K
:
72764/PP/M.XVA/16/2016
Jenis Pajak
:
PPN
Tahun Pajak
:
2011
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Koreksi Pajak yang dapat diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2010 sebesar Rp.431.828.961,00;
Menurut Terbanding
:
bahwa dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN tidak pernah disyaratkan bahwa harus terjadi penyerahan BKP terlebih dahulu agar Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Anak kalimat yang berbunyi "yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai" adalah semata berfungsi sebagai keterangan atas Barang Kena Pajak dimana Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Hal yang sama juga berlaku untuk pengkreditan Pajak Masukan, yaitu tidak perlu menunggu terjadi penyerahan BKP agar Pajak Masukan-nya bisa dikreditkan. Pengusaha Kena Pajak yang memiliki kegiatan usaha terpadu (integrated) sama-sama tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang terkait untuk memperoleh Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan Pengusaha Kena Pajak ataupun petani yang hanya memiliki satu kegiatan usaha untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN;
Menurut Pemohon Banding
:
bahwa mengingat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Pemohon Banding sebagai hasil pemeriksaan pajak Tahun 2010 diterbitkan untuk masa pajak Januari s/d Desember (12 buah SKPKB), menurut kami koreksi perhitungan kembali PPN Masukan Pemohon Banding Tahun 2010 sebesar Rp.5.964.228,00 (sesuai ketentuan PMK-78/PMK.03/2010 atas koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Terbanding (Pemeriksa) berupa koreksi PPN Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyatanyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS) yaitu Pupuk dan Bahan Kimia sebesar Rp.2.982.113.834,00) diperhitungkan pada SKPKB Masa Desember 2010 dan koreksi Rp.5.964.228,00 yang diperhitungkan dalam Masa Pajak Desember 2010 sebagaimana kami uraikan diatas, tersebut diatas secara implisit telah disetujui oleh Terbanding. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan diperhitungkannya nilai koreksi sebesar Rp.5.964.228,00 (sebagaimana perhitungan pada butir 8 diatas) dalam SKPKB Masa Desember 2010;
Menurut Majelis
:
bahwa sengketa yang terjadi adalah sengketa Kredit Pajak berupa Pajak Masukan sebesar Rp.431.828.961,00 yang menurut Terbanding tidak dapat dikreditkan sedangkan menurut Pemohon Banding dapat dikreditkan;
SE KR ET
AR IA
TP EN
GA
DI
LA N
PA
JA
Putusan Nomor
bahwa terhadap sengketa banding atas koreksi Pajak Rp.431.828.961,00 Majelis berpendapat sebagai berikut :
Masukan
ini
sebesar
bahwa Pemohon Banding memiliki dua unit kegiatan (terpadu/integrated) yang
menghasilkan dua macam produk yang berbeda dimana produk yang satu menjadi bahan baku produk yang lain, yaitu: a) Unit kebun yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit (BKP yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN), dan b) Unit pabrik yang memproduksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) (BKP yang terutang PPN);
bahwa Pemohon Banding menjual hasil olahannya yaitu Crude Palm Oil (CPO), PKO, dan hasil olahan lainnya yang merupakan BKP (Barang Kena Pajak), sehingga penyerahannya terutang PPN; bahwa atas penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perkebunan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit, dibebaskan dari pengenaan
K
JA
PPN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16B ayat (1) huruf b UU PPN jo. Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2 huruf a PP-31 dan Pajak Masukan terkait dengan kebun tersebut
PA
dikoreksi Terbanding dengan pertimbangan bahwa perkebunan tersebut menghasilkan barang strategis (berupa Tandan Buah Segar) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2001 jo. PP Nomor 31 Tahun 2007; bahwa berdasarkan keterangan Para Pihak (Terbanding dan Pemohon Banding), dapat diketahui bahwa Pemohon Banding merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga memiliki pabrik Kelapa Sawit;
LA N
bahwa Terbanding melakukan koreksi PPN Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang menghasilkan barang kena pajak berupa hasil perkebunan yang merupakan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;
GA
DI
bahwa Terbanding berpendapat unit/kegiatan kebun Pemohon Banding yang menghasilkan kelapa sawit (tandan buah segar), yang mana pada kelapa sawit tersebut melekat fasilitas/perlakuan khusus yaitu Kelapa Sawit merupakan Barang Kena Pajak strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Dengan demikian seluruh pajak masukan atas perolehan BKP yang semata-mata diperuntukkan untuk kebun yang menghasilan Kelapa Sawit tersebut, seluruh pajak masukan kebun tersebut tidak dapat dikreditkan;
TP EN
bahwa sesuai Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Terbanding berpendapat bahwa seluruh Pajak Masukan atas jasa land clearing, bibit, pupuk, dan jasa-jasa lain serta bahan-bahan yang berkaitan dengan unit/divisi yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit (BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN), tidak dapat dikreditkan tanpa memperhatikan adanya penyerahan BKP tersebut kepada pihak ketiga; bahwa Pemohon banding tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Terbanding dengan alasan perpindahan bahan baku (Tandan Buah Segar) dari kebun
Pemohon Banding kepada pabrik Crude Palm Oil (CPO) Pemohon Banding belum/bukan merupakan penyerahan. Penyerahan terjadi pada saat Pemohon Banding menjual Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya kepada pihak lain. Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya merupakan Barang Kena Pajak yang penyerahannya terutang PPN, sehingga Pajak Masukan untuk perolehan BKP/JKP kebun dapat dikreditkan seluruhnya;
SE KR ET
AR IA
bahwa atas penyerahan TBS yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit, dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16B ayat (1) huruf b UU PPN jo. Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
bahwa Pajak Masukan atas jasa land clearing, bibit, pupuk, dan jasa-jasa lain serta bahan-bahan yang dibayar untuk perolehan TBS, tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN; bahwa dalam proses pemeriksaan dan keberatan, antara lain diketahui bahwa Terbanding dapat memisahkan atau mengetahui dengan pasti Pajak Masukan yang digunakan untuk: · Unit/divisi perkebunan (kelapa sawit); · Unit/divisi pengolahan (kelapa sawit) bahwa dalam hal bagian penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Wajib Pajak, maka jumlah Pajak Masukan yang
K
JA
tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (5) UU PPN;
LA N
PA
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 9 ayat (6) UU PPN, namun demikian ketentuan dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan tersebut terutama pada bagian angka romawi I (Pengertian Umum) huruf a merupakan pengaturan yang sejalan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) UU PPN; bahwa berdasarkan ketentuan lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tersebut, diketahui bahwa Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor, dan sebagainya yang nyata-nyata digunakan untuk unit/divisi perkebunan kelapa sawit yang atas penyerahan unit/divisi tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan;
TP EN
GA
DI
bahwa Terbanding berpendapat maksud frase ’’yang atas penyerahannya” pada angka romawi I huruf a lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tersebut adalah ”yang apabila diserahkan”. Oleh karena itu, dalam konteks Pasal ini tidak diartikan Wajib Pajak harus melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (kepada pihak lain). Sesuai dengan ketentuan pada lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 dinyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) misalnya adalah Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan jagung, jagung adalah bukan BKP), dan juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah BKP). Dalam ketentuan tersebut tidak disyaratkan adanya penyerahan jagung kepada pihak lain; bahwa berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok sengketa a quo adalah sengketa yuridis yaitu: Apakah pengkreditan pajak masukan sengketa a quo harus memperhatikan adanya penyerahan BKP? Pembahasan
A. Latar Belakang Kebijakan Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Kelapa Sawit Terpadu,
SE KR ET
AR IA
bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, maka hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan terutang pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia menganut negative list, yaitu dimana hanya mengatur apa saja yang tidak dikenakan pajak dan selebihnya berarti dikenakan pajak;
bahwa berdasarkan Pasal 4A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 4A ayat (2) poin (a), jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 yang mengatur tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pada Pasal 2 ayat (2) huruf (c) menyebutkan bahwa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah penyerahan di dalam daerah pabean barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani;
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 kemudian mengalami perubahan pada tahun 2003 dan kemudian diubah terakhir pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang pada Pasal 1 ayat (2) huruf (a) menyebutkan bahwa barang hasil
K
PA
JA
pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintahan;
LA N
bahwa kegiatan produksi Tandan Buah Segar (TBS) Sawit dapat dilakukan baik oleh petani maupun oleh pengusaha kelapa sawit, dimana petani tidak termasuk dalam sistem PPN (Bukan PKP) di Indonesia, karena dengan tujuan untuk penyederhanaan administrasi, petani dianggap mempunyai penghasilan yang berada di bawah batas untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, dan produksi Tandan Buah Segar (TBS) kemudian dapat dilakukan juga oleh pengusaha kelapa sawit yang termasuk ke dalam kategori Pengusaha Kena Pajak;
GA
DI
bahwa petani dan pengusaha kelapa sawit menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) walaupun petani adalah non-Pengusaha Kena Pajak dan pengusaha adalah Pengusaha Kena Pajak, sehingga kemudian terdapat perbedaan perlakuan PPN antara petani dan pengusaha kelapa sawit, dimana Petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk mendapatkan Nomor Pengusaha Kena Pajak (NPKP) dan tidak perlu melaksanakan kewajiban perpajakan tetapi pengusaha kelapa sawit harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku;
TP EN
bahwa perusahan kelapa sawit terbagi menjadi beberapa jenis yaitu perusahaan kelapa sawit tidak terpadu (non-integrated) dan perusahaan kelapa sawit terpadu (integrated). Perusahaan kelapa sawit tidak terpadu hanya melakukan kegiatan penyerahan baik itu hanya Tandan Buah Segar (TBS) atau Crude Palm Oil (CPO) saja, sedangkan perusahaan kelapa sawit terpadu sendiri terbagi menjadi dua jenisnya, yaitu perusahaan yang melakukan kegiatan penyerahan berupa Tandan Buah Segar (TBS) dan Crude Palm Oil (CPO) kemudian ada juga jenis yang hanya melakukan penyerahan Crude Palm Oil (CPO);
SE KR ET
AR IA
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Fasilitas yang diberikan berupa pembebasan TBS dari pungutan pajak mengakibatkan pajak masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat dikreditkan. Hal ini tidak mempunyai pengaruh apapun bagi petani karena bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak yang harus melakukan kewajiban perpajakan sehingga tidak memerlukan pajak masukan untuk dikreditkan dengan Pajak Keluarannya; bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Pasal (2) ayat (2) huruf (c) yang berisikan “atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) angka (1) huruf c oleh petani dan kelompok petani”, penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang dilakukan oleh petani kelapa sawit termasuk ke dalam penyerahan barang yang bersifat strategis dan dibebaskan dari pengenaan pajak. Karena di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan kata petani membuat perusahaan kelapa sawit yang melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) terhitung tidak mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak dan atas pajak masukan yang telah dibayar sebelumnya dalam rangka pembelian input untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dapat dikreditkan; bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007, dimana perubahan peraturan ini mempunyai dampak yang besar bagi pengusaha kelapa sawit, khususnya pengusaha kelapa sawit terpadu. Pada Pasal 2 ayat (2) huruf c hanya menyebutkan bahwa “atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) huruf (c) dibebaskan dari pengenaan Pajak
K
PA
JA
Pertambahan Nilai) yang berarti baik petani maupun pengusaha yang melakukan penyerahan barang strategis yang dalam hal ini adalah TBS akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Permasalahan timbul ketika Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007: “... frase petani hilang sehingga secara tidak langsung berefek ke pengusaha”.
bahwa kata petani yang kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tidak digunakan lagi menimbulkan arti yang berbeda dari peraturan sebelumnya, dan mempunyai arti bahwa siapa saja yang melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) maka pajak masukannya tidak dapat dikreditkan;
LA N
bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang kemudian langsung digunakan sebagai bahan baku pembuatan Crude Palm Oil (CPO). Terdapat pemisahan pajak masukan yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dan pajak masukan yang digunakan untuk menghasilkan Crude Palm Oil (CPO);
Pertimbangan Bersangkutan
Dibuatnya
Peraturan
Yang
GA
Peraturan Mengenai Barang Strategis Dan Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
DI
B. Historis Peraturan Perlakuan PPN Pengusaha Kelapa Sawit Terpadu
Bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16B Undangundang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No.18 Tahun 2000, dan dalam rangka mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang-barang yang bersifat strategis, serta setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 Tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Bahwa dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, khususnya di bidang pertanian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
a. bahwa dalam rangka mewujudkan tersedianya kebutuhan dasar masyarakat berupa rumah layak huni dengan harga yang terjangkau, Pemerintah telah mencanangkan program penyediaan/ pembangunan rumah susun sederhana milik; b. bahwa untuk mendukung penyediaan/ pembangunan rumah susun sederhana milik sebagaimana dimaksud pada huruf a di kawasan perkotaan, untuk mendorong pembangunan nasional, perlu diberikan perlakuan perpajakan yang bersifat khusus di
SE KR ET
AR IA
TP EN
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
K
GA
DI
LA N
PA
JA
bidang Pajak Pertambahan Nilai; c. bahwa untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua pengusaha, maka ketentuan mengenai kemudahan dalam kewajiban perpajakan bagi pengusaha yang menyerahkan barang kena pajak tertentu yang berupa listrik, air dan barang hasil pertanian tidak diperlukan lagi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
TP EN
bahwa berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pengusaha kelapa sawit terpadu juga mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak atas penyerahan Tandan Buah Segar (TBS). Walaupun UU PPN telah menjelaskan barang apa saja yang tidak terutang pajak, tetapi kemudian diperjelas kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 yang kemudian diubah terakhir menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 bahwa barang yang diambil langsung dari alam dan belum diolah lebih lanjut dikategorikan sebagai barang yang bersifat strategis dan penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak. Sehingga perusahaan kelapa sawit baik yang tidak terpadu maupun terpadu akan ikut mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak dan tidak bisa mengkreditkan pajak masukan atas barang yang bersifat strategis;
SE KR ET
AR IA
bahwa dilihat dari historis kebijakan mengenai barang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha yang melakukan penyerahan barang yang terutang pajak dan yang tidak terutang pajak, kaitkan dengan konsep PPN seperti exemption goods. Terlihat bahwa kebijakan-kebijakan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha kelapa sawit terpadu dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) kepada petani yang melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang berada di luar sistem PPN. Pemerintah berharap perlakuan yang sama ini akan menambah daya saing petani dalam dunia usaha;
bahwa penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang bersifat strategis dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak dapat dilakukan oleh petani maupun perusahaan kelapa sawit. Dari konsep exempt goods yang dikemukakan oleh Tait, semua Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak bisa saja dikenakan pajak bisa dibebaskan dari pengenaan pajak. Pengusaha yang hanya melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (Tait, 1988:50);
bahwa petani kelapa sawit yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak tidak perlu melakukan kewajiban perpajakan sehingga tidak diperlukan adanya penyediaan pelayanan perpajakan untuk petani. Dapat terlihat secara jelas bahwa pembebasan pajak membantu menyederhanakan administrasi pajak (Tait, 1988:50). Jika
K
JA
penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut dilakukan oleh petani kelapa sawit, maka fasilitas tersebut memang membantu menyederhanakan administrasi pajak karena mereka bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak;
LA N
PA
bahwa Tandan Buah Segar merupakan produk akhir sektor pertanian kelapa sawit. Tandan Buah Segar dihasilkan dari kegiatan pertanian tanpa melalui proses lebih lanjut oleh petani kelapa sawit. Barang hasil dari kegiatan pertanian tersebut yang langsung dijual oleh petani kelapa sawit tidak dikenakan PPN sehingga petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dan administrasi pajak menjadi sederhana;
bahwa bilamana pengusaha kelapa sawit boleh mengkreditkan pajak masukannya yang telah dibayar untuk menghasilkan TBS maka pengusaha tidak menanggung pajak masukan di dalam perhitungan biaya. Di sisi lain, petani yang tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya menanggung pajak masukan yang terdapat di biaya;
GA
DI
bahwa Crude Palm Oil (CPO) merupakan barang kena pajak yang atas penyerahannya dikenakan PPN. Penghitungan besarnya PPN yang terutang dapat dilakukan dengan metode PK-PM. Bagi perusahaan kelapa sawit terpadu yang menghasilkan inputnya sendiri berupa Tandan Buah Segar (TBS) sebelumnya harus menghitung besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan;
TP EN
bahwa besarnya jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu, jika seluruhnya dapat dikreditkan maka mengakibatkan muculnya disparitas dengan petani kelapa sawit. Melihat adanya disparitas yang timbul akibat pengusaha yang dapat mengkreditkan seluruh pajak masukannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menghilangkan disparitas tersebut perusahaan kelapa sawit terpadu hanya boleh mengkreditkan pajak masukannya sebagian, yaitu pajak masukan yang telah dibayar untuk proses menghasilkan Crude Palm Oil (CPO), sedangkan pajak masukan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat dikreditkan; C. Kebijakan Pengkreditan Pajak Masukan Pada Pengusaha Kelapa Sawit Terpadu Ditinjau Dari Konsepsi Exemption Goods
SE KR ET
AR IA
bahwa kebijakan pengkreditan pajak masukan pada perusahaan kelapa sawit terpadu jika ditinjau dari konsep exemption akan menimbulkan isu yang tidak senada dengan prinsip pengkreditan pajak masukan pada sistem PPN. Pajak masukan yang telah dibayar untuk hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha seharusnya dapat dikreditkan, tetapi karena terdapat penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang dibebaskan dari pengenaan kena pajak pada proses menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) yang merupakan barang kena pajak maka terdapat sejumlah Pajak Masukan yang tidak bisa dikreditkan oleh pengusaha kelapa sawit terpadu. Dampak yang muncul dari penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas yaitu dibebaskan dari PPN adalah sebagai berikut: 1) Tidak bisa mengenakan Pajak keluaran pada penyerahan yang dibebaskan; 2) Pengusaha yang hanya melakukan penyerahan yang dibebaskan PPN tidak bisa mendaftarkan diri untuk PPN, tidak bisa memungut pajak keluaran, bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, dan yang paling penting adalah tidak dapat mengklaim pajak masukannya; 3) Pengusaha Kena Pajak yang hanya melakukan penyerahan yang dibebaskan dari PPN berada dalam posisi yang sama dengan konsumen akhir pada ujung mata rantai distribusi; bahwa berdasarkan dampak tersebut di atas, menunjukkan bahwa jika petani yang hanya melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak maka petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan
K
JA
demikian petani tidak perlu memungut Pajak Keluaran atas penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) . Sehingga petani tidak dapat mengklaim pajak masukan untuk mengkreditkannya;
LA N
PA
bahwa Crude Palm Oil (CPO) merupakan final product dari perusahaan kelapa sawit terpadu, dimana proses penghasilan Crude Palm Oil (CPO) pada perusahaan kelapa sawit terpadu dimulai dari pembudidayaan TBS dan mengeluarkan biaya-biaya seperti biaya pembukaan lahan, pemupukan dan biaya lainnya. Tandan Buah Segar yang telah dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu tersebut digunakan sebagai input untuk menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) yang merupakan Barang Kena pajak;
DI
bahwa pelimpahan Tandan Buah Segar (TBS) dari kebun ke pabrik kelapa sawit tersebut yang dianggap sebagai penyerahan oleh pemerintah dan mempunyai dampak tidak bisa dikreditkan pajak masukan atas perolehan TBS. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu masuk ke dalam komponen biaya-biaya yang digunakan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu untuk memproses Tandan Buah Segar (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO). Pada akhirnya ketika Crude Palm Oil (CPO) telah menjadi barang akhir perusahaan kelapa sawit terpadu dan kemudian dijual ke konsumen, atas penyerahan Barang Kena Pajak (CPO) tersebut dikenakan Pajak Keluaran;
TP EN
GA
bahwa berdasarkan proses yang telah dijelaskan di atas, maka jika pedagang barang yang dibebaskan dari PPN menjual barang yang bukan produk akhir, tetapi digunakan sebagai input di produksi selanjutnya maka pajak masukannya terbentuk di dalam harga dan bagian dari biaya yang dilakukan dalam hal pembelian barang-barang untuk produksi selanjutnya. Jika ada barang yang termasuk dalam sistem PPN dan diproduksi dengan menggunakan barang yang bersifat dibebaskan dari PPN sebagai input, pengusaha tidak bisa mengklaim pajak masukan atas perolehan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut untuk dikreditkan; bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu yang melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN berupa Tandan Buah Segar (TBS) telah membayar PPN pada beberapa tahap dari pembuatan barang tersebut. Pajak Pertambahan Nilai tersebut bisa dikreditkan jika penyerahan barang tersebut merupakan objek yang dapat dikenakan pajak tetapi karena penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan pajak maka tidak dapat dikreditkan;
SE KR ET
AR IA
bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu tidak dapat mengklaim pajak masukan unuk dikreditkan karena Tandan Buah Segar (TBS) termasuk ke dalam kategori barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut kemudian terbentuk pada biaya yang digunakan untuk proses pabrikasi;
D. Legal Character Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri bahwa Legal character PPN sebagai Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri mengandung makna bahwa PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia; bahwa konsumsi adalah setiap kegiatan memakai, menggunakan, atau menikmati barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Pengertian konsumsi dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu konsumsi langsung dan konsumsi tak langsung. Konsumsi langsung merupakan pengkonsumsian barang yang langsung dilakukan oleh penggguna barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya, makanan, minuman, dan pakaian yang langsung dipakai oleh pengguna sementara itu, konsumsi tak langsung merupakan pemakaian benda konsumsi berupa barang dan jasa yang
K
JA
tidak secara langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna barang contohnya, pembelian bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan penciptaan barang. Pembelian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;
PA
bahwa TBS yang dikonsumsi oleh Pemohon Banding merupakan bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan menghasilkan Crude Palm Oil (CPO), maka pemakaian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;
Landasan Filosofis Ketentuan Khusus UU PPN
DI
E.
LA N
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka konsumsi Tandan Buah Segar (TBS) oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PPN sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat dikreditkan (Lihat Pertimbangan PPN sebagai pajak objektif);
bahwa secara umum, filosofi PPN sebagaimana tersirat dalam penjelasan umum UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah antara lain menyatakan bahwa:
GA
1) PPN merupakan pajak tidak langsung, 2) PPN dikenakan atas penyerahan dalam lingkungan kegiatan usaha, 3) Jika atas suatu BKP yang atas penyerahannya terutang PPN, maka seluruh Pajak
TP EN
Masukan atas faktor-faktor produksi untuk menghasilkan BKP tersebut dapat dikreditkan. bahwa dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dimunculkan BAB VA Ketentuan Khusus yang memuat Pasal 16A, 16B, 16C, dan 16D. Sebagai ketentuan khusus, Pasal-Pasal tentunya memiliki landasan filosofis yang berbeda dengan ketentuan umum. Secara sederhana landasan filosofis masing-masing Pasal dapat dijelaskan sebagai berikut:
SE KR ET
AR IA
Pasal 16A dilandasi oleh tujuan mengamankan penerimaan negara untuk PPN yang dibiayai dari negara. Ketentuan khusus ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN sebagai pajak tidak langsung.
Pasal 16C dilandasi oleh filosofi untuk memberikan perlakuan yang sama/keadilan antara Pengusaha real estate/pemborong dengan pihak yang membangun sendiri. Ketentuan khusus ini bertentangandengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum,
yaitu PPN sebagai pajak tidak langsung dan PPN dikenakan atas kegiatan dalam lingkungan usaha. Pasal 16D dilandasi oleh filosofi untuk memberi perlakuan yang sama dalam penjualan aktiva oleh produsen aktiva dimaksud dan oleh konsumen aktiva. Ketentuan khusus ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN dikenakan atas kegiatan dalam lingkungan usaha.
bahwa sesuai dengan Penjelasan Umum UU Nomor 11 Tahun 1994 dan penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, Majelis sependapat dengan argumentasi Terbanding yang menyatakan bahwa Pasal 16B UU PPN dilandasi oleh filosofi yang menyatakan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
K
JA
penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
PA
bahwa antara penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) kepada pihak ketiga dengan penyerahan TBS untuk diolah pada unit pengolahan merupakan suatu kasus perpajakan yang hakikatnya sama yaitu untuk diproses lebih lanjut salah satunya untuk menghasilkan CPO, sehingga harus diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama pula;
LA N
bahwa ruang lingkup kasus perpajakan yang akan diatur di dalam Pasal 16B UU PPN (sebagai bagian dari ketentuan khusus) pada dasarnya memang ditujukan untuk kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama. Hal ini dapat diterima karena jika perlakuan yang sama diterapkan hanya untuk kasus yang sama, maka hal tersebut tidak perlu diatur dalam ketentuan khusus; F. Penafsiran Gramatikal Pasal 16B ayat (3) UU PPN
DI
bahwa gramatikal (tata bahasa) yang digunakan dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat diuraikan sebagai berikut: bahwa Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya, sebagai berikut:
GA
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan tidak dapat dikreditkan. bahwa dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut:
TP EN
"Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai."
bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN mengandung makna yang apabila diserahkan. ltulah sebabnya, pilihan kata pada bagian penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN adalah "memproduksi" bukan "melakukan Penyerahan BKP”
SE KR ET
AR IA
bahwa ketika PKP memproduksi BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berlaku tanpa menunggu kepastian adanya penyerahan BKP tersebut. Itulah sebabnya frase yang digunakan dalam Pasal 16B adalah "yang atas penyerahannya", bukan "Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan BKP".
bahwa berkaitan dengan sengketa a quo, Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP tersebut tidak dapat dikreditkan;
G. Penafsiran Teleologis Pasal 16B UU PPN: Penafsiran dengan memperhatikan maksud dan tujuan kemasyarakatan (sosiologis)
bahwa maksud dan tujuan pengaturan dalam Pasal 16B ayat (1) UU PPN adalah memberikan fasilitas dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional; bahwa berdasarkan PP-31, penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) diberi fasilitas dibebaskan daripengenaan PPN. Salah satu tujuan fasilitas tersebut adalah meningkatkan daya saing pengusaha yang melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) tersebut;
K
PA
JA
bahwa praktik di dalam masyarakat, Pengusaha yang melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) adalah para petani atau pengusaha lain yang secara umum memiliki kapasitas modal terbatas sehingga tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengolah Tandan Buah Segar (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO). Tujuan yang ingin dicapai dari pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN adalah untuk meningkatkan daya saing bagi para Pengusaha tersebut dan sebagaikonsekuensinya, pengusaha tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya untuk memastikan bahwa tidak ada unsur nilai tambah dalam harga jualnya;
LA N
bahwa penjelasan Pasai 16B ayat (1) UU PPN menegaskan bahwa: Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
DI
bahwa jika bagi pengusaha yang melakukan usaha terpadu sebagaimana Pemohon Banding dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Tandan Buah Segar (TBS) sementara bagi para petani dan pengusaha TBS tidak boleh mengkreditkan Pajak Masukannya, maka tujuan diberikannya kemudahan (fasilitas) berupa peningkatan daya saing tidak akan tercapai;
H. Netralitas PPN
GA
bahwa komoditas yang ingin ditingkatkan daya saingnya adalah Tandan Buah Segar (TBS) Sawit (bukan CPO);
TP EN
bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis.
SE KR ET
AR IA
bahwa mengingat Tandan Buah Segar (TBS) merupakan Barang Kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga prinsip netralitas, maka Majelis berpendapat Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat dikreditkan.
I.
PPN sebagai Pajak Objektif
bahwa karakteristik lain dari PPN menyatakan bahwa PPN merupakan pajak objektif, artinya, terutang atau tidak terutangnya PPN ditentukan oleh objeknya bukan oleh subjeknya (konsumennya); bahwa sebagai ilustrasi, seorang Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan beras kepada orang lain di Pulau Batam, tidak akan memungut PPN Keluaran. Tidak adanya PPN Keluaran disebabkan karena objeknya yaitu penyerahan beras (nonBKP) bukan subjeknya (orang lain di Pulau Batam). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa seorang Pengusaha yang melakukan penyerahan non-BKP kepada siapapun dan dengan cara apapun, dia tidak akan memungut PPN Keluaran;
bahwa berkaitan dengan karakter PPN sebagai pajak objektif, sesuai ketentuan umum, memang masih terdapat keadaan saling terkait mengenai persyaratan kumulatif objek PPN sebagai berikut:
1) Keadaan Pengusahanya (apakah Pengusaha Kena Pajak atau bukan), atau 2) Status Barangnya (apakah BKP, non BKP, atau BKP yang diberi fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN); atau
K
JA
3) Sifat penyerahannya, (apakah penyerahannya termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP atau tidak);
PA
bahwa untuk mengatasi saling keterkaitan tersebut, Pasal 16B ayat (3) UU PPN memberi penjelasan sebagai berikut: Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
LA N
bahwa keterkaitan karakter objektif pada ketentuan umum tersebut sudah dipecahkan oleh Pasal 16B ayat (3) UU PPN sebagai ketentuan khusus yang dapat mengesampingkan ketentuan umum;
DI
bahwa Pasal 16B ayat (3) UU PPN dengan tegas menyatakan bahwa tidak adanya Pajak Keluaran disebabkan karena status barangnya yaitu BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sebagai konsekuensi tidak dapat dikreditkannya Pajak masukan atas perolehan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut telah sesuai dengan karakter objektif PPN dan kedudukan Pasal 16B UU PPN sebagai ketentuan khusus;
GA
Menimbang, bahwa menurut Pemohon Banding, TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis berupa TBS;
TP EN
bahwa pengertian PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK sebagaimana diatur dalam UU PPN, Pasal 1A ayat (1), menyatakan : Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; dalam memori Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d dari UU PPN, dijelaskanbahwa : "Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri"
SE KR ET
AR IA
bahwa berdasarkan penjelasan bagian Umum UU No 42 Tahun 2009, Alinea pertama dengan susunan kalimat berbeda menegaskan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi;
bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan diatas, Majelis berpendapat pengertian “pemakaian untuk kepentingan sendiri” adalah pemakaian untuk tujuan diolah lebih lanjut oleh pengusaha sendiri sehingga TBS yang diolah lebih lanjut secara bertingkat dalam jalur produksi untuk menghasilkan CPO, termasuk pengertian penyerahan berupa pemakaian sendiri TBS sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d dari UU PPN beserta penjelasannya;
Menimbang, bahwa pengertian “pemakaian sendiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d dari UU PPN menimbulkan banyak perdebatan, sehingga diatur lebih lanjut dalam PP No.1 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU PPN yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 5 PP No.1 Tahun 2012 (1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana
K
LA N
PA
JA
dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk: a. tujuan produktif; atau b. tujuan konsumtif. (3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk: a. tujuan produktif; atau b. tujuan konsumtif. (4) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
GA
DI
Penjelasan Pasal 5 ayat (2) PP No.1 Tahun 2012 Transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi tersebut diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pemakaian sendiri digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perlakuan ini diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
TP EN
bahwa untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (2) dan (2) PP No.1 Tahun 2012 diatur: (1) Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10). (2) Ketentuan mengenai kewajiban penerbitan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
SE KR ET
AR IA
bahwa berdasarkan ketentuan di atas, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif termasuk dalam pengertian penyerahan yang terutang PPN akan tetapi untuk kemudahan administrasi tidak dilakukan pemungutan PPN dan tidak wajib menerbitkan Faktur Pajak, karena pada akhirnya Pajak Keluaran atas pemakaian sendiri akan dikreditkan oleh pengusaha itu sendiri sebesar Pajak Keluaran yang dipungut oleh pengusaha itu sendiri;
bahwa akan berbeda apabila pemakaian sendiri atas BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Majelis berpendapat sebagai berikut: bahwa tidak ada korelasi langsung antara saat pengkreditan Pajak Masukan dengan penyerahan BKP, akan tetapi berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual (apabila sudah berproduksi); bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tersebut yaitu mendorong pembangunan nasional
K
JA
dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berupa Tandan Buah Segar Sawit;
PA
bahwa atas sengketa a quo, Terbanding telah benar memberlakukan dan menerapkan perlakuan yang sama atas tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor, sepatu boot dan sebagainya yang berkaitan dengan unit/divisi yang menghasilkan Tandan Buah Segar (BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN) baik pada perusahaan yang hanya melakukan penyerahan Tandan Buah Segar dan perusahaan yang menghasilkan Tandan Buah Segar untuk diolah pada divisi pengolahan;
LA N
bahwa Tandan Buah Segar (TBS) yang dikonsumsi oleh Pemohon banding merupakan bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan menghasilkan CPO, maka pemakaian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;
DI
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka konsumsi Tandan Buah Segar (TBS) oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PPN sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat dikreditkan;
GA
bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila berkaitan dengan kegiatan untuk memproduksi/ menghasilkan Barang Tidak Kena Pajak atau Barang Kena Pajak yang memperoleh fasilitas pembebasan;
TP EN
bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendapat perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B UU PPN, maka harus tunduk dengan perlakuan khusus yang diterapkan dalam Pasal 16 B UU Pajak Pertambahan Nilai;
SE KR ET
AR IA
bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu tidak dapat mengklaim Pajak Masukan untuk dikreditkan karena Tandan Buah Segar (TBS) termasuk ke dalam kategori barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut kemudian terbentuk pada biaya yang digunakan untuk proses pabrikasi; bahwa perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang terutang PPN, maka: a. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyatanyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan; b. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyatanyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian (mendapat fasilitas pembebasan), tidak dapat dikreditkan; c. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya; d. pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif termasuk dalam pengertian penyerahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 juncto Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012; bahwa mengingat Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh Pemohon Banding berasal dari perolehan/pembelian pupuk dan bahan-bahan kimia pembasmi hama yang
K
JA
digunakan dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit, maka mekanisme pengkreditannya harus dihubungkan dengan barang yang dihasilkan;
PA
bahwa TBS merupakan barang hasil pertanian yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS, tidak dapat dikreditkan;
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions)
LA N
Menimbang, bahwa berdasarkan Pertimbangan Hukum tersebut di atas, Majelis berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkanTandan Buah Segar (TBS) Sawit (Barang Strategis), tidak dapat dikreditkan dengan demikian koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp.431.828.961,00 tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
DI
bahwa terhadap sengketa gugatan ini, Hakim Anggota M. Z. Arifin, S.H., M.Kn., memberikan pendapat yang berbeda dengan pendapat sebagai berikut :
GA
bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi;
TP EN
bahwa Hakim Anggota M. Z. Arifin, S.H., M.Kn. berpendapat dari definisi di atas terdiri unsur-unsur sebagai berikut: 1. adanya unsur barang dan jasa yang dikonsumsi; 2. adanya unsur pihak yang menyediakan barang dan jasa yaitu pengusaha; 3. adanya unsur pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa yaitu konsumen; 4. adanya unsur di mana barang dan jasa dikonsumsi yaitu Daerah Pabean; 5. adanya unsur bagaimana cara pajak dikenakan yaitu secara bertingkat; 6. saat unsur di mana pajak dikenakan yaitu di setiap jalur produksi dan distribusi; bahwa Hakim Anggota M. Z. Arifin, S.H., M.Kn. berpendapat hanya membahas unsurunsur yang menjadi dasar penyelesaian sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini:
SE KR ET
AR IA
· Unsur Barang dan Jasa
bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: · Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud; · Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan; bahwa sesuai dengan definisi Pajak Pertambahan Nilai yaitu pajak atas konsumsi barang dan jasa, pada hakekatnya seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai namun demikian undang-undang menyatakan atas konsumsi barang dan jasa tertentu tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ; bahwa Pasal 4A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:
K
PA
JA
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: i. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; ii. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; iii. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan iv. uang, emas batangan, dan surat berharga;
SE KR ET
AR IA
TP EN
GA
DI
LA N
bahwa Pasal 4A ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. jasa pelayanan kesehatan medis; b. jasa pelayanan sosial; c. jasa pengiriman surat dengan perangko; d. jasa keuangan; e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa pendidikan; h. jasa kesenian dan hiburan; i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; k. jasa tenaga kerja; l. jasa perhotelan; m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n. Jasa penyediaan tempat parkir; o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan q. Jasa boga atau katering; · Unsur Pihak yang Menyediakan Barang dan Jasa bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean; bahwa tidak seluruh pengusaha berkewajiban terhadap Pajak Pertambahan Nilai, hanya pengusaha tertentu saja yang berkewajiban terhadap Pajak Pertambahan Nilai yaitu Pengusaha Kena Pajak; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
K
· Unsur Pihak yang Menikmati atau Mengkonsumsi Barang dan Jasa
JA
Undang-undang ini;
PA
bahwa pihak yang menikmati unsur pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa adalah pembeli dan penerima jasa;
LA N
bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: · Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut; · Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut;
DI
bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan berdasarkan ketiga unsur diatas yaitu unsur barang dan jasa, unsur pihak yang menyediakan barang dan jasa, dan unsur pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa;
GA
bahwa konsumsi barang dan jasa tidak akan terjadi jika tidak ada penyerahan barang dan jasa dari pihak yang menyediakan barang dan jasa kepada pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa;
SE KR ET
AR IA
TP EN
bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: 1.1 penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 1.2 impor Barang Kena Pajak; 1.3 penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 1.4 pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 1.5 pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 1.6 ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; 1.7 ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan 1.8 ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak; bahwa mekanisme pemungutan menerbitkan Faktur Pajak;
Pajak
Pertambahan
Nilai
dilakukan
dengan
bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak; bahwa pungutan pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dinamakan Pajak Keluaran; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
K
JA
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak;
PA
bahwa konsumsi yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dinamakan Pajak Masukan;
LA N
bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak;
DI
bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak;
GA
bahwa Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Pajak Masukan dalam satu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama;
TP EN
bahwa Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak;
SE KR ET
AR IA
bahwa Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya; bahwa Pasal 9 ayat (4a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku;
bahwa apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan atau memanfaatkan barang dan jasa yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tentunya tidak ada Pajak Keluaran yang dipungut sehingga Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan; bahwa Pasal 9 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang
K
JA
bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
LA N
PA
bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
GA
DI
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak diterbitkan berdasarkan amanat Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009; bahwa pengenaan pajak atas konsumsi barang dan jasa sebagaimana dikemukakan di atas adalah pengaturan fungsi pajak berdasarkan fungsi budgeter;
TP EN
bahwa fungsi budgeter dari pajak adalah fungsi untuk mengumpulkan penerimaan negara dari pajak; bahwa fungsi lain dari pajak adalah fungsi mengatur (regelling). Dalam fungsi mengatur, pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur perekonomian negara dan tujuan-tujuan lainnya selain untuk mengumpulkan penerimaan negara; bahwa fungsi mengatur dari pajak dalam ketentuan umum antara lain diatur dalam Pasal 3A ayat (1a), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
SE KR ET
AR IA
bahwa fungsi mengatur dari pajak dalam ketentuan khusus diatur dalam Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16E Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
bahwa Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan: (1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk: a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
K
PA
JA
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan. (3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;
LA N
bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mengecualikan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam aturan umum sebagaimana Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
GA
DI
bahwa untuk kondisi tertentu yaitu: a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan;
TP EN
bahwa jangka waktu kebijakan untuk melaksanakan fungsi mengatur sebagaimana Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 dapat bersifat sementara atau selamanya; bahwa dalam melaksanakan fungsi mengatur 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, mekanisme Pajak Pertambahan Nilai tetap mengacu pada ketentuan umum;
SE KR ET
AR IA
bahwa terdapat perbedaan pengertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi tidak dipungut dan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi dibebaskan;
bahwa pengertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi tidak dipungut adalah sebagai berikut: · bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; · bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan terutang Pajak Pertambahan Nilai; · bahwa Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa tidak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diwajibkan memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Pertambahan Nilai yang terutang; · bahwa Wajib Pajak tetap memiliki Pajak Keluaran akan tetapi Pajak Keluaran tidak dipungut dan disetor; · bahwa oleh karena Wajib Pajak memiliki Pajak Keluaran, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan; bahwa hal berbeda terjadi dalam pengertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang
K
DI
LA N
PA
JA
seharusnya dipungut menjadi dibebaskan yaitu sebagai berikut: · bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; · bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai; · bahwa Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; · bahwa Wajib Pajak tidak memiliki Pajak Keluaran; · bahwa oleh karena Wajib Pajak memiliki Pajak Keluaran, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan yang sudah dibayar tidak dapat dikreditkan; · bahwa dalam hal Wajib Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, pengkreditan Pajak Masukan mengacu kepada ketentuan umum dalam Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
SE KR ET
AR IA
TP EN
GA
bahwa tujuan dari fungsi mengatur dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 16 dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut: “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional. Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk: a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat, atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut; b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya; c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka Program Imunisasi Nasional; d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal; e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional; f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat; g. mendorong pembangunan tempat ibadah;
K
DI
LA N
PA
JA
h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana; i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara; j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak; k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri; l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk; m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional; n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi;
GA
bahwa untuk menjalankan fungsi mengatur ini, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
SE KR ET
AR IA
TP EN
bahwa Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan : Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : a. Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah : a. barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang; b. makanan ternak, unggas, dan ikan, dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan; c. barang hasil pertanian; d. bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan; e. bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk batangan; f. bahan baku untuk pembuatan uang kertas rupiah dan uang logam rupiah; g. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum; dan h. listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt. b. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang : a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan; b. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau c. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya; c. Petani adalah orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan atau penangkapan, penangkaran, penangkapan atau budidaya perikanan; bahwa Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan: Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa : a. barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha
K
DI
LA N
PA
JA
Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut; b. makanan ternak, unggas, dan ikan, dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b; c. barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c oleh petani atau kelompok petani; d. bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf d; e. bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf e; f. bahan baku untuk pembuatan uang kertas rupiah dan uang logam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf f kepada Bank Indonesia dan atau Perum Peruri; g. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan air Minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf g; h. listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf h; dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
GA
bahwa fasilitas perpajakan yang diberikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah untuk penyerahan barang hasil pertanian oleh petani atau kelompok tani dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
TP EN
bahwa meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai telah beberapa kali diubah sampai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai masih tetap diberikan kepada petani atau kelompok tani;
SE KR ET
AR IA
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah dimaksud, pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai memberikan konsekuensi sebagai berikut: 1. fasilitas perpajakan hanya diberikan kepada petani atau kelompok tani saja; 2. penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; 3. petani atau kelompok tani tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 4. bahwa pengusaha barang hasil pertanian yang melakukan kegiatan usaha di bidang : a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan, b. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran, atau c. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya; harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh pengusaha barang hasil pertanian terutang Pajak Pertambahan Nilai; 5. Wajib Pajak selain petani atau kelompok tani yaitu pengusaha barang hasil pertanian wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan barang hasil pertanian; 6. Pengusaha barang hasil pertanian dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian; bahwa pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai berubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
K
JA
2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
PA
bahwa Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan: Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
LA N
bahwa fasilitas perpajakan yang diberikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diberikan kepada seluruh Wajib Pajak;
GA
DI
bahwa meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai masih tetap berlaku untuk seluruh Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian;
TP EN
bahwa perubahan pemberian fasilitas perpajakan yang terjadi sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 memberikan konsekuensi sebagai berikut: 1. fasilitas perpajakan diberlakukan terhadap semua Wajib Pajak, tidak hanya kepada petani atau kelompok tani saja tetapi juga kepada pengusaha barang hasil pertanian; 2. penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh seluruh Wajib Pajak dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai; 3. Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian tidak dapat dikreditkan;
SE KR ET
AR IA
bahwa tujuan fungsi mengatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 adalah untuk mendorong pengusaha barang hasil pertanian untuk tidak melakukan penyerahan barang hasil pertanian tetapi melakukan penyerahan barang jadi hasil pengolahan barang hasil pertanian yang merupakan barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau Barang Kena Pajak; bahwa terdapat pilihan yang harus dihadapi oleh pengusaha barang hasil pertanian yaitu: 1. Pengusaha barang hasil pertanian tetap melakukan penyerahan barang hasil pertanian. Bagi pengusaha ini, penyerahan yang dilakukan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian tidak dapat dikreditkan; 2. Pengusaha barang hasil pertanian mengolah hasil produksinya sehingga menjadi Barang Kena Pajak. Bagi pengusaha ini, penyerahan yang dilakukan terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian dapat dikreditkan; 3. Pengusaha barang hasil pertanian melakukan penyerahan barang hasil pertanian untuk sebagian dan sebagian lainnya digunakan untuk mengolah hasil produksinya sehingga menjadi Barang Kena Pajak. Bagi pengusaha ini, penyerahan yang dilakukan sebagian tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sedangkan sebagian lainnya terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang
K
JA
berhubungan dengan usaha pertanian dapat dikreditkan sebagian berdasarkan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;
PA
bahwa dengan kerangka berpikir sebagaimana di atas, terdapat kesesuaian mengenai argumen perlakuan perpajakan yang sama (equal treatment) dan argumen perusahaan terintegrasi yang sering dikemukakan dalam sengketa mengenai Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian;
LA N
bahwa seluruh Wajib Pajak baik pengusaha hasil pertanian maupun petani atau kelompok tani mendapat perlakuan perpajakan yang sama (equal treatment) dengan memperoleh fasilitas perpajakan berupa penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
GA
DI
bahwa bagi pengusaha barang hasil pertanian yang mengolah barang hasil pertanian yang diproduksinya dan memberikan nilai tambah terhadap barang sehingga menjadi barang jadi hasil pengolahan barang hasil pertanian yang merupakan Barang Kena Pajak (pengusaha hasil pertanian terintegrasi), terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu : 1. Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya jika seluruh penyerahan adalah Barang Kena Pajak; 2. Pajak Masukan dapat dikreditkan sebagian jika sebagian penyerahan adalah penyerahan Barang Kena Pajak dan sebagian lainnya adalah penyerahan barang hasil pertanian;
TP EN
bahwa Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak dengan NPWP 01.547.479.4308.000 dengan jenis usaha perkebunan;
AR IA
bahwa Pemohon Banding telah melakukan penghitungan ulang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 42 Tahun 2009 jo Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; bahwa berdasarkan uraian dan keterangan tersebut diatas, pendapat, dan keyakinan Hakim, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, Hakim Anggota M. Z. Arifin, S.H., M.Kn. berkesimpulan koreksi Terbanding sebesar Rp.431.828.961,00 tidak dapat dipertahankan
:
SE KR ET
Menimbang
Mengingat
Memutuskan
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, peraturan yang berlaku dan keyakinan Hakim, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, untuk menolak banding Pemohon;
:
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
:
Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP1361/WPJ.03/ 2014 tanggal 18 Desember 2014 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Desember 2010 Nomor: 00058/207/10/308/14 tanggal 25 April 2014, atas nama: XXX; Demikian diputus di Jakarta pada hari Senin, tanggal 09 November 2015, berdasarkan
K
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti
PA
Drs. Didi Hardiman, Ak. M. Z. Arifin, S.H., M.Kn. Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. Andre Irwanda
JA
suara terbanyak (ada dissenting opinions) Majelis XVA Pengadilan Pajak, berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : Pen.00480/PP/PM/VIII/2015 tanggal 31 Agustus 2015, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :
LA N
Putusan Nomor : Put-72764/PP/M.XVA/16/2016 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis XVA sesuai Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : Pen.137/PP/Ucp/2016 tanggal 29 Juli 2016, pada hari Senin tanggal 01 Agustus 2016 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut : Drs. Didi Hardiman, Ak. sebagai Hakim Ketua, M. Z. Arifin, S.H., M.Kn. sebagai Hakim Anggota, Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum.sebagai Hakim Anggota, Dra. Ida Farida, M.M. sebagai Panitera Pengganti,
SE KR ET
AR IA
TP EN
GA
DI
dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Terbanding dan juga tidak dihadiri oleh Pemohon Banding.