Selektivitas pemotongan hewan dan optimalisasi fungsi abbatoir dalam mendukung program swasembada daging sapi (tinjauan kasus Sulawesi Tenggara) Harapin Hafid H. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Halouleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, email a fien_hafid@yahoo .co m
Abstract This paper focus on animal selection before slaughtering and the role of abattoir to support beef self sufficiency program in Kendari Southeast Sulawesi . The animal slaughtered at Kendari abattoir consisted of 97 .7% of Bali cattle, 1 .4% Crossbread Ongole cattle and 0.9% buffalo . The majority of animal slaughtered which were female (85 .7%) and the rest were male (14 .3%) . About 55% animal brought to Kendari abattoir is in slim condition as indication that they were managed in small holder tradition system . The animal treatment after slaughtered at Kendari abattoir did not pay attention on meat quality . There is no chilling room to hung up the carcass for rigor mortis process . It is recommended that abattoir should apply standard procedure for animal handing before and after slaughtering . There is a tendency that people sold and slaughter their best cattle to get a better price and bigger carcass . In addition, in abattoir there many productive cows were slaughtered . If it is not prevented, in the long term, this would foster the decrease of cattle population . There are at least two reasons why the productive cows were sold/slaughtered . Firstly, the farmers need money to cater their family need, while cow is the only option for farmers to transfer into cash . Secondly, the collector/trader prefers to buy female cattle as they can get a cheaper price . Therefore, in order to prevent this condition, government has to provide a strict regulation on female slaughtering with good monitoring. The local government should create trader institution (e .g . cooperative) to help farmers who need emergency money . Opening ranch and fattening are also recommended to slow down the reduction of cattle population to meet beef demand . Key words : Abattoir, cattle, farmers, government
Pendahuluan
Peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional . Pembangunan subsektor petemakan memiliki andil yang cukup besar dalam menunjang pembangunan nasional . Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan subsektor peternakan di Indonesia adalah upaya untuk mencukupi kebutuhan protein hewani . Pada gilirannya, upaya ini akan berpengaruh terhadap peningkatan kecerdasan bangsa . Salah satu kebijakan pembangunan peternakan di Sulawesi Tenggara sebagai salah satu pusat pertumbuhan ternak baru di Kawasan Timur Indonesia adalah pengembangan sumber daya 196
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
ternak yang meliputi peningkatan populasi temak dengan program sebagai berikut : (1) peningkatan kelahiran, (2) peningkatan produksi dan produktivitas, (3) pengendalian pemotongan temak betina produktif, (4) pengendalian penyakit hewan dan (5) penyediaan bibit ternak bermutu . Sampai saat ini program-program tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang menunjukkan adanya penurunan populasi temak sapi dari tahun 1999 sebanyak 295.780 ekor menjadi 221 .975 ekor pada tahun 2006 (menurun sebesar 25%) . Di samping itu, besarnya pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada di Kota Kendari sebagaimana yang telah dilaporkan dari basil pengamatan penulis pada Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Kendari menyimpulkan tingginya intensitas pemotongan sapi betina bunting (95,1 persen) dengan indikator ditemukannya embrio (janin) pada betina yang disembelih (Hafid dan Syam, 2000), merupakan bukti yang akurat terjadinya pemotongan sapi betina bunting . Keadaan ini apabila dibiarkan maka peningkatan populasi sapi yang kita inginkan tidak akan terwujud malah sebaliknya ternak sapi yang ada lama kelamaan akan habis di Sulawesi Tenggara . Di pihak lain permintaan akan daging temak besar (sapi dan kerbau) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Dari segi kualitas daging masih jauh dari kualitas yang diharapkan, hal ini disebabkan Rumah Potong Hewan (RPH) dikota kendari belum memainkan peran yang selayaknya sebuah Rumah Potong Hewan (RPH) modern . Proses pemotongan masih bersifat tradisional yang tidak dapat menjamin dihasilkan daging yang berkualitas karena tidak memperhatikan aspek higienitas daging . Selama proses pemotongan tidak dilakukan penggantungan karkas sehingga karkas dan daging yang dihasilkan dibiarkan tergeletak di atas lantai bercampur dengan darah, urine dan kotoran ternak yang disembelih sehingga dipastikan terkontaminasi dengan mikroba . Padahal Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada di Kota Kendari merupakan RPH Kelas C dengan fasilitas yang memadai sehingga bisa dilakukan pemotongan hewan secara modern (line process) dimana karkas digantung dan dikerjakan secara beruntun dan mencegah terjadinya kontaminasi . Makalah ini disajikan untuk mengangkat permasalahan belum optimalnya fungsi Rumah Potong Hewan dan tingginya intensitas pemotongan sapi betina produktif termasuk sapi bunting yang banyak terjadi di daerah-daerah sehingga dapat berdampak negatif terhadap upaya peningkatan populasi dan swasembada daging .
Gambaran Umum Pemotongan Sapi di Kota Kendari Dari pengamatan di Rumah Potong Hewan (RPH) Kendari diketahui bahwa berdasarkan jenis atau bangsa ternak yang umumnya dipotong adalah sapi Bali, sapi Peranakan Ongole (PO) dan kerbau, masing-masing sebesar 97,7 persen, 1,4 persen dan 0,9 persen. Berdasarkan jenis kelamin, yang terbanyak dipotong adalah ternak betina (85,7 persen) dan jantan (14,3 persen) . Ternak tersebut mempunyai variasi umur dibawah satu tahun (10) sampai lebih dari empat tahun (14) dengan rata-rata tiga sampai empat tahun (13 dan 14) sebesar 21,6 - 22,6%. Secara spesifik teramati tingginya (95,1 persen) intensitas pemotongan sapi betina bunting dengan indicator ditemukannya embrio/janin pada uterus (rahim) sapi (Hafid dan Syam, 2000 ; Arham, 2001 ; Minarsih, 2001).
Prosiding Seminar Nasionat Sapi Potong - Patu, 24 November 2008
197
Pada pengamatan selanjutnya, ditemukan kondisi tubuh sapi yang dipotong pada umumnya dengan kondisi tubuh kurus sampai sedang (55 persen) yang memang merupakan konsekwensi dari pemeliharaan secara tradisional (bukan hasil penggemukan) . Sapi tersebut pada umumnya mempunyai tinggi pundak antara 105 - 115 cm (22,4 - 267,6 persen) dengan bobot badan berkisar antara 200 - 300 kg (21,7 - 24.2 persen), yang menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut mempunyai perawakan tubuh yang cukup baik. Asal ternak tersebut berasal dari beberapa lokasi yakni Kecamatan Moramo, Lasolo, Tinanggea, Konda, Sampara dan Unaaha . Ternak tersebut dibawah oleh pedagang pengumpul kemudian dijual kepada para jagal di Rumah Potong Hewan (RPH) . Meskipun demikian ada beberapa pengusaha jagal ("Bos Jagal") yang langsung mencari sapi kedaerah-daerah pelosok setelah mereka selesai memasarkan daging dan hasil ikutan pemotongan (jeroan, organ dalam, tulang dan kulit) (Syam dan Hafid, 2001 ; Restuningsih, 2001) . Secara prosedur pemotongan, penanganan pemotongan ternak dfi RPH Kota Kendari belum meyakinkan untuk memperoleh kualitas daging yang baik dan dapat mencegah kontaminasi mikroorganisme (kuman) yang berasal dari darah, urine, cairan lambung dan kotoran sapi . Hal ini disebabkan karena setelah disembelih tidak dilakukan penggantungan karkas sehingga proses selanjutnya dikerjakan di lantai RPH . RPH juga tidak dilengkapi fasilitas ruang pendingin karkas (chilling room) yang berarti tidak ada keempatan menyelesaikan proses rigor mortis pada karkas.
Program Percepatan Swasembada Daging Sapi Sampai saat ini, Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi, dan menghadapi pengurasan populasi sapi lokal . Menurut hitungan Dirjen Peternakan Deptan, Indonesia hingga saat ini masih terus mengalami defisit daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton (Sudjana, 2008 dalam Anonimous, 2008). Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor . Kekurangan pasokan itu disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan . Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan. Permintaan daging sapi, menurut Direktur Budidaya Ternak Ruminansia, Ditjen Peternakan, dipenuhi 70% dari lokal dan 30% impor (Fauzi Luthan, 2008 dalam Anonimous, 2008). Akan tetapi akhir-akhir ini nilai impor semakin meningkat . Bila terus berlanjut tanpa ada perubahan, dua tahun ke depan diprediksi perbandingannya menjadi 60:40 atau malah lebih besar . Melihat kondisi ini, pemerintah telah mencanangkan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) pada 2010 untuk menyempumakan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang telah dicanangkan pada tahun 2005 . Tujuan P2SDS 'adalah untuk mengoptimalkan dan memperkuat program pengembangan sapi potong rakyat yang sedang berjalan, mengurangi secara bertahap ketergantungan terhadap impor temak sapi bakalan dan daging, menghemat devisa untuk importasi ternak sapi bakalan dan daging. Percepatan yang dimaksud adalah upaya mengoptimalkan sumber daya ternak lokal/rakyat ke arah kegiatan yang sebenarnya melalui peningkatan peran Pemerintah dan mendorong swasta ikut serta pada industri penggemukan dan pembibitan sapi potong . Swasembada adalah kemampuan penyediaan daging sapi dalam negeri sebesar 90 - 95% dari total kebutuhan daging dalam negeri, sehingga swasembada dapat bersifat on trend artinya suatu saat dapat dilakukan impo dalam jumlah terbatas atau ekspor bila memungkinkan .
1 98
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
Dengan dukungan dana APBN tahun ini sebesar Rp 500 miliar, Ditjennak mengambil tujuh langkah untuk mewujudkan P2SDS . yaitu optimalisasi akseptor dan kelahiran menggunakan Inseminasi Buatan (IB), pengembangan rumah potong hewan dan pengendalian pemotongan betina produktif, perbaikan mutu bibit dan penambahan indukan bunting, penanganan gangguan reproduksi dan keswan, pengembangan pakan lokal, intensifikasi kawin alam, pengembangan SDM serta kelembagaan . Upaya percepatan tersebut difokuskan pada 18 provinsi sentra sapi potong, termasuk di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara .
Selektivitas dalam Pemotongan Sapi Kecenderungan seleksi negatif berupa penjualan/memotong sapi berpostur baik karena mempunyai nilai jual yang tinggi dan produksi daging yang tinggi sangat banyak terjadi dimasyarakat. Dalam jangka panjang akan berimplikasi terhadap penurunan performans sapi . Hasil penelitian diberbagai daerah telah membukikan hal ini . Demikian halnya dengan tingginya intensitas pemotongan betina produktif akan sangat membahayakan keberlanjutan generasi dan perkembang biakan sapi di tanah air . Beberapa faktor yang mendorong tingginya intensitas pemotongan sapi betina produktif, antara lain : (1) Para peternak membutuhkan uang cash sehingga dengan terpaksa harus menjual sapi betinanya yang masih produktif termasuk yang positif bunting . Pembeli yang siap membeli sapi mereka utamanya para pejagal, (2) Para pedagang pengumpul (jagal) lebih ekonomis membeli ternak betina untuk dipotong mengingat harganya relatif murah . Alternatif pencegahan pemotongan sapi betina produktif dapat dilakukan dengan cara 1 . Dari pihak pemerintah, agar mengeluarkan peraturan yang lebih ketat yang mengatur tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif dan mengatur mekanisme pengiriman sapi-sapi antar pulau . Peraturan tersebut dapat memuat mengenai sanksisanksi yang dapat dikenakan bagi siapa saja yang telah terbukti melanggar aturan tersebut . Peraturan tersebut dapat melalui pemerintah pusat maupun melalui pemerintah daerah yang berupa peraturan daerah. Selama ini telah tersedia peraturan tentang pemotongan sapi betina produktif namun tidak diindahkan dalam penerapannya karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelakunya . 2. Perlu kiranya dibentuk sebuah lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan dari peraturan pemerintah tersebut diatas . Lembaga ini dapat berupa hasil kerja sama dengan pihak swasta atau murni hasil bentukan pemerintah sendiri yang dapat melibatkan aparat penegak hukum . 3 . Perlu dibentuk suatu lembaga sejenis Koperasi yang bekerja sama dengan pihak Rumah Potong Hewan (RPH), lembaga ini dimaksudkan untuk membeli sapi-sapi betina yang positif bunting atau tergolong masih produktif. Dengan demikian sapi betina tersebut bisa diselamatkan . 4. Pemerintah daerah perlu membuka areal ranch (peternakan) guna memelihara dan mengembangkan ternak-ternak betina tadi, dengan merekrut tenaga handal dibidang peternakan (sarjana Peternakan) . Bisa juga ternak tersebut diberikan kepada masyarakat dalam bentuk ternak gaduhan.
Prosiding Seminar Nasionat Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
1 99
5. Menggalakkan program/usaha penggemukan sapi potong sebab sapi gemuk mempunyai produksi daging tinggi sehingga dapat membantu dalam hal penyediaan daging bagi konsumsi masyarakat . Penanganan Daging di Rumah Potong Hewan (RPH)
Setiap ternak yang akan dipotong harus diperiksa secara ante mortem oleh petugas yang berwenang (dokter hewan) . Pemotongan ternak memerlukan pisau yang sangat tajam agar nadi, trachea dan syaraf-syaraf leher ternak langsung dapat terputus . Waktu pemotongan harus diusahakan supaya darah dapat keluar secepatnya dan sebanyak mungkin . Semakin banyak darah keluar semakin baik . Daging yang masih mengandung darah dalam pembuluh kapiler akan berwarna kehitam-hitaman dan agak lengket . Hal ini akan mempermudah mikroorganisme menyebar dan membuat daging cepat busuk . Sesudah dipotong, secepat mungkin karkas digantung untuk mempercepat darah keluar . Setelah hewan betul-betul mati kemudian dikuliti, rongga badan dibelah, jeroan dikeluarkan kemudian karkas dipotong menjadi dua bagian . Pemeriksaan postmortem untuk menyatakan hasil apakah daging tersebut : (1) dapat diedarkan untuk dikonsumsi, (2) dapat diedarkan untuk konsumsi dengan syarat sebelum peredaran, dan (3) dilarang diedarkan dan dikonsumsi . Dalam pengangkutan daging dari RPH ke tempat penyimpanan atau tempat penjualan daging harus dihindarkan terjadinya kontaminasi . Kendaraan yang digunakan untuk pengangkutan daging harus dapat menjamin kesehatan dan mutu daging serta tidak dipergunakan untuk tujuan lain selain pengangkutan daging . Pengangkutan karkas harus tetap dalam keadaan tergantung ditempat terpisah dari tempat jeroan dan bagian hewan lainnya . Ruang daging dari kendaraan pengangkut daging harus memenuhi syarat : (1) terbuat dari bahan anti karat, berlantai licin, pertemuan antara dinding tidak bersudut (melengkung) dan mudah dibersihkan, (2) dilengkapi dengan alat gantung/kait yang cukup dan dilengkapi penerangan, (3) untuk pengangkutan yang memerlukan waktu lebih dari dua jam, suhu ruangan bertemperatur -15 °C, dan (4) tidak terbuka selama perjalanan . Penjualan di supermarket, pasar, truk daging, dan lain-lain . Sebaiknya memenuhi syarat tempat penjualan, yakni : (1) meja harus dilapisi dengan poselen atau sejenisnya yang mudah dibersihkan, (2) tempat penjualan harus ditutup dengan kaca tembus pandang atau kasa agar lalat tidak masuk, namun dapat terlihat dari luar karena mendapat cahaya, (3) tersedia tempat untuk menggantung daging yang terbuat dari bahan yang tidak berkarat, (4) daging tidak boleh diletakkan bertumpuk-tumpuk karena akan menimbulkan panas yang menyebabkan daging mudah busuk. Jika dijual berkeliling dari rumah ke rumah, daging harus ditempatkan pada wadah yang memenuhi syarat seperti : mempunyai tutup, bagian dalamnya dilapisi dengan bahan yang tidak berkarat, sedapat-dapatnya berwarna putih .
200
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
Optimalisasi Fungsi Rumah Potong Hewan
Belum optimalnya fungsi Rumah Potong Hewan (RPH) di Kota Kendari, dikarenakan beberapa hal 1 . Pemotongan ternak di Rumah Potong Hewan (RPH) masih bersifat tradsional, dimana tanpa memperhatikan faktor kebersihan (hygienitas) sebab ternak yang telah disembelih dibiarkan tergeletak diatas lantai dan selanjutnya dilakukan proses pengulitan, pengeluaran jeroan dan pengeluaran karkas. Dengan demikian kontaminasi antara daging (karkas) dengan darah, urine, cairan lambung dan kotoran ternak tidak dapat dihindarkan . 2. Belum terampilnya para pekerja dalam menggunakan peralatan yang tersedia di Rumah Potong Hewan (RPH) . Jika dilakukan proses pemotongan secara beruntun sebagaimana layaknya RPH modern maka waktu yang dibutuhkan relatif lama. 3 . Kebanyakan para pekerja di Rumah Potong Hewan (RPH) tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pengelolaan Rumah Potong Hewan (RPH) sehingga berdampak pada kesalahan dalam mengelola Rumah Potong Hewan (RPH) . Upaya-upaya perbaikan guna mengoptimalkan fungsi Rumah Potong Hewan (RPH antara lain) : 1 . Mengadakan pelatihan dan magang bagi para karyawan, pegawai maupun pekerja pemotongan, yang dimaksudkan agar mereka memiliki pengetahuan dan yang terpenting memiliki keterampilan yang cukup sehingga dapat memanfaatkan peralatan yang telah tersedia. Salah satunya yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan mengirim magang beberapa pegawai, karyawan maupun petugas pemotongan ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang telah maju di pulau Jawa. 2. Lebih selektif dalam penerimaan baik itu pegawai/karyawan maupun petugas pemotongan. Dalam hal ini, lebih mengutamakan mereka-mereka yang telah memiliki pengetahuan khusus seperti sarjana peternakan dan mempunyai pengalaman kerja yang cukup menyangkut pengelolaan Rumah Potong Hewan (RPH) . 3 . Perlu perbaikan fasilitas RPH di kota Kendari, utamanya yang mendukung proses pemotongan secara jalur (line system) dan penyediaan ruang pendingin (Chilling Room) sehingga karkas daging yang dihasilkan lebih berkualitas baik sebab terhindar dari kontaminasi bakteri dan proses berlangsung rigormortis lebih sempuma . Penutup
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung program swasembada daging sapi adalah antara lain dengan mencegah terjadinya seleksi negatif dan pemotongan sapi betina produktif. Tindakan yang perlu dilakukan, antara lain dengan membuat peraturan, mengadakan lembaga keuangan semacam koperasi yang bisa menalangi penjualan sapi betina yang bunting/produktif dan merangsang berkembangnya program penggemukan . Dalam rangka mengoptimalkan fungsi Rumah Potong Hewan (RPH) antara lain mengadakan pelatihan dan magang, rekruitmen tenaga kerja RPH yang beasal dari sarjana peternakan dan perbaikan (renovasi) konstruksi RPH utamanya yang menjamin hygienitas karkas dan daging selama proses pemotongan . Sedapat mungkin cara pemotongan hewan sudah bergeser dari Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
201
pemotongan secara tradisional ke cara modem (line-system) dan penerapan system jaminan mutu produk.
Daftar Pustaka Anonimous . 2008 . Swasembada Daging, Kenapa Mesti Gol pada 2010? . Printed by C.J . Feed Indonesia. (http://cj .feed indonesia.co .id). Aberle DE, Forrest JC, Gerrard DE, and Mills EW. 2001 . Principles of meat science. Fourth Edition. W .H. Freeman and Company . San Francisco, United States of America. Abustam, E. 2000 . Pengolahan dan Pengawetan Daging. Dalam : Kursus Singkat Teknik Peningkatan dan Penilaian Karkas dan Daging Pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi . Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin . Makassar. Arham. 2001 . Teknik pemotongan ternak ruminansia di rumah potong hewan Punggulaka Kota Kendari. Laporan Praktek Kerja Lapang . Program Studi Produksi Temak Fakultas pertanian Universitas Haluoleo. Kendari. Buckle, K.A., R.A . Edwards, G.H ., Fleet dan M. Wotton. 1987 . Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press . Jakarta. Hafid, H., Nuraini dan A . Syam. 2000 . Kualitas daging kambing local dengan motede pelayuan dan pemasakan serta umur yang berbeda . Laporan Penelitian . Dibiayai Oleh Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Terapan DP3M DIKTI Berbagai Bidang Ilmu . Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo . Kendari . Hafid, H . dan A. Syam . 2000 . Pengamatan terhadap distribusi dan intensitas pemotongan sapi betina produktif pada rumah potong hewan di Kota Madya Kendari . Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo . Kendari . Lawrie RA. 2003 . Ilmu Daging. Terjemahan : Aminuddin Parakkasi . Penerbit Universitas Indonesia Press . Jakarta. Minarsih, W. 2001 . Karakteristik ternak yang dipotong di rumah potong hewan Punggulaka Kota Kendari. Laporan Praktek Kerja Lapang. Program Studi Produksi Ternak Fakultas pertanian Universitas Haluoleo . Kendari . Restuningsih, W .R. 2001 . Karakteristik ternak sapi potong local yang ada di RPHKendari. Laporan Praktek Kerja Lapang . Program Studi Produksi Ternak Fakultas pertanian Universitas Haluoleo. Kendari . Soeparno. 1998 . Ilmu dan Teknoligi Daging . Gadjah Mada University Press . Yogyakarta. Syam, A dan H. Hafid . 2000 . Pengamatan terhadap karakteristik dan statistic vital sapi potong pada rumah potong hewan Kendari. Laporan Penelitian . Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo . Kendari .
2 02
Prosiding Seminar Nasionat Sapi Potong - Palu, 24 November 2008