AKTIVITAS ANTHELMINTIK EKSTRAK DAUN JARAK PAGAR (Jatropa curcas L.) TERHADAP CACING PITA DAN Ascaridia galli
SKRIPSI SRI WIDIATI HANIFAH
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
i
RINGKASAN Sri Widiati Hanifah D24062267. 2010. Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) terhadap Cacing Pita dan Ascaridia galli. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. : Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si.
Industri perunggasan di Indonesia merupakan penyumbang terbesar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani asal ternak. Salah satu kendala yang dihadapi oleh peternak unggas yaitu adanya berbagai macam penyakit yang sering menyerang ternak termasuk penyakit cacingan. Kejadian infeksi cacing pada ayam dapat ditekan dengan melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan dengan pemberian anthelmintik. Jenis anthelmintik yang berasal dari obat sintetis dapat menimbulkan beberapa efek samping yang merugikan seperti timbulnya parasit cacing yang resisten dan residu anthelmintik pada produk asal hewan. Tanaman herbal yang berpotensi digunakan sebagai anthelmintik diantaranya tanaman jarak pagar terutama pada bagian daun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa fitokimia, konsentrasi total tanin dan saponin serta aktivitas anthelmintik ekstrak daun jarak pagar (EDJ) terhadap cacing pita dan Ascaridia galli secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Januari 2010 di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Pusat Antar Universitas (PAU) dan Laboratorium Helmintologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu pengujian ekstrak daun jarak pagar sebagai anthelmintik terhadap A. galli (percobaan 1) dan pengujian ekstrak daun jarak pagar sebagai anthelmintik pada cacing pita (percobaan 2). Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan 11 perlakuan dan 3 ulangan, setiap ulangan menggunakan 5 ekor cacing pita dan 10 ekor cacing A. galli. Perlakuan pada penelitian ini terdiri dari R1 (Kontrol), R2 (EDJ 2%), R3 (EDJ 4%), R4 (EDJ 6%), R5 (EDJ 8%), R6 (EDJ 10%), R7 (Albendazole 2%), R8 (Albendazole 4%), R9 (Albendazole 6%), R10 (Albendazole 8%), dan R11 (Albendazole 10%). Data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), apabila berbeda nyata dilakukan uji Duncan dan uji Regresi berganda. Peubah yang diamati adalah kandungan fitokimia ekstrak, waktu dan jumlah kematian cacing A. galli dan cacing pita, konsentrasi tanin dan saponin ekstrak daun jarak pagar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun jarak pagar kaya akan saponin dan tanin, sedangkan senyawa metabolit sekunder lainnya seperti alkaloid, fenol, flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid dalam kadar yang lebih rendah. Rendemen yang diperoleh dari proses ekstraksi daun jarak pagar dengan pelarut air yaitu sebesar 4,04 %. Ekstrak daun jarak pagar memiliki aktivitas anthelmintik terhadap cacing pita dan cacing A. galli. Aktivitas anthelmintik ditunjukkan dengan menurunnya waktu kematian dan meningkatnya jumlah kematian cacing. Ekstrak daun jarak pagar dapat mempercepat waktu kematian cacing pita dan cacing A. galli. Cacing pita dan cacing A. galli yang diberi perlakuan EDJ memiliki persentase jumlah kematian yang lebih tinggi dan waktu kematian ii
yang lebih cepat dibanding kontrol. Hasil uji lanjut menunjukkan penggunaan ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi tinggi (8 dan 10% ) dapat menggantikan pemberian Albendazole pada cacing pita dan cacing A. galli. Kata-kata kunci : Jatropa curcas L, anthelmintik, cacing pita, Ascaridia galli, ayam kampung
iii
ABSTRACT The Anthelmintic Activity of Jatropa curcas Leaves Extract Againts Tape Worm and Ascaridia galli S. W. Hanifah, Sumiati and Y. Ridwan Jatropa curcas leaf contained some active substances such as flavonoid, saponin, steroid, phenol hidroquinon, triterpenoid and alkaloid which have a potential role as natural anthelmintics to replace synthetic anthelmintic for poultry. This experiment was conducted to study the anthelmintic activity of J. curcas leaf extract (JCE) compared to Albendazole (Abz) againts tape worm and Ascaridia galli live in intestine of Kampung chickens. The number of 10 A. galli and 5 tape worms were incubated in different concentration of J. curcas extract and Albendazole. This experiment consisted of 11 treatments : control (0% JCE and 0% Abz), 2% JCE, 4% JCE, 6% JCE, 8% JCE, 10% JCE, 2% Abz, 4% Abz, 6% Abz, 8% Abz and 10% Abz. The experiment was conducted in three replications. The parameters observed were mortality of tape worm and A.galli. The phytochemical substances and concentration of tannin and saponin were analyzed to identify the active substance of J. curcas extract. A Completely Randomized Design was used in this experiment. The data obtained were analyzed using analysis of variance (ANOVA), while differences between treatments were analyzed using Duncan Multiple Range test. The results indicated that the extract of J.curcas leaves had anthelmintic activity against tape worms and A. galli. The highest phytochemical substances of J. curcas leaf extract were saponin and tannin. The hight concentration (8 % and 10 %) of extract J. curcas leaf had similar anthelmintic activity with Albendazole on A. galli and tape worm. Keywords : Jatropa curcas, anthelmintic, tape worm, Ascaridia galli, Kampung chicken
iv
AKTIVITAS ANTHELMINTIK EKSTRAK DAUN JARAK PAGAR (Jatropa curcas L. )TERHADAP CACING PITA DAN Ascaridia galli
SRI WIDIATI HANIFAH D24062267
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
v
Judul
: Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) terhadap Cacing Pita dan Ascaridia galli
Nama
: Sri Widiati Hanifah
NIM
: D24062267
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Sumiati, M.Sc) NIP. 19611017 198603 2 001
(Dr. drh. Yusuf ridwan, M.Si) NIP. 19671018 199302 1 002
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan,
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 9 Agustus 2010
Tanggal Lulus : vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Juli 1988 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak M. Yamin dan Ibu Elly Cahyati. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1992 di Taman Kanak-kanak AlGhazaly Bogor dan dilanjutkan dengan pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Al-Ghazaly Bogor sampai tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Bogor dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2009-2010 sebagai staf biro Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM). Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan dalam acara D’ Farm Festival (DFF) 2008 dan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) 2009.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat yang tidak terhitung, kasih sayang dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) terhadap
Cacing Pita dan Ascaridia galli”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Januari 2010.
Penggunaan obat sintetis sebagai anthelmintik dapat menimbulkan beberapa efek samping yang merugikan seperti timbulnya parasit cacing yang resisten terhadap anthelmintik dan residu anthelmintik pada produk peternakan. Obat herbal merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan penyakit cacingan. Salah satu tanaman herbal yang potensial sebagai anthelmintik adalah tanaman jarak pagar terutama pada bagian daun. Penggunaan daun jarak pagar dalam bentuk tepung sebagai anthelmintik dalam ransum dibatasi oleh beberapa kendala diantaranya serat kasar yang tinggi sehingga perlu dicari bentuk pemberian yang tepat diantaranya dalam bentuk ekstrak. Taraf penggunaan ekstrak daun jarak pagar sebagai obat cacing perlu diketahui lebih lanjut terkait dengan kandungan tanin dan saponin yang bersifat sebagai antinutrisi dalam tubuh ternak. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kandungan senyawa fitokimia, konsentrasi total tanin dan saponin serta aktivitas anthelmintik ekstrak daun jarak pagar terhadap cacing pita dan A. galli secara in vitro. Skripsi ini memuat informasi tentang kandungan fitokimia ekstrak daun jarak pagar secara kualitatif, konsentrasi senyawa tanin dan saponin dalam ekstrak daun jarak pagar secara kuantitatif, dan pengaruh penambahan ekstrak daun jarak pagar terhadap waktu kematian cacing pita dan Ascaridia galli. Penulis mengharapkan masukanmasukan yang bersifat membangun yang dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi penyusunan skripsi ini di masa yang akan datang dengan mengembangkan konsep yang lebih lengkap. Demikian pengantar ini penulis sampaikan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Agustus 2010 Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN …….. .......................................................................................
ii
ABSTRACT ....................................................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
v
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ..................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Cacing Pita .......................................................................................... Klasifikasi dan Morfologi ....................................................... Siklus Hidup Cacing Pita ........................................................ Pengaruh Infeksi Cacing Pita .................................................. Ascaridia galli ..................................................................................... Klasifikasi dan morfologi ....................................................... Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli ...................................... Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia galli ................................ Anthelmintik ....................................................................................... Albendazole ........................................................................................ Potensi Daun Jarak Pagar sebagai Anthelmintik ................................ Ekstraksi .............................................................................................. Fitokimia ............................................................................................. Alkaloid .................................................................................. Fenol ....................................................................................... Flavonoid ................................................................................ Tanin ....................................................................................... Saponin ................................................................................... Triterpenoid ............................................................................ Steroid .....................................................................................
3 3 4 5 6 6 7 8 9 9 10 12 13 14 15 15 17 18 19 20
MATERI DAN METODE ...............................................................................
22
Lokasi dan Waktu ............................................................................... Materi ..................................................................................................
22 22
ix
Metode ................................................................................................ Pembuatan Ekstrak ................................................................. Pengujian Fitokimia ................................................................ Pengujian Konsentrasi Tanin dan Saponin Ekstrak Daun Jarak Pagar secara Kuantitatif ................................................. Analisis Tanin .. ........................................................... Analisis Saponin ......................................................... Pengujian Ekstrak secara in vitro ............................................ Rancangan Percobaan ......................................................................... Perlakuan ................................................................................. Model Matematika .................................................................. Peubah ..................................................................................... Analisis Data ...........................................................................
22 22 23 24 24 25 26 26 26 27 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
29
Pengujian Fitokimia ............................................................................ Pengaruh Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Pita secara in vitro .................................................. Pengaruh Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli secara in vitro ................................ Potensi Tanin dan Saponin dalam Ekstrak Daun Jarak Pagar sebagai Anthelmintik ....................................................................................... Hubungan Linear Konsentrasi Tanin dan Saponin terhadap Waktu Kematian Cacing Pita dan Ascaridia galli .......................................... Potensi Senyawa Bioaktif dalam Ekstrak Daun Jarak Pagar .............. Flavonoid ................................................................................ Fenol ....................................................................................... Alkaloid .................................................................................. Triterpenoid ............................................................................
29
35 39 39 40 40 41
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
42
Kesimpulan ......................................................................................... Saran ...................................................................................................
42 42
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
44
LAMPIRAN ....................................................................................................
50
30 32 34
x
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Kandungan Fitokimia Ekstrak Daun Jarak Pagar …….. .............................
29
2. Rataan Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Pita .....................................
31
3. Rataan Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli ...................
33
4. Konsentrasi Tanin dan Saponin dalam setiap Level Ekstrak Daun Jarak Pagar ...........................................................................................................
34
xi
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Morfologi Cacing Pita …….. ...................................................................
3
2.
Siklus Hidup Cacing Pita .........................................................................
5
3.
Morfologi Cacing Ascaridia galli ............................................................
6
4.
Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli .......................................................
7
5.
Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) …….. ...........................................
11
6.
Struktur Kimia Alkaloid ..........................................................................
14
7.
Struktur Dasar Fenol ................................................................................
15
8.
Struktur Kimia Flavonoid ........................................................................
16
9.
Struktur Kimia Tanin …….. .....................................................................
18
10. Struktur Kimia Saponin ...........................................................................
19
11. Struktur Kimia Triterpenoid ....................................................................
19
12. Struktur Kimia Steroid .............................................................................
20
13. Alur Proses Ekstraksi Daun Jarak Pagar .................................................
22
14. Alur Pengujian Ekstrak Daun Jarak Pagar secara in vitro ........................
26
15. Grafik Regresi Linear Konsentrasi Tanin dan Saponin terhadap Waktu Kematian Cacing Pita …….. ....................................................................
35
16. Grafik Regresi Linear Konsentrasi Tanin dan Saponin terhadap Waktu Kematian Ascaridia galli .........................................................................
36
xii
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1.
Analisis Ragam Rataan Waktu Kematian Cacing Pita …….. ..................
51
2.
Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu Kematian Cacing Pita ...................................................................
51
3.
Analisis Ragam Rataan Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli ..........
52
4.
Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli .................................................
52
5.
Analisis Ragam Jumlah Kematian Cacing Pita …….. .............................
53
6.
Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Jumlah Kematian Cacing Pita ..................................................................
53
7.
Analisis Ragam Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli ......................
54
8.
Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli ................................................
54
Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Tanin dan Saponin dalam Ekstrak Daun Jarak terhadap Waktu Kematian Cacing Pita …….. .........
55
10. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Tanin dan Saponin dalam Ekstrak Daun Jarak terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli ..
56
11. Data Populasi Ternak di Indonesia Tahun 2000-2009 ............................
57
12. Data Populasi Ternak di Jawa Barat Tahun 2000-2009 ..........................
58
13. Data Produkis Daging di Indonesia Tahun 2000-2009 ............................
59
9.
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Industri perunggasan di Indonesia merupakan penyumbang terbesar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani asal ternak. Produksi daging ayam memenuhi 62% dari kebutuhan daging nasional dan sebanyak 16% dari kebutuhan tersebut terpenuhi dari ayam buras (Deptan, 2005). Populasi ayam buras di Indonesia mencapai 278, 95 juta ekor pada tahun 2005 dan meningkat hingga 291, 08 juta ekor (2006); 272, 25 juta ekor (2007); 243, 42 juta ekor (2008) dan 261, 42 juta ekor pada tahun 2009 (Deptan, 2010). Ayam buras mempunyai prospek bisnis yang menjanjikan, baik secara ekonomi maupun sosial karena merupakan bahan pangan berprotein tinggi dengan permintaan pasar yang cukup kuat. Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam buras masing-masing mencapai 40% dan 30% (Suryana dan Hasbianto, 2008). Salah satu kendala yang dihadapi oleh peternak unggas yaitu adanya berbagai macam penyakit yang sering menyerang ternak termasuk penyakit cacingan (Darmawi, 2008). Beberapa daerah di Indonesia melaporkan kejadian infeksi cacing pada ayam buras mencapai 80-100%. Menurut He et al. (1991) 94% ayam buras pada wilayah Kabupaten Bogor terinfeksi cacing pita. Penyakit cacing terkadang masih kurang diperhatikan karena infeksi cacing pada ayam umumnya berjalan kronis tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis, padahal infeksi cacing pada ayam dapat menimbulkan gangguan absorpsi makanan, pendarahan, kerusakan mukosa usus (Payanti, 2008), dan penurunan performa (Sumarni, 2008). Kerugian akibat infeksi cacing pita di Kabupaten Bogor menyebabkan penurunan berat karkas 13,84% atau rata-rata 173 gram/ekor. Penurunan karkas ayam buras di Jawa Barat akibat infeksi cacing mencapai 2240-3148 ribu ton atau senilai US $ 2,49-3,48 juta per tahun (He et al., 1991). Infeksi cacing ringan dapat menghambat pertumbuhan hingga 38% dan pada infeksi berat dapat menimbulkan kematian (Tabbu, 2003). Kejadian infeksi cacing pada ayam dapat ditekan dengan melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan seperti perbaikan manejemen kandang serta pemberian anthelmintik. Jenis anthelmintik yang biasa digunakan berasal dari obat sintetis yang dapat menimbulkan beberapa efek samping yang merugikan seperti timbulnya parasit cacing yang resisten terhadap anthelmintik dan residu pada produk asal ternak 1
(Darmawi, 2008). Kasus resistensi cacing yang pernah dilaporkan terjadi antara lain Oesophagostonum spp. yang menginfeksi babi, resisten terhadap Pyrantel dan Levamisol atau kasus Cyathostomes pada kuda resisten terhadap Benzimidazol. Kasus resistensi tersebut kemungkinan besar karena penggunaan obat cacing yang terlalu sering dalam satu tahun (5-12 kali) (Dargatz et al., 2000). Meskipun kasus resistensi cacing pada ayam di Indonesia belum ada, tetapi pencegahan harus tetap dilakukan agar resistensi tersebut tidak terjadi. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu perbaikan tata laksana pemeliharaan, pemeriksaan feses secara berkala sebagai acuan perlu tidaknya ayam diberikan obat cacing, pemberian obat cacing sesuai dengan dosis yang direkomendasikan, rotasi atau penggantian jenis obat cacing yang digunakan, atau dengan menggunakan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing. Salah satu tanaman herbal yang potensial sebagai anthelmintik adalah tanaman jarak pagar terutama pada bagian daun. Tanaman jarak pagar menyebar hampir di seluruh bagian dunia beriklim tropis dan dapat tumbuh di wilayah yang kurang subur serta kering sehingga dapat berperan dalam penghijauan lahan kritis. Biji tanaman ini dapat diolah menjadi minyak jarak sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi, sedangkan daunnya biasa dimanfaatkan secara tradisional untuk tujuan pengobatan (Effendi et al., 2009). Daun jarak pagar yang diekstrak dengan air dan metanol mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid, saponin, tanin, fenolik dan flavonoid yang dapat dijadikan sebagai anthelmintik (Fitriana, 2008). Penggunaan daun jarak pagar dalam bentuk tepung sebagai anthelmintik dibatasi oleh beberapa kendala diantaranya serat kasar yang tinggi sehingga perlu dicari bentuk pemberian yang tepat diantaranya dalam bentuk ekstrak. Taraf penggunaan ekstrak daun jarak pagar sebagai obat cacing perlu diketahui lebih lanjut terkait dengan kandungan tanin dan saponin yang bersifat sebagai antinutrisi dalam tubuh ternak. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa fitokimia, konsentrasi total tanin dan saponin serta aktivitas anthelmintik pada ekstrak daun jarak pagar terhadap cacing pita dan Ascaridia galli secara in vitro.
2
TINJAUAN PUSTAKA Cacing Pita Klasifikasi dan Morfologi Cacing pita (Cestoda) merupakan parasit dalam saluran pencernaan (Soulsby, 1982). Menurut Kusumamihardja (1992) Cestoda dibagi ke dalam 2 kelas yaitu kelas Cotyloda dan Eucestoda. Beberapa jenis Cestoda yang menginfeksi saluran pencernaan unggas seluruhnya berasal dari kelas Eucestoda yaitu Raillietina echinobothrida, Raillietina tetragona, Raillietina volzi, Raillietina cesticillus, Cotugnia
dignophora,
Davainea
proglotina,
Hymenolepis
cantaniana
dan
Hymenolepis carioca (Jordan, 1990). Morfologi cacing pita dapat dilihat pada Gambar 1. Leher Batil isap
Skoleks
Proglotid
Strobila Rosetellum Kait-kait rosetellum
Gambar 1. Morfologi Cacing Pita Sumber : Sugiarto (2009)
Cacing pita adalah cacing pipih dorsoventral yang berbentuk pita memanjang dan memiliki segmen-segmen tanpa rongga badan dan saluran pencernaan serta bersifat hermafrodit. Bagian-bagian tubuh cacing pita terdiri dari skoleks, leher, dan strobila. Skoleks dilengkapi dengan 4 batil isap dan rostellum yang dilengkapi kaitkait untuk menempel pada mukosa usus inangnya. Bagian leher adalah bagian yang paling aktif dalam pembentukan segmen baru. Strobila adalah bagian tubuh cacing pita yang paling besar dan terdiri dari proglotid muda, proglotid dewasa dan proglotid gravid (Kusumamihardja, 1992). Proglotid muda ditandai dengan perkembangan awal organ reproduksi. Organ reproduksi yang telah berkembang 3
sempurna terdapat pada proglotid dewasa. Proglotid gravid mengandung banyak telur, sedangkan organ reproduksi mengalami degenerasi. Segmen gravid akan mengalami proses destrobilasi dan keluar bersama tinja inang definitif. Tinja inang inilah yang menjadi sumber infeksi yang sangat potensial untuk inang antara (Retnani dan Hadi, 2007). Badan cacing pita tertutup oleh jaringan seperti kutikula yang disebut tegumen (Smyth dan McManus, 1989). Sebagian besar tegumen terdiri dari protein dan polisakarida seperti glikoprotein, mitokondria, vakuola dan membran (Noble dan Noble, 1989). Membran parasit dilapisi oleh glikokaliks yang merupakan komponen membran plasma yang mengandung makro molekul gula. Alat penyerapan utama pada cacing pita adalah tegumen dimana terdapat sel yang melangsungkan kegiatan fisiologis. Zat-zat masuk melalui tegumen dengan cara fusi dan transpor aktif. Keseimbangan garam dan air pada cestoda dipertahankan oleh tegumen dan alat sekresi khusus yang disebut flame cell atau flame bulbs. Serat-serat otot memanjang terdapat pada bagian bawah badan tegumen, sedangkan pada bagian medula terdapat alat sekresi, syaraf dan alat reproduksi (Noble dan Noble, 1989). Siklus Hidup Cacing Pita Cacing pita pada ayam memerlukan serangga sebagai inang antara dalam siklus hidupnya (Soulsby, 1982). Keberadaan dan volume tinja ayam yang terinfeksi merupakan tempat kontak potensial bagi inang antara, sedangkan kondisi lingkungan dan manajemen peternakan merupakan faktor pendukung keberhasilan transmisinya. Habitat cacing ini umumnya berada pada usus halus bagian ileum, tetapi dapat pula ditemukan di dalam jejunum dan duodenum bahkan kadang-kadang berada di dalam kolon (Inbadiyah, 1996). Segmen gravid yang mengandung telur dikeluarkan bersama tinja dari tubuh ayam yang terinfeksi cacing pita ke lingkungan bebas. Inang antara yang cocok akan memakan segmen gravid. Telur cacing akan menetas dalam saluran pencernaan inang antara kemudian membebaskan embrio (onkosfer). Onkosfer akan melakukan penetrasi ke dalam dinding usus dan masuk ke dalam rongga tubuh inang. Onkosfer akan berkembang menjadi sistiserkoid yang berukuran kecil dan berwarna putih seperti gelembung dalam waktu 3 minggu (Kusumamihardja, 1992). Sistiserkoid merupakan stadium infektif yang akan tetap
4
tinggal di dalam tubuh inang antara sampai inang antara tersebut dimakan oleh inang definitif. Siklus hidup cacing pita dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Hidup Cacing Pita Sumber : Charles (2002)
Ayam akan terinfeksi cacing pita setelah memakan inang antara yang mengandung sistiserkoid. Sistiserkoid akan mengalami ekskistasi dan evaginasi protoskoleks dan mencari tempat yang cocok sebelum menempelkan bagian skoleksnya pada mukosa usus inang. Proses pertumbuhan segmen-segmen baru (proglotidisasi) dimulai setelah penempelan dan cacing pita tumbuh dalam usus ayam (Retnani dan Hadi, 2007). Pengaruh Infeksi Cacing Pita Gejala klinis akibat infeksi cacing pita dapat terlihat pada ayam muda yang menderita infeksi berat (Suwarti, 1990). Ayam muda lebih peka terhadap infeksi cacing pita dibandingkan ayam dewasa. Infeksi cacing pita pada usus mengakibatkan adanya enteritis, baik akut maupun kronis tergantung dari derajat infeksinya. Peradangan pada bagian serosa disebabkan tertanamnya skoleks cacing pada mukosa usus. Raillietina merupakan jenis cacing pita yang dominan menginfeksi ternak ayam (Retnani dan Hadi, 2007). Tingkat patogenesis cacing Raillitiena berada di bawah Davainea proglottina yang menyerang dengan menancapkan diri pada 5
mukosa duodenum sehingga menyebabkan enteritis yang disertai pendarahan pada infeksi berat. Tingginya populasi cacing Raillitiena pada usus menyebabkan terjadinya penebalan mukosa usus akibat adanya lendir yang tebal (Kusumamihardja, 1992). Raillitiena menyebabkan terbentuknya nodul-nodul pada sekitar dinding usus yang membuat gerak peristaltik usus terganggu. Ascaridia galli Klasifikasi dan Morfologi Ascaridia galli merupakan cacing terbesar kelas Nematoda pada unggas. Menurut Levine (1990), klasifikasi cacing A. galli adalah sebagai berikut kingdom Animalia, filum Nemathelmintes, kelas Nematoda, subkelas Phasmidia, Ordo Ascaridida, famili Ascarididae, genus Ascaridia, spesies A. galli. Beberapa contoh Ascaridia dengan spesies lain yaitu Ascaridia dissmilis (kalkun), Ascaridia compar (Galinaseosa), Ascaridia numidae (Ayam Mutiara), Ascaridia bonasae (belibis), Ascaridia columbae (merpati). Morfologi A. galli disajikan pada Gambar 3. Bibir 3 Bibir 1
Bibir 2
Alat penghisap ventral Telur
Gambar 3. Morfologi Cacing Ascaridia galli Sumber : Pusat Kesehatan Hewan (2008)
Cacing A. galli memiliki bentuk tubuh semitransparan dan berwarna putih kekuningan. Bagian tubuh anterior dilengkapi dengan sebuah mulut dengan tiga bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua bibir lainnya pada bagian ventral (Gambar 3). Sayap lateral yang sempit dan membentang sepanjang tubuh terdapat 6
pada kedua sisi (Kusumamihardja, 1992). Esofagus A. galli berbentuk seperti alat pemukul, tetapi tidak mempunyai bulbus posterior. Cacing jantan memiliki alat penghisap preanal dengan tepian kutikuler. Spikulum pada cacing jantan dan betina hampir sama besar serta tidak memiliki gubernakulum, sedangkan vulva berada di dekat pertengahan tubuh (Levine, 1990). Cacing A. galli memiliki panjang 30-80 mm dan berdiameter 0,5-1,2 mm. Penghisap preanal berdiameter sekitar 220 µm dan memiliki papila-papila pada tepi tubuh posteriornya. Cacing betina umumnya lebih besar dari cacing jantan yaitu sekitar 60-120 mm dengan diameter 0,9-1,8 mm. Telur cacing A. galli berbentuk elips dan kulitnya agak tebal dengan diameter 75-80 x 4550 µm (Levine, 1990). Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli Cacing A. galli merupakan jenis Nematoda yang memiliki siklus hidup langsung tanpa inang perantara. Telur cacing keluar dari tubuh inang bersamaan dengan tinja. Pertumbuhan embrio di dalam telur hingga mencapai stadium infektif memerlukan waktu 10-12 hari pada temperatur 30-330C dan kelembaban relatif 80%. Telur yang mengandung larva infektif (L1) dapat bertahan selama 2-3 bulan di tempat yang terlindung karena larva infektif akan mati kekeringan akibat sinar matahari langsung (Kusumamihardja, 1992). Siklus hidup A. galli dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli Sumber : Janssen Animal Health (2007)
7
Telur infektif yang tertelan oleh inang akan menuju proventikulus atau usus halus untuk menetas. Larva (L2) keluar dari telur dan hidup selama 8 hari di lumen usus halus bagian posterior. Larva (L2) berkembang dalam mukosa usus yang disebut fase jaringan dengan membenamkan diri pada lapisan mukosa. Larva mengalami molting menjadi larva (L3) pada hari ke-7 atau ke-8. Larva (L3) akan mengalami molting menjadi larva (L4) pada hari ke-14 atau ke-15. Larva bermigrasi ke mukosa usus antara hari ke-8 dan ke-17. Larva (L4) kembali ke lumen duodenum usus dan berkembang menjadi cacing dewasa selama 6-8 minggu setelah infeksi (Soulsby, 1986). Seluruh perkembangan cacing sejak telur infektif hingga dewasa membutuhkan waktu ± 50 hari. Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia galli Kerusakan terbesar akibat infeksi Asacridia galli terjadi pada fase jaringan atau tahap migrasi larva dari lumen ke mukosa usus halus. Adanya infeksi ditandai dengan munculnya peradangan kronis disertai enteritis dan hemoragi pada infeksi berat. Peradangan terjadi akibat cacing muda A. galli dalam jumlah banyak menancapkan diri pada mukosa saluran pencernaan ayam. Peradangan pada saluran pencernaan mengakibatkan ayam tidak mampu mencerna dan memanfaatkan makanan dengan baik, sehingga pertumbuhan terganggu (Soulsby, 1986). Kerusakan pada mukosa duodenum terjadi pada infeksi berat dan dapat menyebabkan penyumbatan usus oleh cacing dewasa A. galli. Cacing A. galli menyerap glukosa dan alanin inang sehingga dapat menyebabkan anemia, penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, obstruksi usus, ganggguan pertumbuhan dan peningkatan mortalitas (Kusumamihardja, 1992). Umur dan ras ayam mempengaruhi kekebalan dan kepekaan terhadap infeksi A. galli. Ayam lokal biasanya lebih resisten dibandingkan ayam ras, sedangkan ayam muda yang berumur dibawah 3 bulan umumnya lebih peka daripada ayam dewasa (Soulsby, 1982). Infeksi A. galli pada ayam periode starter menyebabkan terjadinya degenerasi pada sel-sel epitel vili usus halus (Soulsby, 1986). Selain umur dan ras, pakan juga mempengaruhi kerentanan ayam terhadap infeksi A. galli. Kerentanan akan meningkat jika kandungan protein pakan rendah dan kurangnya vitamin A, B, B12 serta mineral (Kusumamihardja, 1992).
8
Anthelmintik Anthelmintik merupakan senyawa yang berfungsi membasmi cacing sehingga dikeluarkan dari saluran pencernaan, jaringan atau organ tempat cacing berada dalam tubuh hewan (Permin et al., 1998). Secara umum, terdapat 2 golongan anthelmintik yaitu vermifuga dan vermisida. Vermifuga merupakan senyawa-senyawa yang dapat melumpuhkan cacing di dalam usus kemudian dikeluarkan dalam keadaan hidup. Vermisida adalah anthelmintik yang bekerja dengan membunuh cacing parasitik di dalam tubuh (Mutschler, 1991). Berdasarkan mekanisme kerja, anthelmintik dikelompokan kedalam enam kelompok. Kelompok pertama yaitu anthelmintik yang bekerja langsung dengan menimbulkan kondisi nekrosis, paralisis dan kematian cacing seperti, pirantel pamoat. Kelompok kedua bekerja dengan menimbulkan iritasi dan kerusakan jaringan, misalnya heksilresorsinol. Kelompok ketiga bekerja dengan menimbulkan efek mekanisme perpindahan dan penghancuran cacing akibat proses fagositosis, misalnya dietilkarbamazin, tiabendazole dan derivate benzimidazole seperti mebendazole dan albendazole. Kelompok keempat bekerja dengan menghambat enzim tertentu pada cacing seperti, prazikuantel, niridazol, dan levamisol. Kelompok anthelmintik kelima bekerja dengan mempengaruhi metabolisme cacing misalnya niklosamid, diklorofen, niridazol, prazikuantel, dan pirvinium pamoat. Kelompok anthelmintik keenam bekerja dengan cara menghambat proses biosintesis asam nukleat cacing parasitik, misalnya klorokuin (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Kriteria anthelmintik yang ideal untuk ternak diantaranya adalah Efektif, indeks terapi luas, mudah dalam pemberian, ekonomis, dan memenuhi ketentuan FDA (Food Drug and Administration) mengenai residu (Rachmawati et al., 2001). Albendazole Albendazole dengan nama kimia [5-(prophytio)-1H-benzimidazol-2yi] carbamic acidmethyl ester; methyl 5-(pro-pylthio)-2-benzimidazolecarbamate; 5(propylthio)-2-carbometoxy
amino
benzimidazole)
merupakan
obat
cacing
(anthelmintik) yang tergolong dalam kelas Benzimidazol. Bentuk fisik dari Albendazole berupa serbuk putih kemerahan, tidak berbau dan tidak berasa, tidak larut dalam air, kurang larut dalam etanol dan kloroform tetapi larut dalam dimethylformamite, larutan asam mineral dan asam organik. Dosis yang 9
direkomendasikan untuk pemberian obat cacing Albendazole adalah 7,5 mg/kg BB atau Albendazole 10%. Pada pemberian peroral, obat ini diserap dengan cepat oleh usus dan memiliki waktu paruh 8-9 jam. Metabolitnya dikeluarkan bersama urin dalam bentuk Albendazole sulfoksida dan sedikit saja melalui feses (Sukarban dan Santoso, 1995). Albendazole merupakan obat cacing yang aktivitasnya mampu memblokir pengambilan glukosa sehingga persediaan glikogen dan pembentukan ATP menurun yang mengakibatkan cacing mati. Albendazole bekerja dengan menghambat fumarat reduktase, asupan glukosa dan ikatan pada tubulin di mikrotubuli. Pemberian obat ini juga akan menyebabkan degenerasi pada saluran intestinal cacing sehingga penyerapan makanan untuk cacing menjadi terganggu dan lama kelamaan cacing akan lemas dan kemudian mati (Sukarban dan Santoso, 1995). Albendazole yang diberikan terus menerus bisa menyebabkan iritasi mukosa usus yang dapat menyebabkan nyeri ulu hati dan anemia sehingga hewan mengalami penurunan nafsu makan dan kesulitan absorpsi di usus. Albendazole memiliki sifat teratogenik sehingga tidak boleh diberikan pada hewan yang sedang bunting. Potensi Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) sebagai Anthelmintik Tanaman jarak pagar merupakan tumbuhan liar berbentuk perdu dengan tinggi 1 - 7 meter. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae dengan tipe daun agak besar . Tanaman ini tumbuh dengan cepat dan tahan terhadap panas dan penyakit karena dapat tumbuh di daerah kering dengan sedikit kandungan air. Tanaman ini dikembangbiakkan dengan biji atau stek batang. Tiap hektar tanaman ini menghasilkan 0,5 - 1 ton biji jarak kering/tahun (Staubmann et al., 1997). Tiap 1 hektar lahan dapat ditanami 2500 tanaman jarak pagar dengan jarak tanam 2 m x 2 m dan panjang stek 50 cm dimana jumlah daun tiap tanaman sebanyak 61-65 helai/tanaman pada tanah yang diolah atau pada tanah tidak diolah namun dipupuk (Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, 2007). Bunga tanaman jarak berwarna hijau kekuningan, berkelamin tunggal dan berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berupa cawan. Buah tanaman jarak berbentuk bulat dengan diameter 3-4 cm dan berwarna kuning saat masak. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga dalam setiap buah terdapat 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan 10
berwarna cokelat kehitaman. Tanaman jarak memiliki daun tunggal, permukaan atas helai daun berwarna hijau dan permukaan bawahnya berwarna lebih pucat. Bentuk daun bulat melebar dengan panjang 5 – 15 cm dan lebar 6 - 16 cm (Hembing et al., 1996). Morfologi daun jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Daun Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) Sumber : Miller (2009)
Tanaman jarak mengandung senyawa-senyawa aktif seperti b-sitosterol, stigmasterol, curcin, flavonoid dan 12-deoksil-16-hidroksiforbol (phorbolester). Senyawa tersebut secara spesifik ditemukan pada beberapa bagian tanaman seperti akar, daun, batang, buah, biji serta minyak hasil pengepresan (Aregheore et al. 2003). Senyawa curcin dan phorbolester yang merupakan senyawa racun dan antinutrisi paling banyak ditemukan pada bagian biji (Francis et al., 2006). Curcin adalah sejenis racun lectin yang terdapat pada jarak pagar (Jatropa curcass L.). Lectin adalah protein yang secara spesifik mengikat karbohidrat (glikoprotein). Peran lectin dalam tanaman adalah melindungi benih tanaman dari agen patogen seperti jamur, virus dan bakteri. Phorbolester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota diterpenes. Phorbolester disebut juga dengan ester. Wardoyo (2007) menyatakan bahwa mencit mengalami pendarahan usus (enteritis) yang terjadi karena peradangan pada usus halus akibat banyaknya racun curcin dan phorbosleter dalam bungkil biji jarak pagar yang diserap usus halus. Racun tersebut kemudian dibawa oleh darah kedalam hati, lalu menyebabkan kerusakan hati untuk menetralisir racun yang terakumulasi didalamnya. Zat makanan yang tidak bermanfaat bagi tubuh dikeluarkan oleh hati ke
11
ginjal, sehingga terjadi pendarahan (hipermi) dan pembesaran kapiler darah (kongesti) di ginjal mengakibatkan kematian pada mencit. Daun jarak mengandung senyawa kimia seperti β-amyrin, β-sitosterol, sigmasterol, campesterol, dan 7-keto-β-sitosterol. Daun jarak juga mengandung isovitoksin dan viteksin. Komponen bioaktif pada daun jarak juga memiliki aktivitas sebagai anti plasmodial pada larva nyamuk malaria Plasmodium falciparum (Kohler et al., 2002). Daun jarak pagar juga memiliki potensi sebagai pakan ulat sutra dan dapat menghasilkan berat kulit yang lebih rendah (Grimm et al., 1997). Daun jarak dapat menghambat pertumbuhan cacing Ascaris lumbricoides dan Necator americanus (Staubmann et al., 1997). Pemberian larutan tepung daun jarak dengan konsentrasi 16% dengan cara dicekok selama tujuh hari dapat meningkatkan bobot badan akhir serta berpengaruh nyata menurunkan konversi ransum (Sumarni, 2008). Berdasarkan uji fitokimia, daun jarak yang diekstrak dengan air dan metanol mengandung senyawa metabolit sekunder dari golongan alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid. Senyawa metabolit sekunder yang hanya terdapat pada daun jarak yang diekstrak menggunakan pelarut air adalah triterpenoid sedangkan senyawa metabolit sekunder yang hanya terdapat pada daun jarak yang diekstrak menggunakan pelarut metanol adalah steroid (Fitriana, 2008). Ekstraksi Komponen bioaktif diperoleh dari proses ekstraksi bagian tumbuhan. Tujuan dari ekstraksi adalah mengeluarkan senyawa yang diinginkan dari sel–sel tanaman dengan proses difusi. Prinsip dari cara ini adalah tercapainya keseimbangan konsentrasi bahan dalam pelarut pada batas yang diinginkan. Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada beberapa faktor antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, dan sifat pelarut yang digunakan. Beberapa metode umum yang biasa dilakukan adalah ekstraksi dengan pelarut, distilasi, pengepresan mekanik, dan sublimasi. Diantara metode-metode tersebut, metode yang banyak dilakukan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut (maserasi) yaitu bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu dan 12
komponen yang akan diekstrak akan terlarut dalam pelarut (Houghton dan Raman, 1998). Metode ekstraksi ini dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisa dalam cairan penyari yang sesuai (List dan Schmidt, 1989). Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Menurut Bernardini (1982), ada beberapa fakor yang mempengaruhi kecepatan ekstraksi, yaitu penanganan pendahuluan, lama ekstraksi, suhu dan tipe pelarut yang digunakan. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Kelarutan suaru zat tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Nilai kepolaran pelarut harus sedekat mungkin dengan kepolaran sampel. Konsep ini sangat berguna jika komponen yang akan diekstrak sudah diketahui kepolarannya. Faktor penting dalam ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstrak, tidak bersifat racun, tidak meninggalkan residu, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut (Harborne, 1987). Sebelum memulai ekstraksi, dilakukan persiapan bahan baku yang mencakup pengeringan bahan sampai kadar air tertentu dan penggilingan bahan untuk mempermudah proses ekstraksi. Selain itu, tingkat kemudahan ekstraksi bahan kering masih ditentukan oleh ukuran partikel bahan. Bahan yang akan diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dengan pelarut. Fitokimia Senyawa fitokimia memiliki peranan penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuhan. Menurut Harborne (1987) senyawa fitokimia yang berasal dari tanaman disebut juga metabolit sekunder. Tumbuhan memiliki senyawa kimia bermolekul kecil yang penyebarannya terbatas yang sering disebut metabolit sekunder (Sirait, 2007). Tumbuhan menghasilkan senyawa metabolit sekunder 13
berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur, dan jenis patogen lainnya (Lakitan, 1993). Beberapa dari golongan senyawa hasil metabolisme sekunder yang dihasilkan oleh tanaman adalah alkaloid, flavonoid, fenol, saponin, tanin, steroid dan triterpenoid. Alkaloid Alkaloid merupakan golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam tumbuhan dan merupakan produk yang dihasilkan dari metabolisme sekunder. Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dalam bentuk gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstrak dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah, kemudian diendapkan dengan amoniak pekat (Harborne, 1987). Secara organoleptik, alkaloid dapat diketahui dari rasanya yang pahit, meskipun tidak semua yang pahit itu alkaloid. Oleh sebab itu untuk mengidentifikasi apakah tumbuhan tersebut mengandung alkaloid perlu dilakukan reaksi-reaksi identifikasi dari senyawa-senyawa ini. Struktur kimia alkaloid dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Kimia Alkaloid Sumber : Leonard et al. (2009)
Alkaloid sebagian besar beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai aktivitas fisiologis menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Alkaloid biasanya tidak berwarna dan sering bersifat optik aktif (memutar cahaya terporalisasi datar). Kebanyakan alkaloid berbentuk kristal dan sedikit yang berbentuk cairan (nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987). 14
Fenol Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Fenol pada tumbuhan berfungsi sebagai proteksi tanaman dari serangan mikroba atau predator lainnya. Rumus kimia fenol adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Struktur kimia fenol dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur Dasar Fenol Sumber : Kim et al. (2006)
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih substitusi hidroksil.
Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena
umumnya berikatan dengan gula sebagai glikosida (Harborne, 1987). Fenol dapat dibagi dalam 15 golongan berdasarkan struktur kimianya. Senyawa fenol meliputi golongan senyawa kimia seperti fenilpropanoid, flavonoid, antosianin, flavonol dan flavon, dan tanin (Harborne, 1987). Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O yang dapat dilarutkan dalam air. Menurut Mukhopadhiay (2000), polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa
kompleks
yang
stabil
sehingga
menghambat
mutagenesis
dan
karsinogenesis. Polifenol memiliki sifat antioksidan dan antitumor. Flavonoid Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol terbesar yang terdapat di alam. Flavonoid pada tumbuhan tingkat tinggi terdapat pada bagian vegetatif maupun dalam bunga. Flavonoid merupakan salah satu pigmen pada bunga yang berperan menarik burung dan serangga penyebuk. Flavonoid juga berperan dalam pengaturan 15
pertumbuhan, fotosintesis, antimikroba dan antivirus (Robinson, 1995). Struktur flavonoid dapat dilihat pada Gambar 8.
Gallic acid
Struktur dasar flavonoid
Flavon
Flavan-3-OL
Flavonol
Epigallocatechin gallate
Gambar 8. Struktur Kimia Flavonoid Sumber : Bennick (2002)
Flavonoid merupakan senyawa glukosida yang terdiri dari gula yang berikatan dengan flavon. Flavonoid memiliki kerangka dasar 15 atom karbon yang terdiri dari 2 cincin benzene yang dihubungkan oleh rantai linear
3 karbon.
Flavonoid pada tumbuhan terdapat dalam bentuk O-glikosida dan C-glikosida. Bentuk O-glikosida memiliki gula yang terikat pada satu gugus OH aglikon dengan ikatan hemiasetal yang tidak tahan asam. Bentuk C-glikosida memiliki gula yang terikat pada atom C aglikon dengan ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Jenis gula pada flavonoid umumnya adalah glukosa, ramnosa, galaktosa dan arabinosa (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Oleh karena itu pelarut polar seperti air, etanol, methanol, etil asetat atau campuran pelarut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Markham, 1988). Flavonoid dapat digolongkan berdasarkan sifat kelarutan dan reaksi warna. Pemeriksaan pendahuluan golongan flavonoid dilakukan dengan pereaksi spesifik. Reaksi yang terjadi antara pereaksi dengan suatu golongan flavonoid akan menghasilkan warna tertentu. Menurut Hodek et al. (2002), flavonoid yang tekandung dalam ekstrak kulit batang jarak memiliki aktivitas biologi seperti antimikroba, anti alergi, dan antioksidan. Flavonoid memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). 16
Tanin Tanin adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Senyawa ini banyak terdapat pada berbagai tanaman terutama tanaman yang mengandung protein tinggi karena tanin diperlukan oleh tanaman tersebut sebagai sarana proteksi dari serangan mikroba, insekta ataupun ternak. Proteksi dari serangan ternak dapat dilakukan dengan menimbulkan rasa sepat sedangkan serangan bakteri dan insekta diproteksi dengan menonaktifkan enzimenzim protease dari bakteri dan insekta yang bersangkutan (Cheeke dan Shull, 1989). Tanin diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Hedqvist, 2004). Senyawa ini dapat larut dalam asam, basa, dan mudah larut dalam air (Reed, 1995). Tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika terhidrolisis menghasilkan suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Tanin terhirolisis terdiri dari gallotanin dan ellagitanin. Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena berperan menurunkan kualitas bahan melalui pembentukan ikatan kompleks dengan protein. Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu dicerna oleh sel tubuh. Pembentukan kompleks ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993). Ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk polimer kuinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus amino protein menggantikan atom oksigen dari senyawa polikuinon. Ikatan hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O baik yang berasal dari protein maupun tanin. Menurut Makkar (1993) keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin menyebabkan terjadinya pengendapan protein karena selain membentuk kompleks dengan protein bahan pangan tanin juga berikatan dengan protein mukosa sehingga mempengaruhi daya penyerapannya terhadap protein. Struktur tanin dapat dilihat pada Gambar 9.
17
epicatechin
catechin
condensed tannin
gallic acid
ellagic acid
hydrolyzable tannin
Gambar 9. Struktur Kimia Tanin Sumber : Bedino (2009)
Saponin Saponin merupakan senyawa fitokimia hasil bentukan gula dan senyawa bukan gula yang disebut aglikon (sapogenin). Berdasarkan struktur aglikonnya, saponin dibedakan menjadi 2 macam yaitu tipe steroid dan tipe triterpenoid. Kedua senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid. Saponin ditemukan pada tanaman dan secara umum dikelompokkan sebagai faktor antinutrisi atau racun dan menyebabkan fotosensitisasi. Menurut Harborne (1987), saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat sabun, dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil. Struktur kimia saponin dapat dilihat pada Gambar 10.
18
Gambar 10. Struktur Kimia Saponin Sumber : Drollinger dan Claudia (2002)
Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Dalam dunia pengobatan, saponin dapat digunakan sebagai bahan pencuci karena memiliki sifat emulsi, dapat digunakan untuk menurunkan kolesterol serum, sebagai zat antibiotik terhadap jamur, anti influenza, peradangan tenggorokan, dan sebagai bahan dasar untuk mendapatkan sapogenin yang berguna untuk menghasilkan hormon pertumbuhan pada satwa. (Vickery dan Vickery, 1981; Harbone, 1987). Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit dan kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi, aktif optik dan umumnya sukar dicirikan karena ketidakreaktifan kimianya. Struktur triterpen disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Struktur Kimia Triterpenoid Sumber : Silva et al. (2005)
19
Triterpenoid terdiri dari empat golongan senyawa yaitu triterpena, steroid, saponin, dan glikosida jantung (Harborne, 1987). Triterpenoid dan turunannya (termasuk saponin dan steroid) termasuk senyawa yang merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit gangguan kulit, berfungsi sebagai antifungus, insektisida, antibakteri atau virus (Robinson, 1995). Steroid Steroid merupakan terpenoid yang memiliki karakteristik 4 cincin karbon yang menentukan jenis dari steroid tersebut. Steroid adalah senyawa yang mempunyai inti siklopentanoperhidrofenantren yang terbagi atas 3 cincin sikloheksana. Steroid merupakan salah satu jenis asam lemak berupa hormon yang berasal dari kolesterol dan mengandung 27 atom karbon serta memiliki titik lebur 150-1510C. Struktur Steroid dapat dilihat pada Gambar 12.
Struktur dasar steroid
Kolesterol
Estradiol
Testosteron
Gambar 12. Struktur Kimia Steroid Sumber : Dewick (2003)
Steroid banyak terdapat di alam yaitu pada tanaman tingkat tinggi, tanaman tingkat rendah (jamur) dan hewan namun dalam jumlah yang terbatas (Harborne, 1987). Streoid dapat merangsang aktivitas hormon estrogen dan progesteron pada satwa dan manusia (Vickery dan Vickery, 1981). Hormon steroid berperan sebagai sinyal dalam proses transduksi sel dalam tubuh organisme. Steroid merupakan jenis sinyal sel yang bekerja langsung menyampaikan pesan atau informasi ke sel sasaran. Respon sel sasaran dapat berupa sintesis senyawa protein baru (Devlin, 1993). Steroid dapat meningkatkan premeabilitas membran sel dan merangsang
20
pembungaan. Dalam pengobatan senyawa ini berguna sebagai zat antibiotik diantaranya anti jamur, bakteri dan virus. Menurut Hogiono dan Dangi (1994) steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai dasar untuk pembuatan obat.
21
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Biokimia Fisiologi Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Pusat Antar Universitas (PAU) dan Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Januari 2010. Materi Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, shaker, timbangan, evaporator, jarum ose, mikroskop, spot plate, cawan petri, pengaduk, saringan, gunting, plastik, karet, karung, wadah plastik. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun jarak segar, akuades, alumunium foil, cacing A. galli, cacing pita, kloroform, H2SO4, reagen Dragendorf, Mayer, Wagner, metanol NaOH 10%, FeCl3 1%, NaCl fisiologis 0,9% dan 0,5%. Metode Pembuatan Ekstrak Ekstraksi dilakukan untuk mendapatkan komponen bioaktif yang terkandung dalam daun jarak. Proses ekstraksi daun jarak pagar dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 13.
Gambar 13. Alur Proses Ekstraksi Daun Jarak Pagar
22
Daun jarak yang digunakan merupakan daun jarak varietas Lampung yang diperoleh dari perkebunan jarak daerah Cibedug, Bogor. Daun jarak pagar yang diambil adalah daun yang terletak pada bagian tengah tanaman yaitu pada cabang ke3 atau ke-4 dari atas dan bawah. Selanjutnya, sampel diangkut menggunakan karung dan dibawa ke laboratorium Nutrisi Ternak Unggas. Daun jarak dibersihkan dan diperkecil ukurannya, lalu dihancurkan menggunakan blender dengan perbandingan daun jarak dan air 1:2 (b/v) sehingga dihasilkan bubur daun jarak. Sampel yang telah berbentuk bubur diekstraksi di laboratorium Biokimia Fisiologi Mikrobiologi Nutrisi dengan teknik maserasi menggunakan pelarut air dengan perbandingan bubur daun jarak dan air adalah 1:7 (v/v) selama 24 jam sambil digerakkan menggunakan shaker. Filtrat dipisahkan menggunakan penyaring kemudian dipekatkan dengan evaporator di laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, PAU (Pusat Antar Universitas) sampai didapat ekstrak kering daun jarak pagar. Ekstrak kering ditimbang untuk mengetahui besarnya rendemen yang dihasilkan. Rendemen dihitung berdasarkan % berat kering dengan prosedur perhitungan sebagai berikut : Rendemen ekstrak (%) =
Berat ekstrak (g) Berat bahan (g)
x 100%
Pengujian Fitokimia Analisa fitokimia ini dilakukan di laboratorium Kimia Analitik, Institut Pertanian Bogor. Analisa fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun jarak pagar secara kualitatif. Harborne (1987) menyatakan bahwa penapisan fitokimia dilakukan dengan menguji adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, triterpenoid, saponin dan tanin dengan prosedur sebagai berikut : a.
Uji alkaloid. Sebanyak 2 gram sampel daun jarak yang dianalisis diekstrak dengan sedikit kloroform, kemudian ditambahkan 10 ml kloroform-amoniak setelah itu disaring. Filtrat yang diperoleh ditetesi H2SO4 2M, kemudian dikocok sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (tak berwarna) dipipet ke dalam tabung reaksi lain, kemudian larutan dibagi 3. Masing-masing larutan ditambahkan beberapa tetes reagen Dragendrorf, Mayer dan Wagner. Uji akan 23
positif alkaloid apabila menghasilkan endapan yang berwarna orange setelah ditambah reagen Dragendrorf, endapan putih kekuningan setelah ditambah reagen Mayer dan endapan coklat setelah ditambah reagen Wagner. b. Uji fenol/flavonoid. Sebanyak 2 gram sampel daun jarak diekstrak dengan beberapa ml (terendam) metanol kemudian dipanaskan sampai mendidih lalu disaring. Kemudian filtrat dibagi 2, pada bagian pertama ditambahkan NaOH 10% dan pada bagian kedua ditambahkan H2SO4 pekat. Apabila dengan penambahan NaOH 10% menghasilkan warna merah berarti positif adanya flavonoid sedangkan pada penambahan asam sulfat timbulnya warna merah berarti positif adanya senyawa fenol hidrokuinon. c.
Uji Saponin dan Tanin. Sebanyak 2-4 gram sampel daun jarak diekstrak dengan akuades panas kemudian dipanaskan sampai mendidih. Kemudian disaring dan filtrat dibagi 2 ke dalam tabung reaksi. Bagian pertama untuk uji saponin larutan dibiarkan dulu agak dingin kemudian dikocok secara vertikal, apabila timbulnya busa yang stabil setinggi lebih kurang 1 cm selama 10 menit menandakan positif adanya saponin. Pada tabung reaksi kedua filtrat ditambahkan FeCl3 1% bila menghasilkan warna hijau, biru, hitam menandakan positif adanya tanin.
d. Uji Triterpenoid. Sebanyak 2 gram ekstrak dilarutkan dengan 25 ml etanol panas (500C) kemudian hasilnya disaring ke dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter di pindahkan ke dalam lempeng tetes kemudian ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (Uji Lieberman-Burchard). Warna merah ungu menunjukkan adanya triterpen. Pengujian Konsentrasi Tanin dan Saponin Ekstrak Daun Jarak Pagar secara Kuantitatif Analisis kuantitatif terhadap kandungan tanin dan saponin pada ekstrak daun jarak pagar dilakukan di Balai Penelitian Peternakan (Balitnak) Ciawi dengan metode sebagai berikut (Makkar, 2003) : a.
Analisis Tanin Analisis tanin dilakukan menggunakan metode Folin-Ciocalteu. Larutan standar berupa asam tanat dengan konsentrasi 0,1 mg/ml diambil sebanyak 0,02 24
ml, 0,04 ml, 0,06 ml, 0,08 ml dan 0,10 ml lalu ditambahkan akuades hingga 0,5 ml kemudian ditambah 0,25 ml pereaksi Folin-Ciocalteu dan 1,25 ml larutan NaCO3. Setelah itu, larutan divortex selama 40 menit dan diukur absorbansnya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Larutan contoh diencerkan sebanyak 6 kali lalu diambil sebanyak 0,05 ml dijadikan 0,5 ml dengan penambahan akuades. Setelah itu, larutan contoh diperlakukan sama dengan larutan standar. Setelah itu dilakukan perhitungan konsentrasi tanin sampel dengan prosedur perhitungan sebagai berikut : Absorbansi sampel
x konsentrasi tanin standar (g/100g) x faktor pengenceran
Absorbansi standar b. Analisis Saponin Analisis saponin dilakukan dengan menggunakan metod Hiai, yaitu larutan standar yang berisi 10 mg diosgenin ditambahkan 20 ml MeOH (0,5 mg/ml) dalam suhu kamar kemudian disimpan dalam waterbath es. Setelah itu, larutan dikeluarkan dan dilakukan penambahan pereaksi vanillin sulfat yang berisi 1,6 gram vanillin yang ditambah 20 ml etanol dan 28 ml akuades yang ditambah 72 ml H2SO4 pekat. Larutan dipanaskan pada suhu 600 C selama 10 menit kemudian didinginkan dalam air es. Setelah itu, larutan divortex dan diukur absorbansnya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 544 nm. Larutan contoh diperlakukan sama dengan larutan standar, setelah itu dilakukan perhitungan konsentrasi saponin sampel dengan prosedur perhitungan sebagai berikut : Absorbansi sampel
x konsentrasi saponin standar (g/100g) x faktor pengenceran
Absorbansi standar Pengujian Ekstrak Secara in vitro Pengujian secara in vitro dilakukan untuk mengetahui aktivitas anthelmintik dari senyawa fitokimia ekstrak daun jarak pagar terhadap cacing yang hidup dalam saluran pencernaan ayam kampung yaitu A. galli dan cacing pita. Cacing dikoleksi dari saluran pencernaan ayam kampung yang berasal dari tempat pemotongan ayam Galuga, Kabupaten Bogor. Isi usus ayam kampung ditampung dan dimasukkan 25
kedalam wadah berisi NaCl fisiologis. Selanjutnya wadah dibawa ke laboratorium Helmintologi untuk dilakukan pemisahan cacing dari cairan usus ayam. Cacing yang telah dikumpulkan segera dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diisi 10 ml NaCl fisiologis dan ekstrak daun jarak pagar serta obat komersil dengan berbagai konsentrasi sesuai perlakuan. Cawan kontrol hanya berisi NaCl fisiologis dan tidak ditambahkan ekstrak daun jarak pagar maupun Albendazol. Kematian cacing diamati setiap jam. Cacing yang tidak menunjukkan gerakan diangkat menggunakan pinset, jika tidak bergerak cacing dimasukkan ke dalam cawan berisi NaCl fisiologis, bila masih tidak ada pergerakan cacing diamati kembali dibawah mikroskop untuk memastikan kematian cacing. Proses pengujian ekstrak secara in vitro dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 14.
Gambar 14. Alur Pengujian Ekstrak Daun Jarak Pagar secara in vitro Rancangan Percobaan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu pengujian ekstrak daun jarak pagar sebagai anthelmintik terhadap A. galli (percobaan 1) dan pengujian ekstrak daun jarak pagar sebagai anthelmintik pada cacing pita (percobaan 2). Setiap percobaan menggunakan 11 perlakuan dengan 3 ulangan. Cacing A. galli dan cacing pita diinkubasi sambil dilakukan pengamatan kematian cacing setiap jam. Kematian cacing diamati hingga seluruh cacing mati dengan batas waktu 24 jam. Setiap 26
perlakuan terdiri dari 10 ekor cacing A. galli dan 5 ekor cacing pita. Perlakuan yang digunakan masing-masing terdiri dari : R1
= NaCl fisiologis (10 ml)
R2
= ekstrak daun jarak pagar konsentrasi 2% (EDJ 2%)
R3
= ekstrak daun jarak pagar konsentrasi 4% (EDJ 4%)
R4
= ekstrak daun jarak pagar konsentrasi 6% (EDJ 6%)
R5
= ekstrak daun jarak pagar konsentrasi 8% (EDJ 8%)
R6
= ekstrak daun jarak pagar konsentrasi 10% (EDJ 10%)
R7
= Albendazole konsentrasi 2%
R8
= Albendazole konsentrasi 4%
R9
= Albendazole konsentrasi 6%
R10 = Albendazole konsentrasi 8% R11 = Albendazole konsentrasi 10% Model Matematika Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model matematika sebagai berikut : Xij = μ + τi + Σij Keterangan : Xij = Perlakuan ke i dan ulangan ke j μ
= Rataan umum
τi
= Efek Perlakuan ke-i
Σij = Eror Perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Peubah Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan senyawa fitokimia ekstrak daun jarak pagar, waktu dan jumlah kematian cacing pita dan Ascaridia galli konsentrasi tanin dan konsentrasi saponin ekstrak daun jarak pagar. Analisis Data Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie, 1997) untuk
27
mengetahui perbedaan antar perlakuan. Analisis regresi berganda juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi pemberian ekstrak daun jarak pagar dengan waktu kematian cacing pita dan cacing A. galli.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian fitokimia Khasiat suatu tumbuhan berhubungan dengan komponen kimia yang bersifat aktif yang terdapat pada tumbuhan tersebut, terutama senyawa metabolit sekunder. Senyawa fitokimia digolongkan berdasarkan struktur kimia yaitu fenolik, terpenoid, alkaloid, steroid, kuinon, saponin, tanin dan flavonoid (Harborne, 1987). Hasil analisa fitokimia secara kualitatif terhadap kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak daun jarak pagar disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Fitokimia Ekstrak Daun Jarak Pagar Senyawa Fitokimia
Kandungan1)
Alkaloid
++
Flavonoid
+
P. Hidroquinon
+
Steroid
++
Triterpenoid
++
Saponin
++++
Tanin
++++
Keterangan :
1)
(-) Tidak ada, (+) Positif lemah (cenderung tidak ada), (++) Positif lemah, (+++) Positif kuat, (++++) Positif sangat kuat. Hasil analisa Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor (2009)
Ekstrak daun jarak pagar mengandung senyawa aktif alkaloid, flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, triterpenoid, saponin dan tanin. Ekstrak daun jarak pagar ini kaya akan saponin dan tanin, sedangkan senyawa metabolit sekunder lainnya dalam kadar yang lebih rendah. Tingginya kandungan tanin dan saponin pada ekstrak daun jarak pagar merupakan salah satu potensi yang bisa dimanfaatkan penggunaannya sebagai anthelmintik. Min dan Hart (2003) menyatakan bahwa ekstrak tanin dari berbagai tanaman dapat menghambat penetasan telur cacing dan perkembangan larva infektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tanaman herbal seperti rimpang bangle (Zingiber purpureum), sari buah nanas muda, daun miana (Coleus blumei), ranting puring, daun pare (Momordica charantia) dan getah papaya (Carica papaya) yang mengandung saponin dapat bersifat anthelmintik
29
(Berjaya et al., 1998; He et al., 1992; Ridwan, 2005; Rachmawati et al., 2001; Purwati dan He, 1991). Komponen bioaktif diperoleh dari proses ekstraksi bagian tumbuhan. Proses ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi pelarut dengan metode maserasi. Maserasi adalah proses perendaman sampel dalam pelarut dengan waktu tertentu sehingga senyawa dalam sampel larut dalam pelarut tersebut. Proses maserasi ini dilakukan dengan bantuan shaker agar senyawa bioaktif yang terdapat dalam daun jarak pagar dapat terekstrak secara optimal karena adanya gerakan yang menyebabkan frekuensi kontak antara sampel dan pelarut lebih tinggi. Proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan sampel dengan senyawa bioaktif yang larut dalam pelarut. Proses evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga ekstrak terpisah dari pelarutnya. Evaporasi ini dilakukan menggunakan evaporator dengan suhu 50 0C. Penggunaan suhu 50 0C untuk mengurangi kemungkinan rusaknya senyawa bioaktif akibat suhu tinggi. Rendemen yang diperoleh dari proses ekstraksi daun jarak pagar yaitu sebesar 4,04 %. Ekstrak air ini merupakan ekstrak yang bersifat polar. Tingginya nilai dari rendemen ekstrak air ini dapat diartikan bahwa komponen senyawa yang terkandung dalam daun jarak pagar sebagian besar merupakan senyawa polar. Menurut Nurmillah (2009) senyawa non polar pada campuran batang dan daun jarak jumlahnya sangat sedikit, hal ini terlihat dari rendemen ekstrak heksan yang hanya sebesar 0,91%. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa polar larut dalam pelarut polar dan sebaliknya. Pelarut air digunakan karena memiliki kelarutan besar, reaktivitas rendah, murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun (toksik), tidak mudah terbakar, tidak eksplosif bila bercampur udara, tidak korosif, dan stabil secara kimia dan fisik. Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai daya melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi (Harborne, 1987). Daya melarutkan yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran senyawa yang diekstraksi. Pengaruh Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Pita secara in vitro Hasil pengamatan jumlah dan waktu kematian cacing pita disajikan pada Tabel 2. Aktivitas anthelmintik dapat terlihat dari menurunnya waktu kematian 30
cacing dan meningkatnya jumlah kematian cacing pita akibat pengaruh pemberian ekstrak daun jarak pagar. Tabel 2. Rataan Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Pita Rataan Waktu
Rataan Jumlah
Persentase
Kematian1) (jam)
Kematian (ekor) 1) 2)
(%) 2)
Kontrol
2,47±0,23e
3,33±0,58c
66,67
EDJ 2%
2,27±0,23de
4,00±0b
80,00
EDJ 4%
2,40±0,20e
3,67±0,58bc
73,33
EDJ 6%
cd
2,07±0,23
EDJ 8% EDJ 10%
Perlakuan
b
4,00±0
80,00
1,80±0,20bc
4,67±0,58a
93,33
1,67±0,12b
4,67±0,58a
93,33
Albendazole 2%
1,20±0a
5,00±0a
100,00
Albendazole 4%
1,13±0,12a
5,00±0a
100,00
Albendazole 6%
1,07±0,12a
5,00±0a
100,00
Albendazole 8%
1,07±0,12a
5,00±0a
100,00
Albendazole10%
1,00±0a
5,00±0a
100,00
Keterangan :
1)
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama (P<0,05), 2) pengamatan selama 3 jam.
menunjukkan berbeda nyata
Persentase jumlah kematian diambil pada pengamatan selama 3 jam dari total 4 jam pengamatan. Cacing pita yang diberi ekstrak daun jarak pagar (EDJ) memiliki persentase jumlah kematian yang lebih tinggi dibanding kontrol, namun masih lebih rendah dibanding perlakuan Albendazole. Jumlah kematian cacing pita yang diberi perlakuan ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi 2%, 6%, 8%, dan 10% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan kontrol. Perlakuan EDJ dengan konsentrasi 8% dan 10% memiliki jumlah kematian yang setara dengan cacing pita yang diberi perlakuan Albendazole pada semua konsentrasi. Hal ini membuktikan bahwa pemberian EDJ dapat meningkatkan jumlah kematian cacing pita. Penggunaan EDJ dengan konsentrasi tinggi (8% dan 10%) dapat menggantikan Albendazole dalam meningkatkan jumlah kematian cacing pita. Hasil uji lanjut terhadap waktu kematian cacing pita menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak daun jarak pagar (EDJ) dengan konsentrasi 6%, 8%, dan 10% nyata (P<0,05) lebih cepat mematikan cacing pita dibandingkan dengan 31
kontrol dan perlakuan pemberian EDJ 4%. Pengaruh pemberian ekstrak daun jarak pagar terhadap waktu kematian cacing pita masih jauh dibawah Albendazole. Pemberian Albendazole mulai dari konsentrasi terendah (2%) menyebabkan waktu kematian cacing yang lebih cepat dibandingkan ekstrak daun jarak pagar. Albendazole bekerja dengan memblokir pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Albendazole yang diserap akan berikatan dengan enzim fumarat reduktase sehingga proses oksidasi NADH untuk membentuk energi (ATP) dan glukosa di mitokondria menjadi terhambat atau mengalami penurunan. Ekstrak daun jarak pagar bekerja dengan menekan sistem syaraf dan sistem pernapasan yang menyebabkan kelemahan umum pada cacing sehingga cacing mati (Ferguson, 1981). Secara umum, cacing pita memiliki waktu kematian yang lebih cepat dibandingkan dengan cacing Ascaridia galli. Perbedaan waktu kematian ini terjadi karena adanya perbedaan proses penyerapan makanan pada tubuh kedua cacing tersebut. Cacing pita yang tidak memiliki saluran pencernaan, menyerap makanan melalui tegumen yang terdapat pada seluruh bagian tubuhnya dengan cara fusi atau transpor aktif sehingga zat makanan masuk dengan cepat kedalam tubuh cacing pita. Zat-zat aktif pada ekstrak daun jarak pagar masuk dengan mekanisme yang sama dan mengakibatkan terganggunya kegiatan fisiologis cacing pita. Menurut Noble dan Noble (1989) pada tegumen cacing terdapat sel-sel yang melangsungkan kegiatan fisiologis cacing. Pada cacing A. galli, senyawa aktif pada ekstrak daun jarak pagar masuk melalui mulut dan saluran pencernaan kedalam tubuh cacing sehingga proses penyerapan berlangsung lebih lama. Senyawa aktif tersebut merusak sel-sel saluran pencernaan dan menghambat proses penyerapan nutrisi yang pada akhirnya menyebabkan cacing mati. Pengaruh Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Jumlah dan Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli secara in vitro Hasil pengamatan jumlah dan waktu kematian Ascaridia.galli secara in vitro disajikan pada Tabel 3. Adanya aktivitas anthelmintik pada ekstrak daun jarak pagar dapat terlihat dari semakin cepatnya waktu kematian dan meningkatnya persentase jumlah kematian cacing A. galli. Persentase jumlah kematian diambil pada pengamatan selama 10 jam dari total 15 jam pengamatan. Cacing A. galli yang diberi ekstrak daun jarak pagar (EDJ) memiliki persentase jumlah kematian yang lebih 32
tinggi dibanding kontrol. Jumlah kematian cacing A. galli pada perlakuan ekstrak daun jarak pagar (EDJ) dengan konsentrasi 10% nyata lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan kontrol namun, perlakuan EDJ 10% memiliki jumlah kematian yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan EDJ 2%, 4%, 6% dan 8%. Tabel 3. Rataan Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli Rataan Waktu
Rataan Jumlah
Persentase
Kematian1) (jam)
Kematian (ekor)1) 2)
(%) 2)
Kontrol
9,47±0,15d
5,67±0,58e
56,67
EDJ 2%
8,50±0,92cd
7,00±1cde
70,00
EDJ 4%
8,60±0,17cd
6,33±0,58cde
63,33
EDJ 6%
8,33±0,31cd
6,67±0,58cde
66,67
EDJ 8%
8,33±1,17cd
6,33±1,53cde
63,33
EDJ 10%
7,77±0,38bc
7,33±0,58cd
73,33
Albendazole 2%
8,37±0,12cd
6,00±0de
60,00
Albendazole 4%
7,80±0,66bc
7,00±1cde
70,00
Albendazole 6%
7,07±0,87ab
7,67±1,15bc
76,67
Albendazole 8%
6,33±0,42a
9,00±0ab
90,00
Albendazole10%
6,40±0,40a
9,33±0,58a
93,33
Perlakuan
Keterangan :
1)
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama (P<0,05), 2) pengamatan selama 10 jam.
menunjukkan berbeda nyata
Hasil uji lanjut terhadap waktu kematian cacing A. galli menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dalam mempercepat waktu kematian cacing A. galli dibandingkan kontrol. Perlakuan ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi 10% (EDJ 10%) dapat mematikan cacing A. galli nyata lebih cepat (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi rendah (2%, 4%, 6% dan 8%) belum dapat mempercepat waktu kematian dan meningkatkan jumlah kematian cacing A. galli. Aktivitas anthelmintik baru terlihat pada cacing A. galli yang diberi perlakuan ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi 10%. Secara statistik, waktu dan jumlah kematian cacing A. galli yang diberi perlakuan EDJ 10% setara dengan perlakuan pemberian Albendazole 2%, 4%, dan 6%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan 33
Albendazole 6% dapat digantikan dengan pemberian ekstrak daun jarak pagar dengan konsentrasi 10% sebagai anthelmintik untuk cacing A. galli. Ekstrak daun jarak pagar terbukti memiliki senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai anthelmintik, walaupun pengaruhnya terhadap cacing A. galli baru terlihat nyata pada pemberian dengan konsentrasi tinggi (10%). Anthelmintik merupakan senyawa yang berfungsi untuk membasmi cacing sehingga cacing yang terdapat dalam tubuh akan mati dan dikeluarkan dari saluran pencernaan, jaringan atau organ tempat cacing berada dalam tubuh hewan (Permin et al., 1998). Fluktuasi angka waktu kematian cacing pita (Tabel 2) dan cacing A. galli (Tabel 3) diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan umur, ukuran dan aktivitas cacing. Cacing yang digunakan dalam pengamatan ini diambil secara acak. Hal ini dilakukan karena sulitnya pengaturan keseragaman faktor-faktor tersebut di lapangan. Perbedaan keseragaman faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap waktu kematian cacing. Umur cacing yang lebih tua memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap suatu senyawa aktif dibanding dengan cacing muda begitu pula dengan cacing yang memiliki ukuran yang lebih besar. Potensi Tanin dan Saponin dalam Ekstrak Daun Jarak Pagar sebagai Anthelmintik Hasil analisis tanin dan saponin secara kuantitatif dalam ekstrak daun jarak pagar (EDJ) serta konsentrasinya dalam EDJ perlakuan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi Tanin dan Saponin dalam Setiap Level Ekstrak Daun Jarak Pagar Ekstrak Daun Jarak Pagar
Tanin
Saponin
(EDJ)
(g/kg)
(g/kg)
7,4
17,4
EDJ 2%
0,148**
0,348**
EDJ 4%
0,296**
0,696**
EDJ 6%
0,444**
1,044**
EDJ 8%
0,592**
1,392**
EDJ 10%
0,74**
1,74**
Total*
*
Hasil analisis Balai Penelitian Peternakan (Balitnak) Ciawi Bogor, 2010 Dihitung dari perkalian antara konsentrasi pemberian dengan kandungan total
**
34
Tanin dan saponin merupakan senyawa aktif yang memiliki kandungan tertinggi secara kualitatif berdasarkan hasil analisa fitokimia. Kedua senyawa aktif ini diduga dapat bersifat anthelmintik pada cacing pita dan cacing Ascaridia galli. Tabel 4 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tanin dan saponin berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun jarak pagar. Semakin tinggi konsentrasi penggunaan ekstrak daun jarak pagar maka
konsentrasi tanin dan
saponin juga semakin meningkat. Hubungan linear antara konsentrasi tanin dan saponin pada ekstrak daun jarak dengan waktu kematian cacing pita dan cacing A. galli dapat dilihat dengan analisis regresi berganda. Hubungan Linear Antara Konsentrasi Tanin dan Saponin terhadap Waktu Kematian Cacing Pita dan Ascaridia galli Grafik regresi linear konsentrasi tanin dan saponin terhadap waktu kematian cacing pita disajikan pada Gambar 15 dan cacing Ascaridia galli disajikan pada Gambar 16. Sumbu X adalah waktu kematian cacing pita (jam), Y1 adalah konsentrasi tanin (%) dan Y2 adalah konsentrasi saponin (%). Y2
X = 2,521 – 1,107 Y1 - 0,471 Y2
2.0000
0.6000
1.5000
0.4000
1.0000
0.2000
0.5000
Konsentrasi Saponin (g/ kg)
Konsentrasi Tanin (g/ kg)
Y1 0.8000
Tanin Saponin 0.0000
0.0000 1.60
1.80
2.00
2.20
2.40
2.60
Waktu Kematian Cacing Pita (jam)
Gambar 15. Grafik Regresi Linear Konsentrasi Tanin dan Saponin terhadap Waktu Kematian Cacing Pita 35
Y2
X = 9,106 – 1,744 Y1 – 0,742 Y2
2.0000
0.6000
1.5000
0.4000
1.0000
0.2000
0.5000
Konsentrasi Saponin (g/ kg)
Konsentrasi Tanin (g/ kg)
Y1 0.8000
Tanin Saponin 0.0000
0.0000 7.00
7.50
8.00
8.50
9.00
9.50
10.00
Waktu Kematian Ascaridia galli (jam)
Gambar 16. Grafik Regresi Linear Konsentrasi Tanin dan Saponin terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli Grafik regresi linear pada cacing pita dan cacing A. galli memiliki pola korelasi negatif dimana peningkatan nilai Y1 dan Y2 menyebabkan penurunan nilai X. Semakin tinggi konsentrasi tanin dan saponin pada ekstrak daun jarak pagar maka semakin cepat pula waktu kematian cacing pita dan cacing A. galli. Hasil regresi menunjukkan bahwa konsentrasi tanin dan saponin terhadap waktu kematian cacing ekstrak daun jarak pagar memiliki persamaan linear X = 2,521 – 1,107 Y1 - 0,471 Y2 pada cacing pita dan X = 9,106 – 1,744 Y1 – 0,742 Y2 pada cacing A. galli. Regresi antara waktu kematian cacing terhadap konsentrasi tanin dan saponin memiliki nilai R2 sebesar 0,770 pada cacing pita dan R2 sebesar 0,562 pada cacing A. galli. Peran tanin dan saponin dalam membunuh cacing sebesar 77% pada cacing pita dan 56,2 % pada cacing A. galli, sedangkan sisanya, yaitu 23% (cacing pita) dan 43,8% (cacing A. galli) disebabkan oleh adanya faktor lain seperti kondisi lingkungan dan pengaruh kandungan senyawa metabolit sekunder lainnya seperti alkaloid, flavonoid, fenol, steroid dan triterpenoid. Cacing pita yang memiliki fungsi 36
penyerapan di seluruh tubuhnya, mampu menyerap senyawa aktif dalam ekstrak daun jarak pagar lebih cepat dibanding cacing A. galli. Hal ini menyebabkan tanin dan saponin yang terkandung dalam ekstrak daun jarak pagar lebih banyak terserap dan bekerja dengan mekanisme tertentu dalam mematikan cacing sehingga sebagian besar kematian cacing dipengaruhi oleh kandungan tanin dan saponin ekstrak. Waktu kematian cacing tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan tanin, saponin serta senyawa metabolit sekunder lainnya dalam ekstrak daun jarak pagar, tetapi dipengaruhi juga oleh kondisi in vitro yang tidak sama dengan kondisi lingkungan pada saat cacing berada dalam saluran pencernaan ayam kampung. Cacing pita dan cacing A. galli diinkubasi dalam NaCl fisiologis yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan dan ion pada tubuh cacing. NaCl fisiologis dapat membantu cacing untuk dapat bertahan hidup walaupun berada diluar habitat aslinya, sedangkan pada saluran pencernaan ayam kampung terdapat cairan usus yang berisi makanan dan enzim yang dapat mendukung kelangsungan hidup cacing. Tanin merupakan bagian dari senyawa fenol bermolekul besar yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein. Tanin tidak dapat dicerna lambung dan mempunyai daya ikat dengan protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Tegumen cacing yang terdiri dari glikoprotein dan mukopolisakarida (Smyth dan McManus, 1989) mampu dirusak oleh tanin dengan mempresipitasikan protein, sehingga menghalangi cacing untuk menyerap nutrisi. Tanin juga dapat mengganggu kerja enzim pada sel tubuh cacing. Menurut Naidu (2000) senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah dan pada akhirnya cacing akan mati karena menurunnya persediaan glikogen dan berkurangnya pembentukan ATP. Kemampuan ekstrak daun jarak pagar sebagai anthelmintik berkaitan dengan kandungan tanin sebagai zat antinutrisi pada tubuh ternak. Ho (1992) menyatakan bahwa tanin merupakan antinutrisi yang mampu menghambat aktivitas enzim protease, lipase dan glikosidase karena komponen enzim adalah protein. Adanya senyawa anti nutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi pembatas penggunaannya dalam ransum, karena senyawa antinutrisi ini akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi ternak tergantung pada dosis yang masuk ke dalam tubuh.
37
Tanin dapat mengendapkan pati, alkaloid, gelatine dan protein. Kemampuan tanin untuk mengendapkan protein disebabkan adanya kandungan sejumlah gugus fungsional (hidroksil fenolik) yang dapat membentuk ikatan kompleks yang sangat kuat dengan molekul protein saliva dan glikoprotein dalam mulut serta dapat menimbulkan rasa sepat, sehingga dapat mempengaruhi konsumsi dan palatabilitas pakan (Cheeke dan Schull, 1989). Konsentrasi tanin (Tabel 4) yang terdapat pada perlakuan berkisar antara 0,148 - 0,74 g/kg dan masih berada dalam batas aman untuk digunakan pada ternak unggas sehingga senyawa aktif yang bersifat anthelmintik pada ekstrak daun jarak pagar tidak bersifat antinutrisi bagi tubuh ternak. Keberadaan tanin dalam konsentrasi yang aman dapat berpengaruh positif terhadap ternak diantaranya meningkatkan penyerapan asam amino dan protein (Caygill dan Harvey, 1999). Batas toleransi tanin dalam ransum ayam broiler sebesar 2,6 g/kg pakan (Kumar et al., 2005). Saponin merupakan glikosida tanaman yang terdiri atas gugus sapogenin atau triterpenoid, gugus heksosa, pentosa dan asam uronat. Senyawa ini mempunyai rasa pahit dan berbusa bila dilarutkan dan dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah (Winarno, 1997). Saponin menyebabkan iritasi pada selaput lendir saluran pencernaan (Gardner, 1957 dan Nicholson, 1947) sehingga mengganggu proses penyerapan zat makanan dalam usus cacing. Mekanisme saponin merusak sel-sel saluran pencernaan melalui interaksi antara bagian aktif dari senyawa saponin aglikon hidrofobik dengan lapisan lipid sehingga molekul saponin bisa memasuki membran sel tegumen (Cheeke dan Schull, 1989). Peristiwa ini menyebabkan kebocoran pada dinding sel sehingga sel mengalami ketidakseimbangan ion lalu lisis. Saponin mempunyai sifat deterjen sedang yang dapat menurunkan tegangan permukaan sel cacing sehingga merubah pemeabilitas sel dan mendegradasi lemak pada cacing (Hyene, 1987). Penurunan tegangan permukaan tubuh cacing mengakibatkan proses penyerapan bahan aktif lebih mudah sehingga aktivitas anthelmintik dapat bekerja secara optimal. Saponin dikategorikan sebagai anti nutrisi yang dapat mereduksi konsumsi pakan, menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan dampak toksikologis jika dikonsumsi dalam jumlah yang terlalu banyak. Saponin dalam jumlah yang aman tidak mengganggu fungsi fisiologis saluran pencernaan, karena menurut Francis et
38
al. (2002) kemampuan saponin untuk meningkatkan permeabilitas membran akan memudahkan molekul-molekul besar terserap dalam tubuh sehingga penyerapan zat nutrisi meningkat. Batas toleransi kadar saponin dalam ransum ayam broiler sebesar 1,09 g/kg pakan (FAO, 2005). Konsentrasi saponin pada perlakuan berkisar antara 0,348-1,74 g/kg. Konsentrasi tertinggi pada perlakuan melebihi batas toleransi kadar saponin yang dianjurkan FAO. Saponin mempunyai efek menurunkan konsumsi ransum karena rasa pahit dan terjadinya iritasi pada oral mucosa dan saluran pencernaan. Ueda et al. (2002) menyatakan bahwa ayam yang diberi saponin dapat menunda laju pengosongan lambung sehingga tidak ada rangsangan nafsu makan. Potensi Senyawa Bioaktif dalam Ekstrak Daun Jarak Pagar Aktivitas anthelmintik terhadap cacing A. galli dan cacing pita tidak seluruhnya dipengaruhi oleh tingginya kandungan senyawa tanin dan saponin yang terdapat pada ekstrak daun jarak pagar. Komponen bioaktif lainnya seperti flavonoid, fenol, alkaloid, steroid, dan triterpenoid dapat mempengaruhi aktivitas anthelmintik dengan meningkatkan kerja senyawa aktif lain atau melalui mekanisme tersendiri dalam melawan cacing. Komponen bioaktif tersebut perlu diperhitungkan aktivitasnya walaupun kandungannya lebih rendah dibandingkan tanin dan saponin. Flavonoid Menurut Vickery dan Vickery (1981) flavonoid pada tumbuhan dapat meningkatkan dormansi, meningkatkan pembentukan sel-sel kalus dan berperan sebagai enzim penghambat pembentukan protein. Dalam dunia pengobatan, beberapa jenis senyawa flavonoid berfungsi sebagai zat antibiotik, anti virus dan anti jamur. Flavonoid merupakan golongan fenol alam yang secara sistemik dapat bertindak sebagai imunostimulator yang dapat meningkatkan respon tubuh hospes (inang) terhadap parasit. Hal ini terjadi melalui mekanisme peningkatan konsentrasi IgG sehingga eosinofil dapat melekat optimal pada cacing melalui IgG. Eosinofil memiliki fungsi utama dalam toksifikasi terhadap protein asing atau parasit yang masuk ke dalam tubuh melalui paru atau saluran pencernaan. Pelepasan eosinofil merupakan bagian dari pertahanan jaringan terhadap parasit dan jumlah esinofil meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah parasit. Eosinofil mengalami 39
degranulasi dan melepaskan isi granul ke tegumen. Protein kation sel eosinofil merupakan suatu ribonukleose yang bersifat letal bagi cacing dan menyebabkan pecahnya dinding tegumen karena kerja granul eosinofil (Tizard, 1982). Fenol Fenol bersifat germisidal karena dalam konsentrasi tinggi menyebabkan koagulasi dan presipitasi protein, sedangkan dalam konsentrasi rendah menyebabkan denaturasi protein tanpa koagulasi (Gross, 1987). Fenol sangat mudah diserap melalui jaringan tubuh sehingga dapat masuk ke dalam aliran darah dan dikeluarkan melalui ginjal bersama urin. Menurut Prindle (1983), senyawa fenol mampu memutuskan ikatan peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fospolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim – enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme. Bagian luar tubuh cacing pita terdiri dari tegumen yang kaya dengan mikrovili dan berfungsi untuk penyerapan makanan. Fenol yang berkontak dengan tubuh cacing, akan cepat diserap dan menyebabkan denaturasi protein dalam jaringan cacing, sehingga menyebabkan kematian. Secara sistemik, fenol juga dapat merangsang susunan syaraf pusat (SSP) pada cacing dan menyebabkan kelumpuhan karena kejang otot (Gross, 1987). Alkaloid Kemampuan senyawa alkaloid sebagai anthelmintik sangat dipengaruhi oleh keaktifan biologis senyawa tersebut (Harborne, 1987). Keaktifan biologis dari senyawa alkaloid ini disebabkan oleh adanya gugus basa yang mengandung nitrogen. Adanya gugus basa ini apabila mengalami kontak dengan tubuh cacing akan bereaksi dengan senyawa-senyawa asam amino yang menyusun dinding sel cacing. Reaksi ini terjadi karena secara kimia suatu senyawa yang bersifat basa akan bereaksi dengan senyawa asam dalam hal ini adalah asam amino. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino karena sebagian besar asam 40
amino telah bereaksi dengan gugus basa dari senyawa alkaloid. Menurut Mukhopadhiay (2000) perubahan susunan asam amino akan merubah susunan rantai DNA pada inti sel yang semula memiliki susunan asam dan basa yang saling berpasangan. Perubahan susunan rantai asam amino pada DNA akan menimbulkan perubahan keseimbangan genetik pada asam DNA sehingga DNA cacing akan mengalami kerusakan. Kerusakan DNA pada inti sel ini juga akan mendorong terjadinya lisis pada tubuh cacing sehingga sel-sel tubuh cacing tidak mampu melakukan metabolisme dan akan mengalami inaktif dan hancur (lisis). Triterpenoid Senyawa terpenoid yang berpotensi sebagai antiparasit yaitu phorbolester, bsitosterol dan stigmasterol. Senyawa cursin dan phorbolester banyak terdapat pada bagian biji jarak, b-sitosterol dan stigmasterol banyak terdapat pada batang dan daun jarak pagar. Senyawa tersebut merupakan jenis senyawa non polar. Kemampuan senyawa non polar dalam membunuh cacing yaitu dengan menyebabkan perubahan komposisi membran sel tegumen dan terjadinya pelarutan membran sel, sehingga membran sel mengalami kerusakan. Komponen ini dapat berinteraksi dengan protein membran yang menyebabkan kebocoran isi sel (Sikkema et al, 1995). Komponen non polar ini tidak terdapat pada ekstrak daun jarak pagar yang diekstrak dengan air karena adanya perbedaan polaritas.
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ekstrak daun jarak pagar mengandung senyawa aktif alkaloid, flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, triterpenoid, saponin dan tanin. Ekstrak daun jarak pagar memiliki aktivitas anthelmintik terhadap cacing pita dan cacing Ascaridia galli. Tanin dan saponin merupakan senyawa aktif dengan kandungan tertinggi secara kualitatif pada ekstrak daun jarak pagar. Total kandungan tanin dan saponin ekstrak daun jarak pagar pada perlakuan dengan konsentrasi tertinggi yaitu 0,74 g/kg dan 1,74 g/kg. Pemberian ektrak daun jarak pagar dengan konsentrasi tinggi (8% - 10%) dapat menggantikan Albendazole sebagai anthelmintik pada cacing pita dan cacing Ascaridia galli. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengujian senyawa metabolit sekunder lain seperti alkaloid, triterpenoid, steroid, fenol dan flavonoid secara kuantitatif. Selain itu, perlu dilakukan isolasi senyawa aktif serta pengujian ekstrak daun jarak pagar secara in vivo pada ayam kampung.
42
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar kesarjanaan dari program studi mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Salawat serta salam senantiasa penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, Bapak M. Yamin dan Ibu Elly Cahyati juga kepada kakak dan adik penulis, Yati Suroyya dan Aisyah Maulidia yang telah memberikan kasih sayang, nasehat, motivasi, semangat dan doa restu serta dukungan moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc selaku pembimbing akademik dan skripsi serta Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, dorongan, semangat, bimbingan, arahan, kritik dan saran selama kegiatan akademis, penelitian dan penulisan skripsi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. I. Komang G. Wiryawan selaku dosen penguji seminar juga Dr. Ir. Asep Sudarman, M. Rur.Sc dan Ir. Rukmiasih, MS selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan banyak saran untuk penulisan skripsi.
Terima kasih penulis sampaikan kepada teman sepenelitian Nova Simamora atas kekeluargaan dan kerjasamanya. Terimakasih kepada rekan rekan INTP 42, 43 dan 44 khusunya “Tim Aflatoksin”, “Prebiotik bersaudara”, “Ganoderma Team”, “Anak Pupuk”, “Silagers”. Kepada Irin, Efi, Sani, Aini, Sukma, Nur, Ainisya, Tina, Dea, Firki, Bayang serta seluruh teman-teman INTP 43 yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas persahabatan dan semangatnya. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian Bu Lanjar, Pak Eman, Mas Mul, Pak Supri, Pak Dadang dan Pak Iyas. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010 Penulis
43
DAFTAR PUSTAKA Aregheore, E. M., Becker, K., & Makkar, H.P.S. 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropa curcas using heat and chemical treatments, and preliminary nutritional evaluation with rats. J. Nat. Sci. 21 : 50-56. Bedino, J. H. 2009. Taxidermy tannic acid or tannins in embalming. http:// themodernembalmer.com. [23 juni 2010]. Bernardini, E. 1982. Vegetables Oil and Fats Processing. Vol. 1. Interstamps, Roma. Bennick, A. 2002. Interaction of plant polyphenols with salivary proteins. Critical Reviews in Oral Biology and Medicine 13(2) : 184-196. Berjaya, T. B. Murdiati, & M. Herawaty. 1998. Efek anthelmintik infus dan ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4) : 277-282. Caygill, J. C., & I. M. Harvey. 1999. Secondary Plant Products Considerations for Animal Feeds. Nottingham University Press, Nottingham. Charles, R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Edisi Ke-2. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Cheeke, P. R., & L. R. Schull, 1989. Natural Toxicant in Feeds and Poisonous Plants. AVI Publishing Company, Inc. Davis, California. Dargatz, D. A., J. L. T. Dargatz, & N. C. Sangster. 2000. Antimicrobic and anthelmintic resistance. Veterinary Clinic of North America 16 (3) : 515-536. Darmawi. 2008. Kasus cacingan pada ayam. http://kedokteranhewan.blogspot.com. [2 April 2010]. Departemen Pertanian. 2005. Produksi daging, telur dan susu di Indonesia. http:// deptan.go.id. [17 Mei 2010] Departemen Pertanian. 2010. Basis data statistic database.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp. [22 Juli 2010]
pertanian.
http://
Devlin, T. M. 1993. The Texbook of Biochemistry with Clinical Correlation. 3rd edition. Wiley Liss, A John Willey and Sons Inc. Publication. New York. Dewick, P. M. 2003. Medicinal Natural Product. 2nd edition. John Willey and Sons Ltd. England. Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan. 2007. Pedoman budidaya tanaman jarak pagar. http://ditjenbun.deptan.go.id/tahunanbun/tahunan. [10 Agustus 2010]. Drollinger, D., & R. Claudia. 2002. Medicinal plants of the southwest : Cucurbita foetidissima. http://medplant.nmsu.edu. [18 juni 2010]. Effendi, Z., R. Rizauddin, A. G. Jaharah, & Y. Zahira. 2009. Development of Jatropa curcas color grading system for ripeness evaluation. European Journal of Scientific Research 30 (4) : 662-669. Ferguson, D. L. Anthelmintic activity of Albendazole against adult Metastrongylus apri in artificially infected swine. J Anim Sci. 53(6) : 1511-1515. http:// jass.fass.org.[21 juli 2010] 44
Food and Agriculture Organization. 2005. Endogenous and exogenous feed toxins. http://www.fao.org. [1 April 2010] Fitriana, S. 2008. Penapisan fitokima dan pengujian aktivitas anthelmintik ekstrak daun jarak pagar (Jatropa curcas L) terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Francis, G., Z. Kerem, H. P. S. Makkar, & K. Becker. 2002. The biological action of saponin in animal system. A review. J. Nutr. British 88: 587-605. Francis, G., H. P. S. Makkar, & K. Becker. 2006. Product from little researched plants as aquaculture feed ingredients. http://www.fao.org. [10 Agustus 2010]. Gardner, R. J. 1957. Veterinery Toxycology. Bailere Tindall and Cox, London. Grimm, C., A. Somaribba, & N. Foidl. 1997. Development of eri silkworn Samia Cyinthia ricini (Boisd.) (Lepidoptera : saturnidae) on different provenances of Jatropa curcas leaves. Proc. Symposium “Jatropha 97”, Nicaragua. Gross, J. 1987. Pigments in Fruits. Academic Press, London. Harborne. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Moderen Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Institut Teknologi Bandung, Bandung. He, S., R. Tiuria, & E. B. Retnani. 1992. Uji biologis aktivitas anthelmintik sari buah nanas muda, daun miana dan ranting puring terhadap cacing Aspiculuris tetraptera (Nematoda) dan Hymenolepis nana pada mencit putih (Mus musculus albinus). Hemera Zoa 75: 94-110. He, S., V. E. H. S. Susilowati, E. Purwati, & R. Tiuria. 1991. Taksiran kerugian produksi daging akibat infeksi alamiah cacing saluran pencernaan pada ayam buras di Bogor dan sekitarnya. Hemera Zoa 74(3) : 54-56. Hedqvist, H. 2004. Metabolism of soluble proteins by rumen microorganisms and the influence of condensed tannin on nitrogen solubility and degradation. Thesis. Swedish University of Agricultural Sciences, Uppsala. Hembing, W., S. Dalimartha, S. Agustinus, & Wirian. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Edisi ke-2. Pustaka Kartini, Jakarta. Ho, C. T. 1992. Phenolic compounds in food. An overview. Dalam Phenolic Compound in Food and Their Effect on Health I. Analysis, Occurrence and Chemistry. Ho, C. T., C. Y. Lee & M. T. Huang (eds). ACS Symposium Series 506. American Chemical Society. Washington DC. http://pubs.acs.org. [6 September 2010] Hodek, P., P. Trelil, & M. Stiborova. 2002. Flavonoids potent and versatile biologically active compounds interacting with cytochrome P450. ChemicoBiol. Intern. 139 (1): 1-21. Hogiono & Dangi. 1994. Peningkatan nilai tambah tanaman hortikultura yang berpotensi sebagai bahan dasar sintesis obat-obatan steroid. Laporan Penelitian. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan 45
Alam. Universitas Airlangga, Surabaya. http://www.lib.unair.ac.id. [6 September 2010]. Houghton, P.J., & A. Raman. 1998 . Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extract. Chapman and Hall, London. Hyene, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan. Terjemahan : Irawati. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Inbadiyah, S. 1996. Pengaruh suhu dan curah hujan terhadap populasi cacing cestoda parasit pada saluran pencernaan ayam buras di Kecamatan Kota Bumi Kabupaten Lampung Utara, Lampung. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Janssen Animal Health. 2007. Life cycle of Ascaridia http://www.janssenpharmaceutica.be/jah/index.htm. [18 juni 2010].
galli.
Jordan, F. T. W. 1990. Poultry Disease. Bailere Tindall, London. Kim, Y. M., S. Farrah, & R. H. Baney. 2006. Structure antimicrobial activity relationship for silanols, a new class of disinfectants, compared with alcohols and phenols. International Journal of Microbial Agents 29(2) : 217-222. Kohler I., K. Jennet-Siems, K. Siems, M. A. Hernandez, R. A. Ibarra. W. G. Berendsohn, U. Bienzle, & E. Eich. 2002. in vitro. Antiplasmodial investigation of medical plant from Elsavador. Z. Naturforsch 57(c) : 227281. Kumar, V., A. V. Elangovan, & A. B. Mandal. 2005. Utilization of reconstituted high tannin sorghum in the diets of broiler chicken. J. Anim. Sci. 18(4) : 538-544. Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Leonard, E., W. Runguphan, O. C. Sarah, & K. J. Prather. 2009. Opportunities in metabolic engineering to facilitate scalable alkaloid production. Nature Chemical Biology 5: 292 – 300. Levine, N. D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Editor : Wardiarto. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. List, P. H., & P.C. Schmidt. 1989. Phytopharmaceutical Technology. CRC Press Inc., Boston. Makkar, H. P. S. 1993. Antinutritional factor in food for livestock in animal producting in developing country. British Society of Animal Production 16 : 69-85. Makkar, H. P. S. 2003. Quantification of Tannins in Tree and Shrub Foliage : A Laboratory Manual. Kluwer Academic Publisher, Netherland. Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan: K. Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. 46
Miller, K. 2009. Biofuel business from Jatropha plant. http://www.heatingoil.com [10 maret 2010]. Min, B. R. D., & S. P. Hart. 2003. Tannins for suppression of internal parasite. J. Anim. Sci. 81 : 102-109. Mukhopadhiay, M. 2000. Natural Extract Using Supercritical Carbon Dioxide.CRC Press, London-New York. Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial System. CRC Press, USA. Nicholson, J. A. 1947. Landers Veterinery Toxycology. Bailere Tindall, London. Noble, E. R., & G. A. Noble. 1989. Parasitologi (Biologi Parasit Hewan). Terjemahan : Wardiarto. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Nurmillah, O. Y. 2009. Kajian aktivitas antioksidan dan antimikroba ekstrak biji, kulit buah, batang dan daun tanaman jarak pagar (Jatropa curcas L.). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Payanti, N. M. Y. D. 2008. Profil organ dalam serta histopatologi usus dan hati ayam kampung terinfeksi Ascaridia galli yang diberi tepung daun jarak (Jatropa curcass Linn). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Permin, A., P. Hansen, M. Bisgard, Frandsen, & M. Pearman. 1998. Studies on Ascaridia galli in chickens kept at different stocking rate. J. of Avian Pathology 27 : 382-389. Prindle, R. F. 1983. Phenolic Compounds. 3rd ed. Lea and Febiger, Philadelphia. Purwati, E., & He, S. 1991. Pengaruh getah papaya (Carica papaya) terhadap Ascaridia galli dewasa in vitro. Hemera Zoa 74: 6-10. Pusat Kesehatan Hewan. 2008. Ascariasis pada unggas. http://www.vet-klinik.com. [4 april 2010] Rachmawati, S., G. Adiwinata, T. B. Mudiarti, & T. Sulistianingsih. 2001. Kandungan kimia daun pare (Momordica charantia linn) dan efek anthelmintik terhadap cacing lambung (Haemonchus contortus rudolphi). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Reed, J. D. 1995. Nutritional toxicology of tannin and related polypheol in forage legume. Animal Feed Science and Technology 73:1516-1526. Retnani, E., & U. K. Hadi, 2007. Beberapa aspek Cestodosis dan peran serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya pada ayam petelur. Laporan Akhir Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ridwan, Y. 2005. Studi tentang kandungan kimia berbagai ekstrak daun miana (Coleus blumei) dan efek anthelmintiknya terhadap cacing pita ayam. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 47
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sikkema, J. J, A. D. Bont, & B. Poolman. 1995. Mechanism of membran toxicity of hydrocarbons. Microbiol. Rev. 59 : 70. Silva, G. D. F., L. P. Duarte, H. C. S. Paes, J. R. Sousa, M. C. Nonato, P. J. Portezani, & Y. P. Mascarenhas. 2005. A new triterpene lactone isolated from Austroplenckia populnea. J. Braz. Chem. Soc. 9(5) : 64-67. Sirait, 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Siswandono, & B. Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal. Edisi ke-2. Airlangga University Press, Jakarta. Smyth, J. D., & D. P. McManus. 1989. The Physiology and Biochemistry of Cestodes. Cambridge University Press, Great Britain. Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. Lea & Fabiger, Philadelphia. Soulsby, E. J. L. 1986. Texbook of Clinical Parasitology Volume I: Helminth. Blackwell Scientific Publication, Oxford, London. Staubmann, R., M. Schubert-Zsilavecz, A. Hiermann, & T. Kartning. 1997. The anti inflammantory effect of Jatropa curcas Leaves. Proceeding Symposium “Jatropha 97”, Nicaragua. Steel, R. G. D., & J. H. Torrie. 1997. Principles and Biometrical Approach, 3rd ed. Mc Graw. Hill, Inc., Singapura. Sugiarto, D. 2009. Tentang cacing pita. http:// http://www.didiksugiarto.com. [15 Juni 2010] Sukarban, S., & S. O. Santoso. 1995. Kemoterapi Parasit. Edisi ke-4. Farmakologi Fakultas Kedokteran Umum. Universitas Indonesia, Jakarta. Sumarni, N. 2008. Efektivitas tepung daun jarak (Jatropha carcas Linn) sebagai anticacing Ascaridia galli dan pengaruhnya terhadap performa ayam kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryana & A. Hasbianto. 2008. Usaha tani ayam buras di Indonesia : Permasalahan dan tantangan. Jurnal Litbang Pertanian 27(3) : 75-83. Suwarti, Y. R. 1990. Identifikasi cacing cestoda pada saluran pencernaan ayam buras di Bogor dan sekitarnya. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tabbu, C. R. 2003. Penyakit Ayam dan Penyebabnya. Penyakit Asal Parasit, Non Infecsius dan Ethiologi Kompleks. Vol. 2. Kanisius, Yogyakarta. Tizard. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. Edisi ke-2. W.B. Saunders Company, Philadelphia. Ueda, H., A. Takagi, K. Katou, & S. Matsumoto. 2002. Feeding behaviour in chicks fed tea saponin and quinine sulphate. Journal of Poultry Science 39 :34-41.
48
Vickery, M. L, & B. Vickery. 1981. Secondary Plant Methabolism. The Macmillan Press, London and Basingtoke. Wardoyo, W., 2007. Pengaruh taraf pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropa curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan reproduksi mencit (Mus muculus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.
49
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Analisis Ragam Rataan Waktu Kematian Cacing Pita db
JK
KT
F hitung*
F 0,05
F 0,01
Total
10
10,14
1,01
38,01
2,30
3,26
Perlakuan
22
0, 59
0,03
Error
32
10, 72
SK
Keterangan :
*
Berbeda nyata (P<0,05), SK = Sumber Keragaman, db = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, F hit = Faktor koreksi berdasarkan hasil perhitungan, F 0,05 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05), F 0,01 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 2. Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu Kematian Cacing Pita Perlakuan
Rataan
Notasi
1
2,47
e
2
2,27
de
3
2,40
e
4
2,07
cd
5
1,80
bc
6
1,67
b
7
1,20
a
8
1,13
a
9
1,07
a
10
1,07
a
11
1,00
a
Keterangan :
Notasi dengan menggunakan huruf berbeda nyata (p<0,05).
kecil pada kolom yang sama menunjukkan
51
Lampiran 3. Analisis Ragam Rataan Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli Db
JK
KT
F hitung*
F 0,05
F 0,01
Total
10
27, 97
2, 80
7, 63
2, 30
3, 26
Perlakuan
22
8, 07
0, 37
Error
32
36, 04
SK
Keterangan :
*
Berbeda nyata (P<0,05), SK = Sumber Keragaman, db = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, F hit = Faktor koreksi berdasarkan hasil perhitungan, F 0,05 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05), F 0,01 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 4. Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli Perlakuan
Rataan
Notasi
1
9,47
d
2
8,50
cd
3
8,60
cd
4
8,33
cd
5
8,33
cd
6
7,77
bc
7
8,37
cd
8
7,80
bc
9
7,07
ab
10
6,33
a
11
6,40
a
Keterangan :
Notasi dengan menggunakan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
52
Lampiran 5. Analisis Ragam Jumlah Kematian Cacing Pita db
JK
KT
F hitung*
F 0,05
F 0,01
Total
10
11,5758
1,1576
9,5500
2,2967
3,2576
Perlakuan
22
2,6667
0,1212
Error
32
14,2424
SK
Keterangan : *Berbeda nyata (P<0,05), SK = Sumber Keragaman, db = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, F hit = Faktor koreksi berdasarkan hasil perhitungan, F 0,05 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05), F 0,01 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 6. Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Jumlah Kematian Cacing Pita Perlakuan
Rataan (jam)
Notasi
1
3
c
2
4
b
3
4
bc
4
4
b
5
5
a
6
5
a
7
5
a
8
5
a
9
5
a
10
5
a
11
5
a
Keterangan :
Notasi dengan menggunakan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
53
Lampiran 7. Analisis Ragam Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli db
JK
KT
F hitung*
F 0,05
F 0,01
Total
10
40,8485
4,0848
6,1273
2,2967
3,2576
Perlakuan
22
14,6667
0,6667
Error
32
55,5152
SK
Keterangan : *Berbeda nyata (P<0,05), SK = Sumber Keragaman, db = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, F hit = Faktor koreksi berdasarkan hasil perhitungan, F 0,05 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05), F 0,01 = Hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 8. Uji Duncan Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap Jumlah Kematian Cacing Ascaridia galli Perlakuan
Rataan (ekor)
Notasi
1
6
e
2
7
cde
3
6
cde
4
7
cde
5
6
cde
6
7
cd
7
6
de
8
7
cde
9
8
bc
10
9
ab
11
9
a
Keterangan :
Notasi dengan menggunakan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
54
Lampiran 9. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Tanin dan Saponin dalam Ekstrak Daun Jarak terhadap Waktu Kematian Cacing Pita Model Summary R
R2
Adjusted R Square
0,877
0,770
0,674
ANOVAb Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
8,015
0,002*
t
Sig.
B
Std. Error
Regression
13,852
5
2,770
Residual
4,148
12
0,346
Total
18,000
17
Keterangan : b = Predictors: (constant), Tanin, Saponin * Berbeda nyata
Coefficientsa Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant) 1
Std. Error
2,521
0,087
Tanin
-1,107
0,194
Saponin
-0,471
0,082
Beta
29,069
0,000
0.272
0,932
0.421**
-1,104
15,301
0,000*
Keterangan : a = Dependent variable: cacing pita * Berbeda nyata ** Tidak berbeda nyata
55
Lampiran 10. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Tanin dan Saponin dalam Ekstrak Daun Jarak terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaridia galli Model Summary Multiple R
R2
Adjusted R Square
0,749
0,562
0,322
ANOVAb Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
2,348
0,104**
Regression
10,107
6
1,685
Residual
7,893
11
0,718
Total
18,000
17
Keterangan : b = Predictors: (constant), Tanin, Saponin ** Tidak berbeda nyata
Coefficientsa Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant) 1
Std. Error
9,106
,262
Tanin
-1,744
0,584
Saponin
-0,742
0,249
Beta
t
Sig.
B
Std. Error
34,770
0,000
3
0,280
0,839**
3
0,590
0,634**
Keterangan : a = Dependent variable: cacing pita ** Tidak berbeda nyata
56
Lampiran 11. Data Populasi Ternak di Indonesia Tahun 2000-2009 Satuan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
000 Ekor
259,256.60
268,039.06
275,291.87
277,357.04
276,989.05
278,953.78
291,085.19
272,251.14
243,423.30
261,420.40
000 Ekor
530,874.06
621,870.43
865,074.79
847,743.89
778,969.84
811,188.68
797,527.45
891,659.34
902,052.40
930,317.80
000 Ekor
69,366.01
70,254.49
78,038.87
79,206.05
93,415.52
84,790.41
100,201.56
111,488.87
107,955.10
110,106.20
Babi
Ekor
5,356,834.00
5,369,325.00
5,926,807.00
6,150,535.00
5,980,148.00
6,800,698.00
6,218,202.00
6,710,758.00
6,837,529.00
7,384,126.00
Domba
Ekor
7,426,992.00
7,401,117.00
7,640,684.00
7,810,702.00
8,075,149.00
8,327,022.00
8,979,849.00
9,514,184.00
9,605,338.00
10,471,991.00
Itik
000 Ekor
29,035.32
32,068.34
46,000.88
33,862.82
32,572.78
32,405.43
32,480.72
35,866.83
39,839.50
42,090.10
Kambing
Ekor
12,565,569.00
12,463,889.00
12,549,086.00
12,722,082.00
12,780,961.00
13,409,277.00
13,789,954.00
14,470,215.00
15,147,433.00
15,655,739.00
Kerbau
Ekor
2,405,277.00
2,333,429.00
2,403,033.00
2,459,434.00
2,403,298.00
2,128,491.00
2,166,606.00
2,085,779.00
1,930,716.00
2,045,550.00
Kuda
Ekor
412,384.00
422,191.00
419,036.00
412,682.00
397,299.00
386,708.00
397,642.00
401,081.00
392,864.00
398,226.00
Sapi Perah
Ekor
354,253.00
346,998.00
358,386.00
373,753.00
364,062.00
361,351.00
369,008.00
374,067.00
457,577.00
486,991.00
Ekor
11,008,017.00
10,215,193.00
11,297,625.00
10,504,128.00
10,532,889.00
10,569,312.00
10,875,125.00
11,514,871.00
12,256,604.00
12,603,160.00
Komoditi Ayam Buras Ayam Ras Pedaging Ayam Ras Petelur
Sapi Potong
* Status Angka : Angka sementara Sumber Data : Departemen Pertanian
57
Lampiran 12. Data Populasi Ternak di Jawa Barat Tahun 2000-2009 Komoditi
Satuan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
Ayam Buras
000 Ekor
34,091.78
27,703.05
30,273.58
31,294.78
30,779.12
30,989.81
29,319.16
27,789.27
27,761.00
28,593.80
Ayam Ras Pedaging 000 Ekor
196,422.40
238,050.37
269,778.37
296,160.07
328,015.54
352,434.30
343,954.09
377,549.05
417,373.50
429,894.80
Ayam Ras Petelur
000 Ekor
12,432.95
7,403.49
8,588.80
8,446.13
9,720.69
10,169.28
10,351.11
11,462.74
10,303.40
10,612.50
Babi
Ekor
14,539.00
12,337.00
9,702.00
11,207.00
8,092.00
9,057.00
12,487.00
7,043.00
4,773.00
4,964.00
Domba
Ekor
Itik
000 Ekor
4,204.71
4,055.54
4,293.64
4,952.22
Kambing
Ekor
1,705,605.00
922,633.00
878,043.00
930,066.00
Kerbau
Ekor
326,040.00
153,372.00
148,778.00
146,758.00
149,960.00
148,003.00
149,444.00
149,030.00
145,847.00
146,576.00
Kuda
Ekor
10,955.00
11,851.00
11,963.00
12,124.00
14,242.00
12,474.00
15,555.00
15,755.00
13,717.00
13,786.00
Sapi Perah
Ekor
84,788.00
84,934.00
91,219.00
95,513.00
98,958.00
92,770.00
97,367.00
103,489.00
111,250.00
114,588.00
Sapi Potong
Ekor
174,697.00
189,518.00
189,518.00
223,818.00
232,949.00
234,840.00
254,243.00
272,264.00
295,554.00
302,943.00
3,475,019.00 3,087,038.00 3,162,234.00 3,288,884.00 3,529,456.00 3,735,919.00 4,221,806.00 4,605,417.00 5,311,836.00 5,524,309.00
* Status Angka : Angka sementara Sumber Data : Departemen Pertanian
58
4,880.02
5,305.49
5,296.76
6,534.75
7,962.00
8,200.90
1,144,102.00 1,138,695.00 1,148,547.00 1,294,453.00 1,431,012.00 1,488,252.00
Lampiran 13. Data Produksi Daging di Indonesia Tahun 2000-2009 Komoditi
Satuan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
Daging
Ton
1,445,170.00
1,560,600.00
1,769,844.00
1,872,566.00
2,020,356.00
1,817,027.00
2,062,860.00
2,069,519.00
2,136,727.00
2,181,169.00
Daging Ayam Buras
000 Ton
265.21
275.14
288.34
298.51
296.42
301.42
341.25
294.88
273.50
282.60
Daging Ayam Ras Pedaging
000 Ton
515.00
536.95
751.90
771.10
846.09
779.10
861.26
942.78
1,018.70
1,016.80
Daging Ayam Ras Petelur
000 Ton
23.74
88.30
42.77
48.10
48.40
45.19
57.63
58.16
57.30
59.00
Daging Babi
000 Ton
162.40
160.15
164.49
177.09
194.67
173.69
195.99
225.90
209.80
220.00
Daging Domba
000 Ton
33.41
44.77
68.70
80.60
66.10
47.30
75.18
56.85
47.00
54.10
Daging Itik
000 Ton
13.79
23.12
21.80
21.24
22.21
21.35
24.53
44.10
31.00
31.90
Daging Kambing
000 Ton
44.89
48.70
58.20
63.90
57.13
50.60
65.01
63.61
66.00
68.80
Daging Kerbau
000 Ton
45.85
43.65
42.30
40.64
40.24
38.10
43.89
41.75
39.00
41.10
Daging Kuda
000 Ton
0.93
1.09
1.06
1.59
1.56
1.59
2.27
1.97
1.80
1.90
Daging Sapi
000 Ton
339.94
338.69
330.29
369.71
447.57
358.70
395.84
339.47
392.50
404.50
Susu
000 Ton
495.65
479.95
493.40
553.40
549.90
535.96
616.55
567.68
647.00
679.20
Telur
000 Ton
783.30
850.30
945.80
973.60
1,107.41
1,051.50
1,204.42
1,336.20
1,323.60
1,404.50
Telur Ayam Buras
000 Ton
139.02
154.95
161.70
177.00
172.10
175.43
193.95
230.47
166.60
174.30
Telur Ayam Petelur
000 Ton
502.98
537.79
614.40
611.50
762.00
681.15
816.83
944.13
956.00
1,013.50
Telur Itik
000 Ton
141.31
157.58
169.70
185.00
173.20
194.96
193.63
207.53
201.00
216.60
* Status Angka : Angka sementara Sumber Data : Departemen Pertanian
59