Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Potensi Geopark Gunung Batu dan Curug Cibengang Kabupaten Jonggol, Jawa Barat Dewandio Yogaswara, M. Luthfi Audryan D , dan Paulus Johannes Universitas Trisakti, Jln Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat, 11440, DKI Jakarta Email :
[email protected]
Abstrak Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keberagaman budaya dan keindahan alamnya. Hal tersebut didukung dengan usulan pemerintah yang akan mengajukan 170 destinasi geodiversity baru sebagai jaringan geopark global oleh Badan Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Di Indonesia, banyak daerah yang minim intensitas eksposnya oleh wisatawan dalam maupun luar negeri sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk memaksimalkan nilai jual objek wisata, meliputi Gunung Batu dan Curug Cibengang, Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Jonggol Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah metode primer dan penginderaan jarak jauh. Berdasarkan fisiografi Pulau Jawa oleh Van Bemmelen, daerah ini termasuk zona gunung api kuarter, dilihat dari batuan beku yang mendominasi gunung tersebut. Batuan ini memiliki bentuk yang unik dan terdapat kristal-kristal indah pada batuan. Kekerasan dari batuan beku cocok digunakan untuk olahraga panjat tebing. Gunung Batu dengan ketinggian 875 mdpl sudah memiliki fasilitas pendakian yang dibuat oleh warga sekitar dan pencinta alam, meski fasilitas tersebut masih kurang memadai. Objek wisata kedua ialah Curug Cibengang, curug tersebut memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Curug ini hanya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Minimnya fasilitas yang menunjang lokasi tersebut menjadi alasan kami untuk melakukan kajian terhadap Gunung Batu dan Curug Cibengang. Nyatanya, kedua tempat tersebut memiliki potensi sebagai kawasan geopark nasional. Dengan terwujudnya pembenahan yang dibutuhkan, memudahkan wisatawan dalam menikmati keindahan alam serta mempelajari ilmu kebumian secara aman dan nyaman, pembenahan yang dilakukan dapat pula meningkatkan jumlah wisatawan. Meningkatnya jumlah wisatawan dapat berimplikasi pada perekonomian warga sekitar dan menjadi ikon baru di Jawa Barat. Kata Kunci : Curug Cibengang, Geowisata, Gunung Batu, Jonggol, Jawa Barat.
Pendahuluan Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki daya tarik geologis yang khas di berbagai wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Beragam kekayaan alam dapat ditemui di Indonesia, Sehingga Indonesia berpotensi memiliki banyak objek geowisata. Geowisata merupakan salah satu bentuk perjalanan wisata minat khusus yang didasari oleh ketertarikan/rasa ingin tahu pada keragaman fenomena kebumian
(geodiversity). Geowisata sebagai salah satu bentuk perjalanan wisata minat khusus yang dapat dibangkitkan melalui apresiasi terhadap obyek kebumian dan tata lingkungannya. Geowisata juga dapat dijadikan jembatan dalam rangka sosialisasi ilmu pengetahuan alam, pendidikan lingkungan dan pelestarian alam dan pada akhirnya diharapkan akan terwujud pembangunan pariwisata yang berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Namun, kegiatan geowisata di Indonesia memang baru dikenal pada tahun 1980-an sejak maraknya para turis beransel (back-pack tourists).
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Sehingga harus dilakukan pengembangan geowisata untuk meningkatkan daya tarik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Salah satu daerah di Indonesia yang berpotensi menjadi objek geowisata berada tidak jauh dari Ibu Kota yaitu di Kabupaten Jonggol. Selama ini kegiatan pariwisata di Kabupaten Jonggol secara signifikan dicirikan oleh Gunung Batu dan Curug Cibengang. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Gunung Api Kuarter. Namun, keberadaan objek geowisata tersebut sampai saat ini hanya diketahui oleh warga sekitar atau para geologis yang tertarik dengan indahnya pemandangan, keunikan bentang alam dan batuan di samping pekerjaan utamanya mencatat proses-proses geologis. Sayangnya, masyarakat awam luput dengan adanya objek geowisata Gunung Batu dan Curug Cibenang. Padahal, dalam kegiatan geowisata tidak perlu menjadi seorang geologis untuk mengapresiasi obyek kebumian dan tata lingkungan. Inti dari kegiatan geowisata sendiri adalah pemahaman terhadap proses-proses geologis yang dikemas dalam suatu kegiatan wisata. Permasalahan akan rendahnya pengetahuan masyarakat akan objek geowisata Gunung Batu dan Curug Cibengang berdampak pada rendahnya jumlah pengunjung di Gunung Batu yaitu hanya berkisar 20 – 30 orang di hari biasa dan 200 orang di akhir pekan. Tidak dapat dihindari hal tersebut juga dikarenakan infrastruktur yang kurang memadai di daerah tersebut sehingga tidak sembarang wisatawan dapat menikmati keindahan alam di Gunung Batu. Kesulitan dalam transportasi serta minimnya petunjuk arah menuju Gunung Batu dan Curug Cibengang merupakan kekurangan yang dimiliki obyek wisata ini.
Keamanan dalam mendaki gunung serta jalan menuju curug dinilai masih kurang aman. Oleh sebab itu, dengan terwujudnya pembenahan yang dibutuhkan, memudahkan wisatawan dalam menikmati keindahan alam serta mempelajari ilmu kebumian secara aman dan nyaman. Tujuan Untuk memperkenalkan potensi objek geowisata gunung batu dan curug cibengang kepada wisatawan baik domestik dan mancanegara serta mendorong pemerintah daerah untuk membenahi seluruh fasilitas penunjang objek geowisata ini. Dengan pembenahan yang dilakukan pemerintah daerah, akan berimplikasi kepada perekonomian masyarakat sekitar Kerangka Pekerjaan Permasalahan Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini merujuk pada aspek kepariwisataan pada dua objek wisata yaitu Gunung Batu dan Curug Cibengang. Kedua objek wisata tersebut terletak berdekatan di kabupaten Jonggol. Gunung Batu dan Curug Cibengang memiliki potensi wisata dan budaya yang mampu menarik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Namun, potensi kedua objek wisata tersebut belum diperdayakan secara optimal oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan fasilitas yang tidak memadai bagi wisatawan untuk berekreasi di kedua objek wisata tersebut. Kendala utama terdapat pada keamanan objek wisata untuk dikunjungi oleh wisatawan dan akses yang sulit menuju dua objek wisata tersebut. Ditambah dengan kurangnya kesadaran pengunjung dalam menjaga fasilitas dan objek wisata yang ada di Gunung Batu dan Curug Cibengang. Hal tersebut berdampak pada rendahnya jumlah pengunjung di objek wisata
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gunung Batu dan Curug Cibengang. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengaji lebih lanjut agar potensi pada Gunung Batu dan Curug Cibengang dapat dimanfaatkan secara optimal menggunakan wawasan pembangunan berkelanjutan. Rumusan Masalah 1.Bagaimana cara mengoptimalkan kedua objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang yang diakulturasi dengan budaya masyarakat setempat yaitu “selametan bumi”? 2.Apa saja fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang sarana dan prasarana yang terdapat di Gunung Batu dan Curug Cibengang? 3.Apa keuntungan akan didapat dari permberdayaan objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang terhadap warga sekitar? 4.Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang? Hipotesis Pemberdayaan yang maksimal pada objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan askses wisata dan keamanan di objek wisata. Hal tersebut akan berdampak pada naiknya jumlah pengunjung dan perekonomian masyarakat disekitar objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang. Metodologi Penelitian berdasarkan metode primer dan Penginderaan Jarak Jauh yaitu dengan melakukan kajian langsung ke lapangan dibantu dengan citra satelit. Dengan melakukan kajian langsung ke lapangan membantu mengetahui kondisi lokasi penelitian secara nyata yang sebelumnya di amati melalui citra satelit. Beberapa aspek yang di amati adalah akses ,keamanan,nilai
pendidikan Berdasarkan parameter Knapik et al, 2007 Tabel 1.1 Parameter geosite menurut knapik et al, 2007 Criterion Traits Point Site clearly visible, located 5 directly on the touristic trail or nature’s path Accessibility
State of preservation
Scientific worth
Education significance
Site clearly visible, located on the road or path Site barely visible, located more than 250 m away from the path or road Site difficult to access for tourist (ex. significantly overgrown or difficult to access) Site unavailable for tourists Well preserved site with no visible signs of degradation Site in slight violation of its structure Partially destroyed Site heavily modified by human Site destroyed - loss character of geosites Very high: one site in the region, unique in a wider scale High: very important for regional studies Average: significant for regional research Low: common site with average values Very low: no particular distinctive features Very high: number of represented issues: 5 and more High: number of represented issues: 4 Average: number of represented issues: 3 Low: number of represented issues: 2 Very low: number of represented issues: 1
4 3
2
1 5 4 3 2 1 10
8 6 4 2 10
8 6 4 2
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Parameter ini berdasarkan 4 aspek yang dinilai, aspek pertama yaitu accessibility (akses). Apakah lokasi dari geowisata terkait mudah di akses atau tidak. Aspek kedua adalah keutuhan dari objek geologi yang ada. Apakah masih tersajikan dengan baik atau tidak. Aspek yang ketiga dan keempat adalah nilai ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dari hasil akumulasi poin yang didapat akan menunjukan nilai potensi geowisata secara kuantitatif. Sebenarnya banyak sistem penilaian yang ada, namun sistem penilaian dari Knapik et al, 2007 di rasa paling objektif. Selain itu dalam penelitian ini ditentukan koordinatnya menggunakan GPS untuk mengetahui lokasi geowisata secara akurat.
di sebelah selatan pantai utara, membentang dari Rangkasbitung sampai ke Bumiayu. Zona ini disusun oleh batuan yang berumur Neogen yang terlipat kuat. Zona ini telah mengalami tektonik yang kuat sehingga terlipatkan dan membentuk antiklinorium yang cembung ke utara dan cukup rumit. Selain itu muncul tubuh-tubuh intrusi yang umumnya berelief lebih terjal.
Gambar 2.1 Gambar Peta Geologi Dareah Kabupaten Jonggol 2014 Gambar 1.1 dan 1.2 Pencarian Koordinat Menggunakan GPS
Dari koordinat yang didapat akan di proyeksikan ke peta dengan bantuan peta citra satelit Google earth.
Gambar 1.3 Citra Satelit melalui Google Earth
Diskusi Berdasarkan teori yang dicetuskan van Bemmelen (1949) mengenai morfologi dan tektonik Jawa Barat, daerah penelitian merupakan bagian dari Zona Bogor, terletak
Berdasarkan Gambar 1 yang menunjukan peta geologi milik Yonathan Chandra tahun 2014, daerah penelitian termasuk zona vulkanik yang memiliki satuan litologi andesit. Hal ini dibuktikan dengan sampel yang di dapat peneliti yaitu batu andesit. Batu Andesit berasal dari Magma yang biasanya meletus dari stratovolcanoes pada lahar tebal yang mengalir, beberapa diantaranya dapat menyebar luas hingga beberapa kilometer dari pusat letusan. Magma Andesit dapat juga menghasilkan letusan seperti bahan peledak yang kuat yang kemudian membentuk arus pyroclastic dan surges dan suatu kolom letusan yang sangat besar. Di dalam andesite terdapat sekitar 52 dan 63 persen kandungan silika (Sio2). Mineral-mineral penyusun Andesite yang utama terdiri dari plagioklas
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
feldspar dan juga terdapat mineral pyroxene (clinopyroxene dan orthopyroxene) dan hornblende dalam jumlah yang kecil. Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan batu belah untuk Bahan konstruksi (bangunan dan jalan), bangunan perumahan, alas jalan dan lain-lain.
Citra satelit digunakan oleh penulis untuk membantu melihat realitas kondisi medan jalan yang dilalui serta melihat jalurjalur alternatif menuju lokasi pengamatan. Penginderaan jauh dibutuhkan juga untuk melihat kenampakan alam disekitar lokasi pengamatan. Penggunaan Penginderaan jauh pada Gunung Batu juga memberikan informasi bahwa Gunung Batu memiliki jurang disisi kanan-kiri sepanjang punggungan gunung yang merupakan jalur menuju puncak.
Gambar 2.2 Metode Sistem Penginderaan Jarak Jauh pada Gunung Batu
Selain metode primer, penulis juga menggunakan metode sistem penginderaan jarak jauh. Penginderaan jauh merupakan suatu pengambilan atau pengukuran data atau informasi mengenai sifat dari sebuah fenomena, objek, atau benda dengan menggunakan sebuah perekam tanpa berhubungan langsung dengan objek yang akan dikaji. Pendapat lain mengenai metode sistem Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer, 1994). Pemakaian penginderaan jauh itu antara lain untuk memperoleh informasi yang tepat. Dalam penginderaan jauh dapat memasukkan data atau hasil observasi yang disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau.
Gambar 2.3 Citra Satelit Gunung Batu dan Jalur Mendaki dilihat Melalui Google Earth
Gambar 2.3 menunjukan adanya jurang yang curam. Kekurangan dari penginderaan jarak jauh yaitu gambar dari citra satelit tidak mengalami pembaharuan setiap hari dan mungkin berbeda dari pengamatan langsung, tetapi penginderaan jauh tetap diperlukan untuk menganalisa keadaan di Gunung Batu. Berdasarkan penginderaan jarak jauh jarak antara kedua objek wisata yaitu Gunung Batu dan Curug Cibengang pada Curug Cibengang tidak terlalu jauh. Pada perjalanan antara kedua objek wisata tersebut dapat dilihat pematang sawah, sungai kecil, serta rumah-rumah penduduk. Melalui foto citra satelit, terdapat jurang yang cukup tinggi pada jalur menuju Curug Cibengang. Hal tersebut masih berbahaya bila dilewati oleh
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
wisatawan. Sama halnya dengan jalur pendakian di Gunung Batu, jalur menuju Curug Cibengang masih membutuhkan fasilitas keselamatan bagi pengunjung.
Gambar 2.4 Citra Satelit Perjalanan Antara Gunung Batu dan Curug Cibengang
Akses menuju objek wisata merupakan masalah yang utama dijumpai dan termasuk permasalahan dalam penelitian ini. Dikarenakan kurangnya transportasi yang ada di daerah Jonggol, serta minimnya transportasi yang langsung menuju Gunung Batu dan Curug Cibengang.
Gambar 2.5 dan 2.6 Akses Menuju Gunung Batu dan Curug Cibengang
Transportasi yang tersedia hanya sebatas melewati jalan utama sehingga untuk menuju jalur pendakian Gunung Batu harus menyewa angkutan umum dikarenakan tidak ada angkutan umum yang menuju Gunung Batu langsung.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 2.7 Angkutan warga yang biasa disewa sebagai Transportasi menuju Gunung Batu
Selain masalah akses menuju objek wisata, keamanan objek wisata di Gunung Batu dan Curug Cibengang juga menjadi konsentrasi permasalahan yang diangkat. Seperti penjabaran sebelumnya, jalur pendakian yang terjal dan terdapat jurang di sisi kanan dan kiri menjadi konsentrasi penulis terhadap masalah terkain infrastruktur di objek wisata. Sehingga, perlu adanya pembangunan sarana seperti pagar pembatas dan tambahan tali tambang disekitar area tersebut. Selain keamanan yang kurang layak terdapat juga tindakan wisatawan yang merusak lingkungan objek wisata. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab yaitu mencorat-coret menggunakan spidol dan cat semprot pada batuan di Gunung Batu. Penambahan papan pengumuman/peringatan agar menjaga dan tidak mencoret2 lingkungan bisa mengurangi serta menjaga lingkungan dan objek geologi yang ada di Gunung Batu dan Curug Cibengang.
Gambar 2.8 dan 2.9 Visualisasi Penambahan Sarana di Gunung Batu (atas) dan Curug Cibengang (bawah)
Gambar 2.10 Visualisasi Penambahan Sarana di Gunung Batu
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 2.11 Bukti pencoretan lingkungan objek wisata
Peneliti juga menemukan potensi yang dapat mendukung kedua objek wisata tersebut dijadikan sebagai geopark. Disekitar Gunung Batu dan Curug, terdapat sebuah budaya khas unik yang masih mendarah daging pada masyarakat yaitu “selametan bumi”. Budaya tersebut ditujukan untuk yang menunjukan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panen raya yang terjadi setiap tanggal 17 Agustus. Para wisatawan yang berkunjung pada tanggal 17 Agustus dapat mengikuti rangkaian acara “selamatan bumi” tersebut selagi menikmati keindahan alam di objek geowisata Gunung Batu dan Curug Cibengang.
Gambar 2.12 Budaya Selametan Bumi
Selain itu, berdasarkan parameter Knapik et al, 2007 secara akses Gunung Batu berjarak 250 meter atau lebih dari jalan raya ( Point 3) karena harus melalui jalan yang belum beraspal. Dari segi keutuhan objek geologi, lokasi penelitian Gunung Batu
termasuk kategori partially destroyed ( Point 3) karena pengaruh erosi yang menyebabkan objek tidak terlalu tampak jelas . Untuk manfaat keilmuan sains, lokasi terkait termasuk kategori rata- rata (dengan point 6) karena hanya diperuntukkan penelitian secara regional. Sedangkan nilai pendidikan termasuk rendah karena keragaman objek yang tidak bervariasi.(point 2). Berbeda dengan Curug Cibengang, dinilai berdasarkan parameter Knapik bahwa akses menunju Curug Cibengang termasuk unavalaible for tourist karena akses ke curug cibengang sangat sulit dan hanya dikunjungi oleh warga sekitar (point 1). Dari segi keutuhan objek geologi, lokasi Curug Cibengang termasuk dalam kategori Site destroyed karena tingkat degradasi yang tinggi menyebabkan hancurnya objek walaupun begitu masih menyisakan sedikit objek geologi (point 3). Untuk manfaat keilmuan sains, curug ini termasuk kategori common site with average values karena lebih fokus untuk kepentingan view yang disajikan tanpa mengabaikan nilai sains (poin 4). Sedangkan nilai sains dari curug cibengang adalah rendah, karena kurangnya variasi objek geologi ( poin 2 ). Nilai yang didapat berdasarkan pengukuran parameter Knapik, maka akumulasi poin gunung batu adalah 14 dan untuk curug cibengang adalah 10. Penilaian ini menandakan perlunya pengembangan lebih lanjut agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Kesimpulan Kesimpulan pada penelitian ini bahwa Gunung Batu dan Curug Cibengang memiliki potensi sebagai salah satu geopark di Indonesia. Namun, minimnya fasilitas serta sulitnya akses untuk mencapai objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang menjadi
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
masalah utama pada penelitian ini. Transportasi yang sulit menuju objek wisata serta aspek keamanan yang kurang diperhatikan menjadi salah satu faktor masalah pada kedua objek wisata. Ada pun saran yang dapat diberikan penulis selaku peneliti yaitu kerjasama antara pemerintah dan pengelola objek wisata agar dapat memberikan akses transportasi yang lebih mudah bagi pengunjung. Selain itu, jalur pendakian dan jalur menuju curug juga harus mendapat perhatian dengan menambahkan fasilitas keamanan seperti pagar karena pada kanan dan kiri jalur terdapat jurang yang curam. Perilaku pengunjung juga terkadang tidak terduga salah satunya mencorat-coret objek batuan yang ada pada kedua objek wisata. Oleh karena itu, penegasan berupa peraturan dan sanksi tertulis guna menjaga kelestarian objek geologi yang ada. Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan meminimalisir masalah yang ada di Gunung Batu dan Curug Cibengang dapat teratasi. Sehingga, hal tersebut akan mendorong jumlah pengunjung yang datang setiap bulannya ke objek wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang. Penulis juga mengharapkan dari naiknya jumlah pengunjung dapat mengubah perekonomian warga sekitar menjadi lebik baik.
Prasetyadi, C. (2008). Exploring Jogja Geoheritage: The Lifetime of An Ancient Volcanic Arc in Java. Yogyakarta: Geology Department Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Simanjuntak, Wilson Chani dkk. (2012). Memadu Harmoni dan Budaya Nusantara. Diakses dari: https://www.scribd.com/doc/7723337 5/GEOWISATA Diakses pada 21 Maret 2016 pukul 14:23 Tripod. (2014). Batuan Beku Intermediet Vulkanik. Diakses dari: http://petrolabupn.tripod.com/Andesit.html. Diakses pada 2 Maret 2016 pukul 13:28 Zakaria, Zufialdi. (2008). Identifikasi Kebencanaan Geologi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Bandung: FTG Universitas Padjajaran Knapik, R., Sobczyk, A., Aleksandrowski, P., 2007. Karkonoski National Park – proposed geodiversity conservation area in the European Chandra Yonathan (2014). Struktur Kekar dan Sesar Berdasarkan Detail Struktur Analisis Daerah Desa Sukaharja, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Teknik Geologi, Universitas Trisakti .
Pustaka Brahmantyo, Budi. (2009). Menggali Akar Geowisata oleh Dr. Ir. Budi Brahmantyo. Diakses dari: http://www.fitb.itb.ac.id/berita/Kampu s/080000/15/10/2009/830/MenggaliAkar-Geowisata-oleh-Dr.Ir.-BudiBrahmantyo/ Diakses pada 26 Maret 2016 pukul 10:44
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”