ISBN : 978 - 602 - 14432 - 2- 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN
STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
A “Integrasi Keterampilan Abad 21 dalam Kurikulum 2013 untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
Penyelenggara: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan SURYA Jalan Scientia Boulevard Blok U Nomor 7 Gading Serpong
Tangerang Banten 15810
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK
“Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
Penyelenggara: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan SURYA Jalan Scientia Boulevard Blok U Nomor 7 Gading Serpong Tangerang Banten 15810 Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
“INTEGRASI KETERAMPILAN ABAD 21 DALAM KURIKULUM 2013 UNTUK MEWUJUDKAN INDONESIA JAYA”
Penanggung Jawab Proceeding Jutri Taruna, Ph.D
TIM REVIEWER 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Johannes Hamonangan Siregar., Ph.D Ali Godjali, Ph.D Josephine Kusuma, Ph.D Dr. Nancy Susianna, M.Pd Dr. Doddy Kustaryono, S.Si., Apt., MS., DEA. Agus Purwanto, Ph.D
Diterbitkan Oleh: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya (STKIP SURYA)
Alamat Penerbit: Jalan Scientia Boulevard Blok U Nomor 7 Gading Serpong Tangerang Banten 15810 Telepon: 021-5464-196, 021-5464-535 Email:
[email protected] , website : www. stkipsurya.ac.id
ii
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Koordinator Editor Bidang Matematika Bidang Fisika dan SAINS Bidang Biologi, Kimia, dan TIK
Editor 1) 2) 3) 4) 5) 6)
: Puguh Wahyu Prasetyo, M.Sc : Agus Rohman M.Pd : Nerru Pranuta Murnaka, S.Si, M.Pd
Sulistiawati, M.Pd Bobbi Rahman, S.Si, M.Pd Abdul Azis Abdillah, S.Pd., M.Si Jayus Riyadi S. M.Pd Murni, M.Pd Dewanti Liem, M.Ed
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
iii
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya buku proceeding Seminar Nasional Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya. Tema seminar adalah Intregasi Keterampilan Abad 21 dalam Kurikulum 2013 untuk Mewujudkan Indonesia Jaya. Dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Yohanes Surya, Ph.D., Dr. Nancy Susianna, M.Pd., Onno W. Purbo, Ph.D., dan Bryan Holzer, M.BA sebagai pemakalah utama dalam seminar ini. 2. Ketua STKIP Surya
yang telah memfasilitasi semua kegiatan seminar
nasional ini. 3. Bapak/Ibu segenap panitia seminar nasional yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi suksesnya seminar ini. 4. Bapak/Ibu peserta dan pemakalah.
Semoga buku proceeding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan seminar ini
ilmu
dapat berkonstribusi
pengetahuan
dan
teknologi.
Harapan kami
dalam menyelesaikan masalah pendidikan di
Indonesia.
Tangerang, 15 Februari 2014 Ketua Panitia,
Jutri Taruna, Ph.D.
iv
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SAMBUTAN KETUA STKIP SURYA Puji syukur kepada Tuhan YME atas terselenggaranya seminar
pendidikan
nasional yang bertemakan "Integrasi Keterampilan Abad 21 dalam Kurikulum 2013 untuk menuju Indonesia Jaya". Arus kemajuan ilmu pengetahuan teknologi yang pesat menuntut semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk terus menyesuaikan diri dalam perkembangan abad 21 ini. Dalam kerangka pemikiran inilah, seminar nasional pendidikan ini hadir untuk menjadi ajang komunikasi dan tukar pikiran bagi para pendidik, peneliti, pemerhati pendidikan, dan peserta didik dalam membekali diri, terutama dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum 2013, untuk menghadapai persaingan tingkat global. Seminar
ini
adalah
seminar
nasional
pendidikan pertama yang
diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya yang direncanakan untuk diselenggarakan setiap tahun. Dukungan nyata dari pakar dalam
bidang
pendidikan
dan
teknologi
informasi,
peneliti, dan
pemerhati
pendidikan diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan keterampilan abad 21. Akhir kata, terima kasih yang pemakalah,
dan
peserta
yang
sebesar-besarnya untuk para
narasumber,
sudah berpartisipasi dalam seminar ini dan
menyumbangkan gagasan dan ide yang tertuang dalam prosiding ini. Besar harapan kami, kristal pemikiran kita dapat disampaikan kepada para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan di Indonesia sehingga dapat mendukung kemajuan Indonesia dalam dunia pendidikan.
Salam Indonesia Jaya
Eddy Yusuf, Ph.D
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
v
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Daftar Isi Halaman Judul Kata Pengantar Sambutan Ketua STKIP Surya Daftar Isi
i ii iii iv
Makalah Sidang Utama No 1
Pemakalah Dr. Nancy Susianna, M.Pd
Judul IMPLEMENTASI KETERAMPILAN ABAD 21 DALAM KURIKULUM 2013
Halaman MU-1
2
Onno W Purbo, Ph.D
BEBERAPA PRINSIP TIK UNTUK PENDIDIKAN
MU-14
3
Bryan Holzer, M.BA
21st CENTURY EDUCATION IN THE UNITED STATES
MU-27
Makalah Sidang Paralel No 1
Pemakalah Dewi Yuliana Fitri
Judul PENGEMBANGAN LKM PADA PERKULIAHAN BAHASA INGGRIS UNTUK MATEMATIKA DI STKIP PGRI SUMATERA BARAT
Halaman 1-9
2
Aan Subhan Pamungkas
MEMBANGUN SELF CONCEPT MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN EKSPLORASI YANG MENDUKUNG KURIKULUM 2013
10-16
3
Jarnawi Afgani Dahlan & Endang Dedy
BAHAN AJAR MATEMATIKA BERKARAKTER: UPAYA MENINGKATAN KOMPETENSI KOGNITIF DAN SOFT SKILLS SISWA
17-26
4
Achmad Buchori, Yanuar Hery Murtianto
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS FLIP PUBLISHER DENGAN MENGGUNAKAN MODEL QUANTUM LEARNING DI SMP
27-34
5
Nizaruddin, Buchori
Achmad
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION DAN MODEL PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE BERBANTUAN MACROMEDIA FLASH TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SMP
35-39
6
Yanuar Hery Nizaruddin
Murtianto,
PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SMA BERDIFERENSIASI UNTUK SISWA CERDAS ISTIMEWA
40-49
7
Media Rosha, Yerizon
MENGGAIRAHKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENGGUNAAN BAHAN AJAR BERORIENTASI PEMODELAN MATEMATIKA BERBASIS RME DI SMAN KOTA PADANG
50-58
vi
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 No 8
Pemakalah Sofia Edriati, Villia Anggraini, Mery Siska
Judul EFEKTIVITAS MODEL JIGSAW DISERTAI PENILAIAN DISKUSI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATEMATIS MAHASISWA
Halaman 59-66
9
Mery Siska, Sofia Edriati, Villia Anggraini
ANALISIS PERAN DOSEN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATEMATIS MAHASISWA PADA PERKULIAHAN MODEL JIGSAW DISERTAI PENILAIAN DISKUSI
67-74
10
Sofia Edriati
EFEKTIVITAS BAHAN AJAR SISTEM PERSAMAAN LINIER DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME PADA MATA KULIAH METODE NUMERIK
75-82
11
Tika Septia, Alfi Yunita
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) STRUKTUR ALJABAR PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA DI STKIP PGRI SUMATERA BARAT
83-90
12
Rina Oktaviyanthi
PROFIL DAYA MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN
91-102
13
Samsul Maarif, M.Pd
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN DENGAN METODE DISCOVERY (Studi Kasus Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa SMP N 13 Jakarta)
103-114
14
Yuni Chairani
MEMPERSIAPKAN CALON GURU MATEMATIKA DALAM MENGHADAPI PEMEBELAJARAN ABAD 21 MELALUI PROJECT BASED LEARNING
115-123
15
Suparman: I.A, Sara Sahrazad, dan Lusiana Wulansari
PERAN ATRIBUT DALAM MERAIH PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS DELAPAN SMP XYZ DI JAKARTA 2013
124-133
16
Sendi Ramdhani
PENGGUNAAN MEDIA ALGEBRA TILES (UBIN ALJABAR) DAN PERANGKAT LUNAK GRAPHMATICA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN KUADRAT
134-141
17
Wardani Rahayu
PENILAIAN BERBASIS KOMPETENSI DAN REGULASI DIRI DALAM PERKULIAHAN TEORI BILANGAN
142-147
18
Wahyu Widada
LEVEL PERKEMBANGAN SKEMA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM MEMAHAMI KEKONVERGENAN BARISAN
148-159
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
vii
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 No 19
Pemakalah Dewi Herawaty
Judul KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA SISWA SMP DITINJAU BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO+
Halaman 160-165
20
Merina Pratiwi
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) ANALISIS KOMPLEKS DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP PGRI SUMATERA BARAT
166-171
21
Anna Cesaria
PRAKTIKALITAS PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) PADA PERKULIAHAN BAHASA INGGRIS UNTUK MATEMATIKA DI STKIP PGRI SUMATERA BARAT
172-178
22
Aryo Andri Nugroho, Noviana Dini Rahmawati
KEEFEKTIFAN ASSESMENT MATEMATIKA ONLINE BERBASIS PROPROFS DI SMA
179-183
23
Nourmaya Masyitha, Wardani Rahayu, Puspita Sari
PENGEMBANGAN MODUL MATEMATIKA PAKET B SETARA SMP PADA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL BERBASIS PENDEKATAN KONTEKSTUAL
184-193
PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SPASIAL MATEMATIS SISWA
194-204
24
Bobbi Rahman
25
Sulistiawati
ANALISIS KESULITAN BELAJAR KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME LIMAS
205-225
26
Sri Maryanti, Fransisca S
PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM VIRTUAL SUPERKELAS PISCES (IKAN) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP MAHASISWA
227-233
27
Rida Oktorida Khastini, Nani Maryani, Resti Devianingsih, Rizkia Hapsary
STUDI AWAL KERAGAMAN FUNGI INVERTEBRATA DI PROVINSI BANTEN DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SISWA SMA KELAS X PADA SUBKONSEP FUNGI
234-242
28
Nailah Tresnawati, Widodo
Ari
PEMANFAATAN INTERNET DALAM PEMBELAJARAN PENCEMARAN AIR BERBASIS MASALAH DAN MANFAATNYA TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA
243-248
29
Wenidya Fitri, Purwianingsih
Widi
KNOWLEDGE (PCK) MAHASISWA CALON GURU DAN KORELASINYA DENGAN PEDAGOGICAL KNOWLEDGE (PK) DAN SUBJECT MATTER KNOWLEDGE (SMK) PADA MATERI GENETIKA
249-255
30
Immy Suci Rohyani, Evy Aryani, Suripto, Kurniasih Sukenti
POTENSI TUMBUHAN LOKAL PULAU LOMBOK DALAM UPAYA MENUNJANG KETAHANAN PANGAN
256-264
viii
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 No 31
Pemakalah Siti Sriyati, Arini, Mia Purnamasari Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung
Judul PENERAPAN PEER ASSESSMENT DALAM PENILAIAN KINERJA DAN KERJASAMA SISWA PADA KEGIATAN PRAKTIKUM BIOLOGI
Halaman 265-271
32
Elsa Insan Hanifa, Muktiningsih, Tritiyatma H
PENGEMBANGAN BUKU KIMIA BERBASIS CERITA PADA MATERI ASAM BASA
275-283
33
Rosa Dewi Pratiwi
PEMBELAJARAN KIMIA MENGGUNAKAN METODE CONSTRUCTIVE CONTROVERSY DAN MODIFIED FREE INQUIRY DITINJAU DARI KEMAMPUAN ANALISIS DAN LOGIKA BERPIKIR SISWA
284-290
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
ix
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
IMPLEMENTASI KETERAMPILAN ABAD 21 DALAM KURIKULUM 2013 Dr. Nancy Susianna, M.Pd
[email protected] [email protected]
Pada saat ini istilah kurikulum 2013 menjadi kata “primadona” dalam dunia pendidikan. Kurikulum 2013 terus dikupas, dibahas oleh guru, dosen, dan pemerhati pendidikan di pelbagai media masa sejak tahun 2013 hingga sekarang. Bagaimana “jiwa” kurikulum 2013, bagaimana implementasi keterampilan abad 21 dalam kurikulum 2013, dan apakah ada persamaan antara kurikulum 2013 dengan kurikulum Perguruan Tinggi.
KURIKULUM 2013
[email protected]
PENDIDIKAN INDONESIA
- Since 2013 -2014
Keterampilan Abad 21 Istilah Kurikulum 2013 menjadi kata “primadona” di media masa sejak tahun 2013 hingga sekarang. Bagaimanakah “jiwa” kurikulum 2013 ?
Bagaimana implementasi keterampilan abad 21 dalam kurikulum 2013 ? Apakah ada persamaan antara kurikulum 2013 dengan kurikulum Perguruan Tinggi ?.
Gambar 1. Pertanyaan tentang Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi adalah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dimiliki siswa ketika terjun dimasyarakat. Kompetensi pada kurikulum 2013 dituangkan mulai dari kompetensi lulusan, kompetensi inti, dan kompetensi dasar.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-1
Kurikulum 2013 Kompetensi Sikap, Keterampilan, Pengetahuan Kegiatan Belajar Mengajar Student center, active learning, pendekatan ilmiah
Penilaian Authentic
Gambar 2. Kurikulum 2013 Kompetensi sikap merupakan perilaku yang mencerminkan orang yang beriman, berahlak mulia, berilmu, bertanggung jawab, dan percaya diri ketika berinteraksi dengan sesama dan alam. Kompetensi keterampilan meliputi kemampuan berpikir dan bertindak secara kreatif. Kompetensi pengetahuan meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sosial dan budaya. Kompetensi keterampilan meliputi kemampuan berpikir dan bertindak secara kreatif. Kompetensi ini dituangkan secara bertahap mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Selain kompetensi, kegiatan belajar mengajar dan penilaian perlu dicermati pula. Kegiatan belajar mengajar pada kurikulum 2013 menekankan pembelajaran aktif, berpusat pada siswa, dan pendekatan ilmiah. Penilaian yang digunakan pada kurikulum 2013 menekankan penilaian authentik. Ketiga komponen ini yaitu kompetensi, kegiatan belajar, dan penilaian merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Beberapa tahun sebelum tahun 2013, Yayasan Surya memiliki beban untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Salah satunya dengan menciptakan kurikulum sains Surya.
Gambar 3. Kurikulum Sains Surya
MU-2
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Kurikulum sains Surya terbagi menjadi empat kuadran yaitu keterampilan abad 21, keterampilan essensial sains, konsep esensial sains, dan pendidikan karakter. Keterampilan abad ke 21 merupakan salah satu fokus pada kurikulum sains Surya. Berdasarkan analisis dan sintesis dari 20 literatur, seperti buku Curriculum 21, Essential education for a changing world, 21st century skills: learning for live in our times, Assessment and teaching of 21st century skills, Guided inquiry, Learning in the 21st century, Creativity for 21st century skills; how to embed creativity into the curriculum, 21st century skills: rethingking how students learm dll, ditemukan bahwa keterampilan abad ke 21 menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan berkomunikasi, dan keterampilan bekerja sama. Berdasarkan 350 data angket dari guru pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan dosen di berbagai daerah di Indonesia ditemukan hanya 35 % dapat menjelaskan keterampilan abad 21 dan hanya 17 % yang dapat merancang, mengimplementasikan dan mengases pembelajaran yang menekankan keterampilan abad 21 dengan benar. Keterampilan abad ke 21 ini sejalan dengan kurikulum 2013. Hubungan keterampilan abad ke 21 dengan kurikulum 2013 dapat dilihat pada gambar berikut.
Kreatif
Meme cahkan Masalah
Kritis Pengam bilan Keputu san
HOT Kerja Sama Komu nikasi
SC AL
Kete rampil an
Penge tahuan
PS
Sikap
PA
Gambar 4. Hubungan Keterampilan Abad 21 dengan Kurikulum 2013
Berdasarkan pemikiran di atas timbul suatu pertanyaan apakah kita sebagai guru, dosen terpanggil untuk dapat merancang pembelajaran holistik yang berfokus pada keterampilan abad 21 ?.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-3
Gambar 5. Analogi Pembelajaran yang Holistik Keterampilan abad 21 dapat dianalogikan dengan gambar di atas. Ada sepasang kakek dan nenek yang selalu hidup rukun. Hal ini tentu bukan hal yang mudah, mereka tentu memiliki kemampuan berkomunikasi dan kerja sama dengan baik. Kemampuan kerja sama yang baik ini tercermin juga dari dua orang yang sedang memainkan alat musik. Kreativitas kedua pemusik ini dapat menghasilkan alunan musik yang indah. Kreativitas merupakan salah satu dari keterampilan berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan 350 data angket dari guru pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan dosen di berbagai daerah di Indonesia ditemukan hanya 3,5% guru dapat merancang, mengimplementasi, dan menilai pembelajaran yang menekankan keterampilan berpikir tinggi. Hal ini disebabkan karena guru tidak mengetahui secara tepat indikator keterampilan berpikir tingkat tinggi. Sebenarnya banyak permainan yang menekankan keterampilan berpikir. Salah satu permainannya adalah sebagai berikut.
Gambar 6. Seorang Pramuka yang harus menyebarangi sungai
MU-4
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Ada seorang pramuka sedang mengikuti kegiatan alam dengan membawa tas ransel. Tas ransel ini berisi makanan, minuman, obat-obatan, baju, pisau, tali, dan lain-lain. Di tengah perjalanan, pramuka ini harus menyebrangi sungai padahal dia tidak dapat berenang. Bagaimana cara agar dapat sampai di seberang dengan cepat ?
Gambar 7. Cara Memecahkan Masalah Banyak cara untuk sampai di seberang salah satunya dengan menggunakan tali yang diikatkan pada kedua pohon seperti gambar di atas. Permainan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi di kelas yang sesuai dengan kurikulum 2013. Berikut contoh implementasi keterampilan berpikir tingkat tinggi pada pembelajaran matematika berdasarkan kurikulum 2013. Dalam merancang pembelajaran ada tiga hal yang perlu diperhatikan dan berkaitan satu sama lain yaitu kompetensi, kegiatan belajar mengajar, dan asesmen.
Kurikulum 2013
Kompetensi
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi pada pembelajaran matematika
Berpikir Kritis
Berpikir Kreatif
Gambar 8. Kompetensi pada Pembelajaran matematika Kompetensi yang akan dikembangkan adalah keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah di sekolah dasar. Kegiatan belajar mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan memberikan kalimat matematika 1 + 1 = 6. Apabila siswa tidak memberi komentar apapun guru dapat memfasilitasi dengan bertanya “apakah kalimat matematika ini sudah benar?”. Selanjutnya siswa diminta untuk SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-5
memperbaiki kalimat matematika dengan cara hanya memindahkan satu batang saja. Pertanyaan ini yang memfasilitasi siswa untuk berpikir kreatif.
Kurikulum 2013
KBM
Apakah kalimat matematika di bawah ini benar ? Jika tidak perbaikilah dengan memindahkan satu batang saja !
Gambar 9. Kegiatan Belajar Mengajar pada Matematika Pada saat melakukan penilaian tentu harus sesuai dengan kompetensi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Jangan hanya mengukur konsep saja tetapi juga harus mengukur kompetensi keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif.
Kurikulum 2013
Penilaian
Apa yang ingin anda ungkapkan ketika melihat kalimat matematika ini ?
Perbaikilah dengan memindahkan dua batang saja !
Gambar 10. Penilaian pada Matematika Contoh penilaiannya adalah sebagai berikut. Siswa diberi kalimat matematika 5 + 6 = 19, kemudian diminta untuk menjawab dua pertanyaan. Pertanyaan pertama yaitu “apa yang ingin anda ungkapkan ketika melihat kalimat matematika ini? “. Pertanyaan ini untuk mengukur keterampilan berpikir kritis. Pertanyaan kedua adalah “perbaikilah persamaan ini dengan memindahkan dua batang saja !”. Pertanyaan kedua ini untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif. Diharapkan siswa dapat menghasilkan dua macam jawaban. Proses belajar mengajar di atas menekankan siswa aktif, menggunakan pendekatan ilmiah sehingga sesuai dengan “ jiwa” kurikulum 2013.
MU-6
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Berikut adalah contoh implementasi keterampilan abad ke 21 pada pembelajaran sains berdasarkan kurikulum 2013. Kompetensi yang akan dikembangkan adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan berkomunikasi, dan keterampilan kerjasama.
Kurikulum 2013
Kompetensi
Keterampilan Abad Ke - 21 pada pembelajaran sains
Gambar 11. Kompetensi pada Pembelajaran Sains Kegiatan belajar mengajarnya adalah sebagai berikut. Siswa diminta untuk menggambar keadaan / situasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum 2013
KBM
Meminta siswa untuk menggambar suatu keadaan/situasi dalam kehidupan sehari-hari
Gambar 12. Kegiatan Belajar Mengajar pada Pembelajaran Sains Misalnya gambar yang dihasilkan oleh siswa adalah sebagai berikut.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-7
Gambar 13. Hasil Karya Siswa Siswa menggambar keadaan taman di sebuah kota. Siswa menggambar matahari, gedung, pohon, kolam, perahu, anak kecil, dan seekor anjing. Selanjutnya siswa diminta untuk berpikir apa yang dia ketahui dari gambar-gambar tersebut.
Gambar 14. Contoh Hasil Pemikiran Siswa Misalnya ketika siswa melihat matahari, siswa menulis bahwa saya tahu matahari adalah sumber energi. Ketika melihat perahu, siswa menulis bahwa saya tahu mengapa perahu bisa mengapung di atas air.Ketika melihat kolam, siswa menulis bahwa saya tahu cara menjernihkan air. Selanjutnya siswa menuliskan di dalam tabel KWHL-UN.
MU-8
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Kurikulum 2013
Penilaian
Tabel KWHL-UN .
What do I know ?
Kognitif
What do I want to know ? How do I find out ?
Metakognitif
What did I learn ? U
How do I use what I learned ?
What will I do next time ?
Gambar 15. Tabel KWHL-UN Selanjutnya, siswa diminta untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan KWHL-UN. Misalnya untuk gambar matahari saja siswa menjawab enam buah pertanyaan yang dsingkat dengan huruf KWHL-UN. Pertanyaan K adalah “apa yang anda ketahui tentang matahari“, pertanyaan W adalah “apa yang ingin anda ketahui”, pertanyaan H adalah “bagaimana cara anda untuk menemukan jawaban di atas”, pertanyaan L adalah “apa yang telah anda pelajari”, pertanyaan U adalah “bagaimana anda menggunakan pengetahuan yang telah dipelajari” pertanyaan N adalah “apa yang akan anda lakukan selanjutnya”. Akhirnya siswa diminta untuk mempresentasikan di dalam kelas. Kegiatan ini mencakup seluruh aspek yang ada di kurikulum 2013. Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi pengetahuan yang mencakup pengetahuan faktual, koseptual, prosedural dan metakognitif, kompetensi keterampilan yaitu kemampuan berpikir, dan kompetensi sikap yaitu meningkatkan rasa percaya diri pada saat presentasi. Kegiatan belajar ini menggunakan pendekatan ilmiah mulai mengamati, menanyakan, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Asesmen yang digunakan pada kegiatan ini adalah asesment authentik. Kurikulum berbasis kompetensi tentu saja bukan milik kurikulum 2013 di pendidikan dasar dan pendidikan menengah saja. Pada saat ini kurikulum yang digunakan di semua tingkat pendidikan menggunakan kurikulum kompetensi baik kurikulum di Indonesia maupun kurikulum internasional seperi kurikulum IB dan Cambridge. Kurikulum 2013 berkaitan dengan pengembangan kurikulum di perguruan tinggi. Kurikulum Perguruan Tinggi yang berlaku di Indonesia pun berbasis kompetensi yang mengacu pada KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Berdasarkan keputusan presiden No. 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia, KKNI adalah kerangka perjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Sebagai contoh kompetensi lulusan S1 termasuk jenjang ke 6 yang penyetaraannya sama dengan kompetensi seorang teknik/analisis.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-9
S3
S3T
SPESIALIS 2
S2
S2T
SPESIALIS 1
9
PROFESI
TEKNISI/ ANALIS
TEKNISI/ ANALIS
OPERATOR
OPERATOR
6
DIII
5
DII
4
DI
3
SMK
SMA
AHLI
7
DIV/ S1T
S1
AHLI
8
2 PROGRAM PROFESI
1
Gambar 16. KKNI Kualifikasi penjenjangan ini mengacu pada standar kompetensi kerja nasional indonesia (SKKNI). SKKNI adalah kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan. Sebagai bahan untuk refleksi diri maka akan dikupas kegiatan yang berhubungan dengan SKKNI di Lembaga Pendidikan Kerja Nasional. Kursus-kursus seperti kursus bahasa inggris, komputer, montir, spa, salon, las termasuk lembaga pendidikan kerja nasional. Kursus-kursus ini wajib memiliki kurikulum, silabus, dan lesson plan, pembelajaran dan asesmen berbasis kompetensi karena komponen di atas merupakan salah satu persyaratan agar dapat terakreditasi. Tugas Pengembang SKKNI 1. Menetapkan SKKNI 2. Mengembangkan SKKNI 3. Menyusun RIP SKKNI 4. Menyusun rancangan SKKNI di sektor / lapangan usaha • K tugas • K managemen tugas 5.Meverifikasi • K menghadapi keadaan darurat • K menyesuaikan diri tanggung jawab, kerja sama) 1. Kementrian Tenaga Kerja & Transmigrsi
2. Instansi Teknis
3. Komite Standard Kompeteni
Peta Kompetensi (RMCS) -Tujuan utama -Fungsi kunci -Fungsi utama -Fungsi dasar (unit kompetensi)
4. Tim Perumus KKNI
5. Tim Verifikasi SKKNI
Kode Unit Judul unit Deskripsi unit Elemen unit Kriteria unjuk kerja Batasan variabel Panduan penilaian
Gambar 17. Tugas Pengembang SKKNI Kurikulum, silabus dari kursus-kursus ini mengacu pada SKKNI. SKKNI Pelatihan kerja ini ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang kemudian pengembangannya dilakukan oleh instansi teknis. Penyusunan rencana induk program SKKNI (RIP) dikembangkan oleh Komite Standard Kompetensi yang menghasilkan peta kompetensi. Peta kompetensi ini terdiri
MU-10
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dari kompotensi tugas utama, tugas kunci, fungsi utama, dan fungsi dasar/unit kompetensi. Fungsi dasar ini yang menjadi dasar dalam pembuatan silabus. Sebagai contoh disampaikan peta kompetensi dibidang pemandu acara. Kerangka Kurikulum – Peta Kompetensi Step 1
Step 2
Melaksanakan kegiatan kerja memandu acara dengan baik dan benar
Step 3
Mengoperasikan komputer untuk kegiatan kerja tulis menulis
Melaksanakan kegiatan kerja sebagai MC
Tujuan Utama
Step 4
Fungsi Kunci
Menghidupkan dan mematikan komputer
Fungsi Utama F. Dasar (UK)
Silabus
Gambar 18. Peta Kompetesi Kompetensi pada tujuan utama adalah melaksanakan kegiatan kerja memadu acara dengan baik dan benar, kompetensi pada fungsi kunci adalah melaksanakan kegiatan kerja sebagai pemandu acara, kompetensi pada fungsi utama adalah mengoperasikan komputer untuk kegiatan kerja tulis menulis, dan kompetensi pada fungsi dasar adalah menghidupkan dan mematikan komputer. Dari uraian kompetensi di atas terlihat adanya acuan yang sistematis untuk pengembangan kurikulum dan silabus untuk setiap kursus di Indonesia.Paparan di atas diharapkan dapat memotivasi guru untuk membuat peta kompetensi di dalam proses pembelajarannya. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk memetakan kompetensi dan untuk menentukan keberhasilannya di dalam proses pembelajaran adalah SMART Goal yang dikembangkan oleh O’Neil. SMART goal dimulai dengan menuliskan: hasil akhir/kompetensi yang ingin dicapai, indikator, pengukuran, target, dan tujuan SMART. Contoh penurunan kompetensi yang dapat dikembangkan pada pembelajaran di kelas adalah sebagai berikut.
SMART Goals Result Oriented Goal
Meningkat kan keterampil an berpikir analitik
Indicator
Siswa mendemonst rasikan kemampuan mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis informasi
Measures
Asesmen kinerja dengan mengguna kan rubrik skala 4
Target
Smart Goals
80 % siswa akan mencapai skor 3 atau lebih
Pada akhir semester, 80% siswa akan mencapai skor 3 atau lebih dengan menggunakan rubrik skala 4
Gambar 19. SMART Goals SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-11
Hasil akhir/kompetensi yang ingin dicapai adalah meningkatkan keterampilan berpikir analitik. Indikatornya adalah siswa mendemonstrasikan kemampuan mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis informasi. Pengukurannya menggunakan asesmen kinerja dengan menggunakan rubrik skala 4. Targetnya adalah 80% siswa akan mencapai skor 3 atau lebih. Tujuan SMART adalah pada akhir semester 80% siswa akan mencapai skor 3 atau lebih dengan menggunakan rubrik skala 4. Dengan menggunakan instrumen SMART Goals ini diharapkan dapat mengukur keberhasilan proses belajar belajar berdasarkan kompetensi menjadi valid.
Sumber Bacaan Belanca & Brandt. (2010). 21st Century Skills. Rethinking How Students Learn. United States of America: Solution Tree Press Belgard, Burke, & Fogarty. (2008). The Portfolio Connection. Student Work Linked to Standards. California:Corwin Press Carr & Harris. (2001). Succeeding with Standards. Linking Curriculum, Assessment, and Action Planning. United States ofAmerica: ASCD Conzemius & O’Neill. (2001). Building Shared Responsibility for Student Learning. United States of America: ASCD Costa & Kallick. (2009). Habits of Mind. Across the Curriculum. Practical and Creative Strategies for Teachers. United States of America: ASCD Griffin,Patrick. (2012). Assessment and Teaching of 21st Century Skills. New York:Springer Koenig, Anderson.(2011). Assesing 21st Century Skills. Summary of Workshop. United States of America: National Academy of Sciences Kuhlthau & Maniotes. (2007). Guided Inquiry. Learning in the 21st Century. United States of America: Greenwood Publishing Lazear, David. (2004). Higher Order Thinking. The Multiple Intellegences Way. United States of America: Zephyr Press Langer, Colton, & Goff. (2003). Collaborative. Analysis of Student Work. United States of America: ASCD Piirto, Jane. (2011). Creativity for 21st Century Skills. How to Embed Creativity into the Curriculum. Nederlands: Sense Publushers Trilling & Fadel. (2009). 21st Century Skills. Learning for life in our times. United States of America: Jossey-Bass Ward, Hellen. (2007). Using Their Brains in Science. London: A Sage Publishing
MU-12
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-13
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
BEBERAPA PRINSIP TIK UNTUK PENDIDIKAN
Onno W. Purbo STKIP Surya Surya University
PENDAHULUAN Dalam tulisan ini akan di terangkan beberapa prinsip sederhana maupun aplikasi komputer yang dapat kita gunakan untuk proses pembelajaran. Secara umum kita dapat melihat aplikasi TIK / komputer dalam proses pendidikan dapat dibagi dalam: • Aplikasi Pembelajaran di Desktop • Tingkat preschool • Tingkat sekolah dasar • Tingkat SMP • Tingkat SMA / SMK • Tingkat pendidian tinggi • Aplikasi Pembelajaran Mobile • Aplikasi Pembelajaran Online • Aplikasi Pembelajaran Multimedia • Aplikasi Pendukung Proses Pembelajaran Semoga tulisan ini dapat membuka sedikit wawasan tentang kemungkinan penggunaan komputer / TIK untuk pembelajaran. PRINSIP DASAR Beberapa hal yang mungkin kita perlu pegang baik-baik adalah • • • • • •
Komputer / TIK bukan tujuan akhir. Komputer / TIK hanyalah alat bantu untuk membuat siswa / murid menjadi pandai. Sebaiknya komputer / TIK merupakan bagian dari mata pelajaran lain. Harus semudah mungkin bagi para siswa / mahasiswa. Harus menyenangkan untuk digunakan. Belajar sambil Bermain. Sebaiknya memungkinkan untuk melakukan explorasi. Usahakan agar siswa menjadi produsen pengetahuan, bukan sekedar konsumen / pengguna saja.
MU-14
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Beberapa prinsip dasar tambahan khususnya untuk daerah berkembang / daerah tertinggal/ • • •
Murah. Open Source. Rendah Daya.
CONTOH APLIKASI PEMBELAJARAN DI DESKTOP Salah satu sistem operasi yang siap pakai untuk pembelajaran adalah • • •
EduBuntu Sabily (sudah tidak update) Ubuntu yang di instalasi aplikasi pendidikan.
Referensi Aplikasi https://wiki.edubuntu.org/Edubuntu/AppGuide Cuplikan Aplikasi yang menarik ubuntu-edu-preschool blinken - KDE version of the Simon electronic memory game gamine - an interactive game for young children gcompris - Educational games for small children kanagram - jumble word puzzle for KDE khangman - Hangman word puzzle for KDE ktuberling - stamp drawing toy tuxpaint - A paint program for young children ubuntu-edu-primary celestia-gnome - real-time visual space simulation (GNOME frontend) gcompris - Educational games for small children kalzium - periodic table and chemistry tools for KDE kanagram - jumble word puzzle for KDE kbruch - fraction learning aid for KDE khangman - Hangman word puzzle for KDE kig - interactive geometry tool for KDE kmplot - mathematical function plotter for KDE ktouch - touch typing tutor for KDE ktuberling - stamp drawing toy kturtle - Logo educational programming environment for KDE kwordquiz - flashcard learning program for KDE laby - Learn how to program with ants and spider webs lybniz - mathematical function graph plotter marble - globe and map widget parley - vocabulary trainer for KDE ri-li - a toy train simulation game SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-15
stellarium - real-time photo-realistic sky generator step - interactive physical simulator for KDE tuxmath - math game for kids with Tux tuxpaint - A paint program for young children tuxtype - Educational Typing Tutor Game Starring Tux ubuntu-edu-secondary calibre - e-book converter and library management celestia-gnome - real-time visual space simulation (GNOME frontend) dia-gnome - Diagram editor (GNOME version) inkscape - vector-based drawing program kalzium - periodic table and chemistry tools for KDE kbruch - fraction learning aid for KDE kig - interactive geometry tool for KDE kmplot - mathematical function plotter for KDE ktouch - touch typing tutor for KDE ktuberling - stamp drawing toy kturtle - Logo educational programming environment for KDE kwordquiz - flashcard learning program for KDE laby - Learn how to program with ants and spider webs lightspeed - Shows how objects moving at relativistic speeds look like lybniz - mathematical function graph plotter marble - globe and map widget melting - compute the melting temperature of nucleic acid duplex parley - vocabulary trainer for KDE pencil - animation/drawing software ri-li - a toy train simulation game stellarium - real-time photo-realistic sky generator step - interactive physical simulator for KDE ubuntu-edu-tertiary calibre - e-book converter and library management celestia-gnome - real-time visual space simulation (GNOME frontend) dia-gnome - Diagram editor (GNOME version) inkscape - vector-based drawing program kalzium - periodic table and chemistry tools for KDE kmplot - mathematical function plotter for KDE ktouch - touch typing tutor for KDE kturtle - Logo educational programming environment for KDE laby - Learn how to program with ants and spider webs lightspeed - Shows how objects moving at relativistic speeds look like lybniz - mathematical function graph plotter marble - globe and map widget melting - compute the melting temperature of nucleic acid duplex pencil - animation/drawing software stellarium - real-time photo-realistic sky generator step - interactive physical simulator for KDE yorick - interpreted language and scientific graphics scratch
MU-16
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
aplikasi pendidikan tinggi wxmaxima - simbolik matematik scilab - equivalen dengan mathlab blender - animasi 3D
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-17
Beberapa Cuplikan Gambar
tuxpaint
MU-18
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
tuxmath
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-19
gcompris
MU-20
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
kalzium
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-21
wxmaxima
MU-22
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SCILAB CONTOH APLIKASI PEMBELAJARAN DI MOBILE Bagi anda yang menggunakan android dapat mencek http://play.google.com Masukan keyword seperti • • • •
kid math science educational
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-23
Contoh tampilan dari Google Play
CONTOH APLIKASI PEMBELAJARAN SECARA ONLINE Infrastruktur Pendukung • • •
Cloud Computing (seperti Proxmox) Teknologi Jaringan (seperti WiFi) Teknologi Server
Ada beberapa aplikasi pendukung proses pembelajaran secara online, seperti, • • • •
Moodle SLiMS (Senayan Library Management System) Mediawiki (membuat Wiki sederhana) Wordpress (membuat Blog sederhana)
Beberapa Keuntungan Dengan Moodle • •
Bisa dengan mudah membuat bank soal & sharing bank soal. Komputer yang akan membuat penilaian secara automatis untuk soal multiple choice,
MU-24
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
• • •
matching, true-false. UTS, UAS bisa kapan saja & dimana saja, tanpa ruang, tanpa pengawas. UTS & UAS bisa di ulang berkali-kali sampai tanggal tertentu. Tidak perlu remedial. Mahasiswa bersemangat untuk memperoleh nilai A.
CONTOH APLIKASI PEMBELAJARAN MULTIMEDIA Mungkin yang paling sederhana adalah Streaming Video, Audio dan Foto. Aplikasi di sisi Client • •
XBMC UPnPlay (android)
Aplikasi di sisi Server • •
mediatomb (di Linux) miniupnp & minidlna (di OpenWRT)
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-25
CONTOH APLIKASI PENDUKUNG PROSES PEMBELAJARAN Ada beberapa aplikasi yang kita butuhkan khususnya untuk administrasi akademis, seperti, manajemen nilai, absensi dll. Beberapa contoh yang bersifat online adalah: • •
SISFOKOL (open source) JIBAS (pakai windows :((
Tampilan SISFOKOL di Web
MU-26
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
21st CENTURY EDUCATION IN THE UNITED STATES Bryan Holzer, M.BA
[email protected]
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-27
MU-28
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-29
MU-30
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-31
MU-32
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-33
MU-34
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-35
MU-36
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-37
MU-38
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-39
MU-40
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA ---------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
MU-41
MU-42
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN LKM PADA PERKULIAHAN BAHASA INGGRIS UNTUK MATEMATIKA DI STKIP PGRI SUMATERA BARAT Dewi Yuliana Fitri STKIP PGRI Sumatera Barat
[email protected]
ABSTRAK Kemampuan bahasa inggris diperlukan dalam perkuliahan matematika, hal ini disebabkan karena banyak buku teks yang dipakai dalam proses perkuliahan yang menggunakan bahasa inggris. Oleh karena itu, diperlukan suatu mata kuliah yang memperkenalkan istilah-istilah matematika dalam bahasa inggris. Mata kuliah ini mempelajari dan menginventarisir konsep dan istilah-istilah dalam bidang geometri, aljabar, statistika. Sumber belajar yang kurang membuat mahasiswa kesulitan dalam memahami materi perkuliahan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dikembangkan satu bahan perkuliahan yang menarik dan interaktif yang berupa lembar kerja mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan LKM bahasa inggris untuk matematika yang valid bagi mahasiswa program studi pendidikan matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Metode penelitian ini menggunakan model pengembangan 4-D. Pengumpulan data dilakukan dengan validasi oleh dosen bahasa inggris dan dosen bahasa inggris untuk matematika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LKM sudah valid meliputi validitas isi dan validitas konstruk dari sudut pandang validator. Kata Kunci: pengembangan, LKM bahasa inggris untuk matematika
PENDAHULUAN Perkuliahan Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model Matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan Matematika. Pembelajaran Matematika bertujuan untuk melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan. Selain itu, juga tujuan pembelajaran Matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan. Kemampuan berbahasa Inggris diperlukan dalam perkuliahan Matematika, hal ini disebabkan karena banyak buku teks yang dipakai pada proses perkuliahan yang menggunakan Bahasa Inggris. Oleh karena itu, diperlukan suatu mata kuliah yang memperkenalkan istilahistilah matematika dalam Bahasa Inggris. Mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika adalah SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
1
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 salah satu mata kuliah wajib yang diambil oleh mahasiswa prodi pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Mata kuliah ini mempelajari dan menginventarisir konsep-konsep dan istilah-istilah dalam bidang geometri, aljabar, aritmatika, statistika, dll. Mengingat pentingnya peranan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa bersungguhsungguh dalam mengikuti perkuliahan. Mahasiswa diharapkan aktif, termotivasi, serta mampu menguasai standar kompetensi dari mata kuliah ini. Tujuan dari mata kuliah ini adalah agar mahasiswa tidak kesulitan dalam memahami buku teks berbahasa Inggris yang digunakan pada mata kuliah lain, yang cenderung mengunakan buku teks berbahasa Inggris. Disamping itu, dengan dikuasainya istilah-istilah Matematika dalam Bahasa Inggris dapat membantu mahasiswa mengajar di kelas internasional yang sudah mulai digalakkan pemerintah. Untuk menciptakan perkuliahan yang menarik diperlukan bahan ajar yang menarik dan interaktif. Pada kenyataannya bahan perkuliahan pada mata kuliah ini belum menarik dan masih terbatas. Berdasarkan pengalaman peneliti selama mengampu mata kuliah ini, bahan ajar pada mata kuliah ini masih terbatas, belum interaktif, dan sulit untuk dipahami mahasiswa. Proses perkuliahan masih monoton dan bersifat satu arah. Sumber belajar yang kurang membuat mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami materi perkuliahan, misalnya ketika memahami materi mahasiswa kurang mengerti. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah, dikembangkan suatu bahan perkuliahan yang menarik dan interaktif yang berupa Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Bahan perkuliahan yang interaktif adalah bahan perkuliahan yang mengunakan bahasa-bahasa yang luwes dan tidak kaku. LKM berisi panduan-panduan materi dengan gambar-gambar yang menarik yang dikemas sedemikian rupa. Hal ini diharapkan dapat menjadikan perkulihan menjadi lebih interaktif, memiliki daya tarik, bermakna serta tidak menjadikan mata kuliah ini sebagai mata kuliah yang membosankan bagi mahasiswa. Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengembangan LKM Pada Perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika di STKIP PGRI Sumatera Barat.
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian pengembangan (Research and development /R&D). Penelitian ini akan mengembangkan alat bantu perkuliahan berupa LKM Bahasa Inggris untuk Matematika. Penelitian akan dilakukan pada semester genap tahun akademik 2012/2013. B. Prosedur Penelitian Model pengembangan LKM Bahasa Inggris untuk Matematika dalam penelitian ini menggunakan model pengembangan 4-D (Four D). Model pengembangan 4-D merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4D terdiri atas 4 tahap utama yaitu: (1) Define (Pendefinisian), (2) Design (Perancangan), (3) Develop (Pengembangan) dan Disseminate (Penyebaran). Secara lengkap prosedur yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Tahap pendefinisian (define) Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. a. Melakukan wawancara dengan teman sejawat, b. Menganalisis silabus Bahasa Inggris untuk Matematika, c. Menganalisis buku-buku teks Bahasa Inggris untuk Matematika, d. Mereview literatur yang terkait dengan pengembangan LKM. 2. Perancangan (design) Pada tahap ini dilakukan langkah yaitu merancang format LKM Bahasa Inggris untuk Matematika. LKM ini akan terdiri dari 1 bab yang dapat dipergunakan untuk satu materi. Bagiannya yaitu: bab bilangan (numbers). 3. Pengembangan (develop) 2
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Pada tahap ini tindakan yang dilakukan adalah memvalidasi, Tahap Validasi Ada 2 macam validasi yang digunakan pada LKM, yaitu: 1. Validitas isi, yaitu apakah LKM telah dirancang sesuai dengan silabus mata kuliah. 2. Validitas konstruk, yaitu kesesuaian komponen-komponen LKM dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Adapun aspek-aspek yang divalidasi dapat dilihat dari Tabel 3 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aspek Tujuan Rasional Isi LKM Karakteristik LKM Kesesuaian Bahasa Bentuk Fisik Keluwesan
Tabel 3. Validasi LKM Metode pengumpulan data Diskusi dengan pakar Bahasa Inggris untuk Matematika, pakar pendidikan matematika, dan dosen Bahasa Inggris untuk Matematika, serta pakar bahasa
Instrumen Lembar validasi
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar validasi. 1. Lembar validasi Lembar validasi digunakan untuk mengetahui apakah LKM yang telah dirancang valid atau tidak. Lembar validasi pada penelitian ini terdiri atas 4 macam, yaitu: a. Lembar validasi LKM Lembar validasi LKM berisi aspek-aspek yang telah dirumuskan pada Tabel 1. Masing-masing aspek dikembangkan menjadi beberapa pernyataan. Skala penilaian untuk lembar validasi menggunakan skala Likert. b. Lembar validasi pedoman wawancara dengan mahasiswa Lembar validasi pedoman wawancara dengan mahasiswa bertujuan untuk mengetahui apakah pedoman wawancara dengan mahasiswa yang telah dirancang valid atau tidak. Skala penilaian untuk lembar validasi menggunakan skala Likert. c. Lembar validasi aktivitas mahasiswa Lembar validasi aktivitas mahasiswa bertujuan untuk mengetahui apakah lembar observasi aktivitas mahasiswa yang telah dirancang valid atau tidak. Skala penilaian untuk lembar validasi menggunakan skala Likert. d. Lembar validasi angket motivasi belajar mahasiswa Lembar validasi angket motivasi belajar mahasiswa bertujuan untuk mengetahui apakah angket motivasi belajar mahasiswa yang telah dirancang valid atau tidak. Lembar validasi ini diisi oleh validator. Skala penilaian untuk lembar validasi menggunakan skala Likert. C. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari berbagai instrumen tersebut terbagi atas data validitas,. Data validitas diperoleh dari lembar validasi, Hasil yang diperoleh dari lembar validasi dianalisis secara kuantitatif, selanjutnya hasil analisis kuantitatif tersebut akan ditarik suatu kesimpulan. Teknik analisis dari data validitas dijelaskan sebagai berikut. Lembar Validasi LKM Hasil validasi dari validator terhadap seluruh aspek yang dinilai, disajikan dalam bentuk tabel. Selanjutnya dicari rerata skor tersebut dengan menggunakan rumus
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
3
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 n
R
V i 1
n
i
(Muliyardi,2006:82)
dengan : R = rerata hasil penilaian dari para validator Vi = skor hasil penilaian validator ke-i n = banyak validator Kemudian rerata yang didapatkan dikonfirmasikan dengan kriteria yang ditetapkan. Cara mendapatkan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1) Rentangan skor mulai dari 0 sampai 4 2) Kriteria dibagi atas lima tingkatan. Istilah yang digunakan disesuaikan dengan aspek-aspek yang bersangkutan. 3) Rentangan rerata dibagi menjadi lima kelas interval. Misalnya, untuk aspek rumusan indikator kompetensi digunakan kriteria dengan istilah sebagai berikut: 1) Bila rerata > 3,20 maka aspek yang dinilai dikategorikan jelas sekali. 2) Bila 2,40 < rerata ≤ 3,20 maka dikategorikan jelas. 3) Bila 1,60 < rerata ≤ 2,40 maka dikategorikan cukup jelas. 4) Bila 0,80 < rerata ≤ 1,60 maka dikategorikan kurang jelas. 5) Bila rerata ≤ 0,80 maka dikategorikan tidak jelas. Lalu dihitung rerata semua aspek untuk LKM. Untuk menentukan tingkat kevalidan LKM digunakan kriteria berikut: 1) Bila rerata > 3,20 maka LKM dikategorikan sangat valid. 2) Bila 2,40 < rerata ≤ 3,20 maka dikategorikan valid. 3) Bila 1,60 < rerata ≤ 2,40 maka dikategorikan cukup valid. 4) Bila 0,80 < rerata ≤ 1,60 maka dikategorikan kurang valid. 5) Bila rerata ≤ 0,80 maka dikategorikan tidak valid.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan LKM untuk mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika dengan menggunakan model 4-D memiliki hasil sebagai berikut. Validitas LKM Untuk mendapatkan LKM yang valid, dilakukan beberapa tahap sesuai dengan model 4D yang dikemukakan pada BAB IV. Hasil yang diperoleh pada masing-masing tahapan dapat diuraikan sebagai berikut. a. Pendefinisian (define) Tahap ini dilakukan untuk melihat gambaran kondisi di lapangan yang berkaitan dengan proses perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika di STKIP PGRI Sumatera Barat. Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah seperti analisis silabus, analisis buku teks, analisis karakteristik mahasiswa dan wawancara dengan teman sejawat. Hasil yang diperoleh pada masing-masing langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1) Analisis Silabus Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap silabus mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Analisis silabus dilakukan untuk melihat apakah materi yang diajarkan sudah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan hasil dari analisis silabus diketahui bahwa Standar Kompetensi (SK) dari mata kuliah ini adalah mahasiswa dapat mengetahui dan mengucapkan vocabulary tentang number concept and operation dalam bahasa inggris serta menyebutkan artinya dalam bahasa indonesia. Materi yang di bahas dalam LKM ini mengenai vocabulary tentang number concept and operation. Berdasarkan hasil analisis silabus maka LKM pada perkuliahan Bahasa inggris untuk Matematika ini dikembangkan pada bagian number concept and operation. 4
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 2) Analisis Buku Teks Analisis buku teks yang dilakukan bertujuan untuk melihat apakah isi buku sudah sesuai dengan kompetensi dalam silabus. Buku teks yang dianalisis adalah buku teks yang selama ini digunakan dalam perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika, yaitu English for Basic Mathematics karangan Roza Yenita. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa materi perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika yang ada di dalam buku teks ini sudah terstruktur menurut kurikulum yang ada. Semua materi yang akan diajarkan tersaji di buku teks ini. Namun, hanya sedikit latihan yang ada di dalam buku teks diajarkan pada mata kuliah ini. Hal ini tentunya dapat menghambat terciptanya proses perkuliahan yang kondusif. Selain itu, penyajian materi sulit dipahami oleh mahasiswa. Berdasarkan hasil analisis yang diuraikan tersebut, maka pengembangan LKM dilakukan dengan mengacu pada silabus yang ada. Penyajian LKM dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memfasilitasi mahasiswa untuk mandiri dalam mengerjakan latihan. 3) Analisis Karakteristik Mahasiswa Menurut Kemp (1994: 61) pada awal perencanaan sangat penting untuk memperhatikan ciri, kemampuan dan pengalaman mahasiswa baik secara kelompok ataupun perorangan. Agar LKM yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, peneliti mempelajari karakteristik mahasiswa dengan melakukan pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dalam proses perkuliahan selama ini, diketahui bahwa secara garis besar karakteristik cara belajar mahasiswa dalam perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika adalah sebagai berikut. a) Mahasiswa mudah lupa dengan vocabulary tentang matematika dalam bahasa Inggris. b) Mahasiswa kesulitan belajar mandiri dengan sumber belajar yang terbatas. c) Mahasiswa yang menyimak dan menanggapi serta dapat menyelesaikan soal-soal terkait dengan materi yang diberikan dosen adalah mahasiswa dengan kemampuan akademik tinggi. Pendataan yang dilakukan terhadap tingkat perekonomian mahasiswa memperoleh hasil bahwa Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat Program Studi Pendidikan Matematika berasal dari tingkat perekonomian menengah ke bawah. Dengan keterbatasan ini tentu saja mahasiswa kesulitan dalam pengadaan sumber belajar. Sumber belajar yang disediakan oleh ruang baca Prodi Pendidikan matematika dan perpustakaan memiliki jumlah yang terbatas. Keterbatasan ini menyebabkan hanya beberapa orang saja yang memiliki sumber belajar. Hal ini tentu saja dapat menghambat terjadinya proses perkuliahan yang kondusif. Hasil analisis dari karakteristik mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat dapat melatarbelakangi perlunya dilakukan pengembangan suatu LKM. Hal ini tentu dapat memicu munculnya kemandirian mahasiswa dalam belajar. 4) Wawancara dengan Teman Sejawat Setelah menganalisis buku rujukan Bahasa Inggris untuk Matematika, kegiatan selanjutnya adalah wawancara dengan teman. Wawancara dengan teman sejawat bertujuan untuk mengetahui masalah/ hambatan apa saja yang dihadapi di lapangan sehubungan dengan perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika. Wawancara dilakukan dengan Ibu Merina Pratiwi, M.Si pada tanggal 21 Mei 2012. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa selama ini proses perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika hanya mengacu pada satu buku teks dan menggunakan metode ceramah. Mahasiswa banyak bergantung pada penjelasan dosen dalam memahami materi. Ini berarti, mahasiswa belum mampu untuk belajar mandiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu bahan ajar yang praktis dari dosen sehingga mampu memfasilitasi mahasiswa untuk belajar secara mandiri. Dengan demikian, mahasiswa tidak terlalu banyak membutuhkan bantuan dosen dalam perkuliahan. Berdasarkan analisis-analisis yang dilakukan pada tahap pendefinisian, maka dirancanglah LKM untuk mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika. Berikut ini diuraikan karakteristik LKM yang dirancang.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
5
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 1) Materi Materi pada LKM ini dikembangkan agar mahasiswa lebih fasih dalam mengucapkan istilah matematika dalam bahasa inggris. Pada bagian ini terdapat suatu rumusan masalah yang akan diberikan kepada mahasiswa dengan data secukupnya. Rumusan masalah dapat berupa konsep ataupun soal. Materi didesain menggunakan huruf comic sans MS di mana ukuran 16 digunakan sebagai sub judul pada masing kegiatan belajar dan ukuran 12 digunakan dalam uraian materi. 2) Contoh soal Pada contoh soal terdapat soal-soal yang relevan dengan materi yang disajikan. Contoh soal beserta penyelesaiannya disajikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga mampu menfasilitasi mahasiswa untuk belajar mandiri. 3) Latihan Soal-soal pada latihan disusun dari tingkat kesukaran rendah, sedang sampai tinggi. 4) Latihan mandiri Latihan mandiri merupakan latihan yang menuntut kemandirian mahasiswa dalam menyelesaikan soal. Pada latihan ini, mahasiswa dapat mengembangkan sendiri jawabannya berdasarkan pemahaman yang diperolehnya dari materi, contoh soal dan latihan terbimbing. b. Pengembangan (develop) Tahap Validasi LKM yang telah dirancang selanjutnya divalidasi oleh validator. Validasi LKM dilakukan oleh 2 orang validator yaitu satu orang pakar Bahasa Inggris untuk Matematika dan satu orang pakar Bahasa Inggris. LKM dinyatakan valid setelah dilakukan beberapa kali diskusi dan perbaikan. Kegiatan validasi pertama dilakukan pada tanggal 5 Februari 2013 pada pakar mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika dan pakar bahasa Inggris. Rangkuman dari hasil diskusi dengan validator dapat dilihat pada Tabel 1.
No
Tabel 2. Rangkuman Saran Validator Saran Nama
1 1
2 Merina Pratiwi,M.Si
2
Belinda Analido, M.Pd
1) 2) 3) 1) 2)
3 Penempatan gambar yang lebih jelas. Penyajian konsep yang lebih jelas. Penomoran setiap materi. Cek lagi pengetikan kalimat! Cek lagi penggunaan bahasa
Perbaikan yang dilakukan disesuaikan dengan saran yang diberikan dari validator (disesuaikan dengan kesediaan validator). Kegiatan ini dilakukan untuk berdiskusi dengan validator seputar perbaikan yang telah dilakukan. Diskusi yang dilakukan dengan validator terkait dengan perbaikan yang telah dilakukan mendapatkan hasil bahwa LKM telah valid dan dapat digunakan pada uji coba.Data angket hasil penilaian validator dideskripsikan dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Berikut diuraikan hasil validasi LKM yang telah dirancang. a) Aspek Materi dalam LKM Hasil validasi aspek materi dalam LKM dapat terlihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa rerata hasil penilaian validator terhadap LKM yang dirancang berkisar > 3,20. Menurut Muliyardi (2006: 82) bila rerata hasil validasi bernilai > 3,20 maka perangkat pembelajaran dikategorikan sangat valid. Hasil validasi LKM menggambarkan bahwa materi yang disajikan telah sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Materi telah dirumuskan berdasarkan langkah-langkah sehingga memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya. Hal ini didukung dengan penyajian materi yang sistematis dan adanya contoh soal, latihan serta latihan mandiri yang relevan dengan materi yang disajikan. 6
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 3. Hasil Validasi Aspek Materi dalam LKM Aspek yang divalidasi
Validator
Jml
Rerata
1 LKM disajikan secara sistematis
1 2 4
2 3 4
4 8
5 4
Merupakan materi/tugas yang esensial
4
3
7
3,5
4
3
7
3,5
4
3
7
3,5
4
3
7
3,5
Masalah yang diangkat sesuai dengan tingkat kognisi mahasiswa Setiap kegiatan yang disajikan mempunyai tuiuan yang jelas Kegiatan yang disajikan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu siswa
b) Aspek Penyajian Pada LKM Hasil validasi aspek penyajian dalam LKM dapat terlihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Hasil Validasi Aspek Penyajian dalam LKM Aspek yang divalidasi 1 LKM disajikan secara sistematis Masalah yang diangkat sesuai dengan tingkat kognisi siswa Setiap kegiatan yang disajikan mempunyai tujuan yang jelas Kegiatan yang disajikan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu siswa
Validator 1 2 2 3 4 4
Jml
Rerata
4 8
5 4
3
4
7
3,5
3
4
7
3,5
4
3
7
3,5
Bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi siswa
3
3
6
3
Bahasa yang digunakan komunikatif
3
3
6
3
Kalimat yang digunakan jelas dan mudah dimengerti
4
3
7
3,5
Kejelasan petunjuk dan arahan
4
4
8
4
Pada Tabel 9 terlihat bahwa rerata hasil penilaian validator terhadap LKM yang dirancang berkisar > 3,20. Menurut Muliyardi (2006: 82) bila rerata hasil validasi bernilai > 3,20 maka perangkat pembelajaran dikategorikan sangat valid. Hasil validasi LKM menggambarkan bahwa unsur-unsur LKM disajikan secara jelas. Penyajian materi telah melibatkan mahasiswa secara aktif untuk menemukan konsep secara mandiri. Selain itu, penyajian gambar jelas dengan warna yang bervariasi. c) Aspek bahasa dan keterbacaan pada LKM Hasil validasi aspek bahasa dan keterbacaan dalam LKM dapat terlihat Tabel 10 berikut.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
7
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 10. Aspek Bahasa dan Keterbacaan dalam LKM Aspek yang divalidasi Penggunaan bahasa sesuai EYD Bahasa yang digunakan sesuai dengan perkembangan tingkat kognisi siswa Bahasa yang digunakan komunikatif Kalimat yang digunakan jelas dan mudah dimengerti Kejelasan petunjuk dan arahan
Validator 1 2 3 4
Jml
Rerata
7
3,5
3
3
6
3
3
3
6
3
4
3
7
3,5
4
4
8
4
Pada Tabel 10 terlihat bahwa rerata hasil penilaian validator terhadap LKM yang dirancang berkisar > 3,20. Menurut Muliyardi (2006: 82) bila rerata hasil validasi bernilai > 3,20 maka perangkat pembelajaran dikategorikan sangat valid. Hasil validasi menggambarkan bahwa penggunaan kalimat pada LKM telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik. Kalimat yang digunakan mampu melibatkan kemampuan berpikir logis mahasiswa karena telah disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan kapasitas keterbacaan mahasiswa. Hal ini didukung dengan penyajian modul yang tidak memberikan makna ganda. Rerata skor hasil validasi LKM secara keseluruhan adalah 3,5. Hal ini menunjukkan bahwa LKM sangat valid. Selama melakukan validasi, validator memberikan beberapa saran yang termuat di dalam lembar validasi, diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Penomoran materi 2. Penggunakan gambar disesuaikan dengan kebutuhan materi. 3. Penambahan penjelasan tentang materi. 4. Beberapa tulisan/ pengetikan masih salah. 5. Penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara umum sudah baik, tetapi perlu diperbaiki sedikit. Berdasarkan saran-saran yang diberikan validator, peneliti sudah melakukan revisi pada LKM sampai LKM bisa dikatakan sangat valid seperti yang sudah diuraikan di atas.
SIMPULAN DAN SARAN LKM untuk perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika merupakan bahan perkuliahan mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. LKM dikembangkan melalui tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design) dan tahap pengembangan (develop). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut LKM pada perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika memiliki validitas yang sangat valid baik dari aspek materi, penyajian, bahasa dan keterbacaan. Berdasarkan penelitian pengembangan LKM ini, peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut. 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkuliahan dengan menggunakan LKM yang dikembangkan pada penelitian ini dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu, LKM dapat dijadikan salah satu alternatif bahan perkuliahan bagi Dosen dan mahasiswa. 2. LKM ini dapat dijadikan contoh bagi Dosen dalam mengembangkan LKM yang lain. Perbaikan dan modifikasi dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan langkah-langkah. 3. Kepada pihak lain yang ingin melanjutkan penelitian atau memakai LKM ini, disarankan untuk menggunakan strategi tertentu dalam proses perkuliahan sehingga bisa diperoleh hasil yang maksimal. 8
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 4. Penelitian pengembangan akan lebih sempurna jika dilakukan sampai tahap keempat (disseminate atau penyebaran).
DAFTAR PUSTAKA Muliyardi.2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Komik di Kelas 1 Sekolah Dasar. Disertasi tidak diterbitkan.Surabaya: Pasca Sarjana UNESA. Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
9
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya” MEMBANGUN SELF CONCEPT MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN EKSPLORASI YANG MENDUKUNG KURIKULUM 2013 Aan Subhan Pamungkas Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Tangerang
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini didasarkan pada tuntutan kurikulum 2013 yang harus mengembangkan aspek afektif selain aspek kognitif yang termasuk ke dalam kompetensi inti yang harus dicapai oleh siswa. Salah satu aspek afektif yang dikaji adalah self concept matematis siswa, self concept matematis menentukan seseorang untuk bertindak negatif atau positif. Aspek ini mempunyai hubungan yang kuat dengan keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas akademik bahkan prestasi belajar. Sehingga aspek ini perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Salah satu solusi untuk mengembangkannya adalah dengan pembelajaran eksplorasi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat self concept matematis siswa SMP setelah mendapatkan pembelajaran eksplorasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi dengan desain eksperimen perbandingan kelompok statik menggunakan teknik Purposive Sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP di Kabupaten Pandeglang Tahun Pelajaran 2012/2013. Sampel penelitiannya adalah siswa kelas VII di salah satu SMP di Kabupaten Pandeglang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
Kata kunci: pembelajaran eksplorasi, self concept matematis dan kurikulum 2013
PENDAHULUAN Pengembangan aspek afektif siswa dalam pembelajaran saat ini mendapatkan perhatian yang utama di samping kemampuan kognitif, hal ini dalam rangka menciptakan siswa-siswi Indonesia yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi cerdas secara emosional dan kepribadian. Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 tentang Standar Isi (Permendiknas, 2006: 346) disebutkan bahwa salah satu dari tujuan pembelajaran matematika yaitu agar peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam mempelajari masalah, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tujuan pembelajaran matematika tersebut sejalan dengan tujuan dari kurikulum 2013 yang tercantum dalam kompetensi inti yang terdiri dari sikap (spiritual dan sosial), pengetahuan dan keterampilan.
10
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Apabila kita mencermati tujuan mata pelajaran matematika berdasarkan standar isi dan kompetensi inti pada kurikulum 2013, terlihat bahwa kurikulum yang disusun sudah memperhatikan aspek pengembangan afektif salah satunya adalah sikap percaya diri. Sikap percaya diri ditandai dengan keyakinan seseorang atas tindakan yang dilakukannya, dalam hal ini keyakinan diri individu ketika dihadapkan pada permasalahan matematik. Keyakinan diri tersebut dalam situasi yang melibatkan persoalan matematika disebut self concept matematis. Menurut Hurlock (1978), self-concept merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang meliputi fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi yang telah dicapainya. Sedangkan self concept akademik menurut Wigfield & Karphatian (Ferla, Valcke, & Cai, 2009) adalah “Academic self concept refers to individual’s knowledge and perceptions about themselves in a academic achievement situations”. Berdasarkan kedua pendapat di atas, self concept merupakan gambaran keseluruhan mengenai diri seseorang, sedangkan self concept akademik merupakan gambaran khusus seseorang dalam domain akademik. Domain akademik salah satunya adalah prestasi siswa dalam bidang studi matematika, yang dalam hal ini dikenal dengan self concept matematis. Adapun self concept matematis adalah keyakinan, perasaan atau sikap seseorang mengenai kemampuannya dalam memahami atau melakukan sesuatu dalam situasi yang melibatkan matematika. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Gourgey (1982: 5) yang mendefinisikan self concept sebagai “beliefs, feelings or attitudes regarding one’s ability to understand or perform in situations involving mathematics. The self as capable or incapable of learning or performing in mathematics, rather than the subject of mathematics, is the object of attitude”. Pendapat di atas menjelaskan bahwa self concept matematis merupakan cerminan diri seseorang atas kemampuan matematikanya (misalnya, saya suka matematika), serta evaluasi terhadap persepsi dirinya akan kemampuan matematika yang dimiliki (saya pandai matematika dibandingkan dengan teman yang lain). Dari beberapa pendapat tersebut, aspek self concept yang diteliti dalam penelitian ini adalah aspek keyakinan terhadap kemampuan diri, mengenai pandangan siswa terhadap
kemampuan matematika yang dimilikinya serta aspek sikap mengenai kemampuan diri, mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran matematika yang ideal. Self concept merupakan hasil dari interaksi sosial melalui proses internalisasi dan pengorganisasian pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi personal terhadap lingkungan sosial dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang yang dianggap teladan bagi individu tersebut. Artinya konsep diri terbentuk melalui pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang lain. Oleh karena pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Sudah menjadi suatu kondisi yang alami bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Self concept dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang menciptakan suasana belajar yang mendukung siswa untuk menilai gambaran mengenai kemampuannya. Sikap dan respon lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi seseorang untuk menilai gambaran dirinya. Sehingga dengan self concept yang positif siswa dapat berhasil dalam mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan matematika. Salah satu upaya untuk mengembangkan self concept matematis siswa adalah dengan pembelajaran eksplorasi. Pembelajaran eksplorasi adalah rangkaian kegiatan siswa dalam menjelajahi atau menyelidiki permasalahan-permasalahan matematis untuk mendapatkan suatu pemecahan masalah yang menjadi esensi dalam pembelajaran matematika sebagai tujuan yang hendak dicapai. Menurut Depdiknas (2003) tahapan pembelajaran eksplorasi meliputi hal-hal sebagai berikut: a.
Masalah eksplorasi
Masalah eksplorasi menggambarkan seluruh proses, prosedur serta tingkat kemampuan dan ketertarikan siswa terhadap pembelajaran. Masalah eksplorasi hendaklah memiliki SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
11
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 karakteristik menarik bagi siswa, ada jawabannya, menantang, mendorong siswa untuk melakukan eksplorasi serta mendorong siswa untuk berpikir logis. b. Pengumpulan data atau informasi Setiap data dari masalah yang disajikan dikumpulkan dan diidentifikasi. Tujuannya agar permasalahan yang dihadapi dapat dipahami dengan jelas. Aktivitas ini dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi apa yang diketahui, apa yang ditanyakan serta kondisi data yang ada. c. Analisis data Setelah data terkumpul selanjutnya dianalisis, untuk dapat menganalisis data dibutuhkan kemampuan khusus yang sesuai dan dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan-kemampuan tersebut membantu kepada siswa untuk meningkatkan pengetahuan tentang kemampuan berpikir sehingga masalah menjadi mudah diselesaikan dengan solusi yang logis. d. Penyimpulan Pada tahap ini solusi permasalahan ditemukan. Untuk meyakinkan bahwa hal tersebut merupakan solusi, aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan adalah melihat kembali seluruh jawaban, mereviu, mendiskusikan langkah-langkah yang ada serta mengembangkan pembelajaran dengan permasalahan yang baru yang masih memiliki keterkaitan dengan cara penyelesaian sebelumnya. Dalam pembelajaran eksplorasi siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kelompoknya untuk memecahkan suatu tantangan yang diberikan oleh guru. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses yang menyebutkan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran harus dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta psikologis (Permendiknas, 2007). Jelas dengan rancangan pembelajaran seperti ini tidak hanya kemampuan kognitif siswa yang berkembang, akan tetapi kemampuan afektifnya yang salah satunya self concept akan berkembang. Hal ini diperkuat oleh pendapat Magoulas dan Cocea (2008) yang menyebutkan bahwa lingkungan pembelajaran eksplorasi merupakan karakteristik pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa dan biasanya sesuai dengan ranah yang berhubungan dengan solusi majemuk yang dapat diperoleh, dimana eksplorasi merupakan bagian yang penting untuk memahami karakteristik-karakteristik tersebut. Berdasarkan argument-argumen di atas, penulis berasumsi bahwa self concept matematis siswa akan dapat berkembang dengan baik melalui pembelajaran eksplorasi. Tetapi untuk menyakinkan asumsi tersebut dilakukan kajian dengan mengenai pengembangan self concept matematis siswa melalui pembelajaran eksplorasi yang mendukung kurikulum 2013. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional”. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi dan pembelajaran konvensional serta mendeskripsikan karakteristik siswa dalam pembelajaran berkenaan dengan keyakinan dan pandangan/sikap akan kemampuan dirinya sendiri terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran eksplorasi berdasarkan aktivitas pembelajaran sehari-hari dan pengalaman belajar. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan pertimbangan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan self concept matematis siswa. 12
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 2. 3.
Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan pembelajaran eksplorasi terhadap self concept matematis siswa SMP. Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar dan motivasi belajar siswa.
METODE PENELITIAN Metode dan Desain Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen (pembelajaran eksplorasi), dan kelompok kontrol (pembelajaran konvensional). Adapun desain penelitian menggunakan desain eksperimen perbandingan statik (Ruseffendi, 2005: 52) berikut: Kelas Eksperimen : X O Kelas Kontrol : O Keterangan: O : Skala Self Concept Matematis X : Pembelajaran Eksplorasi : Subjek tidak dikelompokkan secara acak Subyek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri di salah satu Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Sedangkan sampel penelitiannya adalah siswa kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling. Instrumen Penelitian Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan instrumen dalam bentuk non tes yaitu skala self concept siswa. Skala self concept matematis diadaptasi dari skala self concept matematis yang dikembangkan oleh Gourgey (1982), dari 27 item pernyataan yang ada diadaptasi berdasarkan kondisi subyek penelitian ini sebanyak 23 item pernyataan. Dalam penelitian ini self concept yang diukur terdiri dari 2 dimensi, yaitu: dimensi keyakinan dan dimensi sikap. 1. Keyakinan terhadap kemampuan diri, mengenai pandangan siswa terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya. 2. Sikap mengenai kemampuan diri, mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran matematika yang ideal bagi dirinya. Analisis Data Skor skala self concept merupakan data ordinal, untuk merubah data ordinal menjadi data interval dilakukan proses transformasi data menggunakan MSI (Method of Succesive Interval). Sesudah data ordinal ditransformasikan menjadi data interval, selanjutnya dila kukan pengujian prasyarat kenormalan dan homogenitas. 1. Uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skala self concept matematis menggunakan uji statistik Shapiro Wilk. 2. Uji homogenitas varians skor skala self concept matematis menggunakan uji Levene. 3. Uji perbedaan rataan skor skala self concept menggunakan uji-t yaitu Independent Sample T-Test.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
13
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini merupakan deskripsi skor self concept matematis siswa pada kelas eksplorasi dan kelas konvensional. Tabel 1. Deskripsi Skor Self Concept Matematis Kelas SD Kategori 66,47 5,40 Positif (Cukup baik) Eksplorasi 60,65 5,41 Positif (sedang) Konvensional Skor Netral = 57,5
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pencapaian rataan skor self concept matematis siswa sebesar 66,47 untuk kelas eksplorasi dengan standar deviasi 5,40 dan 60,65 untuk kelas konvensional dengan standar deviasi 5,41. Rataan skor kelas eksplorasi lebih tinggi 5,06% daripada kelas konvensional. Akan tetapi untuk tingkat penyebaran skor self concept matematis siswa kedua kelas sama persis karena standar deviasi kedua kelas sama. Apabila rataan skor self concept matematis siswa kedua kelas dibandingkan dengan skor netral, terlihat bahwa rataan skor self concept kedua kelas tergolong positif. Rataan skor self concept matematis siswa kelas eksplorasi termasuk cukup baik, dan untuk kelas konvensional termasuk sedang. Untuk lebih jelasnya mengenai perbandingan skor self concept matematis siswa kedua kelas dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Gambar 1. Rataan Skor Self Concept Matematis Siswa
Dari gambar di atas nampak bahwa rataan skor self concept matematis siswa kelas eksplorasi lebih tinggi daripada siswa kelas konvensional. Artinya pembelajaran dengan model pembelajaran eksplorasi memberikan kontribusi yang baik dalam pengembangan self concept matematis siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Apabila ditinjau dari aspek self concept matematis siswa, nampak bahwa aspek keyakinan dan sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Berikut merupakan tabel self concept matematis ditinjau dari aspeknya. Kelas Aspek Keyakinan (= 65) Sikap (=50)
Tabel 2. Self Concept Matematis ditinjau dari Aspeknya Eksplorasi Konvensional Rerata SD Kategori Rerata SD 37,38 0,97 Positif 34,54 0,65 (58%) (sedang) (53%) 29,22 0,62 Positif 26,22 0,45 (58%) (sedang) (52%)
Kategori Positif (sedang) Positif (sedang)
Berdasarkan tabel 2 di atas nampak bahwa aspek keyakinan siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih tinggi 5% daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran 14
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 konvensional. Begitu halnya dengan aspek sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih tinggi 6% daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Hal ini memberikan gambaran bahwa pembelajaran eksplorasi memberikan kontribusi yang baik terhadap self concept siswa. Walaupun rerata kedua kelas masih tergolong sedang. Secara deskriptif menunjukkan bahwa self concept matematis yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Namun untuk membuktikan apakah benar self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional dilakukan pengujian hipotesis secara statistik. Sebelum pada pengujian hipotesis, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas menggunakan bantuan software statistic. Hasil uji prasyarat menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Setelah data memenuhi uji prasyarat analisis, dilanjutkan uji hipotesis menggunakan statistik parametrik dengan teknik uji perbedaan dua rataan skor skala self concept matematis. Tabel 3. Uji Perbedaan Rataan Skor Self Concept t-test for Equality of Means Keterangan t df Sig. (1-tailed) 4,302 62 0,000 H0 Ditolak
Dari hasil independent sample test di atas, didapat nilai p-value atau Sig. (2-tailed) yaitu 0,000 < α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak, artinya rataan skor self concept matematis siswa kelas eksplorasi secara signifikan lebih baik daripada kelas konvensional. Hasil analisis data baik analisis deskriptif maupun analisis inferensial menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan skor self concept matematis siswa yang memperoleh pembelajaran eksplorasi dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran eksplorasi memberikan kontribusi yang positif terhadap pengembangan self concept matematis siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Namun skor self concept tersebut apabila dibandingkan dengan skor netralnya diperoleh kesimpulan bahwa untuk kelas eksplorasi tergolong positif dan cukup baik, sedangkan untuk kelas konvensional tergolong positif dan sedang. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa faktor pembelajaran berpengaruh signifikan dalam mengembangkan self concept matematis siswa. Hal ini dimungkinkan terjadi karena dipicu oleh pengalaman yang berbeda dengan sebelumnya. pembelajaran yang mereka dapatkan sebelumnya adalah ceramah, latihan soal dan mengerjakan soal-soal rutin. Sehingga dengan pembelajaran eksplorasi memberikan suasana yang berbeda dan menambah pengalaman baru. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Desmita (2010: 170) yang menyatakan bahwa self concept dapat berkembang karena suatu pengalaman (self concept as an interpretation of experience). Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalaman barunya, dalam hal ini adalah pembelajaran eksplorasi yang merupakan kegiatan yang tidak biasa mereka lakukan sebelumnya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, karena masing-masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka. Dengan pengalaman baru ini siswa dilatih untuk bekerjasama dalam kelompok, memberikan alasan logis pada setiap pernyataan yang diberikan, dan berani tampil dalam menyajikan temuannya. Pada saat pemberian masalah eksplorasi yang dilanjutkan oleh proses mengeksplore masalah, merupakan proses imitasi eksplorasi lingkungan oleh siswa baik secara individu maupun secara kelompok (hubungan siswa), dan ketika siswa bertanya kepada guru pada saat mengalami kesulitan (hubungan guru). Pola-pola aktivitas dan interaksi tersebut menunjukkan adanya pengembangan self concept matematis dalam proses pembelajaran. Selain itu, tampil di depan kelas menunjukkan keberanian dan keyakinan diri siswa akan kemampuannya. Setelah siswa tampil di depan kelas tentunya akan ada respon dari keberhasilan dan kegagalan yang disampaikan oleh siswa lain ataupun guru.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
15
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian serta pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan dan saran dari hasil-hasil penelitian tersebut.
Kesimpulan 1. Self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, diajukan beberapa saran sebagai berikut. 1. Pembelajaran eksplorasi hendaknya menjadi alternatif model pembelajaran bagi guru SMP khususnya dalam meningkatkan self concept matematis siswa. 2. Agar pembelajaran eksplorasi tidak asing bagi siswa dan mudah diterapkan, sebaiknya dari mulai tingkat sekolah dasar sudah mulai diperkenalkan dengan memilih materi yang sesuai dengan karakteristik strategi pembelajaran eksplorasi. Dan jika perlu, untuk jenjang sekolah dasar pembelajaran ini lebih disederhanakan agar dapat diterapkan dengan mudah sesuai dengan karakteristik siswa di jenjang sekolah dasar. DAFTAR PUSTAKA Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik; Panduan Bagi Orang Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA. Bandung: Resmaja Rosdakarya. Ferla, J., Valcke, M., & Cai, Y. (2009). Academic Self Efficacy and Academic Self Concept: Reconsidering Structural Relationship. Journal of Learning and Individual differences. [Online]. Tersedia: jamiesmithportfolio.com/ [8 November 2012]. Gourgey, A. F. (1982). Development of a Scale for the Measurement of Self-Concept in Mathematics. New York University: Educational Resources Information Center (ERIC). Hurlock, E. B. (1978). Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata Mc Graw Hill. Magoulas, G. dan Cocea, M. (2008). Identifying Strategies in User’s Exploratory Learning Behaviour for Mathematical Generalisation. Journal of Technology Enhanced Learning. [Online]. Tersedia: http://www.dcs.bbk.ac.uk/~gmagoulas/AIED09.pdf. [8 November 2012]. Permendiknas. (2006). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta: BSNP. ____________. (2007). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses. Jakarta: BSNP. Ruseffendi, H. E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
16
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
BAHAN AJAR MATEMATIKA BERKARAKTER: UPAYA MENINGKATAN KOMPETENSI KOGNITIF DAN SOFT SKILLS SISWA Jarnawi Afgani Dahlan & Endang Dedy Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini mencoba mengembangan bahan ajar matematika yang didalamnya memuat nilai-nilai karakter secara integratif. Upaya ini dilakukan agar siswa mempunyai sumber belajar yang berguna untuk memperoleh kompetensi kognitif; dalam penelitian ini pemahaman dan pemecahan masalah matematik, serta soft skills. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yakni kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tahap pertama dari penelitian ini yang bertujuan memperoleh desain bahan ajar matematika yang mengintegrasikan nilai-nilai karakter. Proses dalam tahap ini dimulai dari menelaah kurikulum, serta analisis nilai-nilai karakter yang mungkin diinternalisasikan dalam bahan ajar. Adapun pendekatan kuantitatif merupakan tahap kedua yang dilakukan untuk memperoleh gambaran peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis, serta soft skills siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teoritis bahan ajar matematika dapat menginternalisasikan nilai-nilai karakter melalui informasi (pengetahuan) pentingnya memiliki pengetahuan nilai-nilai karakter dan mengimplementasikannya. Kesimpulan dari hasil empirik diketahui bahwa peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan bahan ajar berkarakter lebih tinggi daripada kelas kontrol, dan soft skills siswa yang menggunakan bahan ajar berkarakter juga lebih baik daripada kelas kontrol. Kata Kunci : bahan ajar matematika berkarakter, kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis, soft skills.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan mempunyai tujuan dasar membantu manusia dalam mengembangkan dirinya, sehingga mampu menghadapi segala permasalahan dan perubahan dengan sikap terbuka dan kreatif tanpa kehilangan identitas dirinya. Dengan demikian, idealnya pendidikan dapat mengubah pola fikir, sikap dan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Menurut Mu’in (2011:294) pendidikan adalah proses pembangunan karakter. Pembangunan karakter adalah proses membentuk karakter, dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Pendidikan karakter hendaknya terfokus pada pengembangan karakter tiap individu baik dalam segi pengetahuan maupun pengembangan keterampilan dan sikap individu agar nantinya terbentuk sumber daya manusia yang memiliki karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang membagi fokusnya terhadap dua hal, yaitu ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter individu yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada sikap, perilaku dan cara berpikir individu. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
17
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Karakter (karakter yang baik) tentu saja akan diperoleh individu melalui dari proses pembelajaran. Pembelajaran melalui pengalaman atau pembelajaran melalui proses yang disengaja, yakni proses pembelajaran di sekolah. Sekolah semestinya menjadi wadah bagi para siswanya untuk memperoleh pendidikan karakter, baik pengetahuannya, maupun sikap dan tingkah laku. Seiring dengan perkembangan kemampuan manusia, maka kebutuhan akan kehidupan juga berubah. Situasi nyata saat, pendidikan lebih banyak diarahkan hasil akhir atau product oriented. Anak atau siswa dipacu untuk memperoleh kemampuan kognitif setinggi mungkin, sedemikian hingga akan tampil menjadi anak yang jenius, kompeten dalam bidangnya. Tetapi sayangnya nilai-nilai karakter tidak terfasilitasi dengan baik. Akibatnya lahir anak yang pandai tetapi miskin karakter. Hal ini sebagaimana dikatakan Mu’in (2011:219) pendidikan ternyata justru menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan potensi dirinya, manusia yang serakah dan merusak, dan manusia-manusia yang mengisi sistem yang mengarahkannya menuju tatanan yang tidak memanusiakan manusia (Mu’in, 2011:291). Lebih lanjut Mu’in (2011:292) mengungkapkan, masih banyak orang tidak bisa sekolah, lembaga pendidikan diisi oleh anakanak orang kaya. Output pendidikan bukan menghasilkan manusia-manusia yang berkarakter dan berguna bagi kemajuan bersama, para output pendidikan juga tidak terserap ke ranah kerja produktif. Bahkan, posisi-posisi terhormat jabatan-jabatan dalam pos-pos pelayanan publik justru diisi oleh pemuda-pemudi yang diseleksi bukan berdasarkan kemampuan dan dedikasinya, melainkan karena membeli jabatan itu. Akibatnya, nilai dan karakter hilang, mungkin yang berguna adalah keterampilan teknis dan keterampilan memanipulasi orang. Akibat dari proses pendidikan seperti di atas, muncullah persoalan-persoalan yang terjadi, seperti korupsi, kekerasan, kejahatan sosial, pengrusakan, perkelahian massa antar peserta didik, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan sebagainya (Kementrian Pendidikan Nasional dalam Muhammadi, 2010:607). Antisipasi terhadap itu, Balitbang Depdiknas (Muhammadi, 2010:607), menyebutkan pada tanggal 11 Mei 2010, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono telah secara resmi mencanangkan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai suatu Gerakan Nasional. Dengan demikian, pencanangan harus menjadi semangat bagi semua pihak dalam mendidik peserta didik agar menjadi generasi yang tangguh, patriotis, dan memiliki jati diri yang kuat. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan seharihari, sehingga pembelajaran pendidikan karkater tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik (Muhammadi, 2010:608). Secara riil, hanya mata pelajaran Agama dan pelajaran PKn yang bersentuhan langsung dengan pengembangan karakter siswa. Namun demikian, pelajaran-pelajaran lainpun diharapkan dapat menginternalisasikan karakter dalam aktivitasnya. Misalnya matematika. Dalam hal ini mata pelajaran matematika sekolah, disamping mengembangkan kemampuan berfikir dengan optimal juga mengembangkan aspek non kognitif atau soft skills. Selain melalui aktivitas kegiatan belajar mengajar, internalisasi karakter dapat dilakukan melalui bahan ajar, misalnya Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan buku. Karakter itu perlu dibangun dan perlu dibudayakan, salah satunya dengan memasukkannya pada bahan ajar dan RPP (Katuuk, 2012). Dengan demikian adanya kegiatan pengembangan bahan ajar akan membantu memudahkan bagi guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dan membantu memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Bahan ajar berbasis karakter adalah bahan ajar yang memungkinkan seorang guru mampu menyajikan materi ajar sedemikian rupa sehingga siswa mampu memahami, menentukan sikap, dan berperilaku sesuai dengan bahan ajar tersebut. Bahan ajar berbasis karakter perlu menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran yang diampu sesuai dengan budaya lingkungan sekolah. Melalui bahan ajar tersebut diharapkan kompetensi kognitif dan non kognitif secara bersamaan akan tercapai. Seperti diketahui bahwa selain lemahnya pencapaian non kognitif, pencapaian dalam bidang kognitifpun belum memuaskan. Beberapa contoh hasil studi yang dapat dipercaya, masih menempatkan kompetensi kognitif siswa di Indonesia masih jauh lebih 18
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 rendah dibandingkan dengan pencapaian siswa di negara-negara lain. Misalnya, hasil survei tiga tahunan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2006, Indonesia berada di urutan ke-52 dari 57 negara dalam hal matematika. Sedangkan hasil tes PISA tahun 2009 diberikan pada siswa yang berusia antara 15 tahun 3 bulan dan 16 tahun 2 bulan atau setara dengan jenjang pendidikan SMA, Indonesia berada di urutan ke-63 dari 65 negara di dunia dengan presentase dibawah 10% (OECD, 2010). Aspek yang dinilai dalam PISA adalah kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi. Pembelajaran di kelas dengan menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada materi pelajaran matematika diharapkan pula dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Ryan (Katuuk, 2012) mengemukakan beberapa indikator penting dari karakter, yakni knowing the good, loving the good, and doing the good. Mengetahui yang baik berarti mengerti, paham dan mampu membedakan yang baik dan tidak baik. Mencintai yang baik mengandung makna menyukai yang baik yang harus nampak dari sikap dan dorongan seseorang untuk memiliki respek, empati, dan peduli pada sesama. Kesemua hal tersebut harus dibarengi dengan kebiasaan baik yang memuat habits of the mind, habits of the heart and habits of the hand and action. RUMUSAN MASALAH Perhatian tentang pendidikan karakter lebih banyak didasarkan atas analisis situas pendidikan saat ini cenderung lebih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skills (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ) (Akbar, 2009). Pembelajaran di sekolah, mulai dari jenjang pendidikan dasar lebih cenderung disederhanakan sebagai proses transformasi pengetahuan yang keberhasilannya diukur dengan angka-angka melalui ulangan/ujian, baik pada saat proses maupun setelah kegiatan pembelajaran dilakukan. Peserta didik yang berhasil seolah diukur hanya dengan ukuran yang tunggal, yaitu mereka yang memperoleh nilai tinggi dari setiap ujian/ulangan yang dilaksanakan. Proses pendidikan yang telah dilaksanakan dengan pola di atas tidak jarang melahirkan generasi yang memiliki kemampuan kognitif dan akademik yang tinggi (hard skills) tetapi tidak didukung oleh nilai-nilai kepribadian dan sosial (soft skills) yang baik. Hal ini telah melahirkan ketimpangan di mana kemampuan untuk bersaing dalam dunia global tidak saja didasarkan atas nilai-nilai akademik semata, akan tetapi juga didukung oleh nilai-nilai kepribadian dan sosial. Pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang tidak saja menyiapkan peserta didik yang memiliki kecakapan hard skills, akan tetapi juga didukung oleh soft skills yang mumpuni. Agar kedua kecakapan tersebut berkembang secara bersamaan, maka proses pendidikan di sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter dalam mata pelajaran, begitu juga matematika. Ditinjau dari materinya, matematika akan dapat memunculkan nilai-nilai karakter. Tetapi agar nilai-nilai karakter yang dibangun dalam proses belajar mengajar lebih tinggi atau banyak, maka guru perlu secara sengaja menginternalisasikannya. Salah satunya melalui bahan ajar. Bahan ajar, dalam hal ini LKS, merupakan sumber pertama dan utama dalam proses pembelajaran. Dengan adanya internalisasi nilai-nilai karakter didalamnya, maka diharapkan secara sengaja dan tidak sengaja siswa akan memperoleh pengetahuan tentang materi yang harus dipahami dan juga nilai-nilai karakter (soft skills). Bagaimana nilai-nilai itu diintegrasikan dalam bahan ajar matematika? Serta bagaimana kualitas kompetensi kognitif dan soft skills siswa pasca menggunakan bahan ajar tersebut? Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana desain bahan ajar yang mengintegrasikan nilai-nilai karakter? 2. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan kognitif (Pemahaman dan Pemecahan Masalah) dan non kognitif (soft skills) siswa melalui bahan ajar matematika berkarakter? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dalam dua langkah penelitian. Penelitian pertama mengkaji secara teoritis dan empirik untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua, yakni bagaimana bentuk model bahan ajar matematika berkarakter? Kajian empirik dilakukan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
19
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 untuk mengetahui pengaruh dari bahan ajar berkarakter terhadap kompetensi matematik (pemahaman dan pemecahan masalah), serta faktor non kognitif (soft skills) siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini diawali dengan analisis kurikulum matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai perencanaan dalam pengembangan bahan ajar berkarakter, menetapkan karakter-karakter yang mungkin diintegrasikan dalam bahan ajar. Pengintegrasian nilai-nilai karakter kedalam bahan ajar dalam bentuk Lembar Kegiatan Siswa (LKS) diharapkan tidak terkesan dipaksakan. Proses dalam tahap ini merupakan studi kualitatif. Langkah berikutnya adalah pengembangan instrumen untuk mengukur kompetensi matematis serta soft skills. Instrumen pemahamahan menggunakan indikator instrumental dan relasional yang dikembangkan oleh Skemp, pemecahan masalah menggunakan indikator Polya, sedangkan soft skills diukur menggunakan indikator bekerja sama, kreativitas, kepercayaan diri, berpikir kritis, pemecahan masalah, keyakinan diri, keteguhan serta kemampuan berkomunikasi. Sebelum digunakan dalam penelitian percobaan, ketiga instrumen divalidasi secara teoritis dan empirik. Melalui kedua validasi tersebut diharapkan dapat diperoleh instrumen standar sesuai dengan indikator yang hendak diukur. Untuk menguji keberhasilan bahan ajar berkarakter dalam meningkatkan kompetensi matmatis dan soft skills siswa dilakukan percobaan dengan menggunakan kelas kontrol. Percobaan tidak dilakukan dengan percobaan murni, tetapi percobaan kuasi. Pemilihan kuasi eksperimen berkaitan dengan keterbatasan peneliti dalam memilih subjek secara acak. Populasi terjangkau dari penelitain ini adalah siswa SMA Negeri 2 Bandung kelas X. Sampel dipilih dari kelas-kelas atas rekomendasi pimpinan sekolah dan guru matematika di sekolah yang bersangkutan. Dari 12 kelas paralel kelas X, terpilih kelas X-F dan X-I sebagai kelas percobaan. Hasil pengundian terhadap kedua kelas diperoleh hasil kelas X-F menggunakan bahan ajar karakter dan X-I sebagai kelas kontrol. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengembangan Bahan Ajar Matematika Berkarakter Pengembangan bahan ajar dimulai dari analisis standar isi matematika SMP kurikulum 2006, kajian pustaka terkait dengan nilai-nilai karakter secara umum, serta bentuk desain bahan ajar yang dipilih. Kegiatan ini bertujuan untuk memilih materi yang mudah dalam menginternalisasikan nilai-nilai karakter didalam bahan ajarnya. Hasil analisis terhadap beberapa referensi, maka dipilihlah beberapa nilai-nilai yang mungkin dapat diinternalisasikan, diantaranya berpikir kritis, kreatif, sistematis, tekun/ulet, percaya diri, kerja keras, disiplin, rasa ingin tahu, saling menghargai, tanggung jawab, kerja sama. Terlihat bahwa nilai-nilai tersebut tidak hanya kognitif tetapi juga non kognitif. Hal didasarkan pada pendapat Elfindri (La Moma, 2014) bahwa karakter berada pada ranah teknis dan akademis, lebih bersifat psikologis dan abstrak. Juga pendapat Megawangi (Ahmad, 2012) nilai-nilai karakter yang selayaknya diajarkan kepada siswa diantaranya cinta Tuhan dan kebenaran, tanggung jawab, disiplin, kemandirian, amanah, kerja sama, percaya diri, kreatif dan pantang menyerah, rendah hati, toleran serta cinta damai. Hal tersebut hampir sama dengan nilai-nilai atau indicator dari soft skills sebagaimana dikemukakan oleh Widhiarso (La Moma, 2014) bahwa soft skills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain dan ketrampilan mengatur diri sendiri yang mengembangkan unjuk kerja secara maksimal. Soft skills memuat komunikasi efektif, berfikir kreatif dan kritis, membangun tim, serta kemampuan lainnya yang terkait kapasitas individu. Menurut Lickona (1991) bahwa ada tiga tahap pembentukan karakter: 1. Moral Knowing: Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik 2. Moral Feeling: Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.
20
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 3. Moral Action: Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior. Berdasarkan pendapat di atas, maka disusunlah model bahan ajar karakter yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan (knowing), muncul tumbuhnya kecintaan berperilaku baik dan akhirnya melakukan tindakan-tindakan nyata atau berperilaku baik. Berikut ini adalah contoh bahan ajar yang dikembangkan: Memunculkan masalah kontekstual. Nilai karakter dalam narasi siswa (manusia) sebagai makhluk sosial harus saling tolong menolong. Karena pada hakekatnya manusia itu tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain. Selain itu, dengan soal cerita atau masalah konstektual, siswa dihadapkan pada konflik kognitif. Berlyne (Lee & Kwon, 2001) menegaskan bahwa konflik kognitif berpotensi meingkatkan pemahaman siswa dengan cara mencoba menata ulang wawasan yang telah mereka peroleh. Contoh: Di depan kelas mereka ada sebuah akuarium yang belum ditutup. Rancanglah oleh kalian bahan, bentuk, ukuran, dan warna tutup akuarium tersebut. Rancanglah kegiatan yang akan kamu lakukan secara berkelompok. Hasil akhir dari kelompok harus diperoleh a. bentuk tutup b. bahan yang digunakan c. biaya yang diperlukan (kerja sama, kreatif, kerja keras, Problem solving dan toleransi).
Memunculkan informasi mengenai tokoh dalam matematika yang terkait dengan materi pembelajaran agar memunculkan sikap menghargai dan rasa ingin tahu siswa. Kalian sering sekali memakai Teorema Pythagoras untuk menghitung panjang sisi-sisi pada segitiga siku-siku, Tahukah kalian siapa yang menemukan Teorema Pythagoras??? Apakah Pythagoras atau bukan??? Cari tahu di : http://aby-matematika.blogspot.com/2011/08/sejarahgeometri.html (rasa ingin tahu)
Pada materi jarak pada bidang ruang yang dipelajari siswa, konsep Pythagoras atau yang siswa ketahui sebagai teorema Pythagoras sering sekali digunakan oleh siswa dalam menghitung panjang jarak pada bidang ruang. Dalam LKS yang diberikan pada siswa, termuat sebuah link yang akan memberikan siswa informasi siapa tokoh matematika yang menemukan teorema phytagoras. Hal ini akan memacu rasa ingin tahu siswa untuk membuka link tersebut untuk mengetahui jawabannya. Memunculkan kisah/gambar sehingga muncul empati. Siswa dihadapkan pada kondisi nyata tentang kisah atau gambar yang mendorong anak untuk memiliki sikap empati kepada sesama.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
21
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Perhatikan dengan seksama yah gambar di bawah ini!
http://www.gemasaijaanonline.info/2012/07/rua ng-kelas-sdn-1-sungai-bali-tak-layak.html
http://www.rimanews.com/read/20111019/4410 0/puluhan-ribu-ruang-kelas-di-jabar-rusak
Dua gambar di atas merupakan contoh dari keadaan kelas di suatu sekolah yang ada di Indonesia. Bayangkan jika kalian belajar dengan keadaan kelas yang seperti itu? Apakah bisa belajar dengan nyaman??? Coba perhatikan kelas yang kalian tempati sekarang, bagaimana perbedaannya???
Ayo kawan, kita harus bersyukur bisa sekolah dengan keadaan kelas yang layak dan fasilitas yang bagus, jadi pergunakan sebaik mungkin fasilitas yang ada dan harus lebih semangat lagi sekolahnya dan ingat jangan suka bolos-bolos yah sekolahnya
Permasalahan 1 (Jarak dari garis ke garis dalam bidang ruang) Coba perhatikan, apa bentuk bangun ruang dari kelas di sekolah kalian?...............
Nilai karakter dalam narasi soal di atas adalah siswa dapat bersyukur dengan mendapatkan fasilitas sekolah bagus dan layak, karena masih banyak siswa-siswa lainnya yang tidak beruntung yang mendapatkan fasilitas sekolah yang tidak layak digunakan untuk belajar. Mencantumkan kalimat-kalimat motivasi. Pada LKS yang diberikan, selalu termuat kata-kata motivasi yang dapat berguna untuk siswa, contohnya adalah sebagai berikut. Selamat Mengerjakan Yah..... Yakinlah kalian pasti bisa
Terima Kasih Sudah Mengerjakan Tugasnya Dengan Baik Kalian Hebat
Kerjakan segala sesuatu dengan benar dan teliti. Dan jangan lupa yah harus selalu jujur juga dalam mengerjakan sesuatu, terutama
22
saat ulangan “Jangan Mencontek” ------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Langkah berikutnya adalah mengkaji hasil eksperimen yang bertujuan melihat pengaruh bahan ajar yang dikembangkan terhadap kompetensi matematis dan soft skills siswa. Kompetensi matematis yang diukur dalam penelitian ini ada dua, yakni pemahaman dan pemecahan masalah. Pada pelaksanaan implementasi pembelajaran terdapat perbedaan perlakuan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol, kelas eksperimen menggunakan bahan ajar berkarakter dan kelas control menggunakan bahan ajar yang biasa digunakan oleh sekolah tersebut. Dengan demikian, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa di dalam bahan ajar yang diberikan di kelas kontrol secara implisit memuat nilai-nilai karakter. Pada tahap implementasi pembelajaran, saat mengajar di kelas kontrol peneliti tidak mengalami kesulitan karena siswa sudah terbiasa mendapatkan pembelajaran ekspositori sebelumnya. Tetapi saat mengimplementasikan bahan ajar matematika berkarakter peneliti mengalami beberapa hambatan, ternyata mengimplementasikan pendidikan karakter pada pelajaran matematika tidak mudah karena siswa tidak terbiasa melakukan pembelajaran matematika dengan cara berkelompok dan pemberian LKS. Pada dasarnya matematika merupakan mata pelajaran yang deduktif, jadi karakter yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika lebih mengarah pada aspek kognitif namun demikian karakter juga dapat dikembangkan dalam pelajaran matematika. Karakter-karakter yang berkembang saat pembelajaran matematika berkarakter antara lain disiplin, jujur, berpikir kreatif, kerja keras, rasa ingin tahu, dan kepedulian sosial. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan bahwa menurut Tim Pengembang Pendidikan Berkarakter Dinas Pendidikan Provinsi Banten (2012) karakter siswa yang dapat dikembangkan pada mata pelajaran matematika antara lain berfikir logis, kritis, kreatif, sistematis, mandiri, jujur, kerja keras, disiplin, rasa ingin tahu, mandiri, menghargai, menghargai keberagaman. 2. Peningkatan Pemahaman, Pemecahan Masalah dan Soft Skills Kompetensi kognitif yang diukur pda penelitian ini adalah pemahaman dan pemecahan masalah, sedangkan nonkognitif yang diukur adalah soft skills siswa. Pemahaman merupakan kompetensi yang menjadi focus pertama untuk melihat keberhasilan belajar terhadap topic yang telah dipelajari siswa, sedangkan pemecahan masalah dipandang sebagai keberhasilan yang orientasi jangka panjang dari proses belajar. Ruseffendi (2006) menyetakan bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam matematika, tidak hanya mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, mnelainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari. Secara khusus dalam matematika, untuk mencapai atau berhasil memecahkan masalahatematika diperlukan kemampuan pemahaman materi. Sebagaimana dikatakan oleh Polya (Silver, 1997) bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu cara untuk menyelesaikan masalah matematika dengan menggunakan konsep matematika yang telah dikuasai sebelumnya. Dengan demikian, ada kaitan yang erat antara pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Secara deskriptif, hasil pemahaman dan pemecahan masalah matematis kedua kelompok terlihat pada tabel 1. Tabel 1 Statitstik Deskriptif Pemahaman dan Pemecahan Masalah Kelompok Eksperimen Kontrol 42,810 35,730 x s 3,310 5,060 0,784 0,467 x s 0,146 0,196 Postes 17,490 14,550 x Pemecahan s 5,400 4,740 Masalah N-Gain 0,333 0,253 x s 0,026 0,024 Ket : Skor Maksimal Ideal (SMI) Pemahaman 48 dan Pemecahan Masalah 40 Kompetensi Postes Pemahaman N-Gain
Statistik
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
23
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Dari tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata untuk kemampuan pemahaman dapat dikatakan baik untuk kedua kelompok. Jika dibuat standar berdasarkan SMI pada tes pemahaman, diperoleh nilai rata-rata dari kedua kelompok adalah 89,19 untuk kelas eksperimen dan 74,43 dalam standar 100. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman kedua kelompok sudah mencapai rata-rata kompetensi minimal yang banyak digunakan oleh sekolah. Keunggulan kelas eksperimen juga dapat dilihat dari simpangan baku dari masingmasing kelompok. Simpangan baku kelas eksperimen lebih kecil dibandingkan dengan kelas control. Hasil ini memberikan gambaran bahwa sebaran kemampuan pemahaman kelas eksperimen lebih banyak berada di sekitar rata-rata dibandingkan dengan kelas kontrol. Secara langsung bahan ajar yang dikembangkan telah mampu mengecilkan kesenjangan kemampuan siswa dibandingkan dengan siswa pada kelas kontrol. Hasil pada kemampuan pemahaman berbeda dengan kemampuan pemecahan masalah matematis, pencapaian kedua kelompok pada pemecahan masalah masih jauh dari harapan. Jika menggunakan standar 100, maka rata-rata (nilai) untuk kedua kelompok adalah 43,72 dan 36,38. Hasil ini memperlihatkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan bahan ajar berkarakter masih belum mencapai hasil yang diharapkan, walaupun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jika dilihat peningkatannya melalui gains normal, secara kualitas peningkatan pemahaman kelas eksperimen berkualifikasi baik (0,784), sedangkan kelas kontrol berkualifikasi sedang (0,467). Berbeda dengan gain normal pemahaman, gain normal pemecahan masalah matematis kedua kelompok berkualifikasi rendah dengan perbedaan yang tidak terlalu jauh, yakni 0,333 untuk kelas eksperimen dan 0,253 untuk kelas kontrol. Sebaran gain kedua kelompoknya tidak terlalu jauh berbeda juga, yakni 0,026 dan 0,024. Artinya pembelajaran melalui bahan ajar karakter belum mampun meningkatan pemecahan masalah matematis dengan baik, meskipun dalam bahan ajar tersebut sudah mencantumkan dorongan dan motivasi yang mendorong siswa untuk tidak mudah menyerah, kreatif dan sifat-sifat nonkogintif lainnya. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa kemampuan analisis, prediksi, interpretasi dan kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah belum muncul dengan bahan ajar karakter. Sebagaimana yang dikatakan Anderson (2009) bahwa pemecahan masalah merupakan life skill yang penting untuk dikuasai dan didalamnya memerlukan kemampuan dalam analisis, interpretasi, prediksi, evaluasi dan refleksi. Hasil pengujian secara inferensi menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan pemahaman yang sangat berarti antara siswa yang belajar melalui bahan ajar berkarakter dengan kelas yang tidak menggunakan bahan ajar berkarakter. Besar penolakan hipotesis nol untuk tes dua sisinya adalah 0,000. Dengan demikian bahan ajar berkarakter telah mampu memberikan perbedaan kemampuan pemahaman yang sangat berarti dibandingkan dengan kelas pembelajaran yang menggunakan LKS biasa. Untuk kemampuan pemecahan masalah matematis, walaupun pencapaian dan gain normalnya rendah, hasil pengujian perbandingan antara kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan perbedaan yang signifikan. Besarnya signifikansi penolakan hipotesis nolnya adalah 0,013 untuk tes dua sisi. Dengan demikian, walaupun hasilnya masih rendah tetapi bahan ajar berkarakter secara statistik tidak dapat diabaikan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hasil pengukuran soft skills terhadap kedua kelompok secara deskriptif menunjukkan perbedaan. Untuk indikator keiingintahuan yang diukur dengan seringnya mengajukan pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias/semangat dalam belajar, dan banyak membaca/mencari sumber lain, siswa dari kelompok eksperimen menjawab lebih dari 90% menunjukkan sikap yang positif, sedangkan dalam kelompok kontrol sikap positif terhadap intikator ini mencapai sekitar 63%. Indikator lainnya dalam pengukuran soft skills adalah fleksibilitas, yang diukur melalui indikator yaitu kerjasama/berbagi pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda dan berusaha mencari solusi/strategi lain. Hasil angket menunjukkan bahwa hampir secara keseluruhan siswa merasa mampu bekerja sama, selalu menghargai perbedaan pendapat, juga berusahan untuk mencari solusi dari permasalahan dan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya. Hasil yang hampir sama juga dicapai pada kelas kontrol, dimana secara rata-rata 97% 24
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 berpendapat positif tentang indicator di atas. Ada fenomena dimana indikator kegigihan, perhatian dan kesungguhan siswa pada kelas kontrol lebih tinggi dari kelas eksperimen. Hal tesebut menjadi bahan pertimbangan masih adanya kekurangan dalam bahan ajar berkarakter yang dikembangkan. Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan soft skills adalah pentingnya guru secara eksplisit mendorong siswa untuk melakukan aktivitas bekerja keras, mandiri, mampu mengatasi tekanan dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya, serta fleksibel dalam menggunakan prosedur suatu solusi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan La Moma (2014) bahwa untuk mengembangkan soft skills siswa dalam pembelajaran matematika diperlukan kerja keras, kemandirian para siswa dalam proses kegiatan pembelajaran dan perlu adanya keseimbangan dalam situasi tertentu, baik pengembangan diri, maupu dalam mengatasi stress dalam mengerjakan tugas-tugas dan untuk itu guru harus mampu memilih memilih model pembelajaran yang tepat untuk pengembangan soft skills, yakni model pembelajaran yang dapat menumbuhkan komunikasi efektif, kerja sama dalam tim, kepercayaan diri, integritas diri, kreativitas dan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Pendapat ini mengandung makna bahwa bahan ajar saja tidak cukup dalam meningkatkan soft skills siswa, akan tetapi diperlukan ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Model bahan ajar karakter dapat dimulai dengan masalah kontekstual, memuat masalah yang harus diselesaikan oleh siswa yang mendorong siswa kritis dan kreatif, memunculkan dorongan untuk bekerja sama, mendorong untuk berani mengeluarkan pendapat dan menghargai pendapat orang lain, mendorong untuk empati dan keberanian untuk mengemukakan pendapat. 2. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa pada kelas yang diberikan bahan ajar matematika berkarakter berada pada kualifikasi baik, dan siswa pada kelas control berada pada kualifikasi sedang. Secara inferensi peningkatan pemahaman kelas dengan bahan ajar karakter berbeda dengan kelas yang diberikan bahan ajar biasa. 3. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa pada kelas yang diberikan bahan ajar matematika berkarakter dan kelas kontrol berkualifikasi cukup dan jelek. Secara inferensi, walaupun keduanya berada dalam kualifikasi rendah, tetapi perbedaannya sangat berarti. 4. Soft skills matematis siswa pada kelas yang diberikan bahan ajar matematika berkarakter dapat dikategorikan cenderung positif, demikian juga untuk pembelajaran konvensional. Hanya persentase kecenderungan ke arah positif kelas yang menggunakan bahan ajar karakter lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Dari hasil penelitian di atas dapat disusun saran-saran sebagai berikut: 1. Secara teoritis nilai-nilai karakter dapat diinternalisasikan selain dalam aktivitas belajar, juga dalam bahan ajar. Dengan demikian, hendaknya guru dapat mengembangkan sendiri bahan ajar yang didalamnya memuat nilai-nilai karakter. 2. Secara empirik, kemampuan pemahaman matematis, pemecahan masalah dan soft skills siswa melalui bahan ajar karakter lebih baik dibandingkan dengan kelas pembelajaran biasa (LKS biasa), dengan demikian guru hendaknya menggunakan bahan ajar berkarakter dalam mengajarkan matematika. 3. Bahan ajar karakter yang dikembangkan belum mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yang sesuai dengan harapan (kualifikasi baik), dengan demikian untuk peneliti lain dapat menggunakan teori didaktis pedagogis atau teori konflik kognitif dalam pengembangan bahan ajarnya, sehingga bahan ajar dapat juga mengantisipasi hambatan belajar siswa. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
25
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, S. (2012). Membangun karakter siswa dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dalam Proceeding Temu Ilmiah dan Seminar Ilmiah Grand Design Profesi Pendidik dan Tenaga Pendidikan. Editor: Mustofa Kamil dan Mif Baihaqi. FIP UPI Bandung. Anderson, J. (2009). Mathematics Curriculum Development and The Role of Problem Solving. ACSA Conference 2009. Depdiknas. (2006). Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. ___________. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. ___________. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter Bangsa, Puskurbuk. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. La Moma. (2014). Peningkatan kemampuan berfikir kreatif matematis, self-efficacy, dan soft skills siswa SMP melalui pembelajaran generative. Desertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaunggo. Jakarta : Bumi Aksara. Katuuk, D. A. (2012). Pengembangan Pembelajaran yang Mendidik Berbasis Nilai dan Pendidikan Karakter Bangsa. Bandung: FIP UPI Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Muhammadi. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dalam Proses Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Dasar. Prosiding Temu Ilmiah dan Seminar Ilmiah. Grand Design Program Pendidikan Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bandung: FIP UPI. Mu’in, F. (2011). Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan Praktik (edisi kedua). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Samawi, A. (2012). Pendidikan Karakter Berorientasi Nilai Pancasila, Antara Harapan, dan Kenyataan. Bandung: FIP UPI Silver, E.A. (1997). Fostering creativity through instruction rich in mathematical problem solving and thinking in problem posing. Tersedia : http://www.fiz. Karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. Electronic Edition ISSN 1615-679X. vol 29 (June 1997) No. 3. Tim Pengembang Pendidikan Berkarakter Dinas Pendidikan Provinsi Banten. (2012). Pedoman Pengembangan Bahan Ajar Pendidikan Berkarakter. Banten: Tidak Diterbitkan. Wahyuningtyas, S. (2012). Guru Sebagai Penentu Arah Pendidikan Karakter. [Online]. Tersedia: www.bpkpenabur.or.id/id/node/8123. [14 juni 2013]. 26
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS FLIP PUBLISHER DENGAN MENGGUNAKAN MODEL QUANTUM LEARNING DI SMP Achmad Buchori1, Yanuar Hery Murtianto 2 Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang,
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kemampuan guru dalam menciptakan inovasi baru selama pembelajaran berlangsung sehingga yang didapat hanyalah kurangnya minat siswa selama proses belajar mengajar dan itu mengakibatkan banyak siswa yang mendapat nilai dibawah kriteria ketuntasan minimum (KKM). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu media pembelajaran berupa modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning pada materi pokok faktorisasi suku aljabar, sehingga menghasilkan media pembelajaran yang layak dan efektif digunakan selama proses pembelajaran, serta diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Research and Development. Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama untuk pengembangan produk menggunakan model analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation (ADDIE) dan tahap kedua untuk menguji keefektifan produk melalui tes uji coba dengan desain eksperimen Posttest-Only Control Design. Sebelum diujicobakan di lapangan, modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning terlebih dahulu dilakukan uji validasi oleh ahli media dan ahli materi selanjutnya dilakukan tanggapan siswa terhadap media dalam uji coba lapangan. Secara rata - rata hasil dari validasi ahli dan tangapan siswa sebagian besar berkriteria sangat layak. Jadi media pembelajaran tersebut valid untuk diujicobakan. Uji keefektifan produk ditunjukkan dari hasil belajar kelompok eksperimen lebih baik dari kelompok kontrol, dengan menggunakan uji t satu pihak kanan diperoleh nilai yaitu 2,036 > 1,673, maka H0 ditolak artinya pembelajaran dengan menggunakan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Keefektifan produk ini juga ditunjukkan dengan pembelajaran yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, dengan menggunakan uji t satu pihak diperoleh yaitu 3,16 > 1,70, maka Ho ditolak artinya modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning yang dikembangkan efektif digunakan dalam proses pembelajaran pada materi faktorisasi suku aljabar. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning efektif dan meningkatkan hasil belajar siswa pada materi faktorisasi suku aljabar. Kata Kunci : modul pembelajaran, model pembelajaran quantum learning.
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menimbulkan persaingan yang sangat ketat disegala aspek kehidupan manusia. Perkembangan tersebut membawa dampak yang sangat besar. Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang mendapatkan dampak SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
27
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 cukup berarti dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu bersaing dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) sebuah negara sangat ditentukan dari proses pendidikan yang diselenggarakan oleh negara tersebut. Peran pendidikan sangat penting untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas, berwawasan luas, serta mampu menguasai permasalahan baik yang terjadi sekarang maupun yang akan datang. Mengingat begitu pentingnya peran pendidikan, maka sudah seharusnya mutu pendidikan terus ditingkatkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di Indonesia masalah yang mendasar di dunia pendidikan adalah masih rendahnya hasil belajar peserta didik dalam mata pelajaran matematika. Oleh karena matematika merupakan ratu atau ibunya ilmu dimana pengembangan ilmu–ilmu lain bergantung dari matematika, (Erman, 2003: 25) maka tingkat penguasaan matematika akan berpengaruh terhadap penguasaan mata pelajaran yang lain seperti fisika, kimia, dan lain-lain. Rendahnya hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika dapat ditunjukkan dari hasil nilai UAN dari tahun ke tahun, termasuk materi faktorisasi suku aljabar yang dibilang dalam kategori “rendah”. Beberapa faktor penyebab rendahnya hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara lain objek pembelajaran matematika yang abstrak, kurangnya pemahaman akan konsep-konsep matematika, metode pengajaran yang monoton, minat belajar siswa yang masih relatif rendah, dan faktor lingkungan yang tidak mendukung proses pembelajaran. Selain itu siswa cenderung menjadi objek yang hanya menerima materi dari guru saja, jarang sekali siswa mengembangkan dan membangun ide – idenya sendiri dalam hal pemahaman konsep. Apabila ada permasalahan, maka cara penyelesaiannya harus sama persis dengan cara yang disampaikan oleh guru tanpa adanya pengembangan. Hal-hal tersebut menyebabkan munculnya anggapan-anggapan yang mengatakan bahwa mata pelajaran matematika adalah mata pelajaran yang membingungkan dan sulit untuk dipahami karena mempelajari sesuatu yang abstrak. Anggapan-anggapan tersebut terus bermunculan dari tahun ke tahun di kalangan siswa, sehingga menjadikan mata pelajaran matematika sebagai momok menakutkan bagi sebagian besar siswa dan tidak bersahabat dengan siswa, khususnya mereka yang masih duduk di bangku SMP. Berdasarkan hasil wawancara dengan Nur Wahid Suryaningsih, S.Pd sebagai salah satu guru matematika di SMP Negeri 1 Brangsong, minat siswa dalam pelajaran matematika masih sangat kurang. Terbukti dengan masih banyaknya nilai matematika siswa yang jauh dari criteria ketuntasan minimal, yaitu 73. Agar menarik minat siswa, maka perlu adanya pembelajaran yang menyenangkan. Perlu suatu inovasi baru di dalam proses pembelajaran untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa dan hasil belajar. Sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan, maka peneliti menggunakan modul berbasis Flip Publisher sebagai bahan ajar. Menurut Hamdani (2011: 219) modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak yang disusun secara sistematis, memuat materi pembelajaran, metode, tujuan pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar atau indikator pencapaian kompetensi, petunjuk kegiatan belajar mandiri), dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji diri sendiri melalui latihan yang disajikan dalam modul tersebut. Penggunaan modul akan membantu siswa dalam mempelajari materi dan dapat melatih ketrampilan siswa dalam mengerjakan soal. Serta salah satu model pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan menyenangkan dalam pembelajaran adalah Quantum Learning. Quantum Learning adalah pengubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansa (Deporter, 2009: 3). Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mencoba mengembangkan bahan ajar berupa modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher pada materi faktorisasi suku aljabar di kelas VIII SMP. Pengembangan ini dirangkum dalam sebuah penelitian dengan judul “Pengembangan Modul Pembelajaran Matematika Berbasis Flip Publisher Dengan Menggunakan Model Quantum Learning Pada Materi Faktorisasi Suku Aljabar Kelas VIII SMP N 1 Brangsong”, (1) Apakah pengembangan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan Model Quantum Learning layak digunakan dalam pembelajaran matematika pada materi faktorisasi suku aljabar kelas VIII SMP N 1 Brangsong, 28
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 (2)Apakah hasil belajar siswa yang menggunakan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan model Quantum Learning lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII SMP N 1 Brangsong, (3) Apakah hasil belajar siswa yang menggunakan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan model Quantum Learning lebih efektif daripada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII SMP. Adapun tujuan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: (1) mengembangkan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII Semester I, (2) mengetahui apakah hasil belajar siswa yang menggunakan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan model Quantum Learning lebih baik daripada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII Semester I, (3) mengetahui apakah hasil belajar siswa yang menggunakan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan model Quantum Learning lebih efektif daripada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII Semester I. Berdasarkan landasan teori, maka diperoleh hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha1 : modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan Model Quantum Learning layak digunakan dalam pembelajaran matematika pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII Semester I SMP N 1 Brangsong Ha2 : hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih baik dari hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII semester I SMP Negeri 1 Brangsong . Ha3 : hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih efektif dari hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII semester I SMP Negeri 1 Brangsong . Dari hipotesis diatas dimunculkan Ho yaitu : H01 : modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan menggunakan Model Quantum Learning tidak layak digunakan dalam pembelajaran matematika pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII Semester I SMP N 1 Brangsong H02 : hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning tidak lebih baik dari hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII semester I SMP Negeri 1 Brangsong . H03 : hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning tidak lebih efektif dari hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII semester I SMP Negeri 1 Brangsong. METODE PENELITIAN Metode penelitian dan pengembangan digunakan dalam penelitian ini. Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 1 Brangsong dan kelas penelitian adalah kelas VIII, Penelitian dilaksanakan 21 Agustus – 3 September 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Brangsong tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 9 kelas. Sampel penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 1 Brangsong kelas VIII yaitu kelas VIII F sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIII D sebagai kelompok kontrol. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling, yaitu pengambilan sampel secara acak dari 9 kelas kemudian dipilih menjadi 2 kelas (1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes uraian sebanyak 12 soal dengan alokasi waktu 80 menit. Sebelum digunakan untuk evaluasi, soal tes diuji cobakan di kelas uji coba, yaitu kelas VIII-E dengan tujuan agar soal tes memenuhi persyaratan validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda yang baik. Selain itu digunakan angket yang diberikan SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
29
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 kepada ahli materi dan ahli media sebagai validasi modul.Serta lembar observasi yang digunakan untuk observasi kegiatan siswa pada saat penggunaan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning dan lembar tanggapan siswa yang digunakan siswa untuk menanggapi modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Dimana yang dikembangkan adalah modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning. Di sini peneliti menggunakan model desain sistem pembelajaran yang memperlihatkan tahapan-tahapan desain system pembelajaran yang sederhana dan mudah dipelajari, yaitu model ADDIE. Model ini sesuai dengan namanya, terdiri dari lima tahap utama, yaitu (A)nalysis, (D)esign, (D)evelopment, (I)mplementation, dan (E)valuation. Model desain sistem pembelajaran ADDIE dengan komponen– komponennya dapat digambarkan dalam diagram berikut:
A analysis
Analisis kebutuhan untuk menentukan masalahdan solusi yang tepat dan menentukan kompetensi siswa
D design
Menentukan kompetensi khusus, metode, bahan ajar, dan strategi pembelajaran
D development
Memproduksi program dan bahan ajar yang akan digunakan dalam program pembelajaran
I implementation
Melaksanakan program pembelajaran dengan menerapkan desain atau spesifikasi program pembelajaran
E evaluation
Melakukan evaluasi program pembelajaran dan evaluasi hasil belajar Gambar 3.1 Model ADDIE (Pribadi, 2009: 127)
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, yang mana wawancara dilakukan dengan guru matematika untuk mengetahui keadaan awal siswa. Dokumentasi yang digunakan untuk mendapatkan data yang dipergunakan dalam penelitian antara lain aalah daftar nama siswa kelas VIII, dan nilai ulangan akhir semester 1. Lalu teknik angket, yang mana angket digunakan untuk mengetahui kelayakan produk modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning selama proses belajar mengajar berlangsung. Dan teknik tes, dalam penelitian ini menggunakan perangkat test dalam bentuk uraian mengenai materi faktorisasi suku aljabar. Analisis awal menggunakan data nilai ulangan tengah semester I, bertujuan untuk mengetahui keadaan awal sampel. Analisis data awal digunakan uji normalitas sampel (uji lilliefors), uji homogenitas sampel (uji F). Data akhir berupa data nilai tes evaluasi materi pokok bahasan faktorisasi suku aljabar yang kemudian dianalisis menggunakan uji normalitas sampel (uji lilliefors), uji homogenitas sampel (uji F), dan uji-t pihak kanan. Untuk mengetahui efektivitas selama pembelajaran berlangsung dianalisis menggunakan ketuntasan belajar individu, ketuntasan belajar klasikal serta melihat hasil rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari data perhitungan uji normalitas data awal dengan mengambil nilai akhir semester 1 sebelum menggunakan media modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning dalam proses pembelajaran didapat untuk 30
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 sedangkan . Karena . Maka, pada taraf signifikan 5% dengan n1 = 28 dan n2 = 28 sehingga H0 diterima. Hal ini berarti sampel dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Untuk uji homogenitas data awal diperoleh Fhitung = 1,02 dengan , dari daftar distribusi F dengan dk pembilang (28 - 1 = 27) dan dk penyebut (28 – 1 = 27) didapat F(0,95)(27,27) = 1,905. Kriteria pengujian terima H0 jika F hitung < F tabel. Karena F hitung < F tabel yaitu 1,02 < 1,905 maka Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan varians antar kelompok homogen (sama). Uji normalitas berikutnya dilakukan pada data akhir dengan mengambil nilai siswa kelas VIII F dan VIII D didapat sedangkan . Karena . Maka, pada taraf signifikan 5% dengan n1 = 28 dan n2 = 28 sehingga H0 diterima. Hal ini berarti sampel dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Untuk menguji homogenitas data akhir digunakan uji kesamaan dua varians.Dari data diperoleh F hitung = 1,316 dengan , dari daftar distribusi F dengan dk pembilang (28 1 = 27) dan dk penyebut (28 – 1 = 27) didapat F(0,95)(27,27) = 1,905. Kriteria pengujian terima H0 jika F hitung < F tabel. Karena F hitung < F tabel yaitu 1,316 < 1,905 maka Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan varians antar kelompok homogen (sama). Setelah hasilnya normal dan homogen, maka dapat dilakukan uji hipotesis dengan uji-t pihak kanan. Setelah melakukan posttest (evaluasi) dari soal tes instrument penelitian, diperoleh dan , dan sehingga diperoleh . Hasil tersebut kemudian dikonsultasikan dengan . Dari tabel distribusi t dengan dk = 54 dan diperoleh . Karena > yaitu 2,036 > 1,673, maka H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih baik dari hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII semester I SMP Negeri 1 Brangsong. Selanjutnya untuk kriteria ketuntasan belajar, ketuntasan belajar individu untuk kelas eksperimen terdapat 22 siswa yang tuntas atau mencapai ketuntasan belajar sebesar 73% dari 28 siswa. Dan untuk kelas kontrol terdapat 18 siswa yang tuntas atau mencapai ketuntasan belajar sebesar 73% dari 28 siswa. Selanjutnya dilihat dari ketuntasan belajar klasikal didapatkan persentasi kelas eksperimen 78,57% dan kelas kontrol 64,29% hal ini diperoleh dari tes evaluasi kelas eksperimen ada 22 siswa yang tuntas dan kelas kontrol ada 18 siswa yang tuntas dari 28 siswa. Karena perhitungan diatas dirasa belum menguatkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan modul pembelajaran matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih efektif daripada hasil belajar siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional pada materi pokok faktorisasi suku aljabar kelas VIII SMP Negeri 1 Brangsong. maka dilakukan perhitungan lanjutan menggunakan rumus uji t satu pihak, sehingga untuk kelas eksperimen diperoleh t_hitung = 3,16. Dengan kriteria pengujian untuk = 5% dan dk = n – 1 = 28 – 1 = 27, diperoleh t(0,95)(27) = 1,70. Aturan untuk menguji adalah tolak Ho jika t_hitung t_tabel. Karena t-hitung > t_tabel, 3,16 > 1,70 maka Ho ditolak, sehingga dapat dikatakan bahwa kelas eksperimen telah tuntas belajar secara klasikal. Sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh t-hitung = 0,05. Dengan kriteria pengujian untuk = 5% dan dk = n – 1 = 28– 1 = 27, diperoleh t(0,95)(27) = 1,70. Aturan untuk menguji adalah tolak Ho jika t_hitung t_tabel. Karena t_hitung < t_tabel, 0,05 < 1,70 maka Ho diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa kelas kontrol belum tuntas belajar secara klasikal. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan rumusan masalah, pengajuan hipotesis, analisis data penelitian dan pembahasan masalah maka dapat disimpulkan sebagai berikut(1) Pengembangan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning valid (layak) digunakan oleh siswa dengan melihat dengan melihat penilaian dari validasi ahli media, ahli materi dan tanggapan siswa.(2) Hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen nmodul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
31
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 pembelajaran konvensional pada kelompok kontrol dalam pembelajaran matematika pada materi pokok Faktorisasi Suku Aljabar. Hal ini dibuktikan dari hasil uji tyang diperoleh, yaituthitung = 2,036 danttabel= 1,673 dengan taraf signifikansi 5%. Karena thitung>ttabel, maka H0 ditolak dan ditunjukkan dari rata-rata pada kelas eksperimen sebesar 78,79, sedangkan rata-rata kelas kontrol hanya 73,11, (3) Hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih efektif daripada hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hal ini dibuktikan dari ketuntasan belajar individuuntuk kelas eksperimen terdapat 22 siswa yang tuntas dari 28 siswa. Dan untuk kelas kontrol terdapat 18 siswa yang tuntas dari 28 siswa. Selanjutnya dilihat dari ketuntasan belajar klasikal didapatkan persentase kelas eksperimen 78,57% dan kelas kontrol 64,29% hal ini diperoleh dari tes evaluasi kelas eksperimen ada 22 siswa yang tuntas dan kelas kontrol ada 18 siswa yang tuntas dari 28 siswa. Karena perhitungan diatas dirasa belum menguatkan maka dilakukan perhitungan lanjutan menggunakan uji t satu pihak, sehingga untuk kelas eksperimen diperoleh t-hitung = 3,16 dan untuk kelas kontrol diperoleh t-hitung = 0,05. Dengan taraf signifikansi 5% maka dk = n – 1 = 28 – 1 = 27, diperoleh t(0,95)(27) = 1,70 dan aturan untuk menguji t-hitung t-tabel sehingga dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa kelas eksperimen telah tuntas belajar secara klasikal sedangkan kelas kontrol dikatakan belum tuntas secara klasikal. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka saran yang sekiranya dapat diberikan peneliti sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan proses pembelajaran adalah sebagai berikut : (1) Modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning ini sebaiknya digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran karena sudah terbuktinya hasil belajar siswa yang menggunakan modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan model konvensional, (2) Perlu dikembangkannya lagi modul matematika berbasis Flip Publisher dengan model Quantum Learning pada pokok bahasan yang lain agar dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam pembelajaran, (3) Guru perlu meningkatkan hasil belajar siswa dengan memilih model pembelajaran yang tepat dan dapat memperlancar kegiatan belajar mengajar dikelas disamping itu guru harus bisa mendekatkan diri pada siswa supaya terjadi interaksi yang baik antara guru dan siswa, (4) Guru hendaknya mengerti tingkat pemahaman siswa khususnya dalam pelajaran matematika supaya lebih mudah dalam menyampaikan pelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. _______. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Deporter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2009. Quantum Learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung : PT. Mizan Pustaka. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Erman Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA Universitas Pendidikan Indonesia. Farahsanti, Isna. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dengan Pendekatan Quantum Learning Ditinjau dari Kecerdasan Matematis Logis pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Bagi Siswa SMP Negeri di Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012. http://pasca.uns.ac.id/?p=2251
32
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Fitriani, Marini. 2010. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Dengan Pedekatan Kuantum Di Kelas VIII SMP. M Fitriani, Y Hartono, P Purwoko - Jurnal Pendidikan Matematika, 2010 - eprints.unsri.ac.id . Diakses pada tanggal 15 April 2013 Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV. Pustaka Setia. _______. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV. Pustaka Setia. Hernanda, Rani. 2013. INDEKS PEMBANGUNAN: Peringkat naik, UNDP apresiasi kinerja Indonesia. http://web.bisnis.com/indeks-pembangunan-peringkat-naik-undp-apresiasikinerja-indonesia Kartika, Dian. 2011. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Merosot di Peringkat 124. http://www.koalisiperempuan.or.id/peringkat-indeks-pembangunan-manusiaindonesia-merosot-di-peringkat-124/ Diakses tanggal 18 April 2013 Kristiyono, Agus. 2012. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Antara Siswa Yang Diajar Dengan Modul Dan CD Interaktif Pada Materi Fungsi Di SMK PGRI 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2011/2012. http://repository.library.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/1869/T1_202008038_Full %20text.pdf?sequence=2 Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran Matematika : Mengembangkan Standart Kompetensi Guru. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Putra, Nusa. 2012. Research & Development Penelitian dan Pengembangan. Jakarta : Grafindo Persada. Pribadi, Benny A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. _______. 2011. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Sari, Intan Novia. 2012. Pengembangan Bahan Ajar E-Modul Matematika Melalui CD Pembelajaran Dengan Macromedia Authorware 7.0 Sebagai Inovasi Media Pembelajaran Interaktif Pada Materi Dimensi Tiga Kelas X SMA Tahun Ajaran 2011/2012. Skripsi. Semarang : Program Sarjana IKIP PGRI. Setyosari, Punaji. 2012. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta : Prenada Media Group. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyanto. 2009. Model – Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta. Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning : Teori & Aplikasi Paikem. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
33
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 TIM Penyusun KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Widodo, Chomsin S dan Jasmadi. 2008. Panduan Menyusun bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Zuliningsih. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan Berbantuan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Quantum learning Menggunakan CD Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Matematika pada Pokok Bahasan Dalil Pythagoras Siswa Kelas VII SMP N 1 Margorejo Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi. Semarang : Program Sarjana IKIP PGRI.
34
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION DAN MODEL PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE BERBANTUAN MACROMEDIA FLASH TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SMP Nizaruddin1), Achmad Buchori2) Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Email:
[email protected] Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Email:
[email protected]
ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash, Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash, dan menggunakan model pembelajaran konvensional pada pokok bahasan bilangan bulat siswa kelas VII semester 1 SMP Negeri 1Semarang tahun ajaran 2013/2014. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Semarang pada tanggal 20 Agustus – 5 September 2013. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII. Metode pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan informasi daftar nama siswa, dan jumlah siswa, kelas VII B, VII A, dan VII C,sedangkan metode penelitiannya menggunakan metode eksperimen dengan uji anava. Hasil analisis varians dari nilai akhir diperoleh Fhitung= 4,113>Ftabel = 3,096., maka H0 ditolak dan dapat disimpulkan terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa kelas eksperimen 1 (VII B), kelas eksperimen 2 (VII A), dan kelas control (VII C). Uji hipotesis 2 dan 3 diperoleh t1 = 2,685>ttabel = 1,670 dan t2=1,998>ttabel=1,670 maka H0 ditolak dan dapat disimpulkan prestasi belajar siswa kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 lebih baik dari pada prestasi belajar kelas kontrol. Uji hipotesis 4 diperoleh – ttabel
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu faktor yang paling mendasar dalam kehidupan kita karena pendidikan adalah suatu upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia sepenuhnya agar menjadi manusia yang berilmu cakap, kreatif mandiri dan bertanggung jawab. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
35
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tujuan pendidikan tidak akan berhasil tanpa usaha yang dilakukan oleh guru dalam penyusunan model pembelajaran. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menghadapi banyak problem permasalahan itu pasti tidak semua permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu. Pembelajaran matematika yang terpusat pada guru, bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur tidak lagi dapat dipertahankan. Tidak sedikit guru merasa kesulitan dalam membelajarkan siswa bagaimana menyelesaikan problem matematika. Dari hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika kelas VII di SMP N 1 Semarang mengeluhkan bahwa siswanya mempunyai tingkat perhatian yang kurang terhadap pelajaran matematika, serta mempunyai kesulitan dalam memecahkan soal-soal matematika dalam kehidupan sehari-hari dan kurangnya minat siswa ketika mengikuti pelajaran matematika. Nilai rata-rata kelasnya hanya mencapai 6,00 atau hanya 65% dari jumlah siswa yang tuntas belajar. Data pendukung lainnya adalah rata-rata keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran hanya 60%. Berdasarkan pengalaman sebelumnya nilai ulangan matematika pada pokok bahasan bilangan bulat diperoleh nilai rata-rata kurang maksimal yaitu 63. Mengacu pada masih rendahnya prestasi belajar siswa pada pembelajaran matematika, maka dibutuhkan model pembelajaran yang inovatif dan tidak membuat siswa menjadi bosan dan pasif dalam pelajaran tetapi mampu membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran matematika. Rumusan masalah dalam artikel ini : 1. Apakah ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang mendapat pembelajaran model Group Investigasi dan model Think Talk Write dengan bantuan software Macromedia Flash serta pembelajaran konvensional pada pokok bahasan Bilangan Bulat kelas VII semester gasal SMP N 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014? 2. Apakah hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran model Group Investigasi dengan bantuan software Macromedia Flash lebih baik dari pembelajaran konvensional pada pokok bahasan Bilangan Bulat kelas VII semester gasal SMP N 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014? 3. Apakah hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran model Think Talk Write dengan bantuan software Macromedia Flash lebih baik dari pembelajaran konvensional pada pokok bahasan Bilangan Bulat kelas VII semester gasal SMP N 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014? 4. Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran model Group Investigasi dengan bantuan software Macromedia Flash dengan model pembalajaran Think Talk Write dengan bantuan software Macromedia Flash pada pokok bahasan Bilangan Bulat kelas VII semester gasal SMP N 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014? Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash, model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash, dan menggunakan model pembelajaran Konvensional ; bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash lebih baik daripada menggunakan model pembelajaran Konvensional ; bahwa prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash lebih baik daripada menggunakan model pembelajaran konvensional ; tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash dan menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash.
METODE PENELITIAN 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian eksperimen ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Semarang pada tanggal 20 Agustus – 5 September 2013. 36
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 2. Subyek Populasi pada penelitian eksperimen ini yaitu siswa kelas VII semester 1 SMP Negeri 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014 yang terdiri dari empat kelas yaitu VII A, VII B, VII C, VII D, dengan mengambil sampel 3 kelas secara cluster random sampling yaitu VII B, VII A, dan VII C. 3. Instrumen Penelitian (soal uraian) a. Validitas Dalam penelitian ini digunakan rumus koefisien korelasi product moment dengan angka kasar yaitu:
rxy
NXY (X )(Y )
{NX 2 (X ) 2 }{NY 2 (Y ) 2 }
Dengan α = 5%, jika rhitung > r(1-α)(N), maka alat ukur tersebut valid. b. Reliabilitas untuk mencari reliabilitas dapat digunakan Rumus berikut ini:
Dengan α = 5%. Jika r11 > r(1-α)(N) maka instrumen tes dikatakan reliabel c. Tingkat Kesukaran Untuk menghitung tingkat kesukaran soal digunakan rumus:
d. Daya Pembeda Rumus yang digunakan untuk menghitung daya pembeda soal bentuk uraian adalah:
4. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Adapun rancangan penelitian ini dapat digunakan sebagai berikut:
Kelompok
Perlakuan
Keadaan akhir
Eksperimen 1
X1
Y1
Eksperimen 2 Kontrol
X2 X3
Y2 Y3
5. Teknik Pengumpulan Data Metode/teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode tes, metode observasi, metode wawancara, dan metode dokumentasi. 6. Analisis dan Interpretasi Data a. Analisis Awal : Uji Normalitas, uji Homogenitas, uji Anava. b. Analisis Akhir : Uji Normalitas, uji Homogenitas, uji Hipotesis 1 (Anava satu arah), uji Hipotesis 2 dan 3 (uji t satu pihak), uji Hipotesis 4 (Uji t dua pihak)
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
37
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari analisis data awal diperoleh data yang berdistribusi normal dan homogen serta dari hasil uji kesamaan rata-rata menunjukkan bahwa Fhitung
ttabel=1,670. Oleh karena itu keputusan yang diambil adalah menolak Ho dan menerima Ha, dan disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash memiliki rata-rata lebih baik daripada siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional pada pokok bahasan bilangan bulat siswa kelas VII semester I SMP Negeri 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014. Hal ini dikarenakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash mempunyai kelebihan - kelebihan yang tidak dijumpai dan dimiliki oleh model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran Group Investigation (GI) menjadikan siswa saling berkomunikasi aktif, mengembangkan pemahaman siswa, melatih siswa berani mengemukakan pendapat dan menciptakan kedisiplinan dalam berdiskusi. Model pembelajaran Group Investigation (GI) selain menjadikan siswa lebih mudah memahami materi, juga membuat siswa lebih tertarik dan antusias dalam mengikuti pelajaran. Dengan demikian siswa lebih paham dan memahami dengan apa yang mereka pelajari. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis 3 diketahui bahwa nilai thitung=1,998>ttabel=1,670. Oleh karena itu keputusan yang diambil adalah menolak Ho dan menerima Ha, dan menyimpulkan prestasi belajar matematika siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash memiliki rata-rata lebih baik daripada siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional pada pokok bahasan Bilangan Bulat siswa kelas VII semester I SMP Negeri Semarang tahun ajaran 2013/2014.. Model pembelajaran Think Talk Write (TTW) ini pada dasarnya dibangun melalui berpikir, berbicara, dan menulis. Alur kemajuan metode TTW dimulai dari Think, keterlibatan siswa dalam berpikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, model pembelajaran yang mengaitkan dan menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru yang dipahami. Peserta didik secara aktif mempelajari dan berupaya menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya. Setelah dilakukan pengujian hipotesis 4 terhadap nilai evaluasi didapatkan thitung = 0,6061 dan ttabel = 1,999 sehingga –ttabel
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash pada pokok bahasan bilangan bulat siswa kelas VII semester I SMP Negeri 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014. Hal ini dikarenakan model pembelajaran Group Investigation (GI) berbantuan Macromedia Flash dan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbantuan Macromedia Flash keduanya sama-sama memiliki kelebihan, sehingga mengakibatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan antara prestasi belajar matematika pada kelompok eksperimen 1 dengan menggunakan model pembelajaran GI berbantu Macromedia Flash dengan nilai rata-rata 78,25, kelompok eksperimen 2 dengan menggunakan model pembelajaran model pembelajaran TTW berbantu Macromedia Flash dengan nilai rata-rata 77 dan model pembelajaran konvensional dengan nilai rata-rata 72.. 2. Hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen 1 dengan model pembelajaran GI berbantuan Macromedia Flash dalam pembelajaran matematika lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada kelompok kontrol. 3. Hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen 2 dengan model pembelajaran TTW berbantuan Macromedia Flash dalam pembelajaran matematika lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada kelompok kontrol. 4. Bahwa hasil belajar antara siswa yang menggunakan model pembelajaran GI dan dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran TTW berbantuan Macromedia Flash atau kedua model pembelajaran mempunyai hasil belajar yang sama (tidak berbeda secara signifikan) Saran: 1.
Bagi sekolah, perlu dikembangkan media pembelajaran berbasis software Macromedia Flash tidak hanya materi matematika saja.
2.
Perlu dikembangkan tidak hanya disekolah, tetapi juga di lingkungan perguruan tinggi, sehingga mampu menarik minat dan motivasi belajar mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Baharuddin, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Husaini, Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito: Bandung. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
39
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SMA BERDIFERENSIASI UNTUK SISWA CERDAS ISTIMEWA Yanuar Hery Murtianto1), Nizaruddin2) 1,2)
Prodi Pendidikan Matematika, IKIP PGRI Semarang [email protected]
ABSTRAK “Pengembangan Kurikulum Matematika Berdiferensiasi untuk Siswa Cerdas Istimewa”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1) Merumuskan kebutuhan kurikulum mata pelajaran matematika SMA bagi siswa berbakat dan cerdas istimewa di kelas akselerasi, (2) Mengembangkan prototype menjadi model kurikulum berdiferensiasi mata pelajaran matematika SMA di kelas akselerasi, (3)Mengetahui hasil evaluasi kelayakan kurikulum matematika berdiferensiasi yang dikembangkan terhadap calon pengguna produk. Metode penelitian pengembangan (Research and Development /R&D) digunakan dalam penelitian ini untuk menghasilkan model kurikulum matematika. Tahap metode tersebut mencakup: (1) tahap studi eksplorasi, yakni studi literatur dan studi lapangan; (2) tahap studi pengembangan, meliputi: analisis kurikulum matematika, desain produk awal (prototype) kurikulum hingga menjadi model kurikulum berdiferensiasi; dan (3) tahap evaluasi, untuk menguji kelayakan desain akhir kurikulum matematika berdiferensiasi. Hasil yang diperoleh: 1) kebutuhan kurikulum matematika menurut tanggapan guru dan stakeholder seharusnya memperhatikan: (a) pengulangan materi (repetisi) minimal, (b)efektifitas dalam pemadatan waktu (c) mendorong siswa berbakat dan cerdas istimewa untuk berpikir pada taraf tinggi, (d) sesuai dengan kurikulum nasional yang disesuaikan dengan pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar (e) relatif siap pakai pada kondisi sekolah yang minimal, 2) mengembangkan prototype menjadi model kurikulum matematika berdiferensiasi di SMA kelas akselerasi dilakukan dengan: (a) analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika SMP dan SMA, (b) mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar berdasarkan taksonomi Bloom yang direvisi, (c) memetakan standar kompetensi dan kompetensi dasar esensial, (d) eskalasi kompetensi dasar, (e) mengembangkan indikator berdasarkan eskalasi kompetensi dasar, (f) menentukan alokasi waktu pada tiap-tiap indikator, (g) mengorganisasikan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang dieskalasi dalam struktur satu semester (h) menentukan alokasi waktu untuk masing-masing indikator kemudian mendistribusikannya dalam struktur satu semester, 3) Hasil evaluasi menunjukkan: (a) dari segi kelayakan isi calon pengguna produk merespon sangat baik dan baik mencapai 95% sehingga dari segi kelayakan isi kurikulum yang dikembangkan sudah layak, (b) respon sangat baik dan baik mencapai 100% dari segi kebahasaan maka dari segi kebahasaan kurikulum yang dikembangkan sudah dikatakan layak, (c) dari segi penyajian kurikulum responden calon pengguna produk merespon sangat baik dan baik mencapai 75%, oleh karena itu pada segi penyajian kurikulum sudah dikatakan layak, (d) respon sangat baik dan baik mencapai 100% dari segi kegrafisan sehingga dari segi kegrafisan sudah layak. Disamping evaluasi desain juga dilakukan evaluasi terhadap konten kurikulum matematika berdiferensiasi yang meliputi 7 komponen yaitu: (a) kecepatan belajar yang dipercepat dengan repetisi minimal 75 % responden memberikan tanggapan sangat sesuai, 25 % memberi tanggapan sesuai, (b) penguasaan kurikulum nasional (KTSP) dalam waktu yang lebih singkat 100% responden memberikan tanggapan sangat sesuai, (c) materi yang abstrak, kompleks dan mendalam 100% responden memberi tanggapan sesuai, (d)
40
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 penggunaan ketrampilan belajar dalam menerapkan strategi pemecahan masalah 75 % responden mengatakan sesuai, 25 % responden mengatakan cukup sesuai, (e) berorientasi pada peserta didik 100 % responden mengatakan sesuai, (f) menerapkan ketrampilan penelitian 75% responden mengatakan sesuai, 25 % mengatakan cukup sesuai, dan (g) menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar secara mandiri direspon 100 % sesuai oleh responden. Kata Kunci: kurikulum berdiferensiasi, matematika, cerdas istimewa
PENDAHULUAN Matematika sangat penting bagi siswa cerdas dan berbakat istimewa dalam abad otomatisasi dan teknologi ini. Banyak kompetensi matematika yang dibutuhkan dalam dunia kerja ataupun industri saat ini seperti kompetensi daya nalar, berpikir kreatif, pemecahan masalah, berlogika atau kompetensi-kompetensi matematika lain yang sudah diaplikasikan dalam dunia komputer. Siswa cerdas istimewa dengan bakat dan potensi yang di atas rata-rata siswa dengan kecerdasan rata-rata diharapkan mampu mengembangkan semua kompetensi matematikanya untuk selanjutnya dapat mengaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu. Pentingnya kurikulum dalam pengoptimalisasian potensi siswa cerdas istimewa dapat disikapi dengan mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kecerdasan siswa. Dalam mengembangkan kurikulum mata pelajaran matematika bagi siswa cerdas istimewa diperlukan kajian yang mendalam tentang karakteristik siswa cerdas istimewa itu sendiri. Hal ini dilakukan agar kurikulum yang dirancang benar-benar dapat mengakomodir potensi matematika siswa. Menurut Sandra L, Berger dalam Baska (1998) “An effective curriculum for students who are gifted is essentially a basic curriculum that has been modified to meet their needs, the unique characteristic of the students must serve as the basis for decisions on how the curriculum shaoul be modified”. Hal ini diperkuat dengan pendapat Jason Matthew Lai (2007: 30) yang menyatakan bahwa the mathematics curriculum in the gifted Education Programme is differentiated in content, process, product and learning environtment.Dari dua pendapat ini menjelaskan bahwa kurikulum yang efektif bagi siswa cerdas istimewa adalah kurikulum yang di modifikasi isi, proses, produk dan lingkungan belajarnya. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuaan pendidikan tertentu, Depdiknas (2006b:449). Curriculum is what is learned and what is taught (context); how it is delivered (teaching-learning methods); how it is assessed (exams, for example); and the resources used (e.g., books used to deliver and support teaching and learning), Unesco (2004: 13). Kurikulum berdiferensiasi merupakan jawaban terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan anak didik, Utami Munandar (2009: 138). Kurikulum atau silabus berdiferensiasi adalah kurikulum nasional dan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem eskalasi dan enrichment yang dapat memacu dan mewadahi secara integrasi pengembangan spiritual, logika, etika dan estetika, kreatif, sistematik, linier dan konvergen, Hawadi, dkk (2004: 38). Sedangkan kurikulum dalam penelitian ini adalah seperangkat rencana pembelajaran matematika berdasarkan standar isi yang dimodifikasi secara konten, proses, produk dan lingkungan belajar untuk meningkatkan taraf berpikir siswa di kelas akselerasi. Silabus berdiferensiasi dalam penelitian ini merupakan pemetaan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator matematika yang sudah dieskalasi dengan pendistribusian alokasi waktu pada tiap-tiap indikator. Pelaksanaan penelitian ini dimotivasi oleh beberapa masalah yang berkaitan dengan kondisi kurikulum mata pelajaran matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk siswa SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
41
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 cerdas istimewa di kelas akselerasi. Penelitian tentang penyusunan kurikulum berdiferensiasi mata pelajaran matematika SMA di kelas akselerasi masih minim. Kurikulum yang sudah ada terlalu menitik beratkan pada beban belajar siswa cerdas istimewa yang terlalu banyak sehingga banyak siswa cerdas istimewa yang mengalami underachievement. Hasil nyata penelitian ini adalah tersusunnya model kurikulum mata pelajaran matematika SMA untuk siswa berbakat dan cerdas istimewa di kelas akselerasi. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebutuhan kurikulum mata pelajaran
matematika SMA di kelas akselerasi, mengembangkan model kurikulum mata pelajaran matematika SMA pada kelas akselerasi, mendeskripsikan hasil evaluasi model kurikulum mata pelajaran matematika SMA di kelas akselerasi yang telah dikembangkan dan menghasilkan draft kurikulum matematika SMA kelas akselerasi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development). Menurut Gay, Mills, and Airasian (2009: 18) dalam bidang pendidikan
tujuan utama penelitian dan pengembangan bukan untuk merumuskan atau menguji teori, tetapi untuk mengembangkan produk-produk yang efektif untuk digunakan di sekolah-sekolah. Penelitian pengembangan dalam pendidikan didefinisikan “a process used to develop and validate educational products ... that are ready for operational use in the schools” (Borg dan Gall, 1983:772), yaitu suatu model penelitian untuk mengembangkan dan mengecek berbagai produk yang siap pakai di sekolah. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tesis pengembangan kurikulum matematika berdiferensiasi ini termasuk penelitian dan pengembangan (R&D). Prosedur penelitian yang dilaksanakan dalam penelitian ini meliputi tiga tahap yang meliputi tahap eksplorasi, tahap pengembangan dan tahap evaluasi. Tahap eksplorasi dilaksanakan untuk menganalisis dan mendefinisikan kebutuhan kurikulum matematika pada kelas akselerasi. Dalam tahap eksplorasi jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Tempat penelitian dilaksanakan di SMA 1 Surakarta dan SMA 3 Surakarta, subjek penelitiannya adalah guru matematika di kelas akselerasi, Ketua Program Akselerasi dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi, teknik analisis data meliputi; 1) reduksi data, 2) penyajian data, 3) penarikan kesimpulan dan verifikasi, sedangkan teknik keabsahan datanya menggunakan teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Tahap pengembangan dilaksanakan untuk menyusun prototipe model kurikulum matematika untukk siswa berbakat dan cerdas istimewa di kelas akselerasi. Tahap pengembangan meliputi tahap; 1) desain produk awal (prototipe), 2) koreksi dari pakar (ex-pert judgment), 3) revisi desain I, 4) Focus Group Discussion, 5) Revisi Desain II (tahap penyempurnaan). Tahap evaluasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan kurikulum matematika berdiferensi yang dikembangkan dengan kebutuhan di lapangan. Hasil evaluasi ini dijadikan sebagai bahan penyempurnaan produk yang dihasilkan. Jika kurikulum matematika yang baru telah dinyatakan layak dan sesuai dengan pedoman penyelenggaran program akselerasi berdasarkan hasil tanggapan guru matematika di kelas akselerasi, selanjutnya disempurnakan untuk menghasilkan produk kurikulum matematika berdiferensiasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian dideskripsikan temuan-temuan yang diperoleh dari 3 tahap pelaksanaan penelitian pengembangan yang meliputi: 1) tahap studi pendahuluan(eksplorasi), 2) tahap studi pengembangan, dan (3) tahap evaluasi. Hasil temuan tersebut dideskripsikan sebagai berikut. Tahap studi pendahuluan ini dimulai dengan studi literatur dan studi lapangan untuk mengetahui kebutuhan kurikulum matematika di kelas akselerasi menurut tanggapan guru dan 42
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 stakeholder meliputi: (1)Tanggapan guru matematika kelas akselerasi dari SMA 1 Surakarta dan SMA 3 Surakarta terhadap kurikulum matematika yang selama ini sudah digunakan; (2) Kebutuhan akan kurikulum matematika menurut ketua program Akslerasi SMA 1 Surakarta dan SMA 3 Surakarta; (3) Menganalisis dokumen kurikulum matematika kelas akselerasi yang diperoleh dari SMA 1 Surakarta dan SMA 3 Surakarta; dan (4) deskripsi temuan kebutuhan kurikulum matematika untuk kelas akselerasi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap Dra. Endang Setyowati (ketua program akselerasi sekaligus guru matematika kelas akselerasi SMA 3 Surakarta) dan Marwanta, S. Pd (Guru matematika SMA 1 Surakarta) diperoleh beberapa informasi yakni: (1) pada program kelas akselerasi belum memiliki kurikulum matematika yang baku, dengan demikian guru dalam mengajarkan materi matematika masih mengacu sepenuhnya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); (2) pengalaman guru dalam mengajar digunakan sebagai acuan utama untuk pemadatan materi matematika yang seharusnya diajarkan selama 3 tahun menjadi 2 tahun (3 siswa di kelas akselerasi menyelesaikan materi pokok pelajaran matematika selama 6 semester dimana setiap semester terdiri dari 4 bulan dan untuk semester ke-enam digunakan untuk persiapan ujian nasional; (4) acuan kurikulum matematika di kelas akselerasi yang mengacu pada KTSP belum mengarah untuk mengembangkan siswa dalam berpikir tingkat tinggi (higher level thinking). (5) sekolah belum mengembangkan kurikulum matematika yang berdiferensiasi secara konten, proses, produk dan lingkungan belajar. Dari berbagai tanggapan di atas terkait kurikulum matematika yang sudah digunakan bahwa sekolah belum memiliki kurikulum matematika standar yang digunakan khusus di kelas akselerasi Kebutuhan akan kurikulum matematika menurut ketua program Akslerasi SMA 1 Surakarta dan SMA 3 Surakarta. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua program Akselerasi SMA 1 Surakarta dan SMA 3 Surakarta secara umum dapat disimpulkan bahwa; (1) sekolah sangat membutuhkan kurikulum matematika khusus untuk siswa kelas akselerasi; (2) dibutuhkan kurikulum matematika yang dapat mengakomodasi potensi matematika siswa cerdas istimewa pada kelas akselerasi; (3) dibutuhkan kurikulum matematika yang mendorong siswa untuk memiliki pola pikir taraf tinggi. Kurikulum matematika yang sedang digunakan di SMA 1 dan SMA 3 Surakarta pada program akselerasi adalah KTSP yang sudah disesuaikan alokasi waktu untuk masing-masing materi pokok sehingga materi matematika yang seharusnya diajarkan selama 3 tahun menjadi 2 tahun. Disamping KTSP, SMA 1 Surakarta juga memiliki dokumen sinkronisasi standar isi yang berisi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dari KTSP yang sudah diubah urutannya. Berdasarkan analisis dokumen kurikulum matematika yang selama ini digunakan di SMA 1 dan SMA 3 Surakarta maka wajar jika siswa di kelas akselerasi memiliki beban mengajar yang begitu banyak tetapi belum efektif dalam mengakomodasi semua bakat dan potensinya dalam bidang matematika. Disamping itu dengan tidak adanya kurikulum matematika yang memberikan blue print dalam pembelajaran baik kepada guru maupun siswa dikhawatirkan siswa akan mengalami underachievement yaitu keadaan dimana siswa memiliki prestasi dibawah yang semestinya. Berdasarkan wawancara dengan informan wakil kepala sekolah bidang kurikulum, bahwa masalah yang dihadapi guru matematika dalam proses pembelajaran adalah tidak adanya dokumen kurikulum matematika standar yang bisa digunakan sebagai acuan penyelenggaraan proses pembelajaran. Dalam pembuatan kurikulum matematika khusus untuk siswa kelas akaselerasi masih terkendala dengan; (1) pemetaan SK-KD dalam pengembangan silabus; (2) pendistribusian alokasi waktu dalam tiap-tiap semester; (3) urutan penyampaian materi pembelajaran berdasarkan analisis tingkat kesukaran ataupun berdasarkan materi prasyarat yang harus diajarkan terlebih dahulu;(4) mengembangkan indikator agar mampu meningkatkan tahapan berpikir siswa yang berdasarkan taksonomi Bloom; (5) menambahkan materi pengayaan yang sesuai dengan minat siswa di kelas akselerasi dan bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari matematika tingkat lanjut dan dapat di aplikasikan dalam dunia kerja.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
43
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tahap pengembangan dilaksanakan untuk mengembangkan desain awal kurikulum (prototype) hingga menjadi model kurikulum berdiferensiasi. Langkah awal dalam mendesain prototype kurikulum ini adalah menganalisis kompetensi dasar dan materi pembelajaran matematika yang diajarkan di SMP, analisis ini dimaksudkan agar pemetaan KD dan materi esensial dapat meminimalisir pengulangan materi yang diajarkan di SMA kelas akselerasi. Disamping itu analisis materi pembelajaran matematika SMP ini digunakan sebagai acuan untuk menentukan pendistribusian alokasi waktu untuk masing-masing indikator. Hasil pengembangan kurikulum matematika berdiferensiasi disajikan dalam Tabel 1.
44
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 1. Hasil Pengembangan Kurikulum Matematika Berdiferensiasi (Diambil Sampel Pada Materi Pokok Pangkat dan Logaritma). Kelas Reguler Standar Kompetensi
Kelas Akselerasi ALW
KD
1. Memecah 1.1 Mengguna -kan kan aturan masalah pangkat, yang akar, dan berkaitan logaritma. dengan bentuk pangkat, akar,dan logaritma.
TB KD
18 Jam
1.1Menggunakan aturan pangkat , akar, dan logaritm a.
1.2Melakuk an manipulasi aljabar dalam perhitunga n yang melibatkan pangkat, akar, dan logaritma.
1.2 Melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan yang melibatkan pangkat, akar, dan logaritma.
1.3 Mengan alisis aturan pangkat , akar, dan logaritm a.
Jumlah Jam
18 Jam
AL W
Skor
Indikator a. Mengubah bentuk pangkat negatif positif b. Mengubah bentuk akar ke bentuk pangkat dan sebaliknya. c. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan operasi aljabar pada bentuk pangkat, dan akar d. Melakukan operasi aljabar dalam bentuk logaritma. e. Merasionalkan bentuk akar. f. Membandingka n pengubahan bentuk pangkat ke bentuk logaritma dan sebaliknya. g. Menganalisis bentuk aljabar yang memuat pangkat rasional h. Mengkonstruksi kan bentuk aljabar yang memuat bentuk pangkat, akar, dan logaritma kemudian menyederhanak a-nnya. i. Membuktikan sifat-sifat sederhana tentang bentuk pangkat, akar, dan logaritma.
C-2
1
2
3
4
1 jam
C-2
1
2
3
4
¾ jam
C-3
1
2
3
4
1 jam
C-4
1
2
3
4
1 jam
C-3
1
2
3
4
C-4
1
2
3
4
¾ jam 3 jam
C-4
1
2
3
4
3 jam
C-6
1
2
3
4
3 jam
C-4
1
2
3
4
1 jam
Jumlah Jam
13 3/2 jam
Keterangan Tabel 1: 1) KD = Kompetensi Dasar 2) ALW = Alokasi Waktu 3) TB = Tingkatan Berpikir. Keterangan penskoran pada Tabel 1 yaitu: Skor 1: Tidak ada KBM (belajar mandiri dengan menggunakan bahan ajar preview) Skor 2: Ada KBM (sedikit latihan yang diberikan, tidak ada PR) Skor 3: Ada KBM (banyak latihan yang diberikan, ada PR) Skor 4: Ada KBM (banyak latihan yang diberikan, ada PR dan Proyek tambahan)
Tabel 1 di atas merupakan cuplikan hasil pengembangan kurikulum matematika berdiferensiasi pada standar kompetensi 1.1 yaitu: Memecahkan masalah yang berkaitan dengan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
45
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 bentuk pangkat, akar, dan logaritma. Langkah-langkah pengembangan dijabarkan sebagai berikut: a. Mengidentifikasi materi Pada proses pengidentifikasian materi matematika ini meliputi identifikasi standar isi pada KTSP. Dalam standar isi matematika SMA terdapat 20 Standar kompetensi dan 65 Kompetensi dasar yang termuat dalam 19 materi pokok. Pengidentifikasian materi ini bertujuan untuk menetapkan konsep dan ketrampilan utama untuk unit yang akan diajarkan pada siswa. Hal ini memungkinkan siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui, melakukan tugas di bidang dimana pekerjaan dilakukan. b. Memetakan SK-KD esensial Standar kompetensi matematika mengungkapkan tujuan pembelajaran matematika secara umum pada materi pokok tertentu. Pada materi pokok pangkat dan logaritma dengan standar kompetensi: memecahkan masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar, dan logaritma dikembangkan tiga standar kompetensi untuk mencapai tujuan tersebut yakni dua kompetensi dasar yang sesuai dengan standar isi pada KTSP: 1) Menggunakan aturan pangkat, akar, dan logaritma, 2) Melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan yang melibatkan pangkat, akar, dan logaritma serta satu kompetensi dasar tambahan yaitu: Menganalisis aturan pangkat, akar, dan logaritma.Ketiga kompetensi dasar ini digunakan untuk mendeskripsikan berbagai tujuan yang ada pada materi pokok pangkat dan logaritma. Standar kompetensi yang termuat dalam standar isi KTSP merupakan standar minimal yang diberikan, alasan penambahan KD 1.3 yakni; Menganalisis aturan pangkat, akar, dan logaritma merupakan salah satu bentuk eskalasi KD yang digunakan untuk meningkatkan ranah kognitif pada siswa cerdas istimewa. c. Mengembangkan Indikator Pengembangan indikator pada materi pokok pangkat dan logaritma termuat dalam poin f, g dan h yakni; 1) Membandingkan pengubahan bentuk pangkat ke bentuk logaritma dan sebaliknya, 2) Menganalisis bentuk aljabar yang memuat pangkat rasional, 3) Mengkonstruksikan bentuk aljabar yang memuat bentuk pangkat, akar, dan logaritma kemudian menyederhanakannya. Ketiga indikator yang dikembangkan ini menuntut siswa untuk berpikir dengan level tinggi (higher-order-thinking) hal ini dapat terlihat dari tingkat berpikir masingmasing indikator yakni; Analisis(C-4), dan Mencipta (C-6). Menganalisis (C-4) merupakan kemampuan untuk memecah materi menjadi bagian-bagiannya, sehingga hal itu bisa dipahami secara lebih menyeluruh, hal ini termasuk mengidentifikasi bagian-bagian, menguji hubungan antar bagian-bagian itu. Sedangkan mencipta (C-6) hal ini merujuk pada kemampuan untuk menyatukan bagian-bagian guna membentuk rencana yang baru bagi siswa. Tingkatan ini menekankan kreativitas, dengan penekanan utama pada pembentukan pola atau struktur baru. d. Pendistribusian alokasi waktu Proses pendistribusian alokasi waktu ini menggunakan prinsip pemadatan kurikulum atau compacting curriculum, strategi ini mengurangi jumlah waktu yang digunakan siswa pada kurikulum reguler (KTSP). Disamping memadatkan materi proses pendistribusian alokasi waktu ini juga mengurangi pengulangan materi yang sudah diajarkan pada tingkat SMP. Berikut adalah instruksi penggunaan kurikulum yang digunakan sebagai dasar pemetaan materi pada tiap-tiap indikator: 1: tidak ada tatap muka (belajar mandiri dengan bahan ajar preview) 2: ada kegiatan belajar mengajar (sedikit latihan, tidak ada PR) 3: ada kegiatan belajar mengajar (banyak latihan, ada PR) 4: ada kegiatan belajar mengajar (banyak latihan, ada PR dan Proyek tambahan) Instruksi pada nomor 1 merupan rasionalisasi dari analisis materi yang sudah diajarkan di SMP, sehingga tidak perlu diulang kembali pada siswa di kelas akselerasi. Disamping meminimalkan repetisi materi instruksi pertama diharapakan mendorong siswa cerdas istimewa untuk belajar mandiri (Independent Study). Belajar mandiri bisa menjadi strategi yang berguna untuk membedakan kurikulum. Tetapi siswa perlu bantuan untuk bisa mendapat hasil maksimal dengan belajar mandiri yakni guru menyediakan bahan ajar preview yang berisikan materimateri pelajaran yang sudah pernah dioperoleh siswa pada jenjang sebelumnya.
46
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 e. Pemadatan alokasi waktu Dalam pemadatan kurikulum ini dilakukan dahulu pendistribusian materi, standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam masing-masing semester. Materi pelajaran matematika yang diselesaikan tiga tahun di kelas reguler dengan distribusi 6 semester, sedangkan di kelas akselerasi dipadatkan menjadi 2 tahun. Dalam 2 tahun ini didistribusikan dalam 6 semester dimana tiap semester terdiri dari 4 bulan, sedangkan semester 6 digunakan penuh untuk persiapan ujian nasional. Pemadatan alokasi waktu ini menggunakan rasionalisasi masingmasing indikator yang didasarkan pada analisis materi dan tingkat berpikir pada tiap indikator. Hasil pengembangan kurikulum pada materi pangkat dan logaritma merupakan cuplikan pengembangan kurikulum matematika berdiferensiasi, pada materi-materi lain dilakukan pengembangan dengan langkah-langkah yang sama seperti pada pengembangan materi pokok pangkat dan logaritma, hasil pemadatan waktu pada tiap materi pokok disajikan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2. Pemadatan Alokasi Waktu (Compacting Time Allocated) pada Semua Materi Pokok.
Lanjutan Tabel 2
Materi Pokok
Pangkat dan Logaritma Persamaan dan Fungsi Kuadrat Persamaan danPertidaksamaan Eksponen dan Logaritma Jumlah Barisan dan Deret Statistika dan Peluang Trigonometri 1 Trigonometri 2 Jumlah Fungsi Limit fungsi Turunan Fungsi Integral Jumlah Logika Matematika Lingkaran Suku banyak Matriks Program Linear Jumlah Vektor &Transformasi geometri. Sistem Persamaan Linear Dimensi Tiga Jumlah Total
Kelas/ Semester
X/I
Alokasi Waktu (Kelas Reguler) 18 jam 26 jam 27 jam
X / II
35 jam 44 jam 34 jam 22 jam
X / III
17 jam 15 jam 16 jam 27 jam
XI/ I
XI/ II
16 jam 25 jam 25 jam 12 jam 19 jam 50 jam 18 jam 24 jam 470 jam
Alokasi Waktu (Kelas Akselerasi) 13 3/2 jam 19 1/2 jam 20 1/2 jam 54 1/2 jam 11 1/2 jam 21 jam 15 jam 11jam 58 1/2 jam 12 jam 9 1/2 jam 15 1/2 jam 18 jam 55 jam 11 jam 10 jam 11 1/2 jam 12 jam 13 1/2 jam 58 jam 27 jam 15 jam 14 jam 56 jam 282 jam
Tahap evaluasi kurikulum yang dikembangkan berdasarkan hasil triangulasi metode terhadap empat responden evaluasi model kurikulum matematika berdiferensiasi, secara umum dapat disimpulkan bahwa pada komponen (1) yaitu: kecepatan belajar yang dipercepat dengan pengulangan (repetisi) minimal, 75% responden memberikan respon sangat sesuai dan 25% lainnya memberikan respon sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa model kurikulum yang dikembangkan sudah efektif dalam meminimalisir repitisi materi karena 100% responden memberi tanggapan sangat sesuai dan sesuai, pada komponen (2) yaitu: penguasaan kurikulum matematika nasional(KTSP) dalam waktu yang lebih singkat 100% responden memberikan respon sangat sesuai, ini berarti model kurikulum matematika yang dikembangkan sudah sangat sesuai dalam pemadatan waktu belajar yang seharusnya ditempuh anak akselerasi dalam 3 tahun menjadi 2 tahun. Kompenen (3) yaitu; materi lebih abstrak, lebih kompleks dan lebih mendalam direspon sesuai oleh 100% responden. Karena tidak ada satupun responden yang menyatakan sangat sesuai pada komponen ini maka model kurikulum ini masih belum maksimal dalam mengintegrasikan komponen keabstrakan, kekompekan dan kedalaman materi. Kompenen (4) yaitu: penggunaan ketrampilan belajar dan menerapkan strategi pemecahan masalah 25% SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
47
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 responden memberikan respon cukup sesuai sedangkan 75% lainnya merespon sesuai pada komponen ini. Komponen (5) yaitu: berorientasi pada peserta didik 100 % responden merespon sesuai. Komponen (6) belajar berkelanjutan serta menerapkan ketrampilan penelitian 75% responden merespon cukup sesuai dan 25 % responden merespon sesuai, hal ini menunjukkan bahwa pada komponen penerapan ketrampilan penelitian dalam model kurikulum yang dikembangkan belum sepenuhnya sesuai dengan panduan kurikulum dalam buku pedoman penyelenggaraan program akselerasi, sedangkan pada komponen (7) yaitu : menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar secara mandiri 100 % responden merespon sesuai. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, simpulan penelitian pengembangan kurikulum matematika SMA berdiferensiasi untuk siswa berbakat dan cerdas istimewa di kelas akselerasi yakni: Pengembangan kurikulum matematika berdiferensiasi meliputi Sembilan langkah yang meliputi, (a) memahami SK-KD matematika SMA Permendiknas, (b) analisis SK-KD Matematika SMP dan SMA, (c) Mengidentifikasi SK-KD matematika berdasarkan taksonomi Bloom yang direvisi, (d) memetakan SK-KD berdasarkan standar isi KTSP, (e) memetakan SK-KD Esensial,(f) mengeskalasi SK-KD matematika, (g) mengembangkan indikator berdasarkan eskalasi SK-KD,(h) menentukan distribusi alokasi waktu pada masing-masing indikator, (i) mengorganisasikan SK-KD dan indikator ke dalam struktur satu semester. Hasil evaluasi pada desain akhir kurikulum matematika berdiferensiasi meliputi:(1) kurikulum matematika berdiferensiasi yang dikembangkan dapat meminimalkan pengulangan materi, (2) penguasaan materi KTSP dengan waktu yang lebih singkat, (3) materi yang termuat dalam kurikulum lebih abstrak, kompleks dan mendalam ditunjukkan dari pengembangan indikatornya, (4) dapat mengembangkan strategi pemecahan masalah dalam setiap materi pelajaran, (5) berorientasi pada peserta didik, mendorong peserta didik untuk belajar mandiri, (6) belajar berkelanjutan serta menerapkan ketrampilan penelitian hal ini ditunjukkan dari proyek tambahan dalam pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Penulis diharapkan melakukan uji coba kurikulum yang dikembangkan untuk mengetahui keefektifan dalam proses belajar mengajar matematika di kelas akselerasi, disamping itu penulis juga diharapkan mampu mengembangkan kurikulum matematika berdiferensiasi yang lebih lengkap lagi. Peneliti lain juga diharapkan melakukan penelitian pengembangan terkait pengembangan kurikulum pada jenjang pendidikan atau mata pelajaran yang berbeda. Diharapkan stakeholder terkait memberikan dukungan secara berkesinambungan baik secara material maupun moral untuk menindaklanjuti pengembangan kurikulum berdiferensiasi ini dalam rangka perbaikan mutu dan optimalisasi siswa di kelas akselerasi.
DAFTAR PUSTAKA Borg, W. R & Gall. M., D.(1983). Educational Research an Introduction(4th ed) . New York and London: Longman Inc. Depdiknas. (2006b). Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP: Panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Gay, L. R., Mills, G. E., & Airasian, P. W. (2009). Educational research : competencies for analysis and applications (9th ed.). Upper Saddle River, N.J.: Merrill/Pearson. Hawadi, Reni Akbar (editor). (2004). Akselerasi : A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta: PT Grasindo.
48
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Lai, J. M &Yian, E. B. (2007). Gifted Education Branch Education Programmes Division Ministry of Education. Singapore: Ministry of Education. Gibson, K. L& Mitchel, L. M. (2005). Critical Curriculum components in programs for young gifted learners. International Education Journal, 6(2), 164-169: Shannon Research Press. Unesco. (2004). Changing Teaching Practise: Using Curriculum differentiation to respond to students’ Diversity: France. Utami Munandar, SC. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. VanTassel-Baska, J., Feldhusen,J., Seely, K., Wheatley, G., Silverman, L.,& Foster, W . (1998). Comprehensive Curriculum for gifted learners. Boston: Allyn & Bacon.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
49
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
MENGGAIRAHKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENGGUNAAN BAHAN AJAR BERORIENTASI PEMODELAN MATEMATIKA BERBASIS RME DI SMAN KOTA PADANG Media Rosha 1), Yerizon 2) 1,2)
Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Padang [email protected] [email protected]
ABSTRAK Penguasaan matematika siswa cenderung rendah pada kompetensi dasar membangun, menyelesaikan, dan menafsirkan model matematika dari suatu permasalahan nyata. Hal ini akan berdampak negatif: siswa mungkin akan meninggalkan pelajaran, bahkan membenci pelajaran matematika. Penguasaan yang rendah, disebabkan karena siswa tidak memahami kegunaan dari matematika. Padahal, apabila siswa mengetahui model matematika suatu permasalahan, maka mereka akan merasakan manfaat dari belajar matematika. Tujuan yang akan dicapai adalah untuk memperoleh bahan ajar yang valid dan praktis. Tujuan ini dicapai melalui penelitian pengembangan bahan ajar yang berorientasi pemodelan matematika berbasis Realistic Mathematics Educations (RME). Bahan ajar dibuat menggunakan soal kontekstual dalam memperkenalkan konsep matematika, dilanjutkan dengan menerapkan matematika yang dibahas, dan mengkomunikasikan temuan. Untuk memperoleh bahan ajar yang valid dan praktis, dilakukan uji coba pada kelompok kecil (10 orang siswa per sekolah) pada tiga sekolah. Masing-masing sekolah mempunyai mutu yang berbeda-beda. Uji validitas menggunakan validator expert melalui diskusi dan pemberian angket. Sedangkan uji praktikalitas dilakukan dengan memberikan angket pada: expert, guru dan siswa. Bahan ajar yang dihasilkan dinyatakan valid dan praktis, baik oleh validator maupun responden penelitian. Penggunaan bahan ajar terbukti dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika. Siswa menyenangi bahan ajar dan menyebutnya sebagai bahan ajar yang menarik. Di samping itu, setelah membaca bahan ajar ini, siswa merasa tertantang untuk belajar matematika. Namun demikian, penelitian pengembangan ini baru sampai tahap define, design, dan develop sehingga memerlukan langkah lanjutan, yaitu dissemination. Kata Kunci : Bahan Ajar, Pemodelan Matematika, Realistic Mathematics Educations (RME)
PENDAHULUAN Gairah belajar diperlukan siswa untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, Gairah belajar akan mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar dengan baik, yang kemudian memunculkan suatu kekuatan dalam diri siswa untuk memperoleh suatu prestasi belajar. Gairah belajar terlihat pada motivasi belajar siswa, dimana ia berperan sebagai penentu keberhasilan
50
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 kegiatan pembelajaran. Seorang siswa memiliki motivasi belajar atau tidak , dapat dilihat dari gairah belajar siswa ketika di dalam kelas ataupun diluar kelas. Ciri-ciri siswa yang memiliki gairah dalam belajar adalah: 1) lincah mengikuti aktivitas pembelajaran, 2) belajar dengan riang dan gembira, dan 3) mengkonstruksi pengetahuannya dengan pengalaman yang diperoleh. Siswa yang memiliki gairah belajar, mengikuti pembelajaran penuh dengan semangat belajar. Kenyataannya, sering pada pembelajaran matematika ditemukan siswa kurang bergairah dalam belajar, siswa tidak memperhatikan guru saat proses pembelajaran, jarang mengerjakan pekerjaan rumah, dan tidak adanya suasana berkompetisi pada saat penilaian dilakukan oleh guru. Hal ini akan berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa, sehingga timbulnya kesulitan dalam belajar matematika. Siswa akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal ulangan, bahkan siswa akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal Ujian Nasional (UN). Kondisi ini menunjukkan bahwa ada kendala dalam kompetensi yang harus dicapai siswa. Hasil UN matematika yang dicapai siswa belum memuaskan, ini ditunjukkan oleh data daya serap kompetensi yang dicapai siswa pada kompetensi dasar tertentu sangat rendah. Berikut ini diberikan data tentang pencapaian kompetensi dasar yang masih rendah. Tabel 1. Persentase Penguasaan Materi Soal Matematika Ujian Nasional SMA/MA Tahun Pelajaran 2010 No 1 2 3 4
Kemampuan yang diuji Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kaidah pencacahan Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kombinasi sederhana Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kaidah pencacahan Menentukan nilai optimum dari masalah program linear
Ray
IPA Prop
Nas
17,55
37,12
77,50
2,12
2,05
67,36
Ray
IPS Prop
Nas
10,55
37,91
67,76
6,82
21,52
68,09
Sumber: P3 Balitbang Depdiknas Ket: Ray : Kota Padang Prop : Sumatera Barat Nas : Nasional
Data yang ditunjukkan pada Tabel 1, siswa mengalami kesulitan dalam pemodelan matematika, pada kompetensi dasar membangun, menyelesaikan, dan menafsirkan model matematika dari suatu permasalahan nyata. Ini berarti siswa belum mampu memahami penggunaan matematika dalam kehidupannya, siswa belum memahami aplikasi matematika dalam kehidupan nyata. Sementara itu, matematika dipandang sebagai ratu dan pelayan ilmu pengetahuan. Matematika tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri sebagai suatu ilmu, dan juga untuk melayani kebutuhan ilmu pengetahuan lain. Ini berarti, dalam pembelajaran matematika siswa perlu diperkenalkan pada aplikasi matematika. Kebanyakan dari proses pembelajaran di sekolah, masih hanya berorientasi pada pengerjaan soal-soal latihan saja. Sementara itu, bahasan tentang model matematika kurang diberikan, pembelajaran matematika jarang dikaitkan dengan kehidupan nyata. Hal ini menyebabkan siswa tidak antusias belajar matematika karena kurang melihat manfaat dari matematika tersebut. Kita perlu memikirkan bagaimana cara membuat siswa senang untuk belajar matematika. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah mampu memecahkan masalah. Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Masalah yang dibahas bisa merupakan masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan banyak solusi. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu ditumbuhkembangkan keterampilan dalam pemodelan matematika. Pemodelan matematika meliputi: memahami masalah; membangun model matematika dari masalah; mencari solusi dari model matematika; dan menafsirkan solusi yang SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
51
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 diperoleh kedalam permasalahan awal.
NCTM menjelaskan pembelajaran matematika diarahkan kepada memperhatikan dan menggunakan matematika dalam konteks diluar matematika. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah: memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Jelaslah bahwa kemampuan pemodelan matematika sangat penting untuk dimiliki oleh setiap siswa sebab kemampuan ini masuk ke dalam tujuan pelajaran matematika sekolah di Indonesia. Siswa diharapkan mempunyai kemampuan yang memadai dalam model matematika. Pemodelan matematika merupakan salah satu cabang ilmu matematika yang mampu memecahkan atau menjawab berbagai permasalahan dalam situasi nyata. Banyak sekali permasalahan dalam kehidupan ini yang dapat dipecahkan melalui model matematika. Dengan menggunakan model matematika permasalahan yang rumit dapat disederhanakan kedalam bentuk simbol matematika, sehingga mempermudah kita menganalisis permasalahan. Jadi, kesulitan siswa dalam model matematika harus segera ditanggulangi. Pembelajaran dengan menampilkan manfaat matematika akan membuat siswa senang belajar dan bergairah dalam belajar, karena merasakan manfaat belajar matematika. Penyelenggaraan pendidikan saat ini, pekerjaan sebagai guru sudah merupakan suatu profesi. Guru harus memiliki kompetensi: pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran seharusnya dilakukan dengan berbagai cara agar siswa termotivasi belajar. Siswa bukanlah objek dari kegiatan pembelajaran, melainkan sebagai subjek dari pembelajaran. Proses pembelajaran diharapkan berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang siswa untuk berpartisipasi aktif. Dalam pembelajaran hendaknya siswa bersemangat belajat, bahkan menyenangi belajar. Guru diharapkan terus berusaha dengan ilmu pedagogiknya, agar siswa bergairah dalam belajar di dalam pembelajarannya. Penyajian pembelajaran yang diberikan guru seharusnya menggairahkan semangat belajar siswa. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, agar terlaksana efektif dan efesien. Dalam pembelajaran, guru harus berupaya untuk mengembangkan potensi diri siswanya. Terdapat banyak potensi dari dalam diri siswa yang harus dikembangkan, karena itu guru perlu memilih cara agar potensi yang ada dalam diri siswa berkembang optimal, misalnya dengan pemberian sumber belajar.
Sumber belajar mempunyai peranan penting dalam pembelajaran. Melalui penggunaan sumber belajar yang beragam, pembelajaran dapat dilaksanakan secara efesien, efektif dan optimal. Salah satu dari sumber belajar adalah bahan ajar. Bahan ajar adalah materi yang disusun secara sistematis yang digunakan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran. Bahan ajar terbagi dua: yang dirancang dan yang dimanfaatkan. Bahan ajar pada pembahasan ini adalah bahan ajar yang dirancang. Kemampuan matematika sangat diperlukan ketika siswa dituntut memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan dalam permasalahan hidup. Pembelajaran matematika yang baik, lebih banyak mengaktifkan siswa, siswa aktif menemukan konsep, dan siswa dibimbing untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Untuk mewujudkannya diperlukanlah suatu. bahan ajar, agar siswa dapat saling bertukar ide maupun gagasan, sekaligus siswa dapat belajar saat guru tidak berada didekat siswa. Pada dasarnya matematika adalah abstrak, karena banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Sementara itu, matematika diajarkan di Indonesia sebagai suatu produk yang siap pakai. Pendekatan pembelajaran RME (Realistic Mathematics Education) memperkenalkan matematika sebagai suatu proses, jadi bukan produk jadi. Pendekatan RME menyajikan pembelajaran secara konkrit realistik sehingga mudah dipahami. Pendekatan RME menitikberatkan bahwa matematika dipahami sebagai aktivitas manusia, dengan melakukan 52
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 (doing) matematika. Pemecahan masalah kehidupan sehari-hari (masalah kontekstual) adalah bagian terpenting dari RME. Dalam RME, pemodelan merupakan salah satu karakteristik yang mempunyai peranan penting dalam membantu siswa untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Siswa berkemampuan kognitif tinggi, model konkrit mungkin membosankan, malahan model abstrak atau tanpa pemodelan siswa dapat menyelesaikan permasalahan. Tetapi, siswa berkemampuan sedang dan rendah model konkrit sangat bermanfaat sebagai alat bantu dalam menjabarkan dan memvisualisasikan masalah konteks dunia nyata dalam matematika. Berdasarkan uraian di atas, dirancang suatu bahan ajar, yang membantu siswa untuk meningkatkan gairah belajar dalam pembelajaran matematika, dan meningkatkan kompetensi dasar: membangun, menyelesaikan, dan menafsirkan model matematika dari suatu permasalahan nyata. Bahan ajar berjudul, bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME.
KAJIAN TEORI Teori advanced organizer yang dikembangkan Ausubel (1985) dalam Tian (2002) menekankan pentingnya penyajian bahan ajar yang dikaitkan dengan pengetahuan yang telah diketahui siswa. Penjelasan ini juga berkaitan dengan teori skemata yang menyatakan bahwa: belajar matematika terdiri dari kegiatan memperoleh sejumlah besar skemata, dan usaha pemecahan masalah merupakan kemampuan untuk memperoleh skemata yang relevan dengan jenis masalah yang dihadapi Bahan ajar yang berstruktur sangat terkait dengan 3 strategi pembelajaran yaitu: pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan. Bahan ajar terstruktur membantu siswa untuk dapat dengan cepat dan mudah mengakses informasi. Bahan ajar berupa buku sangat diperlukan oleh siswa untuk mengatasi kesulitan mereka dalam pembelajaran. Bahan ajar terdiri atas, bahan ajar cetak dan non cetak. Bahan ajar cetak adalah sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas yang berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi. Sekolah menggunakan bahan ajar cetak sebagai bahan utama. Bates (1995) dalam Tian (2003) menjelaskan, alasan bahan ajar cetak merupakan media utama dalam bahan ajar di sekolah, karena sampai saat ini bahan ajar cetak masih merupakan media yang paling mudah diperoleh dan lebih standar dibandingkan program komputer. Suatu bahan ajar dikatakan baik apabila valid, praktikal dan efektif. Bahan ajar dikatakan valid, apabila pakar/expert nya menyatakan layak digunakan untuk mengukur kemampuan siswa tentang hal yang diajarkan. Bahan ajar dikatakan praktikal apabila mudah digunakan oleh siswa dan guru dalam pembelajaran. Bahan ajar dikatakan efektif jika yang dapat meningkatkan kemampuan siswa tentang hal yang diajarkan. Sagala (2007) mengemukan bahwa ”Peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi melainkan juga mengarahkan dan memberikan fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai”. Ini berarti, penting sekali guru mempunyai kemampuan dalam mengorganisir aktivitas siswa dalam pembelajaran. Dunkin dan Biddle dalam Sagala (2009) mengatakan, terdapat dua kompetensi minimal yang dimiliki guru: 1) kompetensi penguasaan materi pelajaran, dan 2) kompetensi metodologi pembelajaran. Maksudnya, guru harus menguasai materi ajar dengan baik, dan menguasai metode mengajar yang tepat (metode yang dapat memudahkan siswa dalam penguasaan materi ajar yang diberikan). Model matematika telah dipelajari oleh siswa sejak mereka duduk disekolah dasar, misalnya dalam menuangkan soal-soal cerita ke dalam perumusan matematika. Dalam kehidupan sehari-hari model matematika banyak digunakan, misalnya saat mengatur strategi berbelanja dengan jumlah uang terbatas. Model matematika adalah pengabstraksian suatu masalah nyata berdasarkan asumsi tertentu ke dalam simbol-simbol matematika. Pemodelan matematika merupakan salah satu cabang ilmu matematika yang mampu memecahkan atau menjawab berbagai permasalahan dalam situasi nyata. Banyak sekali permasalahan dalam kehidupan ini yang dapat dipecahkan melalui model matematika. Dengan menggunakan model matematika permasalahan yang rumit dapat disederhanakan kedalam SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
53
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 bentuk simbol matematika, sehingga mempermudah kita menganalisis permasalahan. Secara sederhana, ide pembelajaran matematika dalam RME (Realistic Mathematics Education) adalah seperti fenomena gunung es. Agar puncak gunung es muncul di permukaan laut, diperlukan penyangga yang kokoh. Hal ini menunjukkan bahwa, agar siswa mampu menguasai konsep dan prinsip matematika yang bersifat abstrak dan deduktif (yang berada di puncak gunung es), mereka perlu dibekali dengan berbagai pengalaman yang terkait dengan realita mereka. Pengalaman belajar yang sudah dialami siswa akan menjadi penyangga, dan secara bertahap akan membawa siswa ke puncak gunung es. Prinsip proses belajar dalam RME, mendorong peran siswa dalam menggali berbagai gagasan matematika, sehingga kemampuan matematika siswa meningkat. Hal ini menyatakan RME memungkinkan siswa mengikuti kurikulum matematika yang kaya akan ide-ide matematika yang kuat. Kekuatan tersebut disebabkan oleh adanya prinsip fenomena didaktik dalam RME yang mengaitkan masalah-masalah kontekstual dengan matematika sehingga membantu siswa dalam membangun pengetahuan matematikanya (Presmeneg : 2002). Treffers (1991) menyatakan: pengetahuan matematika siswa dapat dikembangkan dari pengetahuan sehari-hari siswa. Dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari, yang merupakan masalah nyata bagi siswa, diharapkan mereka dapat diarahkan menemukan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika. Gravemeijer (1994) juga menyatakan bahwa bagian yang esensial dari belajar matematika adalah mengerjakan matematika melalui penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari. Menurut Freudenthal (2002), agar matematika bernilai bagi manusia, matematika harus dihubungkan dengan realitas, dekat dengan dunia siswa, dan relevan dengan masyarakat. Dengan demikian siswa akan mempelajari matematika jika pembelajaran matematika dimulai dari lingkungan sehari-hari siswa sehingga kesan matematika itu tidak abstrak bagi siswa. Ciri-ciri pembelajaran kontekstual (pembelajaran dengan pendekatan RME) adalah menyeimbangkan antara pematematikaan horizontal dan vertikal. Menurut Freudenthal (2002), matematisasi horizontal melibatkan gerakan dari dunia kehidupan ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal bermakna gerakan di dalam dunia simbol. De Lange (1999) mengemukakan, alasan RME potensial untuk diterapkan adalah karena proses pengembangan konsep-konsep dan ide-ide matematika dimulai dari dunia nyata, dan pada akhirnya kita juga perlu untuk merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali ke alam nyata. Dengan kata lain, proses dalam pendidikan matematika adalah: mengambil sesuatu dari dunia nyata, “mematematisasinya”, kemudian membawanya kembali ke dunia nyata. Hal ini, menyatakan, prinsip RME menyerupai prinsip pemodelan matematika.
METODE PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian pengembangan (development research). Penelitian pengembangan digunakan untuk merancang dan mengembangkan bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME, yang valid dan praktis untuk pembelajaran matematika di SMA. Bahan ajar dikembangkan dengan model 4-D (four-D models), empat tahap pengembangan: pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop) dan penyebaran (disseminate). Penelitian merupakan penelitian tahun pertama dari dua tahun yang direncanakan. Sehingga hasil penelitian dipaparkan hanya pada tahap: pendefinisian, perancangan, dan pengembangan. Penelitian meliputi: analisis kebutuhan dan merancang prototype. Penelitian diawali dengan analisis kebutuhan yang meliputi: melakukan wawancara dengan guru dan siswa (terkait kebutuhannya tentang bahan ajar model matematika), menganalisis Kurikulum Matematika, dan menganalisis buku ajar yang ada dipasaran terkait dengan bahasannya tentang pemodelan matematika. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang diperoleh, maka dirancang prototipe bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME (berbentuk buku). Validitas dari bahan ajar, dengan menggunakan validitas expert. Bahan ajar yang sudah dirancang divalidasi kepada 3 orang validator yaitu: 2 orang validator berasal dari pakar matematika (1 orang pakar pembelajaran RME ,dan 1 orang pakar pemodelan matematika), dan 54
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 1 orang pakar bahasa. Uji validitas melalui diskusi dan pemberian angket. Diskusi dilakukan terkait pada kevalidan pemaparan materi pada bahan ajar. Untuk mengetahui tingkat validitas bahan ajar, dilakukan pemberian angket pada expert. Aspek yang divalidasi pada bahan ajar yaitu aspek: didaktik, isi, bahasa dan tampilan. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan skala likert, memberi skor ( 0 = sangat tidak setuju, 1 = tidak setuju, 2 = kurang setuju, 3 = setuju, dan 4 = sangat setuju). Kemudian ditentukan nilai rata-rata hasil penilaian dari masing-masing expert. Kriteria valididitas ditentukan dengan membagi lima selang sama besar dari 0 – 4, kemudian memberi kriteria tidak valid, kurang valid, cukup valid, valid, dan sangat valid. Untuk melihat praktikalitas (keterpakaian) dari bahan ajar, prototipe bahan ajar hasil revisi dari validator expert diujicobakan pada kelompok kecil, dengan cara mengujicobakan pada siswa dan guru dari 3 SMA (masing-masing 10 orang siswa dan 1 guru dari sekolah kelompok tinggi, sedang, dan rendah). Sekolah tempat uji praktikalitas adalah: SMA 3, SMA 8, dan SMA 13 Padang. Pemilihan tingkat kelompok sekolah yang berbeda dimaksudkan untuk melihat keterpakaian bahan ajar pada kondisi yang berbeda. Kepada guru dan siswa diminta membaca dan memahami bahan ajar, setelah mereka membaca bahan ajar dalam beberapa hari selanjutnya diberikan angket uji praktikalitas. Uji Praktikalitas dalam penelitian ini dilakukan pada: expert, guru dan siswa. Angket hasil uji praktikalitas yang merupakan respon expert, guru, dan siswa diolah menggunakan skala Likert dengan bobot (4 = Sangat Setuju, 3 = Setuju, 2 = Tidak Setuju, dan 1 = Sangat Tidak Setuju). Kemudian ditentukan rata-rata persentase praktikalitas. Kriteria praktikalitas, dilakukan dengan membagi lima selang sama besar dari 0% - 100%, kemudian memberi kriteria tidak praktis, kurang praktis, cukup praktis, praktis, dan sangat praktis Untuk melihat apakah bahan ajar dapat dipahami dan disenangi oleh siswa, dilakukan wawancara untuk melihat tanggapan siswa (3 orang siswa dengan kemampuan berbeda) terhadap bahan ajar.
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil tahap Perancangan Berdasarkan hasil analisis kebutuhan (yang dilakukan melalui wawancara dengan guru dan siswa, dan analisis buku ajar yang ada dipasaran), maka perlu dibuat bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME. Bahan ajar matematika yang dibuat, dimulai dari suatu cerita yang dikenal siswa, yang kemudian menuntun siswa kedalam materi matematika, dan kemudian membuat suatu model matematika yang sesuai materi. Berikut ini diberikan contoh dalam pemaparan materi Persamaan Kuadrat. Penjelasan dimulai dengan cerita mengapa tikus selalu dikejar kucing, dimulai dari cerita legenda cina. Dari cerita kucing yang selalu mengejar tikus, dengan memberikan besar kecepatan berlari kucing dan tikus, dengan menggambarkan arah berlari kucing dan tikus (berbentuk bangun segitiga), menggunakan aturan kosinus, maka diperoleh suatu model berbentuk persamaan kuadrat. Berdasarkan model yang diperoleh, dijelaskan bentuk dan ciri suatu persamaan kuadrat. Pada permasalahan, diperlukan lama waktu yang diperlukan kucing untuk dapat menerkam tikus, hal ini membawa kita untuk mencari akar dari persamaan kuadrat yang diperoleh. Berikutnya diberikan materi yang terkait persamaan kuadrat, yang dilanjutkan dengan soal aplikasi yang menggunakan persamaan kuadrat. Pada bagian terakhir bahan ajar, siswa diajak membentuk model matematika memasukkan bola kedalam jaring permainan bola basket, dimana model matematika berbentuk persamaan kuadrat, berikut interpretasi yang dapat diberikan oleh model matematika yang terbentuk.
Warna yang dipilih untuk cover adalah perpaduan biru, abu-abu, hijau dan kuning. Perpaduan warna menimbulkan semangat, optimis dan antusias. Pemilihan warna merupakan warna-warna alami, sesuai dengan salah satu tujuan pembuatan bahan ajar adalah “membumikan matematika”. Cover bahan ajar dirancang sederhana, mencirikan matematika dengan gambar alat tulis dan beberapa bangun, dengan informasi nama penulis, judul bahan ajar, dan sasaran yaitu SMA.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
55
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 1. Cover Bahan Ajar
Pada bahan ajar diberikan juga kompetensi dasar dan pengalaman belajar yang akan diperoleh siswa. Materi pelajaran yang disajikan setiap topik pembahasan pada bahan ajar terbagi atas: 1) Realistic Mathematics Education Pada bagian ini ditampilkan beberapa cerita yang mengantar kita perlu membahas materi yang akan dipelajari. 2) Uraian Materi Berisikan uraian materi, dimana materi diuraikan dengan menggunakan model investigasi. 3) Pemodelan Matematika Bagian ini menjelaskan penggunaan materi yang dibahas, dengan membahas suatu permasalahan yang mempunyai model matematika yang sesuai dengan materi yang dibahas, dimana dibahas solusi dari permasalahan yang dibuat model matematikanya. b. Hasil tahap Validitas Selama proses validasi, dari hasil diskusi terdapat beberapa revisi yang disarankan oleh para validator Hasil diskusi yang diperoleh dengan para validator pada aspek didaktik adalah: 1) jelaskan penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran, dan 2) prinsip RME pada bahan ajar diperjelas. Pada aspek isi: 1) perhatikan aspek intertwinning antar topik, dan 2) contoh soal agar menunjukkan kearifan lokal. Saran validator pada aspek bahasa, gambar dan bahasa agar mendukung materi. Pada aspek tampilan, sebaiknya kertas kualitas bagus sehingga menambah daya tarik tampilan Berdasarkan hasil analisis dari keempat aspek penilaian validitas bahan ajar diatas maka diperoleh penilaian hasil validasi, Tabel 2. Hasil Validasi Bahan Ajar Aspek Didaktik Isi Bahasa Tampilan Rata-rata
Rata-rata Kevalidan 3,16 3,09 2,78 3,07 3,02 (valid)
c. Hasil tahap Praktikalitas Angket uji praktikalitas diberikan kepada expert, siswa dan guru. Siswa dan guru diminta untuk mengisi angket setelah membaca bahan ajar. Aspek kepraktisan yang akan diukur meliputi kemudahan siswa dan guru dalam menggunakan bahan ajar, dan tampilan bahan ajar.
56
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 3. Hasil Praktikalitas Bahan Ajar
Responden Expert Guru Siswa Rata-rata
Rata-rata Persentase Kepraktisan 75,03 89,17 80,30 81,50
Kriteria Praktis Sangat Praktis Praktis Praktis
Tanggapan guru terhadap bahan ajar adalah: 1) bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME merupakan pembumian matematika, 2) bahan ajar yang menarik, kaya dengan soal-soal aplikasi. Guru menyarankan, bahan ajar perlu dibuatkan LKS nya agar kegiatan siswa lebih terarah. Tanggapan siswa untuk bahan ajar: 1) bahan ajar yang menyenangkan, menampilkan kegunaan matematika, 2) bahan ajar yang susah dipahami (tanggapan siswa dari sekolah kelompok rendah). Disamping pemberian angket pada siswa dilakukan juga wawancara. Wawancara dilakukan untuk melihat respon siswa secara langsung, dilakukan pada tiga orang siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda: tinggi, sedang, dan rendah. Pertanyaan yang diberikan saat wawancara meliputi: pemahaman siswa terhadap bahan ajar, penjelasan permasalahan dengan model matematika, dan kesukaan siswa terhadap bahan ajar. Hasil wawancara dapat disimpulkan: bahan ajar dapat dipahami dan digunakan oleh siswa yang berkemampuan tinggi dan sedang. Sedangkan bagi siswa berkemampuan rendah membutuhkan bimbingan guru dan waktu lebih lama dalam mempelajari bahan ajar.
Kegairahan siswa dalam belajar matematika ditunjukkan oleh, saat siswa diberikan bahan ajar (siswa boleh membawa pulang bahan ajar tersebut), ternyata keesokan harinya bahan ajar sudah banyak coretan bekas membaca dan himpunan pertanyaan tentang materi. Siswa serius bertanya dan mendengar jawaban-jawaban yang diberikan. Siswa memiliki gairah belajar, gembira dan sumringah menerima materi pelajaran. Bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME, memberikan manfaat kepada guru dan siswa. Manfaat yang terlihat adalah: pembaca mendapat banyak aplikasi matematika dalam dunia nyata. Dalam hal ini, diperoleh informasi tentang suatu kesimpulan suatu permasalahan. Contoh, pada bahan ajar diberikan pemodelan matematika menentukan jarak dan kecepatan yang harus diberikan oleh pemain basket saat memasukkan bola kedalam jaring. Hal ini sangat disenangi siswa, sebab mereka melihat langsung manfaat dari matematika dalam kehidupannya. Terlihat siswa bergairah membaca bahan ajar, siswa meminta lagi bahan ajar dengan materi yang lain. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pendahuluan, perancangan dan pengembangan yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan seperti berikut:
1. Bahan Ajar Berorientasi Pemodelan Matematika Berbasis RME perlu dibuat, karena belum banyak buku-buku di pasaran yang membahas tentang hal ini. 2. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan guru dan siswa membutuhkan bahan ajar matematika berorientasi pemodelan matematika berbasis RME. 3. Bahan Ajar Berorientasi Pemodelan Matematika Berbasis RME yang dirancang, sudah valid dan praktis.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
57
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 4. Bahan Ajar Berorientasi Pemodelan Matematika Berbasis RME dapat meningkatkan gairah belajar siswa dalam pembelajaran matematika, pada kompetensi dasar membangun, menyelesaikan, dan menafsirkan model matematika dari permasalahan nyata. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dan keterbatasan pada penelitian ini disarankan: 1. Bagi guru matematika disarankan agar dapat menggunakan bahan ajar berorientasi pemodelan matematika berbasis RME dalam pembelajaran matematika. 2. Peneliti lain hendaknya dapat melakukan uji coba dan penyebaran pada skala yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA De Lang 1999, Assessment No Change Without Problems, Netherlands, Freudenthal Institute Depdiknas. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Dimyati, Mudjiono, 1994. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta Freudenthal, 2002, Didactical Phenomenology of Mathematical Structures: Dordrecht: Reidel Company Gravemeijer, 1994 Developing Realistics Mathematics Education, Utrech: Freudenthal Institute Nana, Sudjana. 2002. Penilaian Hasil dan Proses Belajar mengajar. Bandung: Remadja Rosdakarya Presmeneg, 2002. Transitions Between Context of Mathematical Practices, New York : Kluwer Academic Sagala, Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan Problematika belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta. Tian, Belawati. 2003, Pengembangan Bahan Ajar, Jakarta : UT Treffers 1991, Realistic Mathematics Education in Primary Schools, Utrecht: Freudenthal Institute.
58
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
EFEKTIVITAS MODEL JIGSAW DISERTAI PENILAIAN DISKUSI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATEMATIS MAHASISWA Sofia Edriati1), Villia Anggraini2), Mery Siska 3) 1,2,3)
STKIP PGRI Sumatera Barat [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model jigsaw dengan penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan perkuliahan konvensional yang dipengaruhi oleh peran dosen untuk meningkatkan kemampuan matematis mahasiswa pada mata kuliah Aljabar Linier Elementer. Populasi penelitian adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Aljabar Linier Elementer semester ganjil 2013/2014. Metode penelitian menggunakan pendekatan true eksperiment dengan randomized control-group pretestposttest design. Data dianalisis dengan menggunakan teknik Kruskall-Wallis dan uji . Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan matematis mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan metode konvensional yang dipengaruhi oleh peran dosen. Selain itu, kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi lebih tinggi daripada yang mengikuti perkuliahan model jigsaw tanpa penilaian diskusi dan metode konvensional. Kata Kunci: model jigsaw, penilaian diskusi, kemampuan matematis
PENDAHULUAN Menurut NCTM (2000) proses berfikir matematis dalam pembelajaran matematika meliputi lima kompetensi standar yang utama yaitu kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, kemampuan komunikasi dan kemampuan representasi. Permendiknas nomor 22 menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki pengetahuan matematika (konsep dan keterkaitan antar konsep), menggunakan penalaran, memecahkan masalah, dan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, atau diagram untuk memperjelas masalah. Matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika. Lima kompetensi standar yang dikemukakan oleh NCTM merupakan kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika. Keberhasilan akademik dan profesional mahasiswa sangat difasilitasi oleh tingkat kemampuan matematisnya. Untuk mampu memecahkan masalah, mahasiswa harus memahami konsep-konsep matematis yang terkait. Pemahaman lebih dalam terhadap konsep akan memudahkan mahasiswa dalam SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
59
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 bernalar dan memecahkan masalah. Mahasiswa harus mampu membuat dan menggunakan representasi untuk bisa mengkomunikasikan gagasan matematis. Tidak diragukan lagi bahwa kemampuan matematis berpengaruh sangat signifikan pada kinerja mahasiswa. Kemampuan matematis dapat ditumbuhkembangkan dalam proses perkuliahan yang memfasilitasi aktivitas intelektual mahasiswa. Mahasiswa perlu memiliki peluang beraktivitas yang cukup untuk mengkonstruksi dan mengeksplorasi pengetahuan sehingga konsep-konsep matematika dapat dipahami dengan baik. Silver dan Smith (1996: 20) mengatakan bahwa salah satu peran dan tugas pendidik dalam pembelajaran sekarang dan masa yang akan datang adalah mengatur aktivitas intelektual peserta didik dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi. Dengan demikian, dosen perlu memilih model pembelajaran yang sesuai dan dapat memfasilitasi aktivitas intelektual mahasiswa sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat memfasilitasi aktivitas diskusi dan komunikasi mahasiswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Model pembelajaran ini lebih menekankan pada keaktifan mahasiswa dalam proses perkuliahan. Mahasiswa diharapkan berperan aktif dalam memperoleh pengetahuan. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitikberatkan pada kerja mahasiswa dalam bentuk kelompok kecil. Mahasiswa bekerja sama saling ketergantungan dalam kelompok heterogen yang terdiri dari empat sampai enam orang anggota dan bertanggung jawab secara mandiri (Lie, 2007). Suatu bentuk penilaian juga perlu dilakukan untuk menilai aktivitas mahasiswa selama proses perkuliahan berlangsung. Penilaian dapat disesuaikan dengan aktivitas yang dilakukan mahasiswa seperti diskusi kelompok. Penilaian diskusi merupakan salah satu penilaian proses yang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara langsung yang menuntut mahasiswa untuk berunjuk kerja dalam situasi yang konkret dan bermakna yang sekaligus mencerminkan penguasaan mahasiswa terhadap materi pembelajaran (Nurgiyantoro, 2008: 254). Penilaian ini menekankan pada kesiapan untuk mengikuti diskusi dan capaian untuk menunjukkan kinerja selama kegiatan diskusi tersebut. Penilaian ini merupakan perangkat yang sangat efektif dalam mengevaluasi apakah mahasiswa telah melaksanakan diskusi dengan baik dan apakah mereka masih butuh peningkatan dan penambahan dalam pemahaman matematika. Penilaian diskusi difokuskan pada aspek partisipasi, kontribusi, saling menghargai dan percaya diri. Penilaian dilakukan terhadap keempat aspek tersebut untuk melihat keterlibatan mahasiswa dalam diskusi kelompok yang dilaksanakan sesuai dengan sintak pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Penelitian ini mengkaji beberapa permasalahan sebagai berikut. Pertama, apakah terdapat perbedaan kemampuan matematis mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan perkuliahan konvensional yang dipengaruhi oleh peran dosen? Kedua, apakah kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi lebih tinggi daripada yang mengikuti perkuliahan model jigsaw tanpa penilaian diskusi dan metode konvensional? Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan matematis mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan perkuliahan konvensional yang dipengaruhi oleh peran dosen. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi lebih tinggi daripada yang mengikuti perkuliahan model jigsaw tanpa penilaian diskusi dan metode konvensional. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para dosen sebagai alternatif model perkuliahan dan alternatif evaluasi proses perkuliahan yang dapat diterapkan dalam berbagai mata kuliah. Penilaian alternatif yang digunakan juga dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk membangkitkan motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan. Selain itu, dapat 60
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dijadikan sebagai pertimbangan dalam peningkatan mutu perkuliahan yang lebih tepat sasaran, serta dapat juga digunakan sebagai pertimbangan dalam perencanaan perkuliahan yang lebih kreatif dan inovatif sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian true eksperiment dengan Randomized Control-Group Pretest-Posttest Design. Sesuai dengan permasalahan penelitian, rancangan ini diperluas untuk dua variabel bebas seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Rancangan Penelitian Kelas Sampel Tes Awal Perlakuan Eksperimen 1 T1 Xa Eksperimen 2 T1 Xb Kontrol T1 Sumber: Suryabrata (2004: 106) Keterangan: Xa : pembelajaran model jigsaw dengan penilaian diskusi Xb : pembelajaran model jigsaw tanpa penilaian diskusi
Tes Akhir T2 T2 T2
Randomized (randomisasi) merupakan prosedur memasukkan secara acak subyek ke dalam sampel penelitian sehingga kelompok sampel dapat diasumsikan homogen sebelum diberi perlakuan. Apabila secara statistik dapat diasumsikan bahwa sebelum perlakuan, populasi penelitian memiliki kesamaan rata-rata IPK (homogen) maka subyek dapat dimasukkan secara acak ke dalam sampel penelitian. Dengan memasukkan subjek secara acak ke dalam kelompok sampel, maka bila terjadi perbedaan antara kelompok sampel setelah perlakuan, dapat dipastikan bahwa perbedaan tersebut disebabkan oleh perlakuan yang diberikan. Penelitian dilakukan di STKIP PGRI Sumatera Barat dengan populasi mahasiswa PSPM yang mengikuti perkuliahan Aljabar Linier Elementer semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014. Secara statistik, populasi memenuhi asumsi kesamaan rata-rata sehingga subyek dapat dimasukkan secara acak ke dalam sampel penelitian. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi, soal kuis, soal tes awal, dan soal tes akhir. Lembar observasi digunakan untuk memperoleh data nilai diskusi. Nilai diskusi dihitung berdasarkan skala yang diperoleh mahasiswa untuk setiap butir pengamatan. Tes akhir dianalisis menggunakan teknik Kruskall-Wallis untuk melihat perbedaan kemampuan matematis. Uji digunakan untuk mengetahui model perkuliahan yang lebih baik dari ketiga model tersebut. Uji merupakan uji mengenai nilai tengah untuk ragam yang tidak sama. HASIL DAN PEMBAHASAN Skor diskusi diperoleh dengan menjumlahkan perolehan skor setiap item pengamatan. Level diberikan berdasarkan skor yang diperoleh. Tabel berikut memperlihatkan jumlah mahasiswa berdasarkan level yang diperoleh. Tabel 2. Jumlah Mahasiswa Setiap Level Skor Diskusi Skor Diskusi
Level 3 2 1
Jumlah Mahasiswa 21 10 0
Berdasarkan perolehan skor diskusi, mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi dapat dikategorikan berpartisipasi dan berkontribusi serta menghargai SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
61
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 pendapat peserta lain. Pada pertemuan pertama, masih banyak yang kurang percaya diri, sehingga kurang memberikan kontribusi dalam kegiatan diskusi. Akan tetapi, pada pertemuan selanjutnya, mulai tumbuh kepercayaan diri dalam mengemukakan pendapatnya sehingga diskusi dalam kelompok ahli dan kelompok asal berlangsung cukup hangat. Hasil pengujian menggunakan teknik Kruskal-Wallis diperoleh nilai . Pada tabel Khi-Kuadrat diperoleh nilai dengan dan . Dapat disimpulkan bahwa . Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan matematis mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan dengan metode konvensional. Hasil uji t untuk ragam tidak sama (uji ) menunjukkan bahwa kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi lebih tinggi daripada yang menggunakan model jigsaw tanpa penilaian diskusi dan metode konvensional. Data hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Uji Kemampuan Matematis Mahasiswa Menggunakan Uji Kelompok Sampel t0,05 t0,01 Eksperimen 1 dan Eksperimen 2 2,27 1,645 2,326 Eksperimen 1 dan Kontrol 3,17 1,645 2,326 Eksperimen 2 dan Kontrol 0,81 1,645 2,326 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa untuk kelompok eksperimen 1 dan eksperimen 2. Keputusan hasil pengujian adalah tolak pada taraf nyata tetapi tidak pada taraf nyata . Pada hakikatnya, ini berarti bahwa model jigsaw disertai penilaian diskusi kemungkinan besar memang lebih baik daripada yang tanpa penilaian diskusi, tetapi perbedaannya tidak cukup besar untuk mengimbangi pelaksanaan perkuliahan model jigsaw yang dilakukan tanpa penilaian diskusi. Hasil perhitungan untuk kelompok eksperimen 1 dan kontrol diperoleh lebih dari dan , keputusannya adalah tolak pada taraf nyata dan juga pada taraf nyata . Disimpulkan bahwa model jigsaw dengan penilaian diskusi lebih baik daripada metode konvensional. Hasil yang diperoleh untuk kelompok eksperimen 2 dan kontrol adalah kurang dari dan . Keputusannya adalah terima pada taraf nyata dan juga pada taraf nyata dan disimpulkan bahwa model jigsaw tanpa penilaian diskusi tidak lebih baik dari pada metode konvensional. Perubahan nilai dari tes awal ke tes akhir di kelompok eksperimen 1 dan eksperimen 2 mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Nilai setiap mahasiswa mengalami peningkatan. Akan tetapi, berbeda dengan hasil yang diperoleh di kelas kontrol. Perubahan yang terjadi tidak cukup signifikan karena 6 dari 27 mahasiswa mengalami penurunan nilai tes akhir dari tes awal. Grafik berikut menggambarkan kemampuan matematis mahasiswa dari tes awal dan tes akhir yang diujikan di ketiga kelompok sampel.
62
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 1. Grafik Nilai Tes Awal Mahasiswa yang Mengikuti Perkuliahan Model Jigsaw disertai Penilaian Diskusi, Tanpa Penilaian Diskusi, dan Metode Konvensional
Gambar 2. Grafik Nilai Tes Akhir Mahasiswa yang Mengikuti Perkuliahan Model Jigsaw disertai Penilaian Diskusi, Tanpa Penilaian Diskusi, dan Metode Konvensional
Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi dan tanpa penilaian diskusi sejak awal sudah dihadapkan dengan tanggung jawab untuk bekerjasama saling ketergantungan dalam memahami materi perkuliahan. Mahasiswa mendiskusikan materi yang sama dalam kelompok ahli sehingga mereka betul-betul memahami dan mampu menjadi ahli dalam bidang kajian masing-masing. Pada saat berdiskusi dalam kelompok asal setiap ahli berkumpul kembali dan dengan keahlian masing-masing setiap mahasiswa dituntut untuk mendemonstrasikan dan berbagi dengan anggota kelompok yang lain sehingga setiap anggota kelompok asal dapat memahami semua bidang keahlian. Salah satu temuan pada penelitian ini adalah terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi dan tanpa penilaian diskusi berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa tipe jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar karena mahasiswa bekerjasama dalam kelompok, saling berdiskusi untuk mendalami materi kuliah sehingga mempengaruhi prestasi belajarnya (Saguni, 2013: 214). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan melatih keterampilan sosial mahasiswa, kemampuan komunikasi, kerja sama dan meningkatkan rasa tanggung jawab mahasiswa terhadap tugas (Sukarta dan Gunamantha, 2012: 140). Penerapan model jigsaw menumbuhkan rasa tanggung jawab mahasiswa untuk belajar lebih giat. Mahasiswa yang tergolong pandai dapat memperluas pemahaman dengan menjelaskan materi pada mahasiswa lain. Mahasiswa yang tergolong kurang pandai berusaha lebih keras karena harus mengajarkan materi kepada anggota lainnya. Darnon, Buchs, dan Desbar (2012) menemukan bahwa penerapan pendekatan jigsaw dalam kelas dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas pengalaman belajar peserta didik. Mengduo dan Xiaoling di Harbin Institute of Technology (2010: 119) menemukan bahwa sebagian besar peserta didik lebih percaya diri dalam keterampilan interpersonal mereka setelah pembelajaran jigsaw dan 67% mengakui bahwa diskusi sangat diperlukan. Mengduo dan Xialing (2010: 122), juga SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
63
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 menyatakan bahwa strategi jigsaw merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan partisipasi peserta didik dan antusiasme serta teknik yang berguna untuk fokus dalam menyelesaikan tugastugas pembelajaran. Temuan lain pada penelitian ini adalah bahwa kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw lebih tinggi daripada yang mengikuti perkuliahan model jigsaw tanpa penilaian diskusi dan metode konvensional. Perbedaan hasil yang diperoleh pada kelompok jigsaw disertai penilaian diskusi dengan yang tanpa penilaian diskusi diperkirakan karena pengaruh penilaian diskusi. Sebagaimana yang ditemukan oleh Aima dan Sofia (2012) bahwa penilaian diskusi memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kemampuan matematis mahasiswa dalam perkuliahan menggunakan model jigsaw. Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw disertai penilaian diskusi dihadapkan pada penilaian partisipasi dan kontribusi dalam berdiskusi di kelompok ahli dan kelompok asal. Penilaian diskusi yang dilakukan dapat memotivasi mahasiswa agar berusaha memahami konsep dan belajar mengkomunikasikan konsep-konsep tersebut sehingga mereka bisa turut berpartisipasi. Mahasiswa juga memiliki kepercayaan diri dalam mengemukakan ide dan pendapatnya. Berbeda dengan kelompok jigsaw tanpa penilaian diskusi. Mahasiswa sibuk mencatat penjelasan beberapa mahasiswa yang tergolong pandai pada saat diskusi kelompok ahli. Ketika berada dalam kelompok asal, mahasiswa juga sibuk menyalin catatan “si ahli”. Dengan berdiskusi, sebenarnya mahasiswa diharapkan dapat memperluas pemahaman terhadap materi. Akan tetapi, mahasiswa tidak memahami manfaat dalam berdiskusi. Mereka hanya mengandalkan catatan padahal setiap mahasiswa sudah dilengkapi dengan bahan ajar. Temuan di atas merujuk pada hasil penelitian Hertiavi, Langlang, dan Khanafiyah (2010) yang menemukan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, pendidik hendaknya lebih terampil untuk mengorganisasikan peserta didik saat pembentukan kelompok dan diskusi agar waktu untuk pembelajaran lebih efektif. Pendidik juga perlu lebih mensosialisasikan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw agar peserta didik tidak kesulitan dalam mengikuti serta mengerjakan tugas-tugasnya dan tidak menghambat proses pembelajaran. Chan (2004) juga menemukan bahwa untuk keberhasilan pelaksanaan jigsaw, guru harus terampil menangani participants'requests (misalnya pengelompokan) dan bisa memastikan peserta memiliki pemahaman yang jelas dari setiap langkah metode ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan metode konvensional lebih rendah daripada yang mengikuti model jigsaw disertai penilaian diskusi dan tanpa penilaian diskusi. Berdasarkan hasil pengamatan di kelas kontrol, mahasiswa cukup antusias dalam mengikuti perkuliahan. Mereka cukup mampu merespon setiap kegiatan dan pertanyaan yang diajukan. Terlihat bahwa mahasiswa melakukan aktivitas seperti memperhatikan penyampaian materi dari dosen, membaca buku atau bahan ajar yang disediakan. Akan tetapi, aktivitas tersebut belum bisa memfasilitasi mahasiswa dalam membangun pemahaman terhadap materi yang dipelajari. Sesuai dengan yang ditemukan oleh Saguni (2013: 214) bahwa metode konvensional kurang mengaktifkan mahasiswa dalam membangun pemahaman terhadap materi yang dipelajari. Beberapa penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa model jigsaw dapat meningkatkan
prestasi akademik siswa dan berkontribusi terhadap penghapusan kesalahan konseptual dan kekurangan informasi (Turaçoğlu, Alpat, dan Ellez, 2013: 268). Penggunaan model jigsaw dianggap mampu meningkatkan prestasi belajar mahasiswa. Model jigsaw mampu meningkatkan tanggung jawab dan saling ketergantungan dalam kelompok. Pada perkuliahan yang menerapkan model jigsaw, mahasiswa tidak hanya menerima saja transfer ilmu dari dosen, tetapi mahasiswa bisa membangun pemahaman terhadap 64
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 materi perkuliahan bersama anggota kelompok. Penilaian kegiatan diskusi bisa menjadi salah satu cara bagi dosen dalam memotivasi mahasiswa dan meningkatkan partisipasi serta antusiasme mahasiswa dalam berdiskusi.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, terdapat perbedaan kemampuan matematis mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan perkuliahan konvensional yang dipengaruhi oleh peran dosen. Selain itu, kemampuan matematis mahasiswa yang mengikuti perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi lebih tinggi daripada yang mengikuti perkuliahan model jigsaw tanpa penilaian diskusi dan perkuliahan konvensional. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa saran yaitu: penilaian diskusi perlu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan antusiasme peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Holliday (2002) bahwa kerja kelompok dalam kelompok ahli dan kelompok jigsaw perlu dinilai untuk menjamin partisipasi semua orang. Dalam penerapan model jigsaw, mahasiswa perlu dimotivasi dan diberikan pemahaman yang baik sehingga mahasiswa benar-benar memahami manfaat berdiskusi. Dengan demikian, penerapan model jigsaw dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA Aima, Zulfitri dan Sofia Edriati. (2012). “Pengaruh Penilaian Diskusi dan Presentasi dalam Perkuliahan Model Jigsaw terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa STKIP-PGRI Sumatera Barat”. Laporan Penelitian Pemula. Padang: STKIP-PGRI Sumatera Barat. Arends, Richard I. (1997). Learning to Teach (Fourth Edition). New York: McGraw-hill. Chan, Kam-Wing. (2004). “Using Jigsaw II’ in teacher Education Programmes”. Hong Kong Teachers’ Centre Journal, 3: 91-97. Darnon, Céline, Céline Buchs, dan Delphine Desbar. (2012). “The Jigsaw Technique and selfefficacy of vocational training students: a practice report”. European Journal of Psychology of Education, 27 (3): 439-449. Hertiavi, Langlang, dan Khanafiyah. (2010). “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP”. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 6: 53-57. Holliday, D.C. (2002). Jigsaw IV: Using Student/Teacher Concerns to Improve Jigsaw III. ERIC ED 465687. Lie, Anita. (2007). Cooperative Learning: Mempraktekkan Kooperatif Learning di Ruangruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Mengduo, Qiao dan Jin Xiaoling. (2010). “Jigsaw Strategy as a Cooperative Learning Technique: Focusing on the Laguage Learners”. Chinese journal of Applied Linguistics (Bimonthly), 33 (4): 113-125. NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. NCTM: Reston VA.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
65
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nurgiyantoro, Burhan. (2008). ”Penilaian Otentik”. Cakrawala Pendidikan, XXVII (3): 250261. Saguni, Fatimah. (2013). “Efektivitas Metode Problem Based Learning, Cooperative Learning Tipe Jigsaw, dan Ceramah sebagai Problem Solving dalam Mata Kuliah Perencanaan Pembelajaran”. Cakrawala Pendidikan, XXXII (2): 207-219. Silver, E.A. & Smith, M.S. (1996). "Building Discourse Communities in Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey”. In P.c. Elliott, dan M.J. Kenney. (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond.Reston, V A: NCTM. Sukarta, I Nyoman dan I Made Gunamantha. (2012). “Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Mata Kuliah Teknologi Air dan Pengolahan Limbah Industri”. Cakrawala Pendidikan, XXXI (1): 129-142. Suryabrata, Sumadi. (2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Stockdale, S.L dan Williams, R.L. (2004). “Cooperative Learning Groups at the College Level: Differential Effects on High, Average, and Low Exam Performers”. Journal of Behavioral Education, 13 (1): 21-30. Turaçoğlu, Alpat, dan Ellez. (2013). “Effects of Jigsaw on Teaching Chemical Nomenclature”. Education and science, 38 (167): 256-272.
66
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
ANALISIS PERAN DOSEN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATEMATIS MAHASISWA PADA PERKULIAHAN MODEL JIGSAW DISERTAI PENILAIAN DISKUSI Mery Siska 1), Sofia Edriati 2), Villia Anggraini 3) 1,2,3)
STKIP PGRI Sumatera Barat [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh peran dosen dalam menciptakan iklim belajar terhadap kemampuan matematis mahasiswa pada perkuliahan yang menerapkan model jigsaw disertai penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan metode konvensional. Populasi penelitian adalah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Aljabar Linier Elementer semester ganjil 2013/2014. Metode penelitian adalah pendekatan true eksperiment dengan randomized control-group pretest-posttest design. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian dosen, tes awal, dan tes akhir. Data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran dosen dalam perkuliahan menggunakan model jigsaw dengan penilaian diskusi dan tanpa penilaian diskusi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemampuan matematis mahasiswa, akan tetapi pengaruh peran dosen tidak signifikan terhadap kemampuan matematis mahasiswa pada perkuliahan konvensional. Kata Kunci: peran dosen, model jigsaw, penilaian diskusi, kemampuan matematis
PENDAHULUAN Salah satu peran dan tugas dosen dalam perkuliahan adalah memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Rusman, 2011: 133). Dalam memilih model pembelajaran, dosen harus mempertimbangkan apakah model pembelajaran yang digunakan memiliki nilai efektivitas dan efisiensi, serta apakah cukup dengan hanya satu model saja. Dosen juga perlu mempertimbangkan tingkat kematangan, minat, dan gaya belajar mahasiswa. Oleh karena itu, pemilihan model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk meningkatkan kemampuan matematis mahasiswa sangat ditentukan oleh peran dosen dalam menciptakan iklim belajar. Silver dan Smith (1997: 4) mengatakan bahwa salah satu peran dan tugas dosen dalam pembelajaran sekarang dan masa yang akan datang adalah mengatur aktivitas intelektual mahasiswa dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi. Salah satu model pembelajaran yang memfasilitasi aktivitas diskusi dan komunikasi mahasiswa dalam perkuliahan adalah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
67
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebuah model belajar koperatif yag menitikberatkan pada kerja kelompok mahasiswa dalam bentuk kelompok kecil. Mahasiswa bekerja sama saling ketergantungan dalam kelompok heterogen yang terdiri dari empat sampai enam orang anggota dan bertanggung jawab secara mandiri (Lie dalam Rusman, 2011: 218). Pembelajaran kooperatif model jigsaw disebut juga pembelajaran tim ahli, karena setiap kelompok diberikan permasalahan yang berbeda. Setiap anggota dalam kelompok yang berbeda membahas materi yang sama atau disebut juga tim ahli. Selanjutnya tim ahli harus menjelaskan hasil diskusi di kelompok asal. Setelah diskusi selesai, setiap mahasiswa dikenai tagihan berupa kuis individu sebagai evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan. Aktivitas diskusi kelompok pada penelitian ini dilakukan penilaian yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan antusiasme peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Penilaian ini menekankan pada kesiapan untuk mengikuti diskusi dan capaian untuk menunjukkan kinerja selama kegiatan diskusi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, peran guru atau dosen sangatlah menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Jika guru atau dosen dapat mengelola kegiatan pembelajaran dengan baik akan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Jadi, peran dosen dalam menciptakan iklim belajar seyogyanya dapat mempengaruhi kemampuan matematis mahasiswa. Peran dosen dapat diamati melalui observasi kelas dengan format lembar observasi sebagai berikut. Tabel 1. Rubrik Peran Dosen dalam Perkuliahan BOBOT 3
LEVEL Sangat Baik
DESKRIPSI /GAMBARAN mengatur alokasi waktu untuk setiap kegiatan dalam kelas dengan sangat baik mampu memotivasi mahasiswa dengan berbagai cara yang sangat menarik membimbing kegiatan diskusi kelas dengan sangat baik selalu mengetahui mana mahasiswa yang membutuhkan bimbingan lebih mampu menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti mampu mengajukan pertanyaan dan memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan mahasiswa mampu membuat dan menggunakan alat peraga yang membantu proses pembelajaran
BOBOT 2
LEVEL Baik
DESKRIPSI /GAMBARAN mengatur alokasi waktu untuk setiap kegiatan dalam kelas dengan baik mampu memotivasi mahasiswa dengan berbagai cara yang cukup menarik membimbing kegiatan diskusi kelas dengan baik tahu mana mahasiswa yang membutuhkan bimbingan lebih cukup baik dalam menggunakan bahasa yang sederhana dan cukup mudah dimengerti cukup baik dalam mengajukan pertanyaan dan memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan mahasiswa cukup mampu membuat dan menggunakan alat peraga yang membantu proses pembelajaran
68
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 1
Kurang Baik
kurang tepat dalam mengatur alokasi waktu untuk setiap kegiatan di kelas kurang mampu memotivasi mahasiswa kurang mampu membimbing kegiatan diskusi kelas kurang memperhatikan mahasiswa yang membutuhkan bimbingan lebih kurang mampu menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti kurang mampu mengajukan pertanyaan dan memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan mahasiswa kurang mampu membuat dan menggunakan alat peraga yang membantu proses pembelajaran
Satu dari beberapa ide dan gagasan yang diterima dalam komunitas pendidikan matematika adalah ide bahwa peserta didik harus memahami matematika. Pembelajaran dengan pemahaman sering menjadi bahan kajian yang sangat luas dan mendalam dalam riset pendidikan matematika. Hampir semua teori belajar menjadikan pemahaman sebagai tujuan dari proses pembelajaran. Hiebert dan Carpenter dalam Dahlan (2004: 8) menyebutkan bahwa pemahaman merupakan aspek fundamental dalam pembelajaran, sehingga model pembelajaran harus menyertakan hal pokok dari pemahaman. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka pemahaman secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Pemahaman yang meliputi perhitungan rutin, algoritmik, dan menerapkan rumus pada kasus serupa (pemahaman induktif), 2) Pemahaman yang meliputi pembuktian kebenaran, mengkaitkan satu konsep dengan konsep lainnya, mengerjakan kegiatan matematik secara sadar, dan memperkirakan kebenaran tanpa ragu (pemahaman intuitif). Penilaian kemampuan matematis mahasiswa pada penelitian ini dilakukan secara holistik. Pedoman penilaian kemampuan matematis mahasiswa menggunakan format rubrik holistik yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 2. Rubrik Holistik Penilaian Kemampuan Matematis Skala 3
2
1
0
Indikator Kemampuan Matematis Jawaban yang diberikan menunjukkan pemahaman yang lengkap terhadap konsepkonsep matematis. mengeksekusi prosedur secara lengkap dan memberikan jawaban yang benar dan jelas. Membuat rincian penjelasan yang efektif bagaimana soal tersebut diselesaikan sehingga pembaca tidak perlu menyimpulkan bagaimana dan mengapa keputusan dibuat. menunjukkan pemahaman yang hampir lengkap terhadap konsep-konsep matematis. mengeksekusi hampir semua prosedur dan memberikan jawaban yang benar untuk sebagian besar tugas. Jawaban dapat memiliki kesalahan kecil. Rincian penyelesaian soal yang tidak terlalu jelas memungkinkan pembaca membuat beberapa kesimpulan. menunjukkan pemahaman yang terbatas terhadap konsep-konsep matematis. Jawaban dan prosedur tidak lengkap dan/atau mengandung kesalahan besar. Penjelasan yang kurang lengkap tentang penyelesaian soal menyulitkan pembaca dalam memahami bagaimana dan mengapa keputusan dibuat. menunjukkan ketidak-pahaman terhadap konsep-konsep matematis. Prosedur, jika ada, mengandung kesalahan besar. Tidak ada penjelasan dari solusi atau pembaca mungkin tidak mampu memahami penjelasan. Pembaca mungkin tidak dapat memahami bagaimana dan mengapa keputusan dibuat.
Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah apakah peran dosen berpengaruh terhadap kemampuan matematis mahasiswa dalam perkuliahan Aljabar Linier Elementer yang menerapkan model jigsaw disertai penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan metode konvensional.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
69
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan kontribusi dan meningkatkan mutu dan kemampuan mengajar dosen serta prestasi belajar mahasiswa. secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peran dosen dalam perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi, tanpa penilaian diskusi, dan perkuliahan konvensional berpengaruh terhadap kemampuan matematis mahasiswa. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para dosen dan praktisi pendidikan sebagai pertimbangan dalam peningkatan mutu perkuliahan, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian true eksperiment dengan Randomized Control-Group Pretest-Posttest Design. Sesuai dengan permasalahan penelitian, rancangan ini diperluas untuk dua variabel bebas seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Rancangan Penelitian Kelas Sampel Tes Awal Perlakuan Eksperimen 1 T1 Xa Eksperimen 2 T1 Xb Kontrol T1 Sumber: Suryabrata (2004: 106) Keterangan: Xa : pembelajaran model jigsaw dengan penilaian diskusi Xb : pembelajaran model jigsaw tanpa penilaian diskusi
Tes Akhir T2 T2 T2
Randomized (randomisasi) merupakan prosedur memasukkan secara acak subyek ke dalam sampel penelitian sehingga kelompok sampel dapat diasumsikan homogen sebelum diberi perlakuan. Apabila secara statistik dapat diasumsikan bahwa sebelum perlakuan, populasi penelitian memiliki kesamaan rata-rata IPK (homogen) maka subyek dapat dimasukkan secara acak ke dalam sampel penelitian. Dengan memasukkan subjek secara acak ke dalam kelompok sampel, maka bila terjadi perbedaan antara kelompok sampel setelah perlakuan, dapat dipastikan bahwa perbedaan tersebut disebabkan oleh perlakuan yang diberikan. Penelitian dilakukan di STKIP PGRI Sumatera Barat dengan populasi mahasiswa PSPM yang mengikuti perkuliahan Aljabar Linier Elementer semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014. Secara statistik, populasi memenuhi asumsi kesamaan rata-rata sehingga subyek dapat dimasukkan secara acak ke dalam sampel penelitian. Instrumen yang digunakan adalah lembar penilaian peran dosen dalam perkuliahan, soal tes awal, dan soal tes akhir. Tes yang digunakan berbentuk esai dan materi yang diujikan sesuai dengan materi perkuliahan selama penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui penilaian dan tes. Penilaian dilakukan oleh mahasiswa dengan cara mengisi lembar penilaian peran dosen dalam perkuliahan. Penilaian menggunakan skala 3 (1-3). Skala 1 untuk penilaian yang kurang, skala 2 untuk cukup, dan skala 3 untuk kriteria baik. Tes diberikan pada sampel penelitian sebelum dan setelah pemberian perlakuan untuk memperoleh data kemampuan matematis mahasiswa. Data penelitian dianalisis meggunakan analisis regresi sederhana apabila data yang diperoleh memenuhi asumsi kenormalan. Menurut Iriawan (2006: 202) bentuk model analisis regresi sederhana tersebut adalah sebagai berikut:
70
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Keterangan: = koefisen regresi = galat regresi y = skor tes akhir x = skor peran dosen dalam menciptakan iklim belajar Model regresi tersebut dapat diduga dengan persamaan: dengan:
dan
,
.
Untuk menentukan apakah ada atau tidak hubungan linier antara peubah x mempengaruhi peubah y, dengan hipotesis statistik: ada salah satu parameter model parameter model tidak nol
bernilai nol
Hipotesis nol berarti model yang dibuat tidak sesuai dengan data. Sebaliknya hipotesis alternatif berarti model yang dibuat sesuai dengan data. H0 diterima apabila Fhitung < Ftabel, dengan interpretasi bahwa tidak terdapat pengaruh peubah x terhadap peubah y. Jika sebaliknya, maka dapat diinterpretasikan bahwa terdapat pengaruh peubah x terhadap peubah y. Dugaan bahwa terdapat pengaruh variabel x terhadap variabel y perlu diuji secara statistik dengan menggunakan statistik t. hipotesis yang diajukan adalah:
Dugaan awal pada hipotesis adalah bahwa parameter tidak ada dalam model regresi dan dugaan alternatifnya adalah parameter ada dalam model. Kriteria penolakan adalah apabila dengan derajat bebas . Dalam hal ini n adalah banyaknya pengamatan dan k adalah banyaknya parameter. Untuk menentukan ukuran kecocokan model dengan data digunakan interpretasi nilai koefisien determinasi (R2) yang didefinisikan dengan:
Koefisien korelasi merupakan akar kuadrat dari koefisien determinasi. Nilai r menyatakan hubungan linier antara variabel x dan y. Nilai r berkisar antara 0 sampai 1, dimana semakin dekat r dengan 1 makin baik kecocokan model dengan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian terhadap peran dosen menggunakan skala 3 dengan 7 aspek yang dinilai. Data perolehan skor peran dosen dalam menciptakan iklim belajar di ketiga kelas sampel disajikan pada grafik berikut.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
71
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Grafik 1. Rata-rata Skor Peran Dosen dalam Menciptakan Iklim Belajar pada Kelas Sampel
Beberapa mahasiswa menilai dosen kurang dalam membuat dan menggunakan alat peraga (aspek nomor 7) tetapi sangat baik dalam memotivasi mahasiswa dengan cara yang menarik (2). Dosen juga dinilai mampu mengatur alokasi waktu perkuliahan (1), mampu membimbing kegiatan diskusi kelas (3), dan bisa menggunakan bahasa yang sederhana (5), serta mampu mengajukan dan merespon pertanyaan dengan baik (6). Mahasiswa di kelas eksperimen 1 menilai dosen mampu untuk mengetahui mahasiswa yang membutuhkan bimbingan lebih (4), tetapi beberapa mahasiswa di kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol menilai kurang mampu untuk aspek tersebut. Data peran dosen dan hasil belajar mahasiswa dianalisis menggunakan program Minitab. Hasil analisis regresi sederhana untuk melihat pengaruh peran dosen dalam menciptakan iklim belajar dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Analisis Regresi Sederhana Pengaruh Peran Dosen dalam Menciptakan Iklim Belajar Sampel Eksperimen 1 Eksperimen 2 Kontrol
Model Regresi
MSE 70,1 93,3 188,3
F 19,89 26,48 3,23
t 4,46 5,15 1,80
r 0,64 0,72 0,34
Mean Square Error (MSE) merupakan nilai variansi dari variabel y. nilai MSE yang diperoleh di kelas eksperimen 1 adalah 70,1. Jadi nilai standar deviasi model adalah: . Nilai 8, 37 berarti bahwa sebagian besar skor dosen yang diberikan mahasiswa jatuh di sekitar . Uji kesesuaian model dengan data diperiksa dari nilai statistik F. daerah penolakannya adalah . Level toleransi atau taraf nyata yang dipakai adalah 0,05. Nilai yang diperoleh adalah sebesar 19,89. Pada tabel (Walpole, 1993: 473) dapat dilihat, . Nilai yang diperoleh jatuh di daerah penolakan. Hasil ini menunjukkan bahwa model regresi linier sederhana di atas telah mewakili data yang ada. Hubungan peran dosen dalam perkuliahan dengan kemampuan matematis mahasiswa dapat dilihat dari nilai t yang diperoleh. Statistik t untuk peran dosen adalah 4,46. Dari tabel distribusi t (Walpole, 1993: 471), diketahui bahwa . Nilai t yang diperoleh jatuh di daerah penolakan pada level toleransi 0,05. Oleh karena itu, dugaan adanya pengaruh peran 72
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dosen dalam menciptakan iklim belajar terhadap kemampuan matematis mahasiswa bisa diterima. Koefisien korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara peran dosen dalam perkuliahan dengan kemampuan matematis mahasiswa. Nilai MSE yang diperoleh di kelas eksperimen 2 adalah 93,3. Jadi nilai standar deviasi model adalah: . Nilai berarti bahwa sebagian besar skor dosen yang diberikan mahasiswa jatuh di sekitar . Nilai yang diperoleh adalah sebesar 26,48. Pada tabel dapat dilihat, . Nilai yang diperoleh jatuh di daerah penolakan. Hasil ini menunjukkan bahwa model regresi linier sederhana di atas telah mewakili data yang ada. Berdasarkan tabel distribusi t, diketahui bahwa . Nilai t yang diperoleh jatuh di daerah penolakan pada level toleransi 0,05. Oleh karena itu, dugaan adanya pengaruh peran dosen dalam menciptakan iklim belajar terhadap kemampuan matematis mahasiswa bisa diterima. Koefisien korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara peran dosen dalam perkuliahan dengan kemampuan matematis mahasiswa. Nilai MSE yang diperoleh di kelas kontrol adalah 188,3. Jadi nilai standar deviasi model adalah: 13,7. Nilai 13,7 berarti bahwa sebagian besar skor dosen yang diberikan mahasiswa jatuh di sekitar . Nilai yang diperoleh adalah sebesar 3,23. Pada tabel dapat dilihat, . Nilai yang diperoleh jatuh di luar daerah penolakan. Hasil ini menunjukkan bahwa model regresi linier sederhana di atas tidak mewakili data yang ada. Statistik t untuk peran dosen adalah 1,80. Dari tabel distribusi t, diketahui bahwa . Nilai t yang diperoleh jatuh di daerah penolakan pada level toleransi 0,05. Oleh karena itu, dugaan adanya pengaruh peran dosen dalam menciptakan iklim belajar terhadap kemampuan matematis mahasiswa bisa diterima. Koefisien korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran dosen dalam perkuliahan dengan kemampuan matematis mahasiswa tetapi tidak cukup kuat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran dosen dalam perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi dan tanpa penilaian diskusi cukup mempengaruhi kemampuan matematis mahasiswa. Pelaksanaan perkuliahan pada kelas jigsaw terorganisasi dengan baik. Sejak awal mahasiswa sudah dilibatkan secara aktif dalam diskusi kelompok ahli, kemudian dilanjutkan lagi dalam diskusi kelompok asal. Temuan ini didukung oleh Chan (2004) yang menemukan bahwa untuk keberhasilan pelaksanaan Jigsaw, pendidik harus terampil menangani participants'requests (misalnya pengelompokan) dan bisa memastikan peserta memiliki pemahaman yang jelas dari setiap langkah metode ini. Hertiavi, Langlang, dan Khanafiyah (2010) juga menemukan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pendidik hendaknya lebih terampil untuk mengorganisasikan peserta saat pembentukan kelompok dan diskusi agar waktu untuk pembelajaran lebih efektif. Temuan di atas mendukung hasil temuan pada penelitian ini dimana dosen cukup mensosialisasikan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dosen juga sangat memotivasi mahasiswa dalam mengikuti serta mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Secara umum mahasiswa pada ketiga kelas sampel menilai dosen cukup berperan dalam menciptakan iklim belajar. Dosen cukup mampu mengatur alokasi waktu dan memotivasi mahasiswa. Dosen juga dinilai cukup baik dalam membimbing kegiatan diskusi mahasiswa serta mampu menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Akan tetapi metode yang diterapkan pada kelas kontrol tidak cukup menarik bagi mahasiswa. Mahasiswa juga kurang termotivasi dengan penggunaan metode perkuliahan yang konvensional. Kondisi ini berdampak pada kemampuan matematis mahasiswa di kelas kontrol. Beberapa mahasiswa tidak mengalami peningkatan nilai tes akhir dari nilai tes awal yang diperoleh.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
73
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data dan hasil pengamatan pada saat penelitian berlangsung, diperoleh kesimpulan bahwa peran dosen dalam menciptakan iklim belajar pada perkuliahan model jigsaw dengan penilaian diskusi dan tanpa penilaian diskusi cukup berpengaruh terhadap kemampuan matematis mahasiswa, akan tetapi tidak cukup signifikan pengaruh yang diberikan pada metode konvensional. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disarankan beberapa hal, yaitu: dosen perlu mengarahkan kecenderungan mahasiswa dalam belajar dengan cara lebih mensosialisasikan model-model pembelajaran yang bervariasi. Dosen juga harus terampil dalam menerapkan suatu strategi pembelajaran untuk keberhasilan pelaksanaan perkuliahan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Chan, Kam-Wing. 2004. “Using Jigsaw II’ in teacher Education Programmes”. Hong Kong Teachers’ Centre Journal, 3: 91-97 Hertiavi, Langlang, dan Khanafiyah. 2010. “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP”. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 6: 53-57. Iriawan, Nur, dan Septin Puji Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Andi. Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press. Silver, E.A. & Smith, M.S. 1996. "Building Discourse Communities in Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey”. In P.c. Elliott, dan M.J. Kenney. (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond.Reston, V A: NCTM Suryabrata, Sumadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Walpole, Ronald E. 1993. Pengantar Statistika Edisi ke-4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
74
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
EFEKTIVITAS BAHAN AJAR SISTEM PERSAMAAN LINIER DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME PADA MATA KULIAH METODE NUMERIK Sofia Edriati STKIP PGRI Sumatera Barat [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas bahan ajar Sistem Persamaan Linier dengan pendekatan konstruktivisme dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah Metode Numerik. Populasi penelitian adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Metode Numerik semester genap 2012/2013. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan One-Group PretestPosttest Design. Data hasil observasi aktivitas dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan data hasil tes dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan efektif dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada perkuliahan metode numerik. Kata Kunci: Sistem Persamaan Linier, Metode Numerik, Aktivitas, Hasil Belajar
PENDAHULUAN Mata kuliah metode numerik diberikan di Program Studi Pendidikan Matematika (PSPM) STKIP PGRI Sumatera Barat dengan tujuan untuk mempersiapkan atau membekali mahasiswa tentang konsep dasar dan teknik menggunakan metode numerik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan matematis dimana penyelesaian secara analitis tidak dapat digunakan. Metode numerik merupakan teknik-teknik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika melalui operasi hitungan yang terdiri dari operasi tambah, kurang, kali, dan bagi (Susila, 1993: 1). Salah satu kompetensi pendukung dalam mata kuliah metode numerik ini adalah mahasiswa mampu menentukan solusi sistem persamaan linier dengan menggunakan metode numerik. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linier dengan pendekatan numerik adalah metode Dekomposisi LU, dan metode iterasi Jacobi serta iterasi Gauss-Seidel. Bahan ajar untuk sistem persamaan linier yang dijadikan referensi pada mata kuliah Metode Numerik di PSPM STKIP PGRI Sumatera Barat sudah sesuai dengan silabus perkuliahan. Akan tetapi, penguasaan matematika mahasiswa yang tergolong menengah ke bawah belum cukup tinggi untuk bisa memahami logika berbahasa yang digunakan buku tersebut.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
75
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Beberapa metode untuk menentukan solusi sistem persamaan linier yang dibahas pada buku ajar sudah disajikan pada mata kuliah prasyarat. Akan tetapi, ketika metode tersebut dibahas kembali, pada umumnya mahasiswa mengalami kebingungan karena buku ajar tersebut menggunakan aturan dan istilah yang berbeda. Kesulitan dalam memahami konsep dan algoritma penyelesaian metode-metode tersebut mengakibatkan mahasiswa menghabiskan waktu cukup banyak untuk bisa memahami kembali materi tersebut dengan baik. Penggunaan komputer untuk mempermudah proses perhitungan juga tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena mahasiswa tidak menguasai dengan baik dasar-dasar pemrograman komputer. Berdasarkan permasalahan di atas, dibutuhkan bahan ajar sistem persamaan linier pada mata kuliah Metode Numerik yang mudah dipahami dari segi logika bahasa matematika, menggunakan istilah yang umum dikenal di lingkungan mahasiswa, dan dapat memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan Mahasiswa. Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme dapat memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan dimana mahasiswa dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma, proses heuristic, kebiasaan bekerjasama dan berefleksi. Konsepsi konstruktivis berasumsi bahwa pengetahuan dikonstruksi secara individual dan dikonstruksi bersama secara sosial oleh peserta didik berdasarkan interpretasi terhadap pengalaman (Rudhito dan Susento, 2007: 2). Oleh karena itu, pembelajaran harus berisi pengalaman-pengalaman yang memfasilitasi kegiatan konstruksi pengetahuan. Menurut Steffe dan Kieren dalam Suherman (2003: 75) aktivitas matematika dalam pendekatan konstruktivisme dapat dimunculkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas menggunakan apa yang biasa muncul dalam materi kurikulum kelas biasa. Pada saat peserta didik mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, melakukan aktivitas dan berfikir konseptual, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif. Jadi belajar matematika merupakan proses dimana peserta didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Jonassen (1999: 217) memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan dengan bertitik tolak dari kegiatan penyelesaian masalah, pertanyaan, atau proyek. Menurut Jonassen aktivitas dalam pembelajaran konstruktivisme seperti memecahkan masalah, menjawab pertanyaan atau menyelesaikan proyek perlu didukung oleh sumber informasi untuk memahami masalah dan memberikan gagasan akan solusi yang mungkin. Mayer (1999: 148) mengembangkan model belajar konstruktivisme dengan titik tolak berupa kegiatan pemahaman bahan pelajaran yang disajikan dalam buku teks atau lingkungan multimedia. Menurut Mayer, proses konstruksi pengetahuan merupakan kegiatan pemahaman bahan pelajaran yang disajikan dalam buku teks yang dimulai dengan pemahaman terhadap pesan pelajaran yang berupa gambar atau kata. Gambar yang disajikan diseleksi berdasarkan pencitraan kemudian diorganisasi menjadi model visual dalam pikiran. Pesan kata diseleksi berdasarkan suara (perkataan) dan diorganisasi menjadi model verbal dalam pikiran. Kegiatan konstruksi sampai pada pengintegrasian model visual dari pesan gambar dan model verbal dari pesan kata dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang peserta didik. Model ini disebut model seleksi-organisasi-integrasi.
76
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Pesan pelajaran
Gambar
Memori kerja
Seleksi
Citra
Organisasi
Memori jangka panjang
Model visual dalam pikiran Pengetahuan sebelumnya
Kata
Seleksi
Suara
Organisasi
Model verbal dalam pikiran
Gambar 1. Model Seleksi-Organisasi-Integrasi
Bahan ajar yang dikembangkan dengan pendekatan konstruktivisme merupakan sumber informasi yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung proses konstruksi pengetahuan mahasiswa. Menurut Majid (2008: 174) Sebuah bahan ajar dapat mencakup antara lain petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan-latihan, petunjuk kerja dapat berupa lembar kerja, dan evaluasi. Bahan ajar yang disusun secara sistematis dan terstruktur dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa, sehingga tercipta suasana atau lingkungan yang memungkinkan mahasiswa belajar dengan baik. Menurut Ballstaedt dalam Majid (2008: 175) bahan ajar yang baik dapat memotivasi pembaca untuk melakukan aktivitas seperti menandai, mencatat, membuat sketsa, dan sebagainya. Hal itu berarti bahwa bahan ajar yang baik adalah yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara menarik dilengkapi dengan gambar dan keteranganketerangannya, sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Bahan ajar Sistem Persamaan Linier yang digunakan pada penelitian ini diambil dari buku ajar Metode Numerik dengan aplikasi Maple yang berbasis pendekatan konstruktivisme. Buku ajar tersebut merupakan hasil penelitian pengembangan yang menggunakan rancangan Plomp (1997) dan tahapan evaluasi formatif. Hasil evaluasi pada tahap tinjauan ahli menunjukkan bahwa buku ajar yang dikembangkan sudah valid. Dengan demikian, bahan ajar yang digunakan merupakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme yang sudah valid. Aktivitas dalam belajar sangat diperlukan, sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat atau melakukan kegiatan. Tanpa ada aktivitas, proses belajar tidak mungkin terjadi, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik harus aktif berbuat. Dewey menegaskan bahwa sekolah harus dijadikan tempat kerja dimana peserta didik dirangsang untuk melakukan kegiatan (Sardiman, 2011: 97). Kegiatan yang dapat dilakukan oleh peserta didik dalam belajar tidak hanya mencatat atau mendengarkan saja. Menurut Diedrich dalam Sardiman (2011: 101) aktivitas yang dapat dilakukan antara lain adalah: 1) aktivitas visual seperti membaca dan memperhatikan demonstrasi, 2) aktivitas lisan seperti mengeluarkan pendapat, bertanya, dan memberi saran, 3) aktivitas mendengar seperti mendengarkan uraian atau percakapan, 4) aktivitas menulis seperti menulis laporan atau menyalin, 5) aktivitas menggambar seperti membuat grafik, peta atau diagram, 6) aktivitas motorik seperti melakukan percobaan atau membuat konstruksi, 7) aktivitas mental seperti menanggapi, menganalisis, atau mengambil keputusan, 8) aktivitas emosional seperti menaruh minat, bersemangat, atau merasa bosan. Pengklasifikasian aktivitas seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa kegiatan belajar sangat kompleks dan bervariasi. Jadi belajar adalah berbuat dan sekaligus merupakan proses yang membuat peserta didik harus aktif. Dengan kata lain, kegiatan belajar merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas peserta didik. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
77
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Data aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan metode numerik digunakan untuk mengetahui efektivitas penggunaan bahan ajar yang dikembangkan. Aktivitas yang diamati dalam perkuliahan menggunakan bahan ajar berbasis konstruktivisme adalah: 1) Visual Activities (mahasiswa membaca bahan ajar), 2) Oral Activities (mahasiswa bertanya pada dosen atau mahasiswa lain), 3) Writing Activities (mahasiswa menyelesaikan latihan-latihan pada bahan ajar), 4) Mental Activities (mahasiswa menanggapi, menganalisis, melihat hubungan, dan menyimpulkan pembelajaran), 5) Motor Activities (mahasiswa melakukan praktikum menggunakan program Maple), 6) Motor Activities (mahasiswa melakukan tindakan yang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar seperti menganggu teman, melamun, atau bermain) Hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses pembelajaran. Melalui hasil belajar dapat dilihat sejauh mana mahasiswa menguasai dan memahami apa yang telah dipelajari selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan kemampuan yang diperoleh sebagai hasil belajar, Bloom membagi hasil belajar dalam tiga ranah kawasan, yaitu :1) ranah kognitif yang meliputi pengetahuan/hafalan/ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian, 2) ranah afektif, mencakup penerimaan, menanggapi, menghargai, mengatur, dan karakterisasi dengan suatu nilai, 3) ranah psikomotor, yaitu berkaitan dengan keterampilan/skill (Sudijono, 2005: 49). Data hasil belajar mahasiswa pada perkuliahan metode numerik menggunakan bahan ajar berbasis konstruktivisme digunakan untuk melihat efektivitas bahan ajar yang dikembangkan. Hasil belajar yang diamati pada penelitian ini berupa hasil tes awal yang diberikan sebelum penelitian dan tes akhir yang diberikan sesudah pelaksanaan penelitian menggunakan bahan ajar yang sudah valid. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana efektivitas bahan ajar sistem persamaan linier berbasis pendekatan konstruktivisme pada mata kuliah Metode Numerik yang dihasilkan. Efektivitas bahan ajar ditinjau dari dua aspek, yaitu: a) bagaimana aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan Metode Numerik menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme, b) bagaimana hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan Metode Numerik menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme. Oleh karena itu, Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas bahan ajar sistem persamaan linier dengan pendekatan konstruktivisme dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah Metode Numerik. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para dosen dan mahasiswa sebagai alternatif bahan ajar sehingga mahasiswa dapat mengikuti perkuliahan tanpa terkendala bahan ajar. Selain itu, dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam peningkatan mutu perkuliahan yang lebih tepat sasaran dan perencanaan perkuliahan yang lebih kreatif dan inovatif sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan One-Group Pretest-Posttest Design. Rancangan ini menggunakan satu kelompok sampel sebagai subyek penelitian. Perlakuan yang diberikan adalah pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Tabel 1. Rancangan Penelitian Kelas Sampel Tes Awal Perlakuan Eksperimen 1 T1 Xa Sumber: Sugiyono (2005) Keterangan: Xa : pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivisme
78
Tes Akhir T2
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Penelitian dilakukan di STKIP PGRI Sumatera Barat dengan populasi mahasiswa PSPM yang mengikuti perkuliahan Metode Numerik semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Secara statistik, populasi memenuhi asumsi kesamaan rata-rata sehingga subyek dapat dimasukkan secara acak ke dalam sampel penelitian. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi aktivitas, soal tes awal, dan soal tes akhir. Lembar observasi aktivitas digunakan untuk mengamati aktivitas mahasiswa selama perkuliahan menggunakan bahan ajar dengan pendekatan konstruktivisme. Data hasil observasi aktivitas dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan data hasil tes dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkuliahan Metode Numerik menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme dilakukan selama dua kali pertemuan dengan materi Sistem Persamaan Linier. Aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme diamati pada setiap pertemuan. Persentase mahasiswa berdasarkan aktivitas yang dilakukan pada setiap pertemuan dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 1. Grafik Persentase Mahasiswa Berdasarkan Aktivitas yang Dilakukan pada Setiap Pertemuan
Aktivitas mahasiswa pada pertemuan pertama dan kedua memperlihatkan grafik yang sangat baik. Lebih dari 95% mahasiswa yang melakukan aktivitas membaca bahan ajar (1), menyelesaikan latihan-latihan pada bahan ajar (3), dan melakukan praktikum menggunakan program Maple (5). Mahasiswa yang melakukan aktivitas bertanya pada dosen atau mahasiswa lain (2) dan menanggapi, menganalisis, melihat hubungan, dan menyimpulkan pembelajaran (4) cukup banyak. Kurang dari 20% mahasiswa yang melakukan tindakan yang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar seperti menganggu teman, melamun, atau bermain (6). Hasil tes mahasiswa mengalami perkembangan yang cukup signifikan. 28 dari 32 mahasiswa mengalami peningkatan nilai dari tes awal ke tes akhir. Grafik berikut menggambarkan hasil belajar mahasiswa berdasarkan perolehan nilai tes awal dan tes akhir.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
79
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 2. Grafik Nilai Tes Awal dan Tes Akhir Setiap Mahasiswa
Proses perkuliahan dengan pendekatan konstruktivisme yang dilakukan berupa kegiatan pemahaman bahan pelajaran yang disajikan dalam bahan ajar yang dimulai dengan pemahaman terhadap pesan pelajaran yang berupa gambar atau kata (Mayer, 1999: 148). Sejak awal kegiatan perkuliahan, mahasiswa sudah diberikan bahan bacaan berupa bahan ajar Sistem Persamaan Linier berbasis pendekatan konstruktivisme. Proses konstruksi pengetahuan pada bahan bacaan tersebut bertitik tolak dari kegiatan penyelesaian masalah atau pertanyaan (Jonassen, 1999: 217). Dalam pelaksanaan perkuliahan mahasiswa diminta melakukan orientasi dengan membaca dan memahami materi pada bahan ajar. Kemudian mahasiswa diminta melakukan proses elicitasi dengan menuliskan ide-ide yang diperoleh dari bahan bacaan pada buku catatan masing-masing. Setelah itu dilakukan ajang pengumpulan ide dengan berdiskusi dalam kelompok. Diskusi dan presentasi dengan seluruh anggota kelas merupakan ajang untuk membangun ide baru. Kegiatan pemantapan ide-ide baru dilakukan melalui pemberian soal-soal latihan dan praktikum (Suparno, 1997:69). Pada pertemuan pertama, mahasiswa terlihat sangat antusias dengan bahan ajar yang diberikan. 97% mahasiswa melakukan aktivitas membaca sebagaimana yang diinstruksikan oleh dosen. Pertemuan kedua, mahasiswa yang membaca bahan ajar meningkat menjadi 100%. Begitu juga dengan aktivitas mengerjakan latihan dan melakukan praktikum dengan program Maple, setiap mahasiswa melakukan aktivitas tersebut pada setiap pertemuan. Cukup banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan dikarenakan penyajian materi dalam bahan ajar menuntut mahasiswa untuk bertanya, mengemukakan pendapat, menanggapi, menganalisis, melihat hubungan, dan menyimpulkan pembelajaran. Mahasiswa yang melakukan tindakan yang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar seperti menganggu teman, melamun, atau bermain jumlahnya juga sangat sedikit pada pertemuan pertama dikarenakan proses pembelajaran menuntut mahasiswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang mencerminkan karakteristik konstruktivisme. Pada pertemuan kedua tidak ada lagi mahasiswa yang melakukan aktivitas yang tidak relevan karena dosen cukup leluasa mengontrol dan memfasilitasi aktivitas pembelajaran di kelas. Dosen juga tidak lagi melakukan transfer ilmu (penyampaian informasi) kepada mahasiswa karena sudah difasilitasi dengan bahan ajar yang berbasis pendekatan konstruktivisme. Temuan ini didukung oleh pendapat Pribadi (2010) yang menyatakan bahwa pendekatan konstruktivisme memperluas kemungkinan bagi mahasiswa untuk memberi makna bagi proses belajar yang dialami dan melakukan proses konstruksi untuk mencari pemahaman utuh, tidak lagi sekedar akumulasi pengetahuan saja. Hasil belajar yang diperoleh mahasiswa mengalami perkembangan yang sangat signifikan dilihat dari peningkatan nilai tes akhir. hanya 4 dari 32 mahasiswa yang memperoleh nilai tes akhir lebih rendah dari tes awal. Hasil pengamatan aktivitas mahasiswa yang nilainya tidak 80
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 mengalami perkembangan tersebut adalah mahasiswa yang melakukan aktivitas yang tidak relevan dengan kegiatan perkuliahan. Beberapa mahasiswa tersebut juga tidak terlibat dalam kegiatan diskusi kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan efektif dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada perkuliahan metode numerik. Temuan ini juga didukung oleh temuan Sovia (2012) yang menyatakan bahwa buku kerja berbasis konstruktivisme efektif dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, terjadi peningkatan aktivitas mahasiswa yang mengikuti perkuliahan menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme. Selain itu, hasil belajar mahasiswa yang mengikuti perkuliahan menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa saran yaitu: bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme perlu digunakan dalam upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Penggunaan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme perlu didukung proses pembelajaran yang memfasilitasi keterpakaian bahan ajar tersebut. Dosen juga diharapkan dapat mendesain sendiri bahan ajar yang akan digunakan.
DAFTAR PUSTAKA Jonassen, D. 1999. Designing Constructivist Learning Environment. Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional theory, (Online), Vol. II, (http://books.google.co.id/, diakses 25 Oktober 2011). Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi guru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mayer, R.E. 1999. Designing Instruction for Constructivist Learning. Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional theory, (Online), Vol. II, (http://books.google.co.id/, diakses 25 Oktober 2011). Pribadi, Benny A. “Pendekatan Konstruktivistik dan Pengembangan Bahan Ajar pada Sistem Pendidikan Jarak Jauh”. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh,11 (2): 117-128 Rudhito, Andi, dan Susento. 2007. Pengembangan Kurikulum dan Buku Ajar Matematika SMA yang Mengintegrasikan Pendekatan Konstruktivistik, Kontekstual dan Kolaboratif melalui Model Pembelajaran Matematisasi Berjenjang. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Sardiman, A.M. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pres. Sovia, Anny. 2012. Pengembangan Buku Kerja Berbasis Konstruktivisme untuk Perkuliahan Kalkulus Peubah Banyak 2 di STKIP PGRI Sumatera Barat. Tesis tidak diterbitkan. Padang: Pascasarjana UNP.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
81
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada Sugiyono. Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Common Textbook Edisi Revisi). Jakarta: IMSTEP. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Susila, I Nyoman. 1993. Dasar-dasar Metode Numerik. Depdikbud Dirjen Dikti: PPTKPT.
82
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) STRUKTUR ALJABAR PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA DI STKIP PGRI SUMATERA BARAT Tika Septia1), Alfi Yunita2) 1,2)
STKIP PGRI SUMBAR [email protected] [email protected]
ABSTRAK Struktur aljabar merupakan salah satu cabang matematika abstrak, yang umumnya lebih sulit dibandingkan dengan cabang matematika lain yang lebih konkret. Permasalahan yang selama ini terjadi pada mata kuliah Struktur Aljabar, bahwa mahasiswa kurang memahami konsep struktur aljabar sehingga mahasiswa kesulitan menggunakan teori-teori atau teorema-teorema dalam pembuktian. Selain itu, penyebab lain adalah bahan ajar struktur aljabar yang ada juga bersifat abstrak, sehingga mahasiswa kurang termotivasi dalam membaca buku-buku penunjang. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan LKM Struktur Aljabar yang valid di STKIP PGRI Sumatera Barat. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Penelitian ini menggunakan model 4-D yang terdiri dari 4 tahap yaitu: tahap pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop) dan penyebaran (disseminate). LKM yang dirancang pada penelitian ini adalah LKM Terbimbing. LKM Terbimbing divalidasi oleh pakar Struktur Aljabar dan Bahasa. Analisis data berupa hasil validasi dari segi isi dan konstruk dilakukan secara deskriptif. Aspek yang divalidasi adalah aspek materi, aspek penyajian, serta aspek bahasa dan keterbacaan LKM Terbimbing. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa LKM Terbimbing pada perkuliahan Struktur Aljabar telah valid. Kata Kunci: Struktur Aljabar, LKM, Model 4-D.
PENDAHULUAN Struktur aljabar merupakan salah satu cabang matematika abstrak, yang umumnya lebih sulit dibandingkan dengan cabang matematika lain yang lebih konkret. Di dalam struktur aljabar dibicarakan tentang himpunan dengan satu dan dua operasi yang berupa Grup dan Ring (Gelanggang).
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
83
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tujuan kurikuler mata kuliah struktur aljabar berdasarkan silabus Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar adalah agar mahasiswa mampu mengenal dan menguasai beberapa struktur dalam aljabar, menerapkan dan memanfaatkannya untuk menyelesaikan masalah dalam aljabar, berpikir logis dan bernalar secara matematika, kemudian mampu menguasai struktur aljabar secara umum. Tujuan kurikuler mata kuliah struktur aljabar dalam dua tahun terakhir ini dapat dikatakan belum tercapai, karena berdasarkan Daftar Nilai Akademik Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar, masih banyak mahasiswa yang mendapat nilai kurang dari 70 (kategori: C). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar Nilai Akademik Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika pada mata kuliah Struktur Aljabar Nilai A B C D E Jumlah
2010/2011 Jumlah 65 113 100 75 31 384
Persentase 46,35 % 53,65 %
2011/2012 Jumlah 55 96 115 61 21 348
Persentase 43,39 % 56,61 %
Berdasarkan hasil wawancara informal dengan beberapa mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah struktur aljabar dan dosen yang mengajar mata kuliah struktur aljabar bahwa mahasiswa kurang memahami konsep struktur aljabar sehingga mahasiswa kesulitan menggunakan teori-teori atau teorema-teorema dalam pembuktian. Hal ini disebabkan karena bahan ajar struktur aljabar yang ada juga bersifat abstrak, sehingga kurang bisa membimbing mahasiswa untuk memahami materi. Bahan perkuliahan baru diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk belajar mandiri. Lembar Kegiatan Mahasiswa berasal dari terjemahan students worksheet merupakan suatu lembaran (bukan buku-buku) yang berisi pedoman bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan yang terprogram (Depdikbud, 1995: 21). LKM yang digunakan adalah LKM Terbimbing dimana LKM Terbimbing ini dapat membantu mahasiswa dalam menemukan pengetahuan sendiri melalui penyajian contoh soal dan latihan yang dilengkapi dengan langkah-langkah terbimbing sehingga mahasiswa dapat dengan mudah memahami dan menyelesaikan persoalan yang ada pada perkuliahan Struktur Aljabar. Penelitian difokuskan pada pengembangan LKM Terbimbing pada Perkuliahan Struktur Aljabar di Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Pengembangan LKM Terbimbing ini hanya terbatas untuk materi ring. Karena pada materi ini mahasiswa akan menganalisa suatu himpunan dengan dua operasi sekaligus. Berarti dalam menyelesaikan persoalan ring ini, mahasiswa akan mempergunakan apa yang telah dipelajari sebelumnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana validitas LKM Terbimbing pada perkuliahan Struktur Aljabar? Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan pengembangan LKM Terbimbing yang valid pada mata kuliah Struktur Aljabar di STKIP PGRI Sumbar.
METODE PENELITIAN Model pengembangan LKM Terbimbing dalam penelitian ini menggunakan model pengembangan 4-D (Four D). Model pengembangan 4D diadaptasi menjadi model 4-P, yaitu Pendefinisian, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran. Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu define, design, develop dan disseminate. Tahap disseminate tidak dilakukan karena mengingat keterbatasan waktu.
84
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar validasi. Lembar validasi digunakan untuk mengetahui apakah LKM Terbimbing yang telah dirancang valid atau tidak. LKM Terbimbing yang sudah dirancang didiskusikan dengan pakar struktur aljabar dan pakar bahasa. Kegiatan validasi dilakukan dalam bentuk mengisi lembar validasi LKM Terbimbing dan diskusi sampai diperoleh LKM Terbimbing yang valid dan layak untuk digunakan. Adapun aspek-aspek yang divalidasi. Tabel 2. Validasi LKM Terbimbing No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aspek Tujuan Rasional Isi LKM Terbimbing Karakteristik LKM Terbimbing Kesesuaian Bahasa Bentuk Fisik Keluwesan
Metode pengumpulan data Diskusi dengan pakar Struktur Aljabar, dan pakar bahasa Indonesia
Instrumen Lembar validasi
Teknik analisis dari data validitas sebagai berikut. Hasil validasi dari validator terhadap seluruh aspek yang dinilai, disajikan dalam bentuk tabel. Selanjutnya dicari rerata skor tersebut dengan menggunakan rumus : n
R
V i 1
n
i
(Muliyardi,2006:82)
dengan : R = rerata hasil penilaian dari para validator Vi = skor hasil penilaian validator ke-i n = banyak validator Kemudian rerata yang didapatkan dikonfirmasikan dengan kriteria yang ditetapkan. Cara mendapatkan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 4) Rentangan skor mulai dari 0 sampai 4 5) Kriteria dibagi atas lima tingkatan. Istilah yang digunakan disesuaikan dengan aspek-aspek yang bersangkutan. 6) Rentangan rerata dibagi menjadi lima kelas interval. Misalnya, untuk aspek rumusan indikator kompetensi digunakan kriteria dengan istilah sebagai berikut: 6) Bila rerata > 3,20 maka aspek yang dinilai dikategorikan jelas sekali. 7) Bila 2,40 < rerata ≤ 3,20 maka dikategorikan jelas. 8) Bila 1,60 < rerata ≤ 2,40 maka dikategorikan cukup jelas. 9) Bila 0,80 < rerata ≤ 1,60 maka dikategorikan kurang jelas. 10) Bila rerata ≤ 0,80 maka dikategorikan tidak jelas. Lalu dihitung rerata semua aspek untuk LKM Terbimbing. Tingkat kevalidan LKM Terbimbing digunakan kriteria berikut: 6) Bila rerata > 3,20 maka LKM Terbimbing dikategorikan sangat valid. 7) Bila 2,40 < rerata ≤ 3,20 maka dikategorikan valid. 8) Bila 1,60 < rerata ≤ 2,40 maka dikategorikan cukup valid. 9) Bila 0,80 < rerata ≤ 1,60 maka dikategorikan kurang valid. 10) Bila rerata ≤ 0,80 maka dikategorikan tidak valid.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
85
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan LKM Terbimbing untuk mata kuliah Struktur Aljabar dengan menggunakan model 4-D memiliki hasil sebagai berikut. Untuk mendapatkan LKM Terbimbing yang valid, dilakukan beberapa tahap sesuai dengan model 4-D. Hasil yang diperoleh pada masing-masing tahapan dapat diuraikan sebagai berikut. c. Tahap Pendefinisian (define) Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah seperti analisis silabus, analisis buku teks, analisis literatur, analisis karakteristik mahasiswa dan wawancara dengan teman sejawat. Hasil yang diperoleh pada masing-masing langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1. Hasil Wawancara dengan Teman Sejawat Wawancara dengan teman sejawat ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dilapangan sehubungan dengan materi ring pada perkuliahan struktur aljabar. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa materi ring termasuk materi yang sulit bagi mahasiswa, karena materi ini merupakan gabungan dari materi sebelumnya. Dengan kata lain, jika mahasiswa tersebut tidak mengerti materi yang sebelumnya, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam memahami materi ring. Di samping itu, buku teks yang digunakan belum dapat membantu mahasiswa dalam memahami materi karena contoh-contoh soal yang ada dalam buku teks tersebut belum bersifat terbimbing sehingga mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahaminya. Pelaksanaan pembelajaran belum dapat membuat mahasiswa aktif karena pada buku yang digunakan dosen tidak terdapat contoh soal dan latihan soal yang dilengkapi dengan langkah-langkah penyelesaian yang jelas. 2. Hasil Analisis silabus Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap silabus mata kuliah Struktur Alajabar Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat (silabus dapat dilihat pada Lampiran 1). Analisis silabus dilakukan untuk melihat apakah materi yang diajarkan sudah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan hasil dari analisis silabus diketahui bahwa Standar Kompetensi Dasar dari mata kuliah ini adalah mahasiswa mampu memahami pengertian ring dan teorema-teorema yang berkaitan dengan ring. Kompetensi dasar di atas terbagi menjadi empat materi pokok yaitu ring, homomorfisma ring, subring dan ideal dan ring pembagian. Hasil analisis diperoleh bahwa materi tersebut telah sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa. Urutan materi juga telah pas karena materi pertama merupakan materi dasar yang harus dipelajari sebelum mempelajari materi selanjutnya. Berdasarkan hasil analisis silabus maka materi pada perkuliahan struktur aljabar ini dikembangkan menjadi 4 bagian yaitu (1) mengenai ring, (2) mengenai sub ring, (3) mengenai homomorfisma dan isomorfisma ring dan (4) mengenai ideal dan ring pembagian. Keempat materi tersebut akan dikembangkan dalam bentuk LKM Terbimbing. 3. Hasil Analisis Buku Teks Analisis buku teks yang dilakukan bertujuan untuk melihat apakah isi buku sudah sesuai dengan kompetensi dalam silabus. Buku teks yang dianalisis adalah buku teks yang selama ini digunakan dalam perkuliahan Struktur Aljabar, yaitu Aljabar Karangan Arifin Achmad, Diktat Struktur Aljabar Karangan Syarifuddin Hendra, Aljabar Karangan Achmad Muchlis. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa materi perkuliahan Struktur Aljabar yang ada di dalam buku teks ini sudah terstruktur menurut kurikulum yang ada. Semua materi yang akan diajarkan tersaji di buku teks ini. Penyajian materi yang abstrak, membuat mahasiswa kesulitan untuk memahami materi. Selain itu, contoh-contoh soal dan latihan soal yang ada pada buku teks masih sedikit. Penyajian materi belum membantu mahasiswa dalam membangun pemahaman konsep.
86
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 4. Hasil Analisis Karakteristik Mahasiswa Sebagai Calon Pengguna LKM Terbimbing Tujuan dipelajari karakteristik mahasiswa adalah untuk mengetahui kemampuan umum mahasiswa tentang materi ring. Hal ini dilakukan selain untuk menentukan subjek uji coba penggunaan bahan ajar juga untuk sebagai acuan dalam mengembangkan alat tes/tingkat kesulitan soal serta penggunaan bahasa dalam pengembangan bahan ajar. Wawancara dengan mahasiswa dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang bahan ajar seperti apa yang mereka harapkan dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa mahasiswa mengharapkan bahan ajar yang mudah dipahami, menarik, tulisan yang jelas, dan jawaban dari contoh-contoh soal yang bisa membimbing mereka belajar mandiri di rumah. 5. Mereviu Literatur LKM Terbimbing Selain struktur LKM, ciri khas suatu LKM juga merupakan hal penting dalam perancangan LKM. LKM ini memiliki ciri khas, yaitu dirancang dalam bentuk LKM Terbimbing. LKM Terbimbing dipilih karena metode ini dapat mengarahkan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal terhadap konsep yang dipelajari sehingga dengan keterlibatannya secara langsung mahasiswa tidak mudah lupa terhadap materi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan bahan mengenai pembelajaran berbasis penemuan terbimbing. Buku Model-model Pembelajaran matematika SMP karangan Widdiharto Rachmadi merupakan acuan utama dalam pembelajaran berbasis penemuan terbimbing. d. Perancangan (design) Berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang telah dilakukan, maka dirancanglah LKM Terbimbing yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik mahasiswa. LKM Terbimbing ini merupakan materi ajar yang dirancang untuk digunakan mahasiswa sebagai tuntunan dalam mempelajari materi ring. LKM Terbimbing ini terdiri dari materi ring, homomorfisma dan isomorfisma ring, subring, ideal dan ring pembagian. LKM Terbimbing yang dirancang terdiri atas cover, judul, daftar isi, kata pengantar, petunjuk belajar, kompetensi dasar, indikator, materi, contoh soal, latihan terbimbing, dan daftar pustaka. e. Pengembangan (develop) LKM Terbimbing yang telah dirancang divalidasi oleh 2 orang dosen pendidikan matematika dan 1 orang dosen bahasa Indonesia. Nama validator dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah LKM Terbimbing divalidasi, dilakukan diskusi dengan validator, dan meminta saran untuk perbaikan LKM Terbimbing. Berdasarkan saran-saran tersebut dilakukan perbaikan tehadap LKM Terbimbing dan kembali didiskusikan dengan validator. Dari hasil diskusi, validator menyetujui bahwa LKM Terbimbing tersebut telah dapat diujicobakan. Berikut diuraikan hasil validasi LKM Terbimbing yang telah dirancang. Tabel 9. Hasil Validasi Aspek Materi LKM Terbimbing No 1 2 3
4 5
6
Aspek yang Dinilai Materi yang disajikan telah sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai Konsep-konsep yang diuraikan pada materi dipertegas dengan grafik, tabel, atau gambar Penyajian materi telah memberikan kesempatan bagi mahasiswa mengingat kembali konsep dan prinsip yang telah dipelajari Materi telah disajikan dengan urutan yang sistematis Materi yang disajikan membantu mahasiswa memahami contoh-contoh soal dan latihan soal terbimbing Contoh-contoh soal dan latihan soal terbimbing relevan dengan materi yang disajikan.
Rerata 4,33 4,67 4,65 5 4,67 4,33
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
87
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Hasil yang disajikan dalam Tabel 9 menggambarkan bahwa hasil validasi LKM Terbimbing untuk aspek materi yang dirumuskan tergolong valid dan tuntutan yang terkandung di dalamnya jelas sekali. Rekapitulasi hasil validasi untuk aspek penyajian dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 10. Hasil Validasi Aspek Penyajian LKM Terbimbing Aspek yang Dinilai Standar kompetensi dan kompetensi dasar serta petunjuk penggunaan LKM Terbimbing telah disajikan secara jelas Secara visual, penulisan konsep, ide, istilah dan rumus yang ada pada LKM Terbimbing telah disajikan dengan jelas Penyajian materi telah membahasakan gagasan yang ingin disampaikan Penyajian gambar jelas dengan warna yang bervariasi LKM Terbimbing telah menyajikan materi yang diperlukan mahasiswa terkait dengan soal-soal yang akan diselesaikan LKM Terbimbing telah memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengingat kembali materi yang telah dipelajari Penyajian melibatkan hand on activity Memotivasi mahasiswa untuk bertanya
Rerata 4,33 4 4 4,67 4,33 4,67 4,67 4
Hasil yang disajikan dalam Tabel 10 menggambarkan bahwa hasil validasi LKM Terbimbing untuk aspek penyajian yang dirumuskan tergolong valid. Berarti dapat disimpulkan bahwa penyajian LKM Terbimbing sudah memuat indikator pembelajaran, petunjuk penyajian, dan penyajian materi telah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mahasiswa. Penyajian materi melibatkan mahasiswa secara aktif dalam menemukan konsep matematika, membuat mahasiswa termotivasi untuk bertanya, baik secara visual dalam penyajian dan penulisan konsep, ide, istilah dan rumus. Rekapitulasi hasil validasi untuk aspek bahasa dan keterbacaan LKM Terbimbing dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Hasil Validasi Aspek Bahasa dan Keterbacaan LKM Terbimbing No 1 2 3 4 5 6
Aspek yang Dinilai Kalimat yang digunakan telah sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia Kalimat yang digunakan melibatkan kemampuan berfikir logis mahasiswa Struktur kalimat telah sesuai dengan tingkat pemahaman mahasiswa Bentuk dan ukuran huruf sesuai dengan kapasitas keterbacaan mahasiswa Kalimat yang digunakan dalam dan tidak memberikan makna ganda (ambigu) Kalimat yang digunakan komunikatif
Rerata 4,33 4 4,33 4,33 4,33 4
Pada Tabel 11 dilihat bahwa hasil validasi LKM Terbimbing untuk aspek bahasa dan keterbacaan yang dirumuskan tergolong valid dan tuntutan yang terkandung didalamnya jelas sekali. Maka dapat disimpulkan bahwa kalimat yang digunakan sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, melibatkan kemampuan berfikir logis mahasiswa, sesuai dengan intelektual mahasiswa, komunikatif, dan menggunakan bentuk dan ukuran huruf sesuai dengan karakteristik mahasiswa.
88
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 LKM Terbimbing untuk mata kuliah Struktur Aljabar sudah valid berdasarkan hasil penilaian validator sebagai berikut. a. Materi yang disajikan telah sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai oleh mahasiswa. Penyajian materi telah memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam menginggat kembali konsep dan prinsip yang telah dipelajari sehingga dapat membantu mahasiswa dalam memahami contoh soal dan latihan terbimbing karena contoh soal dan latihan terbimbing tersebut relevan dengan materi yang disajikan. b. Penyajian LKM Terbimbing telah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Serta petunjuk penggunaan LKM Terbimbing, visual, penulisan konsep, ide, istilah dan rumus yang ada pada LKM Terbimbing telah disajikan dengan jelas. LKM Terbimbing telah menyajikan materi yang diperlukan mahasiswa terkait dengan soal-soal yang akan diselesaikan karena pada penyajian tersebut memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengingat kembali materi yang telah dipelajari. Itu disebabkan pada penyajian LKM Terbimbing melibatkan hand on activity sehingga dapat memotivasi mahasiswa untuk bertanya. c. Penggunaan bahasa pada LKM Terbimbing telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia sehingga mudah dipahami dan komunikatif. Kalimat pada LKM Terbimbing sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia. Kalimat yang digunakan tidak memberikan makna yang ganda sehingga dapat melibatkan kemampuan berfikir logis dan meningkatkan pemahaman mahasiswa. Validator memberikan beberapa catatan untuk perbaikan LKM Terbimbing diantranya sebagai berikut ini. 1. Pada pembuktian, tidak boleh menggunakan pemisalan dengan angka karena tidak dapat membuktikan dengan umum. 2. Konsistensi dalam penggunaan lambang. 3. Perbaikan pada format penulisan.
SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan pada LKM Struktur Aljabar untuk materi ring. Dari hasil validasi dari para validator menunjukkan bahwa LKM Terbimbing yang dikembangkan untuk materi ring sudah valid. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa saran yaitu : 1. LKM Terbimbing ini dapat dijadikan contoh bagi dosen lain dalam mengembangkan bahan ajar yang lain. 2. Uji coba LKM Terbimbing ini masih sangat terbatas karena materi yang diujicobakan hanya untuk 4 pertemuan saja. Sebaiknya, Dosen mengujicobakan dengan materi uji coba yang lebih banyak sehingga berbagai kekurangan pada modul dapat diminimalisir. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Depdiknas. 2006. Pengembangan Bahan Ajar. www.jardikas.org Fadli. 2009. Pengembangan Bahan Ajar Struktur Aljabar Berbasis Website Pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas PGRI Palembang. Tesis tidak diterbitkan. Palembang : Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
89
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Husna. Pedoman Pengembangan LKM. Jakarta: Erlangga. Muliyardi. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Komik di Kelas I Sekolah Dasar. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya : Pasca Sarjana UNESA. Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta. Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Setiawan, Denny. 2007. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta. Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Thoha, Chabib. 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
90
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PROFIL DAYA MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN Rina Oktaviyanthi1) 1)
Universitas Serang Raya [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada daya matematis siswa yang dikaitkan dengan kecenderungan pola kepribadian Hippocrates-Galenus. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang daya matematis siswa ditinjau dari kecenderungan pola kepribadiannya. Dengan mengetahui gambaran mengenai sikap-sikap positif pada masing-masing kecenderungan pola kepribadian yang berhubungan dengan daya matematis, guru bisa mendapatkan referensi kekuatan-kekuatan mana saja yang muncul pada masing-masing kecenderungan pola kepribadian siswa yang berhubungan dengan daya matematisnya sebagai pertimbangan merancang pembelajaran matematika yang bermakna dan untuk memilih tindakan yang tepat atau menentukan perlakuan yang sesuai terhadap siswa sehingga dapat memunculkan dan mengoptimalkan daya matematisnya. Subjek dalam penelitian ini adalah empat siswa usia 15-18 tahun (siswa kelas XI) SMAN 1 Manyar, Gresik, Jawa Timur. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksploratif. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data penelitian yaitu tes dan angket. Untuk tambahan digunakan juga pedoman wawancara. Analisis data menggunakan langkah-langkah Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan mentranskipkan hasil wawancara kemudian diikuti dengan pengelompokan data berdasarkan hasil tes kemampuan daya matematis maupun hasil angket kecenderungan pola kepribadian subjek. Penyajian data meliputi klasifikasi dan identifikasi data yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori. Penarikan kesimpulan didasarkan pada hasil analisis terhadap data yang telah terkumpul baik yang diperoleh dengan menggunakan tes, angket dan hasil wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) subjek Melankolis memenuhi semua indikator daya matematis dengan orientasi pada sistematika dan keterincian (detail) dan memiliki kecenderungan melakukan penyelesaian dengan menggunakan cara terbaik yang dapat dilakukan (best way); (2) subjek Sanguinis tidak memenuhi semua indikator daya matematis dan memiliki kecenderungan menggunakan perasaan (feeling way) baik dalam mengambil keputusan maupun cara penyelesaian; (3) subjek Kholeris tidak memenuhi semua indikator daya matematis dan memiliki kecenderungan dalam mengerjakan sesuatu dengan cara sendiri yang diyakininya benar (my way); (4) subjek Phlegmatis tidak memenuhi semua indikator daya matematis dan memiliki kecenderungan menggunakan cara yang paling mudah dilakukan (easy way). Kata Kunci: daya matematis, kepribadian, karakteristik non-kognitif
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
91
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 PENDAHULUAN Membangun pola pikir menjadi salah satu misi dalam pembelajaran matematika dan merupakan langkah mengantisipasi keadaan dunia global yang ditandai dengan arus informasi yang cepat. Kondisi demikian menuntut siswa harus cermat dan teliti dalam menerima, memilih, dan mengelola informasi yang ada. Untuk menunjang hal tersebut, tidak berlebihan jika kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif menjadi penting ditumbuhkan pada diri siswa. Cara berpikir demikian dapat dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika memiliki struktur yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional [1]. Harapan ditumbuhkannya cara berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif itu adalah untuk memberi modal peserta didik bertahan di masa depan, mampu menyelesaikan permasalahan dan dapat berkolaborasi secara efektif dalam dunia global. Sejalan dengan harapan tersebut, Schoenfeld (dalam NCR, 2005) mengutarakan bahwa untuk menjawab tuntutan dunia global dengan segala kompleksitas di dalamnya, maka misi dunia pendidikan saat ini adalah membangun, menghidupkan, dan meningkatkan daya matematis (mathematical power) dalam pembelajaran di kelas [2]. Lebih lanjut Schoenfeld (dalam NCR, 2005) mengungkapkan bahwa daya matematis adalah bentuk kemampuan mematematisasikan permasalahan dengan mengaitkan kemampuan: (1) berargumentasi logis yang didasarkan pada informasi-informasi yang dimiliki, (2) mengomunikasikannya secara efektif, (3) mensinergikannya dengan bidang kajian lain [2]. Sementara National Council of Teacher of Mathematics menyebutkan bahwa daya matematis mencakup kecakapan untuk (1) menyelidiki (explore), menduga (conjecture), dan mengutarakan alasan secara logis (reason logically); (2) menyelesaikan masalah nonrutin; (3) mengomunikasikan matematika; dan (4) mengaitkan ide-ide matematika dengan bidang lain [2]. Kedua uraian mengenai daya matematis oleh Schoenfeld dan NCTM sedikit banyak memiliki kesamaan dengan apa yang tercantum pada tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum SMA di Indonesia, yaitu: (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikian, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi; (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba; (3) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; (4) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan [1]. Poin-poin tersebut oleh NCTM dikenal dengan istilah standar proses daya matematis (mathematical power process standards) yaitu representation, communication, connection, reasoning, dan problem solving [3]. Untuk menciptakan pembelajaran yang memfasilitasi munculnya proses-proses yang mengarah pada kemampuan daya matematis siswa tentu bukan hal yang mudah. Di samping konten materi, guru sebagai fasilitator tentu mempertimbangkan banyak hal. Berikut disebutkan oleh HM Inspectorate of Education (2010) hal-hal yang perlu diperhatikan guru tentang bagaimana membangun daya matematis dan mendorong prestasi matematika siswa, yaitu:
1. provide learning realistic environments rich in number and mathematical contexts, well-planned interdisciplinary projects which extend mathematical skills and allow their application in new contexts, reflecting that the school community values mathematics and recognizes that mathematical skills and, importantly, understanding are key to being a successful learner; 2. use more relevant and exciting contexts to engage and enthuse learners, including a variety of questioning techniques to probe learners’ understanding, enabling them to communicate mathematical ideas and develop higher-order thinking skills, including reasoning; 92
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 3. involve whole learners’ activities with their uniqueness characteristics; 4. use of formative assessment to help young people identify next steps and improve their learning.[4] Poin ketiga di atas menjadi sorotan peneliti, yaitu penyertaan karakteristik unik siswa dalam kegiatan belajar. Mengetahui dan memahami karakteristik siswa merupakan langkah yang perlu dilakukan guru sebab masing-masing individu memiliki perbedaan dalam mengakses dan menanggapi informasi yang diterimanya. Diharapkan dengan melakukan langkah tersebut guru bisa memberikan fasilitas pada siswa untuk mengeksplorasi diri dan membangun suasana belajar yang efektif dan kondusif bagi mereka sesuai karakternya. Latterell menegaskan dalam Today’s Mathematics Students bahwa memahami karakteristik siswa baik dalam hal motivasi, minat, kepribadian, cara siswa memproses informasi, dan sifat-sifat unik lain pada diri siswa menjadi bagian yang cukup penting untuk mendapatkan efektifitas dalam mengajar [5]. Efektifitas tersebut menurut Suydan dan Weaver (dalam Schoenfeld, 1994) dapat dilakukan salah satunya dengan mengikutsertakan siswa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, artinya guru sebagai fasilitator perlu mempertimbangkan suatu kondisi yang mengakomodir kebutuhan siswa baik dari aspek akademis maupun aspek psikis [6]. Tujuan akomodasi kebutuhan siswa tidak lain adalah sebagai upaya untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang sesuai bagi siswa sehingga mendorong siswa memunculkan karakteristikkarakteristik baik dalam dirinya dan bermanfaat dalam proses pengembangan potensi yang dimiliki siswa. Seperti apa yang disampaikan oleh Alimoradi, Emamipour, dan Sepahmansour (2010: 6) bahwa karakteristik-karakteristik baik dapat tersalur pada diri seorang individu secara optimal ketika mendapatkan stimulasi positif dalam pembelajaran [7]. Kenyataannya dewasa ini pembelajaran matematika di kelas umumnya menganggap karakteristik siswa adalah homogen [8]. Hal tersebut membawa konsekuensi pada pemberian perlakuan belajar yang serba sama kepada siswa, sehingga mengurangi kesempatan siswa untuk berkembang sesuai karakteristik yang dimilikinya. Pentingnya pemberian kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan karakteristiknya sejalan dengan pandangan Murphy (dalam Suryabrata, 2002: 34) bahwa proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara siswa yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan khusus tertentu [9]. Ditambahkan pula oleh Bergesson bahwa karakteristik siswa menjadi salah satu dari empat unsur utama yang perlu diidentifikasi dalam pembelajaran matematika, selain materi, strategi pengajaran, dan sistem penilaian [10]. Dalam psikologi pendidikan terdapat berbagai aspek karakteristik siswa yang ikut menentukan keberhasilan proses pembejalaran. Darwis (2007) merangkum poin-poin penting teori para ahli mengenai karakteristik siswa tersebut yaitu (1) bahwa sebagai input dalam proses pembelajaran, aspek karakteristik siswa mencakup berbagai deskripsi tentang siswa yang mungkin dimiliki dan berpengaruh pada proses pembelajaran dan perolehan belajar siswa, dan (2) aspek karakteristik siswa meliputi kemampuan awal belajar, kecenderungan kepribadiannya, nilai-nilai dan sikap (values and attitudes), ekspektasi, gaya belajar, dan gaya kognitif [8]. Karakteristik siswa menurut Uno (2007: 56) bisa dikatakan sebagai karakteristik pribadi yang dimiliki siswa, sebab karakteristik siswa adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa yang terdiri dari kecenderungan tipe/pola kepribadian (termasuk minat, sikap, motivasi belajar), gaya belajar, kemampuan berfikir, dan kemampuan awal yang dimiliki. Sehingga karakteristik masing-masing individu, dalam hal ini siswa, bersifat unik [11]. Melibatkan karakteristik unik siswa dalam pembelajaran sebagai salah satu unsur yang perlu diperhatikan baik dalam membangun daya matematis maupun mendorong prestasi matematika siswa memberikan suatu tantangan baru bagi guru untuk semakin menyadari bahwa ada aspek-aspek yang bersifat psikis pada diri siswa yang perlu diimbangi dan diberi perhatian. Pengetahuan mengenai karakteristik siswa ini menjadi penting tidak hanya bagi guru sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
93
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 skenario pembelajaran, terlebih bagi siswa agar siswa lebih menyadari kekuatan dan kelemahannya, serta belajar bagaimana cara mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki. Berkenaan dengan karakteristik siswa dalam aspek kecenderungan kepribadian, Handayani (dalam Oktaviyanthi, 2007: 75) menegaskan bahwa siswa yang memahami kepribadiannya dengan tepat akan berdampak positif pada setiap aspek kehidupannya seperti pada prestasi akademik, pengembangan kepribadian, penyaluran bakat dan minat [12]. Hal tersebut terjadi karena siswa memahami diri terutama memahami kecenderungan pola kepribadiannya sehingga siswa berperilaku sesuai dengan keadaan diri yang selanjutnya dapat mendukung setiap proses pembelajaran dalam dirinya. Salah satu kecenderungan pola kepribadian dalam kajian ilmu psikologi yaitu kecenderungan yang ditemukan oleh Hippocrates pada tahun 370 SM [13]. Hippocrates mendasarkan pembagian tipe kepribadiannya pada keseimbangan cairan-cairan dalam tubuh seorang individu yaitu Blood, Black bile, Yellow bile, dan Phlegm. Tahun 190 M Galenus menyempurnakan pembagian kepribadian Hippocrates menjadi Sanguine (Blood), Melancholic (Black bile), Choleric (Yellow bile), dan Phlegmatic (Pleghm). Kecenderungan pola kepribadian Hippocrates-Galenus yang lebih dikenal dengan Four Temperaments ini merupakan penggolongan kepribadian yang paling dapat diterima sepanjang perkembangan ilmu psikologi kepribadian manusia karena mendasarkan pembagiannya pada aspek-aspek biologi dari individu. Keajegan kecenderungan pola kepribadian dari seorang individu dapat dilihat pada masa remaja awal yaitu rentang usia 15-18 tahun. Dalam dunia pendidikan usia 15-18 tahun tersebut termasuk dalam jenjang SMA. Pada usia tersebut seorang individu sudah mulai melakukan interaksi sosial yang lebih luas dan mendalam, memiliki minat yang bertambah dan terarah pada suatu kegiatan tertentu, dan mengenal arti tanggungjawab baik pada diri sendiri, orangtua maupun lingkungannya. Sarwono (1994) menegaskan bahwa individu di masa remaja awalnya yaitu usia 15-18 tahun hendaknya perlu diberi perhatian dan pengarahan lebih intensif sebab pada rentang usia tersebut individu mulai membentuk pola kepribadian yang akan dibawanya hingga dewasa. Sementara pada aspek kognitif, usia 15-18 tahun tengah mengalami perubahan dalam kemampuan berpikir [14]. Perubahan dalam kemampuan berpikir ini diungkapkan Piaget sebagai tahap akhir yang disebut sebagai tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa siswa pada usia 15-18 tahun ini terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berpikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam. Secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak; lebih idealistis seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia; dan secara logis mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan mendeskripsikan bagaimana daya matematis siswa ditinjau dari kecenderungan pola kepribadiannya. Dengan memiliki gambaran mengenai sikap-sikap positif pada masing-masing kecenderungan pola kepribadian yang berhubungan dengan daya matematis, guru bisa mendapatkan referensi kekuatan-kekuatan mana saja yang muncul pada masing-masing kecenderungan pola kepribadian siswa yang berhubungan dengan daya matematisnya. Selanjutnya referensi tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan tidak hanya dalam merancang pembelajaran matematika
94
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 yang bermakna bagi siswa, tetapi juga untuk memilih tindakan yang tepat dan menentukan perlakuan yang sesuai sehingga dapat memunculkan kemampuan daya matematis siswa.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengungkapan data menggunakan deskriptif eksploratif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 Manyar, Gresik, Jawa Timur, tahun pembelajaran 2010-2011. Subjek penelitian diambil dari siswa kelas reguler dan dipilih dengan menggunakan angket kecenderungan pola kepribadian yang poin-poin utamanya diadaptasi dari Littauer (1996) [15]. Pengambilan subjek penelitian ini tidak melihat kemampuan matematika siswa secara spesifik, tetapi lebih menitikberatkan pada masing-masing kecenderungan pola kepribadiannya, yaitu Sanguinis, Kholeris, Melankolis, dan Phlegmatis. Namun demikian dari aspek akademis keempat subjek penelitian ini dipilih yang memiliki rata-rata kemampuan matematika yang setara. Hal tersebut dilakukan peneliti untuk menghindarkan adanya persepsi bahwa hasil jawaban siswa pada tes daya matematis dipengaruhi oleh kemampuan tinggi, sedang atau rendah masing-masing subjek. Terpilih empat subjek dari hasil penggolongan siswa berdasarkan angket kecenderungan pola kepribadian yang telah diberikan untuk mewakili masing-masing kecenderungan pola kepribadian. Tahap berikutnya, peneliti melanjutkan pengumpulan data dengan memberikan tes tertulis daya matematis. Tes tertulis daya matematis ini berbentuk uraian berupa beberapa masalah aplikasi yang sudah sering diterapkan dalam kehidupan nyata. Beberapa masalah aplikasi yang diberikan pada subjek tersebut merupakan bagian dari materi Turunan yang telah diberikan sebelumnya oleh guru pada pembelajaran di kelas dan memiliki kompleksitas yang setara baik dalam hal langkah pengerjaan, operasi maupun konteksnya. Tes tertulis daya matematis mencakup lima aspek yaitu representasi, komunikasi, koneksi, penalaran dan pemecahan masalah. Tes dilakukan sebanyak dua putaran, yaitu pemberian tes tertulis daya matematis I dan II. Hal tersebut dilakukan untuk melihat keabsahan data. Di setiap subjek mengerjakan tes tertulis daya matematis pada masing-masing putarannya, saat itu juga dilakukan wawancara. Wawancara subjek pada penelitian ini adalah wawancara berbasis tugas. Maksudnya yaitu subjek diberi pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana dan mengapa ia mengambil suatu keputusan atau perilaku pada setiap aktivitas subjek baik secara kognitif maupun afektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan dapat diamati oleh peneliti. Analisis data untuk mengungkap profil daya matematis siswa ditinjau dari kepribadiannya ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Menganalisis angket kecenderungan pola kepribadian subjek penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui penggolongan subjek pada masing-masing kategori tipe kepribadian. b. Menganalisis hasil tes tertulis subjek penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui deskripsi daya matematis subjek dalam menyelesaikan permasalahan matematika. c. Menganalisis hasil wawancara untuk mengetahui tindakan dan sikap subjek penelitian secara lisan ketika menyelesaikan masalah yang diberikan, dilihat dari aspek daya matematis dan kecenderungan pola kepribadiannya. d. Melakukan metode triangulasi yaitu membandingkan data (penggolongan kecenderungan pola kepribadian dan jawaban tes tertulis subjek yang dilengkapi data hasil pengamatan dan data hasil rekaman gambar) dengan data hasil wawancara. Selanjutnya kegiatan analisis dilakukan kembali menggunakan langkah-langkah Miles & Huberman [16] yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. a. Reduksi data Reduksi data dimaksudkan untuk menyeleksi, memfokuskan, mengabstraksikan, dan mentransformasikan data mentah. Pada penelitian ini, reduksi data dilakukan dengan pengelompokan data. Dan pengelompokan data dilakukan setelah pengambilan data selesai dengan terlebih dahulu mentraskripkan hasil wawancara. Transkrip wawancara berisikan setiap kata dari hasil wawancara, termasuk ekspresi subjek ketika kegiatan tersebut SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
95
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 berlangsung. Pengelompokan data dilakukan berdasarkan hasil-hasil yang didapatkan dari subjek, baik dari hasil tes kemampuan daya matematis maupun hasil angket kecenderungan pola kepribadian subjek. b. Penyajian data Penyajian data dalam rencana penelitian ini meliputi klasifikasi dan identifikasi data yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah menarik kesimpulan dari data tersebut. c. Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan didasarkan pada hasil analisis terhadap data yang telah terkumpul, baik yang diperoleh dengan menggunakan tes, angket, dan hasil wawancara. Selanjutnya penarikan kesimpulan pada penelitian ini ditujukan untuk merumuskan profil daya matematis siswa ditinjau dari kecenderungan pola kepribadiannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ada dua soal yang diberikan pada subjek penelitian untuk menggali daya matematisnya, yaitu sebagai berikut: Soal 1 Sepotong kawat dengan panjang 16 cm dipotong menjadi dua bagian. Satu bagian sepanjang 8x cm dibentuk menjadi sebuah persegipanjang dengan panjang 3x cm dan lebar x cm. Potongan yang lain dibuat menjadi sebuah persegi. Tentukan jumlah luas minimum persegi panjang dan persegi tersebut. Jelaskan hasil akhir yang kamu peroleh.
Soal 2 Dari selembar alumunium akan dibuat silinder tanpa tutup yang mempunyai volume 8.000π cm3. Tentukan tinggi dan jari-jari alas silinder agar alumunium yang digunakan seminimal mungkin. Beri kesimpulan dari hasil yang kamu dapat. Hasil yang diperoleh dari masing-masing subjek dalam menyelesaikan soal yang diberikan terkait dengan daya matematisnya dapat dilihat pada tabel berikut:
96
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Tabel 1 Rekapitulasi Daya Matematis Masing-masing Kepribadian Daya Matematis
Indikator A1
Representasi
A2 A3.1 A3.2 B1
Menyajikan kembali data/ informasi dari suatu permasalahan dalam bentuk diagram, grafik, tabel, atau gambar A2(1) Membuat persamaan/ model matematika dari permasalahan yang diberikan A2(2) A3.1(1) Membuat situasi masalah berdasarkan data/ informasi yang diketahui A3.1(2) Menuliskan langkah-langkah penyelesaian yang akan dilakukan B1(1) Membuat situasi matematika berdasarkan ide dan informasi dari suatu permasalahan B1(2)
B2
Menyatakan ide, situasi atau relasi matematika dalam bentuk gambar, grafik, atau bentuk aljabar
B3
Menyatakan ide, situasi atau relasi matematika dalam bahasa/ simbol matematika
B4
Menginterpretasi dan mengevaluasi ide, situasi, atau relasi dengan respon berbentuk argumen
C1
Menggunakan keterkaitan konsep dengan algoritma dan operasi hitung dalam penyelesaian masalah
C2
Menerapkan konsep dan prosedur yang telah diperoleh pada situasi baru
C3
Mengembangkan ide-ide matematika yang dihadapi dalam konteks kehidupan
D1.1
Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat, dan hubungan
D1.2
Menarik kesimpulan logik dari penggunaan model, fakta, sifat, dan hubungan tersebut
D1.3
Menyusun dan menguji konjektur
Komunikasi
Koneksi
Penalaran
Sanguinis
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
Ada (√)/ Tidak Ada (X) Kholeris Melankolis
Phlegmatis
√
X
√
√
√ √ √ √ X √ √
√ √ √ √ X √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ X √ √
B2(1)
√
X
√
√
B2(2) B3(1) B3(2) B4(1) B4(2) B4(3) C1(1) C1(2) C1(3) C1(4) C2(1) C2(2) C2(3) C3(1) C3(2) C3(3) C3(4) D1.1(1) D1.1(2) D1.1(3) D1.2(1) D1.2(2) D1.3-D2-D3(1) D1.3-D2-D3(2) D1.3-D2-D3(3)
√ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
97
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
D2
Memberikan alasan terhadap solusi untuk masalah yang dihadapi
D.3
Menganalisis situasi matematika dengan menggunakan pola dan hubungan
E1.1
Mengidentifikasi informasi yang diketahui, yang ditanyakan dan cukup tidaknya informasi yang diperlukan menggunakan kalimat sendiri
E1.2 E1.3
Pemecahan Masalah
98
√ X √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ X √ √
√ √ √
√ X √
√ √ √
√ √ √
√
√
√
√
E1.3(1)
√
√
√
√
E1.3(2)
√
√
√
√
E2.1(1)
√
√
√
√
E2.1(2) E3.1(1) E3.1(2) E3.2(1) E3.2(2) E3.2(3) E3.2(4) E3.2(5) E3.3(1) E3.3(2) E3.3(3) E3.3(4) E3.3(5) E4.1-E4.2-E4.3(1)
√ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ X
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ X
E4.1-E4.2-E4.3(2)
√
√
√
√
E4.1-E4.2-E4.3(3)
√
√
√
√
D1.3-D2-D3(4) D1.3-D2-D3(5) D1.3-D2-D3(6) D1.3-D2-D3(7)
E1.1(1) E1.1(2) E1.1(3) Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika sesuai dengan permasalahan yang dipahami Menunjukkan keterkaitan masalah tersebut dengan beberapa konsep yang diperlukan untuk menyelesaikannya
E2.1
Menentukan cara yang perlu dilakukan atau memutuskan strategi yang cocok untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan yang diketahui dan yang ditanyakan
E2.2
Menyusun rencana penyelesaian masalah
E3.1
Menyelesaikan masalah dengan langkah pemecahan masalah
E3.2
Memeriksa apakah setiap langkah penyelesaian tersebut benar
E3.3
Mengembangkan penyelesaian dari suatu masalah
E4.1 E4.2
Melihat kembali, meliputi pengujian terhadap pemecahan yang dihasilkan Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan semula
E4.3
Memaknai hasil penyelesaian masalah yang diperoleh
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 SIMPULAN DAN SARAN Dalam penelitian ini diperoleh profil daya matematis siswa ditinjau dari kecenderungan pola kepribadiannya yaitu sebagai berikut: 1. Subjek Sanguinis cukup baik dalam menggunakan kemampuan membaca, menelaah dan menginterpretasi tes daya matematis yang dihadapinya sehingga ia dapat menuliskan bentuk aljabar hasil penerjemahannya terhadap soal, merancang situasi matematika ke dalam bentuk persamaan matematis, menginterpretasi ide masalah dengan mencari rumusan masalah yang sesuai dan pada akhirnya ia menemukan konsep apa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tes daya matematis tersebut. Kecenderungan subjek Sanguinis yang disorganized dalam melakukan perencanaan membuat ia kehilangan fokus hal-hal apa saja yang perlu dievaluasi. Sifatnya yang menyukai aktivitas baru dan menghindari melakukan hal yang sama (restless) membantu subjek dalam mengembangkan ide-ide matematika baik dalam penggunaan keterkaitan konsep dengan algoritma dan operasi hitung, maupun dalam penerapan konsep dan prosedur yang telah dipahaminya pada situasi baru. Tetapi kecenderungan scatterbrained (lemah dalam berkonsentrasi jangka panjang) subjek Sangunis membuat proses menyelesaikan masalah yang dihadapinya tidak selalu lengkap, ada satu atau beberapa tahap yang subjek tidak lakukan, dan seringkali tahap itu adalah tahap akhir dimana seharusnya subjek melihat kembali dan mengevaluasi hasil kerjanya. Pada kegiatan menyusun dan menguji dugaan terhadap cara penyelesaian, subjek Sanguinis mengawalinya dengan membuat dugaan terhadap masalah lalu mencari konsep materi yang berhubungan dengan masalah yang diduganya tersebut. Dalam mengembangkan penyelesaian, ia mengungkapkan dugaan adanya hubungan antara satu konsep dengan konsep lain yang masih berdekatan dan bagaimana mencarinya. Terakhir yang dilakukan subjek adalah melakukan operasi hitung untuk meyakinkan bahwa dugaannya benar. Subjek menjelaskan hasil akhir pekerjaannya dan memberikan tafsiran terhadap hasil tersebut tanpa melakukan pengujian dengan cara yang lain. 2. Dalam mengutarakan ide suatu masalah yang ada dalam pikirannya, subjek Kholeris tidak membuat bentuk visualisasi seperti yang dilakukan subjek Sanguinis. Subjek Kholeris memiliki kecenderungan yang dalam istilah psikologi disebut sure (yakin, hampir tak pernah ragu) dalam aktivitas apapun yang dilakukannya sehingga ketika mengerjakan tes daya matematis ia hanya menuliskan informasi-informasi yang ia rasa penting untuk menyelesaikan masalah, menuliskan model matematika yang ia butuhkan, dan merumuskan situasi masalah. Subjek Kholeris mengandalkan sifat persuasive-nya (mengutamakan logika dan fakta) dalam menentukan situasi masalah untuk dapat menentukan konsep materi yang sesuai untuk menyelesaikannya. Pada aktivitas mengkomunikasikan ide, subjek Kholeris melakukannya dengan tegas dan tepat sasaran. Untuk kecakapan menelaah soal dilakukan subjek Kholeris melalui kegiatan merumuskan suatu situasi yang sumbernya diperoleh dari informasi sebelumnya. Hal baik yang diperlihatkan dari subjek Kholeris yaitu strong-willed (bertekad melakukan sesuatu) dalam menyelesaikan pekerjaannya dan ia harus meyakinkan bahwa hasil kerja yang diperolehnya benar dengan cara memeriksa prosesnya berulangulang dan menguji hasilnya menggunakan metode yang dipahaminya. Subjek Kholeris cenderung tidak terpengaruh dengan sulit atau mudahnya permasalahan karena ia mempunyai sifat adventurous (menyukai tantangan dan memiliki tekad menguasainya) sehingga memudahkan subjek dalam mencari dan mengkonstruksi cara menyelesaikan masalah yang sesuai dengan yang ditanyakan. Proses subjek dalam mengembangkan penyelesaian masalah terlihat dari bagaimana ia menuliskan persamaan berdasarkan rumusan masalah, mengutarakan adanya dugaan keterkaitan suatu konsep materi tertentu dengan pertanyaan masalah, dan mengambil keputusan bahwa ia akan menggunakan konsep materi tersebut untuk menyelesaikan masalah. Setelah mendapatkan ide pokok bagaimana menyelesaikannya, subjek melakukan operasi hitung untuk mencari nilai-nilai yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah. Subjek melakukan pengujian terhadap hasil yang
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
99
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 diperolehnya melalui operasi hitung untuk meyakinkan kebenarannya. Di akhir pengerjaan, subjek menuliskan kesimpulan dari yang hasil kerjanya. 3. Subjek Melankolis mengungkap ide masalah yang dipahaminya melalui penyajian gambar. Bentuk visualisasi tersebut merupakan langkah awal untuk mendapatkan informasi lain yang tidak secara eksplisit dipaparkan dalam masalah. Sketsa gambar yang dibuat oleh subjek Melankolis merupakan suatu kecenderungan yang dikenal dengan istilah chartmaker, yaitu mengatur kehidupan, tugas dan penyelesaian masalah dengan membuat gambar, daftar, formulir atau grafik. Langkah selanjutnya yang diambil subjek yaitu membuat persamaan matematika sebagai penjabaran dari gambar yang dibuatnya dan informasi lain yang dipahaminya. Dari hasil penjabaran tersebut, subjek mengkonstruksi persamaan untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah. Subjek Melankolis terbiasa melakukan kegiatan yang sistematis (orderly) dan memilih menuliskan langkah-langkah penyelesaian yang akan dilakukannya dalam setiap permasalahan yang dihadapi sebagai bentuk perencanaan yang terperinci (planner). Dalam kegiatan mengkomunikasikan gagasan, subjek Melankolis melakukannya dengan terperinci, mulai dari (1) menggunakan gambar sebagai metode untuk menuangkan ide awal dari masalah yang dipahaminya; (2) membuat penjabaran dari gambar yang disesuaikan dengan informasi dan apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah; (3) membuat situasi matematika berdasarkan informasi yang dipahaminya dan bersesuaian dengan apa yang ditanyakan masalah, yaitu berupa persamaan matematika yang akan dicari hasilnya; (4) melakukan operasi hitung sesuai prosedur; dan (5) melakukan evaluasi terhadap hasil yang diperoleh dengan melihat kembali urutan proses secara menyeluruh. Subjek Melankolis melakukan satu demi satu tahap tersebut sesuai dengan urutannya, dan tidak akan beranjak pada satu tahap selanjutnya sampai ia menyelesaikan tahap sebelumnya (persistant). 4. Dalam memaparkan tahap pemahaman suatu ide masalah, subjek Phlegmatis lebih memilih mengawalinya dengan menyajikan dalam bentuk gambar. Hal itu dilakukan subjek tidak hanya sebagai bentuk penerjemahan masalah tetapi lebih kepada karena ia melakukannya berdasarkan contoh yang pernah ditemuinya dalam pembelajaran di kelas bersama guru. Kecenderungan subjek Phlegmatis yang disebut dalam istilah psikologi dengan obliging (mudah menerima dan melakukan hal apa saja atas tindakan orang lain) membuat proses mengerjakan sesuatu untuk hal apapun selalu didasarkan atas apa yang sudah pernah dilakukan orang lain. Sifat itu pula yang menjadi dasar bagi subjek tidak menuliskan secara terperinci langkah-langkah yang akan dilakukannya dalam menyelesaikan masalah selain yang diketahui dan ditanyakan. Subjek mengungkapkan apa yang dilakukannya adalah berdasarkan contoh sehingga ia tidak akan melakukan di luar itu. Pada kegiatan yang menggabungkan kecakapan membaca, menelaah dam menginterpretasi tes daya matematis yang dihadapi, subjek mengawalinya dengan (1) membuat gambar sesuai informasi yang dimengertinya tidak hanya sebagai salah satu tahapan penyelesaian yang perlu ada tetapi bentuk kehati-hatiannya mengikuti apa yang sudah pernah dicontohkan, (2) menyatakan secara lebih rinci hubungan antara gambar dan angka-angka yang diketahui dari informasi masalah melalui bentuk persamaan matematika, (3) membuat situasi matematika yang sesuai dengan masalah untuk menghubungkan informasi yang diketahuinya dengan konsep matematika yang akan digunakan menyelesaikan masalah melalui sebuah persamaan matematika tertentu, dan (4) melakukan operasi hitung untuk memperoleh hasil akhir. Langkah-langkah tersebut dilakukan subjek dengan mudah karena kecenderungannya yang submissive terhadap apa yang disampaikan guru ketika menyampaikan suatu proses penyelesaian masalah tertentu, yaitu menerima dan tidak memiliki keinginan untuk menggunakan kemampuannya sendiri. Bahkan kecenderungannya yang mudah puas (satisfied) membuat subjek tidak perlu lagi memeriksa ulang secara keseluruhan proses pekerjaannya dan mengevaluasi hasil yang diperolehnya.
100
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa hal yang disarankan, yaitu: 1. Berdasarkan penelitian ini, masing-masing kecenderungan kepribadian memperlihatkan proses melakukan kerja yang berbeda. Untuk itu sebagai guru atau calon guru ada baiknya dapat mengenal dan mendeteksi kecenderungan pola kepribadian siswa sejak dini, tidak hanya sekedar untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pada masing-masing kecenderungan pola kepribadian, tetapi lebih kepada upaya untuk bagaimana mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa yang berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan tersebut. Salah satunya adalah memahami karakter diri ketika dihadapkan pada permasalahan, contohnya permasalahan mengenai daya matematis. Dengan adanya gambaran mengenai respon masing-masing kecenderungan kepribadian pada masalah daya matematis tersebut, guru atau calon guru dapat melihat potensi-potensi mana saja dalam diri siswa yang dapat memberi feedback baik sehingga memberi peluang untuk mengembangkan prestasi siswa. 2. Dengan melihat gambaran proses yang dilakukan masing-masing kepribadian dalam penelitian ini mulai dari bagaimana mengungkapkan gagasan dari suatu masalah hingga pada tahap mengembangkan penyelesaian masalah, guru atau calon guru dihadapkan pada kenyataan bahwa memahami keunikan yang ada pada diri siswa merupakan hal yang tidak dapat dihindari sebagai pendidik. Kemajemukan kecenderungan karakteristik dengan masing-masing potensi baik dan kurang baiknya akan mutlak terjadi dalam interaksi di kelas. Untuk itu dengan mengetahui sekaligus memahami gambaran mengenai respon peserta didik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau masalah, sedikit banyak dapat membantu pendidik untuk menentukan perlakuan dan bentuk arahan yang sesuai sehingga pengabaian terhadap potensi peserta didik, baik potensi intelektual maupun non intelektual, dapat terminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. [Online] Tersedia: http://kemendiknas.go.id/ [Diunduh 11 Januari 2011] [2] NRC. 2005. A Vision of Mathematical Power and Appreciation for All. [Online] Tersedia:
http://www.sde.ct.gov/sde/lib/sde/PDF/Curriculum/ Curriculum_Root_Web_Folder/mathgd_chpt1.pdf [Diunduh 28 Desember 2010]. [3] NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. [Online] Tersedia:
http://www.nctm.org/standards/content.aspx?id=26862 [Diunduh 17 Pebruari 2011]. [4] HM Inspectorate Education. 2010. Learning Together: Mathematics. UK: Denholm House. [5] Latterell, Carmen M. 2007. Today’s Mathematics Students. Duluth: University of
Minnesota. [6]
Schoenfeld, A. H. 1994. What Do We Know About Mathematics Curricula?. California: Barkeley Edu.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
101
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
[7] Alimoradi, M., Emamipour, S., Sepahmansour, M. 2010. Effect of Personality Types and
Educational Enthusiasms on Course Selection and Educatioanl Development Students. Iran: Islamic Azad University. [8]
Darwis, Muhammad. 2007. Model Pembelajaran Matematika yang Melibatkan Kecerdasan Emosional. Disertasi Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan Matematika UNESA: tidak dipublikasikan.
[9] Suryabrata. 2002. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Grafindo Persada. [10]
Bergesson. (2000). Teaching and Learning Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.k12.wa.us/research/pubdocs/pdf/MathBook.pdf [17 April 2007].
[11] Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang
Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara. [12] Oktaviyanthi, Rina. 2007. Hubungan Pola Kepribadian dan Dominasi Hemisfer Terhadap
Kemampuan Membaca Matematika Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI: tidak dipublikasikan. [13] Chapman, Alan. 2009. Personality Theories, Types and Tests. [Online]. Tersedia:
http://www.e-stimate.dk/nyheder/teorierne_bag.pdf [Diunduh 15 Maret 2011]. [14] Sarwono. 1994. Psikologi Sosial (Social Psychology : Individuals and Théories on Social
Psychology). Jakarta : Balai Pustaka. [15] Littauer. 1996. Personality Plus. Jakarta: Bina Aksara. [16]
Schneider. 2005. Qualitative Data Analysis. [Online] Tersedia: http://tecfa.unige.ch/guides/methodo/edu-tech/slides/analysis-quali.pdf [Diunduh 20 Januari 2011].
102
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN DENGAN METODE DISCOVERY (Studi Kasus Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa SMP N 13 Jakarta) Samsul Maarif, M.Pd Pendidikan Matematika FKIP UHAMKA [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian dengan factorial design, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode discovery terhadap kemampuan generalisasi matematis siswa SMP. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMPN 13 Jakarta, dan pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive random sampling, yaitu dengan memilih siswa kelas VII sebanyak dua kelas sebagai sampel. Penelitian ini terdiri dari kelompok pembelajaran pembelajaran dengan metode discovery dan kelompok pembelajaran dengan metode ekspositori. Kelas VII.6 dijadikan sebagai kelompok eksperimen, sedangkan kelas VII.8 dijadikan sebagai kelompok kontrol. Setiap kelompok terdiri dari 36 siswa yang terbagi kedalam tiga kemampuan siswa yaitu siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Data penelitian dikumpulkan melalui tes, angket, observasi dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah: (1) Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode discovery lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositori; (2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Kata kunci: pembelajaran dengan metode discovery, kemampuan generalisasi matematis.
PENDAHULUAN Dalam menjalani abad ke 21, kita bangsa Indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar unggul dan dapat diandalkan untuk menghadapi persaingan bebas di segala bidang kehidupan yang kian ketat sebagai dampak dari globalisasi dunia. Dampak globalisasi dunia tidak hanya kita rasakan pada sendi-sendi perekonomian, pertahanankeamanan, politik dan sosial budaya semata, namun juga pada sendi-sendi pendidikan pada umumnya. Bila kualitas pendidikan dalam negeri terjamin, maka tentu pendidikan kita minimal akan menjadi tuan di negaranya sendiri. Oleh karena itu merupakan suatu hal yang logis bila kita harus lebih memperhatikan kualitas pendidikan. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
103
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan SDM yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Hal tersebut senada dengan pendapat Sumarmo (2005) yang menyatakan bahwa pendidikan matematika sebagai proses yang aktif, dinamik, dan generatif melalui kegiatan matematika (doing math) memberikan sumbangan yang penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, berfikir logis, sistematik, ktitis dan cermat, serta bersikap obyektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan. Tetapi faktanya, hasil penelitian The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang dilakukan terhadap siswa SMP kelas dua di Indonesia terhadap nilai rata-rata matematika yang dicapai hanya 397 jauh di bawah rata-rata internasional TIMSS yang mencapai 500 (TIMSS, 2008). Nilai yang dicapai siswa-siswa Indonesia ternyata juga lebih rendah apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan Asia seperti Taiwan (dengan rata-rata nilai 598), Korea Selatan (597), Singapura (593), Jepang (570) bahkan Malaysia (474). Sedangkan laporan PISA 2006, Indonesia menempati rangking 52 dari 57 negara. Sementara hasil nilai matematika pada Ujian Nasional, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah. Pertama kali pelaksanaan UN, yaitu tahun 2003, pemerintah menetapkan standar minimal nilai kelulusan bagi siswa adalah 3,01 dengan rata rata angka kelulusan siswa SMP, SMA dan SMP sebesar 71,55%. Selama beberapa tahun penyelenggaraan UN tingkat SMP/Mts, nilai rata-rata mata pelajaran matematika 7,08 di tahun 2005/2006 dengan nilai terendah 0,67 dan 6,92 di tahun 2006/2007 dengan nilai terendah 0,33 (Yunengsih, dkk. 2008). Hal tersebut menandakan bahwa pembelajaran matematika di Indonesia perlu ditingkatkan proses pembelajaranya sehingga dapat memperoleh hasil belajar matematika yang lebih baik. Rendahnya kemampuan matematis siswa, bisa jadi salah satunya disebabkan karena kemampuan siswa dalam melakukan penalaran matematis yang masih rendah. Menurut hasil penelitian Rahman (2004) menemukan bahwa hasil tes awal menunjukkan bahwa kemampuan generalisasi matematik siswa berada pada kualifikasi kurang. Hal senada juga diungkapkan oleh Suryadi (2005) bahwa siswa kelas dua SMP di kota dan kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam kemampuan mengajukan argumentasi serta menemukan pola dan pengujian bentuk umumnya. Begitu juga dengan Herdian (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa kemampuan analogi dan generalisasi matematis siswa yang memiliki kemampuan rendah berada pada kualifikasi kurang. Hal ini dapat terjadi karena proses pembelajaran melalui metode discovery dirasakan lebih sulit bagi siswa lemah, dan sebaliknya bagi siswa pandai. Selain itu, Yuliani (2011) mengemukakan bahwa kemampuan analogi dan generalisasi matematis siswa berkemampuan sedang dan rendah berada pada kualiikasi kurang yang dilakukan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Masih rendahnya kualitas kemampuan generalisasi matematis merupakan indikasi bahwa tujuan pembelajaran matematika belum tercapai secara optimal. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan optimal, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran matematika. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan dalam penerapan metode pembelajaran oleh guru. Selain itu, rendahnya kemampuan matematis siwa juga disebabkan karena masih belum sepenuhnya dipahami oleh guru tentang pembelajaran sebagai upaya membuat siswa belajar, hal ini nampak di lapangan dominasi guru dalam pembelajaran masih menjadi pilihan para guru sehingga siswa lebih banyak pasif dalam pembelajaran. Hal serupa disampaikan Silver bahwa aktivitas siswa sehari-hari terdiri atas menonton gurunya menyelesaikan soal-soal di papan tulis, kemudian meminta siswa bekerja sendiri dalam buku teks atau LKS yang disediakan (Turmudi, 2008). Penekanan guru untuk memenuhi target pencapaian kurikulum daripada penguasaan materi mengakibatkan kurang maksimalnya guru mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam sebuah pembelajaran di kelas. Guru tidak jarang terkesan tergesa-gesa dalam mengajar sehingga berorientasi pada tujuan bukan pada proses pembelajarannya. Hal tersebut yang menjadikan suatu pembelajaran tidak efektif sehingga proses transfer materi kurang
104
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dipahami oleh siswa. Keadaan seperti itulah yang dikhawatirkan menjadi sebuah pembelajaran membosankan dan menjadikan minat siswa dalam pembelajaran matematika kurang. Metode yang kerap guru gunakan adalah metode ekspositori dengan menerangkan materi dan selanjutnya memberi contoh soal. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu: 1) Sekolah sudah memiliki alat peraga tetapi belum memanfaatkannya secara optimal; 2) Sekolah sama sekali belum memiliki alat peraga; 3) Sekolah telah memiliki alat peraga namun belum memadai baik tempat, kualitas maupun kuantitasnya (Asyhadi, 2005). Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematikanya. Hal ini sesuai dengan temuan Wahyudin (Herdian, 2010:1) dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika akibat siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Hasil penelitian Rif’at (Suzana, 2003: 2) juga menunjukkan kelemahan kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar. Misalnya, kesalahan dalam penyelesaian soal matematika karena kesalahan menggunakan logika deduktif. Penalaran dan matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prowsri dan Jearakul (Priatna, 2003: 4) bahwa pada siswa sekolah menengah Thailand terdapat keterkaitan yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan hasil belajar matematika mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran berperan penting dalam keberhasilan siswa. Siswa yang memiliki kemampuan penalaran yang baik diharapkan mempunyai prestasi belajar matematika yang baik pula. Ruseffendi (Rahman, 2004: 3) mengungkapkan bahwa membuat generalisasi adalah membuat konklusi atau kesimpulan berdasarkan kepada pengetahuan (pengalaman) yang dikembangkan melalui contoh-contoh kasus. Dalam melakukan penarikan kesimpulan (generalisasi) anak dapat membuat konjektur berdasarkan pengamatan dari fakta-fakta yang diberikan, baik itu pola tumbuh dan pola berulang yang dinyatakan dengan bilangan atau gambar (geometri). Konjektur ini sangat membantu anak dalam melakukan penarikan kesimpulan. Menurut Gagne (Herdian, 2010) generalisasi dapat diartikan sebagai transfer belajar yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menangkap struktur pokok, pola dan prinsipprinsip umum. Lebih lanjut, siswa akan mampu mengadakan generalisasi, yaitu menangkap ciriciri atau sifat umum yang terdapat dari sejumlah hal-hal khusus. Apabila siswa telah memiliki konsep, kaidah, prinsip (kemahiran intelektual) dan siasat masalh-masalah tersebut. Dengan demikian, siswa yang memiliki kemampuan generalisasi matematis maka telah terjadi transfer belajar dalam hal membuat kesimpulan matematis yang terlihat dari kegiatan siswa melakukan berbagai strategi terhadap penyelesaian suatu masalah. Untuk mengembangkan kemampuan generalisasi matematis diperlukan sebuah metode pembelajaran yang mempunyai karakteristik membangun katagori, menentukan masalah dan menciptakan lingkungan yang mendukung. Metode pembelajaran yang mempunyai karakteristik tersebut diantaranya Discovery Learning. Hal ini didasarkan pada proses pembelajaran penemuan yang digambarkan Veermans (Herdian, 2010) yaitu orientasi, menyusun hipotesis, menguji hipotesis, membuat kesimpulan dan mengevaluasi (mengontrol). Ruseffendi (1991: 329) mengemukakan bahwa metode discovery adalah metode mengajar yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, dimana sebagian atau seluruh pengetahuan ditemukan sendiri dengan bantuan guru. Sejalan dengan Ruseffendi, Sund (Suriadi, 2006: 5) mengungkapkan bahwa penemuanialah proses mental sehingga siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Diharapkan, jika siswa secara aktif terlibat didalam menemukan SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
105
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 suatu prinsip dasar sendiri, Ia akan memahami konsep lebih baik, ingat lama dan akan mampu menggunakannya kedalam konteks yang lain. Blake et al. (Rochaminah, 2008: 32) membahas metode discovery yang dipublikasikan oleh Whewell. Whewell mengajukan metode discovery dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi, (2) menarik kesimpulan secara induktif, (3) membuktikan kebenaran (verifikasi). Dari tiga tahap tersebut terlihat bahwa dalam metode discovery kektifan siswa sangat dibutuhkan untuk menuangkan ide dari suatu masalah matematika sehingga siswa dapat mengklarifikasi sebuah persoalan untuk kemudian mengidentifikasi fakta-fakta untuk menarik sebuah kesimpulan. Setelah siswa menarik kesimpulan siswa juga dapat membuktikan kebenaran dari kesimpulan tersebut. Metode discovery memberi kesempatan yang leluasa kepada siswa untuk belajar melakukan aktivitas bekerja matematika, siswa diberi kesempatan mengembangkan strategi belajarnya secara sendiri maupun berinteraksi dan bernegosiasi dengan sesama siswa serta dengan guru. Melalui kegiatan seperti itu dimungkinkan siswa tidak merasa tertekan, tidak cemas, rasa percaya dirinya muncul dan termotivasi untuk belajar matematika (Yuliani, 2011). Bila hal itu benar-benar terjadi dalam pembelajaran matematika, bukan mustahil sikap positif siswa terhadap matematika akan tumbuh. Ini penting, karena sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan hasil belajar matematika. Sehingga diduga metode discovery dapat meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Dalam kegiatan pembelajaran matematika kondisi siswa sangat berpengaruh berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran karena siswa merupakan subjek dari materi yang diberikan oleh guru. Oleh sebab itu, kondisi siswa sangat menentukan berhasil atau tidaknya tujuan pembelajaran tersebut. Pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan akan berpengaruh pada sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Slameto (Saragih, 2011) mengungkapkan bahwa sikap terbentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang, imitasi, sugesti, dan melalui identitas. Hal tersebut menunjukkan jika pembelajaran matematika yang menyenangkan dilakukan secara berulang-ulang akan menjadikan siswa menyenangi pelajaran matematika, sehingga sikap siswa terhadap matematika. Sikap siswa terhadap matematika tidak dipungkiri dipengaruhi oleh guru dalam menyampaikan materi didepan kelas. Kurangnya guru dalam memfasilitasi, membimbing, memotivasi dan mengajr dengan metode pembelajaran yang tidak tepat. Sehubungan dengan itu, maka kedekatan emosianal antara guru sengan siswa harus dibangun dengan baik. Selain itu, guru juga harus melakukan inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dalam kegiatan pembelajaran, guru juga harus bisa membimbing dan memfasilitasi siswa dengan memberikan bimbingan apa yang dibutuhkan oleh siswa. Disamping itu, guru memberikan solusi yang terbaik dalam menanggapi pertanyaan/masalah yang diajukan siswa dengan tetap memperdayakan siswa dalam membangun konsep materi yang diajarkan. Ruseffendi (Darhim, 2004) juga menjelaskan bahwa untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika antara lain dengan cara mengajarkan matematika sesuai dengan lingkungan dan pengetahuan siswa. Oleh karena itu, sikap siswa terhadap matematika tidak dapat dipisahkan dari kemampuan awal matematika siswa. Siswa dengan kemampuan matematika yang rendah akan cenderung bersikap negatif terhadap matematika, karena mereka sudah memiliki ketakutan terlebih dahulu terhadap pelajaran matematika. Sebaliknya untuk siswa dengan kemampuan matematika yang tinggi akan cenderung bersikap positif terhadap matematika. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa siswa yang memiliki kemampuan matematika rendah akan menjadi bersikap positif terhadap matematika. Pembelajaran dengan metode discovery menempatkan guru sebagai vasilitator, membimbing dan memotivasi siswa. Adanya interaksi antar siswa dalam pembelajaran memberikan kontribusi untuk mengungkapkan pendapat satu sama lain sehingga antara siswa yang kurang memahami materi akan diberi masukan oleh siswa yang memahaminya. Terciptanya situasi pembelajaran yang aktif oleh adanya interaksi antar siswa dapat mendorong siswa untuk menata proses berpikirnya, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan analogi dan generalisasi matematis. Hal tersebut dapat diakomodir pada pembelajaran dengan metode discovery yang salah satu 106
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 aspeknya adanya interaksi antar siswa. Oleh sebab itu, perlunya pengelompokan siswa untuk mempermudah adanya interaksi antar siswa berjalan lebih efektif. Dalam penelitian ini kemampuan siswa diklasifikasikan berdasarkan pengetahuan awal matematika, yang terdiri dari siswa kemampuan tinggi, kemampuan sedang, dan kemampuan rendah. Setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memahami matematika. Menurut Galton (Ruseffendi, 1991) dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini disebabkan kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal. Proses penentuan kelompok tinggi, kelompok sedang dan kelompok rendah ini adalah dengan cara mengurutkan skor hasil belajar matematika sebelumnya (ulangan harian dan ujian tengah semester), serta pengklasifikasian yang dilakukan oleh guru kelas. Hal ini sejalan dengan temuan Begle (Darhim, 2004) melalui penelitiannya bahwa salah satu prediktor terbaik untuk hasil belajar matematika adalah hasil belajar matematika sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa peran variabel kognitif lainnya ternyata tidak sebesar variabel hasil belajar sebelumnya.
METODE PENELITIAN Desain yangdigunakan dalam penelitian ini adalah “factorial design”, yaitu dengan memperhatikan adanya variabel kontrol yang mempengaruhi perlakuan (variabel bebas) terhadap hasil (variabel terikat). Penelitian ini akan dilakukan pada siswa dari dua kelas yang dipilih dengan pertimbangan tertentu. Desain penelitian ini berbentuk: Kelas Eksperimen :
O
Kelas Kontrol
O
:
X
O O
Dimana:
O X
: Pretest=posttest (tes kemampuan generalisasi matematis siswa) : Perlakuan pembelajaran dengan metode discovery
Penelitian ini menggunakan model faktorial 2x1x3, dimana 2 adalah banyaknya faktor pembelajaran (metode pembelajaran discovery dan metode pembelajaran ekspositori ), 1 adalah banyaknya faktor kemampuan matematis siswa (kemampuan generalisasi matematis), dan 3 adalah banyaknya faktor kemampuan awal siswa (siswa tinggi, siswa sedang dan siswa rendah).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Diskrpsi data Data dalam penelitian ini diperoleh dari skor pretes, serta data skala sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Skor pretes digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum diberikan perlakuan, sedangkan untuk melihat peningkatan diperoleh dari selisih antara skor pretes dan postes serta skor ideal kemampuan generalisasi dan generalisasi metematis siswa yang dinyatakan dalam skor gain ternormalisasi. Berikut ini disajikan diskripsi statistik skor pretest, posttest, dan gain ternormalisasi (g) dalam bentuk tabel. Tabel 1. Statistika Diskriptif Skor Kemampuan Generalisasi Matematis Kemampuan Generalisasi Matematis Eksperimen
Kontrol Skor Ideal
N
Minimum
Maximum
Rataan
Simpangan Baku
Pretes
36
2.00
19.00
9.4722
4.31268
Postes
36
10.00
27.00
21.6389
4.23018
Gain
36
.24
.94
.6711
.16587
Pretes
36
4.00
17.00
9.7222
3.58259
Postes
36
9.00
27.00
19.3889
4.72246
Gain
36
.14
.94
.5353
.21940
28
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
107
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
2. Hasil Pretes Kemampuan Generalisasi Matematis Untuk mengetahui bahwa kemampuan awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terdapat perbedaan yang signifikan, maka dilakukan analisis uji kesamaan rataan hasil pretes. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan uji kesamaan rataan terlebih dahulu dengan melakukan uji normelitas sebaran data dan homogenitas varians. Jika data memebuhi syarat normalitas dan homogenitas, uji kesamaan rataan Uji-t, sedangkan data yang tidak memenuhi syarat normalitas, mengguakan uji non-parametrik.
3. Hasil Gain Ternormalisasi Kemampuan Generalisasi Matematis Dengan menggunakan bantuan program SPSS 16 for Windows, diperoleh diskripsi statistik data dan gain ternormalisasi kemampuan generalisasi matematis sebagai berikut: Tabel 2. Statistik Deskriptif Gain Ternormalisasi Kemampuan Generalisasi Matematis menurut Metode Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa Kemampuan Awal Siswa
Tinggi
Sedang
Rendah
Keseluruhan
N-Gain Statistik Rataan Simpangan Baku
MPD
MPE
Total
0.8118
0.7145
0.7632
0.07264
0.13808
0.11862
Perbedaan Rataan N-Gain
0.0973
22
N
11
11
Rataan Simpangan Baku N Rataan Simpangan Baku N Rataan Simpangan Baku N
0.6757
0.5407
0.6082
0.09533
0.21150
0.17504
14 0.5245
14 0.3491
28 0.4368
0.18376
0.13315
0.18051
11 0.6711
11 0.5353
22 0.6032
0.16587
0.21940
0.20486
36
36
72
0,1350
0.1754
0,1358
4. Pengujian Hipotesis Data gain ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai varians yang homogen dan keduanya berdistribusi normal maka untuk mengetahui signifikansi perbedaan rataan kedua kelompok dilakukan analisis varians (ANOVA) dua jalur. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh langsung dari dua perlakuaan yang berbeda yang diberikan terhadap kemampuan generalisasi matematis siswa menorut metode pembelajran dan kategori kemampuan siswa. Hasil perhitungan uji analisis varians dengan SPSS 16 padat General Linear Model (GLM)- Unvariate dilakukan pada taraf signifikansi α = 0,05, sedangkan rangkuman disajikan pada tabel berikut:
108
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 3. Analisis Varians Gain Ternormalisasi Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut Metode Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa Sumber Pembelajaran
Jumlah kuadrat (JK)
Dk
Rataan JK
F
p-value
Kes.
.328
1
.328
14.857
.000
Tolak H0
KemampuanSiswa
1.173
2
.586
26.544
.000
Tolak H0
Pembelajaran * KemampuanSiswa
.017
2
.008
.381
1.458
66
.022
29.176
72
Kesalahan Total
.685 Terima H0
Selanjutnya dari tabel di atasdilakukan pengujian hipotesis penelitian. Hipotesis yang akan diuji adalah: Hipotesis 1: . Setelah dilakukan perhitungan ANOVA dua jalur yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.21. Diperoleh nilai sig. (1-tailed) sebesar 0,000< α = 0,05.Karena itu, hasilnya hipotesis nol ditolak, artinya peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode discovery secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositori. Hipotesis 2: Kriteria pengujian adalah tolak H0, jika Asymp.Sig(1-tailed)< α = 0,05. Setelah dilakukan perhitungan ANOVA dua jalur yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.21. Diperoleh nilai sig. (1-tailed) sebesar 0,000 < α = 0,05. Karena itu, hasilnya hipotesis nol ditolak, artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
5. Pembahasan Berdasarkan data penelitian, diketahui bahwa skor rataan kemampuan generalisasi matematis pretes siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol secara berturut-turut adalah 9,572 dan 9,720. Jika diperhatikan rataan skor kedua kelas, jelas diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan antara skor rataan kemampuan generalisasi siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Setelah dilakukan perlakuan yaitu pada kelas eksperimen dengan pembelajaran dengan metode discovery dan pada kelas kontrol mendapat perlakuan metode ekspositori perhitungan gain ternormalisasi, secara signifikan kelompok eksperimen menunjukkan rataan peningkatan kemampuan generalisasi matematis kelompok eksperimen sebesar 0,671, sedangkan rataan generalisai matematis kelompok kontrol sebesar 0,535. Bedasarakan uji Anova Dua Jalur diperoleh signifikansi 0,000 < 0,05 yang artinya peningkatan kemampuan generalisasi matematis yang memperoleh pembelajaran dengan metode discovery lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositori. secara keseluruhan peningkatan gain ternormalisasi kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode discovery dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositori berada pada klasifikasi sedang. Dari hasil uji Anova Dua Jalur juga menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan generalisasi matematis siwa pada kelompok eksperimen lebih baik dari kelompok eksperimen. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bicknell-Holmes & Hoffman (Herdian, 2010) mengambarkan tiga sifat utama pembelajaran discovery yakni : (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk membuat, mengintegrasikan, dan menggeneralisasi pengetahuan. (2) aktivitas-aktivitas berdasar ketertarikan dimana siswa menentukan tahapan dan frekwensi, dan (3) aktivitas-aktivitas yang mendorong integrasi pengetahuan baru kedalam dasar pengetahuan siswa yang telah ada. Pembelajaran discovery dapat difasilitasi melalui beragam strategi, atau arsitektur, di dalam kelas. Sehingga dari kegiatan mengeksplorasi dan SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
109
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 memecahkan masalah kemudian mengenaralisasikan maka kemampuan siswa dalam generalisasi matematis dapat meningkat. Selanjutnya dilakukan pengujian statistik Anova dua jalur untuk melihat perbedaaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis dilihat dari kategori kemampuan siswa. Hasil pengujian menunjukkan adanya penolakan H0 mengenai perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa, antara siswa berkemamuan tinggi, sedang dan rendah mengindikasikan bahwa kategori siswa secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ruseffendi (Herdian, 2010) mengatakan bahwa dari sekelompok anak yang tidak dipilih secara khusus terdapat sejumlah anak berbakat hebat yang berada di atas siswa berkemampuan sedang, yang jumlahnya sama dengan anak-anak yang berkemampuan rendah. Disamping itu, pada pembelajaran discovery pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer. Terdapat temuan pada proses pembelajaran di mana siswa dalam hal menggenaralisasi suatu kegiatan dengan mempraktikan lebih mudah seperti contoh pada materi keliling dan luas daerah persegi panjang dimana siswa dengan menggunakan kertas HVS kemudian membagi sisi-sisi kertas HVS tersebut dengan panjang 2 cm kemudian menghubungkan titik-titik tanda tersebut sehingga membentuk kotak-kotak. Siswa dengan muda menghubungkan banyaknya dengan keliling ataupun luas daerah persegi panjang yaitu bahwa K =2 (p+l) dan L =p . Hal kegiatan praktik dengan menggunakan bantuan alat sangat membantu dalam proses generalisai, dimana dari konteks siswa meemukan fakta-fakta, kemudian siswa mengintegrasikan ke dalam sebuah pengetahuan sehingga didapat proses generalisasi. Akan tetapi siswa mengalami kesulitan ketika dihadapkan untuk menentukan pola ke-n jika pada masalah yang berpola. Seperti contoh diketahui suatu segitiga yang disusun seperti berikut ini:
Pola 1
Pola 2
Pola 3
. . . .
Berapa jumlah segitiga yang diarsir pada pola ke-n? Terdapat salah satu siswa yang mendaftar dengan menyusun pola angka-angka 1, 3, 6, 10, 15, . . . ., sudah menemukan bahwa setiap suku pertama ditambahkan dengan 2, suku ke-2 ditambah 3, suku ke-3 ditambah 4 dan seterusnya akan tetapi belum bisa menyimpulkan suku ke-n. Untuk membantu siswa peneliti memberikan scaffolding pada siswa dengan menyuruh siswa membuat label sperti di bawah ini: pola 1 = pola 2 = 3 = pola 3 = 6 = pola 4 = 10 = ..... Dari data itu siswa menemuka keterkaitan antara bilangan pada pola dengan perkalian bilangan selanjutnya kemudian dibagi 2 jadi siswapun dapat menyimpulkan bahwa jumlah 110
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 segitiga yang diarsir pada pola ke-n = . Dari hal tersebut siswa lebih mudah menemukan pola dengan memperlihatkan keterkaitan bilangan-bilangan yang ada akan tetapi guru harus terus membimbing untuk memberikan scaffolding. Vygotsky (Muhammad Nur, 2004) tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding yaitu berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Perbedaan rataan gain ternormalisasi antar kemampuan awal siswa menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan awal yang dimiliki siswa semakin tinggi pula peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa. Yang artinya bahwa kemampuan awal siswa sangat diperlukan dalam pembelajaran. Karena kemampuan awal siswa yang baik tentang materi sebelumnya maka siswa dapat mengkonstruksi konsep baru dengan kemampuan awal yang dimilikinya. Dilihat dari rataan gain ternormalisasi kemampuan generalisasi matematis pada kategori kemampuan awal siswa tinggi yang memperoleh pembelajaran dengan metode discovery lebih tinggi dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositiri. Hal itu disebabkan dalam pembelajaran dengan metode discovery siswa disajikan masalah dan siswa sendiri yang menentukan solusinya. Dalam menentukan solusi siswa menggunakan alat bantu sehingga mereka dapat mengidentifikasi secara langsung masalah yang diajukan sehingga siswa dengan mudah menentukan solusinya. Hal tersebut juga menunjukkan kontribusi yang signifikan pembelajaran dengan metode discovery terhadap kemampuan generalisasi matematis siswa. Menurut rataan gain ternormalisai yaitu sebesar 0,630, terdapat 13 siswa dibawah rataan tersebut atau 33,33%. Dari 13 siswa tersebut terdapat 10 siswa berkemampuan rendah dan 2 siswa yang berkemampuan sedang. Artinya dalam pembelajaran dengan metode discovery sudah efektif untuk meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa. Akan tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kekurangan seperti pada kelompok siswa yang berkemampuan rendah mengalami kesulitan dalam memahami masalah yang ada pada LKS. Di samping itu siswa merasa masalah yang ada dalam LKS terlalu banyak sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan semua maslah yang terdapat pada LKS. Disamping itu, terlihat kektifan dari siswa berkemampuan rendah kurang jika dibandingkan dengan siswa yang berkemampuan tinggi atau sedang. Jika dilihat dari selisih peningkatan kemampuan generalisasi matematis, maka selisih terbesar terjadi antar pembelajaran yaitu siswa berkemampuan sedang 0,161, siswa berkemampuan tinggi sebesar 0,159 dan siswa berkemampuan rendah 0,090. Hal ini megindikasikan bahwa penerapan MPD lebih baik dibandingkan dengan penerapan MPE dalam meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa dan siswa yang memiliki kemampuan awal sedang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa.Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa berkemampuan rendah yang mengalami pembelajaran dengan metode discovery dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Hal tersebut karena adanya pengelompokan yaitu dalam satu kelompok terdapat siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sehingga, siswa yang berkemampuan tinggi dapat membantu siswa yang berkemampuan sedang atau rendah untuk memahami materinya.Hal tersebut menunjukkan interaksi antar siswa untuk menentukan pola pikirnya dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Vygotsky mengungkapkan empat prinsip seperti yang di kutip Slavin (Muhammad Nur, 2004) yaitu pembelajaran sosial, ZPD ( zone of proximal development), masa magang kognitif dan pembelajaran termediasi). Inti teori ini adalah menekankan pada interaksi antara aspek internal dari pembelajaran dan menekankan pada lingkungan pembelajaran.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
111
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan data penelitian dan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan hipotesis-hipotesis penelitian, antara lain: 1) Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode discoverylebih baikdaripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositori. 2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori (a) kelompok siswa berkemampuan tinggi, (b) kelompok siswa berkemampuan sedang dan (c) kelompok siswa berkemampuan rendah. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka rekomendasi penelitian yang disampaikan, antara lain: 1) Sebelum dilakukan pembelajaran dengan metode discovery apabila akan membuat siswa dalam kelompok, dalam satu kelompok hendaknya erdapat siswa yang berkemampuan tinggi, sedang atau rendah. Hal ini agar kegiatan bimbingan yang dilakukan oleh guru lebih efektif karena siswa yang berkemampuan tinggi atau sedang dapat embantu siswa yang berkemampuan rendah. 2) Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran membuat pembelajaran lebih bermakana sehingga dalam materi geometri hendaknya disajikan dengan bantuan alat peraga. 3) Sebelum guru menggunakan metode discovery, sebaiknya guru terlebih dahulu mengidentifikasi kemampuan siswanya. Jika kemampuan siswa pada kelas tersebut heterogen, sebaiknya guru mengkombinasikan metode discovery dengan pengelompokan siswa. Tujuannya agar siswa berkemapuan rendah dapat terbantu oleh rekan kelompoknya yang lebih pandai. 4) Apabila guru matematika SMP akan menggunakan metode discovery dalam proses pembelajaran maka perlu mempertimbangkan antara lain waktu yang tersedia, pemilihan pokok bahasan yang relevan dengan proses penemuan, kesiapan siswa serta pengelolaan kelas. 5) Pembuatan bahan ajar atau LKS hendaknya kegiatan siswa atau masalah yang dimunculkan dalam bahan ajar tersebut disesuakan dengan waktu yang tersedia sehingga semua persoalan yang ada pada LKS siswa dapat menyelesaikannya semua dengan baik. Disamping itu, variasi soal dalam LKS menurut tingkat kesukaran juga harus diperhatikan terkait proposi permaslahan yang mudah ataupun yang sukar sehingga siswa termotivasi untuk mengerjakan persoalan yang dianggap sukar oleh siswa. 6) Penelitian yang dilakukan ini sifatnya sangat terbatas baik subjek penelitian, dan pokok bahasan. Populasi penelitian ini hanya siswa SMP N 13 Jakarta dan sampel yang diambil hanya dua kelas sehingga hasil penelitian ini belum tentu sesuai dengan sekolah atau daerah lain yang memiliki karakteristik dan psikologi siswa yang berbeda. 7) Dalam upaya implementasi metode discovery di sekolah menengah pertama, direkomendasikan kepada para pengambil kebijakan pendidikan untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap paradigma pembelajaran matematika yang selama ini kurang sesuai dengan kaidah-kaidah metode discovery. 8) Pada proses generalisasi terkait dengan symbolic expression of generality dan manipulation of generality guru hendaknya menuntun siswa untuk mengaitkan symbol-simbol pada permasalahan kedalam bilangan-bilangan yang kemudian menuntun siswa mengaitkan bilangan-bilangan tersebut pada suatu pola dengan mendaftarnya.
112
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA Asyhadi, A. (2005). Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staff LPMP Pengelolaan Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG Matematika Yogyakarta. Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil belajar Matematika Siswa Sekolah Dasar.Disertasi UPI. Bandung : Tidak diterbitkan. Herdian, (2010). Pengaruh Metode Descovery Terhadap Kemampuan Analogi dan Generalisasi Matematis Siswa SMP. Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Natioanl Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.USA: The Natioanl Council of Teachers of Mathematics, Inc. Nur, Muhammad. (2004). Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Modul kuliah UNESA: Tidak diterbitkan. Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 SLTP di Kota Bandung. Disertasi S.Ps. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Siswa SMA melalui pembelajaran Berbalik.Tesis S.Ps. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Rochaminah, S. (2008). Pengaruh Pembelajaran Penemuan terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Matematis Mahasiswa Calon Guru. DisertasiS.Ps. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Ruseffendi. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dan Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Saragih, Sahetta. (2011). Penerapan Pendekatan Pembelajaran Matematika Realsistik dengan Kelompok Kecil untuk Meningkatkan Kemampuan Keruangan, Berpikir Logis dan Sikap Positip terhadap Siswa SMP.Disertasi S.Ps. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. 2005). Pengembangan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian. SPs. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Suriadi. (2005). Pengembangan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian. SPs. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Suriadi. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi Untuk Menigkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa SMA. Tesis S.Ps. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kognitif. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
113
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Trisnadi, A. (2006). Meningkatkan Pemahaman dan Generalisasi Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Pertemuan Terbimbing dalam Kelompok. Tesis S.Ps. UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika. Leuser Cita Pustaka. Yuliani. (2011). Meningkatkan Kemampuan Analogi dan Generalisasi Matematis Siswa SMP dengan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing.S.Ps. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
114
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
MEMPERSIAPKAN CALON GURU MATEMATIKA DALAM MENGHADAPI PEMEBELAJARAN ABAD 21 MELALUI PROJECT BASED LEARNING Yuni Chairani Universitas Siswa Bangsa International [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada persiapan calon guru matematika agar dapat mengajarkan matematika melalui project based learning agar siswa mempunyai kompetensi yang di butuhkan di abad 21 ini. Guru harus mampu mempersiapkan siswa dengan kemampuankemampuan untuk menghadapi abad 21, yaitu: kreatif dan inovatif, berpikir kritis, pemecahan masalah, penarikan keputusan, komunikasi, kemampuan TIK dan kolaborasi. Project Based Learning adalah salah satu model pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan abad 21. Dalam pembelajaran matematika menggunakan Project Based Learning siswa akan mengkonstruksi pemahamannya sendiri dan belajar dengan cara praktek langsung menghadapi permasalahan. Peneliti akan menjawab pertanyan penelitian berikut: 1) Bagaimana mempersiapkan calon guru matematika dalam mendesain pembelajaran Project Based Learning; 3) Bagaimana persepsi calon guru matematika terhadap pembelajaran matematika menggunakan Project Based Learning. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 30 calon guru matematika dari Universitas Siswa Bangsa International (USBI). Hasil penelitian yang diharapkan adalah: 1) calon guru mampu mendesain pembelajran matematika menggunakan Project Based Learning. 2) calon guru mempunyai perspektif positif terhadap Project Based Learning. Kata Kunci : Pembelajaran Matematika Abad 21, Project Based Learning.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembelajaran matematika di abad 21 ini semakin menantang untuk para guru matematika. Hal tersebut terjadi karena adanya kebutuhan akan inovasi pembelajaran yang harus meningkatkan kemampuan siswa dalam menghadapi tantangan abad 21. Oleh karena itu, agar siswa mampu menghadapi tantangan tersebut, guru harus mempersiapkan siswa secara matang untuk memiliki keterampilan abad 21. Sejalan dengan pendapat Voogt dan Roblin (2010) yang mengatakan bahwa kompetensi yang diperlukan saat ini adalah keterampilan abad 21. Mathis (2013) bercermin pada laporan SCANS (Secretary's Commission on Achieving Necessary Skills) yang mengatakan bahwa keterampilan abad 21 berfokus pada kemampuan dan kemauan seseorang untuk terus belajar hal baru, dapat bekerjasama dalam tim, SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
115
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 bertanggungjawab, merangkul perbedaan yang ada di masyarakat, mengakses dan mengevaluasi informasi, kreatif dan mempunyai kemampuan negosiasi. Salah satu metode pembelajaran yang mendukung tercapainya keterampilan abad 21 adalah Project Based Learning (PBL). “PBL is an innovative approach to learning that teaches a multitude of strategies critical for success in the twenty-first century” (Bell, S., 2010). Torp dan Sage (2002) mengatakan bahwa PBL berfokus pada experiential learning yang berdasarkan kepada permasalahan dunia nyata. Dalam pembelajaran PBL siswa mengkonstruksi pemahaman dan membangun pengetahuannya sendiri. Bell (2010) mengatakan bahwa siswa memperoleh lebih banyak informasi melalui pembelajaran yang dilaksnakan dengan prinsip learn by doing. Menurut Erica Baker, Baker, Trygg, Otto, & Tudor (2011) keterampilan abad 21 yang dapat tercapai melalui Project Based Learning adalah: berpikir kritis, pemecahan masalah, kolaborasi, kemampuan beradaptasi, kemampuan berinisiatif, enterpreneurship, komunikasi oral maupun tertulis, keingintahuan dan kemampuan menerima dan menyaring informasi. Adapun karakteristik dari PBL adalah: memahami keseluruhan ilmu, kolaborasi, membentuk pemikiran siswa, memecahkan masalah, membuat keputusan, pemikiran yang open ended, melatih tanggung jawab siswa (K. & C., 2012). Akan tetapi, penelitian menemukan bahwa banyak guru yang belum mengenal keterampilan abad 21 dan penerapan teknologi pada pembelajaran (Cuban 2003). Selain itu, berdasarkan laporan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) mengenai pembelajaran matematika di dalam kelas di Indonesia, strategi pengajaran yang dominan digunakan yakni sebesar 52% dibanding strategi yang lain adalah metode exposition (guru menjelaskan sementara siswa mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tertutup). Setelah exposition, strategi yang cukup sering digunakan adalah teknik pemecahan masalah dengan prosentase sebesar 20%, disusul oleh diskusi, kerja praktis dan investigasi secara berturut-turut sebesar 15%, 10% dan 3%. Dengan demikian, untuk mengajarkan keterampilan abad 21 pada siswa, guru-guru di Indonesia sebaiknya mengurangi penggunaan metode exposition dalam pembelajaran di kelas. Salah satu metode pembelajaran yang memuat kegiatan pemecahan masalah, diskusi antar siswa, kerja praktis dan investigasi adalah metode Project Based Learning. Dengan demikian, program pendidikan guru saat ini harus berfokus pada proses pemantapan pengetahuan para calon guru dalam mengintegrasikan teknologi demi memfasilitasi siswa dalam mempelajari matematika melalui pengalaman yang dapat: 1. Memberikan kesempatan pada calon guru untuk mendalami dan belajar matematika menggunakan teknologi untuk membangun pemahaman dan kepercayaan terhadap teknologi dan matematika. 2. Memberikan contoh yang tepat tentang penggunaan macam-macam aplikasi teknologi yang telah di buat maupun yang terbaru sebagai alat untuk membangun pemahaman yang mendalam pada topik matematika dengan konteks yang bervariasi. 3. Membantu calon guru dalam menentukan penggunaan teknologi yang tepat dan efektif untuk proses pembelajaran dan pengajaran matematika, serta 4. Memberikan kesempatan kepada calon guru untuk membangun dan melatih kemampuan pengajaran. (Deepak, 2007) Rumusan Masalah Penelitian ini fokus pada upaya mempersiapkan calon guru matematika untuk dapat merancang proses pembelajaran yang mampu melatih keterampilan abad 21 pada siswa melalui project based learning. Oleh karena itu, pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kita dapat mempersiapkan calon guru matematika dalam merancang PBL? 2. Bagaimana persepsi calon guru matematika terhadap PBL? Tujuan dan Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, hasil yang diharapkan yakni berupa desain pembelajaran (lesson planning) yang mempersiapkan calon guru matematika agar mampu merancang pembelajaran berbasis proyek (project based learning) untuk pembelajaran matematika di abad 21 yang 116
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 sesuai dengan konteks sosial di Indonesia. Selain itu, desain pembelajaran tersebut diharapkan dapat memberikan arahan kepada calon guru matematika dalam merancang pembelajaran yang mampu melatih keterampilan abad 21 pada siswa.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif dipilih karena metode ini dapat mengeksplor tentang perspektif, sikap, perasaan dan pengalaman secara lebih mendalam. Pengumpulan data penelitian menggunakan intrumen self assessment, project design rubric dan perception rubric. Proses penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pengenalan konsep PBL kepada para calon guru matematika. 2. Pemberian contoh RPP PBL agar calon guru matematika dapat mendesain RPP untuk pembelajaran PBL yang lain. 3. Menyiapkan calon guru matematika dan membimbing mereka agar dapat mendesain pembelajarn matematika PBL yang akan meningkatkan keterampilan abad 21 siswa. 4. Melihat persepsi calon guru matematika terhadap penerapan PBL. Pengambilan subjek penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling, subjek penelitian pada penelitian ini adalan calon guru matematika yang merupakan mahasiswa tingkat 3 di Universitas Siswa Bangsa International (USBI) sebanyak 30 orang yang sedang mengambil mata kuliah PBLMI (Project Based Learning in Mathematics instruction).Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian tidak bisa digeneralisir karena pengambilan subjek secara purposif. 2. Konten matematika yang dipakai disini adalah matematika dengan kurikulum indonesia tingkat SD, SMP dan SMA
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengenalan Konsep PBL kepada Para Calon Guru Matematika. Pengenalan konsep tentang pembelajaran Project Based Learning (PBL) dilakukan pada 2 pertemuan, dengan satu pertemuan selama 3 sks. Dalam kedua pertemuan, mahasiswa melakukan eksplorasi, diskusi dan penanaman konsep PBL. Dalam hal ini peneliti berperan sebagai dosen dan melakukan pembelajaran secara langsung. Bahan pembelajaran diambil dari beberapa buku, jurnal dan sumber online http://bie.org. Selain pemahaman konsep PBL , mahasiswa juga mengkaji tentang kecakapan abad 21 (21 century skills). 21 century skills menurut K-SAVE Model (2013) mencakup kecakapan sebagai berikut: 1. Ways of thinking a. Creativity and innovation b. Critical thinking, problem solving and decision making c. Learning to learn and metacognition 2. Ways of working a. Communication b. Collaboration 3. Tools for working a. Information literacy b. ICT literacy 4. Living in the world a. Citizen (local and global) b. Life and career c. Personal and social responsibility Peneliti menggunakan keempat aspek kecakapan di atas karena dalam menyiapkan siswa menghadapi abad 21, siswa harus menyeimbangkan kemampuan berpikir, bekerja dan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari sebuah negara (dunia). Melalui penanaman SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
117
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 keempat aspek kecakapan di atas dalam matematika, diharapkan matematika dapat benar-benar berguna bagi diri siswa dan menjadi jembatan untuk membangun karakter siswa menjadi sumber daya manusia yang bisa berkolaborasi dengan baik, berkomunikasi dengan cakap, mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking) tetapi tetap bertanggung jawab pada lingkungan sosialnya. Setelah melakukan pembelajaran mengenai konsep PBL dan 21 century skills, mahasiswa melakukan refleksi mengenai pemahaman mereka tentang kedua konsep tersebut melalui lembar refleksi. Pertanyaan pada lembar refleksi adalah sebagai berikut: 1. What do you know about project based learning? 2. What the differences between PBL and other methods of learning? (Compare and contrast to the other method that you know) 3. What do you think about what a good project needs in order to promote a meaningful learning? Dari ketiga pertanyaan di atas, hasil pemahaman mahasiswa dapat dilihat dalam diagram berikut:
Diagram 1. Pemahaman Mahasiswa tentang konsep PBL
25 dari 31 mahasiswa sudah mengalami pemahaman yang baik, sedangkan terdapat 6 mahasiswa yang pemahamannya masih harus ditingkatkan lagi. Peningkatan dan penguatan konsep PBL dan 21 century skills akan dilakukan pada tahapan berikutnya, yaitu melalui pemberian contoh PBL di kelas. Salah satu contoh pemahaman mahasiswa mengenai PBL dapat dilihat dalam jawaban berikut: 1. What do you know about project based learning? Project based learning is using authentic, real-world project, based on a highly motivating and engaging question, task, or problem to teach students academic content in the context of working cooperatively to solve the problem. 2. What the differences between PBL and other methods of learning? (Compare and contrast to the other method that you know) PBL : students centered, long term, integrated with real issues, developing the skill in real life context, and open the strategy of learning which accomplished by learners. Lecturing : teacher centered, short term, not integrated with real issues, and not developing the skill in real life context. 3. What do you think about what a good project needs in order to promote a meaningful learning? I think the project belong to learning strategies hence it will be promote effective learning. In the other hand good project stimulate the students to think critically towards the phenomenon that they ever face.
118
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Pemberian Contoh PBL Tahapan selanjutnya adalah pemberian contoh projek yang dapat diterapkan pada siswa. Projek yang dipilih berjudul “An Enterpreneur”s Project” yang mengaitkan konsep aljabar dan aritmatika sosial. Projek ini dapat diterapkan untuk siswa SMP kelas VIII. Secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Lembar Kerja Siswa “An Enterpreneur”s Project”
Dalam pembelajaran ini mahasiswa menempatkan diri sebagai siswa SMP yang menerima pembelajaran PBL dan dosen sebagai guru mereka. Dalam melaksanakan projek tersebut siswa berkelompok dan mengkolaborasikan ide mereka sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Kecakapan yang tercakup dalam projek tersebut lengkap dalam aktivitas di kelas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 1. Kecakapan Abad 21 dalam Aktivitas Siswa Kecakapan Aktivitas 1. Ways of thinking Siswa mencari penyelesaian masalah yang kreatif dan a. Creativity and inovatif agar mendapatkan keuntungan besar dan innovation juga mempertimbangkan batasan modal yang telah b. Critical thinking, diberikan pada masalah. problem solving and decision making 2. Ways of working Selama siswa mengerjakan projek, siswa harus a. Communication berkolaborasi dengan teman sekelompoknya dan b. Collaboration merumuskan strategi yang akan dipakai. Setelah itu siswa mengkomunikasikan hasil pekerjaannya dengan lisan dan tulisan. Komunikasi lisan dilakukan dengan presentasi kelompok dan komunikasi tulisan dilakukan dalam bentuk laporan hasil pekerjaan. 3. Tools for working Untuk menambah ide dalam mengerjakan a. Information literacy permasalahan yang disajikan guru, siswa pun harus b. ICT literacy mencari sumber lain sebagai bahan pertimbangan dengan menggunakan internet. Selain itu, dalam menuangkan hasil pekerjaannya dengan berbagai teknologi, contohnya: menggambar grafik menggunakan software geogebra, menghitung menggunakan microsoft excel, menampilkan hasil SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
119
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 menggunakan prezi. 4. Living in the world a. Life and career b. Personal and social responsibility
Melalui projek ini, siswa dilatih berpikir menjadi seorang pebisnis mandiri yang harus bertanggungjawab terhadap lahan bisnisnya.
Jadi dengan menggunakan projek ini, siswa dapat dilatih begitu banyak bidang tidak hanya topik aritmatika tetapi juga aljabar, tidak hanya tentang matematika tetapi juga kecakapan hidup berupa mental enterpreneurship. Setelah siswa mengerjakan projectnya, lalu mereka mengisi evaluasi diri tentang projek yang telah dikerjakan. Pertanyaan dan contoh jawaban siswa dapat dilihat di bawah ini: 1. Pertanyaan: “what did i like about this project?”
Gambar 5. Contoh jawaban siswa
Dalam jawaban di atas siswa sangat menyenangi projek ini, karena memang pada dasarnya dia ingin menjadi seorang enterpreneur dan dengan projek ini dia dapat mengasah cara berpikirnya secara lebih kritis dengan menggunakan matematika. 2. Pertanyaan: “what did i not like about it?”
Gambar 6. Contoh jawaban siswa
Seperti yang terlihat dalam jawaban di atas tantangan dalam penerapan PBL adalah alokasi waktu untuk mengerjakan sebuah projek. 3. Pertanyaan: “What did i learn during this project”
Gambar 7. Contoh jawaban siswa
Projek yang telah dikerjakan mengandung aspek-aspek kecakapan abad 21. Pembuatan Project Design PBL Setelah subjek diberikan pemahaman yang cukup tentang konsep PBL lalu subjek diberikan kesempatan untuk mendesign sebuah projek dan selanjutnya projek tersebut akan dinilai dengan menggunakan project design rubric. Salah satu contoh projek yang dibuat subjek adalah sebagai berikut: “Indonesia is a rich country. But wealth is not well utilized by every citizen, so that our country is still far behind other countries. That's because there are many follies that occurred in Indonesia. Muctar Buchori (2001) stated that education is a critical success factor. Indonesia will be a little success achieved if every citizen of the country can help each other and care about each other. Challenge & Investigation : Look at the issues, students requested to be cared and help others. the first, the search for per capita income data and the amount poor population data from several cities in a province and then the students requested to be able to create data tables and charts. That they will have to analyze the results, and ultimately they have to be able to determine which cities are entitled to educational assistance. You should find: 120
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Data income per capita and the amount poor population data each district every province in Indonesia ( West Sumatra, West Java, Bali, NTT, D.I Jogjakarta, D.I Nanggro Aceh) and then determine district recommendation which received donations first.” Project yang telah dibuat dinilai dengan menggunakan project design rubric yang mencakup aspek: Significant content, 21 century skills, Depth inquiry, Driving question. Hasil penilaian dapat dilihat dalam diagram berikut:
Diagram 2. Hasil evaluasi pembuatan projek
Dengan nilai A dengan kategori projek yang baik, B dengan kategori projek yang cukup baik dan perlu ditingkatkan dan C dengan project yang kurang baik. Alat evaluasi juga dibutuhkan untuk melalukan penilaian secara otentik dalam PBL. Ada 4 buah rubrik yang dipakai untuk penilaian secara otentik yaitu: 1. Critical thinking, creativity & innovation rubric (process). Aspek di dalam rubrik ini adalah: Define the creative challenge, Identify sources of information, Generate and select ideas, Use evidence and criteria, Present work dan Justify choices and consider alternatives. 2. Critical thinking, creativity & innovation rubric (product). Aspek di dalam rubrik ini adalah Originality, Value, Style. 3. Presentation rubric. Aspek di dalam rubrik ini adalah Explanation of Ideas & Information Organization, Eyes & Body, Voice, PresentationAids, Response to Audience Questions dan Participation in Team. 4. Collaboration rubric. Aspek di dalam rubrik ini adalah Takes Responsibility for Oneself, Helps the Team, Respects Others, Makes and Follows Agreements, Organizes Work, Works as a Whole Team Persepsi calon guru matematika terhadap PBL. Setelah seluruh subjek melakukan keseluruhan rangkaian penelitian, lalu subjek diberikan intrumen untuk mengukur persepsi mereka terhadap PBL, hasil analisis instrumen tersebut dapat dilihat sebagai berikut: No
1 2 3
4 5
Tabel 2. Hasil Persepi Calon Guru Matematika Persentase jawaban YA Does the project based learning promote 21st 100% century skills? Does the project based learning could be 88% implemented in Indonesian context? Does the project based learning could be 62% implemented for any topic in mathematics instructions? Does the project based learning give benefits for 100% mathematics learning? Will you implement project based learning in your 100% classroom? Pertanyaan
Persentase jawaban TIDAK 0% 12% 38%
0% 0%
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
121
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Setelah itu, dilanjutkan pada pertanyaan terbuka sebagai berikut: 1. Pertanyaan: “What skills are promoted by project based learning? How they could be promoted?” Contoh jawaban salah satu subjek adalah sebagai berikut: “21st century skill covers soft skill and hard skill, where could be done by project based learning (including cooperative or collaborative learning) that engaging social skill (soft skill)” 2. Pertanyaan: “Why project based learning could be implemented in Indonesian context?” Contoh jawaban salah satu subjek adalah sebagai berikut: “Because the students in Indonesia, have ability to do project based learning. However the teacher still lack in ability to deliver material in form of project” 3. Pertanyaan: “What does the teacher need to prepare in term of designing the effective project based learning” Contoh jawaban salah satu subjek adalah sebagai berikut: “Teacher needs to prepare authentic materials because it is related with real life context and brings meaningful learning for the learners. Moreover teacher needs to prepare assessment rubric to monitor and check learners’ understanding.”
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan untuk menajawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Cara untuk mempersiapkan calon guru matematika dalam merancang PBL sebagai bentuk inovasi pendidikan abad 21 adalah dengan langkah berikut: a. Pengenalan Konsep PBL kepada Para Calon Guru Matematika agar mereka memiliki konsep yang matang tentang PBL yang menggabungkan unsur-unsur 21 century skills didalamnya dan juga memotivasi mereka untuk menerapkan PBL di sekolah saat kelak mereka menjadi guru matematika. Hasilnya 81% subjek mahasiswa telah memahami PBL secara baik. b. Pemberian Contoh PBL yang dapat diterapkan disekolah dan memberikan mereka pengalaman nyata dalam mengerjakan projek di mata pelajaran matematika. Lalu mengevaluasi projek yang telah dibuat dengan menggunakan self assesment agar mereka dapat mengeksplor tentang pemahamannya atas projek yang telah dikerjakan. c. Memberikan kesempatan pada mereka untuk membuat sendiri disain projek yang dapat diterapkan di kurikulum 2013 SD, SMP maupun SMA. Setelah itu, pembuatan projek dinilai dengan menggunakan project design rubric, hasilnya sebanyak 51% mahasiswa telah membuat projek yang baik, 39% cukup dan hanya 10% yang masih kurang dan perlu diasah lagi kemampuannya dalam membuat projek. d. Pembuatan rubrik penilaian untuk PBL, rubrik berlaku sebagai proses evaluasi secara otentik yang dapat mereka lakukan di kelas, rubrik yang dipakai adalah Critical thinking, creativity & innovation rubric, presentation rubric dan collaboration rubric. 2. Setelah melakukan rangkaian kegiatan diatas lalu semua subjek diberikan instrumen untuk mengetahui persepsi mereka mengenai PBL, hasilnya seluruh calon guru matematika telah memiliki persepsi yang baik. Untuk penelitian lanjutan, beberapa saran yang saya ajukan adalah sebagai berikut: 1. 21 century skills dapat menggunakan sumber lain yang mempunyai tipe berbeda 2. Sebaiknya dilakukan percobaan langsung calon guru mengajar ke sekolah dan bertemu siswa secara langsung untuk mengimplementasikan PBL. Sehingga bisa diukur efektifitas implementasi PBL di sekolah berdasarkan persiapan yang sudah mereka jalani. 3. Integrasi TIK lebih diperbanyak dalam setiap projek yang dibuat. 4. Disesuaikan dengan Kurikulum 2013 untuk setiap jenjang. 5. Sebaiknya ditambahkan saran dari guru matematika di sekolah sebagai bahan pertimbangan untuk implementasi PBL di sekolah.
122
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA Bell, S. (2010). Project based learning for 21st century : skills for the future. Retrieved by October 3th, 2013 from http://www.bie.org/tools/freebies/projectbased_learning_for_the_21st_century _skills_for_the_future Cuban, L. 2003. Oversold and underused: Computers in the classroom. Cambridge, MA: Harvard University Press. Deepak, D. Modern Methods of Teaching Mathematics. A.P.H Publishing, 2007 Erica Baker, B. T., Baker, E., Trygg, B., Otto, P., & Tudor, M. P. (2011). Project-based Learning Model. New York: Pacific Education Institute. Grant, M. M. (2002). Meridian: A Middle School Computer Technologies Journal. Retrieved October 4, 2013, from NC State University: http://www.ncsu.edu/meridian/win2002/514/3.html Holloway I. & Wheeler S. (2002). Qualitative Research. 2nd edn. Blackwell Science Ltd., Oxford, Great Britain. Houff, Suzzane. (2012). Optimizing Objectives, Methods, and Assessment for Developing Unit Plans. USA: British Library K., A. A., & C., A. L. (2012, October 2). Application of Project-Based Learning in Students’ Engagement in Malaysian Studies and English Language. Journal of Interdisciplinary Research in Education (JIRE), 2(1), 37-46. Ledward, B. C., and D. Hirata. 2011. An overview of 21st century skills. Summary of 21st Century skills for Students and Teachers, by Pacific Policy Research Center. Honolulu: Kamehameha Schools–Research & Evaluation. Mathis, W. (2013). Twenty-first-Century skills and Implications for Education. Retrieved by October 3th, 2013 from nepc.colorado.edu/files/pb-options-8-21stcent.pdf Torp,L.,&Sage,.S.(2002). Problems as possibilities: problem based learning for K16education (2nd.ed). Alexandria, VA: Assosication for supervision and curriculum development Voogt, J. and Roblin, N. P. 21st Century skills. Retrieved by October 4th, 2013 from encore.oise.utoronto.ca/download/attachments/5374189/Voogt+Robin+21CS+2010.pdf World Bank. (2010). Inside Indonesia's mathematics classrooms : a TIMSS video study of teaching practices and student achievement, World Bank Open Knowledge Repository. Retrieved at April 23, 2012, from the website temoa : Open Educational Resources (OER) Portal at http://www.temoa.info/node/154725
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
123
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PERAN ATRIBUT DALAM MERAIH PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS DELAPAN SMP XYZ DI JAKARTA 2013 Suparman: I.A1), Sara Sahrazad2), & Lusiana Wulansari3) 1)
FE UNTAR dan Pascasarjana UNINDRA. Unindra Prodi Bimbingan dan Konseling Email [email protected]
2,3)
ABSTRAK Peran minat, motivasi, kebiasaan, disiplin, konsep diri, percaya diri, intelligence quotient (IQ), emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ) dalam meraih prestasi belajar matematika siswa kelas delapan telah banyak dilakukan secara parsial: atau secara bersama sama dua atau tiga variabel independen. Namun sembilan variabel independen sekaligus masih jarang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran atribut dalam meraih prestasi belajar matematika siswa kelas delapan di Jakarta. Metode penelitian yang dipergunakan adalah survey. Setiap variabel atribut diukur dengan instrument yang berupa angket dan instrument tes. Pengukuran dilakukan pada 150 siswa yang dipilih secara random di lima sekolah di Jakarta pada bulan Nopember: 2013. Analisis data dilakukan dengan aplikasi model SEM dengan menggunakan program LISREL. Hasil menunjukkan bahwa data selaras dengan model SEM yang dirancang. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan veriabel atribut yang terdiri dari sembilan bagian sebagaimana disebutkan diatas. Saran disampaikan kepada para guru matematika agar memperhatikan sembilan variabel atribut diatas yang turut memberikan peran atas keberhasilan belajar siswa. Kata Kunci: atribut: prestasi belajar: matematika
PENDAHULUAN Atribut merupakan variabel yang ada di dalam diri seseorang yang bersifat kekal sampai dibawah meninggal, atau yang dapat berubah karena lingkungannya. Atribut yang kekal seperti jenis kelamin, tempat lahir, horoskop, suku, dan lain sejenisnya. Adapun atribut yang dapat berubah baik bersifat lamban atau sedikit: sampai yang cepat. Atribut ini antara lain: konsep diri, percaya diri, karakter, motivasi, IQ, EQ, SQ, SosQ, minat, kebiasaan, disiplin, efikasi, gaya belajar, gaya kognitif, dan lainnya yang sejenis. Atribut diatas bervariasi antar individu. Oleh karenanya atribut ini pada gilirannya dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Salah satu diantaranya adalah atribut ini mempengaruhi keberhasilannya dalam meraih prestasi belajar aik secara langsung, maupun secara tidak langsung.
124
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Konsep diri, percaya diri, dan karakter dapat diuraikan sebagai berikut (Wahyudin, 2007; Leonetti, 1980; Jalaluddin, 2005). Konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki sesorang mengenai dirinya sendiri, atau cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya, atau adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep Diri adalah semua persepsi kita terhadap aspek diri kita yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang terbentuk karena pengalaman masa lalu kita dan interaksi kita dengan orang lain. Percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri. Karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Karakter mulia berari individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhatihati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Motivasi dan minat dapat diuraikan sebagai berikut (Sardiman, 2005:75; Siti Sumarni, 2005; Irawan, 2003: 41; Soemanto, 2006 : 206; Djaali, 2008 : 109; Suprapto, 2007: 9; Yuri Megaton, 2004: 31; Bimo Walgito; 1999: 14; Slameto. 2003: 180). Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Motivasi belajar dapat diartikan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelak perasaan tidak suka itu. Motivasi sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Jadi motivasi adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek itu dapat dicapai. Minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat ikut menentukan tinggi rendahnya kualitas pencapaian hasil belajar siswa. Minat bukanlah suatu yang statis atau berhenti, tetapi dinamis dan mengalami pasang surut. Minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadp sesuatu. Minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi kerena ketergantungannya banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti, pemusatan perhatian, keinginan, motivasi dan kebutuhan. Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa minat belajar adalah suatu dorongan atau kegairahan yang tinggi dalam hal pemusatan perhatian terhadap kegiatan belajar melalui interaksi dengan lingkungannya dan akan menimbulkan perubahan perilaku. IQ, EQ, SQ, dan ESQ dapat diuraikan sebagai berikut. IQ (Intelligence Quotients), ialah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahami gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya. Anggapan awal bahwa IQ adalah kemampuan bawaan lahir yang mutlak dan tak dapat berubah adalah salah, karena penelitian modern membuktikan bahwa kemampuan IQ dapat meningkat dari proses belajar. Kecerdasan ini pun tidaklah baku untuk satu hal saja, tetapi untuk banyak SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
125
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 hal. EQ (Emotional Quotients) Kecerdasan emosional adalah kemampuan pengendalian diri sendiri,semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. SQ (Spiritual Quotients) perlu dipahami bahwa SQ tidak mesti berhubungan dengan agama, Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri. kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berasal dari dalam hati, menjadikan kreatif ketika dihadapkan pada masalah pribadi, dan mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya, serta menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan dan kedamaian hati. Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya. ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) ESQ merupakan gabungan EQ dan SQ, yaitu penggabungan antara pengendalian kecerdasan emosi dan spiritual. Manfaat yang bisa di dapat adalah tercapai nya keseimbangan antara hubungan horizontal (manusia dengan manusia) dan vertikal (manusia dan Tuhan). ESQ juga dapat membuat seseorang lebih percaya diri dalam melakukan tindakan. Kebiasaan disiplin, dan efikasi dapat diuraikan sebagai berikut ( Hutabarat, 1985 :22; Kartono, 1992:198; Asy Mas’udi, 2000: 88; Kadir, 1994: 80; Djamarah, 2002: 12; Baron dan Byrne, 1991; Bandura, 1997). Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Kebiasaan adalah perilaku yang sudah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi otomatis artinya berlangsung tanpa dipikirkan lagi. Kebiasaan layaknya gerak refleks tanpa dikomando oleh otak kebiasaan akan terbentuk dengan sendirinya. Untuk dapat melatih kebiasaan dibutuhkan waktu yang cukup panjang dan juga harus didukung oleh pengulangan yang berkelanjutan. Kebiasaan dalah merupakan tingkah laku yang diperoleh dan dimanifestasikan secara konsisten, tindakan yang telah dipelajari menjadi mapan dan relatif otomatis melalui pengulangan terus menerus. Kebiasaan merupakan tindakan atau prilaku yang berlangsung secara berulang-ulang dan telah menetap secara mapan dalam perilaku siswa. Kebiasaan tumbuh berkat adanya pelatihan yang akhirnya bersifat otomatis dalam tindakan siswa. Disiplin belajar adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan keputusan-keputusan, peraturan-peraturan dan normanorma yang telah ditetapkan bersama, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara siswa dengan guru di sekolah maupun dengan orang tua di rumah. Arti disiplin bila dilihat dari segi bahasanya adalah latihan ingatan dan watak untuk menciptakan pengawasan (kontrol diri), atau kebiasaan mematuhi ketentuan dan perintah. Jadi arti disiplin secara lengkap adalah kesadaran untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan dari siapa pun. Disiplin adalah kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan atau pengendalian. Disiplin adalah suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pridadi dan kelompok. Kedisiplinan mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Berkualitas atau tidaknya belajar siswa sangat dipengaruhi oleh faktor yang paling pokok yaitu kedisipilan sekolah, kedisiplinan keluarga dan yang terutama adalah kedidiplinan diri sendiri, selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi kedisiplinan seseorang adalah lingkungan, teman bekerja, teman bermain, dan banyak lagi. Efikasi diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau penghargaan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Efikasi diri menekankan pada komponen keyakinan diri yang dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi 126
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 yang akan datang yang mengandung kekaburan, tidak dapat diramalkan, dan sering penuh dengan tekanan. Dalam kehidupan sehari-hari, efikasi diri memimpin kita untuk menentukan cita-cita yang menantang dan tetap bertahan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Gaya belajar dan gaya kognitif dapat diuraikan sebagai berikut (Gagne, 1985:40; Suharsimi Arikunto, 1990:110; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 895; Arifin, 2009:12). Gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality), ialah visual, auditori, dan kinestetik (V-A-K). Gaya kognitif merupakan karakteristik individu dalam berfikir, merasakan, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Informasi yang tersusun baik, rapi, dan sistematis lebih mudah diterima oleh individu tertentu. Individu lain lebih mudah menerima informasi yang tersusun tidak terlalu rapi dan tidak terlalu sistematis. Prestasi belajar (Gagne, 1985:40); Suharsimi Arikunto, 1990:110; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:895; Slameto, 2010:54; Arifin, 2009: 12). Prestasi belajar merupakan hasil atau taraf kemampuan yang sudah dicapai seorang murid sesudah mengikuti proses belajar mengajar pada masa tertentu baik berupa perubahan pada tingkah laku, keterampilan serta pengetahuan dan lalu akan diukur serta dinilai yang kemudian dituangkan dalam pernyataan nilai atau angka. Prestasi belajar adalah hasil pencapaian yang maksimal menurut kemampuan siswa pada waktu tertentu pada sesuatu yang dipelajari, dikerjakan, dimengerti dan diterapkan. Prestasi belajar adalah ukuran keberhasilan aktivitas belajar siswa dalam menguasai sejumlah mata pelajaran selama periode tertentu. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Prestasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu: kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Prestasi belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Sedangkan Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar adalah suatu masalah yang bersifat perensial dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang rentang kehidupannya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern. Kerangka keterkaitan (Suparman, 2011, 2012, 2013; Naevdal. F., 2008: 25-49). antar variabel dalam makalah ini sebagaimana pada Gambar.1 yang menunjukkan bahwa pertama variabel konsep diri, percaya diri, dan karakter secara gabungan mempengaruhi prestasi belajar melalui variabel motivasi dan minat, yang selanjutnya melalui variabel gaya belajar dan gaya kognitif, baru kemudian mempengaruhi variabel prestasi belajar. Namun demikian variabel konsep diri, percaya diri, dan karakter secara gabungan mempengaruhi prestasi belajar melalui variabel motivasi dan minat, kemudian melalui variabel kebiasaan, disiplin, dan efikasi secara gabungan, yang selanjutnya melalui variabel gaya belajar dan gaya kognitif, baru kemudian mempengaruhi variabel prestasi belajar. Yang kedua variabel IQ, EQ, SQ, dan SosQ secara gabungan mempengaruhi prestasi belajar melalui variabel kebiasaan, disiplin, dan efikasi secara gabungan, yang selanjutnya melalui variabel gaya belajar dan gaya kognitif, baru kemudian mempengaruhi variabel prestasi belajar.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
127
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara empirs bahwa konsep diri, percaya diri, karakter dan IQ. EQ, SQ, ESQ mempengaruhi prestasi belajar melalui motivasi, minat, kebiasaan, displin, dan efikasi, melalui gaya belajar dan gaya kognitif siswa terhadap prestasi belajar. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah survey kepada siswa tingkat SMP yang dipilih secara random, kemudian data primer dikumpulkan dengan instrument yang sudah diujicobakan. Kemudian diolah dengan spss dan dianalis, selanjutnya dibuat laporan berupa makalah ini. Data penelitian di dikumpulkan dengan pengisian angket dengan skala jenis Likert dan instrument tes. Pengukuran dilakukan pada 150 siswa sebagai sample yang dipilih secara random di lima sekolah di Jakarta pada bulan Nopember 2013. Metode penelitian yang dipergunakanan adalah survei dengan membagikan angket sejenis Likert untuk mengukur variabel atribut tertentu, dan dengan instrument tes untuk variabel atribut Q (IQ, EQ, SQ, dan SosQ). Angket sejenis Likert, masing masing sekitar 10 item pertanyaan dilakukan uji validitas dan reiabilitasnya. Instrumen dengan angket skala sejenis Likert digunakan rumus product momment (Pearson) untuk validitas item, dan rumus Cronbach Alpha untuk mengukur reliabilitasnya. Sedangkan data Q dipergunakan ukuran Biserial untuk validitasnya, dan rumus Kuder Richardson (KR20) untuk uji reliabilitsanya. Instrumen yang valid dan reliable depergunakan untuk penelitian lapangan atau survey pada 150 siswa yang disebutkan diatas. Selanjutnya data survey di olah dengan menjumlahkan menjadi enam variabel gabungan, ialah KPK, Q, MM, KDE, BK, dan PB. Variabel KPK terdiri dari konsep diri, percaya diri, dan karakter. Q terdiri dari IQ, EQ, SQ, SosQ. MM terdiri dari gaya belajar dan minat. KDE terdiri dari kebiasaan, disiplin, dan efikasi. BK terdiri dari gaya belajar dan gaya kognitif. PB adalah prestasi belajar yang merupakan nilai akhir semester. Model dalam kerangka pemikiran pada pendahuluan disederhanakan menjadi model struktural sebagaimana pada Gambar.2 pada makalah ini. Pengolahan dilakukan dengan tiga tahap. Pertama diolah data mentah, dikelompokkan menjadi enam variabel (KPK, Q, MM, KDE, BK, dan PB) dengan membuat indek komposit dengan menjumlahkan skor jawaban. Selanjutnya keenam variabel komposit ni digabungkan denga data variabel prestasi Belajar. Selanjutnya diolah untuk membuat matrik koef. korelasi dari data tersebut, yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai input dari program LISREL. Kedua dilakukan pemrograman LISREL dalam rangka penyelarasan data lapangan pada model struktural yang dirancang. Ketiga dilakukan analisis simulasi tingkat kecocockan dan tingkat 128
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 masuk akal (common sense) hasil yang diperoleh nya. Kemudian dilakukan analisis struktural keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini.
Hipotesis penelitian pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Ada pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karekter (KPK) terhadap prestasi belajar (PB), melalui motivasi dan minat (MM), selanjtnya melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK). 2. Ada pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karakter (KPK) terhadap prestasi belajar (PB), melalui motivasi dan minat (MM),melaluikebiasaan, disiplin, dan efikasi (KDE), seanjutnya yang kemudian selanjutnya melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK). 3. Ada pengaruh IQ, EQ, SQ, dan SosQ (Q) terhadap prestasi belajar (PB), melaluikebiasaan, disiplin, dan efikasi (KDE) kemudian melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK).
HASIL DAN PEMBAHASAN Selanjutnya dilakukan analisis hasil pengolahan dengan uraian sebagai berikut. Variabel pada makalah ini terdiri dari lima variabel sebagai variable faktor yang menentukan pretasi belajar.
Deskripsi data koefisien korelasi menunjukkan bahwa variabel prestasi belajar matematika mempunyai koefisien korelasi dengan lima variabel factor tersebut secara berurutan yang SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
129
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 tertinggi adalah BK, KDE,Q, MM, dan terakhr KPK. Antar faktor menunjukkan bahwa tertinggi (0.428) merupakan korelasi antar KK dan BK. Kemudian 0.392 korelasi antara KDE dan BK. Selanjutnya 0.384 koef korelasi antara Q dan KDE. Lainnya dibawah 0.350 Secara keseluruhan antar pasangan variabel mempunyi koef. Korelasi antar 0.029 (Q dan KPK) sampe dengan 0.671 (PB dan BK. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan veriabel atribut yang terdiri dari sembilan bagian sebagaimana disebutkan diatas. Saran disampaikan kepada para guru matematika agar memperhatikan sembilan variabel atribut diatas yang turut memberikan peran atas keberhasilan belajar siswa. Setelah model diselaraskan pada data menunjukkan bahwa semua jalur menunjukkan t tes yang signifikan.
Ada enam jalur yang dapat dilihat pada Gambar.3 menunjukkan nilai t-tes lebi besar dari 3, artinya semua signifikan. Enam jalur ini terbagi atas tiga jalur yang menunjukkan bagaimana variabel KPK dan Q perpengaruh terhadap PB. Pertama, pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karakter (KPK) terhadap prestasi belajar (PB), melalui motivasi dan minat (MM) siginifikan dengan nilai to=3.17, selanjutnya melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK) dengan to=3.48, baru ke (PB) denga nilai to=10.86. Semua jalur menunjukkan nilai t-tes lebih besar dibandingkan t-tabel. Artinya semua jalur menunjukkan pengaruh yang signifikan. Kedua, pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karekter (KPK) terhadap prestasi belajar (PB), melalui motivasi dan minat (MM) dengan to=3.20,melalui kebiasaan, disiplin, dan efikasi (KDE) dengan nilai to=3.17, seanjutnya yang kemudian selanjutnya melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK) dengan nilai to=3.69, dan terakhir kePB dengan t-tes to=10.86. Semua jalur menunjukkan nilai t-tes lebih besar dibandingkan t-tabel. Artinya semua jalur menunjukkan pengaruh yang signifikan. Ketiga, pengaruh IQ, EQ, SQ, dan SosQ (Q) terhadap prestasi belajar (PB), melalui kebiasaan, disiplin, dan efikasi (KDE) dengan nilai to=4.03 kemudian melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK) dengan nilai to=3.89, dan terakhir ke (PB) dengan nilai to=10.86. Semua jalur menunjukkan nilai t-tes lebih besar dibandingkan t-tabel. Artinya semua jalur menunjukkan pengaruh yang signifikan.
130
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Selanjutnya jika dilihat dari nilai pij atau nilai koefisien path (jalur) variabel independen ke i dan jalur ke j menunjukkan hasil berikut. Nilai path ada model recursive sama dengan nilai beta pada analisis regresi ganda. Nilai ini pij menunjukkan besarnya satu unit standar variabel independen ke i terhadap variabel dependent ke j. Dibawah ini narasi pengaruh tersebut dengan referensi pada Gambar.4 makalah ini. Pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karekter (KPK) terhadap prestasi belajar (PB), melalui motivasi dan minat (MM) sebesar 0.25 artinya setiap kenaikan satu unit KPK diikuti oleh enakan MM sebesar 0.25 unit standar. Selanjutnya diikuti dengan setiap kenaikan MM sebesar satu unit standar akan diikuti dengan kenaikan gaya belajar dan gaya kognitif (BK) sebesar 0.26 unit standar. Kemudian pada gilirannya setiap kenaikan satuunit standar BK akan diikuti dengan kenaikan PB sebesar 0.67 unit standar. Jadi untuk satu unit kenaikan KPK melalui MM dan BK akan diikuti dengn kenaikan PB sebesar 0.25 x 0.26 x 0.67 = 0.04355 unit standar PB. Pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karakter (KPK) terhadap prestasi belajar (PB), ), melalui motivasi dan minat (MM) sebesar 0.25 artinya setiap kenaikan satu unit KPK diikuti oleh kenaikan MM sebesar 0.25 unit standar. Selanjutnya diikuti dengan setiap kenaikan MM sebesar satu unit standar akan diikuti dengan kenaikan disiplin, dan efikasi (KDE) sebesar 0.24 unit standar. Kemudian setiap kenaikan satu unit KDE akan diikuti kenaikan gaya belajar dan gaya kognitif (BK) sebesar 0.30 unit standar. Kemudian pada gilirannya setiap kenaikan satuunit standar BK akan diikuti dengan kenaikan PB sebesar 0.67 unit standar. Jadi untuk satu unit kenaikan KPK melalui MM dan BK akan diikuti dengn kenaikan PB sebesar 0.25 x 0.24 x 0.30 x 0.67 = 0.01206 unit standar PB. Pengaruh IQ, EQ, SQ, dan SosQ (Q) terhadap prestasi belajar (PB), melaluikebiasaan, disiplin, dan efikasi (KDE) kemudian melalui gaya belajar dan gaya kognitif (BK). Setiap kenaikan satu unt standar Q akan diikuti kenaikan KDE sebesar 0.30 unit standar. Selanjutnya setiap kenaikan satu unit standar KDE akan diikuti 0.30 unit standar BK. Kemudian pada gilirannya setiap kenaikan satuunit standar BK akan diikuti dengan kenaikan PB sebesar 0.67 unit standar. Jadi untuk satu unit kenaikan KPK melalui MM dan BK akan diikuti dengn kenaikan PB 0.30 x 0.30 x 0.67 = 0.0603 unit standar PB. Hasil menunjukkan bahwa data selaras dengan model SEM yang dirancang. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan veriabel atribut yang terdiri dari sembilan bagian sebagaimana disebutkan diatas. Jadi variabel konsep diri, percaya diri, karakter dan IQ, EQ, SQ, ESQ mempengaruhi Prestasi belajar melalui motivasi, minat, kebiasaan, displin, dan efikasi, melalui gaya belajar dan gaya kognitif siswa terhadap SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
131
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 prestasi belajar. Variabel percaya diri, kebiasaan dan disiplin menjadi sangat penting dlam belajar. Disamping itu juga variabel IQ baik intelektual, emosional, dan spiritual sangat menentukan dalam proses beajar. Pengaruh dua kelompom variabel KPK dan Q terhadap PB, ini melalui tiga jalur sebagaimana pada Gambar.4 diatas. Semua alur (parsial/ setiap panah) pada setiap jalurnya adalah signifikan. Lebih lanjut jalur 1). KPK—>MM— >KDE—>PB dengan nilai koef. jalur sebesar 0.04355, kemudian jalur 2). KPK—>MM— >KDE—>BK—>PB dengan nilai koef. jalur sebesar 0.01206, dan selanjutnya jalur 3). Q—>KDE—>BK—>PB dengan nilai koef. jalur sebesar 0.0603. Jadi secara struktural 1). Setiap kenaikan satu unit standar KPK akan diikuti dengan 0.04355 stadar PB melalui jalur satu, 2). Setiap kenaikan satu unit standar KPK akan diikuti dengan 0.01206 stadar PB melalui jalur dua, dan 3). Setiap kenaikan satu unit standar KPK akan diikuti dengan 0.0603 unit stadar PB melalui jalur tiga.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan yang dapat di uraikan adalah sebagai berikut. Ketiga hipotesis penelitian dapat dibuktikan bahwa ada pengaruh konsep diri, percaya diri, dan karakter (KPK) dan IQ, EQ, SQ,dan SosQ (Q) melalui tiga jalur terhadap prestasi belajar (PB) dapat diterima, artinya ada pengaruh yang signifikan, baik pad setiap alur maupun secara keseluruhan. Pengaruh KPK terhada PB pada jalur satu lebh tinggi dibandingkan melalui jaur dua. Selanjutnya pengaruh Q terhadap PB melalui jalur tigapaling besar dibandingkan jalur satu, mauun jalur dua. Saran yang dapat disampaian adalah sebagai berikut. Saran disampaikan kepada para guru matematika agar memperhatikan sembilan (minat, motivasi, kebiasaan, disiplin, konsep diri, percaya diri, intelligence quotient (IQ), emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ) ) variabel atribut diatas yang turut memberikan peran atas keberhasilan belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Bloom, Benyamin S. 1981. Taxonomy of education objective Handbook I : Cognitive Domain. New York : Longman inc. Dewanto. 1991. Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Semarang : IKIP Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Djaali dan Pudji Mujiono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Hamalik, Oemar. 2005. Metoda Belajar Dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito. Hasanah, Siti dan Suparman. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Indraprasta PGRI. Karlinger, Fred N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavior. Terjemahan Landing R Simatupang. Yogyakarta: UGM Pres. Muhadjir Noeng. 1992. Pengukuran Kepribadian. Yogyakarta: Rake Sarasin. Murwani, R. Santosa. 2005. Statistika Terapan (Tehnik Analisa Data). Jakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Muhamadyah Prof Dr. Hamka. 132
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Naevdal, F. 2008. The Impact of Family Factors on Peer Selection and Delinquent Activty. An Attempt to Route the Path From Family Matters to Delinquemcy Amon Adolescents in a Scandinavian Sample. In the Social Perception 21st Century Issues and Challenges. New York: Nova Sciece Publishers, Inc. Nasution, S. 1995. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta : Rajawali Press. Ngalim Punvanto. 2004. Prinsip-prinsip dan tekhnik Evaluasi Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya. Purwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Purwakartja, Soegarda. 1976. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta : Gunung Agung. Purwanto, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung; PT. Remaja Rosda Karya. Purwanto, M. Ngalim. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Purwanto, M. Ngalim. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.104 Putranti, Nurita. 2009. Gaya Belajar Anda Visual, Auditori, atau Kinestetik?. Didownload 16 November 2013 dari http://www.psb-psma.org/content/blog/gaya-belajar-anda-visualauditori-atau-kinestetik. Sagala, Saiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sobari, Ahmad. 2005. Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching. Soemanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Soetyobroto, Soedibjo. 2003. Psikologi Sosial Penddikan. Solo: Percetakan Solo. Sri Habsari. 2007. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Sudijono, Anas. 2001. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Sudjana, Nana. 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Cet. Ke-9). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2008. Pengukuran dalam bidang pendidikan. Jakarta : Grasindo Suparman dan Hasanah, Siti. 2012. Bunga Rampai Analisis Structural Equation Model. Jakarta: Responsible Development International Indonesia Suparman, I, A. 2011. Bunga Rampai Aplikasi Model Ekonometri. Jakarta: Responsible Development International Indonesia Suprapto. 2007. Minat Masuk Perguruan Tinggi bagi Siswa Kelas III Program Keahlian Teknik Instalasi Listrik Pada SMK di Purworejo. Semarang: Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Suryabrata, Sumadi. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada. Sutrisno. 2001. Strategi Penyempurnaan Kurikulum Fisika untuk Pendidikan Dtisar dan Menengah. Makalah disampaikan pada Seminar Kurikulum Masa Depan). Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Undang-undang RI. No. 2 Tahun 1989. Tentang Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Enojaya SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
133
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGGUNAAN MEDIA ALGEBRA TILES (UBIN ALJABAR) DAN PERANGKAT LUNAK GRAPHMATICA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN KUADRAT Sendi Ramdhani Universitas Suryakancana Cianjur [email protected]
ABSTRAK Berdasarkan pengamatan peneliti pada kelas X di suatu MA swasta di kabupaten Bandung, kemampuan siswa dalam melakukan pemfaktoran bentuk ax2+bx+c masih kurang. Sebagian besar siswa di kelas tersebut belum mampu melakukan pemfaktorkan. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata siswa pada tes awal mengenai pemfaktoran bentuk ax2+bx+c, yaitu 3,9. Gejala ini menjadi permasalahan yang dipandang peneliti perlu segera diatasi karena kemampuan siswa dalam melakukan pemfaktoran bentuk ax2+bx+c merupakan prasyarat siswa dapat menyelesaikan persamaan kuadrat dengan cara memfaktorkan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. Upaya penyelesaian masalah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) perencanaan (planning), yang meliputi kegiatan analisis faktor penyebab dan penetapan aksi, (2) pelaksanaan tindakan (acting), (3) pengumpulan data (observing), dan (4) refleksi berupa analisis efektivitas tindakan. Serangkaian kegiatan ini merupakan satu siklus. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, sebagian besar siswa belum memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dan faktorisasinya. Terdapat tiga tindakan yang menjadi fokus upaya pemecahan masalah tersebut, (1) peningkatan kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk ax2+bx+c dengan menggunakan media algebra tiles, (2) peningkatan pemahaman siswa terhadap hubungan bentuk ax2+bx+c dan faktorisasinya dengan bantuan media algebra tiles perangkat lunak graphmatica, dan (3) peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaiakan persamaan kuadrat dengan bantuan perangkat lunak graphmatica. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa: (1) 86% siswa mampu memfaktorkan ax2+bx+c, (2) 78% siswa memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dan faktorisasinya (ax+m)(x+n), dan (3) 82% siswa mampu menyelesaikan persamaan kuadrat dengan cara memfaktorkan. Kata Kunci : algebra tiles, graphmatica, persamaan kuadrat
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Matematika adalah ilmu yang terstruktur dimana konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks (Tim MKPBM, 2011). Dalam matematika terdapat konsep atau topik prasyarat yang menjadi dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. 134
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Salah satu topik atau konsep dalam matematika yang menjadi prasyarat untuk memahami konsep atau topik lain adalah faktorisasi bentuk ax2+bx+c. Kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk ax2+bx+c menjadi salah satu syarat untuk memahami cara menyelesaikan persamaan kudrat karena salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan kuadrat adalah dengan memfaktorkan. Kemampuan awal siswa dalam memahami pemfaktoran bentuk ax2+bx+c diperlukan untuk dapat menyelesaikan persamaan kuadrat dengan cara memfaktorkan. Hasil penelitian penulis di kelas yang akan diteliti, kemampuan siswa dalam melakukan pemfaktoran bentuk ax2+bx+c masih kurang. Sebagian besar siswa di kelas tersebut belum mampu melakukan pemfaktorkan. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata siswa pada tes awal mengenai pemfaktoran bentuk x2+bx+c, yaitu 3,9. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, sebagian besar siswa belum memahami hubungan bentuk x2+bx+c dan faktorisasinya (x+m)(x+n). Salah satu metode untuk memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dan faktorisasinya adalah dengan media algebra tiles (ubin aljabar). Media ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan pemfaktoran berdasarkan hasil penelitian Erfianti (2009) dan Koswara (2013). Selanjutnya, penyelesaian persamaan kuadrat dapat dilihat berdasarkan grafik fungsi kuadratnya, dengan demikian salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam menyelesaiakan persamaan kuadrat adalah dengan menggunakan grafik. Graphmatica adalah salah satu perangkat lunak sederhana yang membantu untuk membuat grafik dari sebuah fungsi. Penggunaan Algebra Tiles (Ubin Aljabar) dan Perangkat Lunak Graphmatica diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk ax2+bx+c, mengidentifikasi hubungan b, c, m, dan n jika x2+bx+c difaktorkan menjadi (x+m)(x+n), dan menentukan penyelesaian persamaan kuadrat dengan cara memfaktorkan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan “Pengunaan Media Algebra Tiles (Ubin Aljabar) dan Perangkat Lunak Graphmatica untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Persamaan Kuadrat”. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kemampuan siswa dalam memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dengan faktorisasinnya setelah menggunakan media algebra tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica? 2. Bagaimana kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk ax2+bx+c setelah menggunakan media algebra tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica? 3. Bagaimana kemampuan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat setelah menggunakan media algebra tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dengan faktorisasinnya setelah menggunakan media algebra tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica? 2. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk ax2+bx+c setelah menggunakan media algebra tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica? 3. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat setelah menggunakan media algebra tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica?
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
135
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Manfaat Penelitian 1. Bagi guru untuk memperoleh gambaran mengenai pengunaan media algebra tiles (Ubin Aljabar) dan perangkat lunak graphmatica untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dengan faktorisasinnya, kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk ax2+bx+c, dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat, sehingga dapat dijadikan alternatif pembelajaran matematika di kelas. 2. Bagi peneliti, memberikan pemikiran-pemikiran atau pengetahuan, sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan penelitian pembelajaran matematika lebih lanjut. METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian tindakan kelas yang berusaha mengkaji dan merefleksi suatu pendekatan pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan proses dan produk pengajaran di kelas. Penelitian tindakan kelas ini menurut Wihatma (2004) merupakan sebuah kajian yang bersifat reflaktif oleh pelaku aktivitas, yaitu guru dengan tujuan untuk lebih memperdalam pemahaman terhadap berbagai tindakan dalam pembelajaran yang dilakukan, kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan terhadap berbagai kelemahan dan kekurangan yang masih ada sehingga pada proses pembelajaran yang selanjutnya kelemahan dan kekurangan tersebut tidak terulang. Dengan demikian tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai. Penelitian tindakan kelas yang peneliti lakukan terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut: 1. Studi Pendahuluan Pada kegiatan ini, peneliti melakukan studi pendahuluan ke sekolah yang akan diteliti. Studi pendahuluan dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan serta mengetahui potensi yang dapat dikembangkan pada penelitian. 2. Perencanaan (Planning) Berdasarkan hasil studi pendahuluan, peneliti menyusun komponen-komponen pembelajaran yang akan dilakukan. 3. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Pada kegiatan ini dilakukan implementasi dari hasil penyusunan komponen-komponen pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya. 4. Pengumpulan Data (Observing) Pengumpulan data dilakukan selama kegiatan pembejaran berlangsung mulai dari pengamatan langsung, pengamatan lembar kerja, dan hasil tes akhir. 5. Refleksi dan Evaluasi Tindakan Setelah dilaksanakan pembelajaran dilakukan evaluasi keseluruhan tindakan, mengenai efektivitas, efisiensi, dan relevansi komponen-komponen pembelajaran yang dikembangkan serta disempurnakan. Adapunlangsu kegiatan yang dilakukan adalah memeriksa kembali hasil data yang diperoleh, kegiatan pembelajaran terhadap tujuan. Subjek Penelitian Adapun subjek penelitian ini adalah siswa kelas X A sebuah MA di Kab. Bandung. Peneliti memilih lokasi penelitian di Madrasah tersebut dengan pertimbangan: 1. Lebih dari 70% siswa di kelas tersebut belum mampu memfaktorkan. 2. Penggunaan ubin aljabar dan perangkat lunak Graphmatica belum pernah dilakukan dalam pembelajaran matematik.
136
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Instrumen Penelitian 1.
Lembar Kerja Siswa Lembar kerja siswa ini berisi langkah-langkah kerja siswa dan tugas-tugas dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran yang diharapkan mengarahkan siswa untuk memahami faktorisasi bentuk aljabar dan mampu menyelesaikan persamaan kuadrat dengan memfaktorkan. 2. Algebra Tiles (Ubin Aljabar) Ubin aljabar adalah manipulasi matematis yang memungkinkan siswa untuk lebih memahami cara berpikir aljabar dan konsep-konsep aljabar. Ubin aljabar terdiri dari persegi kecil, persegi besar, dan persegi panjang. Nomor satu diwakili oleh persegi kecil, yang juga dikenal sebagai satu unit ubin. Persegi panjang tersebut merupakan variabel x dan persegi besar mewakili x2. Panjang sisi persegi besar adalah sama dengan panjang persegi panjang, juga dikenal sebagai x unit ubin. Ketika memvisualisasikan ubin ini penting untuk diingat bahwa daerah persegi adalah s2, yang merupakan panjang sisi kuadrat. Jadi jika panjang sisi persegi besar adalah x maka dapat dimengerti bahwa persegi besar mewakili x2 . Lebar persegi panjang x sama dengan panjang sisi satu unit ubin. Alasan bahwa ubin aljabar yang dibuat seperti ini untuk memberikan pemahaman dalam faktorisasi suku banyak. (Kitt, 2000) 3. Perangkat Lunak Graphmatica Graphmatica adalah jenis perangkat lunak grafik yang termasuk shareware yang dibuat oleh Keith Hertzer. Perangkat lunak ini cukup bagus namun sangat mudah digunakan. Sebuah program kecil ( 178 KB dalam file zip ), sehingga siswa dapat menyalin dan menggunakannya pada komputer di rumah mereka, jika perlu. Perangkat lunak dapat download dari situs Web Math Forum, http://forum.swarthmore.edu. (Yoong, 1998) 4. Tes Akhir (Evaluasi) Tes ini diberikan untuk mengetahui mengenai kemampuan siswa dalam memfaktorkan ax2+bx+c, memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dan faktorisasinya, dan menyelesaikan persamaan kuadrat dengan cara memfaktorkan. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan pengamatan langsung selama pembelajaran berlangsung, analisis hasil lembar kerja siswa , dan analisis hasil tes akhir. Untuk mengkategorikan kualitas kemampuan siswa, peneliti menggunakan penilaian skala lima dan tabel konversi sebagai berikut: Sangat Tinggi 90% A 100% Tinggi 75% B 90% 55% C 75% Cukup 40% D 55% Rendah 00% E 40% Sangat Rendah
(Suherman, 1990)
HASIL DAN PEMBAHASAN Studi Pendahuluan Studi pendahuluan dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan serta mengetahui potensi yang dapat dikembangkan pada penelitian. Pada studi pendahuluan ini peneliti memberikan tes pada subyek penelitian mengenai pemahaman mereka tentang faktor, memfaktorkan bentuk ax2+bx+c yang sebenarnya sudah mereka dapatkan di tingkat SMP. Hasil pengolahan terhadap hasil tes tersebut menjadi bahan peneliti untuk merencanakan strategi pembelajaran dan bentuk lembar kerja siswa yang akan diberikan. Dari hasil tes tersebut didapat bahwa 83% siswa tidak memahami secara tepat apa yang dimaksud dengan faktor, dan 75% siswa belum mampu memfaktorkan bentuk ax2+bx+c. Rata-rata nilai tes tersebut adalah 3,9. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
137
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Perencanaan (Planning) Berdasarkan studi pendahuluan peneliti membuat strategi pembelajaran yang merupakan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan sebagai berikut: 1. Siswa diarahkan untuk memahami faktorisasi yang terdiri dari dua faktor dan tiga faktor dari sebuah bilangan. 2. Siswa diarahkan untuk memahami pengertian faktor dan faktorisasi 3. Siswa diarahkan untuk memahami bentuk faktorisasi dari bentuk aljabar 4. Siswa diarahkan menjabarkan bentuk ax2+bx+c untuk disusun dalam bentuk algebra tiles (ubin aljabar) dan dibentuk menjadi sebuah persegi panjang sehingga diharapkan memahami bentuk faktorisasinya 5. Siswa diarahkan untuk mengetahui perpotongan dengan sumbu-x dan sumbu-y pada koordinat kartesisus dengan menggunakan perangkat lunak Graphmatica dengan merubah bentuknya menjadi y=ax^2+bx+c. 6. Siswa diarahkan untuk memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dengan faktorisasinya. 7. Siswa diarahkan untuk memahami penyelesaian persamaan kuadrat ax2+bx+c = 0 berdasarkan gambar grafiknya dalam perangkat lunak Graphmatica pada perpotongan dengan sumbu-x dimana y = 0. Langkah-langkah pembelajaran tersebut termuat dalam lembar kerja siswa. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Pada pelaksanaan pembelajaran ini diharapkan siswa memahami pengertian faktor dan faktorisasi; mampu memfaktorkan bentuk ax2+bx+c untuk a =1 dan a, b, c > 0; dan mampu menyelesaiakan persamaan kuadrat x2+bx+c = 0. Langkah-langkah pembelajaran antara lain sebagai berikut: 1. Peneliti membagi siswa menjadi 8 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 34 siswa. 2. Peneliti menjelaskan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 3. Peneliti membagikan lembar kerja siswa kepada setiap kelompok. 4. Peneliti mengamati jalannya diskusi di setiap kelompok. 5. Para siswa dalam kelompok masing-masing menyusun ubin aljabar dan menempelkannya dalam lembar kerja siswa. Contoh ubin Aljabar yang disiapkan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Ubin Aljabar
6. Para siswa mengeksplorasi gambar grafik dengan perangkat lunak Graphmatica menggunakan laptop yang sudah peneliti siapkan. 7. Beberapa kelompok menyampaikan hasil pekerjaannnya. 8. Peneliti melakukan refleksi di akhir pembelajaran. Hasil pengamatan peneliti selama pembelajaran berlangsung, 6 kelompok dari 8 kelompok mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ada dalam lembar kerja siswa dengan baik dan tepat waktu. Dua kelompok lainnya tidak tepat waktu.
138
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Refleksi dan Evaluasi Tindakan 1. Hasil dari pengamatan langsung selama pembelajaran, kegiatan pembelajaran dapat berlangsung sesuai rencana dan terlihat antusias para siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, hal ini dapat dilihat dalam Gambar 2.
Gambar 2. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran
2. Berikut beberapa contoh siswa dalam menyusun ubin aljabar pada Gambar 3.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
139
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 3. Contoh Penyusunan Ubin Aljabar
3. Hasil analisis terhadap kerja siswa dalam menyelesaikan lembar kerja siswa diperoleh halhal sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Berikut No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1. Persentase Kemampuan yang Diperoleh Siswa Ketika Pembelajaran Kemampuan yang Diperoleh Persentase Siswa Pemahaman terhadap pengertian faktor 92% Pemahaman terhadap pengertian faktorisasi 92% Pemahaman tentang faktorisasi dari bentuk aljabar 100% Pemahaman tentang hubungan bentuk ax2+bx+c 87% dengan faktorisasinya 2 Kemampuan memfaktorkan bentuk ax +bx+c 89% Kemampuan menyelesaikan persamaan kuadrat 84% ax2+bx+c = 0
4. Hasil tes akhir di dapat hasil sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 2. No 1 2 3
Tabel 2. Persentase Kemampuan yang Diperoleh Siswa Setelah Pembelajaran Kemampuan yang Diperoleh Persentase Siswa Pemahaman tentang hubungan bentuk 78% ax2+bx+c dengan faktorisasinya Kemampuan memfaktorkan bentuk 86% ax2+bx+c Kemampuan menyelesaikan persamaan 82% kuadrat ax2+bx+c = 0
Kategori Tinggi Tinggi Tinggi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sebanyak 78% siswa mampu memahami hubungan bentuk ax2+bx+c dengan faktorisasinnya setelah menggunakan media algebra aljabar tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica. 2. Sebanyak 86% siswa mampu memfaktorkan bentuk ax2+bx+c setelah menggunakan media algebra aljabar tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica. 3. Sebanyak 82% siswa mampu menyelesaikan persamaan kuadrat setelah menggunakan media algebra aljabar tiles (ubin aljabar) dan perangkat lunak graphmatica.
140
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Saran 1. Media algebra tiles (ubin aljabar) sangat baik digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk aljabar sehingga disarankan kepada guru di tingkat SMP untuk mengunakan media ini dalam pembelajaran faktorisasi bentuk aljabar. 2. Perangkat lunak graphmatica disarankan dimanfaatkan dalam pembelajaran terutama untuk memahami sebuah grafik karena mudah digunakan oleh para siswa 3. Dalam penelitian selanjutnya bisa dilakukan untuk media ubin aljabar yang negatif dan pemanfaatan Perangkat lunak graphmatica untuk materi yang lain yang membutuhkan gambar grafik. DAFTAR PUSTAKA Erfianti, Erma. (2009). Peningkatan Pemahaman Pemfaktoran Bentuk Aljabar Melalui Pemanfaatan Ubin Aljabar Siswa Kelas VIII SMPN 2 Ponorogo Tahun Ajaran 2009/2010. Skripsi. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang. Kitt, Nancy A. and Annette Ricks Leitze. (2000). Using Homemade Algebra Tiles to Develop Algebra and Prealgebra Concepts. MATHEMATICS TEACHER 2000. Koswara, Dadang. (2013). Media Ubin Aljabar Dalam Konsep Memfaktorkan. [Online]. Tersedia:http://wapikweb.org/article/detail/media-ubin-aljabardalam-konsep-memfaktorkan.php. [8 Mei 2013] Suherman, Erman dan Sukjaya, Yaya. 1990. Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah. Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI. Wihatma, Ujang. (2004). Realitas Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di Kalangan Guru-Guru. Makalah disampaikan pada Seminar Matematika di IAIN SGD Bandung Tanggal 16 Maret 2004, di Bandung. Yoong, Wong Khoon. (1998). Modul 2: Graphing Software. Universisti Brunei Darussalam.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
141
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENILAIAN BERBASIS KOMPETENSI DAN REGULASI DIRI DALAM PERKULIAHAN TEORI BILANGAN Wardani Rahayu Jurusan Matematika FMIPA UNJ [email protected]
ABSTRAK Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh penilaian berbasis kompetensi dan regulasi diri dalam perkuliahan Teori Bilangan dengan mengontrol kemampuan awal. Teknik penilaian berbasis kompetensi yang digunakan adalah penilaian portofolio dan tes tertulis yang berbentuk kuis. Penelitan ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta. Data penelitian diperoleh melalui instrumen regulasi diri dan tes hasil belajar Teori Bilangan. Data dianalisis dengan Anakova dua jalan dengan desain treatment by level. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pada mahasiswa dengan regulasi rendah lebih cocok diterapkan penilaian tes tertulis yang berbentuk kuis lebih efektif diterapkan dalam perkuliahan Teori Bilangan dibandingkan dengan penilaian tes tertulis berbentuk kuis dan portofolio, sementara pada mahasiswa dengan regulasi tinggi lebih efektif diterapkan penilaian tes tertulis yang berbentuk kuis dana portofolio. Kata Kunci:
penilaian berbasis kompetensi, regulasi diri, dan hasil belajar teori bilangan
PENDAHULUAN Kurikulum program studi Pendidikan Matematika telah disusun berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Silabus setiap mata kuliah disusun berdasarkan Course Learning Outcomes (CLO) yang bersandar pada hasil tracer study dan need analysis dari stakeholder. Penerapan kurikulum berdasarkan KKNI ini dalam perkuliahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan penilaian. Reynolds, Livingston dan Willson (2009: 2) mengatakan penilaian adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran. Penilaian dapat memberikan informasi tentang peningkatan pengajaran dan pengetahuan. Seperti yang dikatakan Reynolds, Livingston dan Willson (2009: 3), penilaian adalah prosedur yang sistematis untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk membuat kesimpulan tentang karakter manusia atau objek. Penerapan penilaian dalam mengimplementasikan kurikulum berdasarkan KKNI pada program studi Pendidikan Matematika adalah penilaian berbasis kompetensi. Penilaian pembelajaran yang seharusnya dilakukan adalah penilaian yang berorientasi kompetensi (Wardani, 2004:2). Penilaian ini mencakup semua kompetensi atau CLO yang dijabarkan pada RKPPS. Penilaian dilakukan secara berkelanjutan dan dapat digunakan untuk mengetahui kemajuan mahasiswa dengan menggunakan teknik penilaian yang bervariasi diantaranya adalah 142
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 penilaian kinerja, proyek, portofolio dan tes tertulis. Wardani (2004: 2) menyatakan teknik penilaian yang digunkan hendaknya menuntut mahasiswa mendemonstrasikan pengetahuan, ketrampilan, cara berpikir, idea atau gagasan ilmiahnya. Namun selama ini pelaksanaan penilaian dalam perkuliahan khususnya pada mata kuliah Teori Bilangan hanya menggunakan penilaian tes tulis yang dilaksanakan pada Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Penerapan penilaian hanya UTS dan UAS belum dapat menilai proses perkuliahan. Oleh karena itu penilaian seperti ini mengakibatkan hampir sebagian besar mahasiswa banyak mendapat nilai C, D dan E. Oleh karena itu perlu membiasakan penilaian berbasis kompetensi dalam perkuliahan. Seperti yang dikatakan Linn dan Gronlund (1995:5) penilaian digunakan untuk memperoleh informasi tentang pembelajaran siswa dan bentuk pemberian nilai tentang kemajuan pendidikan. Mata kuliah Teori Bilangan ditawarkan pada mahasiswa tahun pertama yang telah menempuh mata kuliah Aljabar linear. Mahasiswa tahun pertama belum dapat menyesuaikan belajar dengan sistem perkuliahan di Perguruan Tinggi. Sebagian besar mahasiswa tahun pertama belajar tidak secara kontinu namun dilakukan menjelang UTS dan UAS akan berlangsung sehingga mereka belum memahami konsep materi secara mendalam pada mata kuliah teori bilangan. Mahasiswa tahun pertama harus dapat menyesesuaikan belajar dengan sistem perkuliahan yang berbentuk sistem kredit semester (SKS). Mahasiswa dituntut untuk belajar secara mandiri dan kontinu sehingga konsep pada mata kuliah teori bilangan dipahami. Mahasiswa dalam perkuliahan diperlukan belajar secara teratur dan kontinu. Mahasiswa harus dapat mengatur waktu belajar tanpa diminta oleh dosen seperti di Sekolah Menengah Atas (SMA). Oleh karena itu diperlukan regulasi diri untuk dapat memahami definisi, teorema dan melatih soal-soal. Susanto (2006) menyatakan regulasi diri sebagai penggunaan suatu proses yang mengaktivasi pemikiran, perilaku, perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Regulasi diri diartikan sebagai kemampuan mahasiswa untuk membimbing dirinya sendiri seperti memonitor, mengatur dan mengontrol kognisi, motivasi, sikap dan tingkah laku untuk mencapai tujuan. Seperti yang dikatakan oleh Liukkonen et al. (2007: 144), regulasi adalah hubungan antara suasana pembelajaran siswa, kognisi dan keyakinan dengan sikap, motivasi dan tingkah laku. Regulasi diri mahasiswa dapat berkembang tinggi diperlukan peran dosen dalam melaksanakan perkuliahan. Sistem perkuliahan harus direncanakan sebelum perkuliahan berlangsung. Perencanaan perkuliahan tidak hanya materi dan media pembelajaran yang disiapkan tetapi juga teknik penilaian yang digunakan. Salah satu penilaian proses perkuliahan adalah penialaian tes tulis berbentuk kuis dan portofolio. Penilaian kuis dilaksanakan setelah materi satu pokok bahasan selesai. Penilaian kuis merupakan penilaian formatif. Menurut Hopkin (1990, 15) menyatakan bahwa penilaian formatif diberikan untuk skala kecil. Supardi (2011) menyatakan penilaian formatif per pokok bahasan diharapkan dapat memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk belajar lebih banyak, karena dinilai dan dilakukan upaya perbaikan lebih sering, sehingga dapat menguasai materi pelajaran lebih baik. Penilaian formatif berfungsi juga untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi yang telah diajarkan (Gagne, 1977: 3). Penilaian portofolio merupakan penilaian terhadap kumpulan hasil karya mahasiswa yang disusun secara sistematis dan terorganisir dalam jangka waktu tertentu. Penilaian portofolio dalam penelitian ini adalah portofolio dokumen. Mahasiswa diminta mencari litetarur berupa konsep dan kumpulan soal berkaitan dengan pokok bahasan. Mahasiswapun menyelesaikan soal-soal yang diperoleh melalui internet atau referensi lainnya. Menurut Supranata (2004: 26) penilaian portofolio tidak hanya merupakan tempat penyimpanan hasil pekerjaan peserta didik, tetapi merupakan sumber informasi untuk pengajar dan peserta didik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh penilaian berbasis kompetensi dan regulasi diri dalam perkuliahan Teori Bilangan dengan mengontrol kemampuan awal, sehingga diperoleh bentuk penilaian yang efektif dalam perkuliahan Teori Bilangan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
143
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan variabel terikatnya adalah hasil belajar Teori Bilangan dan variabel bebas terdiri dari variabel perlakuan dan variabel moderator. Variabel perlakuan adalah teknik penilaian berbasis kompetensi (A) terbagi menjadi dua yaitu Tes tertulis berbentuk kuis (A1), dan portofolio dan kuis (A2). Variabel moderator adalah regulasi diri yaitu regulasi diri rendah (B1) dan regulasi diri tinggi (B2). Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah kemampuan awal. Desain penelitian dengan menggunakan disain treatment by level. Tabel 1. Desain Penelitian dengan Treatment by Level 2x2 Penilaian Berbasis Kompetensi (A) Regulasi Diri (B)
Kuis (A1) A1B1
Kuis dan Portofolio (A2) A2B1
Rendah (B1) [X,Y]11k, k = 1, … 8 A1B2
[X,Y]21k, k = 1, … 10 A2B2
Tinggi (B2) [X,Y]12k, k = 1, … 9 [X,Y]22k, k = 1, … 8 Keterangan: A1B1: kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi diri rendah dan penilaian berbentuk kuis. A2B1: kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi diri rendah dan penilaian berbentuk kuis dan portofolio. A1B2: kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi diri tinggi dan penilaian berbentuk kuis. A2B2: kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi diri tinggi dan penilaian berbentuk kuis dan portofolio.
dikenakan
dikenakan
dikenakan
dikenakan
Instrumen yang dikembangkan berbentuk rating scale dengan 5 option yang terdiri dari 27 butir yang valid. Instrumen terdiri dari tujuh indikator yaitu menerima informasi yang relevan, mengevaluasi informasi dan menelaahnya, beraksi cepat terhadap perubahan, mencari pilihan, memformulasikan rencana, mengimplementasikan rencana dan menilai kefektifan rencana. Data isian dari responden dianalisis untuk menguji validasi konstruk dengan menggunakan analisis faktor. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa mahasiswa Matematika Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta. Pengambilan sampel penelitian ini ditentukan dengan teknik cluster random sample. Teknik analisis data menggunakan anakova dua jalur. Penelitian ini dilaksanakan pada semester dua tahun ajaran 2012/2013 di Jurusan Matematika FMIPA UNJ. Tes kemampuan awal dilaksanakan pada materi faktor persekutuan terbesar. Perlakuan penilaian berbasis kompotensi dilaksanakan sebanyak 7 kali pertemuan yaitu untuk materi kekongruenan. Tes hasil belajar dan instrumen regulasi diri direspon pada mahasiswa setelah perlakuan selesai.
144
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gambar 1 menunjukkan sebaran kemampuan awal A1B1 lebih homogen dibandingkan dengan kelompok A2B1, A1B2 dan A2B2 dan sebarannya berbentuk positif. Sebaran kemampuan A2B1 lebih homogen dibandingkan A2B1 dan A2B2 dan sebaran berbentuk positif. Sebaran A2B1 lebih homogen dibandingkan A2B2 dan sebarannya berbentuk negatif. Sementara sebaran A2B2 berbentuk simetri. Ini berarti sebagian besar nilai kemampuan kelompok A1B1 dan A2B1 berkumpul pada nilai yang rendah, sementara nilai kemampuan awal A1B2 berkumpul pada nilai yang tinggi.
Gambar 1 Nilai Kemampuan Awal
Pada gambar 2 sebaran hasil belajar teori bilangan A2B2 lebih homogen dibandingkan dengan kelompok A1B1, A1B2 dan A2B1.Sebaran hasil belajar teori bilangan A1B1 lebih homogen dibandingkan dengan kelompok A2B1 dan A1B2, Bentuk sebaran A1B1 dan A1B2 simetri sementara A2B1 positif dan A2B2 negatif. Ini berarti sebagian besar hasil belajar teori bilangan A2B1 berkumpul pada nilai yang rendah dan A2B2 berkumpul pada nilai yang tinggi.
Gambar 2 Hasil Belajar Teori Bilangan
Pada tabel 1 pada baris penilaian berbasis kompetensi menunjukkan nilai sig. = 0,315 > α=0,05.. Ini berarti tidak terdapat perbedaan rata-rata hasil belajar Teori Bilangan mahasiswa yang diberikan penilaian kuis dan portofolio, dan hasil belajar Teori Bilangan mahasiswa yang diberikan kuis. Pada interaksi (A*B), nilai sign.=0.41 < α=0,05, ini berarti terdapat interaksi penilaian berbasis kompetensi dan regulasi diri dengan hasil belajar teori bilangan mahasiswa. Hasil pengujian perbandingan berganda adalah pada kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi rendah, rata-rata terkoreksi hasil belajar teori bilangan yang dikenakan penilaian kuis 79,12 dan penilaian kuis dan portofolio adalah 70,798 maka dapat disimpulkan hasil belajar teori bilangan dengan penilaian kuis lebih tinggi dari hasil belajar teori bilangan SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
145
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dengan penilain kuis dan portofolio. Sementara untuk penilaian kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi tinggi, rata-rata terkoreksi hasil belajar teori bilangan yang dikenakan penilaian kuis 75,438 dan penilaian kuis dan portofolio adalah 81,842 maka dapat disimpulkan hasil belajar teori bilangan dengan penilaian kuis lebih rendah dari hasil belajar teori bilangan dengan penilain kuis dan portofolio Tabel 1 Hasil Pengujian dengan ANAVA Dependent Variable:HasilBelajar Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig. .338
KemampuanAwal
132.465
1
132.465
.947
Penilaian Berbasis Kompetensi
146.169
1
146.169
1.045 .315
RegulasiDiri
185.931
1
185.931
1.329 .258
TeknikPenilaian * RegulasiDiri
634.696
1
634.696
4.537 .041
Error
4196.635
30
139.888
Total
215252.000
35
Corrected Total
6657.600
34
a. R Squared = ,370 (Adjusted R Squared = ,286)
Hasil penelitian pertama menunjukkan tidak berpengaruh teknik penilaian berbasis kelas yakni pemberian penilaian kuis dan portofolio, dan kuis dalam perkuliahan terhadap hasil belajar teori bilangan pada semua mahasiswa yang memiliki regulasi tinggi dan rendah. Sebagian besar materi Teori Bilangan tidak lagi merupakan materi berkaitan dengan ketrampilan menghitung, namun materi ini berkaitan dengan materi lebih abstrak karena sebagian materi tidak menggunakan angka tetapi menggunakan huruf. Soal-soalnya berbentuk problem solving dengan tingkatan analisis, sintesis dan evaluasi pada taksonomi Bloom. Misalkan soal yang bentuk problem solving adalah (1) Jika a b (mod n) maka (a,b)=(b,n) , (2) Jika abcb (mod n) dan bd (mod n) dengan (b,n)=1 maka a c(mod n). Oleh Karena penerapan teknik penilaian berbasis kompetensi yakni kuis dan portofolio dilakukan dilaksanakan dalam perkuliahan Teori bilangan Hasil penelitian kedua menunjukkan adanya interaksi antara penilaian berbasis kompetensi dan regulasi diri terhadap hasil belajar Teori Bilangan. Penilaian berbasis kelas dalam penelitian berbentuk kuis dan portofolio mempengaruhi regulasi diri mahasiswa. Penerapan penilaian kuis dan portofolio dalam perkuliahan memaksa mahasiswa untuk dapat belajar secara teratur dan kontinu. Mahasiswa berusaha menata cara belajar dan mampu merencanakan waktu sehingga mahasiswa dapat berhasil dalam mengikuti perkuliahan. Aronson, et al. menyatakan regulasi diri berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengontrol pikiran untuk meninggalkan bujukan yang tidak mendorong mencapai tujuan (Baron dan Branscombe, 2001: 175) Hasil penelitian ketiga menunjukkan penerapan penilaian kuis lebih berpengaruh dibandingkan penilaian portofolio dan kuis pada kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi rendah. Sedangkan hasil penelitian keempat penerapan penilaian kuis dan portofolio lebih berpengaruh dibandingkan penilaian kuis pada kelompok mahasiswa yang memiliki regulasi rendah. Mahasiswa yang memiliki regulasi tinggi mampu belajar secara mandiri dan mampu mengkaji konsep dari referensi yang berada pada portofolio dokumen. Portofolio yang disusun oleh mahasiswa dapat memperdalam wawasan mahasiswa dalam memahami konsep maupun melatih soal-soal yang berbentuk penyelesaikan masalah. Pelaksanaan kuis setelah pokok bahasan selesai berimbas dengan meningkatkannya motivasi mahasiswa untuk selalu belajar secara teratur, kontinu dan terencana. Ini sesuai dengan hasil penelitian Supardi (2011), terdapat pengaruh frekuensi penilaian formatif terhadap hasil belajar Kalkulus dengan mengontrol kemampuan awal. Berbeda dengan mahasiswa yang memiliki regulasi yang rendah, mereka tidak mampu mengkaji konsep secara mandiri dari referensi yang dikumpulkan dalam portofolio. Penilaian kuis lebih cocok untuk mahasiswa dengan regulasi yang rendah. 146
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Pelaksanaan kuis pada mahasiswa ini dapat memacu motivasi belajar sehingga dapat menata belajar secara teratur. Portofolio yang disusun oleh mahasiswa tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa namun manfaat ini dirasakan oleh dosen pengampu mata kuliah. Dosen dapat menambah pengetahuan dan soal-soal dengan keterbatasan waktu dosen yang ditugaskan mengajar, meneliti dan membimbing mahasiswa maupun pengabdian pada masyarakat. Seperti yang dikatakan Surapranata (2004: 73), penilaian portofolio tidak hanya merupakan tempat penyimpanan hasil hasil pekerjaan peserta didik, tetapi merupakan sumber informasi untuk pengajar dan peserta didik. Penilaian portofolio dokumen dapat menjadi alternatif penilaian dalam perkuliahan teori Bilangan pada mahasiswa dengan regulasi tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN Penilaian penilaian kuis efektif digunakan dalam perkuliahan Teori Bilangan pada mahasiswa dengan regulasi rendah, sedangkan penilaian kuis dan portofolio lebih efektif pada mahasiswa yang memiliki regulasi tinggi. Portofolio yang disusun oleh mahasiswa tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa namun manfaat ini dirasakan oleh dosen pengampu mata kuliah. Dosen diharapkan untuk memahami dan mengimplementasi penilaian berbasis kompetensi sehingga penilaian dapat melaksanakan penilaian proses dengan teknik penilaian yang bervariasi. Penerapan penilaian berbasis kompetensi dalam perkulihan melatih mahasiswa menata cara belajar dan mampu merencanakan waktu sehingga mahasiswa dapat berhasil dalam mengikuti perkuliahan
DAFTAR PUSTAKA Baron, Robert A., Nyla R. Branscombe dan Donn Byren. Social Psychology. Boston: Pearson Education, Inc., 2008. Hopkin, Charles D., dan Lichard L. Antes. Classroom Measurement and Education. Illinois: Peacock Publishers Inc., 1990. Linn, Robert L. dan Norman E. Gronlund. Measurement and Assessment Teaching. New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 1995. Reynolds, Cecil R., Ronald B. Livingston, dan Victor Willson. Measurement and Assessment in Education. New Jersey: Pearson Education, 2009. Supardi U. S. “Frekuensi Penilaian Formatif dan Kemandirian Belajar.” Jurnal Evaluasi Pendidikan. Vol 2 No. 1 Maret Tahun 2011, hh 68 – 83. Surapranata, Sumarna dan Muhamad Hatta. Penilaian Portofolio, Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Rosdakarya, 2004. Susanto, Handy. “Mengembangkan Kemampuan Self Regulation untuk Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa.” Jurnal Pendidikan Penabur Vol. 5 No. 7 Desember 2006, hh 64-71. http://wwww.penabur.org/files (Diakses 20 Juni 2013) Wardani, Sri. Penilaian Pembelajaran Matematika Berbasis Kompetensi. Yogjakarta: P3G Matematika, 2004. http://p4tkmatematika.org (diakses 2 Januari 2014) SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
147
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
LEVEL PERKEMBANGAN SKEMA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM MEMAHAMI KEKONVERGENAN BARISAN Wahyu Widada Pendidikan Matematika FKIP Universitas Bengkulu [email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan level-level perkembangan skema mahasiswa pendidikan matematika dalam pembelajaran analisis real. Penelitian ini adalah bagian dari penelitian pengembangan teori perkembangan skema, yakni melalui dua pendekatan, Pertama Pendekatan teoretik berupa penelitian pustaka, melalui refleksi, review dan validasi ahli. Kedua Pendekatan-perbandingan-tetap. Hasil penelitian ini adalah paparan dua level yang perkembangan skema mahasiswa dari tujuh level yang ada (yaitu level praintra, level intra, level semi-inter, level inter, level semi-trans, level trans, dan level extended-trans). Dua level dimaksud adalah Pertama, Level Pra-Intra,mahasiswa yang berada pada level ini hanya dapat melakukan aktivitas prosedural melalui pengulangan fisik atau manipulasi mental sebagai suatu reaksi terhadap rangsangan eksternal yang diterima,namun aktivitas ini dilakukan secara secara terpisah dan tidak mampu mencapai proses menyelesaikan soal tentang kekonvergenan barisan. Kedua, Level Trans, mahasiswa berada pada level trans dapat membangun keterkaitan antara aktivitas prosedural, prosesproses, objek-objek, dan skema lain, sehingga terbentuk suatu skema yang matang. Skema tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah kekonvergenan barisan. Simpulan penelitian ini adalah bahwa level-level perkembangan skema mahasiswa pendidikan matematika dapat diekspresikan berdasarkan keterkaitan antara aksi-proses-objek-skema sebagai kumpulan aktivitas fisik dan mental dalam sistem pemrosesan informasinya. Kata Kunci: Perkembangan Skema, Kekonvergenan Barisan
PENDAHULUAN Pembelajaran Analisis Real menekankan mahasiswa untuk mampu berpikir tingkat tinggi. Untuk itu, dalam menilai kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran analisis real dibutuhkan klasifikasi yang baik dan tepat. Melalui Penelitian Hibah Kompetensi Wahyu Widada (2009) mengembangkan Teori Pelevelan jaringan perkembangan skema mahasiswa. Hasil penelitian tersebut diperoleh level baru dari Level Triad+ yakni Pra-Intra Level. Wahyu Widada (2009) kemudian menamai pelevelan tersebut dengan Level Triad++ yang terdiri dari enam level. Enam level tersebu adalah Pra-intra Level, Intra Level, Semi-Inter Level, Inter Level, Semi-trans Level dan Trans Level. Dengan demikian, penilaian terhadap kemampuan berpikir dan bertindak mahasiswa dalam pembelajaran analisis real dapat dilakukan dengan teliti dan lebih halus bila dibandingkan dengan pelevelan sebelumnya. Namun perkembangan kognitif mahasiswa dalam mempelajari Kekonvergenan Barisan ternyata memiliki perkembangan yang sangat signitifikan, hingga menemukan mahasiswa yang diindikasikan melampaui Level Trans pada pelevelan teori Level Triad++ (Wahyu Widada, 148
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 2010). Oleh karena itu, kemampuan mahasiswa tersebut tidak masuk dalam satu level-pun dalam Pelevelan Triad++ tersebut. Untuk itu, melalui penelitian Hibah Kompetensi (Wahyu Widada, 2010) mengklasifikasikan mahasiswa dimaksud dalam Level Extended Trans. Berdasarkan hasil penelitian tersebut Wahyu Widada menamai dengan Teori Extended Level Triad++. Dalam kaitan ini, setiap level dideskripsikan berdasarkan aktivitas fisik dan mental berdasarkan kajian teori kognitif. Sebab teori kognitif memandang individu sebagai pemroses informasi yang aktif, sehingga individu tersebut mampu merepresentasikan setiap informasi sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki, dan menjadikannya sebagai suatu struktur representasi pengetahuan berupa frame, atau berupa skema, atau berupa script yang disimpannya dalam memori (Davis,1984; Beddely, 1998; Davis & Tall, 1999; Hunt & Ellis, 1999; Skemp, 1982; Solso, 1995; Dubinsky, 1987, 1989, 1995, 2000; Asiala, et al., 1997; Dubinsky & McDonald, 2000; Dubinsky & Yiparaki, 2001; DeVries, 2000). Struktur representasi pengetahuan mahasiswa dikembangkan dalam sistem pemrosesan informasinnya yang terdiri dari Sensory Register, SortTerm Memory dan Long-Term Memory. Informasi yang masuk ke dalam memori pertama kali akan diterima oleh sensori register (sebagai memori penginderaan). Informasi tersebut disimpan dalam waktu yang sangat singkat. Berdasarkan penlitian, waktu simpan pada memori penglihatan (visual memory) hanya selama seperempat detik., dan bial tidak diproses, maka informasi tersebut akan hilang (Solso, 1995). Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian akan ditransfer ke komponen kedua dari system memori, yaitu memori jangka pendek. Memori jangka pendek menyimpan informasi dalam jangka waktu yang sangat pendek dengan kapasitas terbatas, menurut Baddeley (1998), hanya 5-9 butir, sehingga dapat dipandang bahwa memori jangka pendek sebagai kotak mental yang mempunyai ± 2 bilik. Setiap bilik dapat ditempati satu butir informasi. Untuk itu, bila semua bilik telah terisi butir-butir informasi, dan ada satu butir informasi baru masuk, maka salah satu butir yang lama harus meninggalkan bilik, dapat digantikan oleh butir informasi yang baru. Hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya lupa dalam memori jangka pendek. Menurut Slavin (1997) tanpa pengulangan, kemudian butir informasi tinggal di memori jangka pendek tidak akan lebih dari 30 detik. Berarti bahwa pengulangan merupakan salah satu teknik untuk menghindari lupa. Untuk memanggil kembali (retrieval) informasi dari memori jangka pendek, perlu dilakukan pelacakan pada butir-butir yang tersimpan dalam bilik-bilki memori. Dari hasil penelitian Stemberg (Solso, 1995) bahwa waktu yang diperlukan untuk memanggil kembali akan bertambah setara dengan banyak butir yang dipanggil. Bila y menyatakan lama pemanggilan dalam milidetik, dan x banyak butir yang akan dipanggil, maka Stemberg dapat merumuskan sebagai persamaan garis lurus y = 40x + 400. Ini menandakan begitu cepatnya proses retrieval terhadap chunk yang tersimpan dalam memori jangka pendek. Setiap individu memiliki kemampuan tersendiri dalam mengorganisasikan butir-butir informasi dalam memorinya. Misal membuat butir-butir informasi mennjadi satu unit barisan yang terpadu (Davis, 1984) dan bermakna yang sering disebut dengan chunk, sehingga setiap bilik memori jangka pendek dapat diidi dengan chunk. Untuk itu, maka kapasitas memori jangka pendek berkisar antara lima sampai Sembilan chunk. Sebagai contoh ada 10 butir informasi berupa huruf-huruf “AETMAATMIK” yang harus disimpan dalam memori jangka pendek, hal ini tidak mungkin tersimpan 10 butir tersebut, sebab melebihi kapasitas memori jangka pendek yang hanya 5-9 bilik saja. Namun jika huruf tersebut disusun dalam unit barisan yang terpadu dan bermakna tersebut menjadi satu chunk yaitu “MATEMATIKA”, dan unit barisan tersebut hanya memerlukan satu bilik memori jangka pendek untuk menyimpannya. Sehingga fenomena chunk ini sangat menguntungkan proses penyimpanan informasi-informasi dalam sistem memori. Chunk merupakan salah satu struktur representasi pengetahuan, yang dapat sangat memungkinkan untuk disimpan ataupun dipanggil kembali dari memori jangka panjang. Teori kognitif memandang bahwa individu sebagai pemroses informasi yang aktif, sehingga mereka mampu merepresentasikan setiap informasi sesuai dengan tingkat SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
149
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 pengetahuan yang dimiliki, dan menjadikannya sebagai struktur representasi pengetahuan berupa frame (Menurut Minsky), atau berupa skema (Menurut Piaget) yang disimpannya dalam memori (Davis, 1984). Frame merupakan suatu hipotesis yang dipostulatkan oleh Minsky (1974) keberadaannya dalam pikiran, demikian juga Piaget mempostulatkan hal tersebut berupa skema, merupakan struktur yang beran secara internal dalam pemrosesan informasi pada manusia. lni berarti bahwa seseorang tidak mudah untuk dapat meneliti secara eksternal tingkah laku skema dan justru tidak dapat melihat skema yang ada dalam pikiran manusia. Namun jika seseorang meneliti secara layak kumpulan yang terpadu dari ide-ide yang terkait. Maka seseorang dapat melihat secara tajam tentang sesuatu. Sesuatu ini dapat diteliti melalui suatu pola dari ide-ide yang saling berhubungan yang nampak dengan teliti terkait dalam pikiran seseorang, yakni berupa tingkah laku skema. Hal ini dapat secara eksplisit diidentifikasi dan dideskripsi sebagai suatu hasil interview klinis terhadap proses berpikir seseorang. Seperti ide “inti atom”, dan “lapisan elektron, memberikan suatu tiang pondasi struktural untuk tingkah laku kimiawi dan fisika secara mikroskopis (teori Rutherford). Analogis dari hal ini, seperti postulat dari representasi informasi internal dan struktur pemrosesan informasi di atas memberi suatu mekanis untuk menganalisis berpikir matematis manusia. Struktur internal yang dipostulatkan tersebut berkorespondensi dengan tingkah laku tertentu yang tbrlihat dari luar. Begitu juga tingkah laku frame, sebab menurut Minsky (1974) bahwa koleksi dari frame yang saling terkait merupakan mata rantai yang tersusun dalam suatu sistem frame. Untuk menyelesaian permasalahan dunia nyata, menurut Minsky (1974), pikiran kita harus mempunyai beberapa macam pengetahuan. Pertama, kita perlu merepresentasikan tujuan, apa masalah yang harus diselesaikan. Maka sistem harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang domain atau konteks di mana masalah tersebut terjadi. Kemudian, sistem harus mengetahui letak penalaran apa yang dapat diaplikasikan dalam area ini. Dalam hal ini, sistern kita harus mempunyai managemen skema yang dapat menjalankan representasi yang berbeda dan prosedur terpadu yang sejajar, dan bila cara tertentu macet, maka sistem dengan cepat dapat merubah operasi secara analog dalam bentuk yang lain sehingga memungkinkan untuk dapat melanjutkan pekerjaan. Kemudian bila seseorang mengalami suatu situasi baru (atau membuat suatu perubahan substansial dalam pandangannya terhadap masalah yang dihadapi) maka seseorang akan menyeleksi suatu struktur dari memori yang disebut dengan frame (Minsky, 1974). Setiap kasus, selalu dimulai dari informasi tertentu sebagai input. lnformasi input dalam hal ini sering disebut dengan input primitif. Misal kita sedang membaca, maka input primitif dapat berupa tulisan atau kalimat yang tertulis atau paragraf. Namun dalam hal yang lain input primitif dapat berupa pesan yang diucapkan atau informasi yang diungkapkan oleh sensor seseorang. lnformasi tersebut akan diproses oleh manusia melalui pemprosesan informasi pada memori. Namun, ada kalanya kita mengalami kesulitan dalam memanggil kembali (retrieval) frame yang ada dalam memori, karena tidak selalu cocok input dengan frame (Davis,1984). Untuk itu, kita perlu mentrasformasikan input sebagai usaha agar cocok antara frame dan input. Misalkan kita dihadapkan pada input untuk menyelesaikan persamaan berikut, 3log2y-3log y4- 5 = 0. Frame yang ada pada kita adalah frame persamaan kuadrat (ax2+bx+6=0), untuk itu kita harus mentransformasikan input dengan substitus sebagai berikut :
sehingga kita peroleh
X2 ↔3log2y x2 - 4x - 5 = 0,
Selain itu beberapa pengetahuan dapat juga direpresentasikan dengan aturan khusus menurut situasi tertentu. Seperti: “Jika ruangan terlalu dingin, maka aturlah alat pengatur panas untuk menaikkan temperatur”. Perintah ini dapat ditulis dalam bentuk: “Jika P suatu kasus, maka kerjakan Q”, merupakan pasangan tindakan-bersyarat, di mana P adalah syarat dan mengerjakan Q adalah tindakan. Dalam beberapa frame (struktur representasi pengetahuan) sering sama dengan bentuk tersebut. Yakni berupa pasangan pengetahuan-tindakan. Sehingga suatu frame dapat iuga disebut sebagai production system. Tetapi keberadaan production system merepresentasikan satu atau lebih kemungkinan dalam mengorganisasikan pengetahuan. Bagimana kita menempatkan frame untuk merepresentasikan suatu situasl baru? Jelasnya, 150
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 menurut Minsky (1974), kita tidak dapat memulai suatu teori yang lengkap dalam konteks beberapa skema global, untuk mengorganisasikan pengetahuan secara umum. Tetapi jika kita membayangkan pekerjaan dalam beberapa batasan domain, kita dapat memperhatikan berikut: Bagaimana memilih suatu frame inisial untuk memadukan beberapa kondisi yang diberikan (expectation). Bagaimana kita memilih dan menandai subframe, untuk merepresentasikan penggabungan secara detil (elaboration). Bagimana menemukan suatu frame untuk mengganti yang tidak cocok (alteration). Apa yang harus dikerjakan, bila tidak cocok, maka frame dapat ditemukan. Dapatkah kita memodifikasi suatu frame yang lama atau harus kita bangun yang baru? (novelty). Apakah frame akan disimpan atau dimodifikasi, sebagai hasil dari pengalaman? (learning). Untuk menginvestigasi perkembangan frame ataupun skema, kita dapat gunakan dekomposisi genetik yang biasa disebut dengan APOS process, object and scheme) theory. Analisis dekomposisi genetik merupakan suatu analisis terhadap pemahaman seseorang dalam merespon suatu masalah dengan mendasarkan pada teori APOS (Dubinsky & Yiparaki, 2001). Berdasarkan teori tersebut, aksi merupakan pengulangan fisik atau manipulasi mental dengan mentransformasi objek matematika untuk berbagai cara, atau mendasarkan pada beberapa algoritma secara eksplisit. lni merupakan reaksi rangsangan subjek terima secara eksternal. Aksi cenderung sebagai individu. Sehingga aksi dapat dimaksudkan sebagai transformasi fisik atau mental dari objek untuk memperoleh objek lain. Sesuai dengan pendapat Davis (1984), hal tersebut mungkin sebagai suatu respon tunggal, seperti reflek fisik, atau tindakan mengingat beberapa fakta dari memori. Mungkin juga respon dengan tahapan ganda, yang mempunyai karakteristik pada setiap langkah, langkah berikutnya ditrigger oleh langkah sebelumnya, sebagai suatu kontrol sadar seorang individu terhadap suatu transformasi. Kemudian, aksi setelah diinteriorisasi menjadi suatu proses. Dalam suatu pengertian, individu membuat lebih dari aksi dan dapat untuk berkerja lebih dari itu, sebagai contoh, menggunakan pembayangan tanpa membutuhkan secara eksplisit. Jika seorang individu merefleksikan penerapan operasi untuk proses tertentu, menjadi sadar terhadap proses sebagai totalitas, kenyataannya bahwa transformasi (apakah pada aksi atau proses) dapat dilakukan, dan dapat untuk mengkonstruk transformasi secara aktual, kemudian dia menmikirkan proses ini sebagai suatu objek dari berpikir. Dalam urutan aksi pada suatu proses, subjek harus mengenkapsulasi menjadi suatu entitas total, aiau suatu objek (ketika proses itu sendiri ditranspormasikan oleh suatu aksi maka terjadi enkapsulasi untuk menjadi suatu oblek). Akhirnya, suatu skema yang matang adalah suatu koleksi yang koheren dari proses-proses, objek-objek, dan skema yang telah dikonstrusi sebelumnya, dalam menghadapi situasi problem matematika. Davis (1984) memformulasikan suatu visually moderated sequence (VMS) yakni setiap step ditulis secara berurutan, seperti suatu isyarat visual V1, memperoleh prosedur P1, dan dieksekusi sehingga menghasilkan isyarat visual V2, sehingga diperoleh prosedur P2, dan seterusnya. Sehingga VMS sequence berbentuk: V1 → P1 → V2 → P2 ... dengan V1, V2 ,.... harus secara aktual sebagai input visual, memperlihatkan sebagai suatu "barisan terpadu" yang direpresentasikan dengan baik dalam memori, dan dapat diretrieve tanpa membutuhkan input visual ekternal. Selanjutnya V1 ↔ P1 ↔ V2 ↔ P2 ... adalah "menyatu" bersama, dan di-retrieve dari memori sebagai suatu entitas tunggal. Zazkis & Campbell (1996) mengungkapkan bahwa peristiwa kognitif berupa interiorisasi sebagai suatu aktivitas pada suatu proses, mengenkapsulasi suatu proses pada objek, atau tematisasi suatu skema, dapat dijelaskan dengan baik dalam kerangka teori APO. Perbedaan antara aksi dan proses ditunjukkan oleh suatu aktivitas prosedural atau suatu pemahaman prosedural. Sedangkan perbedaan antara proses dan objek ditunjukkan oleh suatu pemahaman prosedural dan pemahaman konsegtual. Akhirnya, marilah kita mengambil manfaat dari tulisan ini, bahwa berpikir dimulai dari suatu jaringan yang rusak, kemudian perlahan-lahan (bila mungkin) diperbaki dan diperbaharui (Minsky, 1975). Untuk itu, setiap informasi input butuh perhatian dan kita kenali sehingga informasi tersebut dapat menuju ke working memory (bila mungkin kita buat chunk yang bermakna, mengingat kapasitas memori jangka pendek SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
151
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 sangat terbatas), untuk selanjutnya diproses dan disimpan dalam long-term memory dalam bentuk kode-kode, berupa jaringan struktural aktif (skema). Sehingga sewaktu-waktu bila dibutuhkan, skerna yang tersimpan dapat diretrieve untuk menanggapi informasi baru atau permasalahan tertentu. Untuk mengembangkan teori tersebut, maka Wahyu Widada melakukan Penelitian Fundamental (2006) tentang Pengembangan Teori Perkembangan Skema (Triad Level+) tentang Kalkulus pada Mahasiswa Matematika. Hasil penelitian tersebut adalah berupa jaringan perkembangan skema mahasiswa sebagai barikut. A
Level Level44 (Trans) (Trans)
So
P
O
S
Level Level11 (Semiinter) (Semiinter)
A P O
A
Level Level33(Semi(Semitrans) trans)
O
P So
Level Level00 (Intra) (Intra)
A P O
A
Level Level22 (Inter) (Inter) P
Keterangan: A: aksi P: Proses O: Objek So: Skema Awal S: Skema
O
Gambar 1 Jaringan Perkembangan Skema sesuai Level Triad+
Berdasarkan penelitian Wahyu Widada (2006) tersebut, secara teoretik dan empirik ditemukan bahwa pada pelevelan perkembangan skema (triad) mahasiswa dalam mempelajari matematika, ada level baru di antara level intra dan level inter yakni level semiinter, serta ada level baru di antara level inter dan level trans, yakni level semitrans. Hal ini berarti bahwa ada lima level perkembangan skema mahasiswa dalam mempelajari matematika yaitu Level 0 (level intra), Level 1 (level semi-inter), Level 2 (level inter), Level 3 (level semi-trans), dan Level 4 (level trans), dan selanjutnya pelevelan tersebut dinamai Level Triad+ (Wahyu Widada, 2007). Namun dalam pembelajaran Kekonvergenan Barisan yang diampu oleh Wahyu Widada T.A. 2009, mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Bengkulu ditemukan banyak karakter di luar karakter Level Triad+, salah satunya ada mahasiswa dapat melakukan akselerasi dari Level 1 langsung ke Level 4, ada juga mahasiswa yang sebaliknya yaitu dari Level 4 turun ke Level 2, dan ada yang sigsag, serta tidak menentu. Kesemua ini belum tercover dalam Level Triad+. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan teori tersebut, yang akan dimanai dengan Level Triad++.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang dimulai dengan penelitian pustaka dan dilanjutkan penelitian empirik berupa penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, dilakukan interview berbasis tugas (the task-based interview) (Davis, 1984; Goldin, 1998; 152
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Thomas, Mulligan & Goldin, 2002; Tsamir & Dreyfus, 2002; Wahyu Widada, 2002; 2003; 2006; 2009). Instrumen utama dalam penelitian ini pewawancara (dalam hal ini peneliti sendiri) dan dipandu oleh instrumen lain berupa lembar tugas tentang permasalahan Kekonvergenan Barisan, serta pedoman interview. Permasalahan Kekonvergenan Barisan yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu pertanyaan untuk menemukan/menemukan kembali konsep/prisip dalam Kekonvergenan Barisan. Pemecahan masalah ini melibatkan dua skema yang berbeda namun terintegrasi, yakni skema konsep-konsep dalam Kekonvergenan Barisan, dan skema prinsipprinsip dalam Kekonvergenan Barisan. Untuk menentukan kebenaran tentang eksistensi level baru dalam triad, akan dilakukan penelitian dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama melalui penelitian teoretik berupa penelitian pustaka, melalui refleksi, review dan validasi ahli (expert judgement) melalui Teknik Delpi. Pendekatan kedua melalui penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, setiap tahap pemilihan subjek langsung dilakukan proses pengumpulan data melalui interview berbasis tugas, dan langsung dilanjutkan dengan analisis data (berupa analisis dekomposisi genetik). Berdasarkan analisis data, diketahui Extended Level Triad++ yang terisi dan Extended Level Triad++ yang belum terisi. Data yang terkumpul dari interview berbasis tugas, selanjutnya dilakukan reduksi data, dan pemaparan data, serta langkah-langkah selanjutnya seperti tertuang dalam diagram alur prosesur pengumpulan dan analisis data (Bogdan & Biklen, 1982; Miles & Hubermen, 1994). Berdasarkan hasil analisis data seperti diuraikan di atas, maka untuk mendapatkan karakterisasi setiap level dari Extended Level Triad++ dilakukan analisis dengan metodeperbandingan-tetap, dengan cara menerapkan teori Glaser & Strauss. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dengan mengimplementasikan analisis perbadingan tetap yang merupakan proses teoretisasi tentang karakteristik level-level Extended Triad++, akan diuraikan bagian dari hasil pengembangan teori Extended Triad++. Sebelumnya telah dilakukan perbandinganperbandingan sebelumnya. Proses teoretisasi ini merupakan tahapan-tahapan dari analisis komparatif tetap. Bagian awal dari tahap pertama. Kemudian dari hasil itu dikofirmasikan dengan level triad (Piaget & Garcia, 1889), level triad berbasis APOS tentang aturan rantai (Clark, et al., 1997), level triad berbasis APOS tentang barisan (McDonald, et al., 2000), level triad berbasis APOS tentang matematika (DeVries, 2000), dan double triad berbasis APOS tentang sketsa grafik fungsi nonrutin dari Baker, et al. (2000). Berdasarkan integrasi dan pembatasan teori, ditulis suatu teori tentang karakter masing-masing Extended Level Triad++. Dengan mendasarkan karakteristik setiap level Triad++ dan jaringan perkembangan skema Extended Level Triad++ empirik (berbasis data), akan diperoleh jaringan perkembangan skema Extended Level Triad++ hasil analisis perbandingan tetap. Dan jaringan perkembangan skema Extended Level Triad++hasil analisis perbandingan tetap akan memvalidasi jaringan perkembangan skema Extended Level Triad++teoretik, sehingga diperoleh jaringan perkembangan skema Extended Level Triad++. Konfirmasi tersebut dibuat secara berturutturut sesuai dengan level (kategori) Extended Level Triad++, sebagai berikut. Dengan menggunakan proses teoretisasi, maka dihasilkan suatu teori yang lebih formal. Teori yang diperoleh dari hasil proses ini tidak hanya bersifat substantif untuk masalah pagawai pos, namun lebih formal untuk teori pada Kekonvergenan Barisan. Level Pra-Intra (Pra-Level 0) Berdasarkan hasil perbandingan tetap diperoleh bahwa mahasiswa dalam menyelesaikan soal Kekonvergenan Barisan berada pada level Pra-Intra hanya dapat menulis kembali soal yang diberikan dan melakukan aktivitas-aktivitas mental dan fisik berupa aksi-aksi dan aksi yang tidak terkait dengan penyelesaian masalah. Mahasiswa tidak memahami objek-objek tentang barisan maupun kekonvergenannya. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
153
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Level Intra (Level 0) Berdasarkan perbandingan dan proses pengintegrasian pada Level 0, diperoleh bahwa mahasiswa berada pada Level 0 bila mahasiswa tersebut hanya melakukan aktivitas fisik dan mental secara terpisah, bagian-bagian dari soal Kekonvergenan Barisan yang diberikan dia pahami secara terpisah. Aktivitas tersebut berupa aksi-aksi, atau proses-proses, atau objek-objek yang sifatnya paralel bahkan terpisah. Mahasiswa dalam memahami Kekonvergenan Barisan tidak memiliki pemahaman secara konseptual, baik fakta, konsep, operasi maupun prinsip. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang individu terletak pada Level Intra (Level 0), bila dia hanya dapat melakukan aksi-proses atau objek secara terpisah, dan tidak dapat membangun hubungan aksi, proses atau objek tersebut. Mahasiswa tidak memiliki pemahaman secara konseptual. Hasil ini mendukung penelitian-penelitian terdahulu, seperti Piaget & Garcia (1989) yang menyatakan bahwa mahasiswa hanya melakukan respon terhadap sifat-sifat dari objek/peristiwa khusus secara terpisah. Clark, et al. (1997) memaparkan bahwa mahasiswa mengumpulkan aturan-aturan dari turunan, meliputi beberapa kasus khusus tentang aturan rantai, tetapi tidak mengetahui hubungan dari aturan-aturan tersebut. McDonald, et al. (2000) menyatakan bahwa mahasiswa tidak mengaitkan secara khusus antara SEQLIST dan SEQFUNC dalam mengonstruk suatu barisan. Menurut DeVries. (2000), seorang individu melakukan aktivitas secara terpisah dari aksi, proses, dan objek dari suatu sifat yang sama. Dia tidak mengonstruk keterkaitan di antara aksi, proses maupun objek tersebut. Hasil penelitian Baker, et.al. (2000), bahwa ,ahasiswa dapat melakukan aksi-aksi secara terpisah dari sifat-sifat fungsi yang diberikan; hasil aksi adalah suatu grafik yang hanya mengaitkan satu sifat untuk interval secara terpisah. Sedangkan Wahyu Widada (2009) bahwa mahasiswa hanya dapat melakukan aksiproses secara terpisah tentang sifat-sifat titik (vertex), dan aksi-proses tersebut dideskripsikan pada sisi (edge)-demi sisi (edge) secara terpisah juga. Hal ini memperlihatkan dirinya tidak paham secara konseptual. Mahasiswa hanya dapat melakukan aksi-proses secara terpisah. Dia tidak dapat membangun hubungan aksi dan proses tersebut. Dia juga tidak memiliki pemahaman secara konseptual Level Semiinter (Level 1) Berdasarkan perbandingan dan proses pengintegrasian pada Level Semiinter diperoleh bahwa pada level inter individu dapat mengonstruksi keterkaitan aksi-proses-objek, ini berarti memuat pengoordinasian aksi dan proses. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, seorang individu pada level Semiinter dapat mengoordinasikan aksi-proses pada sifat yang sama, dan secara terpisah ada kemungkinan mendeskripsikan sifat lain yang telah diberikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang individu terletak pada Level Semiinter, bila dapat mengoordinasikan aksi-proses pada sifat yang sama, dan secara terpisah mendeskripsikan sifat lain yang telah diberikan. Simpulan penelitian ini mendukung hasil-hasil penelitian terdahulu seperti Baker, et.al. (2000), khusus untuk sketsa grafik fungsi dengan double-triad, mahasiswa dapat mengoordinasikan dua atau lebih interval yang berdekatan, tetapi tidak semua interval pada domain fungsi dengan menggunakan satu sifat fungsi pada interval terserbut; atau Mahasiswa dapat mengoordinasikan dua atau lebih sifat fungsi tetapi tidak semua sifat yang ada pada satu atau lebih interval yang disjoin. Namun tidak dapat menghubungkan interval yang berdekatan pada domain. Wahyu Widada (2009) mengungkapkan bahwa mahasiswa pada level ini dapat mengoordinasikan aksi-proses untuk dua atau lebih sifat titik (vertex), tetapi tidak semua sifat titik (vertex) yang diberikan. Namun koordinasi tersebut dideskripsikan pada sisi (edge)-demisisi (edge) secara terpisah. Dan berdasarkan konsepsi proses yang dilakukan, dapat membentuk suatu konsepsi objek. Mahasiswa dapat mengoordinasikan aksi-proses pada sifat yang sama, dan secara terpisah ada kemungkinan mendeskripsikan sifat lain yang telah diberikan
154
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Level Inter (Level 2) Berdasarkan perbandingan dan proses pengintegrasian pada Level 2 diperoleh deskripsi bahwa seorang mahasiswa berada pada level ini dapat mengonstruksi keterkaitan aksi-prosesobjek beberapa sifat yang terkait. Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa masih ada sifat yang tidak diikutkan dalam pengkostruksian tersebut. Sedangkan DeVries mendeskripsikan bahwa, pada level ini seseorang mulai mengelompokkan item-item bersamasama berdasarkan kesamaan sifat dan menyebutnya sebagai nama tertentu, ini berarti bahwa nama tertentu tersebut sebagai nama suatu objek dari hasil pengonstruksian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang individu terletak pada Level Inter (Level 2), bila dia dapat mengonstruksi keterkaitan aksi-proses-objek beberapa sifat yang terkait, tetapi tidak menggunakan skema sebelumnya (tidak melakukan retrieval of the previous schema). Simpulan di atas mendukung hasil penelitian seperti: Piaget & Garcia (1989) bahwa seseorang sadar tentang hubungan-hubungan yang terjadi pada suatu objek/peristiwa dan dapat menyimpulkan berdasarkan suatu operasi awal dengan beberapa pemahaman, dan operasi lain sebagai akibatnya; atau hanya dapat mengoordinasikan dengan operasi-operasi yang sama. Clark, et al. (1997) menyatakan bahwa mahasiswa mulai mengumpulkan kasus-kasus khusus tentang aturan rantai dan menyatakan keterkaitannya, tetapi belumsadar terhadap generalisasinya. McDonald, et al. (2000), menyatakan bahwa mahasiswa pada level ini dapat mendemontrasikan adanya hubungan antara barisan sebagai fungsi (SEQFUNC) dan barisan sebagai daftar (SEQLIST) untuk membantu menentukan pola dalam suatu daftar dan menulisnya dalam ekspresi aljabar. DeVries (2000) bahwa seorang individu mengonstruksi keterkaitan antara aksi, proses, dan objek, namun belum dapat membentuk suatu skema yang matang. Skema pada level ini, merupakan suatu pre-skema. Misal seseorang mulai melihat beberapa contoh sebagai kasus khusus dari suatu konsep umum. Pada level ini seseorang mulai mengelompokkan item-item bersama-sama berdasarkan kesamaan sifat dan menyebutnya sebagai nama tertentu. Sedangkan Baker, et.al. (2000) (khusus untuk sketsa grafik fungsi dengan double-triad) menyatakan bahwa mahasiswa dapat mengoordinasikan hanya satu sifat secara konsisten pada seluruh interval dari domain; atau Mahasiswa dapat mengoordinasikan dua atau lebih sifat fungsi) (tetapi tidak semua sifat yang ada) dengan sedikitnya dua interval berdekatan dari domain. Wahyu Widada (2009) menyatakan bahwa mahasiswa dapat mengenkapsulasi aksiproses untuk dua atau lebih sifat titik (vertex) yang berbeda, tetapi tidak semua sifat titik (vertex) yang diberikan, dan koordinasi tersebut dideskripsikan pada dua atau lebih (tetapi tidak semua) sisi (edge) yang berdekatan maupun overlap domain, sehingga terbentuk suatu objek tentang konsep lintasan terpendek. Mahasiswa dapat mengonstruksi keterkaitan aksi-prosesobjek beberapa sifat yang terkait, tetapi tidak menggunakan skema sebelumnya (tidak melakukan retrieval of the previous schema). Level Semitrans Mahasiswa berada pada Level Semitrans bila dia dapat mengonstruksi keterkaitan aksiproses-objek sehingga terbentuk skema bagian dari skema yang matang (premature schema), dan dapat mengoordinasikannya dengan sifat lain sehingga terbentuk objek, namun belum terbentuk skema yang matang. Wahyu Widada (2009) menyatakan bahwa dapat mengoordinasikan aksi-proses atau suatu objek dari dua atau lebih sifat-sifat titik (vertex) sehingga terbangun suatu objek tentang konsep lintasan terpendek. Dan dapat membangun suatu skema sisi (edge), namun belum dapat membentuk skema yang matang tentang konsep lintasan terpendek. Baker, et.al. (2000) menyatakan bahwa mahasiswa dapat mengoordinasikan paling sedikit dua sifat fungsi, tetapi tidak semua sifat-sifat yang ada dengan antar interval pada seluruh domain; atau Mahasiswa dapat mengoordinasikan semua sifat antar interval pada domain, tetapi tidak semua interval dari domain (mengaitkan beberapa interval) yang SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
155
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 berdekatan dari domain, tetapi ada bagian-bagian tertentu yang salah bila dia harus mengoordinasikan dengan sifat-sifat fungsi tertentu. Dengan demikian, mahasiswa berada pada Level Semitrans bila dapat mengonstruksi keterkaitan aksi-proses-objek sehingga terbentuk skema bagian dari skema yang matang (premature schema), dan dapat mengoordinasikannya dengan sifat lain sehingga terbentuk objek, namun belum terbentuk skema yang matang Level Trans (Level 4) Berdasarkan perbandingan dan proses pengintegrasian pada Level 4, yaitu seorang individu pada level ini dapat membangun keterkaitan antara aksi-aksi, proses-proses, objekobjek, dan skema lain sehingga terbentuk skema yang matang. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa skema tersebut dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang terkait dengan skema tersebut. DeVries (Wahyu Widada, 2009) mendeskripsikan bahwa fungsi dan karakteristik penting dari kematangan dari skema, adalah digunakan untuk memutuskan suatu objek masuk dalam scope skema atau tidak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang individu terletak pada Level Trans (Level 4), bila dapat membangun keterkaitan antara aksi-aksi, proses-proses, objek-objek, dan skema lain (previous schema), sehingga terbentuk skema yang matang. Skema tersebut dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang terkait dengan skema tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini, ternyata ditemukan dekomposisi genetik mahasiswa yang tidak termasuk dalam salah satu level triad. Setelah dikarakterisasi ternyata ada dua dekomposisi genetik mahasiswa tersebut, pertama yang terletak diantara level intra dan level inter, level ini kemudian disebut dengan level semiinter, dan kedua yang terletak diantara level inter dan level trans, level ini selanjutnya disebut level semitrans. Hasil analisis ini merupakan langkah awal menghaluskan level triad, dengan bertambahnya dua level baru (semiinter dan semitrans) dan selanjuntya disebut Triad Plus. Simpulan ini mendukung hasil penelitian sebagai berikut: Piaget & Garcia (1989) menyatakan mahasiswa dapat mencapai sifat-sifat global baru yang tidak dapat diakses pada level-level yang lain (intra & inter). Clark, et al. (1997) Mahasiswa mampu mengonstruk struktur secara mendasar dari aturan rantai dan dapat menentukan keterpakaiannya. McDonald, et al. (2000) menyatakan bahwa mahasiswa secara sadar dapat mengkostruk keterkaitan yang kuat antara barisan sebagai suatu fungsi (SEQFUNC) dan sebagai suatu daftar (SEQLIST). Mahasiswa dapat menggunakan kerangka kerja ini sebagai suatu skema barisan untuk menemukan konsep-konsep baru yang terkait atau menghadapi suatu situasi baru lainya. DeVries (2000), menyimpulkan bahwa seorang individu berada pada level ini bila dapat mengonstruk seluruh struktur yang ditemukan saling terkait dalam level inter adalah dipahami dan terbentuk suatu skema yang matang. Fungsi dan karakteristik penting dari kematangan, adalah digunakan untuk memutuskan suatu objek masuk dalam scope skema atau tidak. Pada level trans, mengubah pemahaman dari mendaftar menuju suatu aturan. Pada level ini, koleksi yang terbentuk dapat dirujuk sebagai suatu skema yang matang dan mungkin ditematisasi. Baker, et.al. (2000) menyatakan bahwa mahasiswa pada level ini dapat mengoordinasikan semua kondisi antar interval pada domain dari grafik. Pada level ini mahasiswa dapat menemukan koordinasi dari sifat-sifat dan intervalyang berdekatan, sehingga secara efisien dapat mengonstruk suatu grafik yang akurat. Wahyu Widada (2009) menyatakan bahwa mahasiswa pada level ini dapat mengoordinasikan aksi-proses-objek dari seluruh sifat titik (vertex) yang diberikan, dengan semua sisi (edge) yang berdekatan maupun yang overlap pada domain sehingga terbentuk suatu skema yang matang tentang konsep lintasan terpendek. Dia dapat menerapkan skema tersebut untuk memecahkan masalah konsep lintasan terpendek. Mahasiswa dapat membangun keterkaitan antara aksi-aksi, proses-proses, objek-objek, dan skema lain (previous schema), sehingga terbentuk skema yang matang. Skema tersebut dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang terkait dengan skema tersebut.
156
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Level Extended Trans Secara konsisten bahwa hasil-hasil penelitian pengembangan (Wahyu Widada, 2010) menemukan level baru berupa Level Extended Trans. Mahasiswa berada pada Level Extended Trans memiliki karakter yang unik. Karakter tersebut adalah selain mahasiswa tersebut memiliki sifat trans level, maka individu tersebut dapat membangun struktur baru berdasarkan skema-skema matang yang telah dimilikinya.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menghasilkan tujuh level dalam Teori Extended level triad plus plus. Tujuh level tersebut adalah sebagai berikut: Level Pra-Intra, Level Intra, Level Semiinter, Level Inter, Level Semitrans, Level Trans, dan Level Extended Trans. Berdasarkan simpulan di atas, disarankan sebagai berikut. Bila dibandingkan dua teori Level Triad ++ dan Extended Level Triad ++, maka jaringan perkembangan skema Extended Level Triad ++ memiliki struktur pelevelan yang lebih halus (dari lima level, menjadi tujuh level. Disarankan kepada dosen atau peneliti selanjutnya untuk mengembangkan model evaluasi dan model asesmen dalam pembelajaran matematika yang dapat mengakomodasi tingkat perkembangan skema mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA Asiala, Mark; Dubinsky, Ed; Mathews, D.; Morics, Steven; & Oktac, Asuman. 2000. Development of Students’ Understanding of Cosets, Normality, and Quontient Groups. http: www.sciencedirect/science/ Baker, Bernadette; Cooley, Laurel; & Trigueros, Maria. 2000. A Calculus Graphing Schema. Journal for Research in Mathematical Education. Vol. 31, No. 5 Baddely, Alan. 1998. Your Memory A User’s Guide. London: Prion Bartle, Robert G. dan Donald R. Sherbert. 1982. Introduction to Real Analysis. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc. Bogdan, Robert C. and Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Clark, F.; Cordero, J.; Cottrill,B.; Czarnocha,D.J.; DeVries,D.DSt.; John,G.Tolias and D.Vidakovic. 1997. Costructing a Schema: The Case of Chain Rule. Journal Mathematical Behavior. Vol. 16 No. 4http: www.sciencedirect/science/journal/ Davis, Robert. 1984. Learning Mathematics, The Cognitive Science Approach to Mathrmatics Education. Croom Helm: London & Sidney. Davis, Gary E. & Tall, David O. 1999. What is a scheme? http://www.cs.gsu.edu/~rumec/schemes.htm DeVries, David J. 2000. RUMEC/APOS Theory. http://www.cs.gsu.edu/~rumec/ Dubinsky, E. 2000. Using a Theory of Learning in College Mathematics Course. Newsletter No. 12 http:/www.bham.ac.uk/ctimath/talum12.htm or http:/www.telri.ac.uk/ Dubinsky, E. & McDonald, Michael A. 2000. APOS: A Constructivist Theory of Learning in Undergraduate Mathematics Education Research. http:/www.telri.ac.uk/CM/Paper.pdf
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
157
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Dubinsky, E; & Yiparaki, Olga. 2001. Predicate Calculus and the Mathematical Thinking of Student . http://www.cs.cornell.edu/info/people/gies/symposium/dubinsky.htm Dubinsky, E. 1995. ISELT: A Programming Language for Learning Mathematics. Communications on Pure and Applied Mathematics. Vol. XLVIII Dubinsky, E. 1987. Teaching Mathematical Induction. Journal Mathematical Behavior. Vol. 6 No. 1http: www.sciencedirect/science/journal/ Dubinsky, E. 1989. On Teaching Mathematical Induction II. Journal Mathematical Behavior. Vol. 8http: www.sciencedirect/science/journal/ Goldin, G.A. 1998. Observing Mathematical Problem Solving Through Task-based Interviews. In: A.Teppo (Ed.) Qualitative Research Methods in Mathematics Education. Monograph No. 9 Journal for Research in Mathematical Education (JRME). Hunt, R. Reed & Ellis, Henry C. 1999. Fundamental of Cognitive Psychology. Sixth Edition. Boston:McGraw-Hill College. McDonald,M.A; Mathew, D; & Strobel, K. 2000. Understanding Sequences: A Tale of Two Objects. In Dubinsky, et al. Research in Collegiate Matematics Educations IV. http: www.sciencedirect/science/journal/ Miles, B. Mattew & Huberman, A Michael. 1994. Qualitative Data Analysis. A Sourcebook of New Methodes. Beverly Hills: Sage Publications. Minsky, M. 1974. Framework for Representing Knowledge. MIT-AI Laboratory Memo 306, June 1974. Piaget, J, & Garcia, R. 1989. Psychologies and the History of Science http://www.piaget.org/ Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. England: Penguin Books Ltd. Slavin, R. E., 1997. Education Psychology Theory Into Practices. Boston: Allyn and Bacon. Solso, R.L. 1995. Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Thomas, Noel D; Mulligan, Joanne T.; & Goldin, Garall. 2002. Children’s Representasion and Structural Development of Counting Sequence 1-100. In The Journal of Mathematical Behavior. Vol. 21, Issue 1 http://www.sciencedirect/Science/Juornal/07323123 Tsamir, Pessia & Dreyfus, Tommy. 2002. Comparing Infinite Sets - a process of abstraction. TheCase of Ben. In The Journal of Mathematical Behavior. Vol. 21, Issue 1 http://www.sciencedirect/Science/Juornal/07323123 Wahyu Widada. 2010. Pengembangan Lanjutan Teori dan Model Pembelajaran Matematika Berbasis Extended Level Triad++ untuk Mahasiswa Kekonvergenan Barisan. Laporan Awal Penelitian Hibah Kompetensi Tahun 2010 didanai DP2M Ditjen Dikti. Wahyu Widada. 2009. Pengembangan Teori dan Model Pembelajaran Matematika Berbasis Level Triad++ untuk Mahasiswa Analisis Real (Studi di FKIP Universitas Bengkulu). Laporan Penelitian Hibah Kompetensi Tahun 2009 didanai DP2M Ditjen Dikti. Wahyu Widada. 2007. Pengembangan teori perkembangan skema (triad level) tentang Kalkulus pada mahassiswa matematika FKIP UMB. Laporan penelitian Fundamental 2006, diterbitkan dalam Jurnal Inspirasi V I tahun 2007. Wahyu Widada. 2002. Teori APOS sebagai Suatu Alat Analisis Dekomposisi Genetik terhadap Perkembangan Konsep Matematika Seseorang. Artikel dimuat dalam Journal of Indonesian Mathematicel Society (MIHMI) Vol. 8 No. 3, setelah disajikan dalam pertemuan ilmiah mahasiswa S3 Matematika dan Pendidikan Matematika se Indonesia
158
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 & The Indonesian Applied Mathematical Society in The netherlands (IAMS-N) di P4M ITB 4-5 Juli 2002. Wahyu Widada. 2001. Struktur Representasi Pengetahuan mahasiswa tentang Grafik Fungsi dan Deret Tak hingga. Artikel disajikan dalam Seminar Nasional Matematika II FMIPA UNNES Semarang 27 Agustus 2001. Wahyu Widada. 2003. Interaksi Skema Mahasiswa Model Baru tentang Permasalahan Grafik Fungsi pada Kalkulus. Laporan Penelitian Mandiri:Tidak dipublikasikan Wahyu Widada. 2004. Struktur Representasi Pengetahuan Mahasiswa tentang Deret Tak hingga (berbasis Triad Level). Laporan Penelitian Mandiri:Tidak dipublikasikan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
159
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA SISWA SMP DITINJAU BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO+ Dewi Herawaty Pendidikan Matematika Universitas Bengkulu [email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi kemampuan pemahaman matematika siswa SMP ditinjau berdasarkan Taksonomi SOLO+. Penelitian ini adalah penelitian eksploratif dengan metode kualitatif bagi siswa SMP IT Rabbi Radhiyah Rejang Lebong Bengkulu (SMP IT RR). Hasil penelitian ini menemukan lima kategori siswa SMP IT RR dari tujuh Taksonomi SOLO+. Lima kategori tersebut adalah pertama, siswa yang terkategori pada level prestruktural yakni siswa melakukan aktivitas yang tidak relevan dengan soal matematika yang diberikan. Kedua, siswa unistruktural yakni siswa yang hanya menggunakan satu data menyelesaikan soal matematika. Ketiga, siswa multistruktural adalah siswa yang dapat menggunakan lebih dari dua data untuk menyelesaikan soal matematika namun belum terhubung dengan baik. Keempat, siswa semi-relasional, adalah siswa yang dapat memadukan sebagian data yang terpisah sedemikian hingga siswa belumdapay menyelesaikan masalah matematika secara tuntas. Kelima siswa relasional, adalah siswa yang dapat mengintegrasikan data-data yang terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari masalah yang diberikan. Ada dua level Taksonomi SOLO+ yang tidak terisi yaitu Level Abstract dan Level extended abstract. Simpulan penelitian ini diperoleh bahwa kemampuan pemahaman matematika siswa SMP IT RR berada dalam lima level Taksonomi SOLO+ yaitu prestruktural, unistruktural, multistruktural, semi-relasional, dan relasional. Kata Kunci: Taksonomi SOLO+, Pemahaman Matematika
PENDAHULUAN Pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh guru di SMP-SMP Bengkulu masih sangat strukturalistik, bersifat teoretik , sehingga siswa belajar secara mekanistik, akibatnya pembelajaran menjadi tidak bermakna bagi siswa (Wahyu Widada, 2006). Pembelajaran matematika yang demikian akan terjadi pemaksaan terhadap proses kognitif siswa, karena tidak sesuai tingkat perkembangan intelektual siswa SMP Bengkulu masih pada tahap operasi konkret. Namun demikian, pembelajaran matematika tetap harus lebih menekankan proses penalaran, berpikir kritis dan berpikir tingkat tinggi. Untuk mencapainya guru matematika wajib mendesain persiapan pembelajaran seperti menyusun perencanaan pembelajaran, mengembangkan lembar aktivitas siswa serta sumber daya pembelajaran lainnya. Dalam mengembangkan sumber daya pembelajaran, guru wajib mengklasifikasikan tujuan-tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Oleh karena itu dibutuhkan suatu taksonomi pembelajaran. Menurut Anderson, et al. (2001) taksonomi merupakan suatu jenis khusus dari framework untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan pembelajaran. Biggs & Collis (1982) 160
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 mendesain taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcome) sebagai suatu alat evaluasi tentang kualitas respon siswa terhadap suatu tugas. Taksonomi tersebut terdiri dari lima level, yaitu prestruktural, unistruktural, multistruktural, relasional, dan extended abstract. Biggs & Collis (1982) mendeskripsikan bahwa siswa prestruktural tidak dapat melakukan tugas yang diberikan atau melaksanakan tugas dengan menggunakan data yang tidak relevan. Siswa unistruktural dapat menggunakan satu penggal informasi dalam merespon suatu tugas (membentuk suatu data tunggal). Siswa multistruktural dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi tidak dapat menghubungkannya secara bersama-sama (mempelajari data paralel). Siswa relasional dapat memadukan penggalan-penggalan informasi yang terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari suatu tugas. Siswa extended abstract dapat menghasilkan prinsip umum dari data terpadu yang dapat diterapkan untuk situasi baru (mempelajari konsep tingkat tinggi). Aktivitas siswa dalam merespon masalah/informasi tersebut dilakukan dalam sistem pemrosesan informasinya. Uraian di atas menunjukkan bahwa proses kognitif yang terjadi dalam sistem memori siswa harus menjadi perhatian khusus dalam pembelajaran matematika. Untuk menentukannya dibutuhkan pemahaman tentang kualitas respon siswa dalam pembelajaran matematika. Temuan (Hartanto, 2004, Dewi Herawaty dan Wahyu, 2005), dalam pembelajaran matematika ada kecenderungan siswa yang kualitas responnya diluar lima kualitas respon dalam Taksonomi SOLO. Hal ini menunjukkan munculnya level baru dalam Taksonomi SOLO, terutama level setelah relasional dan sebelum extended abstract. Wahyu Widada (2013) menyatakan bahwa ada siswa yang telah memiliki skema yang tersimpan dalam LTM terutama dalam memori semantic (seperti tentang “4x4”). Namun siswa tersebut terjadi kesalahan temporer tentang fakta yakni berupa tanda operasi biner(+ dan x) telah melekat dan memiliki kesan yang kuat dalam diri siswa. Ketika terjadi kesalahan dalam pemanggilan kembali skema operasi biner perkalian, kemudian peneliti men-trigger dengan pertanyaan selanjutnya, Menurut Biggs & Collis (1982) Taksonomi SOLO terdiri dari lima level, yaitu prestruktural, unistruktural, multistruktural, relasional, dan extended abstract. Namun Hartanto Sunardi (2004) menemukan adanya suatu level baru berdasarkan respon siswa tentang sifat bilangan real. Temuan tersebut diperoleh deskripsi bahwa siswa pada level tersebut dapat menggunakan semua pernyataan yang diberikan untuk menyelesaikan masalah, dia dapat menjelaskan hubungan pernyataan-pernyataan yang diberikan tersebut menjadi suatu argumen dalam menyelesaikan masalah; menjelaskan kegunaan setiap pernyataan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah; dan berusaha membuat penyataan baru sebagai akibat pernyataan yang telah terbukti; Subjek berusaha membuat pernyataan baru melebihi pernyataan aslinya dengan mengacu pada pernyataan-pernyataan yang ada, namun tidak berhasil membuktikan kebenarannya. Dia menemukan analogi untuk kasus tertentu, namun tidak dapat membuktikannya, sehingga belum diperoleh prinsip baru. Siswa yang demikian Hartanto Sunardi (2004) menyebutnya dengan level abstrak. Biggs & Collis (1982) mendeskripsikan masing-masing level tersebut adalah sebagai berikut. Untuk prestruktural, siswa tidak menggunakan data yang terkait dalam menyelesaikan suatu tugas, atau tidak menggunakan data yang tidak terkait yang diberikan secara lengkap. Unistruktural, siswa dapat menggunakan satu penggal informasi dalam merespon suatu tugas (membentuk suatu data tunggal). Multistruktural, siswa dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi tidak dapat menghubungkannya secara bersama-sama. Relasional, siswa memadukan penggalan-penggalan informasi yang terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari suatu tugas. Extended abstract, siswa dapat menghasilkan prinsip umum dari data terpadu yang dapat diterapkan untuk situasi baru (mempelajari konsep tingkat tinggi). Menurut Biggs (1999) fase pembelajaran untuk extended abstract dan relasional adalah fase kualitatif. Dalam hal ini, siswa melakukan respon dengan cara mengintegrasikan informasi-informasi yang diberikan dengan menggunakan pola (pattern) struktural. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
161
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Sedangkan untuk level-level di bawahnya merupakan fase kuantitatif. Siswa dalam hal ini melakukan respon terhadap tugas dengan menggunakan satu atau lebih atau bahkan tidak sama sekali dari informasi-informasi yang diberikan. Bila informasi-informasi tersebut digunakan, dia tidak melakukan pengintegrasian. Bila dibandingkan dengan Taksonomi Bloom, maka dapat dideskripsikan sebagai berikut. Indikasi level extended abstract adalah membuat teori, generalisasi, hipotesis, refleksi, dan membangun. Indikasi level relasional adalah membandingkan, menjelaskan (tentang mengapa), memadukan, menganalisis, menghubungkan, dan menerapkan. Indikasi level multistruktural adalah mengklasifikasikan, menghitung, mendeskripsikan, mendaftar, mengombinasikan, dan mengerjakan suatu algoritma. Indikasi level unistruktural adalah mengidentifikasi, melakukan prosedur sederhana. Indikasi level prestruktural adalah tidak ada poin dalam taksonomi Bloom. Hawkins & Hedberg (1986) melakukan penelitian tentang evaluasi LOGO (nama software komputer) dengan menggunakan taksonomi SOLO. Deskripsi umum tentang level SOLO untuk keterampilan belajar dengan LOGO adalah sebagai berikut. Siswa prestruktural tidak melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah, dan jenis-jenis perintah yang “diberikan” siswa tidak dipahami oleh komputer. Siswa unistruktural menggunakan hanya satu model display, menggunakan hanya satu perintah, dan untuk membersihkan screen monitor dimatikan dan dimulai lagi. Siswa multistruktural menggunakan modelmodel display dengan satu atau lebih perintah, menggunakan model teks dan berusaha membuat program, namun tidak dapat mengedit, bila salah program dihapus dan dimulai lagi. Siswa relasional menulis program dalam model teks, dan jika terjadi kesalahan, maka dilakukan editing. Siswa extended abstract menulis program dengan model teks, dan mengeditnya bila perlu, serta mampu memasukkan variabel. Pada sisi lain Hawkins & Hedberg (1986) menemukan siswa multistruktural yang bekerja dengan trail & error. Dia dapat melihat lebih dari satu strategi, tetapi mereka tidak melakukan interrelasi. Dia menggunakan model display dengan lebih dari satu perintah. Dia juga menggunakan mode teks dan berusaha membuat program, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengedit, bila terjadi kesalahan dia akan hapus program tersebut, dan memulai dengan yang baru.
METODE PENELITIAN Berdasarkan pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang dimulai dengan penelitian pustaka dan dilanjutkan penelitian empirik berupa penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, dilakukan interview berbasis tugas. Dalam studi ini, subjek dipilih tidak secara random, namun diambil siswa dengan mempertimbangkan prestasi akademiknya. Pemilihan subjek dilakukan sesuai dengan kebutuhan, yaitu mempertimbangkan levellevel SOLO mana yang belum terisi oleh dua subjek. Setiap level harus terisi dua subjek. Hal ini bertujuan untuk melakukan proses awal analisis perbandingan-tetap (proses awal teoretisasi). Pada pemilihan subjek tahap pertama, semua level SOLO belum terisi, sehingga harus dipilih subjek yang diharapkan dapat masuk ke semua level tersebut. Karena untuk mengisi level SOLO, subjek harus menyelesaikan masalah, maka, pemilihan subjek tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan prestasi akademik siswa, yang ditunjukkan oleh Skor Ujian Nasional (UN)/Ujian Akhir matematika di SD. Untuk tahap pertama direncanakan dipilih sepuluh subjek, dengan rincian, 2 siswa berprestasi rendah (Skor UN 4,0), 2 siswa berprestasi sedang (4,0<SkorUN6,0), 2 siswa berprestasi agak tinggi (6,0 < Skor UN 7,0), 2 siswa berprestasi tinggi (7,0<SkorUN8,0) dan 2 siswa berprestasi sangat tinggi (SkorUN>8,00). Pemilihan subjek dengan mempertimbangkan prestasi akademik didasari oleh sifat SOLO yang hierarkis dan fungsional, sehingga diharapkan 2 siswa yang digolongkan sesuai prestasinya dapat dipetakan level-level SOLO yang bersesuaian. 162
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Apabila dari pemilihan tahap pertama, setelah dianalisis dari kesepuluh subjek tersebut masih ada level SOLO yang belum terisi 2 subjek, maka dilakukan pemilihan tahap kedua, pemilihan ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan, yaitu mempertimbangkan level-level SOLO yang belum terisi 2 subjek. Dan bila dari tahap kedua masih ada level SOLO yang belum terisi 2 subjek, maka proses pemilihan subjek dilanjutkan ke tahap berikutnya sampai setiap level SOLO tersisi 2 subjek. Setelah setiap level SOLO terisi 2 subjek, maka proses pemilihan subjek berhenti. Instrumen utama dalam penelitian ini pewawancara (dalam hal ini peneliti sendiri) dan dipandu oleh instrumen lain berupa lembar tugas tentang permasalahan sketsa grafik suatu fungsi nonrutin dan lembar tugas tentang kekonvergenan suatu deret takhingga, serta pedoman interview. Setiap tahap pemilihan subjek langsung dilakukan proses pengumpulan data melalui interview berbasis tugas, dan langsung dilanjutkan dengan analisis data (berupa analisis dekomposisi genetik). Berdasarkan analisis data, diketahui level-level SOLO yang terisi dan level-level SOLO yang belum terisi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil intervieu berbasis tugas dianalisis dengan alat analisis berupa analisis dekomposisi genetik. Namun, untuk mendukung analisis tersebut sedemikian hingga diharapkan dapat memperoleh indikator siswa pada masing-masing level TSP, maka analisis ini diawali dengan analisis hal-hal yang menarik. Hal-hal yang menarik tersebut meliputi konsepsi subjek, dan area masalah. Subjek yang dipilih dalam penelitian awal ini adalah seorang siswa Kelas II SMP IT Rabbi Radhiyah Rejang Lebong Bengkulu sebanyak 14 siswa. Hasil analisis diperoleh bahwa kemampuan siswa dalam memahami matematika ditinjau berdasarkan Taksonomi SOLO+ adalah sebagai berikut (Dewi Herawaty, Hartanto Sunardi, dan Wahyu Widada, 2007). Level 0 (Prestruktural) Siswa mensubstitusi bilangan-bilangan bulat, misal 2,3 ke pernyataan dan menyatakan hal itu sebagai bukti. Yaitu jika 3>2 maka 3> ½ (3+2) > 2. Level 1(Unistruktural) Siswa hanya menggunakan informasi 3 a) untuk dimanipulasi sebagai bukti. Level 2 (Multistruktural) Siswa menggunakan informasi 1) dan 3 a) saja untuk menunjukkan kebenaran pernyataan “Misal a, b R. a>b a > ½(a+b) > b”, namun masih ada argumen yang digunakan diluar informasi yang diberikan. Level 3 (Semirelasional) Siswa menggunakan informasi 1) dan 3 a) dan 3 c) diintegrasikan untuk menunjukkan kebenaran pernyataan “Misal a, b R. a>b a > ½(a+b) > b”, namun perkalian dengan ½ pada kedua sisi pertidaksamaan dilakukan tanpa menggunakan pendukung 1, 2 dan 3b). Level 4 (Relasional) Siswa menggunakan semua informasi yang diberikan untuk menunjukkan kebenaran pernyataan “Misal a, b R. a>b a > ½(a+b) > b”. Pembuktian ini dia lakukan dengan tepat. Level 5 (Abstrak) Siswa menggunakan semua informasi yang diberikan untuk menunjukkan kebenaran pernyataan “Misal a, b R. a>b a > ½(a+b) > b”. Pembuktian ini dia lakukan dengan tepat. Dia mencoba membuat analogi ke bilangan tertentu misal 0, 2 bilangan real. Karena 2 > 0 maka 2 > 1 > 0. Level 6 (Extended Abstract) Siswa menggunakan semua informasi yang diberikan untuk menunjukkan kebenaran pernyataan “Misal a, b R. a>b a > ½(a+b) > b”. Pembuktian ini dia lakukan dengan tepat. Dia dapat menyusun prinsip baru. Seperti “Jika a R. a>0 a > ½a > 0.”; “Jika a R sedemikian hingga 0a
163
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 yakni siswa melakukan aktivitas yang tidak relevan dengan soal matematika yang diberikan. Kedua, siswa unistruktural yakni siswa yang hanya menggunakan satu data menyelesaikan soal matematika. Ketiga, siswa multistruktural adalah siswa yang dapat menggunakan lebih dari dua data untuk menyelesaikan soal matematika namun belum terhubung dengan baik. Keempat, siswa semi-relasional, adalah siswa yang dapat memadukan sebagian data yang terpisah sedemikian hingga siswa belumdapay menyelesaikan masalah matematika secara tuntas. Kelima siswa relasional, adalah siswa yang dapat mengintegrasikan data-data yang terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari masalah yang diberikan. Ada dua level Taksonomi SOLO+ yang tidak terisi yaitu Level Abstract dan Level extended abstract. Simpulan penelitian ini mendukung hasil penelitian-penelitian terdahulu seperti Hartanto Sunardi (2004), sebagai berikut. Siswa berada pada Level Prestruktural bila mengabaikan informasi yang diberikan. Menggunakan elemen-elemen yang tidak tepat. Tidak menggunakan informasi yang diberikan, sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas. Siswa berada pada Level Unistruktural bila siswa dapat mempresentasikan satu elemen yang tepat dan relevan. Hanya menggunakan satu penggal informasi yang diberikan, sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas. Siswa beradapada Level Multistruktural bila siswa dapat mempresentasikan dua atau lebih elemen tetapi independen antara yang satu dengan yang lainnya. Menggunakan dua atau lebih informasi yang diberikan secara terpisah, sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas. Siswa berada pada Level Semi-Relasional jika ia mampu mempresentasikan dua atau lebih elemen dan mulai melakukan interdependensi antara yang satu dengan yang lainnya, namun belum terpadu. Mengintegrasikan dua atau lebih informasi yang diberikan, namun intergrasi tersebut belum koheren (tidak baik). Siswa Relasional dapat mempresentasikan semua elemen dan melakukan interdependensi antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi suatu entitas yang terpadu. Mengintegrasikan semua informasi yang diberikan secara koheren untuk kasus tertentu. Siswa Abstrak terjadi bila dapat mempresentasikan semua elemen dan melakukan interdependensi antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi suatu entitas yang terpadu. Mencoba melakukan analogi ke kasus lain. Mengintegrasikan semua informasi yang diberikan dan atau yang tidak diberikan tetapi terkait secara koheren, dan menemukan analogi pada kasus tertentu, namun belum menghasilkan prinsip yang baru/struktur yang baru. Siswa berada pada level tertinggi yaitu Extended Abstract jika dapat mempresentasikan beberapa elemen dan melakukan interdependensi antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi suatu entitas yang terpadu. Dapat mengeneralisasi ke bentuk struktur baru. mengintegrasikan dua atau lebih informasi yang diberikan dan yang tidak diberikan tetapi terkait secara koheren, dan menemukan analogi untuk kasus lain, sehingga menghasilkan prinsip yang baru/struktur yang baru. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kajian teoretik dan analisis dekomposisi genetik seluruh subjek penelitian (14 Siswa SMP IT Rabbi Radhiyah Rejang Lebong Bengkulu) seperti diuraikan contoh analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Ditemukan lima kategori siswa SMP IT RR dari tujuh Taksonomi SOLO+. Lima kategori tersebut adalah pertama, siswa yang terkategori pada level prestruktural. Kedua, siswa unistruktural. Ketiga, siswa multistruktural. Keempat, siswa semi-relasional. Kelima siswa relasional. Ada dua level Taksonomi SOLO+ yang tidak terisi yaitu Level Abstract dan Level extended abstract. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan pada peneliti yang sejenis sebagai berikut: mengembangkan model pembelajaran untuk siswa pada setiap level yang ada; mengembangkan perangkat pembelajaran yang berbasis karakteristik siswa sesuai taksonomi SOLO yang baru; mengembangkan teori baru tentang asesmen berbasis taksonomi SOLO yang baru.
164
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA Anderson, Lorin W. & Krathwohl, David R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Logman. Biggs, J.B. & Collis, K.F. 1982. Evaluating the quality of learning: The SOLO taxonomy. New York: Academic Press. Biggs, J.B. 1999. Teaching for quality at University. Buckingham: SRHE/OU press http://www.hebes.mdx.ac.uk/teaching/ Dewi Herawaty dan Wahyu Widada, 2006. Kualitas Respon Siswa berbasis Taksonomi SOLO untuk Matematika SMP tentang SPL. Laporan Penelitian Mandiri. Dewi Herawaty, Hartanto Sunardi dan Wahyu Widada, 2007. Pengembangan Teori Taksonomi Kualitas Respon Siswa SMP tentang Masalah Matematika Berbasis Taksonomi SOLO. Laporan Penelitian Fundamental. Hartanto Sunardi. 2004. Analisis tentang Respon Siswa terhadap Permasalahan suatu Sifat Aljabar pada Bilangan Real. Jurnal Buana Pendidikan. T.II N. 01. 2004. Hawkins, W & Hedberg, J.G. 1986. Evaluating LOGO: Use of the SOLO Taxonomy. Australian Journal of Educational Technology. 2(2) http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet2/ Wahyu Widada. 2006. Kiat Meningkatkan Kompetensi Matematika melalui Pengembangan Skema Matematis. Artikel dimuat dalam Jurnal Ilmiah Multi Science Inspirasi. Monograph I tahun 2006 Wahyu Widada, 2013. Beberapa Dekomposisi Genetik Siswa Dalam Pemahaman Matematika. Artikel yang dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling FKIP Universitas Bengkulu 06 November 2013.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
165
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) ANALISIS KOMPLEKS DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP PGRI SUMATERA BARAT Merina Pratiwi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat [email protected]
ABSTRAK Kegagalan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Analisis Kompleks didasari oleh mahasiswa hanya cenderung menghafalkan konsep yang dipelajari tanpa memahami dengan benar, motivasi yang kurang untuk mengulang kembali materi di rumah sehingga timbul kesan bahwa analisis kompleks adalah mata kuliah yang sulit. Alokasi waktu yang tersedia untuk proses perkuliahan analisis kompleks hanya cukup untuk memaparkan materi serta aneka ragam contoh soal sehingga belum ada pemfokusan pada upaya penuangan pengetahuan dari materi yang telah diajarkan sehingga menyebabkan pemahaman mahasiswa kurang. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa salah satunya adalah dengan memberikan bahan ajar sebagai salah satu sumber belajar yaitu berupa Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) yang valid di STKIP PGRI Sumatera Barat. Jenis penelitian adalah penelitian pengembangan dengan rancangan penelitian IDI (Instructional Development Institute) yang terdiri dari tahap pendefinisian (define) atau analisis kebutuhan, tahap pengembangan (develop), dan tahap evaluasi (evaluate) . Proses pengembangan LKM ini melalui tahapan dengan langkah-langkah (1) studi pendahuluan yang meliputi menganalisis silabus, wawancara dengan dosen, menganalisis buku teks, dan mereview literatur (2) pengembangan LKM dengan menyusun LKM, validasi LKM, dan revisi LKM. LKM terdiri dari halaman muka LKM (cover), ringkasan materi, contoh soal, dan latihan mandiri. Berdasarkan hasil validasi, LKM memperoleh nilai rerata 4,1 untuk aspek materi pada LKM, nilai rerata 4 untuk aspek penyajian pada LKM, dan nilai rerata 4,2 untuk aspek bahasa dan keterbacaan LKM. Jadi dapat disimpulkan pengembangan LKM sudah memenuhi kriteria sangat valid. Kata Kunci : Pengembangan, LKM Analisis Kompleks
PENDAHULUAN Perguruan tinggi merupakan institusi yang diharapkan dapat memberikan pendidikan formal yang diberikan kepada seluruh mahasiswa untuk mempelajari apa yang perlu diketahui agar berpikir cerdas, bijaksana dan penuh perhatian dari mahasiswa itu sendiri. Hal ini sesuai dengan program pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik 166
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 agar menjadi manusia yang utuh, tangguh dan ulet dalam segala hal serta beriman pada Allah SWT. Berpatokan pada tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003, semua bidang studi mempunyai tujuan tersendiri, khususnya bidang studi matematika. Matematika mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak para ahli menyebutkan bahwa matematika itu behubungan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang penalarannya bersifat deduktif. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Misalnya banyak persoalan kehidupan yang memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur. Menghitung mengarah pada aritmetika (studi tentang bilangan) dan mengukur mengarah pada geometri (studi tentang bangun, ukuran dan posisi benda). Hal tersebut menunjukkan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama sebagai sarana untuk memecahkan masalah baik pada matematika maupun dalam bidang lainnya. Peranan matematika tersebut, terutama sebagai sarana berpikir ilmiah oleh Suherman (1995: 56) adalah dapat diperoleh kemampuan-kemampuan meliputi : (1) menggunakan algoritma, (2) melakukan manipulasi secara matematika, (3) mengorganisasikan data, (4) memanfatkan simbol, tabel, grafik, dan membuatnya, (5) mengenal dan menemukan pola, (6) menarik kesimpulan, (7) membuat kalimat atau model matematika, (8) membuat interpretasi bangun geometri, (9) memahami pengukuran dan satuanya, serta (10) menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, tabel matematika, kalkulator, dan komputer. Sementara itu dalam tujuan umum pendidikan matematika (Depdiknas, 2002:3) menyebutkan berbagai peranan matematika sebagai sarana berpikir ilmiah ditekankan pada kemampuan untuk memiliki : 1. Kemampuan berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika. 2. Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi. 3. Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialih gunkan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, logis, sistematis, bersifat objektif, jujur, disiplin dalam memandang dan menyelesaikan masalah. Peranan berpikir ilmiah tersebut dapat ditemukan dengan mempelajari salah satu mata kuliah yaitu mata kuliah Analisis Kompleks. Mata kuliah Analisis Kompleks merupakan mata kuliah pilihan wajib bagi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Kompetensi yang dicapai setelah mempelajari mata kuliah ini adalah mahasiswa mampu menguasai materi dan menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan analisis kompleks. Materi dalam mata kuliah ini meliputi konsep dasar dan operasi bilangan kompleks, fungsi kompleks, turunan kompleks, dan integral kompleks. Kegagalan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Analisis Kompleks didasari oleh kesulitan mereka dalam memahami konsep dengan baik diantaranya konsep dasar kalkulus (turunan dan integral), motivasi yang kurang untuk mengulang kembali materi di rumah, mereka hanya menghafal dan mengingat rumus. Jika diberikan soal yang berbeda dengan contoh soal yang diberikan, kebanyakan mahasiswa tidak mampu mengerjakan dan kurang percaya diri dalam menyelesaikan soal tersebut sehingga timbul kesan bahwa analisis kompleks adalah mata kuliah yang sulit. Alokasi waktu yang tersedia untuk proses perkuliahan analisis kompleks hanya cukup untuk memaparkan materi serta aneka ragam contoh soal sehingga belum ada pemfokusan pada upaya penuangan pengetahuan dari materi yang telah diajarkan sehingga menyebabkan pemahaman mahasiswa kurang. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa salah satunya adalah dengan memberikan bahan perkuliahan. Salah satu bahan perkuliahan yang digunakan adalah Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
167
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Dalam belajar dengan menggunakan LKM, mahasiswa diarahkan dalam menemukan dan memahami konsep. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan LKM dapat mendorong mahasiswa untuk mengolah sendiri bahan yang dipelajari atau bersama teman dalam bentuk diskusi kelompok. LKM juga dapat memberikan kesempatan penuh kepada mahasiswa untuk mengungkapkan kemampuan dan keterampilan untuk berbuat sendiri dalam mengembangkan proses berfikir. Dengan penggunaan LKM, mahasiswa diharapkan benar-benar aktif dan mandiri sehingga dapat menyerap dan mengingat lebih lama terhadap apa yang telah dipelajari. Berdasarkan uraian dari permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dilakukan penelitian yang bertujuan mengembangkan LKM yaitu LKM Analisis Kompleks. Untuk itu dilakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) Analisis Kompleks di Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat”.
METODE PENELITIAN Penelitian pengembangan ini menggunakan model Procedural Instructional Development Institute (IDI) ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pendefinisian (define) atau analisis kebutuhan, tahap pengembangan (develop), dan tahap evaluasi (evaluate). Penelitian tidak melakukan langkah evaluasi karena keterbatasan waktu, sehingga hanya dilakukan pada tahap penentuan dan pengembangan. Pada tahap penentuan dengan melakukan studi pendahuluan yang meliputi menganalisis silabus, wawancara dengan dosen, menganalisis buku teks, dan mereview literatur sedangkan pada tahap pengembangan meliputi menyusun LKM, validasi LKM, dan revisi LKM. Jenis data yang terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa skor penilaian seluruh isi LKM meliputi aspek materi, penyajian, dan bahasa dan keterbacaan LKM berdasarkan hasil lembar validasi dengan skala Likert berupa angka 1, 2, 3, 4, dan 5. Data kualitatif merupakan evaluasi dari validator berupa tanggapan, saran, dan kritikan yang tercantum pada lembar validasi untuk melakukan revisi LKM. Teknik analisis data yang digunakan adalah untuk menganalisis data pada lembar validasi adalah menghitung nilai rerata skor. Nilai rerata skor tersebut dihitung dengan menggunakan rumus n
R
V i 1
n
i
(Muliyardi, 2006: 82)
dengan, R = rerata hasil penilaian dari para validator Vi = skor hasil penilaian validator ke-i n = banyak validator Kemudian rerata yang didapatkan dikonfirmasikan dengan kriteria yang ditetapkan. Cara mendapatkan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Rentangan skor mulai dari 1 sampai 5 2. Kriteria dibagi atas lima tingkatan. Istilah yang digunakan disesuaikan dengan aspekaspek yang bersangkutan. 3. Rentangan rerata dibagi menjadi lima kelas interval. 4. Lalu dihitung rerata semua aspek untuk LKM. Untuk menentukan tingkat kevalidan LKM digunakan kriteria berikut: a. Bila rerata > 3,20 maka LKM dikategorikan sangat valid. b. Bila 2,40 < rerata ≤ 3,20 maka LKM dikategorikan valid. c. Bila 1,60 < rerata ≤ 2,40 maka LKM dikategorikan cukup valid. d. Bila 0,80 < rerata ≤ 1,60 maka LKM dikategorikan kurang valid. e. Bila rerata ≤ 0,80 maka LKM dikategorikan tidak valid.
168
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pada tahap pendefinisian atau analisis kebutuhan ditinjau dari : 1. Analisis Silabus Mata Kuliah Analisis Kompleks LKM yang dikembangkan diperoleh dari analisis silabus berupa kompetensi utama dan kompetensi pendukung. Materi dicocokkan dengan buku teks Analisis Kompleks tentang turunan kompleks. Materi yang dikembangkan pada LKM yaitu fungsi analitik, persamaan Cauchy-Riemann, dan fungsi harmonik. Materi ini dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa tidak memahami konsep turunan dan integral dengan baik. 2. Hasil Wawancara dengan Dosen Wawancara dengan dosen bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi di lapangan sehubungan dengan perkuliahan analisis kompleks pada materi turunan fungsi kompleks. Wawancara dilakukan dengan dosen analisis kompleks pada tanggal 20 Agustus 2013. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa turunan kompleks adalah materi yang tergolong sulit karena mahasiswa belum memahami konsep turunan. Pelaksanaan kuliah belum bisa membuat mahasiswa aktif dan mandiri karena soal yang ada pada buku teks sudah variatif tetapi mahasiswa kurang mampu menelaah dan mencari penyelesaian dari soal tersebut berdasarkan materi yang telah dipelajari, sehingga mahasiswa tidak terbiasa mengerjakan soal yang berbeda dengan yang diberikan oleh dosen. 3. Hasil Analisis Buku Teks LKM yang dirancang dan dikembangkan bertujuan untuk membantu mahasiswa memahami konsep turunan. Buku teks yang ada selama ini tidak dipergunakan secara maksimal oleh mahasiswa dan mahasiswa hanya berpegang dengan catatan yang diberikan oleh dosen tanpa perlu untuk membuka dan mempelajari dari buku teks. Selain buku teks, pada mata kuliah analisis kompleks belum ada lembar kerja yang mampu membuat mahasiswa aktif dan mandiri sehingga mahasiswa dapat mengingat lebih lama materi yang telah dipelajari. 4. Mereview Literatur LKM berisi kompetensi yang akan dicapai, petunjuk penggunaan, ringkasan materi, contoh soal, dan latihan. Perkuliahan dengan menggunakan LKM memudahkan dosen untuk memberikan pemahaman terhadap konsep turunan kompleks. LKM mendorong mahasiswa untuk membangun konsep materi, menghubungkan ide/konsep kedalam penyelesaian soal, mendorong mahasiswa untuk bertanya, dan diskusi dengan teman sejawat. Data hasil penilaian validator dideskripsikan dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Berikut diuraikan hasil validasi LKM yang telah dirancang. d) Aspek Materi dalam LKM Hasil validasi aspek materi dalam LKM dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Validasi Aspek Materi dalam LKM No
Indikator
1
Materi yang disajikan telah sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai Konsep-konsep yang diuraikan pada materi dipertegas dengan grafik, tabel, atau gambar Penyajian materi telah memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam menemukan sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari Materi telah disajikan dengan urutan yang sistematis Contoh soal dan latihan mandiri relevan dengan materi yang disajikan.
2 3
4 5
Validator 1 2
Jml
Rerata
5
4
9
4,5
4
3
7
3,5
3
4
7
3,5
5
4
9
4,5
5
4
9
4,5
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
169
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 e) Aspek Penyajian Pada LKM Hasil validasi aspek penyajian dalam LKM dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Validasi Aspek Penyajian dalam LKM No
Indikator
1
Kompetensi utama dan khusus serta petunjuk penggunaan LKM telah disajikan secara jelas Secara visual, penulisan konsep, ide, istilah dan rumus yang ada pada LKM telah disajikan dengan jelas
2
3 4 5
Penyajian materi telah membahasakan gagasan yang ingin disampaikan Penyajian materi telah memunculkan proses pembentukan dan pemahaman konsep Penyajian materi telah melibatkan mahasiswa secara aktif menemukan konsep secara mandiri
Validator 1 2
Jml
Rerata
5
4
9
4,5
5
3
8
4
4
4
8
4
3
4
7
3,5
4
4
8
4
c). Aspek bahasa dan keterbacaan pada LKM Hasil validasi aspek bahasa dan keterbacaan dalam LKM dapat terlihat Tabel 3. Tabel 3. Aspek bahasa dan keterbacaan dalam LKM No
Indikator
1
Kalimat yang digunakan telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia Kalimat yang digunakan melibatkan kemampuan berfikir logis mahasiswa Struktur kalimat telah sesuai dengan tingkat pemahaman mahasiswa
2 3 4
5
Bentuk dan ukuran huruf pada LKM telah sesuai dengan kapasitas keterbacaan mahasiswa Kalimat yang digunakan dalam penyajian LKM tidak memberikan makna ganda (ambigu)
Validator 1 2
Jml
Rerata
5
4
9
4,5
4
4
8
4
4
4
8
4
5
4
9
4,5
4
4
8
4
Berdasarkan hasil rerata skor hasil validasi LKM secara keseluruhan adalah 4,33. Hal ini menunjukkan bahwa LKM Analisis Kompleks sangat valid. Hasil validasi menunjukkan bahwa validitas LKM untuk perkuliahan Analisis Kompleks pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat yang dikembangkan termasuk dalam kriteria sangat valid, artinya bahwa LKM yang dikembangkan dapat mengukur apa yang seharusnya diukur dengan tepat. Hal ini senada dengan pendapat Djaali (2004: 65) yang menyatakan bahwa suatu instrument dikatakan valid jika instrument tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. LKM untuk mata kuliah Analisis Kompleks sudah valid berdasarkan hasil penilaian dari validator sebagai berikut. a. Aspek Materi Materi yang disajikan telah sesuai dengan kompetensi yang dicapai. Konsep-konsep yang diuraikan pada materi dipertegas dengan grafik, tabel atau gambar. Penyajian materi telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa dalam menemukan sendiri konsep dan prinsip yang 170
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dipelajarinya. Materi telah disajikan dengan urutan yang sistematis. Contoh soal, latihan terbimbing dan latihan mandiri relevan dengan materi yang disajikan. b. Aspek Penyajian Kompetensi utama dan khusus serta petunjuk penggunaan LKM telah disajikan secara jelas. Secara visual, penulisan konsep, ide istilah dan rumus yang ada pada LKM telah disajikan secara jelas. Penyajian materi telah membahasakan gagasan yang ingin dicapai. Penyajian materi telah memunculkan proses pembentukan dan pemahaman konsep. Penyajian materi telah melibatkan mahasiswa secara aktif menemukan konsep secara mandiri. c. Aspek Bahasa Dan Keterbacaan Kalimat yang digunakan telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Kalimat yang digunakan melibatkan kemampuan berfikir logis mahasiswa. Struktur kalimat telah sesuai dengan tingkat pemahaman mahasiswa. Bentuk dan ukuran huruf pada LKM telah sesuai dengan kapasitas keterbacaan mahasiswa. Kalimat yang digunakan dalam penyajian LKM tidak memberikan makna ganda (ambigu). Kekurangan dari LKM yang telah dikembangkan adalah belum dilakukan uji coba sehingga belum diketahui praktikalitas dan keefektifan dalam pembelajaran.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil lembar validasi LKM diperoleh nilai rerata 4,33. Jadi dapat disimpulkan bahwa LKM Analisis Kompleks di Program Studi Pendidikan Matematikn da STKIP PGRI Sumatera Barat adalah valid dan dapat diujicobakan agar bisa digunakan dalam pembelajaran. LKM ini dapat dijadikan contoh bagi dosen dalam mengembangkan LKM yang lain. Penelitian pengembangan akan lebih sempurna jika dilakukan sampai tahap praktikalitas dan keefektifan.
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Indikator. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Djaali dan P. Muljono. 2004. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Pascasajana Universitas Negeri Jakarta Muliyardi. 2006. ”Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Komik di Kelas I Sekolah Dasar”. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya : Pasca Sarjana UNESA. ________. 2002. Strategi Belajar Matematika. Padang: FMIPA. Suherman, Erman dkk. 2003. Common TextBook Strategi Pembelajaran Matematika Komtemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
171
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PRAKTIKALITAS PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) PADA PERKULIAHAN BAHASA INGGRIS UNTUK MATEMATIKA DI STKIP PGRI SUMATERA BARAT Anna Cesaria STKIP PGRI SUMATERA BARAT [email protected]
ABSTRAK Kemampuan berbahasa Inggris diperlukan dalam perkuliahan Matematika, hal ini disebabkan karena banyak buku teks yang dipakai pada proses perkuliahan yang menggunakan Bahasa Inggris. Mengingat pentingnya peranan mata kuliah bahasa inggris untuk matematika, diharapkan mahasiswa bersungguh-sungguh dalam mengikuti perkuliahan. Mahasiswa diharapkan aktif, termotivasi, serta mampu menguasai standar kompetensi dari mata kuliah ini. Disamping itu, dengan dikuasainya istilah-istilah Matematika dalam Bahasa Inggris dapat membantu mahasiswa mengajar di kelas internasional yang sudah mulai digalakkan pemerintah. Untuk menciptakan perkuliahan yang menarik diperlukan bahan ajar yang menarik dan interaktif. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah, dikembangkan suatu bahan perkuliahan yang menarik dan interaktif yang berupa Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan LKM yang praktis di STKIP PGRI Sumatera Barat. Jenis penelitian adalah penelitian pengembangan dengan rancangan model 4D terdiri atas 4 tahap yang meliputi : define (pendefenisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan desseminate (penyebaran). Pada penelitian ini dikhususkan pada tahap pengembangan, yakni untuk melihat aspek praktikalitas dari LKM yang sudah valid. Uji coba dilakukan pada mahasiswa pendidikan matematika STKIP PGRI Sumatera Barat untuk mengetahui praktikalitas LKM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LKM dapat dikatakan praktis menurut mahasiswa dan dosen dimana penggunaan LKM dalam proses perkuliahan tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini tampak dari aktivitas mahasiswa dan motivasi belajar yang tinggi setelah perkuliahan berlangsung. Kata Kunci : Pengembangan, LKM, Bahasa Inggris untuk Matematika
PENDAHULUAN Perkuliahan Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model Matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan Matematika. Pembelajaran Matematika bertujuan untuk melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan. Selain itu, juga tujuan pembelajaran Matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan. 172
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Kemampuan berbahasa Inggris diperlukan dalam perkuliahan Matematika, hal ini disebabkan karena banyak buku teks yang dipakai pada proses perkuliahan yang menggunakan Bahasa Inggris. Oleh karena itu, diperlukan suatu mata kuliah yang memperkenalkan istilah-istilah matematika dalam Bahasa Inggris. Mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika adalah salah satu mata kuliah wajib yang diambil oleh mahasiswa prodi pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Mata Kuliah ini termasuk Mata Kuliah Berkehidupan Bersama (MBB) dengan bobot 2 sks. Mata kuliah ini mempelajari dan menginvetarisir konsep-konsep dan istilah-istilah dalam bidang geometri, aljabar, aritmatika, statistika, dll. Mengingat pentingnya peranan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa bersungguh-sungguh dalam mengikuti perkuliahan. Mahasiswa diharapkan aktif, termotivasi, serta mampu menguasai standar kompetensi dari mata kuliah ini. Tujuan dari mata kuliah ini adalah agar mahasiswa tidak kesulitan dalam memahami buku teks berbahasa Inggris yang digunakan pada mata kuliah lain, yang cenderung mengunakan buku teks berbahasa Inggris. Disamping itu, dengan dikuasainya istilah-istilah Matematika dalam Bahasa Inggris dapat membantu mahasiswa mengajar di kelas internasional yang sudah mulai digalakkan pemerintah. Untuk menciptakan perkuliahan yang menarik diperlukan bahan ajar yang menarik dan interaktif. Pada kenyataannya bahan perkuliahan pada mata kuliah ini belum menarik dan masih terbatas. Berdasarkan pengalaman peneliti selama mengampu mata kuliah ini, bahan ajar pada mata kuliah ini masih terbatas, belum interaktif, dan sulit untuk dipahami mahasiswa. Proses perkuliahan masih monoton dan bersifat satu arah. Sumber belajar yang kurang membuat mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami materi perkuliahan, misalnya ketika memahami materi mahasiswa kurang mengerti. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah, dikembangkan suatu bahan perkuliahan yang menarik dan interaktif yang berupa Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Bahan perkuliahan yang interaktif adalah bahan perkuliahan yang mengunakan bahasa-bahasa yang luwes dan tidak kaku. LKM berisi panduan-panduan materi dengan gambar-gambar yang menarik yang dikemas sedemikian rupa. Hal ini diharapkan dapat menjadikan perkulihan menjadi lebih interaktif, memiliki daya tarik, bermakna serta tidak menjadikan mata kuliah ini sebagai mata kuliah yang membosankan bagi mahasiswa. Berdasarkan penelitian Fitri, Dewi Yuliana (2013) dengan hasil LKM pada perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika dapat dinyatakan valid. LKM yang dimaksud adalah LKM yang disusun oleh dosen pengampu mata kuliah Bahasa Inggris untuk Matematika dan sudah divalidasi oleh validator yang pakar di bidangnya. LKM praktis digunakan dari segi isi maupun waktu karena sudah disesuaikan dengan standar komptensi oleh pengampu matakuliah. Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Praktikalitas Pengembangan LKM Pada Perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika di STKIP PGRI Sumatera Barat.
METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah penelitian dan pengembangan (Research and development /R&D). Penelitian ini menggunakan model pengembangan 4-D rancangan Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (Trianto, 2007: 65). Model pengembangannya terdiri atas 4 tahap yang meliputi: pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (desseminate). Pada penelitian ini dikhususkan pada tahap pengembangan, yakni untuk melihat aspek praktikalitas dari Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) yang sudah valid.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
173
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 LKM yang sudah valid diujicobakan untuk mengetahui tingkat praktikalitas (keterpakaian) LKM. Praktikalitas berkaitan dengan keterpakaian bahan ajar oleh mahasiswa dan dosen. Menurut Sukardi (2009: 52), pertimbangan praktikalitas dapat dilihat dalam aspek-aspek berikut ini. 1. Kemudahan penggunaan, meliputi: mudah diatur, disimpan, dan dapat digunakan sewaktuwaktu. 2. Waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan sebaiknya singkat, cepat, dan tepat. 3. Mudah diinterpretasikan oleh dosen ahli maupun dosen lain 4. Memiliki ekivalensi yang sama, sehingga bisa digunakan sebagai pengganti atau variasi. 5. Biaya murah dan dapat dijangkau oleh dosen ataupun perguruan tinggi yang hendak menggunakannya. Praktikalitas pada penelitian ini dilihat dengan melakukan observasi dan wawancara pelaksanaan perkuliahan untuk melihat kemudahan menggunakan LKM, waktu, dan isi LKM. Kemudahan menggunakan LKM dilihat dari mengerti atau tidaknya mahasiswa tentang penggunaan LKM, ditunjukkan dengan frekuensi mahasiswa bertanya mengenai LKM, jika frekuensi pertanyaan mahasiswa mengenai LKM tidak ada atau sedikit maka LKM sudah dapat dikatakan praktis dari segi kemudahan penggunaan LKM, dan sebaliknya. LKM dapat dikatakan praktis dari segi waktu jika mahasiswa dapat menyelesaikan latihan pada saat perkuliahan. LKM dikatakan praktis dari segi isi jika LKM dapat dipahami baik materi, soal maupun latihan. Hal ini dapat dilihat ketika pelaksanaan perkuliahan. Tabel 1. Indikator Praktikalitas LKM Metode pengumpulan Aspek yang dinilai data Praktikalitas : a. Pelaksanaan a. Observasi a. perkuliahan pelaksanaan b. dengan LKM perkuliahan b. Petunjuk b. Wawancara pengisian LKM mahasiswa c. Isi LKM d. Waktu untuk mengisi LKM
Instrumen Lembar observasi Pedoman wawancara
Penelitian dilakukan di STKIP PGRI Sumatera Barat dengan populasi mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi dan pedoman wawancara. Lembar observasi digunakan untuk mengetahui pelaksanaan perkuliahan dengan LKM. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan tentang petunjuk, isi dan waktu penggunaan LKM. Informasi yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara mengenai praktikalitas LKM dianalisis secara kualitatif. e. Observasi praktikalitas pelaksanaan perkuliahan dengan LKM Hasil observasi dipisah-pisahkan menurut kelompok data. Untuk menggambarkan data hasil observasi digunakan teknik deskriptif. f. Hasil Wawancara Teknik deskriptif digunakan untuk menggambarkan data hasil wawancara dengan mahasiswa mengenai praktikalitas LKM. Miles dan Huberman dalam Nyimas (2007: 62) menyatakan “bahwa hasil wawancara dari para pakar menghasilkan data kualitatif berdasarkan transkripsi tertulis dan catatan yang dibuat saat wawancara berlangsung”.
174
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uji praktikalitas perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang keterpakaian LKM. Uji praktikalitas menjawab apakah LKM dapat digunakan atau tidak. Untuk melihat praktikalitas LKM, dilakukan uji coba di STKIP PGRI Sumatera Barat. Uji coba dilakukan pada mahasiswa pendidikan matematika sesi 2012 A. Pelaksanaan perkuliahan yang dilakukan selama uji coba telah sesuai dengan SAP yang dirumuskan dan divalidasi Selama uji coba, peneliti dibantu oleh satu orang observer. Observer memperoleh tugas mengamati pelaksanaan perkuliahan yang menggunakan LKM. Observer juga bertugas mengamati aktivitas mahasiswa. Data praktikalitas LKM diperoleh dari observasi pelaksanaan perkuliahan dan wawancara dengan mahasiswa. Hasil praktikalitas diuraikan sebagai berikut. a) Pelaksanaan Perkuliahan dengan LKM Observasi pelaksanaan perkuliahan difokuskan untuk melihat apakah perkuliahan terlaksana sesuai dengan silabus dan SAP yang dirancang dan melihat jika ada kendala dalam pelaksanaannya. Berikut uraian hasil observasi pelaksanaan perkuliahan dengan LKM. 1. Pertemuan I Materi pada pertemuan pertama adalah type of number and basic operation. Pada pertemuan pertama ini, mahasiswa merasa senang karena mendapatkan LKM dari dosen. Dosen menjelaskan metode perkuliahan dengan menggunakan LKM kepada mahasiswa. Dosen mengarahkan materi pada mahasiswa dengan bantuan modul. Perkuliahan berjalan sesuai rencana. Latihan yang ada pada LKM dapat diselesaikan mahasiswa. Namun, ada sedikit kendala yaitu ada beberapa mahasiswa bingung dalam memahami LKM karena baru pertama kali digunakan oleh mahasiswa. 2. Pertemuan II Materi pada pertemuan kedua adalah fraction and decimal fraction. Pada pertemuan kedua ini, mahasiswa sudah mulai terbiasa dalam mengikuti perkuliahan dengan bantuan LKM. Pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai rencana. Kendala yang dihadapi adalah pada saat mengerjakan soal-soal latihan. Bagi mahasiswa soal latihan yang ada membutuhkan waktu yang lama mengerjakannya, ini dikarenakan mahasiswa masih belum terbiasa menggunakan bahasa Inggris. 3. Pertemuan III Materi pada pertemuan ketiga adalah divisibility, not divisible, and common divisor. Pada pertemuan ketiga ini, mahasiswa sudah terbiasa dalam mengikuti perkuliahan dengan bantuan LKM. Pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai rencana. 4. Pertemuan IV Materi pada pertemuan keempat adalah lanjutan common multiple and exercise. Pada pertemuan keempat ini, mahasiswa sudah terbiasa dalam mengikuti perkuliahan dengan bantuan LKM. Pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai rencana. Penggunaan LKM tidak mendapatkan kendala yang berarti, dengan arti lain situasi berjalan dengan normal sesuai dengan rencana yang telah dirumuskan di dalam SAP. Meskipun ada beberapa orang mahasiswa yang membutuhkan waktu cukup lama dalam menggunakan LKM, namun mereka masih bersemangat dalam belajar. Pemakaian LKM lebih efisien terhadap waktu terkait dengan tidak perlunya mahasiswa mencatat penjelasan dari dosen karena LKM telah dilengkapi dengan uraian materi. Secara umum kendala yang ditemukan ketika pelaksanaan perkuliahan adalah waktu yang disediakan untuk menemukan konsep dan mengerjakan soal latihan tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan belum terbiasanya mahasiswa dalam belajar mandiri sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berfikir hingga melakukan penemuan-penemuan. Namun, hal ini tidak mengurangi manfaat dari LKM itu sendiri yaitu membantu mahasiswa belajar secara kontinu dan terarah. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
175
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Untuk mengatasi masalah waktu di atas, dosen mensiasati dengan meminta mahasiswa untuk mendiskusikan soal yang tidak sempat dibahas di kelas dengan teman-teman yang lain di luar jam perkuliahan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dituangkan observer dalam lembar observasi diperoleh keterangan bahwa penggunaan LKM bahasa inggris untuk matematika dapat dikatakan praktis. Selama proses pembelajaran terlihat tidak terdapat permasalahan yang berarti. b) Hasil wawancara dengan mahasiswa mengenai praktikalitas LKM. Wawancara dilakukan setelah mahasiswa selesai membaca dan mengerjakan LKM. Indikator yang dilihat dalam wawancara ini adalah waktu, penggunaan dan manfaat. Indikator waktu bertujuan untuk melihat waktu yang dibutuhkan mahasiswa dalam mempelajari materi pada LKM. Indikator penggunaan adalah untuk melihat kemudahan apa saja yang didapat jika belajar menggunakan LKM. Indikator manfaat adalah untuk melihat manfaat yang diperoleh mahasiswa setelah belajar dengan LKM. Tabel 1. Cuplikan Wawancara Dosen dan Mahasiswa Pada Indikator Waktu Pertanyaan dari Jawaban Responden Dosen Apakah Anda dapat Materi dapat saya pahami sesuai Mahasiswa 1 memahami materi dengan waktu yang tersedia (kemampuan sesuai dengan waktu karena penyampaian materi pada akademik tinggi) yang tersedia? LKM mudah saya pahami Mahasiswa 2 Saya dapat memahami materi (kemampuan dengan sedikit bimbingan dari akademik sedang) dosen Tidak. Saya butuh waktu yang Mahasiswa 3 cukup lama dan bimbingan dari (kemampuan dosen. Akibatnya, saya tidak bisa akademik rendah) memahami materi sesuai dengan waktu yang tersedia.
Tabel 2. Cuplikan Wawancara Dosen dan Mahasiswa Pada Indikator Penggunaan Pertanyaan dari Jawaban Responden Dosen Apakah penjelasan Mahasiswa 1 Dapat, karena pembahasan pada pembahasan pada (kemampuan contoh soal disertai dengan contoh soal dapat akademik tinggi) petunjuk pengerjaan dan langkahAnda pahami? langkah penyelesaian yang jelas dan mudah dipahami. Mahasiswa 2 Ya, karena penyelesaiannya (kemampuan terurut dan mudah dipahami. akademik sedang) Saya dapat memahami Mahasiswa 3 pembahasan pada contoh soal (kemampuan karena langkah-langkah akademik rendah) penyelesaiannya mudah saya pahami.
176
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 3. Cuplikan Wawancara Dosen dan Mahasiswa pada Indikator Manfaat Pertanyaan dari Jawaban Responden Dosen Apakah belajar dengan Ya, karena LKM mengarahkan menggunakan LKM Mahasiswa 1 kita untuk membangun aktivitas belajar Anda? (kemampuan pemahaman materi secara mandiri akademik tinggi) sehingga saya tidak pasif dalam pembelajaran. Dapat, karena materi dapat saya pelajari sendiri dengan bantuan Mahasiswa 2 LKM sehingga saya tidak perlu (kemampuan menunggu penjelasan dari dosen akademik sedang) sehingga aktivitas belajar saya lebih meningkat dari sebelumnya. Ya. Sebelumnya saya termasuk pasif dalam proses perkuliahan karena hanya menunggu Mahasiswa 3 penjelasan materi. Namun (kemampuan sekarang dengan bantuan LKM akademik rendah) dan bimbingan dosen, aktivitas belajar saya lebih meningkat daripada sebelumnya.
Hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa membutuhkan waktu yang cukup lama dalam memahami materi yang disajikan pada LKM. Salah satu manfaat yang dirasakan mahasiswa terhadap proses perkuliahan dengan menggunakan LKM adalah meningkatnya aktivitas belajar. Proses pembelajaran yang sebelumnya pasif karena hanya mengandalkan informasi dari dosen kini mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Penggunaan LKM dapat memudahkan mahasiswa dalam membangun pemahaman konsep karena penyajian materi dan pembahasan contoh soal mudah dimengerti. Oleh karena itu, dalam proses perkuliahan mahasiswa tidak banyak membutuhkan bimbingan dosen. Manfaat yang dirasakan terhadap proses perkuliahan dengan menggunakan LKM adalah meningkatnya aktivitas belajar mahasiswa dan kemandirian dalam belajar. Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa LKM sudah praktis untuk digunakan. Agar proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang direncanakan, sebaiknya mahasiswa melatih diri sehingga terbiasa dalam membangun pemahaman konsep secara mandiri dengan sumber belajar yang ada.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penilaian melalui observasi pada pelaksanaan perkuliahan dan hasil wawancara diketahui bahwa LKM pada perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika sudah praktis dan mudah digunakan oleh mahasiswa. Hal ini terlihat dari pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan LKM yang sudah sesuai rencana, petunjuk LKM yang jelas, isi LKM sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, dan perkuliahan dengan LKM lebih efisien waktu. LKM Bahasa Inggris untuk Matematika ini sudah praktis, oleh karena itu peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut. 1. LKM dapat dijadikan bahan rujukan perkuliahan bagi dosen dan mahasiswa untuk perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
177
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 2. LKM ini dapat dijadikan contoh bagi dosen dalam mengembangkan LKM yang lain. Kepada pihak yang ingin melanjutkan penelitian ini atau memakai LKM ini, peneliti menyarankan untuk dapat menggunakan strategi tertentu dalam proses perkuliahan sehingga bisa diperoleh hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Anna, Cesaria dan Dewi Yuliana Fitri. (2013). “Pengembangan LKM Pada Perkuliahan Bahasa Inggris untuk Matematika di STKIP PGRI Sumatera Barat”. Laporan Penelitian Pemula. Padang: STKIP-PGRI Sumatera Barat. Muliyardi. 2006. ”Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Komik di Kelas I Sekolah Dasar”. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya : Pasca Sarjana UNESA. Nyimas, Yasmin. (2007). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis RME Untuk Kelas IV Sekolah Dasar.Tesis tidak diterbitkan. Padang: Pasca Sarjana UNP Sukardi. (2009). Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Yogyakarta: Bumi Aksara Trianto. (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
178
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
KEEFEKTIFAN ASSESMENT MATEMATIKA ONLINE BERBASIS PROPROFS DI SMA Aryo Andri Nugroho1), Noviana Dini Rahmawati2) 1)
pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang [email protected] 2) pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan meningkatkan prestasi belajar matematika peserta didik kelas X SMA N 1 Semarang dengan memanfaatkan assessment matematika online menggunakan proprofs pada pembelajaran matematika di kelas. Dalam proses pembelajaran menggunakan cooperative learning model Two Stay Two Stray (TSTS). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Quasy Experimental Populasi dalam penelitian ini adalah kelas X SMA N 1 Semarang tahun ajaran 2013/2014. subjek penelitian ini adalah terdiri dari 2 kelas yang masing-masing sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pemilihan dan penentuan subyek penelitian ini diambil dengan teknik sampel bertujuan (purposive sampling). Variabel penelitian dalam penelitian ini yaitu keterampilan proses (X) sebagai variabel bebas dan prestasi belajar (Y) sebagai variabel terikat. Cara pengambilan data dengan observasi dan tes prestasi belajar. Olah data dengan uji banding dan uji pengaruh. Dari hasil penelitian dapat disimpukan bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan assesment matematika online berbasis proprofs menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) telah mencapai indikator efektif, yaitu: (1) Pembelajaran mencapai ketuntasan pada prestasi belajar peserta didik yang ditunjukkan dengan melihat rata – rata kelas eksperimen yang mencapai KKM yaitu sebesar 85,33. (2) Terdapat pengaruh positif keterampilan proses terhadap prestasi belajar peserta didik yang ditunjukkan kontribusi pengaruhnya sebesar 58,8%. (3) Prestasi belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibanding prestasi belajar kelas kontrol yang ditunjukkan dengan rata – ratanya yaitu rata – rata kelas eksperimen sebesar 85,33 dan rata – rata kelas kontrol sebesar 78,17. Kata Kunci: assesment, proprofs, online
PENDAHULUAN Belajar merupakan suatu proses dan kegiatan untuk memodifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Jadi belajar bukan merupakan hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, tetapi juga mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan (Hamalik 2008: 27). Dalam bidang matematika, kemampuan yang perlu ditekankan terhadap peserta didik terletak pada keterampilan bermatematika yaitu SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
179
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 keterampilan menggunakan matematika dan bukan hanya sekedar menilai pengetahuan matematika saja. Brousseau (dalam Herbst 2006: 315) menyatakan bahwa permasalahan matematika terletak pada bagaimana membawa hubungan teori dalam matematika yang berupa sebuah konsep, rumus, atau metode untuk menjawab pertanyaan yang dapat dijamin kebenarannya. Jadi kemampuan pemecahan masalah matematika sangat ditentukan oleh kemampuan menghubungkan permasalahan dengan teori dalam matematika. Belajar matematika memerlukan keterampilan proses peserta didik untuk mengembangkan cara-cara yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Menurut Hudojo (2005: 20), proses belajar matematika harus melibatkan mental peserta didik secara aktif dan terampil. Kesulitan spesifik pengetahuan matematika bagi peserta didik terletak pada sifat abstraknya sebagai salah satu karakteristik matematika (BSNP 2007: 12). Menurut Gravemeijer (dalam Muijs dan Reynold 2008: 341) untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan pembelajaran dengan menggunakan sebanyak mungkin contoh riil. Masalah yang muncul pada pembelajaran materi Akar, pangkat & logaritma diantaranya: (1) Kesulitan dalam memahami konsep tentang definisi bilangan berpangkat, (2) Kesulitan dalam memahami dan menggunakan konsep tentang definisi logaritma, (3) Kesulitan dalam menggunakan sifat-sifat pada bilangan berpangkat & logaritma, (4) Kesulitan dalam menggunakan sifat-sifat pada bentuk akar, (5) Kesulitan dalam memahami dan menggunakan prinsip tentang merasionalkan penyebut suatu bilangan, (6) Pola dan metode pengajaran yang digunakan masih lebih banyak menggunakan metode ceramah/strategi konvensional; (7) Media dan sumber belajar yang digunakan masih sangat terbatas, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, peserta didik cenderung merasa kesulitan dalam memahami materi ini sehingga tingkat keberhasilan/prestasi belajar peserta didik pada materi ini relatif rendah. Pembelajaran akan lebih menarik dan efektif apabila dapat memanfaatkan media internet. Rosenberg menekankan bahwa E-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini senada dengan Cambell yang intinya menekankan penggunaan internet dalam pendidikan sebagai hakikat E-learning (Isjoni dkk, 2008: 9). Berdasarkan masalah yang ada diduga bahwa rendahnya kemampuan dan hasil belajar peserta didik disebabkan karena proses pembelajaran yang tidak efektif, lebih terpusat pada guru, dan penggunaan assesment yang tidak memadai. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu pembelajaran dengan pendekatan, metode atau model tertentu, dan pengembangan assesment yang dapat meningkatkan keterampilan proses dan prestasi belajar peserta didik. Salah satu caranya yaitu melakukan pembelajaran dengan memanfaatkan assesment matematika online dan proses pembelajaran dengan cooperative learning model Two Stay Two Stray (TSTS) berbasis proprofs sehingga pembelajaran dapat mencapai efektif.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen jenis Quasi Experimental (Samsudi, 2006: 75) yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika peserta didik dengan memanfaatkan assessment matematika online menggunakan proprofs pada pembelajaran matematika di kelas yang memenuhi kriteria efektif. Untuk keperluan memenuhi kriteria efektif, diperlukan instrumen penelitian yang yaitu keterampilan proses peserta didik.
Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini yaitu keterampilan proses peserta didik sebagai variabel bebas dan prestasi belajar sebagai variabel terikat.
180
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Instrumen Penelitian Instrumen pada penelitian ini terdiri dari lembar pengamatan keterampilan proses peserta didik dan lembar tes prestasi belajar. Sebelum instrumen tes prestasi belajar diberikan kepada peserta didik, terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen untuk melihat validitas dan realibitas instrumen tersebut dan untuk dianalisis daya beda dan tingkat kesukaran soal. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah data dokumentasi, data prestasi belajar, data keterampilan proses peserta didik. Analisis Data Suatu pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi ketercapaian pengukuran ketuntasan belajar yang di uji dengan menggunakan uji One Sample Test, adanya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang di uji dengan menggunakan uji regresi, ada perbedaan antara prestasi belajar peserta didik pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan prestasi belajar pada kelas kontrol yang di uji dengan menggunakan uji Independent Sample Test.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tingkat keberhasilan diukur melalui tiga uji statistika, yaitu uji ketuntasan hasil belajar, uji pengaruh, dan uji perbedaan yang sebelumnya melalui uji prasyarat. Hasil ketiga uji tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. a. Pembelajaran memanfaatkan assessment matematika online berbasis proprofs dengan menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) berhasil menuntaskan prestasi belajar peserta didik secara klasikal pada batas KKM = 70 dengan rata-rata 85,33. b. Keterampilan proses peserta didik dalam pembelajaran memanfaatkan assessment matematika online berbasis proprofs menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) secara nyata dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan besarnya pengaruh keterampilan proses terhadap prestasi belajar sebesar 58,8%. c. Prestasi belajar peserta didik akibat pembelajaran memanfaatkan assessment matematika online berbasis proprofs menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) lebih tinggi dibandingkan prestasi belajar peserta didik yang diajar dengan pendekatan konvensional. Pembahasan Ketuntasan Prestasi Belajar Ketuntasan prestasi belajar yang diukur adalah ketuntasan secara klasikal. Telah dinyatakan dalam uji ketuntasan klasikal menghasilkan bahwa nilai rata-rata ketuntasan belajar di kelas eksperimen lebih dari 70. Hal ini menunjukkan secara nyata keberhasilan proses pembelajaran menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) dengan memanfaatkan assessment matematika online berbasis proprofs . Keberhasilan ini disebabkan karena Two Stay Two Stray (TSTS) berhasil meningkatkan kerjasama peserta didik kearah positif terutama kemampuan membantu teman dan memperhatikan kesulitan orang lain serta didukung dengan soal online yang inovatif.. Dari hasil ini membuktikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan assesment matematika online berbasis proprofs serta model Two Stay Two Stray (TSTS) dapat menuntaskan prestasi belajar peserta didik. Pengaruh Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat Keterampilan proses dalam proses pembelajaran adalah suatu kecakapan yang diperoleh akibat langkah-langkah strategi pembelajaran sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Widyatiningtyas (2010: 1) menyatakan bahwa peserta didik melaksanakan keterampilan proses maka akan sekaligus dikembangkan sikap-sikap yang dikehendaki seperti kreatif, kerjasama, SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
181
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 bertanggung jawab, dan berdisiplin sesuai dengan penekanan bidang studi yang bersangkutan. Dengan demikian, keterampilan proses merupakan proses pembelajaran yang mengarah kepada pengembangan kemampuan-kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu peserta didik. Karena itu peningkatan keterampilan proses pada peserta didik merupakan hal penting yang harus selalu diupayakan agar peningkatan prestasi belajar peserta didik dapat tercapai secara optimal. Berdasarkan analisis uji pengaruh, telah dapat dibuktikan bahwa keterampilan proses berpengaruh secara linear terhadap prestasi belajar peserta didik sebesar 58,8%. Perbedaan Kelas Eksperimen dengan Kelas Kontrol Berdasarkan hasil membandingkan nilai rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat disimpulkan bahwa kelas eksperimen mempunyai nilai rata-rata ketuntasan lebih tinggi dibandingan nilai rata-rata ketuntasan kelas kontrol. Ini menunjukkan pembelajaran menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan assesment matematika online berbasis proprofs terbukti lebih baik dari pembelajaran metode konvensional yang selama ini dilakukan. Sedangkan assesment matematika online berbasis proprofs mempermudah peserta didik dalam menyelesaikan soal tes online dan merupakan tes yang inovatif. Di sisi lain, dengan pengembangan assesment matematika online berbasis proprofs yang dilakukan mempunyai kecenderungan keterkaitan yang lebih kuat dibandingkan pembelajaran yang dilakukan pada kelas kontrol. Dari ketiga komponen ini terbukti bahwa assesment matematika online berbasis proprofs dengan menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) memenuhi tiga hal yaitu : (1) pembelajaran mencapai ketuntasan; (2) ada pengaruh keterampilan proses terhadap prestasi belajar; (3) prestasi belajar kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Menurut Guskey karena telah memenuhi 3 hal diatas maka pembelajaran tersebut efektif.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan maka diperoleh kesimpulan bahwa pengembangan assesment matematika online berbasis proprofs menggunakan Two Stay Two Stray (TSTS) telah mencapai indikator efektif, yaitu: 1) Pembelajaran mencapai ketuntasan pada prestasi belajar peserta didik yang ditunjukkan dengan melihat rata – rata kelas eksperimen yang mencapai KKM yaitu sebesar 85,33. 2) Terdapat pengaruh positif keterampilan proses terhadap prestasi belajar peserta didik yang ditunjukkan kontribusi pengaruhnya sebesar 58,8%. 3) Prestasi belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibanding prestasi belajar kelas kontrol yang ditunjukkan dengan rata – ratanya yaitu rata – rata kelas eksperimen sebesar 85,33 dan rata – rata kelas kontrol sebesar 78,17. Saran Berdasarkan simpulan yang dikemukakan di atas, maka peneliti mengharapkan: 1) Penggunaan dan pelaksanaan suatu strategi perlu diperhatikan arah pencapaian indikator dan tujuan pembelajaran. Pada pelaksanaan pembelajaran harus mengacu pada strategi yang tepat, agar pelaksanaan pembelajaran bisa terlaksana dengan baik. 2) Assesment dalam pembelajaran perlu diperhatikan sehingga tepat dan sesuai tujuan yang diharapkan, salah satunya dapat memanfaatkan media online. 3) Guru seyogyanya mau mencoba melakukan proses assesment dengan media online serta dapat memanfaatkan teknologi yang berupa E-Learning untuk pembelajaran, sehingga akan menambah wawasan bagi guru maupun peserta didik.
182
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA BSNP. 2007. Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas. 2006. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Herbst, P.G. 2006. Teaching Geometry With Problems: Negotiating Instructional Situation and Mathematical Tasks. Journal for Research in Mathematics Education, vol. 37, No. 4, 313 – 347. Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. Isjoni, Ismail, dan Mahmud. 2008. ICT Untuk Sekolah Unggul. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Karso. 1994. Dasar-dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara D III. Muijs, D. & Reynold, D. 2008. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suherman, E. 2009. Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Peserta didik. EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya. http://educare.e-fkipunla.net Generate. Sukestiyarno. 2008. Melalui Penelitian Tindakan Kelas sebagai Bahan Terdekat Bagi Guru Berkarya Ilmiah. Makalah dipresentasikan pada workshop di Slawi, Kabupaten Tegal. Sumatri, M. & Permana, J. 1998/1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Syah, M. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Winkel, W.S. 2007. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Media Abadi.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
183
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN MODUL MATEMATIKA PAKET B SETARA SMP PADA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL BERBASIS PENDEKATAN KONTEKSTUAL Nourmaya Masyitha1), Wardani Rahayu2), Puspita Sari3) 1) 2) 3)
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta [email protected] [email protected] [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan bahan ajar berupa modul matematika untuk warga belajar Paket B setara SMP. Materi dalam modul yang dikembangkan adalah sistem persamaan linear dua variabel berbasis pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual terdiri atas tujuh asas, yaitu konstruktivis, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Ketujuh asas tersebut terdapat pada bagian-bagian di dalam modul. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (research and development). Prosedur penelitian dan pengembangan ini terdiri dari lima tahap, yaitu analisis kebutuhan, pengembangan produk, validasi ahli, uji coba kelompok kecil, dan uji coba kelompok besar. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan instrumen wawancara dan rating scale. Hasil penelitian ini adalah modul matematika yang berbasis pendekatan kontekstual memenuhi kelayakan untuk digunakan pada pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel Paket B. Kata Kunci : modul, paket B, research and development, kontekstual, sistem persamaan linear dua variabel
PENDAHULUAN Pendidikan nonformal yang menjadi salah satu penyokong sistem pendidikan nasional di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan sekolah formal. Masyarakat yang tidak memiliki kesempatan belajar di sekolah formal dapat dijangkau melalui pendidikan nonformal untuk menjamin masa depan mereka. Pendidikan nonformal adalah bentuk layanan pendidikan yang telah berkontribusi besar dalam mendukung program wajib belajar 9 tahun. Lebih lanjut, diharapkan pendidikan nonformal ini dapat mendukung program wajib belajar 12 tahun yang digulirkan pada tahun 2013. Kelompok belajar (Kejar) Paket B adalah pendidikan nonformal program kesetaraan untuk jenjang SMP. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sultan Hasanudin merupakan salah satu penyelenggara Kejar Paket A, B, dan C yang aktif sejak tahun 1992. Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan kepada 30 warga belajar Paket B di PKBM tersebut, diperoleh informasi bahwa sebanyak 37% warga belajar adalah pekerja. Warga belajar tidak diwajibkan 184
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 untuk hadir dalam setiap pertemuan, tetapi mereka dihimbau untuk hadir minimal dua kali dalam sebulan. Pendidikan nonformal tidak ada syarat batas usia. Sebanyak 70% warga belajar berusia kurang dari 16 tahun dan 30% pada rentang 16-26 tahun. Tidak adanya batasan usia membuat kesempatan mendapatkan pendidikan bagi masyarakat terbuka luas. Pendidikan terakhir warga belajar sebelum masuk PKBM adalah 50% lulus SD yang tidak sempat melanjutan ke SMP formal sedangkan 50% putus sekolah atau tidak lulus pada saat ujian nasional (UN) SMP. Warga belajar yang telah bekerja memiliki penghasilan yang beragam. Namun, bila mengacu pada standar Badan Pusat Statistik (BPS), 63% di antaranya menengah ke bawah (Kemenkeu, 2010). Hal tersebut juga menjadi penyebab angka kepemilikan sarana komputer di rumah mereka terbilang kecil, 27% saja. Rendahnya persentase kepemilikan komputer dan tingginya keinginan warga belajar terhadap modul cetak yang lebih baik (80%) menjadi pertimbangan untuk pengembangan bahan ajar berupa modul cetak. Abdul Majid (2005:176) menyatakan bahwa modul adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru. Oleh karena itu, penggunaan modul sesuai untuk menunjang pembelajaran warga belajar Paket B. Warga belajar diharapkan belajar mandiri secara aktif melalui bahan ajar yang disediakan. Namun, bahan ajar yang selama ini digunakan di PKBM dinilai kurang jelas oleh 53% warga belajar. Buku lain yang digunakan warga belajar adalah buku untuk sekolah formal, padahal penggunaan buku sekolah formal tidak sesuai untuk warga belajar. Selain itu, buku terbitan direktorat juga kurang memadai seperti tampilan yang kurang rapi, tidak ada evaluasi mandiri, terdapat beberapa kesalahan dalam pengetikan, dan kurangnya keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan penyempurnaan bahan ajar agar materi lebih mudah dipahami. Berdasarkan hasil kuesioner, materi sistem persamaan linear dua variabel menjadi materi yang dianggap paling sulit 43% oleh warga belajar. Dalam latar belakang SK-KD Paket B yang disusun oleh Kemdikbud juga disebutkan bahwa, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Pembelajaran dengan menggunakan kontekstual menggunakan 7 (tujuh) komponen utama, yaitu konstrutivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), penilaian (authentic assesment) (Muslich, 2007:43). Pembelajaran yang dilakukan seharusnya dimulai dengan permasalahan yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai karakteristik warga belajar. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan modul matematika Paket B setara SMP pada materi sistem persamaan linear dua variabel berbasis pendekatan kontekstual, mengetahui kualitas modul yang dikembangkan pada materi sistem persamaan linear dua variabel dengan pendekatan kontekstual berdasarkan tingkat kelayakan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat. Tahap uji coba kelompok kecil dilaksanakan di PKBM Miftahul Jannah, Jalan Pisangan Lama III No. 28 Jakarta Timur. Tahap uji coba kelompok besar dilaksanakan di lima PKBM, yaitu PKBM 16 Cempaka Putih (Jalan Rawasari Timur I No. 43 Jakarta Pusat), PKBM Amanah (Jalan Delima III Blok 09 Malaka Sari Duren Sawit Jakarta Timur), PKBM 32 Duren Sawit (Jalan Madrasah II Duren Sawit Jakarta Timur), PKBM Sultan Hasanudin (Jalan Sultan Hasanudin No. 123 Tambun Bekasi), dan PKBM 33 Malaka (Jalan Teratai Putih II Perumnas Klender Jakarta Timur). Waktu pelaksanaan penelitian dan pengembangan modul dilakukan sejak April 2013 sampai November 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (research and development) berdasarkan teori Borg dan Gall. Lima langkah utama prosedur pengembangan model pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
185
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 1. Langkah-langkah Metode Penelitian dan Pengembangan
Menurut Borg dan Gall (Puslitjaknov, 2008:11) Pengambilan data dilakukan dengan instrumen wawancara dan rating scale dengan poin 1 sampai 5. Instrumen yang dipakai telah divalidasi konstruk oleh ahli.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian 1) Validasi Ahli Validasi ahli terdiri atas dua yaitu, ahli materi dan bahasa dan ahli media. Data yang diperoleh dari ahli materi dan bahasa pada aspek materi, secara keseluruhan diperoleh persentase rata-rata sebesar 88,33%, sistematika isi modul diperoleh persentase rata-rata 87,49%, cakupan isi materi diperoleh persentase rata-rata 94,84%, dan pendekatan kontekstual dengan persentase rata-rata 85,72%. Pada aspek bahasa, secara keseluruhan diperoleh persentase rata-rata sebesar 94,17%. Kemudian, persentase rata-rata keseluruhan angket diperoleh nilai 90,11%. Dapat dikatakan bahwa model modul matematika baik secara keseluruhan maupun pada aspek materi dan aspek bahasa diperoleh kategori sangat baik. Data yang diperoleh dari ahli media pembelajaran pada aspek penyajian modul secara umum diperoleh persentase rata-rata 83,34%. Desain isi modul diperoleh persentase rata-rata 83%. Kemudian, persentase rata-rata keseluruhan angket diperoleh persentase 83,17%. Dapat dikatakan bahwa modul matematika Paket B baik secara keseluruhan maupun pada penyajian modul secara umum dan desain isi modul diperoleh kategori sangat baik. 2) Validasi Kelompok Kecil Data yang diperoleh dari uji coba kelompok kecil, isi modul secara keseluruhan diperoleh persentase rata-rata sebesar 82,59%. Bahasa diperoleh persentase rata-rata sebesar 88,57%. Tampilan diperoleh persentase rata-rata sebesar 83,86%. Materi diperoleh persentase ratarata sebesar 85,45%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa isi modul secara umum, bahasa, tampilan, dan materi dikategorikan sangat baik. 3) Validasi Kelompok Besar Data yang diperoleh dari uji coba kelompok besar, isi modul secara keseluruhan diperoleh persentase rata-rata sebesar 89,26%. Bahasa diperoleh persentase rata-rata sebesar 92,11%. Tampilan diperoleh persentase rata-rata sebesar 90,53%. Materi diperoleh persentase ratarata sebesar 87,28%. Kemudian, persentase rata-rata keseluruhan aspek memperoleh nilai 89,80%. Dapat dikatakan bahwa isi modul secara umum, bahasa, tampilan, dan materi dikategorikan sangat baik. 2. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis kebutuhan maka dibuat sebuah bahan ajar berupa modul pada materi sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Dalam tahap perencanaan diawali dengan pembuatan Garis Besar Isi Media (GBIM). Di dalam
186
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 GBIM dijabarkan dengan jelas tentang standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan urutan materi serta referensi yang akan digunakan. Tahap selanjutnya yaitu mengumpulkan data pembuatan isi materi yang mendukung materi dari berbagai sumber. Selain itu, ditentukan pula bahan-bahan pendukung yang akan disajikan dalam bahan ajar, seperti soal-soal kegiatan diskusi, dan bahan-bahan pendukung lainnya sehingga bahan ajar menjadi lebih menarik. Produk awal modul ini dibuat dengan menggunakan Microsoft Office Word 2007. Jenis tulisan modul menggunakan font Candara dan Dadhand dengan ukuran 11 dan spasi 1,15. Namun untuk tulisan pada halaman sampul, judul bab, judul modul, pendekatan, dan nama penulis menggunakan font dan ukuran yang berbeda. Tampilan isi modul didesain sederhana tanpa warna (hitam-putih). Modul ini dicetak dengan menggunakan kertas berukuran B5 (18,2 cm x 25,7 cm) 80 gram di kedua sisinya. Setelah modul ditelaah dan dicermati oleh para ahli kemudian direvisi oleh peneliti, para ahli diberikan instrumen validasi ahli materi dan bahasa. Dari hasil validasi ahli materi dan bahasa diperoleh saran untuk melakukan perbaikan, yaitu konsistensi penomoran pada daftar isi, penggunaan kalimat tanya yang efektif, pengubahan konteks yang sesuai, pendefinisian persamaan linear dua variabel disesuaikan dengan keilmuan matematika, penulisan menggunakan kalimat yang efektif dan disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), penambahan contoh kontekstual untuk variabel pada bilangan real, proses hitung menentukan nilai sebuah variabel sebaiknya diperinci dengan mengalikan kedua ruas dengan bilangan yang sama, penambahan petunjuk penentuan variabel pada contoh soal cerita, penambahan penjelasan pada rangkuman kapan grafik berupa titik dan garis, perbaikan ejaan yang salah, penyajian soal dengan penyelesaian metode gabungan sebaiknya diletakkan di akhir penjelasan metode eliminasi, dan penambahan keterangan untuk penekanan bahwa jika ingin menentukan koefisien dan konstanta dalam suatu persamaan linear dua variabel maka harus dalam bentuk ax + by = c. Model draft II modul matematika Paket B merupakan model draft I modul matematika Paket B yang telah direvisi berdasarkan saran dan kritik yang diperoleh dari penguji ahli materi dan bahasa. Beberapa perbaikan dapat dilihat pada penjelasan berikut.
(a) Draft I
(b) Draft II Gambar 2. Revisi Redaksi Soal
Pada model draft I modul matematika Paket B, redaksi soal bagian persiapan materi persamaan linear dua variabel pada nomor 6 dan 7 kurang efektif. Pada draft II modul matematika Paket B, kalimat tersebut diperbaiki.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
187
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
(a) Draft I
(b) Draft II Gambar 3. Revisi Penggunaan Kata
Berikutnya, revisi penggunaan kata yang disesuaikan dengan EYD. Pada model draft II modul matematika Paket B, kata Kota Semarang dan Kota Surabaya diganti menjadi kata Semarang dan Surabaya. Ukuran huruf pada kalimat Pernahkah kamu naik bus antar kota juga disamakan dengan ukuran huruf kalimat di bawahnya.
(a) Draft I
(b) Draft II Gambar 4. Revisi Proses Penghitungan
Pada model draft I modul matematika Paket B, proses hitung untuk mendapatkan nilai variabel y dilakukan dengan cara pindah ruas. Pada model draft II modul matematika Paket B, proses hitung tersebut diganti dengan cara mengalikan kedua ruas dengan bilangan yang sama. Perbaikan proses hitung terjadi pada seluruh proses hitung di dalam modul. Berdasarkan hasil analisis data validasi ahli materi dan bahasa dapat disimpulkan bahwa modul yang dikembangkan sesuai dengan kurikulum matematika Paket B, uraian materi sesuai dengan konsep matematika, isi modul sesuai dengan asas pendekatan kontekstual, dan bahasa yang digunakan dalam modul sesuai dengan kaidah EYD. Artinya, setelah direvisi berdasarkan masukan-masukan dari ahli materi dan bahasa, model draft II modul matematika Paket B layak untuk diujicobakan kepada warga belajar. 188
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Dari hasil validasi ahli media diperoleh saran dan kritik untuk melakukan perbaikan, yaitu pengubahan halaman sampul agar lebih menarik, penambahan butir pada petunjuk penggunaan, gambar pada komponen modul diperjelas, pengubahan alur peta kompetensi, pengubahan gambar ilustrasi, pemberian warga pada ilustrasi, pengubahan warna grafik agar lebih kontras, dan konsistensi ukuran ikon. Berikut beberapa perbaikan dari ahli media.
(a)
Draft I
(b) Draft II Gambar 5. Revisi Halaman Sampul
Ahli media berpendapat bahwa halaman sampul pada model draft I modul matematika Paket B kurang mencerminkan pendekatan kontekstual. Seharusnya halaman sampul menampilkan visualisasi materi sistem persamaan linear dalam bentuk yang lain. Dalam satu tampilan halaman maksimal terdiri atas dua font. Tampilan sampul kurang menarik karena hanya terdiri atas dua warna dominan dan warnanya kusam. Oleh karena itu, pada model draft II modul matematika Paket B, ditampilkan gambar alat tulis seperti pensil, penghapus, dan penggaris, kertas berpetak, ilustrasi grafik persamaan linear, dan tiga gambar yang menjadi ilustrasi soal cerita di dalam modul. Kemudian tulisan pada halaman sampul dibuat dengan dua font dan warna yang lebih banyak sehingga terlihat menarik.
(a) Draft I
(b) Draft II Gambar 6. Revisi Warna Grafik
Pada model draft I modul matematika Paket B, garis pada grafik berwana oranye, sedangkan pada model draft II warna garis diganti dengan warna merah. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
189
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Berdasarkan hasil analisis data validasi ahli media dapat disimpulkan bahwa penyajian umum dan desain isi modul sudah proporsional dan konsisten. Artinya, setelah direvisi berdasarkan masukan-masukan dari ahli media, model draft II modul matematika Paket B sudah layak untuk diujicobakan kepada warga belajar. Perbaikan dari hasil uji ahli materi dan bahasa, dan uji ahli media digunakan untuk uji coba kelompok kecil. Setiap warga belajar diminta mengeksplorasi modul matematika Paket B tersebut dengan arahan peneliti. Selanjutnya, setiap warga belajar diminta mengisi lembar instrumen dan memberikan komentar atau masukan mengenai modul matematika Paket B yang sedang dikembangkan. Selain mencermati dan mengisi angket, tanya jawab dan wawancara mengenai modul juga dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas. Dari uji coba kelompok kecil, diperoleh masukan untuk melakukan perbaikan, yaitu perbesaran ukuran huruf. Model draft III modul matematika Paket B merupakan model draft II modul matematika Paket B yang telah direvisi kembali berdasarkan masukan yang diperoleh dari warga belajar pada tahap uji coba kelompok kecil. Hasil dari uji coba kelompok kecil yang telah direvisi menjadi model draft III modul matematika Paket B yang diujikan di kelompok besar. Berdasarkan hasil analisis data uji coba warga belajar dapat dikatakan bahwa model modul matematika Paket B yang dihasilkan dapat digunakan dan dipahami dengan mudah oleh warga belajar. Artinya, modul matematika Paket B ini sudah layak untuk dimanfaatkan sebagai bahan ajar matematikan Paket B dengan pendekatan kontekstual pada materi sistem persamaan linear dua variabel. Dari hasil uji coba kelompok besar, diperoleh masukan-masukan untuk melakukan perbaikan, yaitu penambahan instruksi pada bagian persiapan, penambahan kunci jawaban untuk bagian persiapan, penambahan penjelasan atau instruksi pengisian tabel, pengubahan penjelasan contoh soal, penambahan satu atau dua contoh soal sejenis untuk masing-masing contoh soal, penambahan soal uji pemahaman dan kunci jawabannya, pengubahan penulisan untuk penjelasan definisi, penambahan kalimat-kalimat sapaan. Beberapa perbaikan dari uji coba kelompok besar dapat dilihat pada penjelasan berikut. Pada saat uji lapangan besar, warga belajar diminta untuk mengerjakan soal konstruktivis persamaan linear dua variabel. Setelah membaca masalah, warga belajar harus mengisi tabel yang kosong. Namun, beberapa warga belajar mengalami kesulitan dalam mengisi tabel. Soal tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Draft III Soal Konstruktivis Persamaan Linear Dua Variabel
Kemudian peneliti memberikan petunjuk kepada warga belajar. Jika pastel yang dibeli 1 buah maka donat yang dibeli 19 buah, lalu jika pastel yang dibeli 2 buah, berapa donat yang dibeli supaya jumlahnya 20 buah, dan seterusnya sampai warga belajar tersebut menyatakan bahwa dirinya paham. Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa warga belajar diberikan petunjuk yang akhirnya membuat warga belajar paham. Oleh sebab itu, pada model final modul matematika Paket B diberikan tambahan petunjuk atau instruksi dan pada tabel diberikan tambahan cell yang terisi. Petunjuk dan instruksi yang ditambahkan disesuaikan dengan hasil percakapan tersebut. Perbaikan dapat dilihat pada Gambar 8.
190
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 8. Final Soal Konstruktivis Persamaan Linear Dua Variabel
Selanjutnya, pada model draft III modul matematika Paket B, penjelasan mengenai contoh persamaan linear dua variabel disajikan berupa paragraf dengan beberapa huruf yang ditebalkan untuk penekanan. Dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Draft III Penjelasan pada Definisi
Namun, warga belajar kurang memahami bila membaca paragraf yang panjang. Pada saat uji lapangan besar, peneliti menjelaskan per kalimat kemudian warga belajar diminta untuk memperhatikan persamaan yang menjadi contoh. Dimulai dari kalimat pertama yang menjelaskan tentang persamaan dan warga belajar diminta untuk melihat kalimat matematika tersebut memiliki tanda sama dengan sehingga disebut persamaan. Selanjutnya kalimat kedua menunjukkan jumlah variabel yang dimiliki oleh persamaan tersebut. Pada kalimat ketiga, warga belajar diminta untuk memperhatikan bahwa pangkat pada variabel adalah 1 (satu) sehingga disebut linear. Petunjuk diberikan sampai akhirnya warga belajar menyatakan dirinya paham. Mengacu pada penjelasan yang dianggap mengerti oleh warga belajar tersebut, maka pada model final modul matematika Paket B, penjelasan disajikan dalam tabel. Pada kolom kanan berisi penjelasan dan kolom kanan berisi persamaan dengan petunjuk panah atau warna. Perbaikan dapat dilihat pada Gambar 10.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
191
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 10. Final Penjelasan pada Definisi
Sesuai dengan definisi modul yang dapat memfasilitasi seseorang untuk belajar secara mandiri tanpa guru, maka modul harus dibuat seolah-olah ada guru di dalam buku. Oleh karena itu, di dalam modul diperlukan kalimat-kalimat sapaan yang komukatif dan interaktif dengan pengguna modul.
Gambar 11. Penambahan Kalimat Sapaan
Sebagai contoh, tampilan kalimat sapaan pada Gambar 11. Kalimat-kalimat sapaan sejenis tersebar di dalam penjelasan materi, contoh soal, maupun soal-soal latihan. Untuk menggunakan modul ini, warga belajar membaca petunjuk penggunaan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan membaca pendahuluan agar dapat mengetahui secara singkat tentang isi modul. Warga belajar mempelajari materi dalam modul secara berurutan. Memahami penjelasan dan contoh soal, mengerjakan uji pemahaman dan latihan, melakukan refleksi pada akhir kegiatan belajar, dan mengerjakan soal evaluasi kegiatan belajar. Rangkuman dapat dibaca untuk lebih memperkuat pemahaman dan mengingat kembali materi yang telah dipelajari. Setelah mempelajari seluruh isi modul, warga belajar dapat menguji penguasaannya dengan mengerjakan soal evaluasi akhir. Jawaban seluruh soal dalam modul ini dapat dilihat di kunci jawaban untuk mencocokkan hasil yang dikerjakan.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penelitian pengembangan yang dilakukan telah menghasilkan bahan ajar berupa modul matematika Paket B dengan pendekatan kontekstual pada materi sistem persamaan linear dua variabel. Modul yang dihasilkan sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dalam standar isi. Dari hasil validasi ahli dan uji lapangn, modul matematika mendapatkan hasil dengan interpretasi sangat baik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa modul matematika Paket B yang dikembangkan sudah layak digunakan untuk pembelajaran Paket B pada materi sistem persamaan linear dua variabel. Untuk mengoptimalkan penggunaan modul, warga belajar disarankan untuk mempelajarinya dengan sistematis dan mengerjaka seluruh soal yang diberikan. Tutor dapat menggunakan modul sebagai alternatif bahan ajar yang digunakan di dalam kelas. (a)
192
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA BPS
Tidak Lagi Gunakan Cara Lama Tentukan Tingkat Kemiskinan. http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Berita/ br_201010_4.htm (diakses 24 Februari 2013).
Kemdikbud. “09. Matematika.” SK-KD Paket B. Kemdikbud: Tidak diterbitkan. Majid, Abdul. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Muslich, Mansur. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Puslitjaknov. Metode Penelitian Pengembangan. Jakarta: Depdiknas, 2008.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
193
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SPASIAL MATEMATIS SISWA Bobbi Rahman Pendidikan Matematika, STKIP Surya Tangerang, Banten [email protected]
ABSTRAK Kemampuan spasial matematis siswa di Indonesia masih belum berkembang secara optimal dan tergolong rendah. Pada hasil studi TIMSS dan PISA, domain konten soal yang sulit diselesaikan oleh siswa Indonesia di antaranya adalah materi geometri padahal bentukbentuk geometri dan bangun ruang sudah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini seperti kubus, balok dan bola. Salah satu dynamic mathematics software yang dapat dijadikan media pembelajaran dan melatih kemampuan spasial matematis pada pembelajaran geometri adalah Wingeom. Pada penelitian ini diungkap perbedaan peningkatan kemampuan spasial matematis yang signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom dan pembelajaran konvensional. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII yang berasal dari dua kelas pada salah satu MTs di Kabupaten Bandung. Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah Nonequivalent Control Group Design. Kedua kelas diberikan pretes dan postes mengenai kemampuan spasial matematis. Hipotesis penelitian diuji melalui uji parametrik (Uji-t dan Uji ANOVA Dua Jalur) dan uji non-parametrik (Uji Mann-Whitney). Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan kemampuan spasial matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Antara faktor media pembelajaran dan kategori kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis, tidak terdapat interaksi yang signifikan. Selain itu, siswa juga menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran geometri dengan Wingeom. Kata Kunci : Pembelajaran geometri dengan Wingeom, pembelajaran konvensional, kemampuan spasial matematis, sikap siswa.
PENDAHULUAN a. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah meruntuhkan paradigma sistem pembelajaran yang selama ini berorientasi pada guru dan menggantikannya dengan sistem pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Berbagai informasi dapat diakses dengan cepat oleh siswa dengan adanya kemajuan teknologi informasi, namun siapapun akan mengakui bahwa guru tetap memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan pembelajaran. 194
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Penggunaan teknologi informasi sebagai media pembelajaran dapat membantu guru dalam menyajikan materi pelajaran tanpa menggeser perannya sebagai pendidik profesional. Komputer merupakan salah satu media pembelajaran hasil dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah memberikan nuansa baru dalam dunia pendidikan matematika. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kariadinata (2010) bahwa dalam dunia pendidikan matematika, komputer telah membawa keuntungan dan kemudahan baik bagi siswa maupun guru. Pemanfaatan komputer dapat ditunjang dengan program perangkat lunak yang lazim disebut software. Saat ini telah banyak dirancang software-software pembelajaran yang dapat digunakan guru sebagai media pembelajaran dan membantu siswa untuk memahami materi yang disampaikan oleh guru. Salah satu dynamic mathematics software yang dirancang dan dikembangkan untuk memahami pembelajaran matematika khususnya geometri yaitu Wingeom. Menurut Healy dan Hoyles (2001), alat dynamic software tidak hanya dapat memberikan proses solusi tetapi juga dapat membantu siswa untuk membuat kesimpulan logis dari suatu argumentasi. Kemudian Jiang (2007) mengungkapkan bahwa penggunaan dynamic mathematics software dapat menghemat waktu secara signifikan sehingga siswa dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas yang berorientasi lebih konseptual. Pembelajaran dengan Wingeom dapat membantu siswa memvisualisasikan bentuk geometri dimensi dua maupun dimensi tiga yang abstrak menjadi lebih konkret sehingga siswa dapat lebih memahami konsep dan mencitrakannya dalam pikiran. Menurut Kariadinata (2010), peragaan tentang visualisasi sangatlah penting dalam pembelajaran geometri, baik peragaan melalui guru maupun bantuan teknologi seperti software yang dirancang untuk menyampaikan konsep-konsep geometri sehingga pembelajaran yang mengombinasikan antara tatap muka dengan guru dan teknologi sangatlah efektif. Kemampuan visualisasi bidang maupun ruang merupakan aktivitas geometri bagian dari kemampuan spasial matematis Nemeth (2007) mengungkapkan pentingnya kemampuan spasial yang dengan nyata sangat dibutuhkan pada ilmu-ilmu teknik dan matematika, khususnya geometri. Hal ini senada dengan pendapat Wai, et al. (2009) yang menyatakan bahwa kemampuan spasial memainkan peranan penting dalam mengembangkan keahlian sains, teknologi, teknik dan matematika. Selanjutnya, Tambunan (2006) dalam hasil penelitiannya menemukan adanya hubungan yang positif antara kemampuan spasial dengan prestasi belajar matematika pada anak usia sekolah. Beberapa pernyataan tersebut menegaskan bahwa kemampuan spasial matematis sangat penting untuk menguasai konsep-konsep geometri. Fakta yang dapat dijadikan indikator masih rendahnya kemampuan spasial matematis siswa di Indonesia adalah data hasil studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assesment (PISA). Hasil studi TIMSS maupun PISA menyimpulkan bahwa siswa Indonesia mengalami kesulitan dan lemah dalam menyelesaikan soal-soal geometri (Wardhani dan Rumiati, 2011). Padahal, dimensi konten soal sejalan dengan kurikulum yang ada di Indonesia. Selain media pembelajaran, faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar siswa adalah kemampuan awal matematis siswa serta sikap siswa terhadap pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar, et al. (2011), bahwa siswa yang memiliki kemampuan awal yang lebih baik, dapat menguasai konsep-konsep baru dengan lebih baik. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan awal matematis (KAM) yang baik akan lebih mudah untuk memahami dan menguasai konsep-konsep baru yang akan diajarkan. Sikap positif siswa terhadap pembelajaran juga akan mendukung keberhasilan belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (2006), bahwa sikap positif siswa berkorelasi positif terhadap prestasi belajar. Sikap positif siswa dapat terlihat dari kesungguhannya mengikuti pelajaran, menyelesaikan tugas dengan baik, berpartisipasi aktif selama SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
195
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 pembelajaran, menyelesaikan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan tepat waktu, serta merespon baik tantangan yang diberikan guru. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap pembelajaran akan membuatnya sulit untuk menerima pembelajaran. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan mengenai pentingnya efisiensi dan efektivitas pembelajaran matematika, penulis mengajukan sebuah studi penelitian terhadap aktivitas pembelajaran matematika, khususnya materi geometri dengan Wingeom untuk meningkatkan kemampuan spasial matematis siswa. b. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah peningkatan kemampuan spasial matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran geometri secara konvensional ditinjau dari kategori KAM siswa (tinggi, sedang, dan rendah)? 2. Seberapa baik sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan Wingeom. LANDASAN TEORITIS a. Kemampuan Spasial Matematis Definisi kemampuan spasial yang dikemukakan oleh Black (2005), yaitu suatu keterampilan dalam merepresentasikan, mentransformasi, membangun dan memanggil kembali informasi simbolik tidak dalam bentuk bahasa. McGee (Nemeth, 2007) mendefinisikan kemampuan spasial sebagai suatu kemampuan dalam memanipulasi gambar secara mental, merotasikan atau membaliknya. Kemampuan spasial diklasifikasikannya ke dalam lima komponen yaitu: persepsi spasial, visual spasial, rotasi mental, relasi mental dan orientasi spasial. Selanjutnya, menurut Gutierez (1997) kemampuan spasial adalah suatu jenis penalaran didasarkan pada penggunaan imaginasi. Moriotti (2000) mengungkapkan bahwa kemampuan spasial adalah keterampilan yang melibatkan penemuan, retensi dan transfomasi informasi visual dalam konteks ruang. Menurut Tambunan (2006), kemampuan spasial merupakan konsep abstrak yang meliputi persepsi spasial dengan melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi sampai pada kemampuan rumit yang melibatkan manipulasi serta rotasi mental. Dari beberapa pendapat tersebut, kemampuan spasial dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membayangkan dengan menggunakan imajinasi dan memanipulasi suatu objek yang abstrak. Kemampuan spasial menurut Tambunan (2006) diperoleh anak secara bertahap, dimulai dari pengenalan objek melalui persepsi dan aktivitas anak di lingkungannya. Pada awalnya, kemampuan spasial anak belum menunjukkan pengetahuan konseptual dari hubungan spasial. Dalam menentukan letak posisi objek dan orientasi dalam ruang, anak masih menggunakan patokan diri. Seiring bertambahnya usia, patokan tersebut berkembang menjadi patokan orang dan patokan objek. Mulai dari orientasi yang sifatnya egosentris yaitu menekankan pada dirinya sebagai patokan dalam melihat hubungan spasial, arah kiri-kanan dari dirinya, berkembang menjadi kerangka acuan objek pada salib sumbu pasangan titik yaitu salib sumbu utara-selatan dan timur barat. Lin dan Petersen (1985) mengklasifikasikan kemampuan spasial atas tiga tipe, yaitu mental rotation, spatial perception, dan spatial visualitation. Menurut McGee (Olkun, 2003), kemampuan spasial diidentifikasi menjadi dua komponen utama, yaitu spatial relations dan spatial visualization. Selanjutnya, Tambunan (2006) mengungkapkan bahwa dalam kemampuan spasial diperlukan adanya pemahaman kiri-kanan, pemahaman perspektif, bentuk-bentuk geometris, menghubungkan konsep spasial dengan angka, kemampuan dalam mentransformasi mental dari bayangan visual. Kemudian, Thurstone (Mohler, 2008) menjabarkan bahwa faktor utama dalam kemampuan spasial, yaitu: 1) Rotasi mental yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengenali objek jika pindah ke orientasi atau sudut yang berbeda; 2) Visualisasi spasial yang merupakan kemampuan untuk mengenali bagian-bagian obyek jika mereka bergerak atau dipindahkan dari posisi semula; 3) Persepsi spasial yang muncul sebagai
196
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 kemampuan untuk menggunakan orientasi tubuh seseorang yang berhubungan dengan pertanyaan mengenai orientasi spasial. Sehubungan dengan beberapa pendapat yang telah diuraikan, kemampuan spasial yang dibahas dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk membayangkan bentuk atau posisi suatu objek geometri yang dipandang dari sudut pandang tertentu, menyatakan kedudukan antar unsur-unsur suatu bangun ruang, mengkonstruksi dan merepresentasikan model-model geometri yang digambar pada bidang datar, serta menduga dan menentukan ukuran yang sebenarnya dari stimulus visual suatu objek. b. Program Wingeom Salah satu perangkat lunak komputer matematika dinamis (dynamic mathematics software) yang dapat digunakan untuk membantu pembelajaran geometri dan pemecahan masalah geometri adalah Window Geometry atau disebut Wingeom. Program ini dapat dijadikan alat bantu berpikir (Mindtools) siswa, sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Wingeom dapat diperoleh dan digunakan secara gratis (totally freeware). Keberadaan Wingeom akan sangat membantu untuk mengembangkan kerangka berpikir geometri dan merancang pembelajaran geometri yang interaktif, sehingga siswa dapat mengeksplorasi, mengamati, melakukan animasi tampilan materi geometri dimensi. Salah satu hal yang menarik adalah pengguna program ini dapat melakukan dengan cukup mudah. Misalnya benda-benda dimensi tiga dapat diputar, sehingga visualisainya akan tampak begitu jelas. Berikut ini adalah gambar bangun ruang yang dibuat dengan menggunakan Wingeom.
Gambar 1. Kubus ABCD. EFGH dengan Sisi Berwarna Pada program Wingeom tersedia fitur-fitur yang langsung dapat digunakan untuk menggambarkan bangun dimensi tiga yang diinginkan. Gambar tersebut dapat disorot dan dilihat dari berbagai sudut, serta dilakukan animasi dalam berbagai cara. Selain itu, dapat juga digambarkan visualisasi diagonal sisi, diagonal ruang, bidang diagonal, titik tembus diagonal ruang dan bidang diagonal, serta irisan maupun pengukuran. Gambar yang telah dibuat dapat disalin (copy) ke clipboard sehingga bisa disajikan dalam window lain seperti Microsoft Word. Animasi jaring-jaring kubus atau bangun ruang lainnya sebagai visualisasi mengkonstruksi, menjadi hal yang menarik dalam penggunaan program ini. c. Pembelajaran Geometri dengan Wingeom Salah satu inovasi yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran geometri adalah pendekatan konstruktivistik dengan pemanfaatan TIK. Ekawati (2010) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa secara keseluruhan pembelajaran matematika berbantuan TIK hasil ketercapaian siswa lebih baik dibandingkan dengan ketercapaian siswa yang memperoleh pembelajaran tanpa berbantuan TIK. Demikian juga dengan minat dan sikap siswa baik terhadap matematika, proses pembelajarannya, maupun hal lain yang berhubungan dengan matematika maupun proses pembelajarannya. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
197
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Menurut Munir (2008) penggunaan media pembelajaran dengan penerapan TIK akan mendukung keberhasilan pembelajaran karena memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut. 1. Dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam terhadap materi pembelajaran yang sedang dibahas, karena dapat menjelaskan konsep yang sulit atau rumit menjadi mudah atau lebih sederhana. 2. Dapat menjelaskan materi atau obyek yang abstrak menjadi lebih konkret. 3. Membantu pengajar menyajikan materi pembelajaran menjadi lebih mudah dan cepat dipahami, lama diingat dan mudah diungkapkan kembali. 4. Menarik dan membangkitkan perhatian, minat, motivasi, aktivitas, dan kreatifitas belajar peserta didik, serta dapat menghibur peserta didik. 5. Memancing partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan memberikan kesan yang mendalam dalam pikiran peserta didik. 6. Materi pembelajaran yang sudah dipelajari dapat diulang kembali (playback). 7. Dapat membentuk persamaan pendapat dan persepsi yang benar terhadap suatu obyek, karena disampaikan tidak hanya secara verbal, namun dalam bentuk nyata menggunakan media pembelajaran. 8. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, sehingga peserta didik dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan tempat belajarnya, sehingga memberikan pengalaman nyata dan langsung. 9. Membentuk sikap peserta didik (aspek afektif), meningkatkan keterampilan (psikomotor). 10. Peserta didik belajar sesuai dengan karakteristiknya, kebutuhan, minat, dan bakatnya, baik belajar secara individual, kelompok, atau klasikal. 11. Menghemat waktu, tenaga dan biaya. Rudhito (2008) menyatakan bahwa ditinjau dari ketersediaan fasilitas, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran, yaitu pendekatan kelas dan pendekatan laboratorium. Pendekatan kelas digunakan jika jumlah komputer tidak cukup bagi masing-masing siswa. Dalam hal ini, guru dapat membuat presentasi materi pembelajaran dan mendemonstrasikannya di kelas dengan dukungan viewer (proyektor untuk komputer). Presentasi materi dengan memperhatikan aspek visual disajikan dengan animasi yang menarik, serta pertanyaan-pertanyaan yang menantang sesuai materi yang dibahas akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Apabila komputer yang tersedia di kelas/sekolah mencukupi (idealnya satu komputer untuk satu siswa), maka dapat dilakukan pendekatan laboratorium. Dalam pendekatan ini guru menyusun lembar kegiatan siswa yang berisi serangkaian tugas atau kegiatan yang harus dikerjakan siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuan menuju suatu konsep tertentu, serta pertanyaan sebagai latihan yang harus dikerjakan untuk memantapkan konsep. Pembelajaran geometri dalam penelitian ini dilakukan dengan memodifikasi pendekatan kelas dan pendekatan laboratorium. Pendekatan laboratorium dilakukan untuk pengenalan pengoperasian program Wingeom, memahami konsep awal dari materi dimensi tiga, serta memberikan kesempatan bagi siswa melakukan eksplorasi dalam mengembangkan kemampuan spasialnya. Selanjutnya, pendekatan kelas dilakukan untuk melatih kemampuan spasial matematis siswa dengan cara menerapkan konsep rumus dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan materi dimensi tiga. Sebelum rancangan pembelajaran disusun, terlebih dahulu dilakukan ekplorasi program Wingeom yang akan digunakan dalam pembelajaran dimensi tiga. Selanjutnya, dirancang dan disusun kegiatan pembelajaran dimensi tiga dengan memanfaatkan program Wingeom sebagai media presentasi dan interaksi dengan siswa. Untuk melatih kemampuan spasial matematis siswa, dilakukan dengan memberikan sebuah masalah yang berkaitan dengan materi dimensi tiga, seperti menyusun pola jaring-jaring kubus. Siswa mencari langkah-langkah penyelesaiannya dengan mengamati dan mengeksplorasi gambar yang mereka buat dengan bantuan Wingeom. Hal ini memungkinkan siswa untuk mencoba berbagai cara dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran matematika berbantuan program komputer Wingeom untuk pembelajaran dimensi tiga yang menyangkut aspek keruangan yang selama ini dirasakan banyak mengalami 198
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 kesulitan akan dapat diatasi. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa pemakaian tools, media, atau alat peraga lainnya memang membutuhkan persiapan yang jauh lebih terorganisir agar memperoleh hasil yang maksimal, sehingga dalam hal ini dituntut komitmen guru matematika untuk lebih maksimal menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) maupun Modul Pembelajaran. METODE PENELITIAN a. Desain Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kuasi eksperimen. Sudjana dan Ibrahim (2009) menyatakan bahwa penelitian kuasi eksperimen merupakan suatu penelitian dalam upaya mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang tidak terkontrol secara ketat atau penuh, pengontrolan disesuaikan dengan kondisi yang ada (situasional). Selanjutnya, desain penelitian yang digunakan adalah Nonequivalent Control Group Design. Desain tersebut digambarkan sebagai berikut. Kelas Eksperimen : O X O Kelas Kontrol : O O Keterangan: O : Tes (Pretest atau Posttest) kemampuan spasial matematis X : Perlakuan (pembelajaran geometri dengan Wingeom) (Sugiyono, 2011)
b.
Populasi dan Sampel Penelitian ini dilaksanakan di MTs Al-Basyariah Kabupaten Bandung. MTs AlBasyariah merupakan sekolah sederajat SMP yang berakreditasi A. Populasinya adalah seluruh siswa kelas VIII yang terdiri dari 6 kelas. Penggunaan Wingeom dalam penelitian ini khusus untuk materi dimensi tiga, sehingga alasan pemilihan kelas VIII sebagai populasi karena materi dimensi tiga merupakan materi pokok pada kelas VIII.
c. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa tes dan non-tes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari tes kemampuan spasial matematis dalam bentuk jawaban singkat dan uraian, sedangkan instrumen dalam bentuk non-tes skala sikap siswa dan lembar observasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian Berdasarkan pengolahan data diperoleh data statistik hasil tes sebagai berikut.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
199
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 1 Kemampuan Spasial Matematis berdasarkan Kelas dan Kategori KAM Siswa Kontrol Eksperimen KAM n Statistik Pretes Postes N-gain n Pretes Postes N-gain 4,13 15,38 0,81 4,56 16,44 0,89 Tinggi 8 9 SD 2,03 1,6 0,11 1,74 1,33 0,09 2,13 11,00 0,56 2,17 12,75 0,67 Sedang 15 12 SD 0,74 2,24 0,14 0,58 1,14 0,07 1,57 6,86 0,32 1,67 8,78 0,44 Rendah 7 9 SD 0,53 1,07 0,05 0,50 1,56 0,08 2,53 11,20 0,57 2,73 12,67 0,67 Total 30 30 SD 1,53 3,56 0,21 1,60 3,28 0,19 Keterangan: Skor maksimal ideal yaitu 18
Dari tabel 1, rerata hasil postes siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada rerata postes kelas kontrol baik berdasarkan kategori KAM tinggi, sedang, maupun rendah. Selanjutnya, untuk melihat apakah terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan spasial matematis siswa berdasarkan kategori KAM siswa dilakukan uji ANOVA dua jalur. Tabel 2 Uji ANOVA Dua Jalur Data Peningkatan Kemampuan Spasial Matematis Faktor F Signifikansi Pembelajaran 14,619 0,000 Kemampuan Awal 92,516 0,000 Pembelajaran*Kemampuan Awal 0,197 0,822
1) 2)
H0 H1 H0 H1
: : : :
Kesimpulan H0 ditolak H0 ditolak H0 diterima
N-Gain kelas kontrol dan eksperimen sama ( ) ada perbedaan rerata N-Gain kelas kontrol dan eksperimen ( ) terjadi interaksi diantara faktor media pembelajaran dan kategori KAM tidak terjadi interaksi diantara faktor media pembelajaran dan kategori KAM
Dari Tabel 2, nilai signifikansi faktor pembelajaran lebih kecil dari taraf signifikansi , berarti H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pembelajaran memberikan perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis siswa. Artinya, siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan wingeom lebih baik secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan konvensional.
Gambar 2. Peningkatan Kemampuan Spasial Matematis Siswa berdasarkan Faktor Pembelajaran dan Kategori KAM
200
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nilai signifikansi faktor pembelajaran dan kategori KAM terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis lebih tinggi dari taraf signifikansi ( ), maka H0 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor tersebut terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis. Artinya, faktor pembelajaran dan kategori KAM tidak secara bersama memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis siswa. Selanjutnya untuk melihat apakah terdapat perbedaaan peningkatan kemampuan spasial matematis antar KAM pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, dilakukan uji perbedaan rerata. Tabel 3 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Spasial Matematis Berdasarkan Kategori Kemampuan Awal Matematis Kategori Kemampuan Awal Matematis Tinggi Sedang Rendah Kelas Kesimpula Kesimpula Stat Sig Kesimpulan Stat Sig Stat Sig n n 0,22 0,20 H0 0,20 0,10 H0 0,43 0,00 Kontrol H0 ditolak 0 0 diterima 0 8 diterima 1 0 Eksperime 0,18 0,20 H0 0,14 0,20 H0 0,22 0,20 H0 n 0 0 diterima 6 0 diterima 6 0 diterima H0 : data peningkatan kemampuan spasial matematis berdistribusi normal H1 : data peningkatan kemampuan spasial matematis tidak berdistribusi normal
Uji normalitas distribusi data peningkatan kemampuan spasial kelas kontrol dan eksperimen pada kategori KAM tinggi dan sedang, nilai signifikannya lebih besar dari taraf signifikansi ( ), maka H0 diterima. Artinya, untuk data KAM kategori tinggi dan sedang berdistribusi normal, akibatnya uji perbedaan dua rerata menggunakan Uji-t. Data untuk KAM kategori rendah tidak berdistribusi normal, akibatnya uji perbedaan dua rerata yang digunakan adalah Uji Mann-Whitney.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
201
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 4 Uji Homogenitas Variansi Data Peningkatan Kemampuan Spasial Matematis Kategori KAM Tinggi dan Sedang Kemampuan Awal F Signifikansi Kesimpulan Keterangan Matematis Tinggi 0,686 0,420 H0 diterima Homogen Sedang 6,706 0,016 H0 ditolak Tidak Homogen H0 : variansi data peningkatan kemampuan spasial matematis homogen H1 : variansi data peningkatan kemampuan spasial matematis tidak homogen
Dari Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa data peningkatan kemampuan spasial matematis untuk kategori tinggi variansi datanya homogen, sedangkan untuk kategori sedang tidak homogen. Tabel 5 Uji Perbedaan Dua Rerata Data Peningkatan Kemampuan Spasial Berdasarkan KAM Matematis Kemampuan Awal
Nama Uji Statistik
Nilai Statistik
Signifikansi
Kesimpulan
Tinggi Uji-t -1,590 0,067 Sedang Uji-t -2,546 0,008 Rendah Mann-Whitney -2,894 0,002 H0 : tidak terdapat perbedaan rerata kelas kontrol dan eksperimen ( ) H1 : rerata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol ( )
H0 diterima H0 ditolak H0 ditolak
Pada KAM kategori tinggi, nilai signifikansinya lebih besar dari , berarti H0 diterima. Artinya, untuk KAM kategori tinggi peningkatan kemampuan spasial matematis kelas eksperimen tidak berbeda signifikan dengan kelas kontrol. Kemudian untuk KAM kategori sedang dan rendah, nilai signifikansinya lebih kecil dari , berarti H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa untuk KAM kategori sedang dan rendah, peningkatan kemampuan spasial matematis kelas eksperimen berbeda signifikan dengan kelas kontrol. b. Pembahasan Peningkatan kemampuan spasial siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan siswa kelas kontrol. Hal ini karena program Wingeom bermanfaat dalam menunjang kelancaran proses pembelajaran. Gambar bangun ruang yang telah dibuat pada jendela Wingeom dapat diputar atau dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga membantu siswa untuk memahami kedudukan antar unsur-unsur dari bangun ruang tersebut dan menduga ukuran yang sebenarnya. Selain itu, program Wingeom dapat juga digunakan siswa untuk membuat animasi dari jaring-jaring bangun ruang, sehingga melatih siswa untuk membayangkan, mengkonstruksi dan merepresentasikan model geometri yang digambarkan pada bidang datar. Temuan ini, sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Jiang (2007) bahwa penggunaan dynamic geometry software dalam pembelajaran matematika sangat efisien untuk mengkonstruksi representasi visual siswa yang akurat ke situasi model dunia nyata, serta sangat efektif meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah. Berdasarkan KAM siswa kategori sedang dan rendah, peningkatan kemampuan spasial siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan kovensional. Kemudian, untuk siswa KAM kategori tinggi, peningkatan kemampuan spasial siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom sama saja dengan siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan konvensional. Pembelajaran geometri dengan Wingeom tidak sulit diterapkan pada siswa, sebab siswa sudah dapat mengoperasikan komputer dan bisa mengikuti modul pembelajaran yang diberikan. Melalui modul pembelajaran, kesulitan siswa dalam menggunakan program Wingeom yang menunya berbahasa Inggris dapat diatasi. Namun demikian, siswa masih harus diarahkan dan dibimbing oleh guru agar tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
202
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Siswa menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran geometri dengan Wingeom. Sikap positif siswa tersebut memberikan pengaruh yang baik terhadap peningkatan kemampuan spasial siswa. Pembelajaran geometri dengan Wingeom memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sebab siswa belum pernah belajar matematika dengan menggunakan program komputer. Menurut Ariani dan Hariyanto (2010), manfaat penggunaan komputer dalam pembelajaran memang dapat memberikan pengalaman baru dan menyenangkan bagi guru maupun siswa. Hal ini merupakan salah satu ciri-ciri belajar menurut Baharuddin dan Wahyuni (2007), yaitu pengalaman atau latihan dapat memberi penguatan, kemudian sesuatu yang memperkuat akan memberikan semangat untuk mengubah tingkah laku. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah disajikan dan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. a. Siswa pada kategori KAM tinggi yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom dibandingkan dengan siswa pada kategori KAM tinggi yang memperoleh pembelajaran geometri dengan konvensional, peningkatan kemampuan spasialnya tidak berbeda signifikan. Namun, untuk KAM kategori sedang dan rendah, peningkatan kemampuan spasial matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan Wingeom lebih baik daripada pembelajaran konvensional. b. Siswa memiliki sikap positif terhadap pembelajaran geometri dengan Wingeom. c. Tidak terdapat interaksi yang signifikan antara faktor media pembelajaran dan kategori KAM terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis. Artinya, faktor pembelajaran dan kategori KAM tidak secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan spasial matematis.
DAFTAR PUSTAKA Ariani dan Haryanto, D. (2010). Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya. Baharuddin dan Wahyuni, E.N. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. Black, A. A. (2005). Spatial Ability and Earth Science Conceptual Understanding. Springfield: Missoury State University tersedia: [email protected] [10 Januari 2012]. Dahar, M.A., Dahar, R.T., dan Dahar, R.A. (2011). Prior Achievement is the Indicator of the use of School ResourceInputs and the Best Predictor of Academic Achievement in Punjab (Pakistan). Euro Journals. (10), 179-187. Ekawati, E. (2010). “Pembelajaran Matematika Berbantuan ICT Dalam Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Kemampuan Afektif Siswa”. Journal EDUMAT. 1(1). Gutierez, A. (1997). Visualization in 3-Dimensional Geometry: In Search of a Framework Valencia (Spain): Universidad de Valencia.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
203
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Healy, L., dan Hoyles, C. (2001). “Software Tools for Geometrical Problem Solving: Potensials and Pitfalls”. International Journal of Computers for Mathematical Learning. 6(3), 235-256. Jiang, Z. (2007). “ The Dynamic Geometry Software as an Effective Learning and Teaching Tool”. The Electronic Journal of Mathematics and Technology. 1(3). Kariadinata, R. (2010). “Kemampuan Visualisasi Geometri Spasial Siswa Madrasah Aliyah Negeri (Man) Kelas X Melalui Software Pembelajaran Mandiri”. Jurnal EDUMAT. 1(2). Lin, M., dan Petersen, A.L. (1985). Emergence and Characterization of Sex Defferences in Spatial Ability. A-metal Analysis, Child Development, V. 56.p. 1479-1498. Mariotti, M.A. (2000). “Introduction to Proff: The Mediation of Dynamic Software Environment”. Educational Studies in Mathematics. 44: 25-53 Mohler, J.L. (2008). “A Review of Spatial Ability Research”. Enginering Design Graphics Journal. 72 (3), 19-30. Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: PT Rineka Putra. Nemeth, B. (2007). Measurement of the Development of Spatial Ability by Mental Cutting Test. Annales Mathematicae et Informaticae 34 pp. 123-128 tersedia: http://www.ektf.hu/tanszek/matematika/ami. [10 Januari 2013]. Olkun, S. (2003). “Making Connections: Improving Spatial Abilities with Engineering Drawing Activities”. International Journal of Mathematicsn Teaching and Learning. Rudhito, M.A. (2008). Geometri dengan WinGeom Panduan dan Ide Belajar Geometri dengan Komputer. [online]. Tersedia: http://downloads. ziddu.com/ downloadfile/2715752/Bab0Depan.pdf.html. [10 januari 2012] Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sudjana, N., dan Ibrahim. (2009). Penelitian dan Penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tambunan, S.M. (2006). “Hubungan antara Kemampuan Spasial dengan Kecerdasan Prestasi Belajar Matematika”. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 1, 27-32. Wai, J., Lubinski, D., dan Benbow, C.P. (2009). “Spatial Ability for STEM Domains: Aligning Over 50 Years of Cumulative Psychological Knowledge Solidifies Its Importance”. Journal of Educational Psychology. Vol. 101, No. 4, 817–835 Wardhani, S., dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Kemendiknas. PPPPTK.
204
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
ANALISIS KESULITAN BELAJAR KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME LIMAS Sulistiawati Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam matematika. Siswa mengalami kesulitan pembelajaran materi geometri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesulitankesulitan belajar (learning osbtacle) siswa berkaitan dengan kemampuan penalaran matematis siswa SMP pada materi luas permukaan dan volume limas. Sampel yang diambil adalah siswa kelas IX E SMP Negeri 29 Bandung sebanyak 35 orang, siswa kelas XI IPA2 SMA Negeri 1 Lembang sebanyak 41 orang dan mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung semester 6 sebanyak 49 orang untuk mendapatkan data kesulitan belajar (learning obstacle) siswa. Metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menganalisis kesulitan-kesulitan siswa dari instrumen yang diberikan. Instrumen dalam penelitian ini berbentuk tes tertulis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa soalsoal penalaran matematis belum dikuasai oleh siswa (siswa). Hal ini terlihat bahwa jawaban siswa yang mampu menjawab dengan benar untuk siswa SMP Negeri 29 Bandung sebesar 14,29%, siswa SMA Negeri 1 Lembang sebesar 36,75%, dan mahasiswa STKIP Siliwangi sebesar 20,68%. Rata-rata keseluruhan siswa yang mampu menjawab soal-soal penalaran matematis berkaitan dengan luas dan volume limas dengan benar adalah sebesar 23,90%. Kata Kunci: penalaran matematis, kesulitan belajar (learning obstacle), luas permukaan limas, volume limas
PENDAHULUAN Menurut Herman (2007), rendahnya kemampuan siswa SMP dalam memahami matematika sudah dirasakan sebagai masalah yang cukup pelik dalam pengajaran matematika di sekolah. Permasalahan ini muncul sudah cukup lama dan agak terabaikan karena kebanyakan guru matematika dalam kegiatan pembelajaran berkonsentrasi mengejar skor Ujian Akhir Nasional (UAN) setinggi mungkin. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran biasanya difokuskan untuk melatih siswa terampil menjawab soal matematika, sehingga penguasaan dan pemahaman matematika siswa masih terabaikan. Menurut hasil survey IMSTEP-JICA (dalam Herman, 2007), rendahnya pemahaman siswa dalam matematika salah satunya disebabkan oleh pembelajaran matematika yang terlalu SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
205
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik, pembelajaran berpusat pada guru, konsep matematika disampaikan secara informatif, dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya, kemampuan penalaran dan kompetensi strategis siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya. Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa, salah satunya disebabkan oleh pembelajaran matematika yang kurang melibatkan siswa. Apabila dilihat dari kenyataan di lapangan, metode mengajar yang digunakan oleh guru secara umum cenderung guru yang lebih aktif dan siswa pasif menerima informasi yang disampaikan oleh guru. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Sumarmo (dalam Rofingatun, 2006:5) bahwa proses pembelajaran pada umumnya kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa jarang aktif dalam pembelajaran. Pendapat ini juga didukung oleh Sutiarso (2000) yang menyatakan bahwa kenyataan di lapangan justru menunjukkan siswa pasif dalam proses pembelajaran dan siswa pada umumnya hanya menerima transfer pengetahuan dari guru. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan belajar matematika. Brueckner, dkk. (1975) mengelompokkan sumber kesulitan belajar siswa ke dalam lima faktor yakni: faktor fisiologis, faktos sosial, faktor emosional, faktor intelektual, dan faktor pedagogis. Di sisi lain, menurut Natawijaya (1980) siswa mengalami kesulitan belajar dalam mencapai konsep belajar sebagaimana yang diharapkan, 1. siswa jarang bertanya karena kebanyakan siswa tidak tahu dan tidak memahami yang ditanyakan, 2. siswa jarang memberikan tanggapan, karena belum mampu menjelaskan ide-ide matematika, 3. beberapa siswa mampu menyelesaikan soal matematika, tetapi kurang memahami apa yang terkandung dalam soal tersebut (tidak meaningful), 4. banyak siswa yang tidak mampu membuat suatu kesimpulan dari materi yang telah dipelajari. Kesulitan-kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas harus didiagnosa, terutama kesulitan belajar yang berkaitan dengan kesulitan intelektual. Diagnosa kesulitan belajar ini sebagai usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan belajar. Selain itu, juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif (penyembuhan ) maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang seobyek mungkin, dengan memperhatikan apa yang siswa ketahui dan apa yang perlu dipelajari oleh siswa. Para peneliti mencatat bahwa siswa mengalami kesulitan dan menunjukkan kinerja yang buruk dalam pembelajaran geometri. Usiskin (Halat, 2008) menyatakan bahwa banyak siswa yang gagal dalam memahami konsep-konsep kunci dalam geometri, dan meninggalkan pelajaran geometri tanpa belajar terminologi dasar. Burger dan Shaughnessy (1986) menyatakan bahwa siswa sering salah mengidentifikasi gambar dalam pembelajaran geometri, dan kesulitan pada masalah pembuktian suatu teorema pada bangun geometri. Demikian pula halnya dengan hasil survey Programme for International Students Assesment (PISA) 2000/2001 (Suwaji, 2008) yang menunjukkan bahwa siswa lemah dalam geometri, khususnya dalam pemahaman ruang dan bentuk. Penelitian bermaksud untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang mungkin dialami oleh siswa dalam pembelajaran geometri khususnya untuk materi luas permukaan dan volume limas yang berkaitan dengan kemampuan penalaran matematis siswa. Oleh karena itu pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesulitan-kesulitan belajar (learning obstacle) siswa terkait penalaran matematis pada materi luas dan volume limas?
METODE PENELITIAN Metode penelitian ini merupakan metode kualitatif dengan analisa data secara deskriptif. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan data tentang kesulitan belajar (learning obstacle) pada siswa berkaitan dengan materi luas dan volume limas. Subyek dalam penelitian pendahuluan ini adalah siswa SMP kelas IX, siswa SMA kelas XI IPA, mahasiswa S1 Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi, Bandung. Data tersebut diperoleh melalui soal tes penalaran matematis yang diberikan kepada siswa dan mahasiswa. Siswa dan mahasiswa mengerjakan soal tes penalaran matematis pada materi luas dan volume limas. 206
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Sampel yang diambil adalah siswa kelas IX E SMP Negeri 29 Bandung sebanyak 35 orang, siswa Kelas XI IPA2 SMA Negeri 1 Lembang sebanyak 41 orang dan mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung semester 6 sebanyak 49 orang. Jawaban-jawaban dari siswa selanjutnya dianalisis untuk melihat kesulitan belajar (learning obstacle). Dalam penelitian ini, indikator penalaran matematis yang akan diukur dan aspek yang diteliti dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Indikator dan aspek penalaran matematis Indikator Penalaran Matematis Aspek Penalaran Matematis 1. Memperkirakan jawaban dan proses 1. Siswa dapat menduga volume air di dalam kubus solusi yang di dalamnya dimasukkan piramida dengan ukuran tertentu. 2. Menganalisis pernyataan2. Siswa dapat memeriksa jawaban atau pendapat pernyataan dan memberikan atas pernyataan yang berkaitan dengan jaringpenjelasan/alasan yang dapat jaring limas. mendukung atau bertolak belakang 3. Siswa dapat memeriksa pernyataan berkaitan dengan volume limas yang merupakan bagian dari limas yang lain. 3. Mempertimbangkan validitas dari 4. Siswa dapat merancang pola suatu masalah tertentu argumen yang menggunakan berdasarkan kondisi yang berkaitan dengan volume berpikir deduktif atau induktif limas, kemudian dapat menunjukkan bukti kebenaran dari jawaban yang diberikan. 5. Siswa dapat menunjukkan bukti kebenaran/ketidakbenaran tentang selisih volume limas sebelum dan sesudah mengalami perpanjangan, jika panjang rusuk alas mengalami perubahan. 4. Menggunakan data yang 6. Siswa dapat menyajikan alasan dari pernyataan mendukung untuk menjelaskan tentang kesamaan volume dari 3 buah limas yang mengapa cara yang digunakan serta diberikan. jawaban adalah benar; dan memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifatsifat, dan hubungan.
Penskoran terhadap kemampuan penalaran matematis digunakan rubrik penilaian kemampuan penalaran matematis yang dikembangkan oleh Thomson (2006): Tabel 2. Kriteria Penilaian Penalaran Matematis Skor 4 3 2 1 0
Kriteria Jawaban secara substansi benar dan lengkap Jawaban memuat satu kesalahan atau kelalaian yang signifikan Sebagian jawaban benar dengan satu atau lebih kesalahan atau kelalaian yang signifikan Sebagian besar jawaban tidak lengkap tetapi paling tidak memuat satu argumen yang benar Jawaban tidak benar berdasarkan proses atau argumen, atau tidak ada respon sama sekali
Dalam memeriksa jawaban siswa peneliti menggunakan panduan jawaban yang dikembangkan oleh peneliti dengan berkonsultasi kepada pakar dan disajikan dalam langkah-langkah seperti pada tabel berikut ini.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
207
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 3. Langkah-langkah jawaban tes penalaran matematis luas dan volume limas Nomor Soal 1
Aspek Penalaran Matematis Siswa dapat menduga volume air didalam kubus yang didalamnya dimasukkan piramida dengan ukuran tertentu
Langkah Jawaban
1
Kriteria Menentukan volume piramida dengan alas 30 cm dan tinggi 40 cm, dan menentukan volume kubus dengan rusuk 40 cm
Deskripsi Langkah Jawaban Alternatif 1
Alternatif 2
Volume kubus = rusuk x rusuk x rusuk = 40 cm x 40 cm x 40 cm = 64.000 cm3
Volume piramida
1 x luas alas x tinggi 3 1 = x (30 cm x 30 cm ) x 40 3
=
cm = 300 cm2 x 40 cm = 12.000 cm3 Volume piramida
1 = x luas alas x tinggi 3 1 = x (30 cm x 30 cm ) x 40 cm 3
2
208
Mencari kaitan bahwa air yang ada didalam kubus setelah piramida diambil memiliki volume yang merupakan selisih antara kubus dengan piramida
Volume kubus = rusuk x rusuk x rusuk = 40 cm x 40 cm x 40 cm = 64.000 cm3
= 300 cm2 x 40 cm = 12.000 cm3 Jadi, air yang ada di dalam kubus setelah piramida di dalamnya dikeluarkan merupakan selisih antara volume kubus dengan volume piramida, sehingga: Volume air = volume kubus – volume piramida = 64.000 cm3 - 12.000 cm3 = 52.000 cm3
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nomor Soal 2
Aspek Penalaran Matematis Siswa dapat memeriksa jawaban atau pendapat atas pernyataan yang berkaitan dengan jaring-jaring limas.
Langkah Jawaban
1
Kriteria Menjustifikasi benar atau salah argumen pada soal
Deskripsi Langkah Jawaban Salah, limas tersebut dapat digambarkan seperti berikut: D
A
2
3
Siswa dapat memeriksa pernyataan berkaitan dengan volume limas yang merupakan bagian dari limas yang lain
1
Mendeskripsikan posisi sisisisi pada limas
Menentukan volume limas T.KLMN Menunjukkan bahwa tinggi limas S.KLMN adalah setengah dari limas T.KLMN dan menentukan volume limas S.KLMN
C
B
Alternatif 1
Alternatif 2
Karena sisi C merupakan sisi samping dan berhadapan dengan sisi A, sedangkan sisi B merupakan alas limas.
Sisi yang belakang adalah D
Alternatif 1 Tinggi limas S.KLMN
Alternatif 2 Volume limas T.KLMN
=
1 x 12 cm 2
= 6 cm Volume limas S.KLMN
1 = x 10 cm x 10 cm x 6 cm 3 = 200 cm 3
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
209
1 x La x t 3 1 = x 10 cm x 10 cm x 12 cm 3
=
= 400 cm 3
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nomor Soal
Aspek Penalaran Matematis
Langkah Jawaban
Kriteria
Deskripsi Langkah Jawaban Volume limas T.KLMN
Tinggi limas S.KLMN
1 x La x t 3 1 = x 10 cm x 10 cm x 12 cm 3
=
= 400 cm 3
=
1 x 12 cm 2
= 6 cm Volume limas S.KLMN =
1 x 10 cm x 10 cm x 6 cm 3
= 200 cm 3 2
4
210
Siswa dapat merancang pola suatu masalah tertentu berdasarkan kondisi yang berkaitan dengan volume limas, kemudian dapat menunjukkan bukti kebenaran dari jawaban yang diberikan
1
Menghitung volume S.KNT yang merupakan setengah dari volume limas S.KNTM Menjustifikasi benar atau salah argumen pada soal Menentukan volume akuarium dengan alas 3m
Volume limas S.KNT =
1 x (400 cm 3 - 200 cm 3) 2
= 100 cm 3 Benar Volume akuarium
1 x La x t 3 1 = x3mx3mx2m 3 =
= 6 m3 2
Mengidentifikasi banyak air yang tersisa di dalam akuarium selama sehari semalam dan mencari pola yang berkaitan dengan banyaknya hari dan menentukan banyaknya hari untuk pengisian akuarium sampai penuh
Jika setiap pagi Akbar dapat mengisi akuarium yang berbentuk limas sebanyak 1 m3 namun berkurang sebanyak 0,25 m3 maka air yang tersisa dalam akuarium setiap harinya adalah 0,75 m3. Dengan demikian kita dapat menentukan banyak hari agar akuarium tersebut penuh adalah: hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 ... hari ke-n 0,75 m3 1,5 m3 2,25 m3 ... 6 m3 Dari tabel di atas :
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nomor Soal
Aspek Penalaran Matematis
Langkah Jawaban
3
Kriteria
Membuat hubungan dalam persamaan antara jumlah hari dan banyak air dengan volume akuarium dan volume air bocor
Deskripsi Langkah Jawaban Pada hari ke-1 air yang masuk akuarium = 0,75 m3 diperoleh dari 1 x 0,75 m3 Pada hari ke-2 air yang masuk akuarium = 1,5 m3 diperoleh dari 2 x 0,75 m3 Pada hari ke-3 air yang masuk akuarium = 2,25 m3 diperoleh dari 3 x 0,75 m3 Sehingga untuk hari dimana akuarium penuh = 6 m3 diperoleh dari ... x 0,75 m3 Dengan demikian, dapat diduga bahwa agar akuarium penuh banyak hari yang dibutuhkan adalah 3 = 6m = 8 hari 0,75m 3 Jawaban di atas adalah benar, karena memenuhi persamaan di bawah ini: Banyak air yang dimasukkan x jumlah hari = Volume akuarium + (Banyak air bocor x jumlah hari)
yaitu: 1 m3 x 8 = 6 m3 + ( 0,25 m3 x 8) 8 m3 = 6 m3 + 2 m3 8 m3 = 8 m3 5
Siswa dapat menunjukkan bukti kebenaran/ketidakbenaran tentang selisih volume limas sebelum dan sesudah mengalami perpanjangan, jika panjang rusuk alas mengalami perubahan
1
2
Menentukan volume awal limas dengan panjang p, lebar l dan tinggi t Menentukan luas alas limas setelah alasnya diperpanjang p+2 dan l+2 dan menentukan volume limas setelah ukuran alas
Volume limas sebelum alas diperpanjang =
1 xpxlxt 3
Luas alas limas setelah diperpanjang = ( p 2)(l
2) = pl 2 p 2l 4
Volume limas setelah diperpanjang
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
211
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nomor Soal
Aspek Penalaran Matematis
Langkah Jawaban
Kriteria
Deskripsi Langkah Jawaban
diperpanjang
1 ( pl 2 p 2l 4) t 3 1 = ( plt 2 pt 2lt 4t ) 3 1 2 2 4 = plt pt lt t 3 3 3 3 Membuktikan selisih volume 1 2 2 4 1 Selisih volume = ( plt pt lt t ) plt limas sebelum dan setelah 3 3 3 3 3 ukuran diperpanjang adalah 2 2 4 2 pt lt t = ( pt lt 2t ) 3 3 3 3 2 = ( pt lt 2t ) 3 =
3
6
212
Siswa dapat menyajikan alasan dari pernyataan tentang kesamaan volume dari 3 buah limas yang diberikan.
1
Menunjukkan bahwa volume limas L.ABC = limas A.KLM
2
Menunjukkan bahwa volume limas L.AMK = volume limas L.ACM
TERBUKTI Perhatikan limas L.ABC dan limas A.KLM Limas L.ABC alasnya ABC dan tingginya LB Limas A.KLM alasnya KLM dan tingginya AK Karena alas ABC = alas KLM dan tinggi LB = AK maka: Volume limas L.ABC = Volume limas A.KLM Perhatikan limas L.ACMK Limas L.ACMK alasnya berbentuk persegi panjang dengan titik puncak L. Jika AM adalah diagonal persegi panjang ACMK maka ACM = AMK Karena limas L.AMK dan limas L.ACM mempunyai titik puncak yang sama di L maka: Volume limas L.AMK = Volume limas L.ACM
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Nomor Soal
Aspek Penalaran Matematis
Langkah Jawaban
3
Kriteria
Membuktikan bahwa volume limas L.ABC = Volume limas L.AMK = Volume limas L.ACM.
Deskripsi Langkah Jawaban
Karena limas L.AMK = limas A.KLM Dengan demikian, Volume limas L.ABC = Volume limas L.AMK = Volume limas L.ACM.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
213
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini merupakan kesulitan-kesulitan yang dijumpai pada saat siswa a. Kesulitan Siswa dalam Penalaran Matematis pada Luas dan Volume Limas Analisis tentang kesulitan–kesulitan ini disajikan sesuai dengan indikator penalaran matematis, diantaranya memperkirakan jawaban dan proses solusi, menganalisis pernyataanpernyataan dan memberikan penjelasan/alasan yang dapat mendukung atau bertolak belakang, mempertimbangkan validitas argumen yang menggunakan berpikiri deduktif atau induktif, dan menggunakan data yang mendukung untuk menjelaskan mengapa cara yang digunakan serta jawaban adalah benar dan memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan. Berikut ini kesulitan–kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal penalaran matematis pada materi luas dan volume limas. 1) Kemampuan dalam memperkirakan jawaban dan solusi Soal Nomor 1 Sebuah benda padat berbentuk piramida mempunyai tinggi 40 cm dan alasnya berbentuk persegi yang rusuknya 30 cm. Piramida tersebut dimasukkan ke dalam kubus berukuran 40 cm, kemudian kubus diisi air sampai penuh. Saat piramida dikeluarkan dari kubus, apa yang terjadi dengan volume air didalamnya? Jelaskan! Soal yang diberikan berkaitan dengan kemampuan memperkirakan jawaban dan solusi volume limas. Terdapat dua langkah penyelesaian yang dianalisis, yaitu: (1) menentukan volume piramida dengan alas 30 cm dan tinggi 40 cm dan menentukan volume kubus, dan (2) mencari kaitan bahwa yang ada didalam kubus setelah piramida diambil memiliki volume yang merupakan selisih antara kubus dengan piramida. Berikut ini adalah contoh jawaban siswa yang mengalami kesulitan dalam menjawab.
Gambar 1. Jawaban siswa yang salah dalam memperkirakan jawaban dan solusi Gambar 1 sebelah menunjukkan siswa memberikan jawaban yang kurang matematis, dan tidak dapat melihat bahwa air yang ada di dalam kubus memiliki volume yang merupakan selisih antara kubus dengan piramida. Gambar 1 sebelah kanan menunjukkan jawaban siswa dapat memberikan alasan secara deskriptif tentang perubahan volume air, namun tidak memberikan alasan secara matematis. Berikut ini adalah contoh siswa yang dapat menjawab dengan benar.
Gambar 2. Jawaban siswa benar dan tidak sepenuhnya benar dalam memperkirakan jawaban dan solusi Gambar 2 sebelah kiri menunjukkan bahwa siswa dapat memahami soal dengan baik dan dapat menjawab dengan benar, namun kurang dapat menuliskan dengan baik. Hal ini berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang kurang baik. Gambar 2 sebelah kanan terlihat bahwa siswa dapat memahami maksud soal, mengerjakan
jawaban namun melakukan kesalahan dalam perhitungan aljabar untuk volume kubus dan volume piramida. Tabel di bawah ini adalah hasil tes siswa. 214
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 4. Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 1 Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 1
%
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami siswa. Langkah 1 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 82,86%, SMA sebanyak 53,66% dan STKIP sebanyak 83,67% tidak dapat menjawab langkah ini dengan benar . Hal ini menunjukkan bahwa baik siswa SMP, SMA maupun STKIP mengalami kesulitan dalam menentukan volume piramida dengan alas 30 cm dan tinggi 40 cm dan menentukan volume kubus dengan rusuk 40 cm. Untuk langkah 2 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 97,14%, SMA sebanyak 53,66%, dan STKIP sebanyak 87,76% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa baik siswa SMP, SMA maupun STKIP mengalami kesulitan dalam mencari kaitan bahwa air yang ada di dalam kubus setelah piramida diambil memiliki volume yang merupakan selisih antara volume kubus dengan volume piramida. Dengan demikian dapat disimpulkan untuk kasus soal nomor 1 siswa mengalami kesulitan dalam menduga volume air didalam kubus yang didalamnya dimasukkan piramida dengan ukuran tertentu. Hal ini juga berarti siswa mengalami kesulitan dalam memperkirakan jawaban dan solusi. 2) Kemampuan dalam Menganalisis Pernyataan-Pernyataan dan Memberikan Penjelasan/Alasan yang dapat Mendukung atau Bertolak Belakang Indikator penalaran matematis initerdiri dari dua soal, yaitu soal nomor 2 dan soal nomor 3. Uraian untuk masing-masing soal disajikan sebagai berikut: Soal Nomor 2 Perhatikan gambar di bawah ini! Perhatikan gambar jaring-jaring limas segiempat di samping, jika daerah yang diarsir adalah sisi depan limas segiempat maka sisi belakangnya adalah C. Benar atau salah pernyataan ini? Berikan alasan atas jawaban Anda! Gambar 3. Jaring-jaring limas Soal yang diberikan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menganalisis pernyataan-pernyataan dan memberikan alasan yang dapat mendukung atau bertolak belakang. Terdapat dua langkah penyelesaian yang dianalisis, yaitu: (1) menjustifikasi benar atau salah argumen pada soal dan (2) mendeskripsikan posisi sisi-sisi pada limas. Berikut ini adalah contoh jawaban siswa yang disajikan dalam dua alternatif jawaban.
Gambar 4. Siswa dapat menjawab soal dengan benar alternatif 1 PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
--------------------
215
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 5. Siswa dapat menjawab soal dengan benar alternatif 2
Dari beberapa contoh jawaban sampel di atas, dapat dikatakan bahwa siswa sudah menjawab dengan benar karena mampu memberikan deskripsi alasan untuk memperkuat jawabannya. Selain itu juga dijumpai siswa yang tidak dapat memahami maksud dari soal. Untuk kasus ini dilihat dari siswa yang tidak menuliskan jawaban pada lembar jawaban, dengan artian lembar jawaban mereka kosong. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 5. Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 2 Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 2
%
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami siswa. Langkah 1 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 2,86%, SMA sebanyak 4,88% dan STKIP sebanyak 18,37% tidak dapat menjawab langkah ini dengan benar. Dari sini dapat kita lihat bahwa hanya sebagian kecil siswa yang tidak dapat menyelesaikan langkah ini, meskipun demikian masih terdapat siswa yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan langkah 1 ini. Untuk langkah 2 diperoleh hasil siswa sebanyak SMP 22,86%, SMA sebanyak 7,32%, dan STKIP sebanyak 28,57% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Sama halnya seperti langkah 1, hanya sebagian kecil siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan langkah 2 ini. Hal ini menujukkan bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan langkah 2. Sehingga kita dapat menyimpulkan juga bahwa sebagian kecil siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal nomor 2. Soal Nomor 3 T
Perhatikan gambar disamping!, diketahui sebuah limas persegi T.KLMN, dengan panjang rusuk alas 10 cm dan tinggi limas TO = 12 cm. Jika S adalah titik tengah dari rusuk TL (lihat gambar), volume limas S.KNT adalah 100 cm3. Benar atau salah pernyataan ini? Uraikan jawaban Anda!
S N
M O
K
L
Gambar 6. Limas segiempat 216
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Soal yang diberikan masih berkaitan kemampuan siswa dalam menganalisis pernyataan-pernyataan dan memberikan alasan yang dapat mendukung atau bertolak belakang. Terdapat dua langkah penyelesaian yang dianalisis, yaitu: (1) menentukan volume limas T.KLMN, menunjukkan bahwa tinggi limas S.KLMN adalah setengah dari limas T.KLMN, dan menentukan volume limas S.KLMN dan (2) menghitung volume S.KNT yang merupakan setengah dari volume limas S.KNTM dan menjustifikasi benar atau salah argumen pada soal. Berikut ini adalah contoh jawaban siswa.
Gambar 7. Siswa tidak memahami maksud soal sehingga melakukan kesalahan terhadap ide yang harus dimunculkan Dari jawaban di atas, siswa memahami bahwa volume limas S.KNT = 1/3 x luas alas x tinggi, namun melakukan kesalahan dalam mengidentifikasi tinggi. Sehingga menyebabkan perhitungan aljabar menjadi salah.
Gambar 8. Siswa dapat memahami soal namun melakukan kesalahan untuk beberapa konsep tertentu Jawaban di atas menunjukkan bahwa siswa melakukan kesalahan dalam penggunaan rusuk alas limas S.KNT dan tingginya. Siswa menentukan rusuk alas limas S.KNT merupakan ½ dari sisi alas persegi dan tinggi limas S.KNT = tinggi limas T.KLMN. Hal ini menyebabkan alasan penghitungan volume menjadi salah, meskipun justifikasi argumen pada soal benar. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di bawah ini . Tabel 6. Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 3 Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 3
%
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami siswa. Langkah 1 didapatkan bahwa siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 97,56% dan STKIP sebanyak 93,88% tidak dapat menjawab langkah ini dengan benar. Jelas terlihat bahwa hampir semua siswa tidak dapat menyelesaikan langkah 1 dengan benar,
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
--------------------
217
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 sehingga dapat disimpulkan respon mengalami kesulitan dalam menentukan volume limas T.KLMN dan volume limas S.KLMN. Untuk langkah 2 diperoleh hasil bahwa siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 97,56% dan STKIP sebanyak 93,88% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Sama seperti pada langkah 1, hampir semua siswa tidak dapat menyelesaikan langkah penyelesaian yang kedua ini dengan benar, sehinga dapat dikatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menghitung volume S.KNT yang merupakan setengahnya bangun ruang S.KNTM. Oleh karena itu siswa tidak dapat menjustifikasi benar atau salahnya argumen pada soal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik siswa SMP, SMA maupun STKIP mengalami kesulitan dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dalam memeriksa pernyataan berkaitan dengan volume limas yan merupakan bagian dari limas yang lain. Dari deskripsi soal nomor 2 siswa masih memiliki kesulitan dalam memeriksa jawaban atau pendapat atas pernyataan yang berkaitan dengan jaring-jaring limas. Selain itu, untuk nomor 3 siswa mengalami kesulitan dalam memeriksa pernyataan berkaitan dengan volume limas yang merupakan bagian limas yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menganalisis pernyataan-pernyataan dan memberikan penjelasan/alasan yang dapat mendukung atau bertolak belakang. 3) Kemampuan dalam Mempertimbangkan Validitas Menggunakan Berpikir Deduktif atau Induktif
dari
Argumen
yang
Soal Nomor 4 Akbar membeli sebuah akuarium baru yang berbentuk limas dengan alas persegi berukuran 3 m sedangkan tingginya 2 dari ukuran alas, seperti pada gambar di bawah 3 ini:
Gambar 8. Limas segiempat Setiap pagi Akbar mengisi akuarium tersebut. Akbar mengisi akuarium tersebut 1m3 dan air yang bocor sebanyak 250 dm3 dalam sehari semalam. Pada pagi yang keberapa akuarium tersebut akan penuh? Bagaimanakah hubungan antara volume air yang dimasukkan ke dalam akuarium, volume akuarium, dan volume air yang bocor dengan jumlah hari?
Soal yang diberikan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mempertimbangkan validitas dari argumen yang menggunakan berpikir deduktif atau induktif. Terdapat tiga langkah penyelesaian yang dianalisis, yaitu: (1) menentukan volume akuarium dengan alas 3m, (2) mengidentifikasi banyak air yang tersisa di dalam akuarium selama sehari semalam dan mencari pola yang berkaitan dengan banyaknya hari dan menentukan banyaknya hari untuk pengisian akuarium sampai penuh, dan (3) membuat hubungan dalam persamaan antara jumlah hari dan banyak air dengan volume akuarium dan volume air bocor. Berikut ini adalah contoh jawaban-jawaban siswa
218
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 9. Siswa tidak dapat memahami soal sepenuhnya Dari jawaban di atas, siswa salah memahami volume air yang tersisa di dalam akuarium, seharusnya volume air yang tersisa = 1000dm3 – 250dm3 = 750dm3. Dengan demikian, pola yang berkaitan untuk menentukan banyaknya menjadi salah. Untuk selanjutnya, siswa juga tidak dapat menemukan konsep antara banyaknya hari, volume akuarium dengan volume air yang bocor.
Gambar 10. Siswa tidak dapat membuat konsep hubungan dalam persamaan antara banyak hari, volume akuarium, dan volume air yang bocor Jawaban di atas menunjukkan siswa dapat menentukan volume akuarium, mengidentifikasi banyak air yang tersisa di dalam akuarium, memahami pola yang berkaitan dengan banyaknya hari, dan dapat menentukan banyaknya hari pengisian akuarium sampai penuh. Namun, siswa tidak dapat menemukan hubungan dalam persamaan antara jumlah hari dan banyak air dengan volume akuarium dan volume air yang bocor. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 7. Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 4 Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 4
%
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami siswa. Langkah 1 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 91,43%, SMA sebanyak 36,59%, dan STKIP sebanyak 75,51% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Terlihat bahwa sebagian besar siswa SMP dan STKIP tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar namun untuk siswa SMA hanya sebagain kecil. Akan tetapi dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar sehingga PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
--------------------
219
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 dapat dikatakan siswa mengalami kesulitan dalam menentukan volume akuarium dengan ukuran alas 3 meter. Untuk langkah 2 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 97,14%, SMA sebanyak 39,02%, dan STKIP sebanyak 75,51% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Terlihat bahwa sebagian besar siswa SMP dan STKIP tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar namun untuk siswa SMA hanya sebagain kecil. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar sehingga dapat dikatakan siswa mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi banyak air yang tersisa di dalam akuarium selama sehari semalam, mencari pola yang berkaitan dengan banyaknya hari, menentukan banyaknya hari untuk pengisian akuarium sampai penuh. Untuk langkah 3 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 100%, dan STKIP sebanyak 97,96% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam membuat hubungan dalam persamaan antara jumlah hari dan banyak air dengan volume akuarium dan volume air yang bocor. Berdasarkan kesulitan yang dialami dari langkah 1 sampai langkah 3, kita dapat menyimpulkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam merancang pola suatu masalah tertentu berdasarkan kondisi yang berkaitan dengan volume limas, kemudian dapat menunjukkan bukti kebenaran dari jawaban yang diberikan. Soal Nomor 5 Sebuah limas tegak T.ABCD alasnya berbentuk persegi panjang dengan panjang p cm dan lebar l cm, sedangkan tinggi limas t cm. Jika alas limas tersebut diperpanjang 2 cm, tunjukkan bahwa selisih volume limas antara sebelum dan sesudah rusuk alasnya diperpanjang adalah
2 (pt + lt + 2t)! 3
Soal yang diberikan masih berkaitan dengan kemampuan mempertimbangkan validitas dari argumen yang menggunakan berpikir deduktif atau induktif. Terdapat tiga langkah penyelesaian yang dianalisis, yaitu: (1) menentukan volume awal limas dengan panjang p, lebar l dan tinggi t, (2) menentukan luas alas limas setelah alasnya diperpanjang p+2 dan l+2 dan menentukan volume limas setelah ukuran alas diperpanjang, dan (3) membuktikan selisih volume limas sebelum dan setelah ukuran diperpanjang adalah
2 ( pt lt 2t ) . Berikut ini contoh jawaban-jawaban siswa. 3
Gambar 11. Siswa tidak dapat memahami maksud soal Dari jawaban di atas tampak bahwa siswa tidak mengerti apa yang harus dikerjakan sehingga tidak ada ide yang muncul.
Gambar 12. Siswa dapat memahami dan menjawab soal, namun mengalami kekeliruan dalam perhitungan aljabar
220
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Dari gambar 12 sebelah kiri terlihat bahwa siswa mampu memahami maksud soal dengan baik dan dapat menentukan volume limas awal (sebelum alas mengalami perpanjangan) dan volume limas setelah mengalami perpanjangan. Akan tetapi pada saat pemfaktoran persamaan volume setelah alas diperpanjang terdapat kekeliruan yaitu menjadi . Meskipun jawaban akhir siswa benar tetapi dapat dilihat siswa memiliki kelemahan dalam penghitungan aljabar. Pada gambar 12 sebelah kanan siswa mampu menentukan volume limas awal dan volume limas setelah alasnya di perpanjang, setelah itu siswa tidak melakukan penghitungan lebih lanjut. Hal ini dapat disebabkan siswa bingung tentang bagaimana harus mencari seleisih dari kedua persamaan tersebut. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 8. Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 5 Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 5
%
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami siswa. Langkah 1 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 91,43%, SMA sebanyak 31,71%, dan STKIP sebanyak 63,27% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMP dan STKIP mengalami kesulitan dalam menentukan volume awal limas dengan panjang p, lebar l dan tinggi t, sedangkan siswa SMA hanya sebagian kecil. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar sehingga dapat dikatakan siswa mengalami kesulitan dalam dalam menentukan volume awal limas dengan panjang p, lebar l dan tinggi t. Untuk langkah 2 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 48,78%, dan STKIP sebanyak 81,63% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMP dan STKIP mengalami kesulitan dalam menentukan luas alas limas setelah alasnya diperpanjang p+2 dan l+2 dan menentukan volume limas setelah ukuran alas diperpanjang, sedangkan siswa SMA hanya sebagian kecil. Namun, dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam dalam menentukan menentukan luas alas limas setelah alasnya diperpanjang p+2 dan l+2 dan menentukan volume limas setelah ukuran alas diperpanjang. Untuk langkah 3 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 87,80%, dan STKIP sebanyak 89,80% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan langkah ini. Dari kesulitan-kesulitan tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menunjukkan bukti kebenaran/ketidakbenaran tentang selisih volume limas sebelum dan setelah mengalami perpanjangan, jika panjang rusuk dan alas mengalami perubahan. Dari analisis soal nomor 4 ternyata siswa mengalami kesulitan dalam mempertimbangkan validitas dari argumen yang menggunakan berpikir deduktif atau induktif, demikian juga untuk soal nomor 5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
--------------------
221
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 siswa mengalami kesulitan dalam mempertimbangkan validitas dari argumen yang menggunakan berpikir deduktif atau induktif. 4) Kemampuan dalam Menggunakan Data yang Mendukung untuk Menjelaskan Mengapa Cara yang Digunakan serta Jawaban adalah Benar dan Memberikan Penjelasan dengan Menggunakan Model, Fakta, Sifat-Sifat dan Hubungan. Soal Nomor 6 Perhatikan gambar di bawah ini! . K M Sebuah prisma segitiga ABC.KLM dibagi sedemikian rupa sehingga terbentuk 3 limas yaitu limas L.ABC, limas L.AKM, dan limas L.ACM. Tunjukkan bahwa ketiga volume limas tersebut sama!
L
C
A
B
Gambar 13. Prisma segitiga Soal yang diberikan berkaitan dengan kemampuan dalam menggunakan data yang mendukung untuk menjelaskan mengapa cara yang digunakan serta jawaban adalah benar dan memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan.
Terdapat tiga langkah penyelesaian yang dianalisis, yaitu: (1) menunjukkan bahwa volume limas L.ABC = limas A.KLM, (2) menunjukkan bahwa volume limas L.AMK = volume limas L.ACM dan menentukan volume limas setelah ukuran alas diperpanjang, dan (3) membuktikan bahwa volume limas L.ABC = volume limas L.AMK = volume limas L.ACM. Berikut adalah contoh jawaban-jawaban siswa.
Gambar 14. Siswa tidak memahami maksud soal dan menyajikan jawaban salah Dari jawaban di atas, terlihat bahwa siswa tidak memahami maksud soal dengan baik karena tidak menjawab pertanyaan yang diminta dengan argumen bahwa tidak ditunjukkan bahwa volume ketiga limas tersebut sama. Padahal dari perintah sudah jelas diminta untuk menunjukkan bahwa ketiga limas L.ABC, limas L.AKM, dan limas L.ACM memiliki volume yang sama.
Gambar 15. Siswa tidak dapat mendeksripsikan jawaban secara deduktif
222
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Dari jawaban di atas terlihat siswa tidak dapat memberikan alasan-alan yang cukup untuk menjelaskan ketiga gambar limas yang diberikan sehingga dapat diduga bahwa siswa tidak dapat mendeskripsikan argumen secara deduktif.
Gambar 16. Siswa dapat mendeskripsikan jawaban namun argumen yang diberikan salah Gambar 16 sebelah kiri memperlihatkan bahwa siswa memandang semua rusuk alas pada ketiga limas adalah sama. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena segitiga ABC segitiga AKM segitiga ACM. Untuk limas L.ABC dan A.KLM seharusnya dapat melihat alas yang sama adalah segitiga ABC dengan segitiga KLM. Dengan demikikan argumen yang diberikan menjadi salah. Gambar 16 sebelah kanan menunjukkan siswa melakukan kekeliruan dalam menunjukkan tinggi limas L.ABC, A.KLM dan L.ACM, dan juga tidak mejelaskan alas-alas dari ketiga bangun limas tersebut. Dari sini dapat diduga siswa kurang mampu mengidentifikasi usur-unsur limas dengan baik, sehingga menyebabkan argumen yang diberikan menjadi salah. Tabel di bawah ini adalah hasil jawaban siswa. Tabel 9. Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 6 Persentase Kesulitan Siswa pada Soal Nomor 6
%
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami siswa. Langkah 1 diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 90,24%, dan STKIP sebanyak 100% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMP, SMA dan STKIP mengalami kesulitan dalam menunjukkan bahwa volume limas L.ABC = limas A.KLM. Untuk langkah 2, diperoleh hasil siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 100%, dan STKIP sebanyak 100% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menunjukkan bahwa volume limas L.AMK = volume limas L.ACM. Untuk langkah 3 diperoleh bahwa siswa SMP sebanyak 100%, SMA sebanyak 100%, dan STKIP sebanyak 100% tidak dapat menyelesaikan langkah ini dengan benar. Hal ini menunjukkan siswa mengalami kesulitan dalam menunjukkan bahwa volume limas L.ABC = volume limas L.AMK = volume limas L.ACM. Dari kesulitan-kesulitan ini dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menyajikan alasan dari pernyataan
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
--------------------
223
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 tentang kesamaan volume dari tiga buah limas yang diberikan pada sebuah prisma. Hal ini juga berarti bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menggunakan data yang mendukung untuk menjelaskan mengapa cara yang digunakan serta jawaban adalah benar, dan memebrikan penejelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan.
SIMPULAN DAN SARAN Kesalahan jawaban siswa pada soal-soal di atas kebanyakan salah dalam menentukan langkah-langkah pengerjaan sehingga berakibat pada jawaban yang dihasilkan menjadi salah. Hal ini disebabkan siswa kurang terbiasa mengerjakan soal-soal penalaran matematis, terlebih lagi untuk soal-soal bangun ruang seperti limas. Tabel 10. Persentase Kesulitan Belajar Siswa pada Penalaran Matematis Materi Luas dan Volume Limas No. Soal
Langkah
1 2 3
4
5
6 Rata-rata
Persentase Kesulitan (%)
Rata-rata Persentase Kesulitan Per-langkah Per-nomor
SMP
SMA
STKIP
1
82,86
53,66
83,67
73,40
2
97,14
53,66
87,76
79,52
1
2,86
4,88
18,37
8,70
2
5,71
9,76
22,45
19,58
1
100,00
97,56
93,88
97,15
2
100,00
97,56
93,88
97,15
1
91,43
36,59
75,51
67,84
2
97,14
39,02
75,51
70,56
3
100,00
100,00
97,96
99,32
1
91,43
31,71
63,27
62,14
2
100,00
48,78
81,63
76,80
3
100,00
87,80
89,80
96,75
1
100,00
90,24
100,00
96,75
2
100,00
100,00
100,00
100,00
3
100,00 85,71
100,00 63,25
100,00 79,32
100,00 76,10
76,46 14,14 97,15
79,24
77,16
98,92
Dari tabel di atas terlihat bahwa siswa baik siswa SMP, siswa SMA, maupun mahasiswa masih memiliki kesulitan dalam mengerjakan soal-soal penalaran matematis terkait luas dan volume limas. Rata-rata kesulitan yang dialami siswa dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan untuk tingkat SMP sebesar 85,71%, tingkat SMA sebesar 63,25%, dan tingkat PT sebesar 79,32%. Persentase kesulitan belajar yang muncul ternyata masih cukup besar. Rata-rata keseluruhan siswa yang mampu menjawab soal-soal penalaran matematis berkaitan dengan luas dan volume limas dengan benar adalah sebesar 23,90%. Dari pemaparan di atas dapat simpulkan bahwa siswa masih memiliki kesulitan belajar dalam kemampuan penalaran matematis pada materi luas dan volume limas. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa kiranya perlu dikembangkan metode/strategi/model pembelajaran atau bahan ajar yang dapat mengatasi kesulitankesulitan dalam geometri terutama dalam materi luas permukaan dan volume limas.
224
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA Brueckner, Cooney, dkk. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Hougton Mifflin Company Burger, W.F & Shaugnessy, J.M. (1986). Characterizing the van Hiele Levels of Development in Geometry. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 17, No.1. (Jan., 1986, pp. 31-48) Halat, E. (2008). Reform-Based Curriculum and Motivation in Geometry. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Tecnology Education, 2008, 4(3), 285292 Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Educationist, Vol. 1 No.1 Januari 2007. Natawijaya, R. (1991). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Rofingatun, S. (2006). Penggunaan Metode penemuan dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMP. Skripsi UPI Bandung: tidak dipublikasikan Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logis Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi PPs IKIP Bandung: tidak dipublikasikan Sutiarso, S.(2000). Problem Posing, Strategi Efektif Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Makalah pada Seminar di Bandung: tidak diterbitkan Suwaji, U.T. (2008). Permasalahan Pembelajaran Geometri Ruang SMP dan Alternatif Pemecahannya. P4TKM Yogyakarta: Depdiknas Thompson, J. 2006. Assesing Mathematical Reasoning; An Action Research Project. http://www.msu.edu/ thomp603/asses%20reasoning.pdf. diakses pada tanggal 13 Desember 2011.
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
--------------------
225
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
226
-------------------- PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM VIRTUAL SUPERKELAS PISCES (IKAN) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP MAHASISWA Sri Maryanti1), Fransisca S2) 1)
UMC (Universitas Muhhamadih Cirebon) email@ [email protected] 2) Pascasarjana UPI Bandung
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penguasaan konsep mahasiswa dengan materi superkelas pisces (termasuk ikan-ikan di laut dalam) yang dilakukan melalui pembelajaran berbasis praktikum virtual. Metode penelitian yang digunakan adalah Weak Experiment dengan rancangan penelitian “One-Group Pretest-Posttest Design”. Penelitian ini dilaksanakan pada matakuliah Zoology Vertebrata pada satu Universitas tahun pelajaran 2010/2011. Subyek penelitian terdiri dari satu kelas dengan jumlah sampel sebanyak 42 mahasiswa. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran, serta data penguasaan konsep mahasiswa. Uji hipotesis perlakuan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji z (n > 30) antara pretest dan posttest dengan H1 diterima yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan (α=0,05) setelah melakukan pembelajaran berbasis praktikum virtual. Hasil analisis data menunjukan, indeks gain penguasaan konsep 0,47 (sedang) Pada umumnya, mahasiswa memberikan tanggapan positif terhadap pembelajaran. Pembelajaran berbasis praktikum virtual pada superkelas pisces memberikan pengaruh yang positif terhadap penguasaan konsep dan sikap ilmiah mahasiswa. Kata Kunci: sikap ilmiah, praktikum, virtual laboratory
PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang berpotensi besar sebagai Negara Maritim. Pulaupulau yang mayoritas kecil secara otomatis memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis (Kusumaatmadja, 2009). Negara Kepulauan Indonesia yang kaya inilah merupakan sebuah potensi bahwa Negara Indonesia termasuk Negara Maritim. Akan tetapi, hal ini masih belum disadari oleh semua lapisan masyarakat pada umumnya dan di lingkungan pendidikan pada khususnya. Kurangnya pengenalan siswa mengenai kekayaan sumber daya alam di laut, yang di dalamnya termasuk keanekaragaman hewan laut khususnya ikan dapat ditambahkan pula dengan keanekaragaman ikan di laut. Penumbuhan sikap positif terhadap kebaharian merupakan tuntutan mutlak. Sikap positif inilah dapat terlihat dari sikap ilmiah yang dimiliki oleh peserta didik. Senada dengan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
227
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 pendapat Ruhimat (2010) bahwa cara pandang masyarakat yang positif terhadap maritim akan menjadi modal awal pembangunan nasional. Orientasi terhadap pembangunan nasional termasuk pembangunan pada bidang pendidikan diharapkan dapat memberikan peranan proaktif dalam menumbuhkan sikap kebaharian. Oleh karena itu, sebelum menuju sasaran utama yaitu peserta didik (siswa) maka terlebih dahulu calon guru maupun saintis (mahasiswa) perlu dibekali dengan pengetahuan tentang luasnya khazanah kebaharian yang dispesifikan pada bahasan keanekaragaman superkelas Pisces sehingga mampu menumbuhkan karakter bangsanya dengan komponen karakter bangsa tersebut yaitu kemampuan penguasaan konsep sikap ilmiah.
Kemampuan bagi mahasiswa tersebut yang berhubungan dengan kebaharian itu terkait dengan superkelas Pisces pada mata kuliah zoologi vertebrata. Pada praktikum Pisces (ikan) biasa dilakukan pengidentifikasian terutama berkaitan dengan ikan yang sering dijumpai di pasar, sementara penggunaan ikan laut berupa awetan basah sering membuat perih mata karena penggunaan formalin yang mengganggu pada saat observasi, di samping itu warna asli awetan telah pudar. Untuk keanekaragaman jenis ikan laut sulit dilakukan dan biasanya dapat dilakukan di akhir semester perkuliahan pada kuliah lapangan ke Sea World Jakarta. Kuliah lapangan tersebut tidak dapat dilakukan pada saat pembelajaran konsep dan materi yang diberikan pada saat itu, karena kuliah lapangan membutuhkan sehari penuh. Di samping kesulitan menggangu perkuliahan lain, faktor perizinan dan pengorganisasian mahasiswa sebelum berangkat pun terkait dengan kepanitiaan memerlukan cukup waktu. Dengan demikian antara konsep yang dijelaskan dengan pelaksanaan praktikum terdapat rentang waktu yang cukup jauh. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan pembelajaran menggunakan praktikum virtual yang memanfaatkan teknologi multimedia, baik dalam bentuk tutorial maupun simulasi komputer. Penggunaan praktikum virtual (media komputer) akan lebih mengarahkan dan memusatkan perhatian siswa pada materi pelajaran. Penggunaan praktikum virtual (virtual laboratory) juga dapat memperkuat persepsi siswa dan mendorongnya agar ingin mengetahui materi pelajaran lebih mendalam (Rohmadi, 2008). Media pembelajaran merupakan media yang baik untuk meningkatkan hasil belajar dengan memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan di dalam mengidentifikasi masalah, mencari, mengorganisasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi (Akpan, 2002). Di samping itu multimedia interaktif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kompleks (McLaughlin & Arbeider, 2008). Berpikir kompleks ini dapat digali dari keterampilan berpikir kritis peserta didik. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942 (Liliasari, 2010).
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan metode Weak Experiment (Fraenkel & Wallen, 2007) yaitu metode penelitian yang menggunakan kelompok sampel perlakuan tanpa sampel kontrol. Penelitian dilakukan pada sekelompok mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi yaitu satu kelas mahasiswa peserta mata kuliah zoology vertebrata. Metode ini merupakan metode yang tidak mengontrol semua variabel yang ada (Wiersma, 1994). Penelitian ini menggunakan rancangan One-Group Pretest-Posttest Design (Fraenkel & Wallen, 2007). Desain penelitian ini disajikan dalam Tabel 1
228
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 1. Desain Penelitian “The One-Group Pretest-Posttest Design” Kelas eksperimen
O Pretest
X O Treatment Posttest (Fraenkel & Wallen, 2007)
Keterangan : O1 : Test awal sebelum perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen O2: Test akhir setelah perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen X1 : Perlakuan dengan pembelajaran praktikum virtual pada superkelas Pisces Pengembangan kemampuan berpikir kritis dihitung dengan skor N-Gain (Meltzer, 2002) digunakan rumus: N Gain
skorpostes skorpretes skormaksimum skorpretes
Dengan kriteria nilai N-Gain pada Tabel 2 Tabel 2. Kriteria Gain Ternormalisasi (N-Gain) Gain ternormalisasi Kriteria peningkatan G < 0,3 peningkatan rendah 0,3 ≤ G ≤ 0,7 peningkatan sedang G > 0,7 peningkatan tinggi (Meltzer, 2002) Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pogram SPSS for windows vesi 16.00. Pengujian normalitas distribusi data dalam penelitian ini dilakukan dengan kolmogorovSmirnov. Untuk melihat perbedan perkembangan berpikir kritis dilakukan pengujian dengan menggunakan uji z.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan terhadap hasil penelitian berikut dilakukan berdasarkan analisis data dan temuan-temuan di lapangan 1. Penguasaan Konsep Mahasiswa Hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami mengalami aktifitas belajar (Sudjana,2004). Secara nyata hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar yang dicapai mahasiswa dapat dilihat dari hasil perbandingan test awal dan test akhir penguasaan konsep pada superkelas Pisces. nilai Pre-test dan Post-test penguasan konsep dapat diihat dari diagram batang yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Hasil rata-rata pretest dan postest serta nilai gain (postest-pretest) penguasaan konsep pada kelas eksperimen SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
229
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Berdasarkan Gambar 1 di atas menunjukkan bahan nilai rata-rata tes awal mahasiswa adalah sebesar 28.57. Nilai ini lebih kecil apabila kita bandingkan dengan rata-rata setelah diimplementasikannya pembelajaran bebasis virtual laboratory superkelas Pisces. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Pangabean (1996) bahwa didalam desain penelitian one group pretest-posttest, perbedaan yang timbul antara sebelum dan sesudah perlakuan disebabkan oleh perlakuan eksperimental X. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan pemahaman konsep mahasiswa setelah diimplementasikan pembelajaran berbasis praktikum virtual pada superkelas Pisces. 2.
Angket Tanggapan Mahasiswa Terhadap Pembelajaran Data hasil kuesioner tanggapan mahasiswa dengan pilihan ya atau tidak yang diperoleh dari mahasiswa, diketahui bahwa mahasiswa sangat menyenangi pembelajaran berbasis praktikum virtual pada superkelas Pisces (97,62%), memberikan tanggapan bahwa pembelajaran ini berkontribusi atau memberikan manfaat kepada mahasiswa (92,86%), menarik untuk diterapkan kembali pada bahasan selanjutnya (88,09%). Mahasiswa merasa senang dan tertarik dengan pembelajaran, karena pembelajaran berbasis praktikum virtual memberi kesempatan mahasiswa untuk belajar aktif dan merupakan media pembelajaran dengan simulasi yang interaktif senada dengan yang dinyatakan oleh Rahayu & Sulistiana (2007) yaitu pengembangan virtual lab. Memenuhi prinsip interaktif, tampilan-tampilan yang interaktif mendorong mahasiswa untuk melakukan eksplorasi. Simulasi yang terdapat dalam program virtual lab. Mendorong mahasiswa untuk memanipulasi objek pada screen. Hal ini didesain agar mahasiswa fokus dan konsentrasi terhadap tugas-tugas yang sedang dihadapi/dikerjakan. Mahasiswa dapat bereksplorasi melalui kegiatan yang relevan untuk memperoleh pengalaman dan konsep baru
230
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Indikator Angket 1. Pembelajaran menarik / tidak menarik, ada manfaat yang diperoleh atau tidak 2. Minat belajar dengan perkuliahan yang diterapkan 3. Mahasiswa mengenai perkuliahan berbasis praktikum virtual dalam memahami materi / konsep 4. Teknis pembelajaran berbasis praktikum virtual 5. Pembelajaran dapat mengembangkan hands on dan minds on 6. Pembelajaran dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah Gambar 2. Hasil tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran berbasis praktikum virtual Pada Gambar 2 dapat terlihat bahwa secara umum memberikan tanggapan yang positif terhadap pembelajaran berbasis praktikum virtual superkelas pisces yang telah dilakukan mahasiswa.``````````````````````````` 3.
Hasil Observasi Aktivitas Siswa Selama Kegiatan Praktikum Virtual Pada Hasi pengamatan kinerja mahasiswa oleh bebeapa observer diperoleh data bahwa dari lima aspek kinerja yang diobservasi rata-rata memiliki nilai dengan rata-rata baik. Selanjutnya akan lebih jelas digambarkan pada Gambar 3
Gambar 3 Hasil kinerja mahasiswa dalam praktikum virtual pada superkelas Pisces
SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis praktikum virtual dapat penguasaan konsep mahasiswa dengan melihat peningkatan gain ternormalisasi pada katagori peningkatan sedang. Analisis data pada hasil penelitian, diketahui bahwa pembelajaran berbasis praktikum virtual memiliki potensi yang baik untuk meningkatkan berpikir kritis pada superkelas Pisces. Pembelajaran berbasis praktikum virtual memberikan pengaruh yang positif terhadap penguasaan konsep mahasiswa. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan rata-rata preSEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
231
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 test dan post-test berpikir kritis mahasiswa pada superkelas Pisces. Serta nilai indeks gain yang mengalami peningkatan pada katagori sedang. Pembelajaran berbasis praktikum virtual memberikan kesempatan luas kepada mahasiswa untuk berinteraksi dengan objek belajarnya (software pembelajaran virtual), melakukan berbagai kegiatan eksplorasi sehingga meningkatkan minat dan mendorong mahasiswa untuk lebih giat lagi untuk belajar. Tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaan berbasis praktikum virtual menyatakan bahwa pembelajaran menyenangkan dengan tampilan-tampilan yang interaktif mendorong mahasiswa untuk melakukan eksplorasi, meningkatkan minat belajar, dan membantu memahami konsep yang diajarkan. Mahasiswa merasa senang dan tertarik dengan pembelajaran, karena pembelajaran berbasis praktikum virtual memberi kesempatan mahasiswa untuk belajar aktif dan merupakan media pembelajaran dengan simulasi yang interaktif. Belajar dengan praktikum dapat memicu keingintahuan dan memotivasi mahasiswa untuk menemukan solusi khususnya pengidentifikasian pada superkelas pisces yang telah dibahas.
B. 1.
SARAN Pengajar (dosen/ guru) hendaknya dapat merancang dan menerapkan strategi pembelajaran yang dapat mengajak, memotivasi, dan mendorong peserta didik untuk berpikir kritis serta dapa mengembangkan sikap ilmiah mahasiswa.
2.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pembelajaran berbasis praktikum virtual ini dapat diterapkan sebagai metode pendukung pembelajaran karena metode ceramah dalam pembelajaran masih tetap perlu mendampingi metode baru dalam pembelajaran. Meskipun demikian dosen/pengajar dapat berperan sebagai fasilitator dan motivator mahasiswa. Sebaiknya pembelajaran praktikum virtual ini dapat diterapkan pada materi lain untuk melaksanakan praktikum yang sulit atau menghadapi beberapa kendala jika dihadirkan secara nyata, sehingga perlu divisualisasikan secara virtual.
DAFTAR PUSTAKA Akpan, J. P. (2002). “Which Come First : Computer Siulation of Dissection or a Tradisional Labolatory Practical Methode of Dissection” Electronic Journal of Science Education Volume 6 no 4, Juni 2002. [Online] Tersedia: http://wolfweb.unr.edu. [ 17 Juni 2011] Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E.(2007). How To Design And Evaluate Research In Education, 6th Edition.Singapore: McGraw-Hill. Kusumaatmadja, S. (2009). Indonesia dan visi Negara maritim. [Online] Tersedia: http//www.bunyu online.com. [17 juni 2011] Liliasari, (1997). Pengembangan Model Pembelajaran Materi Subjek untuk Meningkatkan Keterampilan Bepikir Konseptual Tingkat Tinggi Mahasiswa Calon Guru IPA. Laporan Penelitian. Bandung : FPMIPA IKIP Bandung. Liliasari, (2010). Pengembangan Berpikir Kritis sebagai Karakter Bangsa Indonesia melalui Pendidikan Sains Berbasis ICT. Kumpulan Konferensi Internasional Pendidikan Guru Ke-4 (UPI-UPSI)”Pendidikan Guru untuk Membangun Karakter dan Budaya Bangsa” 8-10 November 2010, Bandung: UPI Press.
232
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 McLaughlin, J. & Arbeider, D. A (2008). “Evaluating Multimedia Learning Tool Based on Authentic Reserch Data That Teach Biology Concept and Environmental Stewardship” Contemporary Issue in Tecnology and Teacher Education. Metltzer, D. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conseptual Learning Gains In Physic : American Journal of Physic, (70), 1259-1268 Ruhimat, M. (2010). Kontribusi Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Karakter Siswa yang Cinta Bahari. Kumpulan Konferensi Internasional Pendidikan Guru Ke-4 (UPIUPSI)”Pendidikan Guru untuk Membangun Karakter dan Budaya Bangsa” 8-10 November 2010, Bandung: UPI Press. Schafersman, S.D. (1991). Introduction to critical thinking. [Online] Tersedia : http://www.free inquiry.com/critical thinking. Html. [2 Januari 2012] Sudjana, Nana. (2004). Dasar-dasar Pross Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo Wiersma, W. (1994). Research Methods In Education. Masschusetts : A Simon and Schuster Company
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
233
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
STUDI AWAL KERAGAMAN FUNGI INVERTEBRATA DI PROVINSI BANTEN DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SISWA SMA KELAS X PADA SUBKONSEP FUNGI Rida Oktorida Khastini1), Nani Maryani1), Resti Devianingsih1), Rizkia Hapsary1) 1)
Pendidikan Biologi FKIP Untirta [email protected]
ABSTRAK Fungi Invertebrata (FI) merupakan fungi parasit pada hewan invertebrata, yang dapat dimanfaatkan sebagai agen pengendali hama tanaman yang ramah lingkungan. Keberadaan FI belum banyak diketahui dan diteliti di Indonesia, terutama di wilayah Banten khususnya Gunung Karang dan Pulosari Pandeglang, yang merupakan bagian dari pegunungan di wilayah Banten dengan komposisi alam yang memungkinkan FI dapat hidup. Penelitian bertujuan menginventarisasi FI yang hidup sebagai studi awal pada kedua lokasi tersebut dengan pengambilan sampel sebanyak tiga kali selama musim penghujan pada bulan Juni hingga Agustus 2013. Pengambilan sampel dilakukan di dua zona berbeda pada masing-masing lokasi, di sepanjang jalur pendakian menuju kawah dan sepanjang jalur menuju puncak, yang memiliki jalur dan ketinggian berbeda. Sampel FI yang berhasil didapatkan, semuanya ditemukan menempel pada permukaan daun, baik permukaan bagian atas maupun bawah daun. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa di Gunung Karang dan Gunung Pulosari Pandeglang terdapat 4 genus FI berdasarkan fase teleomorf maupn anamorfnya, yaitu Gibelulla, Beauveria, Hypocrella, Metharizium, Conoideocrella. Hasil penelitian diaplikasikan sebagai sumber belajar alternatif siswa SMA kelas X pada subkonsep Fungi Kata Kunci: fungi invertebrata, Gunung Karang-Pulosari Banten, sumber belajar
PENDAHULUAN Sebagai salah satu provinsi termuda di Indonesia, Banten memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Provinsi Banten memiliki kekayaan keanekaragaman hayati berupa flora, fauna dan tipe ekosistemnya. Sebagian diantaranya jenis dan tipe ekosistem yang bersifat endemik. Kekayaan tersebut sebagian besar terdapat di kawasan hutan dan kebun (Portal Nasional Republik Indonesia, 2010). Namun, keanekaragaman hayati daerah ini belum seluruhnya tereksplorasi dengan baik. Salah satunya adalah keanekaragaman organisme seperti fungi yang terdapat di wilayah Gunung Karang dan Pulosari yang terletak di Kabupaten Pandeglang. Keadaan gunung yang masih alami serta udara yang lembab, membuat daerah ini menjadi habitat yang sangat cocok bagi berbagai jenis fungi seperti Fungi Invertebrata (FI).
234
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Fungi Invertebrata (FI) merupakan fungi yang hidup berasosiasi dengan hewan invertebrata. Studi mengenai FI sudah pernah dilakukan di Indonesia, salah satunya di Wilayah Cisarua, Bogor (Amalia, 2008). FI memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan seperti sebagai sumber metabolit sekunder yang penting dalam bidang farmakologi (Pratiwi, 2012: 10). FI dapat juga digunakan sebagai pengontrol hama. FI merupakan musuh alami dan regulator paling efisien bagi populasi inangnya (Keller & Wegensteiner 2007: 2). Dengan adanya studi mengenai awal mengenai keragaman FI di wilayah Banten diharapkan didapatkan data mengengai eksplorasi dan inventarisasi FI khususnya daerah gunung Karang dan gunung Pulosari Pandeglang. Sehingga, hasil yang didapatkan dapat dijadikan bahan acuan bagi penelitian yang relevan. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat diintegrasikan sebagai sumber belajar alternatif bagi siswa SMA kelas X dalam memahami subkonsep fungi
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan Desember 2013. Pengambilan sampel dilakukan di 2 Lokasi, yaitu Gunung Karang dan Pulosari Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kedua wilayah ini merupakan bagian dari pegunungan utama yang ada di Provinsi Banten yaitu AKARSARI (Gunung Aseupan, Gunung Karang dan Gunung Pulosari). Temperatur di pegunungan dengan ketinggian antara 400 – 1.300 m dpl mencapai antara 18oC – 29oC. Berdasarkan banyaknya curah hujan, iklim termasuk dalam kategori basah dengan nilai Q berkisar antara 14,3 – 33,3 %, dengan curah hujan rata-rata 1780 mm/ thn. Isolasi dan identifikasi FI dilakukan di Laboratorium Pendidikan Biologi, FKIP, UNTIRTA. Pengambilan Spesimen Bahan yang diteliti adalah FI yang berasosiasi dengan hewan invertebrata yang dikoleksi dari Gunung Karang dan Pulosari. FI yang berasosiasi dengan hewan invertebrata dikoleksi dari permukaan daun, batu maupun serasah lantai hutan. Pencarian spesimen dilakukan di sepanjang jalur pendakian gunung. Start awal pencarian spesimen dimulai pada ketinggian ±600 mdpl. Spesimen yang berhasil ditemukan di lokasi penelitian kemudian didokumentasikan dengan habitat alaminya lalu disimpan dalam kotak spesimen yang kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Isolasi Isolasi dilakukan melalui teknik isolasi langsung yaitu propagul fungi berupa spora maupun miselium yang terdapat pada permukaan tubuh inangnya ditumbuhkan pada media pertumbuhan Potato Dextrose Agar (PDA) (Luangsa-Ard et al. 2006). Cawan yang berisi isolat kemudian disimpan di kotak tertutup dengan suhu 25o C. Koloni fungi yang tumbuh dipindahkan ke media PDA yang baru untuk mendapatkan biakan murni. Identifikasi Identifikasi FI mengacu pada Luangsa-ard et al. (2007, 2008) berdasarkan struktur reproduksi fungi yang terdapat pada tubuh hewan invertebrata. Identifikasi dilakukan melalui pengamatan makroskopi dan mikroskopi. Secara makroskopi yakni pengamatan secara kasat mata meliputi warna, bentuk dan ukuran stroma, warna dan ukuran sinema serta inangnya. Pengamatan secara mikroskopi dilakukan dengan membuat irisan tipis spesimen, kemudian dibuat preparat dengan pewarnaan biru metilen untuk diamati menggunakan mikroskop (Pratiwi, 2012: 1). Pengamatan mikroskopi meliputi bentuk dan ukuran peritesium, askus dan askospora, warna dan bentuk piknidium dan konidium.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
235
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Implementasi Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar Alternatif Data hasil penelitian dikembangkan dan dikemas menjadi sumber belajar alternatif dalam bentuk buku saku. Buku saku ini dapat digunakan sebagai sumber belajar alternatif bagi siswa SMA kelas X dalam mempelajari subkonsep fungi pada Kompetensi Inti (KI) 3 yaitu “Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah” dengan Konsep Dasar (KD) 3.6 yang menuntut siswa mampu menerapkan prinsip klasifikasi untuk menggolongkan jamur berdasarkan ciri-ciri dan cara reproduksinya melalui pengamatan secara teliti dan sistematis. Sebelum buku dapat digunakan sebagai sumber belajar, terlebih dahulu dilakukan uji ahli untuk mengukur kriteria kelayakan buku saku. Uji kelayakan oleh ahli dilakukan dengan menggunakan angket standar penilaian buku sains yang dimodifikasi dari kriteria-kriteria standar buku saku yang telah ditetapkan oleh DEPDIKNAS (2003). Pengukuran angket menggunakan skala Likert yang dimodifikasi dari Riduwan (2010: 93). Pengukuran Skor Kriterium
Keterangan: ST = skor tertinggi tiap butir pertanyaan ∑ i = jumlah butir pertanyaan ∑R = jumlah responden
Pengukuran persentase kelayakan
Skala penilaian Skala Jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) Tidak Setuju (TS) Kurang Setuju (KS) Setuju (S) Sangat Setuju (SS)
Interpretasi: Rentang (%) 0 – 20 21 – 40 41 – 60 61 – 80 81 – 100
skor 1 2 3 4 5
Kategori Sangat tidak layak Tidak layak Cukup layak Layak Sangat layak
HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Fungi Invertebrata Dari hasil penelitian yang dilakukan di Gunung Karang dan Gunung Pulosari Pandeglang, Banten, sebanyak 16 spesimen berhasil dikumpulkan dari dua lokasi penelitian. FI umumnya dapat ditemukan pada empat habitat, yaitu di permukaan daun maupun batang, di permukaan bawah batu, di permukaan bawah kayu rebah dan di serasah lantai hutan (Pratiwi, 2012). Namun pada penelitian ini, seluruh spesimen ditemukan menempel pada permukaan daun baik permukaan bagian atas maupun bagian bawah daun. Kemungkinan hal ini terjadi karena kedua wilayah tersebut termasuk ke dalam kategori hutan tropik, pada hutan tropik, fungi parasit invertebrata akan sangat sulit ditemukan di lantai tanah hutan, karena di tanah lantai hutan jarang ditemukan serangga, kecuali rayap yang berada di dalam tanah pada kedalaman tertentu. Tabel 1 menunjukkan data mengenai FI yang berhasil dikoleksi dari kedua wilayah. Dari hasil identifikasi spesimen yang telah ditumbuhkan pada media kultur, di Gunung Karang dan Gunung Pulosari Pandeglang terdapat 5 genus Fungi Invertebrata yang berhasil dikumpulkan. Kelima genus tersebut yaitu, Akanthomyces, Hypocrella, Metarhizium, Beauveria dan Conoideocrella 236
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 1. Data spesimen yang ditemukan di Gunung Karang dan Gunung Pulosari Pandeglang Tempat Warna koloni Hifa Konidia Genus Ditemukannya Kode Sampel Inang atas bawah bawah atas daun daun Gunung Karang Putih Tidak GK 1 Lepidoptera Putih kekunin Hialin, septa teridentifi gan kasi Putih Hijau, Hialin, tidak GK 2 Diptera Putih kekunin hialin, Beauveria bersepta gan silindris, Putih, Tidak GK 3 Diptera Putih tengah Hialin, septa teridentifi coklat kasi Oval, Metarhizi GK 5 Hemiptera Abu-abu Abu-abu Hialin, septa tidak um Tidak Conoideo GK 7 teridentifika cokelat Cokelat Tidak bersepta crella si Tidak Hialin, tidak Oval, GK 8 teridentifika Putih Putih Beauveria bersepta hialin si Gunung Pulosari Tidak Putih Aseptat, Tidak GP 1 teridentifika Putih kekunin bercabang, teridentifi si gan hialin kasi Tidak Putih Tidak Hialin, GP 2 teridentifika Putih kekunin teridentifi bercabang si gan kasi Tidak Hitam, Berseptat, Hialin, Metarhizi GP 3 teridentifika tepi Hitam bercabang, oval, um si putih hialin coklat Berwarna Coklat Coklat Hialin, Hypocrell GP 4 Homoptera kecoklatan, muda gelap oval a hialin Tidak Putih Bercabang, Tidak GP 6 teridentifika Putih kekunin hialin, teridentifi si gan berseptat kasi Putih dengan sedikit Hialin, Akanthom GP 7 Aranea Putih Hialin warna silindris yces merah pucat Beauveria. Ditemukan pada dua spesimen dengan nomor koleksi GK 2 dan GK 8. Spesimen terdapat di permukaan daun bagian bawah. Salah satu spesimen berasosiasi dengan serangga ordo Diptera, yaitu nyamuk. Miselium berwarna putih hampir menutupi setiap bagian tubung inangnya, terlihat pada bagian kaki, ekor dan toraks nyamuk sudah ditumbuhi oleh miselium cendawan. Permukaan bagian atas koloni berwarna putih dan mengeluarkan eksudat berupa air, sedangkan permukaan bagian bawah koloni berwarna putih kekuningan. Diameter koloni dapat mencapai ± 5 cm dengan masa inkubasi 24 hari. Melalui pengamatan di bawah mikroskop,
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
237
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 spesimen ini memiliki hifa yang panjang, hialin dan tidak bersepta, memiliki konidia hijau, hialin dan berbentuk silindris. Beauveria telah banyak diaplikasikan sebagai agen pengendali hayati hama tanaman karena mampu menginfeksi serangga dengan kisaran inang yang luas serta memiliki persebaran geografis yang luas. Selain ditemukan di hutan tropik, genus ini juga dapat ditemukan di lahan pertanian (Amalia, 2008: 8).
a
b
c
d
Gambar 1. Beauveria. a dan b FI pada inang Diptera, c konidia: skala 10µm dengan perbesaran 100x10, d koloni pada PDA Conoideocrella. ditemukan di permukaan bagian atas daun. Inang tidak dapat diidentifikasi dikarenakan sudah tertutupi oleh miselium. Fungi memproduksi miselium berwarna orange yang menutupi seluruh tubuh inangnya. Pertumbuhan koloni pada media PDA berlangsung agak cepat, diameter koloni dapat mencapai 3-4 cm selama 14 hari masa inkubasi pada suhu 25o C. Koloni permukaan bagian atas dan bawahnya berwarna cokelat. Spesimen Conoideocrella yang di temukan di Gunung karang Pandeglang, fase anamof tidak nampak, yang terlihat hanya pertunasan aksospora. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Luangsa-ard pada tahun 2008, di Thailand, fase anamorf dari Conoideocrella tidak nampak dan tidak terbentuk pada media kultur. Fase seksual biasanya terbentuk setelah musim hujan hingga musim dingin pada November hingga Januari di Thailand bagian utara dan tengah, tetapi di tempat yang terusmenerus memiliki kelembaban yang tinggi dapat terjadi di sepanjang tahun.
a
b
c
Gambar 2. Conoideocrella. a miselium pada inang, b dan c tunas aksospora Akanthomyces. Pada ketinggiaan 990 m dpl ditemukan sampel Akanthomyces GP 21 yang tumbuh pada inang dari ordo aranae (laba-laba). Saat ditemukan sampel berada di bagian bawah daun dan inang insekta hampir seluruhnya tertutupi dengan sinema berwarna putih, hanya sedikit bagian kaki yang masih terlihat. Pada PDA koloni 238
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 berwarna putih dengan sedikit pigmen kemerahan pada bagian bawahnya. Pertumbuhan pada PDA tergolong lambat, pertumbuhan koloni baru terlihat pada minggu ketiga
a
b
Gambar 3. Akanthomyces. a Sinemata berwarna putih pada aranae, b Araneae Hypocrella. Ditemukan pada ketinggian 1.187 m dpl di bagian bawah dan bagian atas permukaan daun, berasosiasi dengan serangga dari ordo Homoptera. Sampel memiliki stroma berwarna putih, berbentuk bulat dan tekstur permukaan yang tidak rata. Sampel terdiri atas susunan hifa yang rapat. Struktur koloni pada PDA berwarna coklat muda, pertumbuhan sampel pada media PDA berjalan lambat, yakni mulai tumbuh pada minggu ketiga setelah diinokulasi.
Gambar 4. Spesimen Hypocrella Metarhizium. Genus ini ditemukan di kedua lokasi penelitian. Metarhizium yang ditemukan di Gunung Karang berasosiasi dengan inang insekta pada ordo Hemiptera sedangkan inang yang ditemukan di Gunung Pulosari tidak dapat diidentifikasi. inang hampir seluruhnya tertutupi oleh mycelia berwarna putih. Hasil pembiakan fungi pada media PDA menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat pada suhu ruang. Adapun dari hasil pengamatan menggunakan mikroskop diketahui sampel fungi memiliki hifa hialin yang berseptat atau bersekat. Sama halnya dengan genus Beauveria, Metarhizium juga telah banyak dimanfaatkan sebagai bioinsektisida yang aman dan ramah lingkungan. Salah satu produk bioinsektisida yang mengandung Metarhizium adalah Metin (Metarhizium insecticide). Metin adalah bioinsektisida berbahan aktif jamur Metarhizium anisopliae, bioinsektisida ini digunakan untuk mengendalikan hama Oryctes rhinoceros pada sawit dan kelapa dan hama tanaman dalam tanah seperti boktor tebu (Dorysthenes sp.) dan boktor sengon (Xytrocera festiva) (Balai Peneitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2009)
Gambar 5. : Metarizium. FI pada inang dan konidia
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
239
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Selain kelima genus di atas, ada beberapa spesimen yang tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat diketahui genusnya yaitu GK 1, GP 1, GP 2, GP 5 dan GP 6. Spesimen-spesimen tersebut hanya dapat diamati struktur somatiknya, sedangkan struktur reproduksinya tidak nampak pada media kultur.terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan tidak munculnya struktur reproduksi fungi, Setiap jenis fungi membutuhkan nutrisi, pH, kandengan air dalam media, suhu optimal, cahaya, aerasi dan periode inkubasi untuk pertumbuhan dan pembentukan konidia. Suhu optimal untuk perkecambahan konidia adalah 25-30oC, dengan suhu minimum 10oC dan maksimum 32oC, sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan adalah 5,7-5,9, tetapi idealnya pH 7-8 (Nuraida, 2009).
b
a
c Gambar 6. Spesimen yang tidak dapat diidentifikasi, a spesimen GP 2, b spesimen GP 6, c spesimen GK 1 Fungi Invertebrata yang telah berhasil diidentifikasi, beberapa diantaranya tersebar juga di daerah Cisarua, Bogor. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amelia (2008), Yanto (2007) dan Pratiwi (2012), Genus Hypocrella, Beauveria dan Akanthomyces dapat ditemukan di daerah tersebut.. Dari segi ekonomis, beberapa genus FI telah dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai agent biopestisida contohnya FI dari genus Beauveria, Conoideocrella dan Metarhizium. Implementasi Hasil Penelitian sebagai Sumber Belajar Alternatif di Sekolah Berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, selain dari segi ekonomis, adapula manfaat dari segi pendidikan. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber belajar alternatif bagi siswa. Dari hasil uji kelayakan buku saku yang telah dilakukan oleh 2 responden (dalam hal ini Guru Biologi), tabulasi data menunjukkan bahwa buku saku “FunBook: Fun with Fungi” memiliki persentase 82,3% yang berarti berada pada rentang 81 – 100 % dengan kategori sangat layak digunakan sebagai sumber belajar alternatif bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep fungi.
240
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar 7. Desain layout buku saku “FunBook: Fun with Fungi” (dilengkapi dengan beberapa latihan yang dapat merangsang proses berpikir siswa)
SIMPULAN DAN SARAN Terdapat lima genus FI yang di temukan di daerah gunung karang dan gunung Pulosari selama bulan Juni hingga Desember 2013 yakni, Akanthomyces, Beauveria, Conoideocrella, Hypocrella, dan Metarhizium. Genus Metarhizium dapat ditemukan di dua wilayah penelitian, baik di daerah gunung Pulosari dan juga gunung Karang. Sedikitnya sampel yang berhasil ditemukan berkaitan dengan kejelian mata peneliti, mengingat ukuran sampel yang sangat kecil. Untuk kedepannya sebaiknya terus diadakan penelitian mengenai FI di daerah Gunung Karang dan gunung Pulosari Pandeglang, Banten pada jalur dan musim yang berbeda guna mendapatkan data yang lebih lengkap mengenai keanekaragama FI di kedua daerah tersebut. Setelah melalui uji ahli, hasil penelitian yang dikemas dalam bentuk buku saku memiliki persentase kelayakan 82,3% yang berarti buku saku “FunBook: Fun with Fungi” sangat layak digunakan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep fungi.
DAFTAR PUSTAKA Amalia, R. 2008. Ragam cendawan entomopatogen di kawasan cagar alam Telaga Warna, Cisarua Bogor [skripsi].Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor: Bogor. Dighton, J. 2003. Fungi in ecosystem process. Marcel Dekker, Inc., New York: viii + 432. Humber, R. A. 2006. Enthomopathogenic Fungal Identification. USDA-ARS Plant Protection Research Unit, New York: iv + 32. Humber, R. A. 2008. Evolution of entomopathogenicity in fungi. Journal of Invertebrate Pathology. 98 : 262—266 Hywell-Jones, N. L. 1996. Akanthomyces on spider in Thailand. Mycologial Research. 100: 1065-1070. Keller, S. & R. Wegensteiner. 2007. Introduction. Dalam: Keller, S. (ed.). 2007. Arthropodpathogenic Entomophthorales: biology, ecology, identification. COST Office, Luxembourg: vii + 155 hlm. Luangsa-Ard, J. J., Tasanathai, K., Mongkolsamrit, S., Hywel-Jones, N. 2007. Atlas of invertebrate-pathogenic fungi of Thailand Volume 1. NTSDA, Pathum Thani: v + 83 hlm.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
241
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Luangsa-Ard, J.J., Tasanathai, K., Mongkolsamrit, S., Hywel-Jones, N. 2008. Atlas of invertebrate-pathogenic fungi of Thailand Volume 2. NTSDA, Pathum Thani: v + 86 hlm. Nuraida, 2009. Isolasi, identifikasi, dan karakterisasi jamur entomopatogen dari Rizosfir pertanaman kubis. J.Hort. 4: 419-432. Portal Nasional Republik Indonesia. 2010. Sumber Daya Alam Provinsi Banten. 1 hlm. http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-banten/sumber-daya-alam. 01 Mei 2013, pk. 08.00. Pratiwi, R. 2012. Keragaman cendawan entomopatogen di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kawasan Cibodas. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor. [skripsi] Yanto, A. 2007. Eksplorasi keragaman cendawan entomopatogen di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor. [skripsi]
242
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PEMANFAATAN INTERNET DALAM PEMBELAJARAN PENCEMARAN AIR BERBASIS MASALAH DAN MANFAATNYA TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA. Nailah Tresnawati1), Ari Widodo2) 1)
2)
Universitas Muhammadiyah Cirebon Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA UPI dan Pascasarjana UPI [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan memecahkan masalah melalui pembelajaran berbasis masalah (PBL) pada materi pencemaran lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental, dengan desain ”the only pretest-posttest control group design” dilaksanakan di MA Swasta kelas X tahun ajaran 2011-2012. Sampel penelitian diambil secara cluster random sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui pretest dan posttest untuk kemampuan memecahkan masalah. Data kemampuan memecahkan masalah dianalisis dengan uji perbedaan dua rata-rata, yaitu Independent Samples t-Test dan Mann-Whitney U menggunakan program SPSS 16. Hasilnya, terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan memecahkan masalah siswa antara kelas kontrol dan eksperimen, dengan rerata N-Gain 0,34 pada kelas eksperimen dan 0,20 pada kelas kontrol. Kesimpulannya bahwa pemanfaatan internet dalam pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa. Kata Kunci: Pembelajaran berbasis masalah, pemanfaataan internet, kemampuan memecahkan masalah
PENDAHULUAN Saat ini kita semakin sulit menemukan sumber air dari sungai yang bersih dan tidak tercemar. Pencemaran merupakan masalah yang seakan menjadi lumrah dalam lingkungan sekitar kita. Hal ini dikarenakan pencemaran akan selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Rendahnya tingkat pelayanan umum terhadap limbah padat/sampah masyarakat juga ikut mendorong tingkat pencemaran air. Hanya sekitar 40 % sampah penduduk yang dapat dilayani, sisanya akan dibakar atau dibuang di perairan atau lahan terbuka. Sampah yang dibuang di saluran air akan menyebabkan penyumbatan air sehingga apabila terjadi hujan maka air akan meluap dan banjir (Surtikanti, 2009). Upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya keberadaan sungai bersih bagi manusia harus dilakukan secara terus menerus. Hal ini perlu diaplikasikan dalam bentuk
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
243
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 nyata, agar generasi muda di masa yang akan datang memiliki kepedulian untuk melestarikan lingkungan dan memiliki karakter yang baik seperti perilaku dalam membuang sampah pada tempatnya dan tidak mengotori sungai. Maka salah satu upaya untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya kelestarian lingkungan serta mampu memecahkan suatu permasalahan lingkungan dapat dilakukan oleh guru Biologi pada kegiatan belajar mengajar terkait materi pencemaran lingkungan. Depdiknas (2003) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan merupakan materi yang harus dihafal. Kemampuan memecahkan masalah sulit tercapai bila Proses belajar masih terfokus pada guru sebagai sumber materi pelajaran (teacher centered), sehingga ceramah menjadi pilihan utama strategi mengajar. Seharusnya proses pendidikan harus terpusat pada pengetahuan siswa (Student Centered), sehingga siswa dapat berfikir kritis, dan tidak hanya memahami konsep namun juga memiliki kemampuan menyelesaikan masalah. Salah satu model pembelajaran yang cocok untuk tujuan itu adalah pembelajaran yang inovatif. Salah satu pembelajarn yang inovatif adalah Pembelajaran Berbasis Masalah. Pembelajaran ini membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi masalah, serta secara tidak langsung mempelajari peran orang yang dewasa untuk dapat memecahkan masalah dan hidup mandiri (Arends, 2008). Guru dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa, salah satunya dengan merancang sebuah proses pembelajaran berbasis masalah dengan memanfaatkan internet sebagai sumber informasi, yang menuntut keterlibatan siswa secara aktif. Dengan memanfaatkan internet dapat membantu proses penyelidikan yang dilakukan oleh siswa dalam model pembelajaran ini sehingga mampu meningkatkan kemampuan memecahkan permasalahan perairan sungai Citarum. Sutrisno (2001), menyatakan bahwa pemanfaatan internet dapat mendorong timbulnya komunikasi, kreativitas, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh peserta belajar. Menurut Russel, et al. (2008), bahwa memanfaatkan internet dalam pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keuntungan, yaitu para siswa secara aktif terlibat dalam pengalaman belajar dunia nyata, tingkat kerumitan masalah bisa dikendalikan karena internet memiliki berbagai sumber informasi, tidak terbatas ruang dan waktu dalam mencari penyelesaian masalah. Dengan melatih kemampuan memecahkan masalah, maka siswa dapat menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan dalam berpikir dan mengaitkan pengetahuan dengan baik, karena syarat dari pembelajaran PBL ini bersifat “ ill structured” yaitu penyelesaian lebih dari satu solusi serta multidisiplin. Sejalan dengan pendapat yang di kemukakan oleh Dewey (Slameto, 1995) bahwa kemampuan berpikir merupakan dasar pemecahan masalah. Siswa dapat menyelesaikan soal pemecahan masalah kemudian dapat menemukan pemecahan masalah yang baik berarti sudah terjadi proses berpikir dalam diri siswa. Internet merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang secara tidak langsung mendorong dunia pendidikan agar menyesuaikan dengan arus informasi globalisasi. Secara langsung internet dapat dimanfaatkan sebagai sumber dan media pembelajaran bagi para siswa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (Riyana, et al., 2011). Dengan memanfaatkan internet berarti siswa mampu meningkatkan kemampuan memecahkan permasalahan lingkungan perairan. Pembelajaran pencemaran air berbasis masalah dengan memanfaatkan internet sebagai sumber informasi, memberi kesempatan pada siswa mempelajari tentang pencemaran air yang disebabkan oleh kegiatan manusia serta akibatnya terhadap ekosistem yang berdampak pula kepada kenyamanan masyarakat. Siswa melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, mempresentasikan hasil penyelidikan, mengemukakan pendapatnya, serta mengajukan solusi permasalahan dari hasil penyelidikan. Setelah melalui pembelajaran yang diterapkan pada
244
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 penelitian ini diharapkan kemampuan memecahkan masalah siswa menjadi berkembang dengan baik.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Dengan menggunakan The Matching-Only Pretest-Posttest Control Group Design (Fraenkel & Wallen, 2006). Penelitian ini terdiri dari dua kelompok belajar, yang pertama adalah kelompok eksperimen, yang diberi perlakuan dengan pembelajaran berbasis masalah berbantuan internet dan yang kedua kelompok kontrol menggunakan pembelajaran secara konvensional. Kedua kelompok tersebut kemudian diberikan pretest, perlakuan, dan posttest. Perubahan hasil yang diperoleh dari data pretest dan posttest dianggap sebagai perubahan yang disebabkan oleh adanya perlakuan yang diberikan pada subjek. Dengan menggunakan metode ini, dilakukan analisis tentang pengaruh pembelajaran pencemaran air berbasis masalah dengan memanfaatkan fasilitas internet biologi serta manfaatnya terhadap peningkatan kemampuan memecahkan masalah siswa MA kelas X. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X di MA swasta di Kabupaten Bandung Barat, yang terdiri dari 3 (tiga) rombongan belajar. Pengambilan sampel dilakukan secara Cluster Random Sampling, yaitu siswa kelas X2 sebanyak 20 orang sebagai kelompok eksperimen dan siswa kelas X3 berjumlah 20 orang sebagai kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini yaitu soal kemampuan memecahkan masalah. Pengolahan data untuk kemampuan pemecahan masalah dilakukan dengan menghitung skor gain ternormalisasi, uji perbedaan dua rata-rata serta uji Mann Whitney U dengan menggunakan SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian terhadap pemanfaatan internet melalui pembelajaran pencemaran air berbasis masalah dan manfaatnya terhadap kemampuan memecahkan masalah siswa, menunjukkan adanya peningkatan pada nilai N-gain. Peningkatan pemecahan masalah ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Perhitungan Hasil Tes kemampuan Memecahkan Masalah Pemecahan Masalah Eksperimen Kontrol Jumlah Siswa (N) 20 20 N- Gain 0.51 0.36 Uji Perbedaan Rerata (uji--t) Nilai Signifikansi (sig 0.00 α=0.05) Keterangan Ho ditolak Komponen
Pada Tabel 1 menunjukkan nilai rata-rata hasil belajar siswa sebelum dan sesudah melalui pemanfaatan internet dalam pembelajaran pencemaran air berbasis masalah. mengalami peningkatan pada kemampuan memecahkan masalah siswa, dengan hasil N-gain pada kelas Eksperimen 0.51 yang memiliki kategori sedang dan hasil N-Gain pada kelas kontrol 0.36 memperoleh kategori rendah. Meskipun kedua kelas mengalami peningkatan, tetapi kelas eksperimen memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji perbedaan dua rata-rata yang menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa melalui pemanfaatan internet dalam pembelajaran berbasis masalah sangat
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
245
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 berbeda signifikan dengan kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar secara konvensional. Pemanfaatan internet dalam model PBL ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan kemampuan memecahkan masalah, Pembelajaran yang diterapkan ini memberi kesempatan pada siswa untuk melihat permasalahan secara lebih luas dan mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang ada (Labov et al., 2010). Menurut Rusman (2012) menyatakan bahwa penggunaan fasilitas internet sangat penting dalam meningkatkan kualitas pembelajaran karena dapat memberikan jangkauan yang luas, cepat, efektif dan efisien terhadap pengemasan dalam penyebarluasan informasi. Menurut UNESCO (Riyana, et al., 2011) bahwa pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, dan mengikuti kuliah. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan, memperluas wawasan, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Menurut depdiknas (2007), menyatakan bahwa pembelajaran IPA hendaknya memberikan pengalaman belajar yang mengembangkan kemampuan bernalar, merencanakan dan melakukan penyelidikan ilmiah, menggunakan pengetahuan yang sudah di pelajari untuk memahami gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Hal ini selaras dengan model pembelajaran yang di lakukan pada penelitian, yaitu siswa mengembangkan kemampuan bernalar dan bertanggung jawab menghadapi sebuah masalah dalam kehidupan yang nyata dengan melakukan investigasi kerusakan perairan sungai Citarum. Model pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan untuk belajar secara mandiri (Arends, 2008). Dengan melatih kemampuan memecahkan masalah, maka siswa dapat menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan dalam berpikir dan mengaitkan pengetahuan dengan baik, karena syarat dari pembelajaran PBL ini bersifat “ ill structured” yaitu penyelesaian lebih dari satu solusi serta multidisiplin. Sejalan dengan pendapat yang di kemukakan oleh Dewey (Slameto, 1995) bahwa kemampuan berpikir merupakan dasar pemecahan masalah. Siswa dapat menyelesaikan soal pemecahan masalah kemudian dapat menemukan pemecahan masalah yang baik berarti sudah terjadi proses berpikir dalam diri siswa. Dan menurut Dahar (2011) bahwa jika para siswa memecahkan suatu masalah yang mewakili kejadian yang nyata, mereka terlibat dalam perilaku berpikir. Dengan mencapai pemecahan suatu masalah secara nyata, para siswa juga mencapai suatu kemampuan baru. Untuk mengetahui efektivitas pemanfaatan internet dalam model PBL dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, maka dapat dilihat dari pencapaian pada setiap sub indikator pemecahan masalah. Berdasarkan data dari kedua kelas, keduanya mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah, namun kelas eksperimen mengalami peningkatan lebih baik dari kelas kontrol, hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran model PBL berbantuan internet terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa. Berdasarkan hasil data uji statistik menunjukkan bahwa data pretest siswa kelas eksperimen sudah berbeda secara signifikan dengan kelas kontrol, maka untuk mengetahui pencapaian tiap sub indikator kemampuan pemecahan masalah siswa digunakan data posttest dari kedua kelas tersebut, yang akan disajikan dalam Gambar 1 berikut ini.
246
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
0.8 0.6 0.4 0.2 0
0.75
0.61 0.3 0.38
0.3 0.33
kontrol
0.28
0.75 0.72
0.39
eksperimen
Gambar 1. Perbandingan N-gain Kemampuan Pemecahan Masalah Setiap Indikator Gambar 1 menunjukkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah terjadi pada semua indikator yang diukur, walaupun pada salah satu indikator memperoleh kategori rendah. Rendahnya indikator ini di bandingkan dengan indikator lainnya, disebabkan karena kemampuan awal pada indikator ini memiliki nilai tinggi di bandingkan indikator lain. Dan masalah-masalah yang di hadapi oleh siswa merupakan masalah yang berasal dari kehidupan sehari-hari, sehingga siswa mudah untuk mengidentifikasi masalah yang di hadapi. Selain itu pemanfaatan internet dan peranan guru dalam pembelajaran berbasis masalah yang memberi kesempatan kepada siswa dalam menggunakan struktur kognitifnya untuk memahami masalah, mengidentifikasi permasalahan, memprediksi, dan menuntun siswa untuk melakukan penyelidikan dan berusaha untuk memecahkan permasalahan. Selaras dengan teori Gestalt (Gintings, 2008), menyatakan bahwa masalah yang di hadapi oleh seseorang akan menimbulkan ketidakseimbangan kognisi dan orang itu akan berusaha memecahkan masalah tersebut, guna mencapai kembali keseimbangan kognisi. Guru yang mengajar di kelas kontrol masih berorientasi pada pengembangan berpikir rendah (low order of thinking) yaitu mengingat dan memahami saja, sehingga akan berdampak pada ketidakberhasilan pencapaian indikator kemampuan pemecahan masalah siswa. Dengan demikian tantangan terbesar bagi guru yaitu mengembangkan tiga tahapan akhir berpikir (high order of thinking) yaitu kemampuan memecahkan masalah dan berpikir kreatif (Anderson, 2010). Namun peningkatan indikator kemampuan memecahkan masalah ini hampir sama di karenakan dalam kelas kontrol terdapat penugasan di luar kelas untuk menganalisis suatu permasalahan, yang sebagian siswanya memanfaatkan fasilitas internet. Hal ini kemungkinan sebagian besar siswa bereksplorasi dalam menganalisis masalahnya sehingga kemampuan indikator ini hampir sama. Selain itu menurut Sutrisno (2011) pembelajaran berbantuan web melalui PBL cenderung bersifat mandiri dan membentuk siswa menjadi pribadi dan komunitas yang mampu berpikir kritis, memahami diri, mengembangkan potensi diri, sehingga kompeten dalam memecahkan masalah kehidupan yang sedang dihadapi sebagai bekal masa depan. Penelitian di atas membuktikan bahwa saat sekarang siswa tidak hanya membutuhkan materi namun bagaimana mengembangkan keterampilan belajar yang diingat sepanjang hayat.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkah analisis data dan pembahasan dalam penelitian, bahwa pemanfaatan internet melalui pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa pada materi pencemaran air dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dengan menggunakan metode ceramah. Pemanfaatan internet pada pembelajaran berbasis masalah dapat menstimulus siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya, melalui penyelidikan, merumuskan hipotesis, mengemukakan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
247
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 ide/ gagasan, dan membuat kesimpulan. Dengan siswa melakukan penyelidikan berarti siswa belajar menemukan. Penelitian di atas membuktikan bahwa saat sekarang siswa tidak hanya membutuhkan materi namun bagaimana mengembangkan keterampilan belajar yang diingat sepanjang hayat.
DAFTAR PUSTAKA Anderson & Krathwohl. (2010). Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, Dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arends, R.I. (2008). Learning To Teach. Belajar untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dahar, R.W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah dan Mendasar Aliyah. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas. (2007). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah dan Mendasar Aliyah. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Fraenkel, J. R. and Wallen, N. E. (2006). How to Design and Evaluate Research in Education, sixth edition. McGraw-Hill Companies, Inc. New York, USA Gintings, A. (2008). Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora. Labov, JB. et al. (2010). “Integrated Biology and Undergraduate Science Education : A New Biology Education for Twenty-First Century?”. CBE-Life Sciences Education. 9, (1), 10-16. [Online]. Tersedia : http://www.lifescied.org/content/9/1/10.full [23 Maret 2012] Riyana, et.al. (2011). Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rajawali Press. Rusman. (2012). Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Bandung : Afabeta. Russel, et.al. (2008). Instructional Technology & Media For Learning. Teknologi Pembelajaran & Media untuk Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Slameto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta Surtikanti, Hertien K. (2009). Biologi Lingkungan. Bandung: Prisma press prodaktama. Sutrisno (2011). Pengantar Pembelajaran Inovatif Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Gaung Persada.
248
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PROFIL KEMAMPUAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE (PCK) MAHASISWA CALON GURU DAN KORELASINYA DENGAN PEDAGOGICAL KNOWLEDGE (PK) DAN SUBJECT MATTER KNOWLEDGE (SMK) PADA MATERI GENETIKA Wenidya Fitri 1), Widi Purwianingsih 2) 1,2)
Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] [email protected]
ABSTRAK Perbaikan pendidikan saat ini telah dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Peningkatan kualitas guru menjadi salah satu cara yang telah dilakukan. Berbagai kompetensi guru telah ditingkatkan dan dikembangkan. Kompetensi guru menuntut guru untuk mampu menguasai materi dengan baik dan mampu membelajarkannya dengan tepat kepada siswanya. Calon guru sebagai pihak yang dianggap nantinya bertanggungjawab dalam mendidik perlu dibekalkan kemampuan untuk mengintegrasikan keduanya dalam bentuk pembelajaran yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran kemampuan Pedagogical Content Knowledge (PCK) mahasiswa. Selain itu juga melihat bagaimana hubungan kemampuan PCK dengan penguasaan konsep (Subject Matter Knowledge) dan kemampuan pedagogi (pedagogical Knowledge) yang dimiliki oleh mahasiswa. Penelitian ini menggunakan mixed method (metode campuran). Teknik pengumpulan data melalui tes, observasi, dokumentasi, catatan lapangan dan wawancara. Sumber data adalah mahasiswa pendidikan biologi semester 6 yang mengontrak mata kuliah Kapita selekta Biologi SMA pada salah satu LPTK. Teknik pengambilan sampel adalah dengan randomized sampling. Teknik analisis data dengan menggunakan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan PCK mahasiswa cukup baik. Korelasi antara kemampuan PCK dengan penguasaan konsep baik yaitu 0,66 pada kategori kuat. Korelasi kemampuan PCK dengan kemampuan pedagogi pada kategori sedang yaitu 0,45. Kemampuan pedagogi dan penguasaan konsep pada mahasiswa calon guru ternyata mampu mendukung kemampuan PCK. Kata Kunci: kompetensi guru, Pedagogical Content Knowledge (PCK), kapita selekta biologi SMA, korelasi
PENDAHULUAN Pendidikan saat ini terus mengalami proses perbaikan dari segala aspek, baik dari kualitas guru sampai dengan proses pembelajaran. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah mulai dari perbaikan sarana dan prasarana yang mendukung pendidikan hingga meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan sertifikasi guru yang telah dilakukan SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
249
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 beberapa tahun kebelakang diharapkan dapat memperbaiki kualitas pembelajaran di sekolah. Upaya untuk meningkatkan tingkat kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional guru telah dilakukan dengan bernbagai cara, antara lain dengan mempersiapkan calon guru saat berada di LPTK dan melakukan Pendidikan Profesi guru. Menurut Permendiknas no.74 tahun 2008, guru harus memiliki 4 kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi profesional, kompetensi pribadi, kompetensi sosial. Profesionalisme guru yang dimaksudkan dalam permendiknas tersebut meliputi penguasaan materi, konsep dan disiplin keilmuan sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. Sementara dalam kompetensi pedagogi dituntut untuk menguasaia landasan ilmu kependidikan dalam pengelolaan pembelajaran. Sejalan dengan itu semua guru seharusnya memiliki konsep yang benar terhadap apa yang diajarkan dan guru juga seharusnya memiliki konsep yang benar terhadap apa yang diajarkan dan guru juga seharusnya mempunyai kemampuan pedagogi yang baik agar mampu membelajarkan siswanya sehinga dapat memahami materi yang disampaikan. Keduanya akan terintegrasi dengan baik jika guru memiliki PCK (Pedagogical cotent Knowledge) yang baik. PCK merupakan kemampuan seorang guru dalam mempresentasikan dan memformulasikan suatu materi sehingga mudah dipahami oleh peserta didik (Shulman, 1986, 1987). PK (Pedagogical Knowledge) ialah pengetahuan tentang ilmu pedagogi, sementara itu SMK (Subject Matter Knowledge) merupakan pengetahuan tentang konsep materi yang akan diajarkan oleh guru. Kedua pengetahuan ini adalah komponen pembangun PCK. Sejalan dengan itu kedua pengetahuan ini juga dituntut untuk dimiliki oleh seorang guru dalam kompetensi guru menurut UU no.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menurut Purwianingsih (2011) calon guru sebagai pihak yang nantinya dianggap bertanggungjawab dalam membelajarkan pembelajaran dengan baik dan benar, perlu dibekali dengan penguasaan konsep yang kuat dan kemmapuan untuk membelajarkan konsep tersebut dengan baik dna benar. Hal ini sesuai dengan salah satu kompetensi professional yang haru dimiliki guru adalah kemampuan mengintegrasikan pembelajaran dengan materi yang akan diajarkan. Sejalan dengan itu kompetensi professional menurut (BSNP, 2006) adalah penguasaan materi pelajaran secra luas dan mendalam sesuai dnegan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan atau kelompok mata pelajaran yang diampunya, konsep dan metode didisiplin keilmuan, teknologi, dan atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu. Hal ini berarti bahwa calon guru harus memiliki kemempuan PCK yang layak, sehingga nantinya mereka dianggap mamapu melakukan pembelajaran dengan baik dan benar pula. Lembaga penyalanggara pendidikan guru seperti LPTK seharusnya menyadari betul kompetenssi capaian yang seharusnya dimiliki guru yang nantinya akan berkecimpung di lapangan dengan segala tantangana yang akan dihadapi. Untuk itu pembekalan tentang keprofesionalan guru yang termasuk didalam PCK sudah tentu manjadi suatu hal yang penting untuk dibekalkan kepada mahasiswa calon guru khusunya di jurusan biologi. PCK selama ini masih jarang dibekalkan dalam sebuah struktur mata kulaih tertentu. Kapita selekta Biologi SMA, merupakan mata kuliah yang saat ini telah mencoba membekalkan PCK calon guru biologi, dengan mengintegrasikan PK (Pedagogy Knowledge) dan SMK (Subject Matter Knowledge) dalam struktur perkuliahannya. Penguasaan konsep yang baik berperan sangat penting bagi calaon guru untuk memiliki kemampuan PCK yang baik. Seperti yang diungkap (Gess-Newsome,
250
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 &Lederman dalam Purwianingsih,2011) bahwa guru dengan penguasaan konsep SMK (Subject Matter Knowledge), akan mempunyai pengetahuan yang lebih tentang hubungan antar konsep dan metode yang yang menghubungkan suatu konsep dengan konsep lainnya. Dengan penguasaan konsep yang baik, guru juga dapat mengetahui dan mengenali miskonsepsi yang terjadi pada siswa, dapat memilih konten –konten mana saja yang dianggap penting dijarkan atau tidak, dan menghindari miskonsepsi pada siswa. Tanpa memahami suatu materi dengan baik, akan sulit bagi guru untuk memahamkan siswa pada suatu materi. Pembelajaran yang saat ini berlangsung di perguruan tinggi pendidikan belum semua memiliki beban untuk membekalkan kemampuan PCK kepada calon guru karena pembelajaran pada setiap mata kuliah diajarkan secara terpisah antara konten materi dan pedagogi. Salah satu mata kuliah yang melakukan penerapan PCK dalam perkuliahan ini adalah mata kuliah Kapita Selekta Biologi SMA. Mata kuliah ini dirancang untuk membekalkan PCK dalam menekankan dan memberi penguatan terhadap penguasaan konsep yang benar kepada mahasiswa yang selanjutnya melatihkan mahasiswa untuk mampu mengaplikasikan konsep tersebut dalam sebuah pembelajaran. Berdasarkan latar belakang diatas maka akan dilakukan studi untuk melihat gambaran kemampuan PCK mahasiswa calon guru pada materi genetika dan melihat hubungannya dengan PK (Pedagogical Knowledge) dan SMK ( Subject Matter Knowledge ) yang dimiliki mahasiswa.
METODE PENELITIAN Analisa terhadap fokus permasalahan dilakukan dengan menggunakan metode campuran yaitu metode deskriptif dan korelasional. Penelitian metode campuran (mixed methods research) menggunakan teknik pengumpulan data dan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 2007). Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan keadaan fenomena-fenomena yang ditemukan dan dideskripsikan apa adanya, tidak dimodifikasi atau diberi perlakuan (Arikunto, 2000). Sedangkan penelitian korelasional ialah penelitian yang menggambarkan dan menafsirkan data yang ad, kemudian dilanjutkan dengan analisis dan interpretasi tentang arti data. Tujuan penelitian korelasional adalah mengidentifikasi hubungan variable dengan teknik statistik. Berdasarkan pengertian di atas penelitian ini dapat dikatakan menggunakan metode campuran (mixed method research) yaitu menggabungkan metode deskriptif secara kualitatif dan metode korelasional secara kuantitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan hubungan antar variabel kemampuan pedagogi (Pedagogical Knowledge) (X1) dan variable penguasaan konsep (Content Knowledge) (X2) dengan kemampuan PCK (Pedagogical Content Knowledge) mahasiswa calon guru biologi (Y). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kemampuan Pedagogical Content Knowledge (PCK) mahasiswa dan melihat hubungannya dengan penguasaan konsep dan kemampuan pedagogi yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa calon guru yang mengontrak mata kuliah kapita selekta. Sampel yang diambil adalah mahasiswa yang membahas tentang materi genetika dan metabolisme. Teknik pengambialan sampel yang digunakan adalah simple randomized sampling (pengambilan sampel secara acak), dimana mahasiswa terpilih berdasarkan pengundian nama untuk masing-masing kelompok yang akan membahas sub materi tertentu dalam perkuliahan ini.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
251
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Adapun isntrumen yang digunakan untuk mengungkap tujuan penelitian ini adalah: 1. Tes penguasaan konsep dan tes penguasaan PCK untuk konsep bahasan genetika. Tes konsep ini berupa tes tertulis dengan soal uraian untuk mengukur penguasaan konsep dan dan tugas pembuatan peta konsep. Tes penguasaan PCK yang terkait materi genetika. Tes PCK menggunakan soal uraian, berupa pembuatan pra RPP dan argumentasinya. 2. Lembar Observasi Penilaian ini dilakukan oleh observer dan teman sejawat untuk menilai kegiatan presentasi peta konsep, analisis buku dan simulasi mengajar. Sementara itu untuk tugas menggunakan lembar penilaian dan kedua nilai tersebut dirata-ratakan. Penilaian ini dijadikan sebagai salah satu pelengkap penilaian penguasaan PCK. Penilaian ini dilakukan oleh teman sejawat dengan peer assessment dilakukan secara berkelompok yiatu kelompok lain yang tidak bertugas melakukan presentasi. 3. Angket dan Wawancara Angket digunakan untuk menjaring pendapat mahasiswa terhadap perkuliahan kapita selekta biologi SMA. Sementara panduan wawancara digunakan untuk mengungkapkan bagaimana perspektiv mahasiswa calon guru terhadap perkuliahan yang memberi bekal terhadap kemampuan PCK yang menggabungkan penguasaan konsep dengan kemampuan yang telah mereka miliki dari perkuliahan sebelumnya. Wawancara memberikan arahan untuk mengetahui gambaran PCK yang dimiliki mahasiswa. 4. Rekaman Sebagai bahan pembanding dan penguatan hasil observasi, dilakukan pada simulasi pembelajaran materi genetika dan presentasi tugas-tugas. 5. Catatan lapangan Selama pelaksanaan penelitian dilakukan pencatatan hal-hal penting yang menunjang terlaksananya penelitian. Catatan ini menjadi penguatan dan pengingat bagi peneliti ketika mengambil kesimpulan penelitian jika terdapat hal-hal yang terlewatkan saat melakukan penggambaran keadaan saat penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkuliahan kapita selekta sebagai mata kuliah yang dijadikan fokus penelitian ini merupakan satuan perkuliahan yang bertujuan untuk membekalkan kemampuan PCK kepada mahasiswa dengan cara memberikan pementapan konsep dan mengajarkan bagaimana cara membelajarkannnya kepada siswa nantinya. Artinya bahwa perkuliahan ini menggunakan konsep pengetahuan pada materi yang diajarkan dan dasar-dasar ilmu pedagogi yang sebelumnya telah dimiliki mahasiswa dari mata kuliah lainnya. Pemantapan konsep yang diberikan kepada mahasiswa dilakukan dengan cara penugasan pembuatan peta konsep dan diperikasa secara bersama-sama dalam sesi perkuliahannya, selain itu mahasiswa juga diminta membuat pertanyaan berkaitan dengan materi yang akan dibahas seminggu sebelum perkuliahan dilakukan sehingga dosen bisa mengetahui miskonsepsi yang ada pada mahasiswa dan bisa melurusknannya dalam perkuliahan. Perbaikan terhadap peta konsep tersebut dengan merevisi ulang peta konsep tersebut. Sementara untuk membelajarkannya dengan baik mahasiswa diberikan penugasan pembuatan RPP dan melakukan simulasi pembelajaran dalam perkuliahannya, hal ini akan melatih mahasiswa untuk mengajarkan konsep yang benar dengan cara penyampaian yang tepat.
252
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Dalam perkuliahan ini masukan dari dosen pembimbing mata kuliah ini sangat berperan penting untuk perbaikan kualitas pembelajaran yang dilakukan mahasiswa nantinya. Sehingga penugasan yang diberikan selalu disertai perbaikan pada setiap pertemuan. Kemampuan PCK mahasiswa calon guru terlihat cukup baik,hal ini sejalan dengan hasil tes yang dilakukan baik itu tes kemampuan PCK atau kemampuan konsep yang mereka miliki. Secara umum gambaran kemampuan ini diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan selama perkuliahan berlangsung dan tes kemampuan PCK tersebut. Kemampuan PCK yang mereka miliki tidak diperoleh begitu saja, namun melewati proses yang panjang salah satu proses yang harus mereka lewati adalah penerapannya dalam mata kuliah ini. Dari hasil wawancara yang dilakukan mahasiswa merasa bahwa pembekalan kemampuan PCK ini sangat memeberikan mafaat bagi mereka. Sejalan dengan itu mereka mengakui bahwa pembekalan ilmu pedagogi dan konsep yang diberikan scara terpisah membuat mereka cukup kebingungan untuk merancang sebuah pembelajaran nantinya, namun dengan adanya pembekalan ini mereka jadi merasa lebih percaya diri dan mengerti bagaimana cara mengintegrasikan kedua domain kemampuan ini nantinya jika kelak mengajar di lapangan. Teknik analisis data menggunakan teknik staatistik korelasional dalam hal ini peneliti menggunakan software SPSS versi 20 untuk menentukan hubungan variabel penguasan konsep (X1) dan kemampuan pedagogik (X2) dengan kemampuan PCK (Y). Hubungan antara kemampuan PCK mahasiswa dengan penguasan konsep (Subject Matter Knowledge) adalah hubungan positif dengan koefisien korelasi (r) 0,66 tergolong tinggi artinya penguasaan konsep yang baik mempengaruhi kemampuan PCK mahasiswa atau dengan kata lain semakin baik penguasaan konsep mahasiswa semakin baik pula kemampuan PCK yang dimilikinya. Sementara itu hubungan kemampuan PCK dengan kemampuan pedagogi (Pedagogical Knowledge) memiliki koefisien korelasi sebesar 0,45 yang tergolong sedang dengan tingkat kepercayaan 95% artinya hubungan keduanya juga positif. Hal ini berarti bahwa semakin baik kemampuan pedagogi mahasiswa maka semakin baik pula kemempuan PCK yang dimilikinya. Artinya kedua kemampuan ini sangat memepengaruhi kemampuan PCK mahasiswa.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah: Kemampuan PCK merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh calon guru agar mampu mengaplikasikan ilmu secara lebih terintegrasi dan menyeluruh Kemampuan PCK mahasiswa akan baik jika ditunjang oleh pemahaman konsep yang baik dan ditunjang oleh kemampuan pedagogik yang baik pula Mahasiswa akan lebih percaya diri jika dibekalkan kemampuan PCK yang baik saat di LPTK Saran Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian sejenis Penelitian ini memberikan gambaran kebutuhan akan pentingnya pembekalan PCK di LPTK, sehingga pembekalan PCK di LPTK dapat dijadikan kurikulum yang terintegrasi.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
253
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 DAFTAR PUSTAKA Anderson, L. W dan Krathwohl, D.R. (2010). (alih bahasa) Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arikunto, S. (2000). Prosedur Penelitian ( Suatu pendekatan Praktek). Jakarta: Rieneka Cipta. Campbell., Reece. (2009). Biology Eight Edition. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings Campbell., Reece., Taylor., Simon., Dickey. (2012). Biology Concept & Connection Seventh Edition. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings. Cresswell, Jhon W. (2007). Designing and Conducting Mixed Method Research. California: Sage Publication. Dahar, R. W. (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga Fraenkel, J.R. & Wallen, N. E. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Companies. Gess-Newsome, J & Lederman. (1999). Examining Pedagogical Content Knowledge. Dordrecth, The Nedherland: Kluwer. Hamidah, D. (2011). Pengembangan Profesional Guru Biologi SMA Melalui Program Pelatihan Pedagogical Content Knowledge pada materi Genetika. Disertasi Pascasarjana program studi IPA UPI: tidak diterbitkan. Jong, O. D, Van Driel, &Verloop, N. (2005). Preservice Teacher’s Pedagogical Content Knowledge of Using Particle Models In teaching Chemistry. Journal Of Research in Science Teaching, 42 (8), 947-964. Joyce. B, Weil. M, Calhoun. E. (2009). Model Of Teaching. Boston: Allyn and Bacon. Loughran, Jhon. J., Mulhall, Pamela., Berry, A. (2008). Exploring Pedagogical Content Knowledge in Science Teacher Education. International Journal Of Science Education, 30 (10), 1301-1320. Mulyasana, D. (2012). Pendidikan Bermutu dan Berdaya saing. Bandung: Rosda Karya. Mulyono. G, & Suhandi. A. (2010). Tingkat Kompetensi Pedagogik dan Profesional Guru Fisika SMP di Jayapura Serta hubungannya dengan hasil belajar Fisika Siswa. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA (vol 4 no 3). Program Studi IPA Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2008). PPRI nomor 74 tentang guru dan dosen. Jakarta
254
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Purwinaingsih, W. (2011). Pengembangan Program Pembekalan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Bioteknologi melelui perkuliahan KApita selekta biologi SMA. Disertasi Pascasarjana program studi Pendidikan IPA Universitas Pendidikan Indonesia.: tidak diterbitkan. Rustaman, N.Y., Dirdjosoemarto, S., Yudianto, S. A., Achmad, Y. Subekti, R., Rochintaniawati, D., Nurjani, M. (2005). Strategi Belajar mengajar Biologi Common Text Book. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Shulman, L. S. (1986). Knowledge and Teaching: Foundation of The New Ref orm. Harvard Educational Review, 57 (1), 1-22. Shulman, L. S. (1987). Those Who Understand: Knowledge Growth in Teaching. Educational Researcher, 15 (2), 4-14. Stiggins, R. J. (1994). Student Centered Calssroom Assessment. New York: MCMillan Collage Publishing Company. Sudjana, N. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Tamarin, Robert. H. (2001). Princip;es of Genetic. McGraw-Hill Van Driel, Verloop. N, & De Vos, W. (1998). Developing Science Teachers Pedagogical Content Knowledge. Journal of Research in Science Teaching, 35 (6), 673-695.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
255
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
POTENSI TUMBUHAN LOKAL PULAU LOMBOK DALAM UPAYA MENUNJANG KETAHANAN PANGAN Immy Suci Rohyani1), Evy Aryani2), Suripto3), Kurniasih Sukenti4) 1,2,3,4)
PS Biologi FMIPA Universitas Mataram [email protected] [email protected] [email protected] [email protected]
ABSTRAK Kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat seperti bahan pangan memberi dampak yang sangat basar pada masyarakat terutama untuk peningkatan gizi masyarakat. Sementara variasi jenis dan macam pangan lokal Indonesia sangat beragam. Kondisi ini bukan mencerminkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang rendah tetapi tetapi mencerminkan kebiasaan dan kearifan masyarakat setempat dalam memanfaatkan keadaan alam yang harmonis dan selaras. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi jenis-jenis tanaman lokal yang biasanya dimanfaatkan sebagai pangan alternatif oleh masyarakat pulau Lombok. Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi yang digabungkan dengan Purposive Sampling dan teknik Snowball Samplling untuk menentukan lokasi sampling dan narasumber sebagai sumber informasi. Analisis pola sebaran menggunakan indeks Morisita. Analisis data potensi menggunakan analisis pemetaan komposit (CMA). Hasil inventarisasi diperoleh 64 jenis tumbuhan lokal yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan alternatif. Hasil analisis potensi menujukan hanya 15 jenis tanaman lokal tersebut yang memiliki nilai ekonomi berdasarkan nilai bobot pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan lokal tersebut oleh masyarakat. Kata Kunci: tumbuhan lokal, pangan, pulau lombok
PENDAHULUAN Sejak zaman dahulu, manusia telah memanfaatan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan pangan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki variasi jenis dan macam pangan lokal yang sangat beragam. Sebaran penduduk dan keragaman habitat tempat mereka tinggal menyebabkan masyarakat mengkonsumsi makanan sesuai dengan tumbuhan yang tumbuh di tempat mereka tinggal sebagai makanan pokok atau pangan alaternatif. Bahan pangan pada umumnya terdiri atas zat-zat kimia, baik yang terbentuk secara alami ataupun secara sintesis dalam berbagai bentuk kombinasi (Winarno, 1993). Pulau Lombok dengan mayoritas penduduk aslinya yaitu suku sasak telah mengenal dan memanfaatkan sejumlah tumbuhan lokal yang tumbuh di pekaranag rumah maupun lahan pertanian mereka sebagai sumber bahan pangan alternatif. Urap jagung, urap gaplek, dan urap
256
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 gadung merupakan jenis-jenis panganan lokal yang sering dikonsumsi masyarakat pulau Lombok. Biasanya masyarakat mengkonsumsi panganan tersebut bersama kelapa parut sehingga sering disebut dengan urap. Kondisi ini bukan mencerminkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang rendah tetapi kebiasaan dan kearifan masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya hayati yang harmonis dan selaras. Kearifan lokal sebagai sumber karbohidrat masyarakat di pedesaan yang biasa dikonsumsi adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong (sebek), surak, sukun, gembili (kemilik), uwi dan labu. Sumber protein berasal dari aneka jenis ikan, unggas, dan jenis kacang-kacangan yang berasal dari hasil budidaya maupun hasil dari alam. Adapun untuk sumber mineral dan vitamin, didapat dari buah-buahan dan sayuran yang tersedia di pinggiran hutan, kebun, pematang sawah, saluran irigasi maupun di pekarangan rumah (Tupan, 2011). Keberagaman pangan yang ada merupakan potensi terbesar yang dimiliki bangsa ini dalam upaya menunjang ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan bentuk ketersediaan pangan yang mencukupi dan merata sehingga setiap anggota masyarakat dapat mengkonsumsi dan memperoleh pangan tersebut dengan mudah dan murah. Bentuk kebijakan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan yang bersumber pada sumberdaya hayati dan kearifan lokal. Upaya ini untuk menghindari ketergantungan pada satu jenis bahan pangan yang dapat menyebabkan kenaikan harga, sebagai akibat dari adanya fluktuasi perubahan musim tanam, pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan pertumbuhan produksi dan adanya ketergantungan pada produk impor serta pemerataan produksi. Keadaan ini diperparah dengan semakin menyusutnya lahan persawahan dan perkebunan akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri. Diversifikasi pangan dilakukan juga untuk menghidari terjadinya kelangkaan bahan pangan dan upaya pelesarian sumberdaya genetis tumbuhan lokal untuk menunjang ketahanan pangan nasional. Diversifikasi pangan jika dilaksanakan dan dikelola dengan baik selain dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat, juga dapat memasok kebutuhan pangan negara-negara lain. Namun adanya pola konsumsi masyarakat yang sudah begitu melekat dan identik dengan beras dan terigu memperlambat upaya diversifikasi pangan. Perlu adanya upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan menggali potensi tumbuhan lokal yang dikenal dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan alternatif. Upaya tersebut dapat dimulai dengan menginventarisasi jenis-jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan alternatif. Data dan informasi mengenai tumbuhan lokal yang berpotensi sebagai bahan pangan alternatif, khususnya yang berasal dari pulau Lombok belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan lokal yang ada di pulau Lombok yang potensial sebagai pangan alternatif berdasarkan tingkat pengetahuan dan pemanfaatannya oleh masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaatan bagi pengembangan potensi tumbuhan lokal sebagai pangan alternatif untuk menunjang program diversifikasi pangan, menuju ketahanan pangan nasional.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di seluruh wilayah pulau Lombok pada empat kabupaten dan kota yaitu kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok tengah, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara serta wilayah Kota Mataram. Metode penelitian menggunakan metode eksplorasi. Eksplorasi dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu studi pendahuluan untuk memperoleh informasi dasar melalui studi literatur, pengambilan data skunder dari instansi-instansi dan LSM terkait. Penelitian lapangan terhadap tumbuhan pangan alternatif yang dikenal dan biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan. Penelitian ini dilakukan melalui teknik pengamatan langsung terhadap jenis tumbuhan pangan yang ada di lokasi dan wawancara dengan masyarakat menggunakan angket (kuisoner). Tumbuhan yang termasuk dalam kategori pangan alternatif adalah tumbuhan yang dikenal dan biasanya dikonsumsi oleh masyarakat dan merupakan kearifan lokal yang berkembang dalam masayarakat tersebut. Penentuan daerah sampling dilakukan secara Purposive Sampling yaitu, penentuan daerah sampel bertujuan. Daerah sampling dipilih berdasarkan hasil data sekunder dan studi literatur. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
257
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Penentuan narasumber dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Snowball Samplling (Endraswara, 2006), yaitu teknik penentuan narasumber dimana narasumber ditentukan berdasarkan informasi dan rekomendasi dari narasumber-narasumber yang ditemui sebelumnya hingga mendapatkan data jenuh (tidak terdapat penambahan informasi lagi). Analisis pola sebaran menggunakan indeks Morisita (Krebs, 1986). Analisis data potensi tumbuhan pangan menggunakan analisis pemetaan komposit (CMA). Hasil analisis ini diperoleh nilai bobot dari masing-masing jenis tanaman pangan tersebut, selanjutnya dipilih beberapa jenis tanaman yang paling potensial berdasarkan nilai bobot pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat yang paling tinggi. Spesimen tanaman yang digunakan sebagai bahan pangan alternatif diambil langsung di lokasi tumbuhnya dibantu oleh informan. Spesimen kemudian difoto, untuk dikoleksi dalam bentuk herbarium dan diidentifiksi. Identifiksi dan nama ilmiah jenis tumbuhan mengacu pada buku identifiasi Flora of java dan flora malesiana, serta hasil komunikasi dengan para ahli dan hasil penelusuran di internet.
HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi Tumbuhan Lokal sebagai Pangan Alternatif di Pulau Lombok Tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor yang seringkali dipakai sebagai barometer dalam menggambarkan kondisi sektor pertanian secara umum. Hal ini tidak terlepas dari besarnya peran jenis tanaman yang masuk dalam kelompok sub sektor ini dalam kehidupan masyarakat. Tanaman padi (padi sawah dan padi ladang), jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai merupakan jenis tanaman yang merupakan bahan pangan utama masyarakat. Namun keadaan produk tanaman lain khususnya tumbuhan lokal juga patut dilihat sebagai gambaran potensi pertanian yang dimiliki. Tabel 1. Persentase profil responden dan tingkat pengetahuannya terhadap tumbuhan pangan alternatif. Usia responden 1 2 < 30 6 30 - 40 23 40 - 50 29 > 50 43 JUMLAH 100
Kelamin 3 4 6 0 14 9 20 9 37 6 77 23
Pendidikan 5 6 7 0 0 6 11 6 3 14 6 9 26 11 0 51 23 17
8 0 3 0 6 9
Pekerjaan 9 10 11 3 0 3 14 6 3 20 6 3 26 9 9 63 20 17
Pengetahuan tumbuhan 12 13 0 6 6 17 17 11 40 3 63 37
Sumber pengetahuan 14 15 16 17 0 0 0 0 6 0 0 0 9 6 0 3 29 6 3 3 43 11 3 6
Keterangan: 1 2 3 4
usia frekuensi laki-laki perempuan
5 6 7 8
SD SMP SMA PT
9 10 11 12
petani pedagang PNS mengetahui
13 14 15 16 17
tdk mengetahui leluhur masyarakat instansi bacaan
Pengetahuan atau pengenalan masyarakat khususnya yang berusia muda tentang tumbuhan lokal sudah mulai berkurang, dari beberapa responden yang ditemui pada empat kabupaten di pulau Lombok 40% diantaranya tidak mengetahui tentang tumbuhan lokal. Selebihnya pengetahuan tentang tumbuhan lokal diperoleh masyarakat dari leluhurnya atau orang tua kemudian dari masyarakat sekitar. Responden yang mengetahui tentang tumbuhan lokal tersebut kebanyakan laki-laki berusia di atas 50 tahun dan berprofesi sebagai petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar atau putus sekolah (Tabel1). Petani lebih mengenal jenis-jenis tumbuhan lokal dan sering memanfaatkannya sebagaia pangan alternatif terutama disaat-saat paceklik. Hasil inventarisasi melalui wawancara dengan responden diperoleh sebanyak 64 jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan sebagai pangan alternatif (Tabel 2). 60% dari jumlah tersebut, jenis tumbuhannya sudah mulai jarang ditemukan, sehingga kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kurangnya pemanfaatan tumbuhan lokal tersebut sebagai pangan alternatif oleh
258
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 masyarakat disebabkan karena rasanya yang kurang sesuai dengan lidah masyarakat. Kepraktisan dalam pengolahannya yang disebabkan kerena panegetahuan masyarakat yang kurang dalam pengolahan tumbuhan tersebut dengan baik. Nilai jual yang rendah dari tumbuhan tersebut menyebabkan masyarakat tidak tertarik untuk membudidayakannya. Menurut Singarimbun dan Handayani (1995), Satari (1989), Wirakartakusumah dan Suhardjo (1991) adanya hambatan faktor budaya pangan, lahan dan iklim daerah pengembangan serta efisiensi produksi menjadi penyebab terhambatnya pemanfaatan tumbuhan lokal sebagai pangan alternatif. Tabel 2. Invetarisasi Jenis Tumbuhan Pangan Lokal Berdasarkan Bagian Yang Paling Sering Dimanfaatkan BAGIAN YANG DIMANFAATKAN UMBI BATANG DAUN BUAH BIJI Sebek/Ganyong Sagu Bebele Gatep Getem Arus/Garut Kicang Banitan Jowet Lebui Kimpul/Lomak Goaq Pisang Kacang Tunggak Sabrang Tojang Borne Terep Uwi Bujak Ketimus Buleleng / sorgum Gembili Banten Kepundung Botor/kecipir Gadung Bayem Buah Ajan Bagu / Belinjo Lempok Gingseng Ceruring Komak batek Lombos Semanggi Keluih Kacang renyem Renggak Lengkarang Sukun Komak putih Are Komak Merah Obel-obel Kacang Merah Kaliasem Kacang burik Kentang hutan Jawa/Ekor kucing Buah Ketapang Jali Enggal Rambit Buah Malaka Buah Bila Buah Dempel Kesambi Pete cina/Lamtoro Kelak Agel Buah Badung Buah Dau Buah Tab Berdasarkan bagian tumbuhan yang dimanfaatkan buah lokal memiliki jumlah jenis yang paling banyak dikenal oleh masyarakat sebanyak 27 jenis. Biji sebanyak 15 jenis. Umbi dan daun 10 jenis. Batang tumbuhan dua jenis. Buah memiliki kandungan vitamin dan mineral yang cukup tinggi jika dibudidayakan dan dioptimalisasi pemanfaatannya dengan baik diduga berpotensi sebagai pengganti buah-buahan impor yang belakangan banyak beredar dipasaran. Masyarakat pulau Lombok sangat suka mengkonsumsi jenis biji-bijian yang dipadukan dengan daun sebagai sayuran pelengkap makan nasi. Biji-bijian sering juga dijadikan cemilan yang berbumbu. Umbi sering dikonsumsi dengan cara dimasak atau dicampur dengan kelapa sebagai urap. Batang tumbuhan lokal seperti kicang diolah sebagai sambal goerang oleh masyarakat. Habitus dari tumbuhan pangan lokal tersebut kebanyakan berbentuk pohon atau berkayu (43,8%), semak 33,8% dan merambat 20%. Kebanyakan tumbuhan di atas merupakan tanaman SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
259
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 musiman dengan persentase sekitar 65%, persentase untuk tanaman yang dapat dipanen setiap saat sekitar 17,5% dan tanaman tahunan sekitar 8,8%. Tabel 2. Jenis Tanaman Lokal Yang Potensial Sebagai Pangan Alternatif Di Pulau Lombok Nama Nama Bobot Bobot Sebaran Lokal Umum Nama ilmiah Pemanfaatan Pengetahuan Baccaurea Kepundung Menteng racemosa Muell. 0.08 0.08 seragam Arg Jowet Jamblang Syzygium cumini 0.08 0.08 seragam Antidesma bunius Borne Wuni 0.08 0.07 seragam L Spreng Xanthosoma lomak Kimpul 0.07 0.08 seragam sagittifolium (L) Canna discolor L. Sebek Ganyong 0.07 0.07 seragam syn Uwi Uwi 0.07 0.07 seragam Dioscorea alata Kacang Lebui 0.07 0.07 seragam gude Cajanus cajan Maranta Arus Garut 0.07 0.06 seragam arundinacea Disoscorea Gadung Gadung 0.06 0.07 seragam hispida Gatep Gayam 0.05 0.07 seragam Inocarpus fagifer Kentang Sabrang 0.06 0.06 seragam sabrang Coleus tuberosus Protium Ketimus Ketumus 0.06 0.05 seragam javanicum Bebele Pegagan 0.06 0.03 seragam Centella asiatica Buah Ajan Diospyros 0.02 0.07 acak Ajan kelicung macrophylla Dioscorea Gembili Gembili 0.05 0.03 seragam esculenta
Sejumlah tumbuhan lokal yang telah berhasil diinventarisasi di lapangan kemudian dicari nilai skor dan bobot potensinya, selanjutnya dipilih beberapa jenis tumbuhan yang memiliki nilai bobot tertinggi berdasarkan potensi pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat terhadap tumbuhan lokal tersebut (Tabel 3). Diperoleh 17 jenis tumbuhan lokal berdasarkan potensi pemanfaatan dan pengetahuannya yang tinggi. Indikator potensi pemanfaatan ini ditentukan berdasarkan pada kemudahan dalam pemanfaatannya, cita rasanya, kesukaan masyarakat terhadap pangan tersebut sebagai pangan alternatif, nilai jualnya dipasaran serta ketertarikan masyarakat untuk membudidayakan tanaman tersebut. Tumbuhan dengan nilai bobot pemanfaatan dan pengetahuan tertinggi berdasarkan nama lokalnya adalah kepundung, jowet, borne, kimpul (lomak), sebek (ganyong), uwi, lebui, arus (garut), gadung, gatep dan buah ajan. Pengolahan tumbuhan pangan lokal tersebut kebanyakan dengan cara dikonsumsi langsung, direbus dan digoreng. Hal ini menunjukan masih rendahnya pengetahuan masyarakat untuk memanfaatkan tumbuhan tersebut menjadi produk olahan. Tumbuhan lokal yang potensial sebagai pangan alternatif di pulau Lombok berdasarkan nilai bobot tertinggi diketahui tujuh jenis diantaranya merupakan pangan alternatif yang biasa dimanfaatkan bagian umbinya dan diketahui memiliki kandungan pati atau karbohidrat yang cukup tinggi sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai pengganti beras atau diolah menjadi tepung. Tumbuhan tersebut diantaranya adalah garut, ganyong, gembili, uwi, kentang
260
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 sabrang, kimpul dan gadung. Di pulau Lombok semua jenis tumbuhan pangan yang potensial tersebut biasanya ditemukan tumbuh liar di pekarangan atau lahan-lahan milik masyarakat sehingga ketersediaan bibit untuk budidayanya bisa terpenuhi. Tumbuhan yang bagian daunnya sering dimanfaatkan dan berpotensi sebagai pangan alternatif untuk sayuran keluarga adalah pegagan. Pegagan selain diketahui memiliki khasiat sebagai tanaman obat juga sering dimanfaatkan sebagai lalapan atau urap yang dicampur dengan daun kemangi dan kelapa parut. lebui atau kacang gude sering dimanfaatkan bagian bijinya untuk sayuran dan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Tumbuhan lain yang dimanfaatkan daging buahnya dengan cara direbus atau diolah terlebih dahulu adalah gatep. Buah-buahan lokal yang sering dimanfaatkan serta cukup dikenal oleh masyarakat diantaranya adalah buah kepundung, buah jowet, buah burne, buah ajan, buah ketimus. Buahbuahan ini mengandung vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai pangan alternatif pengganti buah-buahan impor yang belakangan marak dijual dipasaran. Buah kepundung dan buah jowet merupakan tumbuhan lokal yang paling familiar dan sering dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu pangan alternatif pengganti buah-buhan impor. Kepundung dan jowet merupakan kelompok tumbuhan keras yang pemanenannya bersifat musiman. Buah kepundung berbentuk bulat dengan kulit buah yang tebal dan berwarna hijau atau kuning kecoklatan. Di dalam kulit buah terdapat daging buah tipis dan berwarna merah muda yang menutupi biji buah yang besar dan cukup lunak. Buah ini berasa asam sedikit manis. Buah jowet merupakan buah yang berbentuk bulat dan lonjong. Buah ini memiliki daging buah yang tebal dan berwarna hitam sepintas buah ini mirip buah anggur. Buah ini berasa manis jika sudah matang. Hasil analisis sebaran dengan menggunakan indeks Morisita (Kreb, 1986), sebagian besar tumbuhan tersebut tersebar merata atau seragam di seluruh wilayah pulau Lombok. Hanya buah ajan yang tersebar secara acak. Pola sebaran tumbuhan menggambarkan struktur suatu komunitas alami tumbuhan tersebut. Pola penyebaran tumbuhan ini biasanya sangat bergantung pada sifat fisikokimia lingkungan maupun keistimewaan biologis tumbuhan tersebut. Tumbuhan yang tersebar dengan pola seragam menggambarkan bahwa individu tumbuhan tersebut terdapat pada semua tempat atau habitat dalam komunitas. Pola sebaran yang seragam ini memang sering terjadi di alam. Tumbuhan dengan pola penyebarannya acak menggambarkan bahwa individu tumbuhan tersebut menyebar dalam beberapa tempat dan mengelompok dalam tempat yang lainnya. Pola acak sering kali terjadi karena penghamburan benih yang disebabkan oleh angin atau hewan lainnya. Karakteristik Morfologi Enam Jenis Tumbuhan Lokal dengan bobot tertinggi yang dinyatakan paling Potensial sebagai Pangan Alternatif Kepundung/Menteng/ Baccaurea racemosa Muell. Arg Akar.Tunggang, putih kotor. Batang. Tegak, berkayu, bulat, kasar, percabangan simpodial, putih kecoklatan. Tajuknya padat dan tidak teratur. Daun. Tunggal, tersebar, bundar telur-lonjong sampai bundar telur sungsang, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, panjang 7-20 cm, lebar 3-7,5 cm, tangkai silindris, hijau muda, panjang + 2 cm, hijau. Bunga. Majemuk, berkelamin satu, muncul dari batang atau cabang tua, tangkai silindris, panjang ± 10 cm; tandan jantan panjangnya 5-12 cm, tersusun atas banyak sekali bunga yang berkelompok tiga-tiga, berbentuk payung menggarpu, berbulu lebat, bunga jantan kecil-kecil sekali, daun kelopaknya 4-5 helai (bentuk mangkok), benang sarinya 4-8 utas; tandan betina berukuran panjang 10-20 cm, bunga betina sendiri-sendiri atau berkelompok, berukuran agak besar, daun kelopak 5 helai, bakal buah beruang 3-4. dibedakan adanya dua forma: yang satu daging buahnya putih (menteng), dan yang satu lagi daging buahnya merah (bencoy); kedua bentuk ini memiliki buah yang rasanya asam dan manis Buah. Bulat, diameter ± 0,5 cm, warna kulit buah putih kekuningan atau hijau kekuningan atau kemerahan. Daging buah tidak banyak, ada yang berwarna putih dan berwarna merah.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
261
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Biji. Bijinya cukup besar dan lunak. Rasa: asam dan manis.cocok untuk pelepas dahaga. banyak menyimpan kandungan Vitamin A dan C. Jowet/ Jamblang/Syzygium cumini Akar. Memiliki akar tunggang. Batang. kokoh, berkayu, diameter 10-30 m, berwarna putih kotor, dan tidak menggugurkan daun. Kadang-kadang berbatang bengkok, tinggi hingga 20 m. Bercabang rendah dan bertajuk bulat atau tidak beraturan. Daun. Daun-daunnya terletak berhadapan, bertangkai 1-3,5 cm. Helaian daun bundar telur terbalik agak jorong sampai jorong lonjong, 5-25 x 2-10 cm, pangkalnya lebar berbentuk pasak atau membundar, ujung tumpul atau agak melancip, bertepi rata agak tembus pandang. Hijau tua berkilat di sebelah atas, daun jamblang agak berbau terpentin apabila diremas. Daun yang muda berwarna merah jambu. Pertulangannya menyirip. Bunga. dalam malai atau malai rata, renggang, hingga tiga kali bercabang; umumnya muncul pada cabang-cabang yang tak berdaun. Bunga kecil, duduk rapat-rapat, 3-8 kuntum di tiap ujung tangkai, berbau harum. Daun kelopak bentuk lonceng melebar atau corong, tinggi 4-6 mm, kuning sampai keunguan. Daun mahkota bundar dan lepas-lepas, 3 mm, putih abu-abu sampai merah jambu, mudah gugur. Benang sari banyak, 4-7 mm; putik 6-7 mm. Buah. berbentuk lonjong sampai bulat telur, sering agak bengkok, 1-5 cm, bermahkota cuping kelopak, dengan kulit tipis licin mengkilap, merah tua sampai ungu kehitaman, kadang-kadang putih. Sering dalam gerombolan besar. Daging buah putih, kuning kelabu sampai agak merah ungu, hampir tak berbau, dengan banyak sari buah, Biji. lonjong, sampai 3,5 cm. Buahnya ada yang tak berbiji, ada juga yang berbiji dengan batas jumlah 5. Rasa. sepat masam sampai masam manis.
Borne/Buni/ Antidesma bunius (l.) Spreng Akar. Memiliki akar tunggang Batang. kokoh, berkayu. Bercabang rendah dan bertajuk bulat atau tidak beraturan Daun. muda warnanya hijau muda, setelah tua menjadi hijau tua. Daun muda rasanya sedikit asam, daunnya dapat di sayur atau di makan mentah sebagai lalab. Daunnya oleh pembuat jamu dipakai untuk campuran ramuan jamu kesehatan. Bunga. dalam malai, umumnya muncul pada ujung cabang-cabang yang tak berdaun. Bunga kecil-kecil, berbau harum. Buahnya. kecil-kecil panjang sekitar 1 cm, bentuknya elips berwarna hijau, bila masak menjadi ungu kehitaman dan rasanya manis sedikit asam. Buni berumah dua, bunga dalam tandan, keluar dari ketiak daun atau di ujung percabangan. Buah muda dirujak dengan buah lain, sedang yang masak dapat dimakan langsung, diekstrak dengan brandi, dibuat selai atau sirop Biji. pipih dengan rusuk berbentuk jala. Perbanyakan dengan biji atau okulasi. Rasa. Asam untuk buah yang berwarna merah namun jika berwarna hitam terasa manis Lomak/kimpul/Xanthosoma sagittifolium (L) Umbi. memiliki umbi yang besar berwarna cokelat, dikelilingi bekas sisik berwarna cokelat kehitaman. Batang. Kimpul merupakan tumbuhan herba dengan batang bagian bawah yang membentuk cabang di bawah tanah yang cormel atau sprout. Daun. berbetuk sagitiga, berukuran besar, dengan tangkai daun panjang yang dikelirukan sebagai batang. Bunga. Rangkaian bunga muncul pada ketiak daun sebagai spadix, spathe berukuran 12-15 cm, yang bagian pangkalnya menutup membentuk ruang sferik dan bagian atasnya membuka sebagai lamina cembung, spadix silindris, sedikit lebih besar dari spathe, dengan bunga betina pada bagian pangkal, bunga jantan di bagian ujung, dan bunga steril di bagian tengah. Daur hidup berlangsung dalam 11 bulan, 6 bulan pertama untuk pertumbuhan batang dan daun, 4 262
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 bulan berikutnya pertumbuhan vegetatife berhenti, dan 1 bulan terakhir merupakan saat rimpang dapat dipanen Rasa. Umbinya kaya akan karbohidrat dan tidak berasa Sebek/Ganyong/ Canna discolor L. syn Umbi. Tanaman ganyong berumbi besar dengan diameter antara 5 – 8,75 cm dan panjang 1015 cm, bahkan bisa mencapai 60 cm, bagian tengah tebal dan dikelilingi berkas-berkas sisik yang berwarna ungu dan cokelat dengan akar serabut tebal. Bentuk umbi beraneka ragam, komposisi kimia dan kandungan gizinya. Perbedaan komposisi ini dipengaruhi oleh umur, varietas dan tempat tumbuh tanaman Batang. Bentuk tanaman ganyong adalah berumpun dan merupakan tanaman herba, semua bagian vegetatif yaitu batang, daun serta kelopak bungannya sedikit berlilin. Tanaman tetap hijau sepanjang hidupnya. Jika umbi sudah tua, daun dan batang mulai mengering. Umbi akan bertunas dan membetuk tanaman lagi saat musim hujan. Tinggi tanaman ganyong antara 0.9 - 1,8 meter. Apabila diukur lurus, maka panjang batang bisa mencapai 3 meter. Panjang batang diukur mulai dari ujung tanaman sampai ujung rhizoma atau yang sering disebut dengan umbi. Apabila diperhatikan ternyata warna batang, daun, pelepah daun dan sisik umbinya sangat beragam. Adanya perbedaan warna ini menunjukkan varietasnya. Daun. Tanaman ganyong daunnya lebar dengan bentuk elip memanjang dengan bagian pangkal dan ujungnya agak runcing. Panjang daun 15 - 60 sentimeter, sedangkan lebarnya 7 - 20 sentimeter. Dibagian tengahnya terdapat tulang daun yang tebal. Warna daun beragam dari hijau muda sampai hijau tua. Kadang-kadang bergaris ungu atau keseluruhannya ungu. Pelepahnya ada yang berwarna ungu atau hijau. Bunga. Ukuran bunga ganyong yang biasa diambil umbinya relatif lebih kecil. Warna bunga ganyong ini adalah merah oranye dan pangkalnya kuning dengan benangsari tidak sempurna. Jumlah kelopak bunga ada tiga buah dan masing-masing panjangnya lima sentimeter. Buah. tanaman ganyong juga berbuah, namun tidak sempurna dan bentuk buah ini terdiri dari tiga ruang yang berisi biji berwarna hitam sebanyak lima biji perruang Rasa. Umbinya terasa sedikit manis. Lebui/ Kacang gude/ Cajanus cajan Akar. tunggang, dan berwarna putih kotor. Polong yang memecah, memperlihatkan biji. Gude berkecambah 2-3 minggu setelah disemai di tanah. Apabila ditanam secara vegetatif, dia akan tumbuh secara lambat. Setelah 2-3 bulan, maka dia akan bertumbuh dengan akselerasi. Mulai berbunga 56-210 kemudian setelah penyemaian. Batangnya berbulu halus, dan bercabang banyak. Ia berbentuk bulat, beralur, berbulu, hijau kecokelatan. Daunnya ganda, beranak daun berjumlah tiga. Ada bulu-bulu halus baik pada bagian atas maupun bawahnya. Helai daun bulat telur sampai elips, tersebar, ujung dan pangkalnya runcing, tepinya rata, bentuk pertulangannya menyirip, dan warnanya hijau. Tangkainya pendek berwarna hijau. Bunganya berbentuk kupu-kupu, berwarna jingga, ataupun kecoklat-coklatan. berjumlah majemuk, karangan bunga sepanjang 15-30 cm, serbuk sarinya berwarna kuning, putiknya satu, bengkok, mahkotanya berwarna kuning dan juga berbentuk kupu-kupu. Buahnya polong, dapat mencapai 7,5 cm, lurus/membengkok seperti sabit, membulat, menjorong/agak persegi. Bijinya berwarna putih, krim, coklat, ungu kehitaman, dan juga kecil. Rasa. Sedikit gurih
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
263
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil inventarisasi diperoleh sebanyak 64 jenis tumbuhan lokal yang dikenal dan sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pangan alternatif. 15 jenis diantaranya merupakan tumbuhan pangan lokal yang paling potensial karena memiliki nilai bobot tertinggi berdasarkan tingkat pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat. Keseluruhan jenis tumbuhan tersebut memiliki pola sebaran seragam sehingga ketersediaannya sebagai pangan alternative juga cukup tinggi. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai uji kandungan kimia (fitokimia) dan nilai gizi dari tumbuhan lokal tersebut dalam upaya pemanfaatnya sebagai pangan alternative dan pengembangan ekoenterprenursip.
Daftar Pustaka Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. Harper and Row, New York. 800 pp. Satari, A.M. 1989. Strategi Pengembangan dan Penerapan Teknologi Dalam Pelestarian Swasembada Pangan. Dalam: Sjam, M.; Ismunadji, M. dan Widjono, A. (ed.). Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan. Buku 1. Ciloto, 21 - 23 Maret 1988. Puslitbang Tanaman Pangan Balitbang Pertanian, Bogor. 17-22. Patriono, E. 2007. Prospek Pengelolaan Garut (Maranta Arundinacea L.), Ganyong (Canna Edulis Ker.) Dan Sukun (Artocarpus Altilis (Park.) Fosberg) Sebagai Sumber Bahan Pangan Alternatif Di Daerah Banyumas (Studi Kasus Di Desa Sikapat). http://eprints.unsri.ac.id/. Diakses tanggal 5 desember 2013. Singarimbun, M. dan Handayani, T. 1995. Pembuatan Kuesioner. Dalam: Singarimbun, M. dan Effendie, S. (ed.). Metode Penelitian Survai. Edisi revisi. Cetakan kedua. LP3ES, Jakarta. 175-191. Wirakartakusumah, M.A. dan Suhardjo. 1991. Pola Pangan Penduduk Indonesia. Pangan II (9). 57-65.
264
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENERAPAN PEER ASSESSMENT DALAM PENILAIAN KINERJA DAN KERJASAMA SISWA PADA KEGIATAN PRAKTIKUM BIOLOGI Siti Sriyati), Arini, Mia Purnamasari Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung [email protected] ABSTRAK Ruang lingkup dan teknik penilaian yang dituntut Kurikulum 2013 meliputi penilaian pengetahuan, sikap dan kinerja. Salah satu teknik penilaian sikap adalah penilaian antar teman (peer assessment). Peer assessment dapat digunakan untuk menilai kinerja dan kerjasama pada sebuah kegiatan kelompok. Pada penelitian ini diterapkan peer assessment untuk mengungkap kemampuan kinerja dan kerjasama siswa pada kegiatan praktikum Biologi. Penelitian dilakukan pada jenjang SMP kelas VII pada praktikum Pencemaran Tanah dan jenjang SMA kelas X pada praktikum Pencemaran air. Pada penelitian deskriptif ini, penilaian kinerja dan kerjasama selain dilakukan oleh peer assessment dilakukan juga penilaian oleh guru observer untuk mengurangi subjektifitas hasil penilaian siswa. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa lembar observasi kinerja dan kerjasama serta angket siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMA dalam melakukan peer assessment lebih baik daripada siswa SMP. Akan tetapi kesamaan hasil penilaian yang dilakukan oleh peer assessment dengan penilaian guru tidak jauh berbeda yaitu 44% pada jenjang SMP dan 45% pada jenjang SMA. Hasil kemampuan kerjasama siswa pada jenjang SMA menunjukkan 98% siswa memiliki kemampuan kerjasama yang sangat baik dengan aspek kerjasama yang paling dominan adalah menghargai pendapat teman satu kelompok. Tanggapan siswa terhadap penerapan peer assessment pada kegiatan praktikum ini sangat baik, karena dapat memberikan umpan balik pada teman lain, dan meningkatkan motivasi belajar. Kata Kunci: peer assessment, penilaian kinerja dan kerjasama, praktikum Biologi
PENDAHULUAN Berlakunya Kurikulum 2013 memberikan konsekuensi terhadap ruang lingkup dan teknik penilaiannya. Ruang lingkup penilaian berdasarkan Kurikulum 2013 meliputi: pengetahuan, sikap dan penilaian keterampilan/kinerja. Salah satu teknik penilaian sikap adalah melalui penilaian antar teman (teman sebaya) atau peer assessment. Peer assessment adalah proses dimana siswa dilibatkan dalam penilaian kerja siswa lain dalam suatu kelompok (Bostock, 2000; Zulharman, 2007). Menurut Reinhartz dan Beach (1977) peer assessment penting, karena berkolaborasi dan bekerja kelompok merupakan bagian integral dari pembelajaran sains. Melalui peer assessment siswa dilatih untuk berkomunikasi, menulis dan melaporkan yang dimaksudnya. Black et al., (2004) menyatakan bahwa peer assessment ini bernilai unik, karena siswa bisa menerima kritikan teman terhadap pekerjaannya. Hal senada dinyatakan oleh SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
265
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Raaheim (2006) bahwa umpan balik yang diberikan teman sebaya akan berpengaruh lebih baik dibandingkan apabila diberikan oleh guru. Ketika siswa tidak paham terhadap apa yang dijelaskan guru, siswa lebih suka bertanya pada temannya dibandingkan bertanya pada guru (Black et al., 2004). Kegiatan praktikum merupakan bagian integral dari kegiatan belajar mengajar, khususnya biologi. Kegiatan praktikum merupakan salah satu metode pembelajaran yang ditujukan untuk merangsang juga menimbulkan proses penemuan konsep dan sikap ilmiah, selain itu praktikum dapat melatih kemampuan kerja ilmiah dan kerjasama dalam kelompok (Rustaman, 2003). Oleh karena itu praktikum harus mendapat perhatian penting dalam proses belajar mengajar Biologi. Implementasi praktikum biologi di lapangan, masih menghadapi banyak kendala diantaranya adalah berkaitan dengan strategi penilaian. Beberapa guru yang melakukan penilaian praktikum sehari-hari hanya mampu menilai siswa secara berkelompok, berkaitan dengan jumlah siswa yang banyak dalam satu kelas. Peer assessment merupakan salah satu teknik penilaian yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan kinerja dan kerjasama siswa dalam suatu kelompok (Kuisma, 2008). Penggunaan peer assessment juga dapat meringankan tugas guru untuk menilai proses kelompok (Lie, 2000), karena proses penilaian kelompok tidak mungkin dilakukan oleh seorang guru sementara siswa yang dihadapinya banyak. Guru tidak mampu mengawasi semua aktifitas siswa secara langsung dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu penerapan peer assessment dianggap bisa mengatasi kendala penilaian dalam proses praktikum. Berdasarkan latar belakang di atas maka pada penelitian ini diterapkan peer assessment pada praktikum pencemaran tanah di jenjang SMP kelas VII untuk menilai kinerja siswa dan praktikum pencemaran air di jenjang SMA kelas X untuk menilai kerjasama siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai penerapan peer assessment dalam mengungkap kemampuan kinerja dan kerjasama siswa pada praktikum pencemaran. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif, karena tidak memberikan perlakuan tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya (Sukmadinata, 2011). Subjek penelitian diambil melalui teknik cluster random sampling. Untuk jenjang SMP penelitian dilakukan pada SMP di daerah Lembang Bandung pada kelas VII G dan untuk jenjang SMA dilakukan pada sebuah SMA di daerah Sarijadi Bandung kelas X2. Instrumen penelitian berupa lembar observasi penilaian kinerja dan kerjasama serta angket siswa. Selain dilakukan peer assessment, dilakukan juga penilaian oleh guru observer untuk mengurangi subjektifitas hasil penilaian siswa. Secara lengkap instrumen penelitian dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data Penelitian Tujuan Instrumen Sumber data Metode Jenis instrumen pengumpulan data Mendeskripsikan Hasil peer Pengumpulan Lembar lobservasi kemampuan siswa assessment dokumen penilaian kinerja dan melakukan peer guru observer dan kerjasama peer assessment peer assessment assessment dan Hasil observasi guru observer guru Mendeskripsikan Hasil peer Pengumpulan Lembar observasi kemampuan siswa assessment dan dokumen penilaian kiinerja dan melakukan kinerja hasil guru observer guru observer dan kerjasama peer dan kerjasama dalam pada lembar peer assessment assessment dan kelompok observasi kinerja dalam menilai guru observer dan kerjasama kinerja dan kerjasama siswa
266
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tujuan Instrumen
Sumber data
Mendeskripsikan kendala yang dihadapi siswa dalam pelaksanaan peer assessment
Hasil angket siswa
Tujuan Instrumen
Sumber data
Mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap penerapan peer assessment
Hasil angket siswa
Metode pengumpulan data Penyebaran angket kepada siswa
Metode pengumpulan data Penyebaran angket kepada siswa
Jenis instrumen Angket siswa
Jenis instrumen Angket siswa
Adapun tahapan pelaksanaan peer assessment dalam menilai kinerja dan kerjasama pada kegiatan praktikum adalah: 1. Tahap persiapan Pada tahap ini dilakukan pengenalan terhadap pengertian dan tujuan peer assessment. Dilakukan juga negosiasi kriteria indikator kinerja dan kerjasama yang akan dinilai dengan siswa dan dilakukan latihan dan pembiasaan melakukan peer assessment. Serta penyamaan persepsi para guru observer terhadap indikator kinerja dan kerjasama siswa. 2. Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan dilakukan penilaian kinerja dan kerjasama oleh peer assessment dan guru observer. Penilaian kinerja dan kerjasama oleh guru observer dilakukan pada saat praktikum berlangsung, sedangkan pelaksanaan peer assessment dilakukan setelah kegiatan praktikum berlangsung untuk menghindari terpecahnya konsentrasi siswa antara melaksanakan praktikum dan melaksanakan penilaian. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang siswa dan alur penerapan peer assessment nya dalam satu kelompok di jenjang SMA seperti pada Gambar 1.
SISWA A
SISWA B
SISWA C
SISWA D
Gambar 1. Alur Penerapan Peer Assessment Keterangan : Siswa A melakukan penilaian kepada siswa B, C dan D Siswa B melakukan penilaian kepada siswa A, C dan D Siswa C melakukan penilaian kepada siswa A, B dan D Siswa D melakukan penilaian kepada siswa A, B dan C Untuk jenjang SMP setiap siswa hanya menilai dua orang teman dalam kelompoknya. Nilai dari teman sebaya akan dirata-rata untuk mendapatkan nilai setiap siswa. Hasil penilaian peer assessment dan kemampuan kinerja atau kerjasama kemudian dikategorikan berdasarkan aturan Purwanto (2008) yaitu kategori sangat baik, baik, cukup, kurang dan kurang sekali. Pada tahap pelaksanaan, selain dilakukan proses pembelajaran dan penilaian peer assessment dilakukan juga tahap komunikasi hasil peer assessment dan
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
267
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 kinerja/kerjasama dengan cara mengumumkannya di depan kelas dan ditindaklanjuti dengan pemberian feedback antar teman dalam satu kelompok dengan menyampaikan kekurangan dan kelebihan kemampuan kinerja atau kerjasama teman yang dinilainya.
HASIL PENELITIAN 1. Kemampuan Peer Assessment dan Kinerja Siswa SMP Kemampuan siswa dalam melakukan peer assessment untuk menilai kinerja pada waktu praktikum pencemaran tanah diketahui dengan membandingkan hasil penilaian siswa dengan hasil penilaian guru obsever. Berdasarkan presentase perhitungan data penelitian diketahui kemampuan siswa melakukan peer assessment sebagai berikut: kategori sangat baik sebesar 10,3%, kategori baik sebesar 10,3% dan kategori cukup baik sebesar 23,1%. Jika dibuat dalam bentuk gambar untuk membandingkan kategori penilaian secara keseluruhan maka didapat hasil sebagai berikut:
Gambar 1. Perbandingan Penilaian Hasil Peer Assessment Dengan Penilaian Guru Observer Terhadap Kinerja Siswa Dari Gambar 1 terlihat bahwa terdapat kesamaan hasil penilaian antara yang dilakukan siswa dengan guru observer sebesar 44%, sedangkan perbedaannya sebesar 56%. Adapun perbandingan kemampuan kinerja siswa yang dinilai melalui peer assessment dan kemampuan kinerja siswa yang dinilai oleh guru observer dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan Katergori Kemampuan Kinerja Siswa Melalui Peer Assessment dan Penilaian Guru Observer Penilaian kinerja siswa didasarkan pada indikator-indikator kemampuan siswa dalam melaksanakan langkah-langkah praktikum pencemaran tanah diantaranya: kemampuan membuat larutan deterjen dengan benar, memasukkan dua ekor cacing ke dalam wadah berisi tanah, membuat campuran tanah dengan larutan deterjen dengan
268
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 homogen, mengamati keadaan cacing di dalam tanah ketika dicampur larutan deterjen, memasukkan data ke dalam tabel dan menyimpulkan hasil praktikum. Berdasarkan indikator kemampuan kinerja tersebut, kemampuan kinerja ilmiah yang dilatihakan meliputi kemampuan mengamati, menginterpretasi, mengkomunikasikan dan melaksanakan percobaan. Gambar 2. menunjukkan bahwa kemampuan kinerja siswa melalui peer assemsent dan penilaian guru observer sedikit berbeda. Pada kategori kemampuan sangat baik dan baik penilaian guru observer lebih tinggi dari peer assessment, sebaliknya pada kategori cukup penilaian guru observer lebih tinggi dari peer assessment. Dan terdapat kategori kurang sekali (5%) yang dinilai melalui peer assessment. 2. Kemampuan Peer Assessment dan Kerjasama Siswa SMA Kemampuan siswa melakukan peer assessment terhadap kerjasama siswa dalam kelompok diketahui dengan membandingkan hasilnya dengan penilaian guru observer. Dari analisis data diketahui bahwa kemampuan peer assessment siswa adalah sebagai berikut: kategori sangat baik sebesar 87,5%, kategori baik sebesar 5% dan kategori cukup sebesar 7.5% dan tidak ditemukan siswa yang kemampuan peer assessmentnya kurang dan kurang sekali. Adapun perbedaan hasil peer assessment dengan penilaian guru observer dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan Penilaian Hasil Peer Assessment Dengan Penilaian Guru Observer Terhadap Kerjasama Siswa Berdasarkan Gambar 3. Terdapat persamaan hasil peer assessment dan penilaian guru observer sebesar 45% dan perbedaannya sebesar 55%. Kemampuan kerjasama siswa yang dinilai melalui peer assessment dan observasi oleh guru pada praktikum Pencemaran Air meliputi aspek: bersedia menerima tanggungjawab, ringan tangan membantu teman satu kelompok, menghargai pendapat dan menghargai pekerjaan teman satu kelompok. Adapun perbandingan kemampuan kerjasama siswa melalui peer assessment dan penilaian guru observer dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan Katergori Kemampuan Kerjasama Siswa Melalui Peer Assessment dan Penilaian Guru Observer
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
269
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Berdasarkan Gambar 4. terlihat bahwa pada kategori sangat baik hasil penilaian peer asseesment lebih tinggi dari penilaian guru observer, sedangkan pada kategori baik penilaian guru lebih tinggi dari peer assessment. Tidak ada penilaian peer assessment pada kategori cukup dan kurang. Sedangkan menurut guru ada 2% siswa yang kemampuan kerjasamanya kurang sekali. Adapun aspek kemampuan kerjasama yang paling dominan yaitu aspek menghargai pendapat teman satu kelompok dengan presentase sebesar 97,5% (sangat baik) melalui peer assessment dan 85% (sangat baik) berdasarkan penilaian guru observer. 3. Kendala dan Tanggapan Siswa Terhadap Peer Assessment Untuk mengetahui kendala dan tanggapan siswa terhadap peer assessment dilakukan penyebaran angket. Dari hasil analisis angket diketahui kendala-kendala pelaksanaan peer assessment dan hasilnya dirangkum pada Gambar 5. Gambar 5. menunjukkan bahwa kendala yang paling tinggi di jenjang SMP maupun SMA adalah siswa tidak mengetahui tentang peer assessment sebelumnya, bahkan pada jenjang SMP mencapai 67%. Kendala lain yang dihadapi siswa pada waktu peer assessment terutama pada jenjang SMA adalah kecenderungan memberikan nilai lebih kepada teman (42,5%). Pada kedua jenjang juga diketahui bahwa siswa mengalami kesulitan dalam melakukan peer assessment (SMP sebesar 33% dan SMA sebesar 40%).
Gambar 5. Kendala Dalam Melaksanakan Peer Assessment Keterangan: 1 = Siswa tidak mengetahui peer assessment sebelumnya 2 = Siswa cenderung memberikan nilai lebih kepada teman 3 = Siswa merasa kesulitan dalam melakukan peer assessment 4 = Siswa tidak nyaman melakukan peer assessment Adapun tanggapan siswa terhadap penerapan peer assessment menunjukkan respon yang positif pada kedua jenjang. Siswa merasa setuju peer assessment digunakan untuk menilai kinerja (77% di SMP) dan kerjasama (100% di SMA). Selain itu siswa setuju bahwa peer assessment merupakan penilaian yang adil untuk menilai kinerja siswa (64% di SMP) dan kerjasama (85% di SMA). Tanggapan positif lain berkaitan penerapan peer assessment di jenjang SMP adalah melalui peer assessment siswa dapat saling memberikan umpan balik (77%), dapat meningkatkan motivasi belajar (92%), membuat siswa lebih aktif dan bersemangat belajar.(80%) dan siap melakukan peer assessment pada praktikum yang lain (92%). Sedangkan tanggapan lain berkaitan dengan penerapan peer assessment pada jenjang SMA adalah: dapat melatih sikap jujur dan objektif (95%), dapat menilai kerjasama siswa yang tidak dinilai oleh guru (85%), merasa ikut serta dalam penentuan nilai (88%) dan membantu mengetahui kemampuan kerjasama yang dimilikinya (98%) serta siswa setuju hasil peer assessment dimasukan dalam nilai raport (73%).
270
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PEMBAHASAN Beberapa manfaat dan pentingnya peer assessment dilakukan oleh siswa seperti yang telah dikemukakan para ahli diperkuat melalui hasil penelitian ini. Seperti pendapat Kuisma (2008) peer assessment dapat digunakan untuk menilai kemampuan kinerja dan kerjasama siswa. Pada penelitian ini kemampuan kinerja siswa pada jenjang SMP yang terungkap melalui peer assessment dominan berada pada kategori cukup (44%), kemudian berturut-turut kategori sangat baik dan baik dengan presentase masing-masing sebesar 26%, tetapi masih ada siswa yang kemampuan kinerjanya berada pada kategori sangat rendah yaitu sebanyak 5%. Sedangkan pada jenjang SMA terungkap bahwa kemampuan kerjasama siswa melalui peer assessment berada pada kategori sangat baik sebesar 98% dan kategori baik sebesar 2%. Kemampuan siswa dalam melakukan peer assessment berbeda pada jenjang SMP dan SMA. Pada jenjang SMP kemampuan siswa dalam melakukan peer assessment adalah 10,3% termasuk kategori sangat baik, 10,3% baik dan kategori cukup sebesar 23%. Sedangkan pada jenjang SMA kemampuan siswa melakukan peer assessment adalah 87,5% termasuk kategori sangat baik, 5% pada kategori baik dan 7% pada kategori cukup. Dari data tersebut bisa kita ketahui bahwa kemampuan siswa SMA dalam melakukan peer assessment jauh lebih baik dibandingkan dengan kemampuan siswa SMP. Akan tetapi bila dilihat dari kesamaan hasil penilaian yang dilakukan melalui peer assessment dengan hasil penilaian guru observer hasilnya tidak jauh berbeda yaitu 44% pada jenjang SMP dan 45% pada jenjang SMA. Temuan ini menguatkan bahwa walaupun kemampuan melaksanakan peer assessment siswa SMP jauh dari siswa SMA, akan tetapi peer assessment sangat berpotensi untuk dilatihkan dan diterapkan pada jenjang SMP dan SMA, karena ternyata nilai yang diberikan melalui peer assessment sebanyak hampir separuh siswa sama dengan penilaian guru. Peer assessment perlu terus dilatihkan karena memberikan manfaat yang besar. Diantaranya dinyatakan oleh Reinhartz dan Beach (1977) bahwa peer assessment bisa melatihkan kemampuan berkomunikasi, menulis dan melaporkan yang dimaksud oleh siswa. Di sisi lain menurut Wenzel (2007) siswa sangat menghargai kesempatan yang diberikan untuk menilai temannya sehingga dapat melatih kemampuan siswa bersikap jujur dan objektif. Hal ini ditunjang hasil angket bahwa peer assessment dapat melatih jujur dan objektif (95%). Selain itu peer assessment dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan guru dalam melakukan penilaian kinerja ataupun kerjasama pada waktu praktikum dengan jumlah siswa yang cukup besar, sehingga peer assessment dapat meringankan tugas guru dalam menilai kelompok (Lie, 2000). Dari hasil penelitian diketahui bahwa hasil penilaian hampir separuh siswa dalam kelas sama dengan hasil penilaian guru observer. Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa kendala yang dihadapi siswa dalam melakukan peer assessment, diantaranya kesulitan dalam melakukan peer assessment (33% di SMP dan 40% di SMA), akan tetapi kendala ini dapat diatasi dengan berbagai cara misalnya dengan membuat kriteria penilaian yang jelas dan mudah dipahami sehingga siswa tidak kesulitan untuk menentukan nilai temannya (Zulharman, 2007) terutama untuk jenjang SMP. Kendala lain dalam penerapan peer assessment adalah bahwa siswa cenderung memberikan nilai lebih pada teman (42.5% di SMA). Hal ini sejalan dengan penelitian Wheater et al.,(2005) yaitu siswa cenderung bersikap dermawan dalam memberikan nilai kepada temannya. Orsmond (2004) juga menyatakan bahwa kelemahan peer assessment adalah bahwa hasil penilaian siswa sering dipengaruhi oleh perasaan baik positif maupun negatif. Demikian pula yang diungkapkan oleh Kennedy (2006) bahwa siswa seringkali enggan memberikan nilai yang jelek kepada teman satu kelompoknya. Oleh karena itu Wulan (2007) menyarankan agar peer assessment tidak ditujukan untuk tes prestasi, tapi sebagai penilaian alternatif mendampingi tes prestasi.belajar. Akan tetapi apabila dilihat dari hasil penelitian ini, kekhawatiran yang disebutkan di atas tidak sepenuhnya terjadi. Karena hampir separuh siswa dalam kelas memberikan penilaian yang sama dengan penilaian guru observer. Tanggapan yang positif dari penerapan peer assessment pada jenjang SMP maupun SMA merupakan hal yang patut dipertimbangkan untuk melatih siswa melakukan peer assessment pada kegiatan praktikum yang lain sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
271
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan diantaranya bahwa peer assessment dapat digunakan untuk mengukur kemampuan kinerja dan kerjasama siswa. Kemampuan kinerja siswa melalui peer assessment dominan berada pada kategori cukup (44%) di jenjang SMP, sedangkan kemampuan kerjasama siswa melalui peer assessment dominan pada kategori sangat baik (98%). Kemampuan peer assessment siswa SMA jauh lebih baik daripada siswa SMP. Akan tetapi hasil penilaian melalui peer assessment dan penilaian guru observer pada jenjang SMP dan SMA hampir sama, yaitu 44% pada jenjang SMP dan 45% pada jenjang SMA. Dari penelitian ini ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaan peer assessment, akan tetapi apabila dilihat dari tanggapan positif yang diberikan siswa terhadap penerapan peer assessment, nampaknya peer assessment merupakan hal yang patut dipertimbangkan untuk dilatihkan secara berkelanjutan pada praktikum atau teknik penilaian yang lain. DAFTAR PUSTAKA Black, P., Harrison, C., Lee, C., Marshall, B and Wiliam, D. (2004). Working Inside The Black Box: Assessment for Learning in the Classroom. (Online). Tersedia: http://www.defause.cse. Ucla.edu/DOCS/pb_wor_2004. (1 Mei 2008). Bostock, S. (2000). “Student Peer Assessment”. http://www.reading.ac.uk/web/FILES [22 juni 2012].
[online]
Tersedia:
Kennedy. (2006). Peer Assessment in Group Project: Is it worth it?. [online] Tersedia: http://crpit.com/confpapers/CRPITV42kennedy.pdf [22 Juni 2012]. Kuisma, R. (2008). Assessing Individual Contribution to a Group Project. [online] teaching.polyu.edu.hk/datafiles/R46 [1 Maret 2012]. Lie, L.Y dan Angelique, L. (2000). Implementing Effective Peer Assessment. [online]. Tersedia; http://www.ctdl.nus.edu.sg/brief/v6n3/sec4.htm [15 Mei 2012]. Orsmond, P. (2004). Self and Peer Assessment Guidance on Practice in The Bioscience. [online]. Tersedia: http://www.bioscience,heacademy.ac.uk/fulltext.pdf [23 Mei 2012]. Purwanto, N. (2008). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Raaheim, A. (2006). Do Student Profit from Feedback?. [Online]. Tersedia: http://www.seminar.net/volume -2-issue-2-2006/do-student-profit-from-feedback. [4 Juni 2008]. Reinhartz, J & Beach, D.M. (1997). Teaching and Learning in The Elementary School: Focus on Curriculum. New Jersey: Practice-Hall. Rustaman, N., Dirdjosoemart, S., Ahmad, Y., Yudianti, S.A., Rochintaniawati, D., Nurjhani, M., Suberkti, R. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Sukmadinata, N. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya Wenzel, T.J. (2007). Evaluation Tool to Guide Student’s Peer Assessment and Self Assessment in Group Activities for the Lan and Classroom. [Online], Tersedia: www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/ [12 Maret 2012] 272
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Wheater, C. et al. (2005). Student Assessing Student: Case Studies on Peer Assessment. [Online]. Tersedia: http://www.gees.ac.uk/planet/p15/cpw.pdf. [12 Maret 2012] Wulan, A.R. (2007). Penggunaan Asesmen Alternatif Pada Pembelajaran Biologi. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/SPS/ [18 juni 2012] Zulharman. (2007). Self dan Peer Assessment Sebagai Penilaian Formatif dan Sumatif. [Online]. Tersedia: http://Zulharman79.wordpress.com/self-dan-peer-assessment-sebagai-penilaianformatif-dan-sumatif/ [1 Maret 2012]
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
273
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
274
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PENGEMBANGAN BUKU KIMIA BERBASIS CERITA PADA MATERI ASAM BASA Elsa Insan Hanifa1), Muktiningsih N2), Tritiyatma H3) 1
Mahasiswa Pendidikan Kimia, Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Jakarta Dosen Pembimbing Penelitian, Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Jakarta
2,3)
[email protected] [email protected] [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi karena rendahnya minat baca siswa terhadap buku pelajaran, sedangkan minat baca siswa pada cerita tinggi. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa buku kimia berbasis cerita pada materi asam basa, terutama dalam pemahaman awal konsep asam basa untuk meningkatkan minat baca. Selain itu juga memberikan inspirasi kepada guru untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis cerita. Penelitian dilakukan sejak Desember 2012 sampai Juli 2013 di SMA Negeri 81 dan SMA Jubilee Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan (research and development). Proses pengembangan buku kimia ini menggunakan teknik kuisioner dengan instrumen berupa angket. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan skor rating scale dengan poin 1 sampai 4. Analisis data dilakukan dengan pengujian reliabilitas antar rater Intraclass correlation coeficient (ICC). Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu analisis pendahuluan dan kebutuhan, pengembangan produk, dan uji coba produk. Tahap analisis pendahuluan dan kebutuhan dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran dan mengidentifikasi kebutuhan dalam pembuatan buku. Tahap pengembangan media dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap perencanaan dan pengembangan untuk menghasilkan buku kimia berbasis cerita. Tahap penilaian dilakukan oleh ahli materi, media, dan bahasa. Tahap uji coba dilakukan pada guru, siswa kelompok kecil, dan siswa kelompok besar. Hasil pengkajian oleh para ahli dan uji coba yang dilakukan pada guru maupun siswa menunjukkan interpretasi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa buku kimia berbasis cerita layak digunakan. Kata Kunci: Asam Basa, Cerita, Buku Kimia Berbasis Cerita, Penelitian Pengembangan.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan minat baca yang masih rendah. Kondisi ini tercermin dari beberapa hasil survei. Berdasarkan laporan Human Development Report pada tahun 2010/2011 yang dikeluarkan oleh UNDP tentang minat baca, Indonesia merupakan negara yang berada di peringkat 103 dari 187 negara anggota PBB yang dikaji (Supriyo U.B, 2012) [1]. Publikasi International Association for Evaluation of
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
275
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Educational Achievement (IAEEA) tanggal 28 November 2007 tentang minat baca dari dari 41 negara menginformasikan kemampuan membaca siswa Indonesia selevel dengan negara belahan bagian selatan bersama Selandia Baru dan Afrika Selatan. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 mempublikasikan, membaca bagi masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber untuk mendapatkan informasi (Siswati, 2010) [2]. Ilmu kimia merupakan cabang ilmu dari ilmu pengetahuan alam yang di dalamnya berisikan persenyawaan, materi, sifat, dan karakteristiknya. Pembelajaran kimia merupakan suatu interaksi antara guru, siswa, dan sumber belajar untuk mencapai kompetensi dasar siswa dalam mempelajari kimia. Peran media di dalam pembelajaran sangat penting untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan proses pembelajaran. Minimnya media pembelajaran yang digunakan membuat informasi yang seharusnya disampaikan dalam proses pembelajaran menjadi kurang efektif dan maksimal. Salah satu media penunjang buku teks pelajaran yaitu buku nonteks pelajaran. Buku nonteks pelajaran dapat memuat pengetahuan yang diambil dari fakta yang ada pada kehidupan sehari-hari. Beberapa usaha pengembangan buku jenis ini telah dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2012) [3] tentang pengembangan buku pengayaan pada materi titrasi asam-basa. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa buku yang dihasilkan memperoleh interpretasi yang baik dari siswa. Salah satu cara penyajian materi pada buku nonteks pelajaran yang kreatif adalah dengan menggunakan cerita/narasi. Bennett & Lubben dalam International Journal of Science Education tahun 2007 [4] menjabarkan tentang Pendekatan Salter (Salters approach) yaitu ‘Salters story’ sebagai pendekatan berbasis konteks. ‘Salters story’ menggunakan alur cerita atau ‘storyline’ sebagai pengembangan ide kimia. ‘Storyline’ dihubungkan dengan kegiatan yang dapat melatih siswa untuk mengembangkan ide kimia. Penggunaan cerita sebagai salah satu alternatif pengembangan buku telah dilakukan oleh Pabuccu (2012) [5] yang telah mengembangkan buku kimia berbasis cerita dengan judul “Bonding Chemistry and Argument: Teaching and Learning Argumentation through Chemistry Stories”. Buku tersebut diterbitkan untuk memotivasi siswa dengan cara menghubungkan pengetahuan kimia dengan konteks sehari-hari melalui cerita yang kreatif.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di SMA Negeri 81 Jakarta dan SMA Jubilee dilakukan pada Desember 2012 – Juli 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (Research and Development) yang bertujuan untuk menghasilkan atau mengembangkan suatu produk. Tahapan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian pengembangan ini yaitu analisis pendahuluan, analisis kebutuhan (need assessment), pengembangan, dan uji coba produk yang dihasilkan. Prosedur penelitian pengembangan yang digunakan adalah seperti yang dikemukakan oleh Borg dan Gall dalam Munawaroh (2010) [6] (Gambar 1). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen analisis pendahuluan, analisis kebutuhan, kuesioner penilaian pengkaji materi, media, dan bahasa, serta kuesioner uji lapangan. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan skor rating scale dengan poin 1 sampai 4, sesuai dengan tabel 1 di bawah ini.
276
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Tabel 1. Skala Penilaian Instrumen Penelitian No.
Alternatif Jawaban
1. 2. 3. 4
Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju
Bobot Skor Pernyataan atau Pernyataan atau pertanyaan positif pertanyaan negatif 4 1 3 2 2 3 1 4
Data yang diperoleh selanjutnya diinterpretasikan skornya berdasarkan skor rating scale, seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Interpretasi Skor Rating Scale Persentase Angka 0 % - 25 % Angka 25,1 % - 50 % Angka 50,1 5 – 75 % Angka 75,1 % - 100 %
Interpretasi Sangat kurang baik Kurang baik Baik Sangat baik
Pada tahap analisis data, dilakukan pengujian reliabilitas antar rater. Fungsi uji reliabilitas ini adalah untuk mengetahui kekonsistensian rater dalam menilai buku pengayaan. Reliabilitas yang digunakan adalah uji reliabilitas antar rater Intraclass correlation coeficient (ICC) dari Fleiss Kappa (Wuensch, 2007). Setelah didapatkan nilai rata-rata kesepakatan antar rater, nilai tersebut dibandingkan dengan nilai kategori kesepakatan menurut Fleiss. Kategori tersebut dinyatakan dalam tabel berikut.
Tabel 3. Kategori ICC
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
277
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Analisis Pendahuluan dan Kebutuhan
Memberikan Lembar Kuesioner kepada guru dan siswa Diperoleh Masalah
Mencari Solusi
Pengembangan Produk
Membuat rancangan buku kimia berbasis cerita, dan menghasilkan buku kimia berbasis cerita yang digunakan dalam pembelajaran kimia
Revisi Produk
Uji Produk ke Kelompok Ahli
ditolak Uji produk kepada ahli materi, media, dan bahasa: mengevaluasi, mengolah, dan menganalisis diterima Uji coba produk ke kelompok kecil: Menyebar kuesioner, mengolah dan menganalisis data serta membuat laporan
ditolak
diterima Uji coba produk ke kelompok besar: Menyebar kuesioner, mengolah dan menganalisis data serta membuat laporan
ditolak
diterima Buku Kimia Berbasis Cerita Sebagai Media Pembelajaran Kimia Pada Materi Asam Basa
Gambar 1. Tahap-tahap Penelitian Pengembangan Media
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pendahuluan Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui masalah yang yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Kuesioner pendahuluan ini dibagi menjadi dua bagian. Berdasarkan perhitungan hasil penyebaran kuesioner bagian pertama kepada 50 responden diperoleh hasil bahwa dari lima bab yang ada di kelas XI semester ganjil, sebanyak 22% siswa menganggap materi asam basa sulit. Hasil penyebaran kuesioner bagian kedua diperoleh hasil bahwa hanya 34% siswa sering membaca buku pelajaran kimia yang digunakan di sekolah. Sedangkan sebanyak 41 dari 50 siswa (82%) menyukai cerita. Sebanyak 34 dari 41 siswa yang menyukai cerita tersebut (82,9%) menyatakan sering membaca cerita dan 95,1% siswa mengharapkan adanya pengembangan buku kimia yang penyajiannya menggunakan cerita. 278
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka dilakukan suatu penelitian pengembangan yang menghasilkan media pembelajaran untuk membantu siswa dalam memahami aplikasi materi asam basa pada kehidupan sehari-hari. Media pembelajaran yang dibuat berbentuk buku kimia berbasis cerita. B. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan guru dan siswa yang berkaitan dengan pembuatan Buku Kimia Berbasis Cerita pada Materi Asam Basa. Berdasarkan hasil kuesioner analisis kebutuhan guru diketahui bahwa semua guru (100%) menyetujui pengembangan media pembelajaran buku kimia berbasis cerita yang disajikan melalui cerita tentang kejadian pada kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil kuesioner analisis kebutuhan siswa diketahui bahwa buku kimia berbasis cerita menarik jika didesain seperti majalah (82%). Sebanyak 92% siswa berpendapat bahwa penggunaan foto, gambar, dan warna membuat buku kimia berbasis cerita menjadi lebih menarik. Tampilan gambar, bagan/ skema proses akan mempermudah siswa dalam mempelajari materi kimia (90%). Sebanyak 100% siswa membutuhkan buku kimia berbasis cerita yang memuat lembar kegiatan dalam bentuk soal. Siswa membutuhkan adanya konfirmasi jawaban dari soal yang ada pada lembar kegiatan siswa (96%) dan daftar istilah pada bagian akhir buku yang memuat arti istilah-istilah yang perlu diketahui oleh siswa (78%). C. Tahap Pengembangan Buku Kimis Berbasis Cerita Bahasan utama buku kimia berbasis cerita yang dikembangkan adalah aplikasi asam basa dalam kehidupan sehari-hari. Pembuatan buku kimia berbasis cerita ini melalui tahap pengoreksian dan penilaian dari dosen pembimbing mulai dari bahasa, materi, maupun tampilan dari buku. Setelah selesai dibuat, buku ini kemudian dikaji oleh ahli materi, bahasa, dan media. Berdasarkan hasil penilaian dan saran-saran dari para ahli buku ini diperbaiki, sehingga pada hasil akhir dihasilkan buku yang layak untuk digunakan. Beberapa perbaikan yang dilakukan pada buku ini sesuai dengan saran ahli diantaranya perbaikan pada desain cover (Gambar 2) dan tata letak (Gambar 3).
a
b
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
279
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Gambar 2. Desain cover a) sebelum b) sesudah revisi
a.
b.
Gambar 3. Desain tata letak a) sebelum b) sesudah revisi
D.
Tahap Uji Coba Buku Kimia Berbasis Cerita Tahap uji coba produk ini dibagi menjadi tiga, yaitu uji coba kepada para ahli, uji coba kepada siswa dan guru kelompok kecil, dan uji coba kepada siswa dan guru kelompok besar (uji lapangan). Berikut ini dijelaskan masing-masing uji coba tersebut. 1. Uji Coba oleh Para Ahli Penilaian oleh para ahli bertujuan untuk mengetahui kelayakan buku kimia berbasis cerita ditinjau dari segi materi, bahasa, dan media. a. Uji Coba oleh Ahli Materi Indikator yang dinilai pada uji coba oleh ahli materi terdiri dari indikator kualitas relevansi dengan kurikulum, kualitas cerita, dan kualitas kebermanfaatan cerita. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa hasil penilaian ahli materi untuk setiap indikator mengalami peningkatan. Pada indikator kualitas relevansi dengan kurikulum terjadi peningkatan presentasi penilaian dari 75% - 91% menjadi 83-91%. Pada indikator kualitas cerita terjadi peningkatan presentasi dari 78% - 98% menjadi 82-96%. Indikator kualitas kebermanfaatan cerita juga mengalami peningkatan dalam penilaiannya, dari 75%-100% menjadi 93-100%. Dari hasil reliabilitas antar rater tersebut diperoleh nilai r sebesar 0,63. Hal ini dapat diartikan bahwa kesesuaian antar rater (penilai/ahli) dalam menilai kualitas buku tergolong baik. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa buku kimia berbasis cerita layak untuk digunakan dari segi isi atau materi. b. Uji Coba oleh Ahli Bahasa Indikator yang dinilai pada uji coba oleh ahli bahasa terdiri dari indikator gaya bahasa dan tata bahasa. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa hasil penilaian ahli bahasa untuk setiap indikator mengalami peningkatan. Pada indikator gaya bahasa terjadi peningkatan presentasi penilaian dari 75% - 94% menjadi 77% - 97%. Pada indikator tata bahasa juga terjadi peningkatan presentasi dari 62% - 87% menjadi 81% - 93%. Dari hasil reliabilitas antar rater tersebut diperoleh nilai r sebesar 0,68. Hal ini dapat diartikan bahwa kesesuaian antar rater (penilai/ahli) dalam menilai kualitas buku tergolong baik. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa buku kimia berbasis cerita layak untuk digunakan dari segi bahasa. c. Uji Coba oleh Ahli Media Indikator yang dinilai pada uji coba oleh ahli media terdiri dari indikator kualitas instruksional dan kualitas teknis. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa hasil penilaian ahli media untuk setiap indikator mengalami peningkatan. Pada indikator kualitas instruksional rentangan presentasi penilaian yaitu 75% - 100%. Pada indikator kualitas teknis 280
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 juga terjadi peningkatan presentasi dari 46% - 78% menjadi 61% - 92%. Dari hasil reliabilitas antar rater tersebut diperoleh nilai r sebesar 0,66. Hal ini dapat diartikan bahwa kesesuaian antar rater (penilai/ahli) dalam menilai kualitas buku tergolong baik. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa buku kimia berbasis cerita layak untuk digunakan dari segi media.
Gambar 4. Persentasi rata-rata seluruh indikator 2. Uji Coba pada Siswa dan Guru Kelompok Kecil Tahap uji coba kelompok kecil dilakukan kepada 18 siswa kelas XI dan 3 orang guru kimia SMA Negeri 81 Jakarta. Indikator yang dinilai pada tahap uji coba pada siswa dan guru kelompok kecil mencakup indikator kualitas relevansi dengan kurikulum, kualitas cerita, kualitas kebermanfaatan cerita, gaya bahasa, kualitas intruksional, dan kualitas teknis. Hasil interpretasi yang dihasilkan menunjukan interpretasi sangat baik pada setiap indikator. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa buku kimia berbasis cerita yang dibuat telah layak untuk digunakan. 3. Uji Coba pada Siswa dan Guru Kelompok Besar Tahap uji coba kelompok kecil dilakukan kepada 60 siswa kelas XI dan 6 orang guru kimia SMA Negeri 81 Jakarta dan SMA Jubilee. Indikator yang dinilai pada tahap uji coba pada siswa dan guru kelompok besar sama dengan indikator yang dinilai pada kelompok kecil, yaitu mencakup indikator kualitas relevansi dengan kurikulum, kualitas cerita, kualitas kebermanfaatan cerita, gaya bahasa, kualitas intruksional, dan kualitas teknis. Hasil interpretasi uji coba pada siswa dan guru kelompok kecil dapat dilihat pada tabel 4 dan tabel 5. Hasil interpretasi tersebut menunjukan interpretasi sangat baik pada setiap indikator. Berdasarkan hasil uji coba siswa dan guru kelompok besar ini menunjukkan interpretasi sangat baik pada setiap indikator. Hal ini menunjukkan buku kimia berbasis cerita yang berjudul Asam Basa Untuk Kita layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran.
Tabel 4. Hasil interpretasi uji coba media pada siswa kelompok besar No 1. 2. 3.
Indikator Kualitas relevansi dengan kurikulum Kualitas cerita Kualitas kebermanfaatan cerita
Nomor Angket
% (Persentase)
Interpretasi
1, 2, 3
80.69
Sangat baik
4, 5, 6, 7, 8, 9
82.94
Sangat baik
10, 11, 12, 13
79.27
Sangat baik
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
281
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 No 4. 5.
Indikator Gaya bahasa Kualitas intruksional
6.
Kualitas teknis
Nomor Angket 14, 15, 16 17, 18 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25
% (Persentase) 78.70 78.97
Interpretasi Sangat baik Sangat baik
83.16
Sangat baik
Tabel 5. Hasil interpretasi uji coba media pada guru kelompok besar No
Indikator
4. 5.
Kualitas relevansi dengan kurikulum Kualitas cerita Kualitas kebermanfaatan cerita Gaya bahasa Kualitas intruksional
6.
Kualitas teknis
1. 2. 3.
Nomor Angket
% (Persentase)
Interpretasi
1, 2, 3
81.94
Sangat baik
4, 5, 6, 7, 8, 9
84.03
Sangat baik
10, 11, 12, 13
81.25
Sangat baik
14, 15, 16 17, 18 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25
76.39 79.17
Sangat baik Sangat baik
82.74
Sangat baik
SIMPULAN DAN SARAN Media pembelajaran Buku Kimia Berbasis Cerita dengan judul “Asam Basa Untuk Kita” telah dikembangkan. Buku ini menampilkan aplikasi materi asam basa pada kehidupan sehari-hari melalui cerita. Pada setiap cerita terdapat kolom “Tahukah Kamu?” yang memuat informasi-informasi yang terkait dengan cerita. Informasi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa. Pada bagian akhir buku ini terdapat kunci jawaban dari kegiatan yang ada di setiap bab dan glosarium yang memuat daftar istilah yang perlu diketahui siswa. Tampilan buku ini dibuat berwarna dan disertai dengan gambar/ilustrasi, sehingga diharapkan dapat menarik minat siswa untuk membaca. Buku kimia berbasis cerita ini telah diuji coba kelayakannya kepada para ahli (ahli materi, bahasa, dan media), siswa, dan guru. Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas antar rater pada uji materi, uji bahasa, dan uji media masing-masing menunjukkan bahwa kekonsistenan antarrater baik. Begitu pula dari hasil interpretasi skor pada uji coba pada siswa dan guru menunjukkan bahwa kualitas buku yang dihasilkan baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Buku Kimia Berbasis Cerita pada Materi Asam Basa yang dikembangkan memperoleh interpretasi baik dan layak untuk digunakan, baik dari segi materi, bahasa, maupun tampilan buku. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dalam penelitian ini, pengembangan buku kimia berbasis cerita dapat dilakukan pada materi lain. Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian selanjutnya. 1. Menyusun jadwal penelitian yang sistematis dan telah didiskusikan dengan pihak sekolah. 2. Memperhitungkan waktu yang diperlukan pada setiap tahap penelitian. Pada tahap pengembangan produk dan pengkajian ahli banyak menyita waktu penelitian. 3. Mencari lebih banyak bahan-bahan dari berbagai sumber, terutama dari luar negeri untuk memperkaya wawasan siswa. 4. Buku kimia berbasis cerita dapat dikembangkan di lebih dari da sekolah. Hal ini bertujuan untuk menggeneralisasikan buku yang dikembangkan dan semakin banyak masukan diperoleh dalam rangka meningkatkan kualitas buku.
282
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
DAFTAR PUSTAKA [1] Supriyo U. B. 2012. Peran Pustakwan Dalam Pemasyarakatan Perpustakaan dan Pengembangan Minat Baca Kegiatan Kemasyarakatan Minat dan Budaya Baca Masyarakat Tahun 2012 Se Wilayah Provinsi Banten. 22 Maret 2012 [2] Siswati. 2010. Minat Membaca Pada Mahasiswa (Studi Deskriptif pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UNDIP Semester I) ejournal.undip.ac.id (diakses 20 Juli 2013, pukul 00.10) [3] Rahmawati, I. 2012. Pengembangan Buku Pengayaan Kimia Sebagai Media Pembelajaran Bagi Siswa Kelas XI Pada Materi Titrasi Asam-Basa. Skripsi, Jakarta: FMIPA UNJ. [4] Bennett & Lubben. 2007. Context-based chemistry: the Salters approach. International Journal of Science Education. Vol. 28, No. 09, 1-34. [5] Pabuccu, E. 2012. Bonding Chemistry and Arguments: Teaching and Learning Argumentation Trough Chemistry Story . University of Bristol : Springer
[6]
Munawaroh, I. 2010. Urgensi Penelitian dan Pengembangan. n.d. (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PENELITIAN%20PENGEMBANGAN.pdf. diakses pukul: 18.40 WIB, 17 januari 2013).
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
283
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014 “Integrasi Keterampilan Abad 21 Dalam Kurikulum 2013 Untuk Mewujudkan Indonesia Jaya”
PEMBELAJARAN KIMIA MENGGUNAKAN METODE CONSTRUCTIVE CONTROVERSY DAN MODIFIED FREE INQUIRY DITINJAU DARI KEMAMPUAN ANALISIS DAN LOGIKA BERPIKIR SISWA Rosa Dewi Pratiwi Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) Jl. Raya Tengah, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Telp (021) 87797409 email: [email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode (Constructive Controversy (CC) dan Modified Free Inquiry (MFI)), kemampuan analisis, dan logika berpikir terhadap prestasi belajar ranah kognitif dan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa serta interaksi ketiga variable (metode, kemampuan analisis, logika berpikir) terhadap prestasi belajar ranah kognitif dan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan dilaksanakan dari bulan September 2011-Februari 2012. Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas XII IPA SMA N 1 Karanganyar Tahun Pelajaran 2011/2012. Sampel diperoleh dengan teknik Cluster Random Sampling yang terdiri dari dua kelas, XII IPA 1 dan XII IPA 2. Kelas XII IPA1 diberi pembelajaran dengan metode MFI dan kelas XII IPA 2 diberi pembelajaran dengan metode CC. Data dikumpulkan dengan metode tes untuk prestasi belajar kognitif, kemampuan analisis, logika berpikir dan HOTS, angket untuk prestasi afektif dan lembar observasi untuk psikomotor siswa. Hipotesis diuji menggunakan Manova (Multivariat of Varians). Dari hasil analisis data disimpulkan: 1) Tidak ada pengaruh penggunaan metode MFI dan CC terhadap prestasi belajar kognitif dan HOTS siswa, 2) Ada pengaruh kemampuan analisis terhadap prestasi belajar kognitif dan HOTS siswa, 3) Ada pengaruh logika berpikir terhadap prestasi belajar kognitif dan HOTS siswa, 4) Tidak ada interaksi antara metode dengan kemampuan analisis terhadap prestasi belajar dan HOTS siswa, 5) Ada interaksi antara metode dan logika berpikir terhadap prestasi belajar kognitif tetapi tidak ada interaksi antara keduanya terhadap HOTS siswa, 6) Ada interaksi antara kemampuan analisis dengan logika berpikir terhadap prestasi belajar kognitif siswa tetapi tidak ada interaksi antara keduanya terhadap HOTS, 7) Tidak ada interaksi antara metode, kemampuan analisis, dengan logika berpikir terhadap prestasi belajar dan HOTS siswa. Kata Kunci: MFI, CC, Kemampuan analisis, Logika Berpikir
284
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 PENDAHULUAN Materi elektrolisis mencakup reaksi elektrolisis, stoikiometri elektrolisis dan aplikasi reaksi elektrolisis dalam industri. Sejalan dengan teori Piaget yang membagi pengetahuan menjadi tiga yaitu pengetahuan fisik, logiko-matematik dan sosial, perolehan materi elektrolisis dapat terbentuk melalui ketiga bentuk pengetahuan tersebut. Alexander Smith dalam Nobert J. Pienta et.al (2005: 40) mengungkapkan bahwa sains termasuk kimia sering menggunakan formal thinking skill termasuk logika berpikir untuk memperoleh pengetahuan. Akan tetapi, dalam mempelajari sains siswa mengintegrasikan logika berpikir deduktif dan induktif untuk menyelesaikan masalah sehingga pengambilan keputusan maupun penarikan kesimpulan menjadi tepat (Nikerson, 1985: 62). Hal ini sejalan dengan penelitian Hale Bayram dan Arif Comek (2009: 2) yang menjelaskan logical thinking ability memberikan korelasi yang signifikan (r=0,817) terhadap prestasi belajar kimia pada materi elektrokimia. Selain itu hasil penelitian Zhou Qing et.al (2010: 4) mengungkapkan bahwa belajar elektrolisis membutuhkan kemampuan analisis. Kemampuan analisis diartikan sebagai kemampuan mengidentifikasi hubungan-hubungan nyata yang diharapkan dan terpercaya diantara pernyataan, konsep, deskripsi, atau bentuk lain dari perwakilannya untuk mengungkapkan keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan, informasi atau opini (Facione, 2011: 4). Kemampuan analisis sangat mempengaruhi pembentukan sistem konseptual siswa. Kemampuan analisis sangat dibutuhkan pada materi elektrolisis, misalnya mengidentifikasi spesi hasil elektrolisis dari dua reaksi yang terpisah di anoda dan katoda, menginterpretasi data hasil eksperimen, dan menghubungkan harga potensial standar reduksi logam dengan kemudahan mengalami reduksi. Metode yang cocok untuk diterapkan pada materi elektrolisis adalah Constructive Controversy (CC) dan Modified Free Inquiry (MFI). Kedua metode tersebut merupakan metode pembelajaran yang sesuai diterapkan pada mata pelajaran kimia karena berbasis inquiry. Konsep elektrolisis dapat diperoleh dengan mendayagunakan kemampuan analisis dan penggabungan alur logika berpikir deduktif maupun induktif siswa. Penerapan MFI dan CC sejalan dengan tujuan Depdiknas (2003: 3) untuk mengembangkan kecakapan hidup (life skill). Hal ini tentu saja akan berdampak positif bagi prestasi belajar siswa dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill) atau yang disingkat HOTS. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, perlu adanya penelitian mengenai pengaruh penerapan pembelajaran kimia menggunakan metode MFI dan CC pada materi elektrolisis dengan memperhatikan logika berpikir dan kemampuan analisis terhadap prestasi belajar dan HOTS siswa. Manfaat jangka pendek jika penelitian ini dilakukan adalah siswa menjadi active leaner sedangkan manfaat jangka panjang jika siswa siswa dapat mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan dua kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen pertama diberi perlakuan dengan metode pembelajaran CC, sedangkan kelompok kedua diberi perlakuan dengan metode pembelajaran MFI. Sebelum proses belajar mengajar dimulai diberikan tes kemampuan analisis dan tes logika berpikir. Dari data hasil tes, siswa dibagi menjadi dua kategori, yaitu siswa dengan kemampuan analisis tinggi dan rendah dan siswa dengan logika berpikir tinggi dan rendah. Pada saat siswa melakukan praktikum dilakukan penilaian psikomotor dan setelah proses pembelajaran selesai dilakukan penilaian prestasi belajar untuk ranah kognitif dan afektif serta pengukuran keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS). Desain faktorial penelitian ini adalah 2 x 2 x 2. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA N 1 Karanganyar Tahun Pelajaran 2011/2012. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling. Variabel Bebas adalah metode pembelajaran.Variabel moderator adalah kemampuan analisis dan logika berpikir. Variabel terikat adalah prestasi kognitif dan HOTS. Variabel metode pembelajaran berupa metode CC dan MFI berskala nominal. Variabel kemampuan analisis dan logika berpikir berskala pengukuran ordinal. Adapun sumber data penelitian ini disusun relevan dengan variabel penelitian dan metode pengumpulan data. Instrumen yang digunakan untuk SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
285
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 pengambilan data prestasi belajar ranah kognitif, kemampuan analisis, kemampuan logika berpikir dan higher order thinking skills (HOTS) berupa tes. Sedangkan untuk mengukur prestasi ranah afektif siswa menggunakan angket dan prestasi ranah psikomotor menggunakan lembar observasi yang dilengkapi rubrik penilaian. Instrumen yang akan digunakan dalam suatu penelitian yang baik adalah sudah diuji validitas maupun reliabilitasnya, sehingga instrumen yang baik harus valid dan reliabel. Oleh karena itu, sebelum instrumen itu digunakan maka perlu diujicobakan terlebih dahulu untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Untuk instrumen angket afektif dan HOTS akan diuji validitas dan reliabilitasnya, sedangkan untuk tes prestasi kognitif digunakan juga uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan uji daya pembedanya. Sedangkan instrumen pada variabel moderator, untuk menjamin validitas isi instrumen dilakukan dengan menyusun kisi-kisi dan mendiskusikannya dengan ahli terkait kesesuaian teori yang dijadikan sebagai acuan dengan komponen dan indikator item yang akan diujikan. Instrumen diujikan langsung pada sampel untuk mengetahui apakah instrumen yang disusun sudah bisa mengkategorikan sampel (tinggi-rendah). Hasil validasi isi, konsep dan empiris (menggunakan rumus point biserial untuk soal pilihan ganda, rumus product moment untuk soal uraian dan angket) masing-masing: 1) prestasi belajar kognitif terdiri dari 25 soal pilihan ganda, 2) prestasi afektif berupa angket 40 item, 3) HOTS berisi 4 soal uraian dan 4) lembar observasi yang terdiri dari 14 item penilaian. Teknik analisis data dengan melakukan uji prasyarat analisis terlebih dahulu yaitu uji normalitas dan homogenitas. Taraf signifikansi (α) yang digunakan 0,05. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan Multivariate Analysis of Variance (Manova). Statistik uji yang digunakan adalah Multivariat Analysis Of Variance (Manova) yaitu dengan Uji Pillai-Bartlett Trace (Singgih Santoso, 2010:45).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada tabel Multivariate Test, prestasi kognitif dan HOTS siswa secara bersama-sama tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua metode pembelajaran yang diterapkan, ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,205 (sig> 5%; Ho diterima). Tidak adanya perbedaan yang signifikan ini menunjukkan bahwa metode (CC dan MFI) tidak memberikan pengaruh terhadap prestasi dan HOTS. Hal ini kemungkinan disebabkan karena syntaks pada MFI ataupun CC tidak berbeda secara signifikan, kedua metode tersebut sama-sama menjadikan siswa sebagai “active thinker”. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan 5 siswa kelas XII IPA 2 yang dikenai CC, 2 siswa menyatakan telah mempelajari materi elektrolisis sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi siswa yang seharusnya diharapkan mendayagunakan logika berpikir induktif untuk menarik kesimpulan sebelum pembelajaran tidak tercapai secara maksimal. Rata-rata nilai ulangan elektrolisis siswa yang dikenai metode MFI dan CC berturutturut adalah 72,7 dan 74,4. Implikasi dari diterimanya hipotesis ini adalah metode CC maupun MFI cocok digunakan untuk pembelajaran elektrolisis. Sama halnya dengan penelitian Saeed Khan, et.al (2011: 955) yang menyatakan bahwa metode inquiry memberikan pengaruh yang positif terhadap prestasi belajar kimia siswa di secondary school Pakistan dan Sara, Marketti B (2007: 3) yang menyatakan bahwa metode CC dapat mengaktifkan siswa dalam berpikir sehingga prestasi siswa lebih baik dibandingkan siswa yang dikenai metode konvensional. Pada tabel Multivariate Test, menunjukan nilai signifikansi sebesar 0,013 (sig < 5 %; Ho ditolak) artinya prestasi kognitif dan HOTS siswa secara bersama-sama menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua tingkatan kemampuan analisis (tinggi-rendah). Hasil penelitian Oscarson and Osberg (2010: 4) menyatakan bahwa keterampilan berpikir (thinking skills) berkorelasi signifikan terhadap prestasi kognitif siswa materi kimia. Kemampuan analisis (KA) yang mencakup analytical reasoning dan analysis of explanation sebagai bagian keterampilan berpikir memberikan harga korelasi (r=0,37), artinya kemampuan analisis memberikan sumbangan sebesar 13,69% terhadap prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa kemampuan analisis berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa dimana siswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi mempunyai prestasi ranah kognitif dan HOTS yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan analisis rendah. Pada tabel Multivariate Test menunjukan nilai signifikansi sebesar 0,000 (sig < 5 %, Ho ditolak) artinya jika dilakukan uji multivariat secara bersama-sama (combined dependent 286
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 variable) prestasi kognitif dan HOTS berbeda signifikan pada kedua kriteria logika berpikir (LB) yaitu tinggi dan rendah. Lawson (1992) dalam Journal of Reseacrh in Science teaching (1993: 614) menyatakan bahwa logika berpikir merupakan salah satu syarat kesuksesan belajar siswa. Logika berpikir sangat berkaitan erat dengan penyusunan hipotesis saat siswa merancang suatu eksperimen. Hasil penelitian Oscarson and Osberg (2010: 4) menunjukkan bahwa keterampilan berpikir (thinking skills) memberikan korelasi yang signifikan terhadap prestasi kognitif siswa. Logika berpikir yang mencakup penarikan kesimpulan dari premis sebagai bagian keterampilan berpikir memberikan harga korelasi (r= 0,48), artinya logika berpikir memberikan sumbangan sebesar 23,04% terhadap prestasi belajar. Selain itu hasil penelitian Hale Bayram dan Arif Comek (2009: 2) menjelaskan logical thinking memberikan korelasi yang signifikan (r=0,817) terhadap prestasi belajar kimia pada materi elektrokimia, artinya logika berpikir memberikan sumbangan sebesar 66,75% terhadap prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan. Pada tabel Multivariate Test menunjukan nilai signifikansi sebesar 0,856 (sig > 5 %; Ho diterima) dan berdasarkan tabel Main Effect nilai signifikansi 0,905 untuk prestasi kognitif dan 0,594 (sig > 5 %, Ho diterima) untuk HOTS. Siswa dengan kemampuan analisis tinggi jika di ajar dengan metode pembelajaran MFI memiliki rataan prestasi kognitif dan HOTS yang tidak jauh beda dengan siswa dengan kemampuan analisis tinggi yang diajar dengan metode CC. Demikian pula pada siswa yang memiliki kemampuan analisis rendah yang diajar dengan metode MFI mempunyai prestasi kognitif dan HOTS yang tidak jauh berbeda dengan yang diajar menggunakan metode CC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara metode pembelajaran baik MFI maupun CC dengan kemampuan analisis siswa. Artinya tingkat kemampuan analisis dan penggunaan metode pembelajaran mempunyai pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar kimia dan HOTS siswa pada materi elektrolisis. Pada tabel Multivariate Test menunjukan nilai signifikansi sebesar 0,049 (sig < 5 %, Ho ditolak). Logika berpikir lebih berperan terhadap prestasi belajar ranah kognitif siswa. Pada metode CC perbedaan skor prestasi kognitif siswa yang memiliki logika berpikir tinggi-rendah sebesar 11,9 lebih besar skor prestasi kognitif siswa yang memiliki logika berpikir tinggi-rendah yang dikenai MFI yaitu sebesar 1,00. Siswa yang memiliki logika berpikir tinggi lebih baik dikenai metode CC sedangkan siswa yang memiliki logika berpikir rendah lebih baik dikenai metode MFI. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada interaksi antara metode pembelajaran MFI dan CC dengan logika berpikir terhadap prestasi belajar. Siswa dengan logika berpikir tinggi yang menggunakan metode CC akan lebih termotivasi untuk mencari jawaban apa dan mengapa fenomena dari eksperimen terjadi. Siswa menggunakan logika induktif terlebih dahulu berdasarkan hasil eksperimen kemudian membangun konsep baru dengan mengintegrasi konsep lama dengan pengalaman siswa yang baru dilalui serta menguatkannya dengan teori. Sebaliknya dengan siswa MFI dimana siswa mendayagunakan logika deduktifnya kemudian lewat bukti empiris siswa memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu siswa yang memiliki logika berpikir rendah lebih cocok menggunakan metode MFI karena pada dasarnya siswa hanya menguatkan sebuah teori lewat bukti empiris. Pada tabel Multivariate Test menunjukan nilai signifikansi sebesar 0,006 (sig < 5 %, Ho ditolak) artinya terdapat interaksi antara logika berpikir (LB) dengan kemampuan analisis (KA) siswa terhadap prestasi kognitif dan HOTS. Interaksi adalah adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok siswa yang diteliti, ditunjukkan dengan adanya perpotongan garis seperti pada gambar 1 dan 2. Uji yang selanjutnya dilakukan adalah uji compare means untuk mengetahui seberapa besar perbedaan antar masing-masing komponen. Rerata prestasi kognitif siswa dengan KAT-LBT sebesar 84,0; siswa dengan KAT-LBR sebesar 71,1; siswa dengan KAR-LBT sebesar 71,3; siswa dengan KAR-LBR sebesar 72,4. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori Vygotsky, kemungkinan siswa yang mempunyai kemampuan analisis rendah dan logika berpikir rendah berinteraksi dan bekerjasama dengan teman dalam kelompoknya lebih baik dibandingkan siswa KAT-LBR atau siswa KAR-LBT.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
287
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4
Gambar. 1. Plot Interaksi KA-LB
Gambar. 2. Plot Interaksi Met-LB
Tidak adanya interaksi penggunaan metode pembelajaran MFI dan CC, kemampuan analisis, dan logika berpikir siswa terhadap prestasi belajar kognitif dan HOTS. Dari hasil uji compare mean diantara kelompok dapat ditarik kesimpulan bahwa metode MFI sangat cocok diterapkan pada siswa yang mempunyai logika berpikir rendah dan kemampuan analisis rendah. Hal ini sejalan dengan langkah metode MFI yang memberikan penyajian kelas terlebih dahulu sebelum memberikan masalah sehingga siswa dapat menentukan hipotesis dengan lebih mudah berdasarkan kajian teori yang telah diberikan kemudian bereksperimen untuk membuktikan kebenaran hipotesisnya. Langkah penyelidikan atau eksperimen sebagai tahapan rehearsal (pengulangan kembali) siswa sehingga pengetahuan yang masuk dalam memori jangka pendek menjadi tersimpan di jangka panjang dan siap di-recall.
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Dari analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa simpulan antara lain: 1. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa tidak terdapat pengaruh penggunaan metode MFI dan CC terhadap prestasi belajar kognitif maupun HOTS pada materi pokok elektrolisis yang ditunjukkan oleh rerata prestasi kognitif dan HOTS berturut-turut untuk metode MFI dan CC adalah 73,6; 77,3 dan 73,2; 73,8. Adanya perbedaan prestasi belajar dan HOTS bukan dipengaruhi oleh metode yang digunakan, akan tetapi lebih dipengaruhi adanya perbedaan kemampuan analisis dan logika berpikir pada masing-masing kelas eksperimen. 2. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa ada pengaruh kemampuan analisis tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar ranah kognitif dan HOTS siswa pada materi pokok elektrolisis, masing-masing dengan rerata 79,3; 71,4 dan 77,9; 69,1. Siswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi cenderung lebih mudah menguraikan konsep menjadi bagianbagian yang lebih rinci dan menjelaskan keterkaitan antar bagian-bagian tersebut sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah dengan tepat. 3. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa ada pengaruh logika berpikir tinggi dan rendah terhadap ketiga ranah prestasi belajar kognitif dan HOTS, masing-masing dengan rerata: 78,2; 71,8 dan 78,4; 67,3. Siswa yang memiliki logika berpikir tinggi cenderung lebih mudah mengintegrasi logika berpikir deduktif-induktifnya. 4. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa tidak ada interaksi antara metode pembelajaran MFI dan CC dengan kemampuan analisis terhadap prestasi belajar kognitif dan HOTS pada materi pokok elektrolisis. Siswa yang mempunyai kemampuan analisis tinggi dikenai metode MFI dan CC mempunyai prestasi kognitif dan HOTS yang tidak jauh berbeda dengan siswa yang belajar dengan MFI dan CC. 5. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa ada interaksi antara metode pembelajaran MFI dan CC dengan logika berpikir terhadap prestasi kognitif. Berbeda dengan hal tersebut 288
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 diperoleh data bahwa tidak ada interaksi antara metode pembelajaran MFI dan CC dengan logika berpikir terhadap HOTS pada materi pokok elektrolisis. 6. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa ada interaksi antara kemampuan analisis dan logika berpikir terhadap prestasi kognitif, tetapi tidak ada interaksi antara kemampuan analisis dan logika berpikir terhadap HOTS pada materi pokok elektrolisis. Rerata prestasi siswa paling tinggi diperoleh oleh siswa dengan kemampuan analisis tinggi-logika berpikir tinggi yaitu 84,0, kemudian diikuti oleh siswa dengan kemampuan analisis rendah-logika berpikir rendah yaitu 72,4, siswa dengan kemampuan analisis rendah-logika berpikir tinggi yaitu 71,3 dan yang paling rendah adalah siswa dengan kemampuan analisis tinggi-logika berpikir rendah yaitu 71,1. 7. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa tidak terdapat interaksi antara metode pembelajaran MFI dan CC, kemampuan analisis, dan logika berpikir (rendah) terhadap prestasi kognitif dan HOTS pada materi pokok elektrolisis.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dalam penelitian ini, maka penulis menyampaikan saransaran sebagai berikut : 1. Kepada Pendidik: a. Penerapan metode pembelajaran MFI dan CC memerlukan persiapan yang baik, supaya pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan rencana yang tertuang dalam RPP. Pada penggunaan metode CC, pendidik harus menyiapkan teknik-teknik khusus ketika siswa pasif dalam tahapan debat (controversy). Pendidik dapat memberikan stiker, point kelompok atau penghargaan lain yang diberikan kepada siswa yang aktif berpendapat, sehingga siswa termotivasi sebagai active problem solver. Sedangkan penggunaan metode MFI perlu memperhatikan management waktu, karena siswa diberi kebebasan lebih untuk bereksplorasi, namun cenderung tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga beberapa tahapan MFI terlewati. Selain itu perlu disiapkan kelompok-kelompok siswa yang heterogen, lembar kerja dan panduan bekerja dalam kelompok yang jelas. b. Kemampuan analisis dan logika berpikir siswa perlu diperhatikan dalam pembelajaran elektrolisis. Salah satu caranya antara lain dengan memberikan pertanyaan yang menuntut siswa menggunakan kemampuan analisis dan logika berpikirnya, karena dengan memperhatikan kemampuan analisis dan logika berpikir, guru dapat menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan siswa. 2. Kepada Peneliti: a. Perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor lain yang merupakan faktor internal dan eksternal yang dimungkinkan akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. b. Perlu dilakukan penelitian penggunaan metode pembelajaran yang lain sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran kimia yang akan dipelajari. c. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan metode pembelajaran MFI dan CC pada materi lain yang bersifat informatif.
DAFTAR PUSTAKA Bodner, George M, David E. Gardner and Michael W. Briggs. 2005. In Chemists’ Guide to Effective Teaching. Department Chemistry. Purdue University: Prentice-Hall. Depdiknas. 2003. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Kimia SMA dan MA. Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA -----------------------------------------------Tangerang, 15 Februari 2014
Jakarta:
289
ISBN : 978 – 602 – 14432 – 2 – 4 Eysenck, Michael W. 1993. Principles of Cognitive Psycology. USA: Lawrence Erlbaum. Facione, Peter A. 2011. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. California: California Academic Press. Hale Bayram and Arif Comek. 2009. Examining The Relation Between Science Attitude, Logical Thinking Ability, Information Literacy and Academic Achievement Through Internet Assisted Chemistry Education. Procedia Social and Behavioral Science. www. sciencedirect.com. Jujun S. Suriasumantri. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. King, FJ, Goodson Ludwika, and Rohani Faranak. 2004. Higher Order Thinking Skill. http://www. Cala. Fsu. Edu. Lawson, Anton E. 1993. Inductive-Deductive Versus Hypothetico-Deductive Reasoning. Journal of Research in Science Teaching. Volume 30. No. 6. PP. 613-614. Newyork: John Wiley and Sons. Inc. M. Saeed Khan, Shaukat Hussain, Riasat Ali, M. Iqbal Majoka, and Muhammad Ramzan. 2011. Effect Of Inquiry Method on Achievement of Students In Chemistry at Secondary Level. International Journal of Academic Research. Vol.3. 1. Part III. Nickerson, Raymond S. 1985. The Teaching of Thinking. New Jersy: Lawrence Erlbaum. Pienta, Nobert J, Copper, Melanie M, and Greenbowe, Thomas J. 2005. Chemists’ Guide Effective Teaching. USA: Pearson Prentice Hill. Novak, Joseph D. and Gowin, D Bob. 1984. Learning How to Learn. Cambridge: New York. Oscarson and Oseberg. 2010. The Invention Effect of Using WebQuest on Logical Thinking Ability in Science Education. Turkey. Procedia Social and Behavioral Science. www. sciencedirect.com. Singgih Santoso. 2010. Statistik Multivariat (Konsep dan Aplikasi dengan SPSS). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Tjosvold Dean. 1983. Learning to Make Decisions Through Constructive Controversy. Canada: American Educational Research Assosiation. Zhou Qing, Guo Jing and Wang Yan. 2010. Promoting Preservise Teachers’ Critical Thinking Skills By Inquiry-Based Chemical Experiment. Procedia Social and Behavioral Science. www. sciencedirect.com.
290
------------------------------------------------ SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN STKIP SURYA Tangerang, 15 Februari 2014
PENERBIT : Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya (STKIP SURYA) ALAMAT PENERBIT: Jalan Scientia Boulevard Blok U Nomor 7 Gading Serpong Tangerang Banten 15810 Telepon: 021-5464-196, 021-5464-535 Email: [email protected] , website : www. stkipsurya.ac.id
PENERBIT : Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya (STKIP SURYA) ALAMAT PENERBIT: Jalan Scientia Boulevard Blok U Nomor 7 Gading Serpong Tangerang Banten 15810 Telepon: 021-5464-196, 021-5464-535 Email: [email protected] , website : www. stkipsurya.ac.id