ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR
DARMAWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Antigen Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli Sebagai Pemicu Pembentukan Imunoglobulin Yolk (IgY) Pada Ayam Petelur adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2007 Darmawi NRP. B063040071
RINGKASAN DARMAWI. Antigen Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli Sebagai Pemicu Pembentukan Imunoglobulin Yolk (IgY) Pada Ayam Petelur. Dibawah bimbingan RISA TIURIA PRIOSOERYANTO, RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO, dan FACHRIYAN HASMI PASARIBU. Ascaridiosis disebabkan oleh infeksi cacing nematoda parasitik Ascaridia galli. Penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai pemicu pembentukan imunoglobulin Y (IgY) antiascaridiosis pada ayam petelur. Dosis 6000 L2 diberikan kepada 100 ekor ayam, dan tujuh hari kemudian larva yang sudah menetas (L3) diambil kembali dari dalam usus halus. L3 dikultur secara in vitro (5 - 10/ml) dalam rosswell park memorial institute (RPMI 1640), pH 6,8, tanpa merah fenol dalam inkubator pada temperatur 37oC dan 5% CO2 selama 3 hari. Untuk mendapatkan antigen ekskretori/sekretori, medium kultur dipekatkan dengan vivaspin 30.000 MWCO, dan kuantitas protein antigen dihitung dengan metode Bradford. Berat molekul ekskretori/sekretori ditentukan dengan sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). Imunisasi aktif pertama pada ayam dengan dosis 80 μg diaplikasikan secara intramuskular. Imunisasi diulang tiga kali dengan dosis 60 μg dalam interval waktu satu minggu. Pada imunisasi pertama, antigen ekskretori/sekretori dicampur dalam fruend adjuvant complete dan imunisasi selanjutnya antigen dicampur dalam freund adjuvant incomplete. Telur ayam dikoleksi mulai hari ke-49 pascaimunisasi. Antiascaridiosis IgY diekstraksi dari kuning telur dengan menggunakan ammonium sulphate dan dipurifikasi melalui fast performance liquid chromatography (FPLC). Kuantitas IgY murni ditentukan dengan metode Bradford (λ = 280 nm). Antibodi dideteksi dengan uji agar gel precipitation test (AGPT) dan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). Deteksi antigen A. galli dilakukan secara imunohistokimia. Potensi IgY diuji terhadap populasi cacing A. galli secara in vivo. Ayam ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli. Ayam dimunisasi pasif setiap hari dengan dosis 0,875 mg secara oral selama 10 hari. Hasil menunjukkan bahwa persentase L2 yang berkembang menjadi L3 adalah 12.7%. Konsentrasi protein antigen ekskretori/sekretori adalah 0,595 mg/ml dengan berat molekul 28 kDa. Konsentrasi protein IgY setelah dipurifikasi adalah 0,875 ± 0.251 mg/ml. Uji AGPT menunjukkan bahwa antibodi mulai positif pada minggu keempat pascaimunisasi. Titer tertinggi kelompok ayam yang diimunisasi adalah 2,63 ± 1,20 OD (optical density) dicapai pada minggu ketiga dan titer terendah adalah 1,51 ± 0,48 OD dicapai pada minggu kenol pascainfeksi. IgY dapat mengenal keberadaan antigen pada bagian kutikula dan saluran cerna A. galli. Peningkatan titer antibodi berkorelasi positif dengan jumlah kelangsungan hidup cacing dalam saluran cerna (worm burden) 12 minggu pascainfeksi. Kombinasi imunisasi aktif dan pasif secara signifikan menurunkan secara signifikan (P < 0,05) populasi cacing A. galli di dalam usus halus ayam petelur. Antigen ekskretori/sekretori dapat memicu respons imunitas humoral terhadap penyakit parasit yang disebabkan oleh A. galli. Hasil tersebut merefleksikan bahwa produk ekskretori/sekretori L3 A. galli mengandung antigen, dan antibodi berperan dalam mekanisme imunitas inang terhadap A. galli. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen excretory/secretory , Immunoglobulin Y
SUMMARY DARMAWI. Excretory/Secretory Antigen of Ascaridia galli L3 Stage to Trigger Yolk Immunoglobulin in Laying Hens. Under advisory of RISA TIURIA PRIOSOERYANTO, RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO, and FACHRIYAN HASMI PASARIBU. Ascaridiosis caused by the nematode Ascaridia galli. A study was carried out to characterize excretory/secretory antigen of A. galli from larval stage to trigger anti-ascaridiosis yolk immunoglobulin in laying hens. A. galli L3 were recovered from intestines of 100 heads chickens 7 days after oesophagus inoculation with 6000 L2. L3 recovered in this manner were cultured (5 – 10 ml-1) in flasks containing rosswell park memorial institute (RPMI) 1640 media, pH 6.8, without phenol red. Cultures were incubated at 370C in 5% CO2 and culture fluid was collected after 3 days in culture. To prepare excretory/secretory antigen, culture medium were concentrated with vivaspin 30.000 MWCO, and antigen protein concentration were counted as described in Bradford method. The molecular weight of excretory/secretory antigen was determined with sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). Active immunizations were applied intra muscularly of chickens with an initial dose of 80 µg. The immunizations were repeated three times with dose of each 60 µg with an interval of one week. The first immunizations were excretory/secretory antigen mixed with fruend adjuvant complete and subsequently mixed with freund adjuvant incomplete. The chicken’s eggs were collected from 49 day after immunizations. Anti-ascaridiosis yolk immunoglobulin (IgY) was extracted from egg yolks by means of ammonium sulphate and purified using fast performance liquid chromatography (FPLC). The purity of anti-ascaridiosis IgY was determined by Bradford method (λ = 280 nm). Antibody was detected by agar gel precipitation test (AGPT) and enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). Antigen were detected with immunohistochemistry. Chickens were challanged with dose of 1000 L2 A. galli. Passive immunizations were applied ten times with dose of each 0,875 mg IgY with an interval of one day intra orally. IgY anti-ascaridiosis was tested against A. galli survival in vitro. The result showed that percentage of L2 developed L3 was 12.7%. The excretory/secretory antigen protein concentration was 0,595 mg/ml, the molecular weight was 28 kDa. IgY concentration after purification was 0,875 ± 0.251 mg/ml. Antibody was begun positive with AGPT at four weeks after immunization. The highest titer of serum was 2,63 ± 1,20 OD (optical density) reached at three weeks after infection and the lowest was 1,51 ± 0,48 OD can be triggered by using active immunizations. Antigen were able detected with IgY in cuticle and intestines of A. galli. Antibody levels were positively correlated with worm burden at 12 weeks after infection. Active combined with passive immunizations significantly (P < 0.05) decreased A. galli survival in intestine of laying hens. This research concluded that the excretory/ secretory antigen was able to trigger humoral immune responses against parasitic diseases caused by A. galli. Our results suggest that A. galli larvae excretory/secretory product contain protective antigen and that antibody-mediated mechanisms contribute to immune protection. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, yolk Immunoglobulin
© Hak cipta cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR
DARMAWI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
:
Antigen Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli Sebagai Pemicu Pembentukan Imunoglobulin Yolk (IgY) Pada Ayam Petelur
Nama Mahasiswa
:
DARMAWI
Nomor Pokok
:
B063040071
Program Studi
:
SAINS VETERINER
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. drh. Risa Tiuria Priosoeryanto, MS. Ketua
Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS. Anggota
Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2007
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadhirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Disertasi yang berjudul: Antigen Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli Sebagai Pemicu Pembentukan Imunoglobulin Yolk Anti-Ascaridiosis Pada Ayam Petelur. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Risa Tiuria Priosoeryanto, MS. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS dan Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan sejak awal penulis mengikuti pendidikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Dr. Supratman Sukowati yang bertindak selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk penyempurnaan karya ini. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, dan Rektor Universitas Syiah Kuala yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor pada program studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberikan bantuan beasiswa masing-masing melalui Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) dan Bantuan Beasiswa Nanggroe Aceh Darussalam (BB NAD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai sebagian penelitian ini melalui Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Penelitian Hibah Bersaing XIII. Karya ini dapat diselesaikan berkat adanya bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah turut serta membantu dalam penyelenggaraan pendidikan, persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengolahan data penelitian serta penulisan Disertasi ini. Kepada ayahanda Kamaruzzaman, ibunda Fatimah, ayah dan ibu mertua Alm. H. Razali Ahmad dan bunda Alm. Hj. Siti Hawa, dan kakak-kakak, adik-adik, serta seluruh keluarga, penulis mengucapkan terima kasih atas segala doa, bimbingan, dan dorongan semangat yang telah diberikan. Kebanggaan penulis kepada istri tercinta, drh. Ummu Balqis, MSi, yang senantiasa setia dan sabar mendampingi dan selalu bersama dalam menempuh studi. Pengorbanan adinda sangat berarti dalam meraih sukses. Terima kasih kepada putra dan putri tersayang, Rahi Abdurrahman dan Rania Samira, yang telah memberikan kesejukan hati dan pengertian sehingga sangat memudahkan penulis menempuh studi. Penulis menyadari bahwa karya ini masih banyak yang harus disempurnakan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini kiranya dapat disampaikan kepada penulis, semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2007 Wassalam, Darmawi ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samadua, Aceh Selatan, pada tanggal 27 Agustus 1970, sebagai anak kelima dari sembilan saudara dari pasangan ayahanda Kamaruzzaman dan ibunda Fatimah. Pendidikan sarjana dan profesi dokter hewan ditempuh pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (FKH-UNSYIAH), lulus tahun 1995. Sejak tahun 1997, penulis diangkat sebagai staf pengajar pada FKHUNSYIAH. Pada tahun 2001, penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan program Magister pada program studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) dan Bantuan Beasiswa Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (BB NAD).
iii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………
i
PRAKATA ………………………………………………………………….
ii
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………...
iii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
PENDAHULUAN ………………………………………………………… .
1
Latar Belakang …………………………………………………….
1
Tujuan Penelitian ………………………………………………….
4
Hipotesis ……………………………………………………………
4
Manfaat Penelitian …………………………………………………
4
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
5
1. Cacing Ascaridia galli ....................................................................
5
2. Antigen Ekskretori/Sekretori Cacing Nematoda ...........................
9
3. Respons Kekebalan Unggas Terhadap Antigen .............................
11
DISAIN PENELITIAN ..................................................................................
15
KAJIAN PERKEMBANGAN L1, L2, DAN L3 Ascaridia galli PADA AYAM PETELUR ............................................................................ Abstrak .............................................................................................
16 16
Abstract .............................................................................................
16
Pendahuluan ......................................................................................
17
Metode Penelitian .............................................................................
18
Hasil Penelitian .................................................................................
20
Pembahasan .......................................................................................
22
Kesimpulan .......................................................................................
24
Saran .................................................................................................
24
iv
ISOLASI DAN KARAKTERISASI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli ........................................................................ Abstrak .............................................................................................
25 25
Abstract .............................................................................................
25
Pendahuluan ......................................................................................
26
Metode Penelitian .............................................................................
27
Hasil Penelitian .................................................................................
29
Pembahasan .......................................................................................
31
Kesimpulan .......................................................................................
33
Saran .................................................................................................
33
PURIFIKASI IMUNOGLOBULIN YOLK PADA KUNING TELUR DARI AYAM YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/ SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli ................................................ Abstrak .............................................................................................
34 34
Abstract .............................................................................................
34
Pendahuluan ......................................................................................
35
Metode Penelitian .............................................................................
37
Hasil Penelitian .................................................................................
40
Pembahasan .......................................................................................
42
Kesimpulan .......................................................................................
45
Saran .................................................................................................
45
PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY ....... Abstrak .............................................................................................
46 46
Abstract .............................................................................................
46
Pendahuluan ......................................................................................
47
Metode Penelitian .............................................................................
48
Hasil Penelitian .................................................................................
50
Pembahasan .......................................................................................
51
Kesimpulan .......................................................................................
53
Saran .................................................................................................
53
v
DETEKSI KEBERADAAN ANTIGEN Ascaridia galli DENGAN IMUNOGLOBULIN YOLK MELALUI METODE IMUNOHISTOKIMIA.. Abstrak .............................................................................................
54 54
Abstract .............................................................................................
54
Pendahuluan ......................................................................................
55
Metode Penelitian .............................................................................
56
Hasil Penelitian .................................................................................
58
Pembahasan .......................................................................................
59
Kesimpulan .......................................................................................
60
Saran .................................................................................................
60
POTENSI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3, IMUNOGLOBULIN YOLK, DAN KOMBINASINYA TERHADAP PENURUNAN POPULASI Ascaridia galli ................................................ Abstrak .............................................................................................
61 61
Abstract .............................................................................................
61
Pendahuluan ......................................................................................
62
Metode Penelitian .............................................................................
63
Hasil Penelitian .................................................................................
65
Pembahasan .......................................................................................
66
Kesimpulan .......................................................................................
68
Saran .................................................................................................
68
PEMBAHASAN UMUM ………...…………………………………………
69
KESIMPULAN UMUM …………………………………………………….
77
SARAN ……………………………………………………………………..
77
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
78
LAMPIRAN …………………………………………………………………
86
vi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Rataan jumlah L3 dan persentase L3 terhadap dosis infeksi pada tiaptiap 4 ekor ayam donor dengan 5 kali ulangan 10 hari pascainfeks .....
21
2. Kuantitas protein ekskretori/sekretori larva A. galli ............................
30
3. Hasil uji AGPT terhadap IgY pada telur ayam ....................................
40
4. Kuantitas protein kuning telur pada tiap-tiap tahapan purifikasi IgY ..
42
5. Populasi cacing A. galli secara in vivo 12 minggu pascainfeksi ...........
65
vii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Siklus hidup Ascaridia galli .............................................................
6
2. Ascaridiosis pada usus halus unggas ...............................................
7
3. Sel B menjadi sel plasma penghasil antibodi ...................................
11
4. Hinge region yang menghubungkan Cγ1 dan Cγ2 pada IgG ...........
13
5. Perbedaan IgG pada mamalia dan IgY pada unggas ........................
14
6. Disain penelitian ..............................................................................
15
7. Jumlah L1 dan L2 yang berkembang dihasilkan oleh cacing A. galli betina dewasa .................................................................................... 8. Berat molekul antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli ........................
20 30
9. Titer antibodi di dalam kuning telur ayam ..........................................
41
10. Kromatogram FPLC IgY anti ekskretori/sekretori A. galli .................
41
11. Titer antibodi di dalam serum ayam pada tiap-tiap kelompok ayam percobaan ............................................................................................
50
12. Reaksi positif uji imunohistokimia terhadap antigen A. galli .............
58
13. Kompleks antigen-antibodi pada teknik polimer peroksidase ............
59
14. Reaksi pembentukan produk berwarna ...............................................
59
15. Ikatan antara epitop (antigenic determinant) pada antigen dan paratop (antigen binding site) pada F(ab) antibodi ............................................ 16. Mekanisme penghancuran kutikula cacing oleh sistem imunitas
......
74 75
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Larutan yang digunakan pada medium RPMI 1640 ............................
86
2. Larutan yang digunakan pada uji Bradford .........................................
86
3. Reagent SDS PAGE ………………………………………………….
87
4. Larutan yang digunakan untuk FPLC .................................................
89
5. Larutan yang digunakan untuk Uji ELISA .........................................
90
6. Pewarnaan imunohistokimia .........................................................................
92
ix
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Prevalensi nematodosis khususnya ascaridiosis yang disebabkan oleh infeksi Ascaridia galli pada ayam petelur masih sangat tinggi sehingga dapat menimbulkan
kerugian
ekonomi
yang
sangat
berarti.
Meskipun
tidak
menimbulkan kematian, namun ayam petelur yang menderita ascaridiosis dapat menyebabkan infeksi subklinis dan anoreksia (Permin et al. 2002) sehingga menimbulkan penurunan produksi yang sangat bermakna (Dahl et al. 2002). Ascaridiosis
pada
ayam
petelur
dapat
juga
menimbulkan
efek
imunosupresi yang rentan terhadap infeksi bakteri patogen seperti Escherichia coli (Permin et al. 2002), Salmonella enterica (Chadfield et al. 2001), dan Pasteurella multocida (Dahl et al. 2002). Efek imunosupresi dilaporkan juga oleh Hørning et al. (2004) bahwa ayam yang telah terinfeksi cacing secara alami dan ayam yang telah diinfeksi oleh A. galli apabila divaksinasi dengan vaksin Newcastle disease De Soto dapat menurunkan titer antibodi terhadap virus tersebut. Untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan oleh ascaridiosis, maka infeksi A. galli pada ayam petelur harus dikendalikan. Salah satu metode alternatif pengendalian infeksi cacing nematoda gastrointestinal
adalah
secara
imunologik
dengan
menyediakan
antigen
ekskretori/sekretori sebagai vaksin (Klei 1997). Penggunaan ekskretori/sekretori L3 Haemonchus contortus sebagai antigen dapat meningkatkan respons imunoglobulin G (IgG) anak domba (Vervelde et al. 2003). Penelitian Green et al. (1996) membuktikan bahwa ekskretori/sekretori L3 cacing nematoda intestinal seperti Cooperia curticei, Ostertagia circumcincta, dan Trichostrongylus colubriformis dapat mengenal antibodi di dalam serum Lama pacos. Sifat imunogenik ekskretori/sekretori Onchocerca gibsoni jantan dewasa diekspresikan melalui pembentukan antibodi spesifik pada tikus (Harnett et al. 1997). Penelitian McKeand et al. (1995) membuktikan bahwa ekskretori/sekretori Dictyocaulus viviparus dewasa bersifat sebagai antigen protektif yang mampu melindungi paru paru marmot dari infeksi cacing tersebut. Menurut Douch et al. (1996) ekskretori/sekretori larva L3 T. colubiformis atau H. contortus dapat
2 memicu pertahanan mukosa yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel mast mukosa dan leukosit, disertai pelepasan senyawa penghambat migrasi larva dan leukotrin di dalam mukus gastrointestinal di dalam abomasum dan usus halus domba Romney. Respons imunitas inang definitif terhadap infeksi cacing nematoda berlangsung melalui respons imunitas seluler dan humoral (Tizard 1995). Vervelde et al. (2003) melaporkan bahwa antigen ekskretori/sekretori dapat memicu peningkatan respons sel T helper 2 (Th-2). Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa reaksi sel Th-2 dapat menggertak pelepasan sitokin terutama interleukin (IL-3, IL-4 dan IL-5). Menurut Tizard (1995) IL-3 merangsang mastofoiesis berdegranulasi untuk melepaskan mediator peradangan, senyawa vasoaktif dan kemoatraktan berfungsi untuk merekrut sel eosinofil. IL-4 membangkitkan sel B menjadi sel plasma pembentuk antibodi. IL-5 merangsang aktivasi sel eosinofil untuk melepaskan mediator kimia seperti enzim hidrolitik dan zat sitotoksik. Aktivasi sitokin yang dilepaskan oleh sel Th-2 merangsang proliferasi, hiperplasia, dan pelepasan mukus yang bersifat viscoelastic gel oleh sel goblet. Mukus melindungi permukaan usus halus dari ancaman invasi, dan membatasi gerakan cacing dengan cara menutupi kutikulanya. Mekanisme pengeluaran cacing dari dalam tubuh dijelaskan oleh Roitt dan Delves (2001) bahwa kutikula cacing nematoda Nippostrongylus brasiliensis dirusak oleh antibodi yang disekresikan ke dalam lumen intestinal tikus. Tizard (1995) menyatakan bahwa untuk melawan infeksi cacing nematoda Toxocara canis, antibodi spesifik menutupi oral dan saluran anal (secretory pores) cacing nematoda tersebut. Cacing dijerat melalui fragment antibodi (Fab), sedangkan fragment constant (Fc) antibodi tertanam ke dalam reseptor FcєRI yang terdapat pada permukaan sel mast mukosa dan sel eosinofil. Transduksi sinyal dari rantai γ pada reseptor FcєRI menyebabkan degranulasi sel mast mukosa untuk melepaskan senyawa faktor kemotaktik, faktor vasoaktif, histamin dan serotinin. Histamin memicu kontraksi otot pada usus halus, dan serotonin menyebabkan vasokontriksi sehingga meningkatkan tekanan darah. Kontraksi usus halus dan aktivitas sel eosinofil
melepaskan
major
basic
protein
yang
bersifat
menyebabkan cacing dapat dikeluarkan melalui self cure reaction.
helmintoksik
3 Salah satu stadium yang harus dijalani cacing nematoda A. galli selama survival di dalam tubuh ayam petelur adalah stadium L3. Seperti yang dibuktikan oleh Douch et al. (1996) dan Vervelde et al. (2003) bahwa L3 cacing nematoda melepaskan ekskretori/sekretori untuk bertahan hidup di dalam tubuh inang definitif. Ekskretori/sekretori nematoda ditanggapi oleh inang definitif sebagai substansi asing yang dapat memicu respons imunitas. Penelitian ini menjelaskan respons humoral ayam petelur terhadap ekskretori/sekretori L3 cacing nematoda A. galli. Stadium L3 dipilih karena untuk mencapai stadium selanjutnya, L3 A. galli menginvasi mukosa usus halus untuk menjalani fase histotrofik. Apabila respons humoral ayam petelur dapat dipicu oleh ekskretori/sekretori maka L3 mengalami blocking antibodi sebelum invasi ke jaringan sehingga L3 A. galli gagal bertahan hidup dan dapat dikeluarkan secara cepat (worm expulsion). Pemaparan antigen ke dalam tubuh ayam akan merangsang pematangan sel B di dalam bursa fabricius menjadi sel plasma untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen yang dipaparkan. Produksi antibodi pada ayam, selain didistribusikan ke dalam serum, antibodi juga didepositkan ke dalam kuning telur sebagai imunoglobulin yolk (IgY) (Camenisch et al. 1999; Hau dan Hendriksen 2005). Menurut Schade et al. (1999) struktur fundamental IgY berbeda dengan IgG mamalia. Rantai berat (y) IgG mempunyai berat molekul 50 kDa yang terdiri atas empat domain, yaitu satu variable domain (VH), dan tiga constant domain (Cy1, Cy2, dan Cy3). Antara domain Cy1 dan domain Cy2 terdapat hinge region yang mengatur fleksibilitas fragment Fab IgG. Sedangkan rantai berat (v) IgY mempunyai berat molekul 65 kDa, tidak memiliki hinge region tetapi memiliki empat constant domain (Cv1 – Cv4). Perbandingan rangkaian antara IgG dan IgY menunjukkan bahwa domain Cy2 dan Cy3 IgG berhubungan erat dengan domain Cv3 dan Cv4 IgY, sedangkan domain Cv2 pada IgY digantikan oleh hinge region pada IgG. IgY lebih mirip dengan IgE dari pada IgG. Kemiripan IgY dengan IgE terlihat pada jumlah dan struktur intradomain dan intrachain ikatan disulfida (Camenisch et al. 1999; Hau dan Hendriksen 2005 ; Schade et al. 1999).
4 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui berat molekul dan kuantitas protein ekskretori/sekretori yang dilepaskan oleh stadium L3 A. galli. 2. Untuk mengetahui potensi ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai antigen pemicu pembentukan imunoglobulin yolk (IgY) di dalam kuning telur dan serum ayam petelur. 3. Untuk mengetahui potensi IgY kuning telur yang dipicu oleh antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai penghambat kelangsungan hidup cacing A. galli.
Hipotesis 1. Diduga bahwa stadium L3 A. galli melepaskan protein melalui ekskretori/sekretorinya. 2. Diduga bahwa ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli berpotensi sebagai antigen pemicu pembentukan antibodi IgY di dalam kuning telur dan serum ayam petelur. 3. Diduga
bahwa
IgY
kuning
telur
yang
dipicu
oleh
antigen
ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli berpotensi sebagai penghambat kelangsungan hidup cacing A. galli.
Manfaat Penelitian Manfaat akademik Hasil
penelitian
ini
diharapkan
sebagai
informasi
bahwa
ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli bersifat antigenik. Manfaat operasional Antigen ekskretori/sekretori dan IgY yang dihasilkan pada penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk dikembangkan dalam imunodiagnostik.
5 TINJAUAN PUSTAKA 1. Cacing Ascaridia galli Cacing A. galli tersebar secara meluas pada negara-negara di suluruh dunia. Penyebaran ascaridiosis dapat terjadi pada keadaan temperatur tropis dan sub-tropis. Ascaridiosis pada ayam pertama dilaporkan terjadi di Jerman, selanjutnya terjadi di Brazil, India, Zanzibar, Pilipina, Belgia, China, Kanada, dan Inggeris. Selain pada ayam, A. galli juga ditemukan pada jenis unggas lainnya seperti angsa, kalkun, dan pada burung liar (Permin dan Hansen 1998). Poulsen et al. (2000) menemukan salah satu dari 18 jenis cacing gastrointestinal yang menginfeksi ayam muda di kawasan sampah di Gana, Afrika Barat, adalah A. galli dengan prevalensi 24%. Permin et al. (1998) melaporkan bahwa diantara 26 jenis cacing, salah satunya adalah A. galli dengan prevalensi 32,3% pada musim kering dan 28,3% pada musim hujan telah diidentifikasi pada ayam yang berkeliaran di kawasan sampah di daerah Morogoro, Tanzania. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan (Soulsby 1982). Cacing ini memiliki kutikula ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda cacing dewasa (Bankov dan Barrett 1993). Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh (Calneck 1997). Permin dan Hansen (1998) mengatakan bahwa cacing jantan dewasa berukuran panjang 51 – 76 mm dan cacing betina dewasa 72 – 116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1 – 2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval, kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73–92 x 45–57μm. Menurut Permin dan Hansen (1998) siklus hidup A. galli bersifat langsung yaitu; pematangan seksual berlangsung di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium infektif (L2) berlangsung di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan bersama feses inang definitif dan akan
6 mencapai stadium infektif (L2) dalam waktu 10 – 20 hari tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan (Gambar 1). Daur hidup disempurnakan ketika telur infektif A. galli (L2) teringesti oleh inang definitif melalui makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung larva L2 secara mekanik terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24
Gambar 1. Siklus hidup Ascaridia galli
7 jam pasca ingesti. Selama penetasan gelungan larva muncul dari ujung anterior telur melewati celah terbuka keluar kedalam lumen intestinal untuk menjadi L3. Menurut Permin dan Hansen (1998)
larva L3
A. galli
melanjutkan fase
histotropik dengan cara menanamkan dirinya pada lapisan mukosa duodenum (fase jaringan) menjadi L4. Durasi fase histotropik berlangsung selama 3 – 54 hari pasca infeksi. Setelah mengalami empat kali molting, L5 (cacing muda) akan tumbuh dan mencapai dewasa di dalam lumen duodenum (Gambar 1). Periode prepaten cacing A. galli berlangsung dalam waktu 5 – 8 minggu (Soulsby 1982), dan 11 – 15 minggu (Athaillah 1999). Menurut Idi et al. (2004) ayam Lohman Brown yang diinfeksi A. galli kadang-kadang dapat menimbulkan diare. Tiuria (1991) menyatakan bahwa infeksi A. galli dapat mengurangi berat badan dan menurunkan produksi telur ayam Isa Brown. Kilpinen et al. (2006) melaporkan pula bahwa bila dibandingkan dengan penurunan berat badan ayam akibat infeksi tungau Dermanyssus gallinae, infeksi A. galli menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena ascaridiosis dapat mengganggu efisiensi absorpsi nutrisi yang berlangasung di dalam usus halus ayam petelur. Infeksi A. galli di dalam usus halus unggas disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Ascaridiosis pada usus halus unggas. Permin et al. (1998) juga mengatakan bahwa sifat penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang
8 perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas. Cacing parasitik bersifat sebagai organisme patogenik dan beradaptasi sebagai parasit obligat yang kehidupannya sangat tergantung kepada ketersediaan nutrisi pada inang definitif (Sander dan Schwartz 1994). Adaptasi ini menurut Kulkarni et al. (1993) dibutuhkan untuk pengelakan diri dari tanggap kebal inang definitif. Infeksi A. galli pada ayam yang normal umumnya singkat dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan permanen (Permin et al. 1998). Tubuh ayam memiliki suatu sistem kekebalan yang dapat melindungi tubuhnya dari unsur-unsur patogen (Tizard 1995). Penelitian tentang terapi cacing nematoda A. galli telah banyak dilaporkan oleh peneliti terdahulu. Deteksi secara biologi dan biokimiawi (Khwaja et al. 1973) menunjukkan bahwa setiap gram ekstrak tubuh cacing A. galli mengandung 10 unit acetylcholinesterase dan 0,517 – 0,705 µg histamin. Kedua substansi tersebut memiliki aktivitas neurotransmitter yang berfungsi sebagai lokomotif bagi nematoda, sehingga penentuan jenis ascarisidal yang menimbulkan paralisis pada cacing ini disarankan agar menggunakan substansi aktif yang bersifat destruktif terhadap kedua senyawa tersebut. Sander dan Schwartz (1994) membuktikan bahwa pemberian fenbendazole dosis 30,3 ppm dalam air minum untuk ayam broiler menghasilkan nilai efikasi (kemanjuran) masing-masing 69,0 – 89,6% terhadap A. galli. Pemberian garam-garam dasar ke dalam pakan dan atau air minum bagi inang definitif juga dapat mereduksi populasi A. galli yang ada dalam lumen saluran cerna ayam. Gabrashanska et al. (2004b) membuktikan bahwa pemberian 0,43 g Zn-Co-Mn per kg pakan dapat menurunkan 21,5% populasi A. galli pada 60 hari pascainfeksi. Singh et al. (1983) menyatakan bahwa cacing A. galli mampu menyelenggarakan metabolisme asam amino. Reaksi dekarboksilasi alanine, aspartate, glutamate, serine, leucine, dan valine dapat membangkitkan ATP dan membebaskan CO2. Menurut Bankov dan Barrett (1993) ekstrak tubuh cacing A. galli dewasa mengandung enzim serine palmitoyltransferase, 3-ketosphinganine reduktase, flavoprotein sphinganine reduktase, sphingosine acyltransferase, dan ceramide choline phosphotransferase. Enzim-enzim tersebut beraktivitas sebagai sintesis sphyngomyelin, suatu konstituen yang penting pada membran sel.
9 Sama halnya dengan nematoda yang lain, seperti Ascaris suum, Toxocara canis, Brugia malayi, Loa loa, Dictyocaulus viviparus, Dirofilaria immitis, dan Ostertagia ostertagi, pada tubuh A. galli dibuktikan oleh Timanova et al. (1999) mengandung poliprotein. Protein yang dikenal sebagai A. galli fatty acid-binding protein (AgFABP) membentuk dimer tunggal 23 atau 24 kDa dan merupakan derivat dari precursor 60 kDA membentuk unit 12-13 kDa. Penemuan ini mengindikasikan bahwa AgFABP berperan penting terhadap suplai asam lemak yang digunakan sebagai sumber pembangkit energi untuk perkembangan stadium nematoda. 2. Antigen Ekskretori/Sekretori Cacing Nematoda Umumnya antigen yang imunogenik adalah makromolekul protein, polisakarida, polipeptida, atau polimer sintetik misalnya polivinilpirolidon (PVP). Hanya bagian tertentu saja yang dapat berikatan dengan antigen binding side molekul antibodi. Bagian molekul antigen yang berikatan dengan antigen binding side disebut epitop (determinant antigen) yang menentukan spesifisitas reaksi antigen-antibodi. Ikatan antigen-antibodi merupakan suatu ikatan nonkovalen antara epitop (active site) dan paratop (antigen binding site pada antibodi). Ikatan antigen antibodi tersebut adalah ikatan yang kuat karena merupakan ikatan hidrogen multipel, ikatan ion, dan interaksi hidrofobik (Perez 2000). Jumlah epitop pada suatu antigen berbeda dengan antigen yang lain. Untuk dapat memicu pembentukan antibodi, menurut Kresno (1996) antigen suatu bahan sedikitnya harus memiliki dua epitop, dan sedikitnya satu epitop harus mampu menyulut rangsangan limfosit T. Epitop antigen yang berbeda pada suatu molekul protein dapat menyulut respons subpopulasi limfosit T yang berlainan, salah satu epitop mungkin menyulut respons limfosit T helper (Th), tetapi epitop yang lain mungkin menyulut respons limfosit T supresor (Ts). Hau dan Hendriksen (2005) menyatakan bahwa suatu epitop antigen terdiri dari lima sampai 10 asam amino. Tiap-tiap epitop menginduksi klon sel plasma yang menghasilkan antibodi terhadap epitop tertentu. Vervelde et al. (2003) melaporkan bahwa anak-anak domba yang divaksinasi dengan glikoprotein ekskretori/sekretori yang dilarutkan dalam
10 alhydrogel sebagai adjuvant dapat terproteksi dari cacing parasitik H. contortus. Anak domba yang diimunisasi dengan ekskretori/sekretori dan ditantang dengan 300 L3/kg bb dapat mereduksi 89% output kumulatif telur dan meningkatkan 54% proteksi antibodi. Seluruh anak domba yang divaksinasi, secara proporsi substansial respons antibodi dapat terdeteksi terhadap epitop glikan. Harnett
et
al.
(1997)
membuktikan
bahwa
aplikasi
300
µg
ekskretori/sekretori Ochocerca gibsoni jantan dewasa yang diimunisasikan 50 µg setiap hari selama enam hari berturut-turut dapat memicu respons humoral hewan percobaan. Imunisasi pertama dan kedua antigen diemulsikan dengan Freund’s complete dan incomplete adjuvant berturut-turut. Sedangkan pada empat kali booster selanjutnya digunakan PBS. Sel-sel lymph nodus tikus BALB/c yang difusikan dengan sel-sel myeloma lestari dapat memproduksi IgM dan delapan jenis isotype IgG. Semua isotype monoklonal antibodi yang diproduksi bereaksi secara spesifik. Menurut Yoshihara et al. (1993) cairan tubuh cacing A. suum betina dewasa dapat digunakan sebagai antigen untuk mendiagnosa ascariosis pada babi melalui uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Terbukti bahwa reaksi spesifik terjadi antara cairan tubuh cacing dengan antibodi di dalam serum babi yang diinfeksi. Fraksi protein 105 kDa dari cairan tubuh cacing dewasa bereaksi sangat spesifik dengan IgG di dalam serum babi yang diinfeksi dengan A. suum. Pada uji ELISA diketahui juga bahwa konsentrasi optimum cairan tubuh cacing yang dibutuhkan adalah 0,25 µg dalam setiap sumur ELISA, dimana setiap satu ml cairan tubuh cacing ditemukan 40 mg kandungan protein. Ekskretori/sekretori berperan sebagai antigen protektif yang dapat memicu tanggap kebal inang definitif. Imunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori dapat melindungi hewan percobaan dari serangan Dictyocaulus vivivarus (McKeand 1995). Ekskretori/sekretori yang merupakan komponen imunogenik telah digunakan
untuk
memicu
pembentukan
antibodi
monoklonal
terhadap
Onchocerca gibsoni (Harnet et al. 1997). Green et al (1996) membuktikan bahwa ekskretori/sekretori cacing nematoda dapat dikenal oleh antibodi pada hewan terinfeksi. Tiuria et al. (2003) menyatakan pula bahwa ekskretori/sekretori A. galli dapat merangsang mekanisme pertahanan mukosa usus halus ayam petelur.
11 3. Respons Kekebalan Unggas Terhadap Antigen Respons kekebalan ayam dipicu oleh pemaparan antigen yang strukturnya dikenali oleh sistem kekebalan sebagai sesuatu benda asing (non-self). Antigen dapat disuguhkan kepada sistem kekebalan sebagai kompleks multiantigen (partikulat) misalnya: bakteri, virus, parasit, dan partikel artifisial atau sebagai antigen tunggal misalnya protein dan polisakarida (Leenaars dan Hendriksen 2005). Hanly et al. (1995) menyatakan bahwa sistem kekebalan dapatan (antigenspesifik) memiliki efisiensi dan spesifisitas yang tinggi, tetapi memiliki respons yang lebih lambat daripada sistem kekebalan bawaan (innate unspecific). Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa komponen-komponen yang mendasar di dalam mekanisme respons kekebalan antigen-spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil, monosit (di dalam jaringan disebut makrofag), eosinofil, dan basofil. Semua komponen dasar yang berperan pada mekanisme kekebalan tersebut berasal dari stem sel (Gambar 3). Limfosit (sel B) bertanggungjawab terhadap produksi antibodi. Limfosit (sel T) bertanggungjawab terhadap respons sitotoksik, dan sel T helper (Th) bertanggungjawab terhadap sel B dan sel T sitotoksik. Pemeliharaan (maintenance) sistem kekebalan membutuhkan komunikasi interseluler yang memperantarai hubungan sel ke sel (misalnya melalui produksi sitokin) dan selsel pelengkap (misalnya sel fibroblast dan sel endotel).
Gambar 3. Sel B menjadi sel plasma penghasil antibodi
12 Hau dan Hendriksen (2005) membagi respons kekebalan antigen-spesifik ke dalam tiga fase yaitu: fase induktif, fase efektor, dan fase memori. Pada fase induktif, antigen dikenali sebagai benda asing (foreign) melalui monosit, sel-sel dendritik, dan sel B sebagai sel-sel penyuguh antigen (antigen-presenting cells, APC). Sel-sel dendritik mengenal seluruh antigen, sedangkan sel B menggunakan receptor-dependent spesifik dari ikatan antigen. APC mengikat, menelan, dan memproses antigen menjadi peptide bersama-sama dengan molekul major histocompability complex (MHC1), kemudian mengeluarkannya kepermukaan APC untuk disuguhkan kepada reseptor antigen pada sel T sehingga adanya kontak yang menyebabkan sel T teraktivasi. Pada fase efektor, respons kekebalan tergantung pada jenis antigen. Aktivasi sel T menyebabkan respons berperantara sel (terutama sel sitotoksik, misalnya antigen virus) atau sel Th untuk sel B (misalnya antigen protein). Apabila teraktivasi, sel Th menjadi lebih sensitif terhadap aksi sitokin growth factor misalnya interleukin (IL-1 dan IL-2). Sitokin menyebabkan proliferasi dan akhirnya diferensiasi sel B menjadi sel-sel plasma penghasil antibodi. Masingmasing sel plasma disandi secara genetik untuk menghasilkan antibodi tertentu yang spesifik hanya terhadap epitop tunggal antigen (Roitt dan Delves 2001). Fase terakhir respons kekebalan antigen-spesifik adalah fase induksi memori yang terjadi setelah kontak awal dengan antigen. Fase memori terjadi berdasarkan diferensiasi sel B menghasilkan respons kekebalan sekunder dengan karakter lebih cepat dan berlangsung lebih lama daripada respons kekebalan primer. Pada respons kekebalan sekunder, antibodi memiliki aviditas yang lebih kuat dibanding dengan respons kekebalan primer (Hau dan Hendriksen 2005). Molekul imunoglobulin diproduksi oleh sel limfosit B, dimana sel limfosit B mengalami pematangan dalam bursa Fabricius ayam. Sel limfosit B terdiri dari dua bentuk molekul yang berbeda, molekul pertama sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen) dan molekul lainnya sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai media yang mengikat antigen melalui binding site yang spesifik, sekaligus merupakan jembatan yang menghubungkan antigen dengan sel-sel imun atau mengaktifkan komplemen (Roitt dan Delves 2001).
13 Pemaparan antigen ke dalam tubuh induk akan menghasilkan antibodi di dalam telur dengan spesifisitas antibodi yang tinggi terhadap antigen yang telah disuntikkan (Rollier et al. 2000). Antibodi induk yang ditransfer secara pasif oleh induk kepada anaknya sebagai imunoglobulin yolk (IgY) berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing manakala sistem imun anak belum sempurna. IgY lebih berperan sebagai sistemik antibodi daripada sekretori antibodi, namun IgY dapat ditemukan dalam saluran pencernaan duodenum, trachea, dan seminal plasma. Mekanisme transfer IgY dari serum ke dalam kuning telur berlangsung seperti proses transfer antibodi lintas plasenta pada mamalia. IgY yang telah diproduksi oleh limfosit B akan mengalir dalam pembuluh darah ke seluruh bagian tubuh termasuk ke dalam ovarium. IgY didepositkan melalui jaringan arteri kecil ovarium-oosit ke dalam kuning telur sebagai bahan perlindungan bagi embrio yang akan berkembang (Carlander 2002). Antigen yang dipaparkan kepada ayam dapat menggertak pelepasan interleukin (IL-4 dan IL-5) oleh sel T helper-2 (Th-2). IL-4 dapat membangkitkan sel B menjadi sel plasma pembentuk antibodi (Roitt dan Delves 2001). Terdapat tiga kelas antibodi pada unggas, yaitu imunoglobulin A (IgA), IgM, dan IgG. IgG pada unggas lebih dikenal IgY karena ada perbedaan struktur molekul dengan IgG mamalia. Pada IgG, antara Cγ1 dan Cγ2 dihubungkan oleh engsel (hinge region) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Hinge region yang menghubungkan Cγ1 dan Cγ2 pada IgG
14 Secara struktural, molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan tersusun atas empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3, dan Cv4 (Gambar 3). IgY memiliki berat molekul ~180 kDa yang masing-masing rantai beratnya ~65-68 kDa, koefisien sedimentasi 7,8 S, dan titik isoelektrik 5,7-7,6 (Chio 2002 dan Davalos-Patoja et al. 2000). Secara imunologis IgY sangat berbeda dengan IgG mamalia karena reaksi silang tidak terjadi pada IgY, sedangkan antibodi mamalia menunjukkan tingkat reaksi silang yang tinggi, dimana IgG kelinci anti-manusia akan bereaksi silang terhadap IgG mamalia lain, kecuali dengan IgG kelinci (Leenaars dan Hendriksen 2005). IgA dan IgM dihasilkan dalam jumlah yang sangat sedikit pada unggas. Sedangkan IgY didistribusikan di dalam serum dalam jumlah yang banyak dan juga didepositkan ke dalam kuning telurnya sebagai imunoglobulin yolk (IgY) (Akita dan Nakai 1992; Camenisch et al. 1999; Rollier et al. 2000; Carlander 2002; dan Hau dan Hendriksen 2005). IgY terbanyak didapatkan dalam kuning telur sedangkan dalam putih telur kandungannya rendah. Kandungan antibodi dalam telur umumnya lebih tinggi dari serum ayam karena proses transpor aktif dari induk ayam ke telur. Kuning telur terdiri dari granul lipoprotein dan phosvitin (Leenaars dan Hendriksen 2005). IgY mengemban fungsi yang setara dengan IgG mamalia. IgY berevolusi dan diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE mamalia (Chio 2002). Gambar 5 menunjukkan evolusi IgY pada unggas dan IgG pada mamalia.
Gambar 5. Perbedaan IgG pada mamalia dan IgY pada unggas
15 DISAIN PENELITIAN
ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR
KAJIAN PERKEMBANGAN L1, L2, DAN L3 Ascaridia galli PADA AYAM PETELUR ISOLASI DAN KARAKTERISASI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli
Koleksi cacing A. galli betina dewasa: L1, L2, dan L3 in vivo
Preparasi antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli, uji Bradford, SDS-PAGE
PURIFIKASI IMUNOGLOBULIN YOLK PADA KUNING TELUR DARI AYAM YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli
Imunisasi ayam petelur, AGPT, ELISA, FPLC, dan Kuantitas protein IgY
PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY DETEKSI KEBERADAAN ANTIGEN Ascaridia galli DENGAN IMUNOGLOBULIN YOLK MELALUI METODE IMUNOHISTOKIMIA POTENSI ANTIGEN EKSKRETORI/ SEKRETORI STADIUM L3, IMUNOGLOBULIN YOLK, DAN KOMBINASINYA TERHADAP PENURUNAN POPULASI Ascaridia galli
Imunisasi ayam petelur, dan ELISA
Reaksi antigen-antibodi metode imunohistokimia
Imunisasi aktif dan pasif, dan Populasi cacing A. galli Didapatkan antigen dan IgY yang dapat mengurangi populasi A. galli di dalam saluran cerna ayam petelur
Gambar 6. Disain Penelitian
16 KAJIAN PERKEMBANGAN L1, L2, DAN L3 Ascaridia galli PADA AYAM PETELUR ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan perkembangan populasi L3 Ascaridia galli pada usus halus ayam petelur. Cacing A. galli betina dewasa diperoleh langsung dari lumen ayam kampung pada tempat pemotongan ayam komersial di Bogor. Telur cacing yang diperoleh dari uterus cacing betina A. galli dewasa diinkubasikan di dalam aquadestilata steril pada temperatur kamar selama 20 – 31 hari untuk mendapatkan telur infektif (L2) A. galli. Lima kelompok (A – E) dari 100 ekor ayam jenis Isa Brown diinfeksi dengan dosis 6000 L2 A. galli. Kelompok A dan B, ayam diberi enam kali berturut-turut dosis 1000 L2 dalam interval waktu masing-masing 30 dan 60 menit setiap pemberian. Kelompok C, ayam diberi tiga kali berturut-turut dosis 2000 L2 dalam interval waktu dua jam setiap pemberian. Kelompok D, ayam diberi dua kali berturut-turut dosis 3000 L2 dalam interval waktu tiga jam setiap pemberian. Kelompok E, ayam diberi satu kali dosis 6000 L2. L3 A. galli ditemukan di dalam lumen usus halus ayam setelah 10 hari pemberian L2. Hasil yang diperoleh adalah total 1.045.478 L1 dan 935.300 L2 yang dikoleksi dari 186 A. galli betina dewasa. Prosentase L1 berkembang menjadi L2 adalah 89,46% dan L2 berkembang menjadi L3 adalah 12.7%. Hanya pada kelompok E populasi L3 berkembang secara signifikan di dalam usus halus ayam. Hasil tersebut merefleksikan bahwa terjadi penurunan ketahanan terhadap ascaridiosis pada ayam yang diinfeksi dosis tinggi A. galli. Kata kunci: Ascaridia galli, telur infektif, larva ABSTRACT The aim of the present study was to determine the survival of L3 populations in intestine of chickens exposed to experimental Ascaridia galli infection. Nature female adult worm were obtained from lumen of village chickens in a comercial abattoir in Bogor. The eggs obtained from uteri female adult worms were incubated in sterile aquadestilata et room temperature for 20 - 31 days developed embrionated eggs (L2). Five groups (A - E) of 100 head chickens were infected with 6000 L2 A. galli. The chickens of group A were infected six times with dose of each 1000 L2 with an interval of half hour. The chickens of group B were infected six times with dose of each 1000 L2 with an interval of one hour. The chickens of group C were infected three times with dose of each 2000 L2 with an interval of two hours. The chickens of group D were infected six times with dose of each 3000 L2 with an interval of three hours. The chickens of group E were infected one time with single dose 6000 L2. A. galli L3 were recovered from intestines of 100 heads chickens 10 days after oesophagus inoculation with 6000 L2. The result showed that total 1.045.478 L1 and 935.300 L2 colected from 186 A. galli female adult worms. The percentage of L1 developed L2 is 89,46% and L2 developed L3 is 12.7%. Significant survival of L3 higher populations in intestine of chickens observed only in the group E. The results suggest that chickens infected high dose of A. galli capable decreased their defence against ascaridiosis. Key words: Ascaridia galli, embrionated eggs, larvae
17 PENDAHULUAN Cacing yang hidup dan berkembang di dalam saluran gastrointestinal sering ditemukan pada unggas. Fahrimal dan Raflesia (2002) berhasil mengidentifikasi tiga jenis nematoda yang ditemukan pada ayam kampung di Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Ascaridia galli, Heterakis gallinae, dan Capillaria spp., dan yang paling sering ditemukan adalah A. galli. Investigasi Eshetu et al. (2001) pada empat distrik di wilayah pinggiran Amhara (Ethiopia) menunjukkan bahwa prevalensi cacing nematoda yang menginfeksi ayam adalah A. galli (35,58%), Heterakis gallinae (17,28%), Subulura brupti (17,60), Cheilospirura hamulosa (0,75%), dan Dyspharynx spiralis (2,62%). Telur A. galli (L1) yang dilepaskan bersama tinja inang definitif dapat berkembang dalam waktu 10 hari atau lebih pada temperatur rendah. Perkembangan tersebut menyebabkan massa telur berubah dan dipenuhi oleh gelungan larva infektif (L2). Viabilitas L2 dapat bertahan selama tiga bulan atau lebih pada kondisi lingkungan yang terlindungi, tetapi dengan cepat terbunuh oleh kekeringan, dan cuaca panas (Soulsby 1982). Unggas dapat terinfeksi secara langsung oleh A. galli apabila L2 tertelan bersama pakan dan atau minuman yang terkontaminasi. Cacing tanah yang dimakan oleh unggas dapat menyebabkan transmisi infeksi secara mekanik, yaitu apabila cacing tanah tersebut telah menelan L2 A. galli. L2 menetas di dalam intestinum inang definitif, dan setelah 10 hari larva (L3) menjalani fase histotrofik dengan cara penetrasi ke dalam jaringan mukosa, larva kembali ke lumen tujuh hari kemudian. Cacing A. galli tumbuh menjadi dewasa dalam waktu 5 – 8 minggu. Kadang-kadang cacing A. galli dapat berpenetrasi ke organ tubuh yang lain seperti hati dan ginjal pada ular phyton (Taiwo et al. 2002), dan paru paru pada unggas (Soulsby 1982). Selama berkembang pada inang definitif, A. galli dapat menyebabkan kerusakan villi dan mukosa intestinal yang mengganggu absorbsi nutrisi seperti elektrolit-elektrolit dan vitamin-vitamin (Anwar dan Zia-ur-Rahman 2002), mineral (Gabrashanska et al. 2004a), mengakibatkan perlambatan pertumbuhan (Gabrashanska et al. 2004b), dan penurunan produksi telur (Tiuria 1991). Ascaridiosis yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat
18 menyebabkan gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik, dan nepritis yang dapat berakhir dengan kematian (Taiwo et al. 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keberhasilan perkembangan L1 menjadi L2 dan keberhasilan perkembangan L2 menjadi L3. L1 yang dikeluarkan dari uterus cacing A. galli betina dewasa dikaji kemampuannya untuk berkembang menjadi L2 secara in vitro. Perkembangan L3 dikaji berdasarkan variasi dosis pemberian L2 secara in vivo.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
dilaksanakan
di
Laboratorium
Helmintologi,
Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung dari bulan Mei sampai Desember 2005. Rancangan Penelitian Cacing A. galli diperoleh dari dalam lumen usus halus ayam kampung yang terinfeksi secara alami. Percobaan I, cacing dikelompokkan berdasarkan jumlah cacing betina dewasa yang ditemukan. L1 diambil langsung dari uterus A. galli betina dewasa dan diinkubasi secara in vitro selama 21 – 30 hari pada temperatur ruangan untuk mendapatkan L2. Jumlah dan prosentase L1 yang berkembang menjadi L2 dihitung di bawah mikroskop. Percobaan II, L2 dikultur secara in vivo untuk mendapatkan L3 pada 100 ekor ayam Isa Brown umur 12 minggu yang telah diperiksa telur cacing dalam tiap gram tinja (TTGT), dipelihara secara individual dalam kandang baterei, diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum, dan dibagi atas lima kelompok sebagai ayam donor. Kelompok A, ayam diberi enam kali berturut-turut dosis 1000 L2 dalam interval waktu 30 menit setiap pemberian. Kelompok B, ayam diberi enam kali berturut-turut dosis 1000 L2 dalam interval waktu satu jam setiap pemberian. Kelompok C, ayam diberi tiga kali berturut-turut dosis 2000 L2 dalam interval waktu dua jam setiap pemberian. Kelompok D, ayam diberi dua kali berturut-turut dosis 3000 L2 dalam
19 interval waktu tiga jam setiap pemberian. Kelompok E, ayam diberi satu kali dosis 6000 L2. Ayam dinekropsi 10 hari setelah pemberian L2 dan jumlah L3 yang ditemukan dihitung. Cacing A. galli Betina Dewasa Usus ayam kampung yang diperoleh dari tempat pemotongan ayam di Bogor dibawa ke Laboratorium Helmintologi FKH IPB Bogor, disayat secara longitudinal sehingga isi usus ayam dapat diamati. A. galli dewasa yang ditemukan dibersihkan di dalam cairan aquadestilata dan diidentifikasi jenis kelaminnya berdasarkan bentuk ujung ekor dan ukuran tubuh cacing. Cacing yang memiliki bentuk ekor yang lurus dan tubuh yang lebih besar diidentifikasi sebagai cacing A. galli betina dewasa. Telur A. galli Cacing terpilih diamati di dalam cairan aquadestilata steril di bawah stereo mikroskop dan tubuhnya dilukai dengan ujung oese yang tajam sehingga uterusnya keluar dari tubuh cacing. Uterus ditoreh kembali sehingga telur A. galli mengalir di dalam aquadestilata. Jumlah larva L1 yang diperoleh dari setiap cacing A. galli betina dewasa dihitung di bawah mikroskop. Telur cacing tersebut diendapkan dan dimasukkan ke dalam eppendorf volume 1 ml aquadestilata Sebanyak 100 μl suspensi telur yang homogen dari volume endapan 1 ml tersebut diambil dan dihitung kandungan telurnya dengan tiga kali ulangan. Jumlah telur cacing ditentukan dengan cara menghitung jumlah telur dari populasi cacing yang disayat dengan rumus: 10 x rataan kandungan telur dalam 100 μl (Tiuria 1991). Koleksi Telur Infektif (L2) A. galli Telur cacing diinkubasi dalam cawan petri plastik berisi aquadestilata steril pada temperatur kamar selama 20 – 31 hari (tergantung perkembangan larva) sehingga terbentuk larva infektif (L2) (Tiuria 1991). Jumlah larva L1 yang berkembang menjadi L2 dihitung di bawah mikroskop. Larva infektif yang terbentuk dikemas dalam eppendorf dengan dosis 1000 L2 dan siap diberikan kepada ayam donor.
20 Koleksi Stadium L3 A. galli Isi lumen dan mukosa usus halus dari masing-masing kelompok ayam donor dibersihkan dengan NaCl fisiologis dan disaring dengan kain kasa untuk mendapatkan larva cacing A. galli. Larva (L3) yang masih hidup dihitung dan dikoleksi di bawah mikroskop stereo. Analisis Data Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Steel dan Torrie 1999).
HASIL PENELITIAN Koleksi Telur Infektif (L2) A. galli Perkembangan L1 menjadi L2 yang diperoleh dari A. galli betina dewasa disajikan pada Gambar 7. Sebanyak 186 ekor A. galli betina dewasa berhasil dikoleksi pada penelitian ini. Secara keseluruhan, cacing A. galli betina dewasa
Jumlah telur cacing A. galli (butir)
menghasilkan 1.045.478 L1 yang berhasil berkembang menjadi 935.300 L2. 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 3
4
5
6
11
15
18
Jumlah cacing A. galli betina dewasa (ekor) Jumlah L1
Jumlah L2
Gambar 7. Jumlah L1 dan L2 yang berkembang dihasilkan oleh cacing A. galli betina dewasa Jumlah L1 yang ditemukan pada lima ekor cacing lebih sedikit dari jumlah L1 yang ditemukan pada empat ekor cacing, tetapi secara umum seperti yang disajikan pada Gambar 7, semakin banyak cacing A. galli betina dewasa yang
21 ditoreh uterusnya, semakin banyak pula jumlah L1 yang ditemukan. Persentase perkembangan L1 menjadi L2 dari kelompok 3 , 4, 5, 6, 11, 15, dan 18 ekor cacing berturut-turut adalah 87%, 92%, 94%, 89%, 97%, 89%, dan 85%. Secara keseluruhan, persentase L1 yang berkembang menjadi L2 adalah 89,46%. Koleksi Stadium L3 A. galli Pemberian enam kali dosis 1000 L2 pada kelompok A dan B yang dibedakan dalam interval waktu 30 dan 60 menit setiap kali pemberian menghasilkan rataan jumlah L3 yang berkembang tidak signifikan berbeda. Seperti yang disajikan pada Tabel 1, hasil yang ditemukan pada kelompok B, C, D, dan E menunjukkan bahwa rataan jumlah L3 cenderung semakin meningkat bersamaan meningkatnya pemberian dosis L2. Peningkatan rataan jumlah L3 pada kelompok E yang hanya signifikan berbeda dengan kelompok lainnya. Secara keseluruhan, persentase L2 yang berkembang menjadi L3 adalah 12,7%. Kemampuan L3 A. galli berkembang di dalam saluran cerna ayam Isa Brown dipengaruhi oleh besarnya dosis infeksi yang diberikan pada satu waktu. Semakin besar dosis L2 yang diberikan pada satu waktu semakin tinggi pula persentase L3 yang berkembang. Persentase perkembangan L3 yang paling rendah (8,39%) ditemukan pada kelompok A, yaitu pada ayam yang diberikan enam kali berturut-turut dosis 1000 L2 dalam interval waktu 30 menit setiap pemberian. Prosentase perkembangan L3 yang paling tinggi ditemukan pada kelompok E, yaitu pada ayam yang diberikan satu kali dosis 6000 L2 sekaligus (Tabel 1). Tabel 1. Rataan jumlah L3 dan persentase L3 terhadap dosis infeksi pada tiaptiap 4 ekor ayam donor dengan 5 kali ulangan 10 hari pascainfeksi _ Kelom- Dosis Frekuensi Interval wak- Rataan Prosentase (%) pok L2 pemberian tu (menit) jumlah L3 jumlah L3 A 1000 6 30 2158,8 ± 264,4 a 8,39 B C
1000 2000
6 3
60 120
2014,6 ± 256,6a
8,99
2501,4 ± 314,4
ab
10,42
ab
14,20
D
3000
2
180
3409,6 ± 366,6
E
6000
1
-
5154,6 ± 457,6 c
Rataan L3 yang berkembang Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan
21,48_ 12,70
22 PEMBAHASAN Cacing A. galli betina dewasa melepaskan telur di dalam lumen intestinum inang definitif dan dikeluarkan ke lingkungan bersama tinja. Untuk mencapai stadium
L2,
L1
harus
berada
pada
lingkungan
yang
sesuai
untuk
perkembangannya. Selama berada di lingkungan, L1 dihadapkan oleh kondisi lingkungan dimana tinja berada. Apabila kondisi lingkungan lembab dengan temperatur rendah, maka L1 dapat berkembang menjadi L2. Apabila kondisi lingkungan kering dengan temperatur tinggi, maka L1 gagal mencapai stadium L2. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, cacing A. galli harus menghasilkan L1 dalam jumlah yang banyak, sehingga semakin banyak pula L1 dapat mencapai stadium L2. Pada penelitian ini, terlihat bahwa cacing A. galli mampu melepaskan ribuan L1 dari uterusnya. Secara in vitro, L1 yang berkembang menjadi L2 adalah 89,46%. Hanya 10,54% L1 yang gagal mencapai stadium L2 (Gambar 7). Banyaknya jumlah L1 yang dilepaskan oleh cacing A. galli betina dewasa, dan tingginya persentase L1 yang berkembang menjadi L2 adalah sebagai cara cacing tersebut untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apabila L2 berada di lingkungan maka peluang tertelan oleh inang definitif semakin besar. Kemampuan A. galli melepaskan telur ke dalam tinja inang definitif bervariasi jumlahnya. Hasil riset Schou et al. (2003) merefleksikan bahwa jumlah telur A. galli yang dilepaskan ke dalam tinja dipengaruhi ukuran panjang tubuh dan jumlah cacing betina yang bertahan hidup di dalam saluran cerna serta jenis inang definitifnya. Ukuran tubuh A. galli betina yang lebih panjang dan jumlah cacing bertahan hidup yang lebih banyak berimplikasi kepada nilai telur tiap gram tinja (TTGT) yang tinggi. Telur A. galli yang dilepaskan ke dalam tinja ayam jenis Skalborg lebih banyak dibandingkan pada tinja ayam jenis Isa Brown, New Hampshire dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan Skalborg selama minggu ke-5 sampai minggu ke-9 pascainfeksi. Penelitian Permin et al. (1997) pada ayam Lohman Brown menunjukkan bahwa satu ekor cacing A. galli betina dewasa dapat menghasilkan 99,9 ± 89,9 – 128,3 ± 70,6 telur yang dikeluarkan dalam tiap gram tinja. Fekunditas cacing A. galli yang lebih meningkat dilaporkan Dahl et al. (2002) melaporkan bahwa fekunditas A. galli adalah 178,0 ± 24,80.
23 Jumlah larva A. galli yang ditemukan di dalam saluran cerna ayam setelah diberikan telur infektif dipengaruhi oleh jenis ayam yang digunakan sebagai model. Gabrashanska et al. (2004b) membuktikan bahwa pemberian dosis 1450 L2 A. galli pada ayam jantan jenis Hisex breed dapat menghasilkan rataan jumlah 340, 1 ± 76,5 larva dan prosentase L3 terhadap dosis yang diberikan setelah 10 hari pascainfeksi adalah 23,5%. Permin dan Ranvig (2001) melaporkan bahwa ayam Lohman Brown lebih tahan terhadap infeksi A. galli dibandingkan ayam Danish Landrace, dimana worm burden dan jumlah telur cacing yang ditemukan pada ayam Danish Landrace lebih banyak. Permin et al. (1997) melaporkan bahwa pada ayam Lohman Brown yang diinfeksi masing-masing dengan 100, 500, atau 2.500 telur infektif A. galli, setelah delapan minggu menghasilkan rata-rata establishment cacing 14,2%, 2,9%, dan 0,5%. Infeksi dosis tinggi menurunkan jumlah cacing betina, TTGT, panjang, dan berat cacing tetapi fekunditasnya tidak berbeda. Penelitian Schou et al. (2003) membuktikan bahwa pada ayam New Hampshire yang diinfeksi pada umur 60 minggu dengan dosis tunggal 500 telur infektif A. galli ditemukan lebih banyak larva yang establish pada minggu ke-3, 6, dan -9 pasca infeksi dibandingkan dengan tiga jenis ayam petelur komersial lainnya: Skalborg, Isa Brown, dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan Skalborg. Larva A. galli tidak ditemukan lagi di dalam saluran cerna ayam Skalborg sejak minggu ke-6 pasca infeksi sedangkan pada saluran cerna ayam persilangan New Hampshire dan Skalborg,
larva tidak ditemukan lagi sejak
minggu ke-9 pasca infeksi. Rataan jumlah (populasi) L3 yang paling banyak ditemukan pada riset ini adalah pada kelompok E. Analisis statistik dengan uji ANOVA menunjukkan kelompok E secara signifikan berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Dapat dipahami bahwa kelompok E diberikan dosis 6000 L2 sekaligus, tanpa pengulangan. Sedangkan pada kelompok lainnya, dosis 6000 L2 diberikan bertahap secara berulang. Hasil penelitian ini mendukung temuan Hoste et al. (1993) bahwa prosentase populasi cacing Nematodirus spathiger pada kelinci yang dinfeksi dosis 17000 larva infektif adalah 28,6%, sedangkan kelinci yang diinfeksi dosis 5000 hanya menghasilkan prosentase populasi cacing 19,5%.
24 KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan perkembangan L1 menjadi L2 adalah 89,46%. Keberhasilan larva A. galli melangsungkan kehidupannya secara in vivo sangat dipengaruhi oleh metode dan dosis infeksi, dimana metode infeksi sekaligus dengan dosis L3 yang tinggi menghasilkan lebih banyak jumlah L3 A. galli yang establish di dalam saluran cerna ayam petelur. Secara keseluruhan jumlah L3 yang dikoleksi adalah 12,70%.
SARAN Dari hasil penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Untuk mencapai dewasa, stadium L3 akan menjalani fase histotrofik dan berinteraksi dengan pertahanan inang definitif di dalam jaringan dengan melepaskan ekskretori/sekretorinya. Ekskretori/sekretori L3 A. galli dapat diperoleh dengan cara kultur in vitro.
25 ISOLASI DAN KARAKTERISASI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli ABSTRAK Penelitian telah dilakukan untuk menyiapkan antigen ekskretori/sekretori larva (L3) A. galli. L3 diperoleh dari usus halus 100 ekor ayam tujuh hari setelah pemberian dosis 6000 L2 melalui oesofagus ayam. Sebanyak 5 – 10 ekor L3 dikultur secara in vitro dalam setiap ml medium Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640), pH 6,8, tanpa merah fenol dalam inkubator pada temperatur 37oC dan 5% CO2 selama 3 hari. Medium ditambahkan 100 units ml-1 penicillin G, 100 μg ml-1 streptomycin, 5 μg ml-1 gentamycin, and 0.25 μg ml-1 kanamycin. Antigen ekskretori/sekretori dipreparasi dari produk metabolisme L3 yang dilepaskan ke dalam medium kultur. Untuk mendapatkan antigen ekskretori/sekretori, medium kultur dipekatkan dengan vivaspin 30.000 MWCO, dan kuantitas protein antigen dihitung dengan metode Bradford. Berat molekul antigen ekskretori/sekretori ditentukan dengan sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi protein antigen ekskretori/sekretori adalah 0,595 mg/ml dengan berat molekul 28 kDa. Ekskretori/sekretori L3 A. galli kemungkinan dapat dikembangkan sebagai antigen untuk memicu respons imun terhadap penyakit parasitik yang disebabkan oleh A. galli. Kata kunci: Ascaridia galli, ekskretori/sekretori, antigen, larva ABSTRACT A study was carried out to prepare excretory/secretory antigen of Ascaridia galli from larval stage. A. galli L3 were recovered from intestines of 100 heads chickens 7 days after oesophagus inoculation with 6000 L2. L3 recovered in this manner were cultured (5 – 10 ml-1) in flasks containing RPMI 1640 media, pH 6.8, without phenol red and suplemented with 100 units ml-1 penicillin G, 100 μg ml-1 streptomycin, 5 μg ml-1 gentamycin, and 0.25 μg ml-1 kanamycin. Cultures were incubated at 370C in 5% CO2 and culture fluid was collected after 3 days in culture. Excretory/secretory antigen was prepared from metabolic product of L3 released in culture medium. To prepare excretory/secretory antigen, culture medium were concentrated with vivaspin 30.000 MWCO, and antigen protein concentration were counted as described in Bradford method. The molecular weight of excretory/secretory antigen was determined with sodium dodecyl polyacrylamid gel electrophoresis (SDS PAGE). The result showed that antigen protein concentration is 0,595 mg/ml. The molecular weight of excretory/secretory antigen was 28 kDa. Our results suggest the possibility of developing an excretory/secretory antigen to trigger immune responses against parasitic diseases caused by A. galli. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory, antigen, larvae
26 PENDAHULUAN Cacing nematoda umumnya melepaskan ekskretori/sekretori sebagai produk
metabolisme
parasit.
Peneliti
terdahulu
melaporkan
bahwa
ekskretori/sekretori dilepaskan oleh cacing nematoda seperti Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 1997), Ostertagia ostertagi pada sapi (Cock et al. 1993), Ostertagia circumcincta, Haemonchus contortus dan Trichostrongylus spp. pada ruminansia (Knox dan Jones 1990), dan Onchocerca gipsoni pada sapi (Harnett et al. 1997). Ekskretori/sekretori dapat berperan sebagai molekul antigen pemicu respons imunitas inang definitif (Rhoads et al. 1997). Sumber antigen dapat diperoleh dari cairan tubuh cacing (body fluid) (Yoshihara et al. 1993) atau sel somatik (somatic antigen) (Siles-Lucas dan Cuesta-Bandera 1996), dan produk ekskretori/sekretori (McKeand et al. 1995; Siles-Lucas dan Cuesta-Bandera 1996; Vervelde et al. 2003; Darmawi et al. 2006b) pada setiap stadium kehidupan cacing. Cacing dapat melepaskan ekskretori/sekretori pada kondisi in vivo dan in vitro. Secara in vivo, ekskretori/sekretori dilepaskan selama cacing menjalani proses infeksi dan selama bertahan hidup pada inang definitifnya. Secara in vitro, ekskretori/sekretori dilepaskan sebagai akibat metabolisme, dan sebagai upaya cacing untuk mendapatkan nutrisi dari lingkungannya (Cock et al. 1993). Campos et al. (2004) melaporkan bahwa antigen somatic dan ekskretori/sekretori larva L3 Anisakis simplex ditemukan dengan uji EnzymeLinked Immunosorbent Assay (ELISA) 24 jam pascainfeksi di dalam serum tikus yang sudah diinfeksi dengan cacing tersebut. Secara in vitro, antigen dilepaskan selama cacing menjalani kultivasi di dalam medium kultur yang sesuai. McKeand et al. (1995) melaporkan bahwa eksplorasi antigen ekskretori/sekretori Dictyocaulus viviparus (cacing paru pada sapi) dapat dipanen dalam setiap interval waktu 24 selama tiga hari masa kultivasi di dalam medium Rosswell Park Medium Institute (RPMI 1640). Satrija et al. (2004) melaporkan bahwa konsentrasi protein antigen yang dilepaskan oleh cacing pita Raillietina echinobothrida sebelum dipekatkan berkisar antara 0,286 – 0,361 mg/ml, sedangkan setelah dipekatkan dengan
27 vivaspin mengandung protein antigen 0,691 mg/ml. Yoshihara et al. (1993) membuktikan bahwa dalam setiap ml cairan tubuh cacing A. suum betina dewasa ditemukan 40 mg kandungan protein. Penelitian Timanova et al. (1999) dan Jordanova et al. (2005) pada tubuh A. galli dewasa mengandung poliprotein yang disebut A. galli fatty acid-binding protein (AgFABP), bersifat sebagai allergen yang mengikat asam lemak dan retinoid dengan affinitas yang kuat. Visualisasi antigen ekskretori/sekretori stadium L2 dan stadium dewasa A. galli menunjukkan berat molekul masingmasing protein adalah 35 dan 40 – 66 kDa (Tiuria et al. 2003). Namun, informasi tentang produk ekskretori/sekretori larva A. galli belum pernah dilaporkan. Ekskretori/sekretori L3 A. galli diduga mengandung protein sebagai bahan antigen.
Penelitian
ini
dirancang
untuk
menyiapkan
antigen
dari
ekskretori/sekretori larva stadium L3 A. galli. Stadium L3 dipilih menjadi fokus penelitian karena pada stadium tersebut larva A. galli akan mengalami fase histotrofik, dimana larva mengekskresi/sekresikan metabolit untuk menembus barrier pertahanan selaput lendir mukosa saluran cerna. Kajian terhadap ekskretori/sekretori dilakukan karena molekul biologi aktif tersebut berperan sebagai faktor invasif yang memudahkan migrasi larva ke jaringan. Ekskretori/sekretori juga berpotensi sebagai antigen karena dianggap sebagai benda asing oleh inang definitif. Dengan demikian, ekskretori/sekretori berperan untuk memfasilitasi interaksi antara cacing A. galli sebagai parasit dengan ayam petelur sebagai inang definitif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter antigen ekskretori/sekretori yang dilepaskan oleh L3 A. galli berdasarkan kuantitas protein dan berat molekul antigen.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas, dan Laboratorium Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 6 bulan dari bulan Desember 2005 sampai dengan bulan Mei 2006.
28 Rancangan Penelitian Sebanyak 5 – 10 ekor L3 dikultur secara in vitro dalam setiap ml medium Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640). Antigen ekskretori/sekretori dipreparasi dari produk metabolisme L3 yang dilepaskan ke dalam medium kultur. Medium kultur dipekatkan dengan vivaspin 30.000 MWCO (Tiuria et al. 2003), dan kuantitas protein antigen dihitung dengan metode Bradford. Berat molekul antigen ekskretori/sekretori ditentukan dengan sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). Preparasi Antigen Ekskretori/Sekretori L3 A. galli Larva A. galli diinkubasi dalam sumur cell culture plate, masing-masing sumur diisi 25 – 50 larva dalam 5 ml medium Rosswell Park Memorial Institute (RPMI 1640, Sigma-Aldrich), pH 6,8, tanpa merah fenol yang ditambahkan 100 unit ml-1 penisilin G, 100 μg ml-1 streptomisin, 5 μg ml-1 gentamisin, dan 0,25 μg ml-1 kanamisin dalam inkubator CO2 selama 3 hari. Campuran medium dengan ekskretori/sekretori L3 A. galli disentrifus pada 10000 g dengan temperatur 4oC selama 10 menit. Supernatan disaring dengan membran filter 0,45 μm Minisart® (Sartorius), ditampung ke dalam tabung vivaspin 30.000 MWCO dan disentrifus pada 1000 g dengan temperatur 4oC selama 10 menit. Filtrat dicuci dengan larutan Phosphate Buffered Saline (PBS) dan disentrifus kembali 3 menit. Filtrat diambil dan dijadikan sebagai bahan antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli (Hintz et al. 1998). Kuantitas Protein dari Ekskretori/Sekretori L3 A. galli Sepuluh mg Bovine Serum Albumin (BSA) dilarutkan dengan 10 ml aquadestilata dan dibuat 15 tingkatan konsentrasi sebagai standart. 100 μl dari masing-masing tingkatan ditempatkan dalam tabung reaksi steril lainnya dan ditambahkan dengan 5 ml larutan Bradford. Sebagai blanko digunakan 3 tabung reaksi steril masing-masing diisi dengan 100 μl aquadestilata dan ditambahkan dengan
5
ml
larutan
Bradford.
Sebanyak
100
μl
sampel
antigen
ekskretori/sekretori L3 A. galli diisi ke dalam tabung reaksi steril dan masingmasing ditambahkan dengan 5 ml larutan Bradford. Standart, blanko, dan sampel
29 masing-masing dimasukkan ke tabung kuvet untuk dilihat hasil absorbansinya dengan Spectrophotometer (Siles-Lucas dan Cuesta-Bandera 1996). Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis (SDS PAGE) Visualisasi berat molekul antigen dilakukan dengan menggunakan arus listrik tegangan 40 volt dengan kuat arus 12 mA pada suhu kamar selam 2 jam. Pada elektroforesis ini disiapkan dengan poliakrilamid 12,5%, gel pengumpul 4%, buffer elektroda dan buffer sampel. Marker (penenda berat molekul protein) yang digunakan
phosphprilase b (97 kD), albumin (66 kD), ovalbumin (45 kD),
carbonic anhydrase (30 kD) Tripsin inhibitor (20,1 kD) dan α-lactalbumin (14,4 kD). Sampel dan marker masing-masing dimasukkan ke dalam sumur elektroforesis (Laemmli 1970). Gel diwarnai dengan Comassie blue R 250 (Serva Germany) selama 30 menit dan dipucatkan dengan larutan pencuci sampai pitapita protein tampak jelas. Analisis Data Data kuantitas protein ekskretori/sekretori larva A. galli dianalisis berdasarkan persamaan regresi kurva standar Y = ax + b dari pengenceran BSA, dimana Y adalah besarnya absorpsi, a adalah koefisien regresi, x adalah konsentrasi sampel, dan b adalah suatu konstanta.
HASIL PENELITIAN Preparasi Antigen Ekskretori/sekretori L3 A. galli Setiap
tabung
vivaspin
30.000
MWCO
yang
digunakan
untuk
mengeksplor antigen ekskretori/sekretori larva A. galli mempunyai volume 20 ml dengan kapasitas hole 1,5 ml concentrator. Rata-rata 5 – 10 ekor larva dikultur dalam setiap ml medium kultur. Total medium yang digunakan untuk kultivasi 76.195 ekor larva adalah sebanyak 7 liter RPMI 1640. Dari 7 liter medium kultur berhasil diperoleh 525 ml antigen metabolit larva A. galli.
30 Kuantitas Protein dari Ekskretori/Sekretori L3 A. galli Nilai absorbansi terhadap protein ekskretori/sekretori larva A. galli adalah 0,32. Berdasarkan persamaan regresi Y = 0,7225X – 0,0073 (R2 = 0,99) standar protein, rata-rata kuantitas protein ekskretori/sekretori larva A. galli sebelum pemekatan adalah 0,065 mg/ml dan setelah pemekatan adalah 0,595 mg/ml. Hasil uji kuantitas protein standar terhadap BSA pada UV spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm (R2 = 0,99) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kuantitas protein ekskretori/sekretori larva A. galli Kuantitas protein (mg/ml) No. sampel
_____
Sebelum pemekatan Setelah pemekatan__
1
0,057
0,636
2
0,048
0,685
3
0,072
0,574
4
0,085
0,560
5
0,063
0,520
Rata-rata
0,065
0,595 ______
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis (SDS PAGE) Visualisasi pita protein melalui SDS PAGE setelah pemekatan dengan Vivaspin 30.000 MWCO menunjukkan berat molekul antigen adalah 28 kDa (Gambar 8). kDa 97 66 45 30
M S
28
20 14
Gambar 8. Berat molekul antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli M=marker, S= sampel
31 PEMBAHASAN Hasil
yang
diperoleh
pada
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
ekskretori/sekretori larva A. galli mengandung protein dengan konsentrasi 0,065 mg/ml dan setelah dipekatkan dengan vivaspin 30.000 MWCO meningkat menjadi 0,595 mg/ml (Tabel 2). Konsentrasi tersebut diperoleh dari kultivasi 4 – 10 L3 A. galli dalam setiap ml RPMI 1640. Berat molekul protein ekskretori/sekretori larva A. galli adalah 28 kDa (Gambar 8). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa konsentrasi protein yang dilepaskan oleh 10 ekor A. galli betina dewasa yang dikultur dalam 20 ml medium RPMI adalah 0,380 mg/ml (Darmawi 2003). Hasil penelitian ini mendukung temuan peneliti terdahulu bahwa sumber antigen dapat diperoleh dari cairan tubuh cacing (body fluid) (Yoshihara et al. 1993) atau dari sel somatik (somatic antigen) (Siles-Lucas dan Cuesta-Bandera 1996), dan dari produk ekskretori/sekretori (McKeand et al. 1995; Siles-Lucas dan Cuesta-Bandera 1996; Vervelde et al. 2003). Antigen cacing nematoda dapat juga diperoleh pada setiap stadium kehidupannya. Tiuria et al. (2002) telah membuktikan bahwa berat molekul antigen ekskretori/sekretori stadium L2 dan cacing dewasa A. galli berturut-turut adalah 35 kDa dan 40 – 66 kDa sedangkan antigen somatiknya adalah 45 – 66 kDa. Pada tubuh A. galli dewasa dibuktikan oleh Timanova et al. (1999) dan Jordanova et al. (2005) mengandung poliprotein. Protein yang dikenal sebagai A. galli fatty acid-binding protein (AgFABP) dikaraterisasi melalui deduksi rantai asam amino AgFABP merefleksikan bahwa poliprotein ini bersifat sebagai antigen yang dapat memicu alergi. Alergen mengikat asam lemak dan retinoid dengan affinitas yang kuat. Secara in vitro, ekskretori/sekretori yang dilepaskan cacing nematoda seperti Ostertagia circumcincta dan Onchocerca gipsoni pada sapi (Harnett et al. 1997), Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 2001), Haemonchus contortus pada domba (Vervelde et al. 2005), dan A. galli pada ayam petelur (Darmawi et al. 2006a) dapat berperan sebagai molekul biologik aktif pemicu respons imunitas inang definitif.
32 Antigen cacing nematoda sering berubah-ubah seiring dengan kejadian molting yang dialaminya. Taylor et al (1995) melaporkan bahwa cacing nematoda Onchocerca volvulus yang sering ditemukan pada manusia di Afrika dan Amerika Selatan mempunyai beberapa antigen yang terdapat pada hypodermis dan kutikula. Berat molekul antigen polipeptida mikrofilaria O. volvulus adalah 42 kDa, pada stadium L3 dilaporkan dua jenis antigen protein masing-masing dengan berat molekul 52 dan 65 kDa, sedangkan pada stadium dewasa antigen O. volvulus tidak terdeteksi. Yoshihara et al. (1993) menemukan antigen dengan berat molekul 105 kDa pada cairan tubuh cacing dewasa A. suum. Selama stadium transisi L3 – L4 A. suum, cacing yang ditemukan pada babi, melepaskan aminopeptidase dengan berat molekul 293 kDa. Tsuji et al (2001) membuktikan pula bahwa cDNA L3 A. suum yang mengkode protein dengan berat molekul rendah 14 kDa apabila diikat dengan subunit tiksin B kolera dapat berperan sebagai antigen untuk menginduksi imunitas protektif terhadap infeksi A. suum pada mencit. Variasi berat molekul antigen juga ditemukan pada cacing nematoda yang lain. Pada stadium L4, cacing Ostertagia ostertagi melepaskan ekskretori/sekretori dengan
berat
molekul
66,
70,
dan
100
kDa
(Cock
et
al.
1993).
Ekskretori/sekretori stadium L1 Trichinella spiralis mempunyai berat molekul 25 – 55 kDa (Todorova 2000). Hadas dan Stankiewicz (1997) melaporkan bahwa berat molekul proteinase pada L3 dan cacing dewasa H. contortus dan Trichostrongylus colubriformis berkisar antara 35 – 200 kDa. Todorova
(2000)
menyatakan
bahwa
perbedaan
berat
molekul
ekskretori/sekretori cacing nematoda yang dilepaskan pada masing-masing stadium diperlukan untuk proses biologik parasit. Ekskretori/sekretori cacing terlibat dalam proses penetrasi ke jaringan, nutrisi parasit, anti-koagulasi, dan pengelakan respons imun inang definitif. Rhoads et al. (1997) melaporkan bahwa pelepasan ekskretori/sekretori disebabkan oleh proses perkembangan dan survival parasit seperti penetasan telur, molting, dan exsheatment. Selain itu, ekskretori/sekretori merangsang respons imunitas dan berpotensi sebagai alergen (Jordanova et al. 2005).
33 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa stadium L3 A. galli melepaskan ekskretori/sekretori yang mengandung protein 0,065 mg/ml dan setelah pemekatan dengan vivaspin 0,595 mg/ml dengan berat molekul 28 kDa.
SARAN Dari hasil penelitian ini disarankan agar diteliti lebih lanjut tentang potensi ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai pemicu respons humoral ayam petelur. Imunoglobulin Yolk (IgY) yang didepositkan ke dalam kuning telur agar dipurifikasi, dan diuji kemungkinan aplikasinya pada imunisasi pasif terhadap ascaridiosis pada ayam petelur.
34 PURIFIKASI IMUNOGLOBULIN YOLK PADA KUNING TELUR DARI AYAM YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli ABSTRAK Imunoglobulin pada unggas disebut immunoglobulin yolk (IgY), untuk membedakannya dengan IgG mamalia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan IgY murni melalui purifikasi IgY kuning telur dari ayam yang diimunisasi dengan ekskretori/sekretori L3 A. galli. Imunisasi aktif pertama pada ayam dengan dosis 80 μg diaplikasikan secara intramuskular. Imunisasi diulang tiga kali dengan dosis 60 μg dalam interval waktu satu minggu. Pada imunisasi pertama, antigen ekskretori/sekretori dicampur dalam Fruend Adjuvant Complete dan imunisasi selanjutnya antigen dicampur dalam Freund Adjuvant Incomplete. Respons antibodi dideteksi dengan uji agar gel precipitation test (AGPT) dan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) setiap interval waktu satu minggu. Telur ayam dikoleksi mulai hari ke-49 pascaimunisasi. Anti-ascaridiosis IgY diekstraksi dari kuning telur dengan menggunakan ammonium sulphate dan dipurifikasi melalui fast performance liquid chromatography (FPLC). Kuantitas IgY murni ditentukan dengan metode Bradford (λ = 280 nm). Hasil menunjukkan bahwa antibodi di dalam kuning telur mulai terdeteksi dengan AGPT pada minggu keempat pascaimunisasi, dan respons imun yang diamati dengan ELISA mulai meningkat pada minggu kedua. Konsentrasi protein IgY setelah dipurifikasi adalah 0,875 ± 0.251 mg/ml. Produk yang dihasilkan oleh ekskretori/sekretori L3 A. galli dapat merangsang imunitas humoral melalui produksi IgY kuning telur. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen excretory/secretory , Imunoglobulin Y ABSTRACT The main immunoglobulin fraction of poultry is called IgY, in order to distinguish it from the mammalian IgG. This article focus on purification yolk immunoglobulin of hens immunized against excretory/secretory Ascaridia galli larvae to obtained purity IgY. Active immunizations with excretory/secretory antigen were applied intra muscularly of chickens with an initial dose of 80 µg. The immunizations were repeated three times with dose of each 60 µg with an interval of one week. The first immunizations were excretory/secretory antigen mixed with Fruend Adjuvant Complete and subsequently mixed with Freund Adjuvant Incomplete. Antibody response in yolk was detected at weekly intervals by agar gel precipitation test (AGPT) and enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). The chicken’s eggs were collected from 49 day after immunizations. IgY was extracted from egg yolks by means of ammonium sulphate and purified using fast performance liquid chromatography (FPLC). The purity of anti-ascaridiosis IgY protein was determined by Bradford method (λ = 280 nm). The result showed that antibody in yolk was begun detect with AGPT at four weeks after immunization, and immune response was observed by ELISA was begun increase at three weeks. IgY concentration after purification was 0,875 ± 0.251 mg/ml. This study has shown that the product released in vitro by L3 stage A. galli is capable of stimulating humoral immunity by mean of producing IgY in yolk. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, yolk Immunoglobulin
35 PENDAHULUAN Kuning telur (yolk) dari ayam yang diimunisasi sudah sangat terkenal sebagai salah satu sumber antibodi. Produksi immunoglobulin yolk (IgY) dengan memanfaatkan kuning telur ayam sebagai pabrik biologis mempunyai beberapa keunggulan. Ayam memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing, sehingga sistem imun ayam sangat responsif dan persisten untuk produksi IgY (Hau dan Hendriksen 2005). Keunggulan lainnya adalah IgY dapat diperoleh dari telur dengan konsisten menjaga animal welfare, tanpa harus menyakiti hewan, misalnya: produksi antibodi pada mencit, kelinci, kuda, dan hewan model lainnya harus menderita stres yang lama saat-saat serumnya dipanen. Jumlah IgY yang dihasilkan oleh ayam petelur juga lebih banyak dibandingkan antibodi hewan model lainnya. Diantara tiga kelas imunoglobulin unggas (IgA, IgM, dan IgY) yang analog dengan imunoglobulin mamalia, IgY adalah imunoglobulin yang tersedia dalam jumlah yang paling banyak ditemukan pada serum dan didepositkan ke dalam kuning telur. Riset yang membuktikan kelimpahan dan kegunaan IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur ayam dibuktikan oleh Carlander (2002), bahwa ayam yang telah diimunisasi dengan antigen Pseudomonas aeruginosa dapat menghasilkan 40 – 100 mg IgY dalam setiap butir telur ayam. Tiap-tiap butir telur dari ayam White Leghorn yang diimunisasi empat kali dengan 20 – 500 μg antigen secara subcutan mengandung 90 – 100 mg IgY, dimana 1 – 10% diantaranya adalah IgY spesifik (Haak-Frendscho 1994). IgY mengemban fungsi yang setara dengan IgG mamalia. IgY berevolusi dan diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE mamalia. Namun, berdasarkan struktur fundamennya ada perbedaan antara IgG mamalia dan IgY unggas. Molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan tersusun atas empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3, dan Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kDa yang masing-masing rantai beratnya ~65-68 kDa, koefisien sedimentasi 7,8 S, dan titik isoelektrik 5,7-7,6 (Chio 2002 dan Davalos-Patoja et al. 2000). Ada beberapa hal penting yang membedakan IgG dengan IgY, yaitu IgY lebih resisten terhadap suhu, pH dan kekuatan ion daripada IgG. Antibodi yang
36 mirip IgG dengan rantai berat y seberat 50.000 Da tidak ditemukan pada ayam. IgY ayam tidak berikatan dengan reseptor Fc manusia dan juga tidak bereaksi dengan anti-mamalia antibodi manusia, seperti faktor rhematoid dan anti-IgG manusia (Schade et al. 1999). Rollier et al. (2000) menyatakan bahwa untuk memicu pembentukan IgY itik Pekin (Anas domesticus) terhadap Hepadnavirus dapat dilakukan imunisasi awal pada minggu ke-4, 7, dan 10 dengan 100 μg, dan booster pada minggu ke-28 umur ayam dengan 200 μg antigen protein amplop virus Hepatitis B secara intra muskular. Carlander (2002) menyatakan bahwa 1 μg antigen sudah dapat memicu pembentukan IgY, namun ayam yang diinjeksi 4 kali dengan 25 – 100 μg antigen dapat menghasilkan IgY yang lebih banyak yaitu 40 – 100 mg setiap butir telur ayam yang diuji dengan teknik enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). Schmidt et al. (1989) telah memproduksi IgY anti-virus distemper terhadap anjing untuk kepentingan imunokimia. IgY dapat berperan lebih baik dibanding antibodi mamalia dalam imunodiagnostik, pencegahan dan pengobatan terhadap patogen pada infeksi gastrointestinal (Szabo et al. 1998). Penyakit infeksius enterik yang disebabkan oleh mikroba pada manusia dan hewan dapat diobati melalui pemberian IgY spesifik secara oral sebagai imunisasi pasif (Mine dan Kovacs-Nolan 2002). Penelitian
ini
akan
fokus
pada
evaluasi
sifat
imunogenik
ekskretori/sekretori L3 A. galli sebagai pemicu respons imunitas ayam petelur, khususnya respons humoral yang berimplikasi kepada terbentuknya IgY di dalam kuning telur. Antibodi anti-ekskretori/sekretori L3 A. galli di dalam kuning telur dideteksi dengan uji agar gel precipitation test (AGPT) dan ELISA. IgY dipurifikasi melalui kromatografi fast performance liquid chromatography (FPLC). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan IgY murni pada kuning telur dari ayam yang diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli. Diharapkan IgY murni yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi A. galli pada ayam petelur melalui imunisasi pasif.
37 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi, dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 9 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Februari 2007. Rancangan Penelitian Ayam petelur jenis Hysex Brown diimunisasi secara intramuskular dengan antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli. Spesifisitas IgY yang terbentuk diuji secara kualitatif dengan AGPT dan secara kuantitatif dengan ELISA (Paryati 2006). Apabila uji AGPT sudah menunjukkan hasil positif, maka telur ayam dikoleksi untuk dilakukan purifikasi IgY melalui FPLC. Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi dihitung mengikuti metode Bradford. Teknik Imunisasi Semua ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Enam ekor ayam HySex Brown berumur 24 minggu digunakan sebagai ayam percobaan. Tiga ekor ayam digunakan sebagai kontrol, sedangkan tiga ekor lainnya diimunisasi dengan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Imunisasi dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap imunisasi.
Teknik
yang
digunakan
adalah
suntikan
pertama
80
μg
ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dalam emulsi Freund’s Complete Adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 μg/imunisasi) dalam emulsi Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) (Camenisch et al. 1999). Satu minggu pertama praimunisasi sampai minggu keenam pascaimunisasi sampel kuning telur diuji dengan AGPT. Uji ELISA pada sampel kuning telur dari tiga ekor ayam yang diimunisasi dilakukan mulai minggu pertama sampai minggu ke-10 pascaimunisasi. Purifikasi IgY dari kuning telur dilakukan apabila hasil AGPT sudah positif dan hasil titer antibodi pada ELISA sudah meningkat.
38 Uji Spesifisitas IgY Secara Kualitatif: Agar Gel Precipitation Test Agar dibuat dengan melarutkan 0,4 g agarose (Serva, Germany) dan 1,2 g polietilin glikol 6000 (Merck, Germany) ke dalam 20 ml aquadest dan 20 ml PBS 0,5 M dengan pH 7,2 (Merck). Campuran tersebut ditangas pada air mendidih sampai jernih. Agar cair tersebut dituang dengan menggunakan pipet 10 ml di atas gelas objek dan dibiarkan sampai mengeras. Lubang-lubang dibuat di atas agar dengan
menggunakan
alat
gel
puncher.
Lubang
tengah
diisi
dengan
ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sedangkan lubang di sekitarnya diisi dengan kuning telur yang telah diencerkan dengan PBS pada perbandingan 1 : 3. Gelas objek diletakkan di atas kertas saring basah supaya terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 – 48 jam untuk melihat adanya garis presipitasi yang menunjukkan antara antibodi di dalam kuning telur dan antigen ekskretori/ sekretori L3 A. galli tersebut terjadi reaksi homolog (Lanyi dan Bergan 2003). Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Uji ELISA dilakukan terhadap antibodi kuning telur. Sumur pada plat ELISA dilapisi dengan 100 μl antigen. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah pengenceran 400 kali antigen ekskretori/sekretori larva A. galli dalam 0,1 M NaHCO3, pH 9,5. Plat diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 40C. Plat dicuci sebanyak 3 kali dengan 0,15 M NaCl, 0,02 M NaHPO4, 0,01% Tween 20, pH 7,2 (PBS-T) yang khusus digunakan sebagai larutan pencuci dalam ELISA. Sebanyak 100 μl sampel antibodi yang diencerkan 200 kali yang telah dilarutkan dalam PBS-T ditambahkan ke setiap lubang dari plat yang dibuat duplikat. Plat diinkubasikan selama satu sampai dua jam pada suhu ruangan di atas shaker. Plat dicuci kembali sebanyak tiga kali dengan PBS-T. Sebanyak 100 μl antibodi yang telah dilabel (IgY conjugate HRP, anti-chicken) dimasukkan ke dalam lubang plat dan diinkubasikan selama satu jam pada suhu ruangan di atas shaker, dan ditambahkan substrat peroksidase, ABTS, dan sitrat buffer. Plat dibaca dengan ELISA Reader panjang gelombang 415 nm (Yadav et al. 2005).
39 Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur Purifikasi IgY dilakukan melalui Fast Performan Liquid Chromatography (FPLC) dengan alat AKTATM explorer 10S, kolom HiTrapTM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech). Ligan (matriks) kolom mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY yang dikemas dengan medium absorpsi thiophilic, 2mercaptopyridine yang terikat pada spharose high performance. Semua selang pada FPLC dicuci dengan etanol 20% dan air bebas ion (mili Q) untuk menghilangkan sisa-sisa protein dan zat lainnya, menghindari kontaminan bahan yang akan dipurifikasi. Matriks dalam kolom dibilas dengan buffer K2SO4 0,5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5 (Soejoedono et al. 2005). Kuning telur dari ayam yang telah divaksinasi dengan antigen asal L3 A. galli diencerkan dengan 9 bagian aquadest pH 5,0 – 5,2 dan diinkubasikan selama 6 jam pada suhu 4oC. Larutan disentrifus pada 10.000 g selama 25 menit pada suhu 4oC. Supernatan ditambahkan dengan amonium sulfat 60% dan disentrifus pada 10.000 g selama 25 menit pada suhu 4oC. Endapan diresuspensi menjadi ½ volume kuning telur dan didialisis selama satu malam dengan PBS pH 8,0 (Akita dan Nakai 1992). Dialisat dilarutkan dalam buffer K2SO4 0,5 M dan dimasukkan ke dalam kolom HiTrap IgY Purification Hp 5 ml yang telah terpasang pada alat. Larutan binding (K2SO4 0,5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5) dialirkan ke dalam kolom untuk memberikan kesempatan matriks dalam kolom mengikat IgY sedangkan protein lain akan lolos dan dibuang. IgY yang terikat pada matriks dielusi dengan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5. Eluat terdeteksi oleh monitor absorban ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Setiap fraksi eluat ditampung ke dalam tabung pada alat fraksimeter. Fraksi eluat konsentrasi puncak diambil, dipekatkan pada volume semula dan didialis selama 24 jam dalam larutan PBS pH 8. Matriks dicuci dengan cleaning buffer propanol 30% dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5 (Soejoedono et al. 2005). Kuantitas Protein IgY Kuantitas protein IgY pada tahap purifikasi pengendapan dengan ammonium sulfat, dialisis, pemekatan dengan PEG 6000, dan hasil FPLC dihitung mengikuti metode Bradford menggunakan spektrofotometer ultraviolet (UV).
40 Sebanyak satu ml reagen Bradford dicampurkan dalam 100 μl antibodi dan diinkubasi selama lima menit. Absorban sampel ditentukan dengan pembacaan panjang gelombang 280 nm (Paryati 2006).
HASIL PENELITIAN Uji Spesifisitas IgY Secara Kualitatif: Agar Gel Precipitation Test Antibodi tidak terdeteksi pada semua ayam yang tidak diimunisasi. Pada ayam yang diimunisasi, antibodi juga tidak terdeteksi sampai minggu ketiga pascaimunisasi. Antibodi terdeteksi pada minggu keempat, kelima, dan keenam pascaimunisasi berturut-turut pada satu, dua, dan tiga ekor ayam yang diimunisasi (Tabel 3). Tabel 3. Hasil uji AGPT terhadap IgY pada telur ayam Minggu Perlakuan (pascaTidak diimunisasi Imunisasi: 80 + imunisasi (3x60μg) antigen pertama) 1 2 3 1 2 3 -1 0 1 2 3 4 + 5 + + 6 + + + Keterangan: - = reaksi negatif, + = reaksi positif, terlihat garis presipitasi Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Hasil titrasi menunjukkan bahwa konsentrasi antigen adalah pada pengenceran 1 : 400, konsentrasi antiserum adalah pada pengenceran 1 : 200, dan konsentrasi konjugat adalah pada konsentrasi 1 : 1000. Pada uji ELISA diketahui bahwa konsentrasi optimum cairan ekskretori/sekretori larva A. galli yang dibutuhkan adalah 0,15 µg dalam setiap sumur ELISA. Gambar 9 menunjukkan titer antibodi di dalam kuning telur. Titer antibodi optical density (OD) mulai
41 meningkat pada minggu kedua, dan mencapai puncaknya pada minggu kedelapan dan kesembilan pascaimunisasi. Titer antibodi mulai menurun pada minggu ke-10
Titer antibodi kuning telur (OD
pascaimunisasi. 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minggu ke- (pascaimunisasi) Kontrol
Imunisasi
Gambar 9. Titer antibodi di dalam kuning telur ayam Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur Kromatogram hasil pengujian IgY anti A. galli menunjukkan peak terbentuk pada fraksi keempat (Gambar 10).
Gambar 10. Kromatogram FPLC IgY anti-ekskretori/sekretori A. galli Teknik yang digunakan adalah FPLC dengan alat AKTATM explorer 10S, kolom HiTrapTM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech). Ligan
42 (matriks) kolom mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY yang dikemas dengan medium absorpsi thiophilic, 2-mercaptopyridine yang terikat pada spharose high performance. Ikatan IgY pada matriks dapat dielusi oleh larutan NaH2PO4 20 mM pH 7,5 (Amersham 2003). Eluat IgY dapat dideteksi oleh monitor absorban yang menyebabkan naiknya garis sehingga terbentuk puncak (peak). Kuantitas Protein IgY Untuk mengetahui kuantitas protein dilakukan pemerikasaan kandungan protein IgY dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 280 nm. Sampel diambil pada tiap-tiap tahap dari empat tahapan purifikasi. Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kuantitas protein kuning telur pada tiap-tiap tahapan purifikasi IgY Tahap purifikasi
Kuantitas protein (mg/ml)____
Pengendapan ammonium sulfat
6,936
Dialisis
4,685
Pengendapan PEG 6000
6,974
FPLC
0,875______________
PEMBAHASAN Antigen ekskretori/sekretori L3 A. galli dengan berat molekul 28 kDa yang digunakan pada penelitian merupakan imunogen yang baik karena terbukti dapat menggertak sistem imunitas ayam petelur yang berimplikasi pada meningkatnya titer IgY di dalam kuning telur pada uji ELISA (Gambar 9). Pada penelitian ini, IgY yang dipicu oleh pemaparan antigen ekskretori/sekretori larva A. galli sudah terdeteksi melalui uji AGPT mulai minggu keempat pascaimunisasi (Tabel 3). Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Soejoedono et al. (2005) bahwa pemaparan antigen ke dalam tubuh induk ayam akan menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen yang disuntikkan. Ayam petelur yang diimunisasi dengan Streptococcus mutans, Salmonella enterotidis, dan Escherichia coli
43 menunjukkan serum dan ekstraksi kuning telur positif mengandung IgY terhadap bakteri tersebut dua minggu pascaimunisasi. Mekanisme transfer IgY dari serum ke dalam kuning telur sama seperti proses kelangsungan transfer antibodi lintas plasenta pada mamalia.
IgY
diproduksi oleh limfosit B yang mengalami pematangan dalam bursa Fabricius ayam. IgY akan mengalir ke dalam pembuluh darah dan beredar ke seluruh bagian tubuh termasuk ke dalam ovarium. IgY didepositkan melalui jaringan arteri kecil ovarium-oosit ke dalam kuning telur sebagai bahan perlindungan bagi embrio ayam untuk berkembang (Carlander 2002). Harnett
et
al.
(1997)
membuktikan
bahwa
aplikasi
300
µg
ekskretori/sekretori Ochocerca gibsoni jantan dewasa yang diimunisasikan 50 µg setiap hari selama 6 hari berturut-turut dapat memicu respons humoral hewan percobaan. Imunisasi pertama dan kedua antigen diemulsikan FCA dan IFA berturut-turut. Sedangkan pada 4 kali booster selanjutnya digunakan PBS. Menurut Yoshihara et al. (1993) cairan tubuh cacing A. suum betina dewasa dapat digunakan sebagai antigen untuk mendiagnosa ascariosis pada babi melalui uji ELISA. Terbukti bahwa reaksi spesifik terjadi antara cairan tubuh cacing dengan antibodi di dalam serum babi yang diinfeksi. Fraksi protein 105 kDa dari cairan tubuh cacing dewasa bereaksi sangat spesifik dengan IgG di dalam serum babi yang diinfeksi dengan A. suum. Pada uji ELISA diketahui juga bahwa konsentrasi optimum cairan tubuh cacing yang dibutuhkan adalah 0,25 µg dalam setiap sumur ELISA. Reaksi silang hanya ditemukan antara antigen dan serum babi yang diinfeksi dengan Metastrongylus apri. Produksi sistein proteinase rekombinan dari Trematoda Clonorchis sinensis menurut Nagano et al. (2004) menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dengan uji ELISA untuk diagnosa clonorchiosis pada manusia. Sensitifitas ELISA dengan antigen rekombinan dan ekstrak kasar cacing C. sinensis dewasa berturut-turut 96 dan 88%. Sedangkan spesifisitas ELISA dengan antigen rekombinan dan ekstrak kasar cacing C. sinensis dewasa berturut-turut 96,2 dan 100%. Analisa western blotting dari serum pasien yang menderita clonorchiosis bereaksi kuat dengan protein rekombinan, tetapi bereaksi lemah dengan protein rekombinan S. japonicum. Uji immunostaining membuktikan
44 bahwa cysteine proteinase C. sinensis berlokasi pada sel-sel epitel intestinal cacing dewasa dan pada telur intrauterin. Perkiraan asam amino sekuens enzim tersebut identik dengan cathepsin L dari Paragonimus westermani, Schistosoma japonicum, dan Fasciola hepatica. Produksi antibodi dapat dilakukan melalui teknik imunisasi dengan cara menginjeksikan antigen dan adjuvant secara subkutan, intramuskular, atau secara oral dalam interval waktu tertentu. Schade et al. (1999) merekomendasikan bahwa untuk produksi IgY pada ayam petelur dosis antigen yang akan digunakan adalah 10 – 100 μg dalam emulsi FCA untuk memicu reaksi lokal pada jaringan subkutan atau intramuskular. Frekuensi vaksinasi dilakukan dua sampai tiga kali booster dalam interval waktu 4 – 8 minggu sebelum masa ayam bertelur. Teknik imunisasi pada ayam yang dilakukan Camenisch et al. (1999) untuk memicu terbentuknya IgY anti human hypoxia-inducible factor 1 (anti-HIF-1α) dalam kuning telur ayam adalah dengan menyuntikkan 80 μg antigen fusi protein plasmid bakteri yang mengekspresikan HIF-1α dengan glutathione S-tranferase yang diresuspensi dengan 500 μl PBS dan dicampur dengan 500 μl CFA pada otot dada. Booster dilakukan dua kali dengan cara menyuntikkan 60 μg antigen yang dicampur dengan IFA pada minggu ke-2 dan 4. Teknik imunisasi yang digunakan pada penelitian ini adalah suntikan pertama 80 μg ekskretori/sekretori larva A. galli dalam emulsi FCA yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 μg/imunisasi) dalam emulsi IFA dapat memicu pembentukan IgY di dalam kuning telur ayam HySex Brown. Hasil FPLC pada penelitian ini menunjukkan bahwa IgY dapat dideteksi oleh monitor absorban. Garis grafik mulai naik pada fraksi ketiga sampai terbentuk puncak (peak) pada fraksi keempat dan grafik menurun kembali pada fraksi kelima (Gambar 10). Prisip purifikasi IgY melalui FPLC adalah interaksi IgY dengan ligan dapat berlangsung akibat adanya pertukaran elektron donor dan penerimaan aksi pada ligan. Absorpsi thiofilik dikembangkan oleh struktur garam-air yang memberikan interaksi IgY dan hasil ligan dari aksi kombinasi pemberian dan penerimaan elektron dari ligan atau campuran model interaksi hidrofilikhidrofobik antara ligan dan IgY. Kolum HiTrapTM IgY Purification memiliki kelebihan antara lain: didapatkan kemurnian IgY yang lebih baik, purifikasi IgY
45 cepat dan mudah dari kuning telur, dan masing-masing column mengikat IgY dari 1-4 kuning telur. Untuk kapasitas yang lebih besar, kolum dapat dihubungkan dalam rangkaian (Amersham 2003). IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur bervariasi kuantitasnya, tergantung pada jenis antigen dan jenis ayam yang digunakan. Pada penelitian ini, antigen yang digunakan adalah ekskretori/sekretori larva A. galli dan ayam HySex Brown. Kuantitas protein IgY yang ditemukan pada purifikasi FPLC adalah 0,875 mg/ml (Tabel 4). Nilai tersebut diperoleh pada rata-rata volume kuning telur HySex Brown adalah 10,1 – 14,9 ml/yolk, setara dengan kuantitas protein IgY adalah 18 – 26 mg dalam setiap butir telur HySex Brown. Haak-Frendscho (1994) melaporkan bahwa ayam petelur White Leghorn yang diinjeksi pada beberapa lokasi subcutan dengan 20 – 500 μg antigen yang dicampur dengan FCA dan diikuti 2-3 kali booster dapat menghasilkan 90 – 100 mg IgY, 1 -10% (1 -10 mg) diantaranya adalah IgY spesifik dalam setiap butir telur. Rollier et al. (2000) membuktikan bahwa dalam setiap butir telur yang dihasilkan oleh ayam yang diimunisasi dengan antigen Hepadnavirus ditemukan 60 – 100 mg IgY spesifik terhadap antigen virus tersebut.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1. Ekskretori/sekretori L3 A. galli bersifat imunogenik yang dapat memicu respons imunitas humoral ayam petelur yang ditandai dengan peningkatan titer antibodi pada uji ELISA mulai minggu kedua sedangkan pada uji AGPT antibodi mulai terdeteksi pada minggu keempat pascaimunisasi. 2. IgY yang berhasil dipurifikasi melalui kromatografi FPLC mempunyai konsentrasi 0,875 mg/ml.
SARAN Perlu dilakukan penelitian terhadap titer antibodi serum dan mendeteksi keberadaan antigen yang terdapat pada kutikula A. galli melalui imunohistokimia.
46 PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons antibodi di dalam serum ayam petelur terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 Ascaridia galli. Sebanyak 12 ekor ayam dibagi dalam empat kelompok (A – D). Kelompok A adalah ayam yang tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi. Kelompok C adalah ayam yang diinfeksi. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi dan diinfeksi. Imunisasi dilakukan secara intramuskular dengan dosis 80 µg ekskretori/sekretori larva A. galli yang dicampur dengan Fruend Adjuvant Complete dan diulang tiga kali dengan dosis 60 µg yang dicampur dengan Freund Adjuvant Incomplete. Infeksi dilakukan langsung ke dalam oesofagus dengan dosis 1000 L2. Respons antibodi pada masing-masing kelompok dianalisis dengan uji enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) setiap satu minggu selama 10 minggu pascainfeksi. Hasil menunjukkan bahwa imunisasi dan atau infeksi dapat memicu peningkatan titer antibodi serum secara signifikan (P < 0,05) selama 10 minggu pascainfeksi. Titer antibodi dari terendah sampai tertinggi ditemukan berturut-turut pada kelompok A, B, C, dan D. Titer tertinggi kelompok ayam yang diimunisasi adalah 2,63 ± 1,20 OD (optical density) dicapai pada minggu ketiga dan titer terendah adalah 1,51 ± 0,48 OD dicapai pada minggu kenol pascainfeksi. Antigen ekskretori/sekretori dapat memicu respons imunitas humoral terhadap penyakit parasit yang disebabkan oleh A. galli. Hasil tersebut merefleksikan bahwa produk ekskretori/sekretori larva A. galli mengandung antigen, dan antibodi berperan dalam mekanisme imunitas terhadap A. galli. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT The purpose of the present study was to trigger humoral immunity of chickens exposed to experimental Ascaridia galli infection. Amount of 12 head chickens were devided into four groups (A – D). Group A, the chickens were not immnunized and nor infected. Group B, the chickens were immunized. Group C, the chickens were infected. Group D, the chickens were immunized and infected. Two groups (B and D), the chickens were actively immunized with 80 µg mixed with Fruend Adjuvant Complete and repeated three times with dose of each 60 µg excretory/secretory antigen of A. galli larvae mixed with Freund Adjuvant Incomplete with an interval of one week intra muscularly. Two groups (C and D), chickens were infected with dose 1000 L2. Antibody responses of the different groups were compared at weekly intervals along 10 weeks post infection following analysis by enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). The result showed that immunizations and or infections were increased antibody titer significantly (P < 0,05) for 10 weeks. The lowest to highest titers observed in A,
47 B, C, and D respectively. The highest titer of serum was 2,63 ± 1,20 OD (optical density) reached at three weeks after infection and the lowest was 1,51 ± 0,48 OD can be triggered by using active immunizations. This research concluded that the excretory/secretory antigen was able to trigger humoral immune responses against parasitic diseases caused by A. galli. The results suggest that A. galli larvae excretory/secretory product contain protective antigen and that antibodymediated mechanisms contribute to immune protection. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, ELISA
PENDAHULUAN Uji serologis yang dikembangkan dewasa ini menurut Priadi et al. (2002) terdiri dari dua ketegori, yaitu uji pengikatan primer dan uji pengikatan sekunder. Uji pengikatan primer adalah uji yang langsung mengukur ikatan antigen pada antibodi
yang
meliputi
uji
fluorescence
antibody
technique
(FAT),
radioimmunoassay (RIA), dan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA). Uji pengikatan sekunder adalah uji yang mengukur hasil interaksi antigen-antibodi secara in vitro yang meliputi uji presipitasi antigen yang terlarut (agar gel presipitation test = AGPT), aglutinasi antigen utuh (serum agglutination test = SAT), dan aktivasi perusakan oleh komplemen (complement fixation test = CFT). Uji ikatan primer lebih sensitif dibandingkan uji ikatan sekunder. Jumlah protein antibodi 0,5x10-3 μg/ml sudah dapat dideteksi melalui uji ELISA sedangkan melalui uji AGPT membutuhkan 30 μg/ml antibodi. Diantara uji pengikatan primer, ELISA adalah uji yang paling umum digunakan.
ELISA
diyakini
memberikan
hasil
sangat
akurat
untuk
imunodiagnostik terhadap berbagai penyakit parasitik. Antibodi babi terhadap nematoda Ascaris suum betina dewasa (Yoshihara et al. 1993) dan antibodi marmot terhadap nematoda Dictyocaulus vivivarus (McKeand et al. 1995) telah terbukti dapat dievaluasi dengan ELISA. Uji ELISA juga akurat untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas antibodi manusia terhadap trematoda Clonorchis sinensis (Kim et al. 2001; Nagano et al. 2004), dan antibodi tikus, domba, dan kerbau terhadap Fasciola hepatica dan F. gigantica (Law et al. 2003; Nambi et al. (2005; Yadav et al. 2005; dan Zhang et al. 2005).
48 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons antibodi di dalam serum ayam petelur terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 Ascaridia galli melalui uji ELISA. Prinsip yang digunakan adalah antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli diikatkan pada matriks padat (microplate) yang berguna untuk menangkap antibodi yang larut di dalam serum ayam yang telah diimunisasi dengan antigen tersebut. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dideteksi dengan bantuan antibodi yang telah dilabel dengan enzim (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken). Priadi et al. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi ikatan yang terbentuk dapat dibaca melalui spektrofotometer dengan bantuan substrat enzim. Besarnya optical density (OD) adalah proporsional dengan konsentrasi ikatan kompleks tersebut.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas, Laboratorium Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 14 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Juli 2007. Rancangan Penelitian Sepuluh hari sebelum imunisasi aktif masing-masing ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Dua belas ekor ayam HySex Brown berumur 24 minggu digunakan sebagai ayam percobaan yang dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor ayam. Kelompok A adalah sebagai kelompok kontrol, ayam tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi aktif. Kelompok C adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi aktif, dan diinfeksi (ditantang) dengan dosis 1000 L2 A. galli. Serum kelompok A, B, C, dan D dipanen dan diuji dengan ELISA setiap minggu yang
49 dimulai sesaat prainfeksi dosis 1000 L2 A. galli
sampai minggu ke-10
pascainfeksi. Teknik Imunisasi dan Teknik Infeksi pada Ayam Percobaan Imunisasi dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap kali imunisasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 μg dengan emulsi antigen plus freund’s complete adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 μg/imunisasi) dengan emulsi antigen plus incomplete freund’s adjuvant (IFA) (Camenisch et al. 1999 dan Carlender 2002). Infeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli dilakukan langsung ke dalam oesofagus pada minggu pertama pascaimunisasi terakhir. Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Uji ELISA dilakukan terhadap serum dari semua kelompok ayam percobaan (A, B, C, dan D) yang dipanen setiap minggu yang dimulai sesaat prainfeksi dosis 1000 L2 sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Sumur pada plat ELISA dilapisi dengan 100 μl antigen. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah 2 – 10 μl/ml dalam 0,1 M NaHCO3, pH 9,5. Plat diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 40C. Plat dicuci sebanyak 3 kali dengan 0,15 M NaCl, 0,02 M NaHPO4, 0,01% Tween 20, pH 7,2 (PBS-T) yang khusus digunakan sebagai larutan pencuci dalam ELISA. Sebanyak 100 μl sampel antibodi yang diencerkan 200 kali yang telah dilarutkan dalam PBS-T ditambahkan ke setiap lubang dari plat yang dibuat duplo. Plat diinkubasikan selama satu sampai dua jam pada suhu ruangan di atas shaker. Plat dicuci kembali sebanyak tiga kali dengan PBS-T. Sebanyak 100 μl antibodi yang telah dilabel (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken) dimasukkan ke dalam lubang plat dan diinkubasikan selama satu jam pada suhu ruangan di atas shaker dan ditambahkan substrat peroksidase, ABTS, dan sitrat buffer. Plat dibaca dengan ELISA Reader panjang gelombang 415 nm (Yadav et al. 2005). Analisis Data Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Stell dan Torrie 1999).
50 HASIL PENELITIAN Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Hasil titrasi menunjukkan bahwa konsentrasi antigen adalah pada pengenceran 1 : 400, konsentrasi antiserum adalah pada pengenceran 1 : 200, dan konsentrasi konjugat adalah pada konsentrasi 1 : 1000. Pada uji ELISA diketahui bahwa konsentrasi optimum cairan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli 30.000 MWCO yang dibutuhkan adalah 0,15 µg dalam setiap sumur ELISA. Gambar 11 menunjukkan titer antibodi di dalam serum ayam percobaan. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan berbeda tidak signifikan (P > 0,05) pada sesaat prainfeksi (minggu kenol, Gambar 11). Selain pada kelompok ayam kontrol, peningkatan titer antibodi terjadi pada semua kelompok ayam percobaan mulai minggu pertama sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan meningkat signifikan (P < 0,05) hanya terhadap kelompok kontrol pada minggu pertama, kedua, kelima, dan ke-10 pascainfeksi. Titer antibodi serum (OD)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minggu ke- (pascainfeksi) Kontrol
Imunisasi
Infeksi
Imunisasi dan Infeksi
Gambar 11. Titer antibodi di dalam serum ayam pada tiap-tiap kelompok ayam percobaan Titer antibodi kelompok ayam imunisasi yang ditantang dengan dosis 1000 L2 meningkat signifikan (P < 0,05) terhadap titer antibodi kelompok ayam kontrol dan kelompok ayam imunisasi pada minggu ketiga, keempat, keenam,
51 ketujuh, kedelapan, dan kesembilan pascainfeksi. Titer antibodi kelompok ayam infeksi dengan dosis 1000 L2 berbeda tidak signifikan (P > 0,05) dibandingkan dengan kelompok ayam imunisasi, dan kelompok ayam imunisasi yang ditantang dengan dosis 1000 L2 pada minggu ketiga, keempat, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan pascainfeksi.
PEMBAHASAN Titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi, dan kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli selalu menunjukkan nilai OD yang lebih tinggi dibandingkan titer antibodi kelompok ayam yang tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi, demikian juga dengan titer antibodi ayam yang hanya diinfeksi (Gambar 11). Hal ini berarti bahwa antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli bersifat imunogenik dan prosedur imunisasi untuk memicu pembentukan antibodi pada ayam yang direkomendasikan oleh Camenisch et al. (1999) dapat digunakan pada penelitian ini. Camenisch et al. (1999) menyatakan bahwa pembentukan antibodi dapat dipicu melalui teknik imunisasi dengan cara menginjeksikan antigen dan adjuvant secara subkutan, intramuskular, atau secara oral dalam interval waktu tertentu. Teknik imunisasi pada ayam untuk memicu terbentuknya IgY anti human hypoxia-inducible factor 1 (anti-HIF-1α) dalam serum dan kuning telur ayam dilakukan dengan injeksi 80 μg antigen fusi protein plasmid bakteri yang mengekspresikan HIF-1α dengan glutathione S-tranferase yang diresuspensi dengan 500 μl PBS dan dicampur dengan 500 μl CFA pada otot dada. Booster dilakukan dua kali dengan cara menyuntikkan 60 μg antigen yang dicampur dengan IFA pada minggu ke-2 dan 4. Sifat imunogenik antigen ekskretori/sekretori cacing telah dibuktikan oleh peneliti terdahulu. Aktivitas antigenik ekskretori/sekretori F. hepatica dan F. gigantica dibuktikan pula oleh dan Paz-Silva et al. 2004 dan Zhang et al. (2005) dapat menimbulkan efek imunomodulator dan memicu proliferasi limfosit domba, tikus, dan kerbau. Cathepsin-L (28-kDa) dari ekskretori/sekretori F. gigantica dapat digunakan sebagai antigen dalam uji ELISA untuk mendeteksi fasciolosis
52 selama 4 minggu pasca infeksi pada kerbau dan domba (Paz-Silva et al. 2003 dan Yadav et al. 2005). Nilai telur tiap gram tinja (TTGT) menurun signifikan dijumpai pada Lama pacos yang memiliki titer antibodi yang tinggi (Green et al. 1996). Demikian juga pada anak domba yang memiliki titer IgG yang meningkat signifikan berimplikasi kepada penurunan nilai TTGT (Vervelde et al. 2003). Pada minggu kedua pascainfeksi terjadi penurunan titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli. Hal ini dapat dijelaskan bahwa antibodi yang telah terbentuk di dalam serum ayam petelur oleh rangsangan antigen melalui imunisasi mungkin telah tertarik ke bagian usus halus yang merupakan tropisma A. galli. Tizard (1996) menyatakan bahwa antibodi yang telah terbentuk akan melekat pada permukaan cacing, sel eosinofil kemudian melekat melalui reseptor Fc antibodi, sehingga sel eosinofil teraktivasi dan melepaskan sekresi protein dari granula yang dapat merusak parasit bersangkutan. Klei (1997) menyatakan bahwa tanggap kebal dipicu melalui mekanisme sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (antibody dependent cell cytotoxicity = ADCC) yang khas. Tanggap ini menurut Roitt dan Delves (2001) dapat terjadi karena ekskretori/sekretori dapat merangsang sel Th2 untuk memproduksi interleukin (IL), yaitu IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi antibodi, sedangkan IL-5 merangsang pembentukan dan perkembangan sel eosinofil. Penelitian terdahulu merefleksikan bahwa ekskretori/sekretori asal cacing A. galli dewasa dapat memicu pertahanan selaput lendir mukosa usus halus yang ditandai dengan eosinofilia dan hiperplasia dan proliferasi sel mast mukosa (Darmawi 2003) serta sel goblet (Balqis 2004). Sel eosinofil, sel mast mukosa, dan sel goblet berperan dalam pengeluaran A. galli dari saluran cerna ayam (Tiuria et al. 2000). Fenomena fluktuasi titer antibodi merupakan manifestasi infeksi cacing. Menurut Nambi et al. (2005) bahwa respons humoral dan seluler kerbau (Bubalus bubalis) meningkat signifikan dua minggu setelah diimunisasi dengan 400 μg ekskretori/sekretori F. gigantica. Pada penelitian ini, peningkatan titer antibodi kembali terjadi pada minggu ketiga pascainfeksi, dan titer antibodi yang tinggi tetap dipertahankan sampai minggu ke-10 pascainfeksi pada kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli.
53 KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat menggertak respons humoral yang ditandai dengan meningkatnya titer antibodi serum ayam petelur yang diimunisasi. 2. Titer antibodi serum semakin meningkat pada ayam yang sudah diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan diikuti dengan infeksi dosis 1000 L2.
SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui keberadaan antigen A. galli dapat dilakukan penelitian lebih lanjut melalui uji imunohistokimia.
54 DETEKSI KEBERADAAN ANTIGEN Ascaridia galli DENGAN IMUNOGLOBULIN YOLK MELALUI METODE IMUNOHISTOKIMIA ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan antigen ekskretori/sekretori Ascaridia galli dengan metode imunohistokimia. Cacing A. galli dewasa dipotong secara melintang dan memanjang pada bagian kepala dan ekor. Jaringan tubuh A. galli yang dipotong diblok di dalam parafin dan preparat histologi dibuat melalui proses tahapan dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin, pemotongan dan pewarnaan. Keberadaan antigen pada jaringan cacing A. galli dideteksi dengan uji imunohistokimia. Slide dihangatkan di dalam buffer sitrat pada temperatur 90-95oC. Aktivitas endogen dihambat dengan H2O2 3% dan skim milk 0,1%. Slide diinkubasikan dengan antibodi primer imunoglobulin yolk (IgY) selama satu malam pada temperatur 4oC, dan antibodi sekunder anti-chicken IgY HRP-conjugat selama satu jam pada temperatur ruangan. Slide diwarnai dengan kromogen AEC, conterstain dengan Lillie Mayer Haematoxylin, dan ditutup di dalam genangan gliserin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antigen dapat dideteksi keberadaannya pada bagian kutikula dan saluran cerna A. galli. Hasil tersebut merefleksikan bahwa IgY yang terbentuk oleh rangsangan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat mengenal antigen A. galli sehingga IgY tersebut dapat digunakan dalam imunodiagnostik. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, imunohistokimia ABSTRACT The purpose of the present study was to determine the presence of antigen in the Ascaridia galli. A. galli adult worms were cut in transversal and longitudinal by mean of cranial and caudal. The tissue of A. galli were blocked in paraffin and the histologic preparates were done by means of dehydration, clearing, infiltration and embedding in paraffin, section and staining. The antigen were detected with immunohistochemistry. Slides were warmed in citrate buffer at 90-95oC. Endogenous activities were blocked with 3% H2O2 and 0.1% skim milk. Slides were incubated with both primary antibody yolk immunoglobulin (IgY) for overnight at 4oC and secondary antibody rabbit anti-chicken IgY HRP-conjugate for one hour at room temperature. Slides were stained with AEC chromogen, counterstained with Lillie Mayer Haematoxylin, and mounted in glyserin aqueous mount. The result showed that antigen were able detected in cuticle and intestines of A. galli. This research concluded that IgY stimulated by the excretory/ secretory antigen of L3 stage was able to recognized A. galli antigen so the IgY could be applied for immunodiagnostic. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, immunohistochemistry
55 PENDAHULUAN Metode deteksi antigen-antibodi telah banyak dikembangkan seiring dengan penemuan teknologi mutakhir dalam bidang biologi molekuler bersamaan dengan penemuan terbaru metode produksi antibodi spesifik terhadap antigen di dalam serum dan kuning telur (yolk). Kemajuan tersebut memberi kesempatan untuk membuat cara imunodiagnostik yang aman dan akurat (Motoi et al. 2005). Lehr et al. (1999) menyatakan bahwa kombinasi dari konsep-konsep imunologis dan histologis merupakan suatu jalan yang terbukti sangat berguna dalam biologi molekuler dan biomedis, terutama dalam analisis imunoserologis pada organ-organ dalam keadaan normal maupun patologik. Untuk tujuan tersebut telah digambarkan pendekatan kuantitatif sejak abad terakhir ini, misalnya oleh Ehrlich dan Landsteiner sebagai pelopor-pelopor dalam pengembangan teknik ini. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu molekul dalam jaringan. Pada penelitian ini, metode imunohistokimia ditujukan untuk mendeteksi antigen cacing A. galli dengan menggunakan IgY yang dipicu oleh antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai antibodi primer sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Motoi et al. (2005) membuktikan bahwa IgY yang dipicu oleh antigen virus rabies dapat digunakan pada uji imunohistokimia yang sangat rektif mengenal antigen rabies pada sitoplasma sel-sel neuron (sel syaraf) dari ganglion trigeminal jaringan otak tikus. Imunohistokimia diartikan sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigenantibodi) dan dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas warna yang terbentuk maupun gambaran kuantitatif. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksikan komponen sel, biomakromolekul seperti protein, karbohidrat (Lehr et al. 1999; Ding dan Candido 2000; Nagano et al. 2004; Yarim et al. 2004; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005).
56 Kemajuan teknologi yang telah dicapai untuk produksi imunoglobulin yolk (IgY) yang mudah dan efisien membuka peluang pemanfaatan IgY dalam berbagai uji imunodiagnostik dan pencegahan penyakit infeksi. IgY telah dimanfaatkan untuk mencegah diare dan karies pada gigi (Soejoedono et al. 2005), dan untuk mencegah rabies (Motoi et al. 2006; dan Paryati 2006). IgY dapat dimanfaatkan untuk imunodiagnostik melalui uji imunohistokimia (Motoi et al. 2005) dan uji ELISA (Paryati 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan antigen A. galli dengan menggunakan IgY terhadap ekskretori/sekretori A. galli melalui uji imunohistokimia.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Patologi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 2 bulan dari bulan Juni sampai dengan Juli 2007. Rancangan Penelitian Cacing A. galli dewasa dipotong secara transfersal dan longitudinal setebal 3 – 5 μm. Preparat objek ditetesi antibodi primer terhadap ekskretori/sekretori A. galli, antibodi sekunder (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken). Preparat objek ditetesi dengan peroksidase, dan kromogen AEC (3-amino-9-ethyl-carbazole). Counterstain dilakukan dengan meneteskan Lillie Mayer Hematoksilin secara merata dan dicuci dengan dionized water. Preparat objek ditutup dengan cover glass
yang
digenangi
dengan
gliserin.
Visualisasi
endapan
berwarna
(kromogranin) yang terbentuk diamati di bawah mikroskop yang menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi (Lehr et al. 1999). Uji Imunohistokimia Preparat histologi jaringan tubuh cacing A. galli dibuat melalui proses tahapan dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin, pemotongan dan pewarnaan. Jaringan diblok di dalam parafin dan disimpan di dalam lemari es
57 agar parafin menjadi lebih keras sehingga memudahkan pemotongan. Cacing A. galli dipotong secara transfersal dan longitudinal setebal 3 – 5 μm dengan mikrotom. Sayatan jaringan diapungkan diatas air hangat pada temperatur 60oC dan dilekatkan pada gelas objek. Parafin dihilangkan dengan xylol (III, II, dan I) masing-masing selama 3 menit. Rehidrasi dilakukan dengan cara merendam preparat objek secara bergantian dalam alkohol konsentrasi 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3 menit. Preparat objek dicuci (clearing) dengan diionized water selama 15 menit. Peroksidase endogen dihilangkan dengan H2O2 3% selama 20 menit dan skim milk 0,1% selama 30 menit, dibilas dengan diionized water dan PBS masing-masing 3 kali 5 menit (Yarim et al. 2004). Slide
(preparat
objek)
ditetesi
antibodi
primer
IgY
terhadap
ekskretori/sekretori A. galli secara merata. Antibodi primer yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hasil purifikasi IgY dengan metode fast performans liquid chromatografi (FPLC) di dalam kuning telur (yolk) dari ayam yang diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Preparat objek dimasukkan ke dalam kotak preparat (humidity chamber) diberi kertas tissue yang ditetesi dengan PBS untuk menjaga kelembaban, dimasukkan ke dalam lemari es pada temperatur 4oC selama satu malam, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Preparat objek ditetesi antibodi sekunder (IgY conjugate HRP rabbit anti-chicken, Promega), diinkubasi pada temperatur ruangan selama satu jam, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Preparat objek ditetesi dengan peroksidase, diinkubasi pada temperatur ruangan selama 30 menit, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS (Ding dan Candido 2000; Inoue et al. 2003; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005). Preparat objek ditetesi kromogen AEC, diinkubasi pada temperatur ruangan selama 3 menit, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Counterstain dilakukan dengan meneteskan Lillie Mayer Hematoksilin secara merata selama satu menit dan dicuci dengan dionized water. Preparat objek ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan gliserin. Imunoreaktivitas positif dievaluasi di bawah mikroskop dengan lensa objektif 40 kali. Visualisasi endapan berwarna (kromogranin) yang terbentuk menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi (Lehr et al. 1999).
58 HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi poliklonal IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat mengenal keberadaan antigen cacing A. galli. Kompleks antigen-antibodi ditunjukkan oleh reaksi positif yang ditandai munculnya warna jingga kontras pada potongan melintang dan memanjang pada bagian kutikula dan saluran cerna A. galli (Gambar 12).
A
B Gambar 12. Reaksi positif uji imunohistokimia terhadap antigen A. galli Keterangan:
A = potongan melintang, B = potongan memanjang. Panah tebal = kutikula, Panah tipis = saluran cerna
59 PEMBAHASAN Teknik polymer peroxidase merupakan teknik yang banyak digunakan. Teknik ini menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas produk warna yang terbentuk (Lehr et al. 1999). Pembentukan kompleks reaksi antigen-antibodi tersebut berlangsung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.
P
Gambar 13. Kompleks antigen-antibodi pada teknik polimer peroksidase Untuk mendeteksi peroksidase, ditambahkan suatu kromogen yang dapat menghasilkan endapan berwarna (kromogranin) pada suatu reaksi sehingga produk dapat tervisualisasi. Tujuan umum teknik imunohistokimia adalah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi komponen struktur dan fungsi sel, oleh karena itu kompleks antigen-antibodi yang terjadi harus dilabel dengan suatu cara khusus agar dapat tervisualisasi. Substansi yang cocok untuk melabel kompleks tersebut adalah yang memberikan reaksi warna yang tegas. Kromogen yang digunakan pada reaksi yang berperoksidase adalah AEC sehingga reaksi berlangsung seperti yang terlihat pada Gambar 14. Peroksidase H2O2
Endapan merah jambu (kromogranin) AEC Gambar 14. Reaksi pembentukan produk berwarna
60 Penambahan AEC tidak akan menghasilkan kromogranin tanpa adanya H2O2 dan peroksidase. Antibodi primer akan bereaksi/berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi, selanjutnya antibodi yang dilabel dengan peroksidase akan bereaksi dengan antibodi primer tersebut. Sehingga keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-antibodi. Pada penelitian ini, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk pada kutikula dan sepanjang saluran cerna cacing A. galli menghasilkan warna jingga kontras (Gambar 12). Lehr et al. (1999) melaporkan bahwa uji imunohistokimia terhadap karsinoma sel-sel tumor epitel pada itik membentuk dua warna yang kontras. Warna turquoise (biru hijau) adalah representasi positif sitokeratin sel-sel tumor sedangkan warna pink (merah jambu) adalah representasi positif vimentin stroma. Teknik imunohistokimia adalah salah satu metode imunokimiawi yang sudah dikembangkan pada imunodiagnostik penyakit parasitik. Yarim et al. (2004) menyatakan bahwa uji imunohistokimia dapat mendeteksi keberadaan enzim 3β-hydroxysteroid-dehidrogenase (3β-HSD) pada bradyzoit yang menutupi sarcocysts di dalam otot skelet domba sebagai inang intermediet Sarcocystis spp. Nagano et al. (2004) membuktikan bahwa antibodi primer dapat mengenal antigen cacing Clonorchis sinensis yang berlokasi pada sel-sel epitel intestinal cacing dewasa dan pada telur intrauterin.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen ekskretori/sekretori larva L3 A. galli dapat mengenal antigen yang berada pada kutikula dan saluran cerna A. galli.
SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui kemungkinan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 dan atau IgY dapat mengurangi kelangsungan hidup A. galli perlu dilakukan penelitian secara in vivo dan in vitro.
61 POTENSI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3, IMUNOGLOBULIN YOLK, DAN KOMBINASINYA TERHADAP PENURUNAN POPULASI Ascaridia galli ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui populasi larva di dalam usus halus ayam yang yang diimunisasi dan ditantang dengan cacing Ascaridia galli. Sebanyak 18 ekor ayam dibagi dalam enam kelompok (A – F). Kelompok A adalah sebagai kontrol, ayam pada kelompok B, C, dan D diimunisasi aktif secara intramuskular dengan dosis 80 µg ekskretori/sekretori larva A. galli yang dicampur dengan fruend adjuvant complete dan diulang tiga kali dengan dosis 60 µg yang dicampur dengan freund adjuvant incomplete. Ayam pada kelompok C, D, dan F diinfeksi dengan dosis 1000 L2. Ayam pada kelompok D dan E diimunisasi pasif secara oral setiap hari dengan 0,875 mg IgY anti-ascaridiosis. Populasi A. galli di dalam intestinal dihitung pada 12 minggu pascainfeksi. IgY anti-ascaridiosis diuji terhadap kelangsungan hidup A. galli setiap 12 jam secara in vitro. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi imunisasi aktif dan pasif secara signifikan menurunkan kelangsungan hidup A. galli di dalam usus halus ayam petelur. Tindakan imunisasi berkorelasi positif dengan jumlah kelangsungan hidup cacing (worm burden) dalam saluran cerna ayam pada kelompok C dan D 12 minggu pascainfeksi. Hasil tersebut merefleksikan bahwa produk ekskretori/sekretori larva A. galli mengandung antigen, dan antibodi berperan terhadap dalam mekanisme imunitas terhadap A. galli. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen excretory/secretory , immunoglobulin yolk ABSTRACT The purpose of the present study was to determine the presence of worm populations in intestine of chickens immunized and challenged to experimental Ascaridia galli infection. Amount of 18 head chickens were devided into six groups (A – F). Group A was a control group. Three groups (B - D), the chickens were actively immunized with 80 µg mixed with fruend adjuvant complete and repeated three times with dose of each 60 µg excretory/secretory antigen of A. galli larvae mixed with freund adjuvant incomplete with an interval of one week intra muscularly. Four groups (C – F), chickens were infected with dose 1000 L2. Two groups (D – E), the chickens were passively immunized ten times with 0,875 mg egg yolk with an interval of one day intra orally of hen immunized against excretory/secretory antigen of A. galli. Intestinal worm burdens of infected groups were recorded. Anti-ascaridiosis IgY were treated to observed A. galli survival in vitro with an interval of 12 hours. The result showed that active combined with passive immunizations decreased significantly A. galli survival in intestine of laying hens. Immunizations were positively correlated with worm burden at 12 weeks after infection in group C and D. The results suggest that A. galli larvae excretory/secretory product contain protective antigen and that antibodymediated mechanisms contribute to immune protection. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, yolk Immunoglobulin
62 PENDAHULUAN Metode pengendalian helminthosis secara kemoprofilaksis yang telah dilakukan selama ini mempunyai beberapa kelemahan. Pemberian dosis optimal 30,3 ppm fenbendazole menghasilkan nilai efikasi yang bervariasi antara 69,0 – 89,6% sehingga tidak selalu dapat mengeluarkan cacing Ascaridia galli secara menyeluruh dari dalam usus halus inang definitif (Sander dan Schwartz 1994). Penggunaan anthelmintika berspektrum luas dilaporkan oleh Waller (1997) telah menyebabkan resistensi nematoda terhadap anthelmintika. Oleh karena itu, perlu dicarikan metode pengendalian ascaridiosis yang tepat dan akurat secara imunoprofilaksis. Penelitian yang menunjukkan prospek pengendalian helminthosis secara imunoprofilaksis telah banyak dikembangkan. Antigen yang diekspresikan melalui ekskretori/sekretori cacing nematoda seperti Ostertagia circumcincta dan Onchocerca gipsoni pada sapi (Harnett et al. 1997), Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 2001), Haemonchus contortus pada domba (Vervelde et al. 2003) dapat berperan sebagai molekul biologik aktif pemicu respons imunitas inang definitif. Kajian imunoproteksi H. contortus pada kambing dilaporkan Ruiz et al. (2004) bahwa imunisasi aktif dengan sistein protease yang diisolasi dari H. contortus dewasa dianggap sebagai kandidat vaksin yang penting untuk mengontrol haemonchosis. Sistein protease bersifat antigen imunoprotektif karena kambing yang telah diinfeksi dengan H. contortus dan diimunisasi dengan enzim protease tersebut menunjukkan penurunan jumlah telur H. contortus pada tiap gram tinja, penurunan jumlah cacing (worm burden) pada tiap ekor kambing secara signifikan. Aplikasi
imunoglobulin
yolk
(IgY)
sebagai
imunoterapi
telah
menunjukkan hasil signifikan dalam meningkatkan fungsi imun. Davis dan Reeves (2002) melaporkan bahwa imunisasi pasif secara oral dengan menambahkan IgY ke dalam kolustrum dapat mencegah infeksi Escherichia coli pada pedet dan rotavirus pada mencit. Akita dan Nakai (1992) dan Makoto et al. (1998) melaporkan juga bahwa kerentanan anak-anak terhadap patogen dapat dicegah dengan cara memformulasikan IgY anti-patogen ke dalam makanan.
63 Penelitian tentang metode pengendalian ascaridiosis pada ayam petelur secara imunoprofilaksis belum cukup memberi penjelasan tentang peran imunitas humoral terhadap kelangsungan hidup cacing A. galli secara in vivo. Untuk mengendalikan infeksi A. galli diperlukan penelitian yang diarahkan kepada prospek pengendalian secara imunoprofilaksis. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan melakukan imunisasi aktif dan atau imunisasi pasif. Imunisasi aktif dilakukan dengan cara memaparkan antigen sebagai bahan asing untuk memicu respons imunitas humoral dan seluler inang definitif. Imunisasi pasif dilakukan dengan cara memberikan komponen imunitas yang berperan dalam reaksi imunologik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi antigen ekskretori/sekretori pada imunisasi aktif dan atau IgY pada pasif terhadap penurunan populasi cacing A. galli secara in vivo. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas, dan Laboratorium Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 9 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Februari 2007. Rancangan Penelitian Sepuluh hari sebelum imunisasi aktif masing-masing ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Delapan belas ekor ayam HySex Brown berumur 24 minggu digunakan sebagai ayam percobaan yang dibagi menjadi enam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor ayam. Populasi cacing A. galli secara in vivo dianalisis pada semua kelompok ayam. Kelompok A adalah sebagai kelompok ayam tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi aktif. Imunisasi aktif menggunakan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli yang disiapkan pada artikel kedua dalam tulisan ini. Kelompok C adalah ayam yang diimunisasi aktif
64 dan diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli. Dosis 1000 L2 A. galli disiapkan seperti yang dijelaskan pada artikel pertama dalam tulisan ini. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi aktif, diinfeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli, dan diimunisasi pasif. Imunisasi pasif menggunakan yolk dari telur ayam yang telah positif mengandung IgY terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli yang disiapkan pada artikel ketiga dalam tulisan ini. Kelompok E adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli dan diimunisasi pasif. Kelompok F adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli. Semua ayam dinekropsi setelah 12 minggu pascainfeksi, dan cacing A. galli yang ditemukan di dalam saluran cerna dihitung jumlahnya. Teknik Imunisasi Aktif dan Pasif pada Ayam Percobaan Imunisasi aktif dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap kali imunisasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 μg dengan emulsi antigen plus Freund’s Complete Adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 μg/imunisasi) dengan emulsi antigen plus Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) (Camenisch et al. 1999 dan Carlender 2002). Infeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli dilakukan langsung ke dalam oesofagus pada minggu ke-8 pascaimunisasi aktif. Imunisasi pasif diberikan langsung ke dalam oesofagus dengan dosis 0,875 mg IgY kuning telur setiap hari selama 10 hari berturut-turut mulai pada minggu ke-9 pascaimunisasi aktif. Populasi cacing A. galli secara in vivo Semua kelompok ayam percobaan dipotong dan dinekropsi pada minggu ke-12 pascainfeksi. Usus halus diambil dan dibuka secara longitudinal. Isi usus dan mukosa disaring dengan kain kasa di atas gelas Bermann yang berisi NaCl fisiologis. Satu jam kemudian, larva yang tenggelam ke dasar gelas diambil dan dihitung jumlahnya di bawah mikroskop. Analisis Data Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Stell dan Torrie 1999).
65 HASIL PENELITIAN Kelangsungan hidup A. galli secara in vivo Secara in vivo, kelangsungan hidup cacing A. galli 12 minggu pascainfeksi ditemukan pada semua kelompok ayam yang diinfeksi dosis 1000 L2 (Tabel 5). Tabel 5. Populasi cacing A. galli_secara in vivo 12 minggu pascainfeksi . Kelompok Imunisasi Imunisasi ayam aktif Infeksi pasif Jumlah Larva A. galli A 0,00 ± 0,00ab B
260 μg
-
-
0,00 ± 0,00ab
C
260 µg
1000 L2
-
5,67 ± 3,21acd
D
260 µg
1000 L2
8,75 mg
2,00 ± 1,00ac
E
-
1000 L2
8,75 mg
7,00 ± 3,61cd
F
-
1000 L2
-
9,33 ± 3,51d _______
Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan Kelangsungan hidup A. galli pada kelompok ayam yang diimunisasi aktif, dan kelompok ayam yang diimunisasi aktif disertai imunisasi pasif tidak berbeda signifikan dengan kelompok ayam yang tidak diinfeksi. Perbedaan signifikan terjadi pada kelompok ayam yang diinfeksi, dan kelompok ayam yang diinfeksi dan diimunisasi pasif dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak diinfeksi. Kelompok ayam percobaan yang diimunisasi aktif dan disertai imunisasi pasif dapat mengurangi kelangsungan hidup larva A. galli di dalam usus halus ayam petelur. Jumlah larva A. galli menurun signifikan (P < 0,05) pada kelompok ayam yang diberikan 260 μg ekskretori/sekretori, dan satu minggu setelah infeksi dosis 1000 L2 diberikan juga 10 kali 0,875 mg IgY selama 10 hari dibandingkan dengan kelompok ayam yang hanya diinfeksi dosis 1000 L2 tetapi tidak diimunisasi. Penurunan jumlah larva A. galli terjadi juga pada kelompok ayam yang diinfeksi dan hanya diimunisasi aktif atau imunisasi pasif, hasil uji statistik menunjukkan penurunan jumlah larva tidak signifikan (P > 0,05) (Tabel 5).
66 PEMBAHASAN Imunisasi aktif dengan memanfaatkan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai antigen dapat mempengaruhi kelangsungan hidup cacing yang ditandai dengan penurunan jumlah A. galli yang ditemukan pada saluran cerna ayam petelur (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa ayam yang telah diimunisasi dengan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan diinfeksi oleh L2 maka akan mengurangi jumlah larva di dalam usus halus. Ayam tersebut diimunisasi lagi secara pasif maka kelangsungan hidup A. galli di dalam usus halus semakin berkurang jumlahnya. Pada ayam yang diinfeksi oleh larva infektif dan hanya diimunisasi secara pasif, populasi larva dapat dikurangi meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Abe et al. (1992) membuktikan bahwa produk ekskretori/sekretori Strongyloides ratti dewasa bersifat imunogenik yang dapat merangsang produksi interleukin (IL-3) oleh limfosit dari limfonodus mesenterik tikus yang diinfeksi dengan S. ratti. Aktivitas IL-3 yang merupakan growth factor sel mast bersifat merangsang diferensiasi sel mast mukosa usus halus yang berasal dari sel-sel progenitor pada situs infeksi. Tizard (1996) menyatakan bahwa degranulasi sel mast mukosa pada kutikula nematoda berkolaborasi dengan antibodi, makrofag, sel eosinofil, musin sel goblet, dan gerakan peristaltik otot licin usus halus dapat mengeluarkan cacing dari dalam lumen saluran cerna. Imunisasi pasif dengan memanfaatkan yolk dari ayam yang telah diimunisasi dengan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli juga dapat mengurangi jumlah A. galli yang ditemukan pada saluran cerna ayam petelur. Schmidt et al. (1989) menyatakan bahwa pemanfaatan kuning telur segar yang mengandung IgY spesifik memberikan nilai efikasi lebih baik dibandingkan pemanfaatan komponen IgY yang telah dipisahkan dari komponen kuning telur lainnya. IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur sangat prospektif digunakan sebagai substansi biologik untuk kekebalan pasif. Prinsip pengebalan pasif adalah pemberian zat kebal pada individu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan mengkonsumsi telur yang telah mengandung IgY sebagai zat kebal. Selain itu, kegunaan IgY dapat dimanfaatkan sebagai reagen standar
67 untuk perangkat diagnostik, penelitian biomedis, imunoprofilaksis, dan terapi (Camenisch et al. 1999). Imunisasi aktif ditambah dengan imunisasi pasif dapat menurunkan secara signifikan (P < 0,05) jumlah cacing yang ditemukan pada saluran cerna ayam petelur. Imunisasi aktif bersifat merangsang respons imunitas humoral dan seluler untuk proteksi host dari serangan agen infeksi (Abe et al. 1992; dan Zhang et al. 2005). Imunisasi pasif bersifat menambah zat kebal untuk menghambat invader memasuki jaringan host Haak-Frendscho 1994; dan Mine dan Kovacs-Nolan 2002). Pada penelitian ini, kolaborasi imunisasi aktif dan imunisasi pasif mempunyai kolerasi positif terhadap penurunan jumlah cacing A. galli yang masih bertahan pada usus halus ayam kebal. Jumlah larva A. galli yang ditemukan di dalam saluran cerna ayam setelah diberikan telur infektif dipengaruhi oleh jenis ayam yang digunakan sebagai model. Penelitian Schou et al. (2003) membuktikan bahwa pada ayam New Hampshire yang diinfeksi pada umur 60 minggu dengan dosis tunggal 500 telur infektif A. galli ditemukan lebih banyak larva yang establish pada minggu ke-3, 6, dan -9 pascainfeksi dibandingkan dengan tiga jenis ayam petelur komersial lainnya: Skalborg, ISA Brown, dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan Skalborg. Cepat atau lambatnya L2 berkembang menjadi stadium berikutnya dipengaruhi oleh kemampuan telur infektif untuk bertahan, bersaing intra spesies dan flora usus. Dahl et al. (2002) telah membuktikan bahwa berbagai stadium kehidupan cacing baik larva maupun cacing dewasa masih ditemukan pada saluran cerna ayam Lohmann Brown berumur 29 minggu, meskipun infeksi per oral dengan 1000 ± 50 telur infektif A. galli telah berlangsung selama 10 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun infeksi L2 telah berlangsung selama 12 minggu, stadium larva masih ditemukan di dalam saluran cerna ayam. Suspensi ekskretori/sekretori larva A. galli dapat memicu respons humoral ayam petelur. Aplikasi ekskretori/sekretori larva A. galli, IgY anti-ascaridiosis, dan kombinasinya dapat mengurangi jumlah kelangsungan hidup cacing A. galli di dalam usus halus ayam.
68 Aplikasi IgY anti-ascaridiosis dapat mengurangi kelangsungan hidup cacing A. galli secara in vivo. Menurut Roitt dan Delves (2001) antibodi yang terbentuk oleh rangsangan antigen cacing nematoda parasitik akan menjerat tubuh cacing dengan cara penempelan sehingga permukaan tubuh cacing terikat pada bagian F(ab) antibodi. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai media yang mengikat antigen melalui binding site yang spesifik, sekaligus merupakan jembatan yang menghubungkan antigen dengan sel-sel imun atau mengaktifkan komplemen (Vervelde et al. 2003). Penelitian ini membuktikan bahwa pada saluran cerna ayam yang diimunisasi aktif dan atau pasif masih ditemukan larva A. galli (Tabel 5). Hal ini menunjukkan kurang optimalnya sistem imunitas ayam untuk menyingkirkan cacing pada situs predeleksinya sehingga cacing tetap establish pada saluran cerna. Fenomena kurang optimalnya sistem imunitas dapat dijelaskan bahwa untuk establish pada inang definitif, cacing parasitik menghindar dari serangan sistem imunitas. Reaksi imunologik inang definitif dihindari oleh cacing dengan cara mengubah struktur antigen permukaannya atau melapisinya dengan molekul glikoprotein major histocompatibility complex (MHC) dan imunoglobulin inang definitif sehingga dianggap self (Tizard 1996).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan IgY yang terbentuk oleh rangsangannya berpotensi mengurangi populasi cacing A. galli secara in vivo.
SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui kemungkinan kelangsungan hidup A. galli secara in vivo dapat dihambat secara sempurna (jumlah cacing yang ditemukan pada saluran cerna adalah nol) perlu dilakukan penelitian dalam durasi masa infeksi yang lebih dari 12 minggu.
69 PEMBAHASAN UMUM Prosentase L1 yang berkembang menjadi L2 adalah 89,46% (Gambar 7) sedangkan prosentase L2 yang berkembang menjadi L3 adalah 12,7% (Tabel 1). Kemampuan L3 Ascaridia galli berkembang di dalam saluran cerna ayam Isa Brown dipengaruhi oleh besarnya dosis infeksi yang diberikan pada satu waktu. Semakin besar dosis L2 yang diberikan pada satu waktu semakin tinggi pula prosentase L3 yang berkembang. Prosentase perkembangan L3 yang paling tinggi ditemukan pada kelompok E, yaitu pada ayam yang diberikan satu kali dosis 6000 L2 sekaligus. A. galli adalah cacing nematoda yang berpredeleksi di dalam usus halus unggas. Ayam jenis New Hampshire lebih rentan terinfeksi oleh A. galli dibandingkan jenis ayam petelur komersial lainnya seperti Skalborg, ISA Brown, dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan Skalborg (Schou et al. 2003). Dahl et al. (2002) menemukan berbagai stadium kehidupan cacing A. galli di dalam saluran cerna ayam jenis Lohmann Brown pada 10 minggu infeksi dengan dosis 1000 ± 50 L2 A. galli. Pada penelitian ini, cacing A. galli dapat melangsungkan kehidupannya pada saluran cerna ayam petelur jenis ISA Brown. Dosis pemberian L2 mempengaruhi populasi L3 yang ditemukan tujuh hari pascainfeksi. Pada kelompok ayam yang diberikan enam kali dosis 1000 L2 dengan interval waktu setiap kali pemberian 30 menit ditemukan jumlah L3 yang paling sedikit (8,39%). Seperti yang disajikan pada Tabel 1, semakin tinggi dosis L2 yang diberikan semakin banyak pula jumlah L3 yang ditemukan. Pada kelompok ayam yang diberikan sekaligus dosis 6000 L2 ditemukan jumlah L3 yang paling banyak (21,48%). Selama menjalani kehidupan di dalam tubuh inang definitif, A. galli dan ayam petelur saling berinteraksi untuk mencapai keseimbangan kehidupan antara A. galli sebagai parasit dan ayam petelur sebagai inang definitif. Interaksi A. galli dengan inang definitif diperantarai oleh ekskretori/sekretori yang dilepaskan melalui proses anabolik dan katabolik oleh cacing selama establish di dalam tubuh inang definitif. Rhoads et al. (2001) membuktikan bahwa ekskretori/sekretori
70 Ascaris suum pada babi berperan sebagai molekul biologi aktif untuk penetasan telur, molting, pemecah jaringan inang, invasi dan migrasi larva ke jaringan. Stadium L3 A. galli melepaskan ekskretori/sekretori dengan berat molekul 28 kDa yang divisualisasikan melalui SDS PAGE (Gambar 8). Rata-rata kuantitas protein ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebelum pemekatan adalah 0,065 mg/ml dan setelah pemekatan adalah 0,595 mg/ml. Hasil uji kuantitas protein standar terhadap BSA pada UV spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm (R2 = 0,99) disajikan pada Tabel 2. Establishment cacing di dalam tubuh dilawan
melalui
mekanisme
respons
imunitas
oleh
inang
definitif.
Ekskretori/sekretori berperan sebagai sumber antigen protektif yang dapat memicu tanggap kebal inang definitif (Jimenez et al 2000). Antigen ekskretori/sekretori merupakan komponen imunogenik (Chung et al. 1997 dan Kim et al. 2000). Lagapa et al (2002) menyatakan bahwa substansi yang diekskresi/sekresikan cacing merupakan target yang potensial untuk memicu respons imun dan dapat dikenal oleh antibodi pada hewan terinfeksi. Antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat memicu pembentukan antibodi ayam petelur. Antibodi terdeteksi melalui uji AGPT pada minggu keempat, kelima, dan keenam pascaimunisasi berturut-turut pada satu, dua, dan tiga ekor ayam yang diimunisasi (Tabel 3). Pada penelitian ini terbukti bahwa ekskretori/ sekretori stadium L3 A. galli dapat berperan sebagai antigen. Pada ayam petelur jenis HySex Brown, antibodi yang didistribusikan di dalam serum juga didepositkan ke dalam kuning telur (yolk) pada minggu keempat pascaimunisasi. Gambar 9 menunjukkan titer antibodi di dalam kuning telur melalui uji ELISA. Titer antibodi optical density (OD) mulai meningkat pada minggu kedua, dan mencapai puncaknya pada minggu kedelapan dan kesembilan pascaimunisasi. Titer antibodi mulai menurun pada minggu ke-10 pascaimunisasi. Roitt
dan
Delves
(2001)
menyatakan
bahwa
pemaparan
antigen
ekskretori/sekretori cacing dapat menggertak pelepasan interleukin (IL-4 dan IL5) oleh sel T helper-2 (Th-2). IL-4 dapat membangkitkan sel B menjadi sel plasma pembentuk antibodi. Pada penelitian ini, antibodi yang didepositkan ke dalam kuning telur ayam HySex Brown berhasil dipurifikasi melalui proses tahapan pengendapan
71 dengan amonium sulfat, dialisis, pengendapan dengan PEG 6000, dan melalui teknik kromatografi. Pada teknik FPLC, eluat IgY dapat dimonitor pada komputer yang menyebabkan naiknya garis sehingga terbentuk puncak (peak) pada fraksi keempat (Gambar 10). Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi disajikan pada Tabel 4. Pada
uji
ELISA
diketahui
bahwa
konsentrasi
optimum
cairan
ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli yang dibutuhkan adalah 0,15 µg dalam setiap sumur ELISA. Gambar 11 menunjukkan titer antibodi di dalam serum ayam percobaan. Selain pada kelompok ayam kontrol, peningkatan titer antibodi terjadi pada semua kelompok ayam percobaan mulai minggu pertama sampai minggu ke10 pascainfeksi. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan meningkat signifikan (P < 0,05) hanya terhadap kelompok kontrol pada minggu pertama, kedua, kelima, dan ke-10 pascainfeksi. Menurut Else dan Finkelman (1998) antibodi dapat mencegah perlekatan larva pada mukosa usus halus, dan bersama mukus menjerat larva untuk dikeluarkan bersama tinja. Tizard (1996) menyatakan bahwa IL-5 yang dilepaskan oleh Th-2 karena rangsangan antigen cacing dapat menggertak eosinofoesis, mobilisasi sel eosinofil, dan deganulasi sel eosinofil untuk melepaskan substansi helmintoksik seperti enzim proteolitik, peroksidase, dan major basic protein. Temuan Roitt dan Delves (2001), Else dan Finkelman (1998), dan Tizard (1996) sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana jumlah larva A. galli yang ditemukan pada saluran cerna ayam Hysex Brown yang diimunisasi sebelum ditantang menurun secara signifikan dibandingkan dengan ayam yang tidak diimunisasi tetapi diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli (Tabel 5). Produksi antibodi yang dirangsang oleh antigen asal cacing akan memicu mastositosis. Sel mast mukosa berdegranulasi melepaskan kandungan granulanya seperti histamin, leukotriene-D4, dan PGE2. Substansi tersebut akan dilepaskan pada kutikula cacing nematoda apabila antibodi telah berikatan dengan antigen. Kolaborasi antigen, antibodi, dan substansi granula sel eosinofil dan sel mast mukosa juga menimbulkan respons inflamasi untuk menghambat invasi cacing ke jaringan (Kraneveld et al. 1998; Kay 2001a; dan Kay 2001b)).
72 Tanggap kebal dipicu melalui mekanisme sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC) yang khas (Klei 1997). Imunoglobulin melekat pada permukaan cacing, sel eosinofil kemudian melekat melalui reseptor Fc, sehingga sel eosinofil teraktivasi dan melepaskan sekresi protein dari granula yang dapat merusak parasit bersangkutan (Stuart 1999). Tanggap ini dapat terjadi karena ekskretori/sekretori dapat merangsang sel Th2 untuk memproduksi interleukin (IL), yaitu IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi antibodi, sedangkan Il-5 merangsang pembentukan dan perkembangan sel eosinofil (Roitt dan Delves 2001). Cross-linking juga akan menimbulkan sinyal aktivasi fosfolipase A2 dan sinyal aktivasi gen sitokin untuk menghasilkan mediator sekunder granul sel mast. Fosfolipase
A2
mempengaruhi
membran
fosfolipid
menghasilkan
asam
arachidonat, leukotrin B4, C4, D4, prostaglandin D2 dan platelet activating factor (PAF). Terhadap nukleus, akibat cross-linking akan memicu pelepasan IL-5 dari inti sel mast. Sinyal IL-5 dari sel Th-2 dan sel mast menurut Kay (2001b) berperan sebagai rekrutmen eosinofil. Aktivasi sel mast dan eosinofil untuk melepaskan produk granulnya akan menimbulkan udema mukosa, sekresi mukus, infiltrasi leukosit, dan kerusakan epitel, sebagai rangkaian penyebab reaksi hipersensitivitas tipe I. Jika suatu reaksi hipersensitivitas bersifat segera dan berlangsung sistemik disebut anafilaksis (Kay 2001a). Untuk membuktikan adanya ikatan antigen dengan antibodi yang telah dipurifikasi pada penelitian ini, dilakukan pendeteksian antigen pada jaringan cacing A. galli melalui metode imunohistokimia. Diantara teknik imunohistokimia yang telah banyak dikembangkan, teknik polymer peroxidase merupakan teknik yang sering digunakan. Teknik ini menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase. Teknik imunohistokimia ditujukan untuk mendeteksi suatu molekul di dalam jaringan berdasarkan ikatan antigen-antibodi. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya, dan memberikan gambaran kualitatif dari intensitas produk warna yang terbentuk (Lehr et al. 1999; Ding dan Candido 2000; Nagano et al. 2004; Yarim et al. 2004; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005).
73 Untuk mendeteksi peroksidase, ditambahkan suatu kromogen yang dapat menghasilkan endapan berwarna (kromogranin) pada suatu reaksi sehingga produk dapat tervisualisasi. Tujuan umum teknik imunohistokimia adalah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi komponen struktur dan fungsi sel, oleh karena itu kompleks antigen dan antibodi yang terjadi harus dilabel dengan suatu cara khusus agar dapat tervisualisasi. Substansi yang cocok untuk melabel kompleks tersebut adalah yang memberikan reaksi warna yang tegas. Kromogen yang digunakan pada reaksi yang berperoksidase adalah AEC. Gambar 12 menunjukkan hasil uji imunohistokimia terhadap jaringan tubuh cacing A. galli dewasa. Warna jingga yang terbentuk membuktikan reaksi positif antara antigen dan IgY terlihat pada kutikula cacing A. galli potongan melintang (Gambar 12 A). Reaksi positif juga terlihat pada bagian mulut dan disepanjang saluran cerna cacing A. galli (Gambar 12 B). Nagano et al. (2004) membuktikan bahwa uji immunostaining membuktikan bahwa pada sel-sel epitel intestinal cacing dewasa dan pada telur intrauterin C. sinensis terdapat antigen yang dapat dikenal oleh antibodi melalui uji imunohistokimia. Keberadaan antigen pada suatu jaringan dilaporkan oleh Rostaing et al. (2004) bahwa antigen yang terdapat pada otot, epidermis, intestinal, dan sel-sel neuron cacing nematoda Caenorhabditis elegans dapat dikenal oleh antibodi monoklonal tikus dan poliklonal kelinci. Penelitian Yarim et al. (2004) membuktikan pula bahwa uji imunohistokimia dapat mendeteksi keberadaan enzim 3β-hydroxysteroiddehidrogenase (3β-HSD) pada bradyzoit yang menutupi sarcocysts di dalam otot skelet domba sebagai inang intermediet Sarcocystis spp. Penelitian terhadap kelangsungan hidup cacing A. galli membuktikan bahwa kelompok ayam percobaan yang diimunisasi aktif dan disertai imunisasi pasif dapat mengurangi kelangsungan hidup larva A. galli di dalam usus halus ayam petelur. Jumlah larva A. galli menurun signifikan (P < 0,05) pada kelompok ayam yang diberikan 260 μg ekskretori/sekretori, dan satu minggu setelah infeksi dosis 1000 L2 diberikan juga 10 kali 0,875 mg IgY selama 10 hari dibandingkan dengan kelompok ayam yang hanya diinfeksi dosis 1000 L2 tetapi tidak diimunisasi. Penurunan jumlah larva A. galli terjadi juga pada kelompok ayam yang diinfeksi dan hanya diimunisasi aktif atau imunisasi pasif, tetapi hasil uji
74 statistik menunjukkan penurunan jumlah larva tidak signifikan (P > 0,05) (Tabel 5). Hal ini berarti bahwa ayam yang telah diimunisasi dengan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan diinfeksi oleh larva infektif maka akan mengurangi jumlah larva di dalam usus halus. Ayam tersebut diimunisasi lagi secara pasif maka kelangsungan hidup A. galli di dalam usus halus semakin berkurang jumlahnya. Pada ayam yang diinfeksi oleh larva infektif dan hanya diimunisasi secara pasif, populasi larva dapat dikurangi meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Hasil penelitian ini mendukung penemuan Tizard (1996) bahwa antiserum spesifik memainkan peran netralisasi dan proteksi. Kombinasi antibodi spesifik dan ekskretori/sekretori membentuk kompleks imun (blocking) pada kutikula, oral, dan anal (excretory pores) larva cacing nematoda Toxocara canis. Todorova (2000) membuktikan bahwa IgG yang dihasilkan oleh tikus yang diinfeksi dengan Trichinella spiralis dapat menghambat aktivitas enzim proteolitik yang dilepaskan oleh stadium L1 T. spiralis.
Gambar 15. Ikatan antara epitop (antigenic determinant) pada antigen dan paratop (antigen binding site) pada F(ab) antibodi Penelitian kami terdahulu merefleksikan adanya keterlibatan sel-sel efektor secara bersama-sama bereaksi terhadap antigen A. galli (Athaillah 1999; dan Tiuria et al. 2000). Keterlibatan sel eosinofil, hiperplasia dan proliferasi sel mast mukosa dibuktikan oleh Darmawi (2003), dan sel goblet dibuktikan oleh Balqis (2004), bahwa sel-sel efektor tersebut berperan pada mekanisme tanggap kebal selaput lendir mukosa usus halus. Sudah diketahui bahwa aktifitas sel-sel tersebut hanya dapat tersensitisasi apabila
determinan antigen (epitop) telah
75 tersambung dengan bagian variabel antibodi (Else dan Finkelman 1998). Gambar 15 menunjukkan ikatan antigen-antibodi yang merupakan suatu ikatan antara epitop (active site) dan paratop (antigen binding site pada antibodi). Ikatan antigen-antibodi tersebut adalah ikatan yang kuat karena merupakan ikatan hidrogen multipel, ikatan ion, kekuatan vander Waals, dan interaksi hidrofobik (Perez 2000). Peningkatan titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi diperlukan untuk meningkatkan fungsi sel eosinofil dan makrofag yang berperan sebagai sel efektor untuk menghancurkan kutikula cacing. Gambar 16 menguraikan bahwa fungsi tersebut dimungkinkan karena sel efektor antara lain mempunyai sejumlah lisosom yang mengandung enzim litik seperti hidrolase dan peroksidase di dalam sitoplasma. Selain itu, sel eosinofil dan makrofag mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc antibodi. Adanya reseptor tersebut meningkatkan kemampuan sel efektor untuk menghancurkan kutikula cacing nematoda yang dilapisi oleh antibodi (Roitt dan Delves 2001).
Gambar 16. Mekanisme penghancuran kutikula cacing oleh sistem imunitas
76 Sebagai sel fagosit, makrofag mengekspresikan major histocompatibility complex (MHC) kelas II pada permukaannya. Ekspresi MHC II meningkat apabila makrofag diaktivasi. Hal ini penting karena selain sebagai sel efektor, makrofag juga berfungsi menyajikan antigen kepada sel T yang diperankan bersama ekspresi MHC kelas II. Makrofag mempunyai reseptor untuk berbagai jenis limfokin misalanya migration inhibitory factor dan γ-interferon. Untuk memacu proliferasi sel T dan B, makrofag memproduksi mediator seperti IL-1 (Kresno 2001). Untuk menyingkirkan cacing dari dalam lumen usus diperlukan proses yang lebih rumit dengan melibatkan respons humoral dan selular (Harnett et al. 1997). Interleukin juga diketahui merangsang proliferasi sel goblet untuk menutupi selaput lendir mukosa di sepanjang permukaan saluran pencernaan. Sel goblet penghasil material yang kental, tebal, lengket dan elastis yang disebut lendir (mukus) (Castagliuolo et al. 1998). Lendir ini merupakan campuran glikoprotein, glikolipid, bercampur dengan air, elektrolit-elektrolit, enzim, garam, dan sekresi kelenjar, bekerjasama dengan imunoglobulin yang disekresikan ke permukaan mukosa. Kesemuanya membentuk gel yang dapat melindungi permukaan mukosa dan epitel saluran pencernaan dari ancaman agen penyakit (Harnett et al. 1997). Timanova et al. (1999) membuktikan bahwa cacing A. galli menghasilkan poliprotein A. galli fatty acid binding protein (AgFABP) yang dapat berikatan dengan asam lemak dan bersifat sebagai alergen. Alergen ini merangsang reaksi hipersensitifitas tipe I akut lokal pada daerah intestinum terinfeksi. Kombinasi antigen cacing dengan sel mast-terikat antibodi disertai degranulasi sel mast melepaskan senyawa histamin vasoaktif. Senyawa ini menstimulir otot licin dan meningkatkan permiabilitas vaskular. Kontraksi membran muskular intestinum ini meniningkatkan permiabilitas kapiler intestinal, meningkatkan aliran cairan ke dalam lumen intestinum yang berimplikasi pada pengeluaran populasi cacing.
77 KESIMPULAN UMUM 1. Stadium L3 A. galli melepaskan ekskretori/sekretori dengan berat molekul 28 kDa. 2. Ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli berpotensi sebagai antigen pemicu pembentukan antibodi IgY di dalam kuning telur dan serum ayam petelur. 3. IgY kuning telur yang dipicu oleh antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli berpotensi sebagai penghambat kelangsungan hidup A. galli.
SARAN 1. IgY yang telah berhasil dipurifikasi pada penelitian ini perlu diteliti karakternya, terutama ketahanannya terhadap temperatur dan pH yang sesuai karena aplikasi IgY untuk imunisasi pasif diberikan secara oral yang akan melewati traktus digestivus bagian atas sebelum mencapai situs predeleksi A. galli pada usus halus ayam. 2. Pada penelitian ini masih ditemukan cacing A. galli yang establish di dalam usus halus ayam petelur, meskipun ayam tersebut sudah diimunisasi secara aktif dan pasif. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang menitik-beratkan pada peranan imunitas seluler ayam petelur terhadap cacing A. galli.
78 DAFTAR PUSTAKA Akita EM and Nakai S. 1992. Immunoglobulins from Egg Yolk: Isolation and Purification. J. of Food Sci. 57: 629 – 634. Amersham. 2003. Amersham Biosciences, BioDirectory. Amersham Biosciences Ltd. Anwar H and Zia-ur-Rahman. 2002. Effect of Ascaridia galli Infestation on Electrolytes and Vitamins in Chickens. J. of Biol. Sci., 2(10): 650 – 651. Athaillah F. 1999. Respon Pertahanan Selaput Lendir Usus Halus Terhadap Infeksi Cacing Ascaridia galli Pada Ayam Petelur. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Balqis U. 2004. Pengaruh Pemberian Ekskretori-Sekretori (ES) Cacing Ascaridia galli Dewasa, L2, dan Kombinasinya Terhadap Perubahan Struktur Morfologi Saluran Cerna Ayam Petelur. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bankov I and Barrett. 1993. Sphingomyelin Synthesis in Ascaridia galli. Int. J. for Parasitol. 23(8): 1083 – 1085. Calneck BW. 1997. Disease of Poultry. Tenth Edition. The Iowa State University Press. Ames, Iowa, USA. Camenisch et al.. 1999. General Applicability of Chicken Egg Yolk Antibodies: the Performance of IgY Immunoglobulins Raised Against the Hypoxiainducible Factor 1 . J. FASEB. 13: 81-88. Campos M et al.. 2004. Detection of Circulating Antigens in Experimental Anisakis by Two-site Enzyme-link Immunosorbent Assay. http://parasitology.informatik.uni-wuerburg.de/login/n/h/j_004-11380.html.html (04-10-2005) Carlander D. 2002. Avian IgY Antibody: in vitro and in vivo. Dissertation, Acta Universitatis Upsaliensis, Uppsala. Castagliuolo et al. 1998. Colonic Mucin Release in Response to Immobilization Stress is Mast Cell Dependent. Am. J. Physiol. 274: G1094 – G1100. Chadfield M, Permin A, Nansen P, and Bisgaard M. 2001. Investigation of the Parasitic Nematode Ascaridia galli (Shrank 1788) as a Potential Vector for Salmonella enterica Dissemination in Poultry. Parasitol. Res. 87:317 – 325. Chio V. 2002. Ducks Antibodies for IVD Applications. IVD Technology. http://www.decifelink.com/ivdt/archive/02/04/003.html. (20-02-2003). Chung YB, Yang HJ, Kang SY, Kong Y and Cho SY. 1997. Activities of Different Cysteine Proteases of Paragonimus westermani in Cleaving Human IgG. Korean J. of Parasitol. 35: 139 – 142. Cock HD, Knox DP, Claerebout E, and Graaf DCD. 1993. Partial Characterization of Proteolytic Enzymes in Different Developmental Stages of Ostertagia ostertagi. J. of Helminthol. 67: 271 – 278. Dahl C et al.. 2002. The Effect of Concurrent Infections With Pasteurella multocida and Ascaridia galli on Free Range Chickens. Vet. Microbiol. 86: 313 – 324. http://orgprints.org/00001857 (21-05-06). Darmawi. 2003. Pengaruh Pemberian Antigen Ekskretori-Sekretori (ES) Ascaridia galli Dewasa Terhadap Tanggap Kebal Sel Eosinofil dan Sel
79 Mast Mukosa Usus Halus Ayam Petelur. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Darmawi et al.. 2006a. Protease Activity of Excretory/Secretory Released by Invasive Stage of Ascaridia galli. Proceeding, Enzymes: Industrial and Medical Prospects, ASEAN Biochemistry Seminar, Surabaya, 6-7th February, 2006. Darmawi et al.. 2006b. Protein Concentration of Excretory/Secretory Released by Ascaridia galli Larvae. Proceeding, The Fifth Regional IMT-GT Uninet Conference & International Seminar, Medan, 22 – 23th June, 2006. Davalos-Patoja L, Ortego-Vinuesa JL, Bastos-Gonzales D, Hidalgo-Alvarez R. 2000. Colloidal Stability of IgG and IgY-coated Latex Microspheres, Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 20(2): 165-175. Davis C and Reeves R. 2002. High Value Opportunities From the Chicken Egg. A Report for the Rural Industries Research and Development Corporation. RIRDC Pup. Ding L and Candido EPM. 2000. Association of Several Small Heat-Shock Proteins with Reproductive Tissue in the Nematode Caenorhabditis elegan. Biochem. J. 341: 13 – 17). Douch PGC, Morum PE, and Rabel B. 1996. Secretion of Anti-parasite Substances and Leukotrines from Ovine Gastrointestinal Tissues and Isolated Mucosal Mast Cells. Int. J. for Parasitol, 26(2): 205 – 211. Else KJ and Finkelman FD. 1998. Intestinal Nematode Parasites, Cytokines and Effector Mechanisms. Int. J. for Parasitol. 28:1145 – 1158. Eshetu Y, Mulualem E, Ibrahim H, Berhanu A, and Aberra K. 2001. Study of Gastro-intestinal Helminths of Scavenging Chickens in Four Rural Districts of Amhara Region, Ethopia. Rev. Sci. tech. off. Int. Epiz. 20(3): 791 – 796. Fahrimal Y dan Raflesia R. 2002. Derajat Infestasi Nematoda Gastrointestinal pada Ayam Buras yang Dipelihara Secara Semi Intensif dan Tradisional. J. Med. Vet.. 2(2): 114 – 118. Gabrashanska M, Teodorova SE, Galvez-Morros MM, Tsocheva-Gaytandzhieva N, and Mitov M. 2004a. Administration of Zn-Co-Mn Basic Salt to Chickens With Ascaridioasis. I. A Mathematical Model for Ascaridia galli Populations and Host Growth With and Without Treatment. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/frame.php?link (1310-2005) Gabrashanska M et al.. 2004b. Administration of Zn-Co-Mn Basic Salt to Chickens with Ascaridioasis. II. Sex Ratio and Microelement Levels in Ascaridia galli and in Treated and Untreated Chickens. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/frame.php?link (1310-2005) Green RS et al.. 1996. Antibody Responses of Grazing Alpacas (Lama pacos) in New Zealand to Intestinal Nematodes. Int. J. for Parasitol. 26(4): 429 – 435. Haak-Frendscho M. 1994. Why IgY? Chicken Polyclonal Antibody, an Appealing Alternative. Promega Notes Magazine (46): 11.
80 Hadas E and Stankiewicz M. 1997. Proteolytic Enzymes of Infective Larvae and Adults of Trichostrongylus colubriformis and Haemonchus contortus. Parasitol. Res. 83: 47 – 51. Hanly WC, Artwohl JE, and Bennett BT. 1995. Review of Polyclonal Antibody Production Procedures in Mammals and Poultry. ILAR News 37:93. Harnett W, MacDonald M, Preece G, Patterson M and Parkhouse ME.1997. Production of Monoclonal Antibodies Against Excretory-Secretory Products of Adult Male Onchocerca gibsoni. J. of Parasitol. 83(2): 316 – 319. Hau J and Hendriksen CFM. 2005. Refinement of Polyclonal Antibody Production by Combining Oral Immunization of Chickens with Harvest of Antibodies from the Egg Yolk. J. ILAR. 46(3) (online issues). Hintz et al.. 1998. Juvenile Female Listomosoides sigmodontis Produce an Excretory-Secretory Antigen (Juv-p120) Highly Modified with Dimethylaminoethanol. J. of Parasitol. 171: 265-271. Hørning G, Rasmussen S, Permin A, and Bisgaard M. 2004. Investigations on the Influence of Helminth Parasites on Vaccination of Chickens Against Newcastle Disease Virus Under Village Conditions. Vet Parasitol. 7(121):115-124 Hoste H, Mallet S, and Fort G. 1993. Histopathology of Small Intestinal Mucosa in Nematodirus spathiger Infection in Rabbit. J. of Helminthol. 67: 139 – 144. Idi A, Permin A, and Murrell KD. 2004. Host Age Only Partially Affects Resistance to Primary and Secondary Infections with Ascaridia galli (Schrank, 1788) in Chickens. Vet Parasitol. 124:239-47 http://lib.bioinfo.pl/auth:Idi,A (09-08-2006) Inoue S et al.. 2003. Cross-Reactive Antigenicity on Nucleoproteins of Lyssaviruses Recognized by a Monospecific Antirabies Virus Nuleoprotein Anti-Serum on Paraffin Sections of Formalin-Fixed Tissues. Pathol. Int. 53: 525 – 533. Jimenez JC, Uzcanga G, Zambrano A, Prisco MCD, and Lynch NR. 2000. Identification and Partial Characterization of Excretory/Secretory Products with Proteolytic Activity in Giardia intestinalis. J. of Parasitol. 84(4): 859 –862. Jordanova R, et al.. 2005. Conformational and Functional Analysis of the Lipid Binding Protein Ag-NPA-1 from the Parasitic Nematode Ascaridia galli. J. FEBS. 272: 180 – 189. http://content.febsjournal.org/cgi/content/full/272/1/180 (22-02-2006) Kay AB. 2001a. Allergy and Allergic Diseases. First of Two Parts. Mackay IR & Rosen FS (ed.), Eng. J. of Med.. 344(1): 30 – 36. Kay AB. 2001b. Allergy and Allergic Diseases. Second of Two Parts. Mackay IR & Rosen FS (ed.), Eng. J. of Med. 344(2): 109 – 113. Khwaja N, Bhargava KP, and Kishor K. 1973. Neurotransmitter in Ascaridia galli. Ind. J. Pharmac. 5(2):346- 348.
81 Kilpinen O et al.. 2006. Influence of Dermanyssus gallinae and Ascaridia galli Infections on Behaviour and Health of Laying Hens (Gallus gallus domesticus). Avi. Pathol. ;35:165-72 http://lib.bioinfo.pl/auth:Permin,A (09-8-2006) Kim et al.. 2000. Cloning and Expression of a Cysteine Proteinase Gene from Paragonimus westermani Adult Worms. J. of Parasitol. 86(2): 333 339. Klei TR. 1997. Immunological Control of Gastrointestinal Nematode Infections. Vet. Parasitol. 72: 507 - 523. Knox DP and Jones DG. 1990. Studies on the Presence and the Release of Proteo-lytic Enzymes (Proteinases) in Gastrointestinal Nematodes of Ruminants. Int. J. for Parasitol. 20: 243 – 249. Kraneveld AD, Muis T, Koster AS and Nijkamp FP. 1998. Role of Mucosal Mast Cells in Early Vascular Permeability Changes of Intestinal DTH Reaction in the Rat. Am. J. Physiol. 274: G832 – G839. Kresno, S.B. 2001. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat, Pen. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Kulkarni D, Rao YVBG, Padmavathi P and Ramesh AJ. 1993. Controlled Laboratory Trials on the Efficacy of Morantel Citrate (Banminth II) Against Ascaridia galli in Experimentally Infected Chickens. Ind. Vet. J. 70: August, 705 – 707. Laemmli UK. 1970. Cleavage of Structural Proteins During the Assembly of the Head of Bacteriophage T4. The Nature. 227: 680 – 685. Lagapa JTG, Oku Y, Nonaka N and Kamiya M. 2002. Taenia taeniaeformis Larval Product Induces Gastric Mucosal Hyperplasia in SCID Mice. J. of Vet. Res. 49(4): 273 – 285. Lanyi B and Bergan T. 2003. Bacterial Aglutination. Method in Microbiology, 10: 93 – 168. Leenaars M and Hendriksen CFM. 2005. Critical Steps in the Production of Polyclonal and Monoclonal Antibodies: Evaluation and Recommendations, ILAR J. 46: 269 - 279. Lehr HA, Loos CMVD, Teeling P, and Gown AM. 1999. Complete Chromogen Separation and Analysis in Double Immunohistochemical Stains Using Photoshop-Based Image Analysis. J. Histochem. and Cytochem., 47: 119 – 125. Liddell E and Weeks I. 1995. Antibody Technology. BIOS Bioscience Publisher Limited. UK. Makoto SC, Robert F, and Shuryo N. 1998. Anti- E. coli Immunoglobulin Y Isolated from Yolk Egg of Immunized Chicken as a Potensial Food Ingredient. J. of Food Sci . 53: 1361 – 1365. McKeand JB, Knox DP, Duncan JL and Kennedy MW. 1995. Protective Immunisation of Guinea Pigs Against Dictyocaulus viviparus Using Excretory/Sexcretory Product of Adult Parasites. Int. J. for Parasitol. 25: 93 – 104. Mine Y and Kovacs-Nolan J. 2002. Chicken Egg Yolk Antibodies as Therapeutics in Enteric Infectious Disease: A Review. J. Med. Food 5: 159 – 169.
82 Motoi Y et al.. 2005. Detection of Rabies-Specific Antigens by Egg Yolk Antibody (IgY) to the Recombinant Rabies Virus Proteins Produced in Escherichia coli. Jpn. J. Infect. Dis., 58: 115 – 118. http://www.nih.go.jp/JJID/58/115.pdf (16-07-2007). Nagano et al.. 2004. Molecular Expression of a Cysteine Proteinase of Clonorchis sinensis and Its Application to an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Immunodiagnosis of Clonorchiasis. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology, Am. for Microbiol. 11(2): 411 - 416 http://cdli.asm.org/cgi/content/ full/11/2/411 (01-032005) Nambi PA, Yadav SC, Raina OK, Sriveny D and Saini M. 2005. Vaccination of Buffaloes with Fasciola gigantica Recombinant Fatty Acid Binding Protein. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/n/h/j_436_005-1397-4.html.html (21-02-2006) Paryati SPY. 2006. Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Kandidat Vaksin Rabies. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Paz-Silva A et al.. 2003. Prevalence of Natural Ovine Fasciolosis Shown by Demonstrating the Presence of Serum Circulating Antigens. Parasitol. Res. Founded as Zeitschrift für Parasitenkunde. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/n/h/j_436_0030961-z.html.html (21-02-2006) Paz-Silva A et al.. 2004. Isolation, Identification and Expression of a Fasciola hepatica cDNA Encoding a 2.9-kDa Recombinant Protein for the Diagnosis of Ovine Fasciolosis. Parasitol. Res. Founded as Zeitschrift für Parasitenkunde. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/n/h/j_436_0041202-9.html.html (21-02-2006) Perez JC. 2000. Introduction to Techniques in Immunology. Natural Toxin Research Center. Texas A&M University, Kingsville http://ntri.tamuk.edu/monoclonal/introduction.html. (20-02-2003). Permin A, and Hansen JW. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Permin A, and Ranvig H. 2001. Genetic Resistance to Ascaridia galli Infections in Chickens. Onderstepoort J Vet Res.;68:183-186 Permin A, Christensen JP, and Bisgaard M. 2002. Consequences of Concurrent Ascaridia galli and Escherichia coli Infection in Chickens. J. of Avi. Pathol. http://lib.bioinfo.pl/auth:Permin,A (09-08-2006) Permin A et al.. 1997. Asacaridia galli Population in Chickens Following Single Infection with Different Dose Levels. Vet. Microbiol. 55: 323 – 328. http://lip.bioinfo.pl/pmid.9211515 (09-8-2006) Permin A, Nansen P, Bisgaard M, Frandsen and Pearman M. 1998. Studies on Ascaridia galli in Chickens Kept at Different Stocking Rates. J. of Avi. Pathol. 27: 382-389. Poulsen J et al.. 2000. Prevalence and Distribution of Gastro-Intestinal Helminths and Haemoparasites in Young Scavenging Chickens in Upper Eastern Region of Ghana, West Africa. Int. J. Parasitol.;30:867-868
83 Priadi et al.. 2002. Prinsip Dasar Reaksi Imunologi Dalam Uji Serologi. Pelatihan Internal Teknisi Bakteriologi. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Rhoads ML, Fetterer RH, and Urban Jr. JF. 1997. Secretion an Aminopeptidase During Transition of Third–to Fourth–Stage Larvae of Ascaris suum. J. of Parasitol. 83(5): 780 – 784. Rhoads ML, Fetterer RH, and Urban Jr. JF. 2001. Release of Hyaluronidase During in vitro Development of Ascaris suum from the Third to Fourth Larval Stage. Parasitol. Res. 87(9): 693 - 697. Roitt IM and Delves PJ. 2001. Roitt’s Esential Immunology. Tenth Edition, Blackwell Science Ltd. Osney Mead Oxford OX2 OEL. Rollier C, Charollois C, Jamrd C, Trepo C, and Cova L. 2000. Maternally Transferred Antibodies from DNA-Immunized Avians Protect Offspring Against Hepadnavirus Infection. J. of Virol. 74(10): 4908 – 4911. Rostaing P, Weimer RM, Jorgensen EM, Triller A, and Bessereau JL. 2004. Preservation of Immunoreactivity and Fine Structure of Adult C. elegans Tissues Using High-Presure Freezing. J. of Histochem. and Cytochem. 52(1): 1 – 12. http://www.jhc.org/cgi/content/full/52/1/1 (11-07-2007). Ruiz A et al.. 2004. Immunoprotection in Goats Against Haemonchus contortus After Immunization With Cysteine Protease Enriched Protein Fractions. Vet. Res. 35: 565 – 572. http://www.edpsciences.org/articles/vetres/pdf/2004/05/v4019.pdf (12-082006). Sander JE and Schwartz RD. 1994. Evaluation of Three Water-Suspensible Formulations of Fenbendazole Against Ascaridia galli Infection in Broiler Chickens. Avi. Dis. 38: 350 –353. Satrija F, Murtini S, Retnani EB, dan Ridwan Y. 2004. Pengembangan Metode Diagnosa Dini Infeksi Cacing Pita Pada Ayam Melalui Deteksi Antigen Cacing di Dalam Tinja (Koproantigen). Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi XII/1. Schade et al. 1999. The Production of Avian (Egg Yolk) Antibodies: IgY. The Report And Recommendations of ECVAM Workshop 211,2. Reprinted with Minor Amendments from ATLA 24: 925 - 934. Schou T, Permin A, Roupstorff A, Sørensen P, and Kjǽr. 2003. Comparative Genetic Resistance to Ascaridia galli Infections of different Commercial Layer-lines. Brit. Poult. Sci. 44(2): 182 – 185. http://orgprints.org/00001858 (21-05-06) Schmidt P et al.. 1989. Production of Antibodies to Canine Distemper Virus in Chicken Eggs for Immunochemistry. J. of Vet. Med. B 36: 661 – 668. Siles-Lucas M and Cuesta-Bandera C. 1996. Echinococcus granulosus in Spain: Strain Differentiation by SDS-PAGE of Somatic and Excretory/Secretory Proteins. J. of Helminthol. 70: 253 – 257. Singh G, Pampori NA, and Srivastava VML. 1983. Metabolism on Amino Acids in Ascaridia galli: Decarboxtlation Reaction. Int. J. for Parasitol. 13(3): 305 –307. Soejoedono RD, Wibawan IWT, dan Hayati Z. 2005. Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis: Produksi ”Yolk Immunoglobulin” (IgY) Anti Plaque dan Diare dengan Titik Berat pada Anti Streptococcus mutans,
84 Escherichia coli dan Salmonella enterotidis. Laporan Riset Unggulan Terpadu, Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Soulsby EJL.1982. Helminth, Arthropods and Protozoa or Domesticated Animals. 7 rd Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Steel RGD and Torrie JH. 1999. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stuart M. 1999. Clinical Assays for Antigen-Antibody Interactions. Kirksville Collage of Osteopathic Medicine. http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/Website/MSTUART/lect4.htm. Szabo Cs, Bardos L, Losonczy, S and Kachesz K. 1998. Isolation of Antibodies from Chicken and Quail Eggs. Presented at INABIS ’98 – 5th Internet World Congress on Biomedical Sciences at McMaster University, Canada, December 7 – 16th. http://www.mcmaster.ca/inabis98/immunology/szabo0509/index.html (20-11-06) Taiwo VO, Alaka OO, Sadiq NA, Adejinmi JO. 2002. Ascaridosis in Captive Reticulated Python (Python reticulatus). Afr. J. Biomed. Res. 5: 93 – 95. Taylor MJ, Abdel-Wahab N, Wu Y, Jenkins RE, and Bianco AE. 1995. Onchocerca volvulus Larval Antigen, OvB20, Induces Partial Protection in a Rodent Model of Onchocerciasis. IAI, 63(11): 4417 – 4422. Timanova A, Müller S, Marti T, Bankov I, and Walter RD. 1999. Ascaridia galli Fatty Acid-Binding Protein, a Member of the Nematode Polyprotein Allergens Family. Eur. J. Biochem. 261: 569-576. Tiuria R. 1991. Hubungan Antara Dosis Infeksi, Biologi Ascaridia galli dan Produktivitas Ayam Petelur. Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Tiuria et al.. 2000. Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia galli Terhadap Respon Sel Goblet dan Sel Mast pada Usus Halus Ayam Petelur. Majalah Parasitologi Indonesia 13 (1– 2):40 – 48. Tiuria R, Retnani EB dan Wibawan IWT. 2002. Telaah Bahan Biologik Asal Cacing Yang Dapat Memicu Pertahanan Selaput Lendir Usus Sebagai Bahan Bioaktif Untuk Pengobatan Kecacingan Pada Ayam. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional – RI. Tiuria R, Ridwan Y and Murtini S. 2003. Study of Bioactive Substance from Ascaridia galli Adult Worm that Stimulate Intestinal Mucosal Defense Mechanism in Chicken for Medical Purpose. Proceeding of the Seminar on Science and Technology, Indonesia-Toray Science Foundation, Jakarta. Tizard IR. 1996. Veterinary Immunology an Introduction. Fifth Edition, WB Sounders Company, a Division of Harcourt Brace and Company. The Curtis Center Independence Square West, Philadelphia, Pennsylvania. Todorova VK. 2000. Proteolytic Enzymes Secreted by Larval Stage of the Parasitic Nematode Trichinella spiralis. Fol. Parasitol. 47: 141 - 145. Tsuji N. et al.. 2001. Intranasal Immunization with Recombinant Ascaris suum 14-Kilodalton Antigen Coupled with Cholera Toxin B Subunit Induces Protective Immunity to A. suum Infection in Mice. IAI. 69(12): 7285 – 7292.
85 Vervelde et al.. 2003. Vaccination-induced Protection of Lambs Against the Parasitic Nematode Haemonchus contortus Correlates With High IgG Antibody Responses to the LDNF Glycan Antigen. Glycobiol. 13(11): 795 – 804. Waller PJ. 1997. Anthelmintic Resintance. Veterinary Parasitology 72: 391 – 412. Yadav SC et al.. 2005. Fasciola gigantica Cathepsin-L Cysteine Proteinase in the Detection of Early Experimental Fasciolosis in Ruminants. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/n/h/j_436_0051466-8.html.html (21-02-2006) Yarim M, Yildiz K, Kabakci N, and Karahan S. 2004. Immunohistochemical Localisation of 3β-Hydroxysteroid Dehydrogenase in Sarcocystis spp. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/n/h/j_436-93-62004-07-09-1152.html.linked (17-07-2007) Yoshihara S, Oya T, Furuya T and Goto N. 1993. Use of Body Fluid of Adult Female Ascaris suum as an Antigen in the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for Diagnosis of Swine Ascariosis. J. of Helminthol. 67: 279 – 286. Zhang W, Moreau E, Peigné F, Huang W, and Chauvin A. 2005. Comparison of Modulation of Sheep, Mouse and Buffalo Lymphocyte Responses by Fasciola hepatica and Fasciola gigantica Excretory-Secretory Products. http://parasitology.informatik.uni-wuerzburg.de/login/n/h/j_436_0051306-x.html.html (21-02-2006)
86
Lampiran 1. Larutan yang digunakan pada medium RPMI 1640 RPMI 1640 medium
10,4 g
Penisilin G
100.000 IU
Streptomisin
100 mg
Gentamisin
5 mg
Kanamisin
250 μg
Semua bahan tersebut dilarutkan kedalam 1000 ml akuades steril, pH 6,8. Larutan disaring dengan membran filter ukuran 0,45 μl. Lampiran 2. Larutan yang digunakan pada uji Bradford Coomassie brilliant blue G-250
100 mg
Ethanol 95%
50 ml
Asam fosfat 85%
100 ml
Bahan-bahan tersebut diencerkan dengan akuades sampai 1000 ml dan disaring dengan kertas saring.
87
Lampiran 3. Reagen SDS PAGE
Phosphate buffered saline NaCl
8,0 g
KCl
0,2 g
Na2HPO4
1,15 g
KH2PO4
0,2 g
Dilarutkan dalam 1000 ml akuadest. Autoclave pada tekanan 15 lbs selama 15 menit, pH akhir pada kisaran 7,2 – 7,4.
Buffer reservoir Glisin 0,192 M
28,8 g
Tris buffer 0,025 M
6g
0,1% w/v sos Semua bahan dicampur, diukur sampai pH 8,3 dan ditambahkan 2 g SDS, volume akhir 2 liter, dan disaring.
Buffer gel pemisah SDS
1g
Tris buffer 1,4 M
45,5 g
HCl samapai pH 8,8 Akuades sampai volumenya menjadi 250 ml.
Buffer gel pengumpul Tris buffer 1,4 M
15,1 g
SDS
1g
Akuades sampai volumenya menjadi 250 ml, pH 6,8 dan disaring.
88
Buffer sampel Mercaptoethanol
2 ml
Glycerol
4 ml
Tris buffer
0,3 g
Bromfenol blue
2 ml
Semua bahan dicampur, dilarutkan ke dalam akuades kurang dari 20 ml, pH 6,8 dan ditambahkan dengan 0,92 g SDS mencapai volume 20 ml, disaring.
Larutan pewarna Coomassie brilliant blue R 250
0,32 g
Methanol
125 ml
Asam asetat glasial
25 ml
Akuades
100 ml
Coomassie blue dilarutkan dengan methanol, dan ditambahkan asam asetat glasial dalam akuades.
Larutan pencuci Methanol
100 ml
Asam asetat
100 ml
Akuades
800 ml
Semua bahan dicampur.
89
Lampiran 4. Larutan yang digunakan untuk FPLC 1. Elution buffer 20mM NaH2PO4
2,75 g
Dilarutkan dalam satu liter H2O pada pH 7,5 2. Binding buffer, K2SO4 (potasium sulfat) 0,5 M dalam 20 mM elution buffer K2SO4
43,67 g
Dilarutkan dalam 500 ml elution buffer pada pH 7,5 3. Clearing buffer (dipropanol 30%) Sebanyak 30 ml dipropanol dilarutkan dalam 70 ml elution buffer pH 7,5 4. Pelarut sampel Dilarutkan dalam 100 ml elution buffer pada pH 7,5. Untuk melarutkan sampel, satu bagian pelarut sample dicampurkan dengan satu bagian sampel.
90
Lampiran 5. Larutan yang digunakan untuk Uji ELISA 1. Carbonate-bicarbonate buffer pH 9,6 (coating buffer) Sodium carbonate
1,59 g
Sodium bicarbonate
2,93 g
H2O
1 liter
Larutan dibuat pada pH 9,6 dengan penambahan NaCl atau NAOH 2. PBS-Tween 0,05% Sodium chloride
8,0 g
Potasium cgloride
0,2 g
Potasium phosphate (KH2PO4)
0,2 g
Sodium phosphate (Na2HPO4)
1,15 g
Tween 20
0,5 ml
H2O
1 liter
3. Larutan substrat ABTS Stock ABTS 52 mM ABTS (Sigma)
0,286 g
H2O
10 ml
Larutan disimpan di tempat gelap pada temperatur 4oC Citrate buffer pH 4,2 (10 mM Na citrate pH 4,2) Larutan A Larutan B
Sodium phosphate (Na2HPO4) 14,2 g H2O
500 ml
Citric acid
10,5 g
H2O
500 ml
Larutan A (50 ml) dicampurkan dengan 55 ml larutan B
91
Substrat siap pakai Stock ABTS
200 μl
Citrate buffer
10 ml
H2O2 130 mM (33%)
3 μl
Larutan tersebut dapat disimpan pada 4oC untuk waktu lebih dari 12 bulan atau pada temperatur kamar untuk waktu satu bilan. Penambahan zinc metal pada 10 ml ABTS stock perlahan-lahan akan menghilangkan latar belakang warna hijau dari substrat tanpa mempengaruhi aktivitas substrat. 4. TBS-Tween casein 0,2% Tris-HCl
1,58 g
NaCl
8,18 g
Casein
2 g
Tween 20
0,5 ml
H2O
1 liter
92
Lampiran 6. Pewarnaan Imunohistokimia Sampel yang terlebih dahulu telah diproses mulai dari sampling sampai dengan penyayatan dengan ketebalan 3 - 5 μm diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia. Tahapan pewarnaannya adalah sebagai berikut: Xylol III (3 menit) Xylol II (3 menit) Xylol I (5 menit) Alkohol absolut III (3 menit) Alkohol absolut II (3 menit) Alkohol absolut I (3 menit) Alkohol 95% (3 menit) Alkohol 90% (3 menit) Alkohol 80% (3 menit) Alkohol 70% (5 menit) Aquadest 5 menit Hangatkan dalam sitrat buffer (90-95oC, 45 menit) Biarkan dalam sitrat buffer hangat (20 menit) Perendaman dalam 3% H2O2 (20 menit) Perendaman dalam 0,1% skim milk (30 menit) Aquadest 3x @5 menit Inkubasi dengan antibodi primer (50-60 μl ) refrigerator 4 oC overnight, pengenceran (dengan PBS 1000x). Pencucian dengan PBS 3x @5 menit Inkubasi dengan antibodi sekunder (rabbit anti-chicken IgY HRP conjugate), 60 menit, cuci dengan PBS 3x @5 menit Tambahkan 50 μl H2O2 Tetesi dengan AEC yang telah dibuat diatas, 1-2 menit Cek hasilnya, cuci dengan PBS 3x @5 menit, kemudian dengan aquadest 10 menit Counterstain, untuk pembedaan pewarnaan (Lillie Meyer Hematoksilin), Genangi dengan gliserin dan tutup dengan cover glass, cek di bawah mikroskop