SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA TUAL THE HISTORY OF TUAL GOVERNMENT
Suharman,1 A.Rasyid Asba,2 Edward L. Poelinggomang,2 1
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin 2 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Suharman, S.Pd Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar Hp: 085242042015 Email:
[email protected]
1
ABSTRAK Tual yang menjadi fokus penelitin ini merupakan sebuah kota yang berada di Kepulauan Kei. Kehadirannya telah melampaui batas-batas rezim yang cukup lama. Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan dan menjelaskan kedudukan Kota Tual pada masa pemerintah kolonial, perkembangan Kota Tual pada masa kemerdekaan, proses tebentuknya Kota Tual sebagai daerah otonom? Metode yang dipergunakan adalah metode sejarah kritis, yaitu dengan tahap-tahap: proses pengumpulan sumber atau proses heuristik, melakukan kritik sumber dengan dua hal (kritik eksteren yang menyangkut outentitas atau keabsahan sumber dan kritik interen yang menyangkut kredibilitas atau bisa tidaknya sumber dipercaya), interpretasi atau penafsiran sumber-sumber dan yang terakhir adalah penyajian sejarah atau historiografi dalam bentuk kisah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Kolonial Belanda Kota Tual dibangun sebagai basis kota pelabuhan yang memiliki peran penting dan strategis bagi pelayaran dan perdagangan. Pada masa pendudukan Jepang, Tual menjadi salah satu pangkalan militer Jepang. Kemudian pada masa kemerdekaan Tual menjadi Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Pada periode reformasi, seiring dengan desentaralisasi dan demokratisasi, Kota Tual menjadi dareah otonomi sebagai upaya menciptakan desentralisasi dalam bidang pemerintahan. Perkembangan pemerintahan Kota Tual tidak terlepas dari basis sejarah yang kuat dan telah mengakar, sehingga membentuk pemerintahan otonom. Kata Kunci: Sejarah Pemerintahan, Politik, demokratisasi, Kota Tual.
ABSTRACT Tual which become the focus of this research is a city located in the Kei Islands. Its presence has exceeded the boundaries of a long regime. This study aims to describe and explain the position of Tual City during the colonial government, the development of Tual at independence period, the process of establishment Tual as an autonomous region? The method used is critical historical methods, that is the stages: the process of collecting source or heuristic processes, source criticism with two things (criticism concerning eksteren outentitas or validity of sources and internal criticism regarding the credibility or whether or not a credible source), interpretation or interpretation of the sources and the last one is a presentation of the history or historiography in the form of stories. The results show that during the Dutch colonial government, the city of Tual built as a base port city that has an important and strategic role for shipping and trade. During the Japanese occupation, Tual become one of Japanese military base. Then at independence period Tual become the Capital District of Southeast Maluku. In the reformation period, along with desentralization and democratization, Tual become autonomous region as an effort to create a decentralization in government areas. The development of Tual City can not be separated from a strong base of history and has been rooted, where forming the autonomous government. Keywords: The Governance History, Politics, Democratization, Tual.
2
PENDAHULUAN Tual yang menjadi fokus dalam penelitian ini merupakan sebuah kota yang berada di Kepulauan Kei. Kepulauan Kei terbagi dalam dua pulau yaitu Pulau Kei Besar dan Pulau Kei Kecil. Kei Besar terbagi dalam tujuh distrik yang meliputi : Waiyer, Ellat, Nirong, Fehr, Jamtilo, Elie, Wattelaar. Sedangkan Kei Kecil terbagi dalam tiga distrik yang meliputi : Dullah, Tuallah (Tual), Danner. (TBG, 1855). Kehadirannya telah melampau batas-batas rezim yang cukup lama, sejak periode kerajaan/pemerintahan adat, periode kolonial Belanda, pendudukan Jepang, periode orde lama dan orde baru serta era otonomi sekarang ini, memperlihatkan basis historis dan kultural yang kuat. Selanjutnya basis historis dan kultural ini menjadi power yang cukup dominan membentuk sebuah identitas kekotaan. Apa yang tersaji dalam sejarah panjang Kota Tual memperlihatkan dinamikanya sendiri, berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan politik akibat pergantian rezim dengan ranah kebijakan yang berbeda-beda pula. Pada masa pemerintah Hindia Belanda Tual berstatus sebagai afdeeling dan termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Keresidenan Maluku. Pada tahun 1931, wilayah Tual terbagi dalam empat onderafdeeling meliputi; (1) Kepulauan Kei, (2) Kepulauan Aru, (3) Kepulauan Tanimbar, dan (4) Kepulauan Barat Daya (Lembar Negara Nomor 409, 1931). Pada tahun 1934, wilayah Afdeeling Tual mengalami perubahan pemerintahan, mencakup; dalam enam onderafdeeling antara lain: 1) Kepulauan Kei; 2) Kepulauan Aru; 3) Kepulauan Tanimbar; 4) Kepulauan Barat Daya; 5) New Guinea Selatan; 6) dan Boven Digul (Lembar Negara Nomor 11, 1934). Perubahan pemerintahan ini memberi pengaruh pula pada perkembangan Tual sebagai salah satu daerah penting dalam perdagangan dan pelayaran. Konteks ini juga mendorong kedatangan para pedagang dari luar sehingga Tual semakin ramai sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi. Terbentuknya Kota Tual bukanlah persoalan spontan tetapi merupakan ide yang telah lama terbangun dari kesadaran akan diri dan lingkungan para tokoh dan pejuang berdirinya Kota Tual. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Kota Tual sebagai indentitas merupakan product of mentality, di mana para tokoh yang memiliki kapabilitas menyadari perlunya membentuk Kota Tual dalam rangka pembangunan dan kesejahteraan. Kendatipun bisa saja dalam proses pembentukan terdapat kepentingan-kepentingan yang saling berseberangan. Karenanya untuk menulis sejarah perkembangan Kota Tual perlu menganalisis masyarakat dari periode ke periode sebagai suatu struktur yang nyata dari aturan, peran-peran, relasi-relasi dan makna-makna yang dihasilkan dan berubah oleh individu yang merupakan kondisi sebab 3
akibat dari tindakan, keyakinan dan keinginan-keinginannya. Karenanya, penelitian ini berusaha mengkonseptualisasi Kota Tual dengan mengkaji proses pembentukan struktur dengan memeriksa interaksi sebab akibat dari para tokoh/aktor, kelompok-kelompok, kelaskelas dan pengstrukturan kondisi-kondisi sosial, keyakinan-keyakinan dan keinginankeinginan aktor, kelompok atau kelas-kelas tersebut, sehingga Kota Tual tergambar seperti apa yang kita saksikan sekarang ini sebagai sebuah proses dialektika yang panjang. Berdasarkan argumentasi di atas, maka variabel penting yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah dinamika perkembangan Kota Tual mulai periode Hindia-Belanda, periode pendudukan Jepang, orde lama, orde baru sampai pada era reformasi. Periode pemerintahan Hindia Belanda merupakan periode penting sebagai peletak dasar infrastruktur Kota Tual. Dalam struktur pemerintahan kolonial Tual merupakan daerah afdeeling. Pada periode ini Tual menjelma menjadi kota pelabuhan yang memiliki posisi cukup strategis dalam perdagangan rempah dan hasil-hasil bumi secara global (Lapian, 2009). Kemudian pada periode pendudukan Jepang, Tual menjadi salah satu basis militer Jepang untuk menyerang Irian Barat dan Australia. Memasuki periode kemerdekaan, Tual senantiasa mengalami perubahan struktur sampai pada era reformasi sekarang ini Tual menjadi daerah otonom. Penelitian tentang sejarah kota telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Antara lain, Rabani (2010) “Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara” menjelaskan kedudukan kotakota pantai di Sulawesi Tenggara antara lain Kota Buton, Kota Kendari dan Kota Muna. Rabani banyak menggambarkan identitas dan administrasi pemerintahan di Sulawesi Tenggara, perdagangan dan hubungan politik. Selain itu akan menjelaskan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Sulawesi Tenggara. Kebijakan Pemerintah Belanda mengenai aktivitas pelayaran di Hindia Belanda adalah membuka kesempatan di bidang pelayaran dan perdagangan bebas pada awal abad ke-19. Realisasi dari kebijakan itu ditandai dengan pembukaan sejumlah pelabuhan untuk kepentingan perdagangan umum. Penelitian lain adalah Makelo (2009) “Kota Seribu Gereja, Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado”. Penelitian ini membahas tentang perkembangan kota Manado dalam kaitannya dengan dinamika keagamaan, baik pada masa kolonial hingga pascakolonial. Dinamika keagamaan yang terjadi pada kedua masa ini, memperlihatkan bahwa pengaruhnya sangat besar, baik terhadap kemajuan dan perubahan sosial, maupun atas penggunaan ruang kota. Meningkatnya aktivitas keagamaan pascakolonial, mendorong semaraknya pendirian rumah ibadah dan fasilitas keagamaan lainnya. Rumah ibadah “dipilih” untuk menggantikan simbol kolonial sebagai konsekuensi dekolonisasi, yang semakin nyata 4
sejak tahun 1950-an. Berbagai simbol kolonial dihancurkan atau diganti dengan simbol agama atau lokal. Bertolak dari latarbelakang diatas terdapat tiga pokok persoalan yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, meliputi; 1) Mengungkapkan kedudukan Kota Tual pada masa kolonial. 2) Mengungkapkan perkembangan Kota Tual pada masa kemerdekaan. 3) Mengungkapkan proses terbentuknya pemerintah Kota Tual.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yakni pada bulan Mei sampai dengan Juli 2012 dan dilakukan di Kota Tual Provinsi Maluku. Pemilihan Kota Tual sebagai lokasi penelitian adalah : 1) Kota Tual merupakan daerah otonomi baru yang memisahkan diri dari Kabupaten Maluku Tenggara; 2) Sebagai kota otonom baru, Kota Tual belum banyak di bahas oleh pemerhati sejarah, padahal Kota Tual merupakan kota pelabuhan yang sangat ramai dalam pelayaran dan perdagangan pada masa kolonial hingga sekarang. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah
data kualitatif yang diperoleh dengan cara studi
pustaka. Penulisan sejarah sangat tergantung pada sumber yang tersedia. Demikian pentingnya sumber itu sehingga dikatakan “tidak ada sumber tidak ada sejarah (no document no history) (Pranoto, 2010). Tulisan ini, selain menggunakan sumber primer juga didukung oleh sumber sekunder (Kuntowijoyo, 1997). Sumber primer yaitu sumber yang berkaitan langsung dengan peristiwa yang diceritakan atau saksi mata, dokumen dan arsip merupakan sumber primer. Sumber sekunder yaitu kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni orang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan, buku-buku umum merupakan sumber sekunder (Murdiyatmoko, 2004). Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif analitis dengan tahap-tahap pengumpulan sumber, setelah sumber sejarah dalam berbagai kategori itu terkumpul tahap berikutnya ialah kritik sumber untuk memperoleh keabsahan sumber (Abdurahman, 1999). Fase terakhir dalam tahap penelitian adalah penulisan sejarah. Penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya memberikan gambaran yang jelas yang mudah dipahami. Melalui deskriptif analisis, rangkaian fakta yang beragam bersumber dari sumber-sumber yang telah diperoleh disusun kembali menjadi penjelasan yang utuh dan komprehensif supaya mudah dipahami. Hal ini
5
dapat memberikan sebuah pengertian tentang penelitian kesejarahan tersebut sebagai suatu proses, dapat digambarkan kembali (Abdullah, 1985).
HASIL Keberadan Kota Tual merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kota Ambon, Ternate, dan Tidore yang berada di Kepulauan Maluku. Sebagai daerah niaga maritim, Tual merupakan penyangga niaga Makassar dan Tidore sehingga memiliki fungsi yang strategis. Keberadaan pelabuhan menjadi cukup vital dalam mendukung kegiatan ekonomi. Kota Tual pada masa kolonial merupakan wilayah afdeeling yang membawahi enam onderafdeeling antaralain : 1) Kepulauan Kei; 2) Kepulauan Aru; 3) Kepulauan Tanimbar; 4) Kepulauan Barat Daya; 5) New Guinea Selatan; 6) dan Boven Digul. Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan Tual mengalami perubahan. Pada periode ini Tual menjadi daerah basis pertahanan Jepang. Pelabuhan yang selama ini berfungsi sebagai sarana perdagangan dan pelayaran berubah menjadi landasan bagi pasukan Jepang sebagai daerah penyanggah untuk menyerang tentara Australia di Papua. Pada periode ini Kota Tual menjadi salah satu wilayah pertahanan tentara Jepang. Pada masa kemerdekaan untuk mewujudkan penataan pemerintahan di Daerah Maluku Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia menugaskan Gubernur Maluku untuk mempersiapkan pembubaran dan pembagian wilayah Maluku Tenggara dalam daerah otonom tinkat II. Sebenarnya setelah Indonesia merdeka, Maluku Tenggara merupakan bagian dari Maluku Selatan sehingga terdapat tokoh-tokoh dari Maluku Tenggara yang menduduki Dewan Maluku Selatan berpendapat bahwa letak geografis Maluku Tenggara jauh dari Ambon sebagai ibukota Maluku Selatan serta kurangnya sarana prasarana perhubungan ke Maluku Tenggara. Tahun 1951, Gubernur Maluku MR. J. Latuharhary dengan menumpang kapal Kasimbar mengunjungi Maluku Tenggara. Pada kesempatan itu Gubernur mengundang tokoh-tokoh Maluku Tenggara untuk mengadakan pertemuan diatas kapal dan menjelaskan bahwa tuntutan tokoh-tokoh Maluku Tenggara telah dipenuhi, maka daerah Maluku Selatan dibagi dua bagian ; yaitu, Daerah Tingkat II Maluku Tengah dan Daerah Tingkat II Maluku Tenggara. Untuk kepentingan Ibukota Daerah Tingkat II Maluku Tenggara setelah melalui perdebatan seru akhirnya didapat persetujuan bersama Tual menjadi ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Pada periode setelah orde baru, lahir dua Undang-Undang tentang pemerintahan daerah. Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 tahun 6
1999.
Seiring dengan desentaralisasi dan demokratisasi, Kota Tual sebagai ibukota
Kabupaten Maluku Tenggara juga mengalami proses perubahan yang begitu cepat seiring perubahan politik nasional. Gerakan reformasi membuka kesempatan kepada masyarakat Tual untuk mengembalikan Tual sebagai daerah strategis dan memiliki pemerintahan tersendiri. Perjuangan pemekaran Kota Tual diawali dengan proses pewacanaan dalam masyarakat, yang menimbulkan pemetaan kelompok pro dan kontra. Akhirnya pembahasan pembentukan Kota Tual menjadi salah satu agenda dalam Sidang DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dan menetapkan Keputusan No. 135/KEP/17/2007 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Tual dan Surat Rekomendasi DPRD Maluku Tenggara No. 07/DPRD.II.MT/II/1999 tentang Perjuangan Pembentukan Kota Tual.
Keputusan DPRD Maluku Tenggara berdasarkan
aspirasi masyarakat dan hasil dari berbagai kajian tentang syarat-syarat pembentukan sebuah kota. Atas pertimbangan kajian tersebut, maka DPRD menganggap bahwa pentukan Kota Tual telah meneuhi syarat administratif. Berdasarkan kajian daerah, Kota Tual telah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah kota yang otonom.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan, Kota Tual merujuk pada salah satu wilayah otonom yang disebut Zelfsbestuur Landchap dan dipimpin oleh seorang Raja. Dimasa kolonial, Tual berstatus sebagai Afdeeling (Asba, 2012). Wilayah Afdeeling Tual meliputi enam Onderafdeeling antara lain ; 1) Kepulauan Kei; 2) Kepulauan Aru; 3) Kepulauan Tanimbar; 4) Kepulauan Barat Daya; 5) New Guinea Selatan; 6) dan Boven Digul (Lembar Negara Nomor 409, 1931). Pada masa pemerintahan Jepang, Kota Tual menjadi salah satu basis militer tentara Jepang dalam rangka menyerang pasukan Sekutu di Papua dan Australia. Kota Tual menjadi daerah penting bagi kedudukan militer Jepang di Indonesia. Kemudian pada masa kemerdekaan Tual adalah ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Seiring dengan lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka konsekuensi lahirnya undang-undang ini menjadi dasar bagi Tual untuk membentuk pemerintahan otonom berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Masyarakat di Kepulauan Kei memegang teguh Hukum Larvul Ngabal, sebagai alat pemersatu yang dapat menghilangkan sekat-sekat agama diantara mereka (Pattikayhatu dkk., 1998). Panduan antara konsepsi yang disandarkan pada agama dan kesetiaan pada elemen7
elemen lokal, selanjutnya membentuk suatu sikap hidup dan kepercayaan yang tercakup dalam sistem kemasyarakatan yang khas. Ciri khas tersebut lahir dari proses dan integrasi antar elemen-elemen agama
dengan budaya setempat, dan ciri tersebut sekaligus
membedakan masyarakat Kepulauan Kei dengan masyarakat lainnya yang ada di Maluku (Difinubun, dkk., 2008). Pembahasan pemekaran Kota Tual di DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dilakukan dengan pembentukan Panitia Khusus, terdapat tiga Surat Keputusan Pembentukan Panitia Khusus Penanganan Pemekaran Wilayah Kota Tual Kabupaten Maluku Tenggara. Panitia Khusus yang pertama dibentuk berdasarkan Keputusan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Nomor : 18/XVIII/2005 yang di ketuai oleh Lukman Matutu, SH, kemudian direvisi berdasarkan Keputusan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Nomor : 02/I/DPRD/2006 masih di ketuai oleh Lukman Matutu, Panitia Khusus yang ketiga dibentuk berdasarkan Keputusan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Nomor : 13/II/DPRD/2007 yang diketuai oleh Ir. J. Silitubun. Panitia Khusus ini bertugas pertama, mengambil langkah, serta mengumpulkan data dan menyusun pengkajian materi yang berkaitan dengan pemekaran wilayah Kota Tual; kedua, melakukan konsultasi dan koordinasi dengan pejabat terkait di Kabupaten Maluku Tenggara, Pemerintah Provinsi Maluku maupun Pejabat Pemerintah Pusat dan DPR-RI; ketiga, menyusun dan rencana kegiatan anggaran sehubungan dengan pemekaran Kota Tual tersebut; keempat, menyampaikan laporan kegiatan kepada pimpinan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara untuk seterusnya disampaikan dalam Rapat Pleno DPRD Kabupaten Maluku Tenggara. Pembicaraan pembentukan Kota Tual di DPRD berjalan alot dan berliku-liku. DPRD sebagai lembaga perwakilan politik tertentu berusaha menyalurkan berbagai macam kepentingan masing-masing konsitutuennya. Variasi kepentingan itu bukan saja berbeda bahkan ada yang bertentangan satu sama lain. Setidaknya ada tiga variasi pendapat yang berkembang dalam rapat DPRD, pertama, kelompok pro pemekaran, kedua, kelompok yang menolak pemekaran, dan ketiga kelompok yang moderat. Kelompok sifatnya tidak menolak pemekaran, akan tetapi diperlukan pemikiran yang lebih jernih dan persiapan-persiapan sebelum pemekaran. Akibat dari perbedaan pandangan tersebut, muncul gerakan-gerakan dalam masyarakat yang bersifat mendukung dan menolak pemekaran. Bahkan terjadi gesekan-gesekan kedua kelompok ini. Kelompok yang mendukung dan menolak pemekaran Kota Tual nyaris bentrok di Kantor Gubernur Maluku di Ambon. Insiden ini berlangsung saat menunggu kedatangan rombongan dari Departemen Dalam Negeri yang akan bertemu tokoh masyarakat Maluku 8
Tenggara. Rencananya Kota Tual dijadikan sebagai kota administratif. Dan ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara akan dipindahkan ke Pulau Kei Kecil. Namun, rencana yang masih dalam pembahasan ini berujung pro dan kontra (Liputan6.com, 2007). Setelah melalui pergulatan panjang antara pro dan kontra pembentukan Kota Tual, akhirnya pembahasan pembentukan Kota Tual menjadi salah satu agenda dalam sidang DPRD Kabupaten Maluku Tenggara. Proses pembentukan Kota Tual itu sendiri merupakan hak usul inisiatif DPRD Kabupaten Maluku Tenggara. Untuk mengapresiasi asipirasi masyarakat dan untuk mendorong pembangunan daerah, DPRD Kabupaten Maluku Tenggara akhirnya menetapkan keputusan No. 135/KEP/17/2002 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Tual, dan Surat Rekomendasi DPRD Kabupaten Maluku Tenggara No. 07/DPRD.II.MT/II/1999 tentang Perjuangan Pembentukan Kota Tual, maka diajukan hak usul inisiatif yang ditandatangani oleh 25 Anggota DPRD yang terdiri dari semua unsur fraksi tentang usul inisiatif DPRD mengenai RUU Pembetukan Kota Tual (Asba, 2012). Keputusan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara tersebut berdasarkan aspirasi masyarakat dan hasil dari berbagai kajian tentang syarat-syarat pembentukan sebuah kota. Atas pertimbangan kajian tersebut, maka DPRD menganggap bahwa pembentukan Kota Tual telah memenuhi syarat administratif. Berdasarkan kajian daerah, Kota Tual telah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah kota yang otonom. Hal ini juga berdasarkan kepentingan memacu perkembangan dan kemajuan Provinsi Maluku pada umumnya dan Kabupaten Maluku Tenggara pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, perlu dilakukan peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kemudian dengan memperhatikan kondisi geografis yang merupakan daerah kepulauan, kemampuan
ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan
pertimbangan aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan serta meningkatnya beban tugas dan volume kerja dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Maluku Tenggara, maka pembentukan Kota Tual di wilayah Provinsi Maluku merupakan suatu hal yang tidak bertentangan dengan paradigma pembangunan. Dalam rapat DPRD Kabupaten Maluku Tenggara juga mengetengahkan bahwa pembentukan Kota Tual diharapkan akan dapat mendorong peningkatan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Berdasarkan hal di atas, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan UndangUdang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual. Undang-undang ini menjadi 9
dasar konstitusional pembentukan Kota Tual. Kota Tual telah terbentuk dengan cakupan wilayah administratif, Kecamatan Dullah Utara, Kecamatan Dullah Selatan, Kecamatan Pulau Tayando Tam, dan Kecamatan Pulau-Pulau Kur. Dengan terbentuknya Kota Tual, maka wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dikurangi dengan wilayah Kota Tual. Kemudian batasbatas wilayah Kota Tual meliputi: sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di Selat Nerong, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau-Pulau Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara dan Laut Arafura, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Banda (BPS, 2010). Untuk menjalankan roda pemerintahan, maka pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden meresmikan terbentuknya Kota Tual dan pengangkatan Walikota Tual dan memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Kota Tual. Sebelum dilakukan pemilihan Walikota Tual, untuk pertama kalinya Penjabat Walikota diangkat dari pegawai negeri sipil dengan masa jabatan paling lama 1 (satu) tahun dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden berdasarkan usul Gubernur. Gubernur Maluku kemudian mengusulkan Dra.Hj. Ing Reri sebagai karateker Walikota Tual sebelum dilakukan pemilihan secara langsung.
KESIMPULAN DAN SARAN Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Kota Tual adalah daerah afdeeling Tual yang termasuk dalam wilayah administratif Keresidenan Maluku. Sejak pemerintahan Hindia Belanda, Kota Tual mengalami perkembangan dari segi infrastruktur kota, yaitu sebagai kota Pelabuhan. Pemerintah Hindia Belanda membangun berbagai fasiltias pelabuhan dan sarana publik lainnya. Perkembangan ini beriring pula dengan perkembangan penduduk Kota Tual sehingga menjadikan Tual sebagai daerah perdagangan dan pelayaran. Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan Tual mengalami perubahan. Pada periode ini Tual menjadi daerah basis pertahanan Jepang. Pelabuhan yang selama ini berfungsi sebagai sarana perdagangan dan pelayaran berubah menjadi landasan bagi pasukan Jepang sebagai daerah penyanggah untuk menyerang tentara Australia di Papua. Pada periode ini Kota Tual menjadi salah satu wilayah pertanahan tentara Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, Kota Tual menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pada periode kemerdekaan Tual menjadi ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Setelah reformasi dan terbukanya ruang demokrasi dan desentralisasi mendorong munculnya gerakan pembentukan daerah otonom. Kota Tual sebagai kota yang memiliki identitas tersendiri juga menjadi bagian dari perjuangan pembentukan daerah otonom. 10
Proses terbentuknya Kota Tual melalui jalan panjang dan berliku. Terdapat intrik dan strategi dalam memperjuangkan Kota Tual. Dalam proses tersebut dapat dipetakan dalam tiga hal, pertama proses pewacanaan dalam masyarakat. Proses ini memberikan dorongan munculnya wacana pemekaran dalam masyarakat sehingga memperlihatkan pemetaan pro dan kontra. Kedua, Proses kajian sumber daya dan kesanggupan infrastruktur. Tim pembentukan Kota Tual bekerja secara maksimal untuk menyakinkan secara matematis bahwa Kota Tual dapat dibentuk. Kemudian ketiga proses konstitusi. Proses ini melibatkan aspek hukum dan admisnitrasi pemerintahan. Kesesuaian dengan Undang-Udang yang ditetapkan pemerintah dalam proses pemekaran menjadi bagian penting dalam proses pembentukan Kota Tual. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, didukung dengan keterbukaan akses infomasi perlu dilakukan penulisan sejarah lokal lebih banyak lagi, demi pengenalan jati diri bangsa dalam memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
11
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. (1985). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Abdurahman, Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Asba, A. Rasyid, dkk., (2012). Sejarah Kota Tual. Makassar: Pustaka Pena Press. BPS Maluku Tenggara. (2010) Tual Dalam Angkat Tahun 2010. Maluku Tenggara : BPS. Difinubun, A. dkk. (2008). Tim Penyusun Sejarah/ Hukum Larwul Ngabal. Pemerintah Daerah Maluku Tenggara. Kuntowijoyo. (1997). Metodologi Sejarah: Edisi Kedua. Yogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Lapian, Adrian B. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi. Jakarta: Komunitas Bambu. Lembar Negara Nomor 409 15 Oktober 1931. Lembar Negara Nomor 11 Buitenzorg, 10 November 1934. Liputan6.com, “Pro kontra Pemekaran Bengkalis dan Tual, tanggal 25 Januari 2007. Makelo, Ilham Daeng. (2010). Kota Seribu Gereja, Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Yogyakarta: Ombak Murdiyatmoko, Janu. (2004). Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat. Jakarta: Grafindo Media Pratama. Pattykayhatu, J.A. dkk., (1998). Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara. Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku. Pranoto, Suhartono W. (2010). Teori dan Metodologi Sejarah. Yogjakarta: Graha Ilmu. Rabani, La Ode. (2010). Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Yogyakarta: Ombak. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Geography (TBG). (1855). Bijdrage Tot De Kennis Van de Keij Eilanden. Jilid IV.
12