Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
KESESUAIAN LAHAN PADA VULKANIK KUARTER DAERAH CICURUG LERENG GUNUNG SALAK DAN DAERAH CIHERANG LERENG GUNUNG SALAK SERTA PANGRANGO BERDASARKAN FASIES VULKANIK DAN ISOTOP BAGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DAN KAWASAN INDUSTRI Bombom Rachmat Suganda, M Sapari Dwi Hadian, Hendarmawan ABSTRAK Geologi daerah penelitian tersusun dari bawah ke atas berupa Breksi Laharik (Laharic Breccia), Tuf Padu (Welded Tuff), Tuf Berbatuapung (Pumiceous Tuff), Paleosoil, Tuf Lapili (Lapilli Tuff), Lava. Facies batuan relatif berubah pada jarak yang dekat. Akuifer yang berkembang berupa akuifer breksi laharik, akuifer lava, akuifer tuff lapili dan akuifer tuff batuapung. Akuifer breksi laharik bersifat tertekan yang ditutupi oleh lapisan tuff padu, sementara ketiga akuifer lainnya bersifat tak tertekan. Hasil interpretasi data hidrogeologi, kimia-airtanah, dan isotop airtanah menunjukkan bahwa; Secara umum, pada elevasi di atas elevasi 700 m dpl ke atas termasuk dalam katagori sistem aliran lokal (pendek pejalarannya), sementara pada elevasi 500 m dpl) termasuk dalam katagori sistem aliran menengah (semi panjang pejalarannya). Hal ini dibuktikan conto yang diambil. Elevasi rendah (499 -550 m dpl) tipe air tanah berupa fasies Na+K,SO42- ;Na+K, Cl- mereflesikan aliran yang cukup panjang atau jauh, sementara pada elevasi menengah (600-720 m) Mg, Cl- mereflesikan aliran airtanah yang relatif pendek, terutama pada elevasi di atas 800 m dpl berupa Mg, HCO3 menunjukkan aliran relatif lebih pendek. Analisis isotop menunjukkan bahwa daerah resapan (recharge) sumber air Ciburial terletak pada daerah yang mempunyai elevasi antara 800 m – 900 m dpl, sedangkan untuk sumber air Babakanpari mempunyai daerah recharge pada ketinggian 700 – 800 m. Mata air yang berada pada lokasi dengan ketinggian antara 600 – 900 m dpl dengan umur modern memiliki kandungan 18
isotop
O antara -7.58 ‰ hingga -6.9 ‰. Sedangkan mata air Cimabuputan yang 18
berada pada ketinggian 1023 m dpl memiliki kandungan isotop O sebesar -7.46 ‰. Berdasarkan data tersebut dapat diperoleh informasi tentang klasifikasi daerah imbuh 18
air tanah pada catchment tersebut. Mata air yang mempunyai komposisi O < -7.4 ‰ kemungkinan besar berasal dari ketinggian di atas 900 m dpl. Sedangkan mata air 18
yang mempunyai komposisi isotop O antara -6.9 sampai -7.2 ‰ berasal dari ketinggian antara 700 – 900 m dpl. Mata air Ciburial yang berada pada ketinggian 472 18
m dpl memiliki kandungan isotop O antara -7.29 ‰ dan mengindikasikan bahwa sumber air tersebut berasal dari ketinggian antara 800 – 900 m dpl. Adanya sirkulasi 18
14
yang ditunjukkan oleh kandungan isotop O diperkuat dengan aktivitas C yang rendah atau umur yang tua, yaitu sekitar 7800 tahun. Demikian pula dengan sumber Babakanpari yang mempunyai umur antara 2000 – 6000 tahun memiliki kandungan 18
isotop O -7.0 ‰. Untuk kelangsungan ketersediaan airtanah yang berkelanjutan perlu melakukan langkah konservasi pada kawasan dengan ketinggian 700 m dan 800
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
m dpl dengan elevasi penyangga (buffer elevation) pada kawasan berelevasi antara 800 sampai 900 meter dpl. Kata kunci : Facies vulkanik , isotop, aliran airtanah, daerah resapan
1. Latar Belakang Pola perkembangan dan pembangunan saat ini mengalami banyak perubahan seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi yang mengakibatkan permasalahan serta tantangan baru.
Saat ini kebutuhan akan lahan bagi perkembangan sebuah
perkotaan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial sangat meningkat. Kotakota besar di Indonesia telah tumbuh dengan pesat terutama dipengaruhi tingginya tingkat migrasi ke kota. Kota-kota tersebut sejak dahulu tumbuh sebagai hasil perpaduan antara aglomerasi desa-desa yang tumbuh secara organik dengan wilayah antara yang dibangun mengikuti kaidah barat yang formal.
Perpaduan pola
pembangunan ini mengakibatkan adanya perubahan pemanfaatan lahan dari kawasan budidaya pertanian menjadi kawasan budidaya permukiman ataupun industri serta kawasan lindung yang menjadi kawasan budidaya pertanian ataupun permukiman. Perubahan pemanfaatan lahan ini tentunya harus di atur serta ditata sedemikian rupa sehingga beban lingkungan yang berubah tidak mengganggu keseimbangan alam khususnya keseimbangan air yang ada. Daerah vulkanik dikenal secara umum merupakan kawasan yang sangat subur serta melimpah akan ketersediaan sumberdaya berupa sumber daya air dan barang tambang berupa sirtu. Morfologi alamnya yang berupa perbukitan dan lereng memungkinkan menjadi tempat masuknya air masuk (recharge) dan keluarnya airtanah (discharge) (Hendarmawan, 2006).
Kemudahan ini yang mendorong
manusia secara alami menyukai untuk menempati kawasan ini untuk beraktivitas. Berbagai aktivitas ekonomi primer berlangsung disini, baik bercocok tanam, memanfaatkan hasil hutan, menambang pasir dan batu. Lambat laun sejalan dengan berjalannya waktu dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi serta kebutuhan manusia akan lahan untuk bertempat tinggal menjadikan daerah permukiman yang dahulunya sederhana berupa pedesaan berkembang menjadi perkotaan dengan berbagai aktivitas kegiatan ekonomi sekunder ataupun tersier.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
2. Metoda Penelitian Subyek penelitian adalah menganalisa pola pemanfaatan lahan
dikaitkan
dengan fasies volkanik serta data hidro isotop yaitu 18O, Deuterium, Tritium, dan14C. Obyek penelitian meliputi identifikasi keberadaan permukiman yang kemudian dikelompokkan berdasarkan pada fasies volkaniknya
yaitu sentral.
proksimal, medial serta distal. Metoda yang digunakan : 1. Untuk mengetahui sebaran batuan digunakan metode pemetaan geologi dengan melakukan pendeskripsian batuan pada setiap singkapan batuan pada sungai serta kupasan tanah akibat aktivitas manusia. 2. Untuk mengetahui penyebaran permukiman dapat dilakukan dengan memanfaatkan peta pemanfaatan lahan yang dikeluarkan bakosurtanal akan tetapi perlu di klarifikasikan lagi pemakaian airnya apakah memanfaatkan air permukaan, air tanah ataukah memanfaatkan mata air dengan melakukan pipanisasi. Serta melakukan inventarisasi penggunaan lahan khususnya peternakan dan pertanian dengan skala besar (perkebunan). 3. Untuk penentuan asal usul dan umur airtanah dan batuan digunakan
Isotop 18O dan Deuterium Dalam siklus hidrologi ketiga senyawa air (16O, 17O dan
18
O dan 1H, 2H
dan3H) mengalami proses fraksinasi. evaporasi dan kondensasi. Senyawa yang mempunyai berat molekul besar seperti HDO (deuterium) dan H218O (
18
O) cenderung lebih sulit menguap tetapi lebih mudah terkondensasi
sehingga pada berbagai jenis air kandungan isotop
18
O dan D mempunyai
nilai konsentrasi yang berbeda-beda. Kandungan senyawa isotop
18
O dan
D yang relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan senyawa utama air (H216O) dapat dianalisis mengunakan alat spectrometer massa sehingga konsentrasinya pada setiap jenis air dapat diidentifikasi.
Isotop Tritium dan 14C Isotop tritium dan 14C di alam merupakan produk hasil reaksi antara sinar kosmis dan gas N2 di daerah transisi antara stratrosphere dan troposphere seperti berikut :
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
14
N
+
1
n0
14
N
+
1
n
14
C
12
C
+ +
1
p
3
H
Radioisotop yang dihasilkan dari kedua reaksi tersebut diatas kemudian bereaksi dengan gas oksigen membentuk senyawa gas CO2 dan HTO. Kedua senyawa tersebut kemudian ikut dalam siklus hidrologi terbawa oleh air hujan dan masuk kedalam akifer. Konsentrasi tritium yang dihasilkan oleh reaksi diatas sekitar 20 TU. sedangkan untuk air hujan di Indonesia besarnya konsentrasi berkisar antara 4 – 6 TU. Untuk isotop 14C konsentrasi yang dihasilkan oleh reaksi diatas sekitar 14 dpm/gr atau setelah distandarkan konsentrasi tersebut dianggap mempunyai konsentrasi 100 % modern carbon ( 100 pmc ). Berdasarkan sifat radioaktivitasnya kedua isotop tersebut dapat digunakan untuk menentukan umur (dating) airtanah atau mineral karbonat. Pada sistem dating isotop tritium dan 14C pada saat infiltrasi dianggap mempunyai konsentrasi awal sama seperti nilai konsentrsai hasil reaksi kosmis yaitu 4-6 TU untuk tritium dan 100 pmc untuk isotop
14
C. Selama perjalanannya didalam akifer, konsentrsai isotop tersebut
akan mengalami pengurangan karena peluruhan (decay) sesuai dengan waktu paruhnya masing-masing. Persamaan perhitungan berdasarkan sifat radioaktif dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : t1/2 T = ---------- x ln [ Co/Ct] 0,693 Dimana : T t1/2
= umur airtanah dalam tahun
= waktu paruh (untuk tritium adalah 12,34 tahun dan untuk 14C adalah 5730 tahun)
Co =
adalah konsentrasi awal dari isotop tritium atau 14C sesuai dengan nilai 100 pmc untuk 14C dan 6 TU untuk isotop tritium
Ct
= adalah isotop tritium dan 14C pada t-tahun
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Berdasarkan persamaan di atas dan waktu paruh kedua isotop tersebut maka untuk penentuan umur airtanah dengan menggunakan isotop tritium hanya dapat mengukur umur hingga 50 tahun, sedangkan dengan menggunakan isotop
14
C dapat
mengukur umur air tanah hingga 40.000 tahun. Gambar dibawah ini memperlihatkan adanya hubungan antara umur airtanah terhadap konsentrasi isotop tritium dan 14C. Dalam rangka eksploitasi airtanah untuk analisa kesesuaian lahan, informasi mengenai penentuan umur air tanah sangat bermanfaat untuk estimasi deposit air tanah. Airtanah dengan umur yang sangat muda memberikan indikasi bahwa depositnya sangat tergantung kepada curah hujan sedangkan air tanah yang mempunyai umur tua memberikan indikasi bahwa deposit airtanah tersebut tidak berhubungan langsung dengan curah hujan.
Gambar 1 Hubungan antara umur air tanah terhadap konsentrasi isotop tritium dan 14
C
3. Hasil dan Diskusi 3.1.
Cicurug
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Cicurug terletak pada lereng bagian selatan dari Gunung Salak sehingga kondisi morfologinya tidak terlepas dari Gunung Salak yang dapat di bedakan menjadi tiga bagian, yaitu 1. Bagian puncak, 2. Tubuh bagian tengah, 3. Kaki gunung. Morfologi Gunung Salak tumbuh secara bebas sehingga bagian kaki gunung bersambung membentuk suatu hamparan pedataran. Morfologi tersebut terbentuk disebabkan oleh peralihan litologi penyusunnya dimana bagian puncak yang tersusun oleh lava serta bongkah batuan gunungapi membentuk satuan perbukitan vulkanik sangat curam, bagian tengah disusun oleh endapan lahar beserta endapan lahar yang bercampur dengan campuran material kasar serta halus, pada beberapa tempat terdapat aliran lava. Pada bagian lereng yang curam menyebabkan dalamnya airtanah membentuk satuan perbukitan curam, sedangkan pada topografi landai atau datar yang memiliki muka air tanah dangkal membentuk satuan perbukitan agak curam dan satuan perbukitan sangat landai. Daerah dengan topografi dasar lembah yang sempit akan akan selaras dengan karakternya. Airtanah akan terkumpul atau tersadap di daerah cekungan, sebaliknya di daerah punggungan atau topografi yang mencuat biasanya hampa akan airtanah. Di daerah Gunungapi Salak, pemunculan airtanah dalam bentuk mata air umumnya ditemukan pada tekuk-tekuk lereng. Berikut ini uraian hasil pengamatan lapangan dan deskripsi laboratorium lereng Gunung Salak di daerah Cicurug dan sekitarnya terdiri atas beberapa unit batuan (dari bawah ke atas):
a. Tuf Padu dan Breksi Laharik.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Dari hasil pengamatan singkapan batuan di lapangan di temui bagian bawah tersusun oleh lapisan tuf padu dan breksi laharik yang saling melensa serta tersingkap pada lembah serta lereng yang curam. b. Tuf Berbatuapung Di atas lapisan tuf padu dan breksi laharik di endapkan batuan tuf dengan kandungan batuapung yang tidak begitu padu. Pada beberapa lapisan tuf batuapung memperlihatkan struktur batuan yang berselingan dengan paleosoil. Perselingan tersebut dapat menggambarkan beberapa kejadian letusan gunungapi (sucsession volcanic). c. Tuf Lapili Lapisan paling atas yang ditemukan pada bagian tengah daerah penelitian adalah batuan tuf lapili berwarna coklat kekuningan dan berukuran halus hingga kasar. Batuan ini pada umumnya telah mengalami pelapukan yang sangat kuat dan ditemukan di bagian hulu daerah penelitian pada ketinggian hingga 700 meter di atas permukaan laut. d. Lava Lapisan paling atas yang ditemukan di dekat puncak G. Salak adalah batuan lava yang berwarna abu-abu kehitaman. Batuan ini mempunyai sifat andesitis dan sangat keras, banyak mengandung piroksen, ditemukan pada bagian hulu daerah penelitian di ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut. batuan lava ini dapat bersifat meluluskan air apabila memiliki rekahan (fracture system) hal ini terlihat dari terdapatnya mata air yang keluar dari rekahan batuan lava di daerah Cidadap, Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu pada ketinggian 879 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan data hasil analisa isotop, menunjukkan bahwa kandungan isotop bervariasi -2.46‰ hingga -9.35‰ untuk
18
O dan -5.68‰ hingga -61.38‰ untuk 2H.
Kandungan isotop 18O dan 2H yang paling depleted pada stasiun Babakan Pari (475m) pada bulan Oktober.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Nilai meanweight kandungan isotop air hujan pada setiap stasiun terlihat pada tabel 1. Data variasi kandungan isotop pada tabel ini dipakai untuk menentukan persamaan garis meteorik lokal yang menghubungkan antara kandungan
18
O dan 2H
stasiun curah hujan seperti terlihat pada Gambar 2. dengan persamaan : 2
H = 7.82518O+12.306 ……….(4.1)
Tabel 1. Nilai meanweigth kandungan isotop pada setiap stasiun curah hujan.
Garis hubungan antara isotop terhadap ketinggian (elevasi) untuk rerata isotop (meanweight) menunjukkan garis hubungan isotop terhadap ketinggian selama pengamatan 8 bulan terlihat pada gambar 4. dan 5. Dari grafik tersebut terlihat adanya hubungan antara ketinggian dan kandungan isotop mempunyai persamaan : Ketinggian (elevasi) = -235.2 18O – 853.02 ……….(4.2) Ketinggian (elevasi) = -29.017 2H – 442.36 ……….(4.3)
Berdasarkan persamaan 4.2. dan 4.3. dari grafik tersebut maka diperoleh penurunan nilai radio isotop
18
O adalah 0,43‰ serta 2H adalah 3,45‰ pada setiap
kenaikan ketinggian (elevasi) 100 m.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 2. Grafik hubungan O18 dan Deuteurium dari rerata sampel air hujan
Gambar 3. Grafik hubungan 18O dan deuteurium sampel air hujan per bulan
18
Gambar 4. Grafik hubungan O dan elevasi rerata air hujan
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 5. Grafik hubungan deuterium dan elevasi rerata air hujan. 4.1.3.2. Isotop Mata air dan Sumur Data hasil analisa isotop mata air dan sumur berkisar antara 0.08‰ – 0.20‰ untuk
18
O dan 0.39‰ – 2.22‰ untuk 2H. Perbedaan untuk
18
O adalah 0.2‰ dan
untuk 2H adalah 2.0 ‰ Tabel 2.
18
2
Gambar 8. Grafik hubungan antara O dan H sampel air tanah dan air hujan
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Sumber Babakan Pari mempunyai 3 sumur yang saling berdekatan dengan kandungan isotop rerata dari ketiga sumur tersebut adalah -7.0 ± 0.1‰ untuk 18O dan 42.3 ± 0.7‰ untuk 2H. Kandungan isotop tersebut tidak memberikan perbedaan yang signifikan sehingga berasal dari air meteorik yang masuk pada ketinggian tertentu. Sumber Babakan pari yang terletak pada ketinggian 475 meter di atas permukaan laut memiliki komposisi isotop yang lebih depleted bila dibandingkan dengan sumber mata air Nangka Beurit pada ketinggian 710 meter.
Dapat
diperkirakan bahwa mata air Nangka Beurit merupakan sumber mata air dari local recharge sehingga daerah imbuh sumber Babakan Pari akan terletak lebih tinggi dari 710 meter.
Gambar 9. Grafik hubungan antara O18 dan 2H sumber Babakan Pari dan air hujan
Gambar 9. memperlihatkan hubungan komposisi isotop air hujan dan sumber air tanah Babakan Pari. Sumber air tanah Babakan Pari memperlihatkan bahwa nilai isotop 18O dan 2H berada di antara nilai komposisi isotop dari air hujan pada stasiun curah hujan Kuta Jaya Girang (760 m dpl) dan stasiun curah hujan tenjolaya (923 m dpl). Penentuan ketinggian daerah imbuhan sumber airtanah dapat dilakukan dengan cara memasukkan nilai kandungan isotop 18O dan 2H ke dalam persamaan 4.2 dan 4.3 yang menghubungkan antara elevasi dan komposisi isotop. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Ketinggian daerah imbuhan dapat juga diperoleh dari hubungan ketinggian elevasi) terhadap 18O atau 2H gambar 10. Berdasarkan perhitungan persamaan linear elevasi terhadap kandungan isotop serta grafik didapat daerah imbuhan sumber Babakan Pari pada lokasi ketinggian (elevasi) sekitar 800 ± 100 mdpl).
Gambar 10 Grafik elevasi terhadap kandungan isoptop sumber Babakan Pari untuk menentukan ketinggian daerah imbuh Analisa pada tabel menunjukkan bahwa mata air yang muncul pada ketinggian 600 – 900 m dpl mempunyai umur modern. Kondisi ini menunjukkan bahwa air tanah pada ketinggian tersebut mengalami sirkulasi (aliran ) lokal. Air hujan masuk pada ketinggian yang relative tidak jauh, berinfiltrasi dengan sirkulasi dangkal kemudian keluar yang biasa di kenal dengan local recharge. .
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
14
Tabel 2. Hasil analisis C (umur air tanah)
1.
Kode Sampel SB-1
2.
SB-2
3.
SB-3
4.
SB-4
5.
SB-5
6.
SB-6
7.
SB-7
8. 9. 10.
SB-8 SB-10 SB-11
No
Elevasi (m) 475
Lokasi Sumber Air 1 Aqua Babakan Pari, Cidahu Sumber Air 2 Aqua Babakan Pari, Cidahu Sumber Air 3 Aqua Babakan Pari, Cidahu Sumber Air 4 Aqua Babakan Pari, Cidahu Mata air Garuda Ds. Kutajaya Girang Mata air Cimumutan Ds. Tenjolaya Sumur bor Cikombo PDAM Mata Air Gn. Salak Mata Air Cibuntu Mata Air Ciburial
Hubungan kandungan isotop
18
2
Umur (tahun) September 06 Maret 07 2264 20 2057 25
475
6053 25
6180 95
475
4097 35
4011 35
475
-
2307 25
760
Modern
Modern
900
Modern
Modern
590
Modern
Modern
900 520 472
Modern -
Modern 2844 25 7866 40
O, H, dan
14
C memberikan informasi yang
lebih jelas tentang asal-usul sumber airtanah. Secara umum hasil identifikasi menunjukkan bahwa; Mata air yang berada pada lokasi dengan ketinggian antara 600 – 900 m dpl, 18
memiliki umur modern dengan kandungan isotop
O antara -6.9 ‰ hingga -7.58
‰. Sedangkan Mata Air Cimabuputan yang berada pada ketinggian 1023 m dpl memiliki kandungan isotop
18
O sebesar -7.46 ‰. Berdasarkan data tersebut dapat
diperoleh informasi tentang klasifikasi daerah imbuh air tanah pada catchment tersebut. Mata air yang mempunyai komposisi
18
O < -7.4 ‰ kemungkinan besar berasal
pada ketinggian di atas 900 m dpl, sedangkan mata air yang mempunyai komposisi 18
isotop
O antara -6.9 sampai -7.2 ‰ berasal dari ketinggian antara 700 – 900 m
dpl.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Mata Air Ciburial yang berada pada ketinggian 472 m dpl memiliki kandungan 18
isotop
O
sebesar -7.29 ‰ dan mengindikasikan bahwa sumber air tersebut
berasal dari ketinggian antara 800 – 900 m dpl. Adanya sirkulasi yang ditunjukkan 18
14
oleh kandungan isotop O didukung dengan adanya aktivitas C yang rendah atau umur yang tua, yaitu sekitar 7800 tahun. Demikian pula dengan Sumber Air Babakan Pari yang mempunyai umur antara 2000 – 6000 tahun memiliki 18
kandungan isotop O sebesar -7.0 ‰.
Terdapat dua hal penting yang selanjutnya perlu dijabarkan yaitu; Berdasarkan profil geologi daerah resapan terletak pada elevasi 600 dan 815 m dpl, terlihat dari adanya interaksi antara sistem aliran lokal dan aliran yang relatif panjang (intermediate system). Selain itu secara geologi, leakage atau terobosan air dapat melalui tuf padu yang memiliki rekahan pada elevasi 600 – 850 m dpl. Analisis isotop menunjukkan bahwa daerah resapan (recharge zone) Mata Air Ciburial terletak pada daerah yang mempunyai elevasi antara 800 m – 900 m dpl, sedangkan untuk Sumber Air Babakan Pari mempunyai daerah resapan pada ketinggian 700 – 800 m dpl.
3.2. Ciherang. Berdasarkan pengamatan kondisi bentuk lahan pada daerah studi, aspek geomorfologi (bentang alam) daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat (4) satuan geomorfologi yaitu : 1.
Satuan geomorfologi produk tua gunungapi Pangrango (c.1).
2.
Satuan geomorfologi produkmuda gunugapi Pangrango (c.2).
3.
Satuan geomorfologi produk gunugapi Salak (c.3).
4.
Satuan geomorfologi pertemuan antara produk gunugapi Pangrango dengan produk gunungapi Salak (c.4).
Secara umum penyebaran dari masing-masing sistem geomorfologi ini memperlihatkan penyebaran dari tenggara ke arah barat laut yang semakin melebar
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
di bagian baratlaut seperti menunjukkan suatu endapan kipas gunungapi, kecuali pada pojok bagian baratlaut (c.3) yang menunjukkan suatu tipe tersendiri. Kondisi geologi daerah Ciherang dipengaruhi oleh batuan vulkanik hasil erupsi Gunung Pangrango.
Pembahasan stratigrafi daerah Ciherang dan sekitarnya
berdasarkan atas hasil pemetaan geologi permukaan pada bagian hilir hingga hulu Sub DAS Cimande, khusus di daerah Ciherang Pondok didukung dengan data hasil pendugaan geolistrik dan data dua buah sumur pemboran eksplorasi dengan kedalaman pemboran mencapai 115 meter di bawah permukaan tanah setempat untuk BH-2 dan 120 meter untuk BH-1. Hasil interpretasi menunjukkan adanya 4 (empat) paket endapan batuan (lihat penampang baratlaut-tenggara) dengan urutan dari tua ke muda sebagai berikut : 1. Paket endapan batuan A 2. Paket endapan batuan B 3. Paket endapan batuan C 4. Paket endapan batuan D Pengambilan sampling bulanan untuk mataair dan sumur diambil dari 79 titik sampling dengan perincian, 46 mata air di Cigombong lereng Gunung Salak dan 33 mata air di lereng Ciherang Gunung Pangrango (Gambar 12)
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 11. Grafik hubungan isotop 2H vs 18O pada daerah cathchment Gunung Pangrango
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 12. Peta daerah grup discharge (berdasarkan isotop 2H and 18O), lokasi sampling dan lokasi pengukuran curah hujan
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Secara umum konsentrasi tritium alam dari beberapa mata air di daerah gunung Salak bervariasi antara 1.9 TU hingga 3.6 TU, sedangkan untuk daerah gunung Pangrango variasinya berkisar antara 1.2 TU hingga 4.1 TU. Konsentrasi tritium air hujan, baik untuk daerah Pangrango maupun Salak menunjukkan nilai yang relatif sama, yaitu sekitar 5 TU. Berdasarkan data tritium menunjukkan bahwa umur air tanah daerah Gunung Salak berkisar antara 5 hingga 20 tahun, sedangkan untuk daerah Gunung Pangrango berkisar antara 5 hingga 50 tahun. Berdasarkan kandungan
14
C isotop airtanah pada BH-2 and BH-3, umur air
tanah berkisar 3620 tahun dan 2300 tahun. Untuk daerah resapan dimungkinkan BH-2 lebih tinggi dari resapan BH-3.
Data umur Tritium memberikan penafsiran adanya
percampuran pada ketinggian yang lebih rendah (dibawah 1000 meter diatas permukaan laut). Dari ploting data isotop air hujan didapat persamaan Local Meteoric Water Line wilayah sekitar gunung Salak adalah 2H= 7.444
18
O + 5.3827 (tampak pada
gambar 4.33.), sedangkan plotting komposisi rasio isotope dari contoh air permukaan dan mata air yang diambil dapat dilihat pada grafik gambar 13.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
20 10 dD = 7.5336x + 6.8673 R = 0.935
0
dD (0/00)
-10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
d 18O (0/00)
Gambar 4.13. Nilai rata-rata isotop bulanan dari di daerah Gunung Salak
10 0 y = 7.4444x + 5.3827 R² = 0.8722
-10
dH (0/00)
-20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 -10
-8
-6
-4
-2
d18O (0/00)
Gambar 4.14. Ploting nilai isotop air hujan dari hasil sampling di daerah Gunung Salak (local meteoric water)
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Persamaan garis meteorik lokal wilayah Gunung Pangrango, berdasarkan datadata komposisi isotop air hujan, menunjukkan persamaan 2H = 7,55518O + 8,6475.
10 0
dD = 7.555 d18O + 8.6475 R = 0.973
-10
dD (0/00)
-20 -30 -40
-50 -60 -70 -12
-10
-8
-6 d18O(0/00)
-4
-2
0
Gambar 4.15. Nilai rata-rata isotop bulanan dari di daerah Gunung Pangrango
20
10 0
d D (0/00)
-10
dD = 7.7379 18O + 7.9861 R = 0.956
-20 -30 -40 -50 -60
BH-4
BH-1 BH-3 BH-2
-70 -10
-8
-6
-4 d18O (0/
-2
0
00)
Gambar 4.16. Ploting nilai isotop air hujan dari hasil sampling di daerah Gunung Pangrango (local meteoric water)
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Dari grafik komposisi rasio isotope
18
O dan Deuterium contoh air yang
diambil dari sumber-sumber mata air di wilayah gunung Salak (Gambar 14) dan sumber-sumber mata air di sekitar gunung Pangrango (Gambar 16) memperlihatkan bahwa komposisi rasio isotop dari sumber-sumber mata air tersebut berada dan berkumpul di sepanjang garis meteorik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa asal-usul sumber-sumber mata air tersebut berasal dari air hujan setempat, dengan daerah imbuh masing-masing di Gunung Salak dan Gunung Pangrango.
4.2.3.2. Grafik Elevasi terhadap komposisi isotop air hujan. Berdasarkan data air hujan didapatkan rata-rata komposisi rasio isotop bulanan (weighted mean) pada tabel 4.11. Tabel 3. Weighted Mean stasiun curah hujan Elevation Rianfall Station No.
w(O-18)
(m)
(0/00)
Salak Mt. 1
BET
1200
-6.68
2
Pasir Jaya
670
-5.88
3
Maseng
400
-5.40
4
Kp. Pintu
400
-5.09
Pangrango Mt. 1
Pancawati
980
-6.47
2
Cileungsi
680
-6.23
3
Cimande
420
-5.44
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
1530 1330 Elevasi = -491.52 d18O - 2279.5 R = 0.944
1130
Elevasi (m)
930 730 530 330 130 -70 -9.00
-8.00
-7.00
-6.00
-5.00
-4.00
-3.00
-2.00
d 18O (0/00)
Gambar 17. Grafik Weighted mean isotope 18O terhadap elevasi Gn. Pangrango 1930 1730 1530
Elevasi = -531.86 d18O - 2397.7 R = 0.978
dD (0/00)
1330 1130 930 730 530 330 130 -70 -9.00
-8.00
-7.00
-6.00 -5.00 18 0 d O ( /00)
-4.00
-3.00
-2.00
Gambar 18. Grafik Weighted mean isotope 18O terhadap elevasi Gunung Salak .
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Dari persamaan grafik weighted mean yang didapat, diketahui bahwa daerah imbuh (recharge area) sumber-sumber mata air BH-1, BH-2, BH-3 dan BH-4 berada pada elevasi seperti berikut : Tabel 4. Elevasi daerah recharge (m) berdasarkan isotope 18O No.
Sumur
Elev = -491,52δ18O – 2279,5
1
BH-1
2127
2
BH-2
2058
3
BH-3
2070
3
BH-4
2084
Berdasarkan data recharge area di atas, dapat disimpulkan bahwa sumbersumber mata air tersebutyang berasal dari air hujan yang turun di gunung Pangrango pada ketinggian 2058 m hingga 2127 m diatas permukaan laut.
4.3. Kemampuan Lahan Cicurug Dapat disimpulkan bahwa sumber air Kubang di Kecamatan Cicurug mempunyai kawasan resapan yang berada pada elevasi 600 - 900 m di atas permukaan laut yang merupakan bagian tengah dari fasies vulkanik medial , dengan zona inti daerah resapan berada pada elevasi antara 700 –800 m di atas permukaan laut. Dengan demikian pada kawasan ini perlu mendapat perhatian khusus yang berkaitan dengan konservasi dan di jadikan kawasan lindung, demi keberlangsungan dari sumber mata air yang ada. Tentu saja berkaitan dengan kegiatan konservasi perlu zona penyangga daerah resapan yaitu pada elevasi antara 800 - 900 m diatas permukaan laut. Berdasarkan kemampuan lahannya daerah terendah yang merupakan bagian distal dari lereng Gunung Salak merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya permukiman, pertanian ataupun industri sampai pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Dari ketinggian 600 sampai 900 meter di atas “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
permukaaan laut harus di jadikan kawasan lindung. Di atas 900 meter memungkinkan di jadikan kawasan budidaya pertanian ataupun permukiman secara terbatas karena berkaitan dengan potensi bahaya alam letusan gunungapi. Secara eksisting memperlihatkan bahwa pemanfaatan lahan pada kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung telah terjadi perubahan pemanfaatan lahan yang sangat besar dimana kawasan hutan telah banyak berubah menjadi kawasan budidaya
pertanian
dan peternakan
serta
budidaya
permukiman.
Untuk
meminimalkan dampak dari perubahan pemanfaatan lahan ini diperlukan aktifitas manusia yang ramah lingkungan seperti membuat daerah resapan buatan dengan membuat kolam-kolam ikan, pembuatan sumur resapan di rumah penduduk serta pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan pada para petani sayuran dan tanaman musiman lainnya agar tidak mencemari air yang masuk meresap kedalam tanah dan batuan. Dapat disimpulkan bahwa sumber air di daerah ciherang di Kecamatan Caringin mempunyai kawasan resapan yang berada pada elevasi 2058 - 2127 m di atas permukaan laut yang merupakan bagian tengah dari fasies vulkanik medial. Dengan demikian pada kawasan ini perlu mendapat perhatian khusus yang berkaitan dengan konservasi dan di jadikan kawasan lindung,
demi keberlangsungan dari
sumber mata air yang ada. Berdasarkan kemampuan lahannya daerah terendah yang merupakan bagian distal dari lereng Gunung Pangrango merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya permukiman, pertanian dan peternakan ataupun industri sampai pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Dari ketinggian 2058 sampai 2127 meter di atas permukaaan laut harus di jadikan kawasan lindung. Di atas 2127 meter memungkinkan di jadikan kawasan budidaya pertanian ataupun permukiman secara terbatas karena berkaitan dengan potensi bahaya alam letusan gunungapi. Secara eksisting memperlihatkan bahwa pemanfaatan lahan pada kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung masih sangat alami dan belum terjadi perubahan pemanfaatan lahan.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
DAFTAR PUSTAKA Akhmad Zaennudin; Igan S Sutawidjaja; Dani Aswin, 1993 Peta Geologi gunung Salak, Direktorat Vulkanologi bandung Barnes JW and RJ Lisle. 2004. Basic Geological Mapping, fourth edition, John Wiley and Sons, England, pp 43-49. Bogie, I. and MacKenzie, K.M, 1998.: The Application of aVolcanic Facies Model to an Andesitic StratovolcanoHosted Geothermal System at Wayang Windu, Java,Indonesia, Proceeding, 20th New Zealand Geothermal Workshop Bosellini, F.R., Russo, A., and Vescogni, A. 2002. The Messinian Reef Complex of the Salento Peninsula (Southern Italy): Stratigraphy, Facies and Paleoenvironmental Interpretation. Facies 47: 91–112 Bronto, Sutikno, 2006. Fasies gunung api dan aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71 Dam, M.A.C., 1994. The Late Quaternary Evolution of the Bandung Basin, West Java, Indonesia. PPPG-Bandung, 252h. Danaryanto dkk, 2005, Ground-water Resources Management in Indonesia, IAEA/RCA Executive Seminar For Water Resources Managers On Isotope Application, International Symposium and Workshop on Current Problems in Groundwater Management and Related Water Resources Issues Effendi AC. 1974. Geological map of Bogor sheet, scale. 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan. Geologi, Bandung (in Indonesian). Fan N, J Cui, Z Wang, S Liu, J Pan and G Lin, 2008. The spatial variation of the stable hydrogen and oxygen isotopes from different tributaries was correlated with changes in altitude. Hydrogeology J 16: 311-319. Fr i t z P and CH Font es. 1981. Handbook of Environmental Isotope Geochemistry, Elsevier Scientific Publisher Co., Vol 1. Hartman, M.A., 1939. De Goenoeng Salak in West Java. De Tropische Natuur - Vol. 28 Buitenzorg pp 177-188. Hendarmawan and Satrio, 2011, Recharge area on the slopes of volcano based on geological setting, content of deuterium and oxygen isotopes of ground water chemistry :case study on the slope of Salak Mountain, West Java. J Trop Soil, Vol. 16, No 3, 2011 : 247-258.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Hiscock K. 2005. Hydrogeology, Principles and Practice. Malden, Oxford, Carlton: Blackwell Publishing, 389 p. doi:10.1017/S0016756806263052. Kevin H. 2005. Hydrogeology Principles and Practice. Blackwell Publishing Company, Australia, pp. 389. IWACO–WASECO (1990) Bandung hydrological study. West Java provincial waters sources master plan, Jakarta, 111p. Kumai, H dan Hendarmawan, 2003, Ground water local in volcanic slope ; acase study on the bandung city area, Indonesia. Consortium corporation Institute of Groundwater Physic-chemistry, Japan, vol 11 march, 2003. Kusdaryanto dan Wazil Efendi, 2000, Pemetaan Geomorfologi Gunung Salak, Direktorat Volkanologi Bandung Lubis RF, Sakura, Y and Delinom, R. 2008. Groundwater recharge and discharge processes in the Jakarta groundwater basin, Indonesia. Hydrogeology Journal vol. 16: 927-938. Marsh, W.M. 1978. Environmental Analysis fof Land Use and Site Planning. Mc Graw-Hill Inc. Piper AM. 1944. Graphic procedure in the Geochemical interpretation of water analysis. Am Geophys Union 25 (9): 14-23. Sukardi, P., 1986, Peta Hidrogeologi Indonesia Skala 1 : 250.000 Lembar Jakarta, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. Suyitno, P. & Yahya, I. 1974. The basement configuration of the northwest Java area. Indonesian Petroleum Association, Proceedings 3rd Annual Convention , 129–152. Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sheriff, Robert E. 2002 Encyclopedic Dictionary of Applied Geophysics" Society of Exploration Geophysic SEG, 4th Edition To’th J. 1963. A theoretical analysis of groundwater flow in small drainage basin. J Geophys Res 68: 47954812. Van Bemmelen, R.W., 1949. The geology of Indonesia, volume 1A U.I.A. The Hague. Wilson J, Guan H (2004) Mountain-block hydrology and mountain front recharge. In: Phillips FM, Hogan J, Scanlon B (eds) Groundwater recharge in a desert environment: the southwestern United States. AGU, Washington, DC
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”