HAKEKAT DAN SUBSTANSI PEMBELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM DI MADRASAH IBTIDAIYAH Oleh: Zuhrotun Umamah, S.Pd.I Guru MI Islamiyah Kota Madiun (+6281231881510) Abstrak Artikel ini membahas tentang gambaran riil makna yang terkait dengan sejarah perkembangan Islam dengan kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam di dalamnya yang menjadi warisan nilai bagi umat Islam. Nilai yang diambil dari makna sejarah ini sebagai ibrah yang dikemas dalam bentuk pembelajaran di kelas sebagai bagian dari kurikulum PAI di MI. Sejarah Kebudayaan Islam diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam dalam perspektif sejarahnya, dengan pengetian: pertama, sejarah kebudayaan Islam merupakan kemajuan yang dihasilkan dalam satu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad SAW sampai perkembangan kekuasaan Islam sekarang. Kedua, sejarah kebudayaan Islam merupakan hasil kreativitas umat Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan seni. Ketiga, sejarah kebudayaan Islam merupakan kemajuan sitem politik Islam yang berperan menciptakan sebuah masyarakat madani, yang berhubungan dengan nilai-nilai ubudiyah, bahasa, toleransi dan etika sosial masyarakat. Kata Kunci: Pembelajaran, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Ibtidaiyah A. Pendahuluan Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan pendidikan tingkat dasar yang pembinaannya diserahkan kepada Kementerian Agama sebagai salah satu satuan pendidikan formal yang berciri khusus keagamaan. Salah satu ciri khusus yang dikembangkan adalah muatan mata pelajaran agama yang
berbeda dengan
sekolah umum, yaitu Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) diberikan secara terpisah, yang terdiri dari Aqidah Akhlak, Fiqih, Al-Qur’an Hadits, dan Sejarah kebudayaan Islam (SKI). Pemisahan ini tentunya untuk menegaskan ciri khusus keagamaan dengan bobot materi kurikulum yang berbeda dengan sekolah PAI yang ada di sekolah umum, meskipun tuntutan materi pelajaran umum sama persis dengan yang ada di sekolah umum. Hal yang membedakan PAI di sekolah umum dan PAI di Madrasah inilah menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk lebih menegaskan kompetensi yang menjadi tuntutan muatan materi di masing-masing mata pelajaran PAI. Untuk itu
1
dalam artikel ini, penulis mencoba mendiskripsikan salah satu dari mata pelajaran PAI di MI yaitu mata pelajaran SKI. Mata pelajaran SKI dipersiapkan agar peserta didik mengenal, menghayati sejarah Islam yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, keteladanan, penggunaan pengalaman, dan pembiasaan. Namun, di dalam prakteknya menghadapi beberapa kendala, yaitu waktu yang disediakan terbatas dengan muatan materi yang begitu banyak dan menuntut pemahaman hingga terbentuk kepribadian peserta didik. Di samping itu pula, materi SKI lebih terfokus pada sisi pengetahuan (kognitif) dan kurang dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Kendala lain minimnya pendekatan, metode dan media yang cenderung monoton menjadikan pembelajaran SKI tidak menarik bagi peserta didik, dan tentunya masih banyak problematika yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam artikel ini. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran riil makna yang terkait dengan sejarah perkembangan Islam dengan kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam di dalamnya yang menjadi warisan nilai bagi umat Islam. Nilai yang diambil dari makna sejarah ini sebagai ibrah yang dikemas dalam bentuk pembelajaran di kelas sebagai bagian dari kurikulum PAI di Madrasah. Untuk itu dalam artikel ini akan dibatasi pada substansi pembelajaran SKI di MI. B. Pembahasan 1. Pengertian dan Makna Sejarah Kebudayaan Islam Pengertian sejarah secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu kata syajarah dan syajara. Syajarah berarti pohon, sesuatu yang mempunyai akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah. Pengertian etimologis ini mempengaruhi seseorang untuk melihat sejarah secara figuratif sebagai pohon yang mempunyai akar yang berfungsi untuk memperkuat berdirinya batang pohon dan sekaligus untuk menyerap air dan makanan yang dibutuhkan demi keberlangsungan pertumbuhan pohon tersebut. Sebagaimana pohon, sejarah, yang sering dipahami sebagai cerita masa lalu, mempunyai akar yang menjadi asal-muasal peristiwa atau sumber kejadian yang begitu penting sampai dikenang sepanjang waktu. Akar pohon yang baik akan menumbuhkan batang 2
yang besar, kokoh, dan tinggi yang dibarengi dengan pertumbuhan dahan, ranting, daun, bunga, dan buah yang bermanfaat bagi manusia. Begitu juga dengan sejarah, kalau sejarah suatu peristiwa itu mempunyai titik awal atau dasar yang baik, maka akan melahirkan budaya beserta cabang-cabangnya, seperti ekonomi, politik, bahasa, dan pengetahuan, yang pada akhirnya membuahkan karya seni dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia. (Hanafi, 2012: 6). Tetapi selanjutnya, “sejarah” dipahami mempunyai makna yang sama dengan “tarikh” (Arab),
“istoria” (Yunani),
“history (Inggris),
atau
“geschichte” (Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia di masa silam (Azra, 1999: 218). Ditinjau dari makna yang terkandung, sejarah mempunyai dua konsep yaitu: pertama, konsep sejarah yang memberikan pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau. Kedua, sejarah menunjukan maknanya yang subjektif, karena masa lampau tersebut telah menjadi sebuah kisah atau cerita (Latif, 2013). Maka, secara terminologis menurut Hanafi (2012: 9), sejarah berarti ilmu yang mempelajari dan menerjemahkan informasi dari laporan dan catatan yang dibuat oleh orang per-orang, keluarga, dan komunitas tertentu. Pengetahuan mengenai sejarah melingkupi pengetahuan akan kejadiankejadian yang sudah berlalu serta pengetahuan akan cara berpikir sejarah (historis). Adapun “kebudayaan” (Arab, al-tsaqofah; Inggris, culture) banyak pakar mensinonimkan dengan “peradaban” (Arab, al-hadharah; Inggris, civilization). Namun dalam perkembangannya kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban (Yatim, 2004: 1). Menurut Koentjaraningrat (Yatim, 204:2), kebudayaan setidaknya memiliki tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan bepola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
3
Kebudayaan Islam dalam pespektif sejarah dapat dipahami sebagai rentetan peristiwa dari masa ke masa, dimana Islam sebagai agama yang menginspirasi timbulnya kebudayaan. Setiap kebudayaan menampilkan bentuk kesadaran sejarah dan jiwa zamannya yang berbeda dengan kebudayaan lainnya. Oleh karena itu, wawasan sejarah kontemporer menjadi penting untuk dikuasai oleh guru untuk memahami lebih baik sejarah kebudayaan Islam dari masa lampau. Dengan demikian, akan terjadi proses dialog yang produktif dan dinamis dari nilai-nilai sejarah masa lalu dan masa kini (Hanafi, 2012: 3-4). Dengan demikian, kebudayaan ini adalah hasil karya, rasa dan cipta orangorang Muslim. Kata Islam pada sejarah kebudayaan Islam bukan sekedar menunjukkan bahwa kebudayaan itu dihasilkan oleh orang-orang Muslim melainkan sebagai rujukan sumber nilai. Islam menjadi nilai kebudayaan itu. Ini juga berarti bahwa kebudayaan Islam adalah hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang menafsirkan agamanya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sejarah kebudayaan Islam sama dengan sejarah kebudayaan lain pada umumnya, yaitu bersifat dinamis. Perbedaannya terletak pada sumber nilainya. Dari penjelasan di atas, sejarah kebudayaan (peradaban) Islam diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam dalam perspektif sejarahnya, dengan pengetian: pertama, sejarah kebudayaan Islam merupakan kemajuan yang dihasilkan dalam satu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad Saw sampai perkembangan kekuasaan Islam sekarang. Kedua, sejarah kebudayaan Islam merupakan hasil kreativitas umat Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan seni. Ketiga, sejarah kebudayaan Islam merupakan kemajuan sitem politik Islam yang berperan menciptakan sebuah masyarakat madani, yang berhubungan dengan nilai-nilai ubudiyah, bahasa, toleransi dan etika sosial masyarakat. 2. Hakekat Pembelajaran SKI dan Nilai-nilai yang Dikembangkan a. Pembelajaran SKI Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan sebuah mata pelajaran PAI yang diarahkan untuk mengenal, memahami, menghayati sejarah Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan
bimbingan,
pengajaran,
latihan,
keteladan,
penggunaan 4
pengalaman dan pembiasaan. Dalam Permenag No. 2 Tahun 2008, peserta didik yang memelajari SKI diharapkan tidak saja mengenal sejarah Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin saja, melainkan pula harus mampu mengenali, mengidentifikasi, meneladani, dan bahkan diharapkan mampu mengambil ibrah dari kisah kehidupan tokoh-tokoh tersebut. Selain itu peserta didik juga mampu menghayati perjuangan tokoh-tokoh agama Islam di daerah masing-masing. Jadi, dapat diuraikan bahwa materi SKI diarahkan untuk menyiapkan peserta didik agar peserta didik memiliki pemahaman terhadap apa yang telah diperbuat oleh Islam dan kaum Muslimin sebagai katalisator proses perubahan sesuai dengan tahapan kehidupan mereka pada masing-masing waktu, tempat dan masa, untuk dijadikan sebagai pedoman hidup ke depan bagi umat Islam. Materi SKI juga menekankan pada kemampuan mengambil hikmah dan pelajaran (ibrah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah pada masa lalu yang menyangkut berbagai aspek: sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seterusnya, serta meneldani sifat dan sikap para tokoh berprestasi, dari Nabi Muhammad SAW, para sahabat hingga para tokoh sesudahnya bagi pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam masa kini. Prinsip yang digunakan dalam melihat masa lalu adalah: “Meneladani hal-hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang buruk serta mengambil hikmah dan ibrah dari peristiwa masa lalu tersebut untuk pelajaran masa kini dan mendatang”. (Prabowo (ed), tt.: 41-42). b. Nilai-nilai dalam Pembelajaran SKI Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pembelajaran SKI merupakan nilai yang dikembangkan dalam pendidikan secara umum, dimana sebagaimana dikemukakan Mawardi (2012: 280) bahwa: Pendidikan merupakan sebuah proses berkelanjutan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai sebagai bentuk internalisasi pembentukan karakter peserta didik. Nilai-nilai yang dibangun bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian secara utuh dengan menumbuhkan secara optimal potensi fitrah peserta didik. Potensi fitrah dalam konsep pendidikan Islam bukanlah bermakna seperti konsep Tabularasa John Lock, yaitu anak dilahirkan tidak membawa potensi apa-apa seperti kertas putih yang siap ditulisi apa saja oleh penulisnya, lingkungannyalah yang 5
membentuk seperti apa anak itu kemudian hari. Namun dengan fitrah anak dilahirkan dengan potensi keimanan atau kebaikan-kebaikan sebagai hakekat nilai kemanusiaan itu sendiri, sedang lingkungan atau orangtuanyalah yang mengukuhkan kebaikan atau bahkan merusak potensi anak itu sendiri. Tugas pendidikan adalah mengarahkan anak kepada potensi bawaannya yaitu potensi fitrah itu sendiri di samping potensi-potensi lainnya. Hal ini mengingat dalam menghadapi dunia global, nilai-nilai pendidikan ini sangat dibutuhkan sebagai benteng moral yang akan menuntun sekaligus memfilter arus budaya yang masuk dan mempengaruhi perkembangan anak didik. Pembelajaran PAI dapat dikatakan sebagai wujud pembudayaan. Sedangkan, pembudayaan difahami sebagai strategi internalisasi nilai-nilai, mengingat bahwa antara pendidikan dan kebudayaan mempunyai hubungan yang erat berkenaan dengan nilai-nilai, sehingga dapat dikatakan juga pendidikan merupakan proses pembudayaaan dan peradaban. Sebagai suatu proses, pendidikan mempunyai tugas menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Dari tatanan ini peserta didik diharapkan memiliki ketrampilan hidup yang berhubungan dengan nilai-nilai yang akan menjadi pedoman dalam menghadapi kehidupan (Mawardi, 2012: 281). c. Struktur dan Jenis Materi Ajar SKI Sebelum proses kegiatan belajar mengajar, guru dituntut mengenal, mengetahui dan memahami struktur dan materi ajar yang akan disampaikan kepada peserta didik. Hal ini untuk memudahkan bagi guru dalam mentransformasikan substansi materi dan nilai-nilai yang dikandung dalam pembelajaran dengan baik. Berikut ini adalah struktur dan jenis materi SKI (http://zeidel.blogspot.com/2013/02/pengembangan-materi-ski-mi.html), yaitu: 1) Fakta. Sejarah secara umum berisi data-data yang berhubungan dengan peristiwa masa lampau. Data-data sejarah ini adalah fakta yaitu segala sesuatu yang berwujud kenyataan dan kebenaraan. 2) Konsep. Sejarah memang identik dengan kumpulan data dan fakta, meskipun demikian tidak berarti bahwa sejarah atau materi pelajaran sejarah tidak mengandung konsep. Konsep adalah segala yang berwujud 6
pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian-pengertian, ciri khusus, hakikat, inti atau isi. 3) Prinsip. Komponen ini merupakan hal yang utama dari mata pelajaran yang berisi hal-hal utama, pokok dan memiliki posisi terpenting, meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antar konsep yang
menggambarkan implikasi sebab akibat.
4) Prosedur. Bagian struktur ini berupa langkah-langkah sistematis atau berurutan dalam mengerjakan sesuatu aktivitas dan kronologi suatu sistem atau peristiwa. Prosedur juga menyangkut materi yang berisi urutan atau jenjang, yang satu dilakukan setelah yang lainnya. 5) Sikap atau nilai. Merupakan struktur materi afektif yang berisi aspek sikap atau nilai, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, semangat dan minat belajar dan bekerja. Materi ajar yang baik tidak hanya memuat aspek kognitif dan psikomotor saja, sebagaimana tercermin dari empat aspek diatas, melainkan juga harus sarat dengan muatan afektif. Apalagi untuk mata pelajaran SKI, guru dituntut untuk menampilkan struktur afektif dari materi ini yang berupa nilai dan sikap.
Untuk mendapatkan materi yang baik, tentunya perlu kriteria seleksi materi yang dapat dipertimbangkan mencakup: (a) menunjuk kemandirian peserta didik; (b) mengandung makna yang mendalam; (c) menyiratkan saran menuju kualitas yang lebih baik; (d) mengandung urutan atau sistematika berdasarkan kepentingan, sebab akibat, makna tunggal, makna majemuk; (e) autentik; (f) menarik; (g) bermanfaat bagi kehidupan peserta didik; (h) dapat dipelajari, dan (i) layak dipelajari . Penguasaan terhadap materi kesejarahan mempunyai peran yang penting dalam membangun dan mengembangkan potensi dan kompetensi peserta didik, baik dilihat dari sisi kognitif, afektif dan psikomotor. Pada jenjang MI, keberadaan peserta didik sebagai agen pembelajaran begitu mendasar dan strategis, hal ini dikarenakan pada jenjang pendidikan dasar (MI) ini adalah dasar pembentukan karakter. Dengan SKI peserta didik diajak untuk belajar mengenai kehidupan di masa lalu dan mengambil ibrah dan hikmah dari berbagai pengalaman-pengalaman penting para tokoh Islam 7
dalam menghayati ajaran agamanya sehingga mampu memberikan warna dan pokok pikiran penting dalam menjalani kehidupan di dunia. Terhadap hal ini, maka pendidik dituntut untuk memperkaya diri dalam penjabaran materi maupun strategi pembelajaran SKI sehingga kesejarahan yang dicontohkan secara kongkret oleh Nabi Muhammad SAW, sahabat-sahabat beliau dan tokoh-tokoh yang memperjuangkan Islam sebagai pengikut beliau tersebut dapat mengakar dan menjadi panutan hidup peserta didik di zaman globalisasi ini. Jadi dapat disimpulkan betapa pentingnya pelajaran Tarikh dalam pendidikan formal untuk menciptakan dan membangun generasi yang meneladani perjuangan dan pencapaian para pahlawan Islam dalam membela dan menyebarkan agama Islam. d. Metode-metode dalam Pembelajaran SKI di MI Dengan wawasan dan kesadaran sejarah yang sesuai dengan zamannya, tugas guru untuk membimbing siswanya memiliki kesadaran sejarah akan jauh lebih mudah. Pelajaran sejarah yang selama ini terkesan membosankan dan merepotkan bisa diubah oleh guru
menjadi pelajaran yang
menyenangkan dan menghibur (fun and entertaining) kalau wawasan dan kesadaran sejarah dimiliki oleh guru. Belajar sejarah adalah mempelajari masa lalu tapi bukan untuk masa lalu; belajar sejarah adalah untuk masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, sama pentingnya dengan belajar ilmu pengetahuan yang lain (Hanafi, 2012: 4). Untuk mendapatkan pelajaran yang menyenangkan dan menghibur, guru dapat memilih dan menetapkan metode yang tepat untuk digunakan, dengan berbagai pertimbangan, yaitu: 1) Keadaan murid yang mencakup pertimbangan tentang tingkat kecerdasan, kematangan, perbedaan individu lainnya. 2) Tujuan yang hendak dicapai; jika tujuannya pembinaan daerah kognitif maka metode drill kurang tepat digunakan. 3) Situasi yang mencakup hal yang umum seperti situasi kelas, situasi lingkungan. Bila jumlah murid terlalu besar, maka metoe diskusi agak sulit digunakan apalagi bila ruangan yang tersedia kecil. Metode ceramah harus memertimbangkan antara lain jangkauan suara guru. 4) Alat-alat yang tersedia akan mempengaruhi pemilihan metode yang akan digunakan. Bila metode eksperimen yang akan dipakai maka alat-alat
8
untuk eksperimen harus tersedia; dipertmbangkan juga jumlah dan mutu alat itu. 5) Kemampuan pengajar tentu menentukan, mencakup kemampuan fisik, keahlian. Metode ceramah memerlukan kekutan guru secara fisik. Guru yang mudah payah, kurang kuat berceramah dalam waktu yang lama. Dalam hal seperti ini sebaiknya ia menggunakan metode lain yang tidak memerlukan tenaga yang banyak. Metode diskusi menuntut keahlian guru yang agak tinggi, karena informasi yang diperlukan dalam metode diskusi kadang-kadang lebih banyak daripada sekedar bahan yang akan diajarkan. 6) Sifat bahan pengajaran. Ini hampir sama dengan jenis tujuan yang dicapai seperti pada poit b di atas. Ada bahan pelajaran yang lebih baik disampaikan leat metode ceramah, ada yang lebih baik dengan metode drill, dan sebagainya. (Tafsir, 2000: 33-34) Berbagai macam alternatif metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru terhadap mata pelajaran SKI (Latif, 2013; Zaini,dkk, 2002; Prabowo, tt), diantaraya: 1) Metode Ceramah (Lecturing). Metode ceramah ialah suatu metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Jadi melalui metode ceramah ini guru menceritakan/menyampaikan kejadiankejadian masa lampau dan menjelaskan hikmah apa yang bisa diambil dari sejarah tersebut. 2) Metode Tanya Jawab. Metode tanya jawab adalah suatu cara mengelola pembelajaran
dengan
menghasilkan
pertanyaan-pertanyaan
yang
mengarahkan siswa memahami materi yang ada dalam pelajaran SKI. Metoda Tanya Jawab akan menjadi efektif bila materi yang menjadi topik bahasan menarik, menantang dan memiliki nilai aplikasi tinggi. Pertanyaaan yang diajukan bervariasi, meliputi pertanyaan tertutup (pertanyaan yang jawabannya hanya satu kemungkinan) dan pertanyaan terbuka (pertanyaan dengan banyak kemungkinan jawaban), serta disajikan dengan cara yang menarik. 3) Metode Diskusi. Metode diskusi adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan penyajian materi melalui pemecahan masalah, yang masing-masing
mengajukan
argumentasi
untuk
memperkuat
pendapatnya. Suatu diskusi dinilai menunjang keaktifan siswa bila
9
diskusi itu melibatkan semua anggota diskusi dan menghasilkan suatu pemecahan masalah. 4) Metode Demonstrasi. Metode demonstrasi adalah cara pengelolaan pembelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, benda yang sedang dipelajari. Demontrasi dapat dilakukan dengan menunjukkan benda baik yang sebenarnya, model, maupun tiruannya dan disertai dengan penjelasan lisan. Demonstrasi akan menjadi aktif jika dilakukan dengan baik oleh guru dan selanjutnya dilakukan oleh siswa. Metoda ini dapat dilakukan untuk kegiatan yang alatnya terbatas tetapi akan dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang oleh siswa. 5) Metode Portofolio.
Metode
ini
dilakukan
guru
dalam rangka
mmbelajarkan peserta didik dengan cara membahas atau memecahkan sebuah permasalahan yang berkaitan dengan tema/materi tertentu (problem solving), kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk laporan dan dipresentasikan. 6) Metode Timeline (Garis Waktu). Metode ini tergolong tepat untuk pembelajaran sejarah karena di dalamnya termuat kronologi terjadinya peristiwa. Dengan metode ini, peserta didik bisa melihat urutan kejadian dan akhirnya juga bisa menyimpulkan hukum-hukum seperti sebab akibat dan bahkan bisa meramalkan apa yang akan terjadi dengan bantuan penguasaan Timeline beserta rentetan peristiwanya. Timeline dipakai untuk melihat perjalanan dan perkembangan satu kebudayaan oleh karena itu dia bisa dibuat panjang atau hanya sekedar periode tertentu. Timeline untuk sejarah kebudayaan Islam bisa dibuat mulai dari zaman Jahiliyah menjelang Islam hadir sampai pada saat ini; timeline juga hanya bisa dibuat menggambarkan perjalanan peristiwa dalam satu kurun atau periode tertentu. Ini adalah metode survey sejarah yang sangat baik karena peserta didik akan melihat benang merah atau hubungan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Langkah-langkah: 1) Sampaikan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik dalam pembelajaran hari itu. 10
2) Tunjukkan pentingnya mempelajari sejarah melalui timeline. 3) Buat timeline dengan cara menarik garis lurus horizontal dan menuliskan waktu tertentu dan beberapa kejadian penting yang terjadi di dalamnya. Waktu berikutnya juga ditulis seperti cara titik waktu pertama dan begitu terus sampai pada waktu tertentu yang sesuai dengan materi pembelajaran. Berikut ini adalah dua contoh timeline yang dibuat dengan cara yang sedikit berbeda pada masa nabi sampai menjelang hijrah.Timeline yang pertama ditulis dengan format satu tahun satu peristiwa penting. Timeline yang kedua memungkinkan satu tahun memuat banyak peristiwa penting secara simultan. 4) Jelaskan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun-tahun tertentu dan menjelaskan hubungannya dari tahun ke tahun. 5) Adakan tanya jawab mengenai peristiwa-peristiwa dan hubungannya satu dengan yang lain. 6) Buat kesimpulan. 7) Minta peserta didik untuk membuat timeline yang berhubungan dengan mereka masing-masing mulai dari lahir sampai saat ini. 1. Metode Concept Map (Peta Konsep). Peta konsep adalah cara yang praktis untuk mendeskripsikan gagasan yang ada dalam benak. Nilai praktisnya terletak pada kelenturan dan kemudahan pembuatannya. Guru bisa memanfaatkan peta konsep untuk dijadikan sebagai metode penyampaian materi sejarah. Penyampaian materi dengan peta konsep akan memudahkan siswa untuk mengikuti dan memahami alur sejarah dan memahami secara menyeluruh. Peserta didik sendiri nantinya yang akan membuat kaitan antara satu konsep dengan lainnya. Peta konsep sangat tepat dipakai untuk pembelajaran sejarah karena banyak konsep yang harus dikuasai oleh siswa untuk mengembangkan proses berpikir. Dengan peta konsep, peserta didik tidak akan mengingat dan menghafal materi sejarah secara verbatim, kata per-kata. Mereka punya kesempatan untuk membangun kata-kata mereka sendiri untuk menjelaskan hubungan satu konsep dengan lainnya. Di samping itu, Peta konsep bisa mengatasi hambatan verbal atau bahasa untuk menyampaikan gagasannya dan dalam saat yang sama bisa mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang pada akhirnya akan mendorong kemampuan verbalnya, penggunaan kata-kata untuk menyampaikan gagasannya. Terkadang istilah Peta Konsep (Concept Map) disejajarkan dengan Peta Pikiran (Mind Map). Keduanya memang mempunyai kesamaan dalam hal pembuatannya; keduanya menggunakan cara kerja pembuatan peta. 11
Sedikit perbedaan yang bisa digaris bawahi adalah bahwa Peta Pikiran lebih cenderung dipakai untuk menyampaikan gagasan-gagasan ilmiah yang menjadi kesepakatan umum, sementara itu, Peta Pikiran lebih bersifat personal, yaitu untuk menggambarkan ide-ide atau segala yang ada dalam pikiran seseorang. Peta pikiran merupakan metode yang sangan bagus untuk mencurahkan gagasan. Langkah-langkah: a. Jelaskan tujuan pembelajaran dan sebutkan jenis kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. b. Kaitkan materi yang akan dipelajari dengan keadaan peserta didik dan tunjukkan pentingnya mempelajari materi sejarah ini untuk kehidupan mereka. c. Tunjukkan pentingnya cara belajar dengan Peta Konsep dan berikan contoh-contohnya, artinya cukup tulisan setiap gagasan yang ada dalam pikiran ke dalam papan atau kertas. Minta semua peserta didik untuk menuliskan satu kata, konsep, gagasan, atau perasaan yang sekarang dirasakan. Dan tanyakan diakhir pelajar kenapa mereka menuliskannya dan diskusikan sebentar. d. Buat sebuah gambar yang melambangkan topik utama sekaligus merupakan garis besar di tengah atau di atas kertas kalau hubungan antar konsepnya bersifat hirarkis, seperti silsilah keturunan. Setiap kali membuat gambar atau garis, jelaskan maksud dan hubungannya. e. Buat garis tebal berlekuk-lekuk yang menyambung dari gambar di tengah kertas ke masing-masing cabang untuk setiap ide utama yang ada atau sebagai subjek. Cabang utama dalam mind map melambangkan sub topik utama. f. Beri nama pada setiap ide di atas atau boleh juga menambahkan gambargambar kecil mengenai masing-masing ide tersebut. Hal ini dilakukan untuk merangsang penggunaan kedua sisi otak. g. Dari setiap ide yang ada, tarik garis penghubung lainnya, yang menyebar seperti cabang-cabang pohon. Kemudian tambahkan buah pikiran ke setiap ide tadi. Cabang-cabang tambahan ini melambangkan detail-detail yang ada. h. Buat kelompok untuk mendiskusikan Peta Konsep yang dibuat guru dipapan tulis dan minta salah satu dari masing-masing kelompok menjelaskan atau membaca Peta Konsep itu dalam kelompoknya secara bergantian. Pengembangan: 1. Guru bisa meminta siswa untuk membuat peta konsep sendiri untuk mendeskripsikan silsilah keluarganya. Di pertemuan berikutnya, cara pembuatan konsep tersebut didiskusikan. Materi yang didiskusikan adalah bagaimana peserta didik bisa mengetahui silsilah keluarganya; siapa saja yang dijadikan sumbernya. Dengan cara pembelajaran seperti ini, peserta didik tidak hanya mengetahui dan menghafal sejarah orang
12
lain tapi juga mereka bisa melakukan cara berpikir sejarah untuk menuliskan silsilah sejarahnya sendiri. 2. Guru juga bisa meminta siswa untuk membuat Peta Konsep dari beberapa materi yang dianggap dasar dan harus mereka kuasai. 2. Role Playing (Bermain Peran). Bermain peran bisa berbentuk memerankan dialog tokoh-tokoh dalam sejarah atau memerankan diri atau kelompok sebagai ahli sejarah. Bentuk yang pertama bisa mengajak peserta didik untuk menjiwai karakter atau tokoh sejarah. Dengan cara ini, siswa merasakan dirinya sebagai aktor sejarah dan akan sangat berkesan bagi mereka. Dialog-dialog yang dipakai diusahakan untuk sederhana dengan tanpa meninggalkan gagasan-gagasan utamanya. Langkah-langkah: a. Susun/siapkan skenario beberapa hari minimal satu minggu sebelum tatap muka. b. Tunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum kegiatan pembelajaran. c. Bentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 siswa atau sesuai dengan kebutuhan. d. Beri penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai. e. Panggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk memainkan skenario yang sudah dipersiapkan. f. Minta masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan. g. Beri kertas kepada peserta didik sebagai audiens setelah selesai pementasan untuk membahas masalah yang diangkat. h. Minta masing-masing masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya. i. Berikan kesimpulan secara umum. Pengembangan: 1. Setelah kegiatan bermain peran usai, guru bisa meminta peserta didik yang memainkan peran untuk merefleksikan apa yang mereka alami dan rasakan saat mempersiapkan dan memerankan tokoh sejarah tersebut. 2. Bermain peran bisa dilaksanakan untuk kelas terbuka, terutama setelah melakukan banyak latihan dan peserta didik meras percaya diri untuk naik ke pentas memerankan dialog-dialog dan kejadian sejarah lainnya. 3. Active Knowledge Sharing (Aktif Berbagi Pengetahuan). Ini adalah satu yang dapat membawa peserta didik untuk siap belajar dengan efektif dan melibatkan unsur afektif. Metode ini dapat digunakan untuk melihat tingkat kemampuan siswa di samping untuk membentuk kerja-sama kelompok. 13
Langkah-langkah: a. Siapkan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan diajarkan. Pertanyaan itu bisa menyangkut: (1) Definisi suatu istilah, (2) Pertanyaan dalam bentuk Pilihan Ganda, (3) Mengidentifikasi tokoh sejarah, (4) Menanyakan sikap atau tindakan yang harus dilakukan, (5) Melengkapi kalimat, dll. b. Minta peserta didik untuk menjawab dengan sebaik-baiknya. c. Minta peserta didik untuk mencari teman yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak diketahui. Tekankan pada mereka untuk saling membantu. d. Minta peserta didik untuk kembali ke tempat duduk masingmasing. e. Periksa jawaban siswa, klarifikasi kalau ada jawaban kurang tepat dan jawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
C. Kesimpulan Kebudayaan Islam dalam pespektif sejarah dapat dipahami sebagai rentetan peristiwa dari masa ke masa, dimana Islam sebagai agama yang menginspirasi timbulnya kebudayaan. Setiap kebudayaan menampilkan bentuk kesadaran sejarah dan jiwa zamannya yang berbeda dengan kebudayaan lainnya. Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan sebuah mata pelajaran PAI yang diarahkan untuk mengenal, memahami, menghayati sejarah Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, keteladan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan. Pendidikan merupakan sebuah proses berkelanjutan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai sebagai bentuk internalisasi pembentukan karakter peserta didik. Nilai-nilai yang dibangun bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian secara utuh dengan menumbuhkan secara optimal potensi fitrah peserta didik D. Daftar Pustaka Azra, Azyumardi (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hanafi, M. (2012). Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI
14
Latif M, Abdul (2013). Metode Pembelajaran Tarikh atau SKI. [Online]. Tersedia: http://media.kompasiana.com/buku/2013/01/04/metodepembelajaran-tarikh-atau-ski-522266.html [3 Januari 2014] Mawardi, Imam (2012). “Pendidikan Life Skills Berbasis Budaya Nilai-Nilai Islami dalam Pembelajaran di Sekolah Formal”. Nadwa Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Volume 6, Nomor 2, Oktober 2012. ISSN: 1979-1739. Pengembangan Materi SKI MI Struktur dan jenis Materi Ajar SKI [Online]. Tersedia: http://zeidel.blogspot.com/2013/02/pengembangan-materi-skimi.html [3 Januari 2014] Prabowo, Sugeng Listyo (ed).(tt). Materi Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG). Malang: UIN Malang Press. Tafsir, Ahmad (2000). Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Yatim, Badri (2004). Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: LSIK dan PT RajaGrafindo Persada. Zaini, Hisyam, dkk, (2002). Strategi Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: CTSD IAIN Sunan Kalijaga.
15