Jamaluddin Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam: Telaah terhadap Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok
Abstrak: Lombok dikenal dengan sebutan Gumi Selaparang, karena di Lombok pernah berkuasa kerajaan Selaparang. Selaparang merupakan kerajaan yang besar dan menjadi simbol bagi kejayaan Islam di Lombok dua abad yang lalu. Sebagai sebuah kerajaan Selaparang memiliki peran yang sangat besar dalam membangun peradaban Islam di Lombok. Hal ini terlihat dari banyaknya manuskrip atau naskah-naskah yang tersebar di masyarakat. Naskah-naskah tersebut bukan hanya menggunakan bahasa Sasak yang merupakan bahasa suku Sasak di Lombok, melainkan ada yang menggunakan Jawa, Arab, Melayu, Bali, Bugis, dan sedikit berbahasa Sansekerta. Dengan memperhatikan banyak naskah dan beragam bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah yang ada di Lombok, mengindikasikan bahwa kerajaan di Islam di Lombok telah memainkan peranan penting dalam membangun peradaban dan tradisi intelektual dalam masyarakat Sasak. Artikel ini akan mengungkap, bagaimana sejarah penggunaan beragam bahasa dalam naskah-naskah Sasak yang ada di Lombok, dalam hal ini akan melihat lebih jauh hubungan kerajaan yang ada di Lombok dengan daerah-daerah lain yang bahasanya digunakan dalam penulisan naskah-naskah Sasak; dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga banyaknya naskah-naskah yang tersebar dalam masyarakat.
Kata Kunci: Naskah, Sasak, Lombok, sejarah.
M
anuskrip-manuskrip di Nusantara tersebar di seluruh pelosok negeri ini, yang ditulis tidak hanya menggunakan bahasa asing seperti, Arab, Sansekerta, tetapi juga
Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
181
Jamaluddin
182
menggunakan bahasa-bahasa daerah. Hal ini mengindikasikan terjadinya vernakularisasi (pribumisasi) Islam sehingga memungkinkan bisa dipahami secara lebih mudah oleh masyarakat-masyarakat pada setiap daerah di Indonesia. 1 Dengan berbagai macam bahasa yang digunakan, di Lombok ditemukan naskah-naskah dalam jumlah yang cukup besar, yang di dalamnya mencakup berbagai informasi penting, dan bermacam bidang kehidupan, seperti sastra, agama, sejarah, hukum, politik, adat-istiadat, farmakologi, prophesies, dan lain sebagainya. Naskahnaskah tersebut, dengan memperhatikan luasnya cakupan bidang yang digarap, maka sangat mungkin, karena banyak faktor yang mendukung perkembangannya. Naskah-naskah tersebut menjadi potret dari peradaban masyarakat Sasak yang telah dicapai pada era kerajaan Islam di Lombok yang menghadirkan gambaran realitas kehidupan masyarakat pada saat naskah tersebut dibuat. Banyaknya manuskrip-manuskrip yang ditemukan di kalangan masyarakat Lombok, dengan berbagai macam bahasa yang digunakan, tentunya memunculkan pertanyaan-pertanyaan, bagaimana hal ini bisa terjadi, maka dalam makalah ini saya akan mencoba melihat peran kerajaan dalam tradisi pernaskahan di Lombok. Untuk itu secara berurutan makalah ini akan menguraikan sekilas tentang kerajaan Islam yang ada di Lombok, Bagaimana Peran kerajaan dalam tradisi pernaskahan, serta bagaimana peran kerajaan dalam penggunaan bahasa pada naskah-naskah yang ada di Lombok. Tulisan ini akan mengungkapkan dan mengkaji data-data sejarah dalam kaitannya dengan pernaskahan dan tradisi tulis masyarakat Sasak. Kerajaan Islam Di Lombok Lombok dikenal dengan sebutan Gumi Selaparang, karena pada masa-masa kedatangan dan pertumbuhan Islam, yang berkuasa di Lombok adalah kerajaan Selaparang. Selaparang adalah nama dari sebuah kerajaan Islam terbesar di Lombok yang didirikan oleh Prabu Rangkesari abad ke-16 M di wilayah timur pulau Lombok. Paling tidak kerajaan ini telah menjadi penguasa di Lombok kurang lebih dua setengah abad, diperkirakan kerajaan ini berakhir pada abad ke18. Selama menjadi penguasa di Lombok, kerajaan ini telah berhasil menjadi sebuah kerajaan besar dan berwibawa baik di kalangan Sasak maupun di masyarakat internasional ketika itu. Di Lombok pada Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
waktu yang bersamaan terdapat juga kerajaan-kerajaan lain selain Selaparang, seperti Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong, Suradadi, dan Parwa, namun demikian dapat dikatakan semua kerajaan yang ada di Lombok mengakui supremasi kerajaan Selaparang.2 Sekitar abad ke-14 berdiri kerajaan Selaparang yang semula bernama Watu Parang. Kerajaan ini dibangun oleh Raden Maspahit, seorang Pangeran dari Kraton Majapahit yang tidak berani kembali karena memperistri puteri raja Lombok, calon permaisuri raja Majapahit. Dengan alasan itulah, maka Raden Maspahit maupun kerajaan Lombok diserbu oleh Majapahit. Kerajaan Lombok hancur, tetapi Raden Maspahit sempat melarikan diri ke dalam hutan. Setelah keluar dari persembunyiannya Raden Maspahit membangun kerajaan Selaparang Hindu dengan pusatnya di desa Peresak, Selaparang yang sekarang.3 Setelah kerajaan Selaparang ditaklukkan Empu Nala pada pertengahan abad keempat belas, timbul lagi kerajaan Mumbul yang berpusat di bekas kerajaan Lombok. Letaknya sangat strategis, merupakan pelabuhan utama ketika itu. Pada zaman pemerintahan Purwawisesa terjadi perang saudara. Beberapa orang Demung, Rangga dan Nyaka berontak karena menuntut balas atas terbunuhnya Patih Sandubaya yang dibunuh atas perintahnya4. Prabu Purwawisesa sendiri meninggal, karena bunuh diri yang kemudian diganti oleh Prabu Rangkesari.5 Pada zaman pemerintahan Rangkesari inilah agama Islam masuk ke Lombok. Kerajaan Lombok merupakan kerajaan pesisir, Lombok telah terbentuk menjadi kota pelabuhan dan kota kerajaan sebelum kedatangan Islam. Sehingga Lombok pada waktu itu ramai didatangi oleh pedagang-pedagang dari luar, seperti: Jawa, Bali, Palembang, Makassar, dan Maluku, bahkan tidak menutup kemungkinan pedagang-pedagang mancanegara seperti China, Arab, dan lainya juga pernah datang ke Lombok pada waktu itu. Pada beberapa tempat di Nusantara terbentuknya kota-kota muslim melalui proses yang panjang yaitu, islamisasi penduduk, kemudian terbentuknya perkampungan muslim, diikuti dengan pembentukan pemerintahan Islam, barulah terbentuknya kota-kota muslim, seperti yang terjadi di Samudra Pasai. Berbeda dengan yang terjadi di Lombok. Terbentuknya kota-kota muslim di Lombok seiring atau bersamaan dengan terislamkannya raja-raja di Lombok. Di Lombok sudah berdiri kota-kota pelabuhan dan kota-kota pusat kerajaan. Dengan masuknya Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
183
Jamaluddin
184
Islam di kerajaan Lombok maka kota-kota tersebut dengan sendirinya menjadi kota-kota muslim dan kota pusat kerajaan muslim. Muncul dan tumbuhnya kota-kota muslim di Lombok, sama dengan yang terjadi di Kalimantan. Di Kalimantan munculnya kota-kota diketahui dari sumber hikayat dan sumber asing, yang menyebutkan bahwa di beberapa tempat seperti, Banjar, Mertapura, Negara Dipa di Amuntai, dan Kutai, sebelum kedatangan Islam sudah merupakan kota-kota. Setelah kedatangan dan proses penyebaran Islam terbentuklah pemerintahan yang bercorak Islam dan dengan sendirinya juga menjadi kota-kota pusat kerajaan yang kebanyakan berpenduduk muslim.6 Setelah terjadi proses islamisasi dan terbentuknya kota-kota muslim, di antaranya ada yang berfungsi sebagai kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan ada pula sebagai kota-kota pusat kerajaan yang berarti pusat-pusat kekuasaan politik.7 Maka di sini Lombok merupakan kota pesisir yang berfungsi ganda yaitu sebagai kota pelabuhan dan pusat kerajaan atau pusat kekuasaan politik. Corak kerajaan yang ibu kotanya di pesisir merupakan kerajaan Maritim di mana pelayaran dan perdagangan sangat diutamakan. Kota tersebut kehidupan masyarakatnya lebih dinamis jika dibandingkan dengan kota-kota pedalaman, meskipun tetap merupakan masyarakat tradisional. Lapisan-lapisan masyarakat antara lain terdiri atas golongan pedagang, golongan nelayan, golongan budak, golongan pekarya atau tukang, golongan bangsawan atau raja-raja serta anggota birokrat (termasuk di dalamnya kiai). Golongan petani dalam kotakota tersebut tidak banyak, tetapi justru mungkin mereka itu sebagai pemilik sawah atau ladang, kebun yang letaknya di luar kota. Jadi petani dalam arti sesungguhnya jelas sebagian besar bertempat tinggal di desa-desa.8 Kerajaan-kerajaan seperti, Selaparang, Sokong, Bayan, Pejanggik, Langko, Suradadi, dan Parwa, merupakan kerajaan-kerajaan tradisional. Karena itu struktur sosial ekonomi kota-kota kerajaan ataupun kota pusat kerajaan tersebut juga bersifat tradisional. Golongan masyarakat yang ada dalam struktur sosial kota-kota yang bercorak tradisional seperti itu dapat disebut pula golongan masyarakat pra-industri.9 Penggolongan masyarakat kota-kota zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia umumnya terdiri atas; golongan raja-raja dan keluarganya, golongan elit, golongan non-elit, golongan budak.10 Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
Seiring dengan dipindahkannya ibukota kerajaan Mumbul dari Lombok (pesisir) ke daerah pedalaman Selaparang yaitu bekas kerajaan Selaparang Hindu, Maka kota pesisir (Lombok) tidak lagi berfungsi sebagai kota pusat kerajaan atau pusat kekuatan politik, melainkan hanya menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Kalaupun ditinggalkan, kota tersebut masih dipertahankan sebagai wilayah kekuasaan kerajaan Selaparang Islam. Karena kota pelabuhan Lombok selain letaknya yang startegis dan sebagai gerbang bagi orang asing yang akan memasuki Selaparang juga kota tersebut memberikan devisa yang cukup tinggi bagi pemasukan negara.11 Pemindahan ibukota kerajaan ini dilaksanakan atas usul Patih Singayudha, dan Patih Bandayudah.12 Usul ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ibukota Lombok kurang strategis, mudah diserang dari laut dan dari darat.13 Sebenarnya Lombok sebagai Ibukota kerajaan cukup strategis, karena letaknya yang sangat menguntungkan, tetapi mungkin masalahnya pada persoalan keamanan negara. Ketika Lombok menjadi pusat kerajaan, memang sangat mudah diserang oleh musuh khususnya dari luar, selain karena letak di pesisir, juga karena di Lombok tidak ada benteng pertahanan, yang akan menjadi pusat pertahanan tentara kerajaan. Jadi kalau ada serangan dari luar, maka kemungkinan musuh akan dapat langsung masuk ke jantung kota yang juga di dalamnya terdapat istana raja.14 Memperhatikan letak Selaparang yang agak jauh ke dalam, dari sisi keamanan memang sangat menguntungkan, di bagian barat Selaparang terdapat beberapa sungai yang cukup dalam dan besar, inilah kemudian menjadi benteng alam bagi pertahanan Selaparang, antara lain di sini yang biasa menjadi tempat berkumpul dan bertahannya tentara-tentara Selaparang pada saat ada penyerangan dari arah barat (darat) adalah Sungai Belimbing15 (Kokok Belimbing) yang membentang dari gunung Rinjani sampai ke laut yang membelah pulau Lombok dari utara ke selatan. Letak Selaparang yang berada pada dataran tinggi, di mana dari Selaparang dapat dipantau mobilitas kapal-kapal yang memasuki atau yang melewati pantai Lombok. Sehingga setiap kapal yang mencurigakan dapat diketahui secara langsung dari pusat kerajaan. Perpindahan ibukota kerajaan ke desa Selaparang, telah membawa perubahan baru bagi desa Selaparang itu sendiri. Penataan kota bukanlah menjadi persoalan bagi kerajaan Islam tersebut, karena sebelumnya (masa Selaparang Hindu) Selaparang juga merupakan Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
185
Jamaluddin
186
kota pusat kerajaan Selaparang Hindu. Kehidupan masyarakatnya tidak asing dengan gaya atau pola kehidupan perkotaan. Setelah istana kerajaan dibangun, maka berbagai fasilitas-fasilitas umum, seperti mesjid, pasar, dan berbagai fasilitas lainnya juga ikut dibangun.16 Di pusat-pusat kota kerajaan, Islam menjadi fenomena istana. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa, yang kemudian memunculkan tokohtokoh ulama intelektual, tokoh-tokoh ini memiliki jaringan yang luas, bukan hanya di dalam, melainkan sampai ke daerah lainnya. Selain itu, kota sebagai pusat ekonomi mempunyai kemampuan untuk mendukung kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan Islam secara politik, lebih-lebih lagi secara nansial. Relatif baiknya keadaan ekonomi perkotaan memungkinkan terselenggaranya pembangunan mesjid, dan pusat-pusat pengajaran Islam, kegiatan-kegiatan Islam, dan menimbulkan kemampuan untuk melakukan perjalanan dakwah ke wilayah-wilayah lainnya. Dengan berkesinambungannya hubungan dan kedatangan pedagang-pedagang muslim dan orang-orang muslim lainnya yang sengaja bermigrasi untuk mengembangkan Islam. Maka kota pelabuhan dan kota pusat kerajaan menjadi dinamis, yang dengan gagasan-gagasan baru tentang Islam yang kemudian menyebar ke pelosok-pelosok pedalaman. Dalam struktur kota Islam semacam ini, tempat ulama borjuis bermukim, terdapat ketergantungan timbal-balik antara kegiatan perdagangan dengan pembangunan dan pemeliharaan lembaga-lembaga pengajaran agama Islam. Lembaga pengajaran Islam ini sangat penting untuk mempertahankan karakter kota Islam dan juga bagi penyebaran Islam ke pedesaan dan pedalaman.17 Dengan demikian Selaparang berubah menjadi kota pusat kerajaan dan juga menjadi kota perdagangan. Di utara Selaparang dibangunnya perkampungan bagi pendatang dari luar, sampai sekarang masih ditemukan beberapa kampung tua yang kemungkinan pada waktu itu merupakan perkampungan bagi pendatang, karena beberapa nama-nama tempat di pulau Lombok ada di perkampungan tersebut, kalaupun sekarang sudah menjadi sebuah desa. Di bagian utara Selaparang ini masih banyak ditemukan makammakam tua, yang menggunakan batu megalit menjadi batu nisannya. Bahkan beberapa makam tersebut dikatakan sebagai moyang dari mereka di beberapa tempat di pulau Lombok. Menurut penulis kemungkinan makam-makam tersebut adalah para pendatang yang Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
pada awalnya membentuk sebuah pemukiman untuk sementara selama berdagang mereka tinggal di Selaparang. Dengan demikian Selaparang pada waktu itu merupakan kota besar, di mana mereka yang berada di kota-kota kecil yang di pedalaman berdatangan ke Selaparang. Golongan-golongan masyarakat di dalam kota-kota terutama di pusat-pusat kerajaan biasanya mempunyai perkampungan sendirisendiri. Karena itu sering dijumpai dalam sumber-sumber sejarah, tentang adanya kampung-kampung, di mana kampung-kampung tersebut ada yang berdasarkan kedudukan, keagamaan, kebangsaan, ataupun kekayaan. Biasanya kampung-kampung tersebut terpisah dari karaton atau tempat raja dan keluarganya.18 Kerajaan Selaparang bercorak maritim yang menitikberatkan kehidupannya di bidang perdagangan, dan kekuatan militernya lebih dititikberatkan angkatan laut. Setelah perpindahan ibukota kerajaan ke Selaparang, maka kerajaan ini menjadi kerajaan agraris. Masyarakat kota agraris lebih menitikberatkan bidang pertanian, sedang kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan darat. Tampaknya kerajaan Selaparang merupakan kerajaan yang bercorak maritim-agraris. Hal ini diketahui dari berbagai kebijakan-kebijakannya yang tetap membangun sektor-sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan.19 Terhadap komitmennya sebagai negara maritim tetap ditunjukkan, hal ini dapat diketahui dari sikapnya yang tetap mempertahankan Lombok sebagai kota pelabuhan dan dagang untuk berada di bawah pengawasannya. Selaparang telah membuka sebuah pasar (kota dagang) yang terletak di antara pulau Lombok dengan Sumbawa, yang kemudian pulau ini menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang luar.20 Banyaknya pulau-pulau kecil atau gili-gili yang terdapat antara pulau Lombok dengan pulau Sumbawa, sehingga agak sulit untuk menentukan pulau yang mana yang pernah menjadi pusat perdagangan. Kalau berita dalam babad tersebut dapat dipertanggungjawabkan, maka kemungkinan besar bekas-bekas kota dagang tersebut masih dapat ditemukan, karenanya perlu ada upaya lebih lanjut untuk dapat membuktikan keakuratan data tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota dagang di pesisir, tidak dapat dipisahkan dari ramainya pedagang-pedagang yang melakukan pelayaran dari barat ke timur yang menyusuri laut utara pulau Jawa, lebih-lebih setelah wilayah pesisir yang membentang dari laut Jawa Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
187
Jamaluddin
188
sampai Maluku dikuasai oleh orang muslim. Di Jawa muncul Cirebon, Demak, Gresik, di Nusa Tenggara, Selaparang, Sumbawa, dan Bima, di timurnya lagi ada Maluku, Makassar, Sulawesi, yang semuanya adalah kerajaan-kerajaan Islam.21 Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok Bersamaan dengan tampilnya Selaparang sebagai kota pusat kerajaan, maka beberapa tempat juga muncul sebagai kota-kota kerajaan seperti, Sokong, Bayan, Pejanggik, Langko, Suradadi, dan Parwa, yang kalaupun mereka mengakui supremasi kerajaan Selaparang,22 kerajaan-kerajaan tersebut memiliki otonomi untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Keberhasilannya dalam bidang ekonomi melalui pertanian dan perdagangan, telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dua hal yang harus sejalan beriringan, antara keberhasilan di bidang ekonomi dengan berkembangnya peradaban. Keberhasilan ekonomi akan menjadi penentu bagi keberhasilan dalam pembangunan peradaban, demikian juga sebaliknya dengan peradaban perekonomian akan dapat dipertahankan, dan distabilkan. Besarnya perhatian Istana terhadap peradaban di Lombok ikut menentukan pertumbuhan dan perkembangannya, khususnya di pusat-pusat kota. Namun demikian, peran Islam sebagai agama yang berperadaban juga tidak dapat dilepaskan di dalamnya, yang oleh kebanyakan peneliti tentang Lombok sering “dilupakan”. Islam hadir di muka bumi dengan membawa peradaban. Maka kehadirannya di Lombok pun dengan membawa peradaban. Perkembangan peradaban Islam di pulau Lombok ditandai dengan banyaknya ditemukan karya-karya intelektual muslim, khususnya karyakarya mereka pada masa kejayaan Islam di Gumi Sasak. Masa kejayaan Islam di pulau Lombok dimulai dari sejak masuknya Islam di daerah ini, pada awal abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18.23 Dengan ditemukan beberapa karya intelektual yang isi ceritanya diislamkan. Di masyarakat Sasak berkembang cerita dengan tokoh Dewi Anjani, cerita ini sangat mirip dengan cerita Ramayana.24 Kehadiran Islam di Lombok memberikan nuansa baru bagi perkembangan tradisi tulis di masyarakat Sasak. Karya-karya yang dihasilkan pada umumnya telah dimulai dari abad ke-16 di pusat-pusat kota kerajaan dan di kota-kota muslim lainnya. Berkembangnya budaya tulis dalam masyarakat Sasak tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
Pertama, kehadiran Islam sebagai sebuah ajaran, Islam adalah agama yang kaya akan ajaran-ajaran agama dan budaya yang tidak mungkin dapat ditransformasikan hanya dengan tradisi lisan. Ditambah lagi keharusan untuk menyampaikan dan disebarkannya kepada masyarakat. Kedua, adanya dukungan yang kuat kalangan Istana. Istana memfasilitasi segala kegiatan kaitannya dengan penulisan karya intelektual muslim ketika itu. Karya-karya mereka banyak yang bertemakan sejarah politik dan budaya, banyak ditulis di pusat-pusat kerajaan Islam pada waktu itu. Antara lain yang dapat dikemukakan, seperti Babad Lombok. naskahnya yang terakhir ditemukan berangka tahun, 1301 H, atau 1883 M. Babad ini ditulis untuk pertama kalinya jauh lebih awal dari tahun tersebut, boleh jadi babad tersebut telah ditulis pada masa kejayaan kerajaan Islam. Jadi penulis terakhir kemungkinan melakukan salinan-salinan, yang kemudian menambah data-data yang belum ada dalam babad tersebut. Babad Lombok, terdiri dari dua bagian ada Babad Lombok 1 dan Babad Lombok 2. selain itu ada juga Babad Selaparang, Babad Suwung, Babad Praya, Babad Sakra, yang semuanya merupakan sejarah politik di Lombok. Selain tentang sejarah politik, ada naskah Kotaragama25 sebuah kitab undang-undang negara. Di dalamnya berisi tentang aturan-aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang harus ditaati oleh semua pihak, baik itu oleh raja sebagai pemimpin negara, maupun oleh rakyat sebagai abdi negara. Di pusat kerajaan juga banyak penulis yang menulis tentang agama dan lain sebagainya. Faktor yang ketiga adalah, faktor budaya. Faktor budaya memegang peranan penting terhadap banyaknya karya-karya intelektual muslim di Lombok. Di kalangan masyarakat Sasak membaca naskah-naskah lontar sudah menjadi tradisi, dan dikenal luas oleh masyarakat Sasak. Tradisi membaca naskah lontar dalam masyarakat Sasak disebut pepaosan. Naskah-naskah dibaca dengan menggunakan lagu-lagu (ditembangkan). Ada enam tembang yang cukup populer dikenal di kalangan masyarakat Sasak, yaitu Durma, Sinom, Smarandana, Pangkur, Dangdang (Dangdang Gula), dan Mas Kumambang. Namun demikian dalam membaca kitab Serat Menak (Jawa) mengenal pula tembangtembang seperti Kinanti, Girisa, dan Pucung.26 Selain tradisi pepaosan, juga dikenal Tradisi pembacaan hikayat, tradisi ini dikenal dengan istilah bakayat. Naskah yang dibaca adalah hikayat-hikayat seperti hikayat Nabi-nabi (Qiṣaṣ al-Ambiyā’), Qamar Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
189
Jamaluddin
190
al-Zamān, Nabi bercukur, Ali Hanafīyah (Yazīd), dan lain sebagainya. Pembacaan hikayat ini disertai dengan lagu (istilah Sasak: kayat). Kayat Sasak sangat mirip dengan lagu hikayat yang berkembang di Melayu. Pembacaan hikayat ini juga membutuhkan penterjemah dan pendukung. Pembacaan hikayat Melayu dalam bentuk sya’ir disebut nya’ir. Kitab sya’ir yang terkenal di antaranya adalah Siti Zubaīdah, Sa’īr Kubur, dan Qamar al-Zamān.27 Tradisi pembacaan naskah yaitu Pepaosan, Bakayat, dan saer, merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan upacara adat dan keagamaan. Pembacaan naskah-naskah tersebut biasanya diadakan pada setiap malam jumat, atau pada perayaan-perayaan acara-acara seperti, acara pernikahan, khitanan anak, pembacaanya biasa diadakan di malam hari. Di samping itu ada juga naskah yang dibacakan dengan tujuan pengobatan (sympatetic-megic). Misalnya Kawitan Selandir (lontar), dibacakan untuk anak yang belum dapat berjalan. Indar Jaya (lontar) dibacakan untuk anak yang sulit berbicara. Indrabangsawan (Jawi) untuk anak yang dungu, dan yang lainnya di mana hal ini kadang hanya berbentuk kepercayaan satu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu.28 Demikian pentingnya naskah-naskah dalam kehidupan masyarakat Sasak, sehingga tidaklah mengherankan kalau hampir pada setiap kampung dapat ditemukan naskah-naskah. Pada umumnya naskahnaskah yang banyak tersebar di masyarakat adalah naskah-naskah yang ada hubungannya dengan upacara-upacara tersebut. Secara umum naskah-naskah yang berkembang di masyarakat Sasak, banyak yang tidak diketahui penulisnya karena sebagian besar naskah-naskah jarang ditemukan nama-nama penulisnya. Dari hasil penelusuran saya selama ini saya menemukan sebagian besar naskahnaskah yang berkembang di masyarakat Sasak, secara berurutan yaitu; pertama, naskah yang ditulis dengan hurup Jejawen (termasuk juga naskah Bali). Naskah-naskah yang ditulis dengan hurup Jejawan ada kalanya yang berbentuk salinan seperti Jatiswara, Dalang Jati, Puspakrame,29 Rengganis. Ada berbentuk tulisan (dari cerita oral ke tulisan) seperti, Doyan Neda, Cupak Gerantang, dan Lobangkara. Ada yang berbentuk saduran seperti Tapel Adam, Nabi Yusuf, Nabi Ibrahim, Mi’raj Nabi, dan cerita-cerita Menak. Cerita yang disadur dari cerita Menak (Jawa) terdapat berbagai judul antara lain, Banyurung, Kendit Birayung, Kabar Sundari, Gentur Bumi, Pedang Kemkem, dan lain Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
sebagainya. Sedangkan naskah yang berbentuk karangan seperti Silsilah Batu Dendeng, Silsilah Rembitan, Babad Selaparang, Pengeling-eling, Mantra, Obat-obat tradisional, dan sebagainya.30 Kedua, naskah yang ditulis dengan mengunakan hurup Arab. Naskah-naskah yang ditulis menggunakan huruf Arab kebanyakan menggunakan alas kertas, baik itu kertas Eropa maupun kertas Deluang. Karya dalam kelompok ini kebanyakan berupa salinan atau turunan dari kitab-kitab yang sudah ada seperti kitab suci al-Qur’an, Perukunan, Sifat dua puluh, Mujarrobat, dan semacamnya. Naskah-naskah Sasak di pulau Lombok yang berbentuk saduran banyak ditemukan. Karya-karya saduran tersebut babonnya ada yang yang berhuruf Jawi (Arab Melayu) dan ada pula yang berhuruf Jawa. Cerita-cerita tersebut kemudian dialihkan dengan mengunakan huruf Jejawan. Adapun bahasa yang dipakai adalah bahasa Kawi atau bahasa Sasak serta pada umumnya ditulis di atas daun Lontar. Dalam proses penyadurannya terkadang tidak dilakukan secara utuh. Ada yang judulnya yang tetap dan ada pula yang berubah. Bahkan isi sering mengalami pengurangan atau penambahan disesuaikan dengan kondisi masyarakat tempat penyaduran itu dilakukan. Dalam beberapa kasus berbeda dengan temuan-temuan di lapangan, sulit dibedakan mana yang merupakan salinan dan mana yang merupakan karangan. Sebagai contoh misalnya naskah-naskah qh, naskah-naskah qh ini agak sedikit sulit dibedakan apakah ia merupakan salinan atau karangan. Karena pembahasan hampir sama, bab bersuci, salat, atau lainnya semua sama pembicaraannya. Selanjutnya untuk membedakan mana yang salinan dan yang bukan salinan tidak mudah. Memang dalam tradisi Islam, penyalinan atau mengarang beda tipis, karena harus mengikuti paham mazhab. Bagi pengikut mazhab Sya i harus sama dengan imam-imam pendahulunya, tidak boleh berbeda. Biasanya penulis belakangan memberikan penjelasan atau syarah terhadap isi kitab sebelumnya. Di pulau Lombok ditemukan tidak kurang dari 2000-an, hasil karya intelektual Sasak, baik itu salinan maupun tulisan. Sekarang ini yang dikoleksi oleh Museum Negeri NTB tidak kurang dari 1250-an buah,31 dan sekitar 800-an yang tersebar di luar pulau Lombok, baik itu yang dikoleksi oleh museum-museum di Nusantara maupun di Luar Negeri. Di Belanda merupakan tempat naskah Lombok paling banyak disimpan, di mana pada waktu penaklukan Lombok oleh Belanda pada Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
191
Jamaluddin
192
tahun 1894 sampai akhir penjajahannya 1942, tidak kurang dari 600an naskah yang dibawa ke Belanda.32 Menurut perkiraan yang dapat dikumpulkan sekarang adalah sebagian dari jumlah naskah yang ada. Jadi yang masih tersebar di masyarakat kuat dugaan lebih banyak dari yang dikoleksi oleh museum tersebut. Perkembangan agama Islam dan peradaban Islam sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik kerajaan Islam di pulau Lombok. Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Lombok menunjukkan kemajuannya, maka Islam berkembang dengan pesatnya, dan peradaban Islam demikian majunya. Sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, merupakan masa kejayaan kerajaan Islam di Lombok, perkembangan Islam dan kemajuan pradaban Islam demikian pesatnya. Pusat perkembangannya berada di Kota-kota Muslim, yaitu di bagian Timur (seluruh wilayah Selaparang), tengah (kerajaan Pejanggik), dan utara (Bayan) dan sebagian kecil di barat daya. Pada awal abad ke-18, pusat kota kerajaan Penjanggik dapat diduduki oleh pasukan sekutu, Karang Asem Bali-Banjar Getas, yaitu setelah terjadi pertempuran yang sengit antara Pejanggik dengan Sekutu. Kekalahan Pejanggik dan beberapa kerajaan kecil lainnya di Lombok Tengah, telah mengakibatkan surutnya perkembangan Islam dan pradaban Islam di Lombok Tengah. Banyaknya tentara Pejanggik dan kerajaan-kerajaan kecil di Lombok tengah yang gugur dalam melawan pasukan Bali-Banjar Getas, memaksa Pejanggik untuk meninggalkan markas besarnya di Lombok Tengah, ada yang menyeberangi laut ke Sumbawa dan ada yang tetap bertahan di Lombok, yang kemudian mengkonsolidasikan kekuatannya di Sakra.33 Sakra inilah yang kemudian tetap berusaha untuk tetap eksis menjadi transformator tradisi intelektual muslim kepada generasi Sasak dikemudian hari. Seiring dengan perpindahan Pejanggik ke arah timur, di Lombok Tengah berdiri kerajaan Banjar Getas. Kalaupun kerajaan ini lahir dari sebuah konspirasi politik dengan raja Bali-Karang Asem namun dalam perkembangannya Banjar Getas juga memiliki sumbangan yang tidak kecil bagi perkembangan Islam di Lombok Tengah.34 Pada pertengahan abad ke-18, dengan runtuhnya Selaparang, maka di bagian timur terjadi penyebaran dan pemerataan peradaban. Sebelumnya berpusat di Selaparang, dengan hancurnya Selaparang maka transformasi intelektual tidak lagi terjadi di pusat pemerintahan, melainkan menyebar ke desa-desa, mereka membentuk perkampungan Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
masing-masing dalam suatu komunitas yang lebih kecil. Jadi setelah kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik runtuh, maka yang melanjutkan tradisi atau yang menjadi jembatan transmisi intelektual adalah mereka yang berada di bagian tengah dan timur, namun dalam komunitas-komunitas yang terbatas. Karena kondisi perpolitikan yang tidak kondusif, dan negara yang tidak stabil maka proses transformasi intelektual tidak berjalan secara sempurna. Hubungan Politik dan Pengaruhnya terhadap Penggunaan Bahasa dalam Naskah-naskah Sasak Banyaknya naskah yang ditemukan di Lombok, mengindikasikan bahwa tradisi tulis dalam masyarakat telah berkembang dengan baiknya sejak masyarakat Sasak mengenal tulisan. Beberapa tulisan (aksara) yang digunakan dalam naskah-naskah di Lombok adalah aksara Jejawen, Arab, Bali dan beberapa di antaranya (jarang ditemuakan) Bugis.35 Demikian juga halnya dengan bahasa, paling tidak ada tujuh macam bahasa yang sering digunakan yaitu, Jawa Kuno, Sansekerta, Jawa, Sasak, Bali, Arab, dan Melayu. Naskah-naskah di Lombok sebagian besar menggunakan bahasa Jawa Madya. Dalam penelusuran selama ini saya menemukan naskahnaskah yang disalin ke dalam bahasa Jawa pertengahan. Bahkan naskahnaskah Sasak yang berbahasa Arab, diterjemahkan, disayarahkan ke dalam bahasa Jawa. bahasa Melayu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa atau ke bahasa Sasak.36 Hal ini disebabkan karena pada masa kerajaan Islam bahasa Jawa menjadi bahasa Ilmiyah, bahasa komunikasi dalam prosesi kegiatan-kegiatan adat di masyarakat. Tidak banyak tulisan yang menjelaskan tentang kapan penulisan naskah-naskah dilakukan, lebih-lebih, banyak naskah di Lombok jarang yang menggunakan kolopon,37 kalaupun ada sering tidak lengkap seperti misalnya informasi berikut ini, (biasanya ditulis demikian) “naskah ini selesai ditulis pada tanggal 5 hari jum’at”, tanpa menyebut tahun. Selain karena alasan tersebut banyak naskah yang kemudian ternyata sudah dalam bentuk salinan yang kesekian kalinya. Jadi kalaupun ada yang meyebut angka tahun, tidak dapat dijadikan standar dalam menentukan kapan naskah tersebut pertama kali ditulis. Dalam kajian naskah atau ilmu lologi (Tahqiq al-Nushush) dikenal yang namanya metode stema,38 yaitu metode yang digunakan untuk menemukan naskah asli, atau menemukan silsilah suatu naskah. Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
193
Jamaluddin
194
Memperhatikan aksara-aksara dan bahasa yang digunakan, maka kuat dugaan bahwa tradisi tulis telah dimulai sejak adanya hubungan dengan banyak negeri atau daerah di luar Lombok. Sudah barang tentu kaitannya dengan hal ini, adalah daerah yang telah mengenal budaya tulis-menulis, karenanya hubungan Lombok dengan negeri lain di luar konteknya ini tidak akan dibicarakan, kalaupun hubungan tersebut telah ada 2000-an tahun yang lalu dengan beberapa negeri khususnya dalam pengaruh budayanya. Dari segi bahasa sepertinya pengaruh Jawa dan Bali cukup kuat. Namun untuk yang pertama, beberapa sumber menyebutkan bahwa itulah asal dari nenek moyang suku bangsa Sasak,39 sehingga pengaruh Jawa dalam masyarakat Sasak sangat kental terlihat. Beberapa nama desa di Lombok memiliki kesamaan nama dengan nama desa di Jawa, seperti Surabaya, Gerisak (Geresik), Mataram, Kediri, Wanasaba,40 dan lain sebagainya. Demikian juga halnya beberapa raja awal yang memerintah di Lombok juga adalah berasal dari Jawa, seperti Ratu Mas Panji, raja di kerajaan Sasak,41 diperkirakan letaknya di Blongas sekarang (kec. Gerung). Beberapa bukti lain tentang hubungan ini dan sekaligus menguatkan keberadaan kerajaan tersebut adalah, ditemukannya kentongan perunggu di Pujangan Tabanan, yang menginformasikan tentang kemenangan kerajaan Bali atas negeri Sasak, yang diperkirakan dibuat setelah anak Wungsu (abad XI), diperkuat lagi oleh prasasti Lutungan yang menyebutkan tentang pembelian 30 ekor kerbau oleh anak Wungsu, dari Gurun. Menurut R. Goris yang dimaksudkan Gurun adalah Pulau Lombok (Gerung),42 dan beberapa prasasti lain seperti prasasti Belanjong.43 Memperhatikan hubungan Lombok dengan negeri-negeri lain, maka tampak jelas bahwa pada masa-masa silam, sekitar abad-abad ke-9 Lombok telah menjalin hubungan dengan daerah luar, maka wajar kalau kemudian dari sisi bahasa akan terlihat pengaruhnya yang sangat kental dalam masayarakat Sasak. Demikian juga dengan tradisi tulis, dengan ditemukan beberapa prasasti tersebut dapat diketahui bahwa negeri Bali dalam hal ini yang menjalin hubungan dengan Lombok telah mengenal tradisi tulis-menulis. Dengan demikian interaksi antar Bali dengan Lombok, paling tidak telah memperkenalkan tulisan kepada masyarakat Lombok. Atau antar Jawa dengan Lombok, kalaupun dalam kasus ini terdapat perbedaan, dimana komunikasi Jawa Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
dengan Lombok pada abad-abad ke-9 atau ke-10, belum ditemukan data tertulis berupa prasasti seperti yang ada di Bali, tapi kuat dugaan Jawa memiliki peran yang cukup krusial, hal ini dapat dilihat pada penggunaan Bahasa Jawa kuno, Sanskerta, pada masa-masa itu. Letak pulau Lombok berada pada posisi yang sangat strategis dalam jalur perdagangan di kepulauan Nusantara menjadikannya sebagai penghubung bagi perdagangan antara timur dan barat. Keterlibatan lombok dalam jalur perdagangan tidak dapat dianggap kecil artinya bagi perkembangan perdagangan regional dan internasional. Pada awal-awal dibukanya jalur perdagangan di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara dalam hal ini Jawa muncul sebagai kerajaan Maritim HinduTarumanegara di Jawa Barat yang menguasai jalur perdagangan utara pulau Jawa sampai Sulawesi yang berakhir pada abad ke-7. Kemudian jalur perdagangan pindah ke Selat Malaka di bawah hegemoni kerajaan maritim Hindu-Sriwijaya, sampai abad ke-11. Maka sejak Abad ke12 Jalur perdagangan di sepanjang pantai utara pulau Jawa ke timur sampai di ujung kepulauan Nusantara kembali ramai seiring dengan munculnya adi kuasa baru kerajaan Agraris-Maritim Hindu Buda Majapahit.44 Hubungan Lombok dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara sebelum era Majapahit sifatnya lebih kepada hubungan dagang. Maka perubahan zona perdagangan juga berpengaruh terhadap hubungan tersebut. Memperhatikan letak dan keterlibatan Lombok dalam hal ini, maka tidaklah mengherankan apabila pengaruh Jawa memiliki kesan tersendiri bagi masyarakat Sasak. Penggunaan bahasa Jawa Kuno telah dimulai sejak adanya kontak dagang antar orang-orang Sasak dengan para pedagang Jawa, dan lebih dari itu bisa jadi bahasa Jawa telah menjadi bahasa pengantar para pedagang ketika itu. Bahasa Jawa Kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan suatu sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia. Di antara bahasa-bahasa Nusantara itu terdapat paling tidak ada 250 macam bahasa,45 termasuk di dalamnya semua bahasa yang ditemukan di daerah Nusantara. Untuk beberapa tulisan seperti bahasa Sanskerta ditemukan sebuah prasasti tertua menunjukkan angka tahun 732 M.46 prasasti ini menggunakan huruf Pallawa akhir, ditemukan di Gunung Wukir Canggal, Magelang. Sedangkan bahasa Jawa Kuno prasasti tertua ditemukan di Sukabumi menunjukkan angka tahun 804 M.47 Untuk bahasa Melayu yang karya Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
195
Jamaluddin
196
satra tulis tertua berasal dari sekitar tahun 1600 M., baru kemudian bahasa Aceh Batak, Minangkabau, Sunda, Bugis, Bali, Sasak (pen), dan sebagainya. Di tengah bahasa-bahasa itu bahasa Jawa menduduki tempat teristimewa, karena karya-karyanya berasal dari abad ke-9 dan ke-10,48 dengan kata lain bahwa Jawa Kuno dipakai pada karya-karya tertua.49 Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa Lombok telah terlibat dalam kontak hubungan dagang dan bahkan politik, yang secara bersamaan dengan itu juga di tempat-tempat pusat daerah (Jawa-Bali, dan lainnya) sudah berkembang tradisi tulis dan berbagai macam bahasa dengan beberapa bukti yang dikemukakan di atas, karenanya kuat dugaan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang bersamaan juga mengalami perkembangannya di Lombok. Terkait dengan karya tulis belum ditemukan, selain yang ada pada naskah-naskah yang berasal dari Lombok, baik itu yang tersimpan di museum-museum, maupun yang masih ada di tangan-tangan para kolektor. Namun beberapa sumber yang dapat dipergunakan untuk melacak sejak kapan tradisi tulis itu dimulai, salah satunya adalah informasi yang terdapat dalam Babat Nagarakertagama.50 Dalam babad tersebut disebutkan nama Lombok dengan Lombok Mirah. Untuk menguatkan pendapat tersebut, di Lombok juga ditemukan sebuah manuskrif yang mengabadikan tentang kedatangan Majapahit di Lombok, manuskrif tersebut menjelaskan tentang kedatangan seorang satria yang bernama Lumendang Sari asal Waringin Sungsang Majapahit, yang datang bersama-sama dengan Gajah Mada.51 Menurut kalangan sejarawan kedatangan orang Majapahit pertama kali adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Mpu Nala sekitar tahun 1343 M, baru kemudian kedatangan Majapahit sepuluh tahun kemudian, berarti sekitar tahun 1353 M.52 Karena belum ditemukan bukti lain yang lebih tua dari manuskrif di atas, maka standar kita untuk menetapkan tahun mulainya tradisi tulis dalam masyarakat Sasak adalah tahun 1353 M. pada saat manuskrif tersebut ditulis. Untuk aksara Arab ataupun Arab Melayu mulai dikenal oleh masyarakat Sasak setelah terjadinya Islamisasi di Lombok. Sedangkan untuk naskah-naskah Bahasa Bali dan aksara Bali berkembang di kalangan suku Bali yang mendiami pulau Lombok di bagian Barat, sejak terjadi penaklukan oleh penguasa Bali atas kerajaan Islam di Lombok sekitar awal abad ke-18, atau boleh jadi lebih awal Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
dari perkiraan, karena beberapa sumber Bali menyebutkan orang-orang Bali telah datang ke Lombok jauh sebelum invasi itu dilakukan, pada awal abad ke-17, yang membuat perkampungan di wilayah Barat pulau Lombok.53 Penutup Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa, sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, merupakan masa kejayaan kerajaan Islam di Lombok. Pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik kerajaan Islam di pulau Lombok. Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Lombok menunjukkan kemajuannya, maka peradaban Islam berkembang dengan pesatnya. Hubungan antara Lombok dengan daerah-daerah lain di Nusantara atau daerah lainnya telah melahirkan naskah-naskah dengan beragam bahasa dan aksara Di pusat-pusat kerajaan berkembang tradisi tulis yang melahirkan karya-karya sastra dan penyalinan karya-karya dari luar, seperti Arab, Melayu, dan Jawa ke dalam bahasa ataupun tulisan Sasak. Di lingkungan istana dibangun mesjid-mesjid dengan gaya arsitektur Islam pada waktu itu. Pusat perkembangannya berada di kota-kota Muslim, yaitu di bagian timur seluruh wilayah Selaparang), tengah (kerajaan Pejanggik), dan utara (Bayan) dan sebagian kecil di barat daya.
Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
197
Jamaluddin
Catatan Kaki
198
•
Artikel ini pernah disampaikan pada acara “Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-XIV” 11-13 September 2012 di UGM Yogyakarta.
1.
Azyumardi Azra, Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Sosial-Intelektual Nusantara, Makalah disampaikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VII dan Munas Manasa III, Wisma Syahida Syarif Hidayatullah Jakarta, 26-28 Juli 2004, 2. Tim Penyusun, Monogra Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1977), 11. Lihat juga Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XVIII) (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), td, 154. Tim Penyusun, Monogra , 12. Juga Jamaluddin, Islam Sasak, 154. Pemberontakan yang dilakukan oleh para Demung, Rangga, dan Nyaka Brangbantun terhadap pusat kerajaan diuraikan panjang lebar, mulai dari latar-belakang, proses (peperangan) yang terjadi, sampai berakhirnya pemberontakan. Lihat, Lalu Wacana, Babad Lombok (Jakarta: Proyek penerbitan buku bacaan dan sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1974), 70-96, bait 303-534. Wacana, Babad Lombok, 99. Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000), 40. Tjandrasasmita, Pertumbuhan, 41. Tjandrasasmita, Petumbuhan, 42. Gideon Sjoberg, e Pre-Industrial City (New York: e Free Press, 1965), 7-13. Tjandrasasmita, Petumbuhan, 80. Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2011), 60. Wacana, Babad Lombok, 19. Tim Penyusun, Monogra , 15. Jamaluddin, Sejarah...,61. Pada waktu penyerangan oleh kerajaan Bali-Karang Asem ke Selaparang, mereka para tentara Bali mendirikan tenda di barat Kokok Belimbing, sementara pasukan Selaparang di timurnya. Lihat Sulistiyati, Babad Selaparang (Jakarta: Depdikbud RI, 1993), 182. Sulistiyati, Babad Selaparang, 183 Albert H. Hourani dan S.M. Stern (eds), e Islamic City (Oxford: Bruno Cassirer & e University of Pennsylvania Press, 1970), 21-22. Juga, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), cet. ke-2, 33-34. Tjandrasasmita, Pertumbuhan, 42. Wacana, Babad Lombok, 20. Ibid Jamaluddin, Islam Sasak, 166. Ibid. Jamaluddin, Islam Sasak, 166. Tentang hal ini jelasnya lihat, V.J. Herman, et al. Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya (Mataram: Depdikbud, Dirjen Kebudayaan Museum NTB, 1990/1991), 8-9. Jelasnya lihat, Lalu Gde Suparman, et al. Pengungkapan Nilai Budaya Naskah Kuno Kotaragama (Mataram: Depdikbud, Dirjen Kebudayaan Museum NTB, 1995/1996). Aslinya lontar Kotaragama, menggunakan hurup Jejawen (tulisan Sasak) dengan bahasa jawa, angka tahun penulisan tidak ada. Herman, et al. Bunga Rampai, 10.
2.
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17.
18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
25.
26.
Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam
27. Ibid, 11. 28. Ibid. 29. Naskah ini telah dikaji oleh peneliti asal Belanda, lihat .C. van der Meij, Puspakrema: A Javanese Romance from Lombok (Leiden: Research School CNWS, Leiden University, 2002). 30. Herman, et al. Bunga Rampai, 9-10. 31. Jelasnya jumlah Naskah yang dikoleksi oleh Museum NTB, lihat katalog yang disusun oleh Dick van der Meij, Koleksi Naskah Museum Negeri Nusa Tenggara Barat berdasarkan Daftar Spesi kasi Naskah Koleksi Museum NTB (1990), 1-24. 32. Pemetaan naskah-naskah Lombok, menurut Chambert-Loir, naskah Lombok tersebar banyak tempat, di Belanda lebih dari 400 buah, yang didaftar oleh Marison sekitar 600 buah naskah asal Lombok yang berbahasa Jawa dan Sasak. Di museum Jakarta, Behrend (1998) mencatat sekitar 75 naskah, di masyarakat yang berhasil diinventarisasi oleh Dick van der Meij (1994), adalah 632 naskah, dengan rincian 330 berbahasa Jawa Kuna, 104 berbahasa Sasak, 101 berbahasa Bali, 49 Arab, dan 10 Melayu. Sedangkan yang tersimpan di museum NTB seluruhnya berjumlah 1250 buah, di Inggris kurang lebih 3 buah. Lihat, Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, Khazanah Naskah, Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (Jakarta: EFEO-Yayasan Obor Indonesia, 1999), 177-180. 33. Lalu Djelenga, Keris di Lombok (Mataram: Yayasan Pustaka Selaparang, 2000), 57. 34. Jamaluddin, Islam Sasak, 171. 35. Salah satu naskah yang mengunakan aksara Bugis adalah Naskah Bugis, Naskah ini selain aksaranya Bugis bahasa yang digunakan juga Bugis, bahannya kertas, jumlah lempir (halaman) 38, dengan kondisi masih baik. Ditemukan di dusun Penjor, desa Gondang kecamatan Gangga dan sampai sekarang ini masih dikoleksi oleh masyarakat setempat. 36. Naskah-naskah yang berbahasa Arab dengan syarah atau terjemahan bahasa Jawa Pertengahan beberapa di antaranya sudah peneliti digitalkan. 37. Kegunaan kolopon yang pertama adalah, memberi data tentang identitas karya yang terkandung dalam naskah (nama penulis, tempat, dan waktu penulisan); kedua, untuk menyajikan informasi tentang salinan naskah. Kolopon biasanya terdapat pada penutup naskah atau ada juga yang di awal. Lihat, Henri Chambert-Loir, Kolopon, Makalah disampaikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VII dan Munas Manasa III, Wisma Syahida Syarif Hidayatullah Jakarta, 26-28 Juli 2004, 3. 38. Metode ini dikembangkan oleh Lackman pada tahun 1830-an. Beberapa nama yang kemudian mengembangkan metode ini J.J.Rass, dalam Hikayat Banjar (1968). Ketika meneliti hikayat Banjar ia berhasil mengumpulkan 23 Naskah yang tersebar di berbagai tempat. Ras membandingkan semua naskah kata demi kata, dan episode demi episode. Ia berhasil menemukan perbedaan yang besar dalam isi cerita sehingga menghasilkan dua versi. Jelasnya lihat, J.J. Ras, Hikayat Banjar dan Kotawaringin: A study in Malay Historiography, Bibliotheca I. e Hague: Martinus Nijhoff, 1968), 78-80. Panuti juga melakukan hal yang sama ketika meneliti naskah Adat Raja-Raja Melayu, Lihat, Panuti Sudjiman, Adat Raja-Raja Melayu, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1981). Untuk jelasnya langkah-langkah tersebut lihat, Panuti Sudjiman, Filologi Melayu, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), 86-92. 39. Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial dan Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX), Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), 28. 40. Ibid, 36. 41. Lalu Wacana, Sejarah Nusa Tenggara Barat, (Mataram: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002), 20. Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012
199
Jamaluddin
200
42. Marwati Djonet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 353. 43. Ibid., 293. Lihat juga Jamaluddin, Islam …, 59. 44. Jamaluddin, Islam …, 50-1. 45. P.J. Zoetmulder, Kalangwan, (Jakarta: Jambatan,1985), 8. 46. Louis-Charles Damais, Epigra dan Sejarah Nusantara, (Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orien, 1995), 9. 47. Zoetmulder, Kalangwan, 3. 48. Di Jawa tradisi tulis-menulis bermula pada masa Sri Darmawangsa Teguh Anantawikrama yang terkenal dengan upayanya mengjawawakan Biyasamata artinya membahasajawakan ajaran-ajaran Baghawan Byasa. Darmawangsa memerintah kirakira Tahun 991-1017. Lihat Achdiati, Peradaban Manusia Zaman Peradaban Kuna, (Jakarta: Gita Karya, tt), 10-2. 49. Zoetmulder, Kalangwan, 4. 50. Babad Nagarakertagama adalah sebuah babad yang ditulis oleh Mpu Prapanca, yang menjelaskan hubungan Majapahit dengan semua wilayah yang ada di Nusantara. Babad ini ditemukan di Lombok pada waktu penyerbuan Belanda terhadap kerajaan Bali di Lombok pada tahun, 1894 M. Babad ini telah dibawa oleh pihak Belanda ke Leiden dan atas permintaan pemerintah RI babad tersebut dikembalikan lagi ke Indonesia. Naskah tersebut berbahasa Jawa Kuno, kemudian diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul kemudian upaya penerjemahan oleh Dr Kern tahun 1905-1914 yang dilengkapi dengan komentar-komentarnya. Baru pada tahun 1919, Dr Krom menerbitkan utuh isi lontar Nagarakertagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Nagarakertagama ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. Dr Slametmulyana dan disertai dengan tafsir sejarahnya. Menyusul kemudian, Dr . Pigeud yang menerjemahkan naskah tersebut kedalam Bahasa Inggris. Tentang Babad ini lebih jelasnya lihat, C.C. Berg, Gambaran Jawa Pada Masa Lalu dalam Historiogra Indonesia: Sebuah Pengantar, Ed. Soedjatmoko, et.al. (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995), 85-90. 51. Lengkapnya isi naskah tersebut dan sudah ditransliterasikan, lihat Team Penyusun Monogra Daerah NTB, Monogra Daerah Nusa Tenggara Barat, (Proyek pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977),12. 52. Lalu Jelenga, Keris di Lombok, (Mataram, Yayasan Pusaka Selaparang), 16. 53. lihat, Ide Anak Agung Gde Agung, Bali Pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1989), 102-3.
__________________________
Jamaluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Email:
[email protected].
Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012