28
KARAKTERISASI PROTEASE DARI EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli ABSTRAK Protease mengkatalis reaksi biologik, termasuk metabolisme protein dan reaksi imun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter protease yang dilepaskan melalui ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. L3 diperoleh dari usus halus 100 ekor ayam tujuh hari setelah pemberian dosis 6000 L2 melalui oesofagus ayam. Sebanyak 5 – 10 ekor L3 dikultur secara in vitro dalam setiap ml medium Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640), pH 6,8, tanpa merah fenol dalam inkubator pada temperatur 37oC dan 5% CO2 selama 3 hari. Ekskretori/sekretori dipreparasi dari produk metabolisme L3 yang dilepaskan ke dalam medium kultur. Aktivitas protease diuji pada kasein 2%. Aktivitas protease dikaji terhadap sensitivitas inhibitor, temperatur, dan pH optimum. Konsentrasi protein dihitung mengikuti metode Bradford. Berat molekul protease diestimasi melalui sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa L3 melepaskan protease yang dihambat oleh PMSF 0,5 mM. Temperatur dan pH optimum enzim berturut-turut 70oC dan 7. Aktivitas dan aktivitas spesifik enzim adalah 0,625 U/ml dan 4x10-3 U/mg. Estimasi berat molekul enzim pada 28 kDa. Hasil tersebut mencerminkan bahwa protease yang diekskresi/sekresikan oleh stadium L3 A. galli mengandung protease serin. Kata kunci: Ascaridia galli, nematoda, protease, ekskretori/sekretori ABSTRACT Protease catalyse a broad spectrum of important biological reactions, including protein metabolism and immune reactions. A study was carried out to characterize protease from exretory/secretory of A. galli L3 stage. A. galli L3 were recovered from intestines of 100 heads chickens 7 days after oesophagus inoculation with 6000 L2. L3 recovered in this manner were cultured (5 – 10 ml-1) in flasks containing rosswell park memorial institute (RPMI) 1640 media, pH 6.8, without phenol red. Cultures were incubated at 370C in 5% CO2 and culture fluid was collected after 3 days in culture. Excretory/secretory was prepared from metabolic product of L3 released in culture medium. The protease activity was assayed against casein 2%. Inhibitor sensitivity, temperature, and pH optimum on protease activity were studied. Protein concentrations were counted as described in Bradford method. The molecular weight of protease was estimated with sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). The result showed that L3 released protease which is inhibited by PMSF 0.5 mM. Temperature and pH optimum of the enzyme are 70oC and 7, respectively. The enzyme activity and protease specific activity are 0,625 U/ml and 4x10-3 U/mg, the molecular weight is estimated as 28 kDa. The results indicate that the excretory/secretory secreted by L3 A. galli contained serine protease. Key words: Ascaridia galli, nematode, protease, excretory/secretory,
29
PENDAHULUAN
Protease atau enzim proteolitik adalah enzim yang memiliki daya katalitik yang spesifik dan efisien terhadap ikatan peptida dari suatu molekul polipeptida atau protein. Protease dapat diisolasi dari tumbuhan (papain dan bromelin), hewan (tripsin, kimotripsin, pepsin, dan renin), mikroorganisme seperti bakteri, kapang, virus, dan cacing
parasitik
seperti
diekskresi/sekresikan
oleh
cestoda, cacing
trematoda, esensial
dan
untuk
nematoda. proses
Protease
perkembangan
yang dan
kelangsungan hidup seperti penetasan telur, molting, dan exsheathment parasit. Protease yang dihasilkan cacing nematoda parasitik memainkan peranan penting pada proses penetrasi dan migrasi parasit ke jaringan inang definitif. Todorova (2000) menyatakan bahwa enzim proteolitik yang disekresikan parasit untuk invasi ke jaringan terdiri dari dua jenis protease, yaitu protease serin dan metal. Kehadiran kedua jenis protease tersebut di dalam produk yang disekresikan cacing nematoda telah dibuktikan oleh Cock et al. (1993) pada Ostertagia ostertagi, Todorova (2000) pada Trichinella spiralis, Rhoads et al. (1997 dan 2001) pada Ascaris suum, dan Iglesias et al. (2005) pada Anisakis simplex. Karakterisasi protease sudah luas dilakukan dari berbagai stadium secara in vitro pada cacing nematoda, termasuk stadium infektif (L3) dan stadium dewasa cacing Trichostrongylus colubriformis dan Haemonchus contortus (Hadas dan Stankiewicz 1997). Karakter protease yang disekresikan cacing nematoda penting diketahui sebagai pengetahuan dasar biologi parasit. Berdasarkan active-site region pada protease sangat memungkinkan untuk merancang inhibitor spesifik sebagai strategi pengendalian dan tindakan terapi terhadap cacing parasitik. Protease yang dilepaskan selama perkembangan parasit berperan sebagai antigen yang potensial untuk memicu imunitas inang definitif. Saat ini, belum ada informasi yang tersedia tentang karakter protease pada stadium L3 A. galli. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah karakterisasi protease dari produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter protease murni yang dilepaskan melalui ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli.
30
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.
Rancangan Penelitian Seratus ekor ayam hysex Brown digunakan sebagai ayam donor untuk menghasilkan L3 A. galli. Tiap-tiap ekor ayam diinokulasi dengan dosis 6000 L2 A. galli. Tujuh hari kemudian, ayam dinekropsi dan L3 yang berkembang di dalam saluran cerna disaring dan tiap-tiap 25 - 50 L3 A. galli diinkubasi dalam sumur cell culture plate yang berisi 5 ml medium Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640, Sigma-Aldrich), pH 6,8, tanpa merah fenol yang ditambahkan 100 unit/ml penisilin G, 100 µg/ml streptomisin, 5 µg/ml gentamisin, dan 0,25 µg/ml kanamisin dalam inkubator CO2 selama 3 hari. Campuran medium dengan ekskretori/sekretori L3 A. galli disentrifus pada 12.000 g dengan temperatur 4oC selama 5 menit (Tiuria et al. 2003). Protease yang dilepaskan melalui ekskretori/sekretori L3 A. galli dikarakterisasi berdasarkan aktivitas enzim terhadap inhibitor dan aktivator, temperatur dan pH optimum, pengaruh logam dan inhibitor, konsentrasi dan berat molekul enzim.
Pengukuran Aktivitas Enzim Aktivitas protease diuji terhadap casein. Campuran 500 µl 0,6% casein dalam Tris mM (pH 8,0) dan 100 µl enzim diinkubasi selama 2 jam pada temperatur 40oC. Reaksi dihentikan dengan penambahan 500 µl
asam trichloroacetic 0,4 M dan
diinkubasikan pada 40oC selama 10 menit. Setelah sentrifus, 200 µl supernatan dicampur dengan 1 ml sodium carbonate dan 200 µl reagen Folin-Ciocalteu dan diinkubasikan pada 40oC selama 20 menit. Jumlah degradasi ditentukan dari absorbansi
31
pada 578 nm (Kong et al. 2000; dan Balqis et al. 2006). Aktivitas 1 unit enzim ditetapkan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menguraikan 1µg tyrosine dari casein di dalam 1 ml volume reaksi per menit (Walker 1984). Pengukuran aktivitas enzim mengikuti metode Bergmeyer (Rukayadi dan Suhartono 1999) seperti yang disajikan pada Tabel 3. Untuk setiap sampel yang dianalisis, harus disertai dengan blanko dan standar, dengan perincian sebagai berikut.
Tabel 3. Prosedur pengukuran aktivitas protease mengikuti metode Bergmeyer (Rukayadi dan Suhartono 1999) Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standart (ml) Buffer Tris-HCl (0,2M), pH 8
1,00
1,00
1,00
Substrat musin 1%, pH 8,0
1,00
1,00
1,00
Enzim dalam CaCl2 (2mmol/l)
0,20
-
-
Tirosin standar
-
-
0,20
Akuades
-
-
-
TCA (0,1 M)
2,00
2,00
2,00
Akuades
0,2
-
-
-
0,2
0,2
Inkubasi pada suhu 700C selama 10 menit
Enzim dalam CaCl2 (2 mmol/l)
Didiamkan pada suhu 370C selama 10 menit, dan sentriguge 6000 rpm selama 10 menit Filtrat
1,5
1,5
1,5
Na2CO3
5,00
5,00
5,00
Pereaksi lain
1,00
1,00
1,00
Didiamkan selama 20 menit pada suhu 370C Diukur dengan spektrometer pada λ=578 nm
Pengaruh Inhibitor Tujuan dari karakterisasi ini adalah untuk mengetahui ion-ion divalen dan monovalen yang mengaktifkan dan menghambat aktifitas enzim, juga untuk mengetahui golongan enzim. Inhibitor yang digunakan adalah inhibitor protease phenil methanyl
32
methane sulfonyl fluoride (PMSF) 0,5 dan 1 mM, ethylene diamine tetraacetic (EDTA) 1 dan 10 mM, 1,10-phenanthroline 1 mM, pepstatin A 1 µg/ml, dan E-64 (10 µg/ml dan 50 µg/ml). Uji pengaruh inhibitor dilakukan dengan cara sebagai berikut: enzim, buffer Tris-HCl 10 mM, pH 8, dan inhibitor dipreinkubasi pada suhu kamar (25°C) selama 1 jam. Larutan tersebut diuji aktivitas enzimmya. Reaksi diawali dengan penambahan substrat musin. Aktivitas enzim tersebut dibandingkan dengan aktivitas enzim non inhibitor (Kong et al. 2000).
Uji Konsentrasi Protein Analisa diawali dengan pembuatan larutan Bradford dan larutan bovine serum albumin (BSA). Larutan Bradford dibuat dengan cara berikut: sebanyak 100 mg coomasie brilliant blue G-250 dilarutkan dalam 50 ml etanol 95%. Setelah itu 100 ml asam fosfat 85% (w/v) ditambahkan. Terakhir larutan diencerkan dengan akuadest sampai 1 liter. Larutan disaring menggunakan kertas saring dan diencerkan 4 kali. Larutan standar segar dibuat dengan menggunakan BSA. Sebanyak 100 mg BSA ditimbang dan ditambahkan 25 ml akuadest. Larutan dibiarkan larut perlahan-lahan (tidak dikocok), setelah larut diencerkan sampai 50 ml. Konsentrasi akhir larutan stock untuk standar ini 2 mg/ml. Setelah semua pereaksi siap, langkah selanjutnya adalah memipet masing-masing larutan dalam tiap tabung sebanyak 0,1 ml dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang bersih. Untuk metode makro assay, sebanyak 5 ml pereaksi Bradford ditambahkan kedalam masing-masing tabung reaksi, sedangkan untuk mikro assay pereaksi Bradford ditambahkan 1 ml. Blanko dibuat dengan cara mencampurkan 1,0 ml dan direaksikan 5 ml (makro assay) atau 1 ml (mikro assay) pereaksi Bradford. Setelah sekitar 5 menit, masing-masing campuran reaksi diukur absorbannya pada λ=595 nm. Standart, blanko, dan sampel masing-masing dimasukkan kedalam tabung kuvet untuk dilihat hasil absorbansinya dengan menggunakan spectrophotometer (Rukayadi dan Suhartono 1999). Tahap terakhir membuat kurva dengan absorbansi sebagai ordinat (sumbu Y) dan konsentrasi protein sebagai absis (sumbu X). Berdasarkan kurva tersebut dapat ditentukan konsentrasi protein sampel.
33
Penentuan Berat Molekul Protease Penentuan berat molekul enzim dilakukan dengan menggunakan sodium dodecyl polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE) mengikuti metode Laemmli (1970). Konsentrasi SDS yang digunakan dalam analisa ini adalah 10% (w/v). Metode dalam analisa ini terdiri atas 3 tahap, yaitu pembuatan gel, running sampel dan fiksasi. Tahap pertama, pembuatan gel dengan dua lempeng kaca yang merupakan cetakan gel dari alat elektroforesis yang dihimpitkan dan diantaranya diletakkan pemisah pada bagian tepi cetakan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan gel terdiri dari larutan akrilamid 30%, larutan stok amonium persulfat, buffer reservoir dan
buffer pemisah. Tahap
kedua, enzim protease yang dicampur dengan pelarut sampel dengan perbandingan 1:1. Campuran dipanaskan dengan air mendidih selama 5 menit, begitu pula dengan larutan marker (Sigma). Sampel selanjutnya dimasukkan dalam sumur dengan volume tertentu, kemudian elektroforesis dijalankan dengan arus sebesar 20 mA serta voltase 40 volt. Marker yang digunakan adalah phosphorilase b (97 kDa), albumin (66 kDa), ovalbumin (45 kDa), carbonic anhydrase (30 kDa) tripsin inhibitor (20,1 kDa) dan α-lactalbumin (14,4 kDa). Tahap ketiga, setelah elektroforesis berakhir gel direndam dalam larutan pewarna coomassie brilliant blue sambil diaduk perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan menaruh gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sambil diaduk perlahan hingga latar belakang gel tampak jernih. Visualisasi berat molekul protease dilakukan dengan SDS PAGE menggunakan arus listrik tegangan 40 volt dengan kuat arus 12 mA pada suhu kamar selama 2 jam. Pada elektroforesis ini disiapkan dengan poliakrilamid 12,5%, gel pengumpul 4%, buffer elektroda dan buffer sampel. Penanda molekul dan sampel masing-masing dimasukkan ke dalam sumur elektroforesis. Gel diwarnai dengan Comassie blue R 250 (Serva Germany) selama 30 menit dan dipucatkan dengan larutan pencuci sampai pita-pita protein tampak jelas (Laemmli 1970).
34
HASIL PENELITIAN
Aktivitas Enzim Hasil uji pengaruh temperatur terhadap aktivitas enzim protease crude yang diekskresi/sekresikan oleh stadium L3 A. galli disajikan pada Gambar 5. Temperatur yang digunakan adalah 27oC, 37oC, 40oC, 50oC, 60oC, 70oC dan 80oC. Aktivitas enzim terlihat pada temperatur 27oC dan terjadi peningkatan bertahap sampai pada temperatur 60oC. Aktivitas enzim sangat meningkat pada suhu 70oC, dan menurun pada suhu 80oC. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa temperatur optimum untuk aktivitas enzim pada crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli adalah 70oC.
Aktivitas enzim (U/ml)
0.012 0.01 0.008 0.006 0.004 0.002 0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
Temperatur (o C)
Gambar 5. Pengaruh temperatur terhadap aktivitas enzim crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli Aktivitas enzim diuji terhadap perubahan pH. Aktivitas enzim terlihat pada pH 6 dan sangat meningkat pada pH 7. Aktivitas enzim menurun pada masing-masing pH 8, pH 9 dan pH 10. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pH yang paling sesuai untuk aktivitas enzim crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli adalah pH 7, sehingga semua pengujian berikutnya dilakukan pada pH 7. Hasil uji pengaruh pH terhadap aktivitas enzim crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli disajikan pada Gambar 6.
Aktivitas protease (U/ml)
35
0.18 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
2
4
6
8
10
12
pH
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim
Sampel enzim untuk penentuan temperatur dan pH optimum aktivitas protease diperoleh dari hasil kromatografi kolom gel filtrasi matriks Sephadex G-100. Aktivitas protease terukur mulai dari temperatur 20oC sampai 80oC. Temperatur optimum protease ini adalah 70oC (Gambar 5), dan stabil selama 30 menit pada 50oC tetapi aktivitasnya menurun 20% pada inkubasi selama 10 menit dengan temperatur 55oC. Aktivitas protease dipertahankan pada antara pH 6,0 – 8,0. Protease aktif pada pH (6,0 – 10,0), dengan pH optimum 7,0 (Gambar 6).
Pengaruh Inhibitor/aktivator Senyawa PMSF merupakan inhibitor spesifik bagi protease serin secara sempurna menghambat aktivitas protease. Aktivitas enzim menurun sebesar 98,2% setelah penambahan inhibitor 0,5 mM PMSF dan aktivitasnya hilang 100% setelah penambahan 1 mM PMSF. Sebaliknya, penambahan inhibitor/aktivator jenis yang lain yaitu EDTA dan phenantrolin spesifik untuk protease metal, pepstatin A spesifik untuk protease asam dan E-64 spesifik untuk protease sistein, tidak menghambat aktivitas enzim protease crude ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka enzim crude ekskretori/sekretori digolongkan sebagai enzim protease serin. Persentase aktivitas protease terhadap inhibitor/aktivator disajikan dalam Tabel 4.
36
Tabel 4. Pengaruh inhibitor atau aktivator terhadap aktivitas protease Inhibitor/aktivator
Konsentrasi akhir
Aktivitas (%)
Kontrol Inhibitor serin: PMSF
100,0 0,5 mM
1,8
1 mM
0
1 mM
107,1
10 mM
96,7
1,10-phenanthroline
1 mM
91,4
Inhibitor aspartat: Pepstatin A
1 µg/ml
109,4
Inhibitor sistein: E-64
10 µg/ml
93,1
50 µg/ml
98,2
Inhibitor metal: EDTA
Visualisasi berat molekul melalui sodium dodecyl sulphate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS PAGE) pewarnaan gel dengan coomassie blue tidak menunjukkan pita-pita protein. Hasil pewarnaan gel dengan pewarnaan silver menunjukkan bahwa pada crude terdapat 5 pita protein dengan estimasi masing-masing 17, 25, 28, 45 dan 66 kDa. Hasil kromatografi anion exchage menunjukkan berat molekul masing-masing protein adalah 17, 28, 45 dan 60 kDa. Hasil kromatografi gel filtrasi menunjukkan satu pita protein dengan estimasi berat molekulnya adalah 28 kDa (Gambar 7).
A
kDa 97
M
1
2
3
B
66 45 30
28 kDa
20 14 Gambar 7. Visualisasi pita-pita protein. A = Hasil SDS PAGE. B= interpretasi dari gambar A. M= marker, 1= purifikasi filtrasi gel, 2= purifikasi anion exchange, dan 3 = crude
37
PEMBAHASAN Aktivitas protease pada penelitian ini terukur mulai dari temperatur 20oC sampai 80oC. Temperatur optimum protease ini adalah 70oC (Gambar 5), dan stabil selama 30 menit pada 50oC tetapi aktivitasnya menurun 20% pada inkubasi selama 10 menit dengan temperatur 55oC. Peranan temperatur pada reaksi enzimatik adalah untuk menjaga agar enzim dapat menjalankan aktivitas katalitik terbaiknya (Palmer 1991). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas protease dipertahankan pada pH antara 6,0 – 8,0. Protease aktif pada pH 6,0 – 10,0 dengan pH optimum 7,0 (Gambar 6). Nilai pH yang diperoleh dari hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Rhoads et al. (1997) pada L3 – L4 Ascaris suum aktivitas protease pada rentang pH 6,0 – 8,5, dengan pH optimum 7,0. Berdasarkan pH optimum dan sensitivitas inhibitor protease dengan menggunakan azocasein dan elastin-orcein sebagai substrat protein, Cock et al. (1993) mengkarakterisasi protease dari berbagai stadium cacing parasitik pada sapi, yaitu stadium L3, L4, dan stadium dewasa O. ostertagi. Aktivitas protease ekskretori/sekretori L4 O. ostertagi cenderung meningkat pada suasana basa, sedangkan ekstrak tubuh O. ostertagi cenderung meningkat pada suasana asam. Todorova (2000) melaporkan bahwa aktivitas serin, sistein, dan metalloprotease pada larva Trichinella spiralis dapat dikarakterisasi berdasarkan pH optimum pada kisaran 5 – 7. Inhibitor yang digunakan pada penelitian ini adalah inhibitor protease PMSF 0,5 dan 1 mM, EDTA 1 dan 10 mM, 1,10-phenanthroline 1 mM, pepstatin A 1 µg/ml, dan E-64 (10 µg/ml dan 50 µg/ml). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan PMSF menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang sangat besar. Seperti yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa aktivitas proteolitik sangat dihambat oleh PMSF. Semakin tinggi kadar PMSF semakin besar pula daya hambatnya. Penambahan PMSF 0,5 mM menyebabkan aktivitas yang tersisa tinggal 1,8%, sedangkan pada penambahan PMSF 1 mM tidak ada aktivitas enzim yang tersisa (0%). Penghambatan aktivitas enzim oleh PMSF menunjukkan bahwa enzim yang diekskresi/sekresikan oleh stadium L3 A. galli diklasifikasikan ke dalam jenis protease serin (Kong et al. 2000 dan Ford et al. 2005).
38
Penambahan inhibitor EDTA 1 dan 10 mM, 1,10-phenanthroline 1 mM, pepstatin A 1 µg/ml, dan E-64 (10 µg/ml dan 50 µg/ml) tidak terlalu berpengaruh terhadap aktivitas proteolitik (Tabel 3). EDTA dan 1,10- phenanthroline adalah inhibitor spesifik terhadap enzim metalloprotease, sedangkan pepstatin A adalah inhibitor spesifik untuk enzim aspartil protease sehingga inhibitor tersebut tidak mampu menghambat aktivitas enzim proteolitik jenis serin (Cock et al. 1993). Suhartono (1989) menyatakan bahwa senyawa inhibitor adalah senyawa yang dapat mengubah kemampuan enzim dalam mengikat substrat sehingga menyebabkan perubahan daya katalisator enzim. Perubahan ini disebabkan oleh struktur enzim yang mengalami perubahan fisik kimiawi sedemikian rupa sehingga aktivitas hayatinya menjadi berubah. Menurut Palmer (1991) protease serin memiliki sisi katalitik yang terdiri dari asam amino serin, histidin, dan aspartat. Inhibitor PMSF akan bereaksi dengan gugus –OH dari serin yang menyebabkan terjadinya efek penghambatan yang irreversible. Adanya penghambatan aktivitas enzim oleh PMSF menunjukkan bahwa enzim proteolitik ini termasuk dalam kelompok protease serin. Pada penelitian ini, berat molekul protien divisualisasikan dengan elektroforesis. SDS PAGE merupakan teknik elektroforesis yang paling banyak digunakan untuk analisis campuran protein. Pada mekanisme SDS PAGE, protein bereaksi dengan SDS yang merupakan deterjen anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein akan terdenaturasi dan terlarut membentuk kompleks berikatan dengan SDS, berbentuk elips atau batang, dan berukuran sebanding dengan berat molekul protein. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini terpisahkan berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel poliakrilamid. Berat molekul protein dapat diukur dengan menggunakan protein standar yang telah diketahui berat molekulnya. Hasil pengukuran berat molekul protease serin yang diperoleh melalui visualisasi SDS PAGE pada penelitian ini adalah 28 kDa (Gambar 7). Peneliti terdahulu menyatakan bahwa berat molekul protease yang dilepaskan cacing nematoda berbeda-beda tergantung pada jenis dan stadium kehidupannya. Berat molekul aminopeptidase adalah 293 kDa (Rhoads et al. 1997), hyaluronidase adalah 47,8 dan 55,0 kDa dilepaskan L3 – L4 A. suum (Rhoads et al. 2001). Hadas dan
39
Stankiewicz (1997) melaporkan bahwa aktivitas protease pada L3 Haemonchus contortus dan Trichostrongylus colubriformis dengan berat molekul 32,6 – 53 kDa, dan dua pita protein dalam batasan 53 – 84 kDa. Beberapa enzim yang bercirikan protease berukuran 25 – 55 kDa diidentifikasi oleh Todorova (2000) pada larva T. spiralis. Enzim proteolitik (protease) sudah banyak dikarakterisasi pada berbagai jenis dan spesifisitas stadium cacing. Secara in vitro, cacing nematoda yang melepaskan protease diantaranya adalah Ostertagia ostertagi pada sapi (Cock et al. 1993), Strongyloides spp., Ancylostoma spp., Onchocerca spp., Toxocara canis pada anjing dan Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 1997). Nematoda penting pada ruminansia, seperti O. circumcincta, Haemonchus contortus, dan Trichostrongylus spp.
juga
mensekresikan protease secara in vitro. Berdasarkan pengetahuan reaksi katalis dan hidrolisa substrat, protease diketahui terlibat dalam nutrisi parasit, metabolisme, penetrasi barrier jaringan inang, dan pengaturan respons imun inang terhadap parasit. Karakterisasi protease serin inhibitor dari nematoda parasitik pada manusia, stadium L3 O. volvulus, dibuktikan oleh Ford et al. (2005) bahwa protease serin inhibitor tersebut berperan multifungsi di dalam perlindungan parasit terhadap protease intestinal inang
definitif
dan
pengembangan
parasit, termasuk
molting,
establishment,
embriogenesis, dan reproduksi. Protease serin inhibitor dari O. volvulus bersifat imunogenik, diketahui terlibat di dalam pengaturan respons imun, dan dianggap sebagai salah satu kandidat vaksin terhadap O. volvulus. Pada Paragonimus westermani paling tidak terdapat 6 jenis protease sistein dengan ukuran 53, 34, 28, 27, 17, dan 15 kDa yang telah dikarakterisasi dari telur, metacercariae, cacing muda, dan dewasa. Molekul 28 dan 27 kDa dilepaskan oleh metacercariae yang memiliki ciri biokimia yang sama seperti cathepsin L pada F. hepatica. Enzim tersebut diyakini berperan penting dalam proses excystment metacercaria, migrasi ke jaringan, dan pengaturan dari mekanisme respons imunitas inang. Yun et al. (2000) berhasil mengkarakterisasi protease sistein dengan berat molekul 28 kDa dari P.
westermani. Ekspresi molekul 28 kDa secara spesifik
diobservasi pada cacing muda dan dewasa yang berlokasi di dalam epitel intestinal yang mengindikasikan molekul tersebut terlibat pada proses nutrisi dan modulasi imun.
40
Menurut Berasain et al. (1997) pelepasan protease serin oleh cacing trematoda Fasciola hepatica ditujukan untuk mendegradasi matriks ekstraselular dan komponen membran dasar agar parasit berhasil menginvasi ke jaringan. Pelepasan protease serin oleh L3 A. galli mungkin berkaitan dengan proses invasi larva ke jaringan untuk menjalani fase histotrofik, dimana stadium L3 A. galli melangsungkan fase histotrofik harus menembus pertahanan selaput lendir untuk establish pada jaringan mukosa saluran cerna inang definitif. Durasi fase histotrofik yang dibutuhkan larva A. galli adalah 3 – 54 hari pascainfeksi (Permin dan Hansen 1998).
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan: 1. Ekskretori/sekretori yang dilepaskan L3 A. galli mengandung enzim proteolitik dengan pH dan temperatur optimum pada 7 dan 70oC. 2. Aktivitas enzim dihambat oleh PMSF 0,5 mM sehingga digolongkan sebagai protease serin. 3. Protease serin yang dilepaskan melalui ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli mempunyai berat molekul 28 kDa.
Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk mengetahui kemungkinan protease serin yang dilepaskan oleh L3 A. galli sebagai pemicu respons pertahanan mukosa usus halus ayam petelur.