Goblet Cell Response Against Parasitic Disease in Laying Hens Treated With Excretory/Secretory of Ascaridia galli L3
RESPONS SEL GOBLET TERHADAP PENYAKIT PARASITIK PADA AYAM PETELUR YANG DIBERIKAN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli 1
2
Ummu Balqis , Darmawi , Muhammad Hambal
3
1
Laboratory of Pathology, Veterinary Faculty of Syiah Kuala University Laboratory of Microbiology, Veterinary Faculty of Syiah Kuala University 3 Laboratory of Parasitology, Veterinary Faculty of Syiah Kuala University. E-mail:
[email protected] 2
Abstract The aim of this research was to examine the effect of excretory/secretory released by L3 of A. galli to trigger mucosal response based on proliferation of goblet cells in laying hens. As many as 12 Isa Brown layers were devided into four groups. First group was not treated. Second group was treated with 80 µg excretory/secretory A. galli mixed with Fruend Adjuvant Complete and repeated three times with dose of each 60 µg excretory/secretory of A. galli mixed with Freund Adjuvant Incomplete with an interval of one week intra muscularly. Third group chickens were treated with 1000 L2 of A. galli. Fourth group chickens were treated with excretory/secretory and chalanged with 1000 L2 one week later. The chickens were necropsy two weeks after chalanged. Doudenum, jejunum, and ileum of intestines were cut in transversally. The tissue were blocked in paraffin and the histologic preparates were done by means of dehydration, clearing, infiltration and embedding in paraffin, section and special periodic acid staining. Goblet cells response were observed and counted per 1000 of absorptive cells in villi of intestine. The result showed that vaccinated was able to increased significantly goblet cells. This research concluded that the excretory/secretory could trigger mucosal response against parasitic diseases caused by A. galli. Keywords: Ascaridia galli, excretory/secretory, goblet cell
790
Pendahuluan Kecacingan yang disebabkan oleh Ascaridia galli pada ayam petelur masih saja terjadi, akibatnya dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat berarti. Meskipun jarang menimbulkan kematian, namun ayam petelur mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan karena sifat penyakit yang berjalan kronis. Cacing yang survive di dalam saluran cerna menjadi pengganggu pertumbuhan sehingga dapat menurunkan bobot badan dan penurunan produksi telur. Infeksi A. galli dapat menimbulkan lesio patologis seperti deskuamasi, hiperemi dan hemoragi, dan juga ulserasi intestinal yang kadang-kadang berakhir dengan kematian. Invasi cacing nematoda parasitik ke jaringan dapat memicu host-parasite interaction. Respons imunitas selaput lendir mukosa saluran cerna inang definitif terhadap infeksi cacing nematoda dibangkitkan oleh antigen cacing tersebut. Antigen ekskretori/sekretori dapat memicu peningkatan respons sel T helper 2 (Th-2). Reaksi sel Th-2 dapat menggertak pelepasan sitokin terutama interleukin (IL-3, IL-4 dan IL5). IL-3 merangsang mastopoiesis berdegranulasi untuk melepaskan mediator peradangan, senyawa vasoaktif dan kemoatraktan yang berfungsi untuk merekrut sel eosinofil. IL-5 merangsang aktivasi sel eosinofil untuk melepaskan mediator kimia seperti enzim hidrolitik dan zat sitotoksik. Aktivasi sitokin yang dilepaskan oleh sel T yaitu Th-2 merangsang proliferasi dan hiperplasia sel goblet dan pelepasan mukus yang bersifat viscoelastic gel. Sel goblet berbentuk seperti piala yang terletak diantara sel absorbtif saluran cerna [1]. Sel goblet mensintesis granula-granula yang bersifat netral yang mengandung musin glikoprotein dan asam sialat [2]. Proliferasi sel goblet memberi perlindungan permukaan usus halus dari ancaman invasi A. galli [3], dan mukus yang dilepaskan oleh sel goblet membatasi gerakan cacing dengan cara menutupi kutikulanya sehingga tidak mampu mengadakan perlekatan pada mukosa usus dan dengan bantuan peristaltik usus akan dikeluarkan bersama tinja [4]. Kutikula cacing nematoda Nipprostrongylus brasiliensis dirusak oleh antibodi yang disekresikan ke dalam lumen intestinal tikus. Cacing dijerat melalui fragment antibodi (Fab), sedangkan fragment constant (Fc) antibodi tertanam ke dalam reseptor FcєRI yang terdapat pada permukaan sel mast mukosa saluran pencernaan dan sel eosinofil. Transduksi sinyal dari rantai γ pada reseptor FcєRI menyebabkan degranulasi sel mast mukosa untuk melepaskan senyawa faktor kemotaktik, faktor vasoaktif, histamin dan serotinin. Histamin memicu kontraksi otot pada usus halus, dan serotonin menyebabkan vasokontriksi sehingga meningkatkan tekanan darah. Kontraksi usus halus dan sel eosinofil melepaskan major basic protein yang bersifat helmintoksik sehingga cacing dapat dikeluarkan melalui self cure reaction [5]. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons pertahanan mukosa usus halus berdasarkan respons sel goblet yang mengalami proliferasi dan hiperplasia sel goblet pada duodenum, jejunum, dan ileum ayam petelur yang divaksinasi dengan ekskretori/sekretori dan ditantang dengan L3 A. galli.
Metode Rancangan Penelitian. Sepuluh hari sebelum vaksinasi masing-masing ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Dua belas ekor ayam HySex Brown berumur 12 minggu
791
digunakan sebagai ayam percobaan yang dibagi menjadi empat kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari tiga ekor ayam. Kelompok 1 adalah sebagai kelompok kontrol, ayam tidak divaksin dan tidak pula ditantang. Kelompok 2 adalah ayam divaksin dengan crude ekskretori/sekretori. Kelompok 3 adalah ayam diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli. Kelompok 4 adalah ayam divaksin dengan crude ekskretori/sekretori L3 A. galli dan dtantang dengan dosis 1000 L2 A. galli. Semua ayam percobaan dinekropsi pada minggu ke-2 pascainfeksi. Pertahanan selaput lendir mukosa saluran cerna ayam diamati dengan cara melihat reaksi proliferasi dan hiperplasia sel goblet pada sediaan histologi dari duodenum, jejunum, dan ileum semua kelompok ayam percobaan. Ekskretori/Sekretori. Sebanyak 5 – 10 ekor L3 dikultur secara in vitro dalam setiap ml medium Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640). Antigen ekskretori/sekretori dipreparasi dari produk metabolisme L3 yang dilepaskan ke dalam medium kultur. Medium kultur dipekatkan dengan vivaspin 30.000 MWCO [6], dan kuantitas protein antigen dihitung dengan metode Bradford. Vaksinasi. Vaksinasi dilakukan empat kali secara intramuskular dalam interval waktu satu minggu setiap kali vaksinasi. Vaksinasi pertama menggunakan 80 g ekskretori/sekretori dalam emulsi antigen plus Freund’s Complete Adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 g ekskretori/sekretori setiap kali vaksinasi) dalam emulsi antigen plus Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) [7,8]. Infeksi L2 A. galli. Cacing betina terpilih ditempatkan ke dalam cairan aquadestilata steril di bawah stereo mikroskop dan tubuhnya dilukai dengan ujung oese yang tajam sehingga uterusnya keluar dari tubuh cacing. Uterus ditoreh kembali sehingga telur A. galli mengalir di dalam aquadestilata. Telur cacing diinkubasi dalam cawan petri plastik berisi aquadestilata steril pada temperatur kamar selama 20 – 31 hari (tergantung perkembangan larva) sehingga terbentuk larva infektif (L2) [9]. Selanjutnya, L2 A. galli dimasukkan ke dalam masing-masing eppendorf dengan dosis 1000 untuk diinfeksikan langsung ke dalam oesofagus ayam. Preparasi Sediaan Histologi. Pembuatan sedian preparat histologi dilakukan dengan mengambil sampel usus sepanjang 2 cm dari duodenum, jejunum, dan ileum dan difiksasi dalam Bufer Normal Formalin 10%. Jaringan usus tersebut kemudian didehidrasi melalui etanol dengan kadar bertingkat, dijernihkan dalam xylol, diblok dalam parafin dan dipotong setebal 5 m [10]. Respons Sel Goblet. Respons sel goblet pada usus halus ayam petelur dievaluasi berdasarkan proliferasi dan hiperplasia sel goblet melalui sediaan histologi duodenum, jejunum, dan ileum. Sediaan sel goblet diwarnai dengan pewarnaan khusus Periodic Acid (PAS). Jumlah sel goblet dihitung per 1000 sel-sel absorbtif pada villi [11]. Analisis Data. Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan [12].
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah sel goblet pada duodenum kelompok ayam yang divaksin, kelompok ayam yang diinfeksi, kelompok ayam yang divaksin dengan ekskretori/sekretori dan ditantang dengan dosis 1000 L2
792
A. galli berbeda secara signifikan (P < 0,05) dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak divaksin dan tidak diinfeksi. Peningkatan jumlah sel goblet secara signifikan juga terjadi antara kelompok ayam yang divaksin dan ditantang dibandingkan dengan semua kelompok. Secara statistik, perbedaan jumlah sel goblet tidak signifikan (P > 0,05) pada duodenum antara kelompok ayam yang divaksin dengan kelompok ayam yang diinfeksi. Pada jejunum dan ileum, perbedaan jumlah sel goblet antara kelompok infeksi dan kelompok ayam divaksin dan ditantang menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (Tabel 1).
No. 1
TABLE 1 Rataan jumlah sel goblet pada 1000 sel absorbtif usus halus. Perlakuan Duodenum Jejunum Ileum a a 203,33 ± 2,29 142,67 ± 4,43 108,33 ± 0,58a
2
ES
262.33 ± 7,26b
215,00 ± 5,69b
200,33 ± 1,45b
3
L2
264,67 ± 4.71b
293,67 ± 5,22c
313,00 ± 5,20c
4
ES + L2
525,00 ± 5,19c
339,00 ± 3.76c
343,33 ± 7,09c
Keterangan: - = kelompok ayam yang tidak divaksin dan tidak ditantang, ES = kelompok ayam yang divaksin dengan ekskretori/sekretori, L2 = kelompok ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 L2, ES + L2 = kelompok ayam yang divaksin dan ditantang dengan dosis 1000 L2. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang signifikan. Peningkatan jumlah sel goblet ditemukan pada duodenum, jejunum, dan ileum dari kelompok ayam yang diimunisasi dengan ekskretori/sekretori dan atau ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli seperti yang disajikan pada Tabel 1. Sel goblet dihasilkan secara terus menerus pada individu yang terinfeksi pada gastrointestinal [3, 11, 13, 14, 15]. Proliferasi sel goblet berperan dalam mekanisme pengeluaran larva A. galli dengan cara mensekresikan, menyimpan, dan melepaskan musin ke dalam lumen untuk menambah kapasitas lendir sehingga larva dengan cepat dapat dikeluarkan dari tubuh inang definitif [6, 16, 17]. Vaksinasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat meningkatkan pertahanan selaput lendir mukosa usus halus ayam petelur yang ditandai dengan proliferasi sel goblet. Musin yang dihasilkan sel goblet secara berkesinambungan menghasilkan lendir yang mampu menjerat larva A. galli dan dengan gerakan peristaltik usus akan dikeluarkan dari saluran cerna ayam petelur. Musin yang dihasilkan oleh sel goblet dilaporkan berperan sebagai barrier pertahanan fisik dan non-spesifik terhadap invasi larva. Proliferasi dan hiperplasia sel goblet intestinal pada nematodosis berimplikasi terhadap kuantitas musin yang disalurkan ke dalam lumen intestinal. Musin sel goblet dengan konsentrasi garam-garam sulfat yang lebih banyak dapat berperan pada pengeluaran larva secara cepat [5]. Gambaran yang diperoleh dari penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahu bahwa mekanisme pengeluaran larva N. brasiliensis secara cepat terjadi karena kolaborasi antara sel mast dengan sel goblet [11]. Pengeluaran cacing genus Strongyloides dewasa dipengaruhi oleh sel mast [18]. Peneliti lain melaporkan bahwa protease produk dari ekskretori/sekretori cacing nematoda dewasa Strongyloides ratti secara in vitro dapat merangsang sel limfosit T dari sel-sel limfonodus mesenterik tikus untuk menghasilkan limfokin [19]. Limfokin yang dihasilkan adalah IL-3 yang dapat memicu proliferasi sel mast mukosa intestinal dari differensiasi sel progenitor. Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa sel mast merupakan sel efektor dalam mekanisme pertahanan selaput lendir, sel mast
793
berhubungan dengan keluarnya cacing dewasa, dan sangat tergantung pada jenis parasit dan inang percobaan yang digunakan [4]. Musin yang dihasilkan sel goblet merupakan campuran antara air, glikoprotein, glikolipid, elektrolit-elektrolit, enzim, garam, dan sekresi kelenjar. Apabila musin sel goblet terlepas ke dalam lumen akan berintegrasi dengan imunoglobulin menghasilkan efek antitoksin pada permukaan mukosa dan epitel saluran pencernaan, sehingga dapat merupakan barrier yang protektif bagi sel-sel epitel usus dari ancaman agen penyakit. Selain itu, sel goblet dibutuhkan untuk menjaga kapasitas lendir yang membentuk gel, kental, dan lengket di dalam lumen sehingga membatasi larva berpenetrasi ke jaringan sehingga larva akan mudah didorong ke caudal dan dikeluarkan bersama tinja oleh kontraksi peristaltik saluran cerna [20]. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekskretori/sekretori yang dilepaskan oleh L3 A. galli dapat memicu respons sel goblet yang ditandai oleh proliferasi sel goblet mukosa usus halus ayam petelur. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini melalui Riset Unggulan Terpadu. Daftar Pustaka [1] I.R. Tizard, Veterinary Immunology an Introduction. Fifth Edition, WB Sounders Company, a Division of Harcourt Brace and Company (The Curtis Center Independence Square West, Philadelphia, Pennsylvania, 1996). [2] J.B. McKeand, Knox D.P., Duncan J.L. and Kennedy M.W., Protective Immunisation of Guinea Pigs Against Dictyocaulus viviparus Using Excretory/Sexcretory Product of Adult Parasites. Int. J. for Parasitol. 25 (1995), 93 – 104. [3] U. Balqis, Darmawi, Tiuria R, Priosoeryanto B.P, dan Suhartono M.T., Proliferasi Sel Goblet Duodenum, Jejunum, dan Ileum Ayam Petelur Yang Diimunisasi dengan Protein Ekskretori/Sekretori Ascaridia galli. Jurnal Kedokteran Hewan 1:2 (2007), 65 - 70. [4] Y. Nawa, Abe T, and Owhashi M., Host Response to Helminths with Emphasis on Eosinophils and Mast Cells. In Helminthology. Edition Chowdhury N and Tada I. (Norasa Publishing House, New Delhi, 1994). [5] I.M. Roitt and Delves P.J., Roitt’s Esential Immunology. Tenth Edition, Blackwell Science Ltd. (Osney Mead Oxford OX2 OEL, 2001). [6] R. Tiuria, Ridwan Y. and Murtini S., Study of Bioactive Substance from Ascaridia galli Adult Worm that Stimulate Intestinal Mucosal Defense Mechanism in Chicken for Medical Purpose (Proceeding of the Seminar on Science and Technology, Indonesia-Toray Science Foundation, Jakarta 2003). [7] G. Camenisch, M. Tini, D. Chilov, I. Kvietikova, V. Srinivas, J. Caro, P. Spielmann, R. H. Wenger, and M. Gassmann, General Applicability of Chicken Egg Yolk Antibodies: the Performance of IgY Immunoglobulins Raised Against the Hypoxia-inducible Factor 1 . J. FASEB. 13 (1999), 81-88. [8] D. Carlander, Avian IgY Antibody in vitro and in vivo. Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine, (ACTA Universitatis Upsaliensis, Upsala 2002). [9] R. Tiuria, Hubungan Antara Dosis Infeksi, Biologi Ascaridia galli dan Produktivitas Ayam Petelur (Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor, 1991).
794
[10] U. Balqis, Darmawi, Handharyani E, dan Hambal M. Deteksi Keberadaan Antigen Pada Kutikula Ascaridia galli Dengan Imunoglobulin Yolk Melalui Metode Imunohistokimia (Proceeding: Seminar Nasional ChESA, Banda Aceh, 22 – 23 Desember 2010). [11] H.R.P. Miller and Nawa Y., Nipprostrongylus brasiliensis: Intestinal Goblet Cell Response in Adoptively Immunized Rats. J. of Exp. Parasitol. 47 (1979), 81-90. [12] R.G.D. Steel and Torrie JH., Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999). [13] P.D.C. Douch, Morum PE, and Rabel B., Secretion of Anti-parasite Substances and Leukotrines from Ovine Gastrointestinal Tissues and Isolated Mucosal Mast Cells. Int. J. for Parasitol, 26:2 (1996), 205 – 211. [14] T.R. Klei, Immunological Control of Gastrointestinal Nematode Infections. Vet. Parasitol. 72 (1997), 507 - 523. [15] B. Deplancke and Gaskins H.R., Microbial Modulation of Innate Defense: Goblet Cells and the Intestinal Mucus Layer. Am. J. of Clin. Nutr. 73:6 (2001): 1131S-1141S. [16] F. Athaillah, Respon Pertahanan Selaput Lendir Usus Halus Terhadap Infeksi Cacing Ascaridia galli Pada Ayam Petelur (Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 1999). [17] U. Balqis, Pengaruh Pemberian Ekskretori-Sekretori (ES) Cacing Ascaridia galli Dewasa, L2, dan Kombinasinya Terhadap Perubahan Struktur Morfologi Saluran Cerna Ayam Petelur (Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2004). [18] A.I. Khan, Horii Y, Tiuria R, Satoo Y dan Nawa Y., Mucosal Mast Cells and the Expulsive Mechanisms of Mice Against Strongyloides venezuelensis. Inter. J. for Parasitol. 23 (1993), 551-555. [19] T. Abe, Nawa Y, and Yoshimura K., Protease Resistant Interleukin-3 Stimulating Components in Excretory and Secretory Products from Adult Worms of Strongyloides ratti. J. of Helminthol. 66 (1992), 155 – 158. [20] W. Harnett, MacDonald M, Preece G, Patterson M and Parkhouse M.E., Production of Monoclonal Antibodies Against Excretory-Secretory Products of Adult Male Onchocerca gibsoni. J. of Parasitol. 83:2 (1997), 316 – 319.
795