125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
125
PENGETAHUAN, SIKAP DAN KETERAMPILAN GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI DI PROVINSI RIAU DALAM MELAKSANAKAN PENILAIAN BERBASIS KELAS Fadly Azhar ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk menilai pengetahuan, sikap dan keterampilan guru SMP Negeri di Provinsi Riau dalam melaksanakan konsep pelaksanaan penilaian berbasis kelas (PBK). Sampel kajian adalah sebanyak 297 orang guru Bahasa Ingeris SMPN di Provinsi Riau. Kajian ini menggunakan Model Penilaian CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam et al. (1971) yang berfokus pada faktor input, proses dan produk. Namun demikian, dalam kajian ini faktor yang dibahas adalah faktor input yang mencakup aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan guru dalam melaksanakan PBK. Angket merupakan instrumen pengumpulan data bagi faktor input ini. Alfa Cronbach untuk angket faktor input ini adalah antara 0.74 hingga 0.96 yang berarti memenuhi standar reliabiliti bagi suatu angket. Penganalisaan menggunakan analisis statistik deskriptif yang berfokus pada frekuensi, persentase, min skor, standar deviasi, dan interpretasi. Dapatan kajian menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat pengetahuan guru tentang konsep PBK dan tingkat keterampilan guru bahasa Inggris SMP Negeri di Provinsi Riau melaksanakan konsep PBK adalah pada interpretasi sederhana/sedang dengan min rata-rata = 3,46 (aspek pengetahuan) dan min rata-rata = 3,41 aspek keterampilan); manakala sikap mereka terhadap pelaksanaan konsep PBK berada pada interpretasi tinggi (min rata-rata = 3.88). Pendahuluan Dimensi pengetahuan atau kognitif adalah dimensi yang berhubungkait dengan kemampuan berfikir, kemampuan memperoleh pengetahuan, kemampuan pemerolehan pengetahuan, kemampuan mengenal, kemampuan memahami, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran (Gronlund, 1976). Sejalan dengan definisi ini dapat dikatakan bahwa dimensi pengetahuan adalah suatu dimensi yang sangat berperan dalam mengenal sesuatu objek yang dalam kajian ini adalah pelaksanaan konsep PBK. Dimensi pengetahuan terdiri daripada enam aspek iaitu aspek pengenalan, aspek pemahaman, aspek penerapan, aspek analisis, aspek sintesis dan aspek evaluasi. Aspek pengenalan adalah aspek azas bagi dimensi pengetahuan. Ini berarti bahwa guru diharapkan mempunyai kemampuan mengenal atau disebut juga dengan mengenal semua konsep PBK secara menyeluruh. Aspek pemahaman adalah lanjutan dari aspek pengenalan. Ini berarti bahwa guru diharapkan mempunyai tahap pemahaman yang signifikan tentang pelaksanaan konsep PBK; dan oleh karenanya, mereka akan mampu menentukan strategi yang tepat dalam melaksanakan konsep PBK semasa P&P. Aspek penerapan adalah lanjutan dari aspek pemahaman. Apalah artinya mempunyai tahap pengenalan dan pemahaman yang signifikan jika guru tidak mempunyai konsep yang bermakna dalam menerapkan PBK semasa P&P karena aspek penerapan jauh lebih sukar untuk dilaksanakan daripada aspek pengenalan dan pemahaman. Aspek analisis boleh disebut sebagai aspek yang diperlukan guru untuk mengdiskriminasi, membedakan, memilih dan mengidentifikasi khususnya konsep, prinsip serta jenis-jenis PBK yang selaras dengan tingkatkelas pelajar yang diajar. Di pihak lain, guru juga diharapkan mempunyai kemampuan dalam menentukan kekuatan dan kelemahan dari tiap-tiap jenis penilaian yang sesuai bagi kecakapan berbahasa, misalnya. Aspek sintesis adalah aspek yang cukup sukar dilaksanakan. Salah satu alasannya adalah bahawa dalam melaksanakan PBK, guru diharapkan mampu mensintesis dan menggunakan berbagai teori yang mendukung konsep jenis-jenis PBK tersebut. Aspek terakhir yang perlu dikuasai guru adalah aspek evaluasi, menilai atau memberikan masukan, komen dan kritikan terhadap konsep, prinsip serta 3Fakulti Pendidikan UKM 3FKIP Universitas Riau
1161
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
jenis PBK yang mereka laksanakan dalam P&P. Namun demikian, mereka diharapkan memberikan ulasan dan usulan yang tepat dan layak untuk digunakan baik bagi mereka secara mandiri maupun bagi orang lain. Seterusnya, sikap, menurut berbagai pakar psikologi seperti Kretch et al. (1962), Allport (1954), Campbell (1950), Cardno (1955), Newcomb (1978) sebagaimana dikutip oleh Mar’at (1981) menyebutkan bahwa sikap merupakan “produk daripada proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterimanya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, lingkungan dan kesediaan orang tersebut terhadap objek tertentu.” Selaras dengan definisi ini, dengan jelas terbaca bahwa sikap merupakan inti daripada semua aspek yang ada pada diri manusia. Namun demikian, orang tersebut mesti mempunyai ilmu pengetahuan (kognitif) jika dia ingin mengenal sesuatu objek dengan baik dan tepat. Seterusnya, dia juga mesti membuat sesuatu penilaian apakah dia suka atau tidak suka terhadap objek tersebut (afektif), dan akhir sekali, dia juga mesti memutuskan apakah dia akan berbuat sesuatu aktivitas terhadap objek tersebut (keterampilan). Ketiga dimensi ini berkaitan dan senantiasa diperlukan oleh manusia dalam memberikan tanggapannya terhadap sesuatu objek atau aktivitas yang akan dilaksanakannya. Aspek sikap ini juga berperan dalam memberikan penilaian terhadap kesiapan guru baik dimensi pengetahuan, dimensi sikap mahupun dimensi keterampilan mereka dalam melaksanakan konsep PBK. Bahagian kedua daripada dimensi sikap adalah sesuatu yang berkaitan dengan aspek afektif yang disebut dengan dimensi sikap/afektif. Menurut Popham (1995), dimensi sikap merupakan alat penentu apakah seseorang berhasil atau gagal dalam setiap aktivitas yang sedang dilaksanakannya. Hal ini tentu saja dialami oleh guru bahasa Inggris SMP Negeri di Povinsi Riau. Mereka akan berhasil dalam pelaksanaan PBK jika mereka mempunyai dimensi sikap yang tinggi terhadap konsep PBK tersebut. Selaras dengan pendapat Popham tersebut, Bloom, Krathwohl & Maisa (1973) menjelaskan bahwa hampir semua dimensi pengetahuan/kognitif dan dimensi keterampilan/psikomotor dimulai dari dimensi sikap/afektif. Alasan utamanya, menurut ketiga pakar ini adalah karena seseorang yang ingin mempelajari sesuatu bidang ilmu dan ingin pula melakukan seuatu aktivitas adalah disebabkan oleh dimensi sikap/afektif yang dimilikinya. Jadi, dimensi sikap/afektif sebenarnya berperan sebagai sumber perancang, pendukung sekaligus penggerak seseorang termasuk guru bahasa Inggeris SMP Negeri di Provinsi Riau dalam melaksanakan PBK secara terus-menerus sesuai dengan konsep, prinsip, tujuan dan jenis-jenisnya. Seterusnya, ketiga pakar tersebut membagi dimensi sikap/afektif menjadi lima aspek yaitu sikap menerima, sikap memberikan respons, sikap menghargai, sikap mengorganisasikan, dan sikap mewatak. Pada aspek sikap menerima, seseorang dalam hal ini guru bahasa Inggeris SMP Negeri di Provinsi Riau mempunyai kehendak terhadap sesuatu fenomena khusus atau stimulus yakni merasa perlu melaksanakan PBK dalam setiap P&P. Aspek sikap pemberian respons yang merupakan lanjutan daripada aspek sikap menerima, menyokong guru menjadi lebih aktif, partispatif dan memberikan respons positif atau negatif dalam setiap aktivitas yang dilakukannya khususnya dalam PBK. Oleh karena itu, berbagai pihak seperti kepala sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Riau dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga seluruh Provinsi Riau hendaklah memperhatikan hal ini dengan sebaik-baiknya. Aspek sikap menghargai yang juga merupakan lanjutan daripada aspek pemberian respons akan timbul dengan sendirinya dalam jiwa guru jika mereka mengenal manfaat yang diakibatkan oleh pelaksanaan PBK terhadap P&P. Oleh karena itu, pelatihan yang kontinu sangat diperlukan bagi mereka apalagi jika diikuti pula dengan pengiktirafan oleh berbagai pihak seperti kepala sekolah, pegawai administrasi sekolah, dan pengawas. Pada aspek sikap mengorganisasikan, berbagai pihak seperti rekan-rekan guru lainnya, kepala sekolah, instruktur, dan pengawas hendaklah membangun suatu tata kerja yang terpadu dan saling mengaktivkan satu dengan lainnya. Akibat daripada sistem kerja seperti ini akan tercipta sistem nilai internal yang konsisten dalam jiwa guru tersebut dan ini sangat menyokong kerja mereka yang tidak hanya mengajar tetapi juga memberikan penilaian hasil belajar melalui PBK. Aspek terakhir adalah aspek mewatak (karakteristisasi). Pada aspek ini, guru diharapkan sudah mempunyai nilai-nilai yang kompleks tentang semua perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan PBK. Alasannya adalah bahwa pada aspek ini mereka diharapkan sudah
1162
3FKIP Universitas Riau 3Fakulti Pendidikan UKM
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
mampu mengendalikan prilaku pada masa tertentu dan terbentuknya apa yang disebut dengan gaya hidup. Dalam perkataan lain, pelaksanaan PBK adalah merupakan bagian daripada gaya hidup dan gaya mengajar guru bahasa Inggeris SMP Negeri di Provinsi Riau. Berikutnya, Krathwohl (1973), Popham (1995), Gronlund (1976), dan Simpson (1966) menyebutkan bahawa dimensi kemahiran/psikomotor adalah dimensi yang berhubungkait dengan kemampuan melakukan berbagai aktivitas dengan menggunakan bagian badan/tubuh atau kemampuan yang berhubungkait dengan gerakan fisik. Menurut ketiga pakar ini, dimensi kemahiran/psikomotor mencakup paling sedikit lima aspek iaitu aspek kemahiran mengindera/membuat persepsi (perception), kemahiran menyiagakan diri (readiness), kemahiran bertindak secara terbimbing (guided response), kemahiran bertindak secara mekanis (mechanism) dan kemahiran bertindak secara kompleks (complex response). Aspek kemahiran mengindera/membuat persepsi adalah kemampuan seseorang termasuk guru dalam memperhatikan dan memberikan pandangan terhadap pelaksanaan PBK. Dengan memiliki indera/ persepsi yang positif terhadap PBK, maka boleh dipastikan bahwa guru tersebut cenderung akan melaksanakan sistem penilaian tersebut sebagai bahagian daripada P&P yang dilakukan di sekolah. Aspek kemahiran menyiagakan diri memainkan peranan yang cukup penting khususnya dalam membentuk sekaligus membiasakan guru menggunakan kemampuan fisiknya untuk memikirkan, mengembangkan, dan menerapkan kriteria/rubrik jenis-jenis PBK yang sudah ada. Dengan demikian, mereka akan terbiasa dan senantiasa siap sedia baik menggunakan yang sudah ada maupun beradaptasi dengan rancanganrancangan yang baru dipelajarinya. Aspek kemahiran bertindak secara terbimbing juga memainkan peranan yang penting khususnya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada peserta didik. Kemampuan seperti ini penting bagi guru khususnya memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam menjawab pertanyaan yang ditanyakan guru. Bimbingan seperti ini sangat bermanfaat bagi peserta didik yang masih duduk di kelas tujuh. Hal lain yang diperlukan bagi kemahiran bertindak secara terbimbing ini adalah bahwa belum tentu semua peserta didik paham tentang cara mengerjakan sesuatu tes dengan cepat, tepat, dan benar. Aspek kemahiran bertindak secara mekanis sangat berperan di sekolah karena sekolah merupakan satu sistem pendidikan yang terdiri daripada berbagai sub-sistem. Jadi, seorang guru diharapkan mempunyai kecakapan yang khusus pula dalam pengajaran-pembelajaran bahasa Inggeris dan pada waktu bersamaan, dia juga mempunyai kecakapan khusus pula dalam merancang, mengembangkan, memodifikasi, dan menggunakan kriteria atau rubrik yang sederhana, praktis, dan sesuai dengan pengajaran-pembelajaran yang dilakukannya. Aspek kemahiran bertindak secara kompleks sebenarnya merupakan lanjutan daripada aspek kemahiran bertindak secara terbimbing. Perbedaannya adalah terletak pada skop kebebasan yang diberikan guru kepada peserta didiknya dalam menyelesaikan setiap pertanyaan yang diberikan kepada meraka. Oleh karena itu, guru mestilah berhati-hati betul dan pastikan bahwa mereka mempunyai kemampuan yang handal dalam memberikan bimbingan secara kompleks kepada pelajar. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 047/U/2002, 4 April 2002 Bab III Pasal 3 (Depdiknas 2002) menetapkan Penilaian Berbasis Kelas (PBK) sebagai alat penilaian resmi pada sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Keputusan ini didukung oleh Panduan tentang PBK (Depdiknas 2002); Panduan Khusus Pengembangan Sistem Penilaian” untuk mata pelajaran Bahasa Inggris di SMP (Depdiknas 2003); dan Pedoman Penilaian di Kelas yang meliputi konsep (i) penilaian tulis, (ii) penilaian kinerja, (iii) penilaian produk, (iv) penilaian proyek, (v) penilaian diri, (vi) penilaian sikap, dan (vii) penilaian portofolio (Depdiknas 2006). Menyokong keunggulan PBK ini, Satterly (1981), Fernandes (1984) dan Airasian (1984) menjelaskan bahwa untuk mengetahui pencapaian akademik peserta didik yang sebenarnya, maka guru sebaiknya menggunakan PBK secara terpadu semasa P&P. Salah satu alasan tentang keunggulan PBK ini menurut ketiga pakar ini adalah bahwa pencapaian akademik pelajar boleh terukur secara pasti tanpa dipengaruhi oleh pemikiran subjektif dari pihak guru dan sekolah sebagai penilai. Disamping itu, ‘PBK adalah penilaian dan pengukuran yang nyata.’ Ini berarti bahwa bahan PBK tidak hanya difokuskan pada dunia sekolah saja tetapi meliputi 3Fakulti Pendidikan UKM 3FKIP Universitas Riau
1163
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
dunia kehidupan nyata sehingga bahan PBK termasuk bahan pembelajaran merujuk kepada berbagai sumber. Hal ini akan membuat peserta didik merasa seolah-olah dalam dunia nyata yang sebenarnya. Berikutnya, PBK senantiasa menggunakan ukuran atau kriteria tertentu. Konsep ini berarti bahwa untuk menilai pencapaian akademik secara tepat, guru hendaklah menetapkan skala nilai serta rubrik penilaian yang betul-betul sah yakni selaras dengan jenis penilaian yang digunakan serta selaras pula dengan batas nilai keberhasilan bagi mata pelajaran yang ditentukan. Menurut Cece-Murcia dan Olshtain (2001) serta Buntu (2005), batas nilai keberhasilan ini bersifat mutlak dan baku sehingga menggambarkan tingkat pencapaian pembelajaran yang sebenarnya. Pelajar dikatakan tidak berhasil jika nilai yang diperolehnya berada dibawah batas nilai yang sudah ditetapkan guru mata pelajaran tersebut yang disebut dengan kriteria ketuntasan belajar minimum (KKBM). Seterusnya, PBK bersifat menyeluruh. Ini bermakna bahwa jika guru menerapkan PBK sebagai sistem penilaian pencapaian akademik, maka hendaklah digunakan secara menyeluruh yaitu penilaian yang menilai dan mengukur pengetahuan tentang bahan ajar yang sudah diajarkan (ranah pengetahuan), sikap terhadap bahan ajar yang sudah diajarkan (ranah sikap), serta kemahiran menerapkan bahan ajar yang sudah diajarkan tersebut secara praktik (ranah kemahiran). Untuk itu, Sapaat (2004) menjelaskan bahwa PBK adalah suatu sistem penilaian pencapaian akademik yang otentik sehingga PBK sudah masanya untuk dipertimbangkan sebagai pendukung atau pengganti ujian nasional. Sebagai tambahan, Angelo dan Cross (1993) menjelaskan bahwa PBK mempunyai beberapa ciri khas lainnya. Pertama, dalam menerapkan konsep PBK, berbagai aktivitas dan penilaian senantiasa berpusat pada peserta didik (learner-centered). Ini berarti bahwa semua aktivitas pembelajaran serta proses penilaian berfokus pada aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik manakala guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator saja. Kedua, dalam melaksanakan PBK guru juga berperan sebagai pengarah (teacher-directed). Ini bererti bahwa guru hanya memberikan model dan petunjuk saja manakala peserta didik melaksanakan semua aktivitas yang sudah ditetapkan tersebut. Ketiga, PBK juga membuat guru dan peserta didik senantiasa aktif dan berperan dalam setiap P&P (mutually beneficial). Ini berarti bahwa peserta didik aktiv dalam melakukan semua aktivitas P&P; dan guru juga aktif menilai tiap-tiap aktivitas peserta didik dengan menggunakan rubrik yang selaras dengan jenis PBK yang digunakan guru. Keempat, PBK membaiki kualiti pembelajaran pada setiap tahap pembelajaran (formative). Penilaian dan pengukuran pencapaian akademik secara bertahap yang disebut juga dengan penilaian formatif adalah perlu dilakukan oleh guru. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas P&P pada setiap tahap pembelajaran yang sudah diajarkan. Seterusnya, PBK berfokus pada situasi kelas tertentu saja (context-specific) yang dapat diartikan bahwa dalam menentukan jenis PBK, guru hendaklah mengenal watak peserta didiknya. Dalam perkataan lain, jenis PBK yang digunakan guru hendaklah merupakan jenis PBK yang sesuai dengan kesukaan pelajar dalam satu kelas tertentu. Keenam, PBK hendaklah dilaksanakan secara kontinu (on-going) yang bermakna bahwa semakin sering digunakan, apalagi dalam jenis yang berbeda, semakin terbiasa dan terlatih pula peserta didik mengerjakannya. Akhir sekali, dengan menerapkan PBK, akan membuat P&P lebih sistematik, fleksibel, dan efektif (rooted in good teaching practice). Aspek terakhir ini boleh dipastikan akan mengakibatkan hasil P&P menjadi lebih sistematik, fleksibel, dan efektif. Sistematik dalam konteks ini bermakna bahwa PBK yang dilaksanakan secara sikuens yaitu selaras dengan keperluannya, misalnya, dimulai dengan penilaian tulis, penilaian kinerja, diteruskan dengan penilaian produk, penilaian proyek, penilaian diri, penilaian sikap, dan diakhiri dengan penilaian portfolio. Fleksibel dalam konteks ini bermakna bahwa PBK sebagai sistem penilaian dapat digunakan kapan saja diinginkan guru: diawal, ditengahtengah, maupun di akhir pembelajaran. Sementara itu, efektif dalam konteks ini bermakna bahwa penggunaan jenis PBK secara kontinu akan menimbulkan kesiapan bagi peserta dalam mengerjakan tugas dan soal-soal yang diberikan guru. Selaras dengan keunggulan PBK tersebut diatas, Western and Northern Canadian Protocol for Collaboration in Education (2006) menyimpulkan bahwa PBK memainkan peranan penting dalam mengenal pencapaian akademik, motivasi pelajar dalam pembelajaran, dan mengenal pula cara-cara
1164
3FKIP Universitas Riau 3Fakulti Pendidikan UKM
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
pengajaran guru. Disamping itu, guru juga memiliki kebebasan dalam menggunakan berbagai strategi dan jenis-jenis PBK serta boleh mengadopsi strategi dan jenis-jenis PBK yang sesuai dengan tujuan dan keperluannya. Dalam perkataan lain, guru mempunyai kebebasan yang cukup signifikan untuk memilih, menerapkan, dan melaksanakan jenis PBK dalam menilai dan mengukur pencapaian akademik peserta didiknya karena guru orang yang paling mengenal tentang situtasi, kondisi dan pencapaian akademik peserta didiknya baik secara perseorangan maupun secara kelompok serta menentukan jenis PBK yang sesuai bagi mereka. Untuk ini, Linn dan Gronlund (1995) berkesimpulan bahawa assessment merupakan sesuatu ungkapan yang meliputi prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi P&P tentang peserta didik khususnya yang berkaitan dengan pengamatan, kemampuan melaksanakan proyek, penilaian tulis yang kesemuanya ini memberikan sokongan kepada kemajuan P&P yang sedang dilaksanakan oleh peserta didik. Sebagai tambahan terhadap pendapat para pakar diatas, Stiggins (1994) menjelaskan bahwa pada prinsipnya, pelaksanaan PBK juga disebut sebagai suatu sistem penilaian yang berpusat pada pelajar. Ini berarti bahwa penilaian terhadap semua aktivitas peserta didik dalam kelas dilaksanakan guru terpadu dengan P&P; jadi nilai yang diperoleh oleh peserta didik berdasarkan pada kualitas yang ditampilkannya. Seterusnya, Houghton Mifflin Company (1997) menjelaskan bahwa PBK adalah penilaian yang efektif dan efisien untuk menilai pencapaian akademik jika guru memfokuskan PBK pada outcome yang penting dalam kurikulum, menselaraskan dengan tujuan pengajaran, melaksanakan sendiri, menyatukan dengan aktivitas melalui contoh-contoh, memeriksa hasil kerja, menyemak portofolio, menentukan kriteria, membuat jadual penilaian portofolio, dan memulai PBK secara bertahap. Angelo (1991) menjelaskan bahwa tujuan PBK adalah menyediakan berbagai informasi yang diperlukan untuk memperbaiki efektivitas dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Untuk itu, Haugen (1999) menjelaskan bahwa terdapat dua keuntungan PBK yaitu mengenal pencapaian akademik dan mengenal informasi tentang keefektifan metode yang digunakan oleh guru dalam P&P. Selain daripada itu, Pausch dan Mary (1999) berkesimpulan bahwa PBK sangat diperlukan karena ia akan menggambarkan sesuatu pertanggungjawaban kepada berbagai pihak khususnya dalam penilaian akreditasi. Sementara itu, Stiggins dan Chappuis (2005) menjelaskan bahwa PBK adalah penilaian yang tidak saja membuat peserta didik produktif, percaya diri, tetapi juga menggambarkan potensi belajarnya. Disamping itu, Lynn (2005) menjelaskan bahwa PBK bermakna, nyata, dan dapat digunakan sebagai dasar dalam perbaikan kualitas pencapaian akademik. Menyokong hal ini, Kurikulum Internat Al Kausar (2005) menyimpulkan bahwa PBK memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menentukan kriteria keberhasilan, cara dan jenis-jenis penilaian yang akan digunakan guru; manakala Bronwen (2005) menjelaskan bahwa PBK membuat peserta didik belajar bersama secara aktif sehingga terdapat budaya belajar yang sama. Akhir sekali, Baenen dan Chuck (2000) berkesimpulan bahwa PBK yang dilakukan di berbagai sekolah dalam satu kawasan tertentu sangat berperan dalam membaiki kemampuan peserta didik untuk mengikuti ujian nasional. Horst (2000) menjelaskan bahwa guru boleh melaksanakan PBK melalui aktivitas seperti journals, learning logs, dan conferences dalam menilai ‘oral skill’. Untuk itu, Agung Haryono (2005) menjelaskan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi guru dalam pelaksanaan Kurikulum Berasaskan Kompetensi adalah kemahiran dalam melaksanakan PBK karena dengan PBK guru akan mampu memantau kemajuan pecapaian akademik peserta didik sesuai dengan “matriks” kompetensi belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Disamping itu, Mertler (2003) menjelaskan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penilaian melalui paper-and-pencil format dengan penilaian web format; manakala Mantero (2002) menjelaskan bahwa peserta didik yang menguasai tatabahasa belum tentu bagus dalam berkomunikasi; tetapi kecakapan berkomunikasi akan meningkatkan kemampuan tatabahasa. Holmes (2001) berkesimpulan bahwa penilaian terhadap kurikulum nasional perlu ditinjau dari berbagai pendekatan psikologi; tidak cukup melalui formatif, diagnostik, summatif dan evaluatif saja. Sejalan dengan konteks ini, Plake et al. (2004) berkesimpulan bahwa sistem penilaian bagi mata pelajaran sains perlu menggunakan model sistem yang khusus dan sengaja dirancang untuk sains. 3Fakulti Pendidikan UKM 3FKIP Universitas Riau
1165
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
Seterusnya, Mertler (2001) mengusulkan guru menggunakan “analytic rubrics” (menilai proses dan produk dan fase-fasenya secara terpisah) dan “holistic rubrics” (menilai proses dan produk secara menyeluruh) dalam menilai dan mengukur kinerja sehingga pencapaian akademik peserta didik yang ditetapkan menggambarkan kinerja yang sebenarnya. Seterusnya, Moskal (2000) menjelaskan bahwa guru mesti menentukan jenis penilaian rubrik, kapan digunakan, dan bagaimana menggunakannya karena satu penilaian rubrik cukup berbeda dengan rubrik lainnya. Sementara itu, Andrade dan Ying (2005) mengusulkan peserta didik menggunakan rubrik untuk menyokong kinerja akademik dan belajarnya; bahkan Moskal dan Jon (2000) menjelaskan bahwa rubrik sangat berguna dalam PBK sehingga penilaian terhadap setiap pengembangan rubrik mesti memenuhi uji validitas dan reliabilitas bagi rubrik tersebut. Akhir sekali, Tierney dan Marielle (2004) menjelaskan bahwa “banyak rubrik yang tersedia bagi pendidik tidak berfungsi dengan baik dalam P&P karena rubrik tersebut tidak konsisten dalam deskripsi kriteria kinerja yang sesuai dengan skala kelas peserta didik.” Di pihak lain, berbagai peneliti juga mengusulkan guru menggunakan bahan otentik dalam melaksanakan PBK. Dutcher (1990) menjelaskan bahwa tes kecakapan membaca hendaknya bersifat otentik karena kemampuan membaca merupakan kemampuan bebas dan fleksibel bagi tiap-tiap peserta didik. Untuk itu, Valencia (1989) menjelaskan bahwa penilaian otentik sangat berfaedah dan mudah untuk dilaporkan kepada masyarakat, komite sekolah, dinas pendidikan, dan orang tua peserta didik karena penilaian otentik merupakan penilaian yang langsung dan nyata. Oleh karena itu, Jia et al. ((2006) berkesimpulan bahwa guru-guru ESL menunjukkan persepsi yang tinggi untuk menggunakan classroombased reading assessment sebagai sistem penilaian bagi pencapaian mata pelajaran Reading. Namun demikian, PBK juga boleh digunakan untuk menilai kerja guru. Cheng et al. (2004) menjelaskan bahwa penilaian yang dilakukan peserta didik memainkan peranan penting dan berpusat pada aktivitas penilaian yang dilaksanakan oleh ESL/EFL instructors. Ini berarti bahwa PBK memberikan keuntungan dua arah yaitu dari guru-peserta didik dan peserta didik-guru. Akhir sekali, Chittenden (1991) dalam Bahrul Hayat (2006) menyebutkan terdapat empat macam kepentingan dilaksanakannya PBK sebagai alat penilaian pencapaian akademik . Pertama adalah untuk aktivitas keeping track, yaitu aktivitas yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang pencapaian akademik yang sudah diperoleh peserta didik sepanjang tahun pembelajaran. Kedua adalah untuk aktivitas checking-up, yaitu kemampuan dalam mengenal hambatan-hambatan yang dihadapi peserta didik dalam P&P khususnya pada apa-apa saja yang belum dikuasasi peserta didik. Ketiga adalah untuk aktivitas finding-out, yaitu kemampuan dalam mengenal, menganalisis, dan merefleksi hasil pembelajaran serta menentukan hal-hal yang mengekang P&P. Akhir sekali, PBK adalah untuk aktivitas summing-up, yaitu kemampuan dalam membuat kesimpulan tentang kompetensi dalam menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum sebagaimana ditetapkan melalui KKBM guna menentukan program remedial teaching. Namun demikian, salah satu kelemahan PBK menurut Coleman, et al. (1989) dalam Ur (1997) adalah bahwa PBK cukup sukar dilaksanakan dalam kelas yang dihadiri oleh empat puluh orang pelajar atau disebut juga dengan kelas besar sebagaimana terdapat pada setiap SMP Negeri di Provinsi Riau. Coleman, et al. (1989) menyebutkan bahwa hal yang menjadi masalah dalam kelas besar ini adalah bahwa peserta didik terdiri dari berbagai aspek ‘heterogeneous’ sehingga mengakibatkan terjadinya ‘mixed ability’ baik dalam ‘ability to perform’ maupun dalam ‘potential learning ability’. Dalam perkataan lain, terdapat perbedaan yang signifikan dalam berbagai faktor demografi tiap-tiap peserta didik dalam satu kelas, misalnya, dalam P&P bahasa asing termasuk bahasa Inggeris seperti berikut: kemampuan pembelajaran bahasa, pengetahuan kebahasaan, latar belakang budaya, gaya belajar, sikap terhadap bahasa, bahasa ibu, tahap kecerdasan, pengetahuan tentang dunia, pengalaman belajar, pengetahuan tentang bahasa lain, umur atau kematangan, jenis kelamin, kepribadian, keyakinan diri, niat, minat, kebebasan, kepatuhan diri, dan peringkat pendidikan. Selain daripada itu, dalam melaksanakan PBK, guru dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan seperti hambatan dalam menilai kepatuhan peserta didik terhadap semua peraturan-peraturan yang telah diberlakukan, kesukaran dalam memeriksa tugas-tugas tulis dalam jumlah
1166
3FKIP Universitas Riau 3Fakulti Pendidikan UKM
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
banyak, tidak mengenal apakah P&P yang sudah dilaksanakan efektif, tidak mengenal apakah bahan pembelajaran yang digunakan sudah sesuai, tidak mengenal pencapaian akademik yang sudah didapat oleh peserta didik, tidak mengenal topik dan aktivitas yang diajarkan akan menimbulkan minat, dan tidak mengenal apakah semua peserta didik terlibat secara aktif semasa P&P (Cambridge University Press 1996) dalam (Ur 1997:304). Metodologi Kajian ini menggunakan model penilaian CIPP (context, input, process, dan product) yang dikemukakan oleh Stufflebeam, et al. (1971). Namun, kajian ini difokuskan pada faktor input saja dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan menerapkan konsep penilaian berbasis kelas (PBK). Penilaian, menurut Stufflebeam dan Shinkled (1985), Rossi et al. (2004) dan Gredler (1996) dapat di definisikan sebagai suatu kaedah penelitian yang berfokus pada proses perbaikan (to improve) bukan untuk membuktikan (to prove) kekuatan mahupun kelemahan sesuatu program yang sudah dilaksanakan seperti tujuan, rancangan, pelaksanaan dan dampaknya secara deskriptif. Menurut Fritz (1996); Stufflebeam dan Shinkled (1988) dan Carpenter (1998), model penilaian CIPP telah digunakan di dalam berbagai konteks pendidikan termasuk penilaian terhadap pelaksanaan penilaian dan pengukuran pencapaian akademik pelajar. Populasi sasaran kajian ini adalah guru Bahasa Inggeris Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Provinsi Riau sebanyak 1.230 orang guru. Oleh kerana lokasi sekolah berjauhan dan berada pada 11 kabupaten/kota, serta jumlah populasi sasaran yang cukup banyak, maka teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster-random sampling. Jika populasinya berjumlah 1230 orang, maka jumlah sampel yang mesti diambil adalah minimal sebanyak 297 orang (Morgan, 1980). Oleh karena itu, sampel diambil secara menyeluruh, minimal terwakili dari masing-masing daerah geografi, walaupun dalam pengambilannya secara acak (Cohen dan Manion 2000; Creswell 2005; Ary 1979; Best 2006; Borg dan Gall 1983; Suharsini Arikunto 2002; Margono 2003; dan Hadari Nawawi 1983)). Kajian ini telah dilakukan dalam tahun akademik 2009/2010 dan merupakan salah satu variabel dari disertasi Program Doktor di Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia. Dapatan Kajian Tingkat Pengetahuan Guru Mengenai Konsep PBK Tingkat pengetahuan guru mengenai konsep PBK dilihat dalam enam aspek yaitu aspek pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Min skor dan standar deviasinya dapat dilihat pada Tabel C.1 Tabel C.1: Deskripsi Pengetahuan Guru mengenai Konsep PBK Aspek-aspek pengetahuan Min SD Interprestai Pengenalan 3.55 .53 Sederhana Pemahaman 3.29 .63 Sederhana Penerapan 3.46 .58 Sederhana Analisis 3.49 .62 Sederhana Sintesis 3.42 .59 Sederhana Evaluasi 3.54 .57 Sederhana Tingkat pengetahuan guru tentang konsep PBK dapat diuraikan seperti berikut. Min terendah adalah 3.29 dan yang tertinggi adalah 3.55. Ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan guru tentang konsep PBK dari aspek pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi berada pada tingkat interpretasi sederhana. Pada aspek pengenalan, terdapat sebanyak 86 orang (29.0%) yang mengetahui konsep PBK, kurang mengetahui 188 orang (63.3%), dan yang tidak mengetahui 23 orang (7.7%). Pada aspek pemahaman, terdapat 2 orang (.7%) yang sangat tidak mengetahui, 34 orang tidak mengetahui (11.4%), 181 orang (60.9%) kurang mengetahui, 79 orang (26.6%) mengetahui dan 1 orang 3Fakulti Pendidikan UKM 3FKIP Universitas Riau
1167
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
(.3%) sangat mengetahui konsep PBK. Pada aspek penerapan, terdapat 1 orang (.3%) yang sangat tidak mengetahui, 34 orang (11.4%) tidak mengetahui, 181 orang (60.9%) kurang mengetahui, 79 orang (26.6%) mengetahui dan 1 orang (.3%) sangat mengetahui konsep PBK. Terdapat 2 orang (.7%) yang sangat tidak mengetahui konsep PBK, 19 orang (6.4%) tidak mengetahui, 193 orang (65%) kurang mengetahui dan 83 orang (27.9%) mengetahui konsep PBK pada aspek analisis. Pada aspek sintesis, guru yang mengetahui konsep PBK hanya 65 orang (21.9%), 1 orang (.3%) sangat tidak mengetahui, 29 orang (9.8%) tidak mengetahui dan 202 orang (68%) kurang mengetahui pelaksanakaan konsep PBK. Terdapat 27 orang ( 9%) yang tidak mengetahui dan 161 orang (54.2%) kurang mengetahui konsep PBK sedangkan 107 orang (36%) sudah mengetahui konsep PBK pada aspek evaluasi. Tingkat Sikap Guru Terhadap Konsep PBK Sikap guru terhadap konsep PBK dilihat dalam lima aspek yaitu sikap menerima, merespon, menghargai, mengorganisasikan, dan mewatak. Skor min dan standar deviasinya dapat dilihat pada Tabel C.2. Tabel C.2 Deskripsi Sikap Guru Terhadap Konsep PBK Aspek-aspek tahap sikap guru Min SD Interpretasi Sikap menerima 3.77 .38 Tinggi Sikap merespons 3.82 .41 Tinggi Sikap menghargai 3.95 .34 Tinggi Sikap mengorganisasikan 3.92 .43 Tinggi Sikap mewatak 3.91 .37 Tinggi Tingkat sikap guru terhadap konsep PBK dapat diuraikan seperti berikut. Min terendah adalah 3.77 dan yang tertinggi adalah 3.95. Ini menunjukkan bahwa tingkat sikap guru terhadap konsep PBK adalah tinggi dari aspek sikap menerima, merespon, menghargai, mengorganisasikan, dan mewatak. Pada aspek sikap menerima terdapat 115 orang (38.7%) yang menerima konsep PBK dan 2 orang (.7%) sangat menerima, kurang menerima 179 orang (60.3%) dan 1 orang (.3%) tidak menerima konsep PBK. Pada aspek sikap merespon, terdapat 143 orang (48.1%) guru merespon dan 3 orang ( 1%) yang sangat merespon konsep PBK, 151 orang (50.8%) guru merespon terhadap konsep PBK. Terdapat 4 orang (1.3%) yang sangat tidak menghargai konsep PBK dan 90 orang (30.3%) guru kurang menghargai konsep PBK dan yang menghargai ada 203 orang (68.4%) pada aspek sikap menghargai. Untuk aspek sikap mengorganisasikan, terdapat 203 orang (68.4%) yang melaksanakan dengan baik, 89 orang (30%) kurang mengorganisasikan dan 1 orang (.7%) tidak melaksanakan serta hanya 4 orang (1.3%) yang sangat mengorganisasikan konsep PBK. Pada aspek sikap mewatak, guru yang mengetahui konsep PBK ada 169 orang (57%), 120 orang (40.4%) kurang mewatak,dan hanya 8 orang (2.7%) sangat mewatak terhadap konsep PBK. Tingkat Keterampilan Guru Dalam Melaksanakan Konsep PBK Keterampilan guru dalam melaksanakan konsep PBK dilihat dalam lima aspek yaitu aspek keterampilan mengindera/membuat persepsi, menyiagakan diri, bertindak secara terbimbing, bertindak secara mekanis, dan kemahiran bertindak secara kompleks. Beberapa aspek pada tahap keterampilan guru dalam melaksanakan PBK dapat dilihat pada Tabel C.3i. Tabel C.3: Deskripsi Tingkat Keterampilan Guru Dalam Melaksanakan PBK Aspek-aspek tahap Keterampilan Guru Min SD Interpretasi mengindera/membuat persepsi 3.32 .58 Sederhana menyiagakan diri 3.46 .58 Sederahana bertindak secara terbimbing 3.27 .52 Sederhana bertindak secara mekanis 3.48 .54 Sederhana bertindak secara kompleks 3.56 .49 Sederhana Tingkat kemahiran melaksanakan konsep PBK dapat diuraikan seperti berikut. Min terendah adalah 3.27 dan yang tertinggi adalah 3.56. Ini menunjukkan bahwa tahap keterampilan guru melaksanakan
1168
3FKIP Universitas Riau 3Fakulti Pendidikan UKM
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
PBK dari segi kemahiran mengindera/membuat persepsi, menyiagakan diri, bertindak secara terbimbing, bertindak secara mekanis, dan bertindak secara kompleks berada pada tahap sederhana. Pada aspek ‘keterampilan mengindera/membuat persepsi’ terdapat 1 orang (.3%) yang sangat mahir dalam melaksanakan konsep PBK, sedangkan yang cukup mahir ada 32 orang (10.8%), yang keterampilannya sedang ada 162 orang (54.5%) dan 102 orang (34.3%) keterampilan menginderanya/membuat persepsi baik dalam melaksnakan konsep PBK. Pada aspek ‘keterampilan menyiagakan diri’ terdapat 85 (28.6%) mempunyai keterampilan baik dan 5 orang (1.7%) sangat terampil menyiagakan diri terhadap PBK. Sedangkan 1 orang (.3%) tidak terampil dan 31 orang (10.4%) cukup terampil menyiagakan diri. Sisanya berada pada keterampilan yang sedang yaitu 175 (58.9%) orang guru. Pada aspek ‘keterampilan bertindak secara terbimbing’, terdapat 2 orang (.7%) yang sangat terampil dalam melaksanakan konsep PBK, 30 orang (10.1%) cukup terampil, 197 orang (66.3%) memiliki keterampilan yang sedang dan 68 orang (22.9%) keterampilannya tergolong baik dalam melaksanakan PBK. Pada aspek ‘keterampilan bertindak secara mekanis’, guru yang sangat terampil melaksanakan PBK hanya 3 orang ( 1%, 1 orang (.3%) tidak terampil, 21 orang (7%) guru cukup terampil dan 168 orang (56.6%) mempunyai ketarampilam yang sedang dalam melaksanakan PBK dan 104 orang (35%) keterampilan adalah baik. Pada tahap ‘keterampilan bertindak secara kompleks’, terdapat 139 (46.8%) orang guru mahir dan 6 (2%) orang guru sangat mahir bertindak secara kompleks dalam melaksanakan PBK. Guru yang tidak mahir ada 2 (.7%) orang, 16 (5.4%) guru cukup mahir serta 134 atau 45.1% orang guru memiliki kemahiran yang sedang dalam melaksanakan PBK. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan dapatan kajian dapat disimpulkan bahawa secara keseluruhan tingkat sikap guru terhadap konsep PBK berada pada interpretasi ‘tinggi’ (min rata-rata = 3.87) walaupun tingkat pengetahuan (min rata-rata = 3.46) dan tingkat keterampilan melaksanakan PBK (min rata-rata = 3.41) berada pada interpretasi ‘sederhana’. Oleh karena itu, disarankan kepada guru untuk terus berlatih menerapkan konsep PBK dalam setiap P&P; dan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun Provinsi agar senantiasa melaksanakan pelatihan yang berkaitan dengan konsep PBK ini. Rujukan Agung Haryono. 2005. Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurusan Ekonomi Pembangunan FE-UM. Airasian, P.W. 1994. Classroom Assessment. New York: McGraw-Hill, Inc. Al-Kausar. 2005. Kurikulum Internat Al-Kausar. (http://smp.alkausar.org (accessed 17 Mei 2007) Andrade, H. & Ying, D. 2005. Student Perspectives on Rubric-Referenced Assessment. Volume 10 No. 3. PARE. www.doaj.org. A peer-reviewed electronic journal. ISSN 1531-7714. (accessed 17 Mei 2007) Angelo, A. 1991. Ten Easy Pieces: Assessing Higher Learning in Four Dimensions. In Classroom Research: Early Lessons from Success. New directions in teaching and learning (#6), Summer, 17-31. Ww.sue.edu (accessed 17 Mei 2007) Angelo, A.T. & Cross, P.K. 1993. Classroom Assessment Techniques. A Handbook for College Teachers. Second Edition. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Baenen, N. & Chuck. D. 2000. Can School District Classroom-Based Assessment Improve Performance on State Tests? Wake County Public Schools, Evaluation and Research. (http://www.wcpss.net (accessed 18 Mei 2007). Best, J.W. 2006. Research in Education. New York: A & B. Pearson. Bloom, B.S., Krathwohl, R.D. & Maisa. 1973. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook II: Affective Domain. London: Longman Group Ltd. Borg, W.L. & Gall, M.D. 1983. Educational Research: an Introduction. New York: Longman Inc. Bronwen, C. 2005. Student Commentary on Classroom Assessment in Science: a Sociocultural Interpretation. International Journal of Science Education; 2/4/2005, Vol. 27 Issue 2, p199-214. 3Fakulti Pendidikan UKM 3FKIP Universitas Riau
1169
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
(http://search.ebscohost.com (accessed 20 Mei 2007) Buntu, P. 2005. Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Penilaian. Modul Bahan Belajar Mandiri Program D-II PGSD. Evaluasi Pembelajaran (EVJAR.II.06). Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan. Depdiknas. Carpenter, G.J. 1998. Program evaluation practices in wilderness therapy for youth at-risk. Disertasi Ph.D. University of Idaho. Cecemurcia, M. & Olshtain, E. 2001. Discourse and Contexts in language Teaching: a Guide for Language Teachers. UK: Cambridge University Press. Cheng, et al. 2004. ESL/EFL instructors’ classroom assessment practices: purposes, methods, and procedures. Faculty of Education Queen’s University Kingston, Ontario K7L 3N6, Canada; email:
[email protected] (accessed 22 Mei 2007) Chittenden. 1991. Dalam Bahrul Hayat. 2006. Prinsip-Prinsip dan Strategi Penilaian di Kelas. Modul. Dalam Pedoman Penilaian di Kelas. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. Cohen, L. & Manion, L. 2000. Research Methods in Education. Ed. Ke-5. London: Routledge Falmer. Coleman, et al. (1989) dalam Ur, P. 1997. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. Cambridge Teacher Training and Development. Cambridge University Press. Creswell, W. J. 2005. Educational Research. Planning, Conducting, and Evaluating Qantitative and Qualitative Research. Second Edtion. Singapore: earson Education. Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta Pusat: Pusat Kurikulum. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. Jalan Gunung Sahari Raya No. 4. 10710. Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Pertama (SMP): Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis Kemampun Dasar Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pedidikan. Dutcher, P. 1990. Authentic Reading Assessment. http://PAREonline.net (accessed 21 June 2007) Fernandes, H.J.X. 1984. Testing and Measurement. Jakarta: National Educational Planning, Evaluation and Curriculum Development. Fritz, S. 1996. Assessing undergraduate student needs utilizing the CIPP model of evaluation. Disertasi Ph.D. University of Idaho. Gredler, M.E. 1996. Program Evaluation. New Jersey: Merrill- Prentice Hall. Gronlund, E.N. 1976. Measurement and Evaluation in Teaching. Third Edition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Hadari Nawawi. H. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Haugen, L. 1999. Classroom Assessment Techniques (CATs). Center for Teaching Excellence Iowa State University. Holmes, P. 2001. Teaching, Learning and Assessment. Peter Holmes RSS Centre for Statistical Education.
[email protected] (accessed 24 June 2007) Horst, M. 2000. New Ways of Classroom Assessment. New Ways in TESOL Series II. Volume 56, No. 4, June /July 2000. Houghton Mifflin Company. 1997. How Can Teachers Become More Effective and Efficient at ClassroomBased Assessment? Jia, et al. 2006. ESL Teachers’ Perceptions and Factors Influencing Their Use of Classroom-Based Reading Assessment. Texas A&M University. (http://brj.su.edu/vol30_no2/art8.pdf.) (accessed 28 June 2007) Krathwohl, D.R. et al. 1973. Taxonomy of Educational Objectives. The Classification of Educational Goals. Handbook 2. Affective Domain. New York: MCKay.
1170
3FKIP Universitas Riau 3Fakulti Pendidikan UKM
125
Seminar Pendidikan Serantau 2011
Volume 2
Kretch et al. (1962), Allport (1954), Campbell (1950), Cardno (1955), dan Newcomb (1978) dalam Mar’at. 1981. Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Lynn, O. 2005. Classroom Assessment Stir Growing Global Interest. Education Week; 10/5/2005, Vol.25 Issue 6, p8-8, 1p, 1c. (http//search.ebscohost. (accessed 26 June 2007) Linn, R.L. & Gronlund, N.E. 1995. Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Mantero, M. 2002. Evaluating classroom Communication: In Support of Emergent and Authentic Frameworks in Second Language Assessment. http://PAREonline.net (accessed 28 June 2007) Mertler, A.C. 2001. Designing Scoring Rubrics for Your Classroom. http://PAREonline.net (accessed 29 June 2007) Mertler, A.C. 2003. Patterns of Response and Nonresponse from Teachers to Traditional and Web Surveys http://PAREonline.net (accessed 29 June 2007) Morgan. 1980. Dalam Panduan Penulisan Skripsi Mahasiswa. Pekanbaru: FKIP-UNRI. Universitas Riau Moskal, M. B. & Jon, L.A. 2000. Scoring Rubrics Development: Validity and Reliability. http:// PAREonline.net (accessed 01 July 2007) Moskal, M. B. 2000. Scoring Rubrics: What, When and How? http://PAREonline.net (accessed 02 July 2007) Pausch dan Mary. 1999. Assessment of Information Literacy: Lessons from the Higher Education Assessment Movement. (source: www.ala.org). (accessed 02 July 2007) Plake, et al. 2004. Classrom-based Assessment System for Science A Model. Buros center for Tesing Univrsity of Nebraska-Lincoln. (http://www7.nationalacademies.org (accessed 03 July 2007) Popham,. 1995. Classroom Assessment: What Teachers Need to Know. Bosto: Pearson Education, Inc. Rossi, H.P., Lipsey, W.M., & Freeman, E.H. 2004. Evaluation. A Systematic Approach. Seventh Edition. London: Sage Publications. Sapaat. 2004. Gunakan”Asesmen” Autentik, Pendekatan Pengganti UAN. www.pikiranrakyat.com (accessed 14 April 2007). Satterly, D. 1981. Assessment in Schools. Tonbridge: Freeman Graphic. Simpson, E.J. 1966. The Classification of Eduational Objectives, Psychomotor Domain. Illinois: Illinois Teacher of Home Economics. Stiggins & Chappuis. 2005. Using Student-Involved Classroom Assessment to Close Achievement Gaps. Theory Into Practice. Winter 205, Vol. 44 Issue 1, p11-18, 8p. http://search.ebscohost.com (accessed 05 July 2007) Stiggins, R.J. 1994. Student Centered Classroom Assessment. Merril, Imprint of McMillan College Publisher Co, NJ. Stufflebeam, et al. 1971. Educational Evaluation and Decision Making. Hance, IL: Peacock. Stufflebeam, D.L. & Shinkled, A.J. 1985. Systematic Evaluation: a self guide to theory and practice. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.) Stufflebeam, D.L. & Shinkled, A.J. 1988. Systematic Evaluation. Norwell: Kluwer-Nijhoff. Suharsini Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi v. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Tierney, R. & Marielle, S. 2004. What’s Wrong with Rubrics: Focusing on the Consistency of Performance Criteria Across Scale Levels. http://PAREoline.net (accessed 06 July 2007) Valencia, W. S. 1989. Understanding Authentic Classroom-Based Literacy Assessment. www.eduplace.com. (accessed 07 July 2007) Western & Northern Canadian Protocol for Collaboration in Education. 2006. Rethinking Classroom Assessment with Purpose in Mind. www.wncp.ca (accessed 08 July 2007)
3Fakulti Pendidikan UKM 3FKIP Universitas Riau
1171