SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENDIDIKAN KIMIA “Kontribusi Penelitian Kimia Terhadap Pengembangan Pendidikan Kimia”
PENGGUNAAN METODE LUMPUR AKTIF SEBAGAI SALAH SATU PENGOLAHAN SEKUNDER TERHADAP LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL PT. CAGM DENGAN SISTEM FLOW SKALA LABORATORIUM
Dini Mardini, Hernani, Asep Kadarohman Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, UPI ABSTRAK Metode lumpur aktif banyak dikembangkan da lam pengolahan limbah cair dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Telah diteliti bahwa penggunaan metode lumpur aktif dalam pengolahan limbah dapat menurunkan BOD dan COD. Untuk menghasilkan efluen yang baik limbah cair diolah secara terpadu menggunakan lumpur aktif sebagai salah satu proses pengolahan sekunder dengan proses pengolahan primer dan tersier dalam suatu rancangan desain sistem flow. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lumpur aktif sebagai proses pengolahan sekunder bisa menurunkan konsentrasi TSS, COD dan BOD masing-masing sebesar 42,30 %, 54,15 % dan 1,64 %. Dan secara keseluruhan rancangan desain pengolahan limbah dengan sistem flow dapat menurunkan konsentrasi TSS sebesar hampir 100%, COD sebesar 95,48 % dan BOD sebesar 93,90 %. Hal ini menunjukkan bahwa rancangan desain dengan sistem flow efisien menurunkan kadar pencemar yang terkandung dalam limbah cair industri tekstil PT.CAGM.
PENDAHULUAN Industri tekstil merupakan industri yang dapat ditemukan di banyak negara terutama di Asia dan jumlahnya semakin meningkat. Di Indonesia, industri ini membawa dampak positif terhadap pemenuhan kebutuhan akan sandang dalam negeri dan menambah devisa negara. Namun dampak negatif yang timbul sampai saat ini masih perlu perhatian khusus. Salah satu dampak negatif yang timbul adalah pencemaran limbah industri. Seiring dengan meningkatnya industri ini, masalah pencemaran pun semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh penanganan yang kurang baik terhadap limbah cair dari proses pembuatan tekstil. Penurunan kualitas lingkungan akan berdampak pada kehidupan akuatik yang terdapat dalam badan air
penerima yang akibatnya akan dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar industri tekstil tersebut. Limbah cair industri tekstil merupakan salah satu jenis air buangan yang sukar diolah, karena proses yang digunakan dalam industri tekstil sangat bervariasi, sehingga karakteristik limbah cair yang dihasilkannya pun sangat bervariasi. Umumnya limbah cair industri tekstil memiliki warna yang pekat, bersifat basa, kandungan padatan tersuspensi (TSS) yang tinggi, temperatur tinggi, konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) yang tinggi (Nemerrow, 1978). Dalam menangani masalah meningkatnya pencemaran lingkungan karena limbah cair industri tekstil tersebut diperlukan suatu instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang dapat menghasilkan
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
1
efluen yang cukup baik dan dapat memenuhi standar baku mutu sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Nomor 6/1999. Guna mendapatkan hasil olahan semaksimal mungkin ternyata harus menambah lagi sistem berupa proses akhir (tertier treatment) seperti proses adsorpsi dengan menggunakan zeolit, karbon aktif dan resin penukar ion serta proses disinfeksi setelah limbah terlebih dahulu diolah dengan menggunakan proses pengolahan primer seperti proses netra lisasi, koagulasi dan flokulasi serta pengolahan sekunder menggunakan metode lumpur aktif. Pada suatu instalasi pengolahan air limbah yang terdapat di industri tekstil pengolahan air limbah dilakukan secara fisika, kimia dan biologi maupun kombinasi diantara proses-proses tersebut. Secara fisika dilakukan dengan cara penyaringan, secara kimia dengan penambahan aluminium sulfat dan polielektrolit atau bioflokulan pada proses koagulasi dan flokulasi. Saat ini banyak dikembangkan suatu sistem yang memanfaatkan pengolahan secara biologi salah satunya dengan menggunakan lumpur aktif. Pengolahan air limbah menggunakan metode lumpur aktif merupakan suatu cara pengolahan yang diarahkan untuk menurunkan substrat tertentu yang terkandung dalam air limbah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Menurut McKinney (1962) salah satu pengolahan secara biologi yaitu dengan menggunakan sistem lumpur aktif yang dapat mengolah limbah cair organik terlarut dan mengubahnya menjadi suspensi terflokulasi secara biologi sehingga akan dengan mudah untuk diendapkan. Pada proses ini, lumpur dicampurkan dengan limbah cair di dalam satu reaktor pada kondisi aerob. Proses pengendapan dilakukan untuk mengendapkan flok-flok yang terbentuk sehingga mudah dipisahkan dari media air. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap limbah cair yang mengandung bahan-bahan organik terlarut relatif tinggi dengan menggunakan reaktor batch dapat menurunkan konsentrasi BOD
dan COD diatas 85% (Lestari, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan limbah cair dengan menggunakan metode lumpur aktif sangat efektif. Pada penelitian ini, limbah diolah menggunakan lumpur aktif sebagai salah satu proses pengolahan sekunder (biologi) dalam satu rangkaian pengolahan limbah secara nyata bersama-sama dengan proses pengolahan primer dan tersier pada suatu sistem flow. Dengan kombinasi dari prosesproses tersebut di atas diharapkan menghasilkan air hasil olahan yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut diatas masalah yang muncul adalah bagaimana efektivitas metode lumpur aktif dengan sistem flow dalam proses pengolahan limbah cair industri tekstil PT. CAGM? Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah 1) mengetahui informasi tentang efektivitas pengolahan limbah cair industri tekstil secara biologi menggunakan lumpur aktif sebagai salah satu pengolahan sekunder dalam suatu sistem flow, 2) mengetahui kinerja proses pengolahan primer, sekunder, dan tersier dalam pengolahan limbah cair, 3) mengetahui efektivitas rancangan sistem desain yang dikembangkan dalam proses pengolahan limbah. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, pengolahan limbah cair dilakukan dalam satu reaktor dengan sistem flow. Limbah mengalir secara overflow dari satu reaktor ke reaktor selanjutnya secara terus menerus sampai akhir.Sebelum pengolahan biologi, limbah diolah terlebih dahulu dengan proses pengolahan primer dimana kondisi optimum dari pengolahan seperti dosis koagulan dan flokulan telah diketahui. Untuk mendapatkan kondisi optimum pengolahan biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif maka dilakukan eksperimen terhadap lumpur aktif yaitu menentukan waktu yang tepat untuk menambahkan limbah, pengadaptasian mikroorganisme terhadap mikroorganisme dan waktu aerasi optimum. Pada penentuan
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
2
waktu aerasi, laju alir limbah divariasikan sesuai dengan waktu tinggal limbah dalam bak yang ditentukan. Dari hasil eksperimen akan diketahui penurunan turbiditas sehingga didapat kondisi pengolahan optimum. Efisiensi pengolahan dapat dilihat dengan membandingkan harga setiap parameter penentu kualitas limbah dari sampel awal, efluen pengolahan primer, efluen pengolahan sekunder dan hasil akhir (efluen pengolahan tersier).
Scientific Nakamura, yaitu jirigen-jirigen plastik sebagai tempat penampungan limbah awal dan botol-botol infus beserta selangnya untuk mengalirkan zat pada bak-bak. Bahan • •
Alat 1. Peralatan Gelas Standar. Peralatan gelas standar yang digunakan adalah 1 set gelas kimia 3000 mL, gelas kimia 1000 mL, gelas kimia 400 mL, gelas kimia 250 mL, gelas kimia 100 mL, gelas ukur 10, 25, 500 mL, corong kaca serta labu ukur 500 mL dan 1000 mL untuk membuat larutan-larutan, pipet seukuran 10 mL, pipet volume 10, 25, 100 mL. 2. Peralatan Pengolahan. Peralatan pengolahan yang digunakan adalah satu set alat yang didesain khusus dan terbuat dari mika yang terdiri dari bak equalisasi, bak netralisasi, bak koagulasi, bak flokulasi, settling zone, bak penampungan awal, bak aerasi, settling zone II, bak zeolit, bak karbon aktif, bak penampungan II, pipa yang berisi resin penukar ion, bak tampungan III, bak aerasi II (disinfeksi) dan bak tampungan akhir dan stirrer yang dirancang sendiri beserta mesinnya. 3. Peralatan Analisa. Peralatan analisa yang digunakan yait u Front Scatter Method Turbidimeter merek Corona tipe UT-11 untuk analisa turbiditas atau kekeruhan dan pH meter Uchida. 4. Peralatan Penunjang Peralatan penunjang meliputi neraca digital untuk menimbang zat kimia, selang, aerator, ball pipet, aerator pump , stop watch, pengaduk magnetic VWR
• •
Sampel limbah cair diperoleh dari PT. CAGM, Purwakarta. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Asam Sulfat (H2SO4), Alum teknis, Bioflokulan DD, etanol, pupuk NPK dan urea (CO(NH2)2) sebagai nutrien, Kalium Hidroksida (KOH), zeolit, karbon aktif, resin penukar ion (RPK dan RPA) dan kaporit (Ca(OCl) 2). Lumpur aktif yang digunakan berasal dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Cisirung, Dayeuhkolot. Limbah domestik diperoleh dari Instalasi Pengolahan Limbah Domestik Cikoneng, Bojongsoang.
Penentuan Pola Pertumbuhan Mikroorganisme Ke dalam bak aerasi dimasukkan 2 L lumpur aktif, 2 L limbah domestik dan 10 mL nutrien. pH awal campuran diatur pada rentang pH 6,5-8,5. Selanjutnya, campuran tersebut diaerasi selama 4 hari. Setiap selang waktu 3 jam kultur mikroorganisme tersebut diambil 0.5 mL dan diencerkan sampai 100 mL, kemudian diukur pH dan turbiditasnya mulai dari t=0.
Aklimatisasi Tahap aklimatisasi ini dilakukan dengan cara memasukkan 2 L lumpur aktif, 2L limbah domestik dan 10 mL nutrien ke dalam bak aerasi kemudian diaerasi sampai fasa eksponensial mikroorganisme tercapai. Limbah yang dialirkan ke dalam bak aerasi secara overflow yaitu limbah yang terlebih dahulu mengalami proses pengolahan primer yaitu proses equalisasi, netralisasli, proses
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
3
koagulasi dan proses flokulasi. Pada laju alir limbah 2,5 mL/menit, dosis koagulan optimum adalah 200 ppm dengan laju alir 1,5 mL/menit sedangkan dosis flokulan optimum pada 1 % dengan laju alir 1 mL/menit . Penambahan limbah dilakukan dengan laju yang tetap. Selama proses aklimatisasi pH kultur dijaga pada rentang pH 6,5-7,5. Dilakukan pengukuran pH dan turbiditas kultur setiap selang 24 jam untuk mengetahui bahwa sistem lumpur aktif sudah beradaptasi. Pengukuran turbiditas dilakukan dengan cara mengambil kultur sebanyak 10 mL ditambah dengan etanol 5 tetes dan diukur turbiditasnya. Optimasi Waktu Aerasi Optimasi waktu aerasi ini dilakukan dengan mengalirkan limbah dari proses pengolahan primer dengan kondisi optimum ke dalam bak aerasi yang berisi mikroorganisme, Mikroorganisme ini telah diaklimatisasi oleh limbah dari proses pengolahan primer. Laju alir limbah divariasikan yaitu 0,9; 0,5; 0,3; 0,2 dan 0,1 mL/det sesuai dengan waktu tinggal limbah di bak aerasi selama 6, 12, 18, 24, dan 48 jam. Laju alir koagulan dan flokulan disesuaikan dengan laju alir limbah pada proses pengolahan primer. Untuk setiap waktu aerasi efluen diukur pH dan turbiditasnya dengan cara mengambil 10 ml efluen yang berada di settling zone 2. Aplikasi Pengolahan Limbah Menggunakan Kondisi Optimum
Cair
Proses pengolahan limbah dilakukan dengan menggunakan parameter optimum yang telah didapat pada proses pengolahan primer yang telah dilakukan seperti dosis optimum koagulan dalam bak koagulasi pada 200 ppm dan dosis optimum flokulan dalam bak flokulasi pada 1 % serta proses pengolahan sekunder (biologi) seperti waktu aerasi. Selanjutnya setelah proses pengolahan sekunder dilakukan proses pengolahan tersier seperti proses adsorpsi
menggunakan zeolit dan karbon aktif, penukar ion dan proses disinfeksi. Analisa dilakukan pada sampel limbah awal, sampel hasil olahan primer, sampel hasil olahan sekunder (lumpur aktif), dan sampel hasil olahan tersier. Parameterparameter yang dianalisis pada setiap analisa sesuai dengan persyaratan baku mutu limbah cair teks til. Selanjutnya hasil analisa dari setiap proses pengolahan dibandingkan agar diperoleh efisiensi setiap pengolahan. Efisiensi pengolahan dinyatakan dalam persen. Efisiensi proses pengolahan primer diperoleh dengan membandingkan penurunan parameter pencemaran sampel limbah hasil olahan primer dan sampel limbah awal. Efisiensi proses pengolahan sekunder diperoleh dengan membandingkan penurunan parameter pencemaran sampel hasil olahan sekunder dan sampel hasil olahan primer. Efisiensi proses pengolahan tersier diperoleh dengan membandingkan penurunan parameter pencemaran sampel hasil akhir (tersier) dan sampel hasil olahan sekunder. Sedangkan efisiensi rancangan desain alat diperoleh dengan membandingkan parameter pencemaran sampel hasil olahan akhir dan sampel limbah awal. Dengan demikian dapat diketahui kinerja setiap proses pengolahan dalam mereduksi zat-zat pencemar dalam limbah cair. Sebagai contoh untuk menentukan efisiensi penurunan konsentrasi BOD pada proses pengolahan primer dengan perumusan: A−B Efisiensi penurunan = x 100 % A Dimana: A = Harga konsentrasi BOD sampel limbah cair awal. B = Harga konsentrasi BOD sampel hasil olahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Pola Mikroorganisme
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
Pertumbuhan
4
tidak teramati dengan jelas, hal ini terjadi karena pada pengolahan biologi mikroorganisme merupakan populasi campuran. Turbiditas
13 Turbiditas (NTU)
Pemahaman dan pengendalian pertumbuhan mikroorganisme merupakan faktor yang sangat penting dalam pengolahan limbah secara biologi, karena aktivitas biooksidasi sangat bergantung pada biomassa populasi mikroorganisme (Poesponegoro, 1998). D i awal penelitian ini dilakukan pengamatan pola pertumbuhan mikroorganisme pada kultur statik. Pengamatan pola pertumbuhan ini untuk mengetahui waktu terjadinya fase pertumbuhan eksponensial mikroorganisme. Waktu pembentukan fase ini merupakan waktu yang tepat untuk menambahkan limbah cair yang akan diolah pada kultur. Pengamatan pola pertumbuhan mikroorganisme ini dilakukan dengan mencampurkan 2 L lumpur aktif dan 2L limbah domestik serta ditambah nutrien sesuai dengan perbandingan konsetrasi BOD:N:P yaitu 100:5:1. Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, harga BOD dari efluen primer adalah 44 mg/L. Jadi dengan konsentrasi BOD efluen primer 44 mg/L, jumlah nutrien yang harus dimasukkan sebesar 2,93 mg pupuk NPK dan 3,77 mg urea per liter limbah cair. Kultur dikondisikan pada rentang pH 7-8,5 dan diaerasi. Limbah domestik ini pada umumnya mengadung trace element yang dibutuhkan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Dalam menentukan pola pertumbuhan mikroorganisme digunakan metoda pengukuran turbiditas atau kekeruhan karena terdapat hubungan linier antara turbiditas dengan jumlah mikroorganisme. Dengan meningkatnya harga turbiditas kultur, mengindikasikan meningkat pula jumlah mikroorganisme. Menurut Horan (1989) suspensi mikroorganisme dalam lumpur aktif terdispersi dalam larutan dan memiliki sifat seperti koloid yang dapat menghamburkan sinar yang melaluinya. Dengan gambar 1 dapat dilihat karakteristik pola pertumbuhan mikroorganisme dalam kultur yang secara umum dapat dibagi menjadi fase pertumbuhan la g, fase eksponensial, fase stasioner dan fase endogen. Fase-fase ini
12
12 11 10 9
12
12
11.5
12.25 11.5
9
8 7
8.6
8.5
8
6 0
10
20
30
40
Waktu (jam)
Gambar 1 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme
Pada selang waktu 0 sampai 3 jam merupakan fase lag, dimana pada fase ini mikroorganisme mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tidak ada perubahan harga turbiditas selama selang rentang waktu ini. Harga turbiditas cenderung stabil dari rentang turbiditas 8 NTU sampai dengan 9 NTU. Walaupun tidak terjadi perubahan biomassa atau jumlah sel, banyak terjadi aktivitas metabolik dalam organisme. Substrat dicerna dan digunakan untuk mensintesis enzim-enzim baru dan untuk pertumbuhan sel sebelum berbiak. Pada selang waktu 3 sampai 6 jam terjadi peningkatan harga turbiditas dari 9 NTU sampai dengan 12 NTU. Hal ini menunjukkan terjadinya proses pertumbuhan mikroorganisme. Fase dimana terjadinya pertumbuhan dikenal dengan fase eksponensial atau fase pertumbuhan log (Benefield & Randal, 1980). Pada fase ini mikroorganisme menguraikan substrat dan berbiak dengan cara membelah diri. Limbah cair dapat ditambahkan pada jam-jam tersebut. Sedangkan pada selang waktu 6 sampai 24 jam tidak terjadi peningkatan turbiditas. Harga turbiditas cenderung konstan yaitu sekitar 12 NTU. Pada fase ini populasi mikrorganisme tetap. Hal ini diakibatkan habisnya substrat, nutrien atau faktor lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sehingga mikroorganisme tidak dapat
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
5
Aklimatisasi Pengolahan secara biologi bertujuan untuk mengurangi kadar zat organik dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pengolahan ini diantaranya kondisi lingkungan dan nutrien yang optimum juga keberadaan mikroorganisme. Mikroorganisme ini diharapkan mempunyai kemampuan untuk mendegradasi zat- zat organik yang terkandung dalam limbah yang akan diolah. Untuk memperoleh mikroorganisme yang mampu mendegradasi zat-zat organik tersebut, maka sebelumnya dilakukan proses pengadaptasian atau aklimatisasi mikroorganisme yang terdapat dalam lumpur aktif dengan limbah cair yang akan diolah. Dengan proses ini diharapkan mikroorganisme dominan yang dapa t beradaptasi dengan limbah diperoleh. Mikroorganisme dominan ini mampu mendegradasi dan memanfaatkan bahanbahan organik dan anorganik yang terdapat dalam limbah cair dan dapat membentuk flok seperti mikroorganisme jenis bakteri. Pada tahap aklimatisasi ini, sebelum limbah dialirkan ke dalam tangki aerasi, lumpur aktif bersama dengan limbah domestik dan nutrien diaerasi selama 3 jam karena pada waktu ini mikroorganisme sedang mengalami fase pertumbuhan lag
(eksponensial). Waktu fase ini terjadi merupakan waktu yang tepat untuk menambahkan limbah. Setelah itu limbah dialirkan ke dalam tangki aerasi. Nutrien yang ditambahkan sesuai dengan perbandingan konsentrasi BOD:N:P sebesar 100:5:1 (Mahajan, 1985). Untuk mengetahui mikroorganisme itu telah beradaptasi de ngan limbah cair dilakukan pengukuran turbiditas kultur. Terdapat kenaikan turbiditas, hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme telah beradaptasi dengan limbah cair dan mengalami pertumbuhan. Pengukuran dilakukan setiap selang waktu 1 hari. Secara lebih jelas, kenaikan turbiditas kultur mikroorganisme dapat dilihat pada gambar 2. turbiditas
250 turbiditas (NTU)
melakuka n aktivitas metabolisme. Fase ini merupakan fase stasioner dimana pertumbuhan sel-sel baru diimbangi dengan kematian sel-sel tua. Setelah melalui fase stasioner, pada selang waktu 24 sampai 30 jam terjadi penurunan mikroorganisme. Hal ini ditunjukkan dengan turunnya harga turbiditas secara drastis yaitu dari turbiditas 11,5 NTU menjadi 8,5 NTU. Pada fase endogen ini mikroorganisme banyak yang mati dan mengendap. Selain karena habisnya substrat dan nutrien, hal ini disebabkan adanya ekskresi produk akhir metabolisme yang bersifat toksik (McKinney, 1962).
184.16 189.16
200
100
195
185
150 78.33 57.25
50
147.83 105
68.83 44.5
0 0
1
2
3 4 5 6 waktu (hari)
7
8
9
Gambar 2Kurva Hubungan Turbiditas terhadap Waktu Aklimatisasi
Penentuan Waktu Aerasi Optimum Proses lumpur aktif terbentuk oleh proses aerasi limbah yang dapat didegradasi secara biologi untuk selang waktu tertentu sampai terbentuk flok yang lebih besar dan dapat diendapkan. Proses lumpur aktif merupakan proses aerobik dan memerlukan suplai oksigen sedikitnya 0.5 mg/L selama sistem ini beroperasi (McKinney, 1962). Oksigen merupakan faktor pembatas dalam sistem lumpur aktif konvensional. Karena konsentrasi oksigen terlarut dalam limbah jumlahnya sangat kecil maka diperlukan tambahan oksigen untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi mikroorganisme. Oksigen disuplai ke dalam sistem lumpur aktif oleh sistem aerasi mekanik atau sistem aerasi tersebar (diffused aeration
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
6
system). Sistem aerasi ini menghasilkan gelembung-gelembung udara yang bukan hanya memberikan persediaan oksigen yang cukup tetapi juga mengaduk mikroorganisme, oksigen, substrat dan nutrien dalam tangki aerasi sehingga terjadi pencampuran. Pengadukan dapat meningkatkan kontak antar partikel-partikel untuk menghasilkan flok-flok dengan ukuran, kerapatan dan kekuatan yang optimum sehingga dapat diendapkan dengan mudah dalam bak sedimentasi. Jika kebutuhan oksigen lebih besar dari pada suplai, maka kondisi anaerob akan terbentuk dan hal ini merupakan salah satu permasalahan dalam pengoperasian sistem lumpur aktif. Konsentrasi oksigen yang rendah menghasilkan efluen yang keruh karena protozoa tidak dapat berkembang sehingga pertumbuhan bakteri yang berfilamen meningkat dan menghambat pembentukan flok yang padat dan sukar untuk mengendap. Untuk memperoleh efluen yang baik maka perlu ditentukan waktu aerasi yang optimum. turbiditas Turbiditas (NTU)
25 21
20
17.4 15
12.8
10 5
3.8
2.78
0 6
12
18
24
48
waktu (jam)
Gambar 3 Kurva Hubungan Waktu Aerasi terhadap Turbiditas
Pada gambar 3 terlihat bahwa turbiditas yang terkecil yaitu 2,78 NTU dicapai dengan waktu aerasi 24 jam. Pada waktu aerasi 24 jam ini diduga mikroorganisme berada pada kondisi sedang atau sudah mengalami fase endogen karena terbatasnya nutrien. Pada fase ini banyak mikroorganisme yang mati dan menghasilkan sejenis polimer alami dan menyebabkan terjadinya bioflokulasi.
Bioflokulasi ini terjadi karena adanya ikatan “bridging” oleh polimer tersebut dan membentuk flok (Poesponegoro, 1998). Ketika effluent mengalir ke bak sedimentasi flok-flok ini dengan mudah mengendap dan menghasilkan supernatan yang jernih. Sedangkan untuk waktu aerasi 6, 12, dan 18 jam, diperoleh turbiditas yang cukup besar yaitu sebesar 21, 17,4 dan 3,8 NTU. Hal ini diduga selama waktu aerasi tersebut, mikroorganisme masih berada pada masa pertumbuhan dan aktif melakukan metabolisme. Bakteri tidak dapat membentuk flok selama mikroorganisme tersebut aktif melakukan metabolisme bahan organik dan berkembang biak. Hanya setelah bakteri berhenti melakukan aktivitas metabolik pembentukan flok dapat terjadi. Mikroorganisme pada fasa ini terdispersi dalam efluen sehingga sukar untuk mengendap dan menyebabkan kekeruhan. Pada waktu aerasi 48 jam, nilai turbiditas naik lagi menjadi 12,8 NTU. Hal ini diduga bahwa pada waktu ini protozoa dan mikroorganisme lainnya seperti crustacean tumbuh. Mereka melakukan aktivitas metabolisme sehingga menyebabkan kekeruhan. Mikroorganisme yang aktif melakukan aktivitas metabolisme akan terdispersi dalam efluen sehingga sukar untuk diendapkan. Waktu aerasi yang sangat lama juga akan menyebabkan kematian seluruh mikroorganisme dominan dan yang tersisa hanya sel-sel yang sudah mati. Hal ini harus dihindarkan dalam sistem lumpur aktif. Aplikasi Pengolahan Limbah Menggunakan Kondisi Optimum
Cair
Aplikasi pengolahan limbah dilakukan secara utuh dari proses pengolahan primer, proses pengolahan sekunder (proses lumpur aktif) sampai proses tersier. Proses pengolahan ini dilakukan dalam reaktor dengan menggunakan sistem flow. Kondisi optimum pada proses pengolahan primer yang diperoleh pada penelitian sebelumnya yaitu dosis alum sebagai koagulan pada 200 ppm dan dosis bioflokulan DD sebagai flokulan pada 1 %.
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
7
Sedangkan kondisi optimum pada proses pengolahan sekunder yang diperoleh dari tahap-tahap sebelumnya yaitu waktu aerasi optimum pada 24 jam. Limbah yang diolah dengan menggunakan kondisi optimum dianalisis oleh Laboratorium Pusat Penelitian Kimia, LIPI. Analisis dilakukan terhadap sampel limbah awal, sampel hasil olahan primer, sampel hasil olahan sekunder dan sampel hasil olahan akhir (proses pengolahan tersier). Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 1 dan efisiensi penurunan parameter pencemaran dapat dilihat pada tabel 2. Pada umumnya proses pengolahan limbah cair tekstil dengan kondisi yang optimum berhasil menurunkan beban pencemaran yang terkandung dalam limbah cair tekstil terutama dengan proses pengolahan primer. Penurunan yang dihasilkan oleh pengolahan primer sangat signifikan. Kadar COD dan BOD menurun dengan signifikan dengan penurunan masing-masing 86,44 % dan 89,1 %. Sedangkan penurunan COD dan BOD oleh proses pengolahan biologi tidak begitu signifikan yaitu sebesar 54,15 % dan 1,64 %. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan zat organik yang dikandung oleh limbah cair merupakan zat organik yang tersuspensi sehingga dapat diendapkan dengan pengolahan kimia. Pada pengolahan biologi penurunan BOD dan COD yang tidak sama tersebut menunjukan bahwa tidak semua zat organik dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Selain itu dengan melihat nilai persentase perbandingan BOD/COD hasil olahan primer yang kecil yaitu sekitar 17,74 % di bawah 20% menunjukan bahwa limbah ini susah diolah secara biologi karena zat-zat organik yang terkandung adalah zatzat organik yang tidak biodegradable sehingga susah diolah dengan proses biologi. Zat organik yang nonbiodegradable dapat diolah menggunakan proses pengolahan lain seperti proses pengolahan tersier hal ini dibuktikan dengan penurunan BOD dari efluen proses pengolahan sekunder ke efluen proses pengolahan tersier sebesar 43.18 % dan penurunan COD sebesar 27,28 %.
Tabel 1 Data hasil analisis terhadap limbah awal dan hasil olahan setiap proses pengolahan Parameter
Satua n
Sampel Awal
EfluenPri mer
Efluen Sekunder
Efluen Tersier
pH
-
8,77
4,97
7,07
6,32
TSS COD BOD 5 Krom Total (Cr) Fenol NH 3 -N H2 S Minyak dan lemak
mg/l mg/l mg/l mg/l
140,7 278,95 61,50 0,06
0,52 37,82 6,71 tt
0,30 17,34 6,60 tt
tt 12,61 3,75 tt
Baku Mutu Limb ah 6,009,00 50 150 60 1,00
mg/l mg/l mg/l mg/l
0,004 0,13 0,048 1,73
tt 0,22 tt 0,11
tt 1,92 tt tt
tt 0,92 0,005 tt
0,5 8,00 0,30 3,00
tt= tidak terdeteksi
Tabel 2 Data efisiensi penurunan parameter pencemaran dari setiap proses pengolahan Parameter
Efisiensi Proses Pengolahan Primer (%)
Efisiensi Proses Pengolahan Tersier (%)
99,63 86,44 89,09 ≈100
Efisiensi Proses Pengolahan Sekunder (%) 42,3 54,15 1,64 -
≈100 27,28 43,18 -
Efisiensi Keseluruhan Proses Pengolahan (%) ≈100 95,48 93,90 ≈100
pH TSS COD BOD5 Krom Total (Cr) Fenol NH3 -N H2 S Minyak dan Lemak
≈100 ≈100 93,64
-
53,30 -
≈100 89,58 ≈100
Konsentrasi TSS mengalami penurunan dari setiap proses pengolahan. Pada proses pengolahan primer konsentrasi TSS mengalami penurunan yang sangat besar yaitu 99,63 %. Pada proses pengolahan sekunder penurunan konsentrasi TSS sebesar 42,30 % sedangkan pada proses pengolahan tersier konsentrasi TSS mengalami penurunan hampir 100%. Begitu pula halnya dengan konsentrasi krom, phenol, minyak dan lemak dari setiap proses pengolahan mengalami penurunan. Tetapi konsentrasi NH3-N mengalami peningkatan pada proses pengolahan primer. Hal ini dikarenakan pada
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
8
penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa bioflokulan DD mengandung gugus Amina. Begitu juga dengan proses pengolahan sekunder (lumpur aktif) terdapat peningkatan NH3-N. Hal ini diduga karena terjadi reaksi deaminasi zat organik seperti protein menghasilkan ion ammonium sela ma proses metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme. Konsentrasi H2S pada proses pengolahan tersier mengalami peningkatan. Diduga hal ini diakibatkan oleh terbawanya sebagian kecil mikroorganisme dari bak pengendapan lumpur. Mikroorganisme tersebut melakukan metabolisme secara anaerobik yang menghasilkan H 2S. Secara keseluruhan desain dan proses pengolahan ini dapat menurunkan konsentrasi BOD sebesar 93,90 %, COD sebesar 95,48 %, TSS hampir 100 %, krom total hampir 100 %, Phenol hampir 100 %, H2S sebesar 89,58 %,minyak dan lemak yang hampir 100 %. Sedangkan konsentrasi NH3-N mengalami kenaikan, tetapi nilainya masih dibawah ambang batas.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengolahan limbah yang dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme teraklimatisasi dalam suatu sistem flow skala laboratorium diperoleh waktu aerasi optimum selama 24 jam. 2. Pengolahan limbah secara utuh dari proses pengolahan primer, proses pengolahan sekunder sampai proses pengolahan tersier dapat menurunkan bahan-bahan pencemar yang terdapat dalam limbah. Pada proses pengolahan primer, efektivitas penurunan BOD sebesar 89.09 %, COD sebesar 86,44 %, TSS sebesar 99,63 %, fenol yang hampir 100 %, krom yang hampir 100%, H2S yang hampir 100 % serta minyak dan lemak sebesar 93,64 %, sedangkan
konsentrasi NH3-N mengalami kenaikan. Pada proses pengolahan sekunder, efektvitas penurunan BOD sebesar 1,64 % Dengan rendahnya efektivitas penurunan BOD ini membuktikan bahwa efluen hasil pengolahan primer dengan menggunakan sistem flow skala laboratorium sukar diolah dengan proses biologi. Sedangkan efektivitas penurunan COD sebesar 54,15 %, TSS sebesar 42,3 %, minyak dan lemak hampir 100 % sedangkan konsentrasi NH3-N mengalami kenaikan. Pada proses pengolahan tersier, penurunan BOD sebesar 43,18 %, COD sebesar 27,28 %, TSS hampir 100%, NH3-N sebesar 53,30 % sedangkan H 2S mengalami kenaikan. 3. Secara keseluruhan proses pengolahan limbah dengan menggunakan rancangan desain instalasi yang dikembangkan pada penelitian ini dapat menurunkan konsentrasi BOD sebesar 93,90 %, COD sebesar 95,48 %, TSS hampir 100 %, krom total hampir 100 %, fenol hampir 100 %, H 2S sebesar 89,58 %,minyak dan lemak yang hampir 100 % sedangkan konsentrasi NH3-N mengalami kenaikan. Jadi rancangan desain instalasi yang dikembangkan sangat efektif digunakan dalam pengolahan limbah cair industri tekstil PT.CAGM.
SARAN Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal pada pengolahan limbah cair industri tekstil perlu dilakukan perbaikanperbaikan terhadap penelitian lanjutan yaitu: 1. Penempatan sistem aerasi yang merata dengan meletakkan aerator pada posisi dimana udara bisa terdistribusikan ke seluruh bak aerasi agar pengadukan berlangsung secara sempurna. 2. Penentuan intensitas pengembalian lumpur aktif yang teratur dan efektif agar mikroorganisme tidak terlalu lama dalam bak pengendapan.
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
9
3. Mengoptimasi proses pengolahan tersier untuk menghasilkan air olahan yang lebih baik. 4. Analisis sampel hasil olahan sebaiknya menggunakan parameter sampel air yang layak digunakan dalam proses produksi, sehingga dapat diketahui hasil olahan dengan menggunakan desain pengolahan sistem flow tersebut layak digunakan kembali. Ucapan Terima Kasih - Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidik, Dra. Hernani, MSi, Dr. Asep Kadarohman, M.Si, dan Drs. Yaya Sonjaya yang telah membimbing, para laboran Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI serta teman-teman yang telah me mbantu.
DAFTAR PUSTAKA Benefield, L.D., Judkins, J.F. and Weand, B.L. (1982). Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Guyer, H.H. (1998). Industrial Processes and waste Stream Management. New York: John Willey & Son. Horan, N.J. (1989). Biological Wastewater Trea tment System, Theory and Operation . New York: John Willey & Son. Haryono, dkk. (1994). Isolasi Bakteri Jenis Unggul Sebagai Starter Dalam Pengolahan Air Limbah Industri. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Lestari, J. (2003). Penggunaan Sistem Lumpur Aktif Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil PT. LSI. Skripsi Program Studi Kimia UPI: tidak diterbitkan. Mahajan, S.P. (1985). Pollution Control in Process Industries, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. Manahan, Stanley E. (1994). Environmental Chemistry. 6th ed. London: Lewis Publisher.
Benefield, L.D and Randal, C.W. (1980) Biological Proses Design for Wastewater Treatment. Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.
McKinney. (1962). Microbiology for Sanitary Engineers, New York: McGraw-Hill Book. Co.
Djufri, Rasjid. (1973). Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan. Bandung: ITT.
Metcalf and Eddy. (1991). Wastewater Engineering , 3rd ed. New York: McGraw-Hill Inc.
Droste, Ronald. L. (1997). Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment. New York: John Willey & Son.
Montgomery, J.M. (1985). Water Treatment Principles and Design . New York: John Willey & Son Inc.
Eckenfelder, W. Wesley. (1989). Industrial Water Pollution Control, 2nd ed. Singapore: McGraw -Hill Book Company.
Mutia, T. (1998). “Penilaian Secara Ekologi Terhadap Zat Kimia Untuk Penyempurnaan”. Jurnal Arena Tekstil. No.28. Mutia, T. (2002). ”Penurunan warna dan Beban Pencemaran Limbah Cair yang Mengandung Zat Warna Dispersi
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
10
Menggunakan Massa Biologi”, Jurnal Arena Tekstil. No. 37. Nemerrow, N.L. (1978). Industrial Water Pollution: Origin, Characteristic and Treatment. Philippines: AddisonWesley Publishing Company Inc. Poesponegoro, M. (1998). Bioflokulasi Mikroorganisme dan Peranannya dalam Pengoilahan Air Limbah Secara Biologi, JKTI, Vol.8, No.1-2. Purwati, S. dkk. (2003). Peningkatan Efektivitas Pengolahan Air Limbah Kertas Alkalin dengan Proses Lumpur Aktif Termodifikasi. Seminar Teknologi Pulp dan Kertas, Bandung: tidak diterbitkan. Sartamtomo dkk. (1998). Desain dan Rekayasa Prototype Alat Pengolah Lanjut Air Limbah Industri Dengan Teknologi Adsorpsi Karbon Aktif. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Wentz, Charles, A. (1989). Hazardous Waste Management. Singapore: McGraw-Hill Book Co. __________, (1999). “Pengawasan Pencemaran Akibat Aktivitas Industri”.Green Aid Plan di Indonesia. Tokyo: JETRO. __________. (2001). What is Zeolit.[on line]. Tersedia. www. Strom watermgt.com/company/techmemos/w hat%20is%20zeolit.pdf. (10 April 2003).
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
11