 11 11 Braginsky, K.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998. h. 336 12 A.H Johns, The Qur’an in The Malay World: Reflection on ‘Abd Al-Rauf of Singkil (1615-1693) dalam jurnal Islamic Studies 9:2, 1998, h. 120-145 13 J.S Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, 1971, h. 131 14 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasehat-nasehat C. Snouk Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 — 1936, Jakarta: INIS, Jilid 1, 1990 15 Paul Van 'T Veer, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985, Hal. 99 16 Ding Choo Ming, Access to Malay Manuscripts, Tulisan di Seminar Internasional kerjasama Asean dan Afrika Utara ke 32, Hamburg, 25-30 Agustus 1986, h. 4
16