KOMUNIKASI INTRA DAN ANTARBUDAYA MASYARAKAT MUSLIM KEI DI KOTA TUAL Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh: Nurul Ain Kabakoran NIM: 1110051000056
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/ 1435 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, April 2014
Nurul Ain Kabakoran
ABSTRAK Nurul Ain Kabakoran 1110051000056 Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual Penelitian ini berupaya untuk mengetahui informasi mengenai pribadi seorang muslim Kei dalam berkomunikasi intra dan antarbudaya antarsesama masyarakat di Kota Tual manakah nilai yang paling menonjol antara nilai budaya dan nilai agama. Suku Kei adalah suku asli yang berasal dari Kota Tual-Maluku dan dikenal dengan adat istiadatnya yang kental serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut. Namun di Kota Tual tidak semua penduduknya berasal dari suku Kei, ada juga pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti bugis, jawa, padang, dan lain-lain. Dari penjabaran di atas, maka penulis memunculkan pertanyaan, sebagai objek pembahasan skripsi ini, bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual, bagaimana komunikasi intrabudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-muslim Kei, serta bagaimana komunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual tersebut. Teori yang penulis gunakan adalah teori interaksi-simbolik yang dipelopori oleh George Herbert Blumer yang melanjutkan pemikiran dari George Herbert Mead. Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada perspektif subjektif. Subjektif di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu menciptakan sesuatu, menginterpretasi, dan menegosiasikan makna serta melihat bagaimana mereka memandang realitas sosial sebagai interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat muslim Kei dapat berinteraksi dan menjalin komunikasi intra dan antarbudaya dengan baik, aman, dan damai. Pluralitas yang ada di tengah mereka tidak menjadi alasan penyebab timbulnya konflik, adapun konflik yang terjadi tersebut hanya dilakukan oleh pihak tertentu yang sengaja menggunakan isu ras atau kelompok sebagai pemicu konflik. Yang menjadi pegangan masyarakat Kei adalah hukum adat Larvul Ngabal, hukum adat yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Kei dan di dalamnya tidak ada tradisi atau ritual yang bertentangan dengan syariat Islam. Kekeluargaan dan kekerabatan menjadi hukum adat mendasar yang dipegang oleh masyarakat Kei dengan falsafahnya “Ain Ni Ain” sehingga sesama masyarakat Kei dapat melakukan aktivitas komunikasi intrabudaya dengan harmonis walaupun berbeda dalam menganut agama dan sistem kepercayaan. Sedangkan yang membuat langgengnya aktivitas komunikasi antarbudaya adalah konsep ukhuwah islamiyah yang dipegang oleh masing-masing individu. Jadi keduanya saling mendukung dan memengaruhi antara nilai budaya dan nilai agama. Kata Kunci: komunikasi, agama, budaya, suku Kei, dan pendatang. i
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada hambaNya sehingga skripsi yang berjudul “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual” dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Tak lupa, shalawat dan salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW serta keluarga, sahabat, dan para pengikut hingga akhir zaman. Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai persyaratan dalam menyelesaikan program studi di jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Terselesaikannya skripsi ini juga tidak luput dari bantuan pihak luar. Izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Arief Subhan, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum.
ii
3.
Rachmat Baihaky, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus berperan sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat yang tiada henti kepada penulis serta mendukung dan memberi banyak kemudahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Jazakumullah Ahsanal Jaza.
4.
Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang selalu membantu dan menyemangati penulis.
5.
Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Barakallah Lakum Fii Kulli Haal.
6.
Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.
Seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8.
Pemerintah Kota Tual, Pemerintah Adat Kota Tual, Kementrian Agama Kota Tual, Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Tual, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tual, yang turut berperan dalam selesainya penelitian ini, khususnya kepada Walikota Tual Drs. Hi. M. M. Tamher, Kepala Kantor Kementrian Agama Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I., Tokoh Adat Kei Ahmad Tamherwarin, S.H dan Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I. Terima kasih telah meluangkankan waktu berharganya kepada penulis.
iii
9.
Secara khusus dan terutama adalah yang selalu penulis kagumi dan cintai, kedua orang tua, Ayahanda Hamis Kabakoran dan Ibunda Rohani Kabakoran yang tak pernah lelah pagi dan petang, siang dan malam mendoakan penulis, memberikan dukungan, dan berkorban harta, jiwa dan raga demi penulis. Semoga Allah selalu mengampuni, menjaga, dan menyayangi kalian.
10.
Kakak dan Adik penulis, Kak Titi, Abang Wan, Ta El, Abang Be dan Dek Cici yang selalu menyemangati dan menginspirasi penulis.
11.
Kakek dan Nenek, Om dan Bibi, Tata dan Abang serta Ponakan-ponakan yang selalu mencintai dan mendoakan penulis sehingga membuat penulis tak pernah merasa sendiri.
12.
Guru-guru dan kawan seperjuangan penulis selama duduk di bangku MI, MTs, hingga MA yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan berbagi pengalaman dengan penulis.
13.
Keluarga Ciputat Evav. Aunteput, M’piet, Deaudy, Kajee, Bundaeka, SJQung, LinglingNha, Ichaaku, Kak Anna, Dejiyah, Deistia, dan Adelia yang selalu bersama menikmati suka duka setiap hari di bumi Ciputat.
14.
Sahabat terindah Ghafna, Vhy Vhe Vha Yha Khy Nha Nhy Shy dan Lha terima kasih atas semangat dan dukungannya. Semoga abadi.
15.
Tim Hore. Abangfah, Banggun, Tecken, Ilham, Kaablo, Radit, Zhaky, Bangojan, Bangamin, Banghadi, Bangalvin, Bangfik, Bangamzhy, dan Bangpatih yang tak pernah bosan membantu dan memberi semangat.
iv
16.
Kawan Seperjuangan. Ulva Midah Dwi Putri Faizah Chandra Hardiansyah Fauzi Ade Adam Tri, dan teman-teman seperjuangan KPI B angkatan 2010, yang telah melalui sebuah masa penuh kebahagiaan dengan penulis selama menuntut pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.
17.
Keluarga KKN Aksara, Paradise Dadut Bulbul Ale Caidi Puji Srohbenk Kaneng Balika Baina Tami Uyung, seluruh warga Cisarua, Pak Ujang, Ibu Maryati dan semuanya terima kasih atas kerja sama dan pengalamannya, terima kasih juga telah mengajarkan penulis arti dari sebuah pengabdian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis akan menerima segala kritik dan saran dari pembaca sehingga dapat menjadi acuan pembelajaran bagi penulis. Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya dan pembaca pada umumnya.
Ciputat, April 2014
Nurul Ain Kabakoran
v
DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
8
E. Metodologi Penelitian ..............................................................
9
F. Tinjauan Pustaka ......................................................................
14
G. Sistematika Penulisan ...............................................................
17
BAB II LANDASAN TEORITIS A. Komunikasi dan Budaya ..........................................................
21
Komunikasi ..................................................................
21
Budaya ..........................................................................
28
Komunikasi Sebagai Proses Budaya ............................
32
B. Komunikasi Intrabudaya ..........................................................
35
C. Komunikasi Antarbudaya.........................................................
40
D. Teori Interaksi-Simbolik ..........................................................
48
BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Kota Tual ........................................................................
57
B. Infrastruktur Wilayah Kota Tual ..............................................
60
C. Kecamatan Dullah Selatan .......................................................
65
D. Asal Muasal Suku Kei ..............................................................
67
E. Keadaan Masyarakat Kei di Kota Tual ....................................
72
vi
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA A. Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual ..............................................................................
Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan Masyarakat Non-muslim Kei di Kota Tual .......................
78
80
Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan Masyarakat Non-Kei Muslim di Kota Tual ......................
93
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...............................................................................
99
B. Saran .........................................................................................
100
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
101
LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Kota Tual adalah sebuah kota di Provinsi Maluku yang merupakan bagian dari negara Kepulauan Indonesia. Kota Tual pernah menjadi bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara sebelum Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 31 disahkan. Pembentukan Kota Tual sebagai daerah otonom pun pernah dipertentangkan secara hukum oleh beberapa pihak yang merasa tidak puas, kemudian berakhir di putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kota Tual tetap sah dan memenuhi syarat sebagai kota otonom. Kini Kota Tual telah berdiri sendiri dan pemerintahan kota di sana telah berjalan efektif.1 Penduduk asli Kota Tual adalah suku Kei sama halnya dengan Kabupaten Maluku Tenggara. Namun tidak semua penduduk di sana berasal dari suku asli Kei, melainkan juga berasal dari suku lain yang kemudian menetap di Kota Tual. Misalnya orang asal suku Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, Buton serta Ambon, yang menetap sebagai pedagang. Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat Kei di Kota Tual mungkin belum banyak dikenal. Namun dalam catatan sejarah lokal Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakkan masyarakat Kei yang secara 1
BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari “http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
1
2
struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal. Suatu hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan manusia baik individu maupun komunitas adat Kei. Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat tiga nilai perekat, yakni: (1) Falsafah “Ain Ni Ain Hira Ni Fo Hira Ni It Did Fo It Did”, yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2) Falsafah “Foing Fo Kut Fauw Fo Banglu”. Nilai foing fo kut ini bermakna menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan. Sedangkan nilai fauw fo banglu bermakna kemampuan untuk menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan; Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun lebih pada pengertian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk mistis. Karena itu foing fo kut fauw fo banglu dapat juga dimaknai bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, dan (3) Falsafah “Vuut Ain Mehe Ni Ngivun, Manut Ain Mehe Ni Tilur”, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.2 Suku Kei merupakan salah satu suku yang dikenal dengan budaya dan adat istiadatnya yang kental, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut serta menjadikan budaya dan adat istiadat sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi kehidupan. Budaya dan adat istiadat mendapat tempat pertama bagi 2
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari “http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
3
masyarakat Kei sebab sebelum adanya pemerintah dan datangnya agama di Bumi Larvul Ngabal lembaga adat dan budaya adat Kei sudah terlebih dahulu berperan.3 Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Kota Tual. Kemudian diikuti agama Kristen dan agama lainnya. Setelah agama datang, masyarakat Kei pun mulai memeluk agama sesuai keyakinannya tentang agama paling benar yang harus dianutnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan, salah satu nilai perekat yang ada pada masyarakat Kei adalah nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh karena itu, memudahkan masyarakat Kei dalam berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan sesama sukunya. Baik sesama agama maupun berbeda agama. Misalnya sesama muslim Kei maupun antara muslim Kei dengan non-muslim Kei. Pola komunikasi seperti ini dikenal dengan komunikasi intrabudaya. Tidak hanya itu, masyarakat Kei juga bisa berinteraksi dan menjalin komunikasi secara baik dan sehat dengan masyarakat luar adat Kei seperti masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon. Padahal berbeda suku seperti ini tentu berbeda pula bahasa, budaya, dan adat istiadatnya. Meskipun terdapat banyak perbedaan, masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon) muslim tersebut dapat saling berinteraksi tinggal menetap di Kota 3
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari “http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
4
Tual dan menjalankan aktivitas komunikasi antarbudaya setiap harinya. Keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya keyakinan, perkawinan dan perdagangan. Adanya komunikasi yang terjalin antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui gambaran secara jelas mengenai pola komunikasi, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip yang tumbuh dalam hubungan yang terjadi serta melihat berbagai bentuk kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut. Dalam berkomunikasi, ada dua nilai yang disatupadukan sebagai seorang muslim Kei, yaitu nilai agama (Islam) dan nilai budaya (adat Kei). Kedua nilai kemudian memengaruhinya ketika berinteraksi dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon) yang beragama Islam. Nilai manakah yang lebih menonjol antara nilai Islam dan nilai adat Kei. Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dulu kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi itu berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk memengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.4
4
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 12.
5
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi.5 Sedangkan budaya berkenaan dengan cara hidup. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.6 Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakantindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu
5 6
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 1. Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 151.
6
masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada satu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. 7 Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memerhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh pembendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.8 Komunikasi intrabudaya adalah komunikasi yang terjadi antara anggota yang berasal dari suatu kebudayaan yang sama. Sedangkan komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.9
7
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 18. 8 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 19. 9 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 10.
7
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini penulis beri judul: “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual”. B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada
masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang berada di Kota Tual, khususnya di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan. Dibatasi sebagai berikut:
Masyarakat asli Kei, terdiri dari beberapa pengurus atau tokoh adat yang menjadi juru bicara keagamaan, pemerintahan, dan lembaga adat kebudayaan Kei. Guna memperkuat argumen dari adat.
Masyarakat muslim Kei dan non-muslim Kei yang berada di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan.
Masyarakat non-Kei muslim (masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, Buton dan Ambon), yang berada di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan.
Dan juga pembatasan terhadap ruang dan waktu kegiatan, seperti pergaulan sehari-hari dan acara ritual adat tertentu.
2.
Perumusan Masalah Adapun
rumusan
pertanyaan sebagai berikut:
masalah
tersebut
disusun
dalam
kerangka
8
Bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual?
C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual. D.
Manfaat Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
acuan atau masukan guna membantu para penulis dalam penelitianpenelitian selanjutnya yang mengkaji studi komunikasi intra dan antarbudaya serta memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri. 2.
Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya pada bidang komunikasi intra dan antarbudaya yang ada hubungannya dengan Program Studi Komunikasi.
9
E.
Metodologi Penelitian 1.
Perspektif Perspektif sering juga disebut paradigma, kadang disebut pula mazhab
pemikiran (school of thought) adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Perspektif adalah definisi situasi atau seperangkat gagasan yang melukiskan karakteristik situasi dan memungkinkan mengambil tindakan. Suatu spesifikasi jenis tindakan yang layak dan masuk akal dilakukan orang. Perspektif dijadikan sebagai standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai (kriteria untuk penilaian).10 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan perspektif subjektif. Istilah
lain
dalam
perspektif
ini
adalah
humanistik,
interpretif,
fenomenologis, konstruktivis, konstruksionis, naturalistik, interaksionis, interaksional, kualitatif, induktif, holistik, kontemporer, dinamis, dan lainlain. Perspektif subjektif menganggap bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat objektif dan sifat yang tetap. Perspektif subjektif bersifat interpretif dan makna dinegosiasikan. Menurut perspektif ini, realitas sosial dianggap sebagai interaksi sosial yang bersifat komunikatif. Pendekatannya kreatif, individu menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Perspektif ini berpendapat bahwa setiap manusia bersifat unik dan fenomena sosial bersifat sementara serta polisemik (multimakna).
10
Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.
10
Adapun aliran teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah aliran interaksionis. Aliran ini memandang kehidupan manusia sebagai proses interaksi; seluruh struktur sosial akan eksis dan dibentuk secara terus-menerus melalui interaksi; aliran ini memfokuskan pada bagaimana bahasa digunakan dalam menciptakan struktur sosial dan bagaimana bahasa serta sistem simbol lainnya diproduksi; Menurut aliran ini makna tidaklah objektif, melainkan diciptakan oleh masyarakat dalam tindakan komunikasi; dan pengetahuan bersifat situasional tidak universal.11 Salah satu contoh teori dalam aliran interaksionis adalah teori interaksi simbolik. Teori inilah yang kemudian digunakan oleh penulis dalam penelitian ini. 2.
Metode dan Pendekatan Penelitian Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk
menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.12 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.13 Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Di mana data-data yang telah diperoleh dideskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah memapar11
Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010. 12 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9. 13 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 56.
11
kan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa penulis terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha memanipulasi variabel.14 3.
Subjek dan Objek Penelitian Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu
yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.15 Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang tinggal di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual. Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim dalam kajian komunikasi intra dan antarbudaya. 4.
Waktu dan Tempat Penelitian Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan
preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan pada November 2013-Januari 2014, sepanjang itu penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejala-gejala serta fenomena yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca serta memperdalam 14
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24-25. 15 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 66.
12
kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya untuk memperkuat teori yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan proses penelitian dan penggarapannya dilakukan pada Februari 2014-April 2014. Adapun tempat yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini adalah Desa Tual, Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual. 5.
Sumber dan Jenis Data Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, penulis
menggunakan data primer dan data sekunder. a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari nara sumber melalui observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis di lapangan. b. Data sekunder adalah data yang penulis peroleh dari sumber-sumber tertulis seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, dokumentasi atau arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder tidak hanya berupa tulisan tetapi juga berupa data yang diperoleh dari informan yang mengetahui informasi tentang apa yang sedang diteliti serta mendukung penelitian tersebut. 6.
Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Secara luas, observasi atau pengamatan berarti kegiatan untuk me-
lakukan pengukuran.16 Proses pengumpulan data primer dengan cara
16
h. 69.
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011),
13
pengamatan langsung dan melakukan pencatatan terhadap objek-objek terkait. Yang termasuk dalam teknik observasi adalah interaksi (perilaku) yang terjadi di antara subjek yang diriset.17 Dalam hal ini penulis mengobservasi atau melakukan pengamatan terhadap masyarakat muslim Kei ketika berkomunikasi intra dan antarbudaya dengan sesama masyarakat selama Februari-Maret 2014. b. Wawancara Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewancara (pengumpul data) kepada nara sumber, dan jawaban-jawaban nara sumber dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recoprder).18 Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.19 Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari nara sumber dengan cara wawancara atau tanya jawab langsung bersama Bapak Drs. Hi. M. M. Tamher, M.M selaku Walikota Tual, Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H selaku tokoh adat Kei, Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I selaku Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual, dan Bapak Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I selaku pejabat yang mewakili Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tual.
17
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 110. 18 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 67. 19 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 100.
14
c. Dokumentasi Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data tentang berbagai hal yang berhubungan dengan komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual. Misalnya peta wilayah dan struktur pemerintahan yang penulis peroleh dari arsip Pemerintah Daerah Kota Tual. Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian. 7.
Analisis dan Interpretasi Data Data yang terkumpul dalam wawancara mendalam dan dokumen-
dokumen diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu. Dalam analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan menganalisis setiap data atau fakta yang diperoleh dari lapangan secara mendalam dan menyeluruh kemudian data atau fakta tersebut diinterpretasikan dan dilaporkan, diterangkan serta disimpulkan secara luas. F.
Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan tinjauan pustaka. Dengan mengadakan studi pustaka ke Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Penulis melakukan studi pustaka ini guna memastikan apakah ada kesamaan judul atau tema penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis lakukan. Penulis kemudian menemukan beberapa skripsi yaitu:
15
1)
Ahmad Syukri, menulis: “Komunikasi Antarbudaya: Studi pada Pola Komunikasi masyarakat suku Betawi dengan Madura di Kelurahan Condet Batu Ampar”. Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang terjadi antara suku budaya Betawi dan Madura lebih banyak menggunakan pola komunikasi antarpribadi dan kelompok, dalam kegiatan seharihari, sedangkan komunikasi kelompok digunakan jika ada acara-acara tertentu. Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di Kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.
2)
Raden Dimas Anugrah Dwi Satria, menulis “Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Adat Baduy Luar dengan Masyarakat Luar Adat Baduy di Banten”. Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang berlangsung antara suku adat Baduy dan suku luar adat Baduy seperti dalam pergaulan sehari-hari, dan acara-acara ritual tertentu baik komunikasi verbal maupun non-verbalnya.
16
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Dimas adalah masyarakat perkampungan Kaduketug Baduy Luar dan masyarakat luar Baduy. Sedangkan subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas
tentang kajian
komunikasi
antarbudaya, nilai-nilai
komunikasi dan budaya yang terkandung di dalamnya. 3)
Siti Asiyah, menulis: “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama: Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang”. Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi antarbudaya yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang dalam kegiatan sehari-hari dan acaraacara tertentu. Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Siti adalah warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim
17
di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya. G.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini, yaitu dengan membagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORITIS Pengertian
komunikasi
dan
budaya,
pengertian
komunikasi
intrabudaya, pengertian komunikasi antarbudaya, dan teori interaksi simbolik. BAB III GAMBARAN UMUM Profil Kota Tual, infrastruktur wilayah Kota Tual, profil Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual, asal muasal suku Kei, dan keadaan masyarakat Kei di Kota Tual. BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA Penyajian data-data yang diperoleh dari penelitian, berikut analisisnya. Yaitu mengenai komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual. BAB V PENUTUP Kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORITIS Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah antarbudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karena Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.1 Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada 1960. Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komunikasi akan berhasil jika manusia memerhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: sources, message, channel, receiver. Faktor-faktor yang menentukan (source) dan penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Pada pesan (message) perlu diperhatikan isi, perlakuan pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang perlu diperhatikan sangat tergantung atas pilihan saluran yang sesuai misalnya (mata) melihat, (telinga) mendengar, (tangan) meraba atau memegang, (hidung) membaui, dan (lidah) mengecapi.
1
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1.
18
19
Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi
bahwa
kebudayaan
mengajarkan
kepada
anggotanya
untuk
melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami maknamakna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda. Paling tidak, karya Hall dan Berlo tersebut telah merangsang para pakar sosiologi, antropologi, psikologi untuk meneliti komunikasi antarbudaya selama dasawarsa 1950-1960-an.2 Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 19701980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi
internasional
yang
disponsori
oleh
Speech
Communication
Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam Interbational Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977. Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai
2
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1-2.
20
melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan kawan-kawan pada tahun 1980-an. Pada akhir 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst, disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan terakhir komunikasi/ bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey dan Korzenny, tahun 1988. Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi pula studi diplomasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan, Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi Tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa dan Psikologi Sosial.3 McLuhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada hubungan/ komunikasi antarbangsa karena melihat gejala makin meningkatnya hubungan dan ketergantungan antarbangsa. Dari gagasan McLuhan itulah lahir konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia Baru” yang memengaruhi 3
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 2-3.
21
perkembangan sebuah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial dan golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut telah menyulut pesatnya perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya.4 A.
Komunikasi dan Budaya
Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal
dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Harold Lasswell, mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.5 Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses pearlihan dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama.6
4
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1-3. 5 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9-10. 6 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 5.
22
Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat manusia penghuni bumi. Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya manusia hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami isteri, bisa berbentuk besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi, dan negara. Semakin besar suatu masyarakat yang berarti semakin banyak manusia yang dicakup, cenderung akan semakin banyak masalah yang timbul, akibat perbedaan-perbedaan di antara manusia yang banyak itu dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya, tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dan lain sebagainya. Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu sama lain beraneka ragam itu terjadi interaksi, saling memengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk percakapan.
23
Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator) sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan (communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Kongkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa.7
Sender
Encoding
Message
Decoding
Receiver
Media
Noise Feedback
Response
Gambar 1. Unsur-unsur dalam proses komunikasi
7
Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 27-28.
24
Komponen/ unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai berikut:8 Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. Decoding: Pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau kepada komunikator. Dan Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup (scope)-nya dan banyak dimensinya. Berikut ini penjenisan komunikasi berdasarkan konteksnya:9
8
Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 18-19. 9 Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 52-56.
25
a. Bidang Komunikasi Yang dimaksudkan dengan bidang komunikasi di sini adalah bidang kehidupan manusia, di mana di antara jenis kehidupan yang satu dengan jenis kehidupan yang lain terdapat perbedaan yang khas; dan kekhasan ini menyangkut pula proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya, komunikasi meliputi jenis-jenis antara lain: komunikasi sosial (social communication), komunikasi
organisasional/
communication),
manajemen
komunikasi
bisnis
(organization/ (bussiness
management
communication),
komunikasi politik (political comunication), komunikasi internasional (international communication), komunikasi antarbudaya (intercultural communication), komunikasi pembangunan (development communication) dan komunikasi tradisional (traditional communication). Selain jenis-jenis bidang komunikasi di atas, dalam berbagai literatur tidak jarang kita jumpai lain-lainnya, misalnya family communication, health communication, dan sebagainya, yang sebenarnya merupakan salah satu aspek dari salah satu bidang komunikasi yang tercantum di atas. b. Sifat Komunikasi Ditinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut: komunikasi verbal (verbal communication), mencakup komunikasi lisan (oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication). Komunikasi nirverbal (nonverbal communication), mencakup komunikasi kial (gestural/ body communication), komunikasi gambar (pictorial
26
communication), dan lain-lain. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) dan komunikasi bermedia (mediated communication). c. Tatanan Komunikasi Yang
dimaksud
dengan
tatanan
komunikasi
adalah
proses
komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang, sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut: komunikasi pribadi (personal communication) yaitu komunikasi seputar diri seseorang baik itu sebagai komunikator maupun sebagai komunikan, komunikasi pribadi mencakup komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) dan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Komunikasi kelompok (group communication), mencakup komunikasi kelompok kecil (small group communication) yakni ceramah (lecture), forum, simposium (symposium), diskusi panel (panel discusson), seminar, curahsaran (brainstorming); lainlain dan komunikasi kelompok besar (large group communication/ public speaking).
Komunikasi
massa
(mass
communication),
mencakup
komunikasi media massa cetak/ pers (printed mass media communication) yakni surat kabar (daily) dan majalah (magazine), dan komunikasi media massa elektronik (electronic mass media communication) yakni radio, televisi, film, dan lain-lain. Komunikasi medio (medio communication), mencakup surat, telepon, pamflet, poster, spanduk; dan lain-lain (media yang tidak termasuk media massa).
27
d. Tujuan komunikasi Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the opinion), mengubah perilaku (to change the behaviour) dan mengubah masyarakat (to change the society). e. Fungsi Komunikasi Fungsi komunikasi adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan memengaruhi (to influence). f.
Teknik Komunikasi Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti keterampilan atau keperigelan. Berdasarkan
keterampilan
berkomunikasi
yang
dilakukan
komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi: komunikasi informatif (informative communication), komunikasi persuasif (persuasive communication),
komunikasi
pervasif
(pervasive
communication),
komunikasi koersif (coersive communication), komunikasi instruktif (instructive communication), dan hubungan mausiawi (human relations) g.
Metode Komunikasi Istilah metode atau dalam bahasa Inggris “method” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti rangkaian yang sistematis dan yang merujuk kepada tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana yang pasti, mapan, dan logis pula.
28
Atas dasar pengertian di atas metode komunikasi meliputi kegiatankegiatan
yang
terorganisasi,
antara
lain:
jurnalisme/
jurnalistik
(journalism), mencakup jurnalisme cetak (printed journalism) dan jurnalisme elektronik (electronic journalism), hubungan masyarakat (public relation), periklanan (advertising), propaganda, perang urat syarat (psychological warfare), perpustakaan (library); dan lain lain. Demikianlah dimensi-dimensi komunikasi yang menjadi cakupan ilmu komunikasi manusia yang luas.
Budaya Dubbs dan Whitney mendefinisikan budaya sebagai “the system of
learned, cultural traits (contexts of meaning and guidelines for behaviour shared by members of a society)”.10 “Sistem belajar, ciri-ciri budaya (konteks makna dan pedoman perilaku bersama dari anggota suatu masyarakat)”. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.11 Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu colere kemudian culture, diartikan
10
Patrick J. Dubbs and Daniel D. Whitney, Cultural Contexts: Making Anthropology Personal, (America: United States of America, 1938), h. 27. 11 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150.
29
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Seorang antropolog E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaankebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.12 Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan perbuatan/ tindakan yang dibagikan di antara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.13 Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan timbal balik, kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan oleh seluruh masyarakat.14 Tujuh unsur kebudayaan yag dianggap sebagai culture universals, yaitu:15
12
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150. Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4. 14 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4. 15 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 154. 13
30
Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan sebagainya); Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian perternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya); Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan); Keempat, bahasa (lisan maupun tulisan); Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); Keenam, sistem pengetahuan; dan Ketujuh, religi (sistem kepercayaan). Nilai budaya terbagi menjadi enam, sebagai berikut:16 Nilai teori. Ketika manusia menetukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan bendabenda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep
16
123-124.
Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010), h.
31
kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia mengenal nilai agama. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas. Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa “keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling berhubungan. 17
17
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4-5.
32
Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam proses komunikasi antaranggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi kebudayaan” itu diadaptasi ke dalam suatu proses yang disebut “adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka. Struktur kognisi tersebut dijelaskan melalui proses komunikasi budaya, misalnya intrabudaya, antarbudaya, lintas budaya, dan lain-lain.18
Komunikasi Sebagai Proses Budaya Asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan suatu proses budaya.
Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda berkomunikasi dengan suku Aborigin Australia, secara tidak langsung Anda sedang berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik Anda untuk menjalin kerjasama atau memengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa. Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi juga disebut sebagai proses budaya.19
18
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 5. 19 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 49.
33
Jika ditinjau secara lebih konkrit, hubungan antara komunikasi dengan isi kebudayaan akan semakin jelas: 20 Dalam mempraktikkan komunikasi manusia membutuhkan peralatanperalatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana berbicara, seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah peralatan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan lainlain. Komunikasi
menghasilkan
mata
pencaharian
hidup
manusia.
Komunikasi yang dilakukan lewat televisi misalnya, membutuhkan orang yang digaji untuk “mengurusi” televisi. Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi, misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar normanorma masyarakat. Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain. Wujud banyaknya bahasa digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana
20
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 50-54.
34
penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya. Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang tak lepas dari komunikasi. Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki, menunjukkan realitas tersebut. Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi objektivasi (meminjam istilah Berger) antara budaya dengan komunikasi. Proses ini meliputi peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya. Komunikasi adalah proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti layaknya sebuah proses kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks keseluruhan. Sesuatu dikatakan komunikasi jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga hanya bisa disebut kebudayaan jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang membentuk sebuah sistem.21 Hubungan antara komunikasi dan budaya penting dipahami untuk memahami komunikasi intra dan antarbudaya, karena melalui budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Masyarakat memandang dunia melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh budayanya.
21
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 54.
35
B.
Komunikasi Intrabudaya Istilah komunikasi intrabudaya nampaknya kurang populer di dalam kategorisasi ilmu komunikasi. Sitaram dan Cogdell telah meng-identifikasi komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki bersama. 22 Lewis dan Slade mengemukakan komunikasi intrabudaya adalah “shared interpersonal communication between members of the same cultures”.23 Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas keberadaan kelompok/ subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai subbudaya yang dianut. Jadi studi intrabudaya memusatkan perhatian pada komunikasi antara anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi intrabudaya pun bisa dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang ditukar di antara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogen. 24
22
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9. 23 Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 123. 24 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9.
36
Kebudayaan (1)
(3)
(2)
(4)
Gambar 2. Komunikasi Intrabudaya Gambar di atas menunjukkan komunikasi intrabudaya yang dilakukan di antara individu-individu anggota kelompok subbudaya (1) s/d (4). Subbudaya atau subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memerlihatkan pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya.25 Subbudaya adalah kelompok kecil yang mungkin non-konformis, subkelompok dalam budaya lokal (host culture/ pribumi). a. Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya 26
Hubungan Antara Masyarakat dan Kebudayaan Hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis
ditunjukkan melalui keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk mempertahankan masyarakat dari pelbagai ancaman yang menghadang mereka.
25
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 19. 26 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 10-11.
37
Kebudayaan bisa menginformasikan tentang nilai suatu dan beberapa peristiwa yang terjadi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang apa yang harus dibuat oleh generasi manusia. Wajarlah kalau setiap kelompok budaya selalu menciptakan hubungan intrabudaya yang “mewajibkan” generasi yang lebih tua mensosialisasi nilai perilaku-perilaku budaya baik secara bertahap maupun dipercepat melalui institusi sosial kepada generasi berikut. Dalam kehidupan dikenal institusi-institusi seperti agama, pendidikan, rekreasi, kesehatan serta institusi-institusi lain yang merupakan pranata kebudayaan yang menjamin perilaku manusia. Proses sosialisasi melalui institusi sosial tersebut telah memungkinkan manusia dimasukkan ke dalam lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Jadi, setiap hubungan antarmanusia dalam satu kebudayaan selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan instruksi nilai-nilai.
Hirarki, Kekuasaan dan Dominasi Setiap kebudayaan selalu memiliki prinsip kebudayaan yang mengatur
hirarki dan status kekuasaan. Hirarki dalam suatu masyarakat berbudaya selalu menggambarkan dan menerapkan proses pemeringkatan perananperanan anggota masyarakat mulai dari yang paling tinggi sampai terendah. Bukankah dalam masyarakat ada istilah: raja hutan, raja gunung, peniti raksasa, peniti emas, lain daun, bangsawan, rakyat jelata, orang pinggiran, orang kecil, dan lain-lain? Istilah-istilah tersebut merupakan “frase” yang
38
menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada kelompok elit yang mendapat pengakuan atau yang berkuasa dan ada kelompok masyarakat yang dikuasai. Status yang tinggi biasa diidentifikasikan dengan kekuasan puncak yang memberikan kemungkinan bagi kelompok yang ada di bawah untuk melihat ke atas. Kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori puncak selalu mendominasi kelompok bawah. Mereka diberikan kekuasaan karena dianggap sakti, suci, mempunyai kekuasaan khusus, bijaksana, menjadi sumber material dan moral. Mereka disebut kelompok elit karena memiliki pengetahuan, pengalaman, dapat dipercaya, dan lain-lain. Setiap kebudayaan selalu memberikan tempat khusus kepada mereka untuk memegang tampuk “puncak” pimpinan organisasi sosial karena hanya mereka yang diasumsikan bisa memelihara institusi sosial masyarakat. Setiap anggota suatu masyarakat yang berbudaya mengetahui hubungan antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang dikuasai. b. Nomenklatur Komunikasi Intrabudaya 27
Konsep Nondominasi Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu
gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Kebudayaan juga mengajarkan konsep nondominasi yang mengatur nomenklatur siapa-siapa yang tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat tertentu. Kumpulan orang-orang nondominasi pun berada dalam suatu konstelasi yang secara historis atau tradisional tidak mempunyai akses atau 27
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 12-13.
39
pengaruh terhadap dominasi kebudayaan. Jadi, mereka tidak memiliki dominasi sosial, politik, hukum, ekonomi dan struktur keagamaan serta organisasi sosial lain. Beberapa contoh di dalam kebudayaan tertentu, kaum wanita, wadam, orang tua jompo, kulit hitam, orang pendatang/ orang luar; tidak mempunyai “nama” dan peranan yang luas dalam masyarakat. Mereka dianggap orang “aneh”, mempunyai perilaku menyimpang, penghambat, abnormal yang berbeda dengan orang lain dan masyarakat yang memiliki dominasi tertentu. Mereka merupakan “orang dalam yang tersingkir” dan yang terjajah, atau mereka merupakan suku bangsa asli yang dijajah oleh suku bangsa sendiri. Meskipun mereka tidak penting dalam kategori perhatian dan komunikasi intrabudaya namun perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota masyarakat intrabudaya agar mereka tidak mendewakan “ideologi” subbudaya yang mengancam kebudayaan kelompok yang lebih besar.
Geopolitik Masalah kekuasaan, dominasi dan nondominasi dalam masyarakat
dapat dikaitkan dengan geopolitik. Proses untuk menyingkirkan kelompok nondominasi atau tidak berkuasa dilakukan melalui diskriminasi dan segregasi atas wilayah pemukiman dan pekerjaan. Di dalam terminologi geopolitik, kaum nondominasi itu telah ditetapkan geopolitiknya. Misalnya dengan menetapkan wilayah geografis tertentu sebagai pusat pemukiman, kekuasaan, dominasi dalam bidang politik, ekonomi dan perdagagan, serta pendidikan. Mereka yang berkuasa
40
selalu berasal dari kebudayaan dominan dalam masyarakat. Jadi, hubungan intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lainlain. C.
Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya lebih menekankan pada komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Lewis dan Slade menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah “face-to-face communication between people from differing cultural backgrounds”.28 (Komunikasi tatap muka antara orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda).
Kebudayaan A
B
A
Kebudayaan B
C Kebudayaan C
Gambar 3. Komunikasi Antarbudaya Gambar ini menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah kegiatan komunikasi antarpribadi
yang dilangsungkan di antara para
anggota kebudayaan yang berbeda.29
28
Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 122. 29 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 13.
41
Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menurut Devito, kita perlu memerhatikan hal-hal berikut: 1) Orang yang berbeda berkomunikasi secara berbeda; 2) Melihat cara perilaku masing-masing budaya sebagai sistem yang mungkin tetapi bersifat arbitrer; 3) Cara kita berpikir tentang perbedaan budaya mungkin tidak ada kaitannya dengan cara kita berperilaku.30 Setiap masyarakat majemuk yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berbeda selalu menghadapi masalah etnosentrisme. Perbedaan itu merupakan akibat dari perbedaan folkways yang mereka miliki kemudian dapat mencuat dalam bentuk perpecahan yang mengarah ke disintegrasi antarbudaya. Untuk mencegah terjadinya disintegrasi, maka komunikasi (antarpribadi, kelompok, organisasi, publik, dan massa) bertujuan membagun makna-makna yang sama terhadap setiap pesan yang berfungsi menumbuhkan integrasi dan solidaritas antarsuku-bangsa. 31 Praktek komunikasi dalam masyarakat majemuk biasanya dilakukan di antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Karena itu, kajian terhadap komunikasi antarbudaya harus diletakkan dalam kerangka konsep kebudayaan dan komunikasi. Menurut antarbudaya
Porter
dan
perlu dipahami
Samovar,
untuk
mengkaji
komunikasi
hubungan antara kebudayaan dengan
komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar berkomunikasi,
30
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 4. 31 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 157.
42
dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budayanya. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaankeadaan komunikasi, bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilakuperilaku nonverbal merupakan respons terhadap fungsi budaya. 32 Komunikasi manusia terikat oleh budaya, sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya maka praktek dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula. Paling tidak ada tiga unsur sosial-budaya yang berhubungan dengan: persepsi, proses verbal dan proses nonverbal. Dan ke dalam persepsi yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi terhadap tiga unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun, yaitu: sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Ketika ketiga unsur utama ini memengaruhi persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi maka unsurunsur tersebut memengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif. 33
32
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 160. 33 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 160.
43
Persepsi 34 Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi dunia (lingkungannya) sedemikian rupa. Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Artinya, kita merespons kepada suatu stimuli sedemikian rupa, sesuai dengan budaya yang telah diajarkan kepada kita. Budaya menentukan kriteria mana yang penting bagi kita mempersepsi sesuatu. Komunukasi antarbudaya, dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Untuk memahami dunia dan tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya.
Sistem Kepercayaan, Nilai dan Sikap (Belief, Value and Attitude) Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan
subjektif, yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercaya dengan karakteristik yang membedakannya. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal yang benar atau salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Budaya memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan kepercayaan.
34
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 38-42.
44
Nilai, adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk membuat pilihan-pilihan, dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilainilai memiliki aspek evaluatif dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti, kemanfaatan, kebaikan, estetika, kebutuhan, dan kesengangan. Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan sikap. Sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya, artinya lingkungan kita membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita.
Pandangan Dunia (World View) Unsur budaya ini, meskipun konsep dan uraiannya abstrak, merupakan
salah satu unsur terpenting dalam aspek-aspek konseptual komunikasi antarbudaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalah-masalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar dari suatu budaya. Pandangan dunia memengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu, dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara-cara yang tak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat memengaruhi komunikasi antarbudaya.
45
Organisasi Sosial (Social Organization) Ada dua unit sosial yang dominan dalam suatu budaya yang
memengaruhi persepsi, yaitu keluarga dan sekolah. Keluarga paling berperan dalam mengembangkan anak selama periode awal (formatif) dalam kehidupannya, keluarga banyak memberi pengaruh budaya, bahkan pembentukkan sikap pertamanya sampai pemilihan atas barang mainannya. Keluarga juga membimbing anak dalam menggunakan bahasa, cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran, dan hukuman, yang memengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan-tujuan yang ingin ia capai. Sekolah, mempunyai tanggung jawab besar mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberi tahu anggota-anggota budaya. Sekolah mengajarkan beragam ilmu pengetahuan. Sekolah mungkin menekankan revolusi yang berlandaskan perdamaian atau kekerasan. Namun, apapun yang diajarkan di sekolah sangat dipengaruhi oleh budaya di tempat sekolah itu berada.
46
Proses-proses Verbal 35 Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.
Bahasa Verbal Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang
yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas
geografis
atau
budaya.
Objek-objek,
kejadian-kejadian,
pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinterksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa memengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.
35
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 30-31.
47
Pola-pola Berpikir Pola-pola berpikir suatu budaya memengaruhi bagaimana individu-
individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan memengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya kita. Proses-proses Nonverbal 36 Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh prosesproses nonverbal. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang bidang proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju bahwa hal-hal berikut mesti dimasukkan: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu, dan suara.
Perilaku Nonverbal Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai
banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkan seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota36
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 31-34.
48
anggotanya.
Budaya
memengaruhi
dan
mengarahkan
pengalaman-
pengalaman, dan oleh karenanya budaya juga memengaruhi dan mengarahkan kita: bagaimana kita mengirim, menerima, dan merespons lambanglambang nonverbal tersebut.
Konsep Waktu Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu,
masa sekarang, masa depan, dan penting atau kurang pentingnya waktu. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut memengaruhi komunikasi.
Penggunaan Ruang Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Rumah
kita, misalnya, secara nonverbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang kita anut. D.
Teori Interaksi-Simbolik “Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Penggambaran diri manusia melalui pepatah pendek ini cukup substansial sifatnya. Dikatakan demikian, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang berinteraksi. Bahkan interaksi itu tidak melulu eksklusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Termasuk interaksi manusia
49
dengan seluruh alam. Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang dimaksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu, tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolik) selain animal sociosus (makhluk berteman, berelasi) dan konsep tentang manusia lainnya. 37 Teori interaksionisme-simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge Herbert Mead dan George Herbert Blumer. Awal perkembangan interaksionisme simbolis dipelopori oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kuantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan
nondirective interviews. Blumer
terutama sekali
menekankan
pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses,
37
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 147.
50
yang
bukan
struktur
untuk
membekukan
proses
adalah
untuk
menghilangkan intisari hubungan sosial. 38 Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka; (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”; dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” ini tidak mempunyai makna yang intrinsik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. 39 Bagi Blumer, “sesuatu” yang disebut juga “realitas sosial”, bisa berupa fenomena alam, artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan sosial “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental, yakni memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. 40 Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental
yang
terus-menerus
disempurnakan
seiring
dengan
fungsi
instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan 38
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 147-148. Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148. 40 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148-149. 39
51
sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. 41 Menurut Blumer, proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses simbolis interaksionisme dapat didefinisikan sebagai “cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain”. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. 42 Perspektif simbolis interaksionisme mendasarkan pandangan pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya maka muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungan pertama yang memengaruhi pembentukan makna adalah keluarga. Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dan individu yang mengembangkan konsep diri dan identitas melalui interaksi sosial tersebut. 43
41
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 149. Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 149-150. 43 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 150. 42
52
Berdasarkan premis tersebut, maka cara terbaik untuk memahami seseorang adalah dengan memperhatikan lingkungan di sekitarnya, yakni di mana ia tinggal dan dengan siapa ia berinteraksi.44 Asumsi Pokok Interaksi-Simbolik Ada sejumlah asumsi pokok dari teori ini,45 yakni: a.
Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri dibentuk dan dikembangkan melalui komunikasi dan interaksi sosial.
b.
Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan melalui persepsi atas perilaku tersebut.
c.
Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku.
d.
Manusia
adalah
makhluk
yang
unik
karena
kemampuannya
menggunakan dan mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya. Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas, sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan mengembangkan simbol. e.
Manusia beraksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia mendefinisikan
sesuatu
tersebut.
Misalnya,
bila
kita
sudah
memandang si A sebagai pembohong, maka kita tidak akan percaya apa yang dikatakan si A walaupun benar. f.
Makna merupakan kesepatakan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi. Sebagai contoh, suatu produk media dianggap porno
44 45
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 150. Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 150.
53
atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas di mana media tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka dengan demikian, bisa jadi suatu produk media dianggap porno di suatu kelompok masyarakat dan tidak porno bagi kelompok masyarakat lain. George Herbert Mead dianggap sebagai bapak interaksionosme simbolis, karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok mengenai “mind”, “self” dan “society”. 46 Mead mendefinisikan mind sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan simbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri (self-conversation), yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak menggunakan bahasa. 47 Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang melakukan role taking (pengambilan peran) dari orang lain. Esensi self bagi Mead adalah reflexivity, yakni bagaimana kita merenung ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain. 48
46
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 160. Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 163. 48 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 164. 47
54
Society menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas.49 Istilah Pokok Teori Interaksi-Simbolik 50 Identities (identitas), yakni pemaknaan diri dalam suatu pengambilan peran. Bagaimana kita memaknai diri kita itulah proses pembentukan identitas, yang kemudian disinergikan dengan lingkungan sosial. Language (bahasa), yakni suatu sistem simbol yang digunakan bersama di antara anggota kelompok sosial. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dan representasi. Karenanya bahasa memiliki empat komponen, yakni subjek, objek, simbol, dan referen yang berkorelasi sebagai berikut: Simbol
Referen
Subjek
Objek
Simbol adalah rangkaian bunyi yang menunjuk sesuatu. Subjek adalah pengguna dari simbol. Objek adalah sesuatu yang ditunjuk oleh simbol. Referen adalah penghubung dari simbol, subjek, dan objek. Looking glass self (cara melihat diri), yakni gambaran mental sebagai hasil dari mengambil peran orang lain. Misalnya kita berbicara dengan
49 50
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 165. Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 158-160.
55
atasan atau orang tua kita, maka kita juga harus bisa memosisikan diri kita pada posisi atasan atau orang tua kita tersebut. Sehingga, dengan demikian kita memperoleh gambaran tentang apa yang orang lain nilai tentang diri kita. Meaning (makna), yakni tujuan dan atribut bagi sesuatu. Meaning ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya. Mind (pikiran), yakni proses mental yang terdiri dari self, interaksi, dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat. Role taking (bermain peran), yakni kemampuan untuk melihat diri seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana dia lain melihat orang lain tersebut. Ketika kita bermain peran dengan memerankan lawan bicara misalnya, maka kita akan memperoleh gambaran seperti apa perlakuan yang diharapkan oleh lawan bicara kita tersebut. Self concept (konsep diri), yakni gambaran yang kita punya tentang siapa dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri bukanlah sesuatu yang tetap. Self-fulfilling prophecy (harapan untuk pemenuhan diri), yakni tendensi bagi ekspektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang diantisipasi oleh kita. Masing-masing dari kita memberi pengaruh bagi orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka.
56
Komunikasi dan Budaya Sebagai Proses Interaksi Simbolik Pemahaman komunikasi dan budaya dengan segala praktisnya merupakan proses keseharian manusia. Komunikasi tidak bisa dipisahkan dari seluruh proses kehidupan nyata manusia. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana, budaya berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang memengaruhi perilaku seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia berinteraksi menggunakan bahasa baik verbal maupun nonverbal. Bahasa disebut sebagai simbol pada saat berinteraksi. Oleh karenanya, proses interaksi simbolik tidak lepas dari pemahaman-pemahaman manusia mengenai komunikasi dan kebudayaan yang berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh individu.
BAB III GAMBARAN UMUM A.
Profil Kota Tual 1 Kota Tual adalah Daerah Otonom Baru (DOB) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara sesuai UU No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Secara astronomis Kota Tual terletak pada koordinat: 131°-133° Bujur Timur dan 5°-6° Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara dengan Laut Banda, Sebelah Selatan dengan Kabupaten Maluku Tenggara dan Laut Arafura, Sebelah Barat dengan Laut Banda dan Sebelah Timur dengan Selat Nerong (Kabupaten Maluku Tenggara). Luas wilayah Kota Tual 19.088,29 km² terdiri dari luas daratan 352,66 km² (1,33 %) dan luas lautan 18.736 km² (98,67%). Kota Tual Kepulauan (city of small islands) merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri dari 66 pulau, 13 pulau diantaranya berpenghuni, memiliki sumber daya kelautan dan perikanan yang melimpah serta kondisi pulau-pulau kecil dan pesisir yang indah permai karena dikelilingi pasir putih.
1
BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari “http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/KabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
57
58
Iklim Kota Tual merupakan suatu wilayah yang beriklim Muson. Pada masa musim Timur, angin bertiup dari Tenggara dan terjadi kemarau. Pada musim Barat terjadi musim hujan, angin bertiup dari Barat Laut, serta kondisi perairan umumnya bergelora pada bulan Januari sampai Februari. Berdasarkan data pada stasiun meteorologi kelas III Dumatubun Tual, suhu rata-rata tahunan Kota Tual sebesar 27,3o C, suhu minimum 23,5o C serta suhu maksimum mencapai 33,2o C. Kelembaban rata-rata sekitar 81%, penyinaran matahari rata-rata mencapai 65% dan tekanan udara rata-rata 1010,7 millibar. Curah hujan tahunan pada daerah ini berkisar antara 20004000 mm dengan curah hujan rata-rata 2118,3 mm/ tahun atau 176,5 mm/ bulan. Topografi Umumnya kondisi topografi Kota Tual beragam dari daratan yang datar hingga relatif berbukit dengan kemiringan berkisar antara 0-8% dan 815% di mana pemukiman/ desa umumnya berada pada wilayah dengan ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut. Morfologi daratan pada kepulauan ini tergolong rendah terutama pada daerah Pulau Ut, Tayando dan Dullah, sedangkan karakter daratan yang cukup berbukit dapat ditemui pada Kecamatan Pulau-pulau Kur. Penduduk dan Angkatan Kerja Jumlah penduduk Kota Tual sampai tahun 2009 tercatat sebanyak 70.367 orang. Secara demografi jumlah penduduk berdasarkan sensus
59
penduduk pada pertengahan bulan Juni tahun 2009 tersebar di Kecamatan Pulau Dullah Selatan 41.930 jiwa, Kecamatan Pulau Dullah Utara 16.011 jiwa, Kecamatan Pulau Tayando Tam 6.543 jiwa dan Kecamatan Pulaupulau Kur 5.883 jiwa. Laju Penduduk Kota Tual adalah sebesar 12,7% dan kepadatan penduduk pada berbagai wilayahnya berkisar antara 49 orang/ km2 -251 orang/ km2. Dari total penduduk tercatat, presentasi angka pengangguran adalah sebesar 32,9% sementara pengangguran terbuka sebanyak 11,2%. Sosial Budaya dan Pemerintahan Kota Tual mempunyai akar budaya dan adat istiadat yang sama dengan kabupaten induknya Maluku Tenggara yaitu filosofi adat hukum Larvul Ngabal. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum Larvul Ngabal mampu memelihara ketertiban dan hubungan keakraban antar penduduk, menanamkan rasa gotong royong (budaya Maren), serta memupuk kesadaran masyarakat untuk menjaga keharmonisan alam melalui sistem “Hawear” yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan. Singkatnya, faktor budaya dan adat istiadat dapat diandalkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang mendukung adanya suatu keadaan yang kondusif dan harmonis. Kota Tual dimekarkan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku.
60
Agama Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Maluku. Islam dibawa oleh para pedagang Aceh, Malaka, dan Gresik antara 1300-1400 dan menyebar sampai ke Tual dan beberapa daerah Maluku lainnya. Setelah itu disusul agama Kristen Katolik pada 1523-1546 dan agama Kristen Protestan pada 1605. B.
Infrasturuktur Wilayah Kota Tual 2 Perhubungan Laut Kota Tual yang merupakan daerah kepulauan, keadaan ini menuntut adanya sarana transportasi laut yang memadai. Trayek-trayek pelayaran umum yang ada di Kota Tual antara lain: 1) Trayek Kapal PELNI (KM Ciremai, KM Kelimutu, KM Tatamailau), 2) Trayek Kapal Perintis (KM Tanjung Tungkor, KM Lestari, KM Alken, KM Abadi Permai, KM Banda Naira, KM maloli), 3) Trayek Feri dan 4) Trayek Pelayaran Lokal/ Rakyat. Kemudian gambaran sarana perhubungan laut dan pendukungnya adalah dermaga Tual sebagai dermaga umum, merupakan tempat bongkar muat barang dan penumpang yang berlokasi di Tual. Dermaga ini keberadaannya berfungsi bagi perkembangan mobilitas barang dan jasa di wilayah Indonesia Timur, karena banyak disinggahi oleh kapal-kapal dari dalam negeri (Kapal PELNI), Kapal Kargo yang melayani pengiriman barang dengan peti kemas serta kapal-kapal dari luar negeri. Selain berfungsi
2
BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari “http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/KabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
61
sebagai pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan pelayaran nusantara dermaga ini juga melayani pelayaran rakyat (Kapal Perintis) dengan rute ke pulau-pulau sekitarnya. Pelabuhan penyeberangan dilayani oleh Kapal Ferry dengan rute Tual-Dobo: Tual-Saumlaki-Tepa dengan siklus dua kali sebulan. Dermaga ini memiliki ukuran 1454x8 meter dengan cause way sepanjang 286 meter. Pelabuhan Kur yang berskala lokal terdapat di Pulau Kur tepatnya di Desa
Lokwirin
yang
dipergunakan
untuk
kegiatan
bongkar-muat
penumpang dan barang. Dermaga Ngadi sebagai pelabuhan khusus yang berlokasi di Desa Ngadi dengan ukuran 330x15 meter dengan cause way 330 meter Pelabuhan Perikanan Nusantara dengan tipe Jetty, yang berukuran 150x6 meter dengan cause way 2 (60x2 meter). Dermaga penyeberangan ASDP dengan tipe khusus dengan ukuran 50x6 meter dengan cause way sepanjang 50 meter. Pelabuhan Pangkalan TNI-AL; Pelabuhan Pertamina; dan Pelabuhan PPI Kelvik. Adanya perhubungan laut di Kota Tual memang sangat memberikan manfaat kepada masyarakat. Akan tetapi, sarana transportasi ini menjadi kurang efektif dan efisien ketika harus menampung manusia dan barang sekaligus dalam satu kapal. Pada saat liburan sekolah atau menjelang hari-hari besar seperti bulan puasa dan hari raya, penumpang kapal menjadi semakin padat dan meningkat. Masyarakat pendatang yang berada di Kota Tual akan kembali ke daerah asal mereka dan masyarakat Kota Tual yang berada di luar Kota
62
Tual akan kembali untuk berkumpul bersama keluarga. Muatan kapal menjadi penuh dan sesak tidak hanya dengan manusia tetapi juga barangbarang dari daerah Jawa yang mau dibawa ke daerah Timur. Oleh sebab itu, sebaiknya untuk sarana transportasi laut dipisahkan bagi penumpang dan barang-barang agar para penumpang yang berlayar menggunakan kapal lebih nyaman terjamin keselamatannya. Perhubungan Darat Jalan sebagai prasarana penunjang kegiatan perekonomian adalah faktor yang turut memegang peranan penting untuk mendukung lancarnya distribusi dan kegiatan-kegiatan terkait lainnya. Adapun panjang jalan darat pada Kota Tual adalah sepanjang 167.75 km yang terdiri dari jalan nasional sepanjang 21.34 km dan jalan provinsi sepanjang 8.96 km. Umumnya kondisi jalan terutama yang berada di Pulau Dullah cukup baik adanya. Berdasarkan materi perkerasannya, kondisi jalan yang ada dapat dibagi menjadi beberapa yaitu jalan hotmix 55.2 km, jalan aspal 63.50 km, jalan tanah 5 km jalan setapak 63.50 km. Sementara itu angkutan umum yang beroperasi mempunyai 9 trayek yaitu Tual-Tamedan (7 Unit), Tual-Dullah (9 Unit), Tual-Fiditan (20 Unit), Tual-BTN (8 Unit), Tual-Ohoitel (9 Unit), Tual-Taar (4 Unit) dan trayek yang menghubungkan Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 40 trayek, 382 unit armada. Angkutan umum ini berpangkal pada 2 unit terminal yaitu terminal Lodar El dan Terminal Wara yang merupakan terminal tipe C.
63
Sarana transportasi darat sangat efektif untuk menunjang aktivitas sehari-hari masyarakat dan membantu kelancaran perekonomian di Kota Tual. Namun, jumlah angkutan umum yang berlebihan juga tidak baik dan cocok untuk ruas jalan yang sempit sehingga dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, jalanan sempit juga berpotensi terhadap kecelekaan kendaraan. Perhubungan Udara Sarana perhubungan udara terletak di Langgur Kabupaten Maluku Tenggara yaitu Lapangan Udara Dumatubun dengan lama perjalanan dari Kota Tual ±10 menit. Maskapai penerbangan yang membuka rute ke Lanud. Dumatubun Langgur antara lain Merpati Air, Wings Air, Ekspress Air dan Trigana Air (pesawat jenis Foker 27) dengan frekuensi penerbangan sebanyak enam kali dalam seminggu ke kota Ambon. Rute ke kota-kota seperti Jakarta, Makassar, Surabaya serta ke Papua melalui Transit pada Bandara Pattimura Ambon. Jarak Kota Tual sendiri ke Ibu Kota Provinsi Maluku di Ambon adalah 617,40 km atau sekitar 343 mil laut yang ditempuh selama ± 80 menit. Perhubungan udara di Kota Tual sangat terbatas, Bandara Dumatubun yang digunakan adalah pangkalan milik TNI Angkatan Udara, wajar saja kalau Bandara tersebut sangat sederhana dan lapangannya tidak terlalu luas. Itulah sebabnya penerbangan di Kota Tual hanya menggunakan pesawat yang berukuran kecil. Hal ini turut membuat biaya tiket pesawat semakin mahal dan tidak terjangkau.
64
Saat ini, Pemerintah Daerah Kota Tual sedang membangun lapangan udara baru yang letaknya berada di Desa Ibra. Lapangan udara tersebut baru diresmikan pada 25 Februari 2014 kemarin dengan nama bandara Karel Sadsuitubun. Walaupun masih baru, aktivitas jadwal penerbangan dan kedatangan sudah mulai aktif menggunakan bandara tersebut dan tidak lagi menggunakan bandara Dumatubun yang notaben milik TNI AL. Bandara Karel Sadsuitubun masih dalam masa pembangunan dan perluasan agar dapat memenuhi syarat menjadi bandara internasional. Pos , Telekomunikasi dan Perbankan Akses informasi dan telekomunikasi di Kota Tual dapat dilakukan melalui satelit dengan menggunakan telepon seluler dan jaringan internet. Perusahaan-perusahaan yang menunjang telekomunikasi di Kota Tual antara lain PT. Telkom, Telkomsel, dan Indosat. Tanpa
telekomunikasi
dan
jaringan
internet
yang
memadai,
masyarakat kesulitan untuk mengakses informasi. Khususnya para pelajar yang membutuhkan peran telekomunikasi dan internet dalam menunjang proses belajarnya. Misalnya untuk registrasi, memperoleh informasi dan mendaftar via online pada saat penerimaan siswa/i masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Ini semua harus menggunakan jaringan internet. Jadi, tanpa internet nampaknya turut menghambat para pelajar yang ingin menggapai cita-citanya, hilang sudah peluang atas sebab langka dan mahalnya akses internet ini.
65
Aktivitas Perbankan yang beroperasi pada wilayah ini sangat menunjang Perekonomian yang berlangsung. Lembaga Perbankan di Kota Tual meliputi: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Maluku, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Danamon, serta Bank Artha Graha Tual. Di Kota Tual sendiri belum ada Bank Syariah, tapi karena masih dalam pembangunan, Pemda Kota Tual sedang berusaha untuk mengadakan Bank Syariah. Keterbatasan infrastruktur jalan dan jembatan mengakibatkan wilayah pulau-pulau kecil terisolasi. Sarana dan prasarana transportasi laut yang terbatas juga mengakibatkan biaya pergerakkan orang dan barang serta kebutuhan pokok semakin mahal. Selain itu, akses dan mutu pelayanan pendidikan dan
kesehatan di Kota Tual juga terbatas sehingga
mengakibatkan kota ini semakin tertinggal. C.
Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual Dullah Selatan merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota Tual dan menjadi pusat central di Kota Tual sendiri. Oleh karena itu, penulis memilih Kecamatan Dullah Selatan sebagai tempat fokus penelitian. Kecamatan Dullah Selatan terletak pada 5o 34’-5o 42’ LS dan 130o 40’-132o 40’ BT. Secara topografi, Kecamatan Dullah Selatan berupa dataran yang memiliki luas 40,61 kim² yang terletak pada ketinggian 0-20 meter di atas permukaan laut.
66
Menurut peta Geologi Indonesia (1965), Pulau/ Kepulauan di Maluku Tenggara terbentuk/ tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak tiga jenis tanah dan lima jenis batuan. Jumlah penduduk Kecamatan Dullah Selatan menurut Proyeksi Penduduk pada tahun 2012 adalah sebanyak 35.441 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 18.046 jiwa dan perempuan sebanyak 17.395 jiwa. Mayoritas penduduk Kecamatan Dullah Selatan beragama Islam, kemudian Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tempat ibadah yang ada di Kecamtan Dullah Selatan, terdapat 16 Masjid, 5 Musholla, 14 Gereja Protestan, dan 2 Gereja Katolik. Seterusnya belum ada tempat ibadah bagi agama Budha, Hindu, dan Konkhuchu. Rata-rata mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Dullah Selatan adalah PNS, pedagang, nelayan, petani dan wiraswasta. Jumlah sekolah tingkat SD dan MI sebanyak 24, tingkat SMP dan MTs 5, tingkat SMA MA dan SMK 9. Sedangkan perguruan tinggi ada 3 dan belum ada Institut dan Universitas di Kecamatan Dullah Selatan. Selain masyarakat etnik Kei, sebagian penduduk di Kecamatan Dullah Selatan juga berasal dari etnik yang berbeda yakni etnik Bugis, Buton, Jawa, Sumatera, Banda, Ambon dan Ternate. Etnik Bugis menduduki peringkat pertama sebagai pendatang terbanyak di Kecamatan Dullah Selatan dengan jumlah sebanyak 3.456 jiwa, 2.523 jiwa berasal dari Buton, 641 jiwa berasal dari etnik Jawa, 258 jiwa berasal dari Sumatera, 213 dari Ambon, 125 jiwa
67
dari Banda, dan 56 jiwa berasal dari Ternate. Dan rata-rata para pendatang menetap sebagai pedagang di Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual. D.
Asal Muasal Suku Kei Sejarah mencatat, orang-orang Kei diyakini berasal dari Bali. Ini terjadi saat pengaruh kerajaan Islam di Jawa mulai menguat. Para bangsawan dari Hindu di kerajaan Majapahit menolak pengaruh tersebut dan memilih pindah ke Bali. Kedatangan mereka pun mendesak penduduk asli. Sebagian penduduk asli yang merasa terdesak lalu berlayar ke arah timur untuk menetap di Maluku Tenggara yang lebih subur dibanding pulau-pulau di Nusa Tenggara. Masyarakat setempat juga menyebut bahwa nama Kei muncul sejak kolonialis Barat datang ke pulau tersebut. Menurut kisah ini, saat baru tiba di pulau itu, orang-orang Barat tersebut bertanya apa nama pulau tersebut. Penduduk menjawabnya “bitkai” yang berarti “tidak tahu”. Sejak itu, Barat menyebutnya sebagai Pulau Kei. Kebenaran kisah tersebut masih ditelusuri. Tapi di masa pemerintahan Hindia Belanda, pulau ini dijadikan sebagai salah satu tempat penting di kawasan Maluku, terutama Maluku Tenggara. Ketika Ambon dipilih menjadi pusat penyebaran agama Kristen Protestan di Maluku, Kei dijadikan sebagai pusat kaderisasi agama Kristen Katolik Roma. Letak persisnya di Kota Langgur. Kedatangan orang-orang Belanda ke wilayah
68
tersebut diikuti oleh pendatang keturunan Tionghoa yang kemudian memegang kendali perekonomian.3 Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua persekutuan adat, yakni, Lor Sir/ Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Lor berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang mendiami wilayah/ Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial.4 Sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 (sembilan) dan 5 (lima). Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut.5 Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di Desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan hukum adat Ngabal ditetapkan di Desa Ler Ohoilim, Kei Besar oleh lima Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, dalam proses penaklukkan dan perluasan wilayah kekuasaan dari kedua persekutuan masyaraat adat ini, kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul Ngabal.6
3
Usman Ks, dkk, Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat 1999-2000, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000), h. 53. 4 B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), h. 16. 5 J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), h. 16. 6 J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, h. 40-47.
69
Secara etimologi, Larvul Ngabal berasal dari kata Lar yang berarti Darah; Vul yang artinya Merah; Nga yang berarti Tombak; Bal yang berarti Bali. Jadi Larvul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali).7 Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan-atau pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan sakral. Dengan demikian, terdapat peribahasa menyatakan “Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasardasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan hukum adat. Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari tujuh pasal, yakni:8 Pasal 1. Uud entauk abnuhad. Berarti: “Kepala bersatu, bertumpu di atas pundak”, artinya di mana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau yang Maha Kuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/ persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling 7
J. P. Rahail, Larvul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta: Yayasan Sejati, 1993), h. 13. I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Ngabal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), h. 51-56. 8
70
mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh. Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peribahasa Kei, yang dinyatakan sebagai Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepada Tuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita selamat di dunia dan akhirat”. Pasal 2. Lelad ain fo mahiling. Berarti: “Leher bersifat luhur, suci dan murni”, pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, yang harus dilindungi atau dijaga. Pasal 3. Ul nit envil rumud. Berarti: “Kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindungi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri. Pasal 4. Laar nakmut naa ivud. Berarti: “Darah beredar atau terkurung di dalam tubuh”, makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan. Karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh. Sama dengan “jangan membunuh”.
71
Pasal 5. Reek fo kelmutun. Berarti: “Ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan”, ungkapan ini memiliki dua arti yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya. Pasal 6. Moryaian fo mahiling. Berarti: “Tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita bujang (gadis) adalah agung mulia”, hal ini juga berkaitan dengan pasal 5, bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Pasal 7. Hirani ntub fo in ni, it did entub fo it did. Berarti: “Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita”. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut. Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari hukum adat Larvul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni hukum Nevnev; hukum Hanilit, dan hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah
72
hukum Nevnev, atau hukum perikemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila/ perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukum Hawear Balwarin atau hukum keadilan sosial.9 Suku Kei menyebar di Kepulauan Kei seperti Pulau Nuhuyuut, Pulau Nuhurowa, Pulau Dullah, Pulau Tayando, Pulau Walir, Pulau Kur, Pulau Tam dan Pulau Mangur. Saat ini kepulauan Kei terbagi menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, dan beberapa kecamatan di dalamnya. Kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari Kecamatan Kei Kecil dan Kecamatan Kei Besar sedangkan Kota Tual terdiri dari Kecamatan Pulau Dullah Selatan, Kecamatan Pulau Dullah Utara, Kecamatan Pulau Kur, Kecamatan Pulau Tayando dan Kecamatan Pulau Tam.10 E.
Keadaan Masyarakat Kei di Kota Tual Dalam bergaulan, masyarakat Kei diterima oleh siapa saja. Mereka dikenal lebih bisa berbaur dengan warga Muslim maupun Nasrani, baik pendatang maupun penduduk asli. Inti dari adat istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di
9
J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), h. 56-58. 10 Usman Ks, dkk, Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat 1999-2000, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000), h. 35.
73
Kei yang diikat dengan hukum adat terwujud dalam relasi Yan Ur-Mang Ohoi, Koi-Maduan, dan Teabel. Pertama, Yan Ur-Mang Ohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. KoiMaduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, didalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan wajib tunduk dan taat serta mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi. Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat oleh “aliran darah”. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni sikap untuk membantu orang/ kampung lain yang
74
terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya mau mengangkat derajat semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan. Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang Kei, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk masjid atau gereja), pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama. Kedua, sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Ketiga, sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan di seluruh daerah. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan
75
suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena itu, kedudukannya dihormati dan ditaati. Dan keempat, sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. Jadi hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial. Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei seperti yang telah dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu
persaudaraan
yang
diikat
dalam
keluarga.
Perjanjian
adat
mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan menganggap orang lain sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa membedakan agama. Berdasarkan itu, ada dua hal yang perlu diuraikan: Pertama. Kebersamaan yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar pribadi selalu didasarkan atas hubungan “saudara”. Semua orang dilihat sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga ala Kei lewat istilah “Teteen fo teteen, yanyanat fo yanyanat, ya an fo ya an, warin fo warin, yan ur fo yan ur, mang ohoi fo mang ohoi”. Ini bermakna
76
bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah menempatkan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan kekeluargaan dalam pergaulan, misalnya, lewat pertanyaan “siapa orang tuamu”, kesimpulan yang selalu diambil adalah “kamu dan saya adikkakak”, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah dalam arti sempit. Cara seperti ini sama saja dengan menempatkan orang lain dalam struktur keluarganya. Kedua. Sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif (sosial) orang Kei selalu memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakkannya. Di dalam kehidupan bersama, hukum adat selalu dijunjung tinggi di atas segalanya. Keataatan terhadap hukum ini didasarkan pada cita-cita agar kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan dalam sikap kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena ketaatan kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat kepada hukum demi hukum itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum demi kekerabatan. Peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diikat dalam hukum harus ditaati agar kekerabatan bisa bertahan, apabila aturan atau hukum dilanggar, maka akibatnya kekerabatan atau kekeluargaan menjadi “ternodai, renggang, bahkan bisa hilang/ terputus. Masyarakat Kei memiliki bahasa tersendiri, bahasa Kei. Bahasa ini merupakan bagian dari 10 bahasa besar Maluku yang disebut Siwalima.
77
Ciri-ciri logat bicara orang Kei selalu menggunakan suara keras dengan nada tinggi. Kata-kata yang digunakan hanya terdiri dari satu, dua atau tiga suku kata saja, yang umumnya dilafalkan dengan akhiran huruf “h”, seperti valbehe (bagaimana), anbehe (siapa), dan o mehe (kamu sendiri). Logat orang Kei juga mengandung perbendaharaan Portugis, contonhnya lenso (sapu tangan), nyora atau signora (nyonya), kader (kursi), divan (tempat tidur), dan lain-lain. Meskipun komposisi penduduk yang ada di Kota Tual sangat heterogen, namun masyarakat Kei selalu dapat saling berinteraksi intra dan antarbudaya dengan baik dan harmonis.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA A.
Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual Kebudayaan dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari sebuah komunitas atau kelompok. Peranan kebudayaan menjadi sangat besar dalam ekosistem komunikasi, karena karakteristik kebudayaan antarkomunitas dapat membedakan kebudayaan lisan dan tertulis yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam mengkomunikasikan adat istiadatnya. Jadi pesan-pesan, pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku sejak awal tatkala orang tidak bisa menulis dapat dikomunikasikan hanya dengan kontak antarpribadi langsung atau oleh pengamatan yang mendalam terhadap peninggalan Artifak sehingga informasi yang paling minim pun dapat disebarluaskan. Benar kata Edward T. Hall bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan.1 Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola perilaku yang memenuhi syarat yang disebut agama (religious). Banyak dari apa yang disebut agama termasuk dalam superstruktur agama terdiri dari pesan-pesan bertipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi,
1
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 109.
78
79
karena agama tergolong juga dalam struktur sosial bahkan budaya suatu masyarakat.2 Tabel. Isi Komunikasi Intra dan Antarbudaya Komunikasi Intra dan Keterangan
Antarbudaya 1. Sistem
Kepercayaan Sistem kepercayaan dan nilai memberikan
dan Nilai
kontribusi bagi pengembangan sikap dan pembentukkan perilaku masyarakat dalam menjalankan tradisi budaya dan tradisi agamanya. Kedua hal ini juga menentukan cara hidup masyarakat ketika berindividualitas maupun berkolektivitas, serta menyadari akan pentingnya pemaknaan dan pemahaman mengenai komunikasi intra dan antarbudaya.
2. Relasi
Agama
Budaya
dan Agama dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya berperan aktif dalam peradaban manusia dan keberlangsungan hidup bersama.
3. Relasi Konflik Agama Agama dan budaya merupakan dua hal yang dan Budaya
tak dapat dipisahkan, dan menyentuh semua level kehidupan manusia.
4. Bahasa sebagai Peta Bahasa merupakan simbol sekaligus identitas Budaya
dari suatu kebudayaan. Bahasa juga berperan untuk menyampaikan pesan dari individu satu ke individu lainnya. Melalui bahasa lah masyarakat dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya.
2
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 267.
80
5. Pengaruh Lingkungan Lingkungan terhadap Komunikasi
merupakan
tempat
di
mana
individu memperoleh pengetahuan dan pengalaman untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena
itu,
lingkungan
dapat
memengaruhi individu ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan Masyarakat Non-Muslim Kei di Kota Tual Sistem kepercayaan dan nilai. Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi terhadap pengembangan sikap dan perilaku bagi masyarakat Kei. Sikap dan perilaku masyarakat Kei diperoleh melalui lingkungan tempat mereka tinggal. Masyarakat Kei memiliki adat dan tradisi yang berbeda dengan masyarakat budaya lainnya. Ketika nilai-nilai budaya Kei dipadukan dengan nilai-nilai Islam, tidak ada tradisi masyarakat Kei yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan sebagai berikut: “Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kei dalam ibadah, ritual, upacara, dan seremonial di Kota Tual disesuaikan dengan agama masing-masing. Penduduk mayoritas Islam menjalankan semuanya sesuai syariat Islam. Tradisi tidak ada yang melanggar agama.”3 “Tidak ada tradisi atau ritual adat Kei yang bertentangan dengan syariat Islam. Justru keduanya saling mendukung antara adat Kei dan syariat Islam. Contohnya Larvul Ngabal hukum dasar adat Kei yang mengedepankan sikap jujur, adil, dan amanah.”4
3
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kei Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H., Tual, 05 Maret 2014. 4 Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I., Tual, 03 Maret 2014.
81
Oleh karena nilai-nilai budaya, ritual, tradisi yang ada pada masyarakat Kei tidak ada yang menyimpang atau bertentangan dengan syariat dan ajaran-ajaran Islam, maka kedua nilai tersebut selalu dapat berjalan beriringan bahkan saling mendukung antara keduanya. Masyarakat muslim Kei di Kota Tual dalam memadukan nilai Islam dengan budaya Kei ada banyak sekali tradisi dan ritual yang dilakukan dan dipercaya kesakralannya. Tradisi-tradisi dan ritual yang unik tersebut kemudian dapat membedakan ciri khas masyarakat muslim Kei dengan masyarakat muslim yang lain (berbeda budayanya). Salah satu alasan tradisi dan ritual masyarakat muslim Kei masih bertahan adalah karena jumlah kuantitas penduduk masyarakat mayoritas beragama Islam dan agama Islam lah yang pertama kali menyentuh Kota Tual sehingga nilai-nilai Islam tersebut begitu melekat dan meresap pada diri masyarakat muslim Kei. Tradisi dan ritual yang biasanya dilakukan oleh masyarakat muslim Kei bermacam-macam. Misalnya pada saat maulid Nabi Muhammad, masyarakat muslim Kei memiliki tradisi yang dikenal dengan dikir. Dikir adalah tradisi membaca kitab barzanji dan diba’ dengan lantunan suara dan nada yang merdu (berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad), tradisi ini diadakan oleh setiap kelompok fam atau marga dan mengundang kelompok marga yang lain. Mengenai waktu pelaksanaannya tergantung kesepakatan tuan rumah (marga yang mengadakan) mau diadakan pada waktu siang atau malam.
82
Pada ritual pernikahan, masyarakat muslim Kei memiliki tradisi yang dikenal dengan malam pacar (henna night) bagi calon pengantin perempuan sebelum prosesi akad nikah dan tarian samrah yang diiringi oleh petikan gambus bagi calon pengantin laki-laki. Selanjutnya masyarakat muslim Kei memiliki tradisi yang sama dengan masyarakat yang lain, seperti antar ongkos jelang pernikahan, palang pintu, ngunduh mantu, dan lain-lain, namun pelaksanaannya mungkin dilakukan dengan cara yang berbeda sesuai dengan adat dan budayanya. Ritual kematian pada masyarakat muslim Kei adalah mengadakan tahlil untuk mendoakan orang yang meninggal pada saat turun tanah (hari pertama meninggal), hari ke tiga, ke tujuh, ke sepuluh, ke empat puluh, dan hari ke seratus. Selain itu, masyarakat Kei juga memiliki budaya yelim. Yelim merupakan budaya yang mengharuskan masyarakat untuk membantu orang yang mempunyai hajat (seperti dalam acara pernikahan dan kematian) dengan memberikan sesuatu berupa uang atau barang sesuai kemampuan dan diberikan dengan ikhlas oleh pemberi. Biasanya semakin dekat hubungan persaudaraannya maka semakin besar jumlah uang atau barang yang diberi. Tradisi yelim dilakukan oleh seluruh masyarakat Kei baik yang muslim maupun nonmuslim. Sebelum memasuki bulan puasa Ramadhan, ada ritual tahlil yang dilakukan oleh masyarakat muslim Kei setiap tahunnya untuk mendoakan keluarga dan saudara mereka yang sudah lama atau baru saja meninggal dan juga ziarah kubur untuk membersihkan makam keluarga dan saudara serta
83
mendoakan mereka. Tradisi ini dianggap penting bagi masyarakat muslim Kei. Ritual tahlil dan ziarah kubur dilakukan pada bulan Sya’ban atau setelah pertengahan bulan sya’ban (nishfu sya’ban). Sedang bersih-bersih rumah dilakukan seminggu menjelang bulan Ramadhan. Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim Kei pada perayaan Idul Fitri adalah dengan mendatangi rumah orang tua setelah menunaikan ibadah sholat Idul Fitri, kemudian selanjutnya mendatangi rumah para elit pemerintah, elit agama dan adat sebagai wujud dari rasa kekeluargaan masyarakat Kei. Selain itu, mereka juga menyiapkan aneka hidangan makanan dan minuman yang disajikan dengan unik kepada para tamu yang datang ke rumah untuk berjabat tangan saling maaf-memaafkan dan mempersilahkan para tamu menyicipi makanan dan minuman yang sudah disiapkan. Masyarakat muslim Kei juga mempunyai ritual adat tertentu yang dilakukan sebelum berangkat naik haji ke tanah suci. Tradisi tersebut dikenal dengan bib maaf, yaitu memotong seekor kambing (bagi yang berhajat), menyiapkan hidangan makanan besar dan mengundang para tamu undangan dari keluarga, sahabat, rekan kerja dan lain-lain untuk sama-sama mendoakan orang yang akan berangkat haji. Tradisi ini dipercaya oleh masyarakat Kei dapat membantu mereka selama melaksanakan perjalanan haji ke baitullah dan selamat hingga pulang kembali ke rumah.
84
“Menurut Saya, tradisi adat istiadat Kei harus dipertahankan sebagai kearifan lokal yang mampu memfilter berbagai macam pengaruh yang datang dari luar.”5 Tradisi-tradisi di atas patut dipertahankan karena sangat baik untuk keberlangsungan dan kebersamaan hidup masyarakat Kei yang sangat menekankan nilai-nilai persaudaraan dan kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Kei yang menyimpang dari hukum adat Kei adalah: “Perbuatan yang dilarang atau dianggap menyimpang dari hukum adat Kei yaitu melyaan (zina), huwang (santet), dan bor karu (mencuri).”6 Perbuatan-perbuatan tersebut juga dilarang oleh agama Islam dengan dalilnya sebagai berikut. Ayat al-Qur’an tentang larangan mendekati zina, al-Israa’ ayat 32:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Ayat al-Qur’an tentang larangan musyrik, an-Nisaa’ ayat 48:
5
Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I. 6 Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kei Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H.
85
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” Ayat al-Qur’an tentang larangan mencuri, al-Maidah ayat 38:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Relasi agama dan budaya. Bila ditelaah, adat istiadat dan budaya yang ada pada suku Kei ternyata selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam agama Islam seperti nilai kekerabatan dan persaudaraan, saling menghargai perbedaan, saling menolong antarsesama, dan lain-lain. Tidak hanya itu, simbol-simbol kebudayaan seperti busana khas pun selalu menutupi aurat, kuliner-kuliner khas budaya Kei juga terbuat dari bahan yang halal dan baik, bentuk arsitek seperti rumah adat (dijadikan sebagai tempat bermusyawarah para tokoh adat) dibangun dengan ukiran-ukiran yang indah tanpa ada satu pun patung yang berdiri, kini bangunan rumah adat tersebut sudah tidak ada karena punah sejak perang dunia II. Sama halnya dengan budaya lain, suku Kei juga mempunyai tarian-tarian seni dan nyanyian adat yang beraneka ragam.
86
Keselarasan ini menyebabkan masyarakat muslim Kei di Kota Tual lebih mudah untuk memadukan nilai-nilai budaya dan agamanya. “Secara sosial kemasyarakatan, pribadi masyarakat Kei dapat dikatakan sebagai anak adat apabila dapat memadukan nilai-nilai adat dan nilai-nilai agama sebagai pilar utama dalam tatanan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.”7 Relasi konflik agama dan budaya. Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat Kei sejak dahulu sebenarnya memiliki kualitas dan keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Setiap kehidupan dan kegiatan didasarkan pada hukum adat memberi peluang kepada setiap individu untuk tunduk kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan sesuatu yang sakral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak asasi, harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi terhadap individu, kelompok, dan nilai hidup manusia.8 Manusia adalah makhluk yang unik menarik dan memiliki kualitas, maka dari itu manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di muka bumi. Adat Kei yang dimaksud di sini adalah kebiasaan-kebiasaan yang diikuti sebagai suatu kebiasaan (folkways) yang baik dan tingkah laku yang sopan, yang merupakan esensi dari kesejahteraan bersama. Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan. Adat merupakan konvensi sosial yang berfungsi membimbing orang kepada sikap
7
Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I. 8 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari “http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 03 April 2014.
87
bijaksana, kesopanan, dan persekutuan yang baik. Selain itu, adat berguna sebagai “pagar atau penghambat” supaya orang tidak melakukan kejahatan. Hal ini dapat terlihat dalam hukum adat Larvul Ngabal, dan sistem kekerabatan dalam budaya Kei. 9 Keadaan masyarakat Kei yang taat hukum, dan memegang teguh hukum adat Larvul Ngabal dapat dikatakan sebagai ciri masyarakat yang cinta damai. Karena itu, hukum adat seperti ini merupakan peluang bagi kehidupan bersama lintas agama. “Menurut masyarakat Kei, agama merupakan keyakinan masingmasing pemeluk agamanya. Tetapi hubungan interaksi antara masyarakat muslim dan nonmuslim itu diikat oleh pertalian darah yang sudah turun-temurun dan masing-masing saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya.”10 Selain itu, masyarakat Kei dikenal sebagai masyarakat beradat, beradab, masyarakat yang taat beragama, sehingga pada sisi ini peran budaya dan agama dibutuhkan untuk mengelaborasi diri dalam rangka mencari persamaan dengan nilai-nilai budaya lokal dan agama itu sendiri. Perjumpaan agama dan budaya Kei dalam konteks ini dapat menjadi nilai perekat masyarakat untuk menciptakan keharmonisan antarmasyarakat, apabila nilai-nilai universal menyangkut kemanusiaan seperti, saling mencintai, menghargai, hidup damai, rukun, adil, dan sebagainya yang ditawarkan keduanya mampu dielaborasi dan didialogkan oleh para elit, baik elit agama maupun tetua adat sebagai peluang dalam kebersamaan 9
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari “http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 03 April 2014. 10 Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I.
88
hidup. Karena pada dasarnya semua agama memang selalu mengajarkan pemeluknya untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan. “.....Konflik yang terjadi pada tahun 1999 lalu hanya masalah kesalahpahaman belaka di mana pihak orang ketiga menggunakan isu golongan sebagai alat pemicu konflik tetapi sekarang ini sudah tidak mempan karena masyarakat sudah semakin sadar bahwa apa yang terjadi pada saat itu ada sesuatu yang salah.”11 Konflik atau kerusuhan antaragama yang pernah menimpa Maluku (termasuk Kota Tual) beberapa tahun lalu adalah kesalahpahaman yang sengaja dibuat oleh pihak tertentu dengan mengangkat isu-isu golongan untuk memecahbelah persaudaran antarmasyarakat Maluku. Bahasa sebagai peta budaya. Sebagian besar ahli antropologi dan sosiologi mengemukakan kebudayaan ditandai oleh bahasa. Kebudayaan tanpa bahasa adalah kebudayaan tak beradab. Menurut mereka, bahasa menentukan ciri kebudayaan, dari bahasa diketahui derajat kebudayaan suku bangsa.12 Masyarakat Kei juga memiliki bahasa tersendiri yang dipahami bersama baik yang muslim maupun nonmuslim dan menjadi ciri khas budaya Kei. Pengaruh lingkungan terhadap komunikasi. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berperan memengaruhi seseorang atau individu ketika berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya. Lingkungan bisa dikategori-
11
Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M., Tual, 06 Maret 2014. 12 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 128.
89
kan dengan lingkungan keluarga, pendidikan sekolah, dan lingkungan sosial atau masyarakat. Dalam bidang pendidikan, rata-rata hampir 90% masyarakat yang ada di Kota Tual telah mengikuti pendidikan karena kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan angka putus sekolah setiap tahun semakin berkurang. Selama ini pemerintah daerah Kota Tual telah berupaya keras untuk meningkatkan sumber daya manusia sesuai dengan visi dan misi karena sumber daya manusia itu terdiri dari pendidikan dan kesehatan sehingga hal inilah yang selalu ditingkatkan. Juga menyangkut masalah kualitas pembangunan karena berbicara mengenai masalah pendidikan berarti berbicara mengenai masalah kualitas. Perubahan dalam bidang pendidikan dapat dilihat terutama dari kualitas sumber daya manusia, sebelumnya tingkat kelulusan SMA hanya berkisar 5-10%, tetapi setelah lima tahun terakhir, tingkat kelulusan mulai meningkat rata-rata di atas 98% hampir di semua sekolah bahkan ada yang 100%. Hal ini membuktikan adanya kemajuan. Saat ini pemerintah daerah sedang berupaya agar bukan hanya dalam kuantitas kelulusan itu meningkat tetapi juga dalam kualitas, terutama kualitas sumber daya manusia yang ada pada murid dan para guru, sehingga perlu ditingkatkan secara terus-menerus. Kemudian yang sangat penting adalah sarana dan prasarana pendidikan yang sudah disiapkan termasuk para gurunya. Yang menjadi permasalahannya adalah sulitnya jangkauan atau akses untuk masuk ke beberapa wilayah seperti wilayah Kecamatan Kepulauan terutama Kur dan Tayando Tam. Namun ke depannya
90
pemerintah daerah selalu berusaha untuk memajukan dan megembangkan pendidikan di Kota Tual baik dari segi kuantitas maupun kualitas.13 Dalam bidang ekonomi, sesuai dengan visi dan misi pemerintah daerah Kota Tual maka orientasi pembangunannya adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini pendidikan, kesehatan, dan meningkatkan perekonomian sebagai perwujudan daripada visi dan misi pemerintah yaitu menjadikan Kota Tual sebagai kota MAREN (Maju mandiri, Aman nyaman, Religius, Ekonomi, Nasioalism), karena itu pihak pemerintah sangat menjaga agar ekonomi masyarakat benar-benar tumbuh dan meningkat, pada saat Kota Tual tumbuh pertama tahun 2007 perkembangan ekonomi Kota Tual masih berputar sekitar 5,6%, namun saat ini pertumbuhan ekonomi sudah mulai meningkat di atas rata-rata 6,5%. Pemerintah Kota Tual berharap dengan pertumbuhan yang semakin baik tersebut maka keadaan ekonomi juga akan semakin baik. Perubahan di bidang ekonomi sebagaimana yang sudah dipaparkan bahwa keadaan ekonomi secara bertahap tumbuh mulai dari 5% sampai 6,5%. Hal ini terlihat dari pendapatan masyarakat yang tadinya tidak mencukupi 300 juta per bulan saat ini sudah meningkat lebih daripada itu, ini merupakan kemajuan-kemajuan ekonomi yang mulai diraih oleh pemerintah Kota Tual.14 Dalam bidang politik, sebagaimana daerah lain pada umumnya Kota Tual juga mengadakan PEMILU setiap lima tahun sekali dan disamping itu 13 14
Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M. Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M.
91
ada juga PILKADA. Pilkada Kota Tual untuk pertama kali adalah pada tahun 2008 dan yang kedua adalah pada tahun 2013 kemarin. Hiruk pikuk politik sebagaimana kota-kota lain, selalu muncul masalah-masalah yang bisa mengganggu stabilitas, akan tetapi masalah-masalah tersebut bisa diselesaikan dengan cara-cara yang baik melalui jalur hukum sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Perubahan dalam bidang politik ini yaitu sudah mulai ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat setempat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah baik walikota maupun pemilihan gubernur Maluku hingga partisipasi politik juga sudah semakin tinggi, dengan adanya partisipasi politik yang semakin baik maka jumlah golput semakin berkurang hingga 10%.15 Mengenai bidang sosial, masyarakat di Kota Tual terdiri dari masyarakat yang memegang teguh adat istiadat, masyarakat yang memegang teguh semangat maren (semangat gotong royong), semangat saling menghargai antara yang satu dengan yang lain, dalam bahasa Kei hal ini dikenal dengan Ain Ni Ain Vuut An Mehe Tilur Manut An Mehe Tilur. Istilah ini merupakan budaya orang Kei yang selama ini dijaga dan terus dipertahankan karena merupakan hal yang sangat penting. Diantara adat dan budaya masyarakat Kei ada dua hal yang sangat diperhitungkan yaitu batas tanah dan status seorang perempuan, kedua hal ini merupakan sesuatu yang sangat berharga sehingga apabila dilanggar maka dapat memicu timbulnya masalah besar yang kadang-kadang bisa menimbulkan konflik antar-
15
Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M.
92
kelompok, antardesa dan sebagainya. Sedangkan perubahan dalam bidang sosial sendiri adalah masyarakat terus dan selalu menjaga serta memegang teguh adat istiadat hingga saat ini. 16 Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan. Hubungan antara masyarakat Kei dengan kebudayaannya yang paling realistis ditunjukkan melalui sikap dan perilaku masyarakat Kei yang cenderung mempertahankan adat istiadat dan kebudayaan lokalnya dari berbagai kemungkinan yang bisa menghancurkan nilai-nilai budaya mereka. Oleh karena itu, masyarakat Kei selalu menjaga hubungan intrabudaya di antara mereka dan mewajibkan orang tua untuk mensosialisasikan nilai-nilai perilaku budaya Kei secara bertahap kepada generasi muda dan didukung melalui institusi-institusi seperti pendidikan, agama, dan lain-lain. Hirarki, kekuasaan, dan dominasi. Hirarki dalam masyarakat Kei sama dengan masyarakat berbudaya pada umumnya yang menerapkan proses pemeringkatan peranan-peranan anggota masyarakat dari atasan hingga bawahan. Hal ini dalam masyarakat Kei dikenal dengan ikatan kekerabatan koi-maduan di mana pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai,
mendominasi,
kepentingan
bawahannya
mengatur, dan
pihak
dan
bertanggungjawab
bawahan
wajib
tunduk
atas dan
mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat Kei dikenal istilah-istilah Rat (Raja) sebagai kepala, 16
Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M.
93
kapitan (panglima), orang Kay (yang mengatur desa), kepala Sowa/ Dusun, dan Marinyo (orang yang menyampaikan perintah dari Raja). Nomenklatur Komunikasi Inrabudaya Kosep nondominasi dan geopolitik. Komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada dalam suatu kebudayaan. Dalam kebudayaan masyarakat Kei juga mengatur tentang konsep nondominasi yang mengatur siapa-siapa saja yang tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh di daerah-daerah tertentu, tetapi perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota masyarakat intrabudaya. Jadi, hubungan intrabudaya pada masyarakat Kei juga didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lainlain.
Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan Masyarakat Non-Kei Muslim di Kota Tual Dalam kehidupan sehari-hari, di mana saja manusia berada, mereka selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tertentu yang berasal dari kelompok ras, etnik, dan budaya lain. Berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda latar belakang kebudayaan merupakan suatu pengalaman baru yang selalu dihadapi. Sistem kepercayaan dan nilai. Sistem kepercayaan dan nilai merupakan kesatuan atau keseluruhan kepercayaan kognitif individu tentang dunia di luar individu dan satu-satunya faktor yang memengaruhi pembentukkan skema kognitif tersebut adalah kebudayaan.
94
Sistem kepercayaan dan nilai yang ada pada masyarakat muslim Kei juga memengaruhi sikap dan perilaku mereka pada saat berinteraksi antarbudaya atau hidup berkolektivitas dengan masyarakat di sekitarnya sehingga terjadi pengadopsian nilai di antara mereka. Hal semacam ini membuat masyarakat semakin menyadari bahwa penting bagi mereka untuk memahami komunikasi antarbudaya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasi makna dari suatu benda, tindakan, peristiwa, fenomena, dan lain-lain. Relasi agama dan budaya. “Antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei yang muslim terjalin hubungan yang akrab dengan semangat Ukhuwah Islamiyah dan kawin-mawin.”17 Terjalinnya hubungan yang akrab antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei yang beragama Islam dilandaskan pada semangat Ukhuwah Islamiyah yang dipegang oleh setiap pemeluk Islam dan diperkuat dalam al-Qur’an surat al-Hujuraat ayat 10 dan 13, sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
17
Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I.
95
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa
dan
bersuku-suku
supaya
kamu
saling
kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Atas dasar dua ayat di atas, masyarakat muslim Kei dan para pendatang di Kota Tual dapat bergaul dan menghargai perbedaan diantara mereka, kondisi masyarakat yang heterogen membuat mereka saling mengenal dan memahami budaya sendiri serta orang lain. Relasi konflik agama dan budaya. “.....Masyarakat Kei sejak leluhur telah memiliki kesadaran dalam toleransi yang sangat baik. Karena masyarakat Kei memiliki falsafah hidup sebagaimana tertuang dalam hukum Larvul Ngabal yakni Vuut Ain Mehe Ni Ngivun Manut Ain Mehe Ni Tilur dan Ain Ni Ain. (Semua manusia berasal dari satu moyang dan semua manusia bersaudara).”18 Pluralitas di Kota Tual tidak pernah menimbulkan terjadinya konflik di tengah masyarakat karena mereka adalah masyarakat kekeluargaan sebagaimana nilai perekat yang ada pada budaya masyarakat Kei Ain Ni Ain Vuut Ain Mehe Ngivun Manut Ain Mehe Tilur artinya sama dengan
18
Wawancara Pribadi dengan Pejabat yang mewakili Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Bapak Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I., Tual, 07 Maret 2014.
96
semboyan Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tapi tetap satu, mempunyai nenek moyang yang sama. Agama sendiri merupakan masalah keyakinan setiap makhluk dengan Tuhannya sehingga bukan masalah besar yang bisa menimbulkan konflik antargolongan. Pada umumnya masyarakat Kei semuanya bersaudara dan berasal dari satu induk telur, berasal dari satu kesatuan, sehingga hampir tidak pernah ada konflik antargolongan di antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-Kei muslim. “Dalam beriteraksi, masyarakat luar adat Kei cenderung mengikuti atau beradaptasi dengan masyarakat Kei dan toleransi antarbudaya dan agama.”19 Pada saat berkomunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual, para pendatang seperti suku Bugis, Jawa, Padang, Buton, dan lain-lain cenderung mengikuti atau beradaptasi dengan budaya Kei, hal tersebut dikarenakan kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing pendatang sehingga mereka merasa harus untuk beradaptasi dengan masyarakat pribumi namun tetap mempertahankan budayanya masing-masing. Pendekatan
adaptasi
diperkenalkan
oleh
Ellingsworth
dalam
Gundykunst, dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu, maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk
19
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kei Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H.
97
mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsional atau tidak mendukung hubungan antarpribadi.20 Adaptasi
yang dilakukan oleh masyarakat
non-Kei terhadap
masyarakat Kei dikenal dengan istilah penetrasi sosial. Istilah penetrasi sosial diperkenalkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor, penetrasi sosial membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berinteraksi dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya. Bahasa sebagai peta budaya. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia dan para pendukungnya. Meskipun berbeda bahasa pada saat berinteraksi, masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim dapat menjalin komunikasi antarbudaya dengan harmonis dan jarang sekali bahkan tidak pernah terjadi konflik di antara mereka. Pengaruh lingkungan terhadap komunikasi. Dalam berkomunikasi, faktor lingkungan juga sangat memengaruhi perilaku komunikasi individu tersebut. Hal ini dilihat dari bagaimana individu memperoleh atau menyerap informasi dari lingkungan sekitarnya, seperti pada saat di lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan sebagainya. 20
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 63.
98
Budaya mendapat tempat pertama bagi masyarakat Kei sebelum datangnya agama dan pemerintahan di Kota Tual. Setelah agama dan pemerintahan hadir, mulai nampak perubahan dan kemajuan pada masyarakat Kota Tual. Pihak pemerintah selalu menjalin komunikasi hangat dengan pihak adat dan tokoh-tokoh agama, mereka membagun mitra kerja yang positif agar dapat bersama-sama membawa Kota Tual ke arah yang lebih baik. Dalam menjalin hubungan kemitraan dengan pihak adat dan tokoh agama diakui tidak pernah ada hambatan dalam komunikasi tersebut dikarenakan ketiga pihak tersebut memang berasal dari suku Kei dan benarbenar memahami adat istiadat dan kondisi masyarakat Kei. Kegiatan pemerintah untuk menghindari konflik di masyarakat adalah dengan tetap melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak adat, para tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Mengadakan pembinaan secara terusmenerus dan bekerja sama dengan para tokoh agama untuk mengadakan pembinaan internal para pemeluk-pemeluk agama, sehingga membuat masyarakat sadar bahwa pada prinsipnya semua agama selalu mengajarkan untuk berbuat baik. Dengan adanya keyakinan dan kepercayaan seperti demikian maka lambat laun tidak akan ada lagi pemikiran yang negatif dalam hidup bermasyarakat. Karena menurut asas kekeluargaan masyarakat Kei, tidak ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk berbuat jahat, sebaliknya semua agama pasti mengajarkan pemeluknya untuk selalu berbuat baik. Dengan adanya pemikiran seperti itu maka tidak ada lagi konflik yang terjadi dengan alasan perbedaan agama dan lain-lain.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dalam kebudayaan masyarakat Kei, ditemukan bahwa terdapat nilainilai yang berharga untuk kehidupan bersama dan sesuai dengan ajaranajaran agama Islam seperti nilai kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan, ketaatan pada hukum dan atasan, tolong-menolong dan sebagainya, tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Nilai-nilai tersebut terungkap dalam hukum adat tertingginya yaitu hukum Larvul Ngabal, dan dalam hubungan antarsesama seperti yanurmangohoi, koi-maduan, dan teabel, serta yang secara khusus tergambar dalam falsafah hidup orang Kei “vuut ain mehe ni ngivun, manut ain mehe ni tilur”, dan “ain ni ain”. Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat Kei sejak dahulu sebenarnya memiliki kualitas dan keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Keselarasan antara nilai-nilai budaya dan agama ini membuat masyarakat muslim Kei di Kota Tual dapat memadukan nilai-nilai budaya dan agama dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama masyarakat disekelilingnya. Oleh karena nilai-nilai budaya, ritual, tradisi yang ada pada masyarakat Kei tidak ada yang menyimpang atau bertentangan dengan syariat dan ajaran-ajaran Islam, maka kedua nilai ini dapat berjalan bergandengan bahkan saling mendukung antara keduanya.
99
100
B.
Saran 1.
Kepada Pemerintah Kota Tual, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan pihak tertentu untuk selalu mendukung adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat Kei serta sama-sama menjaga nilai dan norma yang ada dalam adat istiadat dan budaya Kei tersebut. Selain itu, selalu menghargai perbedaan yang ada di tengah masyarakat dan memaknai perbedaan itu sebagai rahmat dari yang Maha Kuasa, bukan sebagai laknat. Karena andai semua makhluk diciptakan serupa dan sama, maka kehidupan akan kurang nikmat.
2.
Pemerintah perlu memfasilitasi para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, para akademisi, dan pihak-pihak tertentu lainnya untuk mengapresiasi dan mengembangkan nilai-nilai Islam dan budaya masyarakat Kei yang unik dan menarik serta tidak melarang atau membatasi kreativitas masyarakat dalam melaksanakan tradisi dan ritual adat Kei. Kemudian untuk mengkaji permasalahan yang muncul di tengah masyarakat agar masalah tersebut mudah di atasi.
3.
Dibutuhkan adanya kerjasama antara pihak Pemerintah Kota dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk mengembangkan potensipotensi objek wisata yang ada di Kota Tual dan memperkenalkannya kepada pihak luar agar dapat dijadikan sebagai investasi daerah dan sumber daya alam yang lebih maju dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA A.
Sumber Buku Al-Qur’anul Karim. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Dubbs, Patrick J. and Daniel D. Whitney. Cultural Contexts: Making Anthropology Personal. America: United States of America, 1938. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. . Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003. Haar, Ter B. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradiya Paramita, 1953. Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto. Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir. KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010. Kilmanun, I. J. Hukum Adat Larvul Ngabal di Kepulauan Kei. Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan. Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktik Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Ks, Usman, dkk. Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat 1999-2000, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000. Lewis, Glen and Christina Slade. Critical Communication. Australia: Prentice Hall Australia, 1994. Liliweri, Alo. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. . Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Martin, Judith N. and Thomas K. Nakayama. Experiencing Intercultural Communication: an Introduction. New York: McGraw-Hill, 2005. Mufid, Muhamad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009. Muhammad, Arni. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
101
102
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Pattikayhatu, J. A., dkk. Sejarah Daerah Maluku. Ambon: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993. . Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998. Rahail, J. P. Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei. Jakarta: Yayasan Sejati, 1993. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001 Sihabudin, Ahmad. Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004. Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2010. B.
Sumber Internet BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari “http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenkota/kotatual/gambaran-umum”, Pada: Rabu, 06 November 2013. Kudubun, Elly, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari “http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agamadan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
LAMPIRAN Wawancara Penelitian Pewawancara
: Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)
Narasumber
: Ahmad Tamherwarin, S.H (Tokoh Adat Kei)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Rabu, 05 Maret 2014
Pukul
: 16.00-18.00 WIT
Tempat
: Rumah Adat Marga RahankorbibTamherwarin
Tanya : Bagaimana asal-usul adanya suku Kei? Jawab : Masyarakat suku Kei yang pertama datang di Kepulauan Kei sudah tidak ada keturunannya. Ada lima rombongan bangsa-suku yang datang di Kepulauan Kei pada tahun 1330 M. Pertama, Sultan Isa yang berasal dari Timur Tengah, Kesultanan Bashrah-Irak, menetap di Pulau Luwang Maluku Tenggara selama kurun waktu 40 tahun bersama istri dan mempunyai delapan orang anak tujuh putra dan satu putri, tujuh putranya tiba di Tual pada tahun 1330 M, putra pertama bernama Sawe jadi Rat Kilmas di Kur, kedua bernama Korbib Khair jadi Rat Tual di Tual, ketiga bernama Kanar Babel jadi Raja Danar Famur, keempat bernama Muhammad (Ubtim Matdoan) jadi Raja Langgiar Fer, kelima Romteor jadi Raja Haar dengan marga Rahalus, keenam bernama Tawadan jadi Raja Ujir di Kepulauan Aru, dan ketujuh bernama Skar jadi Raja Amar di Kepulauan Seram Timur. Kedua, Ibnu Batuta, disebut oleh orang Kei
tabtuut ohoi vuur menjadi raja di Tetoat dengan fam/ marga Renhoran. Ketiga, keturunan Hasyim (dari Arab), anaknya Hasyim bernama Abu Bakar, dan Abu Bakar mempunyai anak bernama Abdul Muthalib, Abdul Muthalib menikah di Aceh dan mempunyai anak laki-laki pertama bernama Datu Maulana, kedua bernama Datu Abdullah ke Banda Naira dan mempunyai dua orang anak bernama Nikiolo (Raja Ulat di Saparua) dan Levtaka menikah di Kisvoi mempunyai anak bernama Sarkol, Sarkol menikah di Kur dengan Putri pertama Raja Kilmas bernama Dit Mas dan mempunyai anak bernama Farne Vul, ketiga bernama Datu Tiri, keempat bernama Datu Indra Giri, kelima anak perempuan yang di Kepulauan Kei dipanggil dengan nama Boiratan menjadi Raja Kilsoin, di Kur Selatan, Keempat, Sades Bamav Far Far, Sades punya keturunan marga Matdoan, Raja Langgiar Fer, Bamav punya keturunan Raja Fer (Rat Tubab Yam Lim), Far-Far jadi orang Kay di Desa Waduar Fer. Kelima, Sultan Taherudin dari Kerajaan Jailolo (Maluku Utara), datang ke Tual menikah dengan seorang wanita bernama Hinar Fadmas dan mempunyai keturunan Raja Dullah dengan fam Renuat dan Kapitan Dullah dengan fam rengur. Selain itu, keluarga banda hijrah ke Kepulauan Kei akibat perang melawan Belanda dan tinggal di Elaat dan di Banda Ely (tanah milik Raja Tual). Di Kei Besar ada marga Seknun yang juga berasal dari Banda. T
: Apa yang dimaksud dengan hukum adat Larvul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei?
J
: Lar artinya darah, Vul artinya merah, Nga artinya tombak, dan Bal artinya Bali. Larvul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali). Hukum Larvul menetapkan secara umum dasar-dasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan hukum adat. Hukum adat Larvul Ngabal mulai difungsikan di Kota Tual pada tahun 1790 M, hukum ini dibuat untuk mengatur prihidup manusia terutama akhlak, pemerintahan (tata negara), perekonomian, sosial, dan budaya masyarakat.
T
: Bagaimana pemilihan secara struktural posisi Raja dan lain-lain dalam masyarakat Kei dan bagaimana struktur pemerintah adatnya?
J
: Pemerintah adat masih menggunakan sistem monarki (turun-temurun). Rat (Raja) dipilih oleh keluarga pewaris Raja, dipimpin oleh yang tertua dan hasilnya seorang yang terpilih menjadi Raja kemudian diumumkan kepada seluruh masyarakat melalui kovat kafaak (sidang adat). Sedangkan struktur pemerintah adat tertinggi adalah Raja sebagai kepala, kemudian Kapitan (panglima), kemudian orang Kay (yang mengatur Desa), kepala Sowa/ Dusun, dan Marinyo (yang menyampaikan perintah dari Raja).
T
: Apa saja tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kei dalam ibadah, ritual adat, upacara adat dan seremonial di Kota Tual?
J
: Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kei dalam ibadah, ritual, upacara, dan seremonial di Kota Tual disesuaikan dengan agama masingmasing. Penduduk mayoritas Islam menjalankan semuanya sesuai syariat Islam. Tradisi tidak ada yang melanggar agama.
T
: Adakah simbol-simbol budaya seperti busana, arsitektural, kuliner, kesenian, kesusatraan, dan lain-lain yang menjadi ciri khas suku Kei dan membedakan masyarakat Kei dengan masyarakat adat lain?
J
: Ada. Busana adat Kei menutupi aurat seperti busana-busana muslim. Bentuk arsitektural dibuat dengan ukiran-ukiran. Kuliner khas seperti enbal, ikan bakar, colo-colo, sir-sir, dan lain-lain. Kesenian yaitu nyanyian-nyanyian dan tarian-tarian adat seperti tarian sawat, hadrat, samrah, dana-dana, dan lain-lain. Kesusastraan bahasa Kei sangat tinggi dan luas.
T
: Bagaimana masyarakat Kei dengan masyarakat luar Kei (adat lain) dalam berinteraksi?
J
: Dalam beriteraksi, masyarakat luar adat Kei cenderung mengikuti atau beradaptasi dengan masyarakat Kei dan toleransi antarbudaya dan agama.
T
: Apa saja perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Kei yang menyimpang dari hukum adat Kei?
J
: Perbuatan yang dilarang atau dianggap menyimpang dari hukum adat Kei yaitu melyaan (zina), huwang (santet), dan bor karu (mencuri).
T
: Bagaimana menurut Anda jika tradisi atau adat Kei yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama?
J
: Tidak ada.
T
: Seberapa besar nilai budaya Kei yang tertanam pada diri masyarakat Kei?
J
: Nilai budaya Kei yang tertanam pada diri masyarakat sangat besar terutama nilai Ain Ni Ain (kekeluargaan).
T
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)
Narasumber
: Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I (Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Senin, 03 Maret 2014
Pukul
: 10.00-11.00 WIT
Tempat
: Kantor Kementrian Agama
Tanya : Sejak kapan agama mulai masuk ke Kota Tual? Jawab : Sekitar tahun 1300-an. T
: Apa agama pertama yang menyentuh Kota Tual?
J
: Agama pertama yang menyentuh Kota Tual adalah agama Islam baru kemudian diikuti oleh agama lain.
T
: Berapakah jenis agama yang terdapat di Kota Tual?
J
: Ada enam jenis agama, diantaranya Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konkhuchu.
T
: Agama apa yang menjadi mayoritas hingga minoritas masyarakat di Kota Tual?
J
: Agama yang menjadi mayoritas penduduk Kota Tual adalah agama Islam dengan jumlah sebanyak 68.517 jiwa, kemudian agama Kristen Protestan dengan jumlah 18.182 jiwa, pemeluk agama Kristen Katolik 5.604 jiwa, Hindu 79 jiwa, Budha 10 jiwa, dan Konkhuchu hanya 1 jiwa.
T
: Berapa jumlah tempat ibadah di Kota Tual secara keseluruhan dan khususnya di Kecamatan Dullah selatan?
J
: Ada 92 tempat ibadah di Kota Tual. Sedangkan khusus Kecamatan Dullah Selatan ada 37 tempat ibadah. Agama Islam 21, Kristen Protestan 14, Kristen Katolik 2. Sedangkan untuk agama Hindu, Budha, dan Konkhuchu belum ada tempat ibadahnya.
T
: Bagaimana cara agama memengaruhi kebudayaan di Kota Tual begitupun sebaliknya?
J
: Perkembangan agama Islam di Kota Tual seiring dengan perkembangan adat dan budaya masyarakat Kota Tual, namun jumlah penduduk Islam mayoritas maka dengan sendirinya nuansa-nuansa adat istiadat lebih banyak mendapat pengaruh dari ajaran Islam.
T
: Bagaimana cara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat nonmuslim Kei di Kota Tual berinteraksi?
J
: Menurut masyarakat Kei, agama merupakan keyakinan masing-masing pemeluk agamanya. Tetapi hubungan interaksi antara masyarakat muslim dan nonmuslim itu diikat oleh pertalian darah yang sudah turun-temurun dan masing-masing saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya.
T
: Bagaimana cara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei yang muslim di Kota Tual berinteraksi?
J
: Antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei yang muslim terjalin hubungan yang akrab dengan semangat Ukhuwah Islamiyah dan kawin-mawin.
T
: Adakah tradisi atau ritual adat Kei yang bertentangan dengan syariat Islam?
J
: Tidak ada tradisi atau ritual adat Kei yang bertentangan dengan syariat Islam. Justru keduanya saling mendukung antara adat Kei dan syariat Islam. Contohnya Larvul Ngabal hukum dasar adat Kei yang mengedepankan sikap jujur, adil, dan amanah.
T
: Jika ada bagaimana Islam dalam menanggapi hal tersebut?
J
: Tidak ada.
T
: Menurut Anda, apakah tradisi atau ritual adat Kei pantas untuk dipertahankan?
J
: Menurut Saya, tradisi adat istiadat Kei harus dipertahankan sebagai kearifan lokal yang mampu memfilter berbagai macam pengaruh yang datang dari luar.
T
: Bagaimana pribadi masyarakat muslim Kei dalam memadukan dua nilai (nilai budaya Kei dan nilai agama Islam)?
J
: Secara sosial kemasyarakatan, pribadi masyarakat Kei dapat dikatakan sebagai anak adat apabila dapat memadukan nilai-nilai adat dan nilai-nilai agama sebagai pilar utama dalam tatanan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.
T
: Bagaimana perkembangan dakwah Islam di Kota Tual dan apa saja yang menjadi peluang dan tantangannya?
J
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)
Narasumber
: Drs. Hi. Mahmud Muhammad Tamher, M.M (Walikota Tual)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Kamis, 06 Maret 2014
Pukul
: 15.30-17.30 WIT
Tempat
: Kediaman Bapak Walikota
Tanya : Sejak kapan Kota Tual ditetapkan menjadi daerah otonom baru? Jawab : 31 Juli 2007. T
: Berapa luas wilayah Kota Tual dan bagaimana iklim serta topografi wilayah Kota Tual?
J
: Luas wilayah Kota Tual 19.088,29 km² terdiri dari luas daratan 352,66 km² (1,33 %) dan luas lautan 18.736 km² (98,67%). Kota Tual beriklim Muson. Pada masa musim Timur, angin bertiup dari Tenggara dan terjadi kemarau. Pada musim Barat terjadi musim hujan, angin bertiup dari Barat Laut, serta kondisi perairan umumnya bergelora pada bulan Januari sampai Februari. Umumnya kondisi topografi Kota Tual beragam dari daratan yang datar hingga relatif berbukit dengan kemiringan berkisar antara 0-8% dan 8-15% di mana pemukiman/ desa umumnya berada pada wilayah dengan ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut.
T
: Bagaimana peta wilayah Kota Tual?
J
: (Data Sekunder Terlampir)
T
: Bagaimana struktur pemerintahan Kota Tual?
J
: (Data Sekunder Terlampir)
T
: Berapa banyak jumlah penduduk Kota Tual secara umum dan khususnya di Kecamatan Dullah Selatan?
J
: Secara umum, jumlah penduduk di Kota Tual sebanyak 92.398 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Dullah Selatan sebanyak 47.714 jiwa.
T
: Secara etnik, berapa banyak jumlah pendatang di Kota Tual Kecamatan Dullah Selatan (luar adat Kei)?
J
: Etnik Bugis 3.456 jiwa, Buton 2.523 jiwa, Jawa 641 jiwa, Sumatera 258 jiwa, Ambon 213 jiwa, Banda 125 jiwa, dan Ternate 56 jiwa.
T
: Apa saja mata pencaharian ekonomi penduduk Kota Tual?
J
: Rata-rata mata pencaharian masyarakat Kota Tual adalah PNS, pedagang, nelayan, dan wiraswasta.
T
: Bagaimana komunikasi pemerintah Kota dengan pemerintah adat di Kota Tual dan apa saja yang menjadi faktor penghambat komunikasi tersebut?
J
: Hubungan komunikasi antara pemerintah Kota dengan tokoh masyarakat adat adalah hubungan sebagai mitra kerja dan sejajar dan selama ini kami menggunakannya sebagai rekan atau partner dalam rangka melaksanakan pembangunan di Kota Tual karena kota ini dikenal sebagai daerah kota beradat, kota bersih, elok, religius, aman, damai, tentram dan sejahtera. Karena itu, kami jaga betul tatanan kehidupan adat istiadat lokal yang selama ini sudah terjalin dengan baik tanpa mengakomodir kebijaksanaan
ataupun tatakrama adat istiadat maka kami tidak mungkin sukses karena itu selama ini kami tetap menjaga hubungan kemitraan yang sejajar di mana tokoh masyarakat adat sebagai partner daripada Pemerintah Kota Tual. Sedangkan mengenai hambatan dalam hubungan ini tidak pernah ada, karena kebetulan saya sendiri juga sebagai putra asli Kota Tual mengerti dan memahami betul situasi dan kondisi daerah Kota Tual ini sehingga menurut kami selama ini komunikasi dengan pihak adat tidak ada hambatan sama sekali. Karena sekali lagi saya berasal dari bagian daripada tokoh adat atau daerah yang memahami sungguh apa yang terjadi di Kota Tual, adat istiadatnya dan sebagainya. T
: Bagaimana keadaan masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial di Kota Tual?
J
: Di bidang pendidikan rata-rata hampir 90% masyarakat yang ada telah mengikuti pendidikan karena kesadaran yang tinggi dari masyarakatnya di mana selama ini pemerintah daerah telah berupaya keras untuk meningkatkan sumber daya manusia sesuai dengan visi dan misi karena sumber daya manusia itu terdiri dari pendidikan dan kesehatan sehingga ini yang perlu kami genjot selama ini dan merupakan masalah kualitas pembangunan karena itu menyangkut masalah pendidikan merupakan salah satu kualitas. Mengenai bidang ekonomi bahwa sesuai dengan visi dan misi kami kepala daerah atau Walikota Tual maka orientasi pembangunan kami adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini pendidikan, kesehatan, dan meningkatkan
perekonomian sebagai perwujudan daripada visi dan misi kami yaitu menjadikan Kota Tual sebagai Kota MAREN (Maju mandiri, Aman nyaman, Religius, Ekonomi, Nasioalism), karena itu kami betul-betul menjaga sehingga ekonomi masyarakat benar-benar tumbuh dan meningkat, pada waktu daerah ini tumbuh pertama tahun 2007 perkembangan ekonomi Kota Tual masih sekitar 5,6% sekarang sudah bertumbuh di atas rata-rata 6,5% pertumbuhan ekonominya, sehingga insya’ Allah dengan pertumbuhan yang semakin baik ini maka ekonomi akan semakin baik. Mengenai bidang politik, bahwa masalah politik sebagaimana juga daerah lain maka setiap lima tahun sekali akan diadakan PEMILU dan disamping itu ada juga PILKADA. Pilkada Kota Tual untuk pertama kali adalah tahun 2008 dan yang kedua adalah tahun 2013. Hiruk pikuk politik sebagaimana kota-kota lain maka akan timbul masalahmasalah yang bisa mengganggu stabilitas, tapi alhamdulillah masalah itu bisa diselesaikan dengan cara-cara yang baik melalui jalur hukum sehingga tidak menimbulkan masalah. Mengenai bidang sosial masyarakat di Kota Tual terdiri dari masyarakat yang memang memegang teguh adat istiadat, masyarakat yang memegang teguh semangat maren (semangat gotong royong), semangat saling menghargai satu dengan yang lain, dalam bahasa Kei namanya Ain Ni Ain Vuut An Mehe Tilur Manut An Mehe Tilur. Ini adalah budaya orang Kei yang selama ini kami jaga dan terus kami pertahankan karena merupakan hal yang sangat penting. Diantara adat Kei ada dua hal yang sangat diperhitungkan yaitu batas tanah dan
status seorang perempuan, kedua hal ini merupakan sesuatu yang sangat berharga sehingga apabila ini dilanggar maka akan menimbulkan masalah besar yang kadang-kadang bisa menimbulkan konflik antarkelompok, antardesa dan sebagainya. T
: Apa saja perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial di Kota Tual?
T
: Mengenai perubahan yang terjadi di bidang pendidikan yaitu terutama dilihat dari kualitas sumber daya manusia, yaitu tingkat kelulusan pada waktu daerah ini terbentuk pertama ada SMA yang kelulusannya hanya ada 5-10% tetapi setelah lima tahun terakhir ini kelulusan itu rata-rata di atas 98% hampir di semua sekolah bahkan ada yang 100% ini membuktikan adanya kemajuan. Sekarang ini kita sementara berupaya agar bukan hanya dalam kuantitas kelulusan itu berada tetapi juga dalam kualitas, jadi kualitas sumber daya manusia terutama para murid dan lebih utama lagi para guru jadi perlu kita tingkatkan secara terus-menerus, jadi rata-rata kelulusan di atas 90%, nah ini yang sangat penting sekali, sarana dan prasarana pendidikan kami sudah siapkan termasuk para gurunya yang merupakan masalah adalah sedikit yang berada di wilayah Kecamatan Kepulauan terutama Kur dan Tayando Tam sehingga mudah-mudahan ke depan kita semakin maju berkembang dan kita akan fokus pada peningkatan kualitas disamping kuantitas. Sedangkan perubahan di bidang ekonomi sebagaimana yang sudah saya sampaikan tadi yaitu bahwa ekonomi kita ini tumbuh mulai dari 5% sampai 6,5% saat ini terlihat dari
pendapatan masyarakat yang tadinya tidak mencukupi tiga ratus juta per bulan sekarang ini sudah meningkat lebih daripada itu sehingga ini adalah kemajuan-kemajuan ekonomi yang sudah kita capai selama ini. Mengenai perubahan di bidang politik saya kira sudah ada kesadaran yang tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah baik itu walikota maupun pemilihan gubernur Maluku hingga partisipasi politik juga sudah semakin tinggi, golput itu hampir kurang lebih sekitar 10% jadi partisipasi politik masyarakat kita sudah semakin baik. Sedangkan yang berkaitan dengan masalah sosial saya kira masyarakat adat masih memegang teguh adat istiadat hingga saat ini dan masih tetap kami jaga. Tetapi adat istiadat yang menghambat pembangunan akan secara bertahap kami akan menghilangkan itu, misalnya saja sasi yang dibuat tanpa melalui prosedur adat dan sekarang ini sasi tetap kami pertahankan tetapi harus menempatkannya pada prosedur adat yang sesungguhnya sehingga tidak menghambat pembangunan. T
: Apakah pluralitas dapat memicu terjadinya konflik di masyarakat?
J
: Saya kira pluralitas di Kota Tual ini tidak pernah memicu terjadinya konflik di masyakat karena masyarakat di sini adalah masyarakat kekeluargaan sebagaimana saya sebutkan tadi Ain Ni Ain Vuut Ain Mehe Ngivun Manut Ain Mehe Tilur artinya bahwa kita Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tapi tetap satu, mempunyai nenek moyang yang sama, agama itu masalah keyakinan setiap makhluk dengan tuhannya sehingga tidak merupakan masalah besar yang bisa menimbulkan konflik
antargolongan, kita ini pada umumnya bersaudara kita semua berasal dari satu induk telur berasal dari satu kesatuan sehingga untuk konflik antargolongan hampir tidak pernah ada. Konflik yang terjadi pada tahun 1999 lalu hanya masalah kesalahpahaman belaka di mana pihak orang ketiga menggunakan isu golongan sebagai alat pemicu konflik tetapi sekarang ini sudah tidak mempan karena masyarakat sudah semakin sadar bahwa apa yang terjadi pada saat itu ada sesuatu yang salah. T
: Adakah peluang-peluang yang menyebabkan konflik tersebut bisa terjadi?
J
: Peluang pertama yaitu masalah isu pertentangan golongan dan batas tanah sehingga konflik itu bisa berkembang antardesa dan antargolongan, tapi insya’ Allah syukur alhamdulillah bahwa hingga saat ini konflik antargolongan tidak mungkin terjadi karena Pemerintah Daerah secara aktif menggerakkan semua tokoh adat, tokoh agama untuk bekerja sama sehingga tidak ada lagi muncul masalah-masalah kesalahpahaman. Masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah konflik sosial misalnya diselesaikan melalui jalur-jalur hukum ataupun jalur-jalur adat sehingga tidak akan terjadi lagi, tidak ada peluang untuk bisa terjadi lagi masalah itu sebagaimana lima tahun sebelumnya.
T
: Apa kegiatan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi atau menghindari konflik di masyarakat?
J
: Kegiatan pemerintah untuk menghindari konflik di masyarakat adalah bahwa pihak pemerintah tetap melakukan komunikasi yang intensif
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)
Narasumber
: Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I (Pejabat yang Mewakili)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Jumat, 07 Maret 2014
Pukul
: 09.00-11.00 WIT
Tempat
: Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tual
Tanya : Berapa banyak jumlah sekolah tingkat SD-SMA di Kota Tual secara umum dan khususnya di Kecamatan Dullah Selatan? Jawab : Jumlah sekolah di Kota Tual SD 49, SMP 15, SMA/SMK 14. Sedangkan jumlah sekolah di Kecamatan Dullah Selatan untuk tingkat SD 22, SMP 5, SMA/SMK 9. T
: Berapa banyak jumlah sekolah tinggi, institut atau universitas di Kota Tual secara umum dan khususnya di Kecamatan Dullah Selatan?
J
: Ada 6 perguruan tinggi di Kota Tual. Sedangkan khusus di Kecamatan Dullah Selatan ada 3 perguruan tinggi. Belum ada institut dan universitas.
T
: Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam proses pendidikan dan kebudayaan di Kota Tual?
J
: Faktor pendukung yang pertama adalah adanya kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap pendidikan. Kedua, adanya dukungan dari Pemerintah Daerah dengan memberlakukan pendidikan gratis mulai dari
PAUD sampai pendidikan menengah. Ketiga, tersedianya sekolah dari tingkat SD sampai SMA di semua Kecamatan. Sedangkan faktor penghambat yaitu pertama, faktor geografis di mana Kota Tual terdiri dari pulau-pulau. Kedua, belum semua sekolah dapat mengakses internet karena kurangnya sarana pendukung, sehingga mutu pendidikan tidak sama antara sekolah yang berada di pusat kota dan di luar kota. Ketiga, pergeseran nilai masyarakat khususnya kaum muda yang cenderung lebih mengapresiasi budaya dari luar dari pada budaya daerahnya sendiri. T
: Apa saja perubahan dan kemajuan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan masyarakat Kota Tual?
J
: Di bidang pendidikan yaitu APK dan APM semakin tinggi, rendahnya angka putus sekolah, semakin banyak Perguruan Tinggi, makin banyak lulusan Perguruan Tinggi (S1, S2 dan S3). Sedangkan di bidang kebudayaan yaitu masyarakat semakin mencintai budayanya sendiri, kesadaran generasi muda untuk mengembangkan budaya daerahnya sendiri.
T
: Bagaimana cara pemerintah menanamkan nilai-nilai budaya Kei pada masyarakat di Kota Tual?
J
: Memasukan bahasa Kei ke dalam kurikulum pendidikan di tingkat SD (Muatan Lokal), setiap tahun melaksanakan festival budaya daerah termasuk lomba pidato dengan bahasa daerah Kei, dan pemerintah dalam menetapkan kebijakan selalu melibatkan tokoh adat bahkan dalam hal-hal
tertentu pemerintah memberikan kewenangan kepada Latupatu (para Raja) untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan adat istiadat Kei. T
: Bagaimana penguatan kementrian dalam meningkatkan kesadaran berbudaya bagi generasi muda di Kota Tual?
J
: Pertama, memberikan penguatan terhadap pelaksanaan bahasa daerah Kei di sekolah. Kedua, setiap sekolah mengembangkan budaya Kei khususnya tarian-tarian adat: Tarian soi-soi, sawat, tarian panah (cakalele) dan lainlain.
T
: Adakah kesadaran dalam toleransi bagi masyarakat Kota Tual?
J
: Ada. Masyarakat Kei sejak leluhur telah memiliki kesadaran dalam toleransi yang sangat baik. Karena masyarakat Kei memiliki falsafah hidup sebagaimana tertuang dalam hukum Larvul Ngabal yakni Vuut Ain Mehe Ni Ngivun Manut Ain Mehe Ni Tilur dan Ain Ni Ain. (Semua manusia berasal dari satu moyang dan semua manusia bersaudara).
T
: Apakah pernah terjadi tawuran antarpelajar?
J
: Ada. Tapi hanya masalah intern sekolah bukan antarsekolah.
T
: Apa saja faktor yang menjadi pemicu tawuran antarpelajar?
J
: Masalah pribadi siswa, yang kemudian berkembang menjadi masalah kelompok/ gang.
T
: Bagaimana penyelesaian yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam menangani kasus tawuran antarpelajar di Kota Tual?
J
: Penyelesaian tingkat sekolah yaitu melakukan pembinaan dengan cara mengumpulkan semua siswa yang terlibat dalam tawuran, mengundang
Gambar 1 dan 2. Wawancara dan Foto Bersama Bapak Walikota Tual
Gambar 3. Wawancara dengan Tokoh Adat Kei
Gambar 4. Foto bersama Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual
Gambar 5 dan 6. Foto dan Wawancara dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Tual