i 3453
••ÉÉKiUiliièÉÉU
SELAYANG PANDANG
LANGKAH DIPLOMASI KERAJAAN A C E H
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang N o m o r 7 T a h u n 1987 Tentang Perubahan atas Undang-Undang N o m o r 6 T a h u n 1982 Tentang H a k Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk ito, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak R p 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran H a k Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak R p 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
H.M. NUR EL IBRAHIMY SELAYANG PANDANG
LANGKAH DIPLOMASI KERAJAAN ACEH
Penerbit P T Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1993
Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh Oleh H . M . N u r E l Ibrahimy G M 050 93.174 © Penerbit P T Grasindo, J l . Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270 H a k cipta dilindungi oleh undang-undang A l l rights reserved Perwajahan dan sampul oleh Kunta Rahardjo Sumber gambar: Perang Kolonial Belanda di Aceh (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh) dan sumber lain Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit P T Grasindo Anggota I K A P I , Jakarta, 1993 Dilarang meraperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan P T Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Persembahan Api ilham dalam kalbuku Disulut MARYAMA tercinta, mitra hidupku Untuk mengangkat keunggulan para leluhur Berperang tak jemu-jemu, pantang mundur Berdiplomasi tak pernah terkelu, dengan mancanegara Mempertahankan panca-persada tanah pusaka Tak pernah bertekuk lutut kepada musuh Kepada penjajah pantang menyembah menyimpuh Ke haribaan MARYAMA buah tanganku ini kupersembahkan Baktiku untuk DAERAH MODAL persada watan Semoga berguna bagi mereka yang sedang berjuang kini Menyongsong hari depan bangsa yang gemilang abadi
H.M. Nur El Ibrahimy
DAFTAR ISI
Sambutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh
ix
Kata Pengantar
xi
Bab 1 Kerajaan Aceh Menjalin Hubungan Muhibah dengan Mancanegara Bab 2 Perjanjian Persahabatan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Inggris Tahun 1819
12
Bab 3 Amerika Serikat Menjalankan The GunBoat Diplomacy terhadap Kerajaan Aceh
22
Bab 4 Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Aceh dan Belanda 4.1 Perjanjian London Tahun 1824 sebagai Titik Tolak Belanda ke Daerah Aceh 4.2 Belanda Mengatur Langkah Ekspansi ke Aceh 4.3 Perjanjian Aceh-Belanda 1857 Bukti Kemenangan Politik Kolonial Belanda Bab 5 Usaha Kerajaan Aceh Mengikat Perjanjian Persahabatan dengan Amerika Serikat 5.1 Belanda Melanggar Perjanjian AcehBelanda 1857
1
30 31 32 41 44 44 vii
5.2 Perjanjian Siak Mengantarkan Belanda ke Perbatasan Aceh 5.3 Belanda Berkompromi dengan Inggris untuk Tujuan Kolonial 5.4 Kerajaan Aceh Mencari Bantuan ke Amerika 5.5 Perjanjian Aceh-Amerika: Suatu Bentuk Perjuangan Mempertahankan Tanah Air ....
45 47 51 61
Bab 6 Pengkhianatan yang Menjerumuskan Aceh ke dalam Perang Kolonial Belanda
64
Daftar Pustaka
76
Lampiran
78
Biografi Singkat
89
viii
G U B E R N U R K E P A L A D A E R A H 1STIMEWA ACEH
SAMBUTAN GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA ACEH
P -S- erang adalah suatu prahara, badai pertarungan kalahmenang dengan tarahan kehormatan dan milik paling berharga: nyawa. Perang lahir dari nafsu yang mempertontonkan kekuatan untuk menguasai yang lain. Hasutan, intrik, dan keserakahan adalah ranting penyulut api suatu perang. D i ujung lain, diplomasi adalah suatu seni, suatu ilmu yang menjadi kemampuan dan keterampilan kreatif dalam upaya mengembangkan dan membina hubungan antarbangsa yang bermartabat. Secara damai, tanpa senjata. N a m u n , sering suatu kegiatan diplomasi itu didukung oleh perangkat lain, satuan dan kelengkapan operasi militer. D i dalam khazanah literatur ilmu politik dan dunia diplomasi terdapat istilah gun-boat diplomacy, suatu kegiatan yang merujuk pada aktivitas diplomasi yang ditopang oleh suatu manuver kekuatan dan kesiapan tempur militer. Suatu show of force, suatu intrik dengan niat memaksa. Perang Aceh yang panjang itu meletus juga akhirnya pada tanggal 26 M a r e t 1873. Perang ini meletus, karena angin prahara yang ditiupkan oleh para muge (makelar) perang yang "menangguk di air yang keruh bergolak". Para diplomat Kerajaan Aceh waktu itu yang malang melintang di mancanegara tak berdaya menghindarkan perang tersebut, dan menjabat tangan persahabatan Amerika Serikat yang mempunyai kemampuan armada laut di kawasan ini belum seluruhnya tuntas. Draft kesepakatan ix
bersahabat yang dirancang belum ditandatangani. Kesenjangan ini dimanfaatkan Belanda lewat gun-boat diplomacy yang membawa bencana itu. Banyak sejarahwan yang telah menulis tentang Perang Aceh yang berat sebelah itu dengan beragam konsekuensi suatu perang, termasuk kelahiran heroisme dan sejumlah pahlawan. N a m u n , belum pernah terbaca oleh kalangan luas betapa kemampuan dan kegiatan diplomasi para diplomat Kerajaan Aceh yang malang melintang di mancanegara dalam upaya mereka menegakkan kehormatan negara dan bangsanya. Buku ini dapat merupakan tambahan koleksi yang memperkaya khazanah literatur sejarah Kerajaan Aceh sebelum menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia. Risalah ini perlu disimak dan dicermati generasi kita dan generasi mendatang untuk menambah cakrawala wawasan kita berpikir beberapa saat ke belakang. Ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wawasan kita berpikir ke masa datang. Atas nama Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak H . M . N u r E l Ibrahimy yang telah berprakarsa menulis buku ini, kepada P T Gramedia Widiasarana Indonesia, dan kepada mereka yang telah memungkinkan buku ini terbit. Dengan rasa bangga dan bahagia, saya ikut mengantarkan buku ini ke tengah masyarakat. Semoga Allah Yang Mahakuasa melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya kepada kita. Terima kasih. Banda Aceh, 30 September 1993 Gubernur Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud
x
KATA PENGANTAR
B
anyak orang mengatakan bahwa Aceh tangguh berperang melawan penjajah. Saya kira, pernyataan itu benar dan tidak berlebihan. Pada pertengahan abad ke-16, setelah Portugis menduduki Malaka, berkali-kali armada Kerajaan Aceh muncul di perairan Selat Malaka. Adakala untuk menghadang armada Portugis dalam perjalanannya menyerang Aceh, adakala untuk menyerang Portugis langsung di dalam sarangnya di Malaka. Dalam hal ini, berkali-kali pula armada Kerajaan Aceh dapat menghancurkan armada Portugis yang terkenal kuat pada masa itu. Keberhasilan operasi-operasi angkatan lautnya itu berkat ketangkasan pimpinan Laksamana Raja Meukuta, yang namanya disebut Ratu Elizabeth dari Inggris dalam suratnya kepada Sultan Aceh, dan dibawa Laksamana Sir James Lancaster pada tahun 1602. Tak dapat dilupakan pula, nama Laksamana Mala Hayati, yang karena jasa-jasanya oleh Sultan diangkat menjadi Kepala Protokol Istana Darussalam sekaligus Komandan Pasukan Pengawal Wanita. Kemudian, tatkala Belanda menyerang Aceh pada tanggal 26 Maret 1873, Aceh serta-merta berperang mati-matian dengan mengorbankan segala-galanya melawan musuh yang ingin menjajah Aceh selama lebih dari 30 tahun. Dalam mempertahankan Aceh selama masa yang cukup lama itu, baik bagi khalayak ramai xi
di Kepulauan Nusantara maupun bagi mancanegara, tidak asing lagi nama-nama seperti Teungku Chik D i Tiro, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dhien, yang setelah proklamasi kemerdekaan menghiasi papan nama jalan-jalan penting di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Sadar akan kedudukan yang strategis dan mengandung potensi ekonomi yang cukup besar sehingga Aceh senantiasa diincar oleh negara-negara besar Barat, pimpinan pemerintahan berpendapat bahwa perang bukanlah jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk menjawab tantangan-tantangan yang mengancam. Akan tetapi, kesediaan berperang harus dibarengi oleh kemampuan berdiplomasi. Maka sejak pertengahan abad ke-16 Aceh telah terjun ke dalam dunia diplomasi, baik dengan sesama negara di Kepulauan Nusantara maupun mancanegara. Kerajaan Aceh telah mengadakan hubungan diplomatik, tentu saja sesuai dengan zamannya. Inilah salah satu segi dari perjuangan Aceh yang tidak banyak diketahui orang, termasuk khalayak ramai di negeri sendiri. Dalam perjuangan diplomasi ini pun ada beberapa nama yang layak ditonjolkan. Antara lain (1) Panglima Nyak Dum, duta luar biasa ke Turki dan duta luar biasa ke Negeri Belanda; (2) Tgk. Abdussamad; (3) Teungku Said Muhammad Abdul Kadir, duta luar biasa ke Perancis; (4) Sayid Abdurrahman Az Zahir, mangkubumi yang diutus ke Turki untuk mencari bantuan senjata seandainya Belanda jadi menyerang Aceh; (5) Syahbandar Panglima Tibang Muhammad, yang diutus ke Singapura menemui Konsul Amerika untuk mengikat perjanjian persahabatan antara Aceh dan Amerika, sebagai upaya menggagalkan rencana serangan Belanda terhadap Aceh. Dalam risalah kecil ini, saya bentangkan peristiwa-peristiwa sejarah yang dilalui Kerajaan Aceh dalam masalah hubungan internasional (international relation). Dari sini dapat dilihat gerak langkah Kerajaan Aceh dalam dunia diplomasi sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan dan integritasnya. Selain itu, perlu saya jelaskan pula, bahwa dalam risalah ini saya ingin mengambil kesempatan untuk menyingkapkan sebuah dokumen sejarah yang autentik, sebagai bukti adanya lompatanlompatan diplomatik Kerajaan Aceh untuk mempertahankan kemerdekaannya. Dokumen ini merupakan naskah perjanjian xii
Aceh-Amerika (Proposal of Atjeh-American Treaty) yang sudah berusia 120 tahun dan belum pernah diketahui masyarakat Indonesia karena sejak 1874 tersimpan di U.S. National Archives, Washington D.C. Perburuan atas naskah tersebut sebenarnya dimulai pada tahun 1957 ketika Dr. James Warren Gould mengetahui adanya naskah itu di dalam arsip State Department. Setelah terbukti keberadaannya, beliau langsung memasukkan sebagai salah satu bahan tulisannya mengenai pengumuman perang oleh Belanda terhadap Aceh dalam majalah Annals of Iowa. Namun, dalam tulisan itu tidak disinggung mengenai bentuk, bahasa yang digunakan, huruf yang dipakai, dan isi tiap pasal dari naskah perjanjian tersebut. Membaca tulisan beliau, semula hati saya tidak tergerak untuk menyelidiki keberadaan naskah tersebut. Baru pada tahun 1992, ketika hendak menyempurnakan rencana menulis buku ini, hati saya mulai tergerak untuk "memburu" naskah perjanjian tersebut. Saya lalu menulis surat kepada State Department di Washington D . C . melalui perantaraan American Cultural Center di Jakarta. Setelah menerima surat itu, USIA di Washington langsung menghubungi State Department,tetzpi ternyata naskah itu tidak ada. Selanjutnya, USIA menghubungi U.S. National Archives. D i sana, di antara 24 rol mikro-film mengenai peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Singapura dan Malaya, dokumen tua itu ditemukan. Akhirnya, berkat kerja keras Miss Betsy Franks dari USIA dan para petugas di U.S. National Archives, dokumen yang belum pernah terpublikasikan itu saya terima lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris pada tanggal 30 Juli 1993 melalui Direktur American Cultural Center beserta seluruh stafnya. Kepada mereka saya menyampaikan terima kasih. Mudah-mudahan risalah ini* bermanfaat, teratama bagi para peminat perjuangan diplomasi yang ingin meneliti lebih luas langkah-langkah diplomatik Kerajaan Aceh pada masa yang silam dan menjadi pendorong bagi para ilmuwan muda dalam mengungkap perjuangan nenek moyang di bidang ini. * Buku ini saya maksudkan sebagai monumen untuk memperingati 120 tahun pecahnva perang Aceh-Belanda, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873.
xiii
Russel H . Fifïeld, Professor of Political Science, University of Michigan pernah menulis tentang diplomasi Republik Indonesia dalam sebuah buku yang berjudul The Diplomacy of Southeast Asia: 1945-1958. Tetapi, belum pernah saya temukan sebuah buku tentang diplomasi Indonesia dalam bahasa Indonesia, baik pada masa Orde Lama maupun masa Orde Baru, atau kedua-duanya. Apalagi tentang diplomasi Indonesia pada masa silam (kerajaankerajaan besar di Kepulauan Nusantara) yang kemudian semua ditelan oleh Nederland lndie. Jakarta, 26 Maret 1993
xiv
H . M . Nur El Ibrahimy
BAB 1
KERAJAAN ACEH MENJALIN HUBUNGAN MUHIBAH DENGAN MANCANEGARA
S
uatu ucapan yang sangat berkesan dan membangkitkan nostalgia ke masa yang silam dilontarkan oleh Prof.Dr. James Warren Gould, Guru Besar di Clearment College, Califomia tatkala kami duduk berbincang-bincang di lobi Hollywood Inn, Hollywood Boulevard, Los Angeles, Califomia, pada suatu pagi dalam bulanMei 1960. Ucapan itu adalah sebagai berikut: "In 1184 Aceh was the greatest political power on the island. It alone among the states had excluded the European forts, those inevitable precursors of difficulties. European could rememher when Acehnese naval power had defeated the Portuguese, but even Aceh 's power was declining. It had once held dominion over half of Sumatra (on the west coast as far as Indrapura and on the east as far as the Asahan River), but afterward its boundaries extended only to Batubara on the east and to Baros on the west." Artinya adalah: "Dalam tahun 1784 Aceh merupakan kekuasaan politik terbesar di Pulau Sumatra. D i antara sekian banyak kerajaan, Aceh adalah satu-satunya yang berani menolak keinginan pendatang-pendatang Eropa untuk membangun benteng di dalam daerah kekuasaannya sebagai pemukiman orangorang Eropa dan sebagai pegudangan bagi komoditi-komoditi yang dibeli mereka dari rakyat. Benteng-benteng ini merupakan regu perintis, yang bila diluluskan, pasti akan diikuti oleh regu1
Dr. J . W . Gould, sekitar tahun lima puluhan bekerja sebagai staf Konsul Amerika di Medan. D i a pernah melawat ke Aceh sampai ke Kuala Batu, Susoh, Aceh Selatan. D a n dia adalah penulis buku The Americans in Sumatra. 1
regu lain dan pasti akan menimbulkan kesulitan-kesulitan. Orang-orang Eropa pasti masih ingat ketika Angkatan Laut Aceh menghancurkan armada Portugis, meskipun kekuatan Aceh pada waktu itu sudah mulai menurun. Aceh pada suatu ketika telah mengembangkan kekuasaannya atas separoh pulau Sumatra (di sebelah pantai barat sampai sejauh Indrapura (Sumatra Barat) dan di sebelah timur sejauh Sungai Asahan). Akan tetapi, beberapa waktu kemudian daerah yang dikontrolnya menyurut, yaitu di sebelah barat hanya sampai ke Baros dan di sebelah timur hanya sampai ke Batu Bara. Tidak kurang menawan hati saya dari ucapan Dr. Gould, adalah keterangan seorang penulis Belanda terkenal, yaitu Paul van't Veer dalam bukunya yang berjudul De Atjeh Oorlog (terjemahan Abu Bakar). Dia berkata bahwa "Aceh bukan Jawa, tetapi juga bukan Siak. Aceh sanggup mempertahankan dirinya sendiri dan kemakmurannya termasuk sedang tanpa pernah dicampuri urusannya oleh Belanda. Aceh mempunyai hubungan ekonomi dan politik internasional, dan pada tahun 1873 sekurang-kurangnya Aceh memiliki seorang pejabat pemerintah yang sangat cakap serta bijaksana sebagai mangkubumi, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir". "Dalam buku ini, yang memuat gambaran perang Belanda di Aceh sebagai pusat politik kolonial, nasional, dan internasional Belanda selama setengah abad, saya hanya sedikit sekali membicarakan mengenai negeri dan bangsa Aceh. Akan tetapi, kenyataannya dalam seluruh daerah pengaruh Belanda yang umumnya dinamakan 'Hindia Belanda', pada abad ke-19 tidak ada satu kerajaan pun yang dapat disamakan dengan Aceh. Hal ini baru kita ketahui sekarang. Sebuah perang yang telah berjalan selama setengah abad; dengan jumlah kematian seratus ribu orang dan penghamburan uang setengah miliar rupiah pada masa abad ke-19 yang masih tinggi nilainya itu! Tetapi, hal ini tidak disadari pada tahun 1873. Jangankan di Negeri Belanda, di Jawa pun orang tidak mempunyai sedikit gambaran tentang keadaan yang sebenarnya mengenai bangsa Aceh ini!" Di samping pernyataan-pernyataan tersebut, William Marsden, penulis buku sejarah terkenal The History of Sumatra juga mengakui bahwa Kerajaan Aceh adalah suatu kerajaan yang sangat kuat, dibuktikan oleh ekspedisi-ekspedisinya yang ber2
ulang kali di Selat Malaka. Pada tahun 1575, armada Portugis dihancurkan oleh angkatan laut Kerajaan Aceh yang digambarkan sebagai kabut hitam yang menutupi Selat Malaka. Ekspedisi yang gemilang di Selat Malaka adalah berkat kepahlawanan laksamana yang memimpinnya, ialah Raja Meukuta, yang pernah disebutsebut dalam surat Ratu Elizabeth dari Inggris dan dihantarkan kepada Sultan Aceh oleh Sir James Lancaster pada tahun 1602. Pada masa jayanya, banyak kerajaan besar dari Eropa yang ingin menjalin hubungan muhibah dan mengikat tali persahabatan dengan Aceh. Bahkan ada di antaranya yang dengan berkedok persahabatan ingin menguasai Aceh. Pada bulan November 1600 Kerajaan Belanda mengutus Paulus van Caarden menghadap Sultan Aceh. Ia diterima dengan upacara kebesaran. Sebagai balasan atas kunjungan utusan Belanda itu, Sultan Aceh mengutus dua orang duta luar biasa ke Negeri Belanda pada tahun 1601. Salah seorang di antaranya ialah W a z i r Abdussamad sebagai ketua perutusan. Beliau meninggal dan dimakamkan di Negeri Belanda. Pada tahun 1602 Ratu Elizabeth dari Inggris mengutus Sir James Lancaster mengunjungi Sultan Aceh. Ia diterima dengan upacara kehormatan yang megah. Surat Ratu Elizabeth yang dibawa oleh Lancaster diserahkan kepada Sultan dalam suatu upacara seperti biasa dilakukan pada waktu penyerahan surat kepercayaan seorang duta. Setelah penyerahan surat Ratu, Jenderal Lancaster mempersembahkan kepada Sultan hadiahhadiah yang berharga dari Ratu Elizabeth. Dalam kata sambutannya, Jenderal Lancaster menyatakan bahwa kedatangannya ke istana Sultan untuk menegakkan perdamaian dan menjalin hubungan persahabatan antara Ratu dan saudaranya yang tercinta Sultan Aceh. Setelah upacara penyerahan surat dan hadiah-hadiah selesai, Sultan mempersilakan tamu agung menuju ruangan andrawina (banquet) yang penuh dengan kemewahan yang layak dan sesuai dengan kedudukan dan martabat seorang utusan raja. D i dalam ruangan ini makanan dan minuman tersaji dalam piring dan gelas yang terbuat dari emas. Selanjutnya, dara-dara Aceh yang manis berpakaian serba indah dengan perhiasan emas bertatahkan permata yang gemerlapan, menghibur tamu agung dengan tari3
tarian yang mempesona. Perlu disebutkan bahwa posisi penting dalam istana waktu itu dipegang oleh wanita. Misalnya, Protokol dan Komandan Pasukan Pengawal Wanita dipegang oleh Laksamana M a l a Hayati dan Kepala Dinas Rahasia dipercayakan kepada C u t Lempah. Sebelum meninggalkan istana, Sir James Lancaster dalam suatu upacara adat Aceh yang agung, dipersalini oleh Sultan dengan pakaian kebesaran Aceh dan dua bilah rencong Aceh disisipkan di pinggangnya. U n t u k Ratu Elizabeth, Sultan menyerahkan seperangkat hadiah yang megah. Antara lain, sepasang gelang yang terbuat dari emas yang bertatahkan permata-permata rubi yang sangat bernilai. Pada tahun 1613 Raja James mengirimkan utusannya, Captain Best berikut sebuah surat dan seperangkat hadiah yang berharga. Captain Best diterima dengan upacara kebesaran yang sesuai dengan martabat utusan seorang raja dan kepada beliau dianugerahkan gelar orang kaya putih. Perancis yang juga berkeinginan mengambil bagian dalam memanfaatkan kekayaan yang dilimpahkan oleh bumi Aceh, memerintahkan Jenderal Beaulieu bertindak sebagai utusan kerajaan Perancis. Ia berangkat sambil memimpin sebuah skuadron pada akhir tahun 1620 dan tiba di Aceh pada bulan Januari 1621. Seperti halnya utusan dari kerajaan lain di Eropa, Jenderal Beaulieu juga membawa seperangkat hadiah yang berharga untuk Sultan. Akan tetapi, misi Beaulieu gagal seluruhnya. Sebab Sultan dari semula sudah tidak senang dengan sikap Beaulieu yang mencerminkan sifat serakah dan tamak yang merupakan ciri-ciri imperialis. Apa gerangan yang menyebabkan negara-negara besar di Eropa tertarik kepada Aceh? T i d a k lain karena kedudukan yang strategis dan adanya potensi-potensi ekonomi yang cukup besar dan penting. Pada masa itu, Aceh terkenal sebagai gudang lada dan pinang di Pulau Sumatra. Jikalau pantai baratnya merupakan daerah lada (the pepper coast) maka pantai utara/timurnya merupakan daerah pinang (bettel-nut coast). Daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan merupakan perkebunan lada yang panjangnya tidak kurang dari 75 kilometer, dimulai dari T r u m o n sampai ke Daya. Kota-kota pelabuhan yang banyak disinggahi oleh kapalkapal yang datang dari Eropa terutama dari Amerika adalah 4
Kluet, Tapak T u a n , Meuke, Labohan Haji, Susoh, Kuala Batu, Meulaboh dan Daya. Susoh merupakan pusat perdagangan lada bagi dunia internasional dan merupakan pusat galangan kapalkapal niaga. Sebaliknya, Meulaboh dan Daya merupakan pusat pertambangan emas yang kaya dengan bijih logam mulia. T i a p tahun sepanjang pantai Aceh Barat dan Aceh Selatan ramai lalu lalang kapal-kapal asing, terutama yang datang dari Amerika, untuk mengangkut lada ke seluruh dunia. Besarnya volume ekspor lada dari Aceh ke luar negeri, contohnya pada tahun 1818, lebih dari sepuluh miliun pon. L i m a miliun di antaranya diangkut oleh kapal-kapal yang datang dari kota-kota pelabuhan Salem, Boston, N e w York, Marlblehead, Baltimore dan Philadelphia, dengan harga 4,7 sen dolar per pon. Pada masa itu, ada tiga negara asing yang bersaing sengit untuk memperoleh monopoli, sekurang-kurangnya memperoleh kedudukan sebagai the most favored nation dalam bidang perdagangan lada. Bahkan ada di antaranya yang berkeinginan menguasai Aceh beserta segala kekayaan yang terkandung di dalam buminya. Mereka adalah Inggris, Belanda, dan Amerika. D a r i ketiga negara ini, Inggris dan Belandalah yang dari tindak-tanduknya ternyata mempunyai ambisi teritorial, sedangkan Amerika merupakan negara yang mementingkan keuntungan belaka. Artinya, ingin mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya, kalau perlu dengan cara menipu, tanpa menghiraukan nasib produsen atau petani. Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari bujuk rayu rongrongan negara imperialis, raja-raja Aceh selain mengandalkan angkatan lautnya yang cukup tangguh, juga tidak meremehkan cara-cara diplomasi. Sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dan sebagai salah satu anggota masyarakat bangsa-bangsa, Kerajaan Aceh berkewajiban membina hubungan baik antarnegara di dunia. Selain itu, sesuai pula dengan haknya, mengutus duta-duta ke luar negeri dan menerima duta-duta dari luar negeri (the right of legation), telah merentang titian muhibah dengan dunia internasional. Kegiatan ini dilakukan, baik dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian persahabatan maupun mengutus duta-duta luar biasa untuk menghadiri sesuatu upacara penobatan, pelantikan, atau peristiwa penting lainnya (ceremonial ambassador) atau merundingkan sesuatu masalah politik (political ambassador). 5
Oleh karena Turki merupakan pusat pemerintahan Islam (Khilafah Islamiah) yang jadi pengayom dari kerajaan-kerajaan Islam yang lain, termasuk di dalamnya Kerajaan Aceh maka pertama-tama Aceh menjalin dan mempererat hubungan dengan Turki. Eratnya hubungan antara kedua negara, oleh Marsden dijelaskan bahwa pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Alqahhar (1567), di dalam angkatan perang Kerajaan Aceh terdapat 400 orang berkebangsaan Turki dan 400 pucuk meriam dari berbagai kaliber yang didatangkan dari Turki. Menurut H . Zainuddin, pengarang buku Tarich Atjeh dan Nusantara, hubungan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Turki sudah dimulai sejak masa Sultan Alauddin Riayat Syah Alqahhar (1537-1571). Untuk mempererat hubungan antara kedua negara secara tegas, antara keduanya telah diikat suatu perjanjian persahabatan. Sebagai bukti atas terjalinnya persahabatan itu, Sultan Turki telah mengirim 40 orang perwira yang ahli dalam bidang artileri dan kavaleri ke Aceh, untuk membantu meningkatkan mutu barisan meriam dan barisan berkuda dalam ketentaraan Aceh. Pada masa Sultan Mansur Syah (1579-1586) persahabatan antara kedua negara diperkuat lagi dengan pernyataan saling bantu-membantu dan kirim-mengirim utusan muhibah. Kemudian pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyidil Mukammil, untuk lebih mempererat hubungan antara Aceh dan Turki, Sultan Mastafa Khan telah mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan menyampaikan suatu pernyataan bahwa kapal-kapal perang Aceh diberi izin mengibarkan bendera Turki di tiang benderanya. Selanjutnya, oleh sultan-sultan Aceh berikutnya hubungan persahabatan antara kedua negara lebih ditingkatkan lagi. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) telah dikirim ke Turki sebuah perutusan yang dipimpin oleh Panglima Nyak Dum, untuk lebih memperkokoh hubungan antara Aceh dan Turki. Dalam perjalanan pulang, turut serta 12 orang perwira Turki yang ahli dalam berbagai bidang. D i samping itu, Panghma Nyak Dum membawa pulang sebuah meriam, yang diben nama "Meriam Lada Sicupak", sebagai hadiah dari Sultan Turki kepada Sultan Iskandar Muda.
6
Kemudian pada tahun 1825, dalam perjalanan menghadiri upacara penobatan Napoleon III di Perancis, duta luar biasa Teungku Said M u h a m m a d Abdul Kadir diperintahkan oleh Sultan mengunjungi Sultan T u r k i di Istambul untuk lebih meningkatkan hubungan antara kedua negara. D i T u r k i beliau mendapat sambutan yang hangat, dan kepada beliau Sultan menganugerahkan bintang T u r k i dan lambang kebesaran M a j i diah, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya mempererat hubungan persahabatan antara kedua negara dan bangsa. Seterusnya pada tahun 1873, tatkala terlihat gejala bahwa ancaman Belanda terhadap Aceh makin hari makin mendekat, Sultan Aceh mengutus Mangkubumi Sayid Abdurrahman A z Zahir ke T u r k i untuk meminta bantuan dalam usaha menghadapi ancaman Belanda itu. Kedatangan Sayid Abdurrahman A z - Z a h i r di Istambul sebenarnya mendapat sambutan yang meriah dari mereka yang tergabung dalam golongan T u r k i M u d a . Akan tetapi, karena T u r k i pada waktu itu merupakan The Sick Man of Europe atau orang sakit dari Eropa, jangankan memberi bantuan kepada orang lain, mempertahankan keutuhan wilayahnya sendiri hampir tidak berdaya. Kemudian — dengan tujuan untuk memperlunak tekanan Belanda yang terus-menerus tanpa menghiraukan perjanjian Inggris-Aceh tahun 1819 yang pernah dibuat — pada tahun 1857 Sultan yang semula bersikap keras terhadap Belanda, bersedia mundur selangkah menerima tawaran mengikat perjanjian perdamaian dan persahabatan. Meskipun sebenarnya Sultan mengetahui bahwa perjanjian yang diinginkan itu merupakan langkah politik Belanda agar mendapat tempat berpijak dalam rangka mengembangkan pengaruhnya di Kerajaan Aceh. Dalam menghadapi percaturan politik yang dimainkan oleh Inggris dan Belanda, Sultan Aceh merasa perlu untuk menjalin hubungan baik dengan Perancis. Pada tahun 1825 Sultan mengirim suatu perutusan yang dipimpin oleh duta besar luar biasa T g k . Said M u h a m m a d Abdul Kadir ke Perancis untuk menghadiri upacara penobatan Napoleon III sebagai Kaisar Perancis, yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 1952. Dalam kesempatan sebelumnya, setelah menyerahkan surat-surat kepercayaannya, duta Abdul Kadir mempersembahkan kepada Kaisar Perancis hadiah-hadiah yang bertatahkan permata ratna
7
mutu manikam dari Sultan Aceh. Sebaliknya, Kaisar Perancis telah menganugerahkan kepada duta Abdul Kadir sebilah pedang yang bertatahkan permata yang indah, sebagai lambang persahabatan di antara kedua negara. Berkaitan dengan ancaman Belanda terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Aceh — yang dimanifestasikan oleh kesibukan Belanda mempersiapkan pasukan-pasukan untuk menyerang Aceh — Kerajaan Aceh sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berhak menjalin hubungan persahabatan dengan negara mana saja di atas bumi ini telah mengadakan hubungan dengan Studer, Konsul Amerika di Singapura. Maksudnya, mengikat suatu perjanjian persahabatan (Treaty of Friendship) dengan Amerika serta meminta bantuan untuk menghadapi serangan Belanda. U n t u k itu, disusun sebuah rencana perjanjian persahabatan kedua negara. Akan tetapi, karena didahului permakluman perang oleh Belanda terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873, rancangan perjanjian tersebut tidak sempat ditandatangani untuk menjadi sebuah perjanjian. M e n u r u t berita yang saya dengar dari James W a r r e n G o u l d di H o l l y w o o d pada tahun 1960, rancangan perjanjian itu kini masih utuh tersimpan di dalam arsip Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, sebagai lampiran dari Laporan N o . 107, October 4th, 1873, Singapore V o . II di Washington D . C . Selain menjalin hubungan persahabatan dan membina perdamaian dengan mancanegara atau dunia internasional, seperti yang tersimpul dalam rangkaian kata sempena yang melekat (inherent) pada kata Aceh Danissalam, Kerajaan Aceh pun tidak mengabaikan langkah-langkah diplomatik untuk memperkukuh persahabatan dengan sesama kerajaan di Kepulauan Nusantara, baik untuk tujuan perdamaian maupun untuk menggalang persatuan guna menghadapi musuh yang ingin menjajah bangsa-bangsa di kepulauan ini. Antara lain, Kerajaan Aceh mengadakan hubungan persahabatan (bahkan lebih jauh telah membentuk persekutuan/ alliancè) dengan kerajaan Jepara di Pulau Jawa. Saya kira cukup berguna kalau di sini saya ceritakan sedikit tentang Jepara. Jepara terletak di Pantai Utara Jawa Tengah. Pada permulaan abad ke-16 Jepara merupakan suatu kota 2
2
Negeri R . A . Kartini ini ada relevansi historisnya dengan Aceh.
8
pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu gerbang komunikasi kerajaan Islam pertama di Jawa yang berpusat di Demak. Selain sebagai pusat perdagangan terbesar, juga sebagai pangkalan armada yang kemudian digunakan oleh Adipati Unus, putra Raden Fatah untuk menyerang kekuasaan Portugis di Selat Malaka. Jadi, Jepara merupakan daerah yang paling penting bagi Kerajaan Islam Demak pada waktu itu, apalagi karena merupakan basis angkatan laut Kerajaan Demak yang cukup tangguh. Jepara pada waktu itu diperintah oleh seorang ratu yang terkenal cantik bernama Ratu Kalinyamat. Suaminya bernama Pangeran Hadiri, seorang ulama yang berasal dari Aceh, yang semula bernama Teungku Thayib. Setelah berada di Jawa mendapat panggilan Raden Thoyib dan setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat, beliau dianugerahi gelar Pangeran Hadiri. Teungku Thayib bertolak dari Aceh mengembara dari satu negeri ke negeri lain untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu keagamaan. Negeri yang pertama dituju adalah Tiongkok. Pada waktu Teungku Thayib berada di Tiongkok, berkat jasa-jasanya, kaisar Tiongkok berkenan mengakui beliau sebagai anak angkatnya dan diberi kedudukan yang cukup tinggi. Berhubung bukan hal semacam itu yang dicari maka Teungku Thayib meneruskan perjalanan mengembaranya. D i dalam pengembaraannya itu sampailah beliau ke suatu negeri yang disebut Jepara. D i Jepara beliau menghadap dan menyatakan sekiranya Ratu berkenan memberikan kesempatan, beliau akan mengabdi untuk menegakkan kalimah Allah dan turut serta dalam usaha memakmurkan dan menyejahterakan rakyat Jepara. Ratu dengan senang hati menerima permohonan Raden Thoyib. Kemudian, berkat kelebihan yang terlihat oleh Ratu Kalinyamat, yaitu dari pembawaannya yang lemah lembut penuh kasih sayang, budi pekertinya yang tinggi sebagai cerminan dari sikap seorang ulama yang saleh, dan sikapnya yang bijaksana dalam menghadapi segala lapisan masyarakat sebagai manifestasi dari kepemimpinan yang mengayom maka wanita agung itu tertarik kepadanya. Beliau berkenan meminta Raden Thoyib menjadi suaminya. Tawaran ini tidak ditolak sehingga dianugerahkanlah kepadanya gelar Pangeran Hadiri. Akhirnya, Pangeran Hadiri yang berasal dari Aceh menjadi mitra Ratu Kalinyamat dalam mengayuh bahtera Kerajaan Jepara. 9
Cinta kasih Ratu kepada H a d i r i benar-benar tak terpisahkan. Semasa hidup mereka selalu berduaan, bahkan makam mereka pun berdampingan, terletak di belakang Mesjid Mantingan. M a k a m tersebut dibangun sendiri oleh Pangeran H a d i r i , tujuh kilometer dari kota Jepara. Sekarang, tiap hari Senin dan Kamis P o n banyak pengunjung datang berziarah ke makam kedua tokoh Kerajaan Jepara itu. Kerajaan Aceh menilai posisi Jepara cukup kuat sebagai sebuah Kerajaan Islam di Jawa, dan mempunyai kedudukan yang strategis serta armada yang cukup tangguh. U n t u k itu, Kerajaan Aceh berkeinginan menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan tersebut, bahkan ingin mengajak Jepara membentuk suatu persekutuan militer (dHiance) guna menghadapi musuh bersama, yaitu Portugis di perairan Selat Malaka. Pada tahun 1568 sebuah perutusan kerajaan yang terdiri dari beberapa duta besar dikirim oleh Sultan Aceh untuk menemui Ratu Jepara. Akan tetapi, ketika kapal perang Aceh berada di perairan Selat Malaka telah dicegat oleh armada Portugis yang berjumlah besar. Perutusan Kerajaan Aceh dapat ditawan dan semua yang berada di atas kapal dibunuh. Berarti, gagallah misi muhibah Aceh yang pertama ke Jepara. 3
Akhirnya, pada tahun 1573 Aceh dan Jepara berhasil membentuk suatu persekutuan militer untuk menghadapi Portugis yang ingin menguasai Selat Malaka dan seterusnya berkeinginan besar menguasai Kepulauan Nusantara. Sejak itulah kedua kerajaan Islam, Aceh dan Jepara, bahu-membahu melawan Portugis di Selat M a l a k a . 4
Demikian gambaran singkat mengenai langkah-langkah diplomatik Kerajaan Aceh pada masa silam dalam percaturan politik mancanegara. Langkah-langkah ini telah menghasilkan dua buah perjanjian persahabatan dengan negara-negara Barat, yaitu dengan Inggris pada tahun 1819 dan dengan Belanda pada tahun 1857. Selain itu, sebuah rancangan perjanjian persahabatan dengan Amerika pada tahun 1873, karena didahului oleh
3
4
Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Alqahhar. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Ali Riayat Syah.
10
serangan Belanda terhadap Aceh, tidak sempat menjadi suatu perjanjian resmi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Akhirnya, kita hanya dapat mengenangkan apa yang telah diperbuat oleh nenek moyang kita pada masa silam untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Kerajaan Aceh, baik dalam perjuangan bersenjata maupun dalam perjuangan diplomasi.
11
BAB 2
PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA KERAJAAN ACEH DAN KERAJAAN INGGRIS TAHUN 1819
S
ejak tahun 1805 Inggris telah merencanakan penanaman dan pengembangan pengaruhnya di daerah Aceh. Pelaksanaan rencana tersebut diserahkan kepada Gubernur Inggris yang berkedudukan di Penang, yang ditugaskan mengelola urusan politik yang berkaitan dengan daerah-daerah sekitar Selat Malaka. Misi demi misi, seperti Misi Campbell (1810), Laurence (1811) dan Canning (1814) telah dikirim ke Aceh untuk menjajaki kemungkinan pelaksanaan rencana Inggris itu. Akan tetapi, sampai tahun 1817 kelihatannya tidak ada suatu tindakan yang positif ke arah itu. Gubernur Inggris di Penang tampak raguragu. Sebenarnya, pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah (1795-1824) — yang pemerintahannya diawali dari timbulnya kekalutan politik di kalangan istana, kemudian meluas menjadi suatu pemberontakan untuk menggulingkannya, sehingga ia terpaksa menyingkir ke Lhok Seumawe - merupakan peluang yang amat baik bagi Inggris. Akan tetapi, ironinya kesempatan itu tidak pernah dimanfaatkan Inggris. 1
'Pada 1602 Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyidil Mukammil Oaqahhar) mengizinkan orang-orang Inggris berdagang di Aceh. Dan Sir James Lancaster, utusan ratu Inggris membuat perjanjian dagang dengan saudagarsaudagar Aceh. Kedatangannya ke Aceh, pertama kali pada tahun 1599. Di samping itu, Ratu Elizabeth mengikat pula perjanjian persahabatan dengan kerajaan Aceh. 12
Tidak lama sesudah Jauhar Alam Syah memegang tampuk kerajaan, terjadi perpecahan dalam pimpinan pemerintahan. Suatu klik istana yang berkomplot dengan kepala-kepala sagi, raja-raja kecil yang pada masa Sultan Iskandar Muda telah ditundukkan di bawah naungan Kerajaan Aceh, dan dibantu oleh pemuka-pemuka rakyat penguasa daerah-daerah lada di Aceh Barat dan Aceh Selatan bersepakat menggulingkan Jauhar Alam Syah dari takhta kerajaan. Dalam hubungan ini, Sayid Husin, seorang saudagar Arab yang kaya raya warga negara Inggris yang berkedudukan di Penang dan telah sering datang ke Aceh membawa kapal-kapal dagangnya, bergabung dengan golongan pemberontak. Berkat ringgitnya yang melimpah ruah, dia berhasil membujuk pimpinan pemberontakan untuk mengangkat anaknya menjadi Sultan Aceh menggantikan Jauhar Alam Syah. Pada tahun 1816 setelah resmi diproklamirkan pemberontakan, diangkatlah anak Sayid Husin menjadi Raja Aceh dengan nama Sultan Saiful Alam. D i lain pihak, sejak kaum pembangkang memulai aksi-aksi pendongkelan dan pengambilalihan pimpinan pemerintahan, Jauhar Alam Syah pada bulan M e i 1805 telah menulis surat kepada Letnan Gubernur Inggris M r . Fahrugar di Penang, yang kemudian disusul pula dengan sebuah surat lain untuk meminta bantuan Inggris dalam upayanya mengatasi pemberontakan. Dalam bulan Juni 1805, Letnan Gubernur Inggris dalam jawabannya kepada Jauhar Alam Syah menyatakan bahwa dengan sangat menyesal tidak dapat memenuhi harapan Sultan karena hal itu berada di luar wewenangnya. Dia berjanji akan meneruskan permintaan Sultan kepada Gubernur Jenderal di Benggal, India. Belasan tahun Jauhar Alam Syah menunggu, akan tetapi bantuan Inggris tak kunjung datang. Pemerintah Inggris, baik pada masa terjadinya bentrokan antara Jauhar Alam Syah dan kelompok kepala-kepala sagi maupun sesudah bentrokan dengan Saiful Alam tidak pernah memberikan bantuan yang diminta oleh Jauhar Alam Syah. Inggris tidak mau campur tangan dalam pertikaian dan bentrokan yang terjadi antara dua kelompok itu. Inggris ingin berpegang pada politik nentrality and non intetference atau politik tidak campur tangan. 13
Jauhar Alam Syah yang mengetahui hubungan Inggris dengan Aceh sejak berabad-abad sangat akrab, merasa kecewa dengan sikap Inggris. Suatu hal lain yang sangat menggelisahkan Jauhar Alam Syah adalah adanya kapal-kapal dan perahu-perahu yang memakai bendera Inggris terlihat membawa senjata, amunisi, dan barang-barang kebutuhan perang ke daerah-daerah Aceh yang sedang bergolak. Ternyata kapal-kapal tersebut milik Sayid Husin yang membantu pemberontakan. Dalam rangka rencananya menanam pengaruh di daerah Aceh, ternyata Inggris diliputi oleh sikap ragu-ragu, yang disebut sikap neutrality and non interference. Inggris ragu karena Belanda yang juga mengincar daerah Aceh senantiasa membayanginya. Agaknya Inggris tidak ingin menambah kesulitan baru atas kesulitankesulitan yang sudah ada, yaitu pertikaian-pertikaiannya dengan Belanda mengenai masalah yang berkaitan dengan Hindia Timur. Kedudukannya yang masih dipertahankan di Bengkulu tampaknya mulai tidak banyak menguntungkan. Pada penghujung tahun 1817 politik Inggris terhadap Aceh mulai berubah. Perubahan ini terutama ketika mendengar informasi bahwa Belanda sedang bersiap-siap menghantarkan tiga pucuk meriam dan 2.000 serdadu kepada Jauhar Alam Syah untuk menumpas pemberontakan dan merebut kembali takhtanya dari Saiful Alam. D i samping itu, juga mendengar informasi bahwa Jauhar Alam Syah bersedia menerima bantuan Belanda bila Inggris tetap berdiam diri. Perubahan politik Inggris ini terjadi setelah Kolonel Bennerman menjadi Gubernur Inggris di Penang pada akhir tahun 1817. Mendengar informasi tersebut Inggris segera mengirimkan utusannya ke Aceh untuk mengadakan pendekatan dalam upaya menghapus segala hal yang mungkin telah menimbulkan salah paham antara kedua negara. Selanjutnya, mengusahakan suatu persetujuan yang dapat meningkatkan hubungan persahabatan seperti yang pernah terjadi beberapa abad yang lampau. Maksud persetujuan ini terutama guna memperoleh jaminan bagi keleluasaan perdagangannya di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh dan jaminan bagi keamanan pelayaran kapal-kapalnya di perairan Selat Malaka. Selain khawatir terhadap penetrasi Belanda ke Aceh yang dimanifestasikan dalam politik hendak memberi bantuan kepada 14
Jauhar Alam Syah, Inggris agak cemas pula dengan meluasnya aktivitas dagang Amerika di Aceh Barat dan Aceh Selatan yang merupakan daerah lada paling utama di Aceh. Kegiatan tersebut oleh Inggris diperkirakan akan mempersempit ruang gerak perdagangannya. Hal ini merupakan motivasi lain yang mendorong Inggris meninggalkan politik neutrality and non interferencenya. Memang, sejak tahun 1801 peningkatan hubungan dagang antara Amerika dan Aceh sangat merisaukan Inggris sehingga untuk menghambat perkembangannya Inggris menempuh beberapa jalan yang tidak wajar. Antara lain, merampas kapal-kapal Amerika dan mengikat kontrak jangka panjang dengan produsenprodusen lada secara paksa. Maksudnya, agar produsen-produsen itu tidak dapat menjual ladanya kepada Amerika. Persatngan yang sengit antara Inggris dan Amerika sempat menyebabkan bentrokan bersenjata antara kedua pihak pada tahun 1812. Bentrokan ini baru dapat diakhiri pada tahun 1815. Namun demikian, kegiatan dagang Amerika di Aceh bukannya menjadi surut melainkan bertambah maju, yang oleh Inggris dianggap membahayakan kepentingannya. Untuk mencegah bahaya yang mengancam, Inggris berpendapat tidak boleh terus berdiam diri dengan berpegang kepada politik neutrality and non intetference seperti selama ini. Akan tetapi, harus aktif membendung meluasnya pengaruh negara lain di Aceh serta aktif membentuk suatu sphere of influence atau daerah pengaruh Inggris di dalam wilayah Kerajaan Aceh. Dengan jalan demikian, diharapkan kepentingannya di Aceh dapat terjamin. Untuk itu, Inggris menganggap kemelut politik di Aceh perlu segera diakhiri. Salah satu dari kedua saingan (calon) yang sedang bertarung memperebutkan takhta Kerajaan Aceh, yaitu yang mendapat dukungan terbesar dari penduduk dan cukup mempunyai wewenang atas seluruh wilayah Kerajaan Aceh akan disokong untuk memegang tampuk pimpinan kerajaan. Untuk melaksanakan politik yang baru ini, Kolonel Bannerman yang diangkat menjadi Gubernur Inggris di Penang pada penghujung tahun 1817, segera mengutus J . M . Coombs ke Aceh untuk menyelidiki siapa di antara kedua calon yang lebih berhak menjadi pemegang kendali kerajaan. D i samping itu, juga agar menemukan jalan pendekatan yang dapat meniadakan hambatanhambatan yang menyebabkan kerenggangan di antara kedua 15
negara. Tujuan selanjutnya, menjajaki kemungkinan mengadakan perjanjian persahabatan antara kedua negara. Pada waktu Coombs tiba di Aceh pada bulan Januari 1818, didapatinya Sultan Jauhar Alam Syah telah menyingkir ke Lhok Suemawe. Setelah mengadakan penyelidikan yang perlu di Aceh Besar, Coombs segera menuju ke Lhok Suemawe menemui Sultan. Pembicaraan dengan Jauhar Alam Syah berhasil menelorkan persetujuan mengenai beberapa pokok soal yang oleh Inggris diinginkan menjadi dasar perjanjian persahabatan antara Inggris dan Aceh. Akan tetapi, sebelum sempat merumuskan rencana perjanjian itu, Coombs terpaksa meninggalkan Aceh kembali ke Penang. Dari sana dia segera mengirim laporan lengkap kepada Pemerintah Inggris di Benggal. Setelah laporan Coombs dipelajari dengan seksama, Pemerintah Inggris memutuskan mengirim suatu perutusan ke Aceh yang terdiri atas Sir Stamford Raffles, yaitu tokoh yang memegang peran utama dalam usaha mengubah politik Inggris di Aceh dan merupakan arsitek dari perjanjian persahabatan Inggris-Aceh, dan J . M . Coombs yang merintis jalan menuju tercapainya perjanjian tersebut. Pada permulaan tahun 1819 berangkatlah perutusan tersebut ke Aceh. Akhirnya, pada tanggal 22 April 1819 Raffles dan Jauhar Alam Syah berhasil menandatangani suatu perjanjian persahabatan dan aliansi terdiri atas sembilan pasal yang terjemahannya sebagai berikut. Perjanjian Persahabatan dan aliansi Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Kerajaan Aceh yang dibuat oleh Yang Mulia Sir Thomas Stamford Raffles dan Kapten John Manckton Coombs, sebagai wakil yang Mulia Francis Marquess of Hastings, Gubernur Jenderal Inggris di India dari sebelah pihak dan Yang Maha Mulia Seri Sultan Jauhar Alam Syah, Raja Aceh untuk dirinya sendiri, ahli waris dan penggantinya dari pihak yang lain. Mengingat perdamaian, persahabatan, dan saling pengertian yang baik, yang telah tumbuh sekian lama serta tidak pernah putus antara Yang Mulia Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Yang Maha Mulia Sultan Aceh; dan memandang perlu persahabatan antara kedua belah pihak ditingkatkan, demi kepentingan
16
bersama kedua negara dan demi kesejahteraan rakyat kedua bangsa, telah disetujui menetapkan sebagai berikut: Pasal 1
Diharapkan terjalin perdamaian dan persahabatan yang abadi antara kedua negara termasuk daerah-daerah taklukannya, demikian pula antara rakyat kedua belah pihak agung yang mengikat perjanjian ini; tidak akan ada satu pun dari kedua belah pihak yang bersedia memberikan bantuan atau pertolongan kepada musuh pihak lain. Pasal 2
Atas kehendak Yang Maha Mulia Sultan Aceh, Pemerintah Inggris berjanji akan mempergunakan pengaruhnya untuk menyingkirkan Saiful Alam dari daerah kekuasaan Sultan Aceh; dan selanjutnya Pemerintah Inggris berjanji akan mencegah Saiful Alam dan keluarganya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mengganggu Sultan Aceh dalam menjalankan kekuasaannya. Yang Mulia Sultan Aceh berjanji, melalui pemerintah agung Inggris di India, akan memberikan tunjangan hidup kepada Saiful Alam sebanyak yang dianggap patut oleh Pemerintah Inggris, asal saja Saiful Alam bersedia meninggalkan daerah Aceh dan berdiam di Penang serta membatalkan segala tuntutannya untuk dapat menjadi Raja Aceh dalam waktu tiga bulan sejak perjanjian ini ditandatangani. Pasal 3
Yang Maha Mulia Sultan Aceh akan memberikan kepada Pemerintah Inggris hak bebas berniaga di seluruh pelabuhan Aceh; dan bahwa cukai yang dipungut atas barang-barang perniagaan akan ditetapkan dengan peraturan dan akan diumumkan; dan bahwa cukai tersebut akan dibayar oleh saudagar yang bertempat tinggal di pelabuhan. Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberikan hak monopoli kepada siapa pun juga atas sesuatu komoditi yang dihasilkan oleh negara Yang Maha Mulia. Pasal 4
Yang Maha Mulia Sultan Aceh, kapan saja dikehendaki oleh Pemerintah Inggris, akan menerima wakil Inggris yang diangkat 17
sebagai duta untuk Aceh dengan mendapat perlindungan dan pelayanan yang selayaknya dan kepadanya akan diizinkan turut hadir dalam Dewan Mahkamah Kerajaan, apabila kehadirannya dianggap perlu untuk memberi penjelasan dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Kompeni Hindia Timur. Pasal 5 Mengingat kerugian yang diderita oleh perniagaan Inggris, lantaran kapal-kapal dan perahu-perahu Inggris tidak dibenarkan masuk ke pelabuhan-pelabuhan Aceh, yang pada waktu sekarang ini tidak tunduk ke bawah wewenang Yang Maha Mulia, maka Yang Maha Mulia berjanji akan memberi izin kepada kapal-kapal dan perahu-perahu tersebut untuk melanjutkan hubungan dagangnya dengan pelabuhan-pelabuhan di seluruh Aceh dan dengan pelabuhan Lhok Seumawe atas dasar yang sama menurut peraturan yang berlaku sampai sekarang ini, kecuali apabila pelabuhan-pelabuhan itu sewaktu-waktu dikenakan ketentuan blokade sementara oleh Yang Maha Mulia dengan persetujuan Pemerintah Inggris atau atas wewenang penguasa setempat. Bagaimanapun juga, jelas dimengerti oleh kedua belah pihak agung yang mengikat perjanjian ini, bahwa tiada barang-barang kebutuhan perang dan alat-alat senjata dari sembarang jenis boleh disediakan, diberikan dan dijual oleh kapal-kapal dan perahu-perahu yang mengadakan hubungan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan di Aceh, kepada siapa saja yang melawan Yang Maha Mulia Sultan Aceh. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang kedapatan melanggar ketentuan ini akan dirampas dengan segala muatannya. Pasal 6 Yang Maha Mulia Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah berjanji untuk dirinya sendiri, ahli warisnya dan penggantinya, untuk tidak memberi izin kepada siapa saja dari warga negara Eropa dan Amerika tinggal tetap di dalam wilayah Kerajaan Aceh dan daerah taklukannya; beliau berjanji pula tidak akan mengadakan perundingan atau membuat perjanjian dengan suatu negara, kecuali dengan sepengetahuan dan persetujuan Pemerintah Inggris. 18
Pasal 7
Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberi izin bermukim di daerah kekuasaannya kepada warga negara Inggris yang tidak mendapat persetujuan dari wakil pemerintahnya. Pasal 8
Pemerintah Inggris menyetujui untuk memberikan secepat mungkin kepada Yang Maha Mulia segala macam senjata dan barang-barang keperluan perang seperti yang dirinci dalam daftar terlampir yang ditandatangani oleh Yang Maha Mulia. Pemerintah Inggris berjanji pula akan' memberikan pinjaman kepada Yang Maha Mulia sejumlah uang dan secepatnya akan dibayar kembali sesuai kesempatan baginda. Pasal 9
Perjanjian ini, yang mengandung 9 pasal, yang pada hari ini sudah ditetapkan, tergantung kepada ratifïkasi Gubernur Jenderal Inggris dalam tempo enam bulan sejak ditandatangani, akan tetapi dapat dimengerti bahwa beberapa ketentuan yang terkandung di dalamnya dapat segera dilaksanakan tanpa perlu menunggu ratifïkasi tersebut. Termaktub di Bandar Seri Duli, dekat Pidie, di dalam negeri Aceh pada hari ke-22 bulan April 1819, bersamaan dengan hari ke-26 bulan Jumadil Akhir 1234 tahun Hijrah. Stempel
Stempel
Kompeni Hindia Timur
Yang Maha Mulia Raja Aceh
Tanda tangan: Thomas Stamford Raffles John Monckton Coombs Oleh karena Raffles merupakan pencetus gagasan yang menelorkan perjanjian tersebut serta menjadi arsitek dan pelaksa19
nanya maka perjanjian tersebut terkenal dengan Raffles Treaty of
1819. Dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan dan aliansi antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Inggris maka atas tekanan Pemerintah Inggris, Saiful Alam turun dari takhta Kerajaan Aceh dan menyingkir ke Penang. Dia bermukim di sana dengan mendapat tunjangan sebanyak 500 pound Spanyol sebulan dari Pemerintah Inggris yang diperhitungkan kepada Kerajaan Aceh. Sebaliknya, Jauhar Alam Syah kembali dari tempat menyingkirnya di Lhok Suemawe ke Kutaraja sebagai Raja Aceh yang kukuh kedudukannya dengan kekuasaan yang utuh dan wewenang yang penuh atas seluruh wilayah kerajaan. Kepada kepala-kepala sagi, raja-raja, dan pemuka-pemuka rakyat yang memberontak diberikan pengampunan oleh Jauhar Alam Syah. Mereka kini menyatakan taat dan setia seperti sediakala kepada Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah yang bijaksana. Kalau Perjanjian Raffles ini kita tinjau dari segi hukum internasional, dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut benarbenar terjadi antara dua negara yang merdeka dan berdaulat. Antara lain, terlihat dari istilah dalam bahasa Inggris yang dipergunakan dalam teks perjanjian, yaitu the high contracting parties. Istilah ini sampai zaman diplomasi modern sekarang masih dipakai dalam teks perjanjian-perjanjian internasional. Artinya, yaitu "dua pihak agung yang mengikat perjanjian, yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi". Menurut saya, menunjukkan bahwa Inggris benar-benar menilai Kerajaan Aceh sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat. Meskipun demikian, kedudukan Inggris lebih kuat. Inggris berada dalam kedudukan yang biasa disebut dalam istilah politik bergaining position, yaitu kedudukan memiliki peluang untuk mundur tanpa dirugikan kalau orang mendesak atau masih mau menawar dan peluang untuk mendesak maju kalau menginginkan keuntungan lebih besar. Hal tersebut dapat dimengerti karena Jauhar Alam Syah berada dalam keadaan terdesak akibat kemelut politik yang meliputi kerajaannya. Oleh karena itu, kita hendaknya dapat mengerti mengapa Jauhar Alam Syah memberi konsesi yang berlebihan kepada Inggris. Akan tetapi, suatu hal yang dapat dipuji ialah bahwa Jauhar Alam Syah tidak sampai mengorbankan 20
kedaulatan negaranya - yang biasanya dikorbankan oleh orang yang terdesak seperti dia - seperti meletakkan negaranya di bawah protektorat Inggris. H a l yang penting bagi Jauhar A l a m Syah pada waktu itu adalah mendapat bantuan moril dan materiil untuk menumpas pemberontakan dan merampas kembali mahkota kerajaan. D i samping itu, beliau juga ingin mempergunakan persahabatan antara Aceh dan Inggris sebagai tameng dalam menghadapi ekspansi politik Belanda yang menurut pengetahuannya sejak Cornelis de H o u t m a n datang di Aceh mempunyai ambisi untuk menguasai Aceh. L e b i h jauh, sewaktu pemerintahannya Belanda sedang mencari kesempatan yang baik untuk memperluas pengaruhnya ke daerah A c e h . Ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai oleh masingmasing pihak, Jauhar A l a m Syah telah berhasil mencapai tujuannya, yaitu mengatasi kemelut politik yang mengguncangkan kedudukannya dan kembali ke keraton sebagai raja yang berdaulat. Bagaimana dengan Inggris? T i d a k berlebihan kalau dikatakan bahwa Inggris tidak memperoleh hal-hal yang diinginkan dari perjanjian itu, baik politis maupun ekonomis. Tujuan Inggris yang utama ketika mengikat perjanjian adalah untuk mengucilkan Amerika dari lapangan perdagangan di daerah Aceh. Tujuan ini sama sekali tidak tercapai. Ternyata, sampai Inggris keluar dari Sumatra pada tahun 1824, Amerika masih menguasai perdagangan lada di Aceh Barat dan Aceh Selatan. H a l ini memang telah diperhitungkan oleh Jauhar A l a m Syah sebelum mengikat perjanjian dengan Inggris dan ternyata benar. Dalam bidang politik tujuan Inggris untuk menanam pengaruhnya di Aceh melalui perjanjian tersebut tidak tercapai. H a l i n i disebabkan pada tahun 1824 Inggris mengikat perjanjian dengan Belanda, yaitu perjanjian yang terkenal dengan nama Treaty of London 1824 atau perjanjian L o n d o n 1824. Isinya, Inggris harus angkat kaki dari Bengkulen, satu-satunya daerah yang masih dikuasainya di Sumatra. 2
Hubungan dagang antara Aceh dan Belanda dimulai setelah Cornelis de Houtman tiba di Aceh pertengahan tahun 1599, pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyidil Mukammil atau disebut juga Jaqahhar Syah. 2
21
BAB 3
AMERIKA SERIKAT MENfALANKAN THE GW-BOAT DIPLOMACY TERHADAP KERAJAAN ACEH
P
ersaingan antara negara-negara Barat untuk menanam pengaruhnya di Aceh menyebabkan Aceh terkena bencana. Akibat provokasi Belanda, Aceh digempur Amerika Serikat, pelabuhan Kuala Batu rata dengan tanah. Hubungan dagang antara Aceh dan Amerika Serikat dimulai sejak tahun 1789. Pelabuhan-pelabuhan Aceh di sebelah barat, seperti Tapak Tuan, Sama Dua, Teluk Pauh, Meuke, Labuhan Haji, Mangeng, Susoh, Kuala Batu, Seunagan, Meulaboh, Bubon, Woyla, Panga, Sawang, Rigaih, Lageuen, Babah Weh, Onga, dan Daya tiap tahun mendapat kunjungan yang ramai dari kapalkapal dagang Amerika Serikat yang datang dari kota-kota pelabuhan Salem, Boston, New York, Beverly, Philadelphia, Marlblehead, New Bedford, Baltimore, Gloucester, Newburyport, Fall River, dan Pepperelborough. Kedatangan mereka untuk memuat lada yang kemudian diangkut ke Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Jumlahnya kadang-kadang sampai 42.000 pikul (kurang lebih 3.000 ton) dalam setahun. Pusat kegiatan perdagangan internasional di daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan adalah kota pelabuhan Kuala Batu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Selatan. Selama kunjungan di wilayah perairan Kerajaan Aceh, mereka tidak mengalami gangguan, baik berupa perompakan terhadap kapal-kapal itu sendiri maupun tindakan yang tidak wajar terhadap anak buahnya yang rurun ke darat. Selama lebih dari 22
lima puluh tahun mondar-mandir di perairan Aceh, tidak pernah terdengar ada sebuah kapal Amerika dibajak oleh orang Aceh atau dirampas oleh kapal angkatan laut Kerajaan Aceh. Dari pihak Amerika pun tidak pernah ada keluhan mengenai perlakuan yang tidak sewajarnya, baik terhadap kapal maupun anak buah kapalnya. Keadaan seperti ini berjalan sampai tahun 1831. Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. D i antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sudah sering membawa kapalnya ke Aceh. Pada tanggal 7 Februari 1831 kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan. Ketika Endicot dan anak buahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar $ 50.000,00 dan tiga anak buahnya terbunuh. Inilah tindakan permusuhan pertama yang dilakukan oleh orang Aceh terhadap orang Amerika, setelah selama setengah abad terjalin hubungan dagang yang erat di antara kedua bangsa. Sebenarnya, tidak kurang dari 400 kali pelayaran telah dilakukan oleh kapal-kapal Amerika untuk mengambil lada dari pelabuhan-pelabuhan yang berada di sepanjang pantai Aceh Barat dan Aceh Selatan. Oleh sebab itu, peristiwa Kuala Batu menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya latar belakang dari kejadian yang sangat menyedihkan tersebut? Ada beberapa pendapat yang dikemukakan orang mengenai latar belakang peristiwa itu. Pertama, peristiwa itu merupakan kejadian yang biasa terjadi dalam masyarakat yang tidak beradab. Jelasnya, mereka menuduh orang Aceh tidak beradab. Sekiranya pendapat ini benar, tentu orang akan bertanya mengapa selama setengah abad orang Amerika berhubungan dengan orang Aceh tidak pernah terjadi peristiwa seperti itu? Dan bukankah di dalam masyarakat yang beradab seperti Amerika sendiri tidak jarang terjadi kejahatan yang diorganisir seperti perampokan bank dan sebagainya? Kedua, apa yang terjadi di Kuala Batu merupakan 23
puncak dari frustasi yang telah menumpuk sejak beberapa tahun terakhir terhadap pedagang-pedagang Amerika. Dalam jual-beli lada, orang Aceh selalu dikecoh oleh pedagang-pedagang Amerika dalam hal penimbangan. Misalnya, timbangan menunjukkan berat lada yang dibeli dari orang Aceh ada 3.986 pikul. Akan tetapi, tatkala dijual oleh orang Amerika ternyata beratnya menjadi 4.538 pikul. Jadi, orang Aceh dikecoh sebanyak 552 pikul atau 15% dari berat yang sebenarnya dengan total harga 552 x $ 4.06 = $ 2.241,12. Pemalsuan timbangan bagi orang Amerika merupakan perbuatan yang paling mudah dan terjadi sejak puluhan tahun. Caranya, melalui sebuah sekrup yang dapat dibuka di dasar timbangan yang berbobot 56 lbs., diisi 10 atau 15 pon timah sehingga dalam satu pikul lada orang Aceh dikecoh sebanyak ± 3 0 kati. Ketiga, agaknya sikap hidup yang ditimbulkan oleh depresi beberapa tahun belakangan mengundang sebagian orang yang putus asa, terutama pengisap-pengisap madat untuk melakukan kejahatan seperti yang terjadi di Kuala Batu. Keempat, peristiwa Kuala Batu terjadi akibat provokasi Belanda. Selain i r i terhadap keberhasilan Amerika dalam menguasai sebagian besar perdagangan lada di daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan, juga ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh di mata dunia internasional, yaitu dengan tuduhan bahwa perairan Aceh penuh dengan bajak laut dan Kerajaan Aceh tidak mampu melindungi kapal-kapal dagang asing yang berlayar di wilayah perairannya. U n t u k maksud jahat ini, Belanda mempersenjatai sebuah kapal Aceh yang dirampasnya dan memerintahkan kepada salah seorang sewaannya yang bernama Lahuda Langkap untuk mengemudikan kapal tersebut dengan mengibarkan bendera Aceh kemudian merampok kapal Friendship yang berlabuh di perairan Kuala Batu pada tanggal 7 Februari 1831. Pendapat ini merupakan klaim pihak Aceh. Desas-desus mengenai pembajakan kapal Friendship yang telah tersiar luas di Amerika Serikat menjadi jelas ketika kapal tersebut tiba kembali di pelabuhan Salem pada tanggal 16 Juli 1831. Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dari Partai W h i p (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831, meminta agar Pemerintah
24
Amerika menuntut ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh penduduk Kuala Batu terhadap kapal Friendship. Keesokan harinya, Silsbee menyampaikan sebuah petisi yang ditandatangani oleh seluruh pedagang Salem kepada Pemerintah Amerika Serikat. Isinya, meminta agar dikirimkan sebuah atau lebih kapal perang ke perairan Aceh untuk menuntut ganti rugi dari penguasa yang bertanggung jawab atas kota pelabuhan Kuala Batu. D i samping itu, salah seorang pemilik kapal Friendship yang lain, Robert Stones, bersama dengan Andrew D u n l o p dan salah seorang sahabatnya yang dekat dengan Presiden Jackson, meminta kepada M e n t e r i Angkatan Laut, Levy Woodbury, agar mendesak Presiden Jackson mengirim kapal perang ke Kuala Batu. Silsbee sendiri secara pribadi menulis surat kepada Woodbury, menggambarkan betapa besar keresahan yang ditimbulkan oleh peristiwa Kuala Batu di kalangan pedagangpedagang Salem khususnya dan masyarakat Amerika umumnya. Sebenarnya, Pemerintah Amerika sebelum menerima imbauan dari Senator Silsbee telah memutuskan akan mengambil tindakan terhadap pelanggaran atas kapal Friendship di Kuala Batu itu. Setelah membaca peristiwa itu dalam surat-surat kabar, W o o d b u r y segera memerintahkan agar disiapkan segala keperluan untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran tersebut. Sebelum menerima surat dari Silsbee, dia telah mengadakan konsultasi dengan Presiden Jackson pada tanggal 21 Juli 1831. Tujuannya, mendapatkan persetujuan Presiden atas surat yang akan dikirim kepada Silsbee. Isi surat itu meminta informasi mengenai peristiwa Kuala Batu. Selain itu, juga dalam rangka memberi tahu Presiden bahwa dia sedang mempersiapkan eskader Pasifik untuk melaksanakan suatu tugas di Sumatra. Ketika Presiden Jackson menerima imbauan Silsbee, tanpa ragu-ragu segera mendukung dengan membubuhi disposisi singkat dalam surat tersebut. Seperti biasanya, isinya adalah sebagai berikut: " U n t u k mendapat perhatian, dan apabila dianggap perlu, perintah harus dikeluarkan oleh M e n t e r i Angkatan Laut kepada kapten Potomac". Kapal perang Potomac — yang di dalam jajaran armada Amerika Serikat merupakan kapal frigat yang terbaik — sebenarnya sedang dalam persiapan membawa Menteri L u a r N e g e r i van Buren ke Inggris. Akan tetapi, atas perintah Presiden Jackson, kapal itu dialihtugaskan untuk segera
25
berangkat ke Aceh. Informasi yang lengkap mengenai Aceh serta laporan tentang segala sesuatu yang dilaksanakan dan dialami oleh kapten kapal Friendship selama melawat ke Aceh diperoleh dari Senator Silsbee. Pada tanggal 9 Agustus 1831, K o m o d o r J o h n Downes, selaku kapten Potomac diberi instruksi yang lengkap mengenai segala tindakan yang harus dilakukan sesampainya di Kuala Batu. Pertama-tama dia harus mencari informasi lebih dahulu mengenai insiden di Kuala Batu. Apabila informasi yang diperoleh sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh kapten kapal Friendship di Washington maka dia harus menuntut ganti rugi atas kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Aceh terhadap kapal Friendship. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, dia harus menangkap pelaku-pelaku kejahatan tersebut dan membawa mereka ke Amerika Serikat untuk diadili sebagai bajak laut. Selain itu, benteng-benteng dan kota Kuala Batu sendiri harus dimusnahkan. Sebaliknya, kalau informasi yang diperoleh di Kuala Batu berbeda dengan keterangan kapten kapal Friendship, atau dengan perkataan lain jika penduduk Kuala Batu sendiri berpendapat bahwa pembajakan yang dilakukan oleh segelintir orang-orang Aceh itu tidak dapat dibenarkan maka tindakan yang harus diambil hanyalah menuntut ganti rugi serta menghukum pelakupelakunya. Frigat Potomac berangkat dari N e w Y o r k pada tanggal 29 Agustus 1831 dengan membawa 260 orang marinir setelah mendapat pemeriksaan dari M e n t e r i Angkatan Laut bahwa segala persiapan berada di dalam keadaan sempurna. Beberapa waktu sebelum sampai ke Kuala Batu, Downes memutuskan untuk menyimpang dari instruksi Menteri. Rupanya dia terpengaruh oleh cerita yang didengarnya dari kapten kapal Friendship, Endicot, dan orang-orang Inggris yang dijumpainya di Tanjung Harapan dalam pelayarannya ke Kuala Batu. Yaitu bahwa harapan untuk mendapat ganti rugi dari penguasa Kuala Batu tidak mungkin terpenuhi. Oleh karena itu, Downes berpikir lebih baik mengambil tindakan langsung terhadap penguasa dan penduduk Kuala Batu. Masalah ganti rugi adalah urusan selanjutnya. U n t u k maksud ini, Downes berpendapat bahwa tidak mungkin secara terbuka mendarat di Kuala Batu tetapi harus dengan cara menyamar sebagai seorang kapten kapal dagang
26
Denmark, agar orang tidak curiga bahwa kapal yang dibawanya adalah kapal perang. Setelah menyamarkan frigatnya sebagai kapal dagang, dia mengirim Letnan M a r i n i r Shubrick untuk mengamat-amati keadaan di darat, sebagaimana halnya orang mengadakan penyelidikan apabila hendak membuka suatu serangan. Rupanya penduduk Kuala Batu tidak terkecoh oleh penyamaran yang dilakukan Downes. Mereka lalu berkumpul di pantai untuk menghadapi sesuatu kemungkinan. Mendengar laporan yang demikian dari Shubrick, Downes memerintahkan untuk mendarat dengan kekuatan seluruh anak buah Potomac dan mengepung benteng-benteng yang berada di pantai Kuala Batu serta menangkap pemimpin-pemimpinnya. Sebelum waktu subuh tanggal 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick mendarat di Kuala Batu dan mengepung benteng-benteng yang ada di sana. N a m u n , karena ada perlawanan maka marinir Amerika membunuh semua yang berada di dalam benteng-benteng, termasuk wanita dan anak-anak serta merampas segala sesuatu yang berharga. Setelah selesai mengadakan pembantaian yang kejam, marinir Amerika mengundurkan diri dengan dua korban terbunuh dan sembilan orang luka-luka. Sebagai tindak lanjut serangan tersebut Downes memerintahkan menembaki kota pelabuhan Kuala Batu. Tanpa memikirkan penduduk yang tidak bersalah dan tanpa belas kasihan kepada wanita dan anak-anak, Potomac segera memuntahkan peluru meriam-meriamnya ke arah Kuala Batu hingga seluruhnya menjadi abu. Pembantaian rakyat Kuala Batu dan pembakaran kota pelabuhan — yang bagi rakyat Aceh pada waktu itu merupakan kota kebanggaan karena merupakan kota perdagangan internasional dan pusat industri perkapalan — oleh Pemerintah Amerika dianggap sebagai suatu perbuatan yang terpuji dan parut dibanggakan karena mempertahankan kehormatan bangsa. N a mun, pada hakikatnya perbuatan itu merupakan suatu tindakan Har atau barbarism yang tidak layak dilakukan oleh bangsa yang menganggap dirinya beradab. Tindakan Downes yang di luar batas perikemanusiaan ini dikecam sebagian politikus Amerika seperti George Bencroft, yang pada waktu penembakan Kuala Batu berada di atas kapal
27
Potomac. Sebagian harian Amerika yang terbit di Washington, seperti harian dagang yang sangat berpengaruh, Nile's Weekly Register; mengecam tindakan tersebut dengan sengit. Pada tanggal 23 Juli 1832 seorang anggota D P R Amerika, H e n r y A.S. Dearborn dari Partai Republik Massachusetts yang beroposisi, mengajukan sebuah mosi yang meminta agar Presiden Jackson menyampaikan kepada Kongres mengenai "Instruksi Downes untuk menggempur Kuala Batu, dan laporan tentang peristiwa tersebut". M o s i ini diterima oleh sidang. Pada hari itu juga, Presiden Jackson memenuhi permintaan Kongres, tetapi minta agar hal tersebut jangan dipublikasikan sebelum laporan lebih lanjut diterima. Dalam sidang marathon Sabtu malam, tanggal 24 Juli 1832, permintaan Presiden itu diperdebatkan. Anggota Dearborn berpendapat bahwa hal tersebut harus dipublikasikan karena bila menutup-nutupi peristiwa tersebut, Downes akan mendapatkan sorotan jelek dari khalayak ramai. Sebaliknya, Ketua Komisi Urusan Angkatan Laut, Michael Hoffman dari Partai Demokrat N e w York, menentang pendapat Dearborn dengan suatu amandemen bahwa peristiwa tersebut dapat dipublikasikan, tetapi harus menunggu laporan lebih lanjut. Jadi, seirama dengan pendapat pemerintah. Setelah diadakan pemungutan suara ternyata mosi Dearborn mengalami kekalahan. Persoalan tersebut kemudian diserahkan kepada komisi urusan luar negeri yang ternyata mendukung pemerintah. Komisi ini mengembalikan persoalan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu menunggu datangnya laporan lebih lanjut dari Downes. Sudah barang tentu tidak akan ada laporan lebih lanjut dari Downes. Dalam amanat tahunannya, Presiden Jackson tidak menyinggung sama sekali peristiwa penggempuran Kuala Batu oleh frigat Potomac yang dipimpin oleh Downes. H a l ini menunjukkan bahwa peristiwa pembakaran Kuala Batu dan pembantaian penduduknya oleh marinir Amerika telah dipeti-eskan. Tindakan Amerika ini merupakan precedent bagi tindakantindakan kekerasan yang kemudian oleh Belanda dipergunakan untuk menundukkan Aceh ke bawah kedaulatannya. Belanda 28
tentu berkata dalam hatinya, "Kalau Amerika dalam menyelesaikan persoalannya dengan Aceh dapat mempergunakan kekerasan senjata, mengapa Belanda tidak?" D a r i segi hukum tindakan Amerika yang di luar hukum dan di luar perikemanusiaan itu tidak dapat dijadikan alasan oleh Belanda untuk membenarkan agresinya terhadap Aceh. Tetapi sekurang-kurangnya hal itu merupakan contoh jelek yang dapat mendorong penjajah lain untuk lebih berani melakukan agresi penjajahan terhadap suatu bangsa yang lemah. Sebenarnya, sudah menjadi kebiasaan negara-negara besar Barat pada masa itu, apabila mempunyai persoalan dengan negara-negara lain, terutama yang lemah, tidak menyelesaikannya dengan cara damai atau peaceful means, seperti yang dianjurkan P B B sekarang. Akan tetapi, tanpa memperhitungkan perikemanusiaan memilih jalan pintas, yaitu dengan melakukan aksi militer yang pada masa itu terkenal dengan sebutan gun-boat diplomacy, seperti yang dipamerkan oleh Amerika Serikat di perairan Kuala Batu, Susoh, Aceh Selatan pada bulan Februari 1832 dan yang kemudian dipamerkan oleh Belanda di perairan Aceh Besar pada bulan M a r e t 1873.
29
BAB 4
PERJANJIAN PERDAMAIAN DAN PERSAHABATAN ANTARA KERAJAAN ACEH DAN BELANDA
P
erjanjian Raffles tahun 1819 sangat tidak menyenangkan Belanda terutama pasal 6 dari perjanjian tersebut, yang oleh Inggris sebenarnya dimaksudkan untuk mengucilkan Amerika dari Aceh. Oleh pihak Belanda dianggap dapat juga ditujukan kepadanya suatu ketika nanti sebab istilah yang dipergunakan dalam pasal 6 itu sangat umum, dapat mencakup Belanda dan kerajaan-kerajaan lain di Eropa. Pada pokoknya, perjanjian Raffles bagi Belanda merupakan suatu hambatan dalam rencana menanamkan dan mengembangkan pengaruhnya di Aceh. Oleh karena itu, Belanda menginginkan diikatnya suatu perjanjian dengan Inggris untuk meniadakan hambatan tersebut sehingga terbuka jalan baginya untuk melancarkan ekspansi politik dalam tahap pertama ke daerah Aceh. Suatu kebetulan, pada tahun 1823 Inggris pun merasa sudah jemu dengan pertikaian yang terus-menerus timbul antara Inggris dan Belanda akibat kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mengenai Hindia Timur. D i samping itu, Inggris merasa bahwa kedudukannya di Fort Marlborough di Bengkulen juga sudah kurang berarti karena harga lada di pasaran internasional merosot, sedangkan kemungkinan untuk mendapatkan komoditi itu sangat tipis. Hal ini berarti mempertahankan beban yang berat bagi Inggris dan tidak seimbang dengan keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Inggris berpendapat lebih beruntung apabila meiepaskan Beng30
kulen dan segala pengakuan yang lain kepada Belanda dengan imbalan Belanda harus bersedia meiepaskan daerah-daerah yang dikuasainya di Malaya kepada Inggris.
4.1 Perjanjian London Tahun 1824 sebagai Tirik Tolak Belanda ke Daerah Aceh Setelah melalui serangkaian perundingan yang berlarut-larut, pada bulan Maret 1824 sampailah kedua negara kepada suatu kesepakatan, yaitu bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menimbulkan pertikaian antara kedua negara. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian London tahun 1824. Masalah yang menjadi pokok dalam penanjian itu ialah bahwa Inggris bersedia meiepaskan daerah yang dikuasainya di Sumatra dan segala klaim yang lainnya kepada Belanda dengan imbalan pihak Belanda bersedia meiepaskan daerah yang dikuasainya di Malaya kepada Inggris. Suatu hal yang menarik perhatian adalah bahwa setiap pihak sejak awal perundingan telah melontarkan tunmtan-tuntutan yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan kepentingan politik mereka di daerah Aceh. Pihak Belanda menuntut kepada Inggris agar segera mengubah Perjanjian Raffles, terutama pasal 6 yang dianggapnya sebagai hambatan bagi ekspansinya di daerah Aceh (meskipun pasal tersebut ditujukan kepada Amerika). Sebaliknya, pihak Inggris menuntut agar dalam perjanjian 1824 itu dicantumkan suatu klosule yang khas untuk mengucilkan Amerika. Alasannya, apabila Sultan Aceh dibiarkan bebas dikhawatirkan pada suatu ketika akan termakan bujukan Amerika sehingga mengadakan aliansi dengan negara tersebut. Hal ini sangat berbahaya bagi lalu lintas kapal-kapal Inggris di perairan Aceh dan di Selat Malaka. Jalan satu-satunya untuk menghindari bahaya tersebut adalah kesediaan Belanda untuk bertanggung jawab agar Aceh tidak memberi kesempatan bagi Amerika untuk berpijak di daerah itu. Ini berarti Inggris tidak keberatan memberikan kesempatan bagi Belanda untuk intervensi di daerah Aceh. Rupanya hal ini tidak menjadi persoalan bagi Inggris sebab memang tidak mampu membendung arus perdagangan Amerika 31
yang kian hari kian berkembang di tanah Aceh. Sementara itu, Perjanjian Raffles tahun 1819 yang membebani Sultan Aceh (pasal 6) untuk mengucilkan Amerika dari daerah Aceh sama sekali tidak berfungsi. Akhimya, untuk mencapai tujuan itu Inggris mencoba menunggangi Belanda. Akan tetapi, Belanda tidak terlalu bodoh mau dijadikan kuda-kuda oleh Inggris. Tuntutan Inggris untuk mencantumkan masalah pengucilan Amerika dalam batang tubuh perjanjian ditolak oleh Belanda. Hanya, secara umum disebutkan dalam pasal 3 bahwa Belanda berkewajiban untuk tidak membiarkan kehadiran negara-negara asing di Aceh. Keinginan Inggris agar Belanda tidak mengganggu kemerdekaan Aceh pun tidak diterima untuk dicantumkan dalam perjanjian. Akhimya, karena masing-masing pihak tetap mempertahankan pendiriannya dan untuk menghindari jalan buntu, kedua belah pihak sepakat untuk menampung keinginan mereka dalam satu nota penjelasan (explanatory declaration) yang merupakan lampiran dari perjanjian. H a l ini berarti tuntutan-tuntutan tersebut dituangkan dalam bentuk yang kurang mengikat untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Dalam nota penjelasan tersebut perunding-perunding Inggris (bukan pemerintah) antara lain menyatakan bersedia mengubah Perjanjian Raffles 1819 seperti yang diinginkan oleh Belanda. D i bagian lain, mereka menyatakan percaya bahwa Belanda tidak akan mengambil sesuatu tindakan yang bersifat permusuhan terhadap Kerajaan Aceh. Sebaliknya, perunding-perunding Belanda menyatakan bahwa pemerintahnya akan segera mengatur hubungan dengan Aceh sedemikian rupa sehingga tanpa mengurangi kemerdekaannya, Aceh senantiasa menjamin keselamatan kapal-kapal Belanda yang berlayar di perairannya, termasuk juga keselamatan warga Belanda yang berdomisili di wilayah Aceh. N o t a penjelasan itu ditandatangani oleh G . Canning dan C . W . W . W y n n dari pihak Inggris dan dari pihak Belanda oleh H . Fagel dan A . R . Falk di L o n d o n pada tanggal 17 M a r e t 1824.
4.2 Belanda Mengatur Langkah Ekspansi ke Aceh Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, Inggris tidak saja kehilangan Fort Marlborough dan seluruh Bengkulen, akan
32
tetapi juga kehilangan Aceh, yang meskipun belum dimilikinya, merupakan sasaran politik kolonialnya sejak lama. Bagi Belanda, penandatanganan Perjanjian London ini merupakan pintu yang sudah terbuka untuk masuk ke daerah Aceh yang sejak lama menjadi impiannya. Namun, jalan ke arah itu belum sepenuhnya lurus, masih ada hambatan-hambatan yang perlu disingkirkan. Sehubungan dengan itu, untuk lebih melicinkan jalan bagi politik kolonialnya maka pada tahun itu juga Menteri Jajahan Belanda, H . E . M . Elout menginstruksikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berusaha mengimbangi perjanjian AcehInggris 1819 (Perjanjian Raffles) dengan mengadakan suatu perjanjian antara Belanda dan Aceh yang memungkinkan Belanda mendapat banyak kesempatan untuk menanam pengaruhnya di daerah itu. Untuk melaksanakan perintah itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menginstruksikan kepada komisi yang diserahi tugas mengontrol bekas-bekas koloni Inggris di Sumatra, yaitu Jonker de Steurs dan B.C. Verplough mengadakan pendekatan terhadap Sultan Aceh dan mencari informasi mengenai hal ihwal perdagangan lada di daerah tersebut. Komisi yang dikendalikan oleh jiwa kolonial ini rupanya telah bertindak lebih jauh dari yang ditugaskan. Mereka telah menawarkan kepada Sultan Aceh 2.000 serdadu untuk membantu beliau menghadapi siapa saja yang ingin merongrong kekuasaannya pada satu waktu nanti. Namun, karena Sultan sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di belakang tawaran Belanda maka beliau menolaknya dengan tegas. Baik Sultan maupun rakyat Aceh merasa curiga terhadap Belanda sejak Cornelis de Houtman datang ke Aceh pada tahun 1599. Kecurigaan terhadap Belanda bertambah besar manakala mereka melihat nasib yang menimpa Jawa dan Palembang yang semula merupakan sahabat Belanda, namun akhirnya jatuh tersungkur di hadapan meriam-meriam Belanda. Selain pendekatan-pendekatan yang mengajak Sultan untuk .bersahabat, Belanda pun melakukan serangkaian tindakan kekerasan yang bertujuan menakut-nakuti dengan harapan Sultan akan tunduk ke bawah keinginan mereka. Mereka lupa bahwa apa yang dilakukan bertentangan dengan yang diucapan sewaktu perundingan Perjanjian London yang dicantumkan dalam nota penjelasan sebagai lampiran dari perjanjian tersebut. Tampak 33
benar bahwa sesudah Perjanjian L o n d o n , Belanda tambah bernafsu untuk menguasai Aceh. Antara tahun 1825 dan 1829 Belanda telah melakukan serangkaian tindak permusuhan yang menunjukkan gejala hendak menguasai Aceh. Antara lain, merompak tiga buah kapal dagang Aceh dengan segala muatannya serta membunuh nakhoda dan seluruh anak buahnya. Politik ekspansionis Belanda ini dikendalikan oleh C . P . J . Elout, Gubernur M i l i t e r Sumatra Barat yang merupakan salah seorang anggota delegasi Belanda dalam perundingan Perjanjian L o n d o n 1824. D i a adalah anak dari H . E . M . Elout, M e n t e r i Jajahan Belanda pada waktu itu. Pelaksanaan politik kolonial ini berada di bawah pimpinan M a y o r Andreas Michiels. Pada tahun 1829, sebagai pelaksanaan dari the gun-boat diplomacy, Junker de Steurs yang telah menjadi Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda mengirim kapal perang ke Aceh. Katanya, "untuk mengajar rakyat Aceh bagaimana seharusnya menghormati bendera Belanda". Pada tahun 1830 Belanda mengirimkan Residen M c Gillavry yang berkedudukan di Padang untuk mencoba membujuk penguasa daerah T r u m o n yang telah bergabung ke dalam Kerajaan Aceh mengadakan perjanjian terpisah dengan Belanda. H a l ini merupakan suatu siasat kolonial yang biasa dilakukannya di daerah-daerah lain agar daerahdaerah tersebut takluk ke bawah kekuasaannya. Pada tahun 1834 Belanda kembali mencoba menyerang Barus. N a m u n , serangan itu dapat dipatahkan oleh angkatan laut Kerajaan Aceh yang berkubu di Batu Gerigi. Pada tahun 1837 Belanda mengirimkan suatu perutusan yang terdiri dari Letnan Laut van L o o n dan Ritter. Mereka membawa surat Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda untuk mencari penyelesaian yang baik dengan Sultan Aceh mengenai kapal Dolphyn yang ditahan angkatan laut Aceh. Sultan menegaskan bersedia meiepaskan kapal tersebut asal Belanda bersedia membayar kerugian atas penahanan tiga buah kapal dagang Aceh pada tahun 1825. Dalam hal ini, van L o o n dan Ritter pulang dengan tangan hampa. Pada tahun 1838, setelah kaum Padri dikalahkan dengan didudukinya benteng Bonjol, Belanda mengharapkan kekalahan Padri dapat menjadi pelajaran bagi Sultan Aceh untuk tidak terusmenerus keras kepala menentang Belanda. Akan tetapi, harapan
34
Belanda ini sia-sia belaka. Oleh sebab itu, pada tahun yang sama Belanda kembali menyerang Barus yang kemudian terpaksa dilepaskan setelah pejuang-pejuang Aceh memberi perlawanan yang sengit. Selanjutnya, pada tahun 1840 dengan kekuatan yang lebih besar dan peralatan yang lebih lengkap, Belanda menduduki Singkil yang merupakan daerah perbatasan antara Aceh dan Tapanuli. Seterusnya, dengan didukung oleh kapal perangnya, Kolonel Michiels untuk kedua kalinya datang ke Aceh dalam upaya membujuk penguasa negeri T r u m o n untuk mengikat perjanjian terpisah dengan Belanda. Upaya ini merupakan suatu usaha memisahkan negeri tersebut dari Kerajaan Aceh, namun diprotes oleh Inggris. Keberanian Belanda untuk tidak menghormati kedaulatan Aceh kian hari kian bertambah. Tanpa mengindahkan lagi pernyataan mereka dalam nota penjelasan Perjanjian L o n d o n 1824, mereka mencoba menduduki beberapa tempat di pantai Sumatra T i m u r yang merupakan daerah taklukan Kerajaan Aceh. Tindakan yang sudah menyimpang jauh dari jiwa Perjanjian L o n d o n itu membangkitkan amarah Inggris yang kemudian terpaksa menyampaikan protes keras kepada Belanda. Protes tersebut rupanya tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh Belanda. U n t u k itu, sejak tahun 1842 tindakan-tindakan kekerasan seperti yang dilakukan Kolonel Michiels sebelumnya terpaksa dihentikan. Selama satu dekade penuh Belanda menjalankan politik non-agression atau politik tidak menyerang terhadap Aceh. Jadi, meskipun hubungan antara Aceh dan Belanda belum diwarnai persahabatan, aksi-aksi permusuhan Belanda tidak terjadi lagi. Tampaknya, ambisi kolonial Belanda tidak dapat dikekang lama. Pada tahun 1852 atas instruksi D e n Haag, Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda memerintahkan Jenderal van Swieten, Gubernur Sumatra Barat yang waktu itu merupakan pusat pengendalian aksi-aksi kolonial terhadap Aceh, untuk menjajaki kemungkinan perluasan pengaruh Belanda ke Aceh dalam rangka Perjanjian L o n d o n 1824. Perintah tersebut mendapat sambutan yang baik dari van Swieten yang pada tanggal 9 Desember 1873 diangkat menjadi Panglima Ekspedisi Kedua Belanda terhadap Aceh, menggantikan Jenderal Kohier yang terbunuh pada tanggal 14 A p r i l 1873.
35
U n t u k melaksanakan instruksi D e n Haag tersebut, pada tahun 1855 dikirimlah kapal perang de Haai untuk mengadakan "pendekatan" terhadap Sultan Aceh dalam rangka rencana Belanda mengadakan suatu perjanjian persahabatan dengan Aceh. Maksudnya, suatu perjanjian yang dapat memberi kesempatan bagi Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. D u a bulan lamanya kapal perang de Haai mondar-mandir di sepanjang perairan Aceh, yaitu sejak tanggal 24 Februari sampai 25 A p r i l 1855. Sultan Aceh merasa tersinggung atas kehadiran kapal perang tersebut serta peragaannya yang mencolok. Oleh Sultan, aksi itu dianggap sebagai usaha untuk menakut-nakuti. Sultan menyatakan bahwa rakyat Aceh menganggap dirinya berada di dalam keadaan perang melawan Belanda sejak negeri ini melakukan penyerangan atas Barus pada tahun 1825. U n t u k mengakhiri keadaan perang dan untuk menegakkan perdamaian antara kedua negara, Sultan tidak dapat menerima the gun-boat diplomacy yang didemontrasikan dengan pengiriman kapal perang de Haai. Berkat penolakan Sultan akhirnya misi yang dibawa de Haai mengalami kegagalan. Kegagalan Belanda pada tahun 1855 tidak menyebabkannya putus asa. Pada tahun 1856 Belanda mengirimkan perutusan baru yang bersikap lebih luwes dan lebih bijaksana. Perutusan ini dihantar oleh kapal perang yang lebih besar, Prins Frederick der Nederlanden, di bawah pimpinan Kapten (Laut) J . Spanjaard yang sekaligus memimpin perutusan dengan anggota J.P. Nieuwenhujzen. Perutusan ini membawa sepucuk surat dari van Swieten, Gubernur Sumatra Barat yang mewakili Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda. Kepala perutusan diberi kuasa menyampaikan hasrat Pemerintah Belanda untuk mengadakan perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan Kerajaan Aceh sehingga Belanda dapat menjalankan apa yang telah diikrarkan dalam Perjanjian L o n d o n 1824. K i n i Sultan Aceh menjadi terpojok. Sulit baginya menolak tawaran suatu negara yang dengan cara wajar menginginkan perdamaian dan persahabatan dalam usaha menjalin hubungan muhibah antarbangsa. Sultan ragu atas maksud baik Belanda. Menurut pendapatnya, perjanjian dengan Belanda mungkin akan menimbulkan pengaruh buruk bagi hubungan baik Aceh dengan Inggris dalam
36
kaitannya dengan perjanjian Raffles 1819. U n t u k itu, Sultan menulis surat kepada Gubernur Inggris di Singapura meminta pendapatnya mengenai maksud Belanda tersebut. Jawaban yang diterima menyatakan bahwa mungkin pengertian yang baik dengan Belanda akan berguna bagi Kerajaan Aceh. O l e h sebab itu, pada tahun 1857 Jenderal J . van Swieten, Gubernur Sumatra Barat yang mewakili Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda dan Sultan Aceh menandatangani perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan. Naskah perjanjian ditandatangani pada tanggal 30 Maret 1857, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda pada tanggal 9 M e i 1857. Perjanjian tersebut terdiri dari 9 pasal, yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut. Perjanjian antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Belanda pada Masa Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah. Bahwa pemerintah H i n d i a Belanda dan Seri Baginda Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah, memandang perlu untuk membuat perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan, sebagai perwujudan dari itikad baik yang dimiliki kedua belah pihak, dalam usaha mempererat serta meningkatkan perhubungan antara mereka guna kebahagiaan tiap-tiap kerajaan dan rakyat. M a k a saya, Jan van Swieten, Jenderal, Gubernur Sipil dan M i l i t e r Sumatra Barat, Ajudan Luar Biasa dari Yang M u l i a Raja, pemegang Lambang Ketenteraan W i l l e m kelas 3 dan dari Lambang Singa Belanda, atas nama dan oleh karenanya bertindak untuk Pemerintah H i n d i a Belanda bermusyawarah dalam hal ini dengan Yang M u l i a Sultan Aceh, maka telah didapat keputusan tentang perjanjian berikut ini, sambil menunggu pengesahan oleh Yang M u l i a Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda.
Pasal 1 Sejak saat ini berlakulah perdamaian, persahabatan, dan pengertian yang baik antara Pemerintah H i n d i a Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dan ahli warisnya. 37
Pasal 2 Rakyat Pemerintah H i n d i a Belanda dan rakyat Sultan Aceh, dalam usaha mencari nafkah yang layak, diperbolehkan pergi ke mana saja di dalam daerah Pemerintah H i n d i a Belanda dan daerah Sultan Aceh dengan ketentuan harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang berlaku di tiap-tiap daerah, baik bagi yang mengadakan perjalanan singgahan maupun bagi mereka yang ingin menetap, dengan mendapat hak, fasilitas dan perlindungan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi barangbarang yang dibawanya, seperti yang telah diberikan dan akan diberikan kepada rakyat negeri-negeri di atas angin, yang mendapat hak lebih banyak. Pasal 3 Mengenai perlindungan dan pertolongan bagi kapal-kapal, perahu-perahu serta anak buahnya, demikian juga kesempatan berniaga, berlayar, dan berlabuh di semua pelabuhan Pemerintah H i n d i a Belanda dan Sultan Aceh, akan diberikan hak yang sama seperti yang telah berlaku bagi rakyat negeri-negeri sahabat lainnya. Semua kepala dan pegawai rendahan kedua belah pihak yang berada di bandar-bandar perniagaan dan pelabuhan akan diperintahkan untuk berlaku sopan dan sedapat mungkin memberikan pertolongan kepada rakyat yang berkepentingan, juga kepada kapal-kapal dan perahu-perahu mereka, jangan sampai terdapat halangan pada waktu penyerahan, pemuatan dan pemunggahan barang-barang dagangan mereka, dan manakala mereka memerlukan pertolongan dan di kala mereka membutuhkan makanan dan air. H a l ini disetujui untuk meningkatkan perniagaan dan melestarikan pelayaran serta menimbulkan gairah dan kegembiraan bagi rakyat kedua belah pihak. Pasal 4 Pemerintah H i n d i a Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh meiepaskan segala tuntutan dan hak terhadap hal-hal yang dipersengketakan sebelum perjanjian ini diikat, walau bagaimanapun halnya. Seterusnya ditetapkan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian ini, segala perselisihan dan tuntutan tersebut dianggap 38
telah diselesaikan, dengan demikian menjadi batal semuanya dan oleh karena itu tidak boleh diungkit-ungkit lagi.
Pasal 5 Pemerintah H i n d i a Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh menyetujui seterusnya, bahwa mereka akan menjaga dengan keras dan mendayaupayakan agar tidak terjadi perompakan dan perampokan di dalam wilayah kekuasaan masing-masing, demikian juga di dalam negeri-negeri lain yang berada di bawah pengaruhnya. Perbuatan ini akan dicegah oleh kedua belah pihak dan hukuman akan dijatuhkan kepada orang yang melakukannya. Kedua belah pihak tiada akan memberikan tempat persembunyian atau perlindungan kepada seseorang yang tersangkut dalam perkara semacam i n i , juga tiada kepada bahteranya. Kedua belah pihak tiada akan mengizinkan perompak membawa orang-orang dan barang-barang yang dirompaknya, demikian juga bahteranya masuk ke dalam daerah masing-masing untuk disembunyikan atau untuk dijual di sana.
Pasal 6 Jika kapal-kapal atau perahu-perahu dari rakyat kedua belah pihak berada di dalam bahaya di lautan atau terkandas, hendaklah Pemerintah H i n d i a Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dengan segera memberi pertolongan dan perlindungan sedapat mungkin dan kalau ada barang-barangnya yang dititipkan untuk disimpan, maka hendaknya kepada si penyimpan diberikan imbalan sepatutnya. Orang yang berhak atas barang-barang serupa itu, boleh bermohon keputusan kepada Pemerintah H i n d i a Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh mengenai imbalan yang diminta oleh orang yang menyimpannya; keputusan itu harus diterimanya. Bila kapal atau perahu yang mengibarkan bendera Belanda terkandas atau karam, atau jika rakyat Belanda yang kapal atau perahunya karam di pantai tarrah Aceh, haruslah kepala negeri bangsa Aceh di sana dengan segera memberitahukan kepada Gubernur Sumatra Barat di Padang atau kepada pembesar Belanda lain yang berdekatan.
39
Mereka yang merampas kapal-kapal atau perahu-perahu yang terkandas, atau menganiaya anak buahnya, atau pun tiada memberikan pertolongan yang diperlukan kepadanya akan dikenakan hukuman yang berat. Pasai 7 Seri Baginda Sultan Aceh menyatakan mengakui Gubernur Sumatra Barat adalah wakil Gubernur Jenderal Belanda dan akan berhadapan dengannya dalam segala yang mungkin dirasakan berfaedah bagi masing-masing
bahwa Hindia urusan pihak.
Pasal 8 Jika di kemudian hari dirasakan perlu mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam perjanjian ini, maka hal-hal tersebut akan diselesaikan oleh kedua belah pihak dengan cara damai. Pasal 9 Perjanjian ini mulai berlaku setelah disahkan oleh Yang M u l i a Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda. Masing-masing pihak yang bermusyawarah telah membubuhkan tanda tangan dan stempelnya sebagai saksi, tanda sudah terang sebagaimana mestinya. Termaktub di Aceh dalam rangkap empat, pada 30 M a r e t 1857 tahun Masehi, bersamaan dengan 4 Sya'ban 1273 tahun Hijrah. Stempel
Tanda tangan,
Seri Baginda Sultan Aceh Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah
van Swieten
Telah disetujui dalam penetapan Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda N o . 7 pada 9 M e i 1857. Sekretaris Pemerintah, Dipenheim 40
4.3 Perjanjian Aceh-Belanda 1857 Bukti Kemenangan Politik Kolonial Belanda Apabila ditinjau dari sisi hukum internasional, dapat dikatakan bahwa perjanjian itu normal dan wajar sebagai suatu perjanjian yang terjadi antara dua negara yang merdeka dan berdaulat. D i dalamnya tidak terdapat sesuatu ketimpangan, yang biasanya terkandung dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat antara negara-negara imperialis Barat yang menganggap dirinya beradab (civilized) dan negara-negara di T i m u r yang mereka anggap tidak beradab (uncivilized). Biasanya, tidak jarang mereka mendiktekan kemauan kolonialnya untuk menggerogoti kemerdekaan negara-negara yang lemah. D i dalam perjanjian tersebut tidak terdapat klosule yang menyinggung kemerdekaan Aceh, bahkan tidak ada satu pasal pun yang memberikan konsesi berlebihan kepada Belanda seperti yang terdapat dalam Perjanjian Raffles 1819. Akan tetapi, kalau perjanjian itu diteropong dari sisi yang berkaitan dengan politik kolonial, terdapat segi yang lebih berbahaya daripada memberikan konsesi ekonomi yang berlebihan seperti yang terdapat dalam perjanjian Aceh-Inggris 1819. Pasal 5 perjanjian Aceh-Belanda ini merupakan perangkap yang dipasang Belanda untuk menjerat Aceh. Selama ini Belanda menuduh Kerajaan Aceh tidak mempunyai kemampuan untuk memberantas piracy (pembajakan yang dilakukan oleh perompak-perompak), yang katanya berkeliaran di sepanjang perairan Aceh sehingga membahayakan keselamatan kapal-kapal yang berlayar di jalur pelayaran sepanjang pantai barat dan pantai utara/timur Aceh. Bajak laut bukan tidak ada. Mereka ada tetapi tidak separah yang digembar-gemborkan oleh Belanda. Masalah bajak laut sengaja dibesar-besarkan oleh Belanda dengan maksud sebagai berikut. Pertama, untuk mendiskreditkan Kerajaan Aceh di mata dunia internasional. Kedua, untuk memberi kesan kepada negara-negara imperialis, terutama yang menjadi saingan Belanda, bahwa bila sewaktu-waktu Belanda terpaksa melakukan aksi militer terhadap Aceh atau mengadakan intervensi, bukan untuk kepentingan Belanda saja, melainkan untuk kepentingan mereka juga, yaitu melindungi semua kapal asing dari serangan bajak laut Aceh. Sehubungan
41
dengan itu, negara-negara imperialis Barat tidak perlu ributribut, sebaliknya diharapkan agar berdiam diri. Kalau dahulu Belanda tidak mempunyai pegangan atas tuduhan dan aksi-aksi militernya maka kini perjanjian tersebut merupakan pegangan yang kuat. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Sultan Aceh mengambil tanggung jawab, menurut hukum internasional, untuk tidak membiarkan piracy dan perampokan di darat di dalam wilayah kekuasaannya. Dengan perkataan lain, menurut hukum internasional, Sultan berkewajiban menjamin setiap kapal asing yang berlayar di sepanjang pantai Aceh dan sepanjang pantai daerahdaerah taklukannya. Berkaitan dengan perjanjian itu, timbul pertanyaan apakah tidak terbayang di benak Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah pada waktu mengadakan perundingan dengan Belanda, bahwa kemampuan angkatan lautnya sangat terbatas — tidak seperti pada zaman Iskandar M u d a — untuk menjaga perairan Aceh yang tidak kurang dari 2.000 kilometer panjangnya (termasuk daerah Sumatra T i m u r yang merupakan daerah taklukannya) dari gangguan bajak laut? H a l ini mengingat bahwa gangguan kadang-kadang sengaja "dibuat" oleh Belanda sendiri, seperti kasus Lahuda Langkap yang membajak kapal dagang Amerika Friendship pada tahun 1831. Atau kadang-kadang "dibuat" oleh penguasa-penguasa di Aceh sendiri yang tidak senang kepada Sultan, seperti pembajak laut yang merompak kapal-kapal Inggris pada masa Sultan Alauddin Jauhar A l a m Syah pada tahun 1809. Agak mengherankan juga bahwa Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah, yang dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara, disebut sebagai "seorang yang sangat berhati-hati berurusan dengan Belanda", mau menerima kewajiban dari Belanda yang sebenarnya tak dapat dilaksanakannya. Saya katakan agak mengherankan karena pada waktu mengadakan perundingan dengan Belanda Sultan tidak berada dalam keadaan terdesak (under pressure) seperti halnya Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah sewaktu berunding dengan Inggris pada tahun 1819. Sesungguhnya, dapat dikatakan bahwa Sultan berada di dalam keadaan bargaining position karena Belanda yang datang menyembahnyembah kepadanya untuk mengikat perjanjian itu.
42
Sejak semula Belanda tahu bahwa beban yang diletakkan di atas pundak Sultan Aceh merupakan beban yang sebenarnya Belanda sendiri tidak dapat melaksanakannya, apalagi Sultan Aceh. Dengan perkataan lain, Belanda sejak semula sudah mengetahui bahwa pasal 5 dari perjanjian Aceh-Belanda tidak mungkin berfungsi. Jadi, mengapa mereka mendesak Sultan untuk menerima beban itu? T i d a k lain ialah supaya mereka mendapat alasan untuk menuduh Sultan Aceh tidak dapat melaksanakan pasal yang telah diikrarkan dalam suatu perjanjian yang sah antara Aceh dan Belanda. Agaknya, alasan inilah yang kemudian digunakan Belanda sewaktu memaklumkan perang terhadap Aceh pada bulan Maret 1873. Yaitu, Aceh telah bersalah melanggar perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan yang disepakati bersama Pemerintah Belanda pada tanggal 30 Maret 1857. Dengan demikian, perjanjian tersebut merupakan jebakan yang dipasang Belanda untuk menjerat Aceh, dan rupanya tidak disadari oleh Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah. Dapat dikatakan bahwa perjanjian ini merupakan suatu diplomatic strategem (tipu muslihat) yang betul-betul mengenai sasaran.
43
BAB 5
USAHA KERAJAAN ACEH MENGIKAT PERJANJIAN PERSAHABATAN DENGAN AMERIKA SERIKAT 5.1 Belanda Melanggar Perjanjian Aceh-Belanda 1857
P
erjanjian perdamaian dan persahabatan antara Kerajaan Aceh dan Belanda pada tahun 1857 menimbulkan harapan di pihak Aceh. Melalui perjanjian ini Aceh berharap hubungan antara kedua negara di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik dan mantap. Selain itu, kedua negara terutama akan menjalin persahabatan yang hakiki untuk kepentingan kedua bangsa. Akan tetapi, belum setahun perjanjian tersebut berjalan Belanda kembali memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Aceh. Dalam suatu kemelut yang terjadi di antara keluarga Kerajaan Siak, Belanda mengambil kesempatan campur tangan yang berakhir dengan ditandatanganinya suatu perjanjian dengan Siak yang terkenal dengan Siak Tractaat pada tahun 1858. Dengan perjanjian ini Sultan Siak meletakkan kerajaannya di bawah kedaulatan Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda mengakui (pasal 2, ayat e) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanankesultanan Deli, Serdang, dan Asahan. Siak Tractaat oleh Belanda dipergunakan sebagai usaha untuk menarik Sultan-Sultan Deli, Serdang, dan Asahan secara terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka, yang berarti bahwa mereka dengan sendirinya mengakui "kemaharajaan Belanda". Tindakan Belanda tersebut oleh Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap 44
melanggar kedaulatan Aceh karena Aceh mempunyai hak-hak tertentu (meskipun tidak di seluruh Siak) di perbatasan bagian utara, yaitu di Deli, Serdang, dan Asahan yang merupakan daerah taklukan Kerajaan Aceh. Jadi, tindakan Belanda membuat Siak Tractaat selain bertentangan dengan jiwa Perjanjian London 1824 yang mengakui kemerdekaan Aceh, juga merupakan suatu sikap permusuhan yang bertentangan dengan Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Aceh dan Belanda 1857. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Belanda berjanji akan menegakkan perdamaian, mempererat persahabatan, dan mengembangkan pengertian yang baik dengan Kerajaan Aceh. Dalam bulan Oktober 1861, Baron Sloet de Beele, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengirimkan suatu perutusan di bawah pimpinan Kapten Brutol de la Riviers yang beranggotakan Asisten Residen H.A. Mess kepada Sultan Aceh untuk memberitahukan pengangkatannya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, menggantikan C. Pahud. Perutusan tersebut diterima dengan baik oleh Sultan. Pada waktu perutusan tersebut hendak kembali ke Batavia, Sultan menyerahkan kepadanya sepucuk surat yang dialamatkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam surat tersebut selain basa-basi diplomatik mengenai kesedian Gubernur Jenderal Hindia Belanda memperkenalkan dirinya, Sultan melahirkan rasa gusarnya berkenaan dengan pelanggaran kedaulatan Aceh yang dilakukan oleh Belanda dengan ditandatanganinya Siak Tractaat 1858. Untuk menjaga agar hal ini jangan sampai menyebabkan perselisihan antara kedua negara menjadi lebih tajam, Sultan meminta agar segera diadakan perundingan untuk mengatur perbatasan yang jelas antara Kerajaan Aceh beserta daerah taklukannya dan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
5.2 Perjanjian Siak Mengantarkan Belanda ke Perbatasan Aceh Pada tanggal 28 Desember 1862, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menulis surat kepada Sultan Aceh. Isinya, menyatakan persetujuan atas usul Sultan dan meminta kepadanya mengirim-
45
kan wakil-wakil kepada Residen Riau untuk berunding. Residen Riau, Schiff, pada waktu itu selain ditugaskan untuk sementara menjalankan urusan pemerintahan di Siak, diserahi pula tugas memimpin operasi politik terhadap Aceh. M u n g k i n karena suatu maksud tertentu, surat Gubernur Jenderal tersebut baru dikirim kepada Sultan Aceh pada bulan September 1863 atau hampir setahun kemudian. Akan tetapi, sebelum menulis surat kepada Sultan Aceh, Gubernur Jenderal telah menulis surat kepada Residen Riau bertanggal 2 Maret 1862. Isinya, perintah untuk mengusahakan agar kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatra T i m u r yang oleh Sultan Aceh masih dianggap berada di bawah kedaulatan Aceh. U n t u k melaksanakan perintah Gubernur Jenderal itu, Residen Riau datang ke D e l i , Serdang, dan Asahan guna membujuk kepala-kepala daerah tersebut agar secara terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. D a r i ketiga kepala daerah tersebut hanya Sultan D e l i yang dengan sepenuh hati tunduk di bawah kehendak Belanda. Jadi, sejak pertengahan 1862 Belanda menempatkan pasukannya di D e l i , Langkat, dan Batu Bara. Tindakan Belanda dijawab oleh Sultan Aceh dengan mengirimkan beberapa kapal armadanya yang berpangkalan di Pulau Kampai, Pangkalan Susu. Dalam bulan M e i 1863 bendera Belanda yang telah berkibar di Batu Bara diturunkan dan bentengnya dihancurkan. Kedaulatan Aceh di sana tegak kembali seperti semula. Inggris yang sejak semula tidak senang melihat cara-cara Belanda memperluas wilayah kekuasaannya di Sumatra T i m u r , juga mengenai pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukannya berulang kali terhadap Aceh sejak tahun 1862, kembali memberi peringatan kepada Belanda. Akan tetapi, peringatan Inggris itu tidak dihiraukan Belanda. Perjanjian Siak bagi Belanda merupakan jalan pintas menuju daerah Aceh. Maksudnya, sebelum perjanjian itu ditandatangani jalan menuju Aceh agak panjang karena ada kerajaan di daerah pesisir Sumatra T i m u r yang merupakan daerah taklukan Kerajaan Aceh. N a m u n , sesudah adanya perjanjian tersebut, dengan bujuk rayu (Deli) dan dengan kekerasan (Serdang dan Asahan) kerajaan-kerajaan itu satu demi satu dikuasai oleh Belanda. Paling tidak, perjanjian Siak telah menghantarkan Belanda langsung ke
46
perbatasan Aceh sebelah timur. Kini Aceh dikepung dari dua jurusan, yaitu dari barat tempat operasi politik bermarkas di Padang di bawah pimpinan Gubernur Sumatra Barat, van Swieten, dan dari timur tempat ekspansi politik dikendalikan di Riau oleh residen Riau, Schiff.
5.3 Belanda Berkompromi dengan Inggris untuk Tujuan Kolonial Meskipun kendala-kendala yang menyebabkan Belanda terhambat dalam perjalanannya ke Aceh boleh dikatakan sudah disingkirkan, Belanda merasakan masih ada hambatan yang menyebabkan langkahnya tersendat. Setiap Belanda menggerakkan langkah menuju Aceh, pasti ada protes atau keberatan yang datang dari pihak Inggris. Oleh sebab itu, Belanda merasa perlu mengadakan pendekatan baru terhadap Inggris untuk melicinkan jalan menuju Aceh. Untuk itu, kalau perlu Belanda bersedia memberi imbalan berapa pun besarnya kepada Inggris. Dengan kata lain, dalam masalah Aceh, Belanda harus dapat mencapai kompromi dengan Inggris sehingga pembatasan-pembatasan terhadap politik Belanda untuk memperluas wilayahnya ke daerah Aceh dapat disingkirkan seluruhnya. Sebenarnya, keinginan mendekati Inggris untuk membicarakan beberapa hal yang menjadi masalah antara Belanda dan Inggris sejak Perjanjian London 1824 sudah timbul sejak tahun 1864. Termasuk di dalamnya pembatasan yang dikenakan atas Belanda mengenai politik perluasan wilayah ke daerah Aceh. Pada waktu itu, yang menjadi konsul Belanda di Singapura adalah seorang warga negara Inggris yang bernama William Read. Dia adalah seorang yang sangat menyokong politik ekspansi Belanda ke daerah Aceh dan merupakan sahabat karib Fransen van de Putte, Menteri Jajahan Belanda. Dalam salah satu kunjungannya ke Den Haag, Read mengambil kesempatan untuk mengunjungi Kementerian Luar Negeri Inggris dengan restu pejabat-pejabat Belanda. Dalam laporan yang disampaikan kemudian kepada Kementerian Luar Negeri Belanda, dia menyatakan bahwa Inggris dapat menerima usul yang berkaitan dengan beberapa hal yang menjadi masalah antara Inggris dan Belanda. Pendekatan yang dimulai Read ini berkembang. Ketika Engelbertus de Waal 47
menjadi Menteri Jajahan Belanda menggantikan Fransen van de Putte pada tahun 1869, keinginan untuk mengadakan pembicaraan dengan Inggris tentang keberatannya atas perluasan pengaruh Belanda ke daerah Aceh telah menjadi suatu gagasan yang positif dan konkrit. De Waal berpendapat bahwa pendudukan Aceh oleh Belanda merupakan kebutuhan yang mendesak untuk kepentingan nasionalnya, terutama sesudah pembukaan Terusan Suez. Letak Aceh yang langsung berada di depan pintu gerbang jalan ke timur memberi kedudukan yang strategis bila ditinjau dari berbagai segi. Dalam suatu percakapan dengan Duta Inggris di Den Haag, Admiral E.A.J. Harris, de Waal menyatakan bahwa untuk tujuan mission civilisatrice (misi pembawa peradaban), Belanda bersedia mempertimbangkan penyerahan jajahannya di Pantai Emas (Guiana) kepada Inggris, asalkan Inggris mau mengambil sikap mengulur dalam masalah Aceh. D i samping itu, ia menjanjikan bahwa Belanda akan menghapus pajak ganda di Sumatra atas barang-barang yang masuk dan keluar yang selama ini merupakan hambatan yang besar bagi peningkatan perdagangan Inggris. Pembicaraan antara de Waal dan Harris rupanya menarik perhatian penuh Pemerintah Inggris. Segera Kementerian Luar Negeri meminta pendapat Gubernur Inggris di Singapura yang dianggap lebih mengetahui untung ruginya gagasan de Waal. Perlu diketahui bahwa Singapura bagi Inggris merupakan pos pengamat penting situasi politik yang meliputi Sumatra Timur/ Utara. Dalam jawaban yang disampaikan dalam bulan Desember 1869, Gubernur Singapura, Sir Hary St. Ord menyatakan bahwa pendudukan Aceh oleh Belanda mendatangkan keuntungan bagi perdagangan Inggris. Pada paruh pertama tahun 1870 dimulailah perundingan antara Inggris dan Belanda untuk membicarakan gagasan de Waal. Atau dengan perkataan lain, untuk mengubah Perjanjian London 1824 dengan suatu perjanjian lain yang dapat menghapus segala keberatan Inggris terhadap politik perluasan wilayah Belanda ke daerah Aceh. Sejalan dengan perundingan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda di Hindia melakukan aksi politik untuk menunjang diplomasi yang sedang dilakukannya. Berita-berita tentang piracy (pembajakan di laut) dibesar-besarkan dan Kerajaan Aceh 48
dituduh tidak mempunyai kemampuan untuk membereskan bajak-bajak laut yang katanya berkeliaran sepanjang perairan Aceh dan daerah taklukannya. Kepada kapal perang 'Jambi' dan kapal perang Marnix diperintahkan untuk memperketat pengawalan pantai Aceh dan memberantas seluruh bajak laut yang sangat membahayakan bagi keselamatan pelayaran kapal-kapal asing. Tidak sedikit kapal-kapal dagang Aceh menjadi korban, yaitu dituduh sebagai kapal bajak laut. Dalam hal ini, kapal perang Marnix memainkan peranan yang besar. Aksi politik ini sengaja didemonstrasikan untuk menunjukkan kepada dunia dan terutama kepada Inggris yang sedang berunding dengan Belanda, seakan-akan seluruh pantai Aceh penuh dengan bajak laut yang hilir mudik mencari mangsanya berupa kapal-kapal asing. Padahal sebelum tahun 1870 tidak pernah ada keluhan, baik dari Inggris maupun Amerika yang tiap tahun berpuluh-puluh kapal dagangnya mondar-mandir di perairan Aceh. Aksi politik Belanda ini berhasil baik. Terbukti pada bulan Juli 1870, Pemerintah Inggris di Singapura mengeluarkan suatu maklumat bahwa Pemerintah Inggris tidak dapat menjamin keamanan kapal-kapal yang berlayar di perairan Aceh. Maklumat Pemerintah Inggris di Singapura seakan-akan memperkuat tuduhan Belanda bahwa di perairan Aceh berkeliaran bajak laut yang membahayakan kapal-kapal asing dan Sultan Aceh tidak mempunyai kemampuan untuk memberantas bajak-bajak laut itu. Agaknya, siasat Belanda ini merupakan salah satu faktor yang menyukseskan perundingan Inggris-Belanda yang berlangsung pada tahun 1870 dan 1871. Sukses perundingan tersebut bukan semata-mata karena Inggris menerima hadiah Pantai Emas dari Belanda dan penghapusan pajak ganda atas barang-barang Inggris. Akan tetapi, ada faktor lain yaitu keinginan Inggris memberi kepercayaan kepada Belanda dalam usahanya mengemban "misi suci" (mission sacre) yang katanya mendorong mereka datang ke Hindia untuk memberantas bajak laut yang mengganggu kapal-kapal asing termasuk kapal Inggris, memerangi perdagangan budak, dan membawa serta mengembangkan "peradaban" kepada rakyat Aceh yang dianggap masih belum beradab. D i London, Belanda sedang sibuk mengadakan diplomasi dengan Inggris untuk menghapus pembatasan terhadap politik perluasan Belanda ke daerah Aceh. Sementara itu, Pemerintah Hindia 49
Belanda di H i n d i a mencoba lagi mengadakan diplomasi dengan Sultan Aceh agar bersedia menerima kedaulatan Belanda seperti yang telah dilakukannya dengan Sultan Siak pada tahun 1858. Dalam bulan September 1871, sebelum Perjanjian Sumatra 1871 yang menggantikan Perjanjian L o n d o n 1824 ditandatangani, Gubernur Jenderal H i n d i a Belanda P . Meijer mengirimkan wakil pribadinya, Kraijenhoff, kepada Sultan Aceh. Ia tiba dengan menumpang kapal perang 'Jambi' pada tanggal 23 September 1871 dan diterima oleh Mangkubumi Sayid Abdurrahman A z Zahir pada tanggal 27 September 1871. Kraijenhoff antara lain menyatakan bahwa Pemerintah Belanda mempunyai niat yang baik terhadap Aceh dan ingin senantiasa bersahabat dengan Sultan. Dalam jawabannya, Mangkubumi menyatakan tidak dapat memahami maksud baik Belanda karena tindakan-tindakan Belanda selama ini menunjukkan sikap permusuhan terhadap Aceh. Antara lain, penangkapan kapal-kapal dagang Aceh oleh kapal perang Belanda, pendudukan Barus, Singkil, Nias, Serdang, Asahan, dan Batu Bara. Selanjutnya, Mangkubumi menyatakan bahwa kalau benar Belanda ingin bersahabat dengan Aceh, Belanda harus bersedia mengembalikan seluruh daerah tersebut kepada Kerajaan Aceh. Usaha diplomasi Belanda membujuk Sultan Aceh gagal total. Akan tetapi, diplomasi Belanda untuk mengubah sikap Inggris berhasil dengan gemilang. O l e h sebab itu, pada tanggal 2 November 1871 ditandatanganilah antara Inggris dan Belanda di L o n d o n perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian Sumatra 1871. Pasal yang terpenting dalam perjanjian itu adalah pasal 1 yang berbunyi Her Majesty desists from all objections against the extension ofNetherland Dominion on anypart of the island of Sumatra and consequently from the reserve in that recpect contained in the note exchanged by the Netherlands and British plenipotentiaries in the conclusion of the treaty ofMarch 17, 1824 (London Treaty). Artinya, Seri Baginda (Raja Inggris) menarik segala keberatannya terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana saja di Pulau Sumatra dan dengan sendirinya menarik pula segala pembatasan yang terkandung dalam nota yang dipertukarkan antara delegasi Belanda dan delegasi Inggris sebagai lampiran perjanjian 17 Maret 1824 (Perjanjian London).
50
Sejalan dengan ditandatanganinya Perjanjian Sumatra ini berarti Perjanjian L o n d o n 1824 telah diubah sebagaimana dikehendaki Belanda. Pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam lampiran Perjanjian L o n d o n 1824 dalam kaitannya dengan usaha Belanda memperluas kekuasaannya ke daerah Aceh telah terhapus. Inggris kini tidak akan menaruh keberatan apa pun terhadap rencana Belanda menjajah Aceh. Ini merupakan suatu kompromi yang berhasil untuk kepentingan kolonial tiap-tiap pihak. Belanda mengira dengan kehilangan solidaritas dari pihak Inggris Sultan Aceh akan menerima kedaulatan Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim Kraijenhoff sebagai utusan dan dihantar oleh kapal perang Maas en Waal untuk membujuk Sultan agar merelakan kerajaannya di bawah lindungan kemaharajaan Belanda. Tetapi ternyata anggapan Belanda ini meieset.
5.4 Kerajaan Aceh Mencari Bantuan ke Amerika Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam tahun 1872 Belanda sedang mengumpulkan kekuatannya untuk menduduki Aceh. Sebenarnya, pimpinan Kerajaan Aceh sejak tahun 1870, yaitu pada waktu terlihat gejala-gejala bahwa Inggris akan menerima usul Belanda untuk mengambil sikap mengulur dalam masalah Aceh, sudah merasa bahwa kemerdekaan Aceh mulai terancam. K i a n lama ancaman ini kian terasa terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian Sumatra 1871. Puncak kekhawatiran pimpinan kerajaan mengenai maksud jahat Belanda yang selalu disembunyikannya mencapai titik kulminasi manakala diterima informasi intelijen bahwa Belanda sedang giat merekrut dan mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Aceh. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi ancaman Belanda, pimpinan kerajaan memutuskan untuk memberitahukan hal tersebut kepada negara-negara sahabat serta mengharapkan bantuan agar ancaman Belanda dapat dihindarkan. Dibentuklah dua buah perutusan untuk maksud itu. Utusan pertama ke T u r k i dan negara-negara sahabat di Eropa di bawah pimpinan Mangkubumi Sayid Abdurrahman Az-Zahir, dan utusan kedua ke Singapura di bawah pimpinan Syahbandar Panglima T i b a n g Muhammad. D i
51
Singapura Panglima T i b a n g mengadakan pendekatan terhadap M a y o r Studer, konsul Amerika. Tujuannya, menjajaki kemungkinan mengadakan perjanjian persahabatan dengan Amerika Serikat sebagai upaya mencegah terjadinya serangan Belanda terhadap Aceh. D i Singapura mereka mencoba mengadakan tukar pikiran mengenai masalah-masalah yang mungkin dijadikan isi perjanjian persahabatan. Dalam kesempatan itu, Studer menanyakan kontribusi yang dapat diberikan Aceh kepada Amerika Serikat. Panglima T i b a n g menjawab bahwa melihat merosotnya perdagangan dengan Amerika Serikat pada masa-masa terakhir, Kerajaan Aceh bersedia membuka kesempatan lebih luas untuk meningkatkan hubungan dagang antara kedua negara. Dalam hal ini, Aceh akan memberikan jaminan sepenuhnya, baik terhadap kapal-kapal Amerika yang berlayar di perairan Aceh maupun terhadap warga negara Amerika yang berada di daratan. Selanjutnya, Kerajaan Aceh bersedia tidak akan mengikat perjanjian serupa dengan negara-negara lain. Tatkala Panglima T i b a n g menanyakan hal-hal yang diinginkan oleh Amerika Serikat, Studer mengemukakan beberapa hal. Antara lain, extra territoriality, ekstradisi, hak milik warga Amerika, jaminan keamanan, dan kebebasan beragama. Tetapi apa yang mereka bicarakan belum disusun sebagai draft atau rancangan perjanjian karena Studer tidak diberi wewenang untuk membuat sesuatu perjanjian dengan negara asing. Selain itu, masalah seperti ini membutuhkan surat resmi dari Sultan dan (sebaiknya disertai) rancangan perjanjian yang akan èi-transfer-nyz ke Washington. Terhadap pernyataan Studer tersebut, Panglima T i b a n g menyatakan akan segera kembali ke Aceh dan meminta Pemerintah Aceh membuat sebuah naskah perjanjian. Surat tersebut setelah ditandatangani oleh Sultan akan dikirim ke Singapura untuk di-tfansfer ke Washington. Pembicaraan mereka hanya sampai di sini. Perlu dijelaskan bahwa sejak semula langkah Panglima T i b a n g diikuti oleh mata-mata Belanda, yaitu T e n g k u M u h a m m a d Arifin, anak seorang jaksa dari M o k o - M o k o , Bengkulu. Ia adalah seorang petualang yang licik, sangat pintar bergaul, dan pandai menjilat. H a l ini sama sekali tidak diketahui oleh Panglima T i b a n g sehingga Arifin turut berperan dalam pembicaraan 52
dengan Studer. Belanda segera mengambil tindakan karena khawatir akan keberhasilan usaha Panglima T i b a n g yang jelas akan menghambat rencananya. Sebelum naskah perjanjian tersebut sempat dikirim Pemerintah Aceh kepada Studer di Singapura, Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Sesudah perang pecah selama empat bulan, naskah perjanjian persahabatan antara Aceh dan Amerika yang direncanakan oleh Sultan tiba di Singapura. Naskah tersebut dilampiri dengan surat dari Kuasa Sultan Aceh T u a n k u Ibrahim Raja Fakih A l i , yang bertindak atas nama Sultan, kepada Jenderal Grant, Presiden Amerika Serikat. Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris dan dibuat di Penang pada tanggal 16 Agustus 1873. Selain sebagai pengantar naskah perjanjian, surat ini juga sebagai petisi yang menginginkan agar bantuan Jenderal Grant untuk menolong rakyat Aceh melawan Belanda datang tepat pada waktunya. Terjemahan dari surat tersebut adalah sebagai berikut. Penang, 16 Agustus 1873
Kepada Yang Mulia jenderal Grant Presiden Amerika Serikat K a m i yang bertanda-tangan di bawah ini, lima bulan yang lalu mendapat kehormatan dari Seri Baginda Sultan Aceh untuk menerima beberapa surat keputusan, dalam suasana putusnya hubungan antara Aceh dan dunia luar akibat blokade kapal-kapal perang Belanda. D i antaranya terdapat sebuah surat keputusan yang terjemahannya terlampir; isinya seperti dapat Yang M u l i a perhatikan bahwa Sultan Aceh telah memberi kuasa kepada tiga orang, yaitu T u a n k u Ibrahim Raja Fakih A l i , T u a n k u M u d a N y a k M a l i m , dan T u a n k u Maharaja Mangkubumi, untuk bertindak atas nama Sultan, di bawah pimpinan T u a n k u Ibrahim Raja Fakih A l i , yang bersama dengan kami menyiapkan naskah perjanjian Aceh-Amerika.
53
Setelah melaksanakan perintah Seri Baginda ini, kami memperoleh kehormatan mempersembahkan naskah perjanjian tersebut, yang isinya kami jamin sesuai dengan kehendak Seri Baginda. D a n meskipun Seri Baginda tidak sempat membubuhkan tanda tangan di atas surat perjanjian itu, kami baik secara pribadi maupun bersama, menjamin bahwa isi perjanjian ini segera dilaksakanan meskipun blokade Belanda semakin meningkat. K a m i berharap bahwa negara Yang M u l i a yang besar dan merdeka memandang patut untuk datang membantu kami, sehingga negara Yang M u l i a dapat menjadi pelindung, seperti yang telah dilakukan oleh Inggris selama lebih dari 200 tahun, tetapi kemudian kami ditinggalkan tanpa ada perhatian dan tanpa alasan; juga tanpa ada keterangan apa pun, dia telah meninggalkan kami menjadi mangsa empuk bagi bangsa yang suka memperbudak rakyat dari negeri timur yang pernah berhubungan dengannya. K a m i percaya, akan ada dukungan dari negara-negara merdeka dan berbudi, dan dengan kehendak T u h a n hal ini pasti terjadi. K a m i hanya bisa berdoa semoga tidak sehari pun atau tidak satu jam pun waktu terbuang sia-sia dalam melawan musuh yang kejam dan tidak berbudi itu. Kami akan mendesak maju kemudian menyiapkan pengerahan bala bantuan yang ada di seluruh pelosok. Dengan kuasa dari Sultan Aceh Tuanku Ibrahim bin Raja Fakih A l i (cap dan tanda tangan) Hormat kami kepada Yang M u l i a Tuanku M u h a m m a d Hanafïah Haji Yusuf Muhammad A b u Seri Paduka Raja Bendahara Ahmad Annajjari Syeikh Ahmad Basyaud Syeikh Kasim Amudi Gulamudinsa Marikar 54
N a m u n , naskah tersebut oleh Studer baru di-transfer kepada Pemerintah Amerika Serikat di Washington D . C . pada 4 Oktober 1873. Oleh karena Pemerintah Amerika tidak mau ambil risiko, karena perang telah terjadi, maka naskah perjanjian itu langsung disimpan di bagian arsip Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Agaknya, Amerika tidak berani mengambil risiko untuk terlibat perang dengan Belanda, meskipun mendapat hadiah Pulau W e h , yang oleh Sultan sebenarnya dipasang sebagai umpan. Upaya diplomasi sudah tidak berfaedah lagi. K i n i kekerasan yang akan berbicara dan akan dihadapi dengan kekerasan. Penjajahan akan ditantang dengan pengorbanan segala-galanya yang dimiliki. Aceh telah menunjukkan kepada dunia kebulatan tekad mempertahankan kemerdekaannya dengan keuletan berperang melawan penjajah selama lebih dari 30 tahun. Naskah perjanjian persahabatan antara Kerajaan Aceh dan Amerika Serikat — yang oleh Amerika disebut Proposal of AtjehAmerican Treaty — ini merupakan kenangan bagi hubungan baik antara Aceh dan Amerika pada masa yang silam sekaligus merupakan misteri sejarah Aceh yang belum diketahui masyarakat luas. D o k u m e n yang berusia lebih dari 120 tahun tersebut kini berada di U.S. National Archives. Tersimpan di antara 24 mikrofïlm yang mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Singapura dan Malaya yang dilaporkan oleh Konsul Amerika di Singapura. Ternyata ada dua versi perjanjian Aceh-Amerika, yaitu versi Aceh dan versi Belanda. Versi Belanda adalah bentuk naskah perjanjian yang telah diedarkan oleh Belanda selama ini. Versi ini dibuat untuk mendiskreditkan Konsul Amerika di Singapura dan Sultan Aceh. Seolah-olah naskah perjanjian tersebut dibuat oleh M a y o r G . Studer dan Panglima T i b a n g Muhammad. Padahal sebenarnya dibuat oleh T e n g k u M u h a m m a d Arifin, mata-mata Belanda yang sangat licik, dengan mencontoh perjanjian BruneiInggris. Versi Aceh adalah naskah yang dibuat oleh Sultan Aceh di Bandar Aceh Darussalam setelah Panglima T i b a n g Muhammad pulang dari Singapura. Meskipun akhirnya naskah tersebut tidak 55
sempat dibawa serta ketika Panglima T i b a n g mampir ke Singapura untuk kedua kalinya. Perbedaan antara kedua versi tersebut adalah sebagai berikut.
Versi Belanda 1. 2. 3. 4.
Belum dituangkan ke dalam bentuk formal naskah perjanjian. Merupakan naskah tunggal yang terdiri atas 12 butir. Belum bertanggal. Dibuat oleh agen Belanda agar dapat menuduh Sultan Aceh mengkhianati Perjanjian Aceh-Belanda 1857 dan menuduh Amerika turut campur tangan dalam masalah Aceh-Belanda. 5. Isinya mengesankan bahwa: a. Dengan adanya perjanjian ini status Aceh berubah menjadi protektorat; b. Sultan membebaskan warga Amerika dari kewajiban tunduk kepada hukum pengadilan Aceh; c. Sultan memberi hak kepada warga Amerika untuk membeli dan menjual tanah di daerah kekuasaan Pemerintah Aceh; d. Sultan memberi kelonggaran kepada warga Amerika dalam hal membayar cukai dan pajak, yaitu lima persen lebih murah daripada tarif yang berlaku.
Versi Aceh 1. Sudah dituangkan ke dalam bentuk naskah perjanjian dan dilengkapi cap sultan. 2. Merupakan naskah dua bagian, umum dan khusus janji (komitmen) Sultan kepada Pemerintah Amerika. Tiap-tiap bagian terdiri atas 6 pasal. 3. Sudah bertanggal. 4. Salah satu butir menjelaskan bahwa Sultan secara terus terang menghadiahkan Pulau W e h kepada Amerika. Harapannya, agar disebarkan keadilan ke seluruh penjuru dan meningkatkan fungsi pulau itu menjadi pelabuhan yang ramai. 5. T i d a k ada hal-hal seperti yang tercantum di dalam versi Belanda. Selanjutnya, di bawah ini disajikan salinan naskah perjanjian Aceh-Amerika versi Aceh. Diterjemahkan dari bahasa M e l a y u Aceh lama ke dalam bahasa Indonesia.
56
Y A N G BENAR A D A L A H FIRMAN A L L A H J U A
Segala puji bagi Allah, Rabbul Alamin, Pemilik alam semesta. Sangatlah dikehendaki sebuah perjanjian persahabatan dan aliansi untuk mempererat hubungan muhibah dan meningkatkan kerja sama bertolong-tolongan dalam menolak segala bencana, dengan seia sekata dan bersatu hati melakukan segala usaha yang dapat mendatangkan kedamaian dan kebajikan bagi rakyat kedua belah pihak yang tersebut di bawah ini, yang keduanya bersumpah tidak akan mengingkari perjanjian ini untuk selamalamanya. M U S Y A W A R A H BESAR D l B A N D A R A C E H
DARUSSALAM
Syahdan adalah Seri Paduka Sultan Aceh Mahmud Syah Alaiddin ibnu almarhum Sultan Ali Iskandar Syah, pemilik takhta kerajaan Sumatra, di dalam Bandar Aceh telah memanggil orangorang besar kerajaan, yang memangku tahkta baginda, yaitu kepala-kepala tiga sagi, panglima angkatan laut, hulubalanghulubalang, alim ulama, mufti, kadi, dan semua cerdik pandai negeri Aceh pada 6 hari bulan Muharram 1920 untuk berunding masalah mengikat perjanjian persahabatan dan aliansi antara Pemerintah Aceh dan Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika. Dengan hidayah dan taufik Allah semua yang hadir telah bersatu kata dengan hati yang bulat mendukung amanat kita. Maka kita, Sultan Mahmud Syah Alaiddin memberi kuasa kepada waris kita, Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie, yang sekarang menetap di Pulau Penang untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi keperluan mengikat suatu perjanjian yang akan mendatangkan kedamaian dan kebajikan bagi rakyat kita. Tuanku Ibrahim Raja Fakih kita titahkan untuk bermusyawarah juga dengan orang-orang besar Aceh yang berada di Pulau Penang dalam hal membuat suatu perjanjian antara Pemerintah Aceh dan Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika dengan memahami segala surat-menyurat antara kedua pihak pada waktu-waktu yang lalu. Wakil mutlak kita itu segera akan menyusun surat perjanjian tersebut sebagai ganti kita sendiri, di dalam lima bulan terhitung dari tanggal dibuatnya surat perjanjian itu. D i atas surat perjanjian yang telah selesai dibuat itu, kita akan membubuhi tanda tangan dan cap kita. 57
Saya Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali menyatakan: Bahwa antara Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika dan Pemerintah Aceh telah diikat sebuah perjanjian persahabatan dan aliansi, yang oleh keduanya dan oleh ahli warisnya turuntemurun tetap dipegang teguh, tidak seorang pun yang ingkar akan segenap isi perjanjian itu. Pasal 1
Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika mengakui bahwa sejak nenek moyangnya Seri Paduka Sultan Aceh telah menerima bendera dari Yang Maha Mulia Sultan Turki. Dalam hal ini Pemerintah Aceh tidak pernah membuangnya atau menukarnya dengan bendera lain, sehingga ia tetap menjadi bendera Aceh untuk selama-lamanya. Pasal 2
Dan lagi Pemerintah Aceh dengan Yang Mulia India Kompeni pada tahun 1819, pada 22 hari bulan April telah membuat suatu perjanjian, akan tetapi perjanjian tersebut pada tahun 1871 dibatalkan sendiri oleh pemerintah Inggris dengan tiada suatu kata pun pemberitahuan kepada Pemerintah Aceh; hal ini oleh Pemerintah Aceh diterima dengan diam saja. Pasal 3
Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika mengaku tidak akan menerima, baik dengan cara taslim (menyerah) atau cara mengikat suatu perjanjian persahabatan dari kepala sesuatu daerah atau sesuatu pulau yang masuk di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh, baik yang terletak di sebelah pantai timur sampai Pasir Ayam Perdanak, maupun yang terletak di sebelah pantai barat sampai Tiku Pariaman, kecuali dengan persetujuan dari Pemerintah Aceh. Pasal 4
Sekiranya sesuatu bangsa melakukan sesuatu kegaduhan untuk mengacau keamanan sebuah daerah yang berada di dalam kekuasaan Pemerintah Aceh, Pemerintah Amerika harus melaku58
kan upaya untuk mencegah atau melakukan tindakan menehtang musuh itu dari laut. Segala biaya yang timbul karena tindakan itu ditanggung oleh Pemerintah Amerika sendiri. Pasal 5
Sekiranya ada kepala atau hulubalang dari sesuatu daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh melakukan tindakan pendurhakaan, Pemerintah Amerika berjanji tidak akan membantu menyediakan senjata dan amunisi bagi si pendurhaka Sultan Aceh itu. Pasal 6
Apabila Pemerintah Aceh memerlukan alat-alat perang maka Pemerintah Amerika akan membantu menyediakannya dan akan dibayar dengan harga yang pantas. Apabila Pemerintah Aceh ingin bersahabat dengan negara lain, Pemerintah Amerika sebaiknya tidak menghalangi dan tidak boleh merasa cemburu dan curiga. Demikianlah perjanjian setia raya ini dibuat rangkap dua, dan tiap-tiap pihak memegang satu, dengan dibubuhi cap sebagai tanda bahwa perjanjian sudah sah adanya. Tersurat pada 22 hari bulan Jumadil Akhir 1920, hari Jumat pukul 2 siang, bertepatan dengan 16 hari bulan Agustus 1873. cap Sultan
Ikrar Pemerintah Aceh kepada Pemerintah Amerika Pasal 1
Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika boleh menempatkan seorang Konsulnya di dalam negeri Aceh untuk mengurus warga Amerika yang berada di Aceh untuk melindungi mereka. Bila warga Amerika melakukan sesuatu tindakan kriminil atau antara warga Amerika dan rakyat Aceh terjadi persengketaan maka hakim Acehlah yang mengadili perkara itu. 59
Demikian juga bila rakyat Aceh yang berada di Amerika melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, atau antara mereka dan rakyat Amerika terjadi sesuatu persengketaan maka perkara itu akan diadili oleh hakim Amerika di pengadilan Amerika. Pasal 2
Apabila rakyat Aceh melakukan sesuatu pelanggaran hukum di daerah Aceh, kemudian lari ke Amerika maka aparat keamanan Amerika dapat menangkapnya dan menyerahkan kembali pelarian itu kepada Pemerintah Aceh. Demikian juga apabila warga negara Amerika melakukan sesuatu pelanggaran hukum di negerinya kemudian lari ke daerah Aceh, aparat keamanan Aceh dapat menangkapnya dan menyerahkannya kembali kepada Pemerintah Amerika. Pasal 3
Apabila musuh dari pihak Sumatra melancarkan perang atau melakukan sesuatu kegaduhan terhadap Pemerintah Amerika maka Pemerintah Aceh harus. memberikan bantuan dan melawan musuh tersebut dari darat. Segala biaya yang timbul karena itu ditanggung oleh Pemerintah Aceh sendiri. Pasal 4
Pemerintah Amerika dan Pemerintah Aceh bersama-sama melaksanakan pembuatan sebuah mercu suar di pantai karang yang bernama Batu Burok di daerah Pidie dan melaksanakan perlindungan terhadap perniagaan, jiwa, dan hak milik semua bangsa; tiap-tiap pihak menanggung separoh dari biayanya. Kepada kapal-kapal dan sampan yang melalui daerah itu dikenakan pembayaran. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Amerika masing-masing akan mendapat bagian separoh dari hasil yang masuk. Pasal 5
Tuduhan Belanda bahwa Pemerintah Aceh memperjualbelikan budak tidak benar sama sekali. Pemerintah Aceh, baik dahulu 60
maupun sekarang tidak pernah melakukan hal itu. Dan juga untuk masa yang akan datang Pemerintah Aceh tidak akan melakukannya. Pasal 6
Seri Baginda Sultan Aceh akan menghadiahkan kepada Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika sebuah pulau yang bernama Pulau Weh, yang terletak berhadapan dengan Bandar Aceh; Pemerintah Amerika dapat mengibarkan benderanya di atas pulau tersebut. Kepadanya diharap akan menyebarkan keadilan ke serata pelosok, memperlakukan penduduk dari segala bangsa, baik yang menetap maupun yang datang-pergi dengan baik, serta memberikan perlindungan kepada mereka, begitu juga kepada kapal-kapal yang masuk ke pulau itu, sehingga dengan demikian Pulau Weh menjadi ramai dan makmur. Demikianlah surat perjanjian ini dibuat rangkap dua, dan tiaptiap pihak memegang satu, di atasnya dibubuhi tanda tangan dan cap dari tiap-tiap pihak, sebagai tanda bahwa perjanjian sudah sah adanya. Tersurat pada 22 hari bulan Jumadil Akhir 1290, hari Jumat, pukul 2 siang hari, bertepatan dengan 16 hari bulan Agustus 1873. cap Sultan Aceh
5.5 Perjanjian Aceh-Amerika: Suatu Bentuk Perjuangan Mempertahankan Tanah Air Antara tahun 1819 dan tahun 1873 Kerajaan Aceh telah dapat mengikat tiga buah perjanjian persahabatan dengan tiga negara besar di Eropa dan Amerika. Pertama, dengan Inggris pada tahun 1819, kedua dengan Belanda pada tahun 1857, dan ketiga dengan Amerika pada tahun 1873 (masih berupa rancangan yang belum sempat ditandatangani). Bagi suatu kerajaan yang terletak di belahan bumi bagian timur seperti Aceh — yang mempunyai kedudukan strategis dan mempunyai potensi-potensi ekonomi yang besar yang terus-menerus diincar dan dirongrong oleh 61
negara-negara imperialis — mengikat perjanjian persahabatan dengan negara-negara tersebut merupakan suatu prestasi yang boleh dibanggakan dalam usaha mempertahankan negara dengan cara diplomasi. H a l ini mengingat bahwa pada masa itu fajar kebangkitan Asia belum menyingsing dan dalam kondisi kemerdekaannya yang masih utuh dan integritasnya yang masih terpelihara. Sebagai putra Aceh, saya merasa bangga karena Kerajaan Aceh di kala itu telah dapat mempersiapkan naskah perjanjian persahabatan dengan Amerika yang kini merupakan negara Super Power. Ternyata, Aceh tidak saja unggul dalam berperang tetapi juga sanggup berkecimpung dalam dunia diplomasi menghadapi utusan dari mancanegara. Inggris yang merupakan sahabat lama Aceh, yang sering menghalang-halangi ekspansi Belanda ke Aceh kini terus terang mengatakan telah menarik diri dari Sumatra serta telah menarik segala keberatannya terhadap keinginan Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. Italia yang pernah didekati oleh Panglima T i b a n g juga tidak mau melibatkan diri dalam "masalah A c e h " . Praktis hanya tinggal Amerika yang menjadi tumpuan harapan. Pengalaman Aceh mengadakan hubungan dagang dengan Amerika selama lebih dari setengah abad menunjukkan bahwa Amerika tidak terlihat mempunyai ambisi terhadap masalah teritorial seperti diperlihatkan oleh Spanyol, Inggris, dan Belanda. O l e h karenanya, saya kira, Pemerintah Aceh berpendapat daripada dijajah total oleh Belanda lebih baik memberikan konsesi lebih banyak kepada Amerika, asalkan Aceh tetap merdeka. Ironinya, sebelum naskah perjanjian yang sudah ditandatangani oleh Sultan Aceh sempat dikirim ke Singapura untuk d i transfer ke Washington, Aceh terlanjur diserang Belanda pada tanggal 26 Maret 1873 berkat kerja T e n g k u M u h a m m a d Arifin, mata-mata Belanda yang diangkat sebagai juru bicara dalam pertemuan di Singapura. 1
'Sultan Aceh yang nasibnya malang ini bernama Sultan Alauddin Mahmud Syah II. 62
Kalau Panglima Tibang dianggap bersalah, di sinilah letak kesalahannya. Dia ceroboh dan sama sekali tidak waspada sehingga terperangkap oleh "spion Melayu", kaki tangan Belanda. Akan tetapi, bagaimanapun juga apa yang telah dilakukan nenek moyang kita pada masa yang silam merupakan langkah maju dalam bidang diplomasi. Hal ini merupakan suatu prestasi yang sungguh-sungguh menimbulkan kebanggaan yang besar bagi kita dan penghargaan yang tinggi terhadap mereka yang telah berjuang mati-matian untuk mempertahankan Aceh Darussalam. Naskah perjanjian yang pernah memberikan harapan cerah bagi pembesar-pembesar Kerajaan Aceh dan menimbulkan kegemparan bagi Belanda, baik di Batavia maupun di Den Haag, kini tinggal kenangan. Naskah tersebut tersimpan di tempat penyimpanan arsip-arsip zaman baheula di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Washington D . C , sebelum akhirnya dipindahkan ke U.S. National Archives.
63
BAB 6
PENGKHIANATAN YANG MENJERUMUSKAN ACEH KE DALAM PERANG KOLONIAL BELANDA
D
alam sejarah perang Aceh-Belanda, ada suatu peristiwa yang sangat penting di antara berbagai peristiwa penting lainnya. Peristiwa itu adalah pertemuan antara Syahbandar Panglima T i b a n g M u h a m m a d sebagai utusan Kerajaan Aceh dengan M a y o r Studer, Konsul Amerika di Singapura pada penghujung tahun 1872. Mengapa saya katakan sangat penting? Oleh karena, selain merupakan suatu gebrakan berani dari diplomasi Aceh untuk mempertahankan kedaulatannya, juga sebagai penyebab meletusnya perang kolonial Belanda di Aceh (menurut anggapan Belanda), atau penyebab yang mempercepat pecahnya perang tersebut (menurut bangsa Indonesia). Pertemuan Singapura itu oleh Belanda disebut sebagai Het Verraad van Singapore atau Pengkhianatan (dari atau di) Singapura. Terjemahan bebasnya kita sebut saja Komplotan Pengkhianat (dari atau di) Singapura atau disingkat menjadi K P S . M e n u r u t Belanda K P S terdiri atas Studer, Konsul Amerika di Singapura, dan Sultan Aceh. Padahal seharusnya Belanda juga menyebut Panglima T i b a n g M u h a m m a d sebagai salah satu komponen dari K P S , namun hal itu tidak dilakukan. Sultan Aceh disebut sebagai pengkhianat sebab beliau yang mengutus Panglima T i b a n g ke Singapura untuk berunding dengan Studer guna mengikat perjanjian persahabatan dengan Amerika. Studer dianggap pengkhianat karena berkomplot dengan utusan Sultan Aceh untuk dapat melakukan intervensi ke dalam masalah 64
hubungan Belanda dengan Aceh. Sultan Aceh juga dituduh berkhianat karena melanggar Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Aceh tahun 1857. Kedua tokoh ini, menurut Belanda bertanggung jawab atas terjadinya Perang Aceh-Belanda itu. Demikianlah pandangan Pemerintah Belanda yang dicanangkan kepada dunia internasional. Demikian pula pendapat para ahli sejarah Belanda yang disajikan dalam bentuk buku sehingga mempengaruhi opini pembaca di seluruh dunia. Selama delapan puluh tahun lebih, kejadian yang sebenarnya dari Peristiwa Singapura itu tidak diketahui oleh dunia karena ditutup rapat oleh Belanda. Peristiwa tersebut baru terungkap pada tahun 1957 setelah Pemerintah Belanda membuka segala arsipnya yang menyangkut Perang Aceh-Belanda untuk pertama kalinya kepada seorang penulis Amerika, James Warren Gould, seorang ahli International Relation dari Califomia. Hasil penelitiannya yang cukup menarik perhatian dunia disiarkan dalam sebuah majalah yang bernama Annals of Iowa. Dunia terperanjat karena kebohongan yang ditutup oleh Belanda lebih dari delapan puluh tahun terbongkar. Ternyata yang dituduh Belanda melakukan pengkhianatan di Singapura (Het Verraad van Singapore) bukan Studer dan Panglima Tibang Muhammad, atau Sultan Aceh, melainkan mata-mata Belanda yang sangat licik, Tengku Muhammad Arifin dan Read, Konsul Belanda di Singapura. Nama yang disebut pertama adalah petualang berkaliber teri, sedangkan yang kedua adalah petualang berkaliber kakap dan cukup terkenal di Kepulauan Nusantara. Selanjutnya, dengan terbitnya buku Paul van't Veer, De Atjeh Oorlog, dunia lebih luas lagi mengetahui apa sebenarnya yang oleh Belanda disebut Het Verraad van Singapore itu. Dan dengan diterjemahkannya buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia, masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Aceh khususnya, walau dalam jumlah terbatas, mengetahui siapa sebenarnya "Pengkhianat Singapura" yang telah menjerumuskan Aceh ke dalam bencana perang kolonial yang berkepanjangan lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Untuk pengetahuan masyarakat umumnya, baiklah dalam tulisan ini saya uraikan bagaimana pengkhianat-pengkhianat tersebut memainkan peranannya sampai dikeluarkannya ultima-
65
turn yang menyebabkan pecah perang kolonial yang berkecamuk lebih dari tiga dasawarsa sebagai kelanjutan Peristiwa Singapura. Beberapa waktu setelah Panglima Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu berita penting sampai ke telinga Sultan, yaitu bahwa Belanda akan menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh. Atas perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak berangkat ke Riau untuk meminta keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang melaksanakan operasi politik ke Aceh dari sebelah timur (dari sebelah barat operasi politik ke Aceh dilaksanakan oleh van Swieten, Gubernur Sumatra Barat). Kali ini beliau berangkat dalam suatu perutusan yang terdiri atas Tgk. Nyak Muhammad, Tgk. Lahuda Muhammad Said, Tgk. Nyak Akob dan Tgk. Nyak Agam, dengan Panglima Tibang sebagai ketua perutusan. Tentu saja Schiff membantah berita yang sampai ke telinga Sultan Aceh. Belanda tetap beritikad baik terhadap Sultan dan tetap memegang teguh perdamaian dan persahabatan dengan Aceh. Setelah sebulan di Riau, Panglima Tibang diantar pulang ke Aceh dengan kapal perang Marnix. Tetapi, Panglima Tibang mengatakan kepada Schiff bahwa dia ingin singgah ke Singapura untuk membeli sebuah kapal api guna kepentingan transportasi di Aceh. Di Singapura Panglima Tibang mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Studer. Seperti pada kesempatan pertama, kali ini beliau juga ditemani oleh Arifin, yang tentu diperintahkan oleh Read, majikannya yang telah menerima informasi dari Schiff di Riau. Berbicara tentang Arifin, dia sungguh seorang mata-mata Belanda yang sangat licik, pintar menjilat, serta pembohong besar yang tidak punya rasa malu. Pada saat pertama kali Panglima Tibang tiba ke Singapura, beliau sebenarnya telah mendapat seorang jurubicara. Akan tetapi, atas bujuk rayu Arifin yang sangat berbisa, orang tersebut digeser dan Arifin menggantikannya. Mungkin Panglima Tibang terpengaruh oleh godaan bahwa Arifin adalah anak seorang pangeran dari Moko-Moko, Bengkulu dan mempunyai hubungan dengan Keraton Aceh. Menurut suatu sumber, Arifin pernah kawin dengan putri kemenakan Sultan Aceh yang terdahulu. Selain itu, juga berlagak kenal baik dengan Studer. Memang dia pernah menemui Studer sewaktu meminta 66
bantuan Amerika agar ayahnya mendapatkan kembali "mahkota" yang telah dicopot oleh Belanda dan diberikan kepada orang lain. Pertemuan kedua, saat menyeret Amerika terlibat dalam sengketa politik yang sedang berkembang antara Aceh dan Belanda. Perlu diketahui pula bahwa pada bulan Januari 1872, sebelum Panglima Tibang datang ke Singapura, Arifin pernah menemui Laksamana Jenkins, Panglima Angkatan Laut Amerika di H o n g K o n g yang singgah di Singapura dalam perjalanannya ke Kalkuta. Dengan berpura-pura sebagai seorang pangeran yang mempunyai hubungan dengan keraton Aceh, Arifin menyatakan apakah Rear Admiral Jenkins tidak berminat mengikat suatu perjanjian dengan Aceh? Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak mempunyai ambisi teritorial. Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani membuka mulut lagi. Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima T i b a n g tiba di Singapura. H a l ini tidak mengherankan. Sebab, Arifin sebagai petualang yang lihai di kawasan Nusantara diberi umpan oleh Read, seorang petualang besar berkebangsaan Inggris, yang sangat berkepentingan melihat Belanda mengadakan ekspansi ke Aceh. M u n g k i n karena inilah dia diterima menjadi Konsul Jenderal Belanda di Singapura walaupun bukan warga negara Belanda. D i dalam pertemuan dengan Studer, Panglima T i b a n g pertama-tama menyatakan penyesalannya karena naskah perjanjian belum selesai dibuat berhubung mendadak harus berangkat ke Riau atas perintah Sultan sebagai ketua misi. Selanjutnya, Panglima T i b a n g menanyakan apakah naskah perjanjian tidak dapat dibuat di Singapura sekarang juga agar dapat dikirim ke Washington secepatnya. Pertanyaan ini diajukan mengingat (1) keadaan yang sangat mendesak, (2) perjalanan SingapuraKutaraja memakan waktu yang cukup lama, dan (3) dia kini telah dibekali mandat penuh oleh Sultan sebagai utusan yang diberi wewenang untuk berunding. Dalam jawabannya, Studer tetap pada pendiriannya bahwa tidak mempunyai wewenang untuk membuat suatu perjanjian. Namun, berjanji secepatnya akan men-transfer naskah perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan kepada Pemerintah Amerika.
67
Selanjutnya, mereka kembali mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dari perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar. Apa yang dibicarakan oleh kedua tokoh itu belum pernah diformulasikan dalam bentuk rancangan yang tersurat. Jadi, tidak benar kalau ada orang mengatakan bahwa Studer telah menulis rancangan perjanjian Aceh-Amerika. Laporan yang disampaikan Arifin kepada majikannya, Read, berlainan dengan yang telah terjadi. Selain menyampaikan pembicaraan antara Panglima Tibang dan Studer, Arifin menambahkan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkins supaya berangkat ke Aceh. Dan akhirnya Arifin meminta agar mengirimkan kapal perang Belanda ke Aceh. Kebohongan Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke. Isinya adalah "Untuk memastikan isi perjanjian itu Muhammad Arifin telah membuatnya — begitu katanya — dalam bentuk perjanjian yang pernah dibuat antara beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan sendiri oleh Muhammad Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan rancangan perjanjian tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks perjanjian Brunei dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya". Mayor Studer sendiri kemudian menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak bermaksud mengusulkan diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifinlah yang mengajukan dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya. Perutusan hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh yang meminta bantuan Amerika Serikat. Keterangan Studer ini sesuai dengan pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di depan Jenderal Verspijk, Kepala Biro Perbekalan Peperangan Belanda yang sedang mempersiapkan ekspedisi Belanda kedua terhadap Aceh. Satu hal yang perlu diketahui, rancangan perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam 68
pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Tibang usai. Sebenarnya, setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Satu hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut kepada Meir, wakil Read. Baru dua minggu kemudian Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku $ 2,00 permil dan $ 25,00 uang jalan. Setelah dua hari berada di Singapura Read mengirim kawat kepada Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer sebagai berikut: "Intrik-intrik yang sangat serius antara perutusan Aceh dan konsul Amerika di Singapura terungkap; hal ini memerlukan pertimbangan langsung. Perincian dikirim dengan kapal yang pertama". Keesokan harinya, Read mengirimkan laporan seperti berikut: "Perutusan menyampaikan kepada Konsul Italia dan Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan untuk menghadapi Belanda. Konsul Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di Cina dan telah menyusun sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh Sultan dan akan mengirimkan kembali. Orangorang Amerika siap sedia datang dalam waktu dua bulan. Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya". Laporan Read tersebut telah menimbulkan kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang mengandung pokok-pokok soal yang terdapat dalam laporan Read dikirim oleh Loudon ke Den Haag. Pada tanggal 18 Februari 1873 Menteri Luar Negeri Belanda memohon kepada raja untuk mempertimbangkan, bukankah sudah tiba saatnya Pemerintah Belanda melaksanakan tugasnya menjamin keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan oleh perjanjian 1824, tentunya dengan cara damai, selama kita tidak dipaksa oleh Aceh sendiri mempergunakan kekerasan. Pada hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan6
9
tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda. D i samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Amerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris. Selain itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura; dan Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar datang membawa kapal perangnya ke perairan Aceh. Pemerintah Belanda memandang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban). Keesokan harinya, sebagai langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan perjanjian dengan perutusan Aceh. Pada tanggal 19 Februari 1873 Den Haag mengirim kawat kepada Batavia sebagai berikut: "Jika Anda tidak merasa bimbang terhadap kebenaran informasi Konsul Singapura, kirimkan angkatan laut yang kuat ke Aceh untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban atas sikap bermuka dua dan khianat itu". Kawat tersebut merupakan lampu hijau bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Loudon) untuk menggempur Aceh. Memang, inilah yang ditunggu-tunggu Loudon meskipun sewaktu menjadi Menteri Jajahan menganut politik non-intervention atau tidak campur tangan. Kini setelah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon merupakan seorang penjajah yang sangat bernafsu untuk menaklukkan Aceh. Pendapat Loudon mengenai Aceh dalam kaitannya dengan peristiwa Panglima Tibang-Studer adalah sebagai berikut: 70
"Selama kedaulatan kita tidak diakui, tetap ada campur tangan asing yang mengancam kita seperti pedang Democles". Selain isu pembajakan di laut yang selalu ditonjolkan Belanda, "bahan peledak" yang disuplai oleh Read yang berasal dari Arifin, seorang mata-mata Melayu, sudah cukup bagi L o u d o n untuk menjadi alasan atau casus-belli untuk melancarkan perang terhadap Kerajaan Aceh. Sebagai langkah pertama bagi pelaksanaan rencananya itu, pada tanggal 21 Februari 1873 Loudon mengadakan rapat Dewan H i n d i a yang dihadiri juga oleh pemimpin-pemimpin militer. Keesokan harinya L o u d o n mengirim kawat ke D e n H a a g sebagai berikut: "Dewan H i n d i a di Batavia yang saya pimpin dengan dihadiri oleh jenderal dan laksamana, menyetujui usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisi yang didukung oleh empat batalyon ke Aceh untuk menyampaikan ultimatum, adakala pengakuan kedaulatan, adakala perang. K i t a akan hadapi Amerika dengan fait accompli. Presiden Nieuwenhuijzen adalah orangnya". Dari sini sebenarnya setiap orang yang mengetahui sejarah Aceh tentu dapat menebak jawaban yang akan diberikan oleh Sultan Aceh terhadap ultimatum tersebut. Sebelum Studer mengetahui bahwa telah dikucilkan, Arifin masih sempat mempergunakannya sebagai kambing hitam untuk terakhir kalinya. Setelah pulang dari Riau dia segera menuju Singapura pada tanggal 1 Maret 1873, Arifin langsung menemui Studer meminta dibuatkan surat yang ditujukan kepada Panglima Tibang. Maksudnya, akan dijadikan bukti tambahan dalam usaha memperkuat kebohongannya. Studer yang tidak menyangka akan dibohongi, memenuhi permintaan Arifin itu. N a m u n , Studer hanya menulis surat biasa yang merupakan basa-basi belaka. Antara lain, mengharapkan mudah-mudahan Panglima T i b a n g tiba di Aceh dengan selamat dan semoga senantiasa berada di dalam keadaan sehat serta sejahtera. Akan tetapi, Arifin yang merupakan abdi Pemerintah Belanda yang setia, sewaktu mengirimkan surat tersebut kepada Read, melampirinya dengan sebuah "rencana pertahanan" yang katanya berasal dari Studer untuk disampaikan kepada Panglima Tibang. Rencana ini sangat ganjil apabila ditinjau dari segi militer, apalagi kalau dikatakan dibuat oleh Studer, seorang militer yang berpangkat mayor yang selama beberapa tahun turut bertugas
71
dalam perang saudara di Amerika. Rencana itu merupakan sebuah bagan dengan tulisan Melayu sebagai berikut: "Jika orang-orang Belanda datang menyerang Aceh, hendaklah semua orang Aceh serentak menyerang dan menghancurkannya". Bagan kecil itu berupa sebuah segitiga yang dibagi empat dalam ukuran yang tidak sama, kira-kira menggambarkan peta Aceh. Dalam bagianbagiannya tertulis keterangan seperti 5.000 orang dalam hutan sebelah selatan pelabuhan, 5.000 orang di sebelah barat, dan 5.000 orang di pedalaman. Laporan tambahan ini disampaikan oleh Arifin kepada Belanda untuk menambah kepercayaan mereka bahwa Aceh memang sudah bertekad hendak berperang melawan Belanda dan bahwa Amerika sudah pasti akan turut campur tangan. Sementara itu, suatu telegram telah tiba di Batavia yang bunyinya sebagai berikut: "Dari sumber yang sangat dipercaya diterima kabar bahwa armada Amerika di Hong Kong dipastikan telah menerima perintah untuk berlayar ke Aceh sebelum kita berada di sana". Diketahui kemudian, bahwa yang dimaksud dengan sumber yang sangat dipercaya tidak lain adalah sebuah perusahaan dagang Belanda di Hong Kong. Dan yang dikatakan perintah bagi armada Amerika itu ternyata sama sekali tidak ada. Agak sukar dipercaya bahwa Den Haag tidak menyadari peranan yang dimainkan oleh Arifin dalam peristiwa Singapura ini. Hal ini terbukti pada tanggal 6 Alaret 1873 ketika Menteri Jajahan Belanda, van de Putte, menulis surat kepada Read, sebagai berikut; "Mengucapkan terima kasih atas khidmatnya yang baik terhadap Belanda, terutama yang dialami dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa yang akhir di kepulauan Hindia". Tampaknya, peristiwa ini turut direkayasa oleh pejabat-pejabat Belanda beserta kaki-tangannya untuk menciptakan suatu cams-belli yang bisa menghalalkan suatu tindakan terhadap Aceh. Oleh karena kawat mengenai komplotan Studer di Singapura terus membanjiri Den Haag, Pemerintah Belanda menginginkan agar pihak Amerika Serikat memberi bantahan. Atas desakan Den Haag, duta besar Amerika di Den Haag mengirim kawat ke Washington sebagai berikut: "Pemerintah Belanda menginginkan supaya dikawatkan kepada Konsulat Amerika di Singapura 72
agar tidak campur tangan dalam masalah-masalah Sumatra". Kawat itu diterima di Washington pada tanggal 6 Maret 1873. Menteri Luar Negeri, Fish, agak terkejut karena baru pertama kali mendengar peristiwa itu. M a k a kawat itu dijawab sebagai berikut: "Pemerintah Amerika tidak mempunyai bukti bahwa konsul di Singapura campur tangan; oleh karena tidak memperoleh bukti yang nyata tidak mungkin menganggap dia telah melakukan hal-hal di luar yang ditugaskan. Jika Pemerintah Belanda mengajukan pengaduan, hal itu dengan sepenuhnya akan dipertimbangkan dan kepada konsul kami akan dikirimkan instruksi sesuai dengan kewajiban yang dituntut dari kami terhadap sesuatu negara sahabat". Tembusan jawaban ini diserahkan oleh Gorham, Duta Besar Amerika di D e n H a a g kepada Gericke, Menteri Luar Negeri Belanda pada tanggal 7 Maret 1873. O l e h karena Belanda tetap mendesak, Fish mengirim kawat kepada Studer pada tanggal 8 Maret 1873 sebagai berikut: "Pemerintah Belanda menyatakan adanya campur tangan Anda dalam urusan-urusannya di Sumatra; hentikan kalau ada dan laporkan kejadian yang sebenarnya". Setelah menerima bantahan dari Amerika, D e n H a a g meyakinkan Batavia bahwa perundingan dengan Aceh tidak diketahui dan bahwa konsul tidak pernah diberi wewenang untuk itu. Dengan adanya bantahan dari Amerika, van de Putte agak menyesal telah menyetujui ultimatum terhadap Aceh. A k h i m y a , dia mengirim kawat ke Batavia yang isinya sebagai berikut: " K i t a harap, kita tidak ingin melarang Anda mengadakan perundingan, akan tetapi pertimbangan bahwa pengakuan kedaulatan atau perang sebagai tuntutan, akan menimbulkan pengaruh di mana-mana". Akan tetapi, bagaimanapun juga van de Putte telah dihadapkan kepada suatu fait accompli, demikian juga Amerika. U n t u k lebih jelas, perlu diketahui bahwa pada tanggal 5 M a r e t 1873 Read mengirim kawat kepada L o u d o n bahwa Angkatan Laut Amerika tidak menuju ke Aceh. Meskipun demikian, Nieuwenhijzen tetap diutus ke Aceh pada tanggal 8 Maret 1873. Sebagai jawaban atas kawat D e n Haag mengenai ketidakterlibatan Amerika, L o u d o n mengajukan ultimatumnya sebagai berikut: "Diperkirakan tidak akan ada jaminan keamanan tanpa pengakuan kedaulatan. Dengan tidak adanya' pengakuan kedaulatan,
73
pengiriman ekspedisi tidak ada faedahnya. Mengharapkan segera perintah yang positif, atau biarkan saya memutuskan sendiri persoalan ini atas tanggung jawab saya sendiri." Pada tanggal 10 Alaret 1873 van de Putte menjawab: "Tidak berkeberatan apabila pengakuan kedaulatan merupakan hasil dari perundingan. Akan tetapi, saya tidak membenarkan pengakuan kedaulatan merupakan tuntutan". Tatkala L o u d o n pada tanggal 12 Alaret 1873 menjawab: "Mengharapkan segera dijelaskan tuntutan yang bagaimana yang harus saya ajukan. Saya sebenarnya tidak menemukan titik awal yang lain; tidak usah membuang waktu lebih banyak". D e n Haag terpaksa menyerah. Nieuwenhuijzen dalam perjalanannya ke Aceh singgah di Singapura untuk menemui Read karena dia yakin tidak akan ada bahaya dari Angkatan Laut Amerika; malahan dia pernah mendengar tentang pengkhianatan Arifin. N a m u n , bersama Arifin dia berangkat ke Aceh membawa ultimatumnya. Tatkala Sultan Aceh menolak ultimatum tersebut, Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Sebenarnya, tanpa Arifin, bahkan tanpa Read, perang kolonial Belanda di Aceh akan meletus juga, sebab merupakan rencana Belanda yang sudah lama dipikirkan. Peranan yang dimainkan Arifin bersama Read dengan cara mensuplai berita-berita bohong, rencana palsu, dan provokatif adalah untuk mempercepat dicetuskannya perang kolonial tersebut. Perlu ditegaskan kembali, jikalau dalam peristiwa Singapura yang terkenal itu ada yang disebut bermuka dua dan khianat, mereka bukanlah Sultan Aceh dan Studer, melainkan Arifin. Kerajaan Aceh sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berkeinginan bersahabat dengan semua negara, tentu berhak mencari bantuan dari negara mana saja, apalagi kalau kemerdekaannya terancam. Perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan Belanda tahun 1857 tidak mengandung satu pasal pun yang melarang Aceh mencari bantuan diplomatik atau materiil dari pihak mana pun, apalagi setelah jaminan Inggris mengenai kemerdekaan dan keutuhan wilayahnya menjadi batal dengan adanya Perjanjian Sumatra tahun 1871.
74
Paul van 't Veer dalam bukunya menulis tentang Arifin sebagai berikut: "Bahwa Arifin telah melakukan penyelewengan secara sadar dapat diketahui dalam surat-surat resmi. Kemudian dalam perdebatan di dalam Majelis Rendah Belanda disebut-sebut, bahwa orang ini dapat disuap. Read telah menyuapnya; ia adalah seorang mata-mata yang bekerja untuk kepentingan Read". Jenderal Verspijk yang membuat proses verbal Arifin menyebutnya sebagai "Pengkhianatan tiga kali lipat". N a m u n , van 't Veer juga mengatakan: "Selama sepuluh tahun Pemerintah Belanda masih mempercayai keterangan-keterangan Read yang disampaikannya dari Singapura, yaitu keterangan yang datangnya dari Arifin. D i a itulah mata-mata Melayu yang sangat licik dan sangat setia kepada Belanda. Suatu tragedi yang sungguh-sungguh memilukan hati".
75
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, John. 1840. Acheen and the Ports on the North and East Coasts of Sumatra. London: W . M . H . Allen Co. Leaden Hall Street. Daud, M . Hasballah. Beberapa Catatan.
Gould, James Warren.1956. Essex Institute Historica! Collections Issued quarterly by Essex Institute. Salem, Massachusetts, USA. 1957. Annals of lowa. Third Series. Iowa: State Department of History and Archives. Des Moines, USA. Klerck, F.S. de.1938. History of Netherlands East Indies.lnd vols. Rotterdam: W . L . & J. Brusse. Marsden, William.1811. History of Sumatra. London: Longman, Hurt, Rees, Orme, and Brown. Internoster Row. Meuraxa, Dada. Atjeh 1000 Tahun. Medan: Penerbit Pustaka Hasmar. Said, Muhammad. Atjeh Sepanjang Abad. Medan. Sofyan dkk., H.Ismail.1977. Perang Kolonial Belanda di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. 76
Vandenbosch, Amry.1941. The Dutch East Indies. Berkely: University of Califomia. USA. Veer, Paul van 't. 1969. De Atjeh Oorlog (terjemahan Indonesia). Amsterdam: Uitgeverij Arbaidspers. Zainuddin, H . M . 1960. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Penerbit Iskandar Muda.
77
LAMP IRAN
Mayor Studer, Konsul Amerika di Singapura (1873) Belanda m e n u d u h n y a terlibat dalam Het Verraad Kerajaan Belanda.
78
van Singapore
terhadap
Sayid Abdurrahman Az-Zahir Mangkubumi (Perdana Menteri) merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan Aceh. la diutus oleh Sultan ke Istambul untuk meminta bantuan Turki dalam usaha menghadapi ultimatum Belanda terhadap Aceh.
79
Syahbandar Panglima Tibang Muhammad Menteri Urusan Pajak dan Bea-Cukai (setaraf Menteri Keuangan). O l e h Sultan diutus ke Singapura untuk berunding dengan Konsul A m e r i k a mengenai kemungkinan mengikat perjanjian persahabatan dengan A m e r i k a dalam rangka menghindari serangan Belanda.
80
Teungku Muhammad Arifin (mata-mata Belanda) Salah seorang yang memainkan peran penting untuk mempercepat serangan Belanda terhadap Kerajaan A c e h . 81
Mr. James Loudon Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pencetus kebijaksanaan untuk memerangi A c e h .
82
V A "
l>
fyZ~sav.
Jtty^u
<#e/jf u,Ou^ fl
^Me/f^i
83
JLA.
Surat pengantar
perjanjian A c e h - A m e r i k a dari Kuasa Sultan A c e h
Tuanku
Ibrahim Raja Fakih Ali kepada Jenderal Grant, Presiden Amerika Serikat.
84
? 4 * mm% ft i . | | li | ^ l| § 4l
%
- Jj
if 85
J >H ver 1 h M ïl U T>r
86
H*i
M
lilt
P H
l i lil ttel
m li
wi mï
51 ^
1
Uil Ni 1 ^1 'I öïfe
l i l i + w i fi4 1^4 35' tl> ^ i :
li l l# I it 87
uiti
xasir- -
• . --^
..: |V.- . '>V£>X> _ ^ - ^ ._^ ' ^J ' ^'i?^s «^)^^i^^v^^^c?icT ,
,
,
, ,
r
j •
— / >/
U.t.. t/^jL.
k-
a£ü-/*£jL J(.^/X UMI: 4
W -*£-V^>t>(*>'>-^
Bentuk fisik rancangan Perjanjian A c e h - A m e r i k a dalam dua bahasa, Inggris dan M e l a y u - A c e h lama (dalam tulisan Arab) Naskah ini sekarang disimpan dalam bentuk mikro-film dan disimpan di U.S. National Archives
88
BIOGRAFI SINGKAT
H . M . Nur EI Ibrahimy dilahirkan pada awal Januari 1912 di Idi (Aceh Timur). Pendidikannya: Sekolah Melayu belajar di pesantren di Aceh (1924-1927). Dari tahun 1928 sampai akhir 1929 belajar di Madrasah Aziziah dan Madrasah Al Muallimin di Tanjungpura, Langkat. Tahun 1930 berangkat ke Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar dan sekolah tinggi untuk guru Dar el Ulum el Ulya. Kegiatan di luar negeri: D i Kairo aktif dalam kegiatan sosial, sebagai ketua perkumpulan mahasiswa/ pelajar Indonesia, Jamiah Khairiah Indonesia dan sekretaris Persatuan Indonesia Semenanjung. Aktif pula dalam kegiatan politik, sebagai sekretaris Perhimpunan Indonesia Raya yang diketuai oleh Abdul Kahhar Muzakkir (sekarang Prof. Abdul Kahhar Muzakkir, Rektor UII Yogyakarta). Berdua dengan beliau memperkenalkan Indonesia dan pergerakan kebangsaan Indonesia kepada masyarakat Timur Tengah, terutama kepada tokoh-tokoh politiknya. Kegiatan di Tanah Air: (1) Kepala Madrasah Nahdatul Islam di Idi (Aceh Timur), (2) Direktur Normal Islam Institut Bireuen (Aceh Utara), (3) Setelah Proklamasi Kemerdekaan menjadi Direktur Sekolah Menengah Islam di Kutaraja (Banda Aceh sekarang), (4) Kepala Kantor Pendidikan Agama Daerah Aceh, sempat memperbarui dan mempersatukan sistem dan kuriku89
lum madrasah-madrasah yang bertebaran di seluruh Aceh, tetapi sistem dan kurikulumnya bermacam ragam dan berhasil, (5) Ketua Umum Masyumi Daerah Aceh, (6) Anggota Badan Eksekutif Propinsi Sumatra Utara yang pada waktu itu berkedudukan di Kutaraja, (7) Anggota Badan Pemerintah Propinsi Aceh, dan (8) Anggota DPR-RIS dan anggota D P R - R I dari 1950 sampai 1960. Selain ilmu logika dalam bahasa Arab, karyanya dalam bahasa Indonesia adalah Catur Politik Imperialis (Inggris, Perancis, Italia, dan Amerika) di Timur Tengah, Tgk. Muhammad Daud Beureueh (Peranannya dalam Pergolakan di Aceh), dan beberapa karangan yang dimuat dalam majalah dan surat kabar.
90