GR
AT IS
REKONSTRUKSI ACEH N0. 3 ■ 3 SEPTEMBER 2005 ■ DUA MINGGUAN
HIKAYAT Allah berfirman lam kitab suci Peunawa hati bek sabe duka Dinireng susah seunang meunanti Kuasa Rabbi hak ek ta hingga Soe na teujalok ban lheueh tsunami Bantuan ili lagee ie raya Meuploh-ploh nanggroe ngon organisasi Bantu geujak bri sang-sang saboh Ma T. A. SAKTI
2 Bantuan Boat Dinsos Terindikasi Mark-up?
Tatkala sampah dan lumpur tsunami merendam sawah, semua petani susah. Para ilmuwan pun ikut-ikutan, takut lahan pertanian tidak subur. Tapi itu bukan berarti kiamat bagi dunia pertanian Aceh. Rakyat Aceh meyakini ada hikmah dibalik musibah. Apa itu? Baca halaman 4
3 Mulai dari Koordinasi sampai Konsolidasi
■ HOTLI SIMANJUNTAK
4
Asa Para Petani Lhoong Aceh Besar Indra A. Liamsy Aceh Besar
[email protected]
Secercah Harapan untuk Sawah Bekas Tsunami
7 Para Perempuan di Desa Emping
SEJAUH mata memandang, bentaran sawah tanpa pemantang begitu lebar terbentang. Di ujungnya terlihat kotak-kotak putih berdempetan dekat perbukitan. Tak ada lagi kicauan burung pipit yang silih berganti menyeruput padi. Kenapa? Pernah subur Hamparan itulah yang terus dipandang Tengku Usman (55). “Di sini dulu tumbuh padi cukup subur,” katanya membuka suara ketika disapa Ceureumen, Minggu. Hari itu, pria yang sudah hidup setengah abad ini berdiri dipingir sawah di Kemukiman Blangme, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Kawasan yang ja-
raknya sekitar 60 km dari Banda Aceh ini juga luluhlantak ditelan ombak tsunami. Kerusakan lahan persawahan akibat tsunami tak tanggungtanggung. “Ada 1.100 hektare yang rusak, hingga ke kaki bukit,” ujarnya lagi. Di tanah inilah warga bercocok tanam menopang hidup, tentu saja termasuk Teungku Usman. Ribuan hektare lahan persawahan ini berada di bawah wilayah kekuasaannya. Dia memang bukan juragan tanah apalagi toke padi. Tapi Teungku Usman punya jabatan. Statusnya Peutuha Blang atau kalau di daerah lain disebut Keujruen Blang. Peutuha Blang inilah yang memutuskan waktu tanam padi.
Tidak menyerah Warga Blangme, tambah Teungku Usman, tidak menyerah, termasuk tatkala melihat sawah garapannya hancur lebur. “Ketika itu kalau kami bersihkan nggak sanggup. Butuh waktu dan dana. Padahal kami sendiri setelah tsunami harus memulai hidup dari nol lagi,” papar dia. Harapan bisa menggarap lagi sawah terkuak, ketika Pemuda Muhammadiyah Aceh yang disokong United States Agency for International Development (USAID) membikin program padat karya. Sawah yang dibersihkan itu melikupi Blang Genteuet, Blang Pisang, Blang Bung dan Blang Umong Siribee. Selesaikah? Ternyata belum. Warga kemudian bingung.
Masih pantaskan dilahan yang sudah digenangi air asin itu ditanami padi? Tapi tanpa menunggu jawaban lebih lama, warga optimis apapun yang akan ditanam akan lebih subur seperti sebelum tsunami. “Banyak rumput-rumput yang tumbuhnya tambah hijau. Bahkan ada labu yang tumbuh sendiri buahnya besar-besar. Lebih besar dari sebelumnya,” urainya Usman. Tanam palawija Sambil menunggu masuknya masa tanam padi, mereka menyemai palawija lebih dulu. “Kalau kita lihat yang tumbuh selama ini cukup subur, kami yakin ini akan seperti itu padi,” ujar Usman optimis. Sayangnya, belum bisa dipastikan apakah hasil produksi akan sesubur itu juga. Kita lihat nanti! ■
2
ANTIKORUPSI
CEUREUMeN
■ ■ ■ TANYA JAWAB Membantu Memetakan Tanah T: Kapan di desa kami bisa masuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pemerintah yang akan membantu kami dalam membuat batas-batas tanah? Azizah Desa Baet, Aceh Besar J: Salah satu LSM yakni Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) bisa membantu warga dalam memetakan dan mengukur kembali dan serta membuat patok batas-batas tanah. Bisa ditanyakan kepada LSM yang bersangkutan. Jika batas-batas tanah sudah jelas, secara kolektif dilaporkan ke Badan Pertanahan untuk memperoleh sertifikat gratis. Alamat Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) Jalan Soekarno Hatta No.23 Geuceu Meunara, Banda Aceh.
Kerusakan Barak T: Lantai barak kami berlubang-lubang, meski baru empat bulan kami tinggal. Kepada siapa kami harus melapor, karena kami tidak mengetahui lagi dimana kantor kontraktornya? Diah Rukoh, Banda Aceh J: Bisa dilaporkan kepada camat masing-masing. Camat melaporkan lagi ke pihak lain seperti Dinas Permukiman dan Perkotaan atau Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Mereka akan membantu untuk meminta kontraktor memperbaiki kekurangankekurangan kecil. Jika ada indikasi mark-up harga dalam pembangunannya, maka laporkan kepada aparat penegak hukum seperti polisi atau kejaksaan.
Pelanggan PLN Gratis T: Rumah kami telah se-
lesai dibangun oleh sebuah LSM. Namun demikian, hingga kini kami belum bisa menempatinya, karena pihak donatur yang membangun rumah tidak memasang fasilitas listrik. Apakah Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat membantu kami memberi fasilitas listrik secara gratis? Nurdin Lamnga, Aceh Besar J: Menurut Pimpinan PLN Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam Syarifuddin Ibrahimy, mereka akan siap memasang kembali fasilitas listrik secara gratis di rumah-rumah tersebut dengan syarat pernah menjadi pelanggan dan korban tsunami. Akan tetapi, bagi yang belum pernah berlangganan diwajibkan membayar biaya pemasangan baru, meskipun ia korban tsunami. Nilai uang yang harus dibayar untuk pemasangan fasilitas listrik tergantung kepada jumlah Ampere yang digunakan. Bagi yang ingin menyambung kembali listrik atau berencana memasang baru, bisa menghubungi alamat berikut: PLN Luengbata Jalan Banda Aceh – Medan Km 3,5, Banda Aceh.
Ganti Rugi Ruko T: Apakah Ruko (Rumah Toko) saya yang runtuh karena gempa akan diganti kerugiannya oleh pemerintah? Muhammad Beureunuen,Pidie J: Saat ini pemerintah memprioritaskan terlebih dahulu untuk membangun rumah bagi korban gempa dan tsunami dengan bantuan sejumlah LSM. Berturutturut prioritas pembangunannya adalah: Rumah yang hancur total, rusak berat, dan rusak ringan. Untuk yang hancur total pun baru sebagian kecil yang dibangun dari kebutuhan yang sebenarnya.
Anda bisa mengirimkan pertanyaan apa pun yang ingin Anda ketahui, terutama mengenai masalah rekonstruksi dan rehabilitasi. Redaksi akan mencarikan jawaban untuk pertanyaan Anda. Kirimkan ke PO BOX 061 Banda Aceh 23001 atau email
[email protected] dengan mencantumkan “Rubrik Tanya Jawab”
Bantuan Boat Dinsos Terindikasi Mark-up?
■ HOTLI SIMANJUNTAK
Sebuah mobil bekas tsunami sedang menarik kapal kayu yang di peruntukan bagi nelayan korban tsunami. Ada banyak NGO yang berusaha menyediakan kapal bantuan bagi para nelayan Aceh yang umumnya kehilangan kapal.
Asri Zaidir Banda Aceh
[email protected]
Nelayan Kreung raya girang ketika mendengar akan diberikan bantuan boat. Walau pemakaiannya harus berkongsi dengan dua orang lainnya, tetap saja bantuan itu menyenangkan hati mereka. Apalagi sudah lama mereka tidak melaut karena boat mereka hancur akibat tsunami. Bantuan tersebut berasal dari Dinas Sosial yang disalurkan melaui Dinas Perikanan dan kelautan kabupaten Aceh Besar. Jumlah keseluruhannya untuk Aceh sebanyak 1.230 buah boat. Sedang Krueng Raya ’kecipratan’ sebanyak 17 boat dari 100 boat yang diberikan untuk wilayah Aceh Besar. Merasa kecewa Namun nelayan kecewa saat melihat langsung Boat bantuan yang kini ‘terparkir’ di pelabuhan nelayan Krueng Raya. Sangat jauh dari khayalan mereka. Menurut mereka, kapal bantuan Dinsos tersebut banyak sekali kejanggalannya. Hal tersebut disampaikan Rijani Nurdin, Sekertaris Pawang Laot, Krueng Raya, kepada Abdillah, dari ‘GERAK’. “ Banyak sekali kekurangannya. Makanya hingga minggu kemarin, baru ada satu yang bisa dipakai. Yang lain masih dalam perbaikan,” Ucap Abdillah meniru ucapan Rijani.
Indikasi Korupsi Boat Dinas Sosial 1. Dinding kapal yang tidak rapat 2. Papan lantai yang tak terpasang secara sempurna 3. Mesin yang tidak menggunakan jenis Dong Feng 5111524 PS/ 2200 rpm, standard mesin untuk sebuah Boat. 4. Kayunya tidak berkualitas ■ Sumber GeRAK Aceh
Sampai saat ini, dari 17 boat bantuan yang diberikan oleh Dinsos, sudah delapan boat yang tenggelam karena kayunya tidak berkualitas Indikasi mark-up Menurut Abdillah, bila melihat ‘wujud’ Boat bantuan dari Dinsos tersebut, maka Dia menaksiranya satu buah Boat tidak sampai Rp. 25 juta per Unitnya seperti yang dilansir di Media beberapa waktu lalu. Dan berdasarkan dari wawancara dengan beberapa pengrajin Perahu Boat didaerah Beutra Ulee Titie, di desa Labui, untuk satu unit boat dengan panjang 7,5 meter dan lebar 150 cm, dengan tiang 4x6 serta bermesin merk Dong feng model S 1100 16 Hp/ 2200, maka hanya akan menghabiskan dana Rp. 15 juta saja. Itu pun sudah memakai bahan Anda melihat indikasi penyimpangan dana di tempat Anda? Silakan menghubungi Kantor GeRAK Aceh, Jalan T Lamgugob Lorong Durian no 7 Lamgugob Banda Aceh. Telpon 0651-7412967
dari kayu ‘Bayu Merah’(kayu khusus untuk membuat boat). Berarti sudah ada selisih perhitungan sebesar Rp. 10 juta. Beberapa bentuknya antara lain, Mark-up harga pembuatan Boat dan pemakaian bahan material. Menurut nelayan, harga satu buah boat hanya Rp. 15 juta. Sedang harga satu buah boat ‘Made in’ Dinsos, harga satuan boat untuk daerah pantai timur seharga Rp. 20 juta hingga Rp. 25 juta. Sedangkan untuk daerah pantai barat, satu buah boat mencapai hingga Rp. 40 juta- Rp. 50 juta. Negara rugi milyaran Dan dari perhitungan yang dilakukan oleh GERAK untuk masalah boat Dinsos ini, negara terindikasi dirugikan sebesar Rp. 10,5 milyar. Itu bila dihitung dengan menggunakan perhitungan nelayan yang satu buah boatnya hanya seharga Rp.15 juta. Pihak Dinsos yang dikonfirmasi Ceureumen mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui soal bantuan boat itu. ”Semuanya diurus oleh Jakarta,” kata Burhanuddin, Humas Dinas Sosial Provinsi NAD.
■ REDAKSI CEUREUMeN ■ Pemimpin Redaksi: Sim Kok Eng Amy ■ Sekretaris Redaksi: Siti Rahmah ■ Redaktur: Nani Afrida ■ Wartawan: Mounaward Ismail, Muhammad Azami ■ Koordinator Artistik: Mahdi Abdullah ■ Fotografer: Hotli Simanjuntak ■ Dengan kontribusi wartawan lepas di Aceh ■ Alamat: PO BOX 061 Banda Aceh 23001. Email:
[email protected] ■ Percetakan dan distribusi oleh Serambi Indonesia. CEUREUMeN merupakan media dwi-mingguan yang didanai dan dikeluarkan oleh Decentralization Support Facility (DSF atau Fasilitas Pendukung Desentralisasi). DSF merupakan inisiatif multi-donor yang dirancang untuk mendukung kebijakan desentralisasi pemerintah dengan meningkatkan keselarasan dan efektifitas dukungan dari para donor pada setiap tingkatan pemerintahan. Misi dari CEUREUMeN adalah untuk memberikan informasi di Aceh tentang rekonstruksi dan berita yang bersifat kemanusiaan. Selain itu CEUREUMeN diharap bisa memfasilitasi informasi antara komunitas negara donor atau LSM dengan masyarakat lokal.
,
FOKUS
CEUREUMeN
3
,
Tapi, kami tunggu-tunggu pemerintah juga tak punya solusi lain. Bisanya cuma melarang. Kalau kami patuhi terus barak pun tak bisa dibuat, lalu dimana kami harus tinggal. Makanya sekarang kami tidak patuh lagi.
,
,
Kepala BRR, Kuntoro sedang memperlihatkan peta hasil kreasi masyarakat dalam rapat koordinasi dengan Kepala Desa di Banda Aceh.
■ HOTLI SIMANJUNTAK
Mengapa Desa Kami Terlambat? Muhammad Azami Banda Aceh
[email protected]
R
UKAIYAH (30) mengaku sudah tidak sanggup lagi tinggal di tenda. Sudah delapan bulan perempuan yang tinggal di kamp pengungsian Lamnyong, Darussalam, Banda Aceh, ini menempati tenda putih berukuran sekitar 2x3 meter. “Sebetulnya kami tak sanggup lagi tinggal di tenda, tapi tak punya pilihan lain. Kami basah semua kalau hujan. Soalnya, tenda ini tembus air. Tapi, kami barak
pun tidak punya,” kata Rukaiyah. Kurang lobi Menurut warga, sebenarnya sudah ada LSM yang bersedia membantu membuat rumah, tapi sang keusyik bersedia. Sementara LSM lain tak pernah dilobi. “Kita ini kurang lobi,” kata seorang perempuan, diiyakan oleh beberapa yang lain. Tetapi, sang keusyik yang ditanyai Ceureumen mengatakan, sebetulnya sejak jauh-jauh hari sudah ada NGO atau LSM yang mau membantu, tapi kesulitan masuk karena birokrasi.
“Karena banyak birokrasi, makanya banyak yang akhirnya mundur,” kata Hamdani (45). Tapi, keusyik Rukoh ini menolak menyebutkan apa saja hambatan birokrasi itu. “Pokoknya ada syarat macammacamlah,” katanya. “Saya juga heran, mengapa barak yang dibangun untuk warga kami sangat kurang,” tambahnya. Menjadi iri Permasalahan serupa juga terjadi di Desa Meunasah Mesjid, Lampuuk, Lhoknga, Aceh Besar. Berbagai pemimpin dunia boleh saja
Desa Ulee Lheue
Mulai dari Koordinasi sampai Konsolidasi Muhammad Azami Banda Aceh
[email protected]
M
ENGAPA sampai begitu lambat pembangunan sebuah desa? Camat Meuraxa Tarmizi Yahya mempunyai alasan tersendiri. Menurut Tarmizi Yahya, selama ini NGO yang membantu desadesa di kecamatannya tak pernah melapor apa yang akan dikerjakan dan yang sudah dikerjakan. LSM tersebut juga tidak pernah bertanya kepadanya, apa yang dibutuhkan warga. NGO itu masuk sendiri ke desa-desa yang diinginkan. Akibatnya, katanya, banyak masyarakat yang iri dengan pembangunan di desa tetangganya. Di sisi lain, katanya, ketika warga membutuhkan B, yang ditawarkan malah A. “Ada desa yang belasan NGO masuk, di sisi lain ada juga desa yang tak ada NGO sama sekali. Warga jadi iri dan mengeluh,” katanya.
Malu pulang kampung Akibat pembangunan yang begitu lambat di Ulee Lheue, Tarmizi mengaku malu jika pulang ke kampung halamannya itu. “Saya tak berani lagi pulang ke Ulee Lheu, warga menuntut apa yang dijanjikan dan yang dibutuhkan. Sementara saya tak bisa berbuat apa-apa. Paling-paling cuma menyampaikan usulan,” kata penduduk asli Ulee Lheue ini. Membuat forum Barak yang baru dibuat kini, katanya, itu untuk mengkonsolidasikan warga, yang sebelumnya terpencar-pencar dan sulit disatukan pandangannya. Untuk mengatasi kesenjangan komunikasi antara pihaknya dengan NGO, Tarmizi berencana untuk membentuk Forum Komunikasi Bersama. “Agar komunikasi terjalin dengan baik, kita akan membentuk Forum Komunikasii Bersama, yang melibatkan kita, masyarakat, dan LSM. Sehingga segala persoalan terselesaikan dan pembangunan berlangsung cepat,” katanya. ■
menginjak kakinya di desa ini, seperti dua mantan Presiden AS, yakni Bill Clinton dan Bush senior. Tapi, hingga pekan lalu, belum ada warga yang dapat merasakan hidup di rumah bantuan pemerintah atau LSM. “Kita iri juga dengan desa lain. Di sini sangat lambat. Memang Turki rencana mau bantu 1.000-an unit,” kata Musa (40), yang masih tinggal di tenda. Tapi, soal kapan selesainya, ia tak bisa memprediksi. Barak saja terlambat Persoalan yang sama terjadi di
Desa Ulee Lheue. Saat dikunjungi Ceuremeun pekan lalu, yang terlihat sedang dibuat justru barak. “Barak pun kami terlambat, ya salah pemerintah yang melarang membangun,” kata seorang pria yang sedang memaku papan untuk dinding barak. Menurutnya, pemerintah pernah melarang membangun kembali di lokasi yang dekat dengan laut, seperti halnya Ulee Lheue. “Tapi, kami tunggu-tunggu pemerintah juga tak punya solusi lain. Bisanya cuma melarang. Kalau kami patuhi terus barak pun tak bisa dibuat, lalu dimana kami harus tinggal. Makanya sekarang kami tidak patuh lagi,” katanya. Desa maju Sebenarnya, cukup banyak desa yang mengalami kemajuan paska tsunami. Beberapa desa dibawah LSM Uplink misalnya yang mengurusi sebagian besar desa di Kecamatan Peukan Bada. Contohlah desa Lamteungoh Kecamatan Peukan Bada. Dibanding penduduk desa lain yang masih tinggal di tenda, masyarakat Desa Lamteungoh justru sudah menempati rumah-rumah kayu yang sederhana. Sambil menunggu rumah permanen yang sedang di buat tidak jauh dari tempat itu. ■
Yang Berpengaruh pada Rekonstruksi: Sosialisasi master plan yang lambat Kurangnya koordinasi aparat pemerintah dengan LSM ● Birokrasi yang menghambat ● Kemampuan warga mengkonsolidasi diri kurang ● ●
■ HOTLI SIMANJUNTAK
Puluhan warga Desa Lam Isek, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar yang selamat sedang mengadakan rapat kordinasi untuk penentuan nasib desa mereka ke depan.
4
CERITA
CEUREUMeN
Tolong ditanami Pohon Pengungsi Keude Aron Paska tsunami udara di Masih di Tenda
Banda Aceh semakin panas. Dan kalau pun ada angin, tiupannya sangat kencang dan tidak sehat. Kondisi ini lebih parah bila di tepi pantai yang tandus. Saya teringat masa dulu saat Banda Aceh masih hijau dan belum terkena musibah tsunami. Banyak pohon yang terdapat di pesisir dan angin bertiup sepoi-sepoi. Jujur saja saya merindukan keadaan itu. Kepada pemerintah, saya mengusulkan untuk segera melakukan penghijauan yang diprioritaskan di tepi pantai. Baik menanam kembali pohon kelapa, pohon bakau, atau pun pohon lainnya. Penghijauan di pesisir pantai itu bukan saja akan membuat suasana lebih hijau, tetapi juga menahan angin kencang yang tidak sehat.
Tina Lamlagang Banda Aceh
Sudah delapan bulan musibah tsunami menghancurkan daerah kita. Mungkin sudah menjadi rahasia umum, kalau pembangunan kembali pemukiman yang rusak belum berjalan. Stagnasi di sana-sini. Khusus di Aceh Barat yang masih memprihatinkan. Yang sangat menyedihkan adalah kondisi 700 lebih pengungsi di daerah Kecamatan Kawai XVI. Terutama pengungsi di Keude Aron. Memprihatinkan bukan karena mereka kekurangan makan, tapi kesehatan mereka yang amat mengkhawatirkan dengan lingkungan yang bersanitasi sangat buruk. Oleh karena itu kami berharap, kepada instansi terkait agar segera membangun barak buat mereka serta menyediakan sanitasi dan memperhatikan kondisi kesehatan kami. Terima kasih ada perhatiannya. Marlaini Warga Kecamatan Kawai XVI Kab Aceh Barat
Mana Perhatian Dinas Pendidikan? Saya mewakili guru-guru di SD Peunanga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo,Aceh Barat yang juga korban tsunami merasa sedih. Sudah delapan bulan bencana yang menghancurkan kampung kami, sayangnya tak ada yang peduli dengan kami. Syukurlah, banyak gedung sekolah yang dibangun sejumlah lembaga seperti Islamic Relief, CARDI- NRC, UNICEF serta lembaga-lembaga lain yang menaruh simpati dengan duka kita. Selain pembangunan fisik semacam itu yang sudah ditangani lembaga lain, seharusnya Badan Rekonsturksi dan Rehabilitasi Aceh (BRR) Aceh dan Nias melalui Dinas Pendidikan memikirkan nasib gurunya. Jangan sampai masih ada guru yang tinggal di tenda. Bagaimana dia bisa mengajar dengan baik kalau kehidupannya tak ada yang peduli. Demikian uneg-uneg kami, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.Kepada Tabloid Ceureumen kami mengucapkan terima kasih. Yusnidar Warga Ujong Drien Kec Meureubo Kab Aceh Barat
Korupsi Kau miliki tanpa hak, kau tantang firman tuhan Kau kecap tanpa lidah, kau hilangkan perasaan hati, Kau pikiri tanpa otak, kau berangan-angan dialam bebas, Kau turutkan hawa nafsu, kau curang dalam kesengsaraan Kau menyelinap di lalang sehelai, kau rasakan kesalahanmu sendirir Terbuai, terlena, menggarap tanpa halal Lupa, lupa diri, lupa tuntutan Illahi Rabbi Sesewaktu pasti Allah membuka tabirmu Rasakan betapa pahitnya siksa bathin Karena ulahmu sendiri, korupsi bagaikan sarapan pagi Wahai sadarlah ! bertaubatlah selagi masih ada masa Jangan kau tangguhkan ! Tanggung jawabmu dihadapan Illahi nanti Siksa di dunia bahkan azab di akhirat Bertaubatlah, itulah salah satu jalan memperbaiki diri. H.Muhammad Armis Peureulak Kab Aceh Timur
Buat Anda yang ingin menyampaikan Suara Rakyat kecil berupa ide, saran, dan kritik tentang rekonstruksi bisa melalui surat ke Tabloid CEUREUMeN PO Box 061 Banda Aceh 23001 email:
[email protected]
Beberapa wanita asal Sibreh sedang memanen padi di arael persawahan Sibreh, Aceh Besar. Meskipun hampir 30% lahan panen.
Secercah Harapan untuk Saw Mounaward Ismail Aceh Besar
[email protected]
T
ATKALA sampah dan lumpur tsunami merendam sawah, semua petani susah. Para ilmuwan pun ikut-ikutan, takut lahan pertanian tidak subur. Tapi itu bukan berarti kiamat bagi dunia pertanian Aceh. Rakyat Aceh meyakini ada hikmah dibalik musibah. Apa itu? Hijaunya rumput dibekas aliran tsunami menjadi acuan. Kendati patokan itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Namun petani meyakini apapun yang disemai akan tambah subur. Itu alasan mereka untuk optimis. Sawah bersampah Lalu bagaimana dengan sampah? Ini sebelumnya sempat dikira menjadi masalah. Belakangan bisa diatasi. Kian banyak Non Government Organization (NGO) asing yang membantu. Lewat program cash for work atau kegiatan padat karya masyarakat digaji membersihkan lahan yang rusak. Kerusakan lahan pertanian akibat tsunami tidak sedikit. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencatat; jumlah kerusakan lahan sawah di pantai barat
dan timur adalah 24.968 hektare. Kerusakan lahan tegalan di dua kawasan itu sebesar 23.675 hektare. Kerusakan itu dikategorikan dalam status berat, sedang dan ringan. Seperti dilketahui, gelombang tsunami yang menjangkau daratan sampai 7 km jauhnya telah menghantam sepertiga kawasan pertanian di Aceh dengan meninggal-
kan air garam dan lumpur laut. Hasil Penelitian New Scientist, sebuah buletin mingguan Inggris sudah melaporkan hasil riset peneliti dari Australia, Dr Peter Slavich dari Departemen Industri Utama New South Wales, Australia bekerja sama dengan peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi NAD.
Tingkat Kerusakan Lahan Akibat Tsunami di Pantai Barat dan Timur Pantai Barat
Pantai Timur
1. Jumlah Petani ● Sebelum tsunami 64.344 orang ● Sesudah tsunami 46.822 orang
1. Jumlah Petani ● Sebelum tsunami 6.640 orang ● Sesudah tsunami 6.530 orang
2. Luas Bahan Baku Sawah 23.744 ha ● Tegalan 39.835 ha
●
2. Luas Bahan Baku Sawah 5.100 ha ● Tegalan 715 ha
●
3. Kerusakan Lahan Sawah Berat 11.362 ha ● Sedang 5.732 ha ● Ringan 4.232 ha ●
4. Kerusakan Lahan Tegalan Berat 4.484 ha ● Sedang 10.290 ha ● Ringan 8.185 ha ●
3. Kerusakan Lahan Sawah Berat ● Sedang 1.075 ha ● Ringan 2.567 ha ●
4. Kerusakan Lahan Tegalan Berat ● Sedang 144 ha ● Ringan 573 ha ●
■ Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Panen di ‘Parkiran’ Sampah Maimun Saleh Aceh Besar
[email protected]
D
Laporan itu menyebutkan garam dari tsunami tidak merembes sangat jauh ke lahan pertanian padi. Melalui irigasi, tingkat kadar garam di lahan sawah akan teratasi secara perlahan, tulis New Scientist. Kendati demikian Slavich menjelaskan, masuknya air laut (salinitas) dan tebalnya endapan lumpur (sedimen) telah membuat kerusakan lahan pertanian sangat serius.
Sehingga, pihaknya harus melakukan penelitian secara khusus apalagi peristiwa tsunami merupakan yang pertama kali di dunia. Yang pasti dibutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkan kembali lahan pertanian akibat tingginya tingkat kadar garam yang dibawa bersama gelombang tsunami dan hasilnya baru dapat diketahui awal tahun 2006 ini. ■
I awal musim penghujan nanti, masyarakat Jantang, Aceh Besar akan menyiang bahagia. Lahan pertanian bekas tsunami seluas tujuh hektar, akan menghasilkan sedikitnya 56 ton jagung. Wow...! Bila bala tak mencegat ditengah jalan, kacang tanah yang ditanam dilahan seluas empat hektar pun siap panen. Praktis kebahagian mereka berlipat ganda. Kendati bantuan rumah dan jatah hidup kian redup. Siapa sangka, jika lahan pertanian yang sudah dibersihkan selebar 17 hektar – sekira 20 – 22 kali lapangan sepakbola— itu sempat menjadi ‘parkiran’ sampah tsunami. Tapi jangan ragu kesuburannya. Bak kata orang-orang ternyata rumput tetangga lebih hijau rupanya. Sudah ada yang menawar Karena “kehijauan” itulah membuat ngiler sejumlah agen. Buktinya, “Sudah ramai agen datang. Mereka menawari Rp 500 perbuah,” kata James Been, Communication & Reporting Office-Programe Concern International (PCI), LSM yang membantu Jantang. Lahan itu digarap keroyokan dalam pogram cash for work (padat karya) dengan melibatkan 237 laki-laki dan sedikitnya 82 perempuan. Dapat dikata, hampir seluruh masyarakat desa yang kini berpenduduk 324 jiwa atau 120 kepala keluarga itu turun ke sawah. PCI tak hanya membantu masyarakat kembali membersihkan lahan pertanian. Ada 165 set alat-alat pertanian juga disumbangkan, isinya; cangkul, gerobak, skop, dan tembilang. Bahkan ahli-ahli pertanian juga diboyong ke desa itu guna memberikan penyuluhan dan konsultasi. Melibatkan banyak orang Program padat karya yang dijalankan PCI mendapat sokongan dana dari United States Agency for International Development (USAID) asal Amerika Serikat.
Tak sedikit dana yang dikucurkan untuk program cash for work, menurut James Been, mencapai 1.327 juta Dolar Amerika Serikat. Jika dikurs ke rupiah dengan nilai tukar Rp 10.000, maka setara Rp 13.270.000.000. Tentu bukan hanya untuk Jantang. Ya itu tadi, dana bejibun ini dipakai buat kegiatan cash for work. “Rp 30 ribu untuk tenaga biasa dan Rp 45 ribu untuk tenaga ahli,” terang James Been soal upah yang diterima masyarakat dalam program padat karya. Saat ini PCI telah membantu masyarakat di berbagai daerah di Aceh Besar, terutama membersihkan 275 hektar tanah pertanian yang terkena tsunami. Pekerjaan berat ini melibatkan sedikitnya 5.250 laki-laki dan 3.166 orang perempuan. Mereka mengaku tidak meli-
batkan anak-anak. “Itu data perJuli, mereka yang bekerja di atas 17 tahun dan yang laik kerja saja yang dilibatkan,” ujar James Been. Siap menatap esok Katanya, lahan pertanian yang sudah bersih tidak dibiarkan ngangur, 34 hektar di antaranya sudah menjadi lahan pertanian produktif. “Ditanami lebih dua ton bibit kacang tanah, 460 ton bibit jagung, 200 kilogram bibit padi, dan 260 kilogram bibit sayursayuran,” jelas James Been lagi. Panen jagung di Jantang pertanda cash for work usai. Warga bagai menemukan kembali lahan garapan pasca-tsunami. Di situlah tempat menambat asa. Lalu, “Kita akan mulai Food Security (ketahanan pangan-red),” kata James Been. “Sekarang masyarakat panen untuk masa yang akan datang.” Begitulah! ■
Bersihkan Sawah dengan Merendam Maimun Saleh Pidie
[email protected]
P
ROF Hasan Suud, salah seorang guru besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menyarankan pemilik sawah bekas tsunami untuk tidak putus asa. Sawah bekas tsunami masih bisa ditanami tanaman alternatif. “Misalnya jagung, jenis kacang-kacangan, kedelai itu bisa. Apalagi itu jenis tanaman populer bagi masyarakat Aceh,” jelas Hasan Suud. PH 7 Masalahnya padi tak akan berumur panjang di tanah bekas tsunami karena memiliki Ph kadar asam
diatas tujuh. Kadar normal keasaman netral tanah untuk padi sendiri hanya lima dengan batas toleransi tujuh. Tetapi buat petani yang sudah tidak sabar menanam padi, sang profesor menyarankan agar sawah yang terkena tsunami direndam dulu sebelum kembali digunakan untuk menanam padi. “Harus berulang-ulang sawah direndam, kemudian airnya dialirkan,” terang Hasan Suud. “Tapi itu hanya bisa dilakukan diareal yang ada irigasi, jika tidak ada, hanya bisa menunggu hujan.” Tak jelas seberapa sering sawah harus direndam hingga dapat ditanami padi kembali. Karena, “Perlu diuji dulu, soalnya karakter tanah berbeda-beda.”■
Suara Rakyat Kecil dan Cerita Sampul bisa juga Anda simak pada program PEUNEGAH ACEH di stasiun-stasiun radio kota Anda yang didukung oleh Internews.
● Departemen Kesehatan membuka layanan pengaduan Via SMS dengan nomer 9611 untuk melayani pengaduan terkait dengan masalah kesehatan. Biaya sekali SMS adalah Rp 250.
■ HOTLI SIMANJUNTAK
Dua wanita asal Desa Ulee Titi sedang membersihak padi di areal persawahan Desa Ulee Titi, Aceh Besar. Meskipun hampir 30% lahan pertanian di Aceh hancur, beberapa wilayah lain di Aceh masih tetap bisa melaksanakan panen.
● Setiap anak sekolah di daerah yang terkena tsunami mendapatkan bantuan nutrisi berupa biscuit bergizi yang dibagikan setiap minggu oleh World Food Programe (WFP)
6
AKRAB BERSAMA LSM
CEUREUMeN
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa itu juga berlaku untuk rubrik “Akrab bersama LSM”. Mulai edisi ini kami akan membahas profil LSM yang terlibat dalam proses rekonstruksi Aceh.
CEK BANUN
PCI (Project Concern International) Minta rumah koq dikasih gambar barak
FAO (Food and Agriculture Programme)
■
Adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi masalah pangan dan pertanian. Berada di Aceh sejak Januari 2005, FAO telah berjanji untuk menghibahkan dana sebesar 10 juta dollar untuk memperbaiki pertanian Aceh paska tsunami. Bertugas mengurusi masalah pertanian di Aceh diantaranya ● Memberikan bantuan alat pertanian ● Menyediakan ratusan ton bibit padi ● Menyediakan pupuk
MAHDI ABDULLAH
Oleh Ibu Santi SAYUR lobak memang kurang populer di Aceh. Tetapi sayur ini sering ditemui di pasar-pasar di Aceh dan harganya cenderung murah. Bila pintar mengolahnya, sayur ini juga bisa mencegak stroke dan dapat melancarkan peredaran darah. Ibu Santi akan menyajikan resep sayur lobak khusus untuk Anda.
Sayur Lobak Udang Sabu
Garam secukupnya 2 lembar daun jeruk purut Cara membuat ● Udang sabu di cuci dan digongseng sampai harum ● Lobak dipotong bundar tipis ● Semua bumbu dihaluskan kemudian dicampur dengan lobak dan udang sabu dan daun jeruk dimasak ½ matang dengan santan encer ● Setelah itu tambahkan santan kental diaduk sampai mendidih dan matang.
Note: Lobak juga bisa diganti dengan kacang panjang.■
FAO juga mengurusi masalah perikanan dengan: ● Membantu perahu ● Menyediakan alat penangkap ikan
● ●
Bahan: ● 1 ons udang sabu ● 2 buah lobak ● 1 butir kelapa dijadikan santan (pisahkan santan kental dan encer) Bahan yang dihaluskan: ● 15 buah cabai rawit ● 2 buah cabai merah ● 2 siung bawang merah ● 1 ruas jari kunyit ● ½ ruas jari jahe
Alamat : Jalan Angsa no 12 Kampung Ateuk Deah Tanoh Banda Aceh Telpon : (0651) 7428576 Fax : (0651) 635636
Bagi Anda yang memiliki resep unik yang bisa dimasak dengan mudah dan enak, bisa mengirim surat ke PO BOX 061 Banda Aceh 23001. Email:
[email protected]. Cantumkan alamat lengkap. Ceuremen akan mengunjungi Anda dan melihat Anda memasak. Disediakan bingkisan kecil untuk Anda.
Melakukan penggarapan dan penanaman bibit jagung dan kacang di lebih dari pada 200 hektar are. Selain itu PCI juga melakukan program kesehatan dan program kerja padat karya. Untuk tahap pertama, PCI melakukan Beberapa program dilakukan di Kecamatan Lhoong Aceh Besar dan Kecamatan Setia Bakti Aceh Jaya. Alamat : Jalan Malikul Saleh No 11 Lamlagang Banda Aceh Telpon : 0651-25497 Fax : 0651-25497
Action Contre La Faim (Aksi Melawan Kelaparan) Organisasi ini berasal dari Perancis. Aksi yang dilakukan: ● Melakukan koordinasi dengan petani yang tanahnya terkena tsunami. ● Dan menyediakan bibit Di Calang Aceh Jaya, organisasi ini berhasil membantu masyarakat Kecamatan Krueng Sabe untuk membersihkan sawah dengan program padat karya kemudian menyediakan bibit padi jenis hibrida. Telpon : 0651-41987 Email :
[email protected]
TEKA TEKI SILANG CEUREUMeN NO 3 1
6
2
3
7
4
8
9 10
11 13
15
14 16
12
MENDATAR: 1. Keranjang yang terbuat dari rotan 3. Kata ganti milik, Ia 5. Meninggal (Inggris) 6. Musuh tanaman 8. Menyambung besi 9. Dikte 10. Lingkar dari karet yang dipasang di roda 11. Mata uang Jepang 13. ganggu 15 Telur (Inggris) 16. Sari, Pati 17. Benda cair 18. Semut (Inggris) 19. Pengetahuan
3.
Orang yang pencaharian utamanya menangkap ikan di laut 4. Berkurang karena gesekan 7. Melarikan diri, kabur 12. Nyeri pada tulang 14. Orang seorang 15. Zaman, Tarikh
Pemenang TTS Ceureumen No. 02 1. 2. 3. 4.
18
19
MENURUN: 1. Perbaikan 2. Nama Nabi
5.
Amiruddin Sigli, Pidie Helmi Fuad Banda Aceh Habas Takengon, Aceh Tengah Ulia Zahrati Bener Meriah Erlinda Lhokseumawe
Jawaban TTS Ceureumen No. 02 MENDATAR: 1. Fenomena, 5. Insani, 7. DSF, 9. JK, 10. Aki, 12. Mandor, 13. Kumpulan MENURUN: 1. Food, 2. Naif, 3. Musik, 4. Asi 6. Naik, 8. Sisa, 9. Jadup, 10. Aral, 11. Ikan, 12. MCK Anda bisa mengirimkan jawaban Anda ke PO BOX 061 Banda Aceh 23001. Bagi lima pemenang akan diberikan bingkisan yang menarik berupa Kamus Bahasa Inggris dari Ceureumen.
KAMPUNGKU
CEUREUMeN
Kecamatan Simpang Tiga, Pidie
Para Perempuan di Desa Emping
Maimun Saleh Pidie
[email protected]
SABAN pagi, suara kayu beradu dengan palu seberat 1,5 kilogram sahut-sahutan seantero Cot Jaja. Itu pertanda para perempuan di Kecamatan Simpang Tiga, Pidie ini sudah memulai peh keurupuk (buat kerupuk), usaha turun-temurun yang membuat Pidie disebut Kota Emping. “Jam tujuh sudah mulai buat kerupuk,” kata salah seorang ibu. Hanya dua pekerjaan yang digeluti perempuan di desa tertinggal ini; menerima upahan membuat emping dan mencari tiram saat air laut surut. “Semua perempuan disini buat kerupuk,” kata Salatun (24), salah seorang gadis Cot Jaja. Dikenal bule Bila bertandang ke Cot Jaja, carilah rumah Aceh milik Aminah (60) salah seorang warga setempat. Di rumah yang mulai reot itulah perempuan Cot Jaja ramai berkumpul membuat kerupuk emping. “Kalau ada bule datang kemari, pasti pergi kesana beli kerupuk,” tandas salah seorang laki-laki separuh baya saat mengantar Tabloid Ceureumen ke ‘markas’ pembuat emping. Tak hanya di rumah Aminah, perempuan Cot Jaja juga membuat emping di rumah masingmasing. Bila ada gubuk kecil di perkarangan rumah, di sana perempuan membuat kerupuk emping melinjo. Desa miskin Kendati lebih puluhan tahun perempuan Cot Jaja bergelut dengan emping, sejahtera belum dicapai. Salatun misalnya, gadis berkulit putih ini sekolahnya putus hingga SMA. “Tidak ada uang sambung sekolah,” katanya sambil terus mengetuk melinjo. Belia-belia di Cot Jaja, sudah lihai mengayuh palu meratakan melinjo. Salatun sendiri saat usianya sembilan tahun sudah jadi pembuat emping upahan. Ketika itu, motifnya hanya meringankan orang tua soal jajan. Namun hingga Ia menamatkan pendidikan terakhirnya, Salatun belum mampu membiayai sekolahnya, duit emping hanya cukup untuk jajan. “Uang sekolah masih dibayar orang tua,” katanya tersipu malu. Disapu tsunami Akhir tahun lalu, Cot Jaja sempat senyap. Para perempuannya, tidak lagi membuat emping. Tsunami penyebabnya. Tidak hanya peralatan kerja yang ‘disapu’ tsunami, sedikitnya 30 orang meninggal dan puluhan rumah punah. Kala itu Cot Jaja terpuruk, kaum laki-laki juga tidak bisa melaut. Beberapa bulan silam, Palang Merah Perancis yang prihatin, ‘menyuntik’ Cot Jaja bantuan melinjo, setiap orangnya menda-
7
■ ASRI
Nurmala, asal Desa Cot Jaja, Kecamatan Simpang Tiga, Pidie, sedang memipihkan buah melinjo sebagai bahan emping, di sentra produksi kerupuk emping. Setiap hari rata-rata pengraji kerupung melinjo mendapatkan upah Rp 10.000/ hari.
pat 15 kilogram. Tak hanya melinjo tapi juga kompor, palu, kayu tempat membuat emping, belanga, hingga sodet. Para perempuan Cot Jaja tak
menyiakan bantuan, dalam dua hari melinjo habis menjadi kerupuk. Namun sayang pendapatannya tidak dapat bertahan lama. Maklum, ekonomi masyarakat
masih morat-marit. “Habis hanya untuk belanja keluarga, tidak bisa jadi modal,” kata salah seorang tetua desa setempat. Kompor bantuan bermerek
“Keris” itu juga sempat meleduk. Kini sebagian para perempuan Cot Jaja mengunakan pembakaran dengan cara tradisional, apalagi kalau bukan menaruh belangga di atas batu yang disusun serupa segi tiga. Sementara kayu bekas dibakar di bawah belanga. Tidak menentu Kerupuk emping memang terbilang mahal. Harga terkininya mencapai Rp 22.000/ perkilonya. Tapi upah yang diterima pembuat emping di Cot Jaja, hanya Rp 2.500 untuk delapan ons melinjo yang ditumbuk. Menurut sejumlah perempuan, kaum ibu pendapatan rata-ratanya lebih rendah dari para gadis. Bukan soal diskriminasi ongkos, tapi soal waktu luang. “Kalau anak gadis tidak urus anak dan suami,” jelas Nurmala sambil tersenyum. Pendapatan itu lebih tinggi dari sebelum tsunami. Keterangan dari sejumlah ibu-ibu, upah mereka sebelum tsunami hanya Rp 1.500/ are. Upah para pembuat emping sangat bergantung dari naik atau turunnya harga melinjo. Bila harga melinjo mahal, maka upah pembuat kerupuk turun. “Kata toke (juragan-red), mereka binggung harus kasih kami berapa, salah-salah mereka rugi,” kata Nurmala. ■
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
Anita: Meringankan Beban Suami Asri Zaidir Pidie
[email protected]
P
AGI belum sempurna. Embun masih turun perlahan membasahi Desa Cot Jaja, Kecamatan Simpang tiga, Pidie. Sepagi itu, Anita Bahari, 30 tahun, sudah harus meninggalkan rumahnya.
Anita Bahari ■ ASRI
Dengan berkain sarung batik lusuh dan selendang tipis, dia menuju sebuah rumah panggung bergaya Aceh milik Aminah(60), tetangganya. Dari bawah kolong rumah, sayup terdengar suara alu bersahutan. Canda sesekali keluar dari empat orang wanita yang sedang menumbuk biji buah melinjo untuk dijadikan kerupuk emping. Sampai disana, Anita langsung mengambil posisi yang menurutnya strategis. Sebuah kompor minyak tanah, penggorengan berisi batu krikil, Alu serta talenan merupakan perlengkapan kerjanya. Sejak gadis Pekerjaan membuat kerupuk emping dari melinjo sudah digeluti Anita semenjak dia masih gadis. Maklum, selain untuk mencukupi kebutuhan hidup, menumbuk buah melinjo sudah merupakan pekerjaan turun menurun di kampungnya. “Saya membuat emping melinjo sejak dari gadis. Uangnya untuk jajan dan beli baju,” ucap Anita. Dari hasil membuat melinjo itu, Anita seharinya memperoleh paling banyak Rp.15 ribu. Namun kini pendapatan Anita membuat emping melinjo bukan hanya dipakai untuk menyenangkan dirinya sendiri saja. Dari uang jerih payahnya itu, dia harus membantu suaminya dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang dia sudah menjadi seorang ibu dari Ramayani(4), yang sebentar lagi mulai sekolah.
“ Mana cukup kalau hanya andalkan uang dari suami,” ucap Anita memelas. Husaini, 35 tahun, sang Suami hanyalah seorang buruh kasar yang kadang merangkap sebagai nelayan. Penghasilannya satu hari tak lebih dari Rp.10 ribu. Itu karena Husaini harus menyisihkan pendapatannya untuk membayar sewa perahu milik ‘ Touke’ yang dipakainya. Oleh karena itulah Anita berjuang sekuat tenaga untuk meringankan beban suami tercintanya. Buruh, bukan tauke Tugas Anita memang cukup berat. Itu belum lagi akhir tahun lalu desanya diterjang tsunami. Dan rumahnya, walau tak hancur, namun ikut pula terendam bersama air bah tersebut. Anita sedang menunggu apabila ada yang ingin memberikan bantuan untuk dirinya atau desanya. Menurutnya hingga saat ini, semua wanita yang bekerja sebagai pembuat melinjo adalah ‘buruh’ yang bekerja pada ‘tauke’. Sehingga penghasilan mereka tidaklah maksimal. Sedangkan untuk memulai sendiri usahanya, Anita tidak memiliki modal yang cukup. Karena paling tidak, untuk pertama kalinya, dia harus mampu menyediakan uang sebesar Rp. 500 ribu. Jumlah itu tentu saja besar untuk penduduk dari desa terpencil seperti Cot Jaja. “Mana ada uang segitu. Di desa ini semua orang miskin, dari 900 jiwa yang hidup disini, tidak satu pun yang jadi pegawai karena harus putus sekolah,” ucap Anita.■
SOSOK
Tak Kerasan di Daratan Mounaward Ismail Banda Aceh
[email protected]
S
EBAGAI seorang Pawang Laot, nyali Abdul Rasyid sangat teruji.Terbiasa dicandai gelombang, dan dikempang riak-riak nakal. Hidupnya selalu diselimut aroma laut. Akhinya tsunami menghempasnya ke daratan. Aduh, tak tahan! Pria berusia 52 tahun ini dilahirkan di Desa Lhoh Lampuyang, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Dia sudah 37 tahun mengarungi lautan raya. “Sejak usia 15 tahun saya sudah pergi ke laut,” ujar lelaki ini. Kemahirannya membaca cuaca, menafsir fenomena alam, termasuk tahu di mana sarang ikan membuatkan dia dinobatkan sebagai Pawang Laot. Maka tak heran jika dia menjadi akrab dengan sapaan: Pawang Rasyid. Insting bermain Sebagai “Raja” Laot kawasan Lampuyang, dia amat paham dengan gejala alam. Termasuk beberapa menit sebelum tsunami menghempang gugusan Pulo
Aceh. Instingnya berkata akan ada gelombang raya yang menghempas ke darat. “Saat itu saya melihat air krueng di Lampuyang mendidih sepanjang 600 meter. Lagee ie ju—seperti air mendidih,” katanya lagi. Setelah itu dia buru-buru pulang ke rumah seraya mengajak anak dan isteri untuk lari ke bukit. Benar saja, belum jauh mereka berlari, dalam sekejab laut “murka”. Lumpur hitam tumpah ke darat. Lalu, semuanya gelap. Pawang Rasyid sendiri nyangkut di pohon kelapa di atas bukit. Kata Pawang Rasyid, tak perlu dinukilkan lagi bagaimana suasana ketika itu. “Watee nyan, ka disurot ie, kamoe jak bantu ureung gampong. Na yang patah, luka parah, termasok evakuasi manyet selama tiga hari (waktu itu setelah air surut kami membantu orang kampung. Ada yang luka patah, luka parah termasuk evakuasi mayat selama tiga hari),” kenang suami Lailawati ini. Mengungsi ke Banda Aceh Perahunya yang diberi nama
■ HOTLI SIMANJUNTAK
Pawang Rasyid
Hidop Dame serta perahu bantuan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam untuk 50 keluarga miskin yang dia kelola selamat. Sementara sejumlah perahu kecil lain hancur ditabrak ombak ganas tsunami. Dengan perahu bantuan itu serta sejumlah perahu lain, Pawang Rasyid serta 570 warga yang selamat lainnya menyeberang ke darat. Tujuannya apalagi kalau bukan Banda Aceh, yang bisa ditempuh satu jam setengah. “Ketika itu kami langsung dibawa ke Gue Gajah,” urai dia. Satu bulan setelah tsunami, Pawang Rasyid beserta dengan lima anak buah yang kerja di kapal bantuan gubernur itu kembali ke Pulo. Mereka menyeberangkan warga yang ingin kembali ke Pulo Aceh dengan suka rela. “Ke mana disuruh antar, kami siap saja,” katanya. Berapa bayaran? Pawang Rasyid mengaku tidak memungut biaya alias gratis. Bagi hasil Lalu sejak empat bulan silam dengan perahu yang sama, mereka mengangkut material dari
8
CEUREUMeN
Nama : Abdul Rasyid alias Pawang Rasyid (52 tahun) Asal : Desa Lhoh Lampuyang Kecamatan Pulo Aceh Banda Aceh ke Pulo Aceh. Material milik sejumlah NGO itu diperuntukkan untuk pembangunan rumah warga di sana. Di desa Pawang Rasyid sendiri sudah 70 rumah yang dibangun. “Semua sudah di cat, sekarang dalam proses pemasangan instalasi listrik,” tutur pria yang juga Wakil Panglima Laot Pulo Aceh ini. Setiap satu trip mengangkut material, mereka mendapat bayaran Rp3 juta sekali jalan. “Satu hari cuma satu trip. Itupun tidak tiap hari,” sebut dia. Disebutkan ayah enam anak ini, pendapatan hasil mengangkut material itu setelah dipotong biaya operasional dibagi-bagi untuk 50 warga miskin yang memiliki boat itu. “Pendapatan bersihnya kita bagi dengan mereka, kadang-kadang
mereka bisa dapat setengah juta perorang,” tambah dia. Ingin kembali ke laut Sebagai nelayan, Pawang Rasyid nyaris tak merasakan lagi aroma laut. Dia mengaku rindu dengan suasana itu. Rasyid pun mulai tak kerasan (betah) di daratan. Ketagihan dengan laut sudah tentu, tapi bukan candu. Untuk memulai lagi melaut, dia mengaku tak punya lagi perahu yang representatif serta jaring atawa pukat. Menurut dia, mahal harganya. Membutuhkan biaya Rp 150 juta untuk itu. “Biayanya bisa lebih. Di mana kita bisa minta bantu,” katanya. Selama tidak lagi “memburu” ikan, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi dia amat bahagia bisa membantu warga lain yang pulang ke Pulo Aceh. ■
SENI & BUDAYA
Anak-anak dari Barak
Mahdi Abdullah Aceh Besar
[email protected]
B
OTOL aqua bekas disulap menjadi benda-benda yang menarik. Anak-anak pengungsi seakan terbenam dalam penciptaan suatu benda yang fungsional. Dari botol-botol plastik bekas yang telah dibuang serta tak terpakai lagi itu, berubah bentuk menjadi benda yang bisa digunakan. Mereka menariknya dengan seutas benang atau tali, membawa lari bersama-sama. Wujud mobil-mobilan yang terbuat dari botol bekas tadi, kini melaju di atas rumput. Wujud yang telah berubah bentuk itu merupakan salah satu bentuk kreasi anak-anak dari barak Krueng Raya. Di kebun kelapa yang tekstur tanah sedikit berbukit, te-
■ MAHDI ABDULLAH
patnya di daerah Meunasah Mon, Krueng Raya, Aceh Besar, anakanak yang berasal dari barak dan rumah pengungsi tumpah ruah di areal tersebut. Komplek Center anak bermain yang luasnya kirakira 1.5 hektar ini, difalitasi oleh ERM (Enfants Refugies du Monde) atau Aneuk-aneuk Pengungsi ban Saboh Donya. Dapat dikatakan lengkap dan luas. Menjiwai Sekitar 150 orang anak bermain di areal dengan baju seadanya, penuh warna-warni. Mereka bersemangat, kompak, dan akrab. Dari tempat ini mereka mencoba--tanpa disadarinya----membangun diri, selain imajinasi hasil kreasi mereka juga sengguh menarik. Kasmadi, koordinator ERM, menjelaskan bahwa anak-anak dari barak Krueng raya dilatih oleh tenaga animator yang berjumlah
mau disebutkan namanya, “Anakanak yang tidak bermain adalah anak yang mati” sebutnya, diiyakan juga oleh Fauzan dari Bangkit Aceh. Katakan dengan warna Begitulah, areal permainan (center) yang dipenuhi oleh puluhan anak pengungsi terlihat bercengkrama bersama-sama. Di sebuah dinding, tertempel selembar papan yang lebar dan panjang. Di bawahnya terdapat kotak panjang dengan lubang bulat----pas untuk memasukkan satu tangan anak-anak----di dalamnya banyak pilihan cat. Di papan ini mereka diperbolehkan menumpahkan segala uneg-uneg warna yang mereka inginkan. Katakan dengan warna! Bunyi semboyan itu. Sebuah cara mengekspresikan diri yang tak kalah penting dalam membangun citra serta keper-
cayaan diri bagi si anak. Harapan dari barak Kain bergelantungan beragam motif di sepanjang serambi, menandakan penghuninya ramai serta beragam rupa dan karakter. Warna dinding telah pudar, serta lorong tercium bau kumuh, sebuah pertanda waktu. Banyaknya sandal dan “stempel” lumpur telapak kaki di serambi, menandakan sesak penghuninya. Begitulah suasana barak di Krueng raya. Mereka masih berharap datangnya para relawan membawa secercah harapan pelipur lara untuk pemenuhan rasa seni yang selama ini terpendam, dan tak terekspresi. Bermacam acara datang silih berganti, lalu pergi. Mereka harap datang lagi. Begitu seterusnya. ■
■ IST
Anak-anak pengungsi di Krueng Raya.
12 orang yang berpengalaman. Mereka semuanya telah mengikuti training sebelum “bersatu” dengan anak-anak pengungsi di sini. Meuneuen Tampak di bawah tenda-tenda, beberapa tong plastik teronggok beragam permainan. Kita bisa membaca tulisan yang tertera di setiap tong, “Meuneuen bongkar pasang, meuneuen ngon atoran, meuneuen ngon latihan, dan meuneuen ngon lambang.” Di masing-masing tong yang terbuat dari plastik itu bisa terdiri dari ratusan permainan. “Metoda yang kita gunakan di sini adalah menjiwai suatu permainan” sebut Fitria, salah seorang animator yang juga pelatih tari bagi anak-anak pengungsi di Krueng Raya. Selain permainan modern yang di bawa langsung dari luar negeri, konon, bermacam-macam permainan ini diperoleh dari penjuru dunia, di himpun, dan dibawa ke center tersebut. Selain permainan modern dari manca negara tadi, permainan tradisional disediakan pula bagi anak-anak. Sebutlah seperti gaseng, geulayang, catou (congklak), permainan karet, dan masih banyak lagi. Tujuan untuk mengembangkan imajinasi, kreatif, serta bisa menghindar dari memori ketakutan atau trauma tsunami yang barusan saja mereka alami, bisa tercapai dengan baik. Seperti kata salah seorang fasilitator center dari Perancis yang tak
Syarifah memainkan biola di antara anak-anak pengungsi di Batoh, Aceh Besar. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama NAD.