Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya
Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
Okt 2016
Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
ii
Daftar Isi
Daftar Isi
ii
Kata Sambutan
iii
Ringkasan Eksekutif
iv
Latar Belakang
1
Definisi hukum pekebun di Indonesia
3
Perkembangan terkini : Perkebunan kelapa sawit di Indonesia
5
Metodologi
8
Seluk beluk perkebunan swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan
11
Tenurial lahan pekebun swadaya
14
Pengaturan Kelembagaan: organisasi pekebun
17
Praktik-Praktik Budidaya
20
Akses terhadap input pertanian dan pelatihan
21
Struktur Perdagangan
23
Diskusi dan Rekomendasi
26
Legalitas : Surat Kepemilikan dan Pendaftaran Tanah
26
Organisasi Pekebun
28
Input Pertanian dan Pelatihan
30
Perdagangan Kelapa Sawit
32
Inisiatif yurisdiksi bagi pekebun swadaya
34
Referensi
36
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
38
Lampiran 2: Desa di Seruyan
56
Kata Sambutan
Menyaksikan terselesaikannya laporan ini adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami. Laporan ini menyajikan sebagian data mengenai pekebun kelapa sawit swadaya di Kalimantan Tengah yang telah dikumpulkan oleh Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU), pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, pemerintah kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, serta mitra-mitra lainya. Laporan ini menyajikan data 1.229 pekebun dari 2.660 total pekebun yang telah dipetakan di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat sampai dengan bulan Juli 2016. Sejalan dengan kegiatan pemetaan yang masih berlangsung sampai saat ini, laporan ini akan diperbarui secara berkala sampai pemerintah daerah memiliki instrumen tersendiri untuk melaporkan data mengenai pekebun kelapa sawit swadaya. Selain disajikan dalam laporan ini, data mengenai pekebun sawit swadaya telah pula diintegrasikan ke dalam Sistem Monitoring Perkebunan Kalimantan Tengah yang saat ini berada di Dinas Perkebunan Provinsi dan dikelola bersama dengan Dinas Perkebunan Kabupaten di Kotawaringin Barat, Seruyan, dan Gunung Mas. Sistem monitoring ini memungkinkan pemerintah provinsi untuk mengeluarkan laporan berkala mengenai produksi sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Sistem ini dapat pula digunakan untuk memonitor dampak kegiatan perkebunan terhadap lingkungan hidup melalui penggabungan data pekebun swadaya dan perusahaan perkebunan dengan data spasial dan pengindraan jarak jauh, seperti data mengenai kebakaran dan deforestasi. Laporan ini adalah laporan pertama dari serangkaian laporan mengenai pekebun swadaya yang akan dipublikasikan oleh INOBU. INOBU juga tengah mempersiapkan beberapa laporan lainnya, antara lain: •
Studi kondisi awal atau baseline di tingkat desa yang memuat antara lain data mengenai praktik-praktik pertanian skala kecil, pendapatan, dan kelembagaan rumah tangga;
•
Tantangan dalam mendapatkan sertifikasi keberlanjutan di tingkat kelompok atau desa.
Laporan ini ditulis secara kolaboratif oleh para peneliti INOBU. Penulis utama laporan ini adalah John Daniel Watts dan Silvia Irawan. Keseluruhan analisis data dalam kajian ini dipimpin oleh Aklan Huda. Shofia menulis bagian mengenai praktik-praktik pertanian sementara Bernadinus Steni menyumbang analisis legal. Triyoga Widiastomo menyiapkan peta dan melakukan analisis spasial. Dukungan lain untuk penelitian ini diberikan oleh Benita Nathania. Pengumpulan data dilakukan oleh para peneliti lapangan di Kotawaringin Barat dan Seruyan yang dipimpin oleh Fadly Fadhillah. INOBU menyampaikan terima kasih atas dukungan yang tak terputus dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Perkebunan Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan. Beberapa pengkaji yang telah berkontribusi terhadap laporan ini antara lain: Asril Darussamin, Dani Hidayat, Toby McGrath, dan Ofra Fitri. Pekerjaan ini merupakan bagian dari Forest, Farms and Finance Initiative, yang dipimpin oleh Earth Innovation Institute dan didanai oleh Badan Kerja Sama Pembangunan Norwegia. INOBU juga mendapatkan dana dari David and Lucille Packard Foundation dan Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, Bangunan, dan Keselamatan Nuklir Republik Federal Jerman. Salam hangat dan selamat membaca,
Joko Arif Managing Director, INOBU
iii
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
iv
Ringkasan Eksekutif
Keberlanjutan rantai pasok minyak kelapa sawit global bergantung pada kemampuan untuk menentukan siapa yang memproduksi minyak kelapa sawit, di mana kelapa sawit dibudidayakan, dan seperti apa proses budidayanya. Rantai pasok minyak kelapa sawit menjadi semakin rumit terlacak khususnya yang berasal dari pekebun kelapa sawit swadaya berskala kecil. Kondisi ini berbanding terbalik dengan perkebunan besar atau pekebun plasma (pekebun yang bermitra dengan perkebunan besar). Informasi yang kita ketahui mengenai pekebun kelapa sawit swadaya sangat sedikit, termasuk mengenai di mana lokasi perkebunan mereka, bagaimana cara mereka bertani, dan kepada siapa mereka menjual hasil perkebunan mereka. Pekebun swadaya berskala kecil menanam kelapa sawit hampir tanpa dukungan dari pemerintah ataupun perusahaan perkebunan yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tandan buah segar yang mereka hasilkan. Memastikan bahwa pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil memproduksi kelapa sawit secara berkelanjutan dan produktif adalah langkah tak terpisahkan dari upaya mengurangi dampak negatif kelapa sawit terhadap lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertama-tama kita harus mengetahui mengenai kondisi para pekebun ini dan di mana sesungguhnya mereka berada. Kajian ini ditujukan untuk memberi kontribusi pada upaya meningkatkan pemahaman mengenai pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil di Indonesia. Demi konsistensi, di dalam laporan ini kami akan menyebut pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil sebagai pekebun swadaya.
Kajian ini melaporkan temuan-temuan dari kegiatan survei dan pemetaan pekebun swadaya yang sedang berjalan hingga saat ini di dua kabupaten di Kalimantan Tengah, Indonesia, yakni Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Dari tahun 2014 hingga akhir tahun 2015, sebanyak 1.229 pekebun di dua kabupaten tersebut berhasil disurvei dan lahan mereka berhasil dipetakan, yakni mencakup delapan desa di Kabupaten Kotawaringin Barat seluas 1.671,61 hektar dan delapan desa di Kabupaten Seruyan seluas 2.182,75 hektar. Angka-angka ini mewakili sekitar 6 persen dari keseluruhan jumlah pekebun kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 9 persen dari keseluruhan jumlah pekebun kelapa sawit di Kabupaten Seruyan. Di Kotawaringin Barat, para pekebun yang dimaksud sebagian besar berasal dari masyarakat transmigrasi (87 persen), sedangkan pekebun lokal atau masyarakat adat proporsinya lebih kecil (12 persen). Akan tetapi, di Kabupaten Seruyan, sebagian besar pekebun yang disurvei merupakan masyarakat lokal (81 persen). Laporan ini menganalisa tantangan utama yang dihadapi para pekebun swadaya untuk menanam kelapa sawit secara produktif dan berkelanjutan. Dibangun dari kajian-kajian terkait pekebun swadaya yang ada sebelumnya, kami melihat bahwa hambatan utama yang dihadapi pekebun untuk mendapatkan manfaat dari budidaya kelapa sawit adalah: •
Pengakuan hukum hak-hak atas tanah mereka;
•
Akses terhadap pendanaan, material tanaman, pupuk, dan pelatihan; serta
•
Persyaratan perdagangan dan harga yang adil dari penjualan tandan buah segar yang mereka panen.
Terdapat perbedaan antara Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat terkait bentuk dari bukti penguasaan atas kepemilikan tanah yang mereka punya. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, dikarenakan proporsi pekebun transmigran yang tinggi, sebagian besar (60 persen) pekebun memiliki sertifikat tanah (Sertifikat Hak Milik atau SHM), yang merupakan bukti hak atas tanah terkuat di Indonesia. Sertifikat ini dikeluarkan untuk pekebun sebagai bagian dari skema transmigrasi yang disponsori pemerintah. Sertifikat ini dapat dialihtangankan dan dapat pula digunakan sebagai jaminan untuk meminjam uang dari bank. Sebaliknya, di Kabupaten Seruyan, di mana sebagian besar pekebun adalah masyarakat adat/lokal, hanya 11 persen pekebun memiliki SHM. Sebagian besar pekebun di kabupaten Seruyan hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA). SKT dikeluarkan oleh kepala desa, diverifikasi oleh camat dan dicatat di buku catatan tanah di desa. Berbeda dengan SKT, SKTA yang merupakan salah satu bentuk kepemilikan lahan di Kalimantan Tengah dikeluarkan oleh lembaga adat setempat. Dibandingkan dengan SKT yang dapat digunakan untuk sebagai dasar pengajuan sertifikat kepemilikan tanah, SKTA tidak dapat dijadikan dasar pengajuan karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya dapat mengakui surat keterangan atas tanah yang ditandatangani oleh kepala desa. Akses terhadap pendanaan, input pertanian, dan pelatihan berpengaruh pada cara pekebun membudidayakan kelapa sawit. Kepemilikan sertifikat tanah dan kedekatan secara geografis dengan bank menentukan kemampuan para pekebun untuk mengakses pinjaman bank. Berdasarkan survei komprehensif di Kabupaten Kotawaringin Barat, hanya 13,8 persen pekebun memiliki tabungan di bank dan hanya 7,7 persen pekebun memiliki akses terhadap pinjaman bank, kebanyakan dengan menjaminkan SKT. Di Kabupaten Seruyan, tidak ada pekebun yang melaporkan bahwa mereka memperoleh pinjaman dari bank. Dari studi kasus di Pangkalan Tiga, sertifikat tanah banyak digunakan sebagai jaminan pinjaman bank untuk membiayai investasi di perkebunan sawit. Sementara itu, hanya 15 pekebun dari keseluruhan pekebun yang disurvei melaporkan pernah menerima sejenis pelatihan. Bagi sebagian besar pekebun di kedua kabupaten tersebut, pihak perantara (pengepul) adalah sumber utama bagi mereka untuk mendapatkan pupuk, diikuti oleh toko perlengkapan pertanian di desa mereka. Sebagian besar pekebun di kedua kabupaten tersebut
menghasilkan material tanaman mereka sendiri atau mendapatkan dari teman, tetangga, atau kerabat mereka. Sekitar 26,2 persen pekebun di Kabupaten Seruyan mendapatkan material tanaman tersebut dari perusahaan atau pabrik kelapa sawit sementara di Kabupaten Kotawaringin Barat, jumlah tersebut hanya 9,22 persen. Hanya beberapa pekebun—sekitar 3,1 persen di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 1,7 persen di Kabupaten Seruyan yang merupakan anggota kelompok atau organisasi tani. Organisasi pekebun ini pada umumnya tidak berhubungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit swadaya melainkan terkait dengan kegiatan pertanian lain seperti pertanian tanaman pangan atau perkebunan kelapa sawit plasma. Produktivitas pekebun tampaknya tercermin dari etnisitas mereka meskipun ada banyak faktor lain yang mempengaruhi produktivitas seperti umur tanaman, jenis tanah, pupuk, dan lainnya. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, produktivitas ratarata pekebun lokal adalah 12,69 ton per hektar per tahun selama periode panen yang stabil (4-10 tahun) sementara produktivitas pekebun transmigran dalam periode yang sama mencapai 15,8 ton per hektar per tahun. Dalam periode yang sama, pekebun di Kabupaten Seruyan dapat menghasilkan hingga 16,7 ton per hektar per tahun. Produktivitas yang lebih tinggi di Kabupaten Seruyan ini kemungkinkan disebabkan oleh kualitas benih yang lebih baik yang tersedia bagi para pekebun yang mendirikan perkebunan pada akhir tahun 2000-an, dibandingkan dengan mereka yang membangun kebun pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. Faktor terkait jenis dan kualitas tanah tidak dimasukan sebagai bahan pertimbangan dalam kajian ini. Kami juga menganalisa tantangan-tantangan utama dalam memastikan keberlanjutan dan keterlacakan rantai pasok kelapa sawit, yaitu: •
Lokasi plot perkebunan pekebun swadaya; dan
•
Rantai pasok antara pekebun dan pabrik kelapa sawit
Kami juga menganalisa kesesuaian lokasi lahanlahan pekebun swadaya terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan klasifikasi penggunaan lahan yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah. Kami menemukan bahwa tidak ada pekebun yang memiliki kebun di dalam hutan konservasi. Di Kabupaten Seruyan, sebanyak 559 hektar plot perkebunan sawit pekebun swadaya berlokasi di dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas. Di kedua kabupaten tersebut,
v
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
vi
pekebun yang memiliki plot perkebunan sawit di wilayah yang diklasifikasikan sebagai hutan produksi untuk konversi berjumlah 226 hektar di Seruyan dan 344 hektar di Kotawaringin Barat. Sisanya berlokasi di wilayah yang diklasifikasikan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL) atau di lahan-lahan yang diberikan pada konsesi perkebunan sawit skala besar. Ada atau tidaknya plot perkebunan pekebun swadaya di kawasan hutan tidak serta-merta mengindikasikan terjadinya deforestasi maupun perambahan liar ke dalam hutan, karena proses pengklasifikasian lahan seringkali mengabaikan klaim lahan masyarakat yang ada. Di saat yang sama, banyak lahan di kawasan hutan telah mengalami kerusakan atau degradasi.
• Memformalkan keterlibatan pengepul dalam rantai pasok kelapa sawit. Untuk memastikan keberlanjutan dan terlacaknya rantai pasok kelapa sawit, para pengepul harus terdaftar sebagai entitas perorangan maupun badan hukum. Sebagai bagian dari proses pendaftaran atau registrasi tersebut, pengepul harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, seperti pencantuman nama, sertifikat tanda daftar budi daya (STD-B) dan kuantitas yang dibeli dari pekebun perorangan. Informasi ini kemudian diteruskan ke pabrik kelapa sawit. Diperlukan pula regulasi yang mengatur berbagai fungsi tambahan yang dijalankan pengepul untuk memastikan bahwa input pertanian dan layanan-layanan lain yang mereka berikan kepada pekebun diberikan secara adil.
Di Kalimantan tengah, para pekebun swadaya jarang sekali menjual tandan buah segar mereka langsung ke pabrik kelapa sawit. Di kedua kabupaten, sebagian besar • Mendukung pembentukan kelompok tani dan pekebun yang memiliki kebun produktif melaporkan koperasi usaha tani. bahwa mereka menjual tandan buah segar mereka ke Kelompok tani berpotensi menjadi lembaga para pedagang yang biasa disebut sebagai pengepul. yang mampu mendukung pekebun swadaya dan Di Kabupaten Seruyan, sekitar 14 persen pekebun memperbaiki kemudahan dalam akses pasar bagi melaporkan bahwa mereka menjual langsung ke mereka. Diperlukan insentif yang jelas bagi pekebun pabrik kelapa sawit, namun jawaban ini mungkin untuk bergabung dalam kelompok tani maupun mencerminkan kesalahpahaman akan pertanyaan survei mekanisme untuk memastikan bahwa kelompokdan bukan gambaran dari situasi yang sesungguhnya. kelompok tani tersebut dikelola secara baik. Akan Para pengepul bertanggung jawab untuk membeli tetapi, pembentukan koperasi dan kelompok tani tandan buah segar dari pekebun dan mengangkut hasil tidak bisa menjadi satu-satunya solusi. Kebijakan panen tersebut ke pabrik kelapa sawit. Para pengepul dan intervensi yang dirancang untuk mendukung adalah orang-orang yang memiliki surat perintah pekebun swadaya harus memasukkan persyaratan pengiriman (delivery order) resmi dari pabrik kelapa bagi pekebun-pekebun yang tidak bergabung dalam sawit atau mereka juga bisa menjual tandan buah koperasi. segar ke pabrik kelapa sawit dengan menggunakan surat perintah pengiriman milik pihak lain. Meskipun • Memetakan lahan pekebun swadaya dan demikian, peran pengepul lebih dari sekadar membeli menyediakan pembinaan bagi mereka. dan mengangkut tandan buah segar. Di tengah ketiadaan Memetakan lahan para pekebun swadaya layanan pemerintah, mereka juga menyediakan adalah langkah pertama yang diperlukan untuk pinjaman, pupuk, dan berbagai input pertanian lain. memastikan keberlanjutan dan keterlacakan rantai Sejumlah kecil pekebun menjual produk mereka ke pasok kelapa sawit. Peta plot lahan pekebun dan beberapa pengepul yang berbeda, namun sebagian surat tanda daftar budi daya harus menjadi syarat besar pekebun hanya akan menjual ke satu pengepul untuk bisa menjual dan mengangkut tandan buah saja, yang pada umumnya dilaksanakan tanpa ada segar. Dikeluarkannya surat tanda daftar budi daya persyaratan ataupun kontrak. Hubungan antara pekebun kepada pekebun swadaya harus dipertimbangkan dan pengepul dibangun di atas dasar kepercayaan. sebagai bukti keberlanjutan tandan buah segar Biasanya, seorang pekebun terlebih dahulu mencoba yang mereka panen dan pasarkan. Karena sistem menjual ke beberapa pengepul yang berbeda sebelum ini mungkin merugikan pekebun swadaya di ia memutuskan untuk menjalin relasi dengan satu wilayah-wilayah (yurisdiksi) yang tidak memiliki pengepul saja. Begitu menjalin relasi dengan seorang inisiatif pemetaan skala besar, harus ada upaya pengepul, mereka akan hanya menjual tanda buah segar untuk mendukung pekebun yang terkena dampak. kepada pengepul tersebut. Pekebun swadaya juga harus didukung dalam hal penyediaan input-input pertanian seperti material Berdasarkan temuan-temuan dalam kajian ini, kami tanaman, pupuk, pestisida, dan akses pasar. mengajukan beberapa rekomendasi, yaitu sebagai berikut:
1
Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya kerusakan hutan di Indonesia oleh karena perkebunan kelapa sawit, seringkali pekebun rakyat, atau sering disebut sebagai pekebun, dihadapkan pada tuduhan turut berperan dalam pengrusakan tersebut.1 Pada tahun 2013, terdapat 26.130.000 rumah tangga pekebun di seluruh Indonesia. Pekebun swadaya juga menjadi bahan perdebatan terkait keberlanjutan budidaya sawit di Indonesia. Seiring dengan dideklarasikannya komitmen menghapuskan deforestasi dalam rantai pasok kelapa sawit oleh kalangan bisnis perkebunan besar pada tahun 2014 – yang paling menarik perhatian adalah Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor lain justru menolak komitmen ini. Mereka berargumen bahwa komitmen tersebut akan merugikan para pekebun, khususnya pekebun swadaya. Tidak seperti perusahaan perkebunan besar, pekebun tidak memiliki sarana dan prasarana untuk bertransisi menuju praktik-praktik berkelanjutan. Oleh karenanya, komitmen deforestasi nol akan mengucilkan pekebun dari rantai pasok yang berkelanjutan dan berdampak pada berkurangnya jumlah pembelian tandan buah segar dari para pekebun oleh pabrik kelapa sawit. Meskipun banyak klaim yang menyatakan demikian, hanya ada sedikit informasi mengenai pekebun kelapa
sawit, terutama yang melakukan budidaya secara swadaya. Perusahaan penandatangan IPOP telah memutuskan untuk membubarkan entitas IPOP, dan akan terus melanjutkan komitmen mereka tehadap keberlanjutan secara indepeden.2 Pekebun kelapa sawit di Indonesia menguasai sekitar 44 persen dari keseluruhan lahan yang digunakan untuk budidaya sawit, setara dengan 4,4 juta hektar pada tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Namun pekebun hanya menyumbang sekitar 27 hingga 38 persen dari keseluruhan produksi minyak sawit Indonesia. Produktivitas pekebun kelapa sawit di Indonesia sangat rendah, rata-rata di bawah pekebun plasma atau pekebun yang bekerjasama dengan perusahaan perkebunan (International Finance Corporation, 2013). Pekebun plasma adalah pekebun yang memiliki semacam hubungan kontraktual dengan perusahaan untuk melakukan produksi dengan atau menjual kelapa sawit kepada perusahaan tersebut. Bentuk hubungan ini dapat berupa skema, yang mencakup Skema Perkebunan Inti-Plasma, skema joint venture, atau model-model produksi yang dibantu oleh perusahaan (Cramb dan Curry, 2012). Dalam kerjasama tersebut, perusahaan perkebunan menyediakan bantuan bagi para pekebun, termasuk
Badan Pusat Statistik, 2013, Sensus Pertanian. http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php http://www.palmoilpledge.id/en/2016/07/ipop-signatories-support-government-of-indonesias-efforts-to-transform-palm-oil-sectortowards-sustainability 1 2
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
2
pelatihan dan input-input budidaya seperti pupuk. Adanya bantuan langsung ini menyebabkan pekebun plasma lebih produktif dibandingkan pekebun swadaya yang hanya mendapatkan sedikit bantuan atau tidak mendapatkan bantuan sama sekali baik dari pemerintah maupun perkebunan besar. Di Kalimantan Tengah, pekebun swadaya hanya menyumbang sebagian kecil dari proporsi perkebunan kelapa sawit di provinsi tersebut. Pada tahun 2013, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah melaporkan bahwa pekebun hanya berjumlah 11 persen dari keseluruhan wilayah perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Mantan Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang, berkomitmen untuk meningkatkan proporsi pekebun dalam rantai pasok minyak kelapa sawit berkelanjutan hingga mencapai 20 persen3. Komitmen ini berarti memprioritaskan pekebun swadaya dalam ekspansi perkebunan kelapa sawit di masa yang akan datang, dengan memastikan produksi yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan hidup. Kajian ini akan menyediakan informasi mengenai kondisi awal atau baseline pekebun swadaya di Kalimantan Tengah dan mengusulkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen pemerintah provinsi tersebut. Laporan ini berfokus pada pekebun swadaya di Kalimantan Tengah. Untuk menjaga konsistensi, kami akan menyebut pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil sebagai pekebun swadaya. Informasi mengenai pekebun swadaya sangatlah minim saat ini. Kami menyajikan hasil kegiatan survei dan pemetaan yang dilakukan terhadap lahan 1.229 pekebun swadaya di 16 desa di Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Kabupaten Kotawaringin Barat memiliki jumlah pekebun swadaya tertinggi kedua di Kalimantan Tengah setelah Kotawaringin Timur, yakni sejumlah 12.436 orang pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Di Kabupaten Seruyan, yang terletak di antara Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat, mempunyai jumlah pekebun swadaya sebanyak 5.376 orang, menurut Kementerian Pertanian pada tahun 2013.
Kotawaringin Barat adalah kabupaten penghasil kelapa sawit dengan banyaknya perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi serta didukung dengan infrastruktur yang memadai, termasuk pelabuhan, jalan, dan pabrik kelapa sawit. Sebagian besar pekebun swadaya di Kotawaringin Barat mulai membudidayakan sawit antara tahun 2005 dan 2010. Para pekebun ini secara umum merupakan masyarakat transmigran yang sebelumnya menanam kelapa sawit sebagai pekebun plasma sebelum tahun 2000. Selagi meneruskan budidaya kelapa sawit dengan sistem plasma, pekebun-pekebun tersebut juga mulai mengkonversi lahan mereka yang awalnya dialokasikan untuk tanaman pangan menjadi kebun kelapa sawit swadaya. Berkebalikan dengan di Kotawaringin Barat, sebagian besar para pekebun di Seruyan adalah masyarakat asli yang memulai budidaya sawit antara tahun 2010 dan 2015. Para pekebun ini tidak pernah menjadi pekebun plasma sebelumnya dan karenanya mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai budidaya kelapa sawit. Untuk membantu pekebun berbudidaya kelapa sawit secara lebih berkelanjutan, produktif, dan legal, langkah-langkah intervensi harus diidentifikasi. Berbagai perubahan tersebut sangat mungkin untuk mempengaruhi praktik-praktik dan kelembagaan terkait dengan budidaya dan perdagangan kelapa sawit yang ada saat ini. Fokus dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi praktik-praktik yang dijalankan oleh pekebun swadaya di Kalimantan Tengah dan berbagai model kelembagaan pekebun dalam berbudidaya dan berdagang kelapa sawit. Selain itu, kami turut menaruh perhatian khusus pada rantai pasok kelapa sawit yang menghubungkan pekebun swadaya dan pabrik kelapa sawit. Lalu, kami mengkaji mengenai intervensi dan reformasi kelembagaan yang dibutuhkan untuk mentransformasi praktik-praktik budidaya kelapa sawit oleh pekebun swadaya. Pada bagian akhir kajian ini, kami mengeksplorasi potensi dampak dari berbagai intervensi yang diusulkan bersamaan dengan dikembalikannya peran pemerintah daerah yang sebelumnya dimainkan oleh perusahaan dan pihak perantara lainnya.
Government of Central Kalimantan (2013) Central Kalimantan Roadmap to Low-Deforestation Rural Development: Developing a sustainable plan which increases production and reduces poverty. Tersedia online di link berikut: http://earthinnovation.org/publications/ central-kalimantan-roadmap-to-low-deforestation-rural-development/ 3
3
Definisi hukum pekebun di Indonesia
Pekebun kecil dikenal di Indonesia dengan istilah petani atau pekebun (UU 29/2014). Istilah petani merujuk pada mereka yang terlibat dalam kegiatan pertanian padi lahan basah (irigasi) sementara pekebun merujuk pada mereka yang menanam tanaman tahunan atau musiman, termasuk tanaman pepohonan, dalam skala kecil yang tidak terdefinisikan secara jelas. Secara hukum, pekebun didefinisikan berdasarkan total lahan yang mereka kelola, jenis tanaman, teknologi, jumlah pekerja, besar modal atau kapasitas manufaktur. Peraturan Menteri No. 98/ Permentan/OT.140/9/2013 (Permentan 98/2013) hanya meregulasi mengenai berbagai izin yang diwajibkan untuk menjalankan berbagai jenis kegiatan yang berbeda dan membedakan antara kewajiban orang-perorangan (individu) dan korporasi. Permentan ini mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang membatasi luas maksimal lahan yang dapat dimiliki individu adalah seluas 25 hektar. Akibatnya, angka ini dijadikan batas mengenai luas lahan maksimal yang dapat dimiliki seseorang untuk dapat digolongkan sebagai pekebun. Sementara dalam Peraturan lain, misalnya UU 19/2013 mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, ditetapkan bahwa luas lahan maksimal petani kecil adalah sebesar 2 hektar. Dalam kajian ini, kami mendefinisikan pekebun sebagai pekebun yang memiliki lahan kurang dari 25 hektar karena jumlah responden kami yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar cukup signifikan.
Secara umum, terdapat dua jenis pekebun: •
Pekebun plasma dan pekebun dengan pendampingan;
•
Pekebun swadaya
Pekebun plasma dan pekebun yang mendapat pendampingan memiliki sejenis hubungan kontraktual dengan perusahaan perkebunan untuk memperdagangkan dan memproduksi kelapa sawit. Bentuk skema yang dominan adalah Skema Perkebunan Inti-Plasma atau Perkebunan Inti Rakyat (PIR) (Cramb and Curry, 2012; Rist dkk., 2010; Zen dkk., 2016). Dalam skema ini, terdapat sebuah konsesi besar (inti) yang dikelilingi oleh plot-plot perkebunan masyarakat seluas 2 hingga 3 hektar (plasma). Dalam skema ini, perusahaan perkebunan bertanggung jawab untuk membuka lahan, menanam, dan mengelola lahan pekebun dalam kurun waktu 4 tahun pertama di samping menyediakan pekerjaan alternatif untuk pekebun dalam fase-fase tidak produktif.
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
4
Skema ini diluncurkan pada tahun 1978 dan telah berkembang melalui beberapa tahap, di mana tahap pertama berfokus pada pekebun dari masyarakat lokal sebelum perlahan-lahan beralih ke pekebun transmigran. Pada tahun 1995, skema ini digantikan dengan Skema Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) yang berfokus untuk menyediakan lahan produktif dan dukungan bagi pekebun-pekebun dari masyarakat lokal sebagai kompensasi atas penyediaan lahan skala besar kepada perusahaan. Berbagai inisiatif ini didukung dengan diberikannya pinjaman dengan bunga rendah dari Bank Indonesia. Skema-skema perkebunan lain mencakup Skema Revitalisasi Perkebunan yang diluncurkan pada tahun 2006 dan subsidi untuk melakukan penanaman kembali di lahan pekebun plasma. Model Perkebunan Inti-Plasma secara umum digantikan dengan model kemitraan yang lebih menguntungkan bagi perusahaan (Rival dan Levang, 2014; Zen dkk., 2016). Jika sebelumnya perusahaan harus mengalokasikan sebagian besar lahan konsesinya kepada pekebun, dalam model baru ini perusahaan dapat mengontrol hingga 80 persen lahan. Pekebun dapat diberi kompensasi berupa bagi hasil untung sebagai ganti dari alokasi plot perkebunan. Peraturan Menteri selanjutnya yang dikeluarkan pada tahun 2013 semakin meringankan syarat bagi pemegang konsesi4. Peraturan tersebut menyatakan bahwa 20 persen lahan yang harus dialokasikan untuk pekebun dimungkinkan untuk berlokasi di luar batas konsesi. Peraturan ini juga menyatakan bahwa masyarakat harus diberi saham perkebunan hingga mencapai 30% pada tahun ke-15. Model ini semakin menggerus partisipasi langsung pekebun dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit dan lebih berpihak pada upaya mendorong investasi skala besar. Peraturan Menteri Pertanian 98/2013 memberikan kewenangan pada pemerintah kabupaten untuk melakukan registrasi lahan perkebunan yang prosesnya diitentukan melalui peraturan daerah. Di Kalimantan Tengah, Peraturan Daerah No. 5/2011 mengenai Perkebunan Berkelanjutan menentukan proses registrasi lahan. Peraturan tersebut mengklasifikasikan lahan yang luasnya kurang dari 25 hektar sebagai perkebunan rakyat, yang dimiliki dan dikerjakan oleh pekebun. Pekebun atau individu yang lahan kebunnya kurang dari 25 hektar diwajibkan untuk mendaftarkan lahannya kepada walikota atau bupati. Untuk melakukan pendaftaran, pekebun harus memiliki apa yang disebut sebagai Surat Tanda Daftar Budidaya atau STD-B yang mensyaratkan
informasi berikut: identitas pekebun, lokasi kebun, status lahan perkebunan, total wilayah kebun, tanaman yang dibudidaya, jumlah produksi tanaman secara keseluruhan, sumber benih, jumlah tanaman keseluruhan, pola penanaman, pupuk, hubungan kemitraan, jenis tanah, dan tahun penanaman. Untuk perkebunan lebih dari 25 hektar, diperlukan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Untuk mendapatkan STD-B, pekebun harus menunjukkan bukti kepemilikan lahan. Namun, karena Kementerian Pertanian tidak menyediakan panduan yang baku mengenai jenis dokumen yang disyaratkan, bukti ini dapat berupa SKT, SKTA, atau Sertifikat Hak Milik (SHM). Kementerian Pertanian pernah membuat pernyataan dalam sebuah pertemuan bahwa SHM tidak diharuskan dalam pembuatan STD-B sehingga bukti kepemilikan lahan apapun dianggap mencukupi asalkan perkebunan pekebun tersebut tidak terletak di dalam kawasan hutan negara.5 Kewenangan untuk mengeluarkan STD-B telah diserahkan ke tingkat kabupaten. Beberapa kabupaten mendelegasikan tanggung jawab ini lebih jauh ke pemerintah kecamatan sementara beberapa kabupaten lain menugaskan dinas perkebunan kabupaten untuk mengeluarkan STD-B. Kementerian Pertanian mewajibkan pemerintah daerah untuk melaporkan hasil dari proses pendaftaran ini setiap enam bulan. Sejauh ini, registrasi perkebunan pekebun swadaya masih terbatas. Hal ini diakibatkan oleh terbatasnya pengetahuan pemerintah daerah mengenai STD-B, fungsinya, dan kemampuan pemerintah daerah dalam proses penerbitan. Pemerintah daerah juga harus memiliki kemampuan untuk memetakan lahan pekebun swadaya dan mengeluarkan peta plot-plot perkebunan mereka. Sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia tidak memiliki kapasitas ini. Pekebun swadaya mempunyai hak untuk menerima bantuan pemerintah, namun dengan persyaratan bahwa mereka tergabung dalam kelompok tani. Berdasarkan peraturan Kementerian Perdangan (07/2/2009) dan Kementerian Pertanian (82/Ot140/8/2013), pekebun diwajibkan menjadi anggota kelompok tani atau koperasi untuk dapat menerima bantuan maupun subsidi dari pemerintah. Pemerintah Kalimantan Tengah juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 2/2013 yang menyatakan bahwa harga tandan buah segar ditentukan melalui kontrak atau faktur di antara produsen dan pabrik kelapa sawit. Pekebun diwajibkan memiliki kontrak untuk dapat memperdagangkan tandan buah segar mereka melalui kelompok tani melalui sistem kemitraan dengan pabrik kelapa sawit.
Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 Notulensi Rapat Koordinasi di antara Kementerian Pertanian, ISPO, Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, dan INOBU tertanggal 19 Desember 2015 di Bali 4 5
Perkembangan terkini: pekebun kelapa sawit di Indonesia
Kelapa sawit (Elaeis guineensis), sejenis tanaman palem hutan tropis, adalah penghasil minyak yang sangat efektif, yang digunakan antara lain untuk memasak, sebagai bahan kosmetik, dan bahan bakar nabati. Kelapa sawit mulai produktif dalam dua hingga tiga tahun setelah penanaman dan mencapai kematangan penuh pada usia sembilan tahun. Setelah 25 hingga 30 tahun, harus dilakukan peremajaan (penanaman kembali) karena tanaman ini menjadi terlalu tinggi untuk dipanen (Sheil dkk., 2009). Buah sawit harus segera diproses dalam kurun waktu 48 jam setelah dipanen kalau tidak kualitas minyak sawit mentah (CPO) yang dihasilkannya akan rusak. Selain umur tanaman, produktivitas kelapa sawit juga bergantung pada akses terhadap material tanaman dengan varietas berkualitas tinggi, pupuk, kredit, dan harga pasar (International Finance Corporation, 2013). Pekebun yang ingin menanam kelapa sawit dapat mengerjakannya secara mandiri atau berlembaga sehingga memiliki akses terhadap kredit, material tanaman, dan pupuk yang dibutuhkan untuk berbudidaya kelapa sawit. Mereka juga harus memiliki akses terhadap pabrik kelapa sawit untuk memastikan bahwa tandan buah segar yang mereka hasilkan dapat diolah dalam kurun waktu 48 jam setelah pemanenan. Pekebun yang mampu mengatasi berbagai hambatan ini menemukan bahwa keuntungan yang mereka dapatkan dari menanam kelapa sawit lebih besar
dari tanaman lain yang biasa mereka tanam (Belcher dkk., 2004). Keuntungan tersebut relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan luas lahan yang dibutuhkan dan kebutuhan tenaga kerja (Feintrenie dkk., 2010a). Di Indonesia, bentuk budidaya sawit pekebun yang paling umum adalah melalui skema-skema perkebunan yang dikenal dengan skema plasma atau inti. Sejak awal tahun 80-an, skema-skema ini dihubungkan dengan program transmigrasi yang memindahkan orang-orang dari pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang lebih padat ke pulau-pulau terluar Indonesia. Skema-skema ini dijalankan berdasarkan konsep bahwa pekebun akan diberi lahan di sekitar perkebunan utama atau inti di mana mereka dapat mengelola plot perkebunan sawit yang lebih kecil (Rival and Levang, 2014).
5
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
6
Dalam persyaratan skema tersebut, pekebun diwajibkan untuk mengembalikan biaya pembangunan plot perkebunan mereka. Dalam skenario lain, pekebun setempat dapat menukar sebidang lahan yang luas dengan kebun kelapa sawit yang luasnya lebih kecil, yakni 2 hektar, atau membuat perjanjian hutang-piutang dengan perusahaan, atau menjual lahan mereka secara langsung kepada perusahaan (Rist dkk., 2010). Para pekebun dalam skema ini akan mendapatkan akses terhadap material tanaman dan pupuk yang disediakan oleh perusahaan dan menjual produk mereka secara langsung ke perusahan tersebut. Namun, pada awal tahun 2000-an, model pembangunan perkebunan seperti ini sudah tidak lagi dilakukan karena alokasi lahan skala besar sudah tidak lagi dimungkinkan (Rival and Levang, 2014). Sebagai gantinya, pekebun muncul di wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur pengolahan kelapa sawit yang telah ada sebelumnya. Pekebun swadaya yang berlokasi di sekitar pabrik kelapa sawit memiliki beberapa pilihan jika mereka ingin melakukan budidaya sawit. Pekebun dan masyarakat adat/lokal mempunyai opsi untuk langsung menjual lahan mereka kepada perusahaan atau investor skala kecil dimana mereka akan menanam kelapa sawit di atas lahan tersebut (Rival and Levang, 2014). Pekebun lainnya harus terlebih dahulu terlibat dalam berbagai macam model kelembagaan untuk memperoleh input yang diperlukan untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Salah satu tantangan yang dihadapi pekebun adalah minimnya pemasukan yang dihasilkan dari suatu lahan kelapa sawit dalam dua atau tiga tahun pertama sebelum akhirnya menjadi produktif. Pekebun baru akan menerima keuntungan dari menanam kelapa sawit ketika pohon kelapa sawit yang mereka tanam telah tumbuh dewasa (Feintrenie dkk., 2010b). Pada akhirnya bagi para pekebun yang tidak dapat melewati tantangan di tahun-tahun pertama penanaman kelapa sawit ini umumnya berakhir dengan kondisi keuangan yang lebih buruk dibandingkan dengan kondisi keuangan mereka sebelum menanam kelapa sawit. Pada umumnya, pekebun swadaya menghabiskan delapan jam kerja setiap bulannya untuk mengelola dan memanen kelapa sawit di lahan seluas 2 hektar (Li, 2015). Rendahnya tingkat tenaga kerja yang diperlukan dalam pengelolaan kelapa sawit menjadikannya lebih diminati daripada tanaman
pangan lainnya (Feintrenie dkk, 2010b). Selain itu, para pekebun pun memiliki lebih banyak waktu luang yang kemudian digunakan untuk menanam tanaman pangan lainnya (li, 2015). Namun, rendahnya tingkat produktivitas dari plotplot ini membuktikan bahwa lahan dengan luas 2 hektar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, pekebun swadaya memerlukan sumber pendapatan lainnya atau lahan kelapa sawit dengan luas yang lebih besar untuk mengimbangi tekanan keuangan (Li, 2015). Meningkatkan produktivitas pekebun swadaya melalui peningkatan penggunaan pupuk atau peningkatan kualitas varietas benih kelapa sawit merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga pekebun swadaya yang layak (International Finance Corporation, 2013). Persyaratan kelembagaan yang dilaksanakan oleh pekebun swadaya ketika mereka mulai membudidaya kelapa sawit akan turut menentukan untung-rugi yang mereka dapatkan dari menanam kelapa sawit (McCarthy, 2010). Proses-proses negosiasi untuk mendapatkan akses terhadap benih, pupuk dan kredit akan menentukan kemampuan mereka untuk bertahan pada tahun-tahun awal penanaman serta kualitas kelapa sawit yang dihasilkan kedepannya. Para pekebun pun perlu menegosiasikan aturan dan persyaratan dengan pihak perantara mengenai sistem pembelian langsung atau pengangkutan tandan buah segar menuju tempat pengolahan (Belcher dkk., 2004). Akibat persyaratan kelembagaan yang ada, pengklasifikasian antara pekebun plasma dan pekebun swadaya menjadi tidak tegas, namun terdapat spektrum yang lebih luas dari sekedar dua klasifikasi tersebut. Selain perusahaan perkebunan dan pekebun swadaya, terdapat skema Inti-Plasma, joint-venture dan pekebun swadaya dengan pendampingan (Cramb and Curry, 2012). Kemandirian para pekebun dalam berbagai hubungan ini bergantung pada persyaratan kelembagaan yang diikuti seperti penyediaan input pertanian dan dukungan yang diberikan serta bagaimana lahan dapat didistribusikan atau dimanfaatkan sebagai jaminan atas pinjaman dari perusahaan. Kompleksitas serta resiko dari berbagai aturan ini dapat menyurutkan niat para pekebun untuk menanam kelapa sawit sehingga banyak dari mereka yang lebih memilih untuk menanam komoditas lain seperti karet yang lebih menjamin kemandirian mereka (Belcher dkk., 2004).
Bagi pekebun swadaya, keterlibatan dan hubungan kontraktual dengan pihak perantara menentukan apakah mereka dapat mendapatkan keuntungan dari budidaya sawit. Pihak perantara seperti pengepul dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan input pertanian dan kredit sekaligus membeli dan mengangkut tandan buah segar dari pekebun swadaya. Dalam situasi di mana pihak perantara berperan sebagai pemasok input sekaligus pembeli, suatu pasar monopsoni akan terbentuk, yang kemudian berpengaruh terhadap harga yang diberikan kepada pekebun. Hal yang sama juga terjadi ketika petani berhadapan langsung dengan perkebunan kelapa sawit (McCarthy and Cramb, 2009). Dalam konteks budidaya sawit di Indonesia, pihak perantara sering kali dikategorisasikan sebagai mereka yang memegang izin perintah pengiriman resmi dari pabrik kelapa sawit, terlibat dalam pengangkutan dan pembelian tandan buah segar (TBS) dari pekebun, atau kombinasi dari faktorfaktor ini. Perintah pengiriman (delivery order) merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pengepul untuk mengirimkan tandan buah segar ke sebuah pabrik kelapa sawit (Anggraini and Grundmann, 2013). Jika seorang pengepul juga berperan sebagai penyedia benih dan pupuk dengan imbalan bahwa pekebun tersebut menjual TBS hanya kepadanya, ia akan membutuhkan akses terhadap pendanaan yang signifikan. Pengepul yang memegang perintah pengiriman menghadapi tekanan untuk memenuhi pesanan dan dapat dijatuhi sanksi atau kehilangan izin jika mereka tidak dapat memenuhinya. Untuk mengurangi tekanan tersebut, terdapat kemungkinan pemegang perintah pengiriman akan mengkompromikan kualitas tandan buah segar untuk memenuhi kuantitas yang diharapkan (Anggraini and Grundmann, 2013). Namun, masingmasing pabrik kelapa sawit memiliki standar yang berbeda beda dalam penentuan kualitas tandan buah segar yang dikirimkan pengepul atau pekebun langsung kepada mereka. Hal lain yang juga penting adalah jenis lahan yang dibuka oleh pekebun untuk menanam kelapa sawit dan dampak lingkungan hidup yang diakibatkannya. Lahan yang dibuka pekebun bisa berasal dari: hutan primer dan sekunder, lahan gambut, kebun agroforestri, dan lahan pertanian untuk tanaman
pangan serta komoditas lain. Konversi hutan, lahan gambut, dan hutan yang beragam telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan menyumbang emisi gas rumah kaca yang besar (Carlson dkk., 2013). Sementara itu, konversi lahan pangan dan pertanian subsisten dapat mengancam ketahanan pangan dan meningkatkan kerentanan pekebun terhadap fluktuasi harga pasar. Perubahan lahan dari hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dapat dilaksanakan secara legal, ilegal, atau berdasarkan klaim adat yang tidak diakui keberadaannya. Hal ini sama dengan penggunaan lahan lainnya seperti kebun masyarakat dan lahan agroforestri, yang mana sistem tenurialnya beragam termasuk rezim hak milik, klaim adat, dan klaim-klaim lain yang tidak jelas atau ilegal. Seiring dengan meningkatnya fokus pada rantai pasok kelapa sawit yang berkelanjutan, kondisi pekebun yang berbudidaya secara swadaya juga harus diakui. Rantai pasok kelapa sawit berkelanjutan mensyaratkan bahwa seluruh TBS dalam rantai pasok harus legal, berkelanjutan, dan berkualitas tinggi. Hal ini merupakan beban tersendiri bagi pekebun swadaya yang seringkali tidak dapat memenuhinya. Pemerintah daerah, dengan kemungkinan dukungan dari pihak luar, harus membantu pekebun swadaya untuk memenuhi berbagai persyaratan tersebut. Dukungan ini akan memastikan bahwa plot perkebunan yang dikelola pekebun swadaya telah terdaftar dan TBS yang mereka hasilkan dapat dilacak. Pekebun juga memerlukan dukungan untuk mengadopsi praktik-praktik budidaya yang baik seperti penggunaan material tanaman berkualitas tinggi dan pupuk yang sesuai. Adopsi praktikpraktik budidaya yang baik ini juga memerlukan ketersediaan pinjaman secara finansial dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pekebun swadaya. Dalam memastikan keterlacakan tandan buah segar tersebut identitas dan praktik-praktik pihak perantara seperti pengepul dan pengangkut perlu untuk diketahui dan turut diregulasi.
7
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
8
Metodologi
Kajian ini dilakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, dua kabupaten penghasil kelapa sawit utama di Kalimantan Tengah, dan berfokus pada pekebun swadaya. Kami memilih pekebun swadaya karena mereka merupakan produsen kelapa sawit yang belum banyak dikaji secara mendalam dan dimonitor dalam rantai pasok minyak kelapa sawit. Dengan memfokuskan pada pekebun swadaya, kami memilih untuk tidak memasukan pekebun yang tidak memiliki kebun kelapa sawit dan pekebun plasma. Di dalam proses pemetaan, kebun sawit yang tidak dikelola secara swadaya tidak kami petakan. Para pekebun dalam kajian ini mungkin memiliki kebun plasma atau kebun yang ditanami jenis tanaman lain, namun kebun-kebun tersebut tidak diikutsertakan dalam kajian ini. Fokus kajian kami adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai praktik-praktik yang dijalankan pekebun swadaya, mulai dari budidaya hingga penjualan dan pengangkutan kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit. Keterlacakan hasil kelapa sawit dari pekebun swadaya menjadi jauh lebih jelas dan lebih mudah dimonitor ketika ia memasuki rantai pasok. Salah satu tahapan dari kajian ini adalah wawancara dengan para pihak perantara yang terlibat dalam perdagangan dan pengangkutan TBS dari lahan pekebun swadaya ke pabrik kelapa sawit.
Kajian ini dilakukan bersama dengan pemerintah kabupaten dan desa melalui beberapa tahapan berikut: 1. Pertemuan dengan kepala desa untuk mendiskusikan kajian dan mensosialisasikan proses pemetaan; 2. Mengidentifikasi pekebun swadaya di masingmasing desa; 3. Melakukan wawancara dengan pekebun swadaya yang telah menanam kelapa sawit dan memetakan kebun mereka; 4. Melakukan referensi spasial (geo-referencing) terhadap data dan menggunggahnya ke dalam sistem monitoring; 5. Melakukan wawancara terhadap para pihak perantara yang melakukan pembelian dari pekebun dan menjualnya kepada pihak yang memegang perintah pengiriman dari pabrik kelapa sawit; dan 6. Melakukan wawancara mendalam dengan beberapa pekebun terpilih, kepala desa, fasilitator lokal, dan beberapa responden lain yang relevan.
Kami menggunakan dua kuesioner terpisah dalam melakukan wawancara dan memetakan lahan pekebun swadaya. Kuesioner pertama terdiri dari survei komprehensif mengenai seluruh aspek budidaya kelapa sawit serta informasi sosial dan ekonomi dari masing-masing rumah tangga pekebun swadaya. Secara keseluruhan, 345 rumah tangga diwawancarai dengan menggunakan metode ini. Kuesioner kedua lebih singkat dan ditujukan untuk mengumpulkan data minimal untuk mensertifikasi pekebun swadaya berdasarkan standar-standar sertifikasi. Secara keseluruhan, 884 rumah tangga pekebun disurvei dengan menggunakan kuesioner kedua (Tabel 1 dan 2). Laporan ini menyajikan analisis data mengenai 1.229 pekebun yang dikumpulkan antara bulan Juli 2014 dan Desember
2015. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, kami melakukan survei terhadap 748 pekebun dari 8 desa yang mencakup wilayah seluas 1.671, 61 hektar Di Kabupaten Seruyan, kami melakukan survei terhadap 481 pekebun di 8 desa yang mencakup wilayah seluas 2.182, 75 hektar. Di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, jumlah pekebun kelapa sawit diperkirakan mencapai 12.436 dan 5.376 orang pada tahun 20136. Data para pekebun yang disajikan dalam laporan ini mewakili sekitar 6 persen dari keseluruhan populasi pekebun kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 9 persen di Kabupaten Seruyan.
Tabel 1: Total jumlah pekebun yang diwawancarai di Kabupaten Kotawaringin Barat berdasarkan desa Jumlah Responden yang diwawancarai
Populasi7
Bumiharjo
195
4.820
Pangkalan Tiga
208
2.907
Pangkalan Satu
117
2.124
Sei Bedaun
126
4.524
Sei Kapitan
90
5.387
Sei Sekonyer
7
489
Teluk Pulai
3
292
Sei Cabang
3
1.121
748
21.664
Desa
Total
Catatan : Profil pekebun swadaya di beberapa desa disajikan dalam Lampiran 1
Direktorat Jenderal Perkebunan 2014, Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 Kelapa Sawit, Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian. 7 Pusat Statistik, B. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Kumai 2015 (2015 ed., p. 3). Kumai, Kalimantan Tengah: BPS 6
9
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
Tabel 2: Total jumlah pekebun yang diwawancarai di Kabupaten Seruyan berdasarkan desa
10
Jumlah Responden yang diwawancarai
Populasi8
Bangkal
29
3.546
Tabiku
29
4.629
Telaga Pulang
24
1.622
Sembuluh II
51
2.113
Sembuluh I
73
5.776
Pembuang Hulu I
128
7.742
Pembuang Hulu II
67
5.665
Selunuk
80
3.746
TOTAL
481
34.839
Desa
Plot-plot kebun swadaya juga dipetakan. Plot-plot tersebut dipetakan sebelum atau sesudah survei dilakukan, tergantung pada waktu yang disetujui oleh pemilik lahan. Plot-plot tersebut dipetakan dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) genggam dengan pengambilan minimal empat titik untuk memetakan batas-batas plot tersebut. Kami memetakan keseluruhan plot kebun swadaya masyarakat, tidak hanya bagianbagian yang ditanami sawit. Titik-titik ini kemudian digunakan untuk menciptakan poligon batas-batas lahan dengan menggunakan piranti lunak bernama ArcMap. Kami turut menyajikan informasi yang dikumpulkan dari hasil wawancara terhadap 70 orang pekebun di Desa Pangkalan Tiga di Kotawaringin Barat yang dipilih berdasarkan kesiapan mereka untuk menjalani sertifikasi keberlanjutan. Para pekebun ini, yang sebelumnya merupakan pekebun plasma, secara umum lebih terorganisir dan telah menjalankan praktik-praktik budidaya yang baik dibandingkan pekebun di desa-desa lain. Para pekebun ini juga telah menerima lebih banyak bantuan teknis dan bantuan lainnya dibandingkan pekebun di desa-desa lain. Oleh karena itu, para pekebun ini diperlakukan sebagai studi kasus yang unik dan bukan sampel representatif dari pekebun swadaya di Kalimantan Tengah. 8
Kombinasi data sosial-ekonomi dan batas-batas kebun yang dikumpulkan tidak hanya difungsikan untuk tujuan penelitian, tetapi juga sebagai dasar implementasi kegiatan pemantauan terhadap produksi dan rantai pasok pekebun swadaya serta membantu mereka untuk memenuhi persyaratan sertifikasi. Selain kewajiban untuk menjalankan praktik-praktik pertanian yang baik, pekebun swadaya juga menghadapi dua hambatan signifikan untuk mendapatkan sertifikasi, yaitu memperoleh sertifikat kepemilikan lahan dan juga STD-B. Tujuan akhir dari pengumpulan data ini adalah untuk membantu pengembangan sebuah sistem pemantauan online sebagai basis data perkebunan yang komprehensif. Dengan data sosial-ekonomi yang telah digeo-referensikan, para pembuat kebijakan dapat mengetahui di mana pekebun swadaya berada, kepada siapa mereka menjual produknya, dan bantuan apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka. Dengan data biofisik, para pembuat kebijakan juga dapat memitigasi praktik-praktik budidaya yang dapat merusak lingkungan hidup dengan mengidentifikasi lokasi dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
Pusat Statistik, B. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Kumai 2015 (2015 ed., p. 3). Kumai, Kalimantan Tengah: BPS
Seluk beluk pekebun swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan
Pekebun swadaya di kedua kabupaten berbeda dalam hal etnisitas dan luas rata-rata kebun yang mereka kelola. Pekebun kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat (Tabel 3) didominasi oleh transmigran dari Jawa (87 persen) termasuk dari etnis Madura dan Sunda. Sisanya mencakup etnis Melayu (8 persen) dan masyarakat tradisional dari etnis Dayak atau Banjar. Di Kabupaten Seruyan, masyarakat pendatang beretnis Jawa hanya berjumlah 16 persen dari total pekebun yang disurvei, sementara masyarakat adat Dayak dan Banjar mencapai 81 persen. Terdapat korelasi antara etnis pemilik lahan dan luas rata-rata kebun mereka (Tabel 4). Pekebun transmigran di Kabupaten Kotawaringin Barat secara umum memiliki kebun yang lebih kecil dibandingkan dengan pekebun di Kabupaten Seruyan yang didominasi oleh masyarakat lokal. Luas ratarata kebun pekebun di Kabupaten Kotawaringin Barat adalah 2,23 hektar sementara di Kabupaten Seruyan mencapai 4,53 hektar.
11
Tabel 3: Pekebun swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan berdasarkan etnisitas Kotawaringin Barat Persentase (%)
Etnis
Seruyan Persentase (%)
Transmigran Jawa
76
16
Madura
8
N/A
Sunda
3
0,5
Lainnya
1
1
Masyarakat Adat & Lokal Melayu
8
0,5
Dayak
1
55
Banjar
1
26
Mendawai
1
N/A
Bugis
0
1
Tidak Menjawab
1
N/A
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
Tabel 4: Pekebun swadaya berdasarkan etnisitas di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan
12 Masyarakat Adat
Transmigran
37%
63%
12,69 (usia tanaman 4-10 tahun di Kotawaringin Barat)
15,8 (usia tanaman 4-10 tahun di Kotawaringin Barat) 16,5 (usia tanaman 4-10 tahun di Seruyan)
Populasi pekebun Produktivitas rata-rata (ton/ha/ tahun)
16,7 (usia tanaman 4-10 tahun di Seruyan) Bentuk tenurial lahan yang paling umum Luas rata-rata kebun sawit Tahun penanaman kelapa sawit Pendidikan
SSKTA atau Warisan
SHM
2-4 Ha
1-2 Ha
2010-2014
2008-2011
Sekolah Dasar (SD)
Umur (median) Keikutsertaan dalam kelompok tani
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
31-58
26-52
Tidak ada
34% Koperasi
Selain berbudidaya kelapa sawit pekebun di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Seruyan juga bekerja di sektor non-pertanian. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, hanya sebagian kecil dari pekebun kelapa sawit yang melaporkan bahwa mereka juga menanam karet (4,81 persen) ataupun karet beserta tanaman lain (6,55 persen). Di Kabupaten Seruyan, hanya sekitar 5,8 persen pekebun menanam komoditas lain selain kelapa sawit, yaitu padi dan karet. Baik di Kabupaten Seruyan maupun Kotawaringin Barat, setengah dari pekebun yang didata memiliki pekerjaan sampingan, termasuk sebagai karyawan perusahaan swasta, pegawai negeri sipil, atau pekerja semi-terlatih seperti pembuat batu bata. Produktivitas pekebun swadaya secara umum lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan perkebunan skala besar. Hasil panen perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar dapat mencapai 30 ton per hektar per tahun, terutama yang beroperasi di tanah mineral. Sementara itu, hasil produksi rata-rata para pekebun swadaya transmigran dan pekebun lokal di Kabupaten Kotawaringin Barat ketika pohon sawit berumur 4-10 tahun hanya 15,8 dan 12,69 ton per hektar per tahun. Pada periode yang sama, para pekebun swadaya di Kabupaten Seruyan dapat menghasilkan
16,7 ton per hektar per tahun. Produktivitas yang lebih tinggi ini bisa jadi disebabkan oleh kualitas benih yang lebih baik bagi para pekebun yang memulai kegiatan penanaman pada akhir tahun 2000-an dibandingkan dengan mereka yang mulai menanam di akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. Namun, produktivitas pekebun dalam di atas 10 tahun di Kabupaten Seruyan turun menjadi hanya 12,9 ton per hektar per tahun sementara secara umum produktivitas mereka seharusnya meningkat dalam periode ini. Jenis dan kualitas tanah tidak diperiksa dalam kajian ini. Meskipun demikian, temuan-temuan ini harus diperiksa dengan berhati-hati karena para pekebun yang didata terkadang menemui kesulitan dalam menjawab pertanyaan mengenai produktivitas kebun mereka. Nilai tengah (median) dari produktivitas pekebun swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Seruyan adalah sekitar 12 dan 11,3 ton per hektar per tahun dan sebagian besar dari mereka memanen tandan buah segar dua kali dalam satu bulan. Sebagian besar pekebun swadaya di kedua kabupaten mulai menanam kelapa sawit setelah tahun 2005. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, proses ini dimulai antara tahun 2007 dan 2013,
secara umum mencapai puncaknya pada tahun 2010 (Gambar 1). Di Kabupaten Seruyan, pekebun swadaya mulai menanam kelapa sawit antara tahun 2010 hingga 2015, secara umum mencapai puncaknya pada tahun 2012. Dibandingkan dengan
di Kabupaten Kotawaringin Barat, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seruyan relatif baru, yang berarti banyak kebun belum produktif pada saat survei dilakukan (Gambar 2).
Gambar 1: Tahun dimulainya penanaman kebun swadaya kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat
Jumlah Petani (orang) 160 140 120 100 80 60 40 20 0
<2000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: Survei pekebun swadaya 2014-2015
Gambar 2: Tahun dimulainya penanaman kebun swadaya kelapa sawit di Kabupaten Seruyan
Jumlah Petani (orang) 80 70 60 50 40 30 20 10 0
<2001 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Data pekebun swadaya 2014 - 2015
2012
2013
2014
2015
13
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
14
Tenurial lahan pekebun swadaya
Di Indonesia, pada umumnya pekebun swadaya tidak memiliki kepastian tenurial. Pekebun yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah akan mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman bank dan menghadapi tantangan yang berat untuk memperoleh sertifikat keberlanjutan. Sertifikat kepemilikan lahan (Sertifikat Hak Milik atau SHM) yang dipandang sebagai bukti kepemilikan lahan terkuat, dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional dan dapat digunakan sebagai jaminan untuk meminjam uang dari bank. Sebagai syarat mendapatkan Sertifikat Hak Milik, seorang pekebun harus memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dari lurah atau kepala desa. Alternatif dari SKT adalah Surat Pernyataan Tanah (SPT) yang juga dikeluarkan
oleh kepala desa. Camat harus menandatangani SKT atau SPT tersebut. Penerbitan SKT/SPT dicatat secara manual di dalam buku catatan tanah di tingkat desa. Di Kalimantan Tengah, pemerintah daerah telah memperkenalkan bentuk lain bukti kepemilikan lahan yang diakui, yakni Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) 9. SKTA dikeluarkan oleh Damang atau Mantir yang merupakan kepala lembaga adat lokal. Namun menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), SKTA tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik karena BPN hanya mengakui surat kepemilikan tanah yang ditandatangani oleh kepala desa dan bukan oleh Damang maupun Mantir.10
SKT Dasar klaim
Persyaratan
Bukti yang menunjukan bagaimana pemilik lahan mendapatkan tanah tersebut (bukti transaksi, misalnya pembelian lahan atau surat keterangan waris). • •
9 10
Hanya untuk tanah yang dimiliki secara individual; dan Luas tanah kurang dari 5 hektar.
SKTA Klaim tradisional atau klaim adat. Bukti transaksi tidak diperlukan. Klaim ini dapat dinyatakan secara oral melalui kisah sejarah penguasaan lahan dari waktu yang sangat lampau. • •
Dapat berupa tanah komunal maupun tanah yang dimiliki secara individual; dan Tidak ada batas luas wilayah.
SKTA diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 13/2009. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9/SE/VI/2013 mengenai Surat Keterangan Bekas Hak Milik Adat
SKT
SKTA
Kewenangan
Kepala Desa
Kepala Lembaga Adat Lokal (dikenal sebagai Damang/Mantir)
Proses
Melakukan inventarisasi, pengukuran, dan penetapan batas-batas lahan
Melakukan inventarisasi, pengukuran, dan penetapan batas-batas lahan
Manfaat
Setelah memiliki SKT, pekebun dapat mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM)
Dari hasil pemetaan dan wawancara sosial ekonomi, hanya beberapa pekebun yang mempunyai SHM. Beberapa pekebun menyatakan bahwa mereka enggan mengurus SHM karena dua alasan. Yang pertama, mereka menghindari implikasi pajak dari kepemilikan SHM. Setelah memiliki SHM, pekebun harus membayar pajak tanah dan pajak bumi dan bangunan. Yang kedua, pekebun tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar proses pengurusan SHM kecuali bila mereka melihat manfaat dalam memiliki sertifikat tersebut. Bentuk-bentuk bukti pengakuan kepemilikan tanah pekebun swadaya yang didata beragam baik di dalam maupun antar kabupaten. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, sekitar 60 persen pekebun
Setelah mendapatkan SKTA, pekebun dapat mengurus SKT jika tanah yang dimiliki secara pribadi tersebut berukuran kurang dari 5 hektar
memiliki surat kepemilikan tanah; sementara di Kabupaten Seruyan hanya 11 persen pekebun yang memiliki SHM (Tabel 5). Di Kabupaten Kotawaringin Barat, 27 persen pekebun memiliki SKT sementara 2 persen memiliki SKTA. Di Kabupaten Seruyan, sebanyak 32 persen pekebun melaporkan bahwa mereka memiliki SKT dan 48 persen memiliki SKTA. Angka-angka ini secara umum mencerminkan perbedaan antara pekebun transmigran dan pekebun masyarakat lokal di mana pekebun transmigran berkemungkinan lebih besar memiliki sertifikat tanah yang disediakan oleh pemerintah. Sebaliknya, pekebun lokal tidak melihat manfaat dari mengurus SHM karena alasan-alasan yang disebutkan di atas.
Tabel 5: Bukti kepemilikan tanah yang dimiliki pekebun swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan Kotawaringin Barat
Seruyan
SKT
27%
32%
SHM
60%
11%
SKTA
2%
48%
Lainnya
1%
1%
Tidak Menjawab
10%
8%
Rencana tata ruang menentukan penggunaan lahan yang diijinkan pada ruang tertentu di Indonesia. Secara umum, lahan dibagi menjadi kawasan hutan negara dan kawasan bukan hutan negara (lihat Kotak 1). Kawasan hutan negara diklasifikasikan lebih jauh menjadi kawasan hutan produksi, lindung, dan konservasi sementara kawasan bukan hutan negara disebut sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Penggunaan lahan untuk tujuan komersial hanya dapat dilakukan di kawasan hutan produksi, khususnya untuk produksi kayu, atau di APL untuk komoditas selain kayu. Klasifikasi hutan membawa
tantangan bagi pengelolaan penggunaan lahan di Indonesia. Meskipun ada kriteria yang seharusnya digunakan untuk mengklasifikasikan kawasan hutan, informasi tutupan lahan yang yang semestinya dapat diandalkan secara umum tidak tersedia atau sulit untuk diperiksa kebenarannya ketika proses klasifikasi dilaksanakan. Oleh karena itu, tingkat kesalahan dalam hal ini cukup signifikan. Akibatnya, beberapa wilayah yang diklasifikasikan sebagai hutan tidak memiliki tutupan hutan sementara hutan primer ditemukan di wilayah-wilayah yang diklasifikasikan sebagai bukan kawasan hutan.
15
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
16
Kotak 1. Klasifikasi hutan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999, tiga klasifikasi hutan Negara adalah produksi, hutan lindung, dan konservasi. •
Fungsi utama dari hutan produksi adalah untuk menghasilkan komoditas hutan, secara spesifik kayu. Sebagian hutan produksi diklasifikasikan sebagai hutan produksi untuk konversi, yang secara legal dapat dikonversi menjadi Area Penggunaan Lain untuk aktivitas-aktivitas non-kehutanan.
•
Hutan lindung menyediakan jasa lingkungan hidup, misalnya pengaturan hidrologis, pencegahan banjir, pengendalian erosi, pencegahan intrusi air laut, dan untuk mempertahankan kesuburan tanah.
•
Hutan konservasi mencakup taman nasional dan cagar alam, ditujukan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati.
•
Hutan produksi untuk konversi dapat dialokasikan untuk sejumlah aktivitas non-kehutanan, seperti infrastruktur dan jenis penggunaan lahan yang lain seperti pertanian, hutan tanaman, dan pertambangan.
•
Area Penggunaan Lain adalah wilayah-wilayah yang diklasifikasikan sebagai bukan hutan di mana aktivitas-aktivitas produktif dapat dilakukan dan dapat dimanfaatkan.
Setelah proses pemetaan, analisa spasial kemudian dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran mengenai lokasi di mana pekebun swadaya menanam kelapa sawit (Tabel 6). Di Kabupaten Kotawaringin Barat, sekitar 20,1 persen kebun swadaya berlokasi di wilayah konsesi perusahaan perkebunan. Berdasarkan rencana tata ruang yang baru, 16,01 persen kebun swadaya berlokasi di hutan produksi untuk konversi. Tidak ada kebun
yang ditemukan di hutan konservasi. Di Kabupaten Seruyan, 35,68 persen kebun swadaya ditemukan di dalam wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit, 8,41 persen kebun swadaya ditemukan di hutan produksi untuk konversi dan 20,85 persen di hutan produksi. Tidak ada pekebun swadaya yang ditemukan menanam kelapa sawit di hutan konservasi di Kabupaten Seruyan.
Tabel 6: Perkiraan lokasi kebun swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Seruyan (berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah 2015-2035)11 Kotawaringin Barat
Seruyan
Area (Ha)
Area (Ha)
460,9
1.127
1.398,85
1.107,04
Pekebun swadaya di hutan produksi untuk konversi
354,71
265,56
Pekebun swadaya di hutan produksi dan hutan produksi terbatas
-
658,65
Pekebun swadaya di hutan konservasi
-
-
Lokasi kebun swadaya Pekebun swadaya di wilayah konsesi besar Pekebun swadaya di wilayah yang ditetapkan sebagai Area Penggunaan Lain
11
Central Kalimantan Provincial Spatial Plan 2015-2035 (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015-2035)
Pengaturan Kelembagaan: organisasi pekebun
Organisasi petani atau pekebun memberikan kesempatan bagi pekebun untuk mengorganisasi diri dan meningkatkan posisi tawar menawar serta akses mereka terhadap input pertanian dan bantuan teknis. Organisasi petani atau pekebun biasanya berdiri sendiri terlepas dari kelembagaan lain di tingkat desa, misalnya Badan Usaha Milik Desa. Di dua kabupaten yang disurvei, terdapat tiga jenis organisasi tani utama: kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi. Kelompok tani biasanya merupakan gabungan petani atau pekebun baik bersifat informal maupun legal. Kelompok tani biasanya merupakan jenis organisasi pekebun terkecil. Gabungan Kelompok Tani atau Gapoktan adalah organisasi dengan payung hukum yang terdiri dari sekitar lima kelompok tani. Koperasi adalah badan legal yang lebih besar dengan fungsi bisnis yang menyediakan berbagai manfaat bagi para anggotanya. Baik kelompok tani maupun gabungan kelompok tani dapat menjadi anggota dari koperasi. Salah satu manfaat bergabung dengan kelompok tani atau koperasi adalah akses terhadap pupuk dan input pertanian lain dengan harga lebih murah dan akses terhadap bantuan dan pinjaman dari pemerintah. Dalam aturan yang mengatur kegiatan koperasi menyatakan bahwa pekebun harus menjadi anggota selama periode paling singkat tiga bulan dan bahwa keuntungan serta bunga harus dibagi rata. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hanya sekitar 3,1 persen pekebun kelapa sawit swadaya bergabung dengan kelompok tani di Kabupaten Kotawaringin Barat. Kecenderungan yang sama juga terjadi di Kabupaten Seruyan, di mana hanya 1,7
persen pekebun yang disurvei merupakan anggota koperasi atau kelompok tani. Namun pekebun yang menyatakan berogranisasi dalam kelembagaan tertentu pada umumnya keanggotaannya tidak berkaitan langsung dengan budidaya kelapa sawit swadaya, melainkan terkait dengan berbagai aktivitas pertanian lainnya seperti budidaya tanaman pangan atau kebun plasma juga yang dimiliki oleh pekebun swadaya tersebut. Pekebun melaporkan bahwa hambatan utama bagi mereka untuk bergabung dengan koperasi atau kelompok tani adalah sebagai berikut: •
Terbatasnya pengetahuan tentang manfaat dan cara kerja koperasi; dan
•
Tata kelola dan administrasi koperasi. Terbatasnya pengetahuan dan keterampilan berorganisasi.
Untuk menyajikan lebih banyak informasi mengenai organisasi pekebun yang disebutkan di atas, kami mengangkat kasus Desa Pangkalan Tiga. Pangkalan Tiga yang berlokasi di Kecamatan Pangkalan Lada, Kabupaten Kotawaringin Barat, adalah desa transmigran di mana masyarakat adat hanya berjumlah kurang dari 4 persen dari total populasi. Desa ini adalah tempat di mana salah satu koperasi terbaik di Indonesia berada dan telah menghasilkan berbagai inovasi, termasuk integrasi peternakan sapi dan perkebunan kelapa sawit. Terdapat tiga organisasi tani di Desa Pangkalan Tiga, yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) Tani Subur, Koperasi Berkat Maju Bersama, dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Ketiga organisasi tani ini didirikan untuk pekebun plasma. Gapoktan pada awalnya
17
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
18
didirikan untuk budidaya tanaman pangan, namun kemudian diubah menjadi untuk kegiatan budidaya kelapa sawit. Meskipun demikian, dalam praktiknya Gapoktan tersebut masih terdaftar sebagai organisasi untuk penghasil tanaman pangan. Akibatnya, praktik-praktik yang diuraikan di bawah ini hanya merujuk pada anggota kedua koperasi tersebut di atas atau untuk pekebun plasma. Meskipun pekebun plasma juga memiliki plot kebun swadaya, cara budidaya mereka berbeda di plot-plot swadaya tersebut. Koperasi Unit Desa Tani Subur Koperasi Unit Desa (KUD) Tani Subur didirikan pada tahun 1984, awalnya didirikan untuk memasarkan komoditas pala. Sejak tahun 1996, fungsi koperasi ini beralih menjadi untuk mengorganisasi 547 pekebun plasma kelapa sawit yang terikat dengan perkebunan kelapa sawit Medco di mana masingmasing pekebun memiliki 2 hektar kebun kelapa sawit. Saat ini, koperasi ini memiliki 803 anggota dalam kurun waktu 18 tahun dan penanaman kembali dijadwalkan dilakukan pada tahun 2022. Untuk registrasi anggota, biaya anggota perbulannya adalah Rp 5000,- dan setiap anggota dikenai Rp 6,5 per kilogram TBS yang diangkut ke pabrik kelapa sawit. Koperasi ini juga mengambil sekian persen dari penjualan TBS untuk membantu tabungan pekebun untuk biaya peremajaan. Koperasi ini merupakan salah satu koperasi terbaik di Indonesia dan merupakan koperasi induk dari delapan koperasi di desa-desa sekitarnya.Sekitar 200 orang bekerja di perkebunan kelapa sawit milik koperasi tersebut. Para pemanen yang dipekerjakan biasanya berasal dari luar desa karena pekebun desa tersebut
biasanya sudah berusia lanjut dan secara fisik sulit untuk melakukan pemanenan sendiri. Sementara mereka yang terlibat dalam pemeliharaan kebun biasanya adalah anggota koperasi. Dalam hal ini para pekerja tidak memiliki kontrak dan dibayar harian. Seluruh TBS yang dihasilkan koperasi ini dijual ke beberapa pabrik kelapa sawit yang tergabung dalam dua kelompok besar: Astra Agro Lestari dan Citra Borneo Indah (lihat Kotak 3). Sementara harga yang dibayar oleh pabrik kelapa sawit didasarkan pada harga Indeks K (lihat Kotak 2). Indeks K dikeluarkan oleh gubernur berdasarkan saran dari kepala dinas perkebunan provinsi dan ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Pabrik kelapa sawit melakukan pembayaran untuk TBS satu bulan setelah TBS tersebut diterima. Tandan buah segar tersebut sampai di pabrik kelapa sawit dalam kurun waktu 24 jam setelah dipanen. Tandan buah yang kosong kemudian dibawa kembali ke koperasi sebelum dibuat kompos dan digunakan untuk menyuburkan kebun kelapa sawit. Pekebun dikenai biaya untuk pengangkutan dan biaya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengangkut tandan buah yang kosong tersebut. Koperasi membayar para anggotanya secara tunai untuk TBS yang mereka hasilkan melalui kepala kelompok tani. Bukti pembayaran disimpan di koperasi dan dapat digandakan oleh pekebun jika diperlukan. Para pekebun telah membayar pinjaman mereka pada tahun 2010, namun seluruh surat kepemilikan lahan mereka masih ditahan oleh PT Medco. KUD Tani Subur memiliki proyek peternakan sapi di mana sapi-sapi tersebut mengkonsumsi limbah kebun masyarakat. Sementara kotoran sapi yang dihasilkan digunakan sebagai pupuk organik kebun kelapa sawit dan sapi-
Kotak 2. Index K12 K= K Htbs Hms Rms His Ris
12
Htbs (Hms x Rms) + (His x Ris)
x 100%
= Indeks K > Proporsi antara pekebun dan pabrik kelapa sawit = Nilai TBS di pabrik kelapa sawit = Nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak sawit kasar (harga FOB bersih) = Rendemen minyak sawit kasar = Nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal inti sawit = Rendemen inti sawit
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 395/Kpts/OT. 140/11/2005
sapi tersebut juga dikonsumsi dagingnya. Saat ini, sapi-sapi tersebut dipelihara di dua wilayah yang tertutup. Proyek ini bertujuan untuk menghasilkan lebih banyak sapi untuk dibagikan ke lebih banyak anggota koperasi dan agar sapi-sapi tersebut bisa digembalakan langsung di dalam perkebunan sawit. Koperasi ini memenangkan penghargaan untuk proyek ini, yang menjadi contoh dari inisiatif peternakan yang berhasil. KUD Tani Subur juga tengah juga mengembangkan kolam untuk beternak ikan.
Koperasi Berkat Maju Bersama Koperasi Berkat Maju Bersama didirikan pada tahun 2006 setelah memisahkan diri dari KUD Tani Subur. Awalnya, koperasi ini mewakili enam kelompok pekebun kelapa sawit dengan luas perkebunan sebesar 224 hektar dan 119 anggota, namun saat ini 10 persen lahan perkebunan anggotanya ditanami karet. Seluruh anggota telah membayar lunas pinjaman mereka kepada Medco, namun surat kepemilikan lahan mereka masih ditahan oleh perusahaan tersebut. Koperasi ini juga menyediakan layanan simpan pinjam serta mengelola perkebunan para anggotanya. Biaya anggota bulanannya adalah Rp 10.000,- dan para anggota harus membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 50.000,-. Dalam pembagian keuntungan, koperasi ini mengambil 0,5 persen dari hasil penjualan TBS untuk menutupi biaya pengangkutan. Sebagian besar pekebun plasma yang tergabung dalam koperasi ini berusia 19 tahun dan penanaman kembali dijadwalkan pada tahun 2021. Sejak dua tahun yang lalu, para anggota berhasil menabung Rp 200.000,- per bulan untuk biaya penanaman kembali. Koperasi ini mempekerjakan 24 orang untuk memanen secara berpasangan. Terdapat pula 25 pekerja yang bertugas memelihara perkebunan, dua orang supir dan dua pekerja untuk memasukkan tandan buah segar ke dalam truk. Sebagian besar pekerja tersebut bekerja di perusahaan Astra sebelum bekerja untuk koperasi tersebut. Tandan buah segar yang dihasilkan juga dijual ke PT Sabut Mas Abadi dengan persyaratan yang sama dengan KUD Tani Subur. Tandan buah segar sampai di pabrik kelapa sawit dalam kurun waktu 24 jam dan TBS yang telah kosong dibawa kembali ke koperasi untuk digunakan sebagai pupuk alami di kebun masyarakat. Biaya untuk mengembalikan TBS yang telah kosong dari pabrik kelapa sawit ke perkebunan pekebun adalah Rp 180.000. Koperasi ini memiliki dua buah truk untuk mengangkut TBS ke pabrik kelapa sawit.
Gabungan Kelompok Tani Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah organisasi petani yang paling baru didirikan. Organisasi ini terdiri dari 12 kelompok tani dan telah diakui secara resmi oleh Dinas Pertanian setempat. Beberapa anggota Gapoktan juga merupakan anggota KUD Tani Subur dan Koperasi Berkat Maju Bersama untuk pengelolaan perkebunan eks-plasma mereka. Gapoktan telah menerima dana dari Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan atau PUAP dari Kementerian Pertanian. Dari dana ini, Rp 100 juta rupiah digunakan untuk mengembangkan program simpan pinjam yang asetnya saat ini berkisar Rp 320 juta rupiah. Gapoktan tidak terlibat dalam perdagangan atau penjualan produk kelapa swit anggotanya. Dengan melihat ketiga organisasi ini, kita dapat melihat bahwa peran organisasi pekebun secara umum adalah untuk: •
Mengorganisasikan pekebun dan menstandardisasi praktik-praktik budidaya (melalui pelatihan dan penetapan standar teknik budidaya bagi para pekerja) yang dijalankan di perkebunan mereka selama periode sebelum pemanenan, pada saat pemanenan, dan setelah pemanenan. Para pekerja dilatih oleh anggota koperasi untuk menjalankan praktik-praktik pertanian yang baik dan diharapkan untuk menerapkan teknik pertanian yang mengacu pada standar tersebut ketika bekerja di perkebunan milik anggota koperasi.
•
Mengorganisasikan penjualan TBS ke pabrik kelapa sawit. Koperasi memiliki perintah pengiriman dari pabrik kelapa sawit dan dapat memperoleh harga yang lebih tinggi untuk TBS karena mereka dapat menghilangkan pihak perantara (pengepul) dari rantai pasok.
•
Menyediakan input pertanian dan peluang bagi pekebun untuk ikut serta dalam skema-skema inovatif seperti proyek sapi dan kelapa sawit terpadu. Koperasi dapat mendatangkan pupuk dari distributor perusahaan dan memperoleh benih dari perusahaan dan para pengepul. Anggota koperasi biasanya lebih mempercayai input pertanian yang disediakan oleh koperasi dibandingkan yang disediakan oleh pengepul.
19
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
20
Praktik-Praktik Budidaya
Di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, praktik-praktik budidaya yang dijalankan oleh pekebun lokal dan masyarakat adat berbeda dengan yang dijalankan oleh pekebun transmigran. Pekebun transmigran pada umunya lebih terorganisasi karena pernah mendapatkan pengetahuan berbudidaya dari keterlibatan aktif mereka di dalam organisasi atau koperasi. Selain itu, mereka juga seringkali merupakan bekas anggota pekebun plasma kelapa sawit yang kemudian mendirikan plot kebun mereka sendiri terlepas dari ikatan dengan perusahaan perkebunan. Dengan demikian, mereka mendapatkan keterampilan bercocok tanam tambahan ketika menjadi pekebun plasma. Melalui koperasi, pekebun transmigran juga mendapatkan akses terhadap input-input pertanian, termasuk benih yang bersertifikasi dan pestisida serta pupuk anorganik yang disubsidi seperti urea. Para pekebun ini juga menggunakan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Pekebun transmigrasi membuka lahan secara manual. Sebaliknya, pekebun lokal biasanya tidak terorganisasi dengan baik. Dalam kasus Desa Umpang di Kabupaten Kotawaringin Barat, pekebun masyarakat adat mempelajari budidaya kelapa sawit dengan meniru praktik-praktik yang dijalankan perusahaan dan melalui coba-coba (trial and error). Dikarenakan lahan di Desa Umpang biasanya merupakan hutan atau sawah sebelum dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan ekskavator. Bagi mereka yang tidak mampu menyewa alat berat, lahan dibuka dengan
cara membakar. Secara umum, pekebun membeli material tanaman kelapa sawit dari perusahaan yang tidak bisa digunaan oleh perusahaan perkebunan tersebut karena kualitas yang rendah. Selain itu, para pekebun seringkali mengambil anakan liar pohon kelapa sawit yang sering disebut sebagai Volunteer Oil Palm Seedling (VOPS) dari wilayah perkebunan besar, yang biasanya dibuang oleh perusahaan, dan menanamnya di kebun mereka sendiri. Untuk pupuk, pembelian jenis pupuk anorganik dibeli dari agen pupuk yang berlokasi di Kota Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. Pekebun transmigran secara rutin memelihara kebun mereka dengan memberi pupuk dan memangkas pelepah kelapa sawit untuk memastikan produktivitas yang baik. Hama dan penyakit tanaman juga dimonitor secara rutin setiap kali pekebun mengunjungi kebun. Ketika ada wabah penyakit, bagian-bagian yang terinfeksi dipotong dan tanaman tersebut disemprot dengan menggunakan pestisida atau fungisida. Sebaliknya, pekebun dari masyarakat lokal tidak sering mengunjungi dan merawat kebun mereka. Setelah menanam benih, tanaman sawit justru ditinggalkan hingga siap dipanen. Para pekebun dari masyarakat lokal biasanya tidak memberi pupuk karena pupuk anorganik dipandang sebagai investasi yang mahal. Mereka juga tidak melakukan pengelolaan hama dan penyakit serta tidak memangkas pelepah kelapa sawit. Oleh karena itu, produktivitas pekebun masyarakat lokal lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas pekebun transmigran.
21
Akses terhadap input pertanian dan pelatihan
Secara umum, pekebun melaporkan bahwa mereka kesulitan mendapatkan akses terhadap input pertanian. Saat ini, sebagian besar pekebun di Kabupaten Kotawaringin Barat menggunakan benih yang mereka semai sendiri (22 persen), sedangkan yang lain (16 persen) mendapatkan benih dari pengepul yang membeli tandan buah segar mereka (Tabel 7). Sumber input pertanian lain pekebun swadaya di Kotawaringin Barat adalah dari pemerintah (9,6 persen), perusahaan perkebunan (9,22 persen), serta koperasi dan kelompok tani (0,8 persen). Sisanya melaporkan bahwa mereka mendapatkan input pertanian dari tetangga dan teman (21,6 persen) dan dari desa-desa lain (7,2
persen). Sekitar 13,6 persen responden tidak menjawab dari mana mereka mendapatkan input pertanian mereka. Dalam kasus Kabupaten Seruyan, sebagian besar pekebun mendapatkan bahan-bahan pertanian dari menanam benih liar (64,2 persen), perusahaan perkebunan (26,2 persen), teman, tetangga, atau kerabat (6,1 persen) atau pemerintah, koperasi dan kelompok tani (0,9 persen). Para pengepul melaporkan bahwa mereka membeli benih berusia satu tahun dari Medan atau dari persemaian PT Asian Agri. Hanya ada sedikit pekebun yang memiliki kejelasan dan jaminan mengenai sumber dan varietas dari benih yang mereka beli.
Tabel 7: Sumber Benih Kelapa Sawit di Kotawaringin Barat dan Seruyan
Sumber
Kotawaringin Barat Persentase (%)
Seruyan Persentase (%)
Pengepul
16
-
Benih liar
22
64,2
Perusahaan/Pabrik Kelapa Sawit
9,2
26,2
Dinas Perkebunan (Kalimantan Tengah)
9,6
-
Teman, tetangga, dan kerabat
21,6
6,1
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
22
Kotawaringin Barat Persentase (%)
Seruyan Persentase (%)
Koperasi, Kelompok Tani, dan Toko Pertanian
0,8
0,9
Desa/kota/pulau lain
7,2
1,4
Tidak menjawab/tidak tahu
13,6
1,2
Sumber
Untuk pupuk, sebagian besar pekebun di Kotawaringin Barat membeli pasokan mereka dari pengepul atau toko perlengkapan pertanian (Tabel 8). Hanya sekitar 7,6 persen pekebun melaporkan membeli pupuk dari koperasi di mana mereka menjadi anggota atau dari koperasi lain
yang menjual input pertanian untuk masyarakat umum. Dalam kasus Seruyan, sebagian besar pekebun membeli pupuk dari pengepul (35,9 persen), perusahaan perkebunan atau pemerintah (0,4 persen), kelompok tani (5,8 persen) dan toko perlengkapan pertanian (26,8 persen).
Tabel 8: Sumber Pupuk di Kotawaringin Barat dan Seruyan Sumber
Kotawaringin Barat Persentase (%)
Seruyan Persentase (%)
Pengepul
48,3
35,9
Toko/Kios Perlengkapan Pertanian
18,8
26,8
Kelompok Tani
8,5
5,8
Di luar desa
7,6
9,9
Koperasi
7,4
-
Perusahaan/Pemerintah
1,4
0,4
Tidak menjawab
6,8
21,2
Lainnya
1,2
-
Terkait dengan informasi dan pelatihan praktik praktik budidaya kelapa sawit hanya sekitar 15 pekebun (seluruhnya transmigran) melaporkan bahwa mereka pernah menerima semacam pelatihan budidaya kelapa sawit yang diadakan oleh dinas perkebunan, penyuluh pertanian, ataupun di tingkat desa. Meskipun demikian, hanya 20 orang pekebun menyatakan bahwa mereka dapat membedakan varietas benih kelapa sawit dan mana yang produktif atau kurang produktif. Selanjutnya, hanya 13 orang pekebun melaporkan memiliki akses terhadap informasi mengenai budidaya kelapa sawit dari penyuluh pertanian, pekebun lain, atau kerabat mereka.
Untuk akses keuangan, di Kotawaringin Barat, hanya13,8 persen pekebun memiliki tabungan di bank dan 7,7 persen memiliki akses terhadap pinjaman bank. Sebagian besar pekebun yang mendapatkan pinjaman bank dengan menyerahkan SKT mereka sebagai jaminan. Tiga bank utama yang disebutkan oleh para responden adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Mega. Di Kabupaten Seruyan, tidak ada pekebun yang melaporkan bahwa mereka memiliki akses terhadap bank atau pinjaman bank.
23
Struktur Perdagangan
Dalam studi ini, pekebun swadaya jarang sekali menjual langsung TBS ke pabrik kelapa sawit (Tabel 9). Biasanya, pekebun menjual TBS ke pihak perantara yang dikenal sebagai pengepul (arti kata asalnya adalah pengumpul) atau pedagang. Pengepul seringkali menyediakan bantuan seperti pupuk kepada pekebun maupun pinjaman yang biasanya tidak bisa didapatkan pekebun dari sumber lain. Seorang pengepul bisa jadi memiliki atau tidak memiliki perjanjian langsung dengan pabrik kelapa sawit (yang sering disebut sebagai pemilik Perintah Pengiriman atau Delivery Order). Nama-nama pemilik Perintah Pengiriman ini digunakan untuk memastikan keabsahan mereka ketika mengangkut TBS ke pabrik kelapa sawit. Pengepul membeli buah yang telah dipanen langsung dari pekebun dan mengangkutnya langsung ke pabrik kelapa sawit. Para pemilik perintah pengiriman biasanya
merupakan kerabat dekat dari pemilik pabrik kelapa sawit yang mengeluarkan surat jalan kepada para pengepul. Meskipun proporsi pekebun yang melaporkan bahwa mereka menjual TBS mereka secara langsung ke pabrik kelapa sawit lebih tinggi di Kabupaten Seruyan, hal ini kemungkinan terjadi karena mereka tidak mamahami pertanyaan survei. Setelah memasukkan data tahun 2016, hanya kurang dari 10 persen pekebun melaporkan bahwa mereka menjual tandan buah segar mereka langsung ke pabrik kelapa sawit. Pekebun pada umumnya harus membuat pengaturan mereka sendiri untuk dapat menjual TBS langsung ke pabrik kelapa sawit. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, jumlah pengepul yang lebih banyak berarti pekebun lebih leluasa dalam memilih perjanjian perdagangan yang menguntungkan bagi mereka.
Tabel 9: Rantai pasok tandan buah segar dari pekebun ke pabrik kelapa sawit Kotawaringin Barat Persentase (%)
Seruyan Persentase (%)
Pengepul
92,8
72
Pabrik kelapa sawit
4,3
27
Koperasi/BUMDES
2,7
1
Tidak menjawab
0,2
0
Pembeli TBS
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
24
Di Kotawaringin Barat dan Seruyan, sekitar 92,8 dan 72 persen dari pekebun kelapa sawit melaporkan menjual TBS mereka ke pengepul (Tabel 9). Hanya beberapa pekebun yang menjual TBS mereka melalui koperasi atau badan usaha milik desa. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, hanya 2,7 persen pekebun menjual tandan buah mereka melalui pihak-pihak tersebut sementara di Seruyan, jumlahnya hanya 1 persen. Hanya dua orang pekebun yang diwawancarai memiliki semacam kontrak dengan pengepul. Di dalam kontrak tersebut, disebutkan bahwa pengepul tersebut akan mengambil 15 persen dari hasil panen. Sebagian besar pekebun, meskipun demikian, tidak menyebutkan memiliki kontrak khusus. Walaupun sebagian besar pekebun menjual ke satu pengepul saja, 27 orang pekebun melaporkan memiliki pembeli alternatif. Secara umum, pada awalnya seorang pekebun mencoba menjual TBS ke beberapa pengepul sebelum menemukan satu orang yang cocok. Setelah menemukan pengepul yang cocok, kemungkinan mereka untuk berganti pembeli sangat kecil. Disisi lain, hubungan pribadi memainkan peran penting di
kalangan pekebun ketika memilih pengepul untuk membeli produk mereka. Dalam beberapa kasus, hubungan pribadi dianggap lebih penting daripada harga atau lokasi. Sebagai contoh, salah seorang pekebun swadaya yang diwawancara di Pangkalan Tiga menjual tandan buah segarnya ke seorang pengepul di desa lain karena ia mengenalnya secara pribadi meskipun ia harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengangkut tandan buah segar tersebut. Dari wawancara yang dilakukan dengan pengepul, dilaporkan bahwa tidak ada peraturan tertentu yang mengatur perdagangan tandan buah segar kecuali bagi pekebun plasma yang memiliki prosedur operasi standar (SOP) di dalam koperasi mereka. Ada peraturan-peraturan lain untuk mengangkut atau menjual tandan buah segar ke pulau-pulau lain di Indonesia. Berdasarkan peraturan pmerintah tersebut, hanya 20 persen bahan mentah yang diperlukan untuk pabrik kelapa sawit harus dipasok oleh perkebunannya sendiri. Sisanya harus didapatkan dari pekebun yang berada di sekitar pabrik kelapa sawit tersebut.
Kotak 3: Rantai Pasok di Pangkalan Tiga Di Pangkalan Tiga, terdapat empat pengepul dan satu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang membeli tandan buah segar dari kebun pekebun swadaya. BUMDes tersebut didirikan pada bulan Desember 2015 untuk memasarkan produk-produk pekebun swadaya yang menanam kelapa sawit. Saat ini, BUMDes tersebut menjual sekitar 15 persen dari tandan buah segar yang dipanen. Organisasi tersebut masih berusia sangat muda dan lebih berfokus pada penjualan buah yang telah dipanen dibanding menyediakan layanan bagi para anggotanya. Struktur kelembagaannya masih tidak jelas dan bergantung pada kepala desa. BUMDes hanya memiliki kontrak dengan PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi (PT GSIP). Pekebun swadaya seringkali memanen buah yang belum matang sehingga tidak memenuhi standar penilaian PT GSIP. Agar tidak harus membawa kembali buah yang belum matang tersebut, BUMDes menjualnya ke pengepul-pengepul lain. Empat pengepul tersebut, Parnu, Suwarno, Giarto, dan Budi, mengendalikan 85 persen perdagangan TBS di Pangkalan Tiga. Para pengepul tersebut saat ini memiliki surat perjanjian kerja (SPK) dengan pabrik kelapa sawit di bawah ini atau menjualnya melalui pengepul-pengepul lain ke pabrik –pabrik tersebut: • PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi (GSIP) - Astra Agro Lestari • PT Gunung Sejahtera Puti Pesona (GSSP) – Astra Agro Lestari • PT Citra Borneo Indah (CBI) Parnu memiliki surat perjanjian kerja dengan ketiga pabrik kelapa sawit di atas, namun lebih memilih untuk menjual kepada PT GSIP dan PT GSSP karena sistem grading mereka lebih menguntungkan dibandingkan dengan PT CBI. Perjanjian kerja dengan Astra mencakup volume minimal yang harus dipenuhi, namun dengan PT CBI tidak ada volume tertentu yang dicantumkan dalam surat perjanjian kerjanya. Parnu juga pernah menjual ke PT Surya Sawit Sejati (United Plantations). Suwarno, Giarto, dan Budi menjual ke PT GSIP dan GSSP dengan menggunakan surat perjanjian kerja (SPK) milik pengepul-pengepul lain. Harga yang dibayar oleh seorang pengepul biasanya mencakup biaya transportasi. Pekebun, termasuk anggota koperasi, lebih sering menjual kepada pengepul dibandingkan BUMDes karena mereka seringkali memiliki hubungan pribadi dengan mereka. Peta pekebun swadaya yang menjual ke pengepul disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3: Rantai pasok tandan buah segar: pekebun ke pabrik kelapa sawit
25 LOKASI PEKEBUN DAN PENGEPUL DI DESA PANGKALAN TIGA KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT KALIMANTAN TENGAH
Meskipun koperasi membantu menstrukturisasi praktik pertanian para anggotanya dan menyewa tenaga kerja, kesepakatan-kesepakatan yang melibatkan TBS lebih sering dilakukan berdasarkan hubungan pribadi di antara pengepul dan pekebun. Hanya sebagian kecil TBS yang dipanen (15 persen) dijual melalui koperasi formal. Ada dua penjelasan mengenai hal ini. Yang pertama, karena BUMDes adalah organisasi baru, pekebun tidak melihat manfaat berganti pembeli tandan buah segar mereka. Yang kedua, pekebun memiliki hubungan
yang saling menguntungkan dengan pengepul yang juga menyediakan bantuan tambahan seperti menyediakan input pertanian atau pinjaman. Hubungan –dengan penekanan pada rasa saling percaya –merupakan faktor penentu utama bagi pekebun dalam memilih kepada siapa mereka akan menjual tandan buah segar mereka. Pengepul yang memiliki Perintah Pengiriman lebih mungkin membeli tandan buah segar dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki Perintah Pengiriman dari pabrik kelapa sawit.
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
26
Diskusi dan Rekomendasi
Bagian ini membahas secara ringkas berbagai tantangan yang dihadapi pekebun swadaya dan menawarkan saran untuk mengatasi tantangantantangan tersebut. Disampaikan pula dalam bagian ini inovasi-inovasi yang telah ataupun mungkin untuk dijalankan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk membantu pekebun swadaya dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan pekebun swadaya dan meningkatkan keterlacakan rantai pasok kelapa sawit juga dibahas di sini. Profil pekebun di kedua kabupaten sangat berbeda dalam hal etnisitas mereka yang secara umum dapat didikotomikan sebagai pekebun dari masyarakat lokal dan pekebun dari masyarakat transmigran. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan, ada pula kesamaan-kesamaan yang mempengaruhi tingkat produktivitas kelompok-kelompok ini dan pada selanjutnya berdampak terhadap kesejahteraan rumah tangga mereka. Satu kesamaan di antara semua kelompok pekebun di kedua kabupaten adalah tingkat informalitas mereka, termasuk dalam hal akses terhadap pasar dan input pertanian. Pekebun eks-plasma biasanya memiliki akses yang lebih baik ke pabrik kelapa sawit, kelompok tani, dan input pertanian, serta menjalankan praktik-praktik pertanian yang lebih baik dibandingkan pekebun yang sepenuhnya swadaya. Di tengah kurangnya mekanisme pemerintah untuk mendukung pekebun swadaya, mereka harus melakukan negosiasi mengenai persyaratan kelembagaan mereka sendiri.
Legalitas : Surat Kepemilikan dan Pendaftaran Tanah Legalitas adalah salah satu persyaratan terpenting bagi pekebun swadaya untuk berpartisipasi secara formal dalam rantai pasok kelapa sawit. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pekebun harus memiliki bukti kepemilikan lahan. Tidak semua pekebun memandang perlu mendapatkan sertifikat hak milik karena mereka menganggap SKT dan SKTA telah cukup memadai. Di Kotawaringin Barat, sebagian besar pekebun swadaya adalah transmigran. Karena transmigrasi adalah skema yang disponsori pemerintah, wilayah yang diberikan kepada mereka adalah sesuai dengan wilayah yang diklasifikasikan berdasarkan penggunaan ruang yang sudah direncanakan. Para pekebun ini juga lebih mungkin memiliki sertifikat resmi. Sebaliknya, di Kabupaten Seruyan, pekebun didominasi oleh masyarakat adat yang mendapatkan tanah mereka melalui warisan atau klaim adat yang diakui dalam surat keterangan tanah adat (SKTA). Klaim atas tanah pekebun dari masyarakat adat secara umum telah ada sebelum proses klasifikasi ruang formal yang dilakukan oleh pemerintah dan alokasi ijin konsesi kelapa sawit perusahaan perkebunan komersial. Lokasi kebun pekebun swadaya menentukan status legalitas mereka dan dapat mempengaruhi keberlanjutan produksi. Berdasarkan UndangUndang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan, produkproduk pertanian yang berasal dari wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara dinyatakan ilegal. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, sebagian besar pekebun memiliki kebun di wilayah-wilayah yang diklasifikasikan sebagai Area Penggunaan Lain. Hanya sedikit kebun mereka berlokasi di wilayah yang diklasifikasikan sebagai hutan produksi untuk konversi atau wilayah konsesi perusahaan. Sebaliknya, hanya 36 persen kebun swadaya di Kabupaten Seruyan berlokasi di Area Penggunaan Lain dan sisanya berada di wilayah konsesi perusahaan dan hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi untuk konversi. Angka-angka ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa pekebun swadaya melakukan perambahan ke wilayah konsesi atau kawasan hutan negara. Angka-angka ini secara umum justru menunjukkan permasalahan terkait sistem klasifikasi lahan dan proses perizinan untuk konsesi skala besar.
Beberapa masalah utama yang menghambat pemerintah daerah dalam mengeluarkan STD-B adalah terkait dengan kapasitas mereka, termasuk terbatasnya pemahaman, kurangnya keterampilan, dan kurangnya personil. Di beberapa kabupaten, pemerintah daerah menyerahkan peran mengeluarkan STD-B ke pemerintah kecamatan yang kemudian malah mengenakan biaya yang signifikan untuk mengeluarkan STD-B. Padahal, seharusnya proses pendaftaran ini bebas dari biaya. INOBU telah membantu pemerintah daerah untuk mengatasi sejumlah hambatan ini, termasuk dengan melakukan pemetaan terhadap plot-plot pekebun swadaya, membantu penyusunan instruksi Bupati untuk memastikan bahwa proses STD-B bebas dari biaya, dan memfasilitasi peningkatan pengetahuan pemerintah daerah dengan berbagi pengalaman dari kabupaten-kabupaten lain.
Keberadaan surat tanah maupun surat tanda daftar budidaya adalah persyaratan penting Bagi pekebun swadaya yang beroperasi di kawasan untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan, hutan, ada kemungkinan untuk mengeluarkan kebun termasuk RSPO dan ISPO. Memetakan lahan mereka dari kawasan hutan negara melalui sebuah pekebun swadaya adalah langkah pertama yang proses bernama Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, diperlukan untuk memastikan legalitas mereka, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T). Dasar yang kemudian dapat digunakan dalam untuk hukum IP4T adalah peraturan menteri bersama memastikan keterlacakan rantai pasok kelapa sawit (Perber) yang ditandatangani oleh Kementerian yang berkelanjutan. Meskipun pemetaan pekebun Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan swadaya membutuhkan investasi finansial yang Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Dalam signifikan, beberapa perusahaan swasta telah Negeri, dan Kementerian Pekerjaan Umum. Tujuan menyatakan ketertarikan mereka untuk mendukung dari program ini adalah untuk menyediakan peta proses ini. Di Kabupaten Seruyan dan Kabupaten non-kadastral dan penerbitan surat pengakuan Kotawaringin Barat, pemerintah kabupaten telah kepemilikan lahan13. Akan tetapi, pemberlakuan IP4T mulai memetakan seluruh pekebun swadaya dihentikan sementara setelah KLHK meminta agar yang ada di dalam wilayah yurisdiksi mereka. Perber tersebut digantikan oleh Peraturan Presiden. Pemerintah daerah tersebut juga berkomitmen Proses ini hanya dapat dilanjutkan setelah Peraturan untuk menerbitkan STD-B dengan memanfaatkan Presiden tersebut dikeluarkan. peta yang dihasilkan dari proses pemetaan tersebut. Dengan menjalankan proses pemetaan, pemerintah Pekebun wajib mendaftarkan kebun mereka Kabupaten Kotawaringin Barat telah menginisiasi ke pemerintah kabupaten sebagai syarat untuk kolaborasi dengan Badan Pertanahan Nasional mendapatkan Surat Tanda Daftar Budidaya untuk meningkatkan status SKT menjadi SHM. Tabel (STD-B). Meskipun Kementerian Pertanian tidak 10 memperlihatkan secara ringkas rekomendasi mensyaratkan SHM jika terdapat bukti kepemilikan kami untuk meningkatkan legalitas pekebun lahan yang lain, pemerintah kabupaten memiliki swadaya. pemahaman yang berbeda-beda mengenai proses dan persyaratan untuk mendapatkan STD-B ini.
IP4T berdasarkan hukum kolektif yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan, Kementerian PU, dan Kementerian Pertahanan Nasional Republik Indonesia No 79/2013, PB.3/MENHUT-II/2014, 17.PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang penyelesaian tindakan sengketa kepemilikan tanah di kawasan hutan 13
27
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
Tabel 10: Rekomendasi untuk meningkatkan legalitas pekebun swadaya
28 Rekomendasi Pemetaan Pekebun Swadaya
Pengeluaran STD-B
Mempercepat proses IP4T
Meningkatkan surat bukti kepemilikan lahan
Pihak yang Bertanggung Jawab
Contoh
Agribisnis, pihak pembeli komoditas, dan industry pengolahan dengan didukung oleh pemerintah daerah.
Kabupaten Seruyan didukung oleh perusahaanperusahaan yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) sementara Kabupaten Kotawaringin Barat didukung oleh Unilever.
Pemerintah kabupaten harus memastikan bahwa pemerintah kecamatan memproses STD-B tanpa biaya dan bahwa mereka memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan hal tersebut.
Salah satu pemerintah kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat menolak untuk memproses STD-B tanpa biaya hingga pemerintah kabupaten mengeluarkan instruksi khusus terkait hal tersebut.
Pemerintah daerah harus bekerja sama dengan badan dan dinas-dinas di tingkat yang lebih tinggi untuk mempercepat proses IP4T.
-
Pemerintah daerah dan BPN.
Organisasi Pekebun Pekebun diwajibkan bergabung dengan organisasi pekebun untuk mendapatkan akses terhadap input pertanian dan pelatihan serta memperoleh sertifikasi. Distribusi input pertanian bersubsidi di Indonesia, khususnya pupuk (dan juga bantuan pertanian lainnya) bergantung pada keanggotaan pekebun tersebut dalam kelompok tani atau koperasi. Upaya meningkatkan produktivitas pekebun swadaya mensyaratkan bahwa pekebun harus memiliki akses yang lebih baik terhadap input pertanian, kredit, pelatihan teknis, dan pasar. Distribusi bantuan pemerintah, khususnya pupuk, merupakan proses rumit yang banyak diwarnai dengan keterlambatan pengadaan, kurangnya pasokan, dan penyelundupan pasokan (Kariyasa and Yusdja, 2005). Meskipun demikian, kelompok tani berpotensi memainkan peran sebagai lembaga yang dapat mendukung pekebun swadaya dan meningkatkan akses pasar mereka. Untuk itu, harus ada insentif yang jelas untuk para pekebun untuk bergabung dalam kelompok tani serta mekanisme untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok tani tersebut dikelola secara baik. Insentif tersebut dapat berupa penyediaan input-input pertanian seperti pupuk atau akses terhadap teknologi, misalnya traktor, yang tidak
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat bekerja sama erat dengan BPN untuk meningkatkan status SKT menjadi SHM dengan memanfaatkan peluang program nasional yang bertujuan untuk mengeluarkan sertifikat lahan gratis bagi para pekebun.
dapat mereka akses melalui cara lain atau upaya pribadi secara mandiri. Koperasi dapat juga memfasilitasi penjualan tandan buah segar dan meningkatkan posisi tawar pekebun swadaya agar harga jual mereka meningkat. Jenis koperasi seperti ini dapat dikategorikan sebagai koperasi layanan pertanian yang memiliki fungsi pemasok dan pemasaran. Dalam studi ini, kami membahas dua koperasi pekebun plasma di Pangkalan Tiga: Koperasi Unit Desa Tani Subur and Koperasi Berkat Maju Bersama. Dua koperasi ini, yang menggunakan struktur bersarang (nested) untuk kelompok tani dan koperasi, dapat diperbaiki dan direplikasi di wilayahwilayah lain. Replikasi model koperasi ini secara langsung mungkin akan menantang karena kedua koperasi tersebut lahir dari program transmigrasi dan harus dimodifikasi sesuai dengan konteks lokal. Di Desa Pangkalan Tiga, INOBU memfasilitasi pembentukan sebuah unit di bawah KUD Tani Subur yang secara khusus melayani pekebun swadaya di desa tersebut. Di Desa Derangga dan Umpang, model organisasi pekebun bagi pekebun sawit swadaya telah direplikasi. Di Desa Derangga, para pekebun telah membentuk kelompok tani untuk pekebun swadaya yang rencananya akan berperan dalam pengumpulan seluruh TBS yang dipanen oleh pekebun swadaya di desa tersebut. Tujuan akhir
dari kelompok tersebut adalah untuk membentuk koperasi. Sementara itu, para pekebun di Desa Umpang telah membentuk Gabungan Kelompok Tani untuk mengumpulkan TBS dari pekebun swadaya. Model-model ini berbeda dari model koperasi tradisional di Kabupaten Kotawaringin Barat yang secara historis dibentuk oleh perusahaan perkebunan dan tidak menerima TBS dari pekebun swadaya.
itu, sebagian pekebun mungkin tidak dapat atau tidak mau bergabung dengan koperasi. Kebijakan dan intervensi yang dirancang untuk mendukung pekebun swadaya harus mencakup pula ketentuan untuk para pekebun yang tidak tergabung dalam koperasi. Badan-badan di tingkat desa seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat menjadi lembaga alternatif untuk menyediakan dukungan bagi pekebun swadaya.
Meskipun demikian, koperasi dan kelompok tani bukanlah solusi untuk semua masalah. Bahkan jika model koperasi yang telah berhasil dapat direplikasi di desa-desa lain, maka akan muncul tantangan untuk memastikan efektivitas keberadaan lembaga tersebut. Tantangan-tantangan ini meliputi struktur pengaturan internal, partisipasi pekebun dan eksklusivitasnya, serta masalah penumpang gelap (free-rider). Koperasi tunggal sebagaimana yang terdapat di Pangkalan Tiga bisa jadi tidak memadai untuk para pekebun. Oleh karena itu, mungkin diperlukan kelompok tani yang beragam. Selain
Kelompok tani dan koperasi harus menjadi fokus perhatian untuk meningkatkan kemampuan budidaya kelapa sawit dari pekebun swadaya di Kalimantan Tengah. Sebagian besar peraturan yang ada merujuk pada kelompok tani atau koperasi sebagai institusi yang dapat memberikan dukungan dan akses terhadap kredit dan sebagai institusi dengan mekanisme untuk membuat kontrak. Meskipun demikian, studi ini menunjukkan bahwa hanya segelintir pekebun benar-benar merupakan anggota koperasi atau kelompok tani. Tanpa keikutsertaan dalam kelompok-kelompok ini,
Tabel 11: Rekomendasi untuk memperkuat atau mendirikan organisasi pekebun Rekomendasi Meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya koperasi dan menyediakan insentif bagi pekebun agar mau bergabung, misalnya melalui pemberian pelatihan dan STD-B
Pihak yang Bertanggung Jawab Pemerintah daerah dan /atau organisasi non-pemerintah melalui fasilitator dan/atau penyuluh pertanian.
Contoh -
Mendukung koperasi untuk mendapatkan sertifikasi
Pemerintah daerah dengan dukungan perusahaan dan organisasi nonpemerintah untuk memberikan pelatihan dalam hal praktik pertanian yang baik dan peningkatan kapasitas bagi kelompok tani dan koperasi
Di Kabupaten Kotawaringin Barat, pemerintah daerah dengan dukungan Unilever, RSPO, dan INOBU, telah memulai inisiatif untuk mendukung KUD Tani Subur untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan RSPO.
Mendirikan koperasi atau kelompok tani di desa-desa yang belum memilikinya
Pemerintah daerah dan/atau organisasi non-pemerintah melalui fasilitator dan/atau penyuluh pertanian.
Di Desa Derangga, Kabupaten Seruyan, pemerintah daerah dengan dukungan INOBU telah membentuk koperasi untuk pekebun swadaya.
Pemerintah daerah, perusahaan dan/ atau organisasi non-pemerintah melalui fasilitator dan/atau penyuluh pertanian.
Di Desa Pangkalan Tiga, Kabupaten Kotawaringin Barat, INOBU menyediakan bantuan teknis untuk KUD Tani Subur untuk mengorganisasi pekebun swadaya.
Meningkatkan kapasitas kelompok tani atau koperasi dalam hal pendaftaran kebun kelapa sawit mereka, pembuatan kontrak administrasi, distribusi input pertanian dari pemerintah, dan fasilitasi pelatihan
Penelitian dan kegiatan lanjutan harus berfokus pada bagaimana mendukung kelompok tani atau koperasi untuk mendapatkan akses terhadap input pertanian, kredit, pelatihan, dan informasi terkait budidaya kelapa sawit.
29
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
30
sulit untuk menyediakan dukungan bagi pekebun swadaya guna meningkatkan taraf hidup mereka. Tabel 11 menampilkan ringkasan rekomendasi untuk memperkuat atau mendirikan organisasi pekebun.
Input Pertanian dan Pelatihan Pekebun swadaya menghadapi tantangan dalam mengakses input-input pertanian, kredit, dan pelatihan. Sistem distribusi pupuk dan penyediaan penyuluh pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah dapat dikatakan berfungsi secara tidak sempurna. Di tengah minimnya akses untuk mendapatkan input pertanian, pekebun pada umumnya bergantung pada pengepul atau jejaring sosial mereka sendiri untuk mendapatkan akses. Akan tetapi, sumber-sumber input pertanian ini tidak bisa menjamin kualitas. Di seluruh kelompok pekebun yang dianalisa, sebagian besar pekebun mendapatkan input pertanian mereka dalam bentuk benih liar atau dari teman dan kerabat. Pekebun yang melaporkan mendapat benih dari pengepul berjumlah lebih sedikit dan bahkan lebih sedikit lagi yang melaporkan bahwa mereka mendapatkannya dari perusahaan atau pemerintah. Benih dari pengepul, meskipun demikian, dilaporkan berasal dari persemaian komersial di Sumatera Utara, dan utamanya persemaian yang dimiliki oleh PT Asian Agri. Sebagian pekebun umumnya membeli benih dari perusahaan yang secara umum berkualitas lebih rendah. Studi ini menghasilkan beberapa temuan. Yang pertama, benih yang berkualitas tinggi lebih sulit diakses oleh pekebun swadaya dan tidak ada mekanisme distribusi yang jelas untuk material tanaman ini. Pekebun yang ingin menanam kelapa sawit hanya mendapatkan sedikit bantuan dari sumber-sumber yang terbatas, yang meliputi teman, kerabat, atau pengepul. Dampak dari terbatasnya bantuan dan sumber informasi ini adalah pekebun pada umumnya tidak mengetahui varietas kelapa sawit yang mereka budidayakan dan varietas-varietas ini dapat saya terkonsentrasi di daerah tertentu, karena merupakan satu-satunya material tanaman yang tersedia. Ketidaktahuan akan varietas benih sawit ini mempengaruhi produktivitas pekebun swadaya dalam cakupan yang luas. Ditambah lagi hanya ada sedikit sarana untuk mengidentifikasi dan meningkatan kualitas varietas kelapa sawit yang saat ini tengah dibudidayakan pekebun. Walaupun demikian, material tanaman yang dominan diketahui oleh pekebun mungkin hanya mencerminkan
varietas tanaman yang pada awalnya disediakan oleh perusahaan perkebunan dan tidak akan berpengaruh signifikan pada produktivitas pekebun. Mekanisme distribusi material tanaman memiliki dampak besar terhadap budidaya kelapa sawit oleh pekebun swadaya. Di kedua kabupaten, sebagian besar pupuk didistribusikan oleh pengepul melalui kios-kios pertanian di desa. Pengepul membentuk hubungan timbal-balik dengan pekebun swadaya karena mereka memainkan peran sebagai pembeli TBS sekaligus penyedia input pertanian seperti pupuk. Dalam skala yang lebih kecil, usaha lokal juga terlibat dalam penjualan pupuk kepada pekebun. Organisasi pekebun formal seperti kelompok tani dan koperasi hanya berperan kecil dalam distribusi pupuk. Pemerintah tidak memainkan peran sama sekali dalam menyediakan pupuk ke pekebun. Distribusi dan mekanisme penjualan pupuk berdampak terhadap produktivitas pekebun swadaya. Yang pertama adalah akses pekebun terhadap pupuk yang disubsidi pemerintah. Karena pekebun tidak memiliki akses langsung terhadap pupuk, mereka mendapatkannya dari pihak perantara seperti usaha lokal, kecuali sebagian kecil yang mendapatkannya dari koperasi dan kelompok tani. Akibatnya, pekebun tidak dapat mengakses pupuk yang disubsidi pemerintah secara langsung, yang berimplikasi pada besarnya harga dan kualitas pupuk. Pekebun mungkin diberi pupuk berkualitas rendah atau pupuk palsu tanpa ada cara untuk melacak asal-usulnya. Karena diketahui bahwa produktivitas kelapa sawit sangat bergantung pada seringnya pemupukan dilakukan. Mekanisme distribusi pupuk yang ada saat ini membuat praktik pertanian yang baik semakin sulit untuk dilakukan. Seiring dengan bertambahnya usia tanaman sawit, secara biologis tingkat produktivitasnya menurun. Pada akhirnya, tanaman kelapa sawit tersebut harus diremajakan agar terus berproduksi. Dalam peremajaan tersebut para pekebun membutuhkan bantuan finansial untuk menanami kembali kebunnya dan untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan material tanaman yang berkualitas serta tabungan yang cukup untuk melewati fasefase tahun awal penanaman yang tidak produktif. Pengaturan kredit yang sesuai dengan kebutuhan pekebun harus diciptakan untuk mendukung para pekebun ini. Sertifikat tanah para pekebun yang sebelumnya merupakan pekebun plasma namun telah membayar lunas hutang mereka masih ditahan oleh perusahaan. Para pekebun ini membutuhkan
dukungan dari sebuah lembaga independen untuk memastikan bahwa mereka menerima keadilan dari perusahaan dan bank. Praktik-praktik budidaya pekebun swadaya seringkali terkait dengan etnisitas mereka. Para transmigran secara umum lebih terorganisir dan lebih condong untuk melakukan pemupukan secara teratur dan memangkas pelepah tanaman kelapa sawit mereka secara rutin. Sebaliknya, pekebun masyarakat adat lebih berkemungkinan lebih kecil memelihara dan memberi pupuk pada kebun mereka dan secara umum lebih kurang mendapatkan pelatihan atau sama sekali tidak terlatih terkait praktik-praktik budidaya kelapa sawit. Ada beberapa alasan untuk hal ini. Pekebun transmigran secara historis pernah berpartisipasi dalam skema-skema pertanian yang didukung pemerintah, termasuk sebagai pekebun plasma kelapa sawit, di mana mereka diorganisasi, dilatih, dan mendapatkan input-input pertanian. Sebaliknya, bagi pekebun masyarakat adat, kelapa sawit merupakan hal yang baru dikerjakan selain selain sistem pertanian tradisional mereka yang meliputi ladang berpindah dan mengumpulkan hasil hutan. Tingkat dukungan pemerintah dan perusahaan terhadap para pekebun transmigran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dukungan mereka terhadap pekebun lokal, meskipun para pekebun transmigran tersebut memasuki kerjasama dengan perusahaan dengan syarat-syarat yang kurang adil. Sebagai konsekuensi dari berbudidaya secara swadaya, pekebun masyarakat lokal adalah lebih sedikitnya pelatihan dan akses terhadap input-input pertanian, termasuk pupuk. Permasalahan lain adalah bahwa pekebun swadaya biasanya belajar secara otodidak. Dari keseluruhan pekebun swadaya yang disurvei, hanya 15 persen pekebun pernah menerima pelatihan pertanian. Meskipun pekebun berhasil membudidayakan kelapa sawit, mereka tidak dapat menerapkan praktikpraktik budidaya yang baik. Sebaliknya, perkebunan yang dikelola oleh perusahaan besar menerapkan praktik-praktik berdasarkan metode ilmiah untuk memastikan bahwa perkebunannya menghasilkan tingkat produktivitas tertinggi. Melalui proses belajar sendiri dan interaksi sosial, para pekebun mungkin dapat mempelajari praktik budidaya kelapa sawit tingkat dasar, namun mereka mungkin tidak akan mampu menerapkan praktik-praktik budidaya yang telah diuji coba secara ilmiah dan akses terhadap input pertanian. Pelatihan mungkin dapat meningkatkan pengetahuan pekebun dan
memperbaiki praktik pertanian mereka. Namun, tanpa adanya dukungan kelembagaan yang lebih komprehensif dan akses terhadap input, mereka tidak akan mungkin menyamai produktivitas dari perkebunan besar swasta. Ukuran kebun berpengaruh pada kemampuan pekebun bertahan hidup dengan hanya menanam kelapa sawit. Pada umumnya, kebun kelapa sawit seluas 2 hektar dipandang cukup untuk memenuhi biaya hidup pekebun swadaya. Akan tetapi, jika ukuran kebun mereka kurang dari 2 hektar, pekebun akan kesulitan bertahan hidup tanpa adanya sumber penghasilan yang lain. Para pekebun transmigran yang pada umumnya hanya memiliki 1 hingga 2 hektar kebun menambah penghasilan mereka dengan bekerja di sektor non-pertanian seperti membuat batu bata, menjadi pegawai negeri sipil, atau bekerja di pabrik kelapa sawit. Sebaliknya, pekebun masyarakat adat memiliki ratarata 3 hingga 4 hektar lahan di kedua kabupaten yang disurvei. Dengan pemberian akses terhadap input pertanian yang tepat, dukungan teknis dan akses pasar, pekebun lokal memiliki posisi yang cenderung lebih baik untuk berspesialisasi dalam budidaya sawit. Sebaliknya, para pekebun transmigran yang akses terhadap lahannya diatur melalui syarat-syarat skema transmigrasi, lebih bergantung pada sumber penghidupan yang beragam. Meskipun kelapa sawit merupakan komoditas utama di Indonesia, dukungan kepada pekebun swadaya masih amat rendah. Pemerintah Indonesia berfokus pada pemberian dukungan untuk mewujudkan program kemandirian pangan, khususnya beras. Akibatnya, pemerintah hanya memberikan dukungan yang terbatas kepada pekebun yang membudidayakan komoditas lain seperti kelapa sawit. Pekebun swadaya sangat membutuhkan bantuan. Praktik-praktik budidaya yang buruk dan terbatasnya akses terhadap input-input pertanian mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kualitas buah yang dipanen. Praktik-praktik pekebun swadaya yang tidak menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan seperti perambahan hutan atau penggunaan api untuk membuka lahan dapat pula mempengaruhi keberlanjutan keseluruhan rantai pasok minyak kelapa sawit. Meskipun demikian, hanya ada segelintir mekanisme yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mendukung pekebun swadaya secara langsung.
31
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
32
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, dengan didukung oleh INOBU, tengah berupaya membentuk sebuah lembaga penyedia fasilitas pertanian untuk mendukung pekebun swadaya. Lembaga ini akan menyediakan pelatihan dan input pertanian bagi para pekebun, termasuk benih bersertifikat, pupuk, dan pestisida. Lembaga ini juga akan merekrut penyuluh untuk melatih pekebun swadaya yang juga akan memfasilitasi pendirian koperasi dan kelompok tani.
Lembaga ini akan bermitra dengan perusahaan dan pemerintah daerah dan juga melibatkan organisasi masyarakat sipil. Lembaga ini akan mengenakan biaya untuk barang dan jasa yang disediakannya dan dapat juga menerima bantuan dana (hibah) dari pihak ketiga dan pemerintah daerah. Tabel 12 menampilkan rekomendasi untuk memperbaiki akses terhadap input-input pertanian dan pelatihan.
Tabel 12: Rekomendasi untuk memperbaiki akses terhadap input pertanian dan pelatihan Rekomendasi Pekebun harus didorong untuk bergabung dengan organisasi pekebun, khususnya koperasi, untuk meningkatkan akses input pertanian bersubsidi
Pihak yang Bertanggung Jawab Pemerintah daerah dan/atau organisasi non-pemerintah melalui fasilitator dan/atau penyuluh pertanian.
Contoh Para anggota koperasi di Pangkalan Tiga menerima input pertanian bersubsidi, termasuk pupuk. Pupuk ini disediakan oleh distributor dan pabrik kelapa sawit di mana mereka memiliki Perintah Pengiriman
Kemitraan dengan perusahaan
Perusahaan dengan didukung oleh pemerintah daerah.
Unilever, bersama RSPO, mendukung pekebun untuk mendapatkan sertifikat berkelanjutan.
Lembaga penyedia fasilitas pertanian
Lembaga koperasi yang didukung oleh pemerintah daerah, perusahaan, organisasi non-pemerintah dan pekebun.
Saat ini INOBU mendukung Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan untuk membentuk Lembaga Pertanian untuk mendukung pekebun swadaya.
Perdagangan Kelapa Sawit Perdagangan TBS bagi pekebun swadaya dilakukan melalui sistem yang berbeda jika dibandingkan dengan pekebun plasma, yang biasanya bergantung pada pihak perantara seperti pengepul, koperasi, dan unit usaha di tingkat desa. Pengepul memainkan peran penting dalam rantai pasok kelapa sawit dengan cara menghubungkan pekebun swadaya dan pabrik kelapa sawit. Informalitas pekebun swadaya berarti penjualan TBS ke dalam rantai pasok kelapa sawit bergantung pada pengepul skala kecil ini. Mereka memiliki beberapa karakteristik, yakni: pada umumnya bersifat informal (tidak terdaftar atau tidak memiliki badan hukum), berperan sebagai pembeli sekaligus pengangkut ke pabrik kelapa sawit dan memiliki hubungan timbal-balik dengan pekebun. Berkebalikan dengan pekebun, para pengepul memiliki akses terhadap modal, transportasi, dan kemampuan—formal maupun informal— untuk
menjual TBS ke pabrik kelapa sawit melalui perintah pengiriman. Para pengepul ini harus membentuk hubungan timbal balik dengan para pekebun untuk memastikan bahwa mereka bisa mendapatkan tandan buah segar, termasuk dengan menyediakan kredit atau input pertanian bagi para pekebun. Ketika ada beberapa pengepul, pekebun dapat memilih pembeli yang memberikan syarat-syarat yang paling menguntungkan dalam sebuah hubungan yang lebih didasarkan pada rasa percaya dibandingkan kontrak. Alternatif lain yang lebih jarang dipilih adalah dengan melaksanakan perdagangan melalui perantara koperasi dan menjual langsung ke pabrik kelapa sawit. Meskipun harga kelapa sawit ditetapkan berdasarkan Indeks K, pekebun swadaya memiliki informasi dan pengetahuan terbatas mengenai harga TBS dan seringkali menjual TBS di bawah harga standar karena ketidak tahuannya. Hal ini mengakibatkan, para pengepul menjadi aktor yang paling berpengaruh dalam memastikan keterlacakan
dan kualitas kelapa sawit yang dihasilkan oleh pekebun swadaya. Pengepul harus mempertanggungjawabkan kualitas tandan buah segar yang mereka jual kepada pabrik kelapa sawit. Meskipun demikian, mereka tidak diwajibkan untuk menunjukkan bagaimana atau di mana tandan buah segar tersebut dihasilkan. Mengatasi permasalahan rantai pasok kelapa sawit di tahap ini diperlukan untuk memastikan keterlacakan dan keberlanjutan kelapa sawit. Di tengah ketiadaan dukungan pemerintah, pengepul mengambil peran sebagai penyedia bantuan bagi para pekebun, termasuk dalam hal penyediaan kredit dan pupuk. Hal ini memungkinkan pekebun untuk membudidayakan kelapa sawit, namun tidak untuk menjalankan praktik-praktik budidaya yang baik. Tanpa keterlibatan pemerintah atau organisasi non-pemerintah, pekebun akan terus bergantung pada pengepul. Pengepul memiliki fungsi yang esensial bagi pekebun swadaya untuk mengakses pasar dan input pertanian. Di tengah tidak adanya skema perkebunan atau kontrak antara kelompok tani dan pabrik kelapa sawit, pekebun harus mengandalkan pengepul untuk menjual dan mengangkut tandan buah segar yang mereka hasilkan. Seperti halnya pekebun, pengepul pada umumnya bersifat informal, tidak terdaftar, dan tidak memiliki badan hukum serta mengandalkan kombinasi antara kontrak formal dan informal dalam operasinya. Mereka mengadakan perjanjian dengan pembeli di pabrik kelapa sawit dan penjual dari pihak pekebun, yang masing-masing memiliki syarat-syarat perdagangan tersendiri. Informalitas pengepul dan bagaimana mereka membeli dan mengangkut TBS mempengaruhi keterlacakan dan keberlanjutan rantai pasok kelapa sawit. Tanpa adanya alternatif lain dalam memperdagangkan dan menyediakan fungsi tambahan yang dijalankan pengepul, harus ada upaya untuk meresmikan peran pengepul. Sebagai langkah pertama, pengepul harus didaftar baik secara individual maupun sebagai bagian dari perusahaan yang memiliki badan hukum. Para pengepul ini harus diberi lisensi secara resmi oleh pemerintah daerah yang berwenang untuk memperdagangkan TBS. Untuk meningkatkan keterlacakan tandan buah segar, para pengepul harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Ketika membeli TBS dari pekebun, pengepul harus diminta mencatat nama, surat tanda dafta budidaya (STD-B), dan jumlah yang dibeli dari individu
tersebut. Ketika pengepul membeli dari koperasi atau kelompok tani, kelompok tani tersebut harus memberikan rincian mengenai individu-individu yang menjual TBS mereka ke koperasi beserta STD-B mereka. Para pengepul harus meneruskan informasi tersebut ketika menjual TBS ke pabrik kelapa sawit. Jika ada pihak perantara lain yang terlibat dalam rantai pasok ini, informasi ini harus diteruskan hingga titik penjualan ke pabrik kelapa sawit. Pengepul dan pabrik kelapa sawit harus diaudit secara rutin untuk memastikan bahwa mereka mematuhi persyaratan-persyaratan ini. Karena pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan perusahaan tidak dapat atau enggan memberikan layanan kepada pekebun swadaya, harus ada upaya untuk memastikan kualitas dan keadilan dari distribusi bantuan yang diberikan kepada pekebun. Pekebun hanya memiliki sedikit cara untuk mengakses bahan-bahan pertanian dan pupuk yang berkualitas tinggi dan bersandar pada jejaring sosial mereka atau pengepul untuk mendapatkan hal-hal tersebut. Untuk meningkatkan kualitas input yang digunakan pekebun, pengepul yang mendistribusikan input-input ini harus diregulasi. Yang pertama, pengepul harus diwajibkan untuk hanya menyediakan bahan-bahan pertanian dari sumber yang bersertifikat dan pekebun harus diberi bukti tertulis mengenai kualitas dan asal-usulnya. Saat ini, para pengepul membeli benih di kota-kota atau memesannya melalui distributor yang akan mengantarkan benih tersebut kepada mereka. Pekebun dapat juga membeli benih dari desa-desa lain. Untuk meningkatkan kualitas material yang berbedar, pemerintah daerah dapat membantu meningkatkan akses pekebun terhadap produsen benih dan mengaudit penjualan bahan tanam untuk memverifikasi kualitasnya. Distribusi pupuk dapat dijalankan dengan syarat-syarat yang sama. Untuk memastikan bahwa pekebun diperlakukan secara adil, diperlukan pengawasan distribusi pupuk untuk memastikan kepatuhan terhadap undangundang dan peraturan pemerintah yang diatur sedemikian rupa agar distribusi pupuk merata ke pekebun yang paling membutuhkan. Pemberian kredit untuk pekebun oleh pengepul juga perlu untuk diregulasi. Tanpa adanya akses terhadap pendanaan di tingkat desa atau bank, pekebun seringkali meminjam dari pengepul. Para pengepul, akan mendapatkan jaminan pasokan tandan buah segar atau mampu menurunkan posisi tawar menawar pekebun dalam menegosiasikan harga jual tandan buah segar. Ada beberapa pilihan untuk meregulasi
33
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
34
hubungan-hubungan ini. Di antaranya, pengepul berlisensi dapat dilarang meminjamkan uang atau menyediakan input pertanian lain kepada pekebun untuk mencegah timbulnya hubungan ketergantungan. Dan bagi pengepul yang melanggar aturan akan dicabut izinnya. Alternatif lainnya, pengepul dapat berperan sebagai pihak perantara yang menghubungkan pekebun dengan lembaga-lembaga peminjaman yang berlisensi seperti bank desa, dan peran mereka dibatasi hanya sebagai sumber informasi. Mereka akan mendapatkan manfaat dari transaksi ini dalam bentuk terbentuknya rasa percaya para pekebun dan terjaminnya pasokan tandan buah segar di masa yang akan datang. Pemerintah daerah dapat pula mendukung peraturan untuk menstandarkan hubungan kontrak di antara pekebun dan pengepul untuk menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Keberadaan peta plot perkebunan dan STD-B pekebun swadaya harus dijadikan syarat wajib untuk menjual dan mengangkut tandan buah segar. Dikeluarkannya STD-B bagi para pekebun swadaya harus dipertimbangkan sebagai bukti tandan buah segar yang mereka hasilkan secara berkelanjutan. Transaksi yang melibatkan tandan buah segar hingga menjadi minyak sawit mentah harus mencakup informasi yang memungkinkan pembeli untuk melacak dari mana kelapa sawit tersebut ditanam. Selain STD-B, jenis informasi yang harus diberikan mencakup: transaksi per semester, perintah pengiriman, buku timbang, dan bukti pembayaran dari pabrik kelapa sawit. Seluruh aktor dalam rantai pasok harus diwajibkan untuk menunjukkan bukti mengenai asal-usul tandan buah segar dan minyak kelapa sawit. Upaya ini juga yang harus didukung oleh sistem monitoring online. Idealnya, sistem ini akan menunjukkan bahwa keterlacakan berarti juga keberlanjutan. Sistem ini harus didukung dengan dikeluarkan peraturan daerah untuk menegakkan aturan terkait keterlacakan rantai pasok.
Inisiatif yurisdiksi bagi pekebun swadaya Meningkatkan keberlanjutan, produktivitas, dan keterlacakan pekebun swadaya berarti mengatasi tantangan utama yang dihadapi dalam rantai pasok kelapa sawit. Namun, inisiatif-inisiatif ini tetap memiliki keterbatasan untuk menyelesaikan tantangan-tantangan yang lebih besar terkait deforestasi, kerusakan lingkungan, dan emisi gas rumah kaca. Konsesi perkebunan sawit skala besar adalah penyebab utama deforestasi di Indonesia
sedangkan pekebun swadaya hanya bertanggung jawab atas sebagian kecil dari kerusakan tersebut. Apabila pemerintah daerah tidak benar-benar melakukan upaya signifikan untuk memastikan bahwa konsesi perkebunan skala besar hanya diberikan di atas lahan-lahan yang telah terdegradasi, berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlanjutan rantai pasok kelapa sawit dari pekebun swadaya tidak berdampak signifikan. Salah satu tindakan di mana pekebun swadaya memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan hidup di sekitarnya adalah penggunaan api untuk membuka lahan. Mengurangi atau menghilangkan penggunaan api di musim kemarau atau di periode-periode di mana resiko kebakaran sangat tinggi dapat mengurangi insiden kebakaran secara signifikan. Laporan ini menyoroti upaya bersama yang dapat mendukung pekebun swadaya untuk mencapai keberlanjutan di tingkat yurisdiksi. Perusahaan membutuhkan alasan bisnis yang kuat untuk mendukung pekebun swadaya. Seringkali, secara ekonomi tidak dimungkinkan bagi perusahaan untuk berinteraksi dengan pekebun swadaya kecuali mereka terorganisasi ke dalam kelompok tani. Pemerintah harus mendukung pekebun swadaya agar lebih siap dalam bermitra langsung dengan perusahaan swasta. Sebaliknya, perusahaan dapat membagi pengetahuan mereka dalam hal praktik budidaya yang baik, menyediakan input pertanian, dan membeli produk pertanian yang dihasilkan pekebun. Untuk menyiapkan pekebun swadaya agar dapat bermitra dengan perusahaan, pemerintah daerah harus membantu pekebun untuk memperoleh dokumen legal yang dibutuhkan dan mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok tani. Hanya setelah pekebun terorganisasi, perusahaan dapat berkolaborasi dengan pekebun. Hibah dari pihak ketiga dan kontribusi pemerintah lokal dapat digunakan untuk mendanai aktivitas-aktivitas yang secara ekonomi tidak memungkinkan bagi perusahaan perkebunan untuk membantu, seperti mengorganisasi pekebun ke dalam kelompok tani dan menyediakan pelatihan dalam hal keterampilan berorganisasi. Upaya bersama dalam mendukung pekebun swadaya dalam lingkup yurisdiksi harus dikoordinasikan dengan baik. Kami berharap bahwa lembaga penyedia fasilitas pertanian yang dirancang dan dikelola para pemangku kepentingan dapat berperan sebagai suatu mekanisme yang mampu mengkoordinasikan seluruh upaya untuk mendukung pekebun swadaya dalam menjalankan transisi menuju keberlanjutan.
35
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
36
Referensi
Anggraini, E., Grundmann, P., 2013. Transactions in the Supply Chain of Oil Palm Fruits and Their Relevance for Land Conversion in Smallholdings in Indonesia. The Journal of Environment Development 22, 391–410. doi:10.1177/1070496513506225 Belcher, B., Imang, N., Achdiawan, R., others, 2004. Rattan, rubber, or oil palm: cultural and financial considerations for farmers in Kalimantan. Economic Botany 58, S77–S87. Carlson, K.M., Curran, L.M., Asner, G.P., Pittman, A.M., Trigg, S.N., Marion Adeney, J., 2013. Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations. Nature Clim. Change 3, 283–287. doi:10.1038/nclimate1702 Cramb, R., Curry, G.N., 2012. Oil palm and rural livelihoods in the Asia–Pacific region: An overview. Asia Pac Viewp 53, 223–239. doi:10.1111/j.1467-8373.2012.01495.x Directorate General of Estate Crops, 2014. Tree Crop Estate Statistics of Indonesia: 2013-2015 Palm Oil. Directorate General of Estate Crops, Jakarta. Feintrenie, L., Chong, W.K., Levang, P., 2010a. Why do Farmers Prefer Oil Palm? Lessons Learnt from Bungo District, Indonesia. Small-scale Forestry 9, 379–396. doi:10.1007/s11842-010-9122-2 Feintrenie, L., Chong, W.K., Levang, P., 2010b. Why do Farmers Prefer Oil Palm? Lessons Learnt from Bungo District, Indonesia. Small-scale Forestry 9, 379–396. doi:10.1007/s11842-010-9122-2 International Finance Corporation, 2013. Diagnostic study on Indonesian oil palm smallholders. International Finance Corporation, Washington, DC. Kariyasa, K., Yusdja, Y., 2005. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk Urea di Indonesia: Kasus Provinsi Jawa Barat. Analisis Kebijakan Pertanian 3, 201–216. Li, T., M.., 2015. Social impacts of oil palm in Indonesia: A gendered perspective from West Kalimantan. CIFOR Occasional Paper 52p. doi:10.17528/cifor/005579 McCarthy, J.F., 2010. Processes of inclusion and adverse incorporation: oil palm and agrarian change in Sumatra, Indonesia. Journal of Peasant Studies 37, 821–850. doi:10.1080/03066150.2010.512460 McCarthy, J.F., Cramb, R.A., 2009. Policy narratives, landholder engagement, and oil palm expansion on the Malaysian and Indonesian frontiers. Geographical Journal 175, 112–123. doi:10.1111/j.14754959.2009.00322.x Pirard, R., Gnych, S., Pacheco, P., Lawry, S., 2015. Zero-deforestation commitments in Indonesia: Governance challenges. CIFOR Infobrief 8p. doi:10.17528/cifor/005871
Rist, L., Feintrenie, L., Levang, P., 2010. The livelihood impacts of oil palm: smallholders in Indonesia. Biodivers Conserv 19, 1009–1024. doi:10.1007/s10531-010-9815-z Rival, A., Levang, P., 2014. Palms of controversies: Oil palm and development challenges. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Sheil, D., Casson, A., Meijaard, E., van Noordwjik, M., Gaskell, J., Sunderland-Groves, J., Wertz, K., Kanninen, M., 2009. The impacts and opportunities of oil palm in Southeast Asia: What do we know and what do we need to know? Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Zen, Z., Barlow, C., Gondowarsito, R., McCarthy, J.F., 2016. Interventions to promote smallholder oil palm and socio-economic improvement in Indonesia, in: Cramb, R.A., McCarthy, J.F. (Eds.), The Oil Palm Complex: Smallholders, Agribusiness and Thestate in Indonesia and Malaysia. NUS Press, Singapore, pp. 78–108.
37
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
38
LAMPIRAN 1: DESA DI KOTAWARINGIN BARAT
DESA
SUNGAI BEDAUN
Jumlah petani yang disurvei
126 Petani
Luas lahan yang dipetakan 345,94 ha Rata-rata luas lahan 2,75 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
21,5%
Transmigran
78,5%
Status kepemilikan lahan
4% dari petani tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
5 dari 126 petani menerapkan sistem pertanian campur (polikultur)
Tahun tanam
1998 – 2015, sebagian besar diatas tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
66,9% menjual TBS mereka ke pengepul, 5% menjual ke perusahaan, dan yang lainnya memiliki jawaban yang tidak jelas
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT FARMING PERTANIAN INPUTS
39
ASAL BENIH Pengepul
29%
Semai sendiri
38%
Perusahaan/pabrik
13%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
0,5%
Teman, tetangga, dan saudara
17%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
0,5%
Desa/kota/pulau lain
2%
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
84,2%
Toko pertanian/kios
2%
Kelompok tani
-
Dari luar desa
-
Koperasi
7%
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
6,8%
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
40
DESA
BUMI HARJO
Jumlah petani yang disurvei
195 Petani
Luas lahan yang dipetakan 276,02 ha Rata-rata luas lahan 1,41 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
1,5%
Transmigran
98,5%
Status kepemilikan lahan
27,14% dari petani tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
24 dari 195 petani menerapkan sistem pertanian campur (polikultur)
Tahun tanam
Tahun tanam mulai dari tahun 1995 – 2015, sebagian besar sebelum tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
90,7% menjual TBS mereka ke pengepul, 3% menjual ke perusahaan, dan yang lainnya memiliki jawaban yang tidak jelas
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
41
ASAL BENIH Pengepul
36%
Semai sendiri
9%
Perusahaan/pabrik
8%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
9%
Teman, tetangga, dan saudara
8%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
2%
Tidak menjawab/tidak tahu
28%
ASAL PUPUK Pengepul
56,95%
Toko pertanian/kios
24,4%
Kelompok tani
-
Dari luar desa
-
Koperasi
2%
Perusahaan/pemerintahan
2%
Tidak menjawab
13,65%
Lainnya
1%
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
42
DESA
PANGKALAN TIGA
Jumlah petani yang disurvei
127 petani
Luas lahan yang dipetakan 295 ha Rata-rata luas lahan 2,32 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
3,94%
Transmigran
96,06%
Status kepemilikan lahan
Hanya 1% (1 petani) tanpa status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
Seluruhnya menerapkan sistem monokultur
Tahun tanam
Tahun tanam mulai dari tahun 1996 – 2014, sebagian besar setelah tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
88,8% menjual TBS mereka ke pengepul, 8% menjual ke BUMDES, dan yang lainnya menjual ke perusahaan
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
43
ASAL BENIH Pengepul
13%
Semai sendiri
34%
Perusahaan/pabrik
5%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
22%
Teman, tetangga, dan saudara
7%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
19%
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
28%
Toko pertanian/kios
30%
Kelompok tani
31%
Dari luar desa
4%
Koperasi
2%
Perusahaan/pemerintahan
3%
Tidak menjawab
1%
Lainnya
1%
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
44
DESA
PANGKALAN SATU
Jumlah petani yang disurvei
117 petani
Luas lahan yang dipetakan 308,5 ha Rata-rata luas lahan 2,63 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
0,77%
Transmigran
99,23%
Status kepemilikan lahan
Seluruhnya memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
11 petani menerapkan sistem pertanian campur (polikultur), sebagian besar dengan tanaman karet
Tahun tanam
Tahun tanam mulai dari tahun 2005 – 2014, sebagian besar di tahun 2008-2011
Penjualan tandan buah segar (TBS)
83,4% menjual TBS mereka ke pengepul, 8 % menjual ke perusahaan, dan 8,6% dari petani tidak memberikan jawaban
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
45
ASAL BENIH Pengepul
5%
Semai sendiri
44%
Perusahaan/pabrik
8%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
9%
Teman, tetangga, dan saudara
7%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
10 %
Tidak menjawab/tidak tahu
17%
ASAL PUPUK Pengepul
71%
Toko pertanian/kios
5%
Kelompok tani
6%
Dari luar desa
2%
Koperasi
3,5%
Perusahaan/pemerintahan
3%
Tidak menjawab
9,5%
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
46
DESA
SEI KAPITAN
Jumlah petani yang disurvei
86 Petani
Luas lahan yang dipetakan 261,5 ha Rata-rata luas lahan 3,04 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
75,6%
Transmigran
24,4%
Status kepemilikan lahan
35% dari petani tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
Seluruhnya menerapkan sistem pertanian monokultur
Tahun tanam
Tahun tanam mulai dari tahun 2005 – 2015, sebagian besar di tahun 2010- 2011
Penjualan tandan buah segar (TBS)
Pengepul
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
47
ASAL BENIH Pengepul
11%
Semai sendiri
-
Perusahaan/pabrik
16,5%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
1%
Teman, tetangga, dan saudara
33%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
2%
Desa/kota/pulau lain
12,5%
Tidak menjawab/tidak tahu
24%
ASAL PUPUK Pengepul
8,1%
Toko pertanian/kios
41,69%
Kelompok tani
2,32%
Dari luar desa
-
Koperasi
39,5%
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
5,8%
Lainnya
2,32%
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
48
DESA
SEI CABANG
Jumlah petani yang disurvei
3 Petani
Luas lahan yang dipetakan 6 ha Rata-rata luas lahan kelapa sawit yang dimiliki
2 ha
Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
1 petani tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
Seluruhnya menerapkan sistem pertanian monokultur
Tahun tanam
2013-2014
Penjualan tandan buah segar (TBS)
N/A
100%
Transmigran
-
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
49
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
-
Perusahaan/pabrik
-
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
-
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
-
Tidak menjawab/tidak tahu
100%
ASAL PUPUK Pengepul
-
Toko pertanian/kios
-
Kelompok tani
-
Dari luar desa
-
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
-
Lainnya
Tidak menggunakan pupuk
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
50
DESA
SEI SEKONYER
Jumlah petani yang disurvei
8 Petani
Luas lahan yang dipetakan 50,5 ha 8,41 ha Rata-rata luas lahan kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
62,5%
Transmigran
37,5%
Status kepemilikan lahan 12,5% (1 petani) tidak memiliki status kepemilikan lahan Sistem pertanian
4 menerapkan sistem pertanian campur/polikultur (sawah)
Tahun tanam
2011-2015
Penjualan tandan buah segar (TBS)
Pengepul
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
51
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
-
Perusahaan/pabrik
-
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
-
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
100%
Desa/kota/pulau lain
-
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
-
Toko pertanian/kios
-
Kelompok tani
-
Dari luar desa
-
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
25%
Tidak menjawab
-
Lainnya
75%
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
52
DESA
TELUK PULAI
Jumlah petani yang disurvei
3 Petani
Luas lahan yang dipetakan 14 ha Rata-rata luas lahan 6,2 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
Seluruhnya memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
Seluruhnya menerapkan sistem pertanian monokultur
Tahun tanam
2013-2015
Penjualan tandan buah segar (TBS)
NA
100%
Transmigran
-
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
53
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
-
Perusahaan/pabrik
-
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
-
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
100%
Desa/kota/pulau lain
-
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
-
Toko pertanian/kios
-
Kelompok tani
-
Dari luar desa
-
Koperasi
100%
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
-
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
54
DESA
BANGKAL
Jumlah petani yang disurvei
29 Petani
Luas lahan yang dipetakan 36,8 ha Rata-rata luas lahan 1,29 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
59% tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
Seluruhnya menerapkan sistem pertanian monokultur
Tahun tanam
2013-2015
Penjualan tandan buah segar (TBS)
NA
86,2%
Transmigran
13,8%
Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat
INPUT PERTANIAN
55
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
21%
Perusahaan/pabrik
45%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
10%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
7%
Desa/kota/pulau lain
14%
Tidak menjawab/tidak tahu
3%
ASAL PUPUK Pengepul
3,5%
Toko pertanian/kios
52%
Kelompok tani
-
Dari luar desa
34,5%
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
10%
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
56
Lampiran 2: Desa di Seruyan
DESA
Tabiku
Jumlah petani yang disurvei
29 Petani
Luas lahan yang dipetakan 128,9 ha Rata-rata luas lahan kelapa sawit yang dimiliki
4,44 ha
Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
14% tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
21% menerapkan sistem pertanian campur/polikultur
Tahun tanam
2010 – 2015, sebagian besar setelah tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
Seluruhnya menjual ke pengepul namun 41% tidak memberikan jawaban
93,5%
Transmigran
6,5%
Lampiran 2: Desa di Seruyan
INPUT PERTANIAN
57
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
100%
Perusahaan/pabrik
-
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
-
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
-
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
-
Toko pertanian/kios
-
Kelompok tani
-
Dari luar desa
62%
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
38%
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
58
DESA
TELAGA PULANG
Jumlah petani yang disurvei
24 Petani
Luas lahan yang dipetakan 136,3 ha Rata-rata luas lahan 3,03 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
25% tidak memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
17% menerapkan sistem pertanian campur/polikultur
Tahun tanam
2009 – 2015, sebagian besar sebelum tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
50% menjual TBS ke pengepul, 8% menjual ke perusahaan, dan yang lainnya tidak memberikan jawaban yang jelas
70,80%
Transmigran
29,20%
Lampiran 2: Desa di Seruyan
INPUT PERTANIAN
59
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
75%
Perusahaan/pabrik
21%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
-
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
4%
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
12,5%
Toko pertanian/kios
-
Kelompok tani
75%
Dari luar desa
12,5%
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
-
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
60
DESA
SEMBULUH I
Jumlah petani yang disurvei
73 Petani
Luas lahan yang dipetakan 440,4 ha Rata-rata luas lahan 3,84 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
Seluruhnya memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
8% menerapkan sistem pertanian campur/polikultur
Tahun tanam
2003 – 2014, sebagian besar setelah tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
Tidak memberikan jawaban
92,75%
Transmigran
7,25%
Lampiran 2: Desa di Seruyan
INPUT PERTANIAN
61
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
85%
Perusahaan/pabrik
11%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
1,3%
Teman, tetangga, dan saudara
1,3%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
1,4%
Desa/kota/pulau lain
-
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
1,4%
Toko pertanian/kios
12,3%
Kelompok tani
-
Dari luar desa
1,4%
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
84,9%
Lainnya
-
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
62
DESA
SEMBULUH II
Jumlah petani yang disurvei
51 Petani
Luas lahan yang dipetakan 403,6 ha Rata-rata luas lahan 7,91 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
Seluruhnya memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
8% menerapkan sistem pertanian campur/polikultur
Tahun tanam
2005 - 2015, sebagian besar setelah tahun 2010
Penjualan tandan buah segar (TBS)
16% menjual ke perusahaan sementara yang lainnya menjual ke pengepul
92,15%
Transmigran
7,85%
Lampiran 2: Desa di Seruyan
INPUT PERTANIAN
63
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
69%
Perusahaan/pabrik
25%
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
4%
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
2%
Tidak menjawab/tidak tahu
-
ASAL PUPUK Pengepul
2%
Farm equipment Shop/Kiosk
-
Kelompok tani
2%
Dari luar desa
-
Koperasi
67%
Perusahaan/pemerintahan
2%
Tidak menjawab
25%
Lainnya
2%
SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia
64
DESA
SELUNUK
Jumlah petani yang disurvei
86 Petani
Luas lahan yang dipetakan 281,25 ha Rata-rata luas lahan 3,51 ha kelapa sawit yang dimiliki Suku
Lokal dan pribumi
Status kepemilikan lahan
Seluruh petani memiliki status kepemilikan lahan
Sistem pertanian
2% menerapkan sistem pertanian campur/polikultur
Tahun tanam
2005 – 2014, sebagian besar di tahun 2008- 2011
Penjualan tandan buah segar (TBS)
55% menjual ke pengepul, 6% menjual ke pabrik dan 39% tidak memberikan jawaban
3,75%
Transmigran
96,25%
Lampiran 2: Desa di Seruyan
INPUT PERTANIAN
65
ASAL BENIH Pengepul
-
Semai sendiri
96,25%
Perusahaan/pabrik
-
Pemerintahan (Kalimantan Tengah)
-
Teman, tetangga, dan saudara
-
Koperasi, kelompok tani, dan toko petani
-
Desa/kota/pulau lain
-
Tidak menjawab/tidak tahu
3,75%
ASAL PUPUK Pengepul
2,5%
Toko pertanian/kios
71,25%
Kelompok tani
3,75%
Dari luar desa
10%
Koperasi
-
Perusahaan/pemerintahan
-
Tidak menjawab
12,5%
Lainnya
-
INOBU (Institut Penelitian Inovasi Bumi) adalah sebuah lembaga penelitian Indonesia yang bekerja menuju visi dimana lahan dan bentang laut dapat dikelola secara berkelanjutan dan bermanfaat untuk komunitas masyarakat yang bergantung padanya. Melalui penelitian yang inovatif, analisis kebijakan, teknologi dan kolaborasi, INOBU berusaha untuk meningkatkan kebijakan publik dan memperkuat masyarakat sipil untuk mengelola Sumber Daya Alam dan meningkatkan sistem produksi pertanian di Indonesia secara berkelanjutan, meliputi seluruh siklus hidup produk.
Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU) Kantor DBS Bank Tower Ciputra World 1 Lantai 28 Jl. Prof. Dr. Satrio Kav 3-5 Jakarta Selatan 12940 Email:
[email protected]
http://www.inobu.org Dicetak menggunakan kertas daur ulang