Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
MANUSKRIP MELAYU: SUMBER KAJIAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI NUSANTARA1 Misri A. Muchsin2 Abstrak Dalam realitas historis, manuskrip Melayu menjadi salah rujukan penting untuk mengungkap sejarah masuk dan berkembangnya Islam dan kebudayaan umatnya di negeri Serantau atau Nusantara. Tidak hanya itu, perihal asal muasal Islam yang datang ke kawasan ini, apakah dari Arab langsung, atau dari India dan Persia; perihal wilayah yang mula-mula menerima Islam; cara Islamisasi berlangsung apakah dengan adaptasi, kekerasan-dengan ketajaman mata pedang, atau dengan jalur perdagangan, perkawinan dan dakwah? Pada mulanya semuanya masih menjadi misteri. Akan tetapi dengan ada sejumlah manuskrip yang informasikan, secara perlahan sesuatu yang misteri dimaksud terungkap secara bertahap. Di antara manuskrip Melayu yang telah ikut memberi andil dalam pengungkapan-penelusuran semua persoalan Islam, perkembangan umat dan budayanya seperti disebutkan di atas, di antaranya adalah Kronika Pase atau Hikayat Raja-raja Pasai, Tajul- al-Salatin, Bustan al-Salatin dan seterusnya. Manuskrip-manuskrip ini telah menghidangkan informasi yang amat berharga untuk penelusuran lebih jauh perihal eksistensi Islam dan perkembangan umatnya di Nusantara. Adapun karya-karya Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf alSingkili telah mewariskan informasi yang amat kaya kepada kita perihal budaya, sastra, dan pemikiran keislaman dalam berbagai aspek lainnya. Semuanya menjadi objek kajian dan penelusuran yang belum habisnya para ahli selama ini dan menjadi tugas kita di masa datang. 1. Muqaddimah Dalam realitas historis, manuskrip Melayu menjadi salah satu rujukan penting untuk mengungkap sejarah masuk dan berkembangnya Islam dan kebudayaan umatnya di negeri Serantau atau Nusantara. Tidak hanya itu, perihal asal muasal Islam yang datang ke kawasan ini, apakah dari Arab langsung, atau dari India dan Persia; perihal wilayah yang mula-mula menerima Islam; cara Islamisasi berlangsung apakah dengan adaptasi, kekerasan-dengan ketajaman mata pedang, atau dengan jalur perdagangan, perkawinan dan dakwah? Pada mulanya semuanya masih menjadi misteri. Akan tetapi dengan adanya sejumlah manuskrip yang menginformasikan, secara perlahan sesuatu yang misteri dimaksud terungkap secara bertahap. Di antara manuskrip Melayu yang telah ikut memberi andil dalam pengungkapan-penelusuran semua persoalan Islam, perkembangan umat dan budayanya seperti disebutkan di atas, di antaranya adalah Kronika Pase atau Hikayat Raja-raja Pase, Tajul- al-Salatin, Bustan al-Salatin dan seterusnya. Manuskrip-manuskrip ini telah menghidangkan informasi yang amat berharga untuk penelusuran lebih jauh perihal eksistensi Islam dan perkembangan umatnya di Nusantara. Adapun karya-karya Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili telah mewariskan informasi yang amat kaya kepada kita perihal budaya, sastra, dan pemikiran keislaman dalam berbagai aspek lainnya. Semuanya menjadi objek kajian dan penelusuran yang belum habisnya para ahli selama ini dan menjadi tugas kita di masa datang. Untuk kajian ini dibatasi dan difokuskan pada Bustan al-Salatin karya Nuruddin al-Raniri dan Ruba’i Hamzah Fansuri.
1
Makalah dipresentasi pada Seminar Serantau: Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan, Memartabatkan Keintelektualan Melayu, Kerjasama Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Indonesia-Pusat Kajian Manuskrip Alam Melayu (Puskam) Universiti Teknologi MARA (UiTM), Shah Alam, Selangor Darul Ehsan. Aenin 25 Februari 2013. 2 Professor Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, bidang keahlian Sejarah Pemikiran Dalam Islam. Sekarang menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Provinsi Aceh.
1
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
2. Bustan al-Salatin: Sebagai Sumber Penulisan Sejarah dan Ketataneggaraan Nusantara Judul lengkap manuskrip atau naskah ini Bustan al-Salatin fiy zikri al-Awwalin wa al-Akhirin, adalah karya monumental seorang ulama besar di Aceh pada abad ke-16 M, yaitu Syeikh Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad al-Raniry. Ulama ini berasal dari Ranir, India. Ia datang ke Aceh dua kali, pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dan pada masa Sultan Iskandar Tsani memerintah di Aceh Bustan al-Salatin fiy zikri al-Awwalin wa al-Akhirin (selanjutnya disingkat dengan Bustan al-Salatin), terdiri dari tujuh bab dan setiap bab memiliki dua sampai 28 pasal. Oleh karnanya kitab ini dikatakan karya besar dan monumental dari Nuruddin al-Raniri di antara 24 karyanya yang lain. Kitab ini mengandung isi yang begitu luas bahasannya, berkenaan dengan sejarah dan proses kejadian alam, sejarah para ambiya dan ulama, proses perkembangan Islam dan sejarah raja-raja di Aceh. Bustan al-Salatin sudah menjadi objek kajian banyak para ahli, di antaranya dapat disebutkan adalah GWJ. Drewes (1968),1 Voorhoeve (1951 dan 1961), Teuku Iskandar (1964, 1966),2 Ito Takeshi (1984)3 dan Siti Hawa Haji Salleh (1992)4. Upaya untuk mengungkap eksistensi dan substansi Bustan al-Salatin dengan demikian sudah mendapat perhatian besar para ahli. Akan tetapi yang menjadi focus kajiannya lebih terpusat paba bab dua pasal 13, sebagaimana yang dilakukan oleh Teuku Iskandar dan Siti Hawa Haji Salleh. Hal ini membuktikan bahwa kajian para ahli masih terpisah-pisah, belum komprehensif seluruh babnya Pertanyaan muncul, kenapa bab dua dan pasal 13 yang banyak ahli berminat membahasnya? Jawabannya dipastikan karena bab dan pasal tersebut di atas berkenaan dengan sejarah negeri, perkembangan Islam dan pemerintahan di Aceh. Bab ini yang menjadi sumber sejarah Islam Nusantara, sejarah Islam dan pemerintahan di Aceh pada khususnya.5 Berikut dapat ditampilkan sampul kitab dan lembaran awal dimaksud berikut ini:
2
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
Adapun bab pertama Bustan al-Salatin, seolah diabaikan dan tidak mendapat perhatian khusus para pengkaji. Hal ini diperkirakan karena isinya menyangkut hal yang sudah umum diketahui orang sebelumnya. Akan tetapi tulisan ini ingin memberi gambaran isi bab pertama kitab Bustan al-Salatin. Manuskrip bab pertama Bustan al-Salatin teridiri dan berukuran kertasnya 20,5 x 16,5 cm. Terdiri dari 78 halaman dan setiap halaman berisikan 17-18 baris tulisan dengan huruf Arab. Jumlah kata pada setiap baris terdiri dari tujuh sampai 12 kata. Menurut Zaslina Z, kertas penulisan manuskrip Bustan al-Salatin agak kasar tanda cap air “propatria” dan kertasnya dibuat pada tahun 1723 M.6 Adapun pemaparan isi bab pertama secara lengkap dapat diteliti pada satu laporan penelitian yang sudah ada.7 Dapat ditambahkan, ketika penelitian Zaslina Z, kitab Bustan al-Salatin masih dijadikan objek dan sumber kajiannya di dayah Tanoh Abee. Akan tetapi ketika proses katalogisasi oleh Oman Fathurahman di perpustakaan dayah tersebut, nyatanya tidak ditemukan lagi kitab dimaksud, sehingga tidak termuat dalam dan di antara 10 naskah hasil yang diklasifikasi di bidang sejarah.8 3. Ruba’i Hamzah Fansuri: Sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Budaya Islam Nusantara Berbicara seorang ulama cendikia Hamzah Fansuri dipastikan tidaklah asing lagi kedengarannya di kalangan Muslim Nusantara. Ia terkenal Syeikh Hamzah al-Fansuri, berdasarkan satu ungkapannya sendiri melalui satu bunyi syairnya, ada di antara ahli menyebutkan ia lahir di Syahru Nawi, Siam atau Thailand sekarang. Akan tetapi berdasarkan informasi di Singkil dan tidak kalah kuat argumentasinya pula, bahwa ulama ini lahir di Fansur, Singkil. Masih perihal tempat kelahiran ulama satu ini, menurut MC. Mcanon, Fansur dimaksud bukanlah di Singkil tetapi Fansur yang letaknya di Aceh Besar, tepatnya di Ujong Pancu (asal katanya Fansur), yang hingga sekarang menyisakan tapak atau bekas benteng kerajaan di sana. Hanya saja setelah gempa dan
3
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
tsunami Aceh 26 Desember 2004, sudah terkikis dan sebagiannya sudah berada di lautan. Semua pendapat di atas tentu membutuhkan pengkajian-penelitian lebih seksama di masa datang. Hanya saja tanggal dan tahun berapa ia lahir, tidak ada yang mengungkapkan. Kecuali itu, seperti disebutkan Alwi shihab, sebagaimana perkiraan umumnya penulis bahwa ia hidup antara tahun 1550-1605 M atau ketika kesultanan Aceh dipimpin oleh dan dari masa sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah hingga awal masa pemerintahan sultan Iskandar Muda (1606-1636). Begitu juga dengan tahun dan tempat meninggalnya, para penulis tidak mendapat informasi yang kongkrit, kecuali itu, ada isyarat dan penulis memperkirakan ia meninggal dunia pada tahun 1607 M. Al-Fansuri di samping mengkritik dengan tulisan dan syair-syairnya, juga memperlihatkan kekecewaannya yang dalam terhadap perilaku sultan, bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim kepada masyarakat Aceh pada zamannya.1 Dari kondisi seperti itulah kelihatan bertambah termotivasi dirinya untuk menekuni dan mengembangkan ajaran tasawuf dalam masyarakat secara luas serta melalui publikasi tulisan-tulisannya dalam berbagai bentuk. Dari karya-karyanya inilah diketahui konsepnya tentang ajaran wahdat al-Wujud. Berkenaan dengan tempat ia meninggal dan sekaligus makam-kuburannya, menurut informasi masyarakat di Barus, Aceh Singkil sekarang, adalah di Barus, dan mereka mengklem salah satu makam yang ada di sana adalah makam al-Fansuri. Setelah penulis mengamati bersama peserta seminar internasional di Singkil pada 16-18 Januari 2002, maka sebagaimana kesimpulan seminar dapat dipastikan untuk sementara sebagaimana pendapat banyak ahli bahwa kuburan ulama ini, sebagaimana daerah kelahirannya adalah di Singkil. 9 Menyangkut manuskrip Ruba’I Hamzah Fansuri sudah menyedot perhatian banyak sarjana dalam dan luar Islam. Hal ini kelihatannya karena isinya mengandung nilai filosofis-cendikia yang dalam. Di dalamnya bukan hanya mengandung nilai seni sastera yang tinggi, tetapi nilai filosofia-teologia dengan nasehat mau’idhah hasanah yang mengantarkan pembacanya pada satu perenungan atau kontemplasi yang maksimal. Ia membuka maddah dengan ungkapandalam tulisan Arab Melayu atau Arab Jawi: Subhanallah terlalu kamil Menjadikan insan alim dan jahil Dengan hambaNya daim Ia wasil Itulah Mahbub bernama Adil Mahbub itu tiada berlawan Lagi alim lagi bangsawan Kasihnya banyak lagi gunawan Aulad itu bisa tertawan. Dan seterusnya… sampai 39 bait syairnya.10 Kemudian seluruh bait tersebut sudah disyarah oleh muridnya yang bernama Syamsuddin al-Sumatrani, di bawah judul Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Ia mensyarahkannya dalam bahasa Arab Melayu atau Arab Jawi pula, dan dilakukan/diselesaikan dalam tahun 1654. Lembaran sampul dan pembukaan Manuskripnya dalam visual berikut ini:
4
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
2013
Dari tampilan teks syarah dimaksud memperlihatkan bahwa Syamsuddin al-Sumatrani membahasnya per baris syair dengan penjelasan maksimal, sehingga dengannya memudahkan masyarakat-pembaca yang mengharapkan untuk memahami substansi yang terkandung dalam syair-syair gurunya, Hamzah al-Fansuri. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat memiliki semangat dan minat untuk membaca serta memahami pesan apa yang disampaikan Hamzah Fansuri dalam untaian kalimat demi kalimat dengan syairnya. Realitas yang demikian tidak terbatas masyarakat sezamannya, tetapi masyarakat cendikia zaman-zaman sesudahnya sampai terakhir ini juga tidak ketinggalan mengkaji dan membacanya. Ada sebagian menjadikan sebagai adagium untuk paper atau makalah seminar atau buku sekalipun, seperti yang sering dilakukan oleh Ali Hasjmy (alm) dan Abdul Hadi WM. 4. Penutup Dari bentangan di atas dapat disimpulkan bahwa Bustan al-Salatin dan Ruba’ii Hamzah al-Fansuri merupakan dua karya yang menjadi sumber informasi dan sekaligus sumber kajian sejarah dan budaya Nusantara untuk generasi sudahnya. Bustan al-Salatin lebih sebagai sumber penulisan sejarah, sementara Ruba’ii cenderung untuk pengembangan seni budaya, filosofis dan teologis. Keduanya menjadi tonggak perkembangan Islam Nusantara di dunia penulisan yang sarat makna, mewariskan untuk generasi sesudahnya sampai dewasa ini.
5
Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan
1
2013
New Light on the coming of Islam to Indonesia, BKI 124. De Hikayat Atjeh, Gravenhage, Belanda, 1959. 33 The World of The Adat Aceh a Historical Study of the Sultanate of Aceh, Australian National University, 1984. 4 Bustan al-Salatin, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992. 5 Lihat Teuku Iskandar, 6 Zaslina Z, Manuskrip Perpustakaan Islam Tertua di Indonesia Tanoh Abee, Aceh Besar, (Skripsi). (Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1983). 7 Misri A. Muchsin, at al., Bab Pertama Bustan al-Salatin fiy Zikri al-Awwalin wa al-Akhirin: Suatu Pendekatan Filologi, Laporan Penelitian, (Banda Aceh: Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1999/2000), hlm. 22-132. 8 Oman Fathurahman et al., Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar, (Jakarta: Komunitas Bambu at al, 2010), hlm. 321330. 9 Panitia Seminar Internasional Hamzah Fansuri, Keputusan Seminar, (Singkil: Pemda Singkil, 2002); cp. Yusni Saby, "Hamzah Fansuri Aset Nusantara", Makalah, (Singkil: Panitian Seminar Internasional Hamzah Fansuri, 16-18- Janusiari 2002), hlm. 1-3. 10 Ali Hasjmy, Ruba’ii Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, 1976), hlm. 21-28. 2
6