sekali bersikap terhadap sesuatu yang kuanggap perlu disikapi. Namun beliau me larang keras aku terlalu campur tangan." "Dan bukankah itu cukup?" Risang Ontosoro memandang orang tua yang juga merupakan adik ayahnya itu dengan kesal. Bibirnya runcing merajuk. Ki Jejer Panuluh tertawa, "Anak nakal. Dahulu bukankah aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa kalau kukatakan mangga itu manis tapi kau tidak pernah mencicipinya maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sekalipun kau percaya tapi hal itu tak akan pernah berpengaruh pada perkembangan jiwamu?" "Aku tidak lupa. Aku bahkan masih ingat wajah paman serius sekali waktu mengatakan itu." "Dan sekarang kau paham bukan?" Ki Jejer Panuluh melirik keponakannya itu dengan sudut matanya, melemparkan pandang yang penuh teka-teki, sambil tak lupa mengulum senyum. "Kakak beradik ternyata sama saja. Paman tak kalah anehnya dari Ayah." Ki Jejer Panuluh tertawa, ditepuk-ditepuknya pundak keponakannya, "Memangnya kau belum lagi tahu? Bukankah setiap manusia mempunyai segi anehnya sendiri. Mungkin tidak mudah dipaham i oleh orang lain, namun itulah manusia. Ia tak diciptakan seperti kertas, yang jelas putih hitamnya, gamblang lurus bengkoknya. Manusia selalu misterius, berubah dari waktu ke waktu, seperti air ini. Dan bukankah kau juga memiliki segi keanehan tersendiri. Terus terang, selama hidupku ini tak pernah kulihat anak muda yang berani berguyon dan mengejek orang yang tiga kali lebih tua
sepertimu." Risang Ontosoro meringis ketika jari-jari tua Ki Jejer Panuluh membetot daging lengannya. "Sebelum sesorah Paman menjadi bertambah panjang, aku ingin bertanya apa yang harus kulakukan saat ini?" Ki Jejer Panuluh tersenyum. Kepalanya berpaling ke arah rawa yang bersemu kebiruan. Dua ekor burung bangau terbang rendah menyusur permukaan air. "Apa yang harus kau lakukan, maka lakukanlah." Katanya seperti bergumam kepada dirinya sendiri, "Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa bagi seorang anak muda sepertimu musuh yang paling besar adalah dirimu sendiri, dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pertarungan yang paling berbahaya adalah bagaimana mengendalikan segala hasrat di jiwa mudamu." Risang Ontosoro sudah menceburkan dirinya ke danau. Namun kata-kata Ki Jejer Panuluh masih terdengar mengalun. Seakan sebuah ilham yang memaksa masuk ke kepalanya. Hari sudah gelap ketika Risang Ontosoro berniat keluar dari tubuh danau. Setelah bercakap-cakap dengan Ki Jejer Panuluh tadi disempatkannya tubuhnya menikmati segarnya air di bawah siraman matahari sore. Baru setelah matahari berubah menjadi bola merah di langit barat, digerakkannya kakinya menuju tepi. Dengan cepat dicomotnya pakaiannya yang teronggok di tepi. Ia baru akan melompat ke jalanan ketika dirasakannya pundaknya ngilu. Lalu seluruh tubuhnya serasa mati rasa. Detik berikutnya badannya luruh ke tanah. Kiranya seseorang telah menotoknya dari jauh. Namun ilmu kepandaian Risang Ontosoro bisa dikatakan tak rendah.
Bahkan Setan Galunggung Utara dan Macan Taring Tunggal pun tak bisa meringkusnya dalam satu serangan gabungan. Siapa orangnya yang mempunyai ilmu silat demikian lihai sehingga bisa menotoknya demikian mudah, sampai dirinya tak merasakan sedikitpun hawa serangan? Risang Ontosoro tak hanya merasakan tubuhnya lemas. Perlahan kelopak matanya pun memberat. Pengaruh totokan itu ternyata tak hanya menutup simpul syaraf geraknya namun juga sedikit-dem i sedikit merampas kesadarannya. Sepenuh tenaga Risang Ontosoro memaksakan matanya untuk tak terpejam. Namun semakin ditahan semakin mengantuk rasanya. Bersamaan dengan gelapnya cakrawala, gelap juga pandangan Risang Ontosoro. ~Dewi-KZ~
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ajaib, Risang Ontosoro merasa hidungnya masih bernafas. Ketika mencoba mengalirkan hawa murni, seketika tubuhnya juga bertambah segar. Sama sekali tak ada gangguan. Yang aneh, ia sekarang tidak berada di tepi rawa. Tempat ini adalah sebuah kamar peraduan yang indah, kalau tidak bisa dibilang sangat indah. Sebuah ranjang ukuran king saze dengan kasur empuk berwarna putih bersih dan ukiran kayu yang halus terpajang gagah di tengah ruangan. Ranjang itu begitu besarnya sehingga mungkin sepuluh orang bertubuh agak gede pun bisa muat sekaligus. Disamping ranjang terdapat meja kayu berpelitur coklat. Diatasnya tersaji minuman berwarna kemerahan dengan kepulan asap tipis. Bau harum tercium semerbak. Yang paling menarik bagi Risang Ontosoro adalah sebuah jendela dengan kain sutra putih yang bening. Kepak sayap burung bercampur nyanyian perkutut terdengar riuh menembus tirai tipis.
Belum lagi kagetnya hilang, mendadak pintu bercat putih di sudut kamar terbuka tanpa suara. Tertampak dua orang gadis berumur likuran dengan gaun kebiruan dan ikat kepala sutra biru tua masuk. Salah satunya membawa semacam nampan berisi dua piring nasih putih mengepul dan sop buntut ikan yang juga masih hangat. Sedang gadis yang satu menjinjing satu baskom berisi air bersih dengan lap putih yang terlihat lembut. Kedua gadis yang tak dapat dianggap jelek itu berjalan menunduk. Dengan sopan meletakkan apa yang mereka bawa di meja kayu seberang ranjang dan dengan cepat kembali melangkah balik, menutup pintu dan hilang. Saking terbengongnya Risang Ontosoro yang biasanya seruduk sana seruduk sini itu sampai lupa untuk menanyakan dimanakah dia saat ini. Mulutnya yang terbuka bahkan belum terkatup ketika pintu itu menutup.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan setengah tak sadar Risang menowel hidungnya sendiri. Terasa masih utuh. Kalau begitu ia masih hidup. Tapi tempat apakah ini, bahkan orang tuanya pun tak pernah memperlakukan dirinya demikian istimewa. Mungkinkah ia sudah tersesat ke dunia lelembut. Dunia yang katanya dihuni oleh jutaan wanita cantik bagai bidadari, dengan pajangan dan ornamen surgawi. Tapi ia toh bukan orang yang percaya hal-hal begituan. Sebagai anak muda, ia lebih percaya kekuatan dalam dirinya. Tapi bukankah hidup selalu misterius, selalu penuh kejutan. Coba diingat-ingatnya apa yang terjadi terakhir kali. Ia ingat saat itu matahari baru separoh tenggelam, ketika seseorang menotoknya dari jarah jauh dengan serangan tanpa angin. Lalu dirinya lantas terlelap tanpa ingat apa-apa lagi.
Mengingat kembali kepandaian orang ini membuat bulu kuduknya berdiri. Sungguh tak disangkanya didunia ini begitu banyak tokoh misterius yang berkepandaian nggegirisi. Tapi tunggu, sebelum benar-benar tak sadar, sempat dilihatnya sosok dengan pakaian yang berkibar mendatangi. Ah ya, sosok itu pasti perempuan. Ia ingat rambutnya yang hitam berombak. Juga sepasang mata yang mencorong tajam itu. Tak tahu apa yang harus dilakukannya, iseng-iseng Risang mulai me lirik kepulan asap tipis dari nasi hangat disampingnya. Baru ia sadar perutnya serasa terlilit. Apalagi sop buntut ikan itu begitu merangsang. Bagi orang yang berperut kosong, ketela busuk saja sudah demikian mengundang, apalagi sop hangat yang harum seperti ini. Maka tanpa pikir panjang segera disikatnya kedua makanan itu dalam beberapa gerakan, dan dalam sedetik semuanya amblas di perutnya. Risang Ontosoro baru ingin mengeluarkan desahan puas ketika pintu putih itu kembali terbuka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kupikir perutmu tak akan puas dengan sedikit makanan ini," wanita ini memakai pakaian putih yang berkibar, berpadu dengan kematangan usia dan kecantikannya yang alami. Bukan saja wajahnya cukup cantik, selapis aura yang menebar anggun juga tampak dari sepasang matanya yang bersinar terang. Risang Ontosoro tentu saja mengenal wanita ini, sekalipun belum pernah berkenalan serasa resmi. Karena wanita ini adalah salah seorang yang memang diperhatikannya. Siapa lagi kalau bukan Pandan Kumala, istri kedua Ki Demang Kebo Sora.
Maka dia pun tertawa, "Lalu kenapa tidak kau bawakan tambahannya sekalian," seseorang kalau perut kenyang dengan sendirinya semangatnya juga berkobar. "Karena ku kuatir kau akan mati kekenyangan." "Ah, sedikit makanan ini mana mungkin membuatku mati kekenyangan." Pandan Kumala memandang anak muda ini tajam, "Sebenarnya sedikit makanan ini sudah cukup membuat sepuluh ekor kuda mati bersamaan." Risang Ontosoro pura-pura terkejut, lalu bertanya dengan nada dibuat kaget, "Apakah ada racun dalam makanan ini?" Pandan Kumala mendengus dingin, "Memangnya kau pikir kubawa kesini dirimu ini hanya untuk bersenang-senang?" Mendadak Risang Ontosoro memperlihatkan ekspresi tercekik, lalu kedua tangannya seperti terkejang-kejang. Tapi sedetik kemudian ia kembali tertawa riang, seolah itu adalah lelucon yang paling menggelikan. "Tapi aku tak percaya." Katanya ditengah tawa berderai. "Memangnya kau pikir aku sedang main-main?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tentu tidak, tapi melihat ilmu silatmu yang sangat tinggi itu, kalau kau mau membunuhku cukup dengan satu jarimu saja sudah cukup. Untuk apa repot-repot meracuniku. Apalagi perempuan setengah tua sepertimu biasanya paling suka membanggakan diri sendiri. Mana sudi kau menggunakan cara rendah seperti itu. Benar tidak?" Pandan Kumala memandang Risang tajam. Setelah mengalami penculikan yang tak biasa ini ternyata bocah ini masih bisa tertawa-tawa tanpa beban, bahkan sempat juga memaki dirinya. Sungguh ia ingin tahu sebenarnya bagaimana bentuk hati anak gila ini.
"Sekalipun kau tidak mati karena racun, tapi setiap waktu bisa saja kurenggut nyawamu dengan mudah." Dengusnya dingin. "Tak usah bicara berbelit-belit, apa yang aku inginkan dariku?" Agak terkejut juga Pandan Kumala terhadap ketangkasan bicara anak ini. Sesuatu yang membuatnya harus lebih berhati-hati. Sambil tertawa dingin Pandan Kumala berujar, "Apa yang kuinginkan darimu? Huh, memangnya kau anggap apa dirimu? Kau tak lebih hanya satu bocah cilik saja. Dengan satu tangan dapat ku pupus dirimu menjadi debu." Risang Ontosoro menatap Pandan Kumala tajam, mencoba mereka apa yang sedang berkecamuk di benak perempuan berbaju putih ini, "Kalau kau tak mengharapkan apa-apa dariku, lalu kenapa kau membawaku kemari." "Karena aku suka. Apa yang suka kulakukan akan kulakukan." Kalimatnya masih berkumandang di kamar kecil itu ketika tubuhnya hilang di balik pintu. Risang bahkan tak melihat kapan dia melangkah mundur. Gerakannya boleh dibilang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tidak terlalu cepat, namun rapi. Setiap hal seperti sudah diperhitungkan dengan teliti. Hanya orang yang sudah mencapai puncak kesempurnaan pengaturan tenaga saja yang dapat melakukan hal seperti ini. Seolah-olah biasa, namun istimewa. Angin hangat meniup kelambu di jendela kecil itu. Risang menatap jendela itu sambil terlongong. Kalau mau ia bisa saja kabur lewat jendela itu. Sekalipun pasti terdapat rintangan, dia tak pernah takut. Bahkan semakin besar bahayanya semakin
besar pula rangsangan dalam tubuhnya. Tapi hal paling menarik saat ini baginya adalah mengetahui maksud yang terkandung dalam perbuatan Pandan Kumala ini. Untuk itu ia bisa saja menyelinap dan menyelidiki bangunan ini dengan seksama. Dalam soal menyelinap dan mengintip boleh dikata kepandaiannya diatas rata-rata bocah seusianya. Namun itu bukan cara cerdik. Siapa tahu Pandan Kumala sengaja menjebaknya dalam permainan ini. Maka diputuskannya untuk menggunakan akal yang paling primitif, tapi efektif. Cara yang biasanya digunakan oleh ular sawah untuk menunggu mangsanya. Yaitu tidur. Betapapun sudah cukup diketahuinya kalau orang perempuan kebanyakan memang serba teliti, ini merupakan kelebihan tersendiri. Namun mereka juga penyakit yang sangat parah, yaitu tak tahan menunggu. Tak peduli perempuan jenis apa tak akan terhindar dari penyakit ini. Maka sambil bersiul-siul ringan dibaringkannya tubuhnya ke ranjang. Ranjang ini sangat empuk, setidaknya lebih empuk dari pada jerami busuk di kandang belakang rumahnya. Dengan sendirinya kantuknya juga datang lebih cepat. Sedetik kemudian suara ngoroknya sudah berirama. Di dunia ini sekalian batu sama kerasnya, sekalipun berlainan nama dan jenisnya. Tapi justru tidak ada manusia yang semacam. Meski jenisnya sama-sama manusia, namun setiap orang dengan orang yang lain selalu berbeda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perbedaan ini terkadang sangat mencolok, terkadang juga samar. Justru karena adanya perbedaan inilah setiap perkawinan tak ada yang mulus datar. Selalu saja ada ganjalan, bumbu pedas, asin, yang mewarnai jalannya sebuah keluarga. Dengan sendirinya wanita berbeda dengan lelaki. Lelaki pun tak pernah mau disamakan dengan wanita. Adapun Risang Ontosoro adalah tipe bocah lelaki yang lelap sekali tidurnya. Tak peduli apakah itu di atas tumpukan jerami busuk atau di kasuk empuk. Dengkurnya juga berirama. Mengalun naik turun. Saking lelapnya seolah setiap tidurnya selalu mempunyai mimpi yang indah. Maka sekalipun langit rubuh juga tak akan membangunkannya kalau ia tak mau bangun. Justru karena inilah ia tak menyadari bahwa seorang gadis dengan ikat pinggang sutra keunguan dan alis yang melengkung lentik sedang mengendap-endap di kamarnya. Ia pun tidak terbangun. Suara dengkurnya bahkan tambah keras. Seorang laki-laki kalau mengetahui seorang gadis sedang mengendap-endap dikamarnya tentu saja ia tidak akan terbangun. Bahkan kalau toh ia sedang tidak tidur akan dipaksakannya juga matanya untuk terpejam. Betapapun kejadian seperti ini kan sangat menarik. Gadis itu melangkah dengan berjingkat layaknya kucing. Berkali-kali kepalanya menoleh kesana-kemari. Sambil merunduk-runduk ia mendekati Risang Ontosoro, memandangnya lekat-lekat dan untuk beberapa saat matanya seperti awan yang tak tahan menahan air yang ditampungnya. Beberapa detik kemudian bagaikan sungai yang mengalir pelan, dua buah jalur air mengembang dari sepasang matanya yang bening.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun dalam detik berikutnya sekulum senyum menghiasi bibirnya yang mungil. Sekalipun Risang sudah cukup terlatih untuk menahan diri, namun kalau didepannya ada seorang gadis yang meneteskan air mata kemudaian tersenyum secara murni begitu, sekalipun dia masih bisa menahan perasaannya namun toh tidak akan tahan menahan penasarannya. "Memangnya kau ini sudah tersedak cabe? Sebentar menangis sebentar tertawa." Kata-kata ini sesungguhnya tak ingin diucapkannya, namun tiba-tiba saja sudah terloncat dari mulut. Gadis itu tampak berjingkat kaget, "Kau, kau .." Melihat ekspresi wajahnya itu layaknya gadis yang tiba-tiba ditemui delapan belas pelamar secara bersamaan. "Aku, kenapa aku? Apa wajahku sangat lucu?" Beberapa saat gadis itu tak menjawab. Kepalanya tertunduk ke bawah. Baru setelah menarik nafas panjang beberapa kali ia berkata lirih, "Kenapa kau tidak bilang kalau kau sudah bangun?" "Sebenarnya aku ingin bicara, namun tiba-tiba aku teringat sebuah cerita" "Cerita?" "Ya, sebuah cerita yang sangat menarik. Apa kau mau mendengarnya?" Tentu saja gadis itu tak akan menjawab tidak. Dengan santai Risang duduk di tepi pembaringan, lalu dengan gaya seorang pendongeng tulen ia mulai memainkan mimik wajahnya seserius mungkin. "Dahulu kala ada seorang pintar yang sangat lucu. Mmm, kita sebut saja ia Pak Tua Lucu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Gadis itu terlihat tersenyum sedikit. "Suatu malam, Rumah Pak Tua Lucu didatangi oleh seorang pencuri. Celingak-celinguk si pencuri mendongkel papan pintu rumah Pak Tua Lucu yang memang tak susah didongkel." ~Dewi-KZ~
Bab XIV, Lorong Tikus "Apa kau tahu kenapa pintu rumah Pak T ua Lucu gampang sekali dibobol?" Gadis itu menggelengkan kepala. "Karena Pak Tua ini memang sangat miskin. Saking miskinnya sampai kunci rumah pun tak mampu dibeli." Lanjut Risang sambil tertawa. Udara mulai mencair. Urat-urat tegang di wajah gadis itu kelihatan mengendor. "Pak Tua Lucu, yang memang tak pernah pulas bila tertidur karena tikarnya yang penuh kutu dan sangat kasar, langsung tahu akan datangnya si pencuri. Apakah kau tahu apa yang dilakukan Pak T ua itu?" "Ia menangkap si pencuri." "Apa kau yakin?" "Tentu saja." "Kalau begitu kau telah terkecoh oleh Pak T ua Lucu itu." "Kenapa?" "Karena Pak Tua itu bukannya menangkap si pencuri itu melainkan langsung menjatuhkan dirinya ke kolong tidur." "Kenapa ia tidak menangkap si pencuri itu, apakah dia seorang penakut?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Pertanyaanmu itu persis sama dengan apa yang
ditanyakan oleh istri Pak Tua Lucu begitu pencuri itu pergi." "Lalu apa jawabannya?" "Pak Tua berkata, 'Aku bersembunyi bukan karena aku takut, tapi karena aku malu'. Isterinya pun heran dengan jawaban lalu bertanya 'kenapa?'." "Aku pun merasa sedikit heran." "Maka Pak Tua menjawab, 'Karena dirumah ini tidak apaapa, sekalipun ia mencari sampai ekornya putus juga tak bakalan menemukan sesuatu yang berharga. Pada akhirnya ia pasti akan kecewa. Maka akupun merasa malu telah mengecewakannya." Gadis itu terkikik. Giginya yang putih rata bagai kuma la membuat Risang merasa ia sedang berhadapan dengan bidadari. "Apa kau Tahu maksud cerita ku ini?" Sambil meredam sisa-sisa tawanya gadis itu menggeleng. "Kuceritakan kisah Pak Tua Lucu itu Karena akupun serupa dengannya. Disini sekalipun semuanya barang berharga tapi tidak satupun yang jadi milikku. Maka sekalipun kau mencari sampai ekormu putus juga tak akan kau temukan apa yang kau inginkan. Cuma aku pun tahu seandaianya aku bersembunyi di kolong ranjang, hal itu akan semakin membuat kau keceawa. Maka aku pun pura-pura tidur." Bagai mendadak terperosok ke lubang hitam, wajah si gadis memerah dalam sekejap. Kepalanya tertunduk,"Tapi aku tidak sedang mencuri." Katanya lirih. "Dari dulu memangnya tidak ada pencuri yang memasang merek di wajahnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Tapi aku benar-benar tidak ingin mencuri." Suaranya
semakin lirih. "Memangnya kau disuruh oleh perempuan tua itu?" Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu tapi terhenti. Wajahnya mengesankan bahwa ia seperti menahan Sesuatu yang sangat berat. Risang tahu bahwa semakin ia bertanya semakin berat gadis itu untuk mengatakan rahasianya. Cara terbaik adalah menunggu. Dan benar saja, baru sebentar ia diam gadis itu sudah lantas menoleh ke sana kemari. Setelah menghela nafas panjang baru ia berkata. "Apakah kau tahu siapa aku?" "Sedikit perempuan di dunia ini yang ku kenal, itu pun sudah membuatku pusing tak karuan." "Aku adalah Adik perguruan dari Kakangmbok Pandan Kumala." Air wajah Risang menampilkan rona terkejut, "Jadi kau saudara perguruan perempuan tua itu?." "Namaku Pandan Kenanga." "Kalau kau memang saudara perguruan perempuan tua itu, kenapa kulihat kau seperti mencuri-curi datang kesini?" "Itu karena tak seorang pun boleh kesini tanpa ijin dari Kakak Pandan Kumala, tak terkecuali siapapun. Apakah kau tahu kau sedang berada dimana?" "Bolehkan aku membalik pertanyaan itu padamu?" Gadis itu tersenyum, "Ini adalah Istana Bulan Teratai." Risang tampak termenung sebentar, "Apa hubungannya dengan Istana Dasar Teratai?."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Memang ada hubungannya, tapi aku tidak boleh mengatakannya kepadamu."
Kalau perempuan sudah mengatakan tidak ingin memberitahukan sesuatu padamu, maka sekalipun sampai ekormu putus merayunya juga dia tak akan memberitahukan kepadamu. Risang tentu saja tahu dalil ini, maka dia pun mengalihkan pertanyaannya. "Jadi kenapa kau kesini?" Gadis itu menunduk, memegangi ujung bajunya dan berkata dengan rona merah di wajahnya, "Karena aku tidak ingin kau seperti yang lainnya." "Memangnya kenapa dengan yang lainnya?" Dengan ekor matanya gadis itu mengerling ke arah Risang. Pesona seperti ini sekalipun hanya sekejap namun betapa banyak lelaki yang runtuh mungkin sukar dihitung dengan angka. "Kau benar-benar tidak tahu dengan yang lainnya?" "Kalau aku tahu tak akan ku terkurung di kamar busuk ini." Gadis itu kelihatan menentramkan hatinya. Sikapnya yang malu-malu kemerahan itu sudah cukup bagi pemuda manapun untuk melupakan segalanya. "Kalau begitu dapat kuberitahukan kepadamu bahwa sebelumnya kamar ini juga terisi oleh puluhan pemuda sepertimu. Mereka bukan saja orang-orang muda yang kuat, sebagian juga termasuk pendekar muda yang perkasa." "Dan kemana mereka sekarang ini?" "Sekarang ini mereka ada di gudang bawah tanah." "Di gudang? Memangnya mereka sudah menjadi barang
rongsokan semua?" sahut Risang sambil tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tak terduga Pandan Kenanga tidak tertawa, mukanya malah bertambah serius, "Sekalipun bukan barang rongsokan namun juga sudah tak berguna lagi." "Oh?" "Karena untuk membunuh tikus pun mereka sudah tak mampu lagi." "Oh? Memangnya tenaga mereka sudah musnah semua?" "Tepatnya bukan musnah dengan sendirinya, tapi disedot habis oleh Kakak seperguruanku." Risang Ontosoro merasa kata-kata gadis itu semakin lama semakin sinting, tapi sejak awal urusan ini memang sudah gila. Terpaksa ia pun berusaha mengikuti arus yang sedang bermain. "Disedot katamu?" Pandan Kenanga mengangguk samar. "Bagaimana disedotnya?" "Disedot dengan itu.." baru tiga kalimat diucapkan wajahnya sudah memerah bak kepiting panggang. Tapi tampaknya Risang tak memberinya kesempatan. "Itu apa?" Semakin merah wajah Pandan Kenanga. Sambil menghentak-hentak kakinya ke lantai omelnya dengan gemas, "Dasar tolol, masakah kau masih tidak mengerti." Mendadak Risang Ontosoro tertawa, "Aku mengerti
sekarang. Maksud kedatanganmu kesini adalah ingin menyelamatkanku, benar tidak?" Masih dengan malu-malu Pandan Kenangan berkata lirih, "Aku hanya tidak tega melihat pemuda sepertimu berakhir dengan cara demikian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lalu apa kau akan membawaku pergi?" "Cuma tidak bisa sekarang." "Kenapa tidak bisa sekarang?. Bukankah menolong orang seperti memadamkan kebakaran, semakin cepat semakin baik? Memangnya aku harus menunggu sampai tenagaku juga disedot?" "Bukan begitu, cuma sekarang penjagaan masih sangat ketat. Padahal sekali kabur harus berhasil, kalau tidak, mungkin bukan Cuma tenagamu saja yang akan lenyap, tubuhmu juga tak akan ada lagi." Setelah merandek sejenak, kembali ia melanjutkan, "setengah jam lagi akan ada pergantian jaga, tepat pada waktu itulah kesempatan untuk kabur." "Dan bagaimana dengan perempuan tua itu?" "Ia tidak akan tahu. Karena pada waktu ini sampai dua jam ke depan ia sedang berada di kamar semedinya." Risang Ontosoro mengangguk-angguk, seperti percaya penuh terhadap ucapan gadis itu. "Setengah jam lagi kau akan kesini?" "Aku akan melontarkan batu lewat jendela itu. Waktu itu hendaklah kau juga seketika keluar. Aku akan menunggumu di luar." "Baik." Pandan Kenangan seperti hendak mengatakan hal lain lagi, tapi tidak jadi. Setelah celingak-celinguk lagi gadis cantik
berbaju ungu itu bergegas keluar kamar. Namun belum sampai di depan pintu ia sudah menoleh. "Kenapa kau demikian percaya kepadaku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang Ontosoro tertawa, "Karena aku mudah sekali percaya kepada orang lain. Apalagi kalau orang itu adalah gadis cantik sepertimu." Setelah Pandan Kenangan keluar, Risang Ontosoro termenung-menung sendiri. Sekalipun banyak hal yang tidak dimengertinya namun hanya satu hal yang dipikirkannya. Yaitu tentang Arya Dipa Loka. Ia sendiri tidak mengerti kenapa hanya masalah anak muda itu yang menarik perhatiannya. Ia seperti merasakan hubungan yang sangat dekat dengan Arya. Ketika melihatnya pertama kali di kedai teh, ia sudah merasakan hal ini. Seperti ada kesamaan antara dirinya dengan Arya. Karena itulah dari ingin memberi pelajaran, ia berbalik memberi tahu pemuda itu tentang obat pemecah dari Racun 30 hari Naik Surga. Sekarang ia tahu, Arya sudah memiliki Kitab Teratai secara utuh. Namun anehnya ia sedikitpun tidak merasa iri atau tersaingi. Padahal kalau orang lain yang mendapatkannya, sekalipun harus kehilangan ekor juga akan ia rebut matimatian. Semakin lama, Risang Ontosoro merasakan dirinya sendiri semakin aneh. Apakah ini yang disebut rahasia Takdir? Ia tinggal menanti setengah jam lagi. Terus terang ia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia begitu mudah mempercayai Pandan Kenanga. Seolah ada buhul gaib yang menariknya untuk mempercayai gadis itu sepenuhnya, sekalipun ia sendiri melihat bahwa Pandan Kenanga juga bukan gadis cilik yang polos. Tarikan wajah perempuan itu
menandakan pengalamannya yang matang. Tapi bukankah hidup ini juga amat misterius? Kemarin ia masih bercakap-cakap dengan Pamannya di tepi danau Rawa Biru. Siapa yang menduga bahwa hari ini ia akan berbaring di ranjang seempuk ini di tempat yang katanya adalah Istana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bulan Teratai? Tak pernah ia mendengar nama ini sebelumnya. Setengah jam biasanya berlalu dengan sangat cepat. Namun dalam waktu yang sangat cepat itu bukankah tidak mustahil akan terjadi kejadian-kejadian aneh lagi. Baru saja Risang akan membaringkan dirinya lagi ke ranjang, sepotong batu kecil masuk melalui jendela kecil di depan. Setelah berkerontangan sebentar, batu itu berhenti persis di kaki ranjang. Sejenak Risang berkerut alis. Bukankah belum ada setengah jam? Mungkinkah waktunya dipercepat. Dengan jari-jari kaki dicomotnya batu itu. Ah, kenapa seperti ada kertas yang membungkus. Risang membawa batu kecil itu ke depan matanya dan segera menemukan sehelai kertas membungkus batu kecil itu. Dengan rasa penasaran yang mendebarkan ia buka kertas itu. Sebuah kalimat. Kalimat yang sangat aneh. "Jangan percayai siapapun. Arya Dipa Loka." Begitu terperanjatnya Risang Ontosoro sampai tak sadar ia sudah meloncat ke sisi jendela. Dilongoknya kepalanya keluar. Tapi, jangankan orang, sebatang hidung pun tak dilihatnya. Hanya taman bunga dengan berbagai warna dan ratusan lebah yang berdengung asik. Terbengong-bengong Risang kembali memandangi kertas itu. Tulisan itu tak berubah. Matanya juga sangat sehat. Tak
mungkin ia salah lihat. Apakah benar-benar Arya yang melemparkan batu itu? Atau jangan-jangan anak muda itu juga terperangkap seperti dirinya. Tapi itu tidak mungkin. Kalau Arya terperangkap, ia tidak akan tahu bahwa orang lain juga tertangkap. Apalagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sampai mengirimkan peringatan segala. Namun kalau tidak, kenapa tidak ia sendiri menemuinya. Risang Ontosoro tertawa ironis. Pesan di kertas kecil itu memperingatkannya untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi bahkan terhadap pesan itu sendiri, ia sulit untuk percaya. Sambil meneguk air mangga yang tadi dihidangkan Risang kembali berpikir. Si pemberi pesan, siapapun itu, atau kalau itu memang Arya, mungkin sudah melihat Pandan Kenanga masuk ke kamarnya. Makanya ia berpesan untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi mungkin juga ia tidak melihat gadis itu, yang berarti keadaan di Istana Bulan Teratai ini begitu misteriusnya, sehingga entah siapapun itu, tidak bisa dipercayai. Ketika melongok ke luar jendela tadi, sekilas Risang tidak melihat siapapun. Dalam hal ini tentu saja ia paham. Penjagaan yang tidak memperlihatkan tanda-tanda jauh lebih menakutkan dari sepasukan tentara yang berbaris menoncolok. Tak terasa setengah jam berlalu. Dengan dada berdebar Risang Ontosoro menatap jendela
kecil bergorden sutra putih tipi di depannya. Dan benar saja, sepotong batu menerobos masuk. Berkerontangan, dan menggelinding ke depan kakinya. Hati-hari dijumputnya batu itu. Tak ada pesan. Kalau begitu memang dari Pandan Kenanga. Sekilas Risang menatap pesan di kertas. Setelah tertawa sebentar ia pun segera menerobos jendela. Kalau kau memasang tanda 'Jalan Pelan-Pelan' di depan rumahmu. Maka orang yang lebih tua akan berjalan pelan. Tapi orang muda dan anak-anak kecil akan berlarian seolah disitu tak ada tanda apa-apa. Bahkan segolongan remaja yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mungkin tidak kau sukai bukan saja akan berlari kencangkencang, bisa jadi mereka juga akan berteriak-teriak kepadamu. Sifat ini dinamakan sifat keledai. Semakin kau melarang seseorang, semakin orang itu berhasrat melakukaknnya. Risang Ontosoro tentu saja bukan jenis anak nakal seperti itu. Cuma ada kalanya seorang anak yang penurut pun akan menjadi sangat liar. Hal ini sesungguhnya merupakan warnawarni hidup yang berjalan indah. Taman bunga itu begitu suburnya, tapi setelah diluar baru diketahuinya bahwa gemerlap sinar yang berkerlip di setiap sudut itu bukanlah sinar matahari, melainkan berasal dari kaca-kaca yang membias. Risang memandang sekeliling. Taman ini serupa gua yang sangat besar. Ada kemungkinan terletak di perut gunung atau bawah permukaan tanah. Anehnya cahaya berwarna kebiruan yang membias dari kaca-kaca di langit-langit itu seperti bergelombang. Risang Ontosoro tak tahan untuk menyembunyikan decak
kagumnya. Begini banyak tempat menakjubkan di dunia. Betapa kebesaran dan kedahsyatan alam membawanya ke alam haru akan kasih dan pemurahnya Sang Pemberi Hidup. Setelah memperhatikan sejenak, Risang melayang ke sudut barat, dimana terlihat sebuah ceruk berongga yang mirip pintu. Masuk ke ceruk itu, barulah Risang menemukan Pandan Kenanga dengan buntalan kain di punggungnya menunggu dengan bersungut. "Kenapa lama sekali? Hampir mati aku menunggumu disini." Risang hanya tertawa. Menghadapi perempuan yang mengomel seperti ini memang cara terbaik hanya tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kita akan kemana?" "Ke neraka." Risang kembali tertawa. Selanjutnya ia pun berjalan sambil tutup mulut. Pandan Kenanga menyusuri lorong itu dengan sebatang obor kecil. Berkelok-kelok, membelok ke kiri, lalu ke kanan, lalu ke kiri. Berdebar Risang memandangi lorong yang mirip lobang tikus ini. Ia tahu, sekali ia tersesat, jangan harap akan melihat matahari terbit esok hari. "Kenapa diam? Biasanya kau cerewet sekali." "Kucing yang suka mengeong pun ada kalanya jadi pendiam." "Kau toh bukan kucing." "Makanya aku ingin bertanya satu hal padamu." "Untuk bertanya mengapa harus minta ijin segala." "Karena aku takut kau akan benar-benar membawaku ke
neraka." Setelah tertawa, kembali ia melanjutkan, "Tempat ini apakah terletak di bawah danau Rawa Biru?" Pandan Kenanga menghentikan langkahnya, menatap Risang dengan matanya yang jernih, untuk kemudian kembali melangkah. "Kenapa sekarang kau yang diam?" "Dari mana kau tahu kalau tempat ini terletak di bawah danau Rawa Biru?" "Jadi benar rupanya." "He, kau belum menjawab pertanyaanku." "Ku jawab nanti kalau perutku kenyang." Ujar Risang santai sambil tertawa lepas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Lorong tikus ini benar-benar panjang. Sampai pegal kaki Risang belum juga Pandan Kenanga menghentikan langkahnya. Kalau kau ingin berjalan jauh tanpa merasa lelah maupun bosan, ada satu hal yang bisa kau lakukan, melamunlah. Risang Ontosoro sendiri tak sepenuhnya mengerti perbedaan melamun dan berfikir. Baginya semuanya itu satu. Dengan melamun ia bisa melihat dunia dengan arah yang ia tentukan sendiri. Melihat darah bukan sebagai kesedihan, mendengar burung bukan sebagai riuh yang mendatangkan uang. Dengan melamun ia jadi mengerti tentang sendiri yang ramai, atau riuh yang sunyi.
Ketika melihat batu-batu yang berkerut, ia suka membayangkan nenek tua yang tertatih menyapu halaman. Kerut di batu itu, bungkuk di nenek itu, mungkin sebuah toreh akan masa silam yang bisa jadi tak selamanya menyenangkan. Tapi ia lebih suka memandangnya sebagai hasil pengalaman yang mahal, yang entah itu menyedihkan atau menyenangkan, namun tetap harus dihargai. Maka ia suka bercakap-cakap dengan nenek tua, atau berbaring di kerut batu. Kini Risang mencoba melamunkan wanita yang berjalan di depannya. Perempuan ini tak mungkin sangat muda, tapi juga tak menampakkan tanda ketuaan. Seolah ia adalah guji kaca yang selalu di gosok, tak peduli berapa usianya, tetap nampak cemerlang. Dilihat dari langkah kakinya yang tenang, sama sekali tidak mirip orang yang sedang melarikan diri. Buntalan kain yang terbungkus asal-asalan, dan raut wajah yang jauh dari cemas, sungguh Risang harus mengakui kalau dirinya akhir-akhir ini mudah sekali tertipu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mungkinkah pesan dari kertas misterius itu benar adanya, bahwa tak ada yang dapat dipercayai di Istana Bulan Teratai ini? Toh nasi sudah kepalang tanggung. Untuk kembali kesana
jelas tak mungkin. Maju berarti masuk perangkap orang. Tak sadar Risang Ontosoro kembali tertawa ironis. "Ada apa kau tertawa? Apa teringat cerita lucu lagi?" "Apa kau mau mendengarnya? Tapi sekalipun kau tidak mau mendengarnya aku akan tetap bercerita, karena cerita ini benar-benar lucu." "Apa tentang Pak Tua Lucu lagi?" "Ya, tapi namanya bukan lagi Pak Tua Lucu" "Lalu siapa namanya?" "Namanya sekarang adalah Pak Tua Konyol." "Pak Tua Konyol? Hehe, kurasa nama yang pertama jauh lebih baik." "Sebenarnya ia pun lebih suka namanya yang pertama, tapi Karena sebuah kejadian konyol, maka ia pun terpaksa mengganti namanya." "Kejadian apa?" "Suatu hari Istri Pak Tua Lucu kaget setengah mati ketika mendapati satu karung uang perak di depan rumahnya. Tentu saja Pak Tua Lucu terlebih kaget lagi." "Satu karung uang? masa uang pun dihitung dalam jumlah karung?." "Ya, makanya Pak Tua Lucu pun mulai menyangka nasibnya akan berubah. Peruntungannya sebagai orang miskin dirasakannya mulai hilang pamornya. Maka dia pun membawa sekarung uang itu ke pasar. Ingin dibelinya segala benda yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ selama ini hanya dapat dilihatnya, sekaligus ia ingin memproklam irkan dirinya menjadi orang kaya." "Ide yang bagus." "Tentu saja itu sebuah ide yang bagus, tapi ide yang bagus pun ada kalanya tidak berjalan mulus."
"Kenapa?" "Karena di tengah perjalanan ia bertemu dengan si Penipu Wajah Putih." "Penipu berwajah putih?" "Ya. Orang-orang menamainya demikian karena sekalipun ia selalu menipu, tapi korban yang ditipunya tak pernah menyangka bahwa ia penipu. Karena itulah ia dinamakan Penipu Wajah Putih. Kalau boleh dikatakan ia adalah jenius penipu yang tidak muncul sekali dalam tiga generasi." "Ketika Penipu Wajah Putih melihat Pak Tua Lucu membawa karung yang kelihatan berat, dengan matanya yang tajam ia sudah melihat kilatan uang perak di karung itu. Maka ia pun mulai memasang tampang sebagai seorang saudagar yang sangat kaya. Penipu Wajah Putih berkata, "Pak T ua, apa kau ingin uang di karung itu bertambah lima kali lipat?" Pak Tua pun berkata, "Tentu saja.""kalau begitu berikan uang itu padaku, akan ku belanjakan kain sutra yang terbaik dari negeri cina kemudian kau akan menjualnya dengan harga sepuluh kali lipat. Kau akan mendapatkan setengah untungnya." "Kalau hanya dengan perkataan itu Pak Tua Lucu benarbenar percaya kepada Penipu Wajah Putih, kurasa ia benarbenar konyol. Bukan saja konyol tapi juga sangat tolol." "Sebenarnya Pak Tua Lucu pun tidak begitu saja percaya kepada Penipu Wajah Putih. Namun mau tidak mau ia harus percaya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Oh?" "Karena ia melihat golok tipis berkilat perak di pinggang Penipu Wajah Putih. Dan ia sangat tahu kepandaian kedua dari Penipu Wajah Putih selain menipu adalah memainkan
golok tipi s itu." "Maka ia pun percaya." Risang Ontosoro tertawa. Cara tertawanya juga unik, seakan-akan rubah cilik yang ditipu mentah-mentah oleh seekor ayam. Sekalipun samar, sempat juga Risang me lihat bahu Pandan Kenanga bergetar. Mereka tiba di depan jalan buntu. Atau tepatnya sebuah lempeng batu yang seakan dipapas halus. Pandan Kenangan mengeluarkan kunci berkilat keemasan dari dalam ikat pinggangnya, memasukkannya ke lubang di sudut bawah, memutarnya beberapa kali dan lempeng batu itu segera berderak. Membukanya lempeng batu itu membuka satu dunia baru yang sama sekali berbeda. Ruangan ini tidak terlalu besar, namun cukup luas juga. Yang istimewa adalah seluruh terang di ruangan ini berasal dari puluhan perabot bersinar keemasan yang dipajang di setiap sudut. Ranjang kukuh yang berkilat keemasan. Kasur bersulam emas. Cawan yang memantulkan bias keemasan. Pendeknya, ruangan ini seakan ditatah dari bongkahan emas raksasa yang tiba-tiba muncul dari bumi. Risang tidak pernah melihat emas sebanyak itu. Juga tidak pernah membayangkannya. Di ujung ruangan yang berbentuk seperti rongga alam itu terdapat mata air yang bergemericik lirih. Yang unik,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ gelombang air yang meriak di genangan air mungil ini juga membias keemasan. "Ruangan ini disebut Lanskap Emas Bawah Bumi.
Merupakan salah satu tempat larangan di Istana Bulan Teratai ini." "Nama yang bagus." "Bukan saja namanya bagus, jalan ke sini juga sangat berbahaya." "Maksudmu lorong tikus itu?" "Kau menyebutnya lorong tikus, tapi seandainya kau tidak bersamaku, badanmu mungkin tidak akan utuh lagi sebelum kau melalui kelokan yang pertama." "Tadi bukannya kau mengatakan kau akan menyelamatkanku dari perempuan tua itu?" "Dan bukankah aku sudah menyelamatkanmu?" "Tapi kau hanya membawaku dari satu ruangan ke ruangan yang lain." "Ruangan ini adalah tempat terlarang di Istana Bulan Teratai. Tidak akan ada orang yang berani masuk kesini, juga tidak akan ada yang berpikir bahwa kau akan lari ke sini." "Juga tidak akan ada yang berpikir bahwa kaulah yang mengajakku ke sini." ~Dewi-KZ~
Bab XV, Buhul Darah Pandan Kenanga hanya tersenyum. Diletakkannya buntalan pakaiannya ke pembaringan. Tubuhnya berputar ke sudut sana, menyulut dupa. Harum menyebar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meski Risang juga seperti manusia lain yang suka dengan bau harum, tapi entah kenapa tubuhnya yang terlatih dengan Panca Rasa merasakan sesuatu yang berbeda dalam bau harum ini. Sesuatu yang membuatnya bulu kuduknya berdiri. Selesa i menyulut dupa, Pandan Kenanga menghilang ke sebuah pintu kecil. Ketika muncul kembali, saat itulah Risang Ontosoro seakan merasakan dirinya terjatuh ke sebuah lubang hitam. Yang ia lihat sekarang adalah seorang wanita yang sangat cantik, dengan daya tarik kental memancar dari seluruh bagian tubuhnya. Semacam kecantikan yang membuat lelaki jenis apapun mabuk kepayang. Sejenis daya tarik yang membuat lelaki macam apapun bersedia berbuat apa saja untuk sekadar memegang tangan si dia. "Kau bisa sampai di tempat ini dalam keadaan sadar, sungguh membuatku harus kagum padamu." Kata-katanya meluncur seolah pesona embun yang menetes dari kelopak mawar merah segar. Risang tertawa. Ia memang mempunyai semacam penyakit, bahwa dalam keadaan yang paling genting, ia akan tertawa. Tentu saja ia sudah tahu dengan jelas keadaan apa yang sedang dihadapinya sekarang. Ia pun tahu siapa yang rubah siapa yang ayam. "Bukankah kau yang menuntunku kesini?" Pandan Kenanga tersenyum, sekali lagi pesona yang memabukkan tersebar, "Sekalipun begitu, bahwa kau tidak berbuat macam-macam dengan berjalan di belakangku, itu sudah merupakan prestasi tersendiri." "Oh, aku mengerti sekarang." "Katakan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mula-mula kau merayu semua pemuda yang ada ditempat ini dengan datang ke kamarnya. Seorang perempuan kalau sudah berani datang ke kamar pemuda memangnya apa yang dia inginkan kan sudah jelas?" "Dan kau ternyata cukup kuat untuk tidak tergoda." "Kalau itu gagal, kau akan mengajak mereka melarikan diri dengan menyebarkan isu tentang Penyedotan tenaga itu dan kau rayu mereka di perjalanan dengan kata-katamu atau gerakan tubuhmu." Pandan Kenangan kembali tersenyum, "Tubuhmu sangat bagus, otakmu ternyata juga tidak jelek." "Kalau itupun gagal, kau masih punya jurus terakhir. Yaitu dengan dupa perangsang birahi itu." "Aku harus kagum terhadap kepekaan tubuhmu, tapi harus kuingatkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan menolongmu ke sini." "Oh?" "Karena tempat ini memang tempat terlarang." "Memangnya tempat apa ini?" Pandan Kenanga tersenyum, jarinya yang panjang lentik menyibak anak rambut yang terurai di dahi, "Ini adalah kamar peraduan dari Putri T eratai Kumala." Risang melenggong, "Pendiri Istana Dasar Teratai?" "Oh? Kau juga tahu tentang dia?" Putri Teratai Kumala dipandang sebagai salah satu keajaiban dunia persilatan. Hanya orang tuli saja yang tidak pernah mendengar namanya. "Dan di kamar tokoh legendaris ini lah kau mengerjai semua pemuda yang kau temui." Kata Risang dengan nada ironis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kenanga tertawa geli, "Aku tidak serakus itu. Aku hanya penujui pemuda yang cocok dengan seleraku." "Untuk kau sedot tenaganya?" "Kau benar-benar pintar. Dan sekarang kau sebaiknya tidak melakukan perlawanan. Meskipun kuakui kekuatan hatimu untuk tidak tergoda, tapi dupa yang kau sedot itu sudah mengunci jalan tenaga murnimu. Sekali kau mengerahkan hawa murni, sembilan nadi di dadamu akan pecah." Senyum kepuasan mengembang di wajah Pandan Kenanga. Semacam senyum yang muncul ketika seekor kucing berhasil mempermainkan tikus diantara cakar-cakarnya yang lembut namun tajam. Mendadak Risang Ontosoro tertawa. Suara tertawanya bahkan cukup keras. "Apa yang kau tertawakan?" Seekor tikus yang sedang terjepit tidak akan tertawa sekeras ini. "Kau mengatakan diriku pintar, tapi didalam hati pasti kau menganggap dirimu jauh lebih pintar dariku." Pandan Kenanga diam mendengarkan, juga membenarkan. Jujur saja, ia memang menganggap dirinya cukup pintar, lagi pula sangat menarik. "Tapi apa kau tahu bahwa seorang yang menganggap dirinya terlalu pintar kebanyakan adalah orang tolol yang harus dikasihani?" "Apa yang ingin kau katakan?" senyum di wajah Pandan Kenanga mulai membiaskan kebengisan. "Kuceritakan kau kisah Pak Tua Tolol Konyol dan Penipu Wajah Putih itu. Dalam terkaanmu, siapakah yang tertipu?" Anak muda ini dengan santainya malah menanyakan cerita karangannya itu. Sungguh Pandan Kenanga harus mengakui kalau Risang Ontosoro memang lain dari yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun karena merasa penasaran, juga yakin pemuda itu tak akan terlolos dari tangannya, dijawabnya juga pertanyaan Risang, "Tentu saja si T ua Tolol itu." Tawa Risang semakin berderai, "Kalau begitu kau lebih tolol dari dia." Wajah Pandan Kenanga memerah sengit, selama hidupnya tak pernah ada orang berani memakinya terang-terangan di depan hidungnya begitu. Dengan santai Risang melanjutkan, "Sekalipun Pak Tua itu sering konyol dan bertindak tolol, tapi kecerdasannya tidak dibawah orang lain. Bahkan sebagian sahabatnya menganggapnya seabagai seorang jenius yang jarang ada bandingannya. Justru karena kejeniusannya itulah sering orang tidak paham dengan apa yang dia lakukan. Di dunia ini kan banyak orang jenius yang dianggap tidak waras." "Sebelum ia menemukan sekarung uang di muka rumahnya itu, ia te lah bertaruh dengan salah seorang sahabatnya bahwa ia sanggup menangkap basah si Penipu Wajah Putih. Maka ia pun memasang trik demikian. Dipinjamnya uang dari pengadilan negeri dengan jaminan ia akan menangkap basah si Penipu Wajah Putih berikut barang buktinya. Maka ketika Penipu Wajah Putih melarikan karung itu, sepasukan tentara telah mengikutinya dan menangkapnya seperti tikus got yang masuk perangkap." "Lalu untuk apa kau ceritakan cerita tolol itu?" Risang Ontosoro memandang perempuan itu tajam,
ucapnya sekata demi sekata, "Karena kau pun serupa dengan Penipu Wajah Putih itu" Dada Pandan Kenanga mulai mengombak. Kepalannya mengencang. "Maksudmu ada orang yang mengikutiku?" "Wajahmu cantik, otakmu pun tidak jelek."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mendadak Pandan Kenanga tertawa. Semakin lama, semakin melengking tertawanya. "Kau pikir aku akan mempercayai ucapan tololmu itu, tempat ini terjaga dengan delapan puluh satu macam rintangan, semut pun tidak akan sanggup masuk ke sini?" "Termasuk Pandan Kumala?" Pundak Pandan Kenanga tergetar, "Dalam dua jam ke depan ia tidak akan keluar dari sanggar semedinya. Kebiasaan itu tak pernah berubah dari sepuluh tahun yang lalu." Risang Ontosoro terdiam, ditatapnya sepasang mata Pandan Kenanga dengan tajam, "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu." "Katakan." "Seseorang sebaiknya tidak menganggap tolol orang lain. Karena di dunia ini tidak ada yang perkiraan yang pasti terjadi. Tak ada terkaan yang pasti benar." Otot-otot hijau mengencang di kepalan Pandan Kenanga. Risang Ontosoro sebaliknya tetap santai. Dengan seenaknya dijatuhkannya tubuhnya ke kasur empuk. Dengan suara serak malas dia menggumam, "Kalau tidak keluar sekarang, memangnya mau tunggu sampai ekormu putus?" Tak ada jawaban. Sunyi yang hening.
Mendadak atap kamar berderak. Lalu seperti terangkat oleh Sesuatu, lempengan berbentuk lingkaran di atap kamar itu membuka ke atas. Detik kemudian bagaikan daun kuning yang luruh sesosok berpakaian putih berkibaran melayang turun. Siapa lagi kalau bukan Pandan Kumala. Pandan Kenanga tersurut mundur. Tak tersangkanya kail yang dilemparkannya malah tersangkut mulut sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pandan Kumala memandang adik seperguruannya dingin. Sinar matanya seperti sembilu yang tajam mengiris. "Sudah kuduga kaulah si pembuat onar. Kau rakus terhadap kecantikan, diam-diam kau praktekkan resep sesat yang ditulis Iblis Tinju Neraka. Selama ini entah berapa puluh pemuda yang jadi korbanmu, kalau aku tidak bertindak sepantasnya, sungguh aku malu terhadap diriku sendiri." Kamar itu sekalipun terbuat dari emas, namun siapapun yang berada didalamnya saat ini sama sekali tak merasakan kehangatan dari mutu manikam itu. Meski terlihat bias jeri di wajah Pandan Kenanga, namun sikapnya masih tenang, "Kalau kau sudah tahu akulah orangnya, kenapa tidak kau bunuh aku dari dulu?" "Tidak kubunuhmu karena aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan. Harus ku cari bukti terlebih dahulu. Hanya orang berdosa yang pantas dihukum. Ini adalah peraturan perguruan kita turun temurun, memangnya otakmu sudah lamur?" Tiba-tiba Pandan Kenanga tertawa, dengan tarikan wajah yang sulit dimengerti ia berteriak sumbang, "Kau berbicara tentang peraturan dan dosa. Memangnya matamu hanya dapat melihat orang lain dan tak bisa mengenali diri sendiri? Memangnya perbuatanmu di Dipa Saloka belum cukup untuk
memasukkanmu ke tiang gantungan?." Pandan Kumala terdiam. Anehnya ia seperti tidak bermaksud membungkam mulut adik seperguruannya itu. Pandan Kenanga kembali meraung, "Kau pikir tidak ada orang yang tahu perbuatanmu terhadap Dyah Surya? Persekongkolanmu dengan Iblis Kepala Besar dan usahamu untuk mencaplok mustika Kepala Naga?" Dengan nafas tersengal Pandan Kenanga melanjutkan, "Dalam peraturan nomor satu Guru melarang semua anggota
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ perguruan untuk ikut campur urusan Tiga Istana Abadi. Siapapun yang melanggarnya harus dibunuh. Memangnya otakmu sudah mati?" "Sudah selesai kau bicara?" pandan Kumala berujar dingin, sama sekali tak terlihat perubahan emosi di nada suaranya."Kuberi kau kesempatan melawanku. Kalau aku mati, kau bisa bebas. Tak ada yang tahu urusan ini selain orang yang berada di kamar ini." "Ku tahu aku tidak akan mampu melawanmu. Tapi aku sudah cukup puas bisa mengatakan apa yang ingin ku katakan. Seseorang bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan. Sekalipun perempuan sesat sedikitnya aku masih murid perguruan Bulan Teratai. Nah silahkan." Kata-katanya ternyata cukup tegar. Sampai Risang pun tak mengira bahwa dalam situasi terjepit seperti ini wanita ini masih bisa berucap gagah. Mau tak mau timbul juga rasa sayang dihatinya. Tangan kanan Pandan Kumala bergerak. Sinar perak berkelebat seperti kilat di tengah kegelapan. Entah dari mana sebilah pedang lantas terhunus. Dalam waktu yang hampir bersamaan pedang itu sudah sampai di dada Pandan Kenanga.
Pandan Kenanga memejamkan matanya. Kepalannya terkepal kencang. Air mata menetes seperti embun yang menitik dalam fajar yang remang. Namun begitu kepalanya tetap tegak. Air mukanya tetap keras. Darah merembes di badan pedang. "Ilmu Pedang Pelangi Satu Warna," gumam Risang setengah terkejut. Setahunya ilmu pedang itu milik Istana Dasar Teratai. Namun melihat beberapa perkataan Pandan Kenanga tadi agaknya memang ada hubungannya antara Istana Bulan Teratai dengan Istana Dasar Teratai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Benar, inilah I lmu Pedang Pelangi Satu Warna, bagaimana pendapatmu?" dengus Pandan Kumala. Pedang ditangannya tadi sudah hilang entah kemana. "Sangat bagus." Risang memuji setulus hati. Penguasaan ilmu pedang yang dipamerkan Pandan Kumala tadi memang mengagumkan. Kecepatan yang tak tertandingi. Keganasan yang tak ada bandingannya. Sekali menusuk langsung meminta nyawa. Tak ada variasi, tak ada basa-basi. Risang Ontosoro memandang tubuh Pandan Kenanga yang terbujur dengan bunga darah yang mengembang, pelanpelan. Betapa cantiknya seseorang, tapi kalau sudah tak bernyawa lagi, siapakah lagi yang bersedia mencecap keindahannya. Betapa eloknya sekuntum bunga, kalau sudah gugur tertiup musim, adakah kumbang yang bersedia memungutnya. Kemudian ditatapnya Pandan Kumala yang tampak termenung-menung. Cahaya mata anak
muda ini menampilkan sorot yang amat aneh. Ia tidak berkata. Ia pun tak ingin merusak suasana sunyi ini. Akhirnya Pandan Kumala yang memecah hening, "Apa kau tahu kenapa tidak ku bunuh dia?" Risang diam mendengarkan. Ia pun tahu sekalipun darah merembes keluar dari dada Pandan Kenanga, tapi luka itu hanya dikulit luar. Tak sampai memecah jantung. "Karena seorang kalau sudah berhadapan dengan kematian tapi masih tetap tegar, maka orang demikian, bagaimanapun perbuatannya, kuanggap tak pantas dibunuh." Pandan Kumala melanjutkan dengan suara setengah serak, namun tetap dingin. Hujan tak selamanya menakutkan. Matahari tak setiap kali menyilaukan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang Ontosoro menatap matahari yang berkerlip kemerahan. Cahayanya hangat. Di depannya tersaji teh hangat. Perasaannya pun sudah terlebih hangat. Setiap kali disaksikannya sifat kebaikan manusia hatinya selalu merasa hangat. Pandan Kumala boleh jadi salah seorang yang akan jadi lawannya. Namun toh itu urusan kelak. Y ang penting sekarang ia bisa melihat bahwa perempuan itu masih menyimpan sifat yang menghangatkan. Setidaknya ia masih sebagai manusia yang bertindak sebagai manusia. Pandan Kumala sendiri memandang anak muda itu lekatlekat. Cahaya matanya menyorotkan bias unik. Semacam kasih sayang yang murni, yang bersih dari birahi.
Tetes hujan yang terang menitik di lembar-lembar daun. "Bagaimana kau tahu kalau aku mengikuti kalian?" "Aku tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa kau menangkapku bukan karena aku sebagai diriku sendiri. Kau hanya menjadikanku umpan." Pandan Kumala mengangguk, "Benar, aku memang hanya bermaksud menjadikanmu umpan, tak peduli kau adalah siapa." "Makanya sebenarnya kau tidak bermaksud menangkapku sebagai Risang Ontosoro. Tujuanmu hanya mencari seorang pemuda yang dapat kau jadikan pancingan." Risang memandang perempuan setengah baya itu dan tertawa, "Setelah kesimpulan awal ini tentunya tidak sulit untuk menebak bahwa seorang yang memancing tidak akan meninggalkan umpan yang dilepaskannya." "Rupanya aku cukup beruntung menemukan pemuda sepintar dirimu." "Kau untung, aku konyol."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kau pun cukup beruntung. Setidaknya aku tidak membunuhmu setelah aku tahu bahwa kau adalah Risang Ontosoro." "Ya, sebenarnya aku pun cukup heran kenapa kau tidak membunuhku?" Pandan Kumala tersenyum aneh. Perlahan tubuhnya membalik. Angin danau mengibarkan pakaian putihnya hingga sosoknya tampak seperti dewi yang turun dari kahyangan. Risang Ontosoro memandangi kepergian Pandan Kumala dengan tatapan hangat. Perlahan kepalan tangannya membuka. Kertas itu masih ada di tangannya. Kertas dengan tulisan tertanda Arya Dipa Loka.
Secarik kertas itu mengandung pesan bahwa tak seorangpun di Istana Bulan Teratai yang dapat dipercaya. Namun agaknya satu-satunya hal tidak dapat dipercaya adalah pesan itu sendiri. Matahari sebentar lagi tenggelam. Tapi Bulan sudah mengintip di ujung ufuk. Sekalipun manusia kerap menjumpai keputus asaan, harapan tak pernah benar-benar tenggelam. ~Dewi-KZ~ Di senja yang sama. Jalanan itu begitu ramainya sehingga suara sendiri pun sulit terdengar. Disini orang berteriak menawarkan dagangannya, disana orang melakukan pertunjukan monyet ogleng. Gerobak sapi dan kereta kuda saling berpapasan. Sesekali terdengar umpatan. Bermacam orang bercampur, bermacam suara teraduk. Tapi dari berbagai macam hal itu hanya satu yang menarik perhatian Arya. Seorang bocah yang terlihat sinting sedang terlongonglongong melihat pertunjukan sirkus monyet. Sekalipun semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang sama tertawa, anehnya bocah itu seperti tak menganggap bahwa pertunjukkan itu lucu. Tarikan wajahnya datar saja. Seakan yang dilihatnya adalah sebatang pohon tua yang sedang ditebang. Disamping bocah itu berdiri seorang cebol dengan kepala diatas rata-rata. Kebalikan dari si bocah sinting, berkali-kali gelak tawanya terdengar keras, berbareng dengan tepukan tangannya yang nyaring. "Minggir," seorang penunggang kuda dengan pakaian bagus memelototkan matanya ke arah Arya yang memang berdiri di tengah jalan. Orang itu mengangkat pecut kudanya
ke atas, seolah seorang bapak yang ingin menghukum anaknya karena tidak makan obat. Arya segera melangkah ke pinggir. Mendadak sebuah suara merdu mengagetkannya, "Hei, bukankah kau anak muda itu?" Ketika Arya berpaling, seraut wajah cantik dengan pakaian khas kota raja tampak memandangnya dengan gembira. Ketika matanya menatap laki-laki penunggang kuda tadi kembali seraut wajah yang sudah dikenalnya, Braja Lelana. Dengan sendirinya perempuan berkuda disampingnya adalah Sukma Maningrum. Braja Lelana pun kelihatan terkejut, "Arya Dipa Loka!!" dengan cepat tubuhnya sudah meloncar turun, "Maafkan aku terhadap sikapku tadi." "Tapi ditengah jalan begitu kau terlihat terbengongbengong, maka aku menyuruh Kakang Braja Lelana untuk menegurmu." Arya tertawa, "Setidaknya aku tidak sampai berkenalan dengan pecut di tangan Kakang Braja Lelana." Braja Lelana tertawa, "Tentu saja tidak, bahkan kalau aku benar-benar menggunakan tenagaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa yang kau lakukan disini?" Sukma Maningrum bertanya dengan antusias. Pemuda itu memang telah menarik perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu. "Seharusnya kau tidak menanyakan itu. Seorang pengelana seperti Arya akan dapat kau jumpai dimana saja." Braja Lelana menegur. Bibir Sukma Maningrum segera mengerucut, "Siapa suruh kau bicara. Memangnya aku bertanya kepadamu?" Arya tertawa. Pertemuan tak terduga ini benar-benar menjadi pelepas urat saraf baginya setelah beberapa waktu
mengalami kejadian yang menegangkan. "Aku hanya mencoba melihat keramaian di Jatingaleh ini." "Ya, jika kau ingin berkumpul dengan orang, Jatingaleh adalah tempat yang tepat. Disini dapat kau jumpai orang dari berbagai macam bentuk dan jenis." "Termasuk jenis orang yang suka campur pembicaraan orang lain sepertimu." Tukas Sukma maningrum cepat. Arya tertawa. Dua kali mereka bertemu dan suasana diantara kedua suami istri itu tetap riang jenaka. "Kulihat pucat di wajahmu semakin berkurang, tampaknya kau semakin sehat akhir-akhir ini?" perkataan Braja Lelana boleh jadi hanya sapaan akrab seorang sahabat, namun Arya merasakannya dengan penuh minat. Bukan saja pucat di wajahnya semakin berkurang, semangat di dadanya pun semakin berkobar. "Atau kau sudah menemukan bunga cantik yang pantas kau seduh madunya?" tukas Suka Maningrum dengan kerling menggoda. Arya tertawa. Entah kenapa bayangan Arum Puspita mendadak lewat di benaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kusarankan bila kau mencari jodoh, carilah yang sedikit pendiam. Isteri yang cerewet akan membuat hidupmu tak karuan." Braja Lelana berkata dengan tubuh sedikit didoyongkan ke depan dan suara setengah berbisik. Kontan Sukma Maningrum mendelik gusar. Tapi mendadak matanya menunjukkan ekspersi terkejut. "Ada apa? Apa sebutir telor masuk ke tenggorokanmu?" Sukma Maningrum tidak menjawab. Paras mukanya serius. Perlahan tangannya meraba gagang pedang yang tercekal di tangan kirinya.
Braja Lelana sedikit heran dengan perubahan muka isterinya. Seingatnya hanya dalam waktu tertentu saja paras mukanya isterinya bisa berubah begitu serius. Ketika matanya memandang arah yang dilihat isterinya, paras mukanya mendadak menampilkan ekspresi tegang, "Setan Kepala Besar," desisnya. Yang tak berubah adalah paras muka Arya. Tenang dan tetap menampilkan senyumnya yang khas. Ia pun tak bergerak ketika perlahan-lahan suami isteri itu mendekati Setan Kepala Besar yang sedang asik menonton pertunjukan tari monyet. Setan Kepala Besar yang berdiri seenaknya sambil satu tangan mencekal tangan kanan Gagang Gerhana agaknya merasakan hawa pembunuhan yang mendekat. Tanpa menoleh, tubuhnya mendadak terapung ke udara, melewati jajaran orang-orang dan dengan ringan hinggap di ujung jalan tepat ketika dua batang pedang menusuk punggungnya. Gerakannya yang tepat itu menyelematkannya dari serangan gabungan Braja Lelana dan Sukma Maningrum. Walaupun begitu samar-samar dirasakannya punggungya perih. Agaknya ujung kedua pedang itu sempat menyerempet kulit punggungnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setan Kepala Besar menyipitkan matanya, lekat mengamati kedua penyerangnya. Braja Lelana maupun Sukma Maningrum juga menatap tajam sosok berkepala besar itu. Tak ada kata diantara mereka. Beberapa detik ketiga orang itu bersitegang dalam diam. Mengamati lawan, mencari lubang kelemahan. Braja Lelana memegang gagang pedangnya erat-erat. Perlahan butiran keringat merembes di dahinya.
Ia sudah mengenal iblis ini, sebagaimana Setan Kepala Besar sudah mengenal mereka. Dua tahun lalu bersama isterinya dan dua orang pendekar dari kota raja ia bertempur mati-matian melawan Iblis ini. Hasilnya mereka berlima samasama terluka. Untung saja mendadak lewat sepasukan kerajaan yang sedang berpatroli sehingga memaksa Setan Kepala Besar yang berada dalam keadaan tidak lebih baik darinya dan teman-temannya kabur. Belakangan salah satu pendekar yang membantunya itu tewas karena luka-lukanya. Betapa penyesalan Braja Lelana dan rasa dendamnya sehingga membuatnya meninggalkan kedudukan di kota raja dan mengelana sebagai pendekar pengembara. Tujuannya hanya satu, menyelesaikan utangpiutang ini dan kalau perlu beserta rentennya. Sekarang ia menemukan musuh besarnya ini disini. Disamping semangatnya berkobar dengan api dendam yang sudah sekian lama tersekam, diam-diam ia juga mengkhawatirkan isterinya. Dahulu, dengan berlima mereka tidak dapat mengungguli iblis ini. Walaupun belakangan ia dengan keras melatih diri, namun ia pun yakin Iblis Kepala Besar juga tak mungkin hanya malas-malasan saja. Setan Kepala Besar dengan sendirinya mengerti perasaan lawan. Hakikatnya ia pun merasakan dendam yang sama. Dua tahun ia harus meringkuk dan berjuang keras menyembuhkan luka yang dideritanya. Hal itu sudah cukup bagi seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sepertinya untuk menancapkan papan kematian di wajah musuh besarnya. Namun betapapun keadaan sudah sedemikian panas, otaknya masih bekerja dengan baik. Saat ini mereka berada di tengah jalanan ramai. Orangorang dengan penuh minat menonton mereka bertiga lebih dari ketertarikan mereka terhadap pertunjukan tari monyet tadi. Sekalipun ia tidak telalu hirau dengan orang-orang itu namun sewaktu-waktu pasukan Jatingaleh bisa datang. Lebihlebih Lembu Patik Pulung bukanlah lawan yang empuk. Yang lebih penting ia tidak boleh terlihat oleh Demang Kademangan itu mengingat pekerjaan besar di pundaknya. Satu-satunya yang membuatnya gelisah adalah bocah Gagang Gerhana itu. Pandan Kumala menyuruhnya menjaganya, dan ia tahu betul apa akibatnya kalau sampai tugas ini gagal. Namun jangankan mengambilnya, sekali bergerak mungkin sepasang pedang Braja Lelana dan Sukma Maningrum akan memaksanya turun tangan. Setan Kepala Besar merasa tak punya pilihan lain. Sekali menjejak, tubuhnya melayang ke belakang, dan sebelum Braja Lelana dan Sukma Maningrum sempat mengantisipasi gerakan musuh besarnya itu tubuh Setan Kepala Besar sudah hilang di tengah celah perumahan penduduk. Arya yang dengan tenang memperhatikan dari samping merasa Setan Kepala Besar mengerling ke arahnya sedetik tadi sebelum ia meloncat.
Dengan sendirinya Arya tahu, pertimbangan paling besar bagi Setan Kepala Besar adalah kehadiran Arya di tempat itu. Pandan Kumala tentu sudah menggambarkan secara persis potensi menggidikkan dalam diri Arya kepada sekutunya itu sehingga tokoh seperti Gagak Jemarit harus mati dalam sekali gerakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekali Arya ikut campur, tidak akan ada kesempatan lagi buat Setan Kepala Besar untuk hidup, apalagi kabur. Meski ia pun tidak terlalu yakin bahwa Arya akan membiarkannya kabur. Mengingat hubungan dirinya dengan Pandan Kumala. Ia hanya berpegang pada perhitungan sederhana. Terhadap tata letak Jatingaleh ia telah mempelajarinya beberapa bulan, dengan sendirinya ia lebih hafal dari pada Arya yang hanya sesekali singgah di Kademangan itu. Tubuhnya yang kecil juga mempunyai manfaat tersendiri dalam medan yang banyak terdapat perumahan dan ramai oleh lalu lalang orang. Hal yang aneh adalah ternyata Arya tidak mengejarnya. Pemuda itu dengan tenang masih berdiri di tempatnya. Braja Lelana dan Sukma Maningrum sempat melompat mengejar. Namun pengetahuan keduanya tentang tata letak Jatingaleh memang tidak dapat membandingi Setan Kepala Besar. Akhirnya keduanya hanya bisa menghela nafas, entah dengan nada lega atau masygul, dan kembali ke tempat Arya berdiri. "Aku tidak menyangkan Setan keparat itu ternyata berada disini." "Setidaknya kita tahu bahwa ia belum lagi mampus." Timpal Sukma Maningrum. "Kalian berdua agaknya mempunyai perhitungan masa lalu
terhadap Setan Kepala Besar." Ujar Arya dengan tenang. "Ya, bahkan tidak ringan perhitungannya." Desah Braja Lelana. "Siapa bocah ini?" tanya Sukma Maningrum dengan alis berkernyit ketika melihat Arya menggandeng tangan seorang bocah yang tampak linglung. Arya tertawa dan menjawab asal-asalan, "Tentu bukan anakku. Sebiji isteri saja belum kudapat. Sebaiknya kalian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ secepatnya menyingkir, sebentar lagi mungkin prajurit Jatingaleh akan datang." Braja Lelana mengangguk dan berujar dengan nada sesal, "Kenapa kau tidak pergi bersama kami. Kami tinggal di penginapan yang cukup bagus. Kita bisa merayakan pertemuan ini dengan beberapa masakan istimewa." Arya menggeleng, "Aku harus mengantarkan bocah ini. Mungkin orang tuanya akan keculitan mencarinya." Tolaknya dengan tertawa. Setelah menatap Gagang Gerhana sebentar dan mengangguk maklum, Braja Lelana segera menarik tangan isterinya. Arya menatap sepasang pendekar itu sampai sosok keduanya tenggelam dalam kerumunan. Tangan Gagang Gerhana terasa balas menggenggam tangannya. Ketika Arya menatap bocah itu, kebetulan Gagang Gerhana, yang selama ini tidak pernah menatap siapapun secara fokus, juga sedang
memandangnya. Bola mata bocah itu terlihat menyimpan emosi yang sulit dimengerti. Bersamaan Arya juga merasakan darah didadanya berdesir oleh pergolakan perasaan yang tidak sepenuhnya dipahaminya. ~Dewi-KZ~
Bab XVI, Raja Iblis Tinju Es Diantara riuh orang ramai sayup-sayup Arya mendengar derap belasan kaki kuda yang dilarikan. Tak disangsikan lagi, mereka adalah prajurit Jatingaleh yang mungkin dikirim oleh Kademangan sehubungan dengan kekacauan yang terjadi. Arya segera menarik Gagang Gerhana menjauh. Bocah itu sepertinya menjadi sangat penurut, kemanapun tanganya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ditarik, kesitu pula kakinya melangkah. Sama sekali tak ada penolakan. Tiba di sebuah penginapan yang memasang merek 'Kembang Fajar' di depannya, Arya membelok dan sete lah menyapa penjaga ala kadarnya ia langsung masuk ke kamar yang disewanya. Sempat di lihatnya mata si penjaga yang keheranan melihat Gagang Gerhana. Namun ia tahu itu bukan masalah yang berarti. Di sebuah penginapan, siapa membawa siapa adalah hal jamak dan biasanya para pelayan maupun penjaga dapat menjaga mulut mereka rapat-rapat. Namun seorang muda sepertinya menuntun bocah yang kelihatan linglung betapapun merupakan satu hal tersendiri. Sesungguhnya apa yang membuat Arya membawa Gagang Gerhana juga tidak sepenuhnya dipahami oleh pemuda ini sendiri. Ketika melihat Setan Kepala Besar membawa Gagang
Gerhana siang tadi, yang terpikir di otaknya adalah kemungkinan untuk menjadikan kedua orang itu petunjuk guna menemukan Pandan Kemala, yang mungkin berhubungan juga dengan Ki Awu Lamut. Tujuan kedatangan Arya ke Jatingaleh ini sebenarnya mengikuti tanda khusus yang di buat oleh Arum Puspita agar jejaknya bisa diketahui olah Arya. Anehnya tanda itu berhenti di Gerbang Kademangan Jatingaleh. Karena tidak menemukan tanda lain lagi maka Arya memutuskan untuk masuk ke Jatingaleh dan mencoba mencari jejak sekuat tenaganya. Sudah beberapa hari ia berkeliling di seluruh jalanan Jatingaleh dan yang didapatnya hanya perut yang melilit dan debu yang bertumpuk di dahinya. Sampai sore itu ia me lihat Gagang Gerhana yang dituntun oleh Setan Kepala Besar. Ketika melihat kedua orang itu, lantas saja otaknya menghubungkan keterlibatan Pandan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kumala dalam penculikan Arum Puspita dan Ratna Dewi. Maka ia pun memutuskan mengikuti Setan Kepala Besar dan Gagang Gerhana. Tak tersangka terjadi peristiwa tadi. Sebuah perasaan yang tak dipahaminya mendorongnya untuk membawa Gagang Gerhana yang ditinggalkan Setan Kepala Besar. Semacam rasa tanggung jawab yang aneh. Sekalipun ia tahu diantara mereka berdua terdapat hubungan darah yang rapat, namun karena tak sekalipun
sebelumnya Arya bertemu secara langsung dengan Gagang Gerhana dan keadaan Gagang Gerhana yang tidak sepenuhnya normal menjadikan hubungan itu berjalan tidak sewajarnya. Itu pula yang mencegahnya untuk mengejar Setan Kepala Besar. Saat ini pun ia bingung. Apa yang akan ia lakukan terhadap bocah ini? Sambil termenung-menung, dipandanginya Gagang Gerhana yang asik dengan tingkah lakunya sendiri. Dalam keremangan mentari sore yang bersinar jingga, bola mata Gagang Gerhana memperlihatkan semacam tabir bening. Meski tampak acuh tak acuh namun setiap cahaya yang menyorot dari matanya terasa tajam menusuk. Di dunia ini sudah maklum bahwa manusia dilahirkan dengan bakat yang berbeda. Bakat pula yang menentukan kesuksesan seseorang. Terdapat seorang calon penyair legendaris, dalam umur lima tahun ia sudah dapat merangkai kata layaknya remaja yang jatuh cinta. Seorang jenius dalam bidang catur, sejak umur tiga sudah mampu menerapkan tiga kali tujuh langkah catur yang rumit. Namun ada pula segala kesuksesan dan kesempurnaan itu diraih dengan kerja keras yang tekun. Umpamanya seorang yang tuli, karena latihan dan gemblengan yang luar biasa ia menjadi seorang yang paling tajam telinganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan pengamatannya yang
khas, Arya segera mengetahui bahwa Gagang Gerhana adalah tipe orang yang pertama. Pancaran cahaya matanya yang tajam berkilat menandakan bakatnya yang tinggi di dalam ilmu silat. Mungkin potensi kecerdikannya juga tidak dibawah orang lain. Namun semua itu tertutup dengan kelinglungannya. Namun sebab apa anak ini menjadi begini rupa, seingatnya seorang anak akan menjadi sinting sebagian besar karena tidak mendapat porsi kasih sayang yang cukup dari orang tuanya. Mengingat kembali tempat tinggal Pandan Kumala yang terletak jauh di puncak bukit, Arya menghela nafas panjang. Rupanya perselisihan puluhan tahun lalu berbuntut tidak pendek. Akibat yang dibawanya juga rupanya lebih mengerikan dari apa yang dibayangkannya. Lamat-lamat, di kedalaman sanubarinya Arya merasakan sendu yang pilu. Seandainya kejadian itu tak terjadi, tentu keluarganya akan hidup tentram. Dirinya tak perlu menjadi petualang tanpa rumah seperti sekarang ini. Bocah Gagang Gerhana ini juga tak usah menjadi sedemikian mengenaskan keadaannya. Namun kejadian di dunia ini memang lebih aneh dari rangkaian kata 'seandainya'. Siapa yang salah, siapa yang benar, benar-benar seperti lorong labirin yang terus berputar tak henti. Sebenarnya dirinyakah yang terlalu besar meledakkan emosi? Ataukah Ayahnya yang terlalu kukuh dengan apa yang di yakininya. Untuk pertama kalinya Arya merasakan bulu kuduknya meremang. Bukan ketakutan, lebih tepat semacam perasaan
bersalah yang tiba-tiba membanjir. "Apa wajahku sangat jelek?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pertanyaan ini mendadak saja terlontar dari mulut Gagang Gerhana. Nada bicaranya polos, tapi fasih. T idak m irip dengan bocah sepuluh tahun yang belum pandai bicara. Untuk sejenak Arya terhenyak. Sebenarnya Arya akan lebih terkejut lagi seandainya tahu bahwa selama hidupnya Gagang Gerhana tidak pernah bicara kepada siapapun. Termasuk kepada ibunya. "Tidak, tentu tidak." Tergagap juga Arya menjawab. "Lalu kenapa matamu melotot memandangku?" Sekilas Arya tidak bisa membedakan apakah pertanyaan ini benar-benar pertanyaan atau makian. Maka ia hanya tertawa saja, "Apa benar mataku melotot?" "Kupikir malah sudah hampir keluar dari tempatnya." Kembali Arya tertawa. Bocah cilik ini ternyata tidak tolol. "Bukankah kau mencari dua orang gadis dan seorang tua?" Pertanyaan yang dilontarkan dengan muka polos ini hampir membuat Arya berjingkrak. "Dari mana kau tahu?" Gagang Gerhana tertawa ketolol-tololan, "Dari mana kutahu? Tentu saja ada yang mengatakannya kepadaku. Kalau tidak bagaimana aku tahu?" Sinar mata Arya seketika berbinar, "Apa kau juga tahu dimana mereka?" "Mereka siapa?" "Dua orang gadis dan seorang tua?" Gagang Gerhana tertawa. Tertawa yang polos. Tidak kelihatan menyembunyikan sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bukankah kau bisa menemukan mereka disetiap jalan yang kau temui?" Tentu saja, dua orang gadis dan seorang tua adalah klasifikasi umum. Siapapun bisa menemukan dua orang gadis dan seorang tua dimana saja. Arya menatapa bocah itu lekat-lekat. Sepasang mata yang bening balas memandangnya tanpa kedip. Mata itu tak mencerminkan tipu muslihat yang jahat. Benar-benar sinar mata seorang bocah yang polos. "Apa seseorang menyuruhmu mengatakan ini kepadaku?" Gagang Gerhana tertawa. Kali ini dia tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang berkedip-kedip. Arya juga tak memaksanya menjawab, karena saat itu juga terdengar tiga kali suara ketukan pintu. Tak seorang pun yang mengetahui bahwa dirinya menginap di tempat ini. Pelayan juga tak akan sembarangan mengetuk pintu. Ia telah berpesan tadi. Lalu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Ketukan pin