SEJUMLAH MASALAH PENGAJARAN SASTRA
Oleh: Kholid A.Harras FPBS Universitas Pendidikan Indonesia Pendahuluan Pengajaran sastra yang digelar di persekolahan kita hingga saat ini dianggap masih belum menyentuh substansi serta mampu mengusung misi utamanya, yakni memberikan pengalaman bersastra (apresiasi dan ekspresi) kepada para peserta didik. Akibatnya, seperti kerap dilaporkan dalam berbagai penelitian serta dibincangdebatkan dalam berbagai forum pertemuan (dari mulai diskusi terbatas hingga kongres) capaian pengajaran sastra senantiasa berujung pada kata ‘memprihatinkan’. Atau meminjam istilah sastrawan Taufik Ismail, akibat ketidaksungguhan dunia pendidikan kita dalam menyelenggarakan pengajaran sastra telah menjadikan para siswa kita mengalami ‘rabun sastra’. Sekedar gambaran, hasil penelitian J.U. Nasution dkk (1981,65) misalnya menyebutkan bahwa hanya 0,94% saja dari para pelajar kelas III di 31 SMU di DKI yang dapat dikatagorikan sebagai pelajar yang cukup memadai minat membaca sastranya. Dan kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut sebagaimana pengakuan para guru bahasa dan sastra Indonesia SMU di wilayah tersebut hingga saat ini masih belum banyak berubah (Harras,1999). Jika gambaran minat membaca dan mengapresiasai sastra dari para pelajar SMU di DKI Jakarta kondisinya sudah sesuram itu, padahal kita tahu wilayah tersebut merupakan pusat kesusastraan Indonesia (pusat penerbitan karya sastra, tempat bermukimnya sejumlah sastrawan kondang, banyak digelar aneka kegiatan sastra seperti baca puisi, baca cerpen pertunjukkan teater dan diskusi sastra ) rasanya menjadi tidak terlalu sulit bagi kita untuk memprediksi ihwal gambaran minat membaca dan mengapresiasi sastra dari para pelajar kita yang tinggal di pelosok tanah air tercinta ini: pastilah kondisinya lebih amburadul lagi. Atau sebagaimana dinyatakan oleh Attar Semi (1991:9), secara jujur harus diakui di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pusat informasi dan perpustakaan kita tidak dapat berharap banyak tumbuhnya minat mengapresiasi sastra dari para peserta didik kita, ujarnya. Lewat artikel ini penulis akan menguakkan hasil studi penelusuran mengenai potret dan sejumlah masalah pengajaran sastra sebagaimana yang selama ini dipersepsi dan dialami oleh para guru di lapangan. Gambaran mengenai hal tersebut menurut penulis sangat penting untuk diketahui, karena tampaknya selama ini pembicaraan mengenai problematika pengajaran sastra lebih banyak didasarkan atas asumsi-asumsi para pengamat serta para pakar, dan bukan dari sisi pelakunya secara langsung. Dengan terdeskripsikannya berbagai persoalan pengajaran sastra yang ‘membumi’ tersebut diharapkan akan dapat dicarikan aneka solusi perbaikannya yang juga kongkret dan ‘membumi’. Pengajaran Sastra dan sejumlah Permasalahannya Menurut catatan Ajip Rosidi (1970) sesungguhnya masalah-masalah pengajaran sastra, khususnya yang menyangkut apresiasi siswa, secara resmi mulai menjadi bahan perbincangan para pendidik dan ahli sastra sejak tahun 1955 dalam sebuah simposium yang diselenggarakan di Fakultas Sastra UI. Sejak saat itu topik pembicaraan dan pembahasan mengenainya nyaris mewarnai forum-forum pertemuan, baik dalam tingkat lokal, regional maupun nasional, misalnya dalam forum Kongres Bahasa Indonesia yang secara rutin dilakukan setiap empat tahunan itu. Penyelenggaranya dari mulai himpunan mahasiswa, institusi Perguruan Tinggi, organisasi
i
1
keilmuan (HPBI dan HISKI), maupun yang diselenggarakan oleh organ-organ Diknas (MGMP, P3G Bahasa, Pusat Bahasa). Begitu pula tulisan atau kerta kerja yang mengurai serta menawarkan solusi mengenainya mungkin sudah ratusan dipublikasikan oleh para pakar dan pengamat, baik yang disampaikan dalam forum-forum ilmiah, koran, majalah, jurnal maupun dalam buku-buku. Kemudian jika dikumpulkan hasil-hasil penelitian mengenainya pun sudah banyak dilakukan oleh para akademisi, baik dalam bentuk, skripsi, tesis maupun disertasi. Ketidaktercapaian pengajaran sastra yang digelar di persekolahan kita sudah barang tentu disebabkan oleh sejumlah faktor. H.E. Suryatin (1999: 52-53) mengindentifikasi tiga faktor sebagai biang penyebabnya, yakni faktor guru, faktor siswa dan faktor sarana. Khusus mengenai faktor guru H.E. Suryatin mengidentifikasi empat hal yang diduga keras menjadi penyebabnya, yakni rendahnya minat baca guru terhadap karya sastra, kurangnya pengalaman guru belajar teori sastra, kurangnya pengalaman para guru mengapresiasi karya sastra serta guru dihadapkan luasnya cakupan materi kurikulum yang harus disampaikan, padahal porsi waktu yang tersedia untuk bahasan sastra sangat terbatas. Berbeda dengan H.E Suryatin, Ahmad Samin Siregar (1999) menengarai selain komponen guru (belum adanya guru-guru yang memiliki kualitas untuk mengajarkan sastra) dan komponen sarana (minimnya buku-buku hasil karya sastra yang dimiliki oleh perpustakaan sekokah) komponen penting lain yang menurutnya juga turut menghambat dalam upaya meningkatkan tercapainya pengajaran sastra di sekolah kita adalah faktor kurikulum (belum otonom karena hanya sekedar ditumpangkan dalam pengajaran bahasa dan masih diorientasikan bagi kepentingan pengajaran bahasa). Padahal otonomi pengajaran sastra tersebut merupakan salah satu rekomendasi keputusan Kongres Bahasa Indonesia VII tahun 1998 Menurut Ahmad Samin, dalam Kurikulum 1994 porsi pengajaran sastra hanya hanya tersedia seperenam atau lebih kurang 19% dari alokasi keseluruhan waktu pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang tersedia. Alokasi waktu menurutnya sangat tidak adil. Sebab Bagaimana mungkin guru akan dapat memberikan pengjaran sastra yang sempuma kalau waktunya sangat sedikit dan sempit. Alokasi yang dibutuhkan untuk pengajaran sastra dan pengajaran sastra, setidak-tidaknya harus disediakan dengan perbandingan 60:40. Artinya, pengajaran bahasa sebanyak-banyaknya diberikan 60% sedangkan pengajaran sastra setidak-tidaknya diberikan sebanyak 40% dari jumlah alokasi yang tersedia. Itu pun kalau pengajaran sastra masih merupakan bagian dari pengajaran bahasa seperti apa yang terjadi selama ini. Namun, andainya pengajaran sastra itu sudah otonom dan "terlepas" dari pengajaran bahasa, tentulah alokasi waktunya pun sudah lebih banyak serta lebih khusus pula. Selain itu menurutnya pengajaran sastra. seharusnya bukanlah merupakan bagian tambahan atau pelengkap pengajaran sastra. Apabila hal itu terjadi, pengajaran sastra. itu tidak akan mencapai tujuannya. Pengajaran sastra tentunya tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena yang dipentingkan adalah pengajaran bahasa bukan pengajaran sastra, ujarnya. Memang kalau coba kita amati mengenai tujuan pengajaran sastra dalam setiap kurikulum Bahasa Indonesia yang pernah diberlakukan di dunia persekolahan kita, dari mulai kurikulum 1969, 1974, 1984, 1994 hingga kuriklum 2001, sesungguhnya hampir tidak mengalami perubahan. Kalaupun ada perbedaaan itu hanyalah di tingkat redaksionalnya saja. Pada kurikulum-kurikulum tersebut pengajaran sastra bukanlah diorientasikan bagi kepentingan sastra itu sendiri melainkan bagi kepentingan pengajaran bahasa. Dengan perkataan lain, penggelaran pengajaran sastra di persekolahan kita diorientasikan bagi kepentingan meningkatkan keterampilan berbahasa para siswa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Seperti dijelaskan dalam Kurikulum Nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2001 atau yang populer disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (2001:9-10) misalnya, dikatakan bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi, dan belajar sastra adalah belajar memahami manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu pembelajaran Bahasa dan
2
i
sastra Indonesia diarahkan untuk “meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi” (tanpa petik dari penulis). Selain faktor-faktor yang sifatnya internal di atas menurut Taufiq Ismail (2003:9) hal lain yang juga turut memperparah kemerosotan pengajaran sastra dalam waktu hampir 60 tahun ini yakni akibat hidup suburnya paradigma “pengunggulan berlebih kepada jurusan eksakta”. dalam dunia pendidikan kita. Akibat adanya pandangan semacam itu maka tidak heran jika sastra pada akhirnya hanya dipandang sebelah mata saja dalam konteks dunia pendidikan di negeri ini. Metode Penelitian Penelitian ini tidak difokuskan untuk menjawab suatu hipotesis, tetapi lebih ditekankan pada pengungkapan unsur yang dikaji untuk lebih memamahi masalah yang diteliti. Untuk memperoleh gambaran tujuan penelitian ini secara sistematis, faktual, dan akurat peneliti menggunakan metode deskriptif kuantitaif. Pelaksanaan metode ini tidak hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga mencakup analisis dan interpretasinya. Sedangkan alat pengumpulan datanya menggunakan angket. Penulis telah menyebarkan 250 angket kepada para responden, yakni guru-guru pengajar bahasa dan sastra Indonesia yang bekerja di 157 SMU di dua propinsi: DKI Jakarta (107 SMU) dan Jawa Barat (50 SMU). Adapun rincian 200 buah angket angket berasal dari guru SMU di DKI Jakarta dan 50 angket berasal dari guru SMU di propinsi Jawa Barat. Para responden pengisi angket ini adalah guru-guru peserta “Diklat Apresiasi Sastra, Membaca dan Menulis Bagi Guru Bahasa dan Sastra SMU” yang diselenggarakan oleh majalah sastra Horison dalam dua gelombang; gelombang pertama (terdiri atas tiga angkatan) diikuti oleh guru-guru SMU se-DKI Jakarta bertempat di PPG Bahasa Jakarta yang dilakukan selama bulan Oktober 1998 dan gelombang kedua ( hanya satu angkatan) diikuti oleh guru-guru SMU se-propinsi Jawa Barat yang dilakuakan pada tanggal 11-18 Oktober 1999 di BPG Bandung. Penyebaran kepada para responden dilakukan sebelum mereka mengikuti acara Diklat. Dengan begitu diharapkan jawaban-jawaban yang mereka berikan masih murni serta obyektif. Bentuk angket merupakan kombinasi tetutup dan terbuka. Temuan Penelitian A. Potret Pengajaran Sastra di SMU DKI Jakarta dan Jawa Barat 1. Latar akademis dan Kualifikasi Pendidikan Responden Latar akademis guru bahasa dan sastra Indonesia sastra di SMU DKI Jakarta dan Jawa Barat yang menjadi responden dalam survey ini diketahui sebagai berikut. Sebagian besar 89% berasal dari PTN LPTK, 8.4% berasal dari PTS LPTK, 1.6% dari PTN non-LPTK serta 0.8% dari PTS non-LPTK. Sebanyak 94.8% berlatarbelakang Jurusan Diksatrasia (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dan sebanyak 5.8% berlatarbelakang Jurusan non-Diksatrasia. Jenjang strata pendidikan mereka sebanyak 33.8 % D3, 65.6% S-1 dan 1.2 % S-2 (1 orang dari program linguistik dan 2 orang dari program MM). Tahun kelulusan mereka: < 1960 sebanyak 3.2%. , 1961-1970 sebanyak 23.6%, 1971-1980 sebanyak 33.2 %, 1981-1990 sebanyak 37.2 % dan > 1990 sebanyak 2.8%. Masa kerja mereka: kurang dari 10 tahun sebanyak 5.6%, lebih dari 10 tahun 31 %, lebih dari 20 tahun 60.2% dan lebih dari 30 tahun 3.2 % . Kegiatan akademis tambahan mereka (diklat/penataran/lokakarya) sebanyak 42.8 % tingkat nasional dan 57.2% tingkat daerah.
i
3
2. Jumlah dan Kualifikasi Akademik Guru-guru BI SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta Sebanyak 94% orang responden menyatakan bahwa jumlah guru BI di sekolah tempat mereka bekerja telah memadai atau telah sesuai dengan jumlah kelas yang dimiliki oleh sekolah mereka. Sedangkan sebanyak 5.2% responden menyatakan masih kurang. Sebanyak 74% responden menyatakan bahwa guru-guru yang mengajarkan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah tempat mereka bekerja telah sesuai dengan kualifikasinya (berlatarbelakang disiplin ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia baik dari IKIP maupun FKIP), sedangkan sebanyak 26% responden menyatakan tidak seluruhnya berlatarbelakang disiplin ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Aktivitas Responden Membaca Karya Sastra dan Buku-buku Pengkajian Sastra Hal-hal yang ditanyakan meliputi karya sastra dan buku-buku kajian tentang sastra yang dibaca oleh para responden dalam rentang lima tahun terakhir, baik dalam hal genre atau jenis, mutu serta tahun terbitnya. Adapun hasil pelacakan mengenai hal itu dapat dilihat pada tabel 1-2 berikut Tabel 1 Karya Sastra yang Dibaca dalam Lima Tahun Terakhir A. Berdasarkan Genrenya No. 1.
Genre
Jumlahnya a. < 5 judul b. 5-10 judul
Puisi (dalam buku kumpulan)
c. > 10 judul
2.
3.
4.
a. < 5 judul b. 5-10 judul
f
%
208 32 10
83.2 12.8 4.0
c. > 10 judul
217 28 5
86.8 11.2 2.0
Prosa novel/roman
a. < 5 judul b. 5 - 10 judul c. > 10 judul
109 128 13
43.6 51.2 5.2
Naskah Drama
a. < 2 judul b. >3 judul
238 12
95.2 4.8
Prosa Cerpen (dalam kumpulan)
B. Berdasarkan Mutu Buku
Mutu/Kualitasnya
4
f
i
%
• Tergolong buku sastra • Karya popular
226 29
90.4 9.6
f
%
50 46 30 45 47 20 12
20.0 18.4 12.0 18.0 18.8 8.0 4.8
C. Beradasarkan Tahun Pertama kali Terbit
Tahun Terbit • • • • • •
20-an s.d 30-an 30-an s.d. 50-an 50-an s.d. 60-an 70-an 80-an 90-an
Tabel 2 Buku tentang Sastra yang Dibaca Responden
No.
Jenis Buku
Banyaknya
f
%
1
• Pengkajian
a. < 5 b. 6- 10
judul judul c. > 11 judul
208 34 8
83.2 13.6 3.2
2
• Pengajaran
a. < 5 judul b. > 6 judul
241 9
96.4 3.6
4. Pelaksanaan Pengajaran Sastra Hal-hal yang ditanyakan ditanyatakan kepada responden meliputi metode yang mereka gunakan dalam mengajarkan sastra di kelas, skenario model dan praktik pengajaran, serta bahan ajar, baik yang utama maupun penunjang yang mereka gunakan dalam menggelar pengajaran sastra, berikut alasan-alasan yang mendasari mereka dalam memilih buku pegangan utama dan buku pendamping tersebut serta sumber-sumber bacaan lain yang mereka gunakan dalam menunjang pelaksanaan pengajaran sastra. Berdasarkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh para responden gambarannya dapat dilihat pada tabel 3-6 berikut: Tabel 3 Metode yang Digunakan dalam Mengajarkan Sastra
No.
Metode
1
Ceramah
Alasan • Siswa lebih memahami uraian secara langsung
i
f
%
93
37.2
5
• Penuturan guru lebih dapat diingat oleh siswa 2
Diskusi/ Tanya-Jawab
• Membuat kelas lebih hidup/aktif/komunikatif • Siswa lebih bebas mengeluarkan pendapatnya • Merangsang siswa berfikir secara aktif
89
35.6
4
Demonstrasi Penugasan
• Merangsang ekspresi siswa • Menggali bakat siswa dalam bidang sastra • Membuat kelas lebih hidup/aktif/komunikatif
49
19.6
5
Eklektik
• Sesuai dengan bahan dan kebutuhan
19
7.6
Tabel 4 Model dan Langkah-langkah Praktik Pengajaran
Model
Rincian Langkah-Langkahnya
f
%
A
menjelaskan membaca diskusi evaluasi
93
37.2
B
membaca menjelaskan diskusi evaluasi
89
35.6
C
membaca diskusi menyimpulkan evaluasi
49
19.6
D
membaca di rumah diskusi menjelaskan menyimpulkan evaluasi
19
7.6
menenjelaskan
Tabel 5 Bahan Ajar Utama yang Digunakan
Jenis • Buku teks pemerintah
6
Pertimbangan/Alasan
terbitan - telah tersedia di sekolah - diwajibkan oleh Kepsek
• Buku teks terbitan swasta
- kualitasnya lebih baik - banyak memuat latihan
• Buku sinopsis
- siswa mendapat gambaran cerita - memudahkan pengajaran
i
f
%
111
44.4
106
42.4
11
4.4
• Teks karya sastra
- siswa mendapat pengalaman sastra secara langsung - sesuai dengan hakekat/tujuan pengajaran sastra
22
8.8
Tabel 6 Bahan Ajar Penunjang yang Digunakan
Jenis
Pertimbangan/Alasan
f
%
• fotokopi karya sastra
- tidak terlalu memberatkan murid - memberikan pengalaman sastra
26
22.2 2
• koran
- karya sastra yang cukup baik tersedia di koran - mudah mendapatkannya
46
39.3 1
• majalah
- karya sastra yang cukup baik tersedia di majalah - cukup mudah mendapatkannya
29
24.7 8
• majalah sastra
- memuat karya sastra yang baik - memuat ulasannya/cara memahaminya
16
13.6 7
Keterangan: Jumlah populasi responden semuanya sebanyak 250 orang. Akan tetapi responden yang menyatakan menggunakan bahan ajar penunjang berjumlah 117 orang saja (46.8%).
5. Kondisi sarana penunjang dan atmosfir bersastra Hal-hal yang ditanyakan kepada responden meliputi koleksi buku-buku karya sastra yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah tempat responden bekerja, baik jenis maupun jumlahnya, jenis kegiatan ekstra kurikuler sastra yang ada di sekolah mereka, serta penilaian para guru terhadap minat siswa terhadap sastra. Beradasarkan jawaban angket maka deskripsi terhadap hal-hal yang ditanyakan tersebut dapat dijelaskan sebagaimana tampak pada tabel 7-9 berikut: Tabel 7 Koleksi Buku Sastra a. Jumlah Judul No. 1.
Genre
Jumlah
• Puisi (dalam buku kumpulan)
a. 1 - 10 judul b. 10-20 judul
i
f 67 102
% 26.8 40.8
7
c. > 21 judul
81
32.4
139 69 42
55.6 27.6 16.8
2.
• Prosa Cerpen (dalam kumpulan)
a. 10-20 judul b. 21-40 judul c. 41-60 judul
3.
• Prosa novel/roman
a. 10-20 judul b. 21-40 judul c. 41-60 judul d. 61-100 judul e. > 101 judul
16 71 66 82 15
6.4 28.4 26.4 32.8 6.0
4.
• Naskah Drama
a. < 5 judul b. 6 - 10 judul c. > 11 judul
241 98 11
56.4 39.2 4.4
5.
• Majalah sastra
a. 1-2 judul b. > 3 judul
243 7
97.2 2.8
Jumlah
f
%
b. Jumlah Eksemplar
No. 1.
• Puisi (dalam buku kumpulan)
a. < 10 eksemplar b. 10 - 20 eksemplar c. > 21 eksemplar
2.
• Prosa Cerpen (dalam kumpulan)
a. b. c. d. e. f.
3.
• Prosa novel/roman
a. < 25 eksemplar b. 26 - 50 eksemplar c. 51 -75 eksemplar d. 76 -100 eksemplar e. 101-125 eksemplar f. > 126 eksemplar
19 28 32 77 58 36
7.6 11.2 12.8 30.8 23.2 14.4
• Naskah Drama
a. < 10 eksemplar b. 11-20 eksemplar c. > 21 eksemplar
227 17 6
90.8 6.8 2.4
4.
8
Genre
i
< 10 10-20 21-30 31-40 41-50 > 51
eksemplar eksemplar eksemplar eksemplar eksemplar eksemplar
133 109 8 59 109 30 23 17 12
53.2 43.6 3.2 23.6 43.6 12.0 9.2 6.8 4.8
5.
• Majalah sastra
a. < 10 eksemplar b. 11- 26 eksemplar
89 108 53
c. > 25 eksemplar
35.6 43.2 21.2
Tabel 8 Asal Buku
Asal buku • Sumbangan pemerintah • Sumbangan siswa • Pembelian sekolah
f
%
53 179 18
21.2 71.6 7.2
Tabel 9 Kegiatan Ekstrakurikuler Sastra a. Ragam Kegiatan
Jenis Kegiatan • • • • • •
F Di diadakan Ti tidak
Lomba baca puisi Lomba menulis puisi Lomba baca cerpen Lomba menulis cerpen Pagelaran drama Majalah dinding
202 67 23 13 4 232
48 183 227 237 246 18
diadakan
% tidak
80.8 26.8 9.2 5.2 1.6 92.8
19.2 73.2 90.8 94.8 98.4 7.2
b. Kegiatan yang Paling Banyak Digemari oleh Siswa
Jenis Kegiatan • • • •
Lomba baca puisi Lomba menulis puisi Lomba baca cerpen Lomba menulis cerpen
i
f
%
213 6 12 2
85.2 2.4 4.8 0.8
9
• Pagelaran drama • Majalah dunding
1 16
0.4 6.4
B. Tanggapan Responden Terhadap Masalah-masalah Pengajaran Sastra Tanggapan para responden terhadap masalah-masalah pengajaran sastra ini antara lain meliputi masalah kurikulum (aneka kendala yang mereka hadapi dalam mengajarkan sastra dan sejumlah upaya yang mereka lakukan sebagai antisipasinya), tanggapan mereka terhadap otonomi dan keberadaan guru sastra, serta saran-saran yang menurut mereka mendesak untuk segera dilakuakan untuk memperbaiki pengajaran sastra. 1.Terhadap Porsi Sastra dalam Kurikulum BI Jenis tanggapan responden terhadap porsi sastra yang terdapat dalam kurikulum Bahasa Indonesia ini (kurikulum 1994) beserta alasan-alasan yang mendasarinya ini dapat dilihat pada tabel 10 berikut. Tabel 10 Porsi Sastra dalam dalam Kurikulum BI 1994
Tanggapan
f
%
• Lebih banyak membahas teori • Apresaiasi kurang tampak • Karya sastra yang disajikan terbatas hanya karya sastra lama (angkatan sebatas angkatan 66) • Tidak secara ekspilisit disebutkan buku-buku karya sastra apa saja yang wajib dibaca oleh para siswa
229
91.6
Cukup
• Semuanya aspek sastra ada dalam GBPP • Sastra tidak terlalu dipentingkan dalam Ebtanas
13
5.2
Terlalu banyak
• Sastra sebaiknya tidak diajarkan secara formal
8
3.2
Kurang
Alasan
2. Terhadap Otonomi Pengajaran Sastra Tanggapan responden terhadap gagasan pengajaran sastra yang otonom baik dalam kurikulum BI beserta alasan-alasan yang mendasari pendapat mereka ini dapat dilihat pada tabel 11 berikut. Tabel 11 Pemisahan Sastra dalam Kurikulum BI
Tanggapan Setuju Dipisahkan
10
Alasan
f
• Kedudukan pengajaran sastra akan lebih mantap dan lebih 223 terarah, karena akan memiliki tujuan yang jelas, serta
i
% 89.2
alokasi waktu yang memadai; • Pengajaran sastra nantinya akan diajarkan oleh guru-guru yang memiliki kecintaan dan komitmen yang baik terhadap sastra; • Nantinya pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan buku-buku paket khusus sastra maupun bukubuku penunjangnya. • Pengajaran sastra di sekolah akan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan.
Tidak setuju Dipisahkan
• Antara bahasa dan sastra memiliki keterkaitan • Pengajaran bahasa Indonesia akan terasa gerasang dan membosankan • Secara administratif akan cukup menyulitkan sekolah, khususnya dalam mencari guru sastra yang handal.
27
10.8
3. Kesediaan Pilihan Menjadi Guru Bahasa vs Guru Sastra Tanggapan/kesediaan responden terhadap gagasan seandainya dilakukan pembagian yang tegas antara guru bahasa dan guru sastra beserta alasan-alasan yang mendasari pendapat mereka ini dapat dilihat pada tabel 12 berikut. Tabel 12 Kesediaan Menjadi Guru Bahasa vs Guru Sastra
Tanggapan
Alasan
f
%
Menjadi Guru Sastra
• menyenangi sastra sejak duduk di bangku 46 kuliah; • memiliki wawasan dan pengetahuan serta bekal apresiasi yang memadai terhadap sastra; • mampu menyenggarakan pengajaran sastra yang apresiatif kepada para.siswa
18.4
Menjadi Guru Bahasa
139 • kurang begitu tertarik terhadap sastra; • mengajarkan sastra lebih menyita perhatian ekstra dibandingkan dengan mengajarkan bahasa; • lebih mampu mengajarkan bahasa tinimbang mengajarkan sastra.
55.6
Menjadi Guru Bahasa dan Sastra
65 • sastra memiliki keterkaitan dengan bahasa; • memiliki wawasan, pengetahuan serta kemam-puan yang sama baik dalam bahasa maupun dalam sastra.
26.0
i
11
4. Tanggapan Minat Siswa terhadap Sastra Tanggapan responden mengenai minat siswa terhadap sastra dapat dilihat pada tabel 13 berikut. Tabel 13 Tentang Minat Siswa Terhadap Sastra
Tanggapan
Alasan
f
%
• Perhatian siswa terhadap pengajaran sastra 21 umumnya masih sangat kurang • Setiap kali diberikan tugas membaca serta mengapresiasi karya-karya sastra para siswa cenderung mengabaikannya. • Para siswa umumnya kurang tertarik untuk mengikuti kegiatan sastra yang diselenggarakn di luar sekolah (seperti perlomabaan baca puisi atau cerpen, cipta puisi atau cerpen atau pementasan drama).
16.8
b. Cukup Baik
• perhatian dan respon para siswa terhadap pengajaran 198 sastra yang dilakukan oleh para guru sudah baik. Siswa umumnya senang jika diarahkan membuat aneka karya sastra, khususnya puisi. Siswa antusias mengikuti aneka lomba sastra, khususnya membaca puisi. Majalah dinding ramai dihiasi oleh karyakarya para siswa.
79.2
c. Sangat Baik
• setiap kali dilakuakan kegiatan bulan bahasa para 31 siswa antuasias melibati kegiatan-kegiatan sastra, baik aneka lomba (baca dan cipta puisi dan cerpen) serta menyelenggarakan pementasan drama /teater.
12.4
a. Kurang baik
5. Kendala yang Dihadapi Responden dalam Mengajarkan Sastra Jumlah responden yang menyatakan banyak menghadapi kendala dalam melakukan pengajaran sastra kepada para siswa di dalam kelas sebanyak 235 orang (94%) dan yang mengaku tidak banyak menghadapi kendala sebanyak 15 orang (6%). Adapun bentuk-bentuk kendala dimaksud antara lain dapat dilihat pada tabel 14 berikut Tabel 14 Kendala dalam Mengajarkan Sastra
Faktor Penyebab a.Waktu
12
Uraian/Penjelasan • Waktu yang tersedia untuk melakukan pembelajaran sastra sangat
i
terbatas, karena menyatu dan terintegrasi pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. b. Fasilitas
• Buku-buku karya sastra yang disarankan untuk dibaca oleh para siswa yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah jumlahnya masih sangat sedikit serta sangat tidak sebanding dengan jumlah siswa. • Buku-buku karya sastra mutakhir, termasuk majalah sastra masa kini masih merupakan barang langka. • Sekolah pada umumnya belum memiliki fasilitas penunjang yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk melakukan pengajaran sastra secara lebih baik, misalnya kaset atau video yang berisi contoh pembacaan puisi atau cerpen dari para sastrawan serta pagelaran drama.
c. Siswa
• Minat siswa terhadap sastra umumnya kurang begitu menggembirakan • Siswa menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, termasuk sastranya merupakan pelajaran yang kurang begitu penting • Dalam satu kelas jumlah siswa umumnya masih sangat banyak (lebih dari 50 orang).
d. Kemampuan
• Guru BI banyak yang kurang memiliki minat dan perhatian yang baik terhadap sastra. Akibatnya, baik wawasan, pengetahuan maupun pengalaman apresiasi sastra serta keterampilan mereka dalam mengajarkan sastra kepada para siswa menjadi kurang begitu baik. • Masih banyak guru yang bukan berlatarbelakang disiplin ilmu bahasa dan sastra Indonesia –karena berbagai alasan— ikut mengajarkan bidang studi ini.
e. Lain-lain
• Porsi sastra dalam evaluasi, baik pada level sumatif maupun Ebtanas masih sangat minim dan kurang menitiktekankan pada hasil apresiasi siswa. • Perhatian pimpinan sekolah serta staf pengajar lainnya terhadap kegiatan-kegiatan bersastra umumnya kurang begitu baik.
6. Saran Responden untuk Memperbaiki Pengajaran Sastra Bentuk-bentuk saran beserta uraiannya yang dikemukakan oleh para responden untuk memperbaiki penggajaran sastra dapat dilihat pada tabel 14 berikut: Tabel 14 Saran dalam Memperbaiki Pengajaran Sastra
Bentuk Saran a. Melengkapi Sarana
Uraian/Penjelasan • Melengkapi perpustakaan sekolah dengan buku-buku sastra, baik dalam hal jumlah maupun jenisnya serta hasil-hasil rekaman (kaset maupun video) pementasan sastra seperti pembacaan puisi
i
13
atau cerpen yang dilakukan oleh para sastrawan atau pembaca yang baik maupun pagelaran drama;
b. Memperbaiki Kurikulum
• Pisahkan sastra dengan bahasa dalam kurikulum • Tinjau ulang soal-soal sastra dalam Ebtanas; jangan hanya berisi hal-hal yang bersifat teoretis serta berbentuk pilihan ganda belaka; • Cantumkan secara tegas buku-buku sastra yang seharusnya dibaca oleh para siswa, baik berdasarkan jenjang sekolah (SD, SLTP dan SLTA) maupun jenjang kelas masing-masing;
c. Meningkatkan Kualitas Guru
• Menata kembali para guru pengajar sastra di sekolah; hanya guru-guru yang mempunyai latarbelakang disiplin ilmu bahasa dan sastra sajalah yang memiliki kewengan mengajarkan sastra • Mengadakan diklat sasatra secara terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan serta keterampilan guru-guru pengajar sastra • IKIP/FKIP perlu segera membuka secara khusus membuka Jurusan Pendidikan dan Pengajaran Sastra yang akan menyediakan guru-guru sastra
d. Penunjang lain
• Mendatangkan sastrawan ke sekolah-sekolah • Memberikan hadiah kepada para siswa yang banyak membaca karya sastra dan nilai sastranya bagus • Menggalakkan kegiatan sastra, baik dalam kegiatan ekstrakurikuler maupun di masyarakat.
Pembahasan A. Potret Pengajaran Sastra di SMU DKI Jakarta dan Jawa Barat 1. Latar akademis dan Kualifikasi Pendidikan Guru-guru BI SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta Berdasarkan data di atas kiranya dapat disimpulkan hampir sebagian besar latar belakang akademis dan kualifikasi pendidikan dari para guru Bahasa dan sastra Indonesia sastra di SMU Jawa Barat dan DKI Jakarta sudah cukup baik, karena mereka berasal dari LPTK PTN dan sudah menempuh jenjang sarjana (S1). Begitu pula masa kerja serta pengalaman mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan akademis tambahan seperti mengikuti diklat, penataran atau lokakarya pun pada umumnya sudah cukup memadai. 2. Jumlah dan Kualifikasi Akademik Guru-guru BI SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta Berdasarkan hasil temuan di atas dapat disimpulkan jumlah guru bahasa Indonesia di SMUSMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta pada umumnya telah sesuai dengan jumlah kelas yang dimiliki. Meskipun demikian jumlah responden yang menyatakan bahwa guru-guru bahasa Indonesia yang latar akademis disiplin ilmunya bukan berasal dari Jurusan Pendidikan Bahasa
14
i
dan Sastra Indonesia tetapi mengajarkan mata pelajaran tersebut jumlahnya masih cukup tinggi, yakni sebesar 25%. Ini membuktikan bahwa pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMU di Jawa Barat dan DKI DKI Jakarta masih banyak yang diajarkan oleh para guru yang sesungguhnya tidak memiliki kewenangan akademis di bidangnya. 3. Aktivitas Responden Membaca Karya Sastra dan Buku-buku Pengkajian Sastra Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya hampir sebagian besar pengalaman membaca, baik terhadap buku-buku karya fiksi (puisi, prosa, drama) dari para guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta masih sangat memprihatinkan.Hal ini tampak jelas karena pada umumnya dalam rentang 5 tahun terakhir mereka hanya membaca, baik buku-buku karya sastra tersebut rata-rata kurang dari 5 judul. Bahkan untuk naskah drama pada umumnya kurang dari dua judul saja. Selain itu buku-buku karya sastra yang mereka baca pun pada umumnya terbitan tahun-tahun lama 20-70, dan hanya sedikit saja yang membaca karya-karya sastra terbitan tahun sesudahnya. Begitu pula pengalaman mereka dalam membaca buku-buku tentang sastra (pengkajian dan pengajaran) juga pada umumnya masih sangat mengkhawatirkan. Dalam rentang lima tahun terakhir hampir sebagian besar responden (83.2%) hanya membaca buku yang membahas pengkajian sastra kurang dari 5 judul, sedangkan terhadap buku yang membahas pengajaran sastra dalam rentang dan jumlah yang sama masih sebesar 96%. Dari kenyataan ini tampaknya tudingan bahwasanya pada umumnya para guru bahasa dan sastra Indonesia termasuk orang-orang yang malas dalam membaca mendapatkan pembuktiannya.
4. Pelaksanaan Pengajaran Sastra Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya metode yang digunakan oleh para guru pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMU di Jawa Barat dan DKI pada umumnya masih bertumpu pada metode ceramah dan diskusi yang semuanya akan dimulai dari aktivitas “menjelaskan”. Sedangkan bahan ajar utama yang digunakan oleh para guru dalam menggelar pengajaran sastra di dalam kelas yakni buku teks, baik terbitan pemerintah maupun swasta. Hanya sedikit saja guru yang menjadikan teks karya sastra sebagai bahan ajar utama mereka. Sedangkan bahan ajar penunjang yang digunakan pada umumnya berupa koran, foto kopi karya sastra serta majalah non-sastra. Masih sangat sedikit para guru yang menjadikan majalah sastra sebagai bahan ajar penunjang dalam menggelar pengajaran sastra. Temuan ini juga dapat dijadikan semacam “pembenaran” terhadap tuduhan bahwasanya metode ceramah masih mendominasi dalam dunia pengajaran kita. Selain itu temuan ini juga semakin memperkuat dugaan bahwasanya buku-buku teks masih menjadi satu-satunya sumber rujukan yang dipergunakan oleh para guru dalam menggelar pembelajaran di dalam kelas. 5. Kondisi sarana penunjang dan atmosfir bersastra
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan bahwasanya koleksi bukubuku karya sastra yang dimiliki oleh perpustakaan-perpustakaan SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta, baik dari segi jenis maupun jumlahnya pada umumnya masih sangat memprihatinkan. Pada umumnya koleksi buku sastra yang ada di SMU di Jawa Barat dan DKI untuk masing-masing genre hanya berkisar 10-20 judul saja dengan rata-rata jumlah eksemplar merentang antara 10 hingga 50 eksempklar. Bahkan untuk naskah drama pada umumnya jumlahnya kurang dari 5 judul dengan jumlah eksemplar yang juga kurang dari 5 buah.
i
15
Kenyataan tersebut kiranya dapat dipahami karena memang pada umumnya pengupayaan buku-buku karya tersebut sebagian besar hanya mengandalkan sumbangan dari siswa. Sedangkan buku-buku karya sastra yang berasal dari sumbangan pemerintah jumlahnya masih sangat sedikit. Dan lebih sedikit lagi buku-buku karya sastra yang pengupayaannya dilakukan lewat pembelian yang dilakukan oleh pihak sekolah. Berdasarkan hasil temuan di atas juga dapat disimpulkan bahwasanya ragam kegiatan ekstrakurikuler sastra yang paling banyak dilakukan oleh SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta pada umumnya hanya berupa lomba membaca puisi dan majalah dinding. Mungkin oleh karena itu kegiatan tersebut menurut sebagian besar responden merupakan kegiatan yang paling banyak digemari oleh para siswa. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler sastra lainnya, seperti lomba menulis puisi, lomba membaca dan menulis cerpen dan terlebih pagelaran drama, masih sangat sedikit sekali pihak sekolah yang melakukannya. Temuan data di atas semakin membuktikan bahwasanya basis dan topangan utama pengajaran sastra yang digelar dalam dunia persekolahan kita memang bukanlah dunia pustaka atau karya sastra, tetapi masih sekedar mengandalkan uraian-uraian yang keluar dari mulut para guru. Oleh karena itu pantas saja pencapaian pengajaran sastra yang berorientasi pada apresiasi dan ekspresi semakin sudah untuk diwujudkan. B. Tanggapan Responden Terhadap Masalah-masalah Pengajaran Sastra 1.Terhadap Porsi Sastra dalam Kurikulum BI
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan dalam pandangan sebagian besar guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta porsi sastra dalam kurikulum BI 1994 dianggap masih kurang dan hanya sebagian kecil saja yang menganggapnya cukup apalagi berlebih. 2. Terhadap Otonomi Pengajaran Sastra
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan hampir sebagian besar guru Bahasa dan Sastra SMU (89.2%) menyetujui gagasan dilakukan pemisahan pengajaran sastra dalam Kurikulum BI, dengan alasan-alasan sebagai berikut: Kedudukan pengajaran sastra akan lebih mantap dan lebih terarah, karena akan memiliki tujuan yang jelas, serta alokasi waktu yang memadai; Pengajaran sastra nantinya akan diajarkan oleh guru-guru yang memiliki kecintaan dan komitmen yang baik terhadap sastra;nantinya pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan buku-buku paket khusus sastra maupun buku-buku penunjangnya, dan pengajaran sastra di sekolah akan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan.Sedangkan alasan-alasan di mata mereka yang tidak menyetujui pemisahan tersebut (sebanyak 10.8%), antara lain pengajaran bahasa Indonesia akan terasa gerasang dan membosankan dan menurut mereka secara administratif akan cukup menyulitkan sekolah, khususnya dalam mencari guru sastra yang handal.
3. Kesediaan Pilihan Menjadi Guru Bahasa vs Guru Sastra
16
i
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan kendati sebagian besar responden setuju terhadap gagasan dilakukannya pemisahan pengajaran sastra dalam kurikulum BI sebagaimana dinyatakan dalam tabel 11, akan tetapi hanya sebagian saja dari mereka yang bersedia menjadi pengajar sastra. Sebaliknya lebih dari setengah responden menyatakan diri lebih memilih menjadi guru bahasa serta hanya seperempat dari mereka yang menyatakan kesanggupan menjadi pengajar keduanya bidang tersebut. Cukup menarik untuk dicermati mengenai alasan-alasan yang mendasari kesiapan para responden, baik untuk menjadi guru sastra, guru bahasa maupun keduanya, yakni menyangkut faktor ketertarikan/kecintaan serta faktor kemampuan mereka terhadap kedua hal tersebut. Misalnya alasan mereka yang memilih menjadi guru bahasa tinimbang menjadi guru sastra misalnya, lebih dikarenakan karena mereka kurang begitu tertarik terhadap sastra; mengajarkan sastra lebih menyita perhatian ekstra dibandingkan dengan mengajarkan bahasa; serta menganggap lebih mampu mengajarkan bahasa tinimbang mengajarkan sastra. Sedangkan alasan mereka yang memilih menjadi guru sastra tinimbang guru bahasa antara lain menyenangi sastra sejak duduk di bangku kuliah; merasa memiliki wawasan dan pengetahuan serta bekal apresiasi yang memadai terhadap sastra; serta merasa diri mampu menyenggarakan pengajaran sastra yang apresiatif kepada para siswa. Beradasarkan fakta ini nyatalah bahwa untuk menjadi pengajar sastra dibutuhkan kecintaan terhadapnya yang pada gilirannya akan menularkan kemampuannya. Namun sayangnya tidak setiap guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang ada saat ini , khusunya di SMU-SMU Jawa Barat dan DKI Jakarta memiliki kecintaan tersebut. 4. Tanggapan Minat Siswa terhadap Sastra
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan dalam pandangan sebagian besar para guru bahasa dan sastra Indonesia SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta (sebanyak79.2 %) mengenai minat siswa terhadap sastra pada umumnya cukup baik.Adapun tolok ukurnya adalah perhatian dan respon para siswa terhadap pengajaran sastra yang dilakukan oleh para guru serta siswa umumnya senang jika diarahkan membuat aneka karya sastra, khususnya puisi, antusiasme mereka dalam mengikuti aneka lomba sastra, serta Mading dinding yang ramai dihiasi oleh karya-karya mereka. Hanya sebagian kecil saja yang
menganggapnya kurang baik atau sangat baik. 5. Kendala yang Dihadapi Responden dalam Mengajarkan Sastra
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta (94%) menganggap memiliki kendala dalam menggelar pengajaran sastra di sekolahnya. Menurut mereka penyebab dari kendala tersebut antara lain akibat faktor waktu (porsi yang tersedia untuk melakukan pembelajaran sastra sangat terbatas, karena menyatu dan terintegrasi pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya) faktor fasilitas (jumlah buku karya sastra, majalah sastra
serta fasilitas penunjang yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah jumlahnya masih sangat sedikit serta sangat tidak sebanding dengan jumlah siswa), faktor siswa (minat siswa terhadap sastra umumnya kurang begitu menggembirakan/dianggap kurang begitu penting, serta jumlah mereka yang umumnya masih sangat banyak ), faktor kemampuan (banyak yang kurang memiliki minat dan perhatian serta wawasan yang baik terhadap sastra serta masih banyak guru yang bukan berlatarbelakang disiplin ilmu bahasa dan sastra Indonesia) dan faktor-faktor lain (porsi sastra dalam evaluasi, baik pada level sumatif maupun Ebtanas masih sangat minim dan
i
17
kurang menitiktekankan pada hasil apresiasi siswa serta perhatian pimpinan sekolah serta staf pengajar lainnya terhadap kegiatan-kegiatan bersastra umumnya kurang begitu baik). 6. Saran Responden untuk Memperbaiki Pengajaran Sastra
Berdasarkan hasil temuan di di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk saran yang diajukan oleh para guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMU di Jawa Barat dan DKI Jakarta dalam upaya memperbaiki pengajaran sastra di sekolah meliputi melengkapi sarananya (melengkapi perpustakaan dan fasilitas penunjang pengajaran sastra), perbaikan kurikulum (otonomi pengajaran sastra dalam kurikulum, meninjau ulang soal-soal sastra dalam Ebtanas serta mencantumkan secara tegas buku-buku sastra yang seharusnya dibaca oleh para siswa) peningkatan kualitas para gurunya (mengupayakan adanya guru khusus
bidang sastra, mengadakan diklat secara terencana, serta memohon pihak LPTK membuka secara khusus pendidikan sastra) serta faktor-faktor penunjang lainnya (mendatangkan sastrawan ke sekolah-sekolah, memberikan hadiah kepada para siswa yang banyak membaca karya sastra dan nilai sastranya bagus, serta menggalakkan kegiatan sastra, baik dalam kegiatan ekstrakurikuler maupun di masyarakat). Kalau kita cermati antara kendala-kendala dan saran-saran yang dikemukakan oleh para responden di atas tampaknya telah mengalami persesuaian. Dengan perkataan lain saran-saran yang dikemukakan berusaha untuk menjawab kendala-kendala yang dihadapi. Simpulan dan Saran
18
i