REKOMENDASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DAN VETERINER mendukung PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI (PSDS) TAHUN 2014
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2010
REKOMENDASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DAN VETERINER mendukung PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI (PSDS) TAHUN 2014
Penyusun
: Mariyono Yenny Anggraeni Ainur Rasyid
Penyunting
: Abdullah M . Bamualim Bess Tiesnamurti
Type Setting
: Hasanatun Hasinah
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2010
REKOMENDASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DAN VETERINER mendukung PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI (PSDS) TAHUN 2014 Hak Cipta @2010 Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan JI. Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor, 16151 Telp. : (0251) 8322185 Fax. : (0251) 8328382 ; 8380588 Email :
[email protected] Isi buku dapat disitasi dengan menyebutkan sumbemya Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Rekomendasi Teknologi Petemakan dan Veteriner mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014/ Abdullah M . Bamualim dkk. - Bogor Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan, 2010 : viii + 57 him ; ilus. ; 16 cm. ISBN 978-602-8475-10-5 1 . Rekomendasi Teknologi 2 . Petemakan dan Veteriner 3 . Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) I. Judul ; II . Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan III . Bamualim, AM 637.5 Dicetak di Bogor, Indonesia
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, bahwa pada akhirnya Rekomendasi Teknologi Petemakan dan Veteriner mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 telah dapat diselesaikan . Keberhasilan budidaya temak sapi sangat ditentukan oleh mutu bibit, jumlah dan kualitas pakan serta kondisi agroklimat . Pelaksanaan PSDS secara meluas di seluruh wilayah Indonesia memerlukan dukungan pakan optimal yang spesifik di masing-masing lokasi untuk meningkatkan produktivitas serta keberhasilan pengembangan sapi potong . Rekomenasi teknologi ini diharapkan dapat dipergunakan oleh para pelaku usaha, penentu kebijakan dan peternak serta penel ;iti dan penyuluh di BPTP sebagai pegangan dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan PSDS di daerah pengembangan . Penjelasan rind tentang teknologi alternatif yang tersedia di daerah diharapkan juga bermanfaat untuk dapat digunakan secara optimal . Akhirul kata, diharapkan bahwa buku ini dapat memenuhi harapan para peternak dan praktisi di lapang akan kebutuhan teknologi peternakan dan veteriner yang dapat diterapkan pada sapi potong . Bogor, Februari 2010 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Dr. Darminto
iii
DAFTAR ISI I
Pendahuluan
II
Inovasi Teknologi 2.1 . 2 .2. 2 .3. 2.4.
4
Pengelolaan Pakan Model LEISA 4 Strategi Pemberian Pakan 5 Manajemen Pemberian Pakan 9 Hasil Ikutan Tanaman Pangan dan Perkebunan 15
2.5 . Strategi Pengendalian Penyakit Hewan Menular
27
III
Manajemen Ternak pada Perkandangan Model Kelompok/Koloni
34
IV
Manajemen Perkawinan dan Peningkatan Kelahiran dengan Twinning 38
V Pengelolaan Limbah Ternak sebagai Bahan Pembuatan Kompos
42
VI
Penutup
50
4W Daftar Pustaka
51
VIII Lampiran
57
V
DAFTAR TABEL Tabel 1
Sifat Umum Bahan Pakan dan Strategi Pembedan
7
Tabel 2
Konsumsi ransum (dalam BK PK, dan BO), PBBH dan konversi ransum pada sapi Iokal dan silangan
11
Tabel 3
Perbandingan keunggulan genetik bangsa sapi lokal dan persilangan
12
Tabel 4
Komposisi Nutrisi Hasil Ikutan Kelapa Sawit
23
Tabel 5
Superovulasi Sapi Potong dengan Exogenous Hormon
40
vi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I
Komposisi Nutrisi Pakan Hasil Ikutan Tanaman dan Agro-Industrinya
57
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Kandang kelompok beratap seluruhnya
35
Gambar 2
Kandang kelompok beratap sebagian
36
Gambar 3
Penampang digester biogas
49
vita
I. PENDAHULUAN Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 yang telah dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Petemakan dilakukan melalui lima kegiatan pokok yaitu, (i) Penyediaan sapi bakalan lokal ; (ii) Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas temak sapi lokal ; (iii) Pencegahan pemotongan sapi betina produktif; (iv) Penyediaan bibit sapi dan (v) Revitalisasi aturan distribusi dan pemasaran temak/hewan . Kegiatan pokok tersebut dijabarkan dalam Iangkah operasional sebagai berikut : (i) Pengembangan usaha pengembangbiakan dan penggemukan sapi lokal ; (ii) Pengembangan pupuk organik dan biogas ; (iii) Pengembangan integrasi ; (iv) Peningkatan kualitas Rumah Potong Hewan (RPH) ; (v) Revitalisasi Inseminasi Buatan (113) clan Intensifikasi Kawin Alam (INKA) ; (vi) Penyediaan pakan dan air ; (vii) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan ; (viii) Penyelamatan betina produktif; (ix) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan ; (x) Pengembangan Perbibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre (VBC) ; (xi) Penyediaan bibit melalui subsidi bunga pada Kredit Usaha Perbibitan Sapi (KUPS); (xii) Revitalisasi aturan impor sapi bakalan dan daging ; (xiii) Revitalisasi aturan distribusi dan pemasaran temak sapi dan daging di dalam negeri . Swasembada adalah kemampuan penyediaan dalam negeri sebesar 90-95%, sementara sisanya (5-10%) dapat dipenuhi dari importasi . Percepatan yang dilakukan harus tetap mengacu pada prinsip : (i) Keberlanjutan (Sustainable) ; (ii) Sumberdaya domestik; (iii) Pemberdayaan petemakan rakyat ; (iv) Aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dan (v) Keterkaitan antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/ kota, masyarakat dan swasta ; (vi) Prinsip perdagangan internasional yang free dan fair, serta (vii) Membuka peluang ekspor. 1
Sapi potong merupakan salah satu komponen usaha yang cukup berperan dalam agribibisnis pedesaan, utamanya dalam sistem integrasi dengan subsektor pertanian lainnya, sebagai rantai biologis dan ekonomis sistem usahatani . Terkait dengan penyediaan pupuk, maka sapi dapat berfungsi sebagai "pabrik kompos" . Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10 kg/hari ; yang apabila diproses akan menjadi 4-5 kg pupuk organik (Haryanto et al. 1999). Potensi pupuk organik ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mernpertahankan kesuburan lahan, melalui siklus unsur hara secara sempuma . Suharto (2000) menyatakan bahwa dengan penerapan model low external input sustainable agricultural (LEISA) dapat diperoleh beberapa keuntungan antara lain: (i) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal ; (ii) Maksimalisasi daur ulang (zero waste) ; (iii) Minimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan) ; (iv) Diversifikasi usaha ; (v) Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang, serta (vi) Menciptakan semangat kemandirian . Pentingnya peran temak dalam usaha pertanian dibuktikan dengan meningkatnya nilai tambah usaha melalui pemanfaatan kotoran sebagai kompos dan dalam bentuk tenaga kerja sapi. Secara umum potensi yang ada di masing wilayah belum dapat dimanfaatkan secara optimal . Petani masih terkendala dalam pengembangan usaha antara lain sulitnya dalam penyediaan dan pemberian pakan sapi yang memadai, terbatasnya bibit/bakalan berkualitas, dan perrnasalahan reproduksi temak. Luaran yang diharapkan dari sistem pembibitan adalah : (i) Service per conception (SIC) < 1,55 ; (ii) Calving interval, CI) < 14 bulan ; (iii) Angka kelahiran pedet dari populasi induk > 70%; (iv) Kematian pedet pra-sapih < 3% ; dan (v) Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pedet pra-sapih pada sapi Bali/Madura > 0,3 kg, sapi PO > 0,4 kg dan sapi silangan > 0,8 kg. 2
Sedangkan luaran diharapkan dari model penggemukan yang efisien adalah : (i) Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi PO > 0,7 kg, sapi Bali/Madura > 0,6 kg dan sapi silangan > 0,9 kg/hari ;(ii) Bobot potong minimal PO > 450 kg, Bali/Madura > 300 kg, silangan > 500 kg dan (iii) Tingkat kematian nihil .
3
11. INOVASI TEKNOLOGI Inovasi teknologi sangat penting dalam upaya pengembangan dan peningkatan nilai tambah usaha pertanian . Inovasi teknologi untuk mendukung langkah operasional PSDS yang berpijak pada kondisi sistem dan usaha agribisnis yang ada, antara lain: (i) Pengelolaan pakan model LEISA, (ii) Perkandangan model kelompok/koloni, (iii) Pengelolaan limbah temak sebagai bahan pembuatan kompos, (iv) Pemanfaatan kotoran temak sebagai sumber energi gas bio, serta (v) Strategi pengendalian penyakit hewan menular strategis . 2 .1 . Pengelolaan Pakan Model LEISA Peningkatan populasi temak masih terpaku pada kernampuan suatu wilayah untuk menyediakan tanaman pakan temak (carrying capacity) . Sementara itu luas areal sumber pakan temak balk berupa padang penggembalaan umum maupun lahan hijauan pakan terus berkurang . Beberapa penyebabnya adalah semakin diintensifkannya usaha tanaman pangan dan meningkatnya kebutuhan lahan balk untuk kawasan industri maupun pemukiman. Permasalahan lahan yang kompleks tersebut mengakibatkan ketersediaan pakan hijauan, khususnya pada akhir musim kemarau sampai dengan awal musim penghujan dianggap sebagai masalah utama . Apabila diamati potensi bahan pakan limbah (hasil ikutan) tanaman pertanian, perkebunan dan agro-industri, maka penyediaan pakan temak seharusnya tidak perlu dikhawatirkan Limbah pertanian, perkebunan dan agro-industri memiliki potensi yang besar sebagai sumber pakan temak ruminansia . Beberapa permasalahan pemanfaatan hasil ikutan pertanian sebagai pakan adalah nilai nutrisi yang rendah, penyimpanan yang menyita tempat dan kurang tahan lama . Oleh karena itu, pengembangan agribisnis sapi diarahkan pada 4
budidaya petemakan yang menerapkan model LEISA terutama melalul Sistem Integrasi Tanaman Ternak (SITT) khususnya dengan tanaman pangan dan perkebunan . Diyakini bahwa SITT dapat menurunkan biaya produksi melalui optimalisasi pemanfaatan hasil ikutan pertanian, perkebunan dan agroindustri setempat dengan meminimalisasi penggunaan pakan tambahan yang berasal dad luar . Optimalisasi penggunaan bahan pakan hasil ikutan tanaman pertanian dan perkebunan diharapkan dapat menurunkan biaya ransum namun tetap mampu meningkatkan produktivitas temak sapi potong . Manfaat hasil ikutan tanaman pertanian, perkebunan dan agro-industri sangat dirasakan pada saat : (1) . Jumlah ternak yang diusahakan banyak; (2) . Musim sulit pakan (kemarau) ; (3) Tenaga kerja terbatas (musim tanam, panen, dll .), (4). Populasi temak di wilayah bersangkutan padat ; dan (5). Lahan pertanian dibudidayakan secara intensif. Bagi petemak di daerah jarang ternak dan skala pemeliharaan kurang dad 5 ekor, manfaat hasil ikutan tanaman pertanian, perkebunan dan agro-industri kurang dirasakan karena peternak masih berkesempatan untuk mencari rumput alam (native grass) meskipun lokasinya cukup jauh . 2.2 . Strategi Pemberian Pakan Perlu dipahami bersama bahwa "Belum ada strategi dan komposisi pakan terhebat yang dapat diterapkan pada semua sistem usaha peternakan sapi potong yang tersebar di berbagal lokasi usaha. Yang terhebat adalah strategi untuk mengungkap dan meramu bahan pakan potensial setempat menjadi produk ekonomis yang aman, sehat, utuh, dan berkualitas". Pakan utama temak ruminansia adalah hijauan, yaitu sekitar 60-70% dad total konsumsi BK ransum, sehubungan ketersediaan pakan hijauan terbatas maka pengembangan petemakan dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian 5
sebagai strategi penyediaan pakan melalui optimalisasi pemanfaatan hasil ikutan agro-industri pertanian . Pakan sumber serat (hijauan) potensial sebaiknya terdiri atas hasil ikutan tanaman pertanian yang berharga murah dan dapat diberikan sebesar 1-10% dari bobot badan . Semakin rendah kualitas pakan sumber serat, maka dianjurkan jumlah pemberian semakin sedikit. Penyediaan hijauan berkualitas, terutama pada musim kemarau terkadang lebih sulit dan mahal dibandingkan dengan pakan konsentrat daya simpan lebih lama . Dengan demikian sering terjadi bahwa harga per kg hijauan (pada nilai gizi setara) lebih mahal dibandingkan dengan harga konsentrat ; namun hal ini terkadang kurang disadari oteh petemak. Semakin banyak tersedia hijauan dengan kualitas sedang sampai balk, harga murah (< Rp 100/kg), maka jumlah pemberian hijauan dapat ditingkatkan dan konsentrat dapat dikurangi, bahkan ditiadakan. Sifat umum bahan pakan, meliputi kebaikan dan kelemahannya, serta strategi pemberiannya pada temak sapi disajikan dalam Tabel 1 .
6
Tabel 1 . Sifat umum bahan pakan dan strategi pemberian . Nama bahan
Kebaikan
Kelemahan
Strategi
Jerami padi, jagung dan rumput tua
Menghambat laju pakan dalam saluran pencemaan
Gizi rendah, akibatkan temak tambah kurus
Diberikan dalam jumlah sedikit, dicacah atau diolah
Rumput muda
Gizi tinggi sangat disukai
Menyebabkan mencret, atau kembung
Diberikan ad libitum setelah dilayukan dapat dicampur jerami/rumput tua
Kacangkacangan (kedelai, kcg tanah, kcg hijau)
Protein tinggi, sangat balk untuk pembesaran atau penggemukan dan menyusui
Ketersediaan terbatas, harga mahal, kadang sebabkan mencret/ kembung bila dipanen umur muda .
Daun muda perlu dilayukan dan dicampur jerami atau rumput tua . Apabila tidak diare dapat diberikan ad libitum
Dedak padi
Saat panen harga murah dan mudah, sangat disukai . Dedak padi halus balk untuk penggemukan/laktasi
Pemalsuan dedak tinggi, kandungan mineral Ca rendah
Singkong dan hasil ikutan
Energi tinggi cocok untuk penggemukan, sapi bunting tua hingga menyusui
Akibatkan mabuk HCN bagi yang belum terbiasa (asam mudah menguap dan hilang bila dicuci denqan air)
Pilih dedak halus dan baru, defisiensi Ca diatasi dengan tambahan kapur. Apabila tersedia banyak dan murah, pemberian ad libitum Daun singkong dapat dicacah serta dilayukan dan diberikan semaksimal mungkin
Kedelai
Gizi tinggi
Harga mahal
Kombinasi, cocok untuk sapi penggemukan dan menyusui
7
Hijauan identik dengan sumber serat, wama tidak selalu hijau, tidak selalu berbentuk rumput yang sudah umum dikenal (rumput gajah, rumput lapangan, dll .), namun dapat berupa jerami keying Qerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, dll .), daun-daunan (nangka, pisang, kelapa sawit, dil), hasil ikutan agro-industri (bagase tebu, kulit kacang, tumpi jagung, kulit kopi, dll). Pakan yang balk adalah pakan yang murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai temak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan temak serta lingkungan . Konsentrat (Concentrate) adalah bahan pakan dengan nilai gizi tinggi yang dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dad keseluruhan pakan yang disatukan dan dicampur sebagai pelengkap (suplemen) . Konsentrat sapi potong yang dimaksud dalam tulisan ini tidak selalu berbentuk konsentrat buatan pabrik atau yang dijual di pasaran (konsentrat komersial) ; namun dapat berupa bahan pakan tunggal atau campuran beberapa bahan pakan yang memenuhi syarat kualitas tertentu . Untuk menekan biaya ransum, pemberian konsentrat dapat dikombinasikan dengan bahan pakan hasil ikutan agroindustri potensial setempat. Pemanfaatan bahan pakan setempat dapat menggantikan konsentrat komersial 75-100% dad total pakan.
Penggunaan konsentrat "murah" lebih dianjurkan untuk pengembangan sapi potong di wilayah potensial bahan pakan hasil ikutan agro-industri pertanian berkualitas rendah. Di antaranya pakan konsentrat potensial seperti hasil ikutan tanaman pangan Qerami padi, jerami jagung, dedak pad!, tumpi jagung, kulit kacang), dan tanaman perkebunan (kulit kopi) dll . Beberapa teknologi altematif yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas bahan pakan, terutama pakan sumber 8
serat, antara lain dilakukan dengan perlakuan (Diwyanto dan Priyanti, 2004) sebagaiman dijelaskan berikut ini .
• •
• •
Fisik; ditujukan untuk mengurangi ukuran atau melindungi bahan pakan yang mempunyai nutrisi baik (dicincang, digiling, pelleting) . Kimia ; ditujukan untuk merenggangkan ikatan lignin dan selulosa, meningkatkan nilai nutrisi, mengurangi dampak cekaman panas (penambahan bahan kimia yang bersifat asam, basa, dan oksidatif) Biologi ; ditujukan untuk mengubah struktur kimiawi bahan pakan (inokulasi probion, bio-plus, starbio, jamur, dll) . pakan; ditujukan untuk Suplementasi dan strategi dan kekurangan nutrisi ransum melengkapi penganekaragaman bahan pakan yang memenuhi unsur serat, energi dan protein .
2.3. Manajemen Pemberian Pakan Hasil penelitian pakan dan nutrisi sapi PO yang dilakukan di Loka Penelitian Sapi Potong sejak tahun 2002 sampai tahun 2008, merekomendasikan strategi dan altematif model pakan . Rekomendasi awal ini perlu terus diteliti dan dikaji sehingga diperoleh hasil lebih sempuma . 2.3.1 . Pembibitan Sapi (i). Sapi Sapihan Penyapihan dilakukan setelah pedet umur tujuh bulan (205 hari) yang diharapkan pedet telah mampu mengkonsumsi dan memanfaatkan pakan kasar dengan baik . Introduksi teknologi pakan dilakukan untuk efisiensi biaya pemeliharaan dengan target PBBH > 0,6 kg/ekor/hari . Pakan konsentrat murah/ komersial sebanyak 1-3% dari bobot badan dengan kandungan PK > 10%, TDN > 60%, SK < 15% dan abu < 10% . Altematif model pakan yang diberikan untuk sapi sapihan dengan bobot badan 150-175 kg, skor kondisi badan 6-7 adalah 2-3 kg konsentrat komersial atau dedak padi berkualitas baik, 3 kg 9
kulit ubi kayo, 3-4 kg rumput segar, dan jerami padi kering adlibitum (2-4 kg/ekor). (ii). Sapi Dara Introduksi teknologi pakan dilakukan untuk efisiensi biaya pemeliharaan dengan target PBBH > 0,6 kg/ekor/hari . Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang optimal dan ekonomis pada sapi dara adalah konsentrat murah/komersial yang memiliki kandungan PK > 8% dan TDN 60% sebanyak 1-3% dad bobot badan. Altematif model pakan untuk sapi dara dengan bobot badan 200 kg, adalah 2 kg konsentrat komersial/dedak padi dan kualitas sedang sampai balk, 3 kg tumpi jagung, 1 kg kulit kopi, rumput segar 3-4 kg dan jerami padi kering ad-libitum (±4 kg/ekor/hari) . (iii). Sapi Bunting Tua Teknologi steaming up, challenge, dan flushing dilakukan secara berkesinambungan sejak sapi induk bunting 9 bulan hingga menyusui anak umur 2 bulan . Pakan konsentrat murah sebanyak 1-3% dad bobot badan dengan kandungan PK minimal 10%, TDN minimal 60%, SK maksimal 20% dan abu maksimal 10%. Altematif model pakan yang diberikan untuk sapi induk bunting tua dengan bobot badan 325-350 kg, adalah 3,5 kg konsentrat komersial/dedak padi berkualitas sedang sampai balk, 4-6 kg tumpi jagung, 1 kg kulit kopi, rumput segar 3-4 kg dan jerami padi kering ad-libitum (4-7 kg/ekor/hari) . (iv). Sapi Menyusui Penyapihan pedet dianjurkan pada umur 7 bulan, mengingat susu merupakan pakan terbaik bagi pedet . Sapi induk dapat menghasilkan susu sampai dengan umur kebuntingan 7 bulan tanpa berpengaruh negatif terhadap kebuntingan benkutnya . Penggunaan konsentrat murah/ komersial untuk sapi menyusui dapat diberikan sekitar 1,5-3% bobot badan dengan kandungan protein kasar (PK) minimal 12%, TDN minimal 60%, serat kasar (SK) maksimal 20% dan 10
abu maksimal 10% . Altematif model pakan yang diberikan untuk sapi induk menyusui dengan bobot badan 300 kg, adalah 4-7 kg konsentrat komersial/dedak padi kualitas balk, 6 kg tumpi jagung, 4 kg rumput segar dan jerami padi kering adlibitum (4-7 kg/ekor/hari) . 2 .3 .2 . Penggemukan Sapi
Beberapa faktor teknis yang menentukan dalam nilai ekonomis usaha penggemukan sapi potong, adalah sebagai berikut: (i) . Bangsa Pemilihan bangsa sapi bakalan yang digunakan dalam penggemukan, ikut menentukan keuntungan atau keberhasilan terkait dengan pencapaian pertambahan bobot badan yang optimal . Masing-masing bangsa sapi memiliki karakteristik tersendiri khususnya dalam adaptabilitas terhadap Iingkungan (pakan, tatalaksana). Sapi jenis besar belum tentu menguntungkan; sangat bergantung pada pakan yang diberikan. Hasil penelitian di Lolit Sapi Potong, rataan konsumsi bahan kering (BK), protein kasar (PK), bahan organik (BO) dan TDN ransum disajikan pada Tabel 2 (Hartati et a/., 2005) . Tabel 2.
Konsumsi ransum (dalam BK, PK, dan BO), PBBH dan konversi ransum pada sapi lokal dan silangan
Parameter Sapi Silangan Sapi PO BK (kg/hari) 9,36+1,17 8 11,36+1 .85b 0,82+0,15b PK (kg/had) 0,67 + 0,09a BO (kg/hari) 6,25+0,827,68+1 :33b TDN (kg/hari) 4,66 + 0,59a 5,67T096' PBBH (kg) 0,85 + 0,26a 0,82 ± 0,18a Konversi BK ransum 29,73 + 10,30 a 35,40 + 10,92a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada bans yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) .
11
Hasil penelitian terhadap kinerja produksi beberapa sapi potong lokal dilaporkan oleh beberapa peneliti (Tabel 3) . Kondisi ini menggambarkan bahwa sapi lokal kurang respon terhadap pakan yang bermutu tinggi, apabila dibanding dengan sapi eksotik. Namun dengan kondisi pakan yang terbatas, maka sapi lokal dapat memberi respon cukup balk dibanding dengan sapi eksotik. label 3 . Perbandingan keunggulan genetik bangsa sapi lokal dan persilangan Bangsa sapi Sapi Lokal a.Madura b. Ongole c. Bali d.Grati
1 0,60 0,75 0,66 0,90
PBBH (kg/eko/hari) 2 0,75 -
3 -
Sapi persilangan a. PFH 1,03 1,32 b. Brahman Cross (BX) 0,91 c. Simental X PO 1,18 d. Limousin X PO 0,90 Sumber: 1) Moran, (1979) ; 2) Sitepu (1997); 3) Subiharta et al, 2000 dalam Hadi et al (2002) . (ii). Jenis kelamin (Sex)
Jenis kelamin temak merupakan faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan sapi bakalan, disamping faktor bangsa . Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sapi jantan memiliki pertumbuhan (PBBH) yang lebih balk, persentase karkas yang lebih tinggi, efisiensi pakan lebih tinggi, cenderung memiliki persentase lemak yang lebih rendah dad pada sapi betina. Sapi jantan (kastrasi dan non kastrasi) 12
menunjukan perbedaan dalam PBBH, dimana sapi jantan kastrasi memiliki persentase lemak cenderung lebih tinggi dan lebih mudah ditangani dari pada sapi yang tidak dikastrasi . (iii). Umur bakalan Umur sapi bakalan yang ideal untuk program penggemukan adalah ternak dewasa tetapi tidak terlalu tua yaitu sekitar 1,5-2,5 tahun, sehingga pada saat jual tidak melebihi umur 3 tahun . Kondisi ini merupakan kesempatan yang sebesar-besarnya dalam pembentukan daging dan saat dijual cadangan lemak tidak terlalu tinggi . Berdasarkan sex maturity (dewasa kelamin) sapi potong digolongkan menjadi dua yaitu early dan late maturity. Sapi early maturity adalah sapi dengan ukuran tubuh besar (di daerah temperate) dewasa kelamin pada umur 8-9 bulan, sedangkan late maturity pada umumnya terjadi sapi di daerah tropis seperti sapi Brahman (12-14 bulan). (iv) . Bobot badan dan kondisi awal Bobot badan dan kondisi awal sapi bakalan yang akan digemukkan berpengaruh terhadap lama penggemukan . Bobot badan ideal untuk pasar sebesar 400-500 kg merupakan bobot badan yang cocok berdasarkan kondisi perototan dan sedikit lemak, sehingga diperlukan bobot badan awal yang ideal sebesar yaitu 260-300 kg . Kondisi badan yang ideal dan banyak disenangi feedlot adalah sedang, membutuhkan waktu yang lebih singkat minimal 5-6 bulan . (v). Pemberian pakan Pemberian pakan bagi usaha penggemukan komersial (feedlot) dengan masa penggemukan 3 bulan dikenal dengan teknologi grain feed, maka kualitas pakan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberikan hasil yang menunjang pertumbuhan yang optimal dan menghasilkan kualitas daing 13
yang baik . Teknologi pakan grain feed menggunakan hijauan sebesar 15-20% dan pakan konsentrat sebesar 80-85%, tergantung clad nilai ekonomi yang didasarkan pada konversi pakan diperoleh . Ransum sapi yang digemukkan memenukan bahan kering (BK) sebanyak > 3% dad bobot badan, dan kandungan protein minimal 9% dan energi (TDN) sebesar 60-70%. Di bawah ini dijelaskan secara ringkas tentang jumlah pakan atau porsi pakan hijauan dan konsentrat yang dapat diberikan pada temak sapi. Pakan Hijauan : Pakan hijauan meliputi tanaman rumput, tanaman leguminosa dan limbah pertanian . a . Pakan hijauan terdiri dan rumput lapangan dan rumput yang dibudidaya (jika umur potong muda, < 50 had, maka dapat diberikan hingga 10% clad BB ; jika tanaman tua maka disarankan hanya diberikan < 4% clad BB) . b . Leguminosa terdiri dan Lamtoro, turi dan gamal . Jika tersedia dalam jumlah banyak maka hijauan leguminosa dapat diberikan sebanyak 20-60% dad total hijauan, dan dapat menurunkan jumlah pemberian konsentrat. c. Limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung dll disarankan untuk dibenkan tidak lebih dan 3% dari BB . Konsentrat : Pakan konsentrat meliputi pakan komersial dan limbah agro indutri . a . Pakan komersial adalah pakan buatan pabrik dengan pembenan 1-1,5% dari BB . Kandungan pakan konsentrat harus mengandung: BK > 88%, PK > 12%, LK < 6%, SK 1217%,TDN > 64%, dan abu < 10% . b . Limbah industri pertanian terdiri dad onggok, dedak pad!, ampas tahu, bungkil kelapa, bungkil kedele, bungkil sawit 14
dll. Penggunaan limbah industri pertanian maksimal untuk bungkil kelapa 20%, bungkil kedele 25%, dedak padi 100% dan ampas sagu 15% dari konsentrat . Penyusunan dan pemberian ransum tidak selamanya didasarkan atas ransum yang murah, tetapi lebih didasarkan pada analisis ekonomi. Penyusunan ransum didasarkan konversi pakan yaitu biaya ransum (jumlah pakan) yang dibutuhkan untuk mendapatkan setiap kilogram pertambahan bobot badan harian . Beberapa hasil penelitian terhadap penggemukan sapi silangan Simental/Limousin yang mendapat konsentrat 24% dengan substitusi bahan pakan adalah sebagai berikut : (i) 48% onggok dan 20% tumpi jagung menghasilkan pertumbuhan sebesar 0,71 ± 0,09 kg/ekor/hari, (ii) 24% onggok dan 41 % tumpi jagung menghasilkan pertumbuhan sebesar 0,77 ± 0,09 kg/ekor/hari, dan (iii) 68% tumpi jagung menghasilkan pertumbuhan 0,66 ± 0,18 kg/ekor/hari maka (Mariyono et al., 2008) . 2.4. Hasil Ikutan Tanaman Pangan dan Perkebunan Dalam bagian ini disajikan tentang berbagi hasil ikutan tanaman pangan dan perkebunan yang sangat potensial digunakan sebagai pakan sapi potong . Dan tanaman pangan dijelaskan tentang hasil ikutan tanaman padi, jagung, ubi kayu, kedele, dan kacang tanah. Sedangkan hasil ikutan dari perkebunan dipaparkan tentang hasil ikutan tanaman kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, tebu, dan kapok . Lampiran 1 menyampaikan tentang komposisi nutrisi pakan hasil ikutan tanaman dan agro-industn .
15
2.4.1 . Tanaman Pangan (1). Padi Hasil ikutan tanaman padi adalah jerami, dedak dan sekam, setiap ton gabah yang dipanen menyisakan jerami padi sekitar 1,35 ton (Putun et al., 2004), penggilingan gabah yang telah dikeringkan akan dihasilkan sekitar 10% dedak, 2% menir (beras yang hancur), dan 24-25% sekam (Kariyasa, 2006) . Jerami padi merupakan pakan sumber serat sedangkan dedak dapat berfungsi sebagai somber serat dan/atau energi . Kualitas dedak padi yang sangat bervariasi menyebabkan hasil ikutan pemrosesan beras tersebut tidak mudah digolongkan . Sekam tidak umum digunakan sebagi pakan karena kadar lignin tinggi dan terikat oleh silika sehingga sulit tercema serta tidak disukai temak . Jerami padi terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan produksi sekitar 52 juta ton bahan kering per tahun, sehingga cukup potensial digunakan sebagai pakan . Fraksi serat pada jerami padi terikat oleh lignin dan silika, menyebabkan bahan tersebut lambat tercema, dalam saluran pencemaan dibutuhkan waktu sekitar 81,67 jam dibandingkan dedak halus yang hanya 67,50 jam (Utomo, 2004), oleh karena itu tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal . Berbagai perlakuan terhadap jerami padi untuk meningkatkan nilai gizi telah banyak digunakan, namun bagi petemak kecil tampaknya suplementasi dengan sisa hasil agroindustri pertanian ataupun tanaman leguminosa merupakan pilihan yang mudah diterapkan (Martawijaya, 2003) . Lebih lanjut dikatakan jerami padi dapat menggantikan 10% hijauan segar untuk kambing dan domba . Apabila digunakan bersama konsentrat, jerami padi fermentasi dapat menggantikan rumput segar sebanyak 30% . Mahendri et al. (2006) membandingkan jerami padi fermentasi dan non fermentasi yang ditambahkan konsentrat pada sapi PO mampu meningkatkan bobot badan 16
harian 1,02-1,05 kg/ekor/hari, tanpa ada perbedaan antara jerami fermentasi dan non fermentasi . Anggraeny dan Umiyasih (2004) memberikan jerami padi fermentasi bebas terkontrol (adlibitum) bersama 4-5 kg konsentrat per ekor per had pada sapi penggemukan mampu menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,72 kg/ekor/hari . Di Jawa Timur pemanfaatan jerami padi sangat tinggi dan telah terjadi persaingan untuk kebutuhan : (a) Mulsa (penutup lahan); (b) Pakan temak ; (c) Bahan baku pembuatan kertas ; dan (d) Media budidaya tanaman jamur. Limbah penggilingan padi adalah dedak, sudah umum dimanfaatkan sebagai bahan pakan temak . Variasi nutrisi dedak padi bergantung pada jenis padi dan jenis me sin penggiling . Pada saat panen raya (April-Mei) harganya sangat murah . Pada saat harga mahal pemalsuan dedak padi cukup tinggi yaitu dengan melakukan pengurangan kandungan berasmenir dalam dedak, pemisahan kembali menggunakan sparator dan penambahan dengan bahan lain seperti tepung batu kapur, limbah rumput taut, tanah putih, tepung jerami padi, dan lainlain . Pemalsuan tersebut semakin sering terjadi, seiring dengan berkembangnya teknologi mesin penghalus (hummer mill) . Umumnya, semakin baik kualitas dedak padi, semakin mudah tengik. Kualitas dedak padi yang baik mudah terkontaminasi oleh bakteri dan jamur penghasil enzim lipase . Enzim tersebut menguraikan minyak dalam dedak padi menjadi asam lemak mudah terbang yang berbau tengik sehingga kurang disukai temak (Mathius dan Sinurat, 2001), lebih lanjut bahwa dedak mengandung zat antinutrisi disebutkan myoinositol (asam fitat) yang menghambat ketersediaan mineral dalam ransum . Pada usaha pembibitan dan penggemukan, dedak padi dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 100%, terutama dedak padi kualitas baik yang biasa disebut dengan 17
pecah Wit (PK) 2 dan separator, yaitu dedak padi yang dihasilkan pada penggilingan padi tahap ke-dua menggunakan mesin penyosoh (polisher), terutama pada penyosohan ke-dua, karena dedak ini tidak tercampur dengan serpihan sekam (Widowati, 2001) . (ii). Jagung Hasil ikutan tanaman jagung adalah bagian dari tanaman jagung yang berada di atas tanah, tidak termasuk tonggak maupun akar yang berada di permukaan dan sudah dikurangi biji yang dipipil . Hasil samping jagung terdiri atas 50% batang, 22% daun, 15% tongkol (janggel) dan 13% Wit buah I klobot (Hettenhaus, 2002). Menurut Diwyanto dan Priyanti (2004), setiap 1 ha tanaman jagung dapat menghasilkan pakan untuk memelihara sapi sebanyak 2-3 ekor. Proses penggilingan jagung pada industri pangan maupun pakan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu penggilingan kering dan basah, yang akan memberikan hasil samping berbeda (Tangendjaja dan Wina, 2008) . Lebih lanjut diterangkan bahwa penggilingan basah (wet milling) dilakukan menggunakan air atau pelarut untuk memisahkan komponen kimia jagung untuk menghasilkan pati jagung (tepung maizena) ataupun High fructose corn syrup (pemanis minuman). Hasil sarnping penggilingan basah berupa Corn gluten meal, Corn gluten feed, Corn germ meal, dan sebagainya . Pemanfaatan jagung untuk etanol menghasilkan produk samping berupa Distillers dried grains and solubles (DDGS), yang dapat digunakan sebagai pakan . Penggilingan kering ditujukan guna mengubah dan memisahkan partikel jagung untuk menghasilkan berbagai produk, terutama grit jagung sebagai pakan unggas. Hasil sarnping penggilingan ini adalah homini (empog jagung), yang mempunyai kandungan protein sedikit lebih tinggi dan jagung tetapi mempunyai serat yang lebih tinggi pula . Pada saat 18
proses penggilingan kering, Wit ari jagung juga terpisah bersama fraksi Iainnya, balk berupa kotoran halus maupun sebagian lembaga dan endosperma, biasa disebut tumpi, mempunyai kandungan serat kasar relatif tinggi . Tumpi dan tongkol jagung ketersediaannya cukup kontinyu dan berlimpah, bahkan terkadang menimbulkan masalah dalam pembuangan atau penyimpanannya saat panen raya . Tumpi merupakan hasil ikutan tanaman jagung yang keberadaannya tidak bersaing dengan bahan pangan serta pakan temak monogastrik namun masih memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi . Tumpi jagung tanpa perlakuan dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 75% (Hartati, et al ., 2005), lebih lanjut dikatakan bahwa tumpi yang diberikan mampu menghasilkan pertambahan bobot badan 0,82-0,85 kg/ekor/hari tanpa perbedaan antara sapi PO maupun silangan . (iii). Ubi Kayu Pada pemanenan ubi kayu dihasilkan 50% umbi, 44% batang dan 6% daun . Daun ubi kayu umum digunakan sebagai pakan ruminansia sementara batangnya untuk kayu bakar (meskipun ada yang bisa memanfaatkannya sebagai pakan sapi) . Andrizal (2003), melaporkan, bahwa di Indonesia sebagian besar (54,2%) ubi kayu digunakan untuk pangan, sisanya untuk bahan baku industri, seperti industri tepung tapioka (19,7%), industri pakan temak (1,8%) dan industri non pangan Iainnya (8,5%), serta diekspor (15,8%). Asam sianida (HCN) adalah zat anti nutrisi utama yang dapat ditemukan pada daun dan umbi ubi kayu . Kandungan asam sianida dalam daun singkong sangat tinggi, antara 400600 ppm (Mathius dan Sinurat, 2001) . Semua hasil ikutan pemrosesan ubi kayu baik keying maupun basah dapat dimanfaatkan sebagai pakan, diantaranya adalah kulit umbi, onggok (gamblong), gaplek (cassava chips) afkir dan sebagainya . Seringkali ubi kayu sengaja diproses 19
sebagai bahan pakan sapi dalam bentuk gaplek dan pelet, yang merupakan komoditas ekspor . Volume ekspor gaplek dan pellet ubi kayu pada tahun 1998 adalah 194 .616 ton dan 24.770 ton (Andrizal . 2003, data disitasi dari Ditjen Tanaman Pangan dan BPS). Bahan pakan asal ubi kayu tergolong sebagai sumber karbohidrat yang mudah dicema . Hasil penelitian dan aplikasi di daerah panas telah banyak membuktikan, bahwa bahan pakan asal ubi kayu mempunyai manfaat biologis yang lebih balk dibandingkan dengan dedak padi kualitas rendah sampai sedang. Akhir-akhir ini harga onggok meningkat tajam dan telah melebihi harga dedak padi yang secara proksimat mempunyai kadar PK lebih tinggi . Pemanfaatan onggok dalam konsentrat penggemukan dan pembesaran dapat mencapai 60%. Penggemukan sapi potong dengan bahan dasar ubi kayu dan ikutannya dapat mencapai PBBH 1 kg . Boer et al. (2003) melaporkan, penggunaan onggok sampai dengan 15% pada pakan penguat mampu menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,50 kg/ekor/hari pada sapi PO umur 1,5-2 tahun. Pemalsuan ubi kayu dan produk ikutannya pada akhirakhir ini cukup meningkat antara lain dicampur dengan tepung batu kapur, hasil ikutan agro-industri rumput laut, tanah putih, tepung batang ketela pohon, dll. (iv). Kedelai Jerami kedelai jarang digunakan sebagai pakan, diduga karena proses pemanenan kedelai mengharuskan jerami dikeringkan . Jerami kedelai keying bertekstur keras dan berdebu sehingga tidak disukai temak, bahkan sapi yang diberi pakan tunggal jerami kedelai bobot badannya menurun (FFTC, 2008). 20
Kedelai merupakan salah satu bahan pakan yang bernilai biologis tinggi. Penggunaan kedelai sebagai pakan ternak ruminansia belum umum digunakan di Indonesia karena harganya mahal, bersaing dengan kebutuhan pangan dan temak monogastrik . Hasil ikutan kedelai yang banyak digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah kulit buah (polong), batang dan kulit polong, kulit ari biji, ampas tahu, ampas kecap dan kedelai afkir . Kedelai dan ikutannya dapat digunakan kepada semaksimal mungkin, bergantung ketersediaan dan harga bahan di lokasi setempat . Mathius dan Sinurat (2001) melaporkan bahwa nutrisi ampas tahu sangat bervariasi tergantung cara yang digunakan dalam pembuatan tahu . Kandungan protein dan air yang tinggi (23-29%) dari ampas tahu, merupakan kendala dalam pendistribusian, sehingga disarankan untuk dikeringkan terlebih dahulu . Ampas tahu, dan kulit ari biji sangat balk diberikan pada sapi menyusui atau penggemukan ; dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 75% . Diduga, bahwa untuk sapi penggemukan, pemberian ampas tahu dalam waktu yang lama (>6 bulan) dan dalam jumlah banyak (konsumsi BK ampas tahu >1% dad bobot badan sapi) dapat mengakibatkan tekstur daging kurang padat dan berlemak . Penggunaan ampas tahu sebagai pengganti bungkil kelapa (pada level 32% konsentrat), menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan bungkil kelapa dalam konsentrat . 20% ampas tahu dalam konsentrat komersial pada penggemukan sapi mampu menghasilkan pertambahan bobot badan 1,10 kg/ekor/hari dan tidak berbeda dengan yang menggunaan konsentrat komersial . (v) . Kacang Tanah Jerami kacang tanah biasanya diberikan dalam bentuk segar, setelah diambil polong kacang yang cukup tua, 21
sementara hasil ikutan kacang tanah dapat berupa bungkil (Iimbah pengepresan kacang untuk diambil minyaknya). Hasil ikutan yang lain adalah kulit polong dan kulit ari kacang, kandungan serat kasar kulit polong tinggi, namun rendah protein dan energi; sementara kulit ari mengandung protein dan energi seimbang namun mengandung banyak tanin yang dapat menurunkan kecemaan protein (McCann dan Stewart, 2000) . Pemanfaatan kulit kacang tanah sebagai pakan temak belum umum dilakukan ; sebagian besar hanya dibuang atau dibakar . Penggunaan kulit kacang tanah untuk ransum sapi pembibitan, pembesaran, dan penggemukan dapat mencapai 20% dalam ransum . 2.4.2. Tanaman Perkebunan (i). Kelapa Sawit Perkebunan sawit berpeluang besar sebagai wilayah pengembangan temak ruminansia . Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai lebih 7 juta ha dan lebih 75% berada di Pulau Sumatra . Salah satu perusahaan yang telah mengadopsi teknologi integrasi temak-sawit adalah PT. Agricinal Bengkulu . Kendala hijauan yang terbatas setelah kelapa sawit berumur 10-12 tahun bukan merupakan faktor pembatas, mengingat daun sawit dapat menggantikan rumput . Vegetasi hijauan di antara pohon kelapa sawit, hasil ikutan industri pengolahan minyak sawit seperti bungkil inti sawit (palm kernel cake); lumpur sawit (solid decanter) dan hasil ikutan di kebun seperti daun dan pelepah sawit belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung produksi temak ruminansia. Bungkil inti sawit sebagian besar diekspor ke Eropa sebagai pakan sapi perah dan sangat terbatas dimanfaatkan di dalam negeri (Batubara, 2003). Hasil ikutan tanaman dan agro-industri sawit berpotensi sebagai pakan sumber sarat dan protein, diantaranya adalah 22
bungkil inti, lumpur, serat buah, tandan buah kosong, daun, dan pelepah seperti pada Tabel 4 . Tabel 4 . Komposisi nutrisi hasil ikutan kelapa sawit .
SK I Abu BK PK I LK I (%) % BK 4,3 17,2 1,5 17,1 Bungkil inti* 89,0 19,5 Solid decanter* 35,0 12,5 8,7 20,1 Daun** 45,2 11,2 3,2 2,3 0,5 Daging pelepah** 21,9 38,5 3,2 Daun + pelepah** 25,5 4,7 2,1 5,3 5,4 3,5 41,2 Serat perasan buah* 91,2 3,7 3,2 48,8 Tandan buah kosong* 37,6 2,8 Batang* 27,3 2,8 1,1 Sumber: *Batubara (2003) disitasi dari Wong dan Zahari (1992) ; **Sudaryanto et a1. (1999) . Hasil ikutan
Setiap ha luasan tanaman sawit dapat menghasilkan 1015 ton tandan buah segar (TBS) per tahun ; hasil ikutan cair 1 m3/ton TBS ; tandan kosong 0,2 ton basah/ton TBS ; serat buah 0,13 ton kering/ton TBS ; cangkang 0,05 ton kering/ton TBS ; pelepah 10,5 ton kering/ton TBS ; dan batang 70 ton kering/ha/25 tahun . Sabut sawit tergolong serat bermutu rendah dengan kandungan lignin tinggi, protein, kecemaan dan palatabilitasnya rendah . Penggunaan dalam ransum ruminansia sekitar 25-30% . Penggunaan bungkil inti sawit yang telah ditambahkan mineral dan vitamin sebagai pakan tunggal penggemukan sapi potong mampu menghasilkan pertambahan bobot badan 0,75 kg/ekor/hari (Mathius dan Sinurat, 2001) . Namun bungkil inti sawit sebagai pakan tunggal rentan menjadikan perut kembung pada sapi .
23
(ii). Kelapa Salah satu hasil ikutan tanaman kelapa yang banyak digunakan sebagai pakan temak adalah bungkil kelapa . Pemanfaatan bungkil kelapa sebagal pakan temak ruminansia maupun unggas telah umum digunakan, sehingga harga kelapa dipasaran cukup mahal. Harga bungkil kelapa dipasaran sangat dipengaruhi oleh permintaan ekspor yang biasanya meningkat pada bulan Maret - Mei (Priyanti dan Mariyono, 2008) . Meskipun merupakan bahan pakan sumber protein (sekitar 22%), namun bungkil kelapa memiliki kelemahan, yaitu : kandungan serat kasar (14%) dan aflatoksin yang cukup tinggi, terutama di daerah iklim tropis basah seperti Indonesia (Mathius dan Sinurat, 2001). Walaupun bungkil kelapa merupakan sumber protein namun miskin asam amino esensial' seperti lisin. Penggunaan bungkil kelapa dalam konsentrat sapi perah dan sapi potong yang diproduksi oleh salah satu pabrik pakan temak komersial di Jatim, berkisar antara 10 sampai 25% . Pada kondisi tertentu penggunaan bungkil kelapa dapat ditingkatkan hingga 32% dengan pertumbuhan yang cukup balk. Bahkan 50% bungkil kelapa dalam konsentrat sapi PO dapat menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,46 kg/ekor/hari . (iii). Kopi Dalam pengelolaan buah kopi dapat dihasilkan 45% kulit kopi, 10% lendir, 5% kulit ari dan 40% biji kopi . Harga kulit kopi sangat murah, terutama pada saat musim panen raya (JuliAgustus). Pemanfaatan kulit kopi sebagai pakan temak belum umum dilakukan . Sebagian kecil telah dimanfaatkan sebagai pakan temak ruminansia dan sebagian besar lainnya hanya dibuang atau dibenamkan ke dalam tanah untuk digunakan sebagai pupuk organik pada perkebunan kopi, coklat atau pertanian lainnya. Pada usaha temak pembibitan, Wit kopi 24
dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 20% dan pada usaha penggemukan dapat diberikan sekitar 5-10% (PKSP, 2007). Anggraeny et a!. (2006) menggunakan beberapa level konsentrat yang mengandung kulit kopi sebesar 20% pada pembesaran pedet betina dalam pembibitan sapi potong . Birahi pertama dicapai pada saat bobot badan 180-189 kg, tidak berbeda diantara level dan masih lebih baik dibandingkan dengan pada petemakan rakyat sebesar 257 kg . (iv) . Kakao Hasil ikutan pengolahan buah kakao yang berpotensi digunakan sebagai pakan temak adalah kulit buah (pod) luar dan kulit biji (ari) . Pod kakao segar mudah busuk, sehingga pengeringan . dalam penyimpanannya perlu dilakukan Teknologi pengeringan pod kakao yang murah dan ekonomis adalah dengan sinar matahani . Hasil penelitian penggunaan pod kakao pada temak ruminansia menunjukkan bahwa penambahan urea mampu meningkatkan kecemaan BK dan BO pada silase pod kakao, kecemaan tertinggi dicapai pada penambahan 1 % urea, masing-masing sebesar 40,2% dan 35,1 % . Pada penggemukan sapi yang menggunakan' pakan 75% konsentrat dan 25% hijauan, kakao dapat menggantikan 100% hijauan yang diberikan . Pemanfaatannya untuk usaha pembibitan dapat mencapai 20% dalam konsentrat komersial . Penggunaan hijauan ditambah 2 kg/ekor/hari pod kakao yang difermentasi dapat menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,52 kglekor/hari pada sapi Bali, berbeda nyata dibandingkan sap! Bali yang hanya diberikan hijauan (Guntoro et al., 2006) . Produk kakao mengandung zat anti nutrisi berupa alkaloid theobromin, merupakan suatu senyawa heterosiklik yang mengandung nitrogen dan dapat mengganggu/ menghambat proses pencemaan . Pengaruh theobromin pada 25
sapi yang diberi pakan hasil samping pengolahan kakao dilaporkan dapat ditekan oleh aktivitas mikroorganisme rumen (Mathius dan Sinurat, 2001) . (v). Tebu Hasil ikutan tanaman tebu merupakan pakan sumber serat atau energi ; yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan temak ruminansia adalah daun tebu, ampas tebu (bagase), blotong (kotoran yang terpisah saat penapisan nira tebu) dan tetes (molases) . Yang termasuk daun tebu adalah pucuk tebu, momol (sebagian pupus dari pucuk tebu), daun klentekan (daun tebu yang diperoleh dari pelepasan 3-4 lembar daun pada saat tebu berumur 4, 6 dan 8 bulan) ; masing-masing disebut klentekan 1, 2 dan 3 dan tunas tebu yang diafkir, sering disebut dengan sogolan, yaitu tunas-tunas bare yang tumbuh yang biasanya disebabkan oleh robohnya batang tebu pada perkebunan beririgasi balk . Pemberian pucuk tebu selama empat minggu padu pedet sapi Bali lepas sapih mampu meningkatkan konsumsi bahan kering pakan (30,8%) dan efisiensi pakan (14,5%) dibandingkan pemberikan rumput gajah, selama empat minggu pucuk tebu mampu meningkatkan bobot badan 7,1 kg sedangkan rumput gajah meningkat sebesar 4,7 kg. Wafer d^>>gn tebu kering belum banyak digunakan oleh petemak dalam negeri, namun telah banyak diekspor untuk usaha petemakan di Jepang dan Korea . Ampas . tebu banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas dan media budidaya jamur . Tetes telah umum digunakan sekitar 5-7% yang berfungsi sebagai perekat pakan, dan penambah kesukaan (palatabilitas) . (vi). Kapuk Hasil ikutan tanaman kapuk yang berpotensi sebagai pakan ter-k adahh bungkil biji dan kulit buah . Penggunaan bungkil biji kapuk telah umum digunakan untuk temak 26
ruminansia dan unggas. Bungkil biji kapuk mempunyai kadar protein tinggi, namun nilai biologisnya tergolong rendah dan mengandung senyawa pembatas gosipol . Apabila diberikan jumlah tinggi dapat secara terus menerus dalam mengakibatkan gangguan reproduksi dan anemia . Penggunaan bungkil biji kapuk dalam konsentrat komersial temak ruminansia sebaiknya tidak lebih dari 9% ; terutama pada formulasi ransum yang menggunakan bungkil biji kapuk sepanjang tahun (Mariyono, 2005) . Kecernaan bahan organik (BO) biji kapuk adalah 46,1% . Protein biji kapuk terdegradasi dalam rumen sekitar 90% (Chuzaemi et al., 1977) . 2.5. Strategi Pengendalian Penyakit Hewan Menular Dalam rangka pengembangan temak sapi, penyakit hewan terutama yang bersifat menular merupakan kendala tersendiri yang sexing dihadapi oleh para petemak . Beberapa diantaranya bersifat strategis, artinya sangat merugikan, bahkan dapat mengakibatkan kematian temak dalam waktu singkat. Beberapa daerah di Indonesia sudah endemis terhadap penyakit hewan menular tertentu, misalnya pada daerah tertular anthrak, maka pengendalian penyakit melalui vaksinasi Anthraks merupakan suatu keharusan agar temak terselamatkan dari serangan penyakit tersebut . Penyakit hewan yang dianggap strategis antara lain penyakit Anthraks, brucellosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Septichaemia Epizootica (SE), serta penyakit saluran pencemaan akibat parasit cacing . Untuk mencegah timbulnya permasalah akibat penyakit menular tersebut maka perlu diterapkan inovasi teknologi veteriner . 2.5.1 . Penyakit Anthrak Penyakit Anthrak adalah infeksi bakteri yang bersifat akut atau perakut, bersifat zoonosis, disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Akibat penyakit sangat fatal yaitu kematian 27
baik pada 'temak maupun manusia . Di Indonesia kejadian Anthraks sering dilaporkan, balk pada hewan maupun pada manusia. Penyakitnya telah diketahui tersebar dan endemik pada temak di 11 propinsi , sedangkan kejadian Anthraks pada manusia sering dilaporkan di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT dan DI Yogyakarta . Inovasi teknologi untuk pengendalian penyakit Anthrak meliputi vaksin, teknik pendeteksian agen penyakit pada hewan (diagnosis), serta teknik pengukuran tingkat antibodi pada hewan pasca vaksinasi. Hewan yang berada di daerah endemik Anthraks harus divaksinasi secara rutin agar hewan kebal terhadap infeksi kuman Anthraks. Vaksin Anthraks telah tersedia di Indonesia yang diproduk i c!,-'ii Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) . Tingkat kekebalan anthrak dapat diketahui dengan Surabaya mendr uakur kandunJan antibodi dengan uji ELISA. Bila terjadi ~ematian mendadak pada hewan dengan gejala klinis diduga A., ithrak, maka digunakan teknik uji deteksi cepat Direct Fluorescent Antibody (DFA) . Uji ini sangat baik dan dapat digunakan secara langsung untuk deteksi kuman Anthraks, baik dad sampel yang berupa organ temak asal lapangan, ataupun dari kultur di laboratorium dengan nilai se% ~"ivitasnya i 6u 70, serta spesifisitas 93,5% (Natalia dan Adji, 2008) . 2.5.2. Penyakit Brucellosis Brucellosis atau disebut juga sebagai keluron menular, adalah penyakit reproduksi pada sapi yang disebabkan kuman Brucella abortus. Penyakit inl tersebar luas mengakibatkan abortus pada umur kebuntingan di atas lima bulan . Pada hewan yang telah terinfeksi, maka di kebuntingan berikut tidak terjadi abortus, namun abortus dapat terjadi 2-3 kali pada kebuntingan selanjutnya. Akibat ditimbulkan penyakit Brucellosis adalah 1) pedet yang dilahirkan lemah dan kemudian mati, 2) tertahannya 28
plasenta dan terjadi infeksi uterus yang dapat mengakibatkan sterilitase, 3) Infeksi pada pejantan berupa radang testis (orchitis) yang juga dapat mengakibatkan sterilitas . Penularan penyakit terjadi melalui perkawinan (kawin alam atau buatan yang semen-nya mengandung kuman brucellosis), serta tertelannya/terhirupnya kontaminan (bahanbahan tercemar oleh kuman Brucella abortus) . Inovasi teknologi untuk pengendalian penyakit brucellosis pada sapi adalah teknik pendeteksian agen penyakit pada hewan (diagnosis), vaksin, serta teknik pendeteksian tingkat antibodi pada hewan tertular atau pasta vaksinasi . Hewan yang terinfeksi brucellosis dapat dideteksi dengan melakukan kultur dari sampel abortusan, lendir yang keluar dari alat kelamin, atau dari semen hewan pejantan yang kemudian diidentifikasi secara laboratorium . Hewan yang berada di daerah endemik dengan prevalensi penyakit lebih dari 5% atau beresiko akan tertular penyakit, hendaknya divaksinasi secara rutin . Vaksin brucellosis telah tersedia di Indonesia yang diproduksi oleh PUSVETMA Surabaya . Tingkat antibodi pada hewan tertular, atau pasca vaksinasi dapat dideteksi melalui pemeriksaan kandungan antibodi dengan uji Rose Bengal Test (RBT), serta Complement Fixation Test (CFT) . Pada daerah yang prevalensi penyakit kurang dad 5%, maka hewan yang positif brucellosis harus dipotong . Dagingnya boleh dikonsumsi setelah mendapat perlakuan khusus . Temak bibit, serta pejantan unggul sebagai sumber semen atau pemacek harus bebas dad penyakit brucellosis . 2.5.3. Penyakit IBR Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit yang sangat infeksius pada sapi mengakibatkan 29
pustular vulvovaginitis atau balanoposthitis, konjungtivitis, ensefalitis dan infeksi sistemik lainnya yang disebabkan oleh Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1 (Kahrs, 1977 ; Straub, 1991) .
Infeksi penyakit ini pada sapi betina dapat menyebabkan penurunan produksi susu, penurunan tingkat fertilitas, serta keguguran (Miller, 1991) . Berdasarkan gejala klinisnya, maka virusnya terbagi menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 : yang berhubungan dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pemafasan ;sedangkan subtipe 2 : (infectious bovine rhinotracheitis, 113R) galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti infectious pustular vulvovaginalis (IPV) dan infectious balonoposthitis (IBP) (Radostits et al., 2000). Pada hewan yang telah terinfeksi, agen penyakit BHV-1 bersifat laten (Van Oirschot et al., 1993). Virusnya dapat berdiam diri dalam sel, sehingga hewan tersebut bertindak sebagai pembawa virus (carrier) dan penyebar penyakit (Rola et al., 2005 ; Pastoret et al., 1982) . Bila terjadi cekaman, seperti pada saat transportasi, cuaca yang dingin, populasi temak yang padat, pemberian obat corticosteroid, atau adanya infeksi sekunder oleh mikro organisma patogen lainnya, maka virusnya akan aktiv melakukan siklus replikasi . Akibatnya adalah virus terdedah (sh:c iJ, !lrg), meskipun kondisi temak tidak menunjukkan gejala kiinis . Virus ini disekresikan melalui sekreta nasal dan okuler, dan terdapat pula di plasenta temak sapi yang keguguran serta pada semen (Rola et al., 2005). Inovasi teknologi untuk pengendalian penyakit IBR meliputi teknik pendeteksian agen penyakit pada bibit, pengukuran antibodi pada temak tertular dan pasca vaksinasi, serta penggunaan vaksin . Temak untuk bibit hares bebas dari penyakit IBR . Adanya agen penyakit IBR pada temak bibit dapat dideteksi dengan teknik Nested-Polymerase Chain Reaction (n-PCR) . 30
Sampel yang diperlukan untuk uji ini dapat berupa sekreta nasal/okular, periperal blood lymposit, serta semen . Teknik ini sangat sensitif dan relatif cukup cepat, serta akurat . (Muharam et al, 2008, Bbalitvet 2008) . Selanjutnya bibit yang positif mengandung virus IBR hares di keluarkan dad kelompok dan tidak digunakan sebagai bibit, balk untuk produksi semen maupun anakan . Bibit sebaiknya tidak divaksin terhadap IBR, oleh karena itu maka biosekurit hares diterapkan melalui seleksi pada "temak baru" yang akan masuk ke kelompok, serta mengindarkan terkontak dengan ternak lainnya yang tidak jelas status penyakitnya . Adanya temak tertular akibat IBR pemeriksaan serologis, yaitu dapat diketahui melalui pendeteksian antibodi dalam serum ternak melalui uji serum netralisasi (SNT) . Untuk ternak produktif yang masih rentan dan berada pada daerah endemik penyakit IBR, maka vaksinasi dilakukan untuk mencegah tertular oleh penyakit IBR dari hewan lainnya yang terinfeksi . Vaksin IBR in-aktif import digunakan secara rutin untuk mempertahankan tingkat kekebalan . Jarak vaksinasi tergantung pada tingkat antibodi yang terkandung dalam tubuh hewan . Kandungan antibodi pasca vaksinasi tersebut dapat diukur dengan uji serum netralisasi (SNT) . 2.5.4. Penyakit Septichaemia SE Penyakit Septichaemia Epizootica (SE) atau disebut juga sebagai Haemorrhagic Septchaemia (HS), dalam istilah di Indonesia disebut juga sebagai penyakit ngorok, adalah penyakit pemafasan yang akut dan fatal pada sapi dan kerbau . Di Indonesia penyakit IN tersebar luas dan agen penyebabnya adalah Pasturella multocida B :2. Penyakit ini sangat cepat menular melalui pemafasan dengan kasus tertinggi biasanya pada akhir musim kemarau sampai tiba musim hujan . Faktor stress merupakan kondisi yang mempermudah terjadinya penyakit . 31
Inovasi teknologi untuk pengendalian penyakit ngorok atau SE meliputi vaksin, teknik pendeteksian agen penyakit pada hewan (diagnosis), serta teknik pengukuran tingkat antibodi pada hewan tertular atau pasca vaksinasi . Vaksin penyakit SE telah tersedia di Indonesia yang diproduksi oleh PUSVETMA Surabaya. Hewan yang berada di daerah endemik SE harus divaksinasi secara rutin agar hewan penyakit kebal terhadap infeksi SE . Pendeteksian agen (diagnosis) dapat dilakukan, disamping dengan memperhatikan gejala klinis, dengan menggunakan (Natalia . 2001), teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) atau juga uji Agglutinasi Lateks . Untuk mengetahui adanya antibodi pada hewan pemah tertular atau tingkat kekebalan temak pasca vaksinasi, adalah dengan uji Agglutinasi Lateks atau juga ELISA . Teknologi ini telah dikuasi dan digunakan di laboratorium veteriner, termasuk Bbalitvet . 2 .5.5. Penyakit Saluran Pencemaan akibat Parasit Cacing Ganggunan saluran pencernaan pada temak akibat parasit cacing merupakan kondisi yang paling umum dijumpai pada temak sapi di lapangan . Adanya penyakit ini biasanya telah berlangsung lama (kronis) yang terlihat dari kondisi temak yang kurus, tampilan wama bulu dan kulit yang tidak menarik, kadang-kcdang ri ~ v, bahkan pada kondisi tertentu temak kemudian melemah dan mati . Agen parasit cacing yang paling umum menyerang temak dan merugikan, antara lain cacing fasciola, haemonchus, paramphistomum dan toxocara pada pedet. Inovasi teknologi untuk pengendalian penyakit cacing meliputi obat cacing, teknik pendeteksian agen penyakit pada hewan (diagnosis), serta strategi pengendalian penyakit di lapangan. Berbagai jenis obat cacing (antelmintik) telah tersedia dipasaran untuk mengatasi berbagai jenis agen parasitk cacing . 32
Penggunaan yang mudah dimasukkan lewat mulut atau dicekok. Tatacara penggunaan dan jadwal pemberian obat cacing untuk masing-masing jenis cacing diterangkan dengan jelas dalam brosur obat . Permasalahan yang timbul adalah bagaimana para petemak mengetahui jenis cacing yang menginfestasi temak terkait dengan obat cacing yang harus diberikan . Untuk itu maka perlu dilakukan pendeteksian agen parasit cacing yang menginfestasi hewan melalui pemeriksaan kotoran temak di laboratorium veteriner. Teknik pendeteksian agen penyakit pada hewan (diagnosis) akibat cacing telah dikuasai oleh laboratorium veteriner yang ada . Umumnya teknik tersebut adalah pemeriksaan adanya bentuk telur cacing (bentuk spesifik) dalam kotoran temak, atau melalui kultur terlebih dahulu. Dengan pemeriksaan laboratorium maka jenis parasit cacing yang menginfestasi saluran pencemaan hewan dapat diketahui dan sekaligus dapat menentukan jenis obat cacing yang tepat diberikan pada temak . Disamping pemberian obat cacing, strategi pengendalian penyakit cacing melalui pengaturan teknik pemberian pakan di lapangan juga telah dikembangkan . Teknik ini antara lain meliputi : Teknik pemotongan rumput di lapangan, teknik pemotongan jerami padi di sawah, pembasmian induk semang antara (siput) di sawah, penggembalaan berpindah dan bare kembali ke lokasi penggembalaan semula pada kurun waktu tertentu, disertai pengelolaan kebersihan dan kesehatan kandang temak.
33
Ill. MANAJEMEN TERNAK MODEL KANDANG KELOMPOK Kadang koloni atau kandang kelompok merupakan model kandang dalam suatu ruangan kandang ditempatkan beberapa ekor temak, secara bebas tanpa diikat, berfungsi sebagai tempat perkawinan dan pembesaran anak sampai disapih, atau digunakan sebagai kandang pembesaran maupun model kelompok/koloni penggernukan . Perkandangan diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan reproduksi dan efisiensi penggunaan tenaga kerja . Penggunaan tenaga kerja untuk kandang koloni lebih efisien dibanding kandang model individu, karena pekerjaan rutin hanan adalah membersihkan tempat pakan, minum dan memberikan pakan . Dalam hal ini satu orang tenaga kandang m~mpu > 200 ekor sapi dewasa sedangkan untuk kandang individu maka seorang petugas hanya dapat menyJ'-:. ' ,20 Aor sapi .
Berdasarkan luas bagian yang beratap, kandang kelompok tetdapat dua mar-am yaitu : (i) Kandang kelompok beratap s uruhnya dan (ii) Kandang kelompok beratap sebagian . Kandang kelompok beratap seluruhnya adalah seluruh t rdiri atas tempat pakan dan halaman bagian kandanng untuk pelombaran temak diberkan atap sehingga terhindar dan pengaruh hujan dan matahari langsung . Sebelum kandang diisi dengan temak, lantai kandang didasari dengan sekam atau gergajian kayo setebal 5-10 cm . Kotoran dan urin temak dibiarkan dalam kandang dan terinjak oleh temak . Sisa hijauan pakan temak dapat juga dimanfaatkan sebagai alas temak dan akan meningkatkan biomas kompos. Setelah kotoran dalam kandang cukup tebal (30-40 cm) sapi dapat dipindahkan ke lhhn;n ~ r' n kompos yang masih basah dapat dikeluarkan untuk proses pemasakan lebih lanjut. Kompos 34
dapat dimanfaatkan setelah kering (± I bulan) . Apabila tersedia tenaga yang cukup, maka untuk mempercepat proses pemasakan (dekomposisi) kompos dapat dilakukan dengan cara dibalik (dicangkut) secara periodik . Agar diperoleh kompos yang baik, maka kompos yang telah kering diayak untuk selanjutnya dimasukkan dalam kemasan . Sepanjang bagian sisi kandang dilengkapi dengan tempat palungan yaitu pada sisi depan untuk tempat pakan hijauan dan tempat air minum secara terpisah, sedangkan pada sisi belakang kandang palungan untuk tempat pakan penguat atau konsentrat .
Gambar 1 . Kandang kelompok beratap seluruhnya Kandang kelompok beratap sebagian merupakan kandang kelompok, pada bagian depan kandang (terutama tempat palungan) ditutupi oleh atap . Kandang kelompok model ini identik dengan kandang pelumbaran terbatas . Kebutuhan luasan kandang secara keseluruhan (beratap dan tanpa atap) untuk satu ekor sapi dewasa adalah > 5,0 m 2. Kebutuhan kandang beratap untuk setiap ekor sapi dewasa sekitar 1-2 m2. Kotoran, dan urin temak dibiarkan terinjak oleh temak . Pada 35
musim hujan, sisa hijauan pakan temak dapat juga dimanfaatkan sebagai alas temak dan akan meningkatkan biomas kompos; namun pada musim kemarau sebaiknya dipisahkan .
Gambar 2 . Kandang kelompok beratap sebagian Karena luasan kandang cukup dan ada bagian kandang yang terbuka, maka pada saat musim kemarau, kompos dihasilkan langsung kering dan telah hancur (remah) sehingga dapat langsung diayak dan dikemas . Agar proses dekomposisi dalam kemasan dibiarkan selama sebulan sempuma, sebelum digunakan . Pada musim hujan sebagain besar kompos cukup basah sehingga proses penanganan kompos dapat dilakukan sebagaimana pada kandang beratap seluruhnya . Lantai kandang model ini menggunakan lantai semen atau betton berpori (model paving) terutama pada bagian lantai yang tidak beratap . Pada bagian belakang kandang dilengkapi selokan pembuangan terutama untuk menjaga kebersihan lantai kandang pada musim hujan . Alas lantai pada model kandang ini tidak menggunakan alas dasar litter, namun bahan alas litter hanya disebarkan pada lantai 36
(terutama Iantai yang beratap) yang becek . Kelebihan model perkandang ini adalah temak Iebih bebas clan adanya , rak penyimpanan pakan kering (seperti jerami) sehingga pakan hijauan kering selalu tersedia . Pola pemeliharaan pada kandang kelompok, tidak membutuhkan pengamatan khusus terhadap aktivitas reproduksinya karena ternak kawin sendiri dalam kandang saat birahi.
37
IV. MANAJEMEN PERKAWINAN DAN PENINGKATAN KELAHIRAN KEMBAR 4.1. Manajemen Perkawinan Selain sistem perkawinan secara inseminasi buatan (IB) dan perkawinan alam secara individu, maka sistem perkawinan dengan pengelolaan secara kelompok dapat dilakukan dengan ratio jantan : betina = 1 :20-30 ekor untuk setiap periode perkawinan (3-4 bulan) . Pengelompokan sapi bunting setelah kebuntingan 8 bulan dilakukan dengan pemisahan dad kelompok untuk ditempatkan dalam kandang beranak sampai dengan anak umur 40 had . Setelah pedet berumur 40 had,, induk beserta anak dikumpulkan dengan pejantan terpilih dalam kandang kelompok . Pedet disapih pada umur 7 bulan untuk selanjutnya dipelihara dalam kandang pembesaran . Hasil pengembangan sapi bibit di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong sejak TA 2003 diperoleh keberhasilan reproduksi yang cukup baik yaitu jarak beranak (calving interval) < 14 bulan . Percepatan kebutuhan akan temak bakalan dapat dilakukan melalui peningkatan intensitas kelahiran, di antaranya melalui : (i) Pemendekan calving interval menjadi <14 bulan, (ii) Menurunkan tin> ' ;at kematian pedet, dan (iii) Memperbanyak kelahiran kembar. Pemendekan calving interval dapat dilakukan dengan (i) memperpendek masa post partum anestrus dad induk setelah beranak; (ii) meningkatkan keberhasilan perkawinan ; (iii) memperpendek masa menyusu pedet tanpa mengurangi tampilan anak prasapih . 4.2. Kelahiran Kembar Kelahiran kembar dapat ditingkatkan melalui : (i) Penin katan populasi induk dengan potensi genetik twinning, (ii) Transfer embryo dengan dua janin, (iii) Kombinasi transfer 38
embryo dan IB, serta (iv) Superovulasi menggunakan exogenous hormon untuk memperoleh twinning. 4.2.1 . Potensi Genetik Sifat Twinning Peningkatan populasi sapi dengan kelahiran kembar (twinning) dapat dilakukan secara alamiah dengan mengumpulkan induk beranak kembar. Di Indonesia, penyebaran populasi induk dengan kelahiran kembar dua maupun tiga terdapat di Kab . Hulu Sungei Tengah, Kab. Blora, Kab Pasuruan, Kab Boyolali dan beberapa daerah lain . Potensi genetis sifat twinning dipengaruhi secara kuantitatif oleh banyak gen yang tersebar di berbagai kromosom . Sehingga seleksi secara kuantitatif dapat mengumpulkan sifat kembar pada individu terpilih dan memberi peluang untuk diturunkan . Titik kritis sifat twinning ditemui pada jumlah telur diovulasikan, yang dipengaruhi oleh status hormon pada setiap individu, mutu dan jumlah pakan menjelang ovulasi, kondisi tubuh temak dan bangsa sapi . Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kelahiran kembar dapat ditingkatkan dan 3% menjadi 55% dalam kurun waktu 25 tahun, sehingga mengumpulkan induk twinning merupakan peluang untuk meningkatkan twinning. Di Indonesia, sapi dengan sifat kembar ditemui terutama pada sapi PO dan frekuensi lebih tinggi dijumpai pada sapi FH . Saat ini Loka Penelitian Sapi Potong telah mempunyai populasi dasar sapi kembar PO dan Balai Penelitian Temak Ciawi mempunyai populasi dasar sapi kembar FH . Perbanyakan sapi kembar dapat dilakukan dengan mengawinkan temak jantan dan betina dari kelahiran kembar . Sapi dengan anak kembar beda kelamin dapat menyebabkan free martin, yaitu anak betina stern dan tidak dapat dikawinkan . Namun anak jantan masih dapat dimanfaatkan untuk menjadi pejantan dan diharapkan sebagai gen pembawa sifat kembar . Sistem perkawinan pada populasi kembar dapat dilakukan 39
dengan mengawinkan pejantan berasal dari kelahiran kembar (jantan dan jantan) serta betina dad kelahiran kembar (betina dan betina) . 4.2.2 . Manipulasi Hormon Sifat Twinning Manipulasi reproduksi dapat dilakukan dengan suntikan homion (PGF2a, PMSG, FSH) guna menstimulir pertumbuhan dan ovulasi folikel sehingga dapat dilontarkan sejumlah set telur. Melalui metoda manipulasi hormonal, progres didapatkan lebih cepat dengan kejadian lahir kembar mencapai 30-50% . Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa titik kritis dari manipulasi hormonal ini adalah tingkat kematian embrionik, sehingga dapat diketahui jumlah embryo yang bertahan untuk dapat terjadinya kelahiran kembar . Tabei 5 .
J Sapi Potong dengan Beberapa Jenis Exo enous Hormon. Jenis Hormon Dosis Rataan Ovulasi 1 PMSG 1300 iu 3,3+1,4 2 FSH 750 iu 2,3+1,8 Sumber Anggraers f2Ono) . 4.2.3.
Twinning dengan Embryo Transfer
Pembuatan embryo dapat dilakukan secara in-vivo dan
in-vitro:
(i) Pembuatan embryo secara in vivo, dilakukan dengan rnelakukan superovulasi dengan suntikan- exogenous hormon yang diikuti oleh perkawinan . Panen embryo dilakukan setelah terjadi pembuahan dan embryo dapat langsung ditransfer kepada temak resipien maupun dibekukan sebelum dilakukan transfer embryo . (ii) Pembuatan embryo secara in-vitro dapat dilakukan dengan tehnik ova pick up pada temak juvenile yang dilanjutkan dengan ^rn
40
fertilisasi folikel ovary yang diperoleh dari rumah potong hewan . Pedet dihasilkan dan embryo IVF menggunakan folikel dari RPH hendaknya langsung digunakan sebagai bakalan untuk temak potong . Karena dikhawatirkan bahwa mutu gentik embryo hasil IVF tidak cukup bagus . Mandat pembuatan embryo dilakukan oleh Balai Embryo Temak, Cipelang dengan tehnik MOET (Multiple Ovulasi dan Embryo Transfer) . 4.2.4. Twinning dengan Kombinasi IB dan Transfer Embryo Kelahiran kembar dapat pula diperoleh dengan memanfaatkan inseminasi buatan (IB) pada saat betina birahi, tujuh had kemudian embryo dititipkan pada induk yang sama . Sehingga diharapkan bahwa induk akan memperoleh anak kembar dari hasil IB dan titipan embryo . Walaupun belum dilakukan secara luas, namun cara ini diharapkan dapat meningkatkan frekuensi kelahiran kembar .
41
V. PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN KOMPOS Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dad sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan . Selama ini sisa tanaman dan kotoran hewan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai pengganti pupuk buatan . Kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan oleh bahan wama yang sudah berbeda dengan wama pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu ruang. Proses pengomposan adalah proses menurunkan C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (< 20) . Selama proses pengomposan, terjadi perubahan-perubahan unsur kimia yaitu : 1) karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan H2O, 2) penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman . Seekor sapi mampu menghasilkan kotoran padat dan cair masing-masing sebanyak 23,6 dan 9,1 kg/had . Teknologi pembuatan kompos sangat beragam, sehingga petani memilih sendiri cara yang paling murah, praktis, kualitas sebagai pupuk organik terpenuhi dan bahan-bahannya mudah diperoleh di lokasi usaha. 5.1 . Pemeliharaan Kandang Kelompok (i). Beratap seluruhnya Sapi dilepas dalam kandang kelompok, beratap seluruhnya. Kebutuhan luasan kandang untuk satu ekor sapi dewasa ± 3,0 m 2. Sebelum kandang diisi dengan temak, lantai kandang didasari dengan sekam atau gergajian kayu setebal 5-10 cm . Kotoran, dan urin temak dibiarkan dalam kandang dan terinjak oleh temak . Sisa hijauan pakan temak dapat juga dimanfaatkan sebagai alas temak dan akan meningkatkan biomas kompos . Setelah 42
kotoran dalam kandang cukup tebal (± 30 cm) sapi dapat dipindahkan ke kandang lainnya atau kompos yang masih basah dapat dikeluarkan untuk proses pemasakan lebih lanjut. Kompos dapat dimanfaatkan setelah kondisinya kering (± 1 bulan) . Apabila tersedia tenaga yang cukup, maka untuk mempercepat proses pemasakan (dekomposisi) kompos dapat dilakukan dengan cara dibalik (dicangkul) secara periodik. Agar diperoleh kompos yang baik, maka kompos yang telah kering diayak untuk selanjutnya dimasukkan dalam kemasan . (ii). Beratap sebagian Sapi dilepas dalam kandang kelompok, beratap sebagian sebagai tempat berteduh, tempat pakan dan minum . Kebutuhan luasan kandang secara keseluruhan (beratap dan tanpa atap) untuk satu ekor sapi dewasa adalah > 5,0 m 2. Kebutuhan kandang beratap untuk setiap ekor sapi dewasa sekitar 2 m 2 . Kotoran, dan urin temak dibiarkan terinjak oleh temak . Pada musim hujan, sisa hijauan pakan temak dapat juga dimanfaatkan sebagai alas temak dan akan meningkatkan biomas kompos ; namun pada musim kemarau sebaiknya dipisahkan . Karena luasan kandang cukup dan ada bagian kandang yang terbuka, maka pada saat musim kemarau kompos yang dihasilkan Iangsung kering dan telah hancur (remah) sehingga dapat langsung diayak dan di kemas . Agar proses dekomposisi sempuma kompos dalam kemasan dibiarkan selama sebulan sebelum digunakan . Pada musim hujan sebagian besar kompos cukup basah sehingga proses penanganan kompos dapat dilakukan sebagaimana pada kandang beratap seluruhnya .
43
5.2. Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi Gas Bio Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau femientasi dad bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domistik (rumah tangga), dan sampah (limbah organik dalam kondisi anaerobik) . (i). Manfaat biogas Mengatasi Iimbah temak sapi (feses dan sisa pakan) dan memaksimalkan daur ulang . . Bahan bakar altematif pengganti minyak tanah, LPG, batu bara, generator/listrik dll . Limbah biogas dapat menghasilkan pupuk dan pakan temak Menurunkan emisi gas metan dan CO2 Menghilangkan bau kotoran dan bakteri colifomi sehingga rnenurunkan kontaminasi sumber air (ii). Komposisi Biogas Komposisi biogas terdiri dan : Metana (CH4) = 55-75% Karbon dioksida (CO2) = 25-45% Nitrogen (N2 ) = 0-0,3% Hidrogen (H 2) = 1-5% Hidogen sulfida (H2 S) = 0-3% Oksigen (0 2) = 0,1-0,5% (iii). Kesetaraan biogas Untuk 1 ekor sapi dapat menghasilkan kurang lebih 2 m3 biogas per had, sehingga untuk 2-3 ekor sapi dapat menghasilkan 4 m3 per had yang setara dengan 2,5 liter minyak tanah/solar, atau 1,84 kg elpiji, atau 3,2 liter premium, atau 14 kg kayu bakar, atau penerangan lampu 60-100 W selama 24 jam, atau menjalu~ 1r.an motor 4 pk selama 2 jam . 44
(iv) . Proses pencernaan biogas Proses pembentukan biogas meliputi tiga tahap, yaitu (1) proses hidrolisis yaitu proses penguraian bahan-bahan organik menjadi sederhana (sellulose menjadi glukosa), (2) proses pengasaman yaitu proses pengolahan gula sederhana (glukosa) yang terbentuk dad proses hidrolisis menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam (asam asetat, propionate, format, laktat, alkohol, butirat, gas karbondioksida, hidogen, dan ammonia), (3) Metanogenik adalah proses pembentukan gas metan . Bakteri yang terlibat dalam proses aerobik ini adalah bakteri hidrolitik yang dapat memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino tadi menjadi organik; bakteri asidogenik dapat mengubah asam organik menjad .i hydrogen, karbondioksida dan asam asetat yang adanya bakteri metagonik dapat menghasilkan gas metan dan CO2 . (v). Faktor yang mempengaruhi terbentuknya biogas Banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan proses terbentuknya kecemaan biogas yang ditentukan oleh desain, pengaturan degester dan pengoperasiannya sebagai berikut : Pengadukan (perbandingan feses dan air 1 :1) Temperatur desester (35 °C), daerah panas gunakan atap Koleksi gas dalam penampungan (gunakan valve searah/kontrol tekanan) Posisi digester (tutup lapisan hitam berfungsi menagkap panas matahari) Waktu retensi (temperaur tinggi akan mempercepat fermentasi, dan waktu normal fermentasi kotoran 2-4 minggu)
45
(vi). Teknik pembuatan biogas Berbagai model dan bentuk ditinjau clad kontruksi atau desain degester tergantung lokasi, iklim, jumlah temak (konsentrasi feses yang fermentasi) dan pembiayaannya antara lain, digester dad bahan semen, tong aspal, plastik dengan desain bermacam-macam sesuai dengan kondisi dan lokasi yang tersedia . Beberapa tahapan dalam pembuatan biogas, yaitu: (a) analisis lokasi, (b) penggalian tanah, (c) penggarapan/pembuatan tabung digester, dan (d) pengisian feses dan air ke dalam tabung (1 :1). Bahan reaktor biogas skala rumah tangga Lokasi, ternak sapi dan feses, kompor gas, selang atau paralon, bahan bangunan, pengamaman gas/pengatur tekanan, air, , : , o, dsb . Dinding tangki dibuat dad pasangan bata merah miring ~!^r^ ±-bQran luar ± 2 cm dan tebal plesteran dalam ± 2 cm . Li h-ann penampungan ada tiga bagian, yaitu (a) ruang penampungun m--luknya feses sapi yang sekaligus sebagai tempat pencampuran feses dengan air, (b) tangkai pencema (dekster) yang merupakan tempat proses keluamya bioqas, dan (c) tempat keluamya ampas feses yang dapat digunakan sebagai bahan campuran untuk pupuk organik . Cara pembuatan biogas Berbagai macam metode cara pembuatan biogas dari kotoran sapi tergantung dart lokasi, kondisi dan biaya . Mencampurkan kotoran sapi yang masih baru keluar dad anus sapi dengan air (perbandingannya 1 :1) di bak pencampuran / tempat yang telah disediakan ; a lai "a ilt_,, r-m7uran akan masuk ke dalam reaktor (digester) yang akan terjadi reaksi selama 3-4 minggu ; 46
Digester diisi terus setiap hari hingga penuh ; bila penuh hentikan sampai terlihat limbah mengalir dan setelah gasnya dibuang volume limbah di outlet berkurang yang berarti proses sudah berjalan dengan benar, Gas terbentuk dibuang selama kurang lebih 12 jam, kemudian ditutup selama 8 jam dan selanjutnya dinyalakan dengan korek api ; Lakukan pemeriksaan apakah limbah atau lumpur terlalu encer di outlet, dan tambahkan feses yang baru atau isi rumen dari temak guna memacu fermentasi ; Biogas yang dihasilkan akan tertampung dengan sendirinya melalui saluran pipa yang telah disambungkan ke tempat penampungan gas dan dapat dimanfaatkan untuk memasak atau sumber penerangan ; (vii) . Cara perawatan dan pemeliharaan biogas Hindarkan reaktor biogas dari gangguan luar (hujan) dan hewan lain/anak Usahakan feses diisi terus setiap hari (pagi dan sore) agar proses fermentasi tetap berlangsung Gunakan klep biogas dari bahan penutup gas untuk menghindari bocomya gas Apabila gas tidak dapat keluar sementara volume di dalam reaktor besar, maka luruskan slang dari pengaman gas sampai reaktor, karena uap air yang ada dalam slang dapat menghambat gas mengalir kepenampung gas oleh karena itu perlu dicek secara rutin Cegah air masuk ke dalam reaktor dengan menutup tempat pengisian feses bila tidak ada pengisian di reaktor Berikan pemberat diatas penampung gas (air atau batu) guna menghindari tekanan gas saat pemakaian Membersihkan kerak-kerak dalam digester untuk perlancar fermentasi apabila gas tidak keluar 47
Membersihkan kompor gas dari kotoran gas/minyak yang menempel guna memperlancar aliran api, bila gunakan kompor gas rumah tangga diusahakan spuyer-nya diperbesar (4 mm) . Berikut ini disajikan pembuatan unit biogas untuk skala 4 ekor sapi, terdiri dad : Bentuk; Ukuran digester untuk 4 ekor sapi; Kapasitas dan Kebutuhan bahan . a. Bentuk: Terdiri atas 3 pokok bangunan, yaitu • Inlet (pintu masuk feses) • Digester/reaktor (tabung proses biogas) • Outlet (pinto keluar limbah biogas) b. Ukuran digester Vol. bola = 4/3 *n * R 3 Tembereng = 1 /3 * 22/7 * tz * (3R - t) c. Ukuran bagian dalam tangki pencerna r = 155 cm t tembereng = 75 cm R tembereng = 255 cm Volume ='/2*413*2217*155 3 + 1/3*22/7*0,752(3*255 - 0.75) cm3 = 10,98 m3 d. Kebutuhan bahan pembuatan digester: 1 . Batu bata 5 x 11 x 22 = 2000 bush 2. Pasir bagus =4m3
3. Pasir biasa 4. Koral cor
= I m3 = 0,5 m3
10. Paku usuk
= Y2 kg
5. 6. 7. 8. 9.
48
Portal cement Besi beton 6 mm Paralon PVC 8 dm Tali bendrat thrnbu pckr° j i'---sar) @ 7 m
= 1200 kg = 2 biji = 135 cm = 1 kg = 3 buah
11 . Plamir (3 lem = 10 kg semen putih) 12 .Timba, cangkul, Was dli sesuai kebutuhan
Gambar 3 . Penampang digester biogas
49
VI. PENUTUP Meningkatnya kesenjangan antara permintaan dengan produksi sapi potong dalam negeri, menuntut upaya yang maksimal untuk meningkatkan produktivitas sapi potong di berbagai agro-ekosistem di Indonesia . Keberhasilan pengembangan sapi potong di Indonesia sangat tergantung pada pengelolaan ternak secara optimal yang meliputi : pakan, breeding, reproduksi, manajemen dan kesehatan hewan . Limbah tanaman pertanian, perkebunan dan agroindustrinya merupakan sumber bahan pakan lokal yang murah dan memiliki kualitas cukup baik serta berpeluang ditingkatkan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan hasil ikutan tersebut pada batAs-batas tertentu memberikan respon positif antara temak. Perpaduan terhadap produktivitas pengembangan sapi potong yang terintegrasi dengan tanaman pertanian dan strategi yang tepat dalam meramu bahan pakan menggunakan pendekatan biaya yang efisien serta kualitas nutrisi yang optimum akan mampu menjaga produktivitas sapi potong tetap baik bahkan lebih efisien dibanding dengan pemeliharaan tanpa menggunakan bahan ikutan tanaman pertanian. Tcrbukktl r_ ;7~ha temak yang menerapkan pola-pola tersebut mampu bertahan, bahkan saat krisis sekalipun .
50
VII. DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, Y.N ., Mariyono, L. Affandi, 2009 . Superovulasi sapi PO dengan exogenous hormon (Laporan Loka Penelitian Sapi Potong Grati Tahun 2008) Andrizal . 2003. Potensi, tantangan dan kendala pengembangan agro-industri ubikayu dan kebijakan industri perdagangan yang diperlukan . Pemberdayaan Agribisnis Ubi Kayu mendukung Ketahanan Pangan . Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang . Anggraeny, Y .N. dan U. Umiyasih . 2004. Strategi pemberian pakan berbahan biomas lokal pada petemak sapi potong komersial : Studi perbaikan pakan pada usaha penggemukan . Pros. Seminar Nasionl Teknologi Petemakan dan Veteriner . Bogor, 4-5 Agustus 2004 . Puslitbang Petemakan, Bogor . Anggraeny, Y.N ., U . Umiyasih, N .H. Krishna dan L . Affandhy. 2006. Strategi pemenuhan gizi melalui optimalisasi pemanfaatan limbah untuk pembesaran sapi potong calon induk. Pros. Seminar Nasionl Teknologi Petemakan dan Veteriner . Bogor, 5-6 September 2006 . Puslitbang Petemakan, Bogor. Batubara . L.P. 2003 . Potensi integrasi petemakan dengan perkebunan kelapa sawit sebagai simpul agribisnis ruminan. Bul . Wartazoa . 13 (3): 83-91 . Boer, M., Arizal P.B., Y. Hendri dan Ermidias. 2003. Tingkat penggunaan onggok sebagai bahan pakan penggemukan sapi bakalan . Pros . Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner . Bogor, 29-30 September 2003. Puslitbang Petemakan, Bogor . 51
Chuzaemi, S ., Hermanto, Soebarinoto dan H. Sudarwati. 1997 . Evaluasi protein pakan ruminansia melalui pendekatan sintesis protein mikrobial di dalam rumen. Jumal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati (Life Sci.). 9 (1): 77-89. Diwyanto, K. dan A. Priyanti . 2004. Pengembangan sistem integrasi jagung-temak untuk meningkatkan daya saing dan pendapatan petani : Model sub sistem agro produksi mendukung integrasi jagung-ternak . Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Jagung-Temak . BPTP Kalbar. Pontianak., 22-24 September 2004 . Djajanegara, A. and M . Rangkuti. 1983 . Residues of importance as potenc;.ci Animal feeds in Indonesia . The Use of Organic Residues in Rural Communities .United Nations University Prc3s, The United Nations University . Tokyo, Japan. http://unu.edu/unupress/ unupbooks/80362e/ 80362EO2 .htm. (25 Okt 2008) FFTC. 2008 . Indigenous Feed Resources for Asian Livestock . Food and Fertilizer Technology Centre (FFTC) For the Asian e P-..r ' c Region . http://www.agnet .orq/library/ac/ 1995b/. (30 Oct, 2008) . Guntoro, S ., Sriyanto, N . Suyasa dan M .R. Yasa. 2006. PLCn u ~'la~ p-3 ~~erian Iimbah kakao olahan terhadap pertumbuhan sapi Bali . Pros. Seminar Nasional Teknologi Petemakan dan Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006 . Puslitbang Petemakan, Bogor . Hartadi, H ., S. Reksohadiprodjo dan A .D. Tillman . 1997 . Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia . Gajah Mada Univ. Press. Hartati, E. 1998 . Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang mengandung silase pod kako dan urea ut iLL,,' i i ) : . tDacu pertumbuhan sapi Holstein jantan . Program Pasca Sarjana . IPB. 52
Hartati,
Mariyono dan D. B . Wijono . 2005 . Respons pertumbuhan sapi peranakan, Ongole dan silangan pada kondisi pakan berbasis low external input. Proc . Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Bogor, 1213 September 2006 . Puslitbang Petemakan, Bogor .
Hettenhaus, J . 2002 . Talking About Corn Stover with Jim Hettenhaus . A publication of the Institute for Local SelfReliance . Volume No . 4, Issue No . 2, Summer 2002 . http ://www.carbohydrateeconomv .orq/iibrarv/admin/uplo adedfiles/Talkinq About Corn Stover with Jim Hetten haus .htm (23 Okt 2008) Kahrs, 1977 KAHRS RF .1977 . Infectious Bovin Rhinotracheitis : a review and update . J Am Vet Assoc, 171 :1055-1064 . Kariyasa, K . 2006 . Dampak kenaikan harga BBM terhadap dan implikasinya terhadap kinerja pertanian penyesuaian HPP harga gabah . Analisis Kebijakan Pertanian . 4 (1): 54-68 . Lily Natalia . 2001 . Uji aglutinasi tateks untuk mendiagnosis penyakit ngorok (SE) di lapangan . JITV. 6(3) :158-165 . Lily Natalia dan RS Adji, 2008 . Identifkasi Cepat Bacillus Anthracis dengan Direct Fluorescent Antibody Assay yang Menggunakan Componen Dinding Sel dan Kapsul . JITV . Vol . 13(2) :133-139. Miller JM ., 1991 . The effect of IBR virus infections on reproductive function of cattle . Vet Med, 86:95-98. Muharam Saepulloah, RM Abdul Adjid, I .W.T Wibawan & Darminto, 2008 . Pengembangan Nested PCR untuk Deteksi Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada Sediaan Usap Mukosa Hidung dan Semen asal Sapi . JITV. Vol 13(2):155-164) .
53
Mahendri, I.G .A.P., B. Haryanto dan A. Priyanti . 2006 . Respon jerami padi fermentasi sebagai pakan pada usaha penggemukan temak sapi . Pros. Seminar Nasional Teknologi Petemakan dan Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006. Puslitbang Petemakan, Bogor . Mariyono. 2007 . Ransum penggemukan sapi potong di Pusat Koperasi Sapi Potong . Tahun 2003 s .d. 2007. (Unpublished).
Martawijaya, M . 2003. Pemanfaatan jerami padi sebagai pengganti rumput untuk ruminansia kecil . Wartazoa. 13 (3) : 119-127. Mathius, I-W . dan A.P. Sinurat. 2001 . Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak . Wartazoa . 11(2): 20-31 . McCann, MA . dan R. Stewart. 2000 . Use of Alternate Feeds for Beef Cattle . The University of Georgia College of Agricultural and Environmental Sciences . USA. Mochtar, M . dan S. Tedjowahjono. 1985. Pemanfaatan hasil samping industri gula dalam menunjang perkembangan peternakan. Proc.Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Temak . Puslitbang Peternakan, Bogor. Pastoret PP ., E. Thiry, B. Brochier, G . Derboven . 1982 . Bovid herpesvirusesl infection of cattle: Pathogenesis, Latency, consquences of latency . Ann Rech Vet, 13 : 221-235. PKSP (Pusat Koperasi Sapi Potong) Jawa Timur. 2007. Ransum sapi potong penggemukan TA 2004 s.d. 2006 . (Unpublished) .
Priyanti, A ., dan Mariyono . 2008 . Analisis keseimbangan rasio h ara terhadap susu segar pada petemakan rakyat. Proc . Semiloka Nasional Prospek industri Sapi 54
Perah menuju Perdagangan Bebas . Peternakan - STEKPI . him . 441 - 448.
Puslitbang
Putun, AE ., E . Apaydin dan E . Putun . 2004 . Rice straw as a bio-oil source via pyrolysis and steam pyrolysis . Energy The International Journal . 29 (12-15): 2171-2180 . October-December 2004. httD://www.linkinghub .elsevier.com/retrieve/pii/ S0360544204000982 (20 Okt . 2008) Rachmawati, S . 2005. Aflatoksin dalam pakan temak di Indonesia : persyaratan kadar dan pengembangan teknik deteksinya . Wartazoa 15 (1): 26-37 . Radostits OM ., C .C. Gay, D .C. Blood and K .W. Hinchliff. 2000. Veterinary Medicine : A textbook of the disease of cattle, sheep, pigs, goats and horses, 9 h. W.B. Saunders Company Ltd . Pp. 1173-1184. Rola J ., M . Larska, and M.P. Polak, 2005. Detection of bovine herpesvirus-1 from an outbreak of infectious bovine rhinotracheitis . Bull Vet Inst Pulowy, 49: 267-271 . Straub OC., 1991 . BHV-1 infectious : Relevance and spread in Europe . Comp Immunol Microbiol infect Dis, 14:175-186 . Sitepu, P . 1997 . Perbandingan performan "Feederstock" eks impor dan lokal pada kondisi feedlot . Dalam: Pros . Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Puslitbangnak . Sudaryanto, B . 1999. Peluang penggunaan daun kelapa sawit sebagai pakan temak ruminansia . Proc. Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Puslitbang Petemakan, Bogor . Suharto . 2000 . Konsep pertanian terpadu (integrated farming systems) mewujudkan keberhasilan dengan kemandirian . Bahan Pelatihan 'Revitalisasi 55
Keterpaduan Usaha Temak dalam Sistem Usaha Tani' . Bogor dan Solo, 21 Februari - 6 Maret 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan, Bogor . Tangendjaja, B dan E . Wina. 2008. Limbah tanaman dan produk samping industri jagung untuk pakan . Jagung : Teknik Produksi dan Pengembangan . Hal: 427-455. http ://balitsereal .litbanq .deptan.go.id/biaqunq/duadua .p df 25 Okt 2008) . Utomo R . 2004. Review hasil-hasil penelitian sapi potong . Wartazoa . 14.(3):116-124. Van Oirschot Jt., P.J. Straver, Ja . Van Lieshout, J . Quak, F. Westenbrink, and A.C. Van Exsel, 1993 . A subclinical infection of bulls with bovine herpesvirus type I at an artificial insemination centre . Vet Rec, 132:32-35 . Widowati, S . 2001 . Pemanfaatan hasil samping penggilingan padi &iur+i i nunjang sistem agroindustri di pedesaan . Buletin AgroBio . 4(1): 33-38 .
56
Lampiran 1 .Komposisi nutrisi pakan hasil ikutan tanaman dan agro-industrinya .
Bahan
J
BK
~o~p)
89,2 Coklat, kulit biji (ari) ' 50,8 Coklat, kulit buah (pod)' Z 88,0 Jagung kuning, biji 78,5 Jagung, empok' 91,5 Jagung,tongkol 1 25,3 Jagung, jerami 1 91,5 Jagung, klobot 1 97,0 Jagung, tumpi' 87,4 Kacang tanah, kulit' 89,1 Kapuk, bungkil biji' 89,5 Kapuk, kulit bush' 93,1 Kedelai, ampas kecap' 10,3 Kedelai, ampas tahu 1 90,1 Kedelai, batang kering' 93,7 Kedelai, biji' 2 88,0 Kedelai, bungkil 88,9 Kedelai, kulit ari biji' 89,3 Kedelai, kulit polong ' 92,3 Kelapa, bungkil kelapa' 90,2 Kopi, kulit biji' 44,8 Singkong, daun' 88,4 Singkong, gaplek' 32,0 Singkong, kulit 1 86,8 Singkong, onggok 1 24,7 Tebu, daun pucuk 3 3 91,6 Tebu, daun wafer 77,0 Tebu, tetes 2 91,0 Padi, dedak' 88,6 Padi, dedak menir' 92,0 Padi, dedak PK 2' 74,5 Padi, jerami' Sumber :' Laboratorium Nutrisi, Loka Penelitian Sapi Potong (2007) .` Hartadi, et Tedjowahjono (2005) .
PK
LK
SK Abu TDN % BK
14,5 5,2 12,8 8,2 0,8 27,5 8,6 3,9 2,5 14,9 4,5 4,5 3,7 2,9 21,5 9,4 2,9 27,1 4,6 0,5 26,4 9,0 7,6 1,6 5,0 2,2 49,9 29,8 7,1 20,2 2,0 34,1 13,1 38,6 10,6 5,3 29,2 5,3 16,8 4,6 1,4 39,9 3,8 43,2 14,0 44,6 1,3 5,1 3,6 27,3 16,5 6,7 1,2 33,9 19,4 11,0 8,5 8,6 1,1 38,7 12,8 11,4 38,3 3,2 2,4 3,4 5,1 11,1 3,4 1,3 9,2 2,9 1,3 5,4 37,9 5,3 1,2 34,8 0,3 10,0 5,4 23,9 6,7 5,3 8,4 5,0 18,0 9,5 5,0 18,0 0,1 34,6 5,3 el. (1997) .' Mochtar dan
9,6 10,2 2,0 4,9 4,8 6,3 12,8 3,3 5,7 8,2 21,5 6,5 4,0 4,5 9,7 6,7 7,5 8,2 5,5 6,2 9,6 5,0 4,0 7,6 10,2 7,9 10,4 12,6 5,6 9,0 23,0
56,2 60,7 78,6 76,3 59,1 59,2 44,1 72,9 48,8 66,6 42,1 80,9 72,8 52,0 82,8 87,2 54,8 49,7 73,0 51,2 63,1 67,7 63,6 60,7 47,1 49,2 53,2 58,4 71,4 65,5 38,0
ISBN : 978-602-8475-10-5 Pusat Penelitian clan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav . E 59, Bogor 16151 Telp . (0251) 8322185, 8328383, 8322138 Fax . (0251) 8328382, 8380588 E -mail : criansci@indo .net .id