Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gempabumi pemicu longsoran pada endapan piroklastik jatuhan Studi Kasus: Padang Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia Oleh :
Sumaryono1,
Donny Rio Wahyudi2, Dicky Muslim2, Nana Sulaksana2,
1
Geologiacal Agency and Ph.D Student of Padjadjaran University 2Padjadjaran University
Abstract Landslide induced earthquake is a common earth disaster, which is occasionally happened in pyroclastic fall with a thick soil deposit, such as Padang Pariaman district, West Sumatera, Indonesia on 2009 and Aceh, Indonesia 2013. The high degree of weathering and leaching in this area produces large amount of clay minerals, especially Halloysite. The present of halloysite, slope and thickness of pyroclastic fall (pumice layer) in the weathered zone and ground acceleration become important factors controlling of landslide occurrences within this area. This result concludes that landslide occured on more than 3 m thickness of pyroclastic fall, developing clay minerals especially haloysite, formed by leaching is the most triggering factor for landslide occurrences within this area. Based on the simulation the peak ground acceleration controlling landslide arround 0.2 g – 0.45 g with slope more than 20. The relationship between ground accelaration, clay mineral around sliding plane, thickness of the pyroclastic fall and slope are the important parameter to predict a landslide. Keywords: landslide, ground acceleration, halloysite, pyroclastic fall
1. Pendahuluan Menurut Sampurno (1975), Heath (1988) dan Sarosa (1992) serta Varnes (1996), maka faktor-faktor pengontrol terjadinya gerakan tanah antara lain kondisi geomorfologi/ kemiringan lereng, kondisi geologi, kondisi tanah atau batuan penyusun lereng, kondisi hidrogeologi dan hidrologi serta kondisi tata guna lahan. Secara umum pemicu terjadinya gerakan tanah adalah curah hujan, getaran (gempabumi, kendaraan, ledakan). Keefer (2000) menunjukkan bahwa parameter geoteknik sudut geser dalam dan kohesi tidak dapat menjelaskan distribusi dan densitas tanah longsor. Dia juga menunjukkan bahwa tingkat bahaya tanah longsor yang disebabkan gempa bumi lebih berkorelasi dengan karakteristik geologi teknik dan geomorfologi daripada parameter geoteknik.
Gempabumi 30 September 2009 di Sumatera Barat dengan Skala 7,6 skala Mw atau 7.9 SR yang berjarak memicu tanah longsor dan menyebabkan kurang lebih 244 orang meninggal dan puluhan rumah tertimbun. Lokasi longsor berjarak 52 km dari pusat gempabumi. Kemudian Gempabumi Bener Meriah, 2 Juli 2013 dengan kekuatan 6.2 Mw dan berjarak 0,6 km dari pusat gempa menyebabkan 22 orang meninggal dan beberapa rumah tertimbun. Longsoran yang dipicu oleh gempabumi pada kedua lokasi ini terjadi pada endapan piroklastik. Namun pada paper ini hanya akan di bahas penyebab dan mekasisme gempabumi pemicu longsor di Sumatera Barat. Berdasarkan hal tersebut maka paper ini dibahas tentang pengaruh morfologi
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
220
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 berkaitan dan peak ground acceleration (pga) yang diyakini mengontrol gerakan tanah di daerah Padang Pariaman dan Agam. 2.
Methodologi
Metodologi penelitian dilakukan dengan melakukan analisis DEM, analisis Topografi,
SATELITE IMAGE DAN DATA ASTER GDEM IKONOS SPOT-5 Image GIS ANALISIS DAN PEMROSESAN DATA
SURVEY LAPANGAN;.
UJI LABORATORIUM;
analisis satelite image seperti ASTER GDEM, SPOT Image dan Ikonos, inventarisasi data kejadian gerakan tanah yang dipicu oleh gempabumi Sumatera Barat 30 September 2009, survey lapangan, uji laboratorium dan SIG analisis, analisis stabilitas lereng. Methodologi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Distribusi Longsor
Morfotektonik Penyelidikan Geologi, pengukuran ketebalan pelapukan/lapisan tuff, kelerengan, dimensi dan distribusi longsoran Mekanika Tanah, Analisis Mineral, XRD
Pemodelan dan Analisis Pengaruh Peak Ground Acceleration , Kondisi Geomorfologi terhadap stabilitas lereng
Gambar 1. Methodologi Penelitian
3.
Hasil Analisis
a. Kondisi Geomorfologi Lokasi gerakan tanah/longsor sebagian besar terletak pada pola pengaliran paralel, Pola pengaliran ini memiliki anak-anak sungai yang umumnya hampir sejajar, pola aliran ini berkembang di suatu kondisi lereng memanjang dengan tingkat kemiringan agak curam, dan kemungkinan dikontrol oleh struktur geologi. Berdasarkan data kegempaan pada lokasi ini
pernah terjadi gempabumi tektonik lokal dari tanggal 20 – 25 Januari 2003, dengan skala 3.3 SR dan menyebabkan 80 rumah rusak. Pengukuran kuantitatif seperti aliran sungai, lereng, bentuk cekungan pengaliran, lebar dasar lembah, kedalaman lembah, luas DAS, panjang muka gunung diukur untuk selanjutnya dianalisis menggunakan index morfometri. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan, maka hasil analisis morfometri pada wilayah penelitian menunjukan bahwa tektonik pada daerah Malalak dan sekitarnya dapat dilihat sebagi berikut.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
221
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 Tabel 1. AF, Dd dan Vf rata-rat di beberapa DAS di daerah penelitian DAS
AF
Dd
Vf Rata-rata
Manggur Gadang
77,54
1,695
1,318
Manggur Kecil
65,42
2,117
0,649
Naras
74,35
1,897
1,895
A
C
B Gambar 2. a) Das dan pola pengaliran di daerah penelitian A dendritik, B paralel, C radial b) struktur kelurusan yang berkembang di daerah penelitian
Nilai faktor asimetri masing-masing DAS bernilai diatas maupun dibawah 50, hal ini menunjukan bahwa bentuk cekungan pengaliran asimetri akibat adanya proses tilting. Rasio Vf didefinisikan sebagai rasio lebar dari dasar lembah kepada tinggi rata-ratanya (Bull dan McFadden, 1977). Lembah dengan bentuk-U umumnya memiliki nilai Vf tinggi, sedangkan lembah berbentuk V dengan nilai-nilai yang relatif rendah. Karena pengangkatan berhubungan dengan torehan, indeks dianggap menjadi indikator pengganti untuk tektonik aktif di mana nilai-nilai rendah Vf berhubungan dengan tingkat pengangkatan dan torehan yang lebih tinggi. Indeks ini merupakan ukuran torehan
dan bukan pengangkatan; tetapi dalam keadaan setimbang, torehan dan pengangkatan adalah sebanding (Silva et al., 2003). Sungai yang tidak terganggu tektonik biasanya berkembang profil memanjang cekung, yang berubah secara halus. Penyimpangan dari gradien sungai dari bentuk halus yang ideal ini mungkin mencerminkan variasi dalam litologi dari dasar sungai, atau aktivitas tektonik. Dalam penelitian ini indeks gradien sungai menunjukan nilai yang cukup tinggi berkisar 256 – 794 indeks gradien.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
222
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 Indeks sinusitas muka gunung (Smf) didasarkan pada bidang sesar aktif sepanjang muka gunung sering memiliki lanskap sederhana dibandingkan dengan lereng di daerah yang didominasi oleh erosi (lereng yang terbentuk dalam periode stabilitas tektonik). Morfologi muka gunung tergantung pada tingkat aktivitas tektonik di sepanjang bagian muka. Muka gunung aktif akan menampilkan profil lurus dengan nilai Smf yang lebih rendah, dan muka gunung yang tidak aktif atau kurang aktif ditandai dengan profil yang tidak teratur atau lebih terkikis, dengan nilai-nilai Smf tinggi (Wells et al., 1988). Seluruh nilai Smf pada penelitian ini menunjukan nilai mendekati satu (1,097054 – 1,924313) hampir memiliki profil yang lurus, ini berarti semua muka gunung yang diukur merupakan muka gunung yang lebih aktif. Nilai-nilai Smf pada lokasi 2, 3, 4, 5, menunjukan nilai yang kurang dari 1,8 yang mengindikasikan bahwa Smf pada wilayah penelitian termasuk kedalam Kelas 1tektonik aktif berdasarkan Bull dan McFadden (1977) dalam Doornkamp (1986).
Kerapatan pengaliran dipengaruhi oleh banyaknya rekahan pada DAS tersebut, maka semakin besar kerapatan pengaliran pada suatu DAS maka semakin banyak rekahan pada DAS tersebut. Banyaknya rekahan menunjukan intensitas gaya tektonik yang diterima pada suatu DAS tertentu. Intensitas yang lebih tinggi akan menghasilkan rekahan yang lebih banyak. Hasil penelitian menunjukan kerapatan sungai DAS Manggur Gadang 1.695, DAS Manggur Kecil 2.117 dan DAS Naras 1.896. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka DAS Manggur kecil terkena intensitas tektonik yang lebih besar dibandingkan DAS lainnya. Nilai rata-rata dari empat parameter geomorfologi yang telah diukur (AF, SL, Vf, dan Smf) digunakan untuk mengevaluasi aktivitas tektonik relatif di daerah penelitian. Nilai dari rata-rata index ini dibagi kedalam empat kelas untuk mendefinisikan aktivitas tektonik yaitu kelas 1 – sangat tinggi (1,0 ≤ lat ≤ 1,5), kelas 2 – tinggi (1,5 ≤ lat < 2,0), kelas 3 – sedang (2,0 ≤ lat < 2,5), dan kelas 4 – rendah (2,5 ≤ lat) (El Hamdouni, 2007; dalam Hamzah, 2013).
Tabel 2. Klasifikasi aktivitas tektonik relatif berdasarkan El Hamdouni dkk (2007).
Kelas DAS
Sln
Kelas Tektonik
SL
AF
Smf
Vf
Manggur Gadang
1
1
3
3
2
Sedang
Manggur Kecil
1
1
2
2
1,5
Tinggi
Naras
3
1
3
3
2,5
Rendah
Berdasarkan klasifikasi di atas dan dibandingkan dengan nilai kerapatan sungai (Dd), maka wilayah
penelitian memiliki tingkat aktivitas tektonik resen yang aktif dengan kelas keaktifan tektonik
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
223
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 tinggi pada DAS Manggur Kecil, sedang pada DAS Manggur Gadang, dan rendah pada DAS Naras. b. Kondisi Geologi daerah longsoran dan pembentukan lapisan gabungan. Daerah kajian termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Padang (Kastowo dan Leo, 1973), skala 1:250.000. Di daerah ini terdapat Gunung Singgalang dan Tandikat (+2438 m), adalah gunung api aktif tipe A, pernah meletus setelah tahun 1600 (van Padang, 1951; Kusumadinata, 1979); Kaldera Maninjau (Kuarter) dan Sirabungan (Kuarter Awal ?). Secara geologi gunungapi daerah penelitian terdiri dari satuan andesit Maninjau, Ignimbrite Maninjau, Andesit Singgalang-Tandikat dan Tepra Malalak yang kemungkinan berasal dari Gunung SinggalangTandikat (Gambar 3). Kejadian longsor yang dipicu oleh gempabumi umumnya terjadi pada endapan Tepra Malalak
Gerakan tanah yang terjadi di daerah penelitian umumnya terjadi pada lereng lebih dari 20o dengan bidang gelincir berupa lapisan gabungan antara lapisan paleo soil dengan tuff batuapung hornblende-hyperstein yang kemungkinan berasal dari Gunung Tandikat atau Singgalang. Bidang gelincir gerakan tanah secara umum adalah bertipe rotasi walaupun dibeberapa tempat bertipe translasi terutama jika lapisan yang longsor sangat tipis atau kurang dari 1 meter. Dengan melihat peak ground acceleration (pga) yang hampir sama pada lokasi penelitian maka gerakan tanah di lokasi ini umumnya dikontrol oleh ketebalan lapisan tuff batuapung hornblede-hyperstein (tepra Malalak). Gerakan tanah yang dipicu oleh gempabumi Sumatera Barat 30 September 2009, umumnya gerakan tanah terjadi pada lapisan tuff batuapung hornblende-hyperstein (tepra Malalak) dari Gunung Tandikat atau Singgalang yang
mempunyai ketebalan lebih besar dari 3 meter dan kelerengan lebih besar dari 20o.
Gambar 3. Longsor yang terjadi di Cumanak, Gunung Tigo dan sekitarnya
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
224
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Lubukaik, Pariaman
Cumanak, Pariaman
Damarbancah, Agam
Koto Tinggi Pariaman
Gunung Tigo, Pariaman
Kp Parit, Paladangan, Pariaman
Pauh, Malalak
Bantiang, Malalak Barat, Agam
1 meter Soil Tuff batuapung Tandikat atau Singgalang Layer gabungan Paleo soil Endapan debris flow Tuff batuapung Maninjau
Gambar 4. Susunan lapisan batuan di daerah penelitian
Andesite dari Kaldera Maninjau
Ignimbrite Maninjau
Tepra Malalak
Gambar 5. Peta Geologi Gunungapi di daerah longsoran (Agung Pribadi, dkk, 2007)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
225
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 6. Stratigrafi di daerah yang mengalami longsoran lokasi Cumanak, Gunung Tigo dansekitarnya
Gambar 7. Kontak antara tepra Malalak dengan paleo sol (endapan debris flow) yang menghasilkan lapisan gabungan, pada tepra Malalak mengandung lapili dengan ukuran butir 2- 5 cm lokasi di Koto Tinggi.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
226
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 Endapan debris flow yang merupakan paleosol sangat intensif tercuci membentuk Gibsite (Al (OH)3), Magnetite (Fe(OH)3). Kemudian endapan pyroklastik jatuhan yang banyak mengandung pumice tuff menutupi tanah pelapukan dari debris flow tersebut. Air hujan yang melewati lapisan pumice sambil membawa silika, kemudian terjadi reaksi pada lapisan antara tanah pelapukan dari debris flow dengan lapisan pumice. Silika yang kaya air bereaksi dengan gibsite membentuk Haloysite (Al2Si2O5(OH)4.2H2O). Butiran pumice pada layer gabungan terlarut dengan air dan terbentuk haloysite dipermukaan. Terbentuknya lapisan ini merupakan bidang gelincir dari longsoran yang dipicu oleh gempabumi.
Hubungan antar arah mahkota longsoran dengan segmen sungai Berdasarkan pengukuran mahkota longsoran pada daerah yang mengalami longsoran paling banyak, terlihat bahwa arah mahkota longsoran berkorelasi dengan arah segmen sungai. Dari hasil pengukuran menunjukan bahwa 97 % arah mangkota longsoran berkorelasi dengan arah segmen suangai hal ini menunjukan bahwa kondisi tektonik lokal didaerah ini berpengaruh terhadap kejadian gerakan tanah, karena searah dengan kelurusan sungai. Hal ini didukung oleh analisis separated varian maupun polled varian menunjukan bahwa thit < ttab sehingga dapat disimpulkan bahwa kemungkinan tektonik di daerah tersebut turut mempengaruhi gerakan tanah yang dipicu oleh gempabumi didaerah ini.
Hubungan Antara Azimuth Mahkota Longsoran Dengan Azimut Sungai 360 340 320 300 280
y = 0.9916x + 2.0962 R² = 0.9744
Azimuth Sungai
260
240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360
Azimuth Longsoran
Gambar 8. Hubungan antara Azimuth sungai dengan azimuth mahkota longsoran
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
227
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 Model analisis stabilitas lereng Model analisis stabilitas lereng dilakukan dengan pseudostatis analisis. Pemodelan dilakukan dengan membuat hubungan antara variasi kelerengan, variasi ketebalan lapisan tuff batuapaung dan variasi peak ground accelaration
terhadap faktor keamanan lereng. Pga yang diterapkan diasumsikan sebagai horisontal acceleration mengingat vertikal acceleration tidak berpengaruh terhadap stabilitas lereng (Jibson, 2011). Pemodelan stabilitas lereng dengan menggunakan Geostudio 2004. Model stabilitas lereng sebagai berikut
Fs = (c + (W cos - kh Wsin) tan)/ (Wsin + kh Wcos)
kh adalah horisontal accelerasi/peak ground accelerasi (g) W = Berat soil
= kelerengan
= sudut geser dalam
c = kohesi
Parameter yang digunakan dalam analisi stabilitas lereng berdasarkan uji laboratorium adalah sebagai berikut:
pumice = 11 - 14 KN/m3, = 30 - 39, kohesi = 5 – 11 KN/m2 mix = 16.8KN/m3, =16 18, kohesi =18 - 20 KN/m2 soil = 16 KN/m3, =15 16, kohesi = 17 - 18 KN/m2
Gambar 9. Parameter yang digunakan untuk model analisis stabilitas lereng
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
228
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014 280
270
260 3
2
250
1
240
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
230 100
Jarak (m)
Gambar 10. Model lereng didaerah penelitian Hasil analisis stabilitas lereng Analisis statistik regresi menunjukan bahwa ketebalan lapisan pumice, peak ground acceleration, dan kelerengan signifikan berpengaruh terhadap Faktor Keaamanan Lereng
atau Stabilitas Lereng (p value < 0,05, Rsquare =0,916) artinya 91,6% stabilitas lereng dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut. Hubungan dari ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Y= 2.2048-0.0176X1-0.054X2-1.691X3
Keterangan: Y = Faktor Keamanan Lereng, X1 : Kelerengan (o), X2: Ketebalan lapisan pumice (m), X3 : Peak ground acceleration (g)
Hasil analisis stabilitas lereng menunjukan bahwa pga, kelerengan dan ketebalan lapisan pumice sangat berpengaruh terhadap Faktor Keamanan
Faktor Keamanan
1.4
Hubungan FK dengan pga pada lereng 40 derajat
1.2
Lereng (FK). Dari grafik terlihat bahwa semakin besar peak ground accelerasi maka Faktor keamanan akan semakin berkurang, namun berkurangnya faktor keamanan tidak linier, demikian juga terhadap ketebalan tanah pelapukan dan kelerengan.
1.0 0.8
ketebalan 6 m
0.6
Ketebalan 5 m
0.4
Ketebalan 4 m
0.2
Ketebalan 3 m Ketebalan 2 m
0.0 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
pga (g)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
229
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
2.0 Hubungan FK dengan pga pada lereng 30
Faktor Keamanan
derajat 1.5 Ketebalan 6 m
1.0
Ketebalan 5 m Ketebalan 4 m
0.5
Ketebalan 3 m Ketebalan 2 m
0.0
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
pga (g)
Hubungan FK dengan pga pada lereng 20 derajat
2.500
Faktor Keamanan
2.000 ketebalan 6 m
1.500
ketebalan 5 m 1.000
Ketebalan 4 m Ketebalan 3 m
0.500
Ketebalan 2 m
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
pga (g)
Gambar 11. Grafik hubungan antara Faktor Keamanan Lereng denga peak ground acceleration, ketebalan lapisan pumice dalam berbagai kelerengan.
Kesimpulan Hasil analisis menunjukan bahwa gerakan tanah yang dipicu oleh gempabumi Sumatera Barat, 30 September 2009 juga dikontrol oleh kondisi tektonik yang ada di Pariaman dan sekitarnya. Faktor Ketebalan lapisan pumice atau tepra Malalak, Peak Ground Acceleration dan Kelerengan sangat mempengaruhi kestabilan lereng yang ada di daerah tersebut.
Pembentukan mineral Haloysite yang yang menyusun atau membentuk “lapisan gabungan” yang merupakan bidang gelincir menjadi sangat menarik untuk dilihat pada endapan piroklastik jatuhan yang lain sebagai contoh gempabumi Bener Meriah 2 Juli 2003 yang memicu terjadinya longsoran juga terjadi pada endapan piroklastik, sehingga perlu penelitian lebih lanjut tentang “lapisan gabungan” tersebut.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
230
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Daftar Pustaka Agung Pribadi, Eddy Mulyadi dan Indyo Pratomo, 2007, Mekanisme erupsi ignimbrite kaldera Maninjau, Sumatera Barat, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 1 Maret 2007: 31-41 Bull
and McFadden. 1977. Tectonic Geomorphology North And South Of The Garlock Fault, California. Geosciences Department University of Arizona.
El Hamdouni, R., Irigay, C., Fernandes, T., Chacon, J., Keller, E. A., 2007. Assessment of Relative Active Tectonics, Southwest Border of Sierra Nevada (Southern Spain). Geomorphology, 96, 150-173.
Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Jaringan Jalan di Indonesia. Silva, P.G., Goy, J.L., Zazo, C., Bardají, T., 2003. Fault-generated mountain fronts in southeast Spain: geomorphologic assessment of tectonic and seismic activity. Geomorphology 50, 203–225 van Padang, N., 1951. Catalogue of volcanic activity and solfatara fi elds, Part I, Indonesia. International Volcanological Association, Napoli, Italy. Varnes, D.J. 1978. Slope Movement Types and Processes. Special Report 176; Landslides; Analysis and Control, Eds : R.L. Schuster dan R.J. Krizek, Transport Research Board, National Research Council, Washington , D.C. pp.11-33. Wells, D.L. and Coppersmith, K.J., 1994.New empirical relationships among magnitude, rupture length, rupture width, rupture area and surface dis-pla cement. Bull. Seismol. Soc. Am., 84, 974-1002
Hamzah A, 2013, Morfotektonik Sesar Baribis, Majalengka, Jawa Barat, Thesis Progam Master GREAT, ITB, tidak dipublikasikan Heath, W. dan Saroso, B.S. 1988. Natural Slope Problems Related to Roads in Java Indonesia. Proc.of the 2nd Int. Conf. On Geomechanics in Tropical Soils, Singapore, pp.259-266. Kastowo, Gerhard W. Leo, S. Gafoer, T. C. Amin. 1996. Peta Geologi Lembar Padang, Sumatera. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Keefer (2000) Statistical analysis of an earthquake-induced landslide distribution – the 1989 Loma Prieta, California event, Engineering Geology 58(3-4): 231-249 Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia. Direktorat Vulkanologi. 819 h.Wells et al., 1988 Sampurno, 1975. Geologi Daerah Longsoran Jawa Barat. Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Sarosa, B.S. 1992. Ancaman Gerakan Tahan pada Jaringan Jalan di Jawa Barat. Seminar
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
231